Pesan Sri Paus Pada Hari Perdamaian Sedunia 2015

advertisement
Pesan Perdamaian Sri Paus Fransiskus
1 Januari 2015
“TIDAK LAGI BUDAK, TETAPI SAUDARA DAN
SAUDARI”
1. Pada pemulaan Tahun Baru ini, yang kita sambut sebagai
pemberian rahmat Allah bagi umat manusia, saya haturkan
salam hangat perdamaian bagi setiap pria dan perempuan,
kepada semua orang dan bangsa di dunia, kepada Kepala
Negara dan Pemerintahan, dan kepada para pemimpin
agama. Dengan cara demikian, saya berdoa untuk
berhentinya peperangan, pertikaian dan penderitaan berat
yang diakibatkan oleh tangan manusia atau epidemi masa
lampau dan sekarang, dan oleh kehancuran akibat bencanabencana alam. Saya berdoa khususnya agar atas dasar
panggilan bersama kita bekerjasama dengan Allah dan
semua orang yang berkehendak baik demi kemajuan
kerukunan dan perdamaian dalam dunia, dan kita mudahmudahan melawan godaan untuk melakukan cara yang tidak
layak bagi kemanusiaan.
Dalam Pesan-ku tahun silam, saya berbicara tentang
“kerinduan akan suatu hidup yang penuh … yang mencakup
suatu keinginan akan persaudaraan yang menarik kita
kepada pertemanan dengan orang-orang lain dan
memampukan kita untuk melihat mereka tidak sebagai
musuh-musuh atau pesaing-pesaing, tetapi sebagai saudarasaudara dan saudari-saudari yang diterima dan dirangkul”1.
Karena secara kodrati kita adalah makhluk relasional,
1
N.1
“Kobarkanlah Sukacita Injil”
Refleksi Uskup Turang: untuk para imam dan umat Keuskupan Agung Kupang
artinya memperoleh kepenuhan melalui hubungan antar
pribadi yang diilhami oleh keadilan dan cintakasih;
coraknya fundamental bagi perkembangan manusiawi kita
bahwa martabat, kemerdekaan dan otonomi kita diakui dan
dihormati. Tragisnya, coreng yang berkembang akibat
ekploitasi manusia oleh manusia dengan bengis merusak
hidup persekutuan dan panggilan kita untuk mendorong
relasi-relasi antarpribadi yang ditandai oleh rasa hormat,
keadilan dan cintakasih. Gejala buruk ini yang menghantar
untuk melecehkan hak-hak fundamental orang-orang lain
dan pengekangan kebebasan dan martabat, mengambil
banyak bentuk. Secara ringkas, saya ingin memandang halhal ini, sehingga, dalam terang Sabda Allah, kita dapat
memandang semua pria dan perempuan “tidak lagi sebagai
budak, tetapi saudara-saudara dan saudari-saudari”.
Mendengarkan Rencana Allah bagi kemanusiaan
2. Tema yang saya pilih untuk pesan tahun ini diambil dari
surat St. Paulus kepada Filemon, di mana Rasul meminta
rekan kerjanya untuk menyambut Onesimus, dulunya budak
dari Filemon, sekarang seorang Kristiani, dan olehnya,
menurut Paulus, layak dipandang sebagai saudara. Rasul
Bangsa-bangsa menulis : “Sebab mungkin karena itulah dia
dipisahkan sejenak daripadamu, supaya engkau dapat
menerimanya untuk selama-lamanya, bukan lagi sebagai
seorang hamba, melainkan lebih daripada hamba, yaitu
sebagai saudara yang kekasih” (15-16). Onesimus menjadi
saudara dari Filemon sewaktu dia menjadi seorang Kristiani.
Pertobatan kepada Kristus, permulaan suatu kehidupan yang
menghayati kemuridan Kristiani, membentuk suatu
“Kobarkanlah Sukacita Injil”
Refleksi Uskup Turang: untuk para imam dan umat Keuskupan Agung Kupang
kelahiran baru (cf. 2Kor 5:17; 1Ptr 1:3) yang menghasilkan
persaudaraan sebagai ikatan mendasar dari hidup keluarga
dan pendasaran hidup dalam masyarakat.
Dalam Kitab Kejadian (cf. 1:27-28), kita membaca bahwa
Allah menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, dan
memberkati mereka sehingga mereka dapat bertambah dan
menjadi banyak. Dia membuat Adam dan Eva orangtua
yang, dalam menanggapi perintah Allah untuk menjadi
subur dan berlipat-ganda, melahirkan persaudaraan pertama,
yaitu Kain dan Abel. Kain dan Abel adalah saudara-saudara
karena mereka berasal dari rahim yang sama. Oleh karena,
mereka memiliki asal, kodrat dan martabat yang sama
karena orangtua mereka yang diciptakan dalam gambaran
dan keserupaan dengan Allah.
Tetapi persaudaraan juga mengungkapkan keberagaman dan
perbedaan-perbedaan antara saudara-saudara dan saudarisaudari, biarpun mereka terhubungkan oleh kelahiran dan
memiliki kodrat dan martabat yang sama. Sebagai saudarasaudara dan saudari-saudari, semua orang berelasi satu sama
lain, biarpun memiliki perbedaan dengan siapa mereka
berbagi asal, kodrat dan martabat yang sama. Dengan cara
ini, persaudaraan membentuk jaringan relasi-relasi yang
penting bagi pembangunan keluarga manusiawi yang
diciptakan Allah.
Tragisnya, antara ciptaan pertama yang dikisahkan dalam
Kitab Kejadian dan kelahiran baru dalam Kristus dengan
mana kaum beriman menjadi saudara-saudara dan saudarisaudari dari “yang sulung di antara saudara-saudari” (Rom
8:29), terdapat kenyataan negatif akibat dosa, yang sering
“Kobarkanlah Sukacita Injil”
Refleksi Uskup Turang: untuk para imam dan umat Keuskupan Agung Kupang
merusak persaudaraan manusiawi dan terus menerus
mencoreng keindahan dan keluhuran dari keberadaan
saudara-saudari dalam satu keluarga umat manusia. Itulah
bukan hanya bahwa Kain tidak berpihak pada Abel; ia
membunuhnya karena kecemburuan, dan dengan berbuat
demikian, melakukan pembunuhan saudara yang pertama.
“Pembunuhan Kain atas Abel merupakan kesaksian tragis
dari penolakan mendasar atas panggilan mereka untuk
menjadi saudara-saudara. Kisah mereka ( cf. Kej 4:1-16)
menunjukkan tugas yang sulit yang memanggil semua pria
dan perempuan, untuk hidup bersatu, masing-masing
memperhatikan yang lain”2.
Juga dalam kisah keluarga Nuh dan anak-anaknya (cf. Kej
9:18-27). Penghinaan Ham terhadap Bapanya Nuh
menyebabkan Nuh mengutuk anaknya yang kurang ajar dan
memberkati anak-anak lain, yang menghormatinya.
Kenyataan ini menyebabkan suatu kesenjangan antara
saudara-saudara yang lahir dari rahim yang sama.
Dalam kisah asal-muasal dari keluarga manusiawi, dosa
pengasingan dari Allah, dari sosok bapa dan saudara,
menjadi suatu ungkapan penolakan akan persekutuan. Itu
melahirkan suatu budaya perbudakan (cf. Kej 9:25-27),
dengan segala akibatnya yang terentang dari generasi ke
generasi: penolakan akan orang-orang lain, pelecehan
terhadap pribadi-pribadi, pemerkosaan martabat dan hakhak asasinya, dan terlembagakannya kesenjangan. Oleh
karena itu, perlunya pertobatan terus menerus kepada
Perjanjian, yang terpenuhi oleh korban Jesus di salib,
2
Pesan Hari Perdamaian Sedunia 2014, 2
“Kobarkanlah Sukacita Injil”
Refleksi Uskup Turang: untuk para imam dan umat Keuskupan Agung Kupang
dengan keyakinan bahwa “di mana dosa bertambah banyak,
di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah …oleh
Yesus Kristus” (Rom 5:20-21). Kristus, Putra terkasih (cf.
Mt 3:17), datang untuk mewahyukan kasih Bapa bagi umat
manusia. Siapa saja yang mendengarkan Injil dan
menanggapi panggilan untuk pertobatan menjadi “saudara,
saudari dan ibu” Yesus (Mt 12:50), dan seorang anak angkat
dari Bapa-Nya(cf, Ef 1:5).
Seseorang tidak menjadi seorang Kristiani, seorang anak
dari Bapa dan seorang saudara atau saudari dalam Kristus,
sebagai hasil dari suatu pernyataan ilahi yang otoritatif,
tanpa tindakan kebebasan pribadi, yaitu tanpa secara bebas
bertobat kepada Kristus. Menjadi seorang anak Allah
niscayanya terhubungkan dengan pertobatan: “Bertobatlah
dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu
dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan
dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus”
(Kis 2:38). Semua mereka yang menanggapi dalam iman
dan hidup mereka akan kotbah Petrus masuk ke dalam
persaudaraan persekutuan Kristiani perdana(cf. 1Ptr 2:17;
Kis 1:15-16, 6:3, 15:23): Orang Yahudi dan Yunani, budak
dan orang merdeka (cf. 1Kor 12:13; Gal 3:28). Asal dan
status sosial yang berbeda tidak mengurangi martabat
seseorang
atau
mengucilkan
seseorang
dari
keterbilangannya pada Umat Allah. Persekutuan Kristiani
adalah sebuah tempat persekutuan yang dihayati dalam
kasih secara berbagi antara saudara-saudara dan saudarisaudari (cf. Rom 12:10; 1Tes 4:9; Ibr 13:1; 1Ptr 1:22; 2Ptr
1:7).
“Kobarkanlah Sukacita Injil”
Refleksi Uskup Turang: untuk para imam dan umat Keuskupan Agung Kupang
Semua ini memperlihatkan bagaimana Kabar Baik dari
Yesus Kristus, di dalam siapa Allah membuat “segalagalanya baru” (Why 21:5),3 juga mampu menebus relasirelasi manusiawi, termasuk antara para budak dan
majikannya, dengan menyinari apa yang keduanya punya
bersama: keputraan angkat dan ikatan persaudaraan dalam
Kristus. Yesus sendiri berkata kepada para murid-Nya:
“Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak
tahu, apa yang diperbuat tuannya, tetapi Aku menyebut
kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada
kamu segala sesuatu yang telah Ku-dengar dari bapa-Ku”
(Yoh 15:15).
Ragam wajah dari perbudakan kemarin dan sekarang
3. Sejak jaman dahulu kala, masyarakat-masyarakat yang
berbeda telah mengenal gejala penaklukan manusia atas
manusia. Terdapat masa dari sejarah manusia di mana
lembaga perbudakan pada umumnya diterima dan diatur
oleh undang-undang. Peraturan ini menegaskan siapa lahir
merdeka dan siapa lahir dalam perbudakan, juga syaratsyarat dengan mana seorang pribadi merdeka dapat
kehilangan kebebasan atau mendapatkannya kembali.
Dengan perkataan lain, undang-undang sendiri mengakui
bahwa sementara orang mampu atau harus dipandang milik
orang lain, yang dapat memperlakukannya dengan leluasa.
Seorang budak dapat dibeli dan dijual, dilepaskan atau
diperoleh, seakan-akan si pria atau perempuan itu adalah
sebuah barang dagangan.
3
Cfr. Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 11
“Kobarkanlah Sukacita Injil”
Refleksi Uskup Turang: untuk para imam dan umat Keuskupan Agung Kupang
Dewasa ini, sebagai hasil dari suatu perkembangan
kesadaran kita, perbudakan, yang dilihat sebagai suatu
kejahatan kemanusiaan,4 secara formal telah dihapus di
seluiruh dunia. Hak dari setiap pribadi tidak dipertahankan
dalam suatu keadaan perbudakan atau perhambaan, tetapi
telah diakui dalam undang-undang internasional sebagai
norma yang tidak dapat diganggu-gugat.
Namun, biarpun masyarakat internasional telah menerima
sejumlah kesepakatan yang bertujuan untuk mengakhiri
perbudakan dalam segala bentuknya, dan telah
mencanangkan pelbagai strategi untuk memerangi gejala ini,
jutaan orang dewasa ini – anak-anak, perempuan dan lakilaki dari semua usia – kehilangan kebebasan dan dipaksa
untuk hidup dalam keadaan layaknya perbudakan.
Saya berpikir tentang banyak pekerja laki-laki dan
perempuan, termasuk anak-anak di bawah umur,
diperbudakan dalam pelbagai sektor, baik formal maupun
informal, di tempat kerja domestik sampai pertanian, di
dalam industry manufaktur sampai industri pertambangan;
entah di Negara-negara di mana peraturan kerja gagal untuk
memenuhi kriteria internasional dan standar-standar
minimum, atau atas cara yang sama namun illegal, di
Negara-negara yang tidak mempunyai perlindungan hukum
bagi hak-hak pekerja.
4
Cfr. Amanat pada Delegazione international dell’Associazione di
Diritto Penale, 20 Oktober 2014: L’Osservatore Romano, 24 Oktober 2014,
hal. 4
“Kobarkanlah Sukacita Injil”
Refleksi Uskup Turang: untuk para imam dan umat Keuskupan Agung Kupang
Saya berpikir juga akan kondisi-kondisi hidup dari banyak
perantau, dalam pentas yang dramatik, mengalami
kelaparan, terampas dari kebebasan, kehilangan miliknya,
atau menanggung kekerasan fisik dan seksual. Saya juga
berpikir secara khusus tentang orang-orang di antara mereka
yang, sejak tiba di tempat tujuan sesudah suatu perjalanan
yang mengerikan yang ditandai oleh ketakutan dan ketidakpastian, ditahan dalam kondisi-kondisi yang tidak
manusiawi. Saya berpikir tentang orang-orang di antara
mereka, yang demi alasan-alasan sosial, politik dan sosial
yang berbeda, terpaksa hidup bersembunyi. Pikiran-pikiran
saya juga tertuju pada mereka, yang demi kepatuhan pada
undang-undang setuju pada kondisi-kondisi hidup dan kerja
yang memilukan, terutama dalam kasus-kasus di mana
undang-undang sebuah bangsa memberlakukan dan
mengizinkan suatu ketergantungan struktural dari pekerjapekerja perantau terhadap para majikan mereka, seperti
misalnya ketika izin tinggalnya dibuat tertera pada kontrak
kerja mereka… Ya, saya berpikir tentang “kerja
perbudakan”.
Saya berpikir juga tentang pribadi-pribadi yang dipaksa ke
dalam pelacuran, di mana terdapat banyak anak-anak di
bawah umur, juga budak-budak seks pria dan perempuan.
Saya berpikir akan perempuan-perempuan yang dipaksa
kawin dan yang dijual melalui pengaturan perkawinan dan
mereka yang dipaksa kawin dengan sanak saudara dari
suami-suami yang telah meninggal, tanpa satu pun hak
untuk memberi atau menolak persetujuan mereka.
“Kobarkanlah Sukacita Injil”
Refleksi Uskup Turang: untuk para imam dan umat Keuskupan Agung Kupang
Saya tidak dapat tidak berpikir akan semua mereka yang
diculik dan dijadikan tawanan oleh kelompok-kelompok
teroris, tunduk pada maksud-maksud mereka untuk
berperang, atau, terutama dalam kasus perempuanperempuan dan gadis-gadis belia, untuk dipakai sebagai
budak seks. Banyak dari mereka menghilang, sedangkan
yang lain dijual berkali-kali, disiksa, dimutilasi atau
dibunuh.
Beberapa alasan lebih mendalam dari perbudakan
4. Sekarang ini, seperti sedia kala, perbudakan berakar pada
suatu pengertian akan pribadi manusiawi yang
mengizinkannya diperlakukan sebagai suatu obyek. Di mana
saja dosa merusak hati manusia dan menjauhkan kita dari
Pencipta dan sesama kita, yang lain tidak lagi dipandang
sebagai makhluk yang bermartabat sama, sebagai saudara
dan saudari yang berbagi suatu kemanusiaan yang sama,
tetapi lebih sebagai obyek. Entah karena paksaan atau
penipuan, atau kekejaman fisik atau psikologis, pribadipribadi manusiawi yang diciptakan menurut gambaran dan
rupa Allah dilucuti dari kebebasan mereka, dijual dan
direndahkan menjadi milik orang-orang lain. Mereka
diperlakukan sebagai alat dan bukan sebagai suatu tujuan.
Berbarengan dengan alasan ontologis ini – penolakan akan
kemanusiaan pribadi yang lain – terdapat sebab-sebab lain
yang membantu untuk menjelaskan bentuk-bentuk semasa
dari perbudakan. Di antaranya, saya pikir pertama-tama
akan kemiskinan, keterbelakangan dan pengasingan,
utamanya ketika dikombinasikan dengan suatu ketiadaan
akses pada pendidikan atau lapangan kerja yang langka,
“Kobarkanlah Sukacita Injil”
Refleksi Uskup Turang: untuk para imam dan umat Keuskupan Agung Kupang
malahan tidak tersedia. Kadangkala, korban-korban
perdagangan manusia dan perbudakan adalah orang-orang
yang mencari suatu jalan keluar dari suatu situasi dari
kemiskinan yang parah; termakan oleh janji-janji akan
pekerjaan, seringkali mereka terdampar pada tangan-tangan
dari
jejaring
kejahatan
yang
mengorganisasikan
perdagangan manusia. Jejaring ini sangat trampil dalam
menggunakan sarana komunikasi moderen sebagai suatu
cara untuk membujuk laki-laki dan perempuan muda di
pelbagai belahan dunia.
Sebab lain dari perbudakan adalah korupsi orang-orang
yang ingin berbuat apa saja demi perolehan keuangan. Kerja
perbudakan dan perdagangan manusia sering mendapat
persetujuan dari perantara-perantara, entah mereka pegawai
penegakan hukum, petugas-petugas Negara, atau lembagalembaga sipil dan militer. ”Hal ini terjadi bila uang, dan
bukan pribadi manusiawi, adalah pusat dari suatu sistem
ekonomi. Ya, pribadi, yang diciptakan dalam gambaran
Allah dan bertanggungjawab menaklukkan seluruh ciptaan,
harus menjadi pusat setiap sistem sosial atau ekonomi. Bila
pribadi manusiawi digantikan oleh mammon, suatu
ketumpulan nilai-nilai terjadi”5.
Sebab-sebab yang menyertai perbudakan mencakup
pertikaian bersenjata, kekerasan, kegiatan kriminal dan
terorisme. Banyak orang diculik untuk dijual, dipaksa
menjadi tentara, atau dieksploitasi secara seksual, sedangkan
yang lain dipaksa untuk beremigrasi, dengan meninggalkan
5
Amanat bagi para peserta Pertemuan Mondial dari Movimenti
popolari, 28 Oktober 2014: L’Osservatore Romano 2014, hal. 7
“Kobarkanlah Sukacita Injil”
Refleksi Uskup Turang: untuk para imam dan umat Keuskupan Agung Kupang
segalanya: negerinya, rumahnya, miliknya dan malahan
anggota-anggota keluarga mereka. Mereka terdorong untuk
mencari suatu alternatif dari kondisi-kondisi yang
menakutkan ini, malahan dengan membahayakan martabat
pribadi dan hidup mereka sendiri; mereka mengambil resiko
masuk ke dalam lingkaran setan yang membuat mereka
mangsa dari kemelaratan, korupsi dan akibat-akibat yang
berbahaya.
Sebuah komitmen bersama untuk mengakhiri perbudakan
5. Seringkali, sewaktu menyaksikan kenyataan perdagangan
manusia, peredaran illegal dari kaum perantau dan bentukbentuk lain yang diketahui atau yang tidak diketahui dari
perbudakan, seseorang punya kesan bahwa mereka terjadi
dalam suatu konteks ketidak-pedulian yang lumrah.
Sedihnya, jika sebagian besar memang benar, maka saya
ingin menyebut usaha-usaha yang besar dan sering
tersembunyi yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh
Kongregasi-kongregasi hidup bakti, utamanya Kongregasikongregasi perempuan, untuk menyediakan bantuan bagi
para korban. Lembaga-lembaga ini bekerja dalam situasisituasi yang sulit, yang sering diliputi oleh kekerasan,
sewaktu mereka bekerja untuk memutuskan rantai-rantai tak
kelihatan yang membelenggu para korban tergantung pada
para pelaku perdagangan dan para pelaku kejahatan. Rantairantai tersebut yang tertenun atas mekanisme-mekanisme
psikologis yang rumit, sehingga membuat para korban
tergantung pada para pelaku kejahatan. Hal ini dilaksanakan
dengan kampanye hitam dan ancaman-ancaman yang
ditujukan pada diri mereka dan yang dikasihinya, tetapi juga
“Kobarkanlah Sukacita Injil”
Refleksi Uskup Turang: untuk para imam dan umat Keuskupan Agung Kupang
oleh tindakan-tindakan konkrit seperti penahanan dokumendomkumen jati diri dan kekerasan fisik. Kegiatan dari
Kongregasi-kongregasi hidup bakti tersuarakan melalui tiga
bidang utama : memberikan bantuan bagi para korban,
bekerja bagi rehabilitasi psikologis dan pendidikan, dan
upaya-upaya untuk memasukkan kembali mereka ke dalam
masyarakat di mana mereka hidup atau dari mana mereka
berasal.
Pekerjaan yang besar ini, yang meminta keberanian,
kesabaran dan ketekunan, layak mendapat penghargaan dari
seluruh Gereja dan masyarakat. Namun, pekerjaan itu pada
galibnya tidaklah cukup untuk mengakhiri coreng
pengrusakan pribadi manusiawi. Terdapat juga kebutuhan
akan suatu komitmen berlipat tiga pada tingkat
kelembagaan: pencegahan, perlindungan korban dan
penegakan hukum terhadap mereka yang bertanggungjawab.
Apalagi, karena organisasi-organisasi kejahatan memakai
jejaring global untuk mencapai tujuan mereka, maka usahausaha untuk melenyapkan gejala ini juga meminta suatu
usaha bersama dan semestinya bercorak global pada pihak
pelbagai pelaku yang menghimpun masyarakat.
Negara-negara harus menjamin bahwa perundang-undangan
mereka sejatinya menghormati martabat pribadi manusiawi
dalam bidang migrasi, pekerjaan, pengakuan, gerakan
perdagangan lepas pantai dan penjualan barang-barang yang
dihasilkan oleh kerja perbudakan. Perlu undang-undang
yang adil yang berpusat pada pribadi manusiawi, merangkul
hak-hak asasi manusiawi dan memulihkan hak-hak bila hakhak tersebut telah diganggu-gugat. Undang-undang
“Kobarkanlah Sukacita Injil”
Refleksi Uskup Turang: untuk para imam dan umat Keuskupan Agung Kupang
demikian harus juga menyediakan rehabilitasi bagi para
korban, menjamin keamanan pribadi mereka, dan
melibatkan alat penegakan yang efektif, yang tidak
memberikan ruang bagi korupsi dan impunitas. Peran kaum
perempuan dalam masyarakat juga harus diakui, sekurangkurangnya prakarsa-prakarsa dalam sektor-sektor budaya
dan komunikasi sosial guna mencapai hasil-hasil yang
diharapkan.
Organisasi-organisasi antarpemerintah, sambil memelihara
prinsip subsidiaritas, dipanggil untuk mengkoordinasikan
prakarsa-prakarsa guna memerangi jejaring transnasional
dari kejahatan terorganisir yang mengawasi perdagangan
pribadi-pribadi dan perdagangan illegal dari para perantau.
Kerjasama yang jelas diperlukan pada sejumlah tingkatan,
yang
melibatkan
lembaga-lembaga
nasional
dan
internasional, seperti organisasi-organisasi masyarakat sipil
dan dunia usaha.
Perusahan-perusahan6 mempunyai kewajiban untuk
menjamin kondisi-kondisi kerja yang bermartabat dan
balaskarya yang layak bagi para pekerja mereka, tetapi
mereka harus juga awas sehingga bentuk-bentuk dari
perbudakan atau perdagangan manusia tidak mendapat jalan
masuk dalam rantai distribusi. Bersama dengan
tanggungjawab sosial dari perusahan, terdapat juga
tanggungjawab sosial dari para konsumen. Setiap pribadi
6
Dewan Kepausan Yustitia et Pax, Panggilan pemimpin Perusahan.
Sebuah refleksi, Milano e Roma, 2013
“Kobarkanlah Sukacita Injil”
Refleksi Uskup Turang: untuk para imam dan umat Keuskupan Agung Kupang
harus mempunyai kesadaran bahwa “membeli selalu adalah
suatu tindakan moral – bukan semata-mata ekonomis – “7
Organisasi-organisasi dalam masyarakat sipil, pada
pihaknya, mempunyai tugas membangkitkan hati nurani dan
memajukan langkah-langkah apa saja yang perlu untuk
memerangi dan mencabut budaya perbudakan.
Dalam tahun-tahun akhir-akhir ini, Takhta Suci, yang peduli
akan rasa sakit dari para korban perdagangan dan suara dari
Kongregasi-kongregasi hidup bakti yang membantu mereka
menuju kebebasan, telah meningkatkan tuntutantuntutannya kepada masyarakat internasional, agar
kerjasama dan kolaborasi antara para pelaku yang berbeda
untuk mengakhiri coreng ini.8 Pertemuan-pertemuan telah
diselenggarakan untuk menarik perhatian pada gejala
perdagangan manusia dan memperlancar kerjasama antara
pelbagai lembaga pelaku, termasuk para pakar dari
universitas-universitas
dan
organisasi-organisasi
internasional, kesatuan polisi dari Negara-negara asal,
tempat transit, atau tempat tujuan para migran, dan
perwakilan kelompok-kelompok gerejawi yang bekerja
demi kebaikan para korban. Harapan saya bahwa usahausaha ini akan berkelanjutan dan menjadi kuat di tahuntahun mendatang.
7
Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in veritate, 66
Cfr. Pesan kepada Tuan Guy Ryder, Direktur Umum dari
Organizzazione Internazionale del Lavoro, Sidang ke-103 dari Konferensi
ILO, 22 Mei 2014: L’Osservatore Romano, 29 Mei 2014, hal. 7
8
“Kobarkanlah Sukacita Injil”
Refleksi Uskup Turang: untuk para imam dan umat Keuskupan Agung Kupang
Globalisasi persaudaraan, bukan perbudakan atau
ketidak-pedulian
6. Di dalam “pewartaannya akan kebenaran kasih Kristus
dalam masyarakat”9, Gereja terus menerus melibatkan diri
dalam kegiatan-kegiatan cintakasih yang diilhami oleh
kebenaran akan pribadi manusiawi. Gereja berkewajiban
untuk menunjukkan kepada semua orang jalan kepada
pertobatan, yang memampukan kita untuk mengubah cara
pandang terhadap sesama, untuk mengakui dalam setiap
pribadi yang lain seorang saudara dan saudari dalam
keluarga manusiawi kita, dan untuk mengakui martabat
nuraninya dalam kebenaran dan kebebasan. Hal ini dapat
dilihat dengan jelas dari kisah Josephine Bahkita, seorang
kudus yang berasal dari daerah Narfour di Sudan yang
diculik oleh para pedagang budak dan dijual kepada para
majikan yang kejam sewaktu dia berusia 9 tahun.
Selanjutnya – sebagai suatu akibat dari pengalaman yang
menyakitkan – dia menjadi seorang “ putri merdeka dari
Allah” karena imannya, dan hidup dalam pengabdian hidup
bakti dan dalam pengabdian bagi orang-orang lain,
utamanya yang paling hina dan tanpa bantuan. Orang kudus
ini, yang hidup menjelang abad keduapuluh, pun sekarang
ini menjadi saksi teladan dari10 pengharapan bagi banyak
korban perbudakan; dia dapat menyokong usaha-usaha dari
semua orang yang bertekad melawan “coreng pada tubuh
masyarakat semasa, sebuah coreng pada tubuh Kristus”.11
9
Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in veritate, 5
Benediktus XVI, Ensiklik Spe salvi, 3
11
Amanat bagi para Peserta Konferensi Internasional II tentang
Combatting Human Trafficking: Church and Law Enforcement in
10
“Kobarkanlah Sukacita Injil”
Refleksi Uskup Turang: untuk para imam dan umat Keuskupan Agung Kupang
Dalam terang kenyataan ini semua, saya mengundang setiap
orang, sesuai dengan peran dan tanggungjawab yang
spesifik,
untuk
melakukan
perbuatan-perbuatan
persaudaraan terhadap mereka yang tertawan dalam keadaan
perbudakan. Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri,
sebagai individu dan persekutuan, entah kita merasa
tertantang ketika, dalam hidup harian, kita berjumpa atau
berbicara dengan pribadi-pribadi yang dapat menjadi
korban-korban dari perdagangan manusia, atau ketika kita
tergoda untuk memilih barang-barang yang mungkin
dihasilkan oleh penyala-gunaan orang-orang lain. Beberapa
dari kita, karena ketidak-pedulian, atau sebab kita
terperangkap dalam keprihatinan harian kita atau karena
alasan ekonomi, menutup mata kita terhadap kenyataan ini.
Namun orang-orang lain memutuskan berbuat sesuatu untuk
kenyataan ini, bergabung dengan serikat-serikat sipil atau
melakukan perbuatan kecil setiap hari – yang begitu mulia !
– seperti memberi sapaan yang baik, salam, “selamat pagi”
atau sebuah senyuman. Hal-hal ini tidak membebani kita,
tetapi mereka dapat memberikan harapan, pintu terbuka, dan
mengubah hidup pribadi yang lain yang hidup secara
tersembunyi; mereka dapat juga mengubah hidup kita
sendiri dengan menghormati kenyataan ini.
Kita harus mengakui bahwa kita menghadapi sebuah gejala
global yang melebihi kompetensi dari komunitas atau
Negara apa saja. Guna melenyapkannya, kita perlu suatu
mobilisasi yang sebanding dengan besarnya gejala itu. Demi
partnership, 10 April 2014: L’Osservatore Romano, 11 April 2014, hal. 7
Cfr. Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 270.
“Kobarkanlah Sukacita Injil”
Refleksi Uskup Turang: untuk para imam dan umat Keuskupan Agung Kupang
alasan ini dengan mendesak saya meminta semua laki-laki
dan perempuan yang berkemauan baik, dan semua yang
dekat dan yang jauh, termasuk tingkatan tinggi dari
lembaga-lembaga sipil, yang menyaksikan coreng dari
perbudakan sesama, agar tidak merasa nyaman dengan
kejahatan ini, tidak memalingkan diri dari penderitaanpenderitaan saudara dan saudari kita, teman-teman makhluk
manusiawi kita, yang terampas dari kebebasan dan martabat
mereka. Sebaliknya, mudah-mudahan kita mempunyai
keberanian untuk menyentuh penderitaan tubuh dari
Kristus,12 yang terungkap dalam wajah-wajah pribadipribadi yang tak terbilang, yang disebut-Nya “yang terhina
dari saudara-saudari-Ku ini” (Mt 25:40, 45).
Kita tahu bahwa Allah akan meminta dari masing-masing
kita: apa yang telah engkau lakukan bagi saudaramu? (cf.
Kej 4:9-10). Globalisasi dari ketidak-pedulian, yang dewasa
ini membebani hidup demikian banyak saudara-saudari kita,
menuntut kita semua menjadi seniman dari globalisasi
solidaritas dan persaudaraan baru yang mampu memberikan
mereka harapan baru dan membantu mereka melangkah
dengan keberanian melalui persoalan-persoalan dari jaman
kita dan cakrawala baru yang terbuka bagi mereka dan yang
Allah tempatkan di tangan-tangan kita.
Dari Vatikan, 8 Desember 2014
PAUS FRANSISKUS
Terjemahan Mgr. P.Turang dari Bahasan Inggeris/Italia.
12
Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 24; 270.
Download