Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Fasilitator dalam Pelaksanaan

advertisement
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA FASILITATOR DALAM
PERJANJIAN KERJA PNPM MANDIRI PERDESAAN
1.
HAKIKAT PERLINDUNGAN HUKUM
Menurut Sudargo Gautama, perlindungan hukum adalah tindakan negara
terhadap warga negara yatiu termasuk keamanan warga negara dan haknya.
Perlindungan hukum bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa (preventif)
dan untuk menyelesaikan masalah (represif).1
Dalam Black’s Law Dictionary, menjelaskan perlindungan hukum yaitu:
“The equal protection of the law of a state in extended to persons
within its jurisdictions, within the meaning of the constitutional
requirement, when its court are open to them on the same conditions
as to others, with like rules of evidence and modes of procedure, for
the security of their persons and property, the prevention and redress
of wrongs, and the enforcement of contracts; when they are subjected
to no restrictions in the acquisition of property, the enjoyment of
personal liberty, and the pursuit of happiness, which do not generally
affect other; when the are liable to no other or greater burdens and
charges than such as are laid upon others; and when no different or
greater punishment is enforced againt them for a violation of the laws.
State v. Montgomery, 94 Me. 192,47 A.165.”2
Maksud dari pengertian di atas adalah persamaan akan adanya perlindungan
yang sama terhadap hukum suatu negara, diberikan secara meluas kepada seluruh
warga negara termasuk hak umum (dalam arti konstitusional). Pengadilan terbuka
dalam kondisi atau keadaan yang sama untuk semua warga negara, seperti
contohnya, peraturan mengenai peraturan atas barang bukti dan prosedur-prosedur
1
Sudargo Gautama, Pengertian Negara Hukum, Alumni, 1983, hlmn., 25.
Campbell Black, Henry, M.A, Black’s Law Dictionary, St., Paul Minn West
Pusblishing Co., 1968, yang dikutip dalam Skripsi R. Wahyu Mukti, Fakultas Hukum UKSW,
2004.
2
1
lainnya. Perlindungan hukum untuk keamanan warga negara dan hak miliknya,
pencegahan dan perbaikan kesalahan serta mengenai perjanjian kontrak.
Hal tersebut muncul ketika warga negara menjadi subjek ketidakterbatasan
dalam kepemilikan/penguasan akan hak milik seseorang dan di saat hak untuk
menikmati
kebebasan
pribadi
dan
mendapatkan
kebahagiaan
untuk
mempengaruhi pihak lainnya. Serta ketika beban dan tuntutan dilimpahkan atau
dikenakan kepada orang lain yang tidak bersalah dan juga ketika tidak adanya
pembedaan di saat hukuman berat dipaksakan kepada mereka karena adanya
pelanggaran hukum. Kemudian dijelaskan lebih lanjut:
“Equal protection of the law means that equal protection and security shall
be given to all under like circumstances in his life, his liberty and his
property, and in the pursuit of happiness, and in the exemption from any
greater burdens and charges than are equally imposed upon all others
under like circumstances (Sovereign Camp, W.O.W., v. Casodos, D.C.N.M.,
Supp. 989, 994).”3
Persamaan akan adanya perlindungan hukum berarti bahwa persamaan
perlindungan dan keamanan terhadap warga negara harus diberikan kepada semua
warga negara dalam tiap kondisi dan situasi, dalam mendapatkan kemerdekaan
dan hak milik mereka dalam mendapatkan kebahagiaan dan pembebasan dari
segala beban kesalahan dan tuntutan yang dijatuhkan atau dibebankan kepada
semua dalam kondisi dan situasi yang sama.
Senyatanya dalam Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia
secara substansial memuat pengakuan terhadap hak asasi manusia, yaitu tidak lain
mengenai pengakuan dan penjaminan atas hak-hak setiap orang sebagai bentuk
suatu perlindungan, sebagai yang termuat dalam Pasal 28D yang menyatakan
3
Ibid.
2
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Selanjutnya, dalam bidang ketenagakerjaan, perlindungan hukum terhadap
tenaga kerja bertujuan untuk menjamin berlangsungnya sistem hubungan kerja
secara harmonis tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak
yang lemah. Dengan pengertian, pengusaha atau pemberi pekerjaan wajib
melaksanakan ketentuan perlindungan sesuai kaidah atau ketentuan peraturan
perundang-undangan, bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan
untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan
pekerja sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam UUD 1945 disebutkan
bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”, termuat dalam Pasal 27 ayat (2). Selanjutnya Pasal 28D
ayat (2) menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Perlindungan pekerja dapat dilakukan dengan jalan memberikan tuntunan,
maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia,
perlindungan fisik dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui norma yang
berlaku dalam lingkungan kerja itu. Perlindungan kerja ini akan mencakup:4
1.
Norma keselamatan kerja, yang meliputi keselamatan kerja yang
bertalian dengan mesin, pesawat, alat-alat kerja, bahan dan proses
pengerjaannya, keadaan tempat kerja dan lingkungan, serta cara-cara
melakukan pekerjaan;
4
Lalu Husni, Pengantar Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2004, hlmn., 96.
3
2.
Norma kesehatan kerja dan Higiene Kesehatan Perusahaan yang
meliputi,
pemeliharaan
dan
mempertinggi
kesehatan
pekerja,
dilakukan dengan mengatur pemberian obat-obatan, dan perawatan
tenaga kerja yang sakit;
3.
Norma kerja yang meliputi, perlindungan terhadap tenaga kerja yang
bertalian dengan waktu bekerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti,
tenaga kerja wanita dan anak, kesusilaan, ibadah menurut agama
keyakinan masing-masing yang diakui oleh pemerintah, kewajiban
sosial kemasyarakatan, dan sebagiannya guna memelihara kegairahan
dan moril kerja yang menjamin daya guna kerja yang tinggi, serta
menjaga perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral;
dan
4.
Kepada tenaga kerja yang mendapatkan kecelakaan dan/atau
menderita penyakit akibat pekerjaan, berhak atas ganti rugi perawatan
dan rehabilitasi akibat kecelakaan dan/atau penyakit akibat pekerjaan,
ahli warisnya berhak mendapat ganti rugi.
Ruang lingkup perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh menurut
Undang-Undang Ketenagakerjaan meliputi:5
1.
Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding
dengan pengusaha;
2.
Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja;
3.
Perlindungan khusus bagi pekerja perempuan, anak, dan penyandang
cacat; dan
5
Ibid.
4
4.
Perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga
kerja
Dengan pengertian, memberikan perlindungan bahwa setiap tenaga kerja
berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan
aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang
bersangkutan, termasuk pengakuan yang sama terhadap penyandang cacat. Dan
mewajibkan kepada pengusaha untuk memberikan hak dan kewajiban
pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit,
dan aliran politik.
Menurut Imam Soepomo dalam Zainal Asikin perlindungan tenaga kerja
dibagi menjadi 3 macam yaitu:6
1.
Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu
bekerja diluar kehendaknya;
2.
Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
jaminan kesehatan kerja dan kebebasan berserikat dan perlindungan
hak untuk berorganisasi; dan
3.
Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
keamanan dan keselamatan kerja.
Ketiga jenis perlindungan di atas mutlak harus dipahami dan dilaksanakan
sebaik-baiknya oleh pengusaha sebagai pemberi kerja. Jika pengusaha melakukan
pelanggaran, akan dikenakan sanksi.
6
Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hlmn., 96.
5
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, perlindungan hukum terhadap
tenaga kerja diartikan sebagai pengakuan dan jaminan yang diberikan oleh hukum
dalam satu hubungan industrial yang menekankan kemitraan dan kesamaan
kepentingan, sehingga dapat memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja
secara optimal, melindungi hak-hak dan kepentingan pekerja, menjamin
kesempatan kerja dan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi, menciptakan
hubungan kerja yang harmonis, menciptakan ketenangan bekerja dan ketenangan
berusaha, meningkatkan produktivitas perusahaan, memberikan kepastian hukum
bagi pekerja dan pada akhirnya mewujudkan masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil dan makmur, dan merata baik materiil dan spiritual.
2.
KAIDAH PERJANJIAN KERJA
Dalam subbab ini, akan diuraikan mengenai kaidah perjanjian kerja, dan
uraian akan menyangkut, yang pertama adalah tinjauan umum mengenai
perjanjian kerja, atau biasa disebut dengan kontrak, yang di dalamnya dibahas
tentang peristilahan dan pengertian tentang kontrak, asas-asas hukum kontrak,
syarat sahnya kontrak, unsur-unsur kontrak, dan hapusnya suatu kontrak.
Lalu, pembahasan kedua akan menyangkut tinjauan tentang kontrak yang
lebih spesifik, yaitu kontrak kerjasama. Siapakah para pihak dalam kontrak
tersebut, bagaimana pelaksanaannya, apakah yang dimaksud dengan prestasi dan
wanprestasi, serta tentang ganti kerugian, semuanya akan dikupas di subbab ini.
2.1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja atau Kontrak
Seperti telah dinarasikan di atas, bahwa pembahasan akan dilakukan mulai
dari umum lalu ke bagian yang lebih khusus. Agar pembahasan dan analisis dapat
6
dengan mudah dipahami, maka Penulis akan menguraikan atau membahas dan
menganalisa secara detail bagian per bagian. Diantaranya adalah sebagai berikut:
2.1.1. Peristilahan dan Pengertian
Istilah kontrak dan perjanjian dalam penggunaannya tidak memiliki
pengertian yang berbeda, baik dalam teori maupun dalam praktik, sekalipun ada
pendapat lain yang secara teoritis menyimpulkan bahwa perjanjian itu dinamakan
juga persetujuan bukan kontrak. Dengan dasar pemikiran bahwa karena dalam
perjanjian itu terdapat dua pihak yang setuju, sehingga perjanjian dan persetujuan
memiliki pengertian yang sama, sedangkan kontrak lebih sempit karena ditujukan
kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.7
Walaupun demikian, ada pendapat ahli yang tidak membedakan kontrak dan
perjanjian, dengan dasar pemikiran bahwa pembagian antara hukum kontrak dan
hukum perjanjian tidak diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW), karena dalam BW
hanya mengatur perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undangundang.8
Pengertian kontrak berdasarkan Pasal 1313 BW bahwa, ”Suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih”. Pengertian ini sangat luas dan tidak
lengkap, karena kata “perbuatan” mencakup juga perjanjian dalam hukum
keluarga dan perbuatan melawan hukum. Selanjutnya tidak lengkap karena kata
“satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”,
7
Subekti, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika,
2009, hlmn., 14.
8
Ibid.
7
maka hanya ditujukan pada kontrak yang sepihak saja, padahal seharusnya juga
meliputi kontrak dua pihak.9
Berdasarkan hal tersebut maka pengertian kontrak menurut Penulis adalah
suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang
saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
2.1.2. Asas-Asas Hukum Kontrak
Suatu aturan atau norma pada hakikatnya mempunyai dasar filosofis serta
pijakan asas atau prinsip sebagai rohnya. Merupakan kejanggalan bahkan konyol
apabila suatu norma tidak mempunyai dasar filosofis serta pijakan asas atau
prinsip dalam konteks operasionalnya. Suatu norma tanpa landasan filosofis serta
pijakan asas, ibarat manusia yang “buta dan lumpuh”. Terkait dengan pengertian
“asas” atau “prinsip” yang dalam bahasa Belanda disebut “beginsel” atau
“principle” (bahasa Inggris) atau dalam bahasa Latin disebut “principium” (yang
berasal dari dua kata yaitu, “primus” artinya pertama, dan “capere” artinya
mengambil atau menangkap), secara leksikal berarti bahwa, hal tersebut
merupakan sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berpikir atau bertindak atau
kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya.10
Kedudukan asas hukum dalam semua sistem hukum yang di dalamnya
mengatur sistem norma hukum mempunyai peranan yang penting. Asas hukum
merupakan landasan atau pondasi yang menopang kukuhnya suatu norma hukum,
yang artinya bahwa posisi asas hukum adalah sebagai meta-norma hukum, yang
berfungsi sebagai pondasi yang memberikan arah, tujuan, serta penilaian
9
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 2005, hlmn.,
18.
10
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, Jakarta: Kencana, 2010, hlmn., 21.
8
fundamental, mengandung nilai-nilai, dan tuntutan-tuntutan etis bagi keberadaan
norma hukum.11
Dapat diketahui bahwa, asas merupakan latar belakang dari peraturan
konkret, karena asas sebagai dasar pemikiran umum dan abstrak yang mendasari
lahirnya setiap peraturan hukum. Dalam hukum kontrak terdapat beberapa asasasas, yaitu sebagai berikut:12
a.
Asas Konsensualisme
Asas ini berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Menurut asas ini
setiap perjanjian harus didasarkan pada kesepakatan kedua pihak. Suatu perjanjian
harus lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua
pihak mengenai hal-hal pokok yang menjadi objek perjanjian. Kesepakatan tidak
boleh dengan adanya paksaan, tipuan, kekhilafan, atau ketidaksadaran. Sejak pada
detik kesepakatan itulah para pihak telah terikat dengan suatu aturan atau
hukum.13
Asas ini terdapat pada Pasal 1320 KUHPerdata ayat (1), yang menjelaskan
bahwa, “Salah satu syarat perjanjian adalah sepakat antara kedua belah pihak”.
Pihak-pihak yang sudah sepakat berarti terikat pula pada aturan hukum atau
undang-undang. Hal ini diatur pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
menyebutkan, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Pasal tersebut mengandung pengertian bahwa para pihak yang telah
membuat perjanjian yang sah secara hukum berarti telah membuat undang-undang
11
12
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlmn., 45.
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009,
hlmn., 79.
13
Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perjanjian dalam Kebutuhan Masyarakat,
Bandung, PT. Remaja Roskarya, 1995, hlmn., 114-115.
9
bagi dirinya sendiri. Konsekuensi dari suatu undang-undang adalah para pihak
terikat dan wajib memenuhi isi dari suatu undang-undang, dan pemenuhannya
dapat dipaksakan serta memiliki sanksi bagi yang melanggar. Hal ini juga berlaku
dalam perjanjian, karena perjanjian kedudukannya dianggap sama dengan undangundang.14
b.
Asas Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dapat diartikan bahwa, asas ini
memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk mengadakan perjanjian,
meliputi sebagai berikut:15
1)
bebas menentukan apakah ia akan melakukan kontrak atau tidak;
2)
bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan kontrak;
3)
bebas untuk menentukan isi atau klausul kontrak;
4)
bebas untuk menentukan bentuk kontrak; dan
5)
kebebasan-kebebasan lainnnya yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
c.
Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Maksud asas ini adalah setiap orang yang membuat kontrak terikat untuk
memenuhi kontrak, karena kontrak itu mengandung janji-janji yang harus
dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya
undang-undang. Lebih lanjut, walaupun terhadap sesuatu yang tidak diatur dengan
tegas dinyatakan dalam isi perjanjian, tetapi memiliki kekuatan mengikat seperti
kebiasaan, kepatuhan, dan kepatutan. Hal ini diatur dalam Pasal 1339
KUHPerdata yang menyebutkan: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk
14
15
Ibid.
Ibid.
10
hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang”. Selain itu, diatur pula pada Pasal 1347 KUHPerdata,
menyebutkan: “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan,
meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.”16
d.
Asas Iktikad Baik
Asas ini dijelaskan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yaitu: “Suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Jadi asas ini mengatur niat
para pihak dalam membuat perjanjian, bahwa segala perjanjian harus dilandasi
dengan iktikad baik, iktikad baik dalam pelaksanaan isi perjanjian maupun iktikad
baik dalam arti kejujuran pihak yang membuatnya.17
e.
Asas Keseimbangan
Menurut Herlien Budiono, asas keseimbangan di dalam disertasinya diberi
makna dalam dua hal, yaitu pertama, Asas keseimbangan sebagai asas etikal yang
bermakna suatu “keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan
seimbang”. Makna keseimbangan di sini berarti pada satu sisi dibatasi kehendak
(berdasar pertimbangan atau keadaan yang menguntungkan). Dalam batasan
kedua sisi tersebut, keseimbangan dapat diwujudkan.18 Kedua, asas keseimbangan
sebagai asas yuridikal artinya asas keseimbangan dapat dipahami asas yang layak
16
Ibid.
Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perjanjian dalam Kebutuhan Masyarakat,
Bandung, PT. Remaja Roskarya, 1995, hlm., 108-113.
18
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum
Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlmn.,
304-305.
17
11
atau adil, dan selanjutnya diterima sebagai landasan keterikatan yuridikal dalam
hukum kontrak Indonesia.19
Berdasarkan pernyataan di atas, disimpulkan bahwa, asas keseimbangan
dapat dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisi tawar para pihak dalam
menentukan hak dan kewajibannya dalam perjanjian, sehingga ketidakseimbangan
posisi akan menimbulkan ketidakadilan.
2.1.3. Syarat Sahnya Kontrak
Syarat sahnya kontrak diatur berdasarkan Pasal 1320 BW, yaitu:
1)
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2)
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3)
suatu hal tertentu; dan
4)
suatu sebab yang halal.
Kedua syarat yang pertama disebut syarat subjektif, disebabkan kedua
syarat tersebut mengenai subjek kontrak. Sedangkan kedua syarat terakhir disebut
syarat objektif, disebabkan mengenai objeknya kontrak. Kesepakatan para pihak
merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat
terjadi dengan berbagai cara, tetapi yang penting adalah adanya penawaran dan
penerimaan atas penawaran tersebut.20
Penawaran (aanbod; offerte; offer) diartikan sebagai pernyataan kehendak
yang mengandung usul untuk mengadakan kontrak, sedangkan penerimaan
(aanfarding; acceptatie; acceptance) merupakan pernyataan setuju dari pihak lain
yang ditawari.21
19
Ibid., hlmn., 307.
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., hlmn., 160.
21
Ibid, hlmn., 162.
20
12
Kesepakatan yang dicapai dapat mengalami kecacatan atau cacat kehendak
apabila kesepakatan terjadi karena kekhilafan atau kesesatan, paksaan, dan
penipuan. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1321 BW, dan penyalahgunaan
keadaan yang tidak diatur dalam BW tetapi muncul dalam perkembangan hukum
kontrak.
Terdapat beberapa teori terjadinya kesepakatan, antara lain:22
a. Teori Pengiriman
Teori ini mengajarkan bahwa, sepakat terjadi pada saat kehendak yang
dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
b. Teori Penerimaan
Teori ini mengajarkan bahwa, kesepakatan terjadi pada saat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.23
c. Teori Kehendak
Teori ini menitikberatkan kepada kehendak, sehingga pernyataan yang tidak
sesuai dengan kehendak tidak mengikat dan karena itu tidak mungkin
menimbulkan perjanjian. Teori ini tidak dianut secara murni tetapi diperhalus
untuk memenuhi rasa keadilan, maka teori kehendak ini diperlengkap dengan
teori bahwa yang menimbulkan bahaya akan adanya salah paham pada pihak lain
harus menanggung resiko kerugian dari pihak lain.
Mengenai kecakapan, pada dasarnya semua orang yang sudah dewasa dan
sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum, sedangkan orang-orang yang tidak
cakap menurut hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1330 BW, yaitu
orang-orang yang belum dewasa, dan mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
22
23
Ibid.
Ibid, hlmn., 164.
13
Sedangkan ketentuan mengenai orang-orang perempuan dalam hal-hal yang
ditetapkan oleh undang-undang adalah orang yang tidak cakap hukum, tetapi
dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1963, maka orang-orang perempuan tersebut dianggap cakap
hukum, sehingga dalam hal melakukan perbuatan hukum tidak perlu lagi dengan
bantuan suaminya.24
Ketentuan tidak cakap hukum dalam Pasal 1330 BW mengenai semua
orang-orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjianperjanjian tertentu, sebenarnya tidak tergolong sebagai orang yang tidak cakap
hukum, tetapi hanya tidak berwenang membuat perjanjian tertentu.
Tidak cakap dan tidak berwenang adalah sesuatu yang berbeda, yang
dimaksud tidak cakap adalah mengenai seluruh kedudukan hukum seseorang,
sedangkan yang tidak berwenang hanya mengenai beberapa tindakan hukum yang
tidak dapat dilakukan seseorang. khususnya mengenai ketentuan kedewasaan
seseorang yang dalam istilah BW adalah kebelumdewasaan, yang adalah orang
yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.25
Hal tertentu merupakan objek perjanjian berupa barang dan jasa atau tidak
berbuat sesuatu. Barang yang dimaksud sebagaimana yang diatur dalam Pasal
1332-1335 BW, yaitu benda-benda yang telah ada maupun yang akan ada di
kemudian hari, dan jasa yang dimaksud yaitu keahlian maupun tenaga, sedangkan
tidak berbuat sesuatu yang dimaksud yaitu bukan barang maupun jasa yang
diperjanjikan, tetapi prestasi tidak berbuat sesuatu yang diperjanjikan.
24
25
Ibid.
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlmn., 49.
14
Suatu sebab yang halal adalah isi perjanjian. Sebagai maksud yang dituju
oleh para pihak, sedangkan alasan atau sebab seseorang membuat perjanjian itu
bukan yang dimaksud suatu sebab yang halal. Istilah kata halal bukanlah lawan
kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah
bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan.26
2.1.4. Unsur-Unsur Kontrak
Dalam suatu kontrak terdapat 3 (tiga) unsur, yaitu sebagai berikut:27
a)
Unsur Essensialia
Unsur essensialia merupakan unsur yang harus ada dalam suatu kontrak,
karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur essensialia ini, maka tidak ada
kontrak.
b)
Unsur Naturalia
Unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang,
sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, maka undangundang yang mengaturnya. Unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu
dianggap ada dalam kontrak sepanjang tidak diatur lain oleh para pihak.
c)
Unsur Aksidentalia
Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti ada atau mengikat para
pihak, jika para pihak memperjanjikannya.
26
Ibid.
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2011, hlmn., 381.
27
15
2.1.5. Hapusnya Kontrak
Pada dasarnya perikatan dan kontrak berbeda, tetapi ketentuan mengenai
hapusnya perikatan dalam BW merupakan ketentuan hapusnya kontrak. Hal ini
yang diatur dalam Pasal 1381 BW, bahwa:
“Perikatan-perikatan hapus karena pembayaran, penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan,
pembaharuan
utang,
perjumpaan
utang
atau
kompensasi,
pencampuran utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang
terutang, kebatalan atau pembatalan, berlakunya suatu syarat
batal, dan lewatnya waktu.”
2.2. Tinjauan tentang Kontrak Kerjasama
Seperti telah Penulis janjikan pada narasi subbab di atas, maka pada subbab
ini akan dibahas mengenai siapakah yang dimaksud dengan para pihak dalam
kontrak tersebut, bagaimana pelaksanaannya, apakah prestasi dan wanprestasinya,
serta ganti kerugian.
2.2.1. Para Pihak dalam Kontrak
Pada prinsipnya, para pihak baik perorangan atau badan usaha yang bukan
badan hukum atau badan hukum dalam kontrak adalah orang atau badan usaha
yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan kontrak. Para pihak
dalam bentuk perorangan yang dimaksud adalah orang atau manusia (person), dan
badan usaha yang bukan badan hukum adalah perusahaan yang bersifat
perseorangan, didirikan dengan akta notaris atau tidak dengan akta notaris, dan
menurut prosedur hukum tidak perlu untuk dilakukan pengesahan oleh Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Sedangkan badan usaha
16
yang badan hukum adalah perusahaan yang didirikan dengan akta notaris dan
menurut hukum mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia.28
Menurut Mollengraaff, pengertian perusahaan adalah keseluruhan perbuatan
yang secara terus menerus, bertindak keluar untuk mendapatkan penghasilan
dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang, atau
mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan.29
Dengan demikian, orang, badan usaha yang bukan badan hukum, dan badan
usaha yang badan hukum merupakan subjek hukum. Adapun pengertian subjek
hukum adalah segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban.30
Setiap orang yang tidak dilarang oleh undang-undang dalam melakukan
kontrak dapat bertindak untuk kepentingan dan atas namanya sendiri, tetapi dapat
juga bertindak atas namanya sendiri untuk kepentingan orang lain, bahkan dapat
bertindak untuk kepentingan dan atas nama orang lain.31
Dalam hal bertindak untuk mewakili badan usaha yang bukan badan hukum,
maka harus berdasarkan pada bentuk badan usaha tersebut, apabila berbentuk
firma maka semua sekutu berhak mewakili perusahaan, dan apabila badan usaha
berbentuk perseroan komanditer, maka dalam bertindak perseroan diwakili oleh
persero pengurusnya atau yang disebut persero aktif (persero complementer),
sedangkan badan usaha yang badan hukum, perusahaan dalam bertindak diwakili
oleh direksi.32
28
Ibid.
Ibid.
30
Ibid.
31
Ibid.
32
Ibid.
29
17
Sedangkan pihak-pihak dalam perjanjian yang menjadi objek penelitian
Penulis adalah antara Fasilitator dengan Pemerintah.
PNPM-MP33 adalah program nasional yang dicanangkan pemerintah yang
bertujuan untuk penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja di
wilayah perdesaan di bawah binaan Direktorat Jenderal Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa (PMD), Kementerian Dalam Negeri. Sebagaimana telah
diuraikan di atas mengenai pengertian subjek hukum, selain manusia, badan
hukum juga merupakan subjek hukum sehingga merupakan pendukung hak dan
kewajiban. Kedudukan sebagai pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subjek
hukum
mengandung
pengertian,
yaitu
mempunyai
kemampuan
untuk
mengadakan hubungan hukum, dimana hubungan itu akan mempunyai akibat
hukum yang disebut hak dan kewajiban. Subjek hukum yang berupa badan hukum
ini mempunyai wewenang untuk memiliki hak-hak subjektif dan dapat melakukan
perbuatan hukum yang dilakukan oleh anggota yang ditunjuk. Badan hukum
mempunyai wewenang melakukan perbuatan-perbuatan hukum atau tindakantindakan seperti orang biasa34, yaitu mengajukan gugatan ke pengadilan, membuat
perjanjian-perjanjian, dapat dituntut di muka pengadilan, dan lain sebagainya.35
Ada dua jenis badan hukum, yaitu sebagai berikut:
1.
Badan hukum publik, terdiri dari negara, provinsi, kabupaten, kota
madya, desa atau kelurahan.
33
Berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Selaku Ketua
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan No: 25/KEP/MENKO/KESRA/VII/2007 tentang
Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri).
34
Badan hukum sebagai subjek hukum dapat melakukan perbuatan hukum. Dalam hal
ini, badan hukum dianggap sama dengan manusia. Anggapan badan hukum sebagai subjek hukum
ini didasarkan pada teori yang dikenalkan oleh Von Savigny yang disebut teori fiksi. Oleh karena
itu, badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum layaknya manusia.
35
Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2006,
hlm., 29-30.
18
2.
Badan hukum privat, terdiri dari yayasan, perseroan terbatas (PT),
koperasi, lembaga-lembaga keagamaan (gereja dan wakaf), dan lembagalembaga sosial.
Berdasarkan hal tersebut negara atau pemerintah merupakan subjek hukum,
sehingga mampu melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Dalam rangka
pelaksanaan kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan
(PNPM-MP), pemerintah mengadakan kontrak kerja sama dengan beberapa
tenaga ahli untuk tujuan terlaksananya program tersebut yang selanjutnya tenaga
ahli tersebut disebut pekerja fasilitator. Sesuai dengan objek penelitian Penulis,
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Tengah merupakan
penganggungjawab daerah untuk melaksanakan program tersebut, dan sebagai
kuasa pengguna anggaran.
Dalam hal ini perbuatan hukum yang dilakukan
pemerintah adalah membuat kontrak/perjanjian kerja dengan para fasilitator.
2.2.2. Pelaksanaan Kontrak
Pada tahap pelaksanaan perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang
telah diperjanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian
tersebut. Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah yang disebut sebagai
prestasi, sedangkan apabila salah satu pihak atau bahkan kedua pihak tidak
melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya, itulah
yang disebut dengan wanprestasi. Pihak yang wanprestasi dalam perjanjian dapat
dituntut oleh pihak lain yang merasa dirugikan, namun pihak yang dituduh
melakukan wanprestasi tersebut masih dapat melakukan pembelaan-pembelaan
19
tertentu agar dia dapat terbebas dari pembayaran ganti rugi.36 Agar lebih
memahami tentang konsep prestasi dan wanprestasi, maka akan diuraikan sebagai
berikut:
a. Prestasi
Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi para pihak dalam suatu
kontrak. Prestasi pokok tersebut dapat berwujud:37
a)
benda;
b)
tenaga atau keahlian; dan
c)
tidak berbuat sesuatu.
Prestasi berupa benda harus diserahkan kepada pihak lainnya. Penyerahan
tersebut dapat berupa penyerahan hak milik atau penyerahan kenikmatannya saja,
sedangkan prestasi yang berupa tenaga atau keahlian harus dilakukan oleh pihakpihak yang “menjual” tenaga atau keahliannya.
Prestasi yang berupa benda yang harus diserahkan kepada pihak lain,
apabila benda tersebut belum diserahkan, pihak yang berkewajiban menyerahkan
benda tersebut berkewajiban merawat benda tersebut sebagaimana dia merawat
barangnya sendiri. Sebagai konsekuensi dari kewajiban tersebut adalah apabila ia
melalaikannya,
ia
dapat
dituntut
ganti
rugi,
apalagi
kalau
ia
lalai
menyerahkannya.38
Antara prestasi yang berupa tenaga dan prestasi yang berupa keahlian ini
terdapat perbedaan, karena prestasi yang berupa tenaga pemenuhannya dapat
diganti oleh orang lain, karena siapapun yang mengerjakannya hasilnya akan
sama. Sedangkan prestasi yang berupa keahlian, pemenuhannya tdak dapat diganti
36
Ahmadi Miru, Op. Cit., hlmn., 367.
Ibid.
38
Ibid.
37
20
oleh orang lain tanpa persetujuan pihak yang harus menerima hasil dari keahlian
tersebut. Oleh karena itu, apabila diganti oleh orang lain, hasilnya mungkin akan
berbeda.39
Adapun prestasi tidak berbuat sesuatu, menuntut sikap pasif salah satu pihak
atau para pihak karena dia tidak dibolehkan melakukan sesuatu sebagaimana yang
diperjanjikan.
Walaupun pada umumnya prestasi para pihak secara tegas ditentukan dalam
kontrak, prestasi tersebut juga dapat lahir karena diharuskan oleh kebiasaan,
kepatutan, atau undang-undang. Oleh karena itu, prestasi yang harus dilakukan
oleh para pihak telah ditentukan dalam perjanjian atau diharuskan oleh kebiasaan,
kepatutan, atau undang-undang, tidak dilakukannya pretasi tersebut berarti telah
ingkar janji atau disebut wanprestasi.40
b. Wanprestasi
Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik dengan disengaja
maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja, wanprestasi ini dapat terjadi
karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena
terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut.41
Wanprestasi dapat berupa:
1.
Sama sekali tidak memenuhi prestasi;
2.
Prestasi yang dilakukan tidak sempurna;
3.
Terlambat memenuhi prestasi; dan
4.
Melakukan apa yang ada dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.
39
Ibid.
Ibid.
41
Ibid.
40
21
Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang
wanprestasi) dirugikan, apalagi kalau pihak lain tersebut adalah pedagang, maka
bisa kehilangan keuntungan yang diharapkan. Oleh karena pihak lain dirugikan
akibat dari wanprestasi tersebut, pihak wanprestasi harus menanggung akibat dari
tuntutan pihak lawan yang dapat berupa tuntutan:42
-
pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi); dan
-
pemenuhan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi).
Dengan demikian, ada dua kemungkinan pokok yang dapat dituntut oleh
pihak yang dirugikan, yaitu pembatalan atau pemenuhan kontrak. Tuntutan apa
yang harus ditanggung oleh pihak yang wanprestasi tersebut tergantung pada jenis
tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan. Bahkan apabila tuntutan itu
dilakukan dalam bentuk gugatan di pengadilan, pihak yang wanprestasi tersebut
juga dibebani biaya perkara.43
c. Ganti Kerugian
Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi karena wanprestasi dan
perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam Buku III
KUHPerdata, yang dimulai dari Pasal 1240 KUHPerdata sampai dengan Pasal
1252 KUHPerdata. Sedangkan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum diatur
dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum
adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah
menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul
karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.44
42
Ibid.
Ibid.
44
Ishaq, Op. Cit, hlmn., 52.
43
22
Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang
dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat
antara kreditur dan debitur. Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur
kepada debitur adalah sebagai berikut:45
1)
kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya
dan kerugian; dan
2)
keuntungan yang sedianya akan diperoleh (Pasal 1246 KUH Perdata),
ini ditujukan kepada bunga-bunga.
Yang diartikan dengan biaya-biaya, yaitu ongkos yang telah dikeluarkan
oleh kreditur untuk mengurus objek perjanjian. Kerugian adalah berkurangnya
harta kekayaaan yang disebabkan adanya kerusakan atau kerugian. Sedangkan
bunga-bunga adalah keuntungan yang akan dinikmati oleh kreditur. Penggantian
biaya-biaya, kerugian, dan bunga itu harus merupakan akibat langsung
wanprestasi dan dapat diduga pada saat sebelum terjadinya perjanjian.46
Di dalam Pasal 1249 KUHPerdata, ditentukan bahwa penggantian kerugian
yang disebabkan wanprestasi hanya disebutkan dalam bentuk uang, namun dalam
perkembangannya menurut para ahli dan yurisprudensi, bahwa kerugian dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu ganti rugi materiil, dan ganti rugi
immateriil. Kerugian materiil adalah suatu kerugian yang diderita kreditur dalam
bentuk uang/kekayaan/benda. Sedangkan kerugian immateriil adalah suatu
kerugian yang diderita oleh kreditur yang tidak bernilai uang, seperti rasa sakit,
malu, dan lain-lain.47
45
Ibid.
Ibid.
47
Ibid.
46
23
3.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP FASILITATOR PNPM
Berdasarkan hasil penelitian Penulis terhadap perjanjian kerja antara
Fasilitator PNPM dengan Pemerintah, bentuk perjanjian tersebut merupakan
bentuk perjanjian untuk melakukan suatu jasa tertentu, yang mana satu pihak
menghendaki dari pihak lawannya dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai
suatu tujuan, dimana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut diserahkan kepada pihak lawan itu, dan
yang menjadi pihak lawan tersebut merupakan seorang ahli dalam melakukan
suatu pekerjaan. Bentuk perjanjian tersebut harus sesuai dengan ketentuan
perjanjian kerja yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3.1
Ketentuan dalam Perjanjian antara Fasilitator PNPM dengan
Pemerintah
Umum diketahui, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan
ketentuan tersebut, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan,
kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan
atas hukum.
Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui
landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang menyatakan bahwa, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang”. Ketentuan tersebut dipertegas lagi
dengan rumusan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
24
1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau
lebih”. Pasal tersebut secara tegas telah menjelaskan bahwa perjanjian melahirkan
perikatan. Dengan kata lain, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan
bahwa tidak ada suatu perikatan yang berasal dari luar perjanjian dan karena halhal yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Perikatan melahirkan hak dan
kewajiban bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Dengan membuat
perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian, secara sukarela telah mengikatkan
diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu. Dengan sifat sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus
dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.48
Secara ringkas Penulis akan menjelaskan isi perjanjian kerja yang berjudul
“SURAT PERJANJIAN KERJA FASILITATOR TEKNIK KECAMATAN”
tersebut sebagai berikut:
1)
Pasal 1 tentang Ketentuan Umum. Berisi tentang penjelasan mengenai
hubungan hukum antara PIHAK PERTAMA (Kepala Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Tengah selaku Kuasa Pengguna Anggaran
pada Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, yang bertindak
untuk dan atas nama Satuan Kerja Perangkat Daerah Badan Pemberdayan
Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Tengah) dengan PIHAK KEDUA (Pekerja
Fasilitator, yang bertindak untuk dan atas nama diri sendiri). Pasal ini berisi 2
(dua) ayat.
2)
Pasal 2 tentang Hubungan Kerja dan Jangka Waktu Ikatan Kerja. Pasal
yang di dalamnya terdapat 7 (tujuh) ayat ini mengatur mengenai:
48
Ibid., hlmn., 56.
25
a. Pemberian tugas dari PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA sesuai
dengan bidang dan keahliannya sebagaimana dimaksud dalam Kerangka Acuan
atau Terms of Reference (TOR), dan PIHAK KEDUA menjabarkannya dalam
Rencana Kerja (RK), serta untuk bertindak sebagai Fasilitator Teknik Kecamatan
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (FT PNPM-MP)
di lokasi tugas, yang ditetapkan dalam Surat Perintah Tugas (SPT) oleh PIHAK
PERTAMA;
b. Perpanjangan dan pemersingkat perjanjian kerja tersebut;
c. Dimana lokasi PIHAK KEDUA wajib tinggal, termasuk perubahannya;
d. Kewajiban bagi PIHAK KEDUA untuk tidak diperkenankan mengadakan
ikatan kerja dengan pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung; dan
e. Kewajiban bagi PIHAK KEDUA untuk bekerja penuh waktu, dengan jumlah
waktu kerja minimal 8 jam per hari dan 6 hari per minggu.
3)
Pasal 3 tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab. Pasal yang di dalamnya
terdapat 9 (sembilan) ayat ini mengatur mengenai:
a. PIHAK KEDUA harus mengikuti dan melaksanakan: Kerangka Acuan atau
Terms of Reference (TOR), Pedoman Umum (Pedum), Petunjuk Pelaksanaan
(Juklak), Petunjuk Teknis Operasional (PTO) PNPM-MP termasuk Kode Etik
Fasilitator dan Konsultan PNPM-MP, Standar Operasional Prosedur (SOP),
dokumen-dokumen rujukan lain, surat perintah atau bentuk surat lainnya yang
diterbitkan oleh atau dari PIHAK KEDUA;
b. PIHAK KEDUA harus melaksanakan tugas dengan segala kemampuan,
keahlian, dan pengalaman yang dimilikinya;
26
c. Kewajiban PIHAK KEDUA untuk menyusun laporan khusus atau tugas
perbantuan, dan tidak diperkenankan untuk menyerahkan tugas-tugas tersebut
kepada pihak lain;
d. PIHAK KEDUA menanggung segala tanggung jawab atas segala tugas-tugas
yang diberikan oleh PIHAK PERTAMA; serta
e. Tugas-tugas teknis lain yang diberikan oleh PIHAK PERTAMA.
4)
Pasal 4 tentang Balas Jasa dan Cara Pembayarannya. Pasal yang di
dalamnya terdapat 7 (tujuh) ayat ini mengatur mengenai:
a. PIHAK KEDUA akan menerima imbalan balas jasa berupa honorarium dan
tunjangan operasional secara lumpsum49 untuk perumahan, komunikasi, dan
operasional kantor. Selain itu, PIHAK KEDUA juga mendapatkan tunjangan
biaya transportasi lokasi sesuai dengan kategori lokasi yang telah ditetapkan.
PIHAK KEDUA juga mendapatkan tunjangan asuransi kecelakaan dan kesehatan
selama masa kontrak. PIHAK KEDUA juga mendapatkan perjalanan dinas dan
OSA untuk menghadiri rapat koordinasi setiap bulan. Dan biaya perjalanan dinas
pun akan didapatkan PIHAK KEDUA. Sedangkan tunjangan hari raya dan
tunjangan kompensasi cuti, tidak diperoleh PIHAK KEDUA;
b. Honorarium dan tunjangan akan dibayarkan pada setiap tanggal 1-10 (satu
sampai sepuluh) awal bulan berikutnya, dengan catatan tidak adanya
keterlambatan PIHAK KEDUA dalam penyusunan laporan dan pengiriman
seluruh data pendukung bulan sebelumnya;50
49
Kecuali pada bulan pertama bertugas dan bulan terakhir penugasan, maka besaran
honorarium akan diperhitungkan sesuai dengan jumlah hari bertugas.
50
Tetapi dalam pelaksanaannya, justru pemerintah sendiri yang terlambat memberikan
upah. Padahal, menurut Pasal 95 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, pemberi kerja yang karena
kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda
sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja.
27
c. Pembayaran honorarium dan tunjangan operasional dilakukan secara langsung
oleh PIHAK PERTAMA ke rekening individu masing-masing;
d. Pajak Penghasilan PIHAK KEDUA dan/atau pajak-pajak lain akan ditanggung
dan dibayar sendiri oleh PIHAK KEDUA;51 dan
e. Cuti kerja berhak didapatkan oleh PIHAK KEDUA dengan ketentuan: 1). Cuti
tahunan sebanyak 12 (dua belas) hari kerja setelah PIHAK KEDUA bekerja
selama12 (dua belas) bulan secara terus-menerus; 2). Cuti bersama yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat yang diberikan kepada yang sudah mempunyai
hak cuti tahunan. Cuti bersama mengurangi hak cuti tahunan; dan 3). Cuti
melahirkan selama maksimal 3 (tiga) bulan berturut-turut.
5)
Pasal 5 tentang Penyelesaian Perselisihan. Jika terjadi perselisihan antara
kedua belah pihak, pada dasarnya akan diselesaikan secara musyawarah. Apabila
dengan cara musyawarah tidak dapat diselesaikan, maka kedua belah pihak akan
menyelesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) di Jakarta.52
Apabila masih tidak dapat diselesaikan, maka kedua belah pihak akan
menyelesaikan melalui Pengadilan Negeri Provinsi Jawa Tengah. Menurut Pasal
136 UU Ketenagakerjaan, jika terdapat perselisihan hubungan kerja, maka akan
diselesaikan melalui Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
6)
Pasal 6 tentang Pemutusan Perjanjian Kerja53 atau Hubungan Kerja.
PIHAK PERTAMA wajib memberitahukan kepada PIHAK KEDUA selambat-
51
Menurut Pasal 88 ayat (3) huruf k UU Ketenagakerjaan, upah untuk penghitungan
pajak penghasilan adalah hak yang diperoleh pekerja guna memenuhi penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan, dan hak ini ditetapkan pemerintah untuk melindungi pekerja.
52
Rezim arbitrase tidak dikenal dalam UU Ketenagakerjaan.
53
Dalam Perjanjian Kerja antara Fasilitator dengan Pemerintah ini, tidak terdapat
klausul mengenai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Lihat Pasal 61 huruf b UU
Ketenagakerjaan.
28
lambatnya 1 (satu) bulan sebelumnya dalam hal PHK. PIHAK PERTAMA dapat
membatalkan secara sepihak Perjanjian Kerja dengan PIHAK KEDUA apabila:54
a. PIHAK KEDUA meninggal dunia;
b. PIHAK KEDUA atas permintaan sendiri memutuskan hubungan kerja;
c. PIHAK KEDUA menderita sakit tetap yang berakibat tidak mungkin
melaksanakan pekerjaan;
d. PIHAK KEDUA mangkir selama 10 (sepuluh) hari kerja berturut-turut atau 20
(dua puluh) hari kerja dalam satu tahun;
e. PIHAK KEDUA tidak memenuhi pelaksanaan tugas yang telah disahkan oleh
atasan;
f. PIHAK KEDUA tidak memenuhi standar nilai evaluasi kinerja reguler;
g. Adanya kebijaksanaan pemerintah yang menyebabkan batalnya dan/atau
berkurangnya kemampuan dana dan/atau terganggunya pelaksanaan PNPM-MP;
h. PIHAK KEDUA tidak menunjukkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas dan
tanggung jawabnya;
i. PIHAK KEDUA dinyatakan pernah dan terbukti melakukan pelanggaran Kode
Etik Fasilitator; dan
j. PIHAK KEDUA melakukan pelanggaran Kode Etik Fasilitator atau menjalani
pemeriksaan Kepolisian sebagai tersangka akibat dari penyimpangan, kelalaian,
atau tindakan kejahatan, serta pelanggaran hukum terkait PNPM-MP atau lainnya.
PIHAK KEDUA dapat mengajukan surat pemutusan perjanjian kerja
secara sepihak dalam hal: Apabila PIHAK PERTAMA tidak melakukan
kewajiban balas jasa, serta tidak memberikan dukungan administrasi yang
54
Pada dasarnya, sesuai dengan Pasal 55 UU Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja tidak
dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.
29
diperlukan PIHAK KEDUA, dan PIHAK KEDUA telah melakukan klarifikasi
dengan PIHAK PERTAMA secara tertulis.
7)
Pasal 7 tentang Berakhirnya Hubungan Kerja. Dengan berakhirnya
hubungan kerja, maka:
a. PIHAK KEDUA tidak akan mendapatkan uang pesangon55 dan status
kepegawaian dari PIHAK PERTAMA; dan
b. PIHAK KEDUA wajib menyerahkan seluruh tugas, wewenang, dan tanggung
jawabnya kepada PIHAK PERTAMA atau pihak lain yang ditunjuknya.
8)
Pasal 8 soal adanya Lampiran, dan
9)
Pasal 9 Penutup.
Jika disimak secara teliti, suatu Perjanjian Kerja seharusnya menurut Pasal
56 UU Ketenagakerjaan dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak
tertentu, tetapi dalam Perjanjian Kerja antara Fasilitator PNPM dengan
Pemerintah klausul yang menyatakan ketentuan mengenai waktu tersebut tidak
ada.
3.2. Pelaksanaan Perjanjian antara Fasilitator PNPM dengan Pemerintah
Jika melihat adanya keterlambatan pembayaran gaji oleh Pihak Pertama
tersebut, pada hakikatnya telah terjadi cidera janji atau wanprestasi. Menurut
pendapat M. Yahya Harahap, yang dimaksud dengan wanprestasi dalam suatu
perjanjian adalah, “pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau
dilakukan tidak menurut selayaknya.”56
55
Menurut Pasal 88 ayat (3) huruf j UU Ketenagakerjaan, uang pesangon adalah hak
yang diperoleh pekerja guna memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan hak ini
ditetapkan pemerintah untuk melindungi pekerja.
56
Dalam Ahmadi Miru, Op. Cit., hlmn., 368.
30
Kata “tidak tepat pada waktunya dan kata tidak layak“ apabila dihubungkan
dengan kewajibannya merupakan perbuatan melanggar hukum, Pihak Pertama
sebagian atau secara keseluruhan tidak menepati ataupun berbuat sesuatu yang
tidak sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati bersama. Dalam keadaan
normal, perjanjian dapat dilaksanakan sebagaimanamestinya tanpa gangguan
ataupun halangan, tetapi pada waktu tertentu, yang tidak dapat diduga oleh para
pihak,
muncul
halangan,
sehingga
pelaksanaan
perjanjian
tidak
dapat
dilaksanakan dengan baik. Faktor penyebab terjadinya wanprestasi oleh Abdul
Kadir Muhammad diklasifikasikan menjadi dua faktor, yaitu faktor dari luar dan
faktor dari dalam diri para pihak. Faktor dari luar menurut Abdul Kadir
Muhammad adalah, “peristiwa yang diharapkan terjadi dan tidak dapat diduga
akan terjadi ketika perjanjian dibuat”. Sedangkan faktor dari dalam manusia/para
pihak merupakan, “kesalahan yang timbul dari diri para pihak, baik kesalahan
tersebut yang dilakukan dengan sengaja atau kelalaian pihak itu sendiri, dan
para pihak sebelumnya telah mengetahui akibat yang timbul dari perbuatannya
tersebut.”57
Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak dalam perjanjian ini harus
dinyatakan terlebih secara resmi, yaitu dengan memperingatkan kepada pihak
yang lalai bahwa Pihak Kedua menghendaki pemenuhan prestasi oleh Pihak
Pertama. Menurut undang-undang peringatan tersebut harus dinyatakan tertulis,
namun sekarang sudah dilazimkan bahwa peringatan itu pula dapat dilakukan
secara lisan asalkan cukup tegas menyatakan desakan agar segera memenuhi
prestasinya terhadap perjanjian mereka perbuat.58
57
58
Ibid.
Ibid., hlmn., 369.
31
Peringatan tersebut dapat dinyatakan pernyataan lalai yang diberikan oleh
pihak kreditur kepada pihak debitur. Pernyatan lalai oleh J. Satrio, memperinci
pernyataan lalai tersebut dalam beberapa bentuk, yaitu: Berbentuk surat perintah
atau akta lain yang sejenis.59
Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri, apabila dalam surat perjanjian
telah ditetapkan ketentuan debitur dianggap bersalah jika satu kali saja dia
melewati batas waktu yang diperjanjikan. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong
Pihak Pertama untuk tepat waktu dalam melaksanakan kewajiban dan sekaligus
juga menghindari proses dan prosedur atas adanya wanprestasi dalam jangka
waktu yang panjang. Dengan adanya penegasan seperti ini dalam perjanjian, tanpa
teguran kelalaian, dengan sendirinya Pihak Pertama sudah dapat dinyatakan lalai,
bila ia tidak menempati waktu dan pelaksanaan prestasi sebagaimanamestinya.
Jika teguran kelalaian sudah dilakukan, barulah menyusul peringatan
(aanmaning) dan bisa juga disebut dengan “somasi”. Dalam somasi inilah Pihak
Kedua (Fasilitator) menyatakan segala haknya atas penuntutan prestasi kepada
Pihak Pertama (Pemerintah). Jadi, dengan adanya pernyataan lalai yang diberikan
oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua, maka menyebabkan Pihak Kedua dalam
keadaan wanprestasi, bila ia tidak mengindahkan pernyataan lalai tersebut.
Pernyataan lalai sangat diperlukan karena akibat wanprestasi tersebut adalah
sangat besar, baik bagi kepentingan Pihak Pertama maupun Pihak Kedua. Dalam
perjanjian biasanya telah ditentukan di dalam isi perjanjian itu sendiri, hak dan
kewajiban para pihak serta sanksi yang ditetapkan apabila Pihak Pertama tidak
menepati waktu atau pelaksanaan perjanjian.
59
Ibid.
32
Dalam Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
bahwa, “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang
tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan
umum, yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu”. Pasal tersebut
menjelaskan 2 (dua) jenis perjanjian, yaitu:
1) Perjanjian yang dikenal dengan suatu nama khusus, yaitu perjanjian yang
diatur secara khusus di dalam undang-undang dan diberi nama resmi di
dalam undang-undang, atau disebut juga dengan perjanjian khusus. Yang
termasuk perjanjian khusus ialah:
a) Perjanjian jual beli,
b) Perjanjian tukar menukar,
c) Perjanjian sewa menyewa,
d) Perjanjian untuk melakukan pekerjaan,
e) Perjanjian persekutuan,
f)
Perjanjian perkumpulan,
g) Perjanjian hibah,
h) Perjanjian penitipan barang,
i)
Perjanjian pinjam pakai,
j)
Perjanjian pinjam meminjam,
k) Perjanjian bunga tetap atau bunga abadi,
l)
Perjanjian untung-untungan,
m) Perjanjian pemberian kuasa,
n) Perjanjian penanggungan, dan
o) Perjanjian perdamaian.
33
2) Perjanjian tidak bernama (innominat contract), yaitu perjanjian yang tidak
diatur dalam undang-undang tetapi terdapat dalam masyarakat. Perjanjian
ini tidak terbatas dan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan para pihak.
Contohnya adalah:
a) Perjanjian kerjasama,
b) Perjanjian pemasaran, dan
c) Perjanjian pengolahan.
Berdasarkan sifatnya secara mendasar, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata membedakan perjanjian menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu sebagai berikut:60
1) Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah
terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian,
2) Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi
barangnya harus diserahkan, dan
3) Perjanjian formal adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi
undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut dibuat oleh pejabat umum
Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Menurut Subekti, dalam hal perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakannya menjadi 3 (tiga) macam,
yaitu:61
a) Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, yang mana suatu pihak
menghendaki dari pihak-lawannya dilakukannya suatu pekerjaan untuk
mencapai sesuatu tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah,
sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama
60
61
Ibid.
Subekti, Op. Cit., hlmn., 57.
34
sekali terserah kepada pihak-lawan itu. Biasanya pihak lawan ini adalah
seorang ahli dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu dan biasanya ia juga
sudah memasang tarif untuk jasanya. Contohnya, hubungan antara dokter
dan pasien;
b) Perjanjian Kerja/Perburuhan dimana yang dimaksudkan dengan jenis ini
adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan” yang
ditandai dengan adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan, dan
adanya “hubungan diperatas” (bahasa Belanda “dienstverhouding”), yaitu
suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak
memberikan perintah yang harus ditaati oleh yang lainnya; dan
c) Perjanjian Pemborongan Pekerjaan adalah suatu perjanjian antara seorang
(pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak yang
memborong pekerjaan), dimana pihak yang pertama menghendaki suatu
hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran suatu
jumlah uang sebagai harga pemborongan.
Perjanjian kerja ialah suatu perjanjian dimana seseorang mengikatkan diri
untuk bekerja pada orang lain dengan menerima imbalan berupa upah sesuai
dengan syarat-syarat yang dijanjikan atau disetujui bersama. Prinsip yang
menonjol
dalam
perjanjian
kerja,
yaitu
adanya
keterikatan
seseorang
(pekerja/buruh) kepada orang lain (pengusaha) untuk bekerja dibawah perintah
dengan menerima upah. Jadi, bila seseorang telah mengikatkan diri dalam suatu
perjanjian kerja, berarti ia secara pribadi otomatis harus bersedia bekerja dibawah
35
perintah orang lain. Hal ini yang disebut ahli hukum sebagai “hubungan
diperatas”.62
Menurut Manullang, tidak ada 1 (satu) pun peraturan yang mengikat bentuk
dan isi perjanjian, karena dijamin dengan “asas kebebasan berkontrak”, yakni
suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat
kontrak (perjanjian) yang berisi berbagai macam perjanjian asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Asas
kebebasan berkontrak tersebut dituangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, dengan memperhatikan Pasal 1320, Pasal 1335,
dan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.63
Perjanjian kerja antara fasilitator PNPM dengan pemerintah seharusnya
mengacu dan/atau tunduk kepada KUHPerdata sebagai lex generalis, dan pula
tunduk kepada UU Ketenagakerjaan sebagai lex spesialis dari KUHPerdata. Tidak
boleh ada peraturan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, hukum
mengatakan demikian. Jadi, dengan kata lain perjanjian kerja tersebut harus
masuk dan tunduk pada KUHPerdata dan UU Ketenagakerjaan.
Secara normatif, perjanjian kerja bentuk tertulis64 menjamin kepastian hak
dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat
membantu proses pembuktian. Namun tidak dapat dipungkiri masih banyak
perusahaan-perusahaan yang tidak atau belum membuat perjanjian kerja secara
tertulis disebabkan karena ketidakmampuan sumber daya manusia maupun karena
62
Ibid.
Dalam Ahmadi Miru, Op. Cit., hlmn., 370.
64
Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan/atau tertulis (Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
63
36
kelaziman, sehingga atas dasar kepercayaan membuat perjanjian kerja secara
lisan.
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurangkurangnya memuat:
a) Nama, alamat perusahaan, dan jenis perusahaan;
b) Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c) Jabatan atau jenis pekerjaan;
d) Tempat pekerjaan;
e) Besarnya upah dan cara pembayarannya;
f)
Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh;
g) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i)
Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Berdasarkan jangka waktu (sementara atau terus-menerus) dan jenis suatu
pekerjaan (berulang-ulang atau selesainya suatu pekerjaan tertentu), hubungan
kerja dapat dibuat dalam suatu perjanjian kerja yang dibagi menjadi 2 (dua)
macam, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja
Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).65
Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, yang dimaksud dengan perjanjian
65
Perjanjian kerja jenis ini tidak Penulis bahas dalam skripsi Penulis.
37
kerja tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara
tertulis sesuai dengan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau
menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya perjanjian
kerja.
Syarat kerja dan ketentuan yang memuat hak dan kewajiban antara pemberi
kerja dan pekerja/buruh yang diperjanjikan dalam PKWT, dipersyaratkan tidak
boleh lebih rendah dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.66 Yang dimaksud dengan tidak boleh lebih rendah atau bertentangan
dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundangundangan yang berlaku adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama, isi perjanjian kerja baik kualitas
maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan.
Sesuai ketentuan Pasal 56 sampai dengan Pasal 59 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pembuatan perjanjian kerja waktu
tertentu harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
(a) Didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu,
(b) Harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia,
(c) Tidak boleh ada masa percobaan,
66
Pasal 2 Kep.100/Men/VI/2004 jo. Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
38
(d) Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, dan
(e) Tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Sedangkan apa yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap67
adalah pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi
waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam suatu perusahaan
atau pekerjaan yang bukan musiman. Adapun yang dimaksud dengan pekerjaan
yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak bergantung pada cuaca atau
suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terusmenerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari
suatu proses produksi, tetapi bergantung pada cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan
karena adanya suatu kondisi tertentu, pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan
musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap, sehingga dapat menjadi objek
perjanjian kerja waktu tertentu.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu membedakan perjanjian kerja waktu tertentu menjadi 4 (empat)
bagian, yaitu:
a.
Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang sekali selesai atau
sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun, yang
dimaksud adalah perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas
selesainya suatu pekerjaan tertentu dan dibuat untuk waktu paling lama 3
(tiga) tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Keputusan
67
Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
39
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004
tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Dalam hal
perjanjian kerja waktu tertentu dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan
tertentu namun karena kondisi tertentu, pekerjaan tersebut belum dapat
diselesaikan, maka dapat dilakukan pembaharuan perjanjian kerja waktu
tertentu yang dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. Selama masa tenggang
waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, tidak boleh ada hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan pengusaha, sesuai dengan Pasal 3 ayat (7) Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004
tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
b.
Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang bersifat musiman,
yang dimaksud adalah pekerjaan yang pelaksanaannya bergantung kepada
musim atau cuaca dan hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan
pada musim tertentu, sesuai ketentuan Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Pekerjaan-pekerjaan yang
harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat
dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu sebagai pekerjaan
musiman dan hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan
pekerjaan tambahan. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang
bersifat musiman ini tidak dapat dilakukan pembaharuan.68
68
Pasal 7 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
40
Nomor
c.
Perjanjian kerja waktu tertentu yang berhubungan dengan produk baru.
Perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan untuk pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja waktu
tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat
dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat
diperpanjang satu kali paling lama 1 (satu) tahun tetapi tidak dapat
dilakukan pembaharuan. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat diberlakukan bagi
pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar
pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.69
d.
Perjanjian kerja harian lepas, perjanjian ini mengenai pekerjaan-pekerjaan
tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta
upah didasarkan pada kehadiran, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1)
Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor
Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu. Perjanjian kerja harian lepas harus memenuhi ketentuan
bahwa pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan. Mengenai
pekerja/buruh yang bekerja selama 21 hari atau lebih selama 3 bulan
berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja harian lepas berubah
menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang sesuai dengan ketentuan
Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
69
Pasal 9 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
41
Nomor
Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
42
Download