Meningkatkan Kreativitas Anak Memanfaatkan Bahan Limbah

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1
Pengertian Kreativitas
Menurut Munandar (2009:25), kreativitas merupakan kemampuan
untuk menciptakan gagasan, menemukan banyak kemungkinan jawaban
terhadap suatu masalah, membuat kombinasi baru berdasarkan data,
informasi, atau unsur-unsur yang ada. Siswa memiliki kebebasan berpikir
untuk menyatakan gagasan dan pendapat seluas–luasnya tanpa aturan–
aturan. Amabile dalam Munandar (2009:40) mendefinisikan, kreativitas
sebagai produksi suatu respon atau karya baru sesuai dengan tugas yang
dihadapi.
Menurut Ayan (2002) mengatakan bahwa hakikat kreativitas
adalah kemauan, keinginan atau semangat untuk melakukan eksplorasi,
mempertanyakan dan melakukan eksperimen terhadap berbagai objek,
peristiwa dan situasi yang ada di lingkungan.
2.1.2
Proses Kreativitas
Wallas dalam Munandar (2009:39) yang menyatakan bahwa proses
kreatif meliputi empat tahap, yaitu: tahap persiapan, adalah tahap
pengumpulan informasi atau data sebagai bahan untuk memecahkan
masalah dan percobaan–percobaan atas dasar berbagai pemikiran
kemungkinan pemecahan masalah yang dihadapi terjadi pada tahap ini.
Tahap inkubasi (incubation), adalah tahap dieraminya proses pemecahan
masalah dalam alam prasadar. Tahap iluminasi (illumination), yaitu tahap
munculnya inspirasi atau gagasan–gagasan untuk memecahkan masalah.
Tahap verifikasi (verification), adalah tahap munculnya aktivitas evaluasi
terhadap gagasan secara kritis yang sudah mulai dicocokkan dengan
kenyataan nyata atau kondisi realita.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa proses
kreatif yaitu: tahap persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Tahap
inkubasi merupakan tahap yang sangat penting, karena berlangsung proses
refleksi yang memerlukan ketenangan dan waktu yang cukup.
7
2.1.3
Karakteristik Kreativitas
Menurut Fisher & Wiliams dalam Wijaya (2012:56) terdapat empat
karakteristik kreativitas, antara lain:
1) Melibatkan kegiatan berpikir imajinatif
Melibatkan berpikir imajinatif yang dimaksud adalah berpikir secara
natural dengan bayangan atau imajinasi anak sendiri.
2) Memiliki tujuan yang jelas
Memiliki tujuan yang jelas ialah anak memiliki tujuan dari apa yang ia
dapatkan dalam berimajinasi untuk ia tuangkan dalam hasil karya
kreatif.
3) Karya yang dihasilkan memiliki nilai (value)
Karya yang dihasilkan memiliki nilai adalah anak menciptakan hasil
karya yang natural dengan unsur keindahan yang telah ia rencanakan
dengan sendiri dan tanpa ada unsur plagiasi karena berasal dari diri
anak sendiri. Sehingga karya memiliki nilai lebih karena hanya ada satu
di dunia.
4) Menghasilkan karya yang orisinal
Anak menciptakan hasil karya yang natural dari dalam dirinya, sesuai
yang ia gambarkan dalam insting pemikirannya.
2.1.4
Kemampuan dalam Mengembangkan Kreativitas
Kemampuan mengelola pengetahuan bukan suatu kemampuan
tunggal, melainkan tersusun dari sejumlah kemampuan yang lain. Cropley
dalam
Wijaya
diperhatikan
(2012:56)
dalam
menyebutkan
mengembangkan
kemampuan
kreativitas
yang
siswa
perlu
melalui
pembelajaran di kelas. Kemampuan tersebut mencakup:
1. Kemampuan untuk (berpikir) fokus (Focusing Skills)
Kemampuan untuk (berpikir) fokus berkaitan dengan kemampuan
untuk mengidentifikasi konsep kunci (identifying key concepts),
mengenal permasalahan (recognizing the problems), dan menetapkan
tujuan (setting goals) merupakan komponen dari kemampuan (berpikir)
fokus. Cropley menyebutkan kepekaan terhadap masalah (sensitivity to
problems) merupakan ciri pertama dari kemampuan berpikir kreatif.
Selanjutnya, seorang pemikir yang krratif akan mampu menyatakan
8
ulang permasalahan yang ada dari susut pandang yang berbeda. Cropley
menyebut tahap ini sebagai redefinition of problems.
2. Kemampuan mengumpulkan informasi (Informationo-Gathering Skills)
dilakukan selanjutnya adalah mengumpulkan informasi yang terkait
dengan konsep kunci tersebut. Kemampuan pengamatan, perumusan
pertanyaan, serta klarifikasi melalui inkuiri merupakan keterampilan
pokok yang dibutuhkan dalam pengumpulan informasi.
3. Kemampuan mengorganisasi (Organizing Skills)
Kemampuan mengorganisasi berkaitan dengan penyusunan informasi
sehingga mudah dipahami dan bisa disampaikan secara efektif.
Kemampuan
pengorganisasian
terdiri
dari
keterampilan
dalam
memabandingkan(comparing), pengategorian(classifying/categorizing),
pengurutan (ordering), serta penyajian informasi.
4. Kemampuan menganalisis (Analyzing Skills)
Analisis merupakan inti dari kemampuan kritis yang melibatkan proses
klarifikasi dan pemeriksaan komponen dan hubungan informasi.
Kemampuan mengidentifikasi pola dan hubungan (pattern and
relationship) dan menemukan kesalahan (finding errors) merupakan
elemen utama dari analisis.
5. Kemampuan generalisasi
Kemampuan generalisasi mencakup kemampuan untuk menggunakan
pengetahuan
awal
dan
mengembangkannya
dengan
informasi
tambahan. Kemampuan mengembangkan ide-ide baru, mengidentifikasi
persamaan dan perbedaan, memperkirakan, dan mengelaborasi ide perlu
diperhatikan dalam mengembangkan kemampuan generalisasi.
6. Keterampilan mengintegrasi
Keterampilan ini mencakup kemampuan meringkas (summarizing),
mengombinasikan informasi, memilih dan memilah informasi yang
tidak dibutuhkan, mengorganisasi informasi secara grafis, dan
mengonstruksi informasi.
9
7. Keterampilan mengevaluasi
Menurut Marzano, Pickering, & Pollock dalam wijaya (2012:570),
keterampilan evaluasi mencakup kemampuan untuk menetapkan
kriteria dan pembuktian atau verifikasi data.
2.1.5
Ciri-ciri Kreativitas
Guilford dalam Munandar (2009:10) dan Hawadi (2001:3)
mengemukakan ada empat ciri yang menjadi sifat kreativitas, yaitu
kelancaran (fluency) adalah kemampuan untuk memproduksi banyak
gagasan; kelenturan atau keluwesan (fleksibility) merupakan kemampuan
untuk mengajukan bermacam–macam pendekatan dan atau pemecahan
masalah; orisinalitas dalam berpikir merupakan kemamapuan untuk
melahirkan gagasan asli sebagai hasil pemikiran sendiri dan tidak klise;
elaborasi adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara terinci.
2.1.6
Indikator Kreativitas
Indikator kreativitas belajar menurut Uno (2009: 21) adalah
sebagai berikut:
1.
Memiliki rasa ingin tahu
Biasanya siswa yang kreatif selalu ingin tahu, memiliki minat yang
luas dan mempunyai kegemaran dan aktivitas yang kreatif.
2.
Sering mengajukan pertanyaan yang membangun
Siswa yang kreatif biasanya dalam belajar selalu bertanya dan
pertanyaan yang diajukan selalu berbobot dan sifatnya
membangun.
3.
Memberikan banyak gagasan dan usul terhadap suatu masalah
Siswa yang keatif mampu memberikan gagasan dan usul terhadap
suatu masalah yang perlu diselesaikan. Hal ini berarti siswa
memiliki kreativitas yang tinggi dalam menyelesaikan masalah.
4.
Mampu menunjukkan pendapat secara spontan dan tidak malu
Apabila mengeluarkan pendapat secara langsung dan tidak malumalu. Contonya dalam diskusi belajar di kelas menyampaikan
pendapatnya secara langsung dalam keadaan setuju ataupun tidak
setuju.
10
5.
Mempunyai atau menghargai keindahan
Minat siswa dalam keindahan juga lebih kuat dari rata-rata,
walaupun tidak semua orang kreatif menjadi seniman, tetapi
mereka mempunyai minat yang cukup besar terhadap keadaan
alam, seni, sastra, musik dan teater.
6.
Bebas berfikir dalam belajar
Siswa memiliki kekebasan dalam berfikir, dalam hal ini siswa
mempunyai kebebasan untuk mengembangkan pengetahuan awal
yang diperoleh untuk kemudian diterapkan dalam kehidupannya.
7.
Memiliki rasa humor tinggi
Siswa kreatif biasanya memiliki rasa humor tinggi, dapat melihat
masalah dari berbagai sudut dan memiliki kemampuan untuk
bermain dengan ide, konsep atau kemungkinan-kemungkinan yang
dikhayalkan.
8.
Mempunyai daya imajinasi yang kuat
Siswa yang kreatif biasanya lebih tertarik pada hal-hal yang rumit.
9. Mampu mengajukan pemikiran, gagasan pemecahan masalah
yang berbeda dengan orang lain
Siswa mempunyai rencana yang inovatif serta orisinal yang telah
dipikirkan
dengan
matang
terlebih
dahulu
dengan
mempertimbangkan masalah yang mungkin timbul dan
implikasinya.
10. Dapat bekerja sendiri
Siswa yang kreatif biasanya cukup mandiri dan memiliki rasa
percaya diri, sehingga selalu mengerjakan sendiri. Contohnya
apabila mendapat tugas selalu berusaha mengerjakan sendiri.
11. Sering mencoba hal-hal baru
Biasanya siswa yang kreatif berani mengambil resiko (tetapi
dengan perhitungan) dari pada siswa pada umumnya. Artinya dapat
melakukan sesuatu yang bagi mereka amat berarti, penting, dan
disukai mereka tidak menghiraukan kritik atau ejekan orang lain.
12. Mampu mengembangkan atau merinci suatu gagasan
Siswa yang kreatif dapat mengembangkan suatu gagasan yang baru
agar dapat berkembang kearah yang lebih baik dan jelas.
11
Catron dan Allen dalam Sujiono dan
mengemukakan beberapa indikator kreatif pada anak:
sujiono
(2010)
1. anak memiliki keinginan untuk mengambil resiko berperilaku
secara berbeda dan mencoba hal-hal yang baru dan sulit.
2. anak memiliki selera humor yang luar biasa dalam situasi seharihari.
3. Anak berpendirian tetap, terang-terangan, dan memiliki keinginan
untuk berbicara secara terbuka.
4. Anak dapat melakukan hal-hal dg caranya sendiri.
5. Anak mengekspresikan imajinasi secara verbal seperti membuat
cerita fantasi.
6. Anak memiliki ketertarika terhadap berbagai hal, memiliki rasa
ingin tahu dan senang bertanya.
7. Anak dapat bereksplorasi secara sistematis dan yang disengaja
dalam membuat rencana dari suatu kegiatan.
8. Anak memiliki motivasi dan arah sendiri, memiliki imajinasi dan
menyukai fantasi.
9. Anak senang menggunakan imajinasinya terutama dalam bermain
peran atau pura-pura.
10. Anak menjadi inovatif, mampu menemukan sesuatu yang baru dan
memiliki banyak sumber daya.
11. Anak dapat bereksplorasi dan berkesperimen dengan objek.
12. Anak bersifat fleksibel dan mampu mendesain sesuatu.
2.2 Bahan Limbah
Limbah adalah zat atau bahan buangan yang dihasilkan dari proses
kegiatan manusia (Suharto, 2011). Limbah dapat berupa tumpukkan barang bekas,
sisa kotoran hewan, tanaman, atau sayuran. Keseimbangan lingkungan menjadi
terganggu jika jumlah hasil buangan tersebut melebihi ambang batas toleransi
lingkungan. Konsentrasi dan dan kuantitas melebihi ambang batas, keberadaan
limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan
manusia sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah.
Bahan limbah dapat dimanfaatkan melihat dari jenis limbah tersebut atau
golongan dari limbah tersebut. limbah dibagi menjadi dua golongan besar:
1.
Limbah yang dapat mengalami perubahan secara alami (degradable
waste/mudah terurai/organik), yaitu limbah yang dapat mengalami
12
dekomposisi oleh bakteri dan jamur, seperti daun-daun, sisa
makanan, kotoran, dan lain-lain.
2.
Limbah yang tidak atau sangat lambat mengalami perubahan
secara alami (nondegradable waste/ tidak mudah terurai/
anorganik), misanya plastik, kaca, kaleng, dan sampah sejenisnya.
Berdasarkan Wujudnya menurut Ign Suharto (2011), limbah dibedakan
menjadi tiga, yaitu:
1.
Limbah padat, limbah padat adalah limbah yang berwujud padat.
Limbah padat bersifat kering, tidak dapat berpindah kecuali ada
yang memindahkannya. Limbah padat ini misalnya, sisa makanan,
sayuran, potongan kayu, sobekan kertas, sampah, plastik, dan
logam
2.
Limbah cair, limbah cair adalah limbah yang berwujud cair.
Limbah cair terlarut dalam air, selalu berpindah, dan tidak pernah
diam. Contoh limbah cair adalah air bekas mencuci pakaian, air
bekas pencelupan warna pakaian, dan sebagainya.
3.
Limbah gas, limbah gas adalah limbah zat (zat buangan) yang
berwujud gas. Limbah gas dapat dilihat dalam bentuk asap.
Limbah gas selalu bergerak sehingga penyebarannya sangat luas.
Contoh limbah gas adalah gas pembuangan kendaraan bermotor.
Pembuatan bahan bakar minyakjuga menghasilkan gas buangan
yang berbahaya bagi lingkungan.
Langkah-langkah
pemanfaatannya
pun
harus
melalui
pemilahan,
pengumpulan pemrosesan dan pendistribusian. Penulis memilih limbah anorganik
yang dapat digunakan ulang untuk dimanfaatkan sebagai media pembelajaran di
kelas. Selain itu penulis berharap dengan usaha ini bisa bermanfaat bagi
lingkungan sekitar, dalam usaha meminimalisir limbah atau sampah yang ada di
sekitar lingkungan.
Langkah-langkah penggunaan bahan limbah dalam pembelajaran ini
adalah dengan usaha reuse atau recycle yaitu suatu kegiatan memanfaatkan
kembali barang bekas tanpa atau dengan pengolahan bahan, untuk tujuan sama
atau berbeda dari tujuan asalnya/awalnya. Langkah-langkah daur ulang limbah
diawali dengan pemilahan, pengumpulan, kemudian pemrosesan. menurut
Sudrajat (2006) sampah adalah material sisa yang tidak diinginkan setelah
13
berakhirnya suatu proses, sampah merupakan konsep buatan dan konsekuensi dari
adanya aktivitas manusia yang mana sampah memiliki pengertian berbeda dan
subjektif, bagi kalangan tertentu bisa saja menjadi harta berharga. Melalui
pendapat tersebut, penulis semakin tergerak untuk mencoba bahan limbah tersebut
untuk dijadikan bahan pembelajaran yang mana hasilnya nanti akan menjadi suatu
kebanggan bagi siswa sendiri.
Bahan limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi
baik industri maupun domestik (rumah tangga). Di mana masyarakat bermukim,
di sanalah berbagai jenis limbah akan dihasilkan. Pada hal ini yang penulis
gunakan adalah bahan limbah yang bernilai sebagai alat kreativitas
yang
digunakan dalam pembelajaran untuk membuat suatu bentuk – bentuk bangun
geometris, binatang, ataupun makhluk hidup lainnya dengan menggunakan bahan
limbah yang di buat sedemikian rupa untuk menciptakan sebuah hasil kreativitas.
2.3.1 Macam-Macam Model Pembelajaran
Dalam proses pembelajaran, guru harus ingat bahwasanya tidak ada model
pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu,
dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi
siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu
sendiri.
Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran menurut Subarkah
(2010:102) antara lain :
a. Koperatif (CL, Cooperative Learning).
Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusia sebagai
makhluk sosial yang penuh ketergantungan dengan orang lain, mempunyai
tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas, dan rasa senasib.
Berdasarkan fakta tersebut, dapat dimanfaatkan oleh pihak pengajar untuk
mengajarkan anak belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan
dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman,
tugas, dan tanggung jawab. Anak diharapkan mampu saling membantu dan
berlatih
berinteraksi-komunikasi-sosialisasi
karena
koperatif
adalah
miniatur dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan
kelebihan masing-masing.
14
Model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran
dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu
mengkontruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut
teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap
anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siswa heterogen (kemampuan,
jenis kelamin, karakter), ada kontrol dan fasilitasi, dan meminta tanggung
jawab
hasil
kelompok
berupa
laporan
atau
presentasi.
Sintaks
pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk
kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan
pelaporan.
b. Kontekstual (CTL/ Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai
dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang
terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modelling),
sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi
belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana
menjadi kondusif - nyaman dan menyenangkan. Prinsip pembelajaran
kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami,
tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan
sosialisasi.
c. Realistik (RME/ Realistic Mathematics Education)
Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud
di Belanda dengan pola guided reinvention dalam mengkontruksi
konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika
horizontal (fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan untuk digunakan
dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (
reorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengembangan
matematika). Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstrukstivis,
realitas (kebermaknaan proses-aplikasi), pemahaman (menemukaninformal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), intertwinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran
sebagai aktivitas sosial, berbagi), dan bimbingan (dari guru dalam
penemuan).
d. Pembelajaran Langsung (DL/ Direct Learning)
15
Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus
pada keterampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara
pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian
informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan
evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori
(ceramah bervariasi).
e. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL/ Problem Based Learning)
Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model
pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk
menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari
kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemampuan berpikir tingkat
tinggi. Kondisi yang tetap harus dipelihara adalah suasana kondusif,
terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar
siswa dapat berpikir optimal.
2.3.2 Model Pembelajaran Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and
Learning)
2.3.2.1
Pengertian Pendekatan CTL
Pendekatan kontekstual telah lama dikembangkan oleh John Dewey pada
tahun 1916 yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa
yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dengan kegiatan atau
peristiwa yang terjadi di sekelilingnya (Kesuma, 2010). CTL pertama kali
dikembangkan oleh Amerika Serikat dengan dibentuknya Washington State
Consortum for Contextual oleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Antara
tahun 1997 sampai 2001 sudah diselenggarakan tujuh proyek besar yang bertujuan
untuk mengembangkan, menguji, serta melihat efektivitas penyelenggara
pengajaran matematika secara kontekstual. Proyek tersebut melibatkan 11
perguruan tinggi, dan 20 sekolah dengan mengikutsertakan 85 orang guru dan
professor serta 75 orang guru yang sudah diberikan pembekalan sebelumnya.
Pendekatan kontekstual atau CTL merupakan pembelajaran yang
menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan
materi yang dipelajari dan menghubungkannya dangan situasi kehidupan nyata
16
sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka
(Kesuma, 2010:58).
Menurut Kesuma (2010:5) CTL adalah mengajar dan belajar yang
menghubungkan isi pelajaran dengan lingkungan, sehingga dapat menjadikan
kegiatan belajar mengajar menjadi menyenangkan dan bermakna. Landasan
filosofis CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan
bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, tetapi mengkonstruksikan atau
membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau proposisi
yang mereka alami dalam kehidupannya (Muslich, 2008).
Johnson (2010 : 67) dalam Contextual Teaching and Learning (CTL)
menyatakan:
CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para
siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari
dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks
dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan
pribadi, sosial, dan budaya mereka. Sistem tersebut meliputi delapan
komponen berikut: membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna,
melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran yang diatur
sendiri, melakukan kerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu
individu untuk tumbuh berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan
menggunakan penilaian autentik .
Sanjaya (2008:109) menjelaskan bahwa:
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran
yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna
materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka
sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki
pengetahuan/ketrampilan
yang
dinamis
dan
fleksibel
untuk
mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya. CTL disebut
pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota masyarakat.
Pendekatan CTL menurut Khaerudin (2007) merupakan “konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
17
keluarga dan masyarakat”. Sedangkan Nurhadi dkk (2014:12) menjelaskan bahwa
“pendekatan kontekstual adalah suatu konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Hal ini senada dengan penjelasan dari Baharudin dan Nur (2007:137)
bahwa “pendekatan CTL adalah konsep pembelajaran yang membantu guru
mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Isriani dan Puspitasari (2012:62-63) juga menjelaskan bahwa “CTL
merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi
pembelajaran dengan dunia nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan
dan menerapkan. Suprijono (2013:79) juga menjelaskan:
Proses pembelajaran kontekstual berdasarkan pada pemrosesan informasi,
individualisasi, dan interaksi sosial. Pemrosesan informasi menyatakan
bahwa peserta didik mengolah informasi, memonitornya, dan menyusun
strategi berkaitan dengan informasi tersebut. Inti pemrosesan informasi
adalah proses memori dan proses berpikir. Individualisasi beraksentuasi
pada proses individu membentuk dan menata realitas keunikannya.
Mengajar dalam hal tersebut adalah upaya dalam membantu individu
untuk mengembangkan sesuatu yang produktif dengan lingkungannya dan
memandang dirinya sebagai pribadi yang cakap, sehingga mampu
memperkaya hubungan antarpribadi dan lebih cakap dalam pemrosesan
informasi. Interaksi sosial memusatkan pada proses di mana kenyataan
ditawarkan secara sosial.
Pendekatan kontekstual menurut Sudiono dkk (2003) menjelaskan bahwa:
Pendekatan kontekstual berhubungan erat dengan pengetahuan sehari-hari
dan selalu dihadapkan pada masalah. Hal ini memerlukan kemampuan
berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menganalisa masalah dan kreatif
untuk melahirkan alternatif semacam masalah. Kedua jenis berpikir
tersebut, berasal dari rasa ingin tahu dan imajinasi keduanya ada pada diri
anak sejak lahir.
Pembelajaran kontekstual menurut Suprijono (2013:79) merupakan konsep
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi
18
dunia nyata dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat.
Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa pendekatan CTL
adalah proses pembelajaran yang membantu siswa melihat makna di dalam materi
akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek
akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan
konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka sehingga siswa mampu
berpikir kritis dan kreatif. Tujuannya agar siswa mampu menerapkan apa yang
didapat di dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL di
kehidupan sehari-hari.
2.3.2.2 Asas-asas Contextual Teaching and Learning
Sanjaya (2006:262-267) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual
melibatkan tujuh asas utama yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran,
yaitu: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan
(Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modelling),
refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment).
a) Konstruktivisme (Constructivism)
Setiap individu dapat membuat struktur kognitif atau mental
berdasarkan pengalaman mereka maka setiap individu dapat
membentuk konsep atau ide baru, hal ini dikatakan sebagai
konstruktivisme. Fungsi guru disini membantu membentuk konsep
tersebut melalui metode penemuan (self-discovery), siswa
berpartisipasi secara aktif dalam membentuk ide baru.
Menurut Piaget dalam Sanjaya (2006:262) menyatakan bahwa
pendekatan konstruktivisme mengandung beberapa hakikat
pengetahuan. Hakikat pengetahuan yang diperoleh merupakan
konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek; Subjek membentuk
skema kognitif, kategori, dan struktur yang diperlukan untuk
pengetahuan dalam proses pembelajaran; Pengetahuan dibentuk dalam
struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi tersebut terjadi bila
konsepsi itu berhubungan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
b) Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari pembelajaran berbasis CTL.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan
sendiri. Menemukan atau inkuiri dapat diartikan juga sebagai proses
19
pembelajaran yang didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui
proses berpikir secara sistematis.
Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa
langkah, yaitu merumuskan masalah, mengajukan hipotesis,
mengumpulkan data, menguji hipotesis berdasarkan data yang
ditemukan, dan membuat kesimpulan. Proses berpikir yang sistematis
diharapkan siswa memiliki sikap ilmiah, rasional, dan logis untuk
pembentukan kreativitas siswa.
c) Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran kontekstual.
Kegiatan bertanya dipandang sebagai refleksi keingintahuan setiap
individu dalam belajar. Proses pembelajaran CTL lebih menekankan
pada peran guru yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi
memancing pemikiran siswa agar dapat menemukan sendiri materi
yang dipelajari. Pembelajaran yang produktif dengan menggunakan
kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk: Menggali informasi,
baik administratif maupun akademis; Mengecek pengetahuan awal
siswa dan pemahaman siswa; Membangkitkan respon kepada siswa;
Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa; Memfokuskan
perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru; Membangkitkan
lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; Menyegarkan kembali
pengetahuan siswa.
d) Masyarakat belajar (Learning Community)
Vygotsky (dalam Sanjaya 2006: 265) menyatakan bahwa
“pengetahuan dan pemahaman anak lebih banyak dipengaruhi oleh
komunikasi dengan orang lain”. Konsep masyarakat belajar (Learning
Community) menyarankan agar hasil pembelajaran yang diperoleh
dari kerjasama dengan orang lain. Hasil dalam proses pembelajaran
yang diperoleh dari sharring antarsiswa, antarkelompok, dan
antarmasyarakat belajar yang sudah tahu dengan yang belum tahu
tentang suatu materi. Setiap elemen masyarakat dapat juga berperan
disini dengan berbagi pengalaman.
e) Pemodelan (Modeling)
Pemodelan dalam pembelajaran kontekstual merupakan sebuah
keterampilan atau pengetahuan tertentu yang menggunakan suatu
model yang bisa ditiru. Model itu dapat berupa cara mengoperasikan
sesuatu atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu, dalam
artian bahwa guru memberi model tentang “bagaimana cara belajar”.
Pembelajaran kontekstual menekankan kepada guru untuk dapat
merancang model dengan melibatkan siswa agar siswa dapat terlibat
aktif dalam pembelajaran.
20
f)
Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berpikir kebelakang tentang apa yang sudah kita lakukan di masa lalu.
Siswa merefleksikan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur
pengetahuan yang baru. Struktur pengetahun yang baru ini merupakan
pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi
merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahun yang
baru diterima.
Pada kegiatan pembelajaran, refleksi dilakukan oleh seorang guru
pada akhir pembelajaran. Guru menyisakan waktu sejenak agar siswa
dapat melakukan refleksi yang realisasinya dapat berupa: Pernyataan
langsung tentang apa-apa yang diperoleh pada pembelajaran yang
baru saja dilakukan; Catatan atau jurnal di buku siswa; Kesan dan
saran mengenai pembelajaran yang telah dilakukan.
g) Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian autentik merupakan proses pengumpulan berbagai data yang
bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa agar guru
dapat memastikan apakah siswa telah mengalami proses belajar yang
benar. Penilaian autentik menekankan pada proses pembelajaran
sehingga data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata
yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.
Karakteristik authentic assessment diantaranya: dilaksanakan selama
dan sesudah proses belajar berlangsung, bisa digunakan untuk
formatif maupun sumatif, yang diukur keterampilan dan sikap dalam
belajar bukan mengingat fakta, berkesinambungan, terintegrasi, dan
dapat digunakan sebagai feedback. Authentic assessment biasanya
berupa kegiatan yang dilaporkan, PR, kuis, karya siswa, prestasi atau
penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes tulis dan
karya tulis.
2.3.2.3 Prinsip-prinsip Pendekatan CTL
Pendekatan kontekstual menurut Suprijono (2013:80-81) terdapat beberapa
prinsip yang digunakan sebagai pegangan, anatara lain:
1. Prinsip Saling Ketergantungan
Prinsip saling ketergantungan merumuskan bahwa kehidupan ini
merupakan suatu sistem. Lingkungan belajar merupakan sistem
mengintegrasikan berbagai komponen pembelajaran dan komponen
tersebut saling memmengaruhi secara fungsional. Berdasarkan prinsip
itu dalam belajar memungkinkan peserta didik membuat hubungan
bermakna. Peserta didik mengidentifikasi hubungan yang menghasilkan
pemahaman-pemahaman baru. Peserta didik dapat menargaetkan
pencapaian standar akademik yang tinggi. Berdasarkan prinsip itu pula
21
peserta didik harus bekerja sama menemukanpersoalan, merancang
rencana, dana mencari pemecahan masalah. Bekerja sama akan
membantu pesrta diaik mencapai keberhasilan, mengingat setiap peserta
didik mempunyai kemampuan berbeda dan unik. Jika hal tersebut
dikolaborasikan dan kooperatif, maka akan tersusun menjadi sesuatu
yang lebih besar daripada sekedar penjumlahan dari bagian-bagian itu
sendiri.
2. Prisnsip Diferensiasi
Diferensiasi merujuk pada entitas-entitas yang beraneka ragam dari
realitas kehidupan di sekitar peserta didik. Keanekaragaman mendorong
berpikir kritis peserta didik untuk menemukan hubungan diantara
entitas-entitas yang beraneka ragam itu. Peserta didik dapat memahami
makna bahwa perbedaan itu rahmat.
3. Prinsip Pengaturan Diri
Prinsip ini mendorong pentingnya peserta didik mengeluarkan seluruh
potensi yang dimilikinya. Ketika peserta didik menghubungkan materi
akademik dengan konteks keadaan pribadi mereka, peserta didik terlibat
dalam kegiatan yang mengandung prinsip pengaturan diri. Peserta didik
menerima tanggung jawab atas keputusan dan perilaku mereka sindiri,
memilih alternative, membuat pilihan, mengembangkan rencana,
menganalisis informasi dan secara kritias menilai bukti.
2.3.2.4
Komponen-komponen dalam Pendekatan CTL
Proses pembelajaran dalam CTL mempunyai delapan komponen, yaitu:
membuat hubungan-hubungan yang bermakna; melakukan pekerjaan yang berarti;
melaksanakan proses pembelajaran yang diatur sendiri; bekerja sama; berpikir
kritis dan kreatif; membantu individu untuk tumbuh dan berkembang; mencapai
standar tinggi; menggunakan penilaian autentik (Johnson 2007: 65).
Menurut Dharma Kesuma, dkk (2010), komponen-komponen pendekatan
CTL mencakup 7 komponen yaitu: 1) Konstruktivisme. Konstruktivisme adalah
proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif
siswa berdasarkan pengalaman; 2) Inkuiri. Inkuiri berarti proses pembelajaran
didasarkan pada pencapaian dan penemuan melalui proses berpikir secara
sistematis; 3) Bertanya. Belajar pada hakekatnya adalah bertanya; 4) masyarakat
belajar. Konsep dalam masyarakat belajar dalam CTL menyarankan agar hasil
pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain; 6) Pemodelan
adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang
22
didapat ditiru oleh setiap siswa; 7) Refleksi, merupakan cara berpikir tentang apa
yang sudah dilakukan dimasa lalu; 8) Penilaian nyata adalah proses pembelajaran
konvensional yang sering dilakukan guru, biasanya ditekankan pada aspek
intelektual sehingga alat evaluasi dapat digunakan terbatas pada pengguna tes.
2.3.2.5
Karakteristik dalam Pendekatan CTL
Sanjaya (2008: 110) menyatakan bahwa terdapat lima karakteristik penting
dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL, yaitu:
Pembelajaran
dengan
pendekatan
CTL
merupakan
proses
pengaktifan
pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang akan
dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian
pengetahuan yang akan diperoleh oleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang
memiliki keterkaitan satu sama lain. Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar
dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan yang baru (acquiring
knowledge). Pengetahuan yang baru itu diperoleh secara deduktif, artinya
pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian
memerhatikan detailnya. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge),
artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal, tapi untuk dipahami dan
diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang
pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru
pengetahuan itu dikembangkan. mempraktikan pengetahuan dan pengalaman
tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan pemahaman yang
diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak
perubahan dan perilaku siswa. melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap
strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk
proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.
2.3.2.6
Proses Pembelajaran dalam Pendekatan CTL
Adapun realisasi proses pembelajaran menggunakan pendekatan CTL
menggunakan pertanyaan langsung tentang apa yang diperolehnya hari itu, catatan
dan jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran pada hari
itu, diskusi dan hasil karya. Penilaian autentik, prosedur penilaian yang
menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap) siswa secara
nyata. Penekanan penilaian autentik adalah pada pembelajaran yang seharusnya
23
membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya
informasi di akhir periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih
pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang
diperoleh siswa (Sanjaya 2008: 116).
2.3.2.7
Langkah-langkah Pendekatan CTL
Langkah-langkah dalam dalam proses pembelajaran CTL harus dapat
dipahami guru terlebih dahulu ketika akan mengajar siswa dalam proses
pembelajaran. Langkah-langkah itu merupakan pedoman bagi guru ketika
mengajar siswa dikelas, agar proses pembelajaran yang diajarkan bermakna dan
menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa. Langkah-langkah penerapan
pendekatan kontekstual berpedoman pada prisip dan pembelajarannya. Menurut
Sutarji (2007:106), langkah-langkah pendekatan kontekstual meliputi: 1) siswa
didorong agar menemukan pengetahuan awal tentang konsep yang dibahas. Bila
perlu guru memancing dengan memberikan pertanyaan yang problematik tentang
kehidupan sehari-hari; 2) Eksplorasi yaitu siswa diberi kesempatan untuk
menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian,
penginterpretasian data selama sebuah kegiatan yang telah dirancang oleh guru; 3)
penjelasan dan solusi, siswa menyampaikan pendapat, membuat model dan
membuat rangkuman serta hasil ringkasan pekerjaan dengan bimbingan guru; 4)
pengambilan
tindakan,
siswa
dapat
membuat
keputusan
menggunakan
pengetahuan dan keterampilan, berbagai informasi dan gagasan, mengajukan
pertanyaan lanjutan, mengajukan sarana baik secara individu maupun secara
kelompok yang berhubungan dengan pemecahan masalah.
2.3.2.8 Kelebihan model pembelajaran kontekstual (CTL, Contextual
Teaching and Learning)
Kelebihan dari model pembelajaran kontekstual Menurut Elaine B.
Johnson (2007: 67) adalah:
1. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut
untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah
dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat
mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan
saja bagi siswa materi tersebut akan berfungsi secara fungsional, akan
24
tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa,
sehingga tidak akan mudah dilupakan.
2. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan
konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran
konstruktivisme,
dimana
siswa
dituntun
untuk
menemukan
pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstrukivisme siswa
diharapkan belajar melalui “mengalami” bukan “menghafal”.
2.3.2.9 Kelemahan Model Pembelajaran Kontekstual (CTL/ Contextual
Teaching and Learning)
Kelemahan dari model pembelajaran kontekstual Menurut Elaine B.
Johnson (2007: 67) adalah:
1. Guru lebih intensif dalam membimbing karena dalam metode CTL guru
tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola
kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan
pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa dipandang sebagai
individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan
dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang
dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur
atau “penguasa” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah
pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap
perkembangannya.
2. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan sendiri ide-ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari
dan dengan sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk
belajar. Dalam konteks ini guru memerlukan perhatian dan bimbingan
yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa
yang diterapkan semula.
2.3.10 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kontekstual (CTL, Contextual
Teaching and Learning)
Keberhasilan proses pembelajaran sangat bergantung pada kreativitas guru
meramu beberapa metode pembelajaran menjadi model yg sesuai dan dapat
menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, menyenangkan dan bermakna.
25
Pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen utama dari
pembelajaran produktif yaitu : konstruktivisme (Constructivism), membentuk
group belajar yang saling membantu (interdependent learning groups),
menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), pemodelan (Modelling), refleksi
(Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment) (Depdiknas,
2003:5). Pembelajaran dengan strategi kontekstual melibatkan tujuh komponen
utama. Komponen-komponen tersebut yakni sebagai berikut:
1. Constructivism (konstruktivisme, membangun, membentuk) yaitu kegiatan
yang mengembangkan pemikiran bahwa pembelajaran akan lebih
bermakna apabila siswa bekerja sendiri, menemukan, dan membangun
sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Di sini siswa dapat
mengembangkan pengalaman atau membangun pengetahuan barunya
berdasarkan pengalaman yang diperolehnya. Pengetahuan-pengetahuan
yang diperoleh tersebut dikonstruksi oleh siswa itu sendiri sehingga proses
pembelajaran siswa akan lebih bermakna.
2. Quistioning (bertanya) adalah kegiatan belajar yang mendorong sikap
keingintahuan siswa lewat bertanya tentang topik atau permasalahan yang
akan dipelajari.
3. Inquiry (menyelidiki, menemukan) adalah kegiatan belajar yang bisa
mengkondisikan siswa untuk mengamati, menyelidiki, menganalisis topic
atau permasalahan yang dihadapi sehingga ia berhasil “menemukan”
sesuatu.
4. Learning Community (masyarakat belajar) adalah kegiatan belajar yang
bisa menciptakan suasana belajar bersama atau berkelompok sehingga ia
bisa berdiskusi, curah pendapat, bekerja sama, dan saling membantu antar
teman.
5. Modelling (pemodelan) adalah kegiatan belajar yang bisa menunjukkan
model yang bisa di pakai rujukan atau panutan siswa dalam bentuk
penampilan tokoh, demonstrasi kegiatan, penampilan hasil karya, cara
mengoprasikan sesuatu.
6. Reflection (refleksi atau umpan balik) adalah kegiatan belajar yang
memberikan refleksi atau umpan balik dalam bentuk Tanya jawab dengan
siswa tentang kesulitan yang dihadapi dan pemecahannya, mengkonstruksi
kegiatan yang telah dilakukan, kesan siswa selama melakukan kegiatan,
dan saran atau harapan siswa.
7. Authentic Assessment (penilaian yang sebenarnya) adalah kegiatan belajar
yang bisa diamati secara periodik perkembangan kompetensi siswa
melalui kegiatan-kegiatan nyata ketika pembelajaran berlangsung.
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, proses
pembelajaran akan lebih bermakna apabila siswa memiliki rasa ingin tahu
sehinnga siswa akan terdorong menemukan jawaban serta mencari pemecahan
26
masalah dan siswa akan dapat mengembangkan pengetahuan barunya dengan
sendirinya. Kaitannya dengan materi matematika dalam penelitian ini siswa secara
langsung mengalami atau menemukan sendiri masalah serta pemecahannya,
karena belajar menciptakan hasil karya bukan hanya mendengar, melihat, menulis,
tetapi lebih dari itu yakni dengan cara mengkonstuksi pengetahuan dengan
pengalaman yang mereka miliki.
2.4 Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan Siti Rukhani tahun 2013 dengan judul
“Peningkatan Kemampuan Kreativitas Melalui Model Pembelajaran Kontekstual
Pada Anak”. Hasil
penelitian tersebut kemudian diuji kebenarannya, agar
mengetahui perubahan kemampuan kreativitas anak adalah diperoleh melalui
perbandingan antara kemampuan kreativitas sebelum menggunakan model
pembelajaran kontekstual dan setelah menggunakan model pembelajaran
kontekstual. Pencapaian keberhasilan biasanya ditetapkan berdasarkan suatu
ukuran
standar
yang
berlaku. Apabila ditetapkan 80% sebagai lambang
keberhasilan, maka pencapaian yang belum mencapai 80% masih perlu dilakukan
tindakan lagi. Hasil penelitian bahwa model pembelajaran kontekstual dapat
memotivasi anak kelompok B TK Assakinah Wirosari Kabupaten Grobogan.
Hal ini dapat dilihat bahwa semula pada kondisi awal menunjukkan 20%,
kemudian pada siklus I menunjukkan 70%, dan pada siklus II menunjukkan 90%.
Penelitian yang telah dilakukan, perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh
guru sudah memilih dan menyiapkan bahan main yang dekat dengan kehidupan
anak, pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru sudah sesuai
dengan RKM dan RKH yang telah dirancang sebelumnya, hal ini memudahkan
guru untuk menyampaikan apersepsi pembelajaran, kelebihan dari pelaksanaan
pembelajaran kontekstual, guru dapat menghadirkan suasana nyata dalam
menyampaikan kegiatan apersepsi pada awal pembelajaran sehingga anak dapat
dengan mudah memahami pembelajaran yang diberikan guru, serta kekurangan
dari pelaksanaan pembelajaran kontekstual yaitu guru kurang mengerti konsep
pembelajaran kontekstual.
27
2.5 Kerangka Berfikir
Selama ini pembelajaran di kelas B1 TK Ngudi Rahayu II Kopeng masih
belum maksimal karena belum ada inovasi terhadap kondisi lingkungan kelas,
menggunakan pendekatan pemebelajaran mekanistik atau guru lebih banyak
memberikan ceramah, sedangkan siswa cenderung pasif, kurang percaya diri jika
diberi kesempatan untuk bertanya dan mempresentasikan hasil karya di depan
kelas, jika melakukan kesalahan anak akan cenderung putus asa, dan takut
membuat kesalahan jika diminta menyampaikan pendapat serta kebanyakan siswa
meniru jawaban dari jawaban siswa lain jika diberi pertanyaan. Langkah-langkah
pembelajaran atau urutan sajian materi dalam pembelajaran kreativitas yang biasa
dilakukan selama ini adalah pembelajaran yang diawali penjelasan singkat oleh
guru, pemberian contoh, siswa diajarkan teknik/cara pembuatan, kemudian
diakhiri dengan penilaian di depan kelas. Pola itu dilakukan secara monoton dari
waktu ke waktu. Dalam pembelajaran ini konsep yang diterima siswa hampir
semuanya berasal dari apa yang dikatakan oleh guru. Konsekuensinya, bila siswa
diberikan tugas yang berbeda dengan tugas saat latihan maka siswa cenderung
membuat kesalahan. Siswa kurang didorong untuk aktif atau cenderung pasif
dalam mengikuti pembelajaran sehingga mengakibatkan pembelajaran kurang
menarik dan membosankan yang mengakibatkan tingkat pemahaman siswa
menjadi rendah dan berdampak terhadap hasil belajar siswa yang rendah. Hal ini
ditunjukkan dari rata-rata hasil karya siswa.
Berdasarkan kajian teori, dapat diketahui salah satu upaya untuk
menyelesaikan masalah ini adalah dengan penerapan pendekatan CTL.
Pendekatan CTL adalah proses pembelajaran yang membantu siswa melihat
makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara
menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan
keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya
mereka sehingga siswa mampu berpikir kritis dan kreatif, sehingga dapat
menumbuh kembangkan kreativitas dan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.
28
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas dapat dituangkan dalam bagan
sebagai berikut:
Guru belum menggunakan pendekatan CTL dalam
pembelajaran.
Kondisi Awal
Kreativitas anak masih rendah.
Tindakan
Memanfaatkan
bahan
limbah
menggunakan
pendekatan CTL, siswa diharapkan mampu
menghubungkan antara pengalaman belajar disekolah
dengan kehidupan nyata dan meningkatkan
kreativitas.
Kondisi Akhir
Kreativitas anak meningkat sesuai indikator.
Gambar 1
Bagan Kerangka Berpikir
2.6 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah sesuatu yang dianggap benar untuk alasan atau
pengutaraan pendapat (teori, preposisi, dsb) meskipun kebenarannya masih harus
dibuktikan. Oleh karena itu agar rumusan jawaban dipecahkan, maka seorang
peneliti memerlukan suatu pedoman yang digunakan sebagai tuntunan. Pedoman
itu berupa jawaban sementara atau hipotesis.
Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis
penelitian yaitu, “Pendekatan CTL dapat meningkatkan kreativitas siswa
memanfaatkan bahan limbah pada kelompok B 1 di TK Ngudi Rahayu II Kopeng
kec. Getasan kab. Semarang.”
29
Download