INTRODUKSI DAN EKSPRESI GEN FRAGMEN ANTIBODI UNTAI

advertisement
INTRODUKSI DAN EKSPRESI GEN FRAGMEN ANTIBODI
UNTAI TUNGGAL (scFv) ANTI-EGFRvIII
PADA Pichia pastoris
AI HERTATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
2
3
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul Introduksi dan
Ekspresi Gen Fragmen Antibodi Untai Tunggal (scFv) Anti-EGFRvIII pada
Pichia pastoris adalah karya saya bersama komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor dan LIPI.
Bogor,
April 2013
Ai Hertati
NRP P051090141
4
RINGKASAN
AI HERTATI. Introduksi dan Ekspresi Gen Fragmen Antibodi Untai Tunggal
(scFv) Anti-EGFRvIII pada Pichia pastoris. Dibimbing oleh ANJA
MERYANDINI DAN ASRUL MUHAMAD FUAD
EGFRvIII merupakan salah satu varian mutan Epidermal Growth Factor
Receptor (EGFR) yang mengalami mutasi pada bagian ekstraselularnya.
EGFRvIII hanya ditemukan pada sel kanker dan tidak pada sel normal, sehingga
merupakan target terapi kanker yang sangat menarik. Molekul antibodi utuh telah
digunakan sebagai agen terapi kanker. Akan tetapi penggunaannya dalam
konstruksi obat dengan sistem penghantaran terarah memiliki kelemahan karena
ukurannya yang relatif besar (150 kDa). Hal ini disebabkan karena ukuran yang
besar dapat mengurangi kemampuan untuk penetrasi ke dalam sel tumor.
Permasalahan tersebut diatasi dengan membuat suatu fragmen antibodi untai
tunggal (scFv) anti-EGFRvIII yang memiliki ukuran 25 kDa. Fragmen antibodi
terdiri dari bagian untai berat (VH) dan untai ringan (VL) yang dihubungkan oleh
suatu peptida yang disebut linker (G4S)3. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengkonstruksi scFv, mengintroduksi dan mengekspresikannya ke dalam Pichia
pastoris. Fragmen antibodi dibuat dalam 2 versi, yaitu versi 1 (VH-L-VL) dan
versi 2 (VL-L-VH), yang dimaksudkan untuk mempelajari sifat afinitasnya
terhadap antigen. Fragmen antibodi versi 1 dirancang dan dibuat secara sintetik
dan kemudian diklon ke dalam vektor pPICZαA dan ditransformasikan ke dalam
E. coli. Plasmid rekombinan (pPICZαA-scFv-1) dianalisis dengan menggunakan
PCR, enzim restriksi dan sekuensing. Plasmid rekombinan dengan urutan DNA
yang tepat kemudian difusikan dengan suatu gen penanda yaitu Green
Fluorescent Protein (GFP) lalu ditransformasikan ke dalam P. pastoris
SMD1168H. Nilai efisiensi transformasi yang diperoleh adalah 1,2x 104 cfu/µg
DNA plasmid. Hasil analisis dengan teknik SDS-PAGE dan Slot blot terhadap
media kultur bebas sel menunjukkan bahwa fusi scFv-GFP telah berhasil
diekspresikan secara ekstraselular dengan ukuran 60 kDa. Fragmen antibodi versi
2 dibuat dengan menggunakan teknik overlap extension PCR lalu diklon ke dalam
vektor pTZ57r/t dan ditransformasikan ke dalam E. coli.
Kata kunci: Green fluorescent protein, EGFR, EGFRvIII, Pichia pastoris, scFv
5
SUMMARY
AI HERTATI. Introduction and Expression of Single Chain Fragment Variable
(scFv) Anti-EGFRvIII Gene Into Pichia pastoris. Supervised by ANJA
MERYANDINI and ASRUL MUHAMAD FUAD
EGFRvIII is one of EGFR (epidermal growth factor receptor) mutant
variant that has deletion in its extracellular domain. EGFRvIII is one of important
targets for cancer therapy since its only found in cancer cell. EGFRvIII antibody
binds to truncated extracellular domain of EGFRvIII. Intact antibody has been
used as cancer therapeutic agent. The size of intact antibody (150 kDa) could be
an obstacle in targeted drug delivery system. it reduces ability to penetrate the
cancer cell. It is well known that bigger molecule has bigger immunogenicity.
These problems might be solved by using smaller molecule such as single chain
fragment variable (scFv) that has a smaller size (25 kDa). The scFv consist of
variable light (VL) and variable heavy (VH) domains joined by a flexible peptide
linker (G4S)3. The aimed of this studies were to construct scFv, transforms and
express this gene into P. pastoris. Two version of scFv genes was constructed in
this study. First version of scFv (VH-L-VL) was designed and made synthetically.
While the second version (VL-L-VH) was made by overlap extension PCR
technique. One of those constructs (scFv-1) was cloned into pPICZαA and
transformed into E. coli. A recombinant plasmid (pPICZαA-scFv-1) was analyzed
using PCR, restriction enzyme and DNA sequencing. Some clones of scFv with
proper DNA sequence and orientation have been obtained. EGFP gene was then
fused with the recombinant plasmid (pPICZα-scFv-1) and transformed into P.
pastoris. Transformation of P. pastoris was performed using electroporation
method. The transformation efficiency observed was 1,2x104 cfu/µg DNA
plasmid. SDS-PAGE and Slot Blot analysis of free-cell culture medium showed
the presence of scFv-GFP protein fusion having a size of 60 kDa and expressed
extracellularly. scFv-2 that has structure VL-L-VH has been made by overlap
extension PCR technique. It was cloned to pTZ57r/t and transformed into E. coli.
Key words: anti-EGFRvIII, cancer therapy, EGFR, targeted drug delivery system,
transformation.
6
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB &
LIPI
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB & LIPI
7
INTRODUKSI DAN EKSPRESI GEN FRAGMEN ANTIBODI
UNTAI TUNGGAL (scFv) ANTI-EGFRvIII PADA Pichia pastoris
AI HERTATI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN
BOGOR
2013
8
Penguji Luar Komisi: Dr Ir Miftahudin, MSi
9
Judul Penelitian
Nama
NIM
: Introduksi dan Ekspresi Gen Fragmen Antibodi Untai
Tunggal (scFv) Anti-EGFRvIII pada Pichia pastoris
: Ai Hertati
: P051090141
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Anja Meryandini, MS
Ketua
Dr Asrul Muhamad Fuad, MSi
Anggota
Diketahui oleh,
Ketua Program Studi
Bioteknologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Suharsono, DEA
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
29 Januari 2013
10
PRAKATA
Puji serta syukur penulis ucapkan kehadirat Alloh SWT karena berkat
Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul
“Introduksi dan Ekspresi Gen Fragmen Antibodi Untai Tunggal (scFv) AntiEGFRvIII pada Pichia pastoris”. Tesis ini merupakan hasil penelitian yang
dilakukan di Laboratorium Protein, Vaksin dan Sistem Penghantaran Terarah,
Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada :
1. Prof. Dr. Anja Meryandini, MS dan Dr. Asrul Muhamad Fuad, M.Si selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama
penelitian hingga penyusunan tesis ini.
2. Drs. Djadjat Tisnadjaja, M.Tech yang telah memberikan kesempatan dan
dukungan sehingga penulis dapat mengikuti program pendidikan pascasarjana.
3. Teh Goli, Prety, Dian, bu Ami, Rithami, Maya dan Riyona atas bantuannya
selama penelitian di Laboratorium Protein, Vaksin dan Sistem Penghantaran
Terarah. Nurlaili, dr. Ela dan Herman dari Laboratorium Biopharmaceutical
atas pengertiannya selama penulis mengerjakan penelitian.
4. Teman-teman Program Studi BTK 2009
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Mamah, Apa, Mas dan
Fikri tersayang atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya.
Penulis menyadari akan keterbatasan yang dimiliki, maka masukan berupa
saran dan kritik guna penyempurnaan penulisan karya ilmiah ini sangat
diharapkan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca dan terutama pengembangan ilmu penulis.
Bogor, April 2013
Ai Hertati
11
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI
x
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
EGFR dan EGFRvIII
Sistem Ekspresi Pichia pastoris
Green Fluorescent Protein (GFP)
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Metode
Prosedur Kerja
1
1
2
2
3
3
4
6
7
7
7
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Subkloning scFv-1 (VH-L-VL) ke dalam Vektor Ekspresi
Fusi Gen scFv-1 dengan gen GFP
Introduksi ke dalam Pichia pastoris
Seleksi Sel Pichia pastoris Transforman
Uji Ekspresi dan Analisis Ekspresi Protein Rekombinan Skala Kecil
Konstruksi scFv Versi 2 (VL-L-VH)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
13
13
18
24
27
31
33
39
39
39
40
LAMPIRAN
43
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
51
12
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
Primer yang digunakan dalam penelitian
Hasil transformasi plasmid rekombinan pPICZαA-scFv(1)-GFP
pada E. coli TOP10F’
Hasil penentuan konsentrasi dan kemurnian plasmid rekombinan
pPICZαA-scFv(1)-EGFP dengan menggunakan nanofotometer
Kondisi pada saat elektroporasi plasmid rekombinan pPICZαAscFv(1)-EGFP dengan menggunakan alat elektroporator
Jumlah koloni hasil transformasi P. pastoris dengan plasmid
pPICZαA-scFv(1)-EGFP
Persentase hasil seleksi P. pastoris transforman
Halaman
8
21
26
26
27
28
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Skema struktur protein pada EGFR wild-type dan EGFRvIII
Peta vektor pPICZαA
Skema struktur plasmid pAF_scFv-01
Target konstruksi scFv anti-EGFRvIII
Skema PCR untuk konstruksi scFv versi 2
Produk amplifikasi PCR plasmid pAF-scFv-1 dengan pasangan
primer VH101-F-NdeXho dan VL101-R-NdeXho
Hasil potong vektor pPICZαA dan gen scFv hasil PCR dengan
enzim XhoI
Hasil transformasi pPICZαA-scFv-1 ke dalam E. coli TOP10F’
dengan metoda kejut panas
Posisi penempelan primer VH101-F dan VL101-R pada plasmid
rekombinan pPICZαA_scFv-1
Hasil PCR koloni transforman pPICZαA-scFv-1 dengan
menggunakan primer VH101-F dan VL101-R
Posisi penempelan primer AOX-F dan VH101-R pada plasmid
rekombinan pPICZαA-scFv-1
Hasil PCR penentuan orientasi gen scFv dalam konstruk
pPICZαA-scFv-1 dengan pasangan primer AOX-F dan VH101R
Hasil pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi XhoI
terhadap plasmid rekombinan pPICZαA_scFv
Hasil amplifikasi (tahap pertama) dengan menggunakan
pasangan primer EGFP-F dan EGFP-R
Hasil amplifikasi gen egfp dengan PCR tahap kedua
menggunakan pasangan primer EGFP-G4S-ClaI dengan EGFP-
Halaman
3
5
7
7
12
13
14
14
15
16
16
17
18
19
19
13
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
R-ClaI
Hasil transformasi pPICZαA_scFv(1)_EGFP pada E. coli
TOP10F’
Posisi penempelan primer pada proses PCR koloni dengan
menggunakan primer AOX-F dan AOX-R
Hasil PCR koloni transforman dengan menggunakan pasangan
primer AOX-F dan AOX-R
Posisi penempelan primer pada proses orientasi konstruk dengan
menggunakan pasangan primer EGFP-F dan AOX-R
Hasil PCR penentuan orientasi gen egfp di dalam konstruk
dengan menggunakan pasangan primer EGFP-F dan AOX-R
Hasil pemotongan plasmid rekombinan
pPICZαA_scFv(1)_EGFP dengan menggunakan enzim restriksi
ClaI
Hasil isolasi DNA plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP
Hasil potong plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP dengan
menggunakan enzim restriksi SacI
Hasil transformasi pPICZαA_scFv(1)_EGFP pada P. pastoris
Hasil seleksi transforman P. pastoris pada media YPD agar yang
mengandung zeocin 100 µg/ml
Hasil seleksi transforman P. pastoris pada media YPD agar yang
mengandung zeocin 200 µg/ml
Hasil seleksi transforman P. pastoris pada media YPD agar yang
mengandung zeocin 300 µg/ml
Hasil seleksi transforman P. pastoris pada media YPD agar yang
mengandung zeocin 1000 µg/ml
Hasil analisis ekspresi protein rekombinan dengan teknik SDSPAGE
Hasil analisis immunoblotting menggunakan teknik Slot Blot
terhadap sampel protein beberapa galur P. pastoris transforman
Hasil pengamatan sel transforman P. pastoris yang mengandung
gen penanda GFP yang berfluoresen hijau
Hasil amplifikasi PCR fragmen VH, VL dan Linker
Hasil amplifikasi PCR dan purifikasi fragmen scFv-2
menggunakan pasangan primer VL-F dan VH-R
Hasil transformasi plasmid rekombinan pTZ_scFv ke dalam E.
coli DH5α
Hasil PCR koloni E. coli transforman pTZ_scFv-2
Hasil isolasi DNA plasmid pTZ_scFv-2 dari beberapa klon E.
coli transforman
Hasil PCR plasmid rekombinan pTZ_scFv dengan
menggunakan pasangan primer VL101-F dan VH101-R
Hasil pemotongan plasmid rekombinan pTZ_scFv dengan
menggunakan enzim XbaI
20
21
22
22
23
23
25
25
27
29
29
30
30
31
32
32
34
35
35
36
36
37
38
14
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
Komposisi dan cara pembuatan media, larutan dan buffer
Bahan yang digunakan dalam pembuatan gel poliakrilamid
Hasil sekuen DNA plasmid rekombinan pPICZαA_scFv-1
Hasil sekuen DNA plasmid rekombinan
pPICZαA_scFv(1)_EGFP
Hasil sekuen DNA plasmid pTZ-scFv-2
Halaman
43
45
46
48
49
15
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Terapi kanker terarah berbasis antibodi merupakan salah satu jenis terapi
kanker generasi baru yang diharapkan dapat bersifat selektif sehingga dapat
mengurangi efek samping terhadap sel normal. Faktor yang sangat penting dalam
pembuatan terapi kanker terarah adalah pemilihan target terapi yang tepat. Salah
satu target terapi yang telah diketahui mengalami overekspresi pada beberapa
jenis sel kanker adalah epidermal growth factor receptor (EGFR) (Gupta et al.
2010 , Kuan et al. 2001).
Epidermal growth factor receptor (EGFR) merupakan suatu reseptor
glikoprotein yang memiliki berat molekul sebesar 170 kDa. EGFR adalah anggota
famili reseptor tirosin kinase yang memiliki peran penting dalam pertumbuhan
dan proliferasi sel (Pedersen et al. 2001). Fakta bahwa EGFR ditemukan pada sel
normal mengharuskan para peneliti dalam bidang onkologi mencari alternatif
antigen lain yang lebih spesifik pada sel kanker. EGFRvIII merupakan salah satu
varian mutan EGFR yang diketahui mengalami overekspresi pada beberapa jenis
sel kanker seperti kanker paru-paru (16%), kanker payudara (78%) dan kanker
ovarium (73%) (Pedersen et al. 2001). EGFRvIII merupakan target terapi yang
sangat ideal karena hasil mutasi delesi ekson 2-7 menghasilkan suatu residu asam
amino glisin dan membentuk sekuen peptida unik yang menjadikannya sebagai
antigen spesifik. Selain itu ekspresi EGFR vIII tidak ditemukan pada sel normal
(Pedersen et al. 2001, Gupta et al. 2010).
Antibodi yang digunakan dalam terapi kanker terarah dapat berupa
molekul antibodi utuh atau berupa fragmen antibodi. Kedua molekul ini berperan
sebagai ligan untuk menghantarkan agen sitotoksik pada sel target yang dituju.
Terdapat beberapa hambatan apabila digunakan molekul antibodi utuh sebagai
ligan. Hambatan ini terutama disebabkan karena ukuran molekul antibodi yang
relatif besar (150 kDa) dapat mengurangi kemampuannya untuk penetrasi
melewati membran sel tumor. Selain itu semakin besar ligan yang digunakan
semakin besar pula imunogenisitas dari ligan tersebut. Oleh karena itu dicari ligan
lain yang berukuran lebih kecil seperti fragmen antibodi untai tunggal (scFv).
ScFv terdiri atas domain variable untai berat (VH) dan domain variable untai
ringan (VL) yang dihubungkan oleh suatu polipeptida penghubung (linker). ScFv
memiliki ukuran yang lebih kecil (25 kDa) sehingga memiliki kemampuan
penetrasi membran sel tumor yang lebih baik dan imunogenisitas yang lebih
rendah (Ahmad et al. 2011, Jafari et al. 2011)
ScFv telah diekspresikan pada beberapa sel inang mulai dari sel prokariot
(E. coli) hingga sel mamalia (Chinese Hamster Ovary). Ekspresi scFv pada E. coli
memiliki beberapa kelemahan seperti scFv yang dihasilkan tidak mengalami
proses modifikasi pasca translasi sehingga terkadang menghasilkan scFv yang
tidak fungsional. Selain itu ekspresi scFv pada E. coli juga dapat menghasilkan
insoluble inclusion bodies yang memerlukan beberapa langkah tambahan agar
menghasilkan scFv yang aktif (Naumann et al.2011, Peterson et al. 2006)
Sistem ekspresi mamalia memberikan hasil yang lebih baik karena scFv
yang dihasilkan dapat mengalami serangkaian proses modifikasi pasca translasi.
Namun kelemahan dari sistem ini adalah proses pengerjaannya tidak mudah dan
dibutuhkan biaya yang cukup besar (Naumann et al. 2011).
16
Sistem ekspresi khamir dapat menggabungkan keuntungan dari kedua
sistem yang dijelaskan di awal. Sistem ekspresi khamir memiliki kemudahan
proses seperti E. coli dan memungkinkan terjadinya proses modifikasi pasca
translasi sehingga dihasilkan molekul scFv yang aktif. Ekspresi pada khamir dapat
terjadi secara intraselular maupun ekstraselular. Pichia pastoris merupakan salah
satu khamir yang telah banyak digunakan sebagai sel inang untuk ekspresi
beberapa jenis protein rekombinan termasuk scFv (Daly & Hearn 2005). Beberapa
keunggulan P. pastoris sebagai sel inang diantaranya adalah mampu tumbuh
dengan densitas sel yang tinggi pada media yang sederhana dan memiliki
promotor AOX1 yang sangat efisien sehingga mampu memproduksi protein
rekombinan dalam jumlah yang cukup besar (Cupit et al. 1999)
Green fluorescent protein (GFP) merupakan suatu protein yang dapat
berperan sebagai penanda bagi beberapa proses biologis seperti ekspresi suatu
protein atau untuk menentukan lokasi dari protein target di dalam sel atau
organisme tertentu. Fusi scFv dengan GFP telah diketahui memiliki beberapa
manfaat seperti dalam proses analisis tumor, penemuan obat baru serta
mempelajari proses internalisasi dan farmakodinamika terapi gen (Naumann et al.
2011).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membuat fragmen antibodi untai tunggal
(scFv) yang digunakan sebagai ligan untuk membawa agen sitotoksik.
Manfaat Penelitian
Fragmen antibodi (scFv) anti-EGFRvIII diharapkan dapat menjadi suatu
ligan spesifik yang berperan membawa agen antikanker yang dapat bermanfaat
untuk pengembangan terapi kanker terarah.
17
TINJAUAN PUSTAKA
EGFR dan EGFRvIII
Epidermal growth factor (EGF) yang ditemukan pada tahun 1950-an oleh
Levi-Montalcini dan Stanley Cohen adalah faktor pertumbuhan yang pertama kali
ditemukan. Pada tahun 1970-an protein membran plasma yang berikatan dengan
EGF ditemukan dan diberi nama EGFR. EGFR merupakan suatu glikoprotein
dengan berat molekul 170 kDa dan termasuk ke dalam famili reseptor tirosin
kinase (Carpenter & Cohen 1979).
Karena peranannya sebagai mediator dalam proses pertumbuhan dan
proliferasi sel, EGFR diasosiasikan dengan sebagian besar kasus malignancy pada
manusia termasuk diantaranya kanker payudara, kanker paru-paru, kanker otak,
kanker prostat dan kanker mulut (Harari 2004).
Mekanisme yang menyebabkan EGFR menjadi onkogenik bervariasi yaitu
: proses autocrine growth factor loops, amplifikasi dan overekspresi EGFR, serta
mutasi yang menyebabkan perubahan aktivasi reseptor yang semula bersifat
terinduksi ligan menjadi bersifat konstitutif (Harari 2004).
Mutan EGFR ini biasa ditemukan pada beberapa kasus tumor manusia dan
mutasi yang paling sering terjadi adalah delesi pada daerah ekstraselular. Delesi
ini mengakibatkan EGFR bersifat konstitutif. Salah satu varian mutan EGFR yang
mengalami mutasi adalah EGFRvIII (Kuan et al. 2001, Mendelsohn & Baselga
2003).
EGFRvIII merupakan suatu EGFR yang telah mengalami mutasi pada
bagian ekstraselularnya. Bentuk mutasi yang terjadi adalah delesi pada 801
pasang basa yang terdapat pada ekson 2-7 pada mRNA, menghasilkan kehilangan
asam amino nomor 6-273 pada bagian ekstraselular. EGFRvIII memiliki berat
molekul sebesar 145 kDa. EGFRvIII tetap memiliki kemapuan untuk masuk ke
dalam membran sel karena tidak ada perubahan pada signal peptida. Perbedaan
struktur EGFR dengan EGFRvIII dapat lihat pada Gambar 1 (Kuan et al. 2001).
Gambar 1 Skema Struktur Protein pada EGFR Wild-type dan EGFRvIII
(Kuan et al. 2001)
EGFRvIII memiliki jalur transduksi signal yang berbeda dengan EGFR.
Perbedaan inilah yang mungkin menyebabkan perbedaan malignancy pada sel
yang mengekspresikan EGFRvIII. EGFRvIII hanya ditemukan pada sel tumor
oleh karena itu sangat ideal sebagai target terapi untuk terapi kanker terarah.
EGFRvIII dapat dihambat dengan menggunakan beberapa cara seperti
menggunakan antibodi, ribozim dan inhibitor tirosin kinase (Kuan et al. 2001).
18
Sistem Ekspresi Pichia pastoris
Sistem ekspresi prokariot biasanya digunakan untuk memproduksi protein
heterolog rekombinan dari cDNA eukariot. Akan tetapi, dari hasil beberapa
penelitian diketahui bahwa protein yang berasal dari sel eukariot membutuhkan
proses modifikasi pasca translasi agar menjadi suatu bentuk protein yang stabil
dan aktif secara biologis. Sistem ekspresi prokariot tidak mempunyai perangkat
untuk melakukan proses modifikasi pasca translasi ini. Kelemahan sistem ekspresi
prokariot yang lain adalah senyawa toksin dari bakteri dan yang bersifat pirogen
dapat mengkontaminasi produk protein rekombinan yang dihasilkan. Untuk
mengatasi masalah tersebut maka dikembangkan sistem ekspresi protein eukariot,
yaitu ragi, serangga, atau sel mamalia sehingga protein yang dihasilkan bebas dari
kontaminasi, stabil dan memiliki aktivitas biologis (Daly & Hearn 2005).
Ekspresi protein dalam S. cerevisiae telah berhasil digunakan untuk
ekspresi berbagai protein dari sumber yang berbeda. Pada beberapa hasil
penelitian hasil ekspresinya rendah. Pada penelitian lain disebutkan bahwa protein
rekombinan yang diproduksi pada sistem ekspresi S. cerevisiae ini mengalami
proses hiperglikosilasi dengan jumlah residu manosa 50-150 residu pada rantai
samping N-linked oligosakarida. Inti oligosakarida S. cerevisiae memiliki ikatan
1,3 glikan pada ujungnya yang diduga menyebabkan efek hiper antigenik
sehingga protein yang dihasilkan tidak dapat digunakan sebagai agen terapetik.
Selain itu, pada S. cerevisiae apabila densitas sel tinggi maka akan memproduksi
etanol yang bersifat toksik bagi sel. Oleh karena itu, jumlah protein yang
disekresikan harus lebih rendah (Cregg et al. 1989, Daly & Hearn 2005).
Peneliti lalu mencari sistem ekspresi eukariot lain yang dapat berperan
sebagai sel inang yang efektif untuk memproduksi protein rekombinan tanpa
kendala yang telah diuraikan dibagian sebelumnya. P. pastoris sebagai sistem
ekspresi eukariot memiliki kemampuan untuk memproduksi protein, pelipatan
protein dan modifikasi pasca translasi. Namun disisi lain P. pastoris mudah untuk
dimanipulasi seperti E. coli dan S. cerevisiae. P. pastoris merupakan khamir
metilotropik, yaitu khamir yang mampu menggunakan metanol sebagai sumber
karbonnya (Cereghino & Cregg 2000).
Terdapat tiga faktor yang menyebabkan P. pastoris sangat baik untuk
produksi protein rekombinan, yaitu :
1. Biomassa yang dihasilkan tinggi, lebih tinggi 10 kali lipat dibandingkan
dengan kultur S. cerevisiae
2. Memiliki promotor yang sangat kuat sehingga tingkat ekspresinya tinggi.
Promotor gen AOX1 adalah promotor dari enzim alkohol oksidase yang
dapat diinduksi oleh metanol. Jumlah alkohol oksidase di dalam sel bisa
mencapai 30% dari total protein sel saat ditumbuhkan dengan substrat
metanol.
3. Mensekresikan sangat sedikit protein native sehingga mempermudah
proses purifikasi protein rekombinan yang disekresikan.
4. Tidak terjadi proses hiperglikosilasi pada protein rekombinan yang
dihasilkan, dimana residu manosa yang ditambahkan hanya 8-14 residu
untuk setiap rantai samping.
5. Pada struktur inti oligosakaridanya tidak terdapat ikatan 1,3- glikan yang
menyebabkan efek hiper antigenik.
19
Vektor ekspresi P. pastoris biasanya dibuat untuk dapat berintegrasi ke
dalam kromosom sehingga tidak akan terjadi masalah sedikitnya jumlah produk
yang dihasilkan karena ketidakstabilan plasmid. Gen target dan marka seleksi ragi
disisipkan ke kromosom melalui proses rekombinasi homolog antara DNA pada
vektor dengan daerah yang homolog pada genom P. pastoris (Cregg et al. 2008).
Vektor pPICZ dan pPICZα merupakan vektor ekspresi untuk P. pastoris
yang memiliki tingkat ekspresi yang tinggi. Kedua vektor ini mempunyai marker
seleksi antibiotik Zeocin sehingga proses seleksi dapat dilakukan secara langsung.
Zeocin juga dapat digunakan untuk E. coli sehingga dapat mengurangi
penggunaan antibiotik lain (Gambar 3) (Invitrogen 2008).
Vektor pPICZ dan pPICZα memiliki : (1) promoter AOX1 untuk
mengekspresikan protein dengan level tinggi yang diinduksi oleh metanol. (2) cterminal c-myc epitope dan urutan 6xhis untuk memudahkan proses deteksi dan
purifikasi protein. (3) gen 5’AOX1 yang berfungsi untuk mengarahkan integrasi
ke genom P. pastoris. Vektor pPICZα juga memiliki signal sekresi α-faktor yang
berfungsi untuk menargetkan sekresi protein rekombinan ke medium (Invitrogen
2008).
Gambar 2 Peta vektor pPICZαA (Invitrogen 2008)
Vektor untuk P. pastoris yang lain, seperti pGAPZ dan pGAPZα memiliki
sifat yang berbeda dengan kedua vektor yang disebut terlebih dulu. Vektor ini
dapat mengekspresikan protein tanpa memerlukan metanol sebagai penginduksi.
Vektor ini memiliki promoter GAP untuk mengekspresikan protein dengan level
tinggi, marker seleksi Zeocin untuk seleksi langsung, C-terminal c-myc epitope
serta 6xHis untuk memudahkan proses deteksi dan purifikasi protein. pGAPZα
juga mengandung signal sekresi α-faktor yang berfungsi untuk menargetkan
sekresi protein rekombinan ke medium.
P. pastoris telah banyak digunakan sebagai sel inang alternatif untuk
ekspresi protein eukariot yang komplek. Khamir dapat melakukan proses
20
modifikasi pasca-translasi seperti pada sel mamalia, sel serangga atau sel
tanaman. P. pastoris dilaporkan mampu mensintesa beberapa produk protein
mamalia seperti human-Insulin, h-IFN-α1, porcine-Lactoferin, h-α-Glucosidase,
h-EPO mutan (Skoko et al. 2003) dan beberapa protein antibodi (scFv) (Shi et al.
2003). Sementara itu produksi protein heterolog pada P. pastoris dilaporkan
cukup beragam, mulai dari beberapa mg/L sampai beberapa g/L kultur. Perbedaan
tingkat ekspresi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti sifat dan asal
protein target, perbedaan kodon, konstruksi vektor ekspresi, serta efisiensi sekresi
protein ekstrasel. Peningkatan ekspresi protein rekombinan dapat dilakukan
dengan cara optimasi kodon dari gen target dengan kodon preferensi dari sel inang
(Cereghino & Cregg 2000).
Green Fluorescent Protein (GFP)
Green fluorescent protein (GFP) adalah protein yang ditemukan dari uburubur (Aequorea victoria) oleh Osamu Shimomura pada tahun 1962 pada saat
meneliti aequorin. GFP berhasil diklon pertama kali pada tahun 1992 oleh Prasher
dan kemudian diketahui terdiri atas 238 asam amino. Ketiga residu asam amino
yaitu serin-tirosin-glisin pada posisi 65-67 berperan sebagai gugus kromofor yang
menjadikan GFP dapat berfluoresensi. GFP telah diketahui bersifat non toksik dan
dapat diekspresikan dalam jumlah yang cukup tinggi pada berbagai organisme
yang berbeda dan sama sekali tidak berpengaruh pada efek fisiologinya. Ketika
GFP difusikan dengan suatu protein target yang sedang diteliti maka protein
tersebut dapat diekspresikan dan tetap aktif. Di sisi lain GFP sendiri tetap
berfluoresensi (Tsien 1998).
Berdasarkan sifat GFP di atas, maka GFP memiliki peranan yang sangat
penting dalam penelitian di bidang biologi. GFP dapat digunakan sebagai pewarta
dalam mempelajari proses-proses yang terjadi di dalam sel seperti proses transfer
protein, mempelajari organel-organel yang terikat pada membran sel dan juga
berperan dalam proses pencitraan sel serta jaringan (Huang & Shusta 2006).
Roger Tsien (1998) menyebutkan bahwa GFP selain dapat diekspresikan pada
E.coli dan C. elegans juga berhasil diekspresikan pada khamir Sacharomyces
cerevisiae dan sel mamalia. Pada saat yang bersamaan juga diketahui bahwa GFP
berhasil diekspresikan pada Drosophila melanogaster. Penemuan-penemuan
tersebut menunjukkan bahwa GFP dapat diekspresikan pada keempat jenis
organisme model sehingga GFP dapat digunakan sebagai penanda genetik
universal dalam penelitian di bidang biologi. Roger Tsien (1998) juga
menyebutkan bahwa pembentukan gugus kromofor pada GFP terjadi pada proses
pasca translasi dan hanya memerlukan molekul oksigen untuk mengaktifkannya.
Oleh karena itu, GFP dapat diekspresikan pada semua organisme.
Pada salah satu penelitian fusi GFP dengan fragmen antibodi untai tunggal
(scFv) yang dilakukan oleh Huang dan Shusta (2006) diketahui bahwa fusi GFP
dengan protein target akan lebih resisten terhadap proses degradasi apabila
ditempatkan pada ujung karboksi.
Enhanced Green Fluorescent Protein (EGFP) adalah salah satu varian
mutan GFP yang mengalami mutasi pada gugus kromofornya, yaitu substitusi
Phe-64 menjadi Leu dan Ser-65 menjadi Thr. Mutasi substitusi ini menyebabkan
EGFP berpendar 35 kali lebih terang intensitasnya dibandingkan GFP (Wang et
al. 2003).
21
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2011 sampai Oktober 2012,
bertempat di Laboratorium Protein, Vaksin dan Sistem Penghantaran Terarah,
Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Cibinong, Bogor.
Bahan dan Metode
Gen, Plasmid dan Mikroorganisme
Gen scFv anti EGFRvIII dibuat secara sintetik dan diklon dalam plasmid
pJ201 di DNA 2.0 Inc USA berdasarkan sekuen protein anti-EGFRvIII (Weber et
al. 2009). Sekuen gen anti-EGFRvIII sintetik telah dioptimasi dengan kodon
preferensi P. pastoris. Plasmid yang dihasilkan disebut pAF-scFv-01 (Gambar 3).
Plasmid pPICZαA (Invitrogen, USA) digunakan sebagai vektor ekspresi gen
scFv pada sistem ekspresi P. pastoris. E. coli yang digunakan untuk kloning
plasmid rekombinan adalah E. coli DH5α dan E. coli TOP10F’. P. pastoris
SMD1168H (Invitrogen, USA) digunakan sebagai sel inang untuk ekspresi
protein rekombinan. Plasmid pTZ_EGFP digunakan sebagai sumber gen gfp.
Sekuen gen gfp pada pTZ_EGFP berasal dari pEGFP1 (Clontech, USA)
Gambar 3 Skema struktur plasmid pAF_scFv-01
Keterangan : VH= domain untai berat, VL= domain untai ringan, L=
Linker, 6xH= polihistidin tag, X= kodon stop; XhoI, ClaI dan XbaI=
situs restriksi, KanR= penanda resistensi antibiotik kanamisin.
Fragmen antibodi scFv dibuat dalam 2 versi yang berbeda (Gambar 4). Fragmen
scFv versi 1 (scFv-1) kemudian difusikan dengan gen gfp sebagai penanda.
Fragmen scFv versi 2 (scFv-2) yang memiliki struktur VL-L-VH dibuat dengan
teknik overlap extension PCR.
Gambar 4 Target konstruksi scFv anti-EGFRvIII
Keterangan : A= scFv versi 1, B= scFv versi 2, C= Fusi scFv versi 1
dengan gen gfp
22
Media
Media-media yang digunakan dalam penelitian ini adalah Luria Bertani
(LB), Low Salt Luria Bertani (LSLB), YPD, YPDS, BMGY, BMMY dan 2xYT.
Komposisi media dapat dilihat pada lampiran. Primer DNA yang digunakan
dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Primer yang digunakan dalam penelitian.
NO.
1.
2.
3.
4.
5.
NAMA PRIMER
VH101-F
VH101-R
VL101-F
VL101-R
Linker101-F
6.
Linker101-R
7.
8.
9.
10.
11.
VH101-F-NdeXho
VL101-R-NdeXho
EGFP-F
EGFP-R
EGFP-F-G4S-Cla
12.
13.
14.
EGFP-R-Cla
AOX-F
AOX-R
URUTAN NUKLEOTIDA
5’-CAA GTT CAA TTG GTT GAG TCA GGA G-3’
5’-AGA CGA CAC TGT TAC CAG CGT-3’
5’-GAT ATT GTT ATG ACC CAA ACA CCA TTG TC-3’
5’-TTT GAT TTC GAC TTT AGT TCC TTG ACC A-3’
5’- GGT CAA GGA ACT AAA GTC GAA ATC AAA GGA
GGT GGC GGT TCC GGT GGTGGTGGT AGT GGT-3’
5’- CTC CTG ACT CAA CCA ATT GAA CTT GTG AAC
CTC CTC CAC CAC TAC CAC CACCAC CGG AA-3’
5’- CAT ATG CTC GAG AAG AGG GAG-3’
5’- CAT ATG CTCGAG TCA TTA ACA ATG ATG-3’
5’- ATG GTG AGC AAG GGC GAG GAG-3’
5’- CTT GTA CAG CTC GTC CAT GCC G-3’
5’- GGG ATC GAT GGA GGT GGC GGT TCT ATG GTG
AGC AAG GGC GAG GAG -3’
5’- GGG ATC GAT CTT GTA CAG CTC GTC CAT GCC -3’
5’- GAC TGG TTC CAA TTG ACA AGG-3’
5’- GCA AAT GGC ATT CTG ACA TCC-3’
Prosedur Kerja
Subkloning gen scFv-1 (VH-L-VL) ke dalam Vektor Ekspresi
Gen scFv pada plasmid pAF-scFv-01 memiliki struktur VH-L-VL (disebut
scFv-1). VH adalah fragmen variabel untai berat, VL fragmen variabel untai
ringan dan L adalah peptida penghubung (linker) yang menghubungkan VH dan
VL. Linker (L) yang digunakan memiliki sekuen (G4S)3.
Subkloning gen scFv ke dalam plasmid pPICZαA diawali dengan proses
amplifikasi gen scFv pada plasmid pAF-scFv-01 menggunakan pasangan primer
VH101-F-NdeXho dan VL101-R-NdeXho untuk menghasilkan fragmen scFv.
Produk PCR scFv dan vektor pPICZαA kemudian dipotong dengan menggunakan
enzim restriksi XhoI. Fragmen antibodi dan plasmid pPICZαA yang telah
dipotong selanjutnya dielektroforesis pada gel agarosa (1%). Kedua komponen
tersebut kemudian diisolasi dari gel agarosa menggunakan Gel DNA Extraction
Kit (GeneAid). Hasil isolasi DNA diverifikasi dengan elektroforesis. Ligasi antara
plasmid pPICZαA dan fragmen antibodi dilakukan menurut protokol umum
biologi molekuler (Ausubel et al. 2002). Hasil ligasi kemudian ditransformasikan
pada E. coli TOP10F’ dengan metoda Heat Shock dan disebar pada media LSLB
yang mengandung zeocin (25 µg/ml). Analisis PCR koloni dilakukan secara
langsung menggunakan E. coli sebagai sumber DNA untuk mengetahui adanya
DNA sisipan pada plasmid rekombinan. Primer yang digunakan adalah primer
spesifik gen target, yaitu VH101-F dan VL101-R. Selanjutnya plasmid
rekombinan diekstraksi dari klon E. coli yang positif mengandung gen target.
Verifikasi selanjutnya dilakukan untuk menentukan orientasi gen dalam konstruk
dengan menggunakan pasangan primer AOX-F dan VH101-R. Plasmid
23
rekombinan kemudian dianalisis dengan cara pemotongan menggunakan enzim
restriksi XhoI. Klon yang menunjukkan hasil positif kemudian dipersiapkan untuk
analisis urutan nukleotida (sekuensing DNA). Plasmid yang diperoleh disebut
pPICZαA_scFv_1. Klon dengan urutan nukleotida yang tepat digunakan dalam
langkah berikutnya yaitu fusi gen scFv dengan gen gfp.
Fusi Gen scFv dengan gen gfp
Plasmid rekombinan pPICZαA_scFv_1 digunakan untuk fusi gen scFv
dengan gen gfp. Gen gfp difusikan pada ujung-C dari scFv. Gen gfp diamplifikasi
dari plasmid pTZ-EGFP menggunakan pasangan primer EGFP-F-G4S-ClaI
(forward) dan EGFP-R-ClaI (reverse). Gen gfp hasil PCR dan plasmid
pPICZαA_scFv dipotong dengan enzim restriksi ClaI. Selanjutnya gen gfp
diligasikan dengan plasmid pPICZαA_scFv. Hasil ligasi ditransformasikan ke
dalam E.coli TOP10F’. Sel tansforman diseleksi pada medium LSLB yang
mengandung antibiotik zeocin (25 µg/ml). Untuk memperoleh klon plasmid
rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP yang tepat, dilakukan analisis lebih lanjut
dengan teknik PCR. Pertama, PCR koloni dilakukan terhadap beberapa klon yang
tumbuh dalam media seleksi menggunakan primer AOX1-F (forward) dan
AOX1-R (reverse). Klon yang memberikan hasil positif kemudian diekstraksi dari
E. coli. Kedua, PCR plasmid dilakukan terhadap klon yang positif mengandung
gen sisipan (egfp) menggunakan primer EGFP-F (forward) dan AOX-R (reverse)
untuk menentukan orientasi gen pada plasmid. Plasmid rekombinan yang
diperoleh (pPICZαA_scFv(1)_EGFP) kemudian dipotong dengan enzim restriksi
ClaI. Beberapa klon plasmid rekombinan dengan fusi scFv-EGFP yang tepat
kemudian disiapkan untuk analisis urutan nukleotida. Klon dengan urutan DNA
yang tepat digunakan untuk tahap selanjutnya dan plasmid yang diperoleh disebut
sebagai pPICZαA_scFv(1)_EGFP.
Introduksi Plasmid Rekombinan ke dalam P. pastoris
Sebanyak 5-10 µg plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP
dilinearisasi dengan cara dipotong menggunakan enzim SacI. Hasil pemotongan
diperiksa dengan elektroforesis. Plasmid yang telah terpotong diisolasi dari gel
agarosa menggunakan Gel DNA Extraction Kit (GeneAid, USA). Sel kompeten P.
pastoris disiapkan menurut protokol dari produsen pada manual Easy
SelectTMPichia Expression Kit (Invitrogen). Transformasi P. pastoris dilakukan
dengan metoda elektroporasi. Sebanyak 80 µl sel kompeten P. pastoris yang telah
disiapkan dimasukkan ke dalam kuvet elektroporasi steril (2 mm gap) kemudian
diinkubasi dalam es. Ke dalam kuvet yang sama dimasukkan 5-10 µg DNA
(dalam 10 µl air steril) dan diaduk perlahan (kuvet digoyang dengan ujung jari).
Kuvet, sel dan DNA diinkubasi dalam es selama 5 menit. Elektroporasi dilakukan
menggunakan elektroporator (Gene Pulser BioRad, USA). Kondisi elektroporasi
adalah kondisi optimal yang dasarankan oleh produsen alat (BioRad, USA), yaitu
2000V, 25uF, 200ohm, 5 msec dengan kuvet 2mm gap dan 40 ul suspensi sel.
Segera setelah elektroporasi dilakukan, ditambahkan 1 ml sorbitol (1M, 0°C) ke
dalam kuvet. Kemudian isi kuvet ditransfer ke dalam tabung 1,5 ml steril dan
diinkubasi pada suhu 30°C selama 1-2 jam. Sel hasil elektroporasi disebar pada
cawan yang mengandung medium agar YPDS dengan 100 µg/ml zeocin dengan
24
volume beragam pada setiap cawan (50, 25 dan 20 µl). Cawan diinkubasi selama
2-4 hari pada suhu 30°C sampai terlihat koloni yang tumbuh. Selanjutnya koloni
tersebut ditumbuhkan kembali pada media YPD baru yang mengandung zeocin
dengan konsentrasi zeocin meningkat untuk proses seleksi.
Sel P. pastoris transforman diseleksi pada medium YPD dengan beberapa
konsentrasi zeocin meningkat, yaitu 200, 300 dan 1000 µg/ml untuk mendapatkan
transforman yang memiliki stabilitas genetik tinggi dan jumlah salinan gen lebih
dari satu. Pengujian tersebut dilakukan dengan memilih koloni yang tumbuh baik
pada media YPD dengan konsentrasi zeocin 100 µg/ml. Koloni tersebut kemudian
digoreskan pada medium YPD dengan konsentrasi zeocin 200 µg/ml. Kultur
kemudian diinkubasi selama 1-2 hari pada suhu 30°C. Koloni yang tumbuh baik
pada medium tersebut kemudian digoreskan pada media dengan konsentrasi
zeocin 300 µg/ml dan diinkubasi pada suhu 30°C selama 1-2 hari. Hal yang sama
dilakukan pada media dengan zeocin 1000 µg/ml. Koloni yang tumbuh dengan
baik pada media dengan konsentrasi zeocin tertinggi digunakan untuk uji ekspresi
protein.
Uji Ekspresi Protein Rekombinan Skala Kecil
Sebanyak 2 ml media BMGY diinokulasi dengan satu koloni transforman
kemudian diinkubasi dalam incubator shaker pada suhu 28-30°C dengan agitasi
200 rpm selama 16-18 jam sehingga kultur mencapai nilai OD600 = 2-6. Sel
kemudian dipanen dengan cara sentrifugasi pada 3000 g selama 5 menit pada suhu
ruang. Supernatan didekantasi kemudian sel pelet diresuspensi dengan 5 ml
medium BMMY hingga OD600 = 1. Kultur kemudian diinkubasi dalam incubator
shaker pada suhu 28-30 °C, 200 rpm, selama 72 jam. Metanol ditambahkan ke
dalam media induksi hingga konsentrasi akhir 0,5% (v/v) setiap 12 jam untuk
induksi ekspresi protein rekombinan. Pengambilan contoh sebanyak 300 μl untuk
analisis ekspresi protein rekombinan dilakukan pada jam ke 0, 24, 48 dan 72.
Analisis Ekspresi Protein Rekombinan
Sel Pichia transforman dan non transforman diamati dengan mikroskop
fluoresens Leica DM 1000. Pengamatan dilakukan terhadap ekspresi EGFP yang
akan berpendar hijau dibawah pengamatan mikrokop fluoresens. Sampel adalah
sel yang diambil setiap 24 jam setelah induksi dengan methanol, yaitu sampel
setelah 24, 48 dan 72 jam induksi. Sebanyak 5-10 μl sel diteteskan pada kaca
preparat dan dilihat dengan menggunakan mikroskop fluoresens.
Protein rekombinan yang diekspresikan dianalisis menggunakan SDSPAGE (konsentrasi poliakrilamid 12%) dan Slot Blot (immunoblotting). Prosedur
SDS-PAGE dilakukan sesuai metode dari Ausubel et al (2002) dengan pewarnaan
coomassie blue. SDS-PAGE dimulai dengan pembuatan gel poliakrilamid 12%
yang terdiri dari stacking dan separating gel (lampiran). Sampel yang dianalisis
merupakan supernatan yang telah dipresitasi sebelumnya dengan menggunakan
larutan TCA 100% (trichloroacetic acid) menurut Sanchez (2001).
Metode Slot Blot dilakukan sesuai dengan metode dari Amersham
Bioscience (2011). Peralatan Slot Blot dan membran niroselulosa dipasang dan
kemudian dihubungkan dengan pompa vakum. Sampel protein yang sebelumnya
telah dilarutkan dalam buffer TBS dimasukkan ke dalam sumur yang terdapat
pada alat Slot Blot. Setelah pompa vakum dinyalakan, maka sampel ditransfer ke
25
membran niroselulosa. Membran nitroselulosa kemudian direndam dan digoyang
dengan larutan blocking (lampiran) selama 1 jam. Membran lalu dicuci dengan
larutan washing (lampiran) sebanyak 3 kali masing-masing selama 15, 5 dan 5
menit. Membran kemudian direndam dan digoyang dengan antibodi primer yang
dicampur dengan larutan blocking dengan perbandingan 1:2500 selama 1 jam lalu
dicuci seperti pada langkah sebelumnya. Membran lalu direndam dan digoyang
lagi dengan antibodi sekunder yang telah dicampur dengan larutan blocking
dengan perbandingan 1:2500 selama 1 jam. Membran kemudian dicuci lagi sesuai
dengan langkah sebelumnya dan ditambahkan developer yaitu Western Blue
Stabilized Substrate for Alkaline Phosphatase (Promega, USA).
Oleh karena fusi protein scFv-EGFP mengandung His-tag, maka antibody
primer yang digunakan adalah mouse anti-His (Promega, USA). Antibodi
sekunder yang digunakan adalah goat anti-mouse IgG-AP conjugate (Santa Cruz,
USA).
Konstruksi scFv-2 (VL-L-VH)
Fragmen scFv-2 dibuat dengan menggunakan sekuen scFv-1 sebagai
cetakan. Dua pasang primer VH-F/VH-R dan VL-F/VL-R digunakan masingmasing untuk amplifikasi fragmen VH dan VL. Pasangan primer linker –F dan
linker-R digunakan untuk mengkonstruksi fragmen linker yang masing-masing
memiliki daerah overlap dengan fragmen VH dan VL. Fragmen VH, VL dan
linker masing-masing diamplifikasi secara terpisah. Produk PCR selanjutnya
dipurifikasi dari gel agarose dengan menggunakan kit dari GeneAid. Fragmen
scFv-2 (versi-2) ini dikonstruksi dengan metode PCR menggunakan teknik
overlap extention PCR dengan menggabungkan ketiga produk PCR tersebut (VH,
VL dan Linker) dalam satu reaksi PCR. Produk DNA target, yaitu untai VL—L—
VH, diamplifikasi dengan pasangan primer VL-F/VH-R. Produk PCR yang
dihasilkan dianalisis dengan elektroforesis gel agarose (1 %) dan pita DNA target
diisolasi dari gel agarose menggunakan Gel DNA Extraction Kit (GeneAid).
Selanjutnya fragmen scFv-2 ini diklon kedalam plasmid kloning pTZ57R
(Fermentas) dan ditransformasikan pada E. coli DH5. Transformasi dilakukan
menggunakan Bacterial Transformation Kit (Fermentas). E. coli transforman
diseleksi menggunakan medium agar LB yang mengandung ampisilin, IPTG dan
X-Gal. Beberapa klon transforman yang mengandung plasmid rekombinan
dengan DNA sisipan yang tepat dipilih untuk dilakukan analisis sekuen DNA.
Semua primer yang digunakan dalam proses konstruksi scFv-2 dapat dilihat pada
Tabel 1 sedangkan proses PCR dapat dilihat pada Gambar 5.
26
Gambar 5 Skema PCR untuk kosntruksi scFv versi 2
27
HASIL DAN PEMBAHASAN
Subkloning scFv-1 (VH-L-VL) ke dalam Vektor Ekspresi
Fragmen gen scFv-1 yang terdapat di dalam plasmid pAF_scFv-1 diklon
ke dalam vektor ekspresi pPICZαA. Fragmen scFv diperoleh melalui amplifikasi
gen scFv-1 pada pAF_scFv-1 dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer
VH101-F-NdeXho dan VL101-R-NdeXho. Situs restriksi XhoI yang diperlukan
untuk proses subkloning gen ke dalam pPICZαA ditambahkan pada kedua
ujungnya. Hasil amplifikasi PCR dari gen scFv-1 dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Produk amplifikasi PCR plasmid pAF-scFv-1 dengan pasangan primer
VH101-F-NdeXho dan VL101F-R-NdeXho.
Keterangan : M= Marka DNA berukuran 1 kb, Lajur 1 dan 2= produk
PCR gen scFv
Produk PCR menunjukkan pita DNA dengan ukuran 759 pb (Gambar 6). Produk
PCR dan vektor pPICZαA kemudian dipotong dengan menggunakan enzim
restriksi XhoI untuk mempermudah proses kloning ke dalam vektor ekspresi
pPICZαA. Hasil restriksi kemudian diperiksa dengan elektroforesis pada gel
agarosa 1% (Gambar 7).
28
Gambar 7 Hasil potong vektor pPICZαA dan gen scFv hasil PCR dengan enzim
XhoI.
Keterangan : M= Marka DNA berukuran 1 kb, Lajur 1= Vektor
pPICZαA (tidak dipotong), Lajur 2= Vektor pPICZαA dipotong dengan
enzim XhoI, Lajur 3= gen scFv, Lajur 4= gen scFv dipotong dengan
enzim restriksi XhoI.
Proses kloning berikutnya adalah ligasi dan transformasi ke dalam E. coli
TOP10F’ dengan metoda kejut panas (heat shock). Dari hasil transformasi
diperoleh sebanyak 42 koloni yang diduga membawa fragmen scFv yang
diinsersikan (Gambar 8). Nilai efisiensi transformasi yang dihasilkan adalah
sebesar 2,47 x 103 cfu/µg DNA plasmid. Rendahnya nilai efisiensi transformasi
dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah konsentrasi DNA
plasmid yang digunakan pada saat proses ligasi terlalu rendah, perbandingan
antara komponen DNA plasmid dan DNA gen sisipan yang belum optimal, suhu
inkubasi pada saat proses ligasi yang belum optimal dan aktivitas enzim ligase
yang digunakan. (Brown 2006; Glick & Pasternak 1994).
Gambar 8
Hasil Transformasi pPICZαA_scFv-1 ke dalam E. coli TOP10F’
dengan metoda kejut panas.
Keterangan : K= koloni E. coli transforman
29
Koloni E. coli yang tumbuh diduga mengandung sisipan gen scFv. Koloni E. coli
tersebut diverifikasi dengan beberapa cara, diantaranya adalah teknik PCR koloni,
pengecekan orientasi gen dalam konstruksi, pemotongan menggunakan enzim
restriksi XhoI dan analisis sekuen DNA.
Gambar 9 Posisi penempelan primer VH101-F dan VL101-R pada plasmid
rekombinan pPICZαA_scFv-1
PCR koloni dilakukan untuk memverifikasi keberadaan sisipan gen scFv
di dalam plasmid rekombinan pPICZαA_scFv. PCR koloni dilakukan dengan
menggunakan pasangan primer VH101-F dan VL101-R (Tabel 1). Posisi
penempelan primer pada plasmid rekombinan pPICZαA_scFv-1 dapat dilihat
pada Gambar 9. Hasil PCR koloni menunjukkan bahwa dari 42 sampel koloni
yang diperiksa diperoleh 16 sampel yang diduga positif mengandung sisipan gen
scFv. Dengan kata lain hanya 38% sampel yang diduga positif mengandung gen
scFv. Rendahnya jumlah sampel positif kemungkinan disebabkan oleh beberapa
faktor yang berkaitan dengan proses ligasi. Proses ligasi akan memberikan hasil
optimal apabila komponen-komponen yang terlibat dalam proses ligasi dan
prosesnya itu sendiri berada dalam kondisi optimum. Komponen ligasi yang
penting adalah DNA plasmid, DNA gen sisipan dan enzim ligase. Perbandingan
antara DNA plasmid dan DNA gen sisipan akan sangat menentukan keberhasilan
suatu proses ligasi. Perbandingan yang tidak tepat antara DNA plasmid dengan
DNA gen sisipan akan membuat komponen tersebut tidak akan mengalami ligasi
yang diharapkan yaitu antara DNA plasmid dengan DNA gen sisipan. Konsentrasi
enzim ligase dan waktu serta suhu inkubasi juga mempengaruhi keberhasilan
proses ligasi. Suhu yang tidak tepat akan menyebabkan enzim ligase yang
digunakan tidak bekerja optimal. Demikian pula dengan konsentrasi enzim ligase
yang digunakan. Gambar 10 memperlihatkan sebagian hasil PCR koloni dari 42
koloni yang tumbuh. Pada Gambar 10 terlihat bahwa klon pada kolom ke-2, 3, 4,
5, 8 dan 9 diduga mengandung sisipan gen scFv dengan ukuran sebesar 711 pb.
Sampel tersebut kemudian diverifikasi dengan langkah berikutnya yaitu
penentuan orientasi dari struktur scFv.
30
Gambar 10 Hasil PCR koloni transforman pPICZαA_scFv dengan menggunakan
primer VH101-F dan VL101-R.
Keterangan : M= Marka DNA 1 kb, (K+)= Hasil PCR koloni dengan
cetakan plasmid pAF-scFv-01, Lajur 1-10= transforman
pPICZαA_scFv
Gambar 11 Posisi penempelan primer AOX-F dan VH101-R pada plasmid
rekombinan pPICZαA_scFv-1
Penentuan orientasi struktur scFv dilakukan dengan teknik PCR
menggunakan pasangan primer AOX-F dengan VH101-R. Penentuan orientasi
konstruk dilakukan untuk mengetahui posisi dari sisipan gen scFv telah tepat atau
belum, karena terdapat kemungkinan terjadinya orientasi yang salah dari gen scF.
Kesalahan ini dapat disebabkan oleh pada saat pemotongan plasmid hanya
digunakan satu enzim restriksi (XhoI) sehingga kemungkinan kesalahan orientasi
akan sangat besar. Pemilihan primer yang digunakan yaitu AOX-F dan VH101-R
selain untuk menentukan orientasi juga dipilih untuk mengetahui apakah proses
fusi antara α-faktor telah terjadi atau belum. Posisi penempelan primer pada
proses pengecekan orientasi konstruk dapat dilihat pada Gambar 11. Apabila
sampel memiliki orientasi yang tepat, maka produk PCR yang terbentuk sebesar
750 bp . Gambar 12 memperlihatkan hasil penentuan orientasi konstruk.
31
Gambar 12 Hasil PCR penentuan orientasi gen scFv dalam konstruk
pPICZαA_scFv dengan menggunakan pasangan primer AOX-F dan
VH101-R.
Keterangan : M = marka DNA 1 kb, lajur 1-12 = sampel transforman
Penentuan orientasi konstruk yang dilakukan terhadap 16 sampel klon yang
diduga mengandung DNA sisipan diperoleh 8 klon yang mengandung gen scFv
dengan orientasi yang tepat yaitu sebesar 50%. Hasil ini lebih rendah dari nilai
yang diharapkan yaitu sekitar 80%. Orientasi gen sisipan di dalam konstruk
menentukan aktivitas dari protein yang diekspresikan. Orientasi yang salah akan
menyebabkan protein target tidak terekspresi. Gambar 12 menunjukkan sebagian
hasil pengecekan orientasi konstruk yang positif, yaitu klon pada lajur ke-2, 3, 4,
5, 7 dan 8.
Pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi XhoI dilakukan untuk
memastikan keberadaan sisipan gen scFv yang terfusi pada situs restriksi tertentu
(XhoI). Gambar 13 memperlihatkan hasil pemotongan 8 sampel yang dipotong
dengan menggunakan enzim restriksi XhoI. Klon pada kolom ke-4 sampai 10
memberikan 2 pita yaitu pita a yang berukuran 3600 pb dan pita b yang berukuran
750 pb. Pita a diduga merupakan vektor pPICZαA sedangkan pita b merupakan
sisipan gen scFv. Hasil pemotongan menggunakan enzim restriksi XhoI dari 8
sampel yang dipotong diperoleh 7 klon sampel yang diduga mengandung sisipan
gen scFv. Gambar 13 lajur 11 menunjukkan bahwa satu klon yang dipotong tidak
memberikan pita seperti yang diharapkan, yaitu pita a (3600 pb) dan pita b (750
pb). Terdapat beberapa kemungkinan yang menyebabkan tidak terpotongnya
plasmid rekombinan pada kedua situs restriksi XhoI. Diantaranya adalah
kemungkinan terjadinya mutasi pada salah satu situs restriksi XhoI yang terdapat
pada klon tersebut.
32
Gambar 13 Hasil pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi XhoI
terhadap plasmid rekombinan pPICZαA_scFv.
Keterangan : M = marka DNA 1 kb, lajur 1= pPICZαA, lajur 2=
pPICZαA dipotong dengan enzim restriksi XhoI, lajur 3=
pPICZαA_scFv, lajur 4-11= pPICZαA_scFv dipotong dengan
enzim restriksi XhoI, a= pPICZαA, b= sisipan gen scFv
Analisis sekuen dilakukan terhadap 7 klon yang memberikan hasil positif
dengan pengecekan bertahap yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Analisis
sekuensing dilakukan untuk memperkuat hasil analisis dengan menggunakan
teknik PCR dan pemotongan dengan enzim restriksi tertentu, karena analisis
tersebut tidak dapat mendeteksi terjadinya mutasi pada urutan DNA plasmid
rekombinan yang diperoleh. Analisis sekuensing juga dilakukan untuk
mengetahui fusi antara α-faktor dengan gen scFv telah terjadi pada kerangka baca
terbuka yang tepat. Analisis sekuensing dilakukan dengan menggunakan primer
AOX-Forward. Hasil sekuensing menunjukkan bahwa 2 sampel yaitu klon no. 21
dan 41 memiliki urutan DNA yang sesuai dengan sekuen DNA gen sintetik yang
dibuat (Lampiran 3). Lampiran 3 menunjukkan bahwa proses subkloning scFv
telah berhasil dilakukan ke dalam vektor pPICZαA pada situs restriksi XhoI.
Lampiran 3 juga menunjukkan fusi antara α-factor signal sequence dengan
fragmen scFv. α-factor signal sequence berfungsi sebagai perangkat untuk
mengarahkan sekresi protein rekombinan ke dalam medium (sekresi ekstraselular)
(Cregg et al. 1993).
Fusi Gen scFv Versi 1 dengan gen egfp
Fusi gen scFv dengan penanda EGFP dilakukan untuk mempermudah
proses pendeteksian ekspresi protein rekombinan pada P. pastoris (Morino et al.
2001).
Gen egfp diperoleh melalui teknik amplifikasi PCR dengan menggunakan
plasmid PTZ_EGFP sebagai cetakan. Proses PCR dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pertama dilakukan dengan menggunakan primer EGFP-F dan EGFP-R
untuk memperoleh fragmen gen egfp. Tahap kedua dilakukan dengan
menggunakan pasangan primer EGFP-F-G4S-ClaI dan EGFP-R-Cla untuk
33
menambahkan situs restriksi ClaI yang diperlukan untuk proses fusi gen scFv
dengan gen egfp.
Gambar 14 Hasil amplifikasi (tahap pertama) dengan menggunakan pasangan
primer EGFP-F dan EGFP-R
Keterangan : M= Marka DNA 1 kb, lajur 1&2= produk PCR gen
egfp tahap pertama.
Pada amplifikasi gen egfp tahap pertama dengan pasangan primer EGFP-F
dan EGFP-R diperoleh produk PCR dengan ukuran 717 pb (Gambar 14). Produk
PCR yang diperoleh kemudian dijadikan sebagai cetakan untuk proses PCR tahap
kedua. Proses PCR tahap kedua yang menggunakan pasangan primer EGFP-G4SClaI dan EGFP-R-ClaI diperoleh produk PCR dengan ukuran 759 pb (Gambar
15). Amplifikasi gen egfp dengan teknik PCR 2 tahap ini diperlukan untuk
mengintroduksi situs restriksi ClaI yang dibutuhkan untuk proses subkloning ke
dalam vektor. Pasangan primer yang digunakan pada PCR tahap kedua memiliki
situs restriksi ClaI sehingga pada waktu proses subkloning hanya diperlukan 1
situs restriksi. Produk ini kemudian dipurifikasi menggunakan Gel/PCR DNA
Fragment Extraction Kit dari GeneAid.
Gambar 15 Hasil amplifikasi gen egfp dengan PCR tahap kedua menggunakan
pasangan primer EGFP-G4S-ClaI dengan EGFP-R-ClaI.
Keterangan : M= marka DNA 1 kb, lajur 1&2= produk PCR gen egfp
tahap kedua.
Plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1) dan gen egfp kemudian dipotong
dengan enzim restriksi ClaI. Gen egfp kemudian disubklon ke dalam plasmid
34
pPICZαA_scFv-1 melalui proses ligasi dan transformasi plasmid rekombinan ke
dalam E. coli TOP10F’ dengan metoda kejut panas (heat shock). Gen egfp
difusikan pada ujung-3’ dari gen scFv. Ligasi antara plasmid rekombinan
pPICZαA_scFv dengan gen egfp menghasilkan plasmid rekombinan
pPICZαA_scFv(1)_EGFP. Gambar 16 menunjukkan hasil transformasi plasmid
rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP pada E. coli TOP10F’. Hasil transformasi
E. coli dengan plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP yang tumbuh pada
media LSLB agar yang mengandung zeocin 25 µg/ml mencapai 865 koloni (Tabel
2). Sementara itu, dari proses religasi plasmid tanpa DNA sisipan yang digunakan
sebagai kontrol tumbuh 442 koloni. Melihat hasil transformasi tersebut maka
diduga hanya sekitar 51% koloni yang tumbuh pada media seleksi tersebut
merupakan
koloni
yang
membawa
plasmid
rekombinan
pPICZαA_scFv(1)_EGFP. Salah satu faktor penyebab rendahnya presentase
koloni yang diduga membawa plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP
adalah kemungkinan pada saat proses defosforilasi enzim alkalin fosfatase tidak
bekerja secara optimal karena suhu dan waktu inkubasi yang tidak tepat.
Akibatnya masih banyak plasmid yang mengalami religasi (Glick & Pasternak
1994). Proses yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi koloni yang
membawa plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP antara lain dengan
teknik verifikasi menggunakan PCR koloni terhadap keberadaan gen egfp,
penentuan orientasi konstruk fusi scFv dengan gen egfp, pemotongan plasmid
rekombinan dengan enzim restriksi ClaI dan analisis sekuensing plasmid
rekombinan yang diperoleh.
Gambar 16 Hasil transformasi pPICZαA_scFv(1)_EGFP pada E. coli TOP10F’
35
Tabel 2 Hasil Transformasi Plasmid Rekombinan pPICZαA_scFv(1)_GFP
pada E. coli TOP10F’
Plate
A
B
Religasi
1
87
120
1
20
97
198
2
33
209
124
3
33
229
4
35
121
5
Jumlah
122
743
442
Keterangan : A= Ligasi pPICZαA_scFv dengan EGFP dengan perbandingan 1:4,
B= Ligasi pPICZαA_scFv dengan EGFP dengan perbandingan 1:8, Religasi =
pPICZαA_scFv.
Gambar 17 Posisi penempelan primer pada proses PCR koloni dengan
menggunakan primer AOX-F dan AOX-R
PCR koloni dilakukan terhadap 115 koloni transforman yang tumbuh yang
dipilih secara acak dari semua plate. PCR koloni dilakukan dengan menggunakan
pasangan primer AOX-F dan AOX-R. Posisi penempelan primer AOX-F dan
AOX-R pada plasmid rekombinan dapat dilihat pada Gambar 17. Hasil analisis
pada gel agarosa (Gambar 18) menunjukkan terdapat 2 pita produk PCR yang
berukuran 2000 pb dan 1200 pb (lajur no. 1 dan 5). Sampel transforman yang
memberikan produk PCR dengan ukuran sekitar 2000 pb diduga membawa DNA
sisipan gen egfp. Sedangkan transforman yang memberikan produk PCR
berukuran 1200 pb diduga tidak mengandung gen sisipan egfp. Hal ini diperoleh
dari ukuran komponen plasmid rekombinan, yaitu α- faktor (500 pb), gen scFv
(750 pb) dan gen egfp (800 pb). Hasil PCR koloni menunjukkan dari 115 koloni
transforman yang diuji diperoleh 23 koloni transforman yang diduga membawa
plasmid rekombinan pPICZαA_scFv_EGFP.
36
Gambar 18 Hasil PCR koloni transforman dengan menggunakan pasangan primer
AOX-F dan AOX-R
Keterangan : M = marka DNA 1 kb, lajur 1-12 = sampel transforman
Gambar 19 Posisi penempelan primer pada proses orientasi konstruk dengan
menggunakan pasangan primer EGFP-F dan AOX-R
Proses verifikasi selanjutnya adalah penentuan orientasi gen egfp di dalam
konstruk dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer EGFP-F dan AOXR. Pasangan primer tersebut digunakan untuk menentukan posisi relatif dari
sisipan gen egfp terhadap komponen lain di dalam konstruk plasmid rekombinan
pPICZα_scFv(1)_EGFP. Posisi penempelan pasangan primer EGFP-F dan AOXR pada plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP dapat dilihat pada Gambar
19. Proses verifikasi dengan teknik PCR ini akan menghasilkan produk PCR yang
berukuran 750 pb apabila memiliki gen sisipan egfp dengan orientasi yang tepat.
(Gambar 20). Sebanyak 14 koloni transforman memberikan pita yang berukuran
750 pb yang berarti koloni tersebut diduga memiliki orientasi konstruk yang tepat,
sedangkan 9 koloni lainnya (lajur no. 1, 2, 7 dan 11) tidak terdapat pita yang
berukuran 750 pb. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan karena telah terjadi
kesalahan orientasi gen egfp di dalam konstruk.
37
Gambar 20 Hasil PCR penentuan orientasi gen egfp di dalam konstruk dengan
menggunakan pasangan primer EGFP-F dan AOX-R.
Keterangan : M = marka DNA 1 kb, lajur 1-12 = sampel transforman
Verifikasi dengan cara pemotongan menggunakan enzim restriksi ClaI
dilakukan terhadap 14 sampel koloni transforman (Gambar 21). Hasil pemotongan
dengan enzim restriksi ClaI seharusnya memberikan hasil 2 buah pita yaitu pita
plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1) (4350 pb) dan pita gen egfp (800 pb),
akan tetapi pada sampel plasmid hasil pemotongan dengan enzim restriksi ClaI
tidak diperoleh kedua pita tersebut. Gambar 21 menunjukkan bahwa hasil
pemotongan plasmid rekombinan dengan menggunakan enzim restriksi ClaI
hanya diperoleh 1 pita DNA yang berukuran sekitar 5000 pb. Pita tersebut diduga
diperoleh dari hasil pemotongan hanya pada satu situs restriksi ClaI sehingga
plasmid rekombinan menjadi berbentuk linear akan tetapi tidak dapat
mengeluarkan sisipan gen egfp. Hal ini dapat diduga disebabkan oleh beberapa
hal seperti aktivitas enzim restriksi ClaI yang berkurang atau karena telah terjadi
mutasi pada situs restriksi ClaI. Untuk mengetahui penyebab tidak terbentuknya
dua pita pada pemotongan dengan enzim restriksi ClaI maka dilakukan analisis
sekuensing terhadap 4 sampel yang dipilih secara acak dari 14 koloni yang
diperoleh untuk mengidentifikasi urutan nukleotida klon tersebut.
Gambar 21 Hasil pemotongan plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP
dengan menggunakan enzim restriksi ClaI.
Keterangan : M= marka DNA 1 kb, 1= plasmid
pPICZαA_scFv(1)_EGFP, lajur 2-8= pPICZαA_scFv(1)_EGFP
dipotong dengan enzim restriksi ClaI
38
Hasil analisis sekuensing terhadap 4 koloni transforman menunjukkan
bahwa hanya satu klon, yaitu A3 yang memiliki plasmid rekombinan dengan
urutan nukleotida yang tepat (Lampiran 4). Hasil sekuensing menunjukkan bahwa
fusi antara gen scFv dengan gen egfp telah terjadi pada situs restriksi ClaI. Dua
situs restriksi ClaI terdapat pada kedua ujung gen egfp (ujung-3’ dan ujung-5’).
Hasil sekuensing ini belum dapat menjelaskan penyebab tidak terpotongnya
plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP oleh enzim restriksi ClaI
meskipun tidak terjadi mutasi pada situs restriksi tersebut. Penyebab tidak
terpotongnya plasmid rekombinan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya adalah aktivitas enzim ClaI yang digunakan kemungkinan belum
optimal, suhu dan waktu inkubasi pada saat proses digesti dengan enzim restriksi
yang kurang optimal atau kemungkinan karena telah terjadi proses metilasi pada
situs restriksi ClaI. Hasil analisis sekuen DNA dari beberapa klon yang lain
menunjukkan terjadinya mutasi baik pada bagian gen scFv maupun gen egfp.
Introduksi Plasmid Rekombinan ke dalam P. pastoris
P. pastoris yang digunakan sebagai inang dalam proses transformasi ini
adalah P. pastoris SMD1168H yang memiliki genotip His4 dan pep4 serta fenotip
Mut+, His- dan pep4-. Proses transformasi plasmid rekombinan
pPICZα_scFv(1)_EGFP ke dalam P. pastoris diawali dengan preparasi sel
kompeten P. pastoris dan plasmid rekombinan pPICZα_scFv(1)_EGFP. Sel
kompeten P. pastoris dibuat sesuai dengan prosedur pembuatan sel kompeten
Invitrogen Easy SelectTM Pichia Expression Kit.
Plasmid rekombinan pPICZα_scFv(1)_EGFP diisolasi dari E. coli
TOP10F’ (Gambar 22) dan kemudian dipurifikasi menggunakan Gel/PCR DNA
Fragment Extraction Kit dari GeneAid. Kemurnian dari plasmid yang akan
ditransformasikan ke dalam P. pastoris akan sangat berpengaruh terhadap hasil
transformasi. Pita DNA hasil isolasi (Gambar 22) menunjukkan adanya 3 pita
DNA yang terbentuk. Diduga pita yang berada paling atas adalah pita DNA
genom oleh karena itu harus dilakukan purifikasi terhadap preparasi plasmid
tersebut. Plasmid rekombinan tersebut kemudian dipotong dengan menggunakan
enzim restriksi SacI agar diperoleh DNA plasmid yang linear. Menurut Cregg et
al. 1989 pemotongan DNA plasmid rekombinan ini bertujuan untuk
meningkatkan hasil transformasi, karena DNA yang telah dipotong akan
mengarahkan proses rekombinasi secara langsung pada sekuen DNA target, yaitu
sekuen promotor AOX1. Di dalam Easy SelectTM Pichia Expression Kit disebutkan
bahwa apabila digunakan plasmid DNA yang sudah dipotong (linearized) maka
DNA yang diperlukan untuk proses transformasi sebesar 5-10 μg, sedangkan
apabila digunakan DNA sirkular, maka dibutuhkan jumlah DNA yang jauh lebih
besar yaitu 50-100 μg DNA. Plasmid yang telah dipotong dengan enzim restriksi
SacI (Gambar 23) kemudian dipurifikasi lagi dengan menggunakan Gel/PCR
DNA Extraction Kit dari GeneAid untuk menghilangkan komponen-komponen
yang digunakan pada saat restriksi yang juga dapat mengganggu tingkat
keberhasilan transformasi.
39
Gambar 22 Hasil isolasi DNA plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP
Keterangan : K = kontrol plasmid pPICZαA_scFv, lajur 1&2= plasmid
pPICZαA_scFv_EGFP
Gambar 23 Hasil potong plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP dengan menggunakan
enzim restriksi SacI.
Keterangan : M = marka DNA 1 kb, Lajur 1 = plasmid pPICZαA
(tidak dipotong), Lajur 2 = plasmid pPICZαA dipotong dengan enzim
restriksi SacI, Lajur 3 = plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP, Lajur 4-5
= plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP dipotong dengan enzim restriksi
SacI.
Konsentrasi DNA plasmid yang akan digunakan dalam proses
transformasi ditentukan konsentrasinya dengan menggunakan nanofotometer
(Tabel 3). Hasil penentuan konsentrasi menunjukkan bahwa konsentrasi DNA
plasmid yang diperoleh relatif kecil, sehingga bila kita mengacu pada jumlah
DNA yang digunakan dalam protokol Easy SelectTM Pichia Expression Kit yaitu
sebesar 5-10 µg, maka diperlukan volume yang banyak untuk mencapai jumlah
DNA yang cukup untuk proses transformasi. Nilai konsentrasi DNA yang kecil
akan mempengaruhi hasil transformasi baik dari segi jumlah transforman yang
dihasilkan maupun keberhasilan proses integrasi DNA plasmid rekombinan ke
dalam genom P. pastoris.
40
Tabel 3 Hasil penentuan konsentrasi dan kemurnian plasmid rekombinan
pPICZαA_scFv(1)_EGFP dengan menggunakan nanofotometer
Sampel
A260/280
Konsentrasi (ng/µl)
2,5
12,1
pPICZαA_scFv_EGFP (ekstraksi ke-1)
3,0
7,3
pPICZαA_scFv_EGFP (ekstraksi ke-2)
Proses transformasi pada P. pastoris dilakukan sesuai dengan prosedur yang
terdapat pada Easy SelectTM Pichia Expression Kit (Invitrogen) dengan metoda
elektroporasi menggunakan alat elektroporator (BioRad). Proses elektroporasi
yang dilakukan menggunakan protokol dan kondisi elektroporasi yang optimal
untuk transformasi P. pastoris. Kondisi pada saat proses elektroporasi dapat
dilihat pada Tabel 4. DNA plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP
sebanyak 20 µl (0,24 µg) ditransformasikan ke dalam 40 µl sel kompeten P.
pastoris. Ke dalam campuran antara plasmid rekombinan dan sel kompeten
kemudian ditambahkan 1 ml sorbitol 1 M segera setelah proses elektroporasi.
Penambahan sorbitol bertujuan untuk menjaga tekanan osmotik sel agar tidak
pecah setelah proses elektroporasi dan membantu sel untuk memperbaiki diri.
Selain itu sorbitol juga berfungsi untuk menjaga agar DNA yang sudah masuk ke
dalam sel tidak kembali lagi keluar sel (Invitrogen 2001).
Tabel
4
Kondisi
pada saat
elektroporasi
pPICZαA_scFv(1)_EGFP
dengan
Elektroporator
Sampel
Waktu Pulsa
(milisecond)
4,9
4,8
Tegangan
(volt)
1977
1978
plasmid rekombinan
menggunakan
alat
pPICZαA_scFv_EGFP
Kontrol
Keterangan : kontrol (sel kompeten P. pastoris SMD1168H)
Kapasitas
(µF)
25
25
Resisten
(Ω)
200
200
Hasil transformasi plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP pada P.
pastoris dapat dilihat pada Gambar 24. Tabel 5 menunjukkan jumlah koloni hasil
transformasi dengan efisiensi transformasi sebesar 1,2 x 104 cfu/µg DNA.
Menurut Invitrogen (2001), efisiensi transformasi dengan teknik elektroporasi
berada pada kisaran 103-104 transforman/µg DNA plasmid. Terdapat beberapa
faktor yang dapat menyebabkan rendahnya jumlah transforman yang dihasilkan.
Hal yang pertama adalah DNA plasmid yang digunakan terlalu rendah
konsentrasinya, yaitu hanya 0,24 μg. Sedangkan menurut prosedur yang terdapat
pada Easy SelectTM Pichia Expression Kit DNA plasmid yang digunakan berkisar
antara 5-10 μg untuk setiap proses transformasi. Faktor berikutnya adalah sel
kompeten dan DNA plasmid tidak tercampur secara homogen. Hal-hal lain yang
dapat mempengaruhi nilai efisiensi transformasi, diantaranya adalah waktu
inkubasi yang terlalu singkat, kondisi pada saat elektroporasi dan preparasi sel
kompeten juga harus dilakukan sebaik mungkin agar diperoleh sel kompeten yang
berkualitas baik.
41
A
B
C
Gambar 24 Hasil transformasi pPICZαA_scFv(1)_EGFP pada P. pastoris
Keterangan : A, B & C menunjukkan koloni P. pastoris hasil
elektroporasi dan disebar pada medium seleksi YPDS + zeocin (100
µg/ml). Volume yang disebar : 50 μl (A), 25μl (B) & 20 μl (C)
Tabel 5 Jumlah koloni hasil transformasi P. pastoris dengan plasmid
pPICZαA_scFv(1)_EGFP
Plate
A
B
C
Kontrol
1
41
73
19
3
2
85
76
155
0
3
0
37
18
0
Jumlah
126
186
192
3
Jumlah Total
504
3
Keterangan : A, B & C menunjukkan sel hasil elektroporasi yang disebar masingmasing 50 μl (A), 25μl (B) & 20 μl (C).
Ada beberapa metoda transformasi yang dapat digunakan untuk P.
pastoris, diantaranya adalah elektroporasi dan spheroplast. Metoda elektroporasi
memiliki beberapa keunggulan dibanding metoda spheroplast. Keungguluan yang
pertama adalah sangat efisien karena memungkinkan proses seleksi langsung pada
media yang mengandung zeocin. Keunggulan yang kedua adalah metoda ini
memberikan hasil transformasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan metoda
spheroplast (Cregg et al. 1985). Pada metoda spheroplast, dinding sel yang
mengalami kerusakan akan memerlukan waktu untuk pemulihan sehingga
meningkatkan sensitivitas sel terhadap zeocin. Oleh karena itu sel yang mungkin
saja membawa plasmid rekombinan akan tidak dapat bertahan hidup sebelum
sempat mengekspresikan gen resistensi zeocin yang telah dimiliki. Untuk
memperoleh nilai efisiensi transformasi yang tinggi selain memperhatikan faktorfaktor yang telai diuraikan di bagian sebelumnya juga harus dilakukan optimasi
proses elektroporasi agar diperoleh kondisi elektroporasi yang optimal.
Seleksi P. pastoris Transforman
Seleksi P. pastoris transforman dilakukan untuk mencari transforman yang
memiliki stabilitas genetik dan kemungkinan jumlah salinan gen lebih dari 1. Dari
504 transforman yang diperoleh sebanyak 130 transforman diseleksi kembali pada
media dengan konsentrasi zeocin yang meningkat, yaitu 200, 300 dan 1000 µg/ml.
Hasil seleksi dan uji tumbuh galur transforman pada medium seleksi tersebut
dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 25-28.
42
Tabel 6 Persentase hasil seleksi P. pastoris transforman
Konsentrasi zeocin (μg/ml)
100
200
300
1000
Koloni
yang diuji
130
128
96
15
Koloni yang
tumbuh
128
96
21
-
Persentase (%)
96,46
75,00
21,88
0
Klon P. pastoris transforman yang sebelumnya tumbuh pada media dengan zeocin
yang lebih rendah konsentrasinya, ternyata setelah ditumbuhkan kembali pada
media dengan zeocin yang konsentrasi yang lebih tinggi klon tersebut tidak
tumbuh. Hal ini kemungkinan disebabkan karena proses integrasi DNA pada klon
tersebut tidak stabil. Hanya transforman yang DNA plasmid rekombinannya telah
terintegrasi ke dalam genom yang dapat tumbuh dengan baik. Seleksi
menggunakan media dengan konsentrasi zeocin yang tinggi dapat menghasilkan
transforman yang lebih stabil dan plasmid rekombinan yang mengandung marka
resistensi zeocin telah terintegrasi stabil di dalam sel (Cereghino et al. 2008).
Transforman yang dapat tumbuh pada medium dengan konsentrasi zeocin 100
μg/ml hanya perlu memiliki 1 salinan gen, sedangkan untuk dapat tumbuh pada
medium dengan kandungan zeocin 1000 μg/ml diperlukan sedikitnya 3 salinan
dan 4 salinan gen untuk 2000 μg/ml zeocin. Peningkatan konsentrasi zeocin yang
digunakan pada medium seleksi akan menghasilkan galur yang memiliki
kestabilan genetik yang tinggi serta jumlah salinan gen lebih dari satu pada genom
transforman tersebut. Jika transforman masih dapat tumbuh pada konsentrasi
zeocin yang lebih tinggi diduga semakin banyak jumlah salinan gen yang terdapat
pada galur transforman tersebut (Daly & Hearn 2005). Pada penelitian ini,
transforman masih tumbuh dengan baik pada medium seleksi dengan kandungan
zeocin 300 µg/ml. Pada medium seleksi dengan 1000 µg/ml zeocin sama sekali
tidak ada transforman yang dapat tumbuh. Hal ini mengkin menunjukkan bahwa
transforman yang diperoleh kemungkinan memiliki salinan gen lebih dari 1
seperti yang terdapat pada uraian sebelumnya. Menurut literatur lain, disebutkan
bahwa transforman yang bisa tumbuh baik pada zeocin 1000 µg/ml memiliki
jumlah salinan gen sebanyak 15-25 buah (Sarramegna et al. 2002).
43
Gambar 25 Hasil seleksi transforman P. pastorid pada media YPD agar yang
mengandung zeocin 100 µg/ml
Keterangan : A= media YPD agar; B, C, D & E= media YPD agar +
zeocin 100 µg/ml
Gambar 26 Hasil seleksi transforman P. pastoris pada media YPD agar yang
mengandung zeocin 200 µg/ml
Keterangan : A= media YPD agar; B, C, D, E & F= media YPD agar
+ zeocin 200 µg/ml
44
Gambar 27 Hasil seleksi transforman P. pastoris pada media YPD agar yang
mengandung zeocin 300 µg/ml
Keterangan : A= media YPD agar; B, C & D= media YPD agar +
zeocin 300 µg/ml
Gambar 28 Hasil seleksi transforman pada media YPD agar yang mengandung
antibiotik zeocin 1000 µg/ml
Keterangan : A= media YPD agar; B, C & D= media YPD agar +
zeocin 1000 µg/ml
45
Uji Ekspresi dan Analisis Protein Rekombinan Skala Kecil
Uji ekspresi protein rekombinan skala kecil dilakukan terhadap
transforman yang tumbuh dengan baik pada konsentrasi zeocin 300 µg/ml (21
koloni transforman). Pengujian ini bertujuan untuk menguji transforman tersebut
akan mengekspresikan protein rekombinan yang diinginkan.
Proses ekspresi protein rekombinan terbagi dalam 2 tahap yaitu produksi
biomassa sel P. pastoris transforman dan proses induksi protein fusi scFv-EGFP
rekombinan. Proses produksi biomassa sel berlangsung dengan menggunakan
media BMGY sedangkan proses induksi menggunakan media BMMY.
Analisis protein rekombinan dilakukan terhadap sampel yang merupakan
cairan kultur bebas sel. Protein dipresipitasi menggunakan larutan TCA. Hasil
SDS PAGE (Gambar 29) dengan pewarna coomassie blue menunjukkan bahwa
telah terbentuk beberapa pita protein yang diduga merupakan protein target yaitu
fusi scFv-EGFP. Ukuran protein target dalam penelitian ini adalah 60 kDa.
Gambar 29 memperlihatkan bahwa pita protein yang dihasilkan masih beragam
karena protein rekombinan yang dihasilkan belum melalui proses purifikasi.
Untuk mengkonfirmasi bila protein tersebut telah berhasil diekspresikan dari P.
pastoris, maka diperlukan pengujian tambahan salah satunya dengan teknik
immunoblotting dengan menggunakan antibodi spesifik.
Gambar 29 Hasil analisis ekspresi protein rekombinan dengan teknik SDS-PAGE
Keterangan : M : marka protein 250 kDa, K1 dan K2 = kontrol
pastoris, T1-T7 = P. pastoris transforman
Analisis immunoblotting dengan teknik Slot Blot dilakukan untuk
mengkonfirmasi ekspresi protein dan untuk melihat tingkat ekspresi protein
rekombinan fusi scFv_EGFP (Gambar 30). Oleh karena fusi protein scFv-EGFP
mengandung His-tag, maka antibodi primer yang digunakan adalah mouse antiHis (Promega, USA). Antibodi sekunder yang digunakan adalah goat anti-mouseAP conjugate (Santa Cruz, USA). Gambar 30 menunjukkan bahwa diperoleh
berbagai tingkatan ekspresi protein rekombinan yang terlihat dari intensitas warna
ungu yang dihasilkan. Semakin kuat intensitas warna ungu yang dihasilkan diduga
semakin banyak protein rekombinan yang diproduksi oleh transforman tersebut.
46
Gambar 30 Hasil analisis immunoblotting menggunakan teknik Slot Blot terhadap
sampel protein beberapa galur P. pastoris transforman.
Keterangan : A= Air, M= Media, K= kontrol non transforman, T1-T9=
sampel protein dari beberapa galur P. pastoris transforman.
Gambar 30 menunjukkan bahwa galur P. pastoris transforman memiliki
tingkat ekspresi yang beragam. Hal ini terlihat dari perbedaan intensitas warna
antara galur yang satu dengan yang lainnya. Galur T2 terlihat memiliki intensitas
warna ungu yang lebih tebal jika dibandingkan dengan galur yang lain, dan ini
berarti bahwa galur T2 memiliki tingkat ekspresi paling tinggi. Sedangkan pada
galur lain terlihat sangat tipis bahkan tidak terlihat sama sekali. Tidak terlihatnya
warna ungu kemungkinan disebabkan oleh rendahnya afinitas antara antigen
dengan antibodi yang digunakan serta preparasi sampel protein yang kurang baik
pada proses blotting (Moore 2009).
Sel transforman dan non transforman P. pastoris diamati dengan
menggunakan mikroskop fluoresens Leica DM1000 (Gambar 31). Pengamatan ini
bertujuan untuk mengetahui keberhasilan proses ekspresi protein rekombinan fusi
scFv-EGFP dengan melihat pendaran EGFP pada panjang gelombang 450-490 nm
(Morino et al. 2001). Fluoresensi diduga berasal dari EGFP yang berada pada
bagian retikulum endoplasma, badan golgi atau terakumulasi di permukaan sel
(Naumann et al. 2011).
Gambar 31 Hasil pengamatan sel transforman P. pastoris yang mengandung gen
penanda GFP yang berfluoresen hijau.
Keterangan : A= sel pada fase kontras, B= sel pada fase kontras &
fluoresen, dengan perbesaran 100x. Nomor pada gambar
menunjukkan nomor kloni transforman.
47
Pengamatan dengan menggukan mikroskop menunjukkan terlihat perbedaan
antara kontrol P. pastoris non transforman (K) dengan P. pastoris transforman
(diwakili oleh sampel no. 1, 6, 10 dan 100) yaitu pada fase kontras dan fase
fluoresen. Pada fase tersebut P. pastoris transforman yang mengandung fusi scFvEGFP berfluoresen hijau (ditunjukkan oleh panah berwarna merah pada Gambar
30). Hasil pengamatan ini mempermudah proses pendeteksian keberhasilan
transformasi fusi scFv-EGFP ke dalam P. pastoris. Selain galur-galur yang
terlihat berfluoresensi yang menunjukkan terdapat fusi antara scFv dengan EGFP
ditemukan juga beberapa galur yang tidak terlihat fluoresensinya. Penyebab tidak
terlihatnya pendaran ini kemungkinan karena ekspresi protein belum optimal,
ekspresi sebenarnya ada hanya jumlahnya terlalu sedikit atau sangat lemah
sehingga tidak dapat terlihat dan mungkin karena beberapa galur tertentu memiliki
tingkat ekspresi yang lebih rendah dibanding yang lain (Morino et al. 2001).
Konstruksi ScFv Versi 2 (VL-L-VH) dengan Menggunakan
Teknik Overlap Extension PCR
Proses konstruksi scFv-2 dilakukan dengan teknik PCR menggunakan gen
scFv-1 sebagai cetakan. Tahapan proses konstruksi dapat dilihat pada Gambar 5.
scFv anti-EGFRvIII dibuat dalam dua versi berbeda dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh posisi domain VH, Linker dan VL terhadap aktivitas dan
afinitas fragmen antibodi tersebut. Tidak ada suatu ketentuan umum yang
menyatakan bahwa konstruk dengan susunan VH-L-VL lebih aktif daripada
konstruk dengan susunan VL-L-VH. Aktivitas dan afinitas fragmen antibodi
tersebut tergantung kepada gennya itu sendiri (Chang et al. 2008).
Proses PCR bagian pertama terbagi ke dalam 3 tahap reaksi yang berbeda,
yaitu untuk menghasilkan masing-masing fragmen VH, VL dan Linker. Proses
konstruksi fragmen VH dilakukan dengan menggunakan pasangan primer VH101F dengan VH101-R. Enzim yang digunakan adalah KOD Hot Start DNA
Polymerase. Suhu annealing yang digunakan pada reaksi PCR (60°C) ini
merupakan hasil optimasi sehingga diperoleh pita yang paling baik kualitasnya.
Proses konstruksi fragmen VH menghasilkan pita dengan ukuran 318 pb (Gambar
31). Proses konstruksi fragmen VL dilakukan dengan prosedur yang sama dengan
proses konstruksi fragmen VH. Pasangan primer yang digunakan dalam proses
konstruksi ini adalah VL101-F dan VL101-R. Pita yang dihasilkan dalam proses
konstruksi fragmen VL berukuran 348 pb (Gambar 31). Tahapan konstruksi yang
terakhir adalah konstruksi Linker yang akan menghubungkan fragmen VH dan
VL. Linker dikonstruksi dengan menggunakan pasangan primer L101-F dan
L101-R. Tahapan yang sangat kritis dalam pembuatan suatu fragmen antibodi
scFv adalah tahapan konstruksi masing-masing domain VH, VL dan linker serta
proses penyusunannya menjadi suatu kesatuan yang utuh (He et al. 2002).
48
Gambar 32 Hasil amplifikasi PCR fragmen VH, VL dan Linker.
Keterangan : M= marka DNA 100 bp, lajur 1= fragmen VH, lajur 2=
fragmen VL, lajur 3 fragmen Linker
Proses PCR bagian kedua terdiri dari 2 tahap, yaitu untuk menggabungkan
fragmen VL dengan Linker (VL-L) serta Linker dengan VH (L-VH).
Proses ini kemudian diikuti dengan tahapan yang ketiga, yaitu
menggabungkan bagian 1 (VL-L) dengan bagian 2 (L-VH). Proses ini dibedakan
dalam 2 reaksi PCR. Reaksi yang pertama adalah penggabungan kedua bagian
tersebut, sedangkan reaksi yang kedua adalah amplifikasi fragmen VL-L-VH yang
telah terbentuk dari reaksi PCR sebelumnya. Rangkaian proses PCR ini
menghasilkan fragmen scFv versi 2 dengan struktur VL-L-VH.
Fragmen scFv versi 2 kemudian diinkubasi dengan enzim Taq Polymerase
untuk menambahkan ujung A sehingga mempermudah proses kloning fragmen
scFv versi 2 ke dlam vektor pTZ57R/T. Gambar 32 menunjukkan hasil purifikasi
fragmen scFv versi 2 yang telah diinkubasi dengan enzim Taq Polymerase.
49
Gambar 33 Hasil amplifikasi PCR dan purifikasi fragmen scFv-2 menggunakan
pasangan primer VL-F dan VH-R.
Keterangan : M= Marka DNA 1 kb, Lajur 1 dan 2 = fragmen scFv
versi 2
Proses berikutnya adalah subkloning fragmen scFv-2 ke dalam vektor
pTZ57R/T. Hasil ligasi ditransformasikan pada E. coli DH5α. Hasil transformasi
disebar pada media LB agar yang mengandung antibiotik ampicillin (50 μg/ml)
yang telah ditambahkan X-Gal dan IPTG. Koloni yang tumbuh setelah diinkubasi
selama 16-18 jam sebanyak 114 koloni (Gambar 34). Koloni tersebut semuanya
berwarna putih. Koloni putih diduga membawa plasmid rekombinan yang
diinginkan yaitu pTZ_scFv. Verifikasi terhadap koloni putih tersebut dilakukan
dengan teknik PCR, pemotongan menggunakan enzim restriksi dan analisis
sekuen DNA.
Gambar 34 Hasil transformasi plasmid rekombinan pTZ_scFv ke dalam E. coli
DH5α
Keterangan : A dan B = ulangan
50
Verifikasi pertama terhadap E. coli transforman yang diperoleh dilakukan
dengan teknik PCR koloni untuk menentukan keberadaan gen sisipan (scFv)
menggunakan pasangan primer VL101F-Xho dan VH101R-Xba. Reaksi PCR ini
akan menghasilkan pita DNA yang berukuran sekitar 750 bp. PCR koloni
dilakukan terhadap 71 klon E. coli yang dipilih secara acak. Koloni E. coli
transforman yang diduga membawa plasmid rekombinan pTZ_scFv diperoleh
sebanyak 19 klon (Gambar 35). Koloni E. coli transforman yang diduga
membawa plasmid rekombinan pTZ_scFv ditunjukkan pada Gambar 35. Sampel
tersebut kemudian diisolasi DNA plasmidnya untuk digunakan dalam proses
verifikasi selanjutnya (Gambar 36).
750 pb
Gambar 35 Hasil PCR koloni E. coli transforman pTZ_scFv-2
Keterangan : M= marka DNA 1 kb, (K+)= kontrol positif
pPICZαA_scFv, Lajur 1-11= sampel E. coli transforman, a=
menunjukkan koloni transforman yang positif.
Gambar 36 Hasil isolasi DNA plasmid pTZ_scFv-2 dari beberapa klon E. coli
ransforman.
51
Verifikasi kedua terhadap plasmid rekombinan yang diperoleh dengan
teknik PCR dilakukan untuk menetukan keberadaan gen target scFv-2
menggunakan plasmid rekombinan sebagai cetakan dan pasangan primer VL101F dengan VH101-R. Koloni transforman yang mengandung gen scFv-2 akan
menghasilkan produk PCR berukuran 750 bp. Hasil amplifikasi PCR
menunjukkan bahwa 17 dari 19 sampel yang diuji diduga mengandung gen scFv2 dan memiliki memiliki orientasi yang tepat (VL-L-VH) (Gambar 37).
Gambar 37 Hasil PCR plasmid rekombinan pTZ_scFv dengan menggunakan
pasangan primer VL101-F dan VH101-R
Keterangan : M= marka DNA 1 kb, Lajur 1-11= sampel transforman
pTZ_scFv, A= sampel transforman yang diduga memiliki orientasi
yang tepat.
Verifikasi ketiga terhadap plasmid rekombinan yang diperoleh dilakukan
dengan cara memotong plasmid tersebut (pTZ_scFv) menggunakan enzim
restriksi XbaI (Gambar 38). Hasil pemotongan plasmid dengan XbaI akan
menghasilkan dua buah pita, yaitu pita vektor (pTZ57R/T) yang berukuran 2886
pb dan pita gen scFv yang berukuran 750 pb. Dari hasil analisis potong tersebut
didapat 7 sampel plasmid rekombinan yang terpotong dengan baik menggunakan
enzim XbaI. Ketujuh plasmid rekombinan yang berasal dari 7 klon E. coli yang
berbeda tersebut telah mengandung 2 situs restriksi XbaI yang tepat pada kedua
ujungnya. Untuk memperoleh gen scFv-2 yang tepat masih diperlukjan verifikasi
lebih lanjut yaitu melalui analisis sekuen DNA dari gen scFv-2 hasil konstruksi
yang telah dilakukan.
52
Gambar 38 Hasil pemotongan plasmid rekombinan pTZ_scFv dengan
menggunakan enzim XbaI. Keterangan : M= marka DNA 1 kb,
Lajur1-12= sampel transforman pTZ_scFv, a= sisipan gen scFv
Verifikasi keempat terhadap plasmid rekombinan yang diperoleh
dilakukan dengan analisis sekuen DNA terhadap 5 sampel plasmid rekombinan
dari 5 klon E. coli berbeda. Analisis sekuen DNA dilakukan untuk menentukan
urutan nukleotida gen scFv-2 hasil konstruksi yang telah diklon dalam plasmid
pTZ-scFv-2. Hasil analisis sekuen DNA (Lampiran 5) menunjukkan adanya 2
sampel yang memiliki susunan nukleotida yang tepat yaitu sampel no. 29 dan 60.
Hasil analisis sekuen DNA menunjukkan bahwa posisi VL telah berada di bagian
depan dari VH dan dihubungkan oleh linker. Hasil analisis sekuen DNA tersebut
sekaligus menunjukkan bahwa proses konstruksi gen scFv-2 telah berhasil
dilakukan, yaitu dengan mengubah posisi relatif VH dari VL pada susunan yang
berlawanan dari konstruk sebelumnya (scFv-1). Pada konstruk scFv-2, posisi VL
berada pada ujung-N, sedangkan VH pada ujung-C. Dengan demikian konstruksi
akhir dari scFv-2, yaitu VL-L-VH telah berhasil diperoleh,
53
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Gen scFv anti-EGFRvIII (versi 1) telah berhasil disubklon ke dalam vektor
ekspresi pPICZαA. Dari hasil analisis urutan DNA diperoleh 2 klon yang
memiliki urutan DNA yang tepat. Fusi gen scFv-1 dengan gen egfp berhasil
dilakukan pada situs restriksi ClaI. Fusi gen ini kemudian ditransformasikan pada
P. pastoris dan protein fusi berhasil diekspresikan. Hasil analisis ekspresi protein
rekombinan menggunakan teknik Slot Blot dan SDS-PAGE menunjukkan bahwa
protein rekombinan berhasil diekspresikan secara ekstraselular dan memiliki
ukuran 60 kDa. Pengamatan visual terhadap sel transforman P. pastoris
menggunakan mikroskop fluoresens Leica DM 1000 menunjukkan bahwa sel
Pichia transforman memancarkan fluoresensi berwarna hijau yang berasal dari
protein EGFP terfusi.
Gen scFv anti-EGFRvIII (versi 2) dengan struktur VL-L-VH telah berhasil
dikonstruksi dengan menggunakan teknik Overlap Extension PCR. Verifikasi
plasmid rekombinan dengan analisis PCR koloni, pengecekan orientasi gen dalam
konstruksi dan pemotongan dengan enzim restriksi serta analisis urutan DNA
memberikan hasil 2 klon yang memiliki urutan DNA yang tepat.
Saran
Perlu dilakukan analisis ekspresi protein rekombinan lebih lanjut seperti
menggunakan teknik Western Blot. Optimasi ekspresi protein rekombinan perlu
dilakukan untuk isolasi, purifikasi dan karakterisasi protein.
54
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad ZA, Yeap SK, Ali AM, Ho WY, Alitheen NB and Hamid M. 2012. ScFv
antibody : principles and clinical application. Clin Develop Immunol
2012 : 1-15.
Ausubel FM, Brent R, Kingston RE, Moore DD, Seidman JG, Smith JA, and
Struhl K (editors). 2002. Short Protocol in Molecular Biology. 5th
Edition. John Wiley & Sons Inc.
Brown TA. 2006. Gene Cloning & DNA Analysis. 5th edition. Blackwell
Publishing. Manchester. UK.
Carpenter G & Cohen S. 1979. Epidermal Growth Factor. Annu Rev Bio Chem 48
: 193-216.
Cereghino JL & Cregg JM. 2000. Heterologous protein expression in the
methylotrophic yeast Pichia pastoris. FEMS Microbiol Rev 24 : 45-66.
Cereghino JL et al. 2008. Direct selection of Pichia pastoris expression strains
using new G418 resistance vectors. Yeast. 25(4): 293- 299.
Chang HJ, Choi SW & Chun HS. 2008. Expression of functional single-chain
variable domain fragment antibody (scFv) against mycotoxin
zearalenone in Pichia pastoris. Biotechnol Lett 30:1801–1806.
Cregg JM, Barringer KJ, Hessler AY & Madden KR. 1985. Pichia pastoris as a
host system for transformation. Moll Cell Biol 12 : 3376-3385.
Creg JM et al. 1989. Expression of foreign genes in Pichia pastoris. In Genetics
and Molecular Biology of Industrial Microorganism. Charles L.
Hershbrger, Stephen W. Queener and George Hegeman (editors).
American Society for Microbiology. Washington DC. USA.
Cregg JM, Vedvick TS & Raschke WC. 1993. Recent advances in the expression
of foreign genes in Pichia pastoris. Biotechnology 11 : 905-910.
Cregg JM et al. 2007. Pichia protocol. 2nd Edition. Humana Press. New Jersey.
USA.
Cupit PM et al. 1999. Cloning and expression of single chain antibody fragments
in Escherichia coli and Pichia pastoris. Lett Appl Micr 29 : 273-277.
Daly R and Hearn MTW. 2005. Expression of heterologous proteins in Pichia
pastoris : a useful experimental tool in protein engineering and
production. J Mol Recog 18 : 119-138.
Glick BR & Pasternak JJ. 1994. Molecular Biotechnology : Principles and
applications of recombinant DNA. American Society for Microbiology.
Massachusets. USA.
Gupta P, SY Han, M Holgado-Madruga, SS Mitra, G Li, RT Nitta, and AJ Wong.
2010. Development of an EGFRvIII specific recombinant antibodi. BMC
Biotechnol 10:72
Harari PM. 2004. Epidermal growth factor receptor inhibition strategies in
oncology. Endocrine-related Cancer 11 : 689-708.
He FT, Nie YZ, Chen BJ, Qiao TD, Fan DM, Li RF, Kang YS & Zhang Y. 2002.
Expression
and
identification
of
recombinant
soluble
single-chain
variable
fragment
of
monoclonal
antibody MC3. World J Gastroenterol 8:258-262.
55
Huang D & Shusta EV. 2006. A yeast platform for the production of single-chain
antibody-green fluorescent protein fusion. Appl Env Microbiol 72 : 77487759.
Invitrogen. 2008. pPICZα A, B, and C: Pichia expression vectors for selection on
ZeocinTM and purification of secreted, recombinant proteins. Invitrogen
Corp., California, USA.
Jafari R, Holm P, Piercecchi M and Sundstrom BE. 2011. Construction of divalent
anti-keratin 8 single-chain antibodies (sc(Fv)2), expression in Pichia
pastoris and their reactivity with multicellular tumor spheroids. J
Immunol Method 364 : 65-76.
Kuan CT, Wikstrand CJ, and Bigner DD. 2001. EGF mutant receptor vIII as a
molecular target in cancer therapy. Endocrine-related Cancer 8: 83-96.
Laroche Y, Storme V, Meutter JD, Messens J & Lauwereys M. 1994. High level
secretion and very efficient isotopic labeling of tick anticoagulant (TAP)
expressed in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Biotechnology 12 :
1119-1124.
Mendelsohn J & Baselga J. 2003. Status of epidermal growth factor receptor
antagonist in the biology and treatment of cancer. J Clin Oncol 21 :
2787-2799.
Moore C. 2009. Introduction to western blotting. MorphoSys. Oxford. USA.
Morino K, Katsumi H, Akahori Y, Iba Y, Shinohara M, Ukai Y, Kohara Y &
Kurosawa Y. 2001. Antibody fusion with fluorescent proteins : a
versatile reagent for profiling protein expression. J Immunol Meth 257 :
175-184.
Naumann JM, Kuttner G and Bureik M. 2011. Expression and secretion of a CB41 scFv-GFP fusion protein by fission khamir. Appl Biochem Biotechnol
163 : 80-89.
Pedersen MW, Meltorn M, Damstrup L and Poulsen H. 2001. The type III
epidermal growth factor mutation. Ann Oncol 12 : 745-760.
Peterson E, Owens SM and Henry RL. 2006. Monoclonal antibody form and
function : manufacturing the right antibodies for targeting drug abuse.
The AAPS J 8 : 383-390.
Sanchez L. 2001. TCA protein precipitation protocol. http :
//www.its.caltech.edu.protocol.pdf. [12 Januari 2012].
Sarramegna V, Demange V, Milon A & Talmont F. 2002. Optimizing functional
versus total expression of the human mu-opioid receptor in Pichia
pastoris. Protein Express Purif 24 : 212-220.
Shi X, Karkut T, Chamankhah M, Alting-Mees M, Hemmingsen SM & Hegedus
D. 2003. Optimal condition for the expression of a single-chain antibody
(scFv) gene in Pichia pastoris. Prot Express Purif 28 : 321-330.
Skoko NB, Agramante NK, Tisminetzky SG, Glisin V & Ljubijankic G. 2003.
Expression and characterization of human interferon-β1 in the
methylotrophic yeast Pichia pastoris. Biotech Appl Biochem 38.
Tsien RY. 1998. The green fluorescent protein. Annu Rev Biochem 67 : 509-544.
Wang M, Boenicke L, Howard BD, Vogel I & Kalthoff H. 2003. Gene transfer
and expression of EGFP in variant HT-29 cells. World J
Gastroenterology 9 : 2083-2087.
56
Weber R et al. 2009. Antibodies directed to deletion mutants of epidermal growth
factor receptor and uses thereof. US Patent Application Publication No.
US2009/0240038A1.
57
Lampiran 1 Komposisi dan cara pembuatan media, larutan dan buffer
Media, Larutan dan
buffer
Larutan TAE 50x
dan 0,5x
Loading dye 6x
Larutan
SDS/NaOH
Larutan GTE
Larutan kalium
Asetat
0,5μl/ml etidium
Bromida
CaCl2
YPD (Yeast extract
peptone dextrose)
Komposisi dan cara pembuatan
Sebanyak 242 g tris base, 57,1 ml asam asetat glasial,
dan 37,29 g Na2EDTA dilarutkan di dalam akuades
hingga volumenya mencapai tepat 1000 ml untuk
menghasilkan larutan stock buffer TAE 50x.
BufferTAE 0,5x dibuat dengan cara mencampurkan 2,5
ml
TAE 50x dan akuades hingga volumenya mencapai
tepat 500 ml.
Bromofenol biru 0,03%, 10mM Tris-HCl (pH 7,6),
gliserol 60%, 60mM EDTA, dan xylenecyanol FF
dilarutkan di dalam akuades
Sebanyak 20 μl NaOH 0,2 N dan 200 μl SDS 10%
dilarutkan di dalam akuades hingga volume mencapai 1
ml.
Sebanyak 50 mM glukosa, 25 mM Tris-Cl (pH 8,0), dan
10 mM EDTA dilarutkan di dalam akuades hingga
volume mencapai 100 ml, kemudian disterilkan dalam
autoklaf pada suhu 121°C, tekanan 2 atm, selama 20
menit dan disimpan pada suhu 4°C.
Sebanyak 29,5 ml asam asetat glasial dan pelet KOH
(pH 4,8) dilarutkan dalam akuades hingga volume
mencapai 100 ml, kemudian disterilkan dalam autoklaf
pada suhu 121°C, tekanan 2 atm, selama 20 menit dan
disimpan pada suhu 4°C.
Sebanyak 10 μl etidium bromida (10 mg/ml) dilarutkan
dalam 200 ml akuades
Sebanyak 1,017 g CaCl2.H2O dicampurkan ke dalam
akuades steril hingga volume mencapai 50 ml. Bahan
dihomogenkan menggunakan magnetic stirrer. Medium
disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C,
tekanan 2 atm, selama 20 menit, kemudian disimpan
pada suhu 4°C.
Medium YPD 1 L dibuat dengan melarutkan 10 g yeast
estract dan 20 g pepton dalam 900 ml akuades. Sebanyak
20 g agar ditambahkan ke dalam larutan tersebut jika
membuat media YPD agar. Medium disterilkan dalam
autokalf pada suhu 121°C dan tekanan 1 atm selama 20
menit. Medium didinginkan sampai suhu 60°C,
kemudian ditambahkan 100 ml larutan dextrose 10x.
58
Larutan elektrotransfer
3, 03 g g 25 mM Tris dan 14,4 g 192 mM glisin
dicampurkan dengan 200 ml metanol. Larutan tersebut
kemudian ditambahkan akuades hingga volume 1 L
Larutan electrorunning 15,5 g 128 mM Tris, 72 g 959 mM glisin dan 5 g SDS
dilarutkan dalam 1 L akuades
4x sample buffer
25 ml 4x Tris-Cl pH 6,8 20 ml gliserol, 4 g SDS, 2 ml 2merkaptoetanol, 20x DTT (0,4 ml 1 M) dan 1 mg
bromfenol blue dilarutkan dengan 100 ml akuades
Staining solution
Coomassie blue dicampur dengan larutan staining
coomassie blue
solution dengan perbandingan 1:8
Staining solution
Sebanyak 40 ml metanol, 7 ml asam asetat dan 53 ml
akuades dicampur kemudian dihomogenkan
Destaining solution
Sebanyak 5 ml metanol, 7 ml asam asetat, dan 53 ml
akuades dicampur lalu dihomogenkan
10 x PBS (phosphate
83,3 g NaH2PO4 dan 40 g NaCl dilarutkan dalam 1 L
buffer saline)
dH2O
TBS (tris buffer saline) 100 mM Tris-Cl pH 6,5 dicampurkan dengan 150 mM
NaCl
Blocking buffer
10 g susu tanpa lemak dicampurkan dengan 100 ml TBS
Washing buffer
0,3 ml tween 20 dicampurkan dengan 300 ml TBS
(Sumber: Ausubel et al. 2002, Fermentas 2006, Invitrogen 2001)
59
Lampiran 2 Bahan yang digunakan dalam pembuatan gel poliakrilamid
Bahan
dH2O steril
1,5 M Tris HCL (pH 8,8)
Separating Gel (12%)
Stacking gel (12%)
SDS 10%
Amonium persulfat 10%
TEMED
dH2O steril
1,5 M Tris HCL (pH 6,8)
Akrilamid 30 %
SDS 10%
Amonium persulfat 10%
TEMED
Volume (ml)
3,35
2,50
0,1
0,05
0,005
6,1
2,5
1,3
0,1
0,05
0,01
60
Lampiran 3 Hasil sekuen DNA plasmid rekombinan pPICZαA_scFv-1
α- factor signal sequence
α- factor signal sequence
scFv
Gambar 39 Hasil sekuen DNA sampel plasmid rekombinan pPICZαA_scFv-1 klon no.
21 menunjukkan sekuen fusi antara α-factor signal sequence dan bagian
ujung-N dari scFv-1.
61
Gambar 40 Hasil sekuen DNA plasmid pPICZαA_scFv-1 klon no. 41 yang menunjukkan
sekuen fusi antara α-factor signal sequence dengan ujung-N dari scFv-1
62
Lampiran 4 Hasil Sekuen DNA Plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP
A
B
Gambar 41 Hasil sekuen DNA plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP
yang menunjukkan sekuen ujung-C dari gen egfp yang terfusi
dengan 6xHis-tag (A), dan sekuen fusi antara ujung-N gen egfp dan
ujung-C gen scFv (B)
63
Lampiran 5 Hasil sekuen DNA plasmid pTZ-scFv-2
VL
VL
VL
Gambar 42 Hasil sekuen DNA plasmid pTZ_scFv-2 klon nomor 29 yang
menunjukkan sekuen fusi antara fragmen VL, linker dan VH
64
XbaI
VL
VL
VL
Linker
VL
VH
VH
Gambar 43 Hasil sekuen DNA plasmid pTZ_scFv-2 klon no. 60 yang menunjukkan sekuen
fusi antara fragmen VL, Linker dan VH.
65
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 7 Maret 1980 dari Ayah
Iyos dan ibu Wardani, S.Pd. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.
Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran lulus pada tahun 2003. Penulis
kemudian mengambil Program Profesi Apoteker di Jurusan Farmasi, Fakultas
MIPA, UNPAD dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2009 penulis mengikuti
program S2 di Sekolah Pascasarjana IPB program studi Bioteknologi.
Penulis bekerja sebagai Peneliti Pertama di Laboratorium
Biopharmaceutical Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI sejak tahun 2005 di
Cibinong. Bidang penelitian yang dikerjakan adalah bidang bioproses.
Download