Rancangan Pengembangan Karakter Anak Usia Dini Berbasis

advertisement
Rancangan Pengembangan Karakter Anak Usia Dini Berbasis Kearifan Lokal
Masyarakat Pedesaan di Kopeng Kabupaten Semarang
Enjang Wahyuningrum, M.Si., Psikolog
[email protected]
Krismi Diah Ambarwati, M.Psi., Psikolog
[email protected]
Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Perspektif: Psikologi Pendidikan & Perkembangan
ABSTRAK
Pembentukan karakter sebuah bangsa dimulai dengan pembentukan karakter pada
generasi mudanya. Semakin muda usia seseorang maka akan semakin tepat masa
untuk membentuk karakter tersebut. Pengembangan karakter memiliki tujuan untuk
membentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara subyek
dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster (dalam
Koesoema, 2005), karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang
pribadi. Pada dasarnya, anak yang kualitas karakternya rendah adalah anak yang
tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar
mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu
mengontrol diri. Masyarakat pedesaan memiliki karakteristik nilai-nilai khusus
yang berguna bagi pengembangan karakter anak usia dini. Nilai-nilai yang ada di
masyarakat pedesaan seperti saling menghargai, jujur, mudah bekerjasama dan
tanggung jawab dalam tugas, dapat dijadikan dasar pembelajaran bagi anak usia
dini untuk mengembangkan karakter-karakter yang baik. Atas dasar tersebut
diperlukan suatu pengembangan karakter anak usia dini berbasis kearifan lokal.
Karakter yang hendak dikembangkan adalah karakter menghargai orang lain
(respect), karakter kerjasama (cooperation), karakter kejujuran (honesty) dan
karakter tanggung jawab (responsibility). Rencana pengembangan karakter ini
dilakukan dengan memberikan pelatihan pada anak usia dini di daerah Kopeng,
Kabupaten Semarang. Selain memberikan pelatihan, pengambilan data akan
dilakukan dengan observasi perilaku anak serta pemberian checklist untuk orang tua
dan guru, yang dilakukan sebelum dan sesudah pelatihan.
Kata Kunci : Pengembangan Karakter, Kearifan Lokal, Anak Usia Dini.
1
BAB 1. PENDAHULUAN
Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, korupsi di
kalangan pemimpin bangsa, pembunuhan yang dilakukan dalam keluarga ataupun
penganiayaan yang marak terjadi di antara kaum sebangsa, menjadikan pendidikan karakter
yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan. Nilai-nilai etika
sangat penting dikembangkan sebagai dasar dalam kehidupan bermasyarakat.
Pembentukan karakter sebuah bangsa dimulai dengan pembentukan karakter pada
generasi mudanya. Semakin muda usia seseorang maka akan semakin tepat masa untuk
membentuk karakter tersebut. Pada masa kanak-kanak karaktek dapat masih berupa
temperamen. Temperamen adalah sebuah istilah yang merujuk pada kestabilan inidvidu
akibat pengaruh biologis yang diperoleh sejak lahir (Strelau 1987 dalam Halverson et al,
1994). Temperamen yang sifatnya innate akan menjadi dasar keunikan individu satu dengan
yang lain. Dengan kata lain temperamen merupakan dasar dari kepribadian.
Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting),
dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang
memiliki
pengetahuan
kebaikan
belum
tentu
mampu
bertindak
sesuai
dengan
pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut.
Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan
tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing
(pengetahuan tentang moral), moral feeling (penguatan emosi) tentang moral, dan moral
action atau perbuatan bermoral.
Pengembangan karakter dalam suatu sistem pendidikan adalah keterkaitan antara
komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku, yang dapat dilakukan
atau bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku
dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan YME,
dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional
Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa
tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Karena mungkin saja
perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya
penghargaan akan nilai itu. Misalnya ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukan karena
dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk mengharagi nilai
kejujuran itu sendiri.
2
Tujuan pendidikan karakter adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam
kesatuan esensial antara subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi
Foerster (dalam Koesoema, 2005), karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang
pribadi. Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam
kesatuan esensial individu dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster,
karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi.
Sistem pendidikan yang ada di Indonesia terlalu banyak berorientasi dengan
pengembangan otak kiri (kognitif), serta kurang mengembangkan otak kanan
(afektif,
empati, rasa). Padahal pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi otak
kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan otak kanan pun (seperti budi pekerti, agama)
pada prakteknya lebih banyak mengoptimalkan otak kiri ( seperti “hapalan”, atau hanya
sekedar tahu).
Pada dasarnya, anak yang kualitas karakternya rendah adalah anak yang tingkat
perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar mengalami kesulitan
dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Mengingat pentingnya
penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan
untuk sekolah yang sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik di usia prasekolah
merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami
seseorang dalam merespons situasi secara bermoral—yang dimanifestasikan dalam tindakan
nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan
karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles,
bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus
dilakukan.
Pendidikan tidak lagi mementingkan kecerdasan otak kiri (IQ), yang lazim disebut
headstart. Namun, saat ini yang lebih dipentingkan adalah kecerdasan emosi yang lebih
banyak menggunakan otak kanan, yang disebut heartstart. Pada metode headstart, anak
ditekankan "harus bisa" sehingga ada kecenderungan anak dipaksa belajar terlalu dini. Hal ini
membuat anak stres, karena ada ketidaksesuaian dengan dunia bermain dan bereksplorasi
yang saat itu sedang dialaminya. Sebaliknya, pola heartstart menekankan pentingnya anak
mendapatkan pendidikan karakter (social emotional learning), belajar dengan cara yang
menyenangkan (joyful learning), dan terlibat aktif sebagai subjek bukan menjadi objek
(active learning).
3
Sebagian besar kunci sukses menurut hasil penelitian mutakhir sesungguhnya lebih
banyak ditentukan oleh pemberdayaan otak kanan (kecerdasan emosi) daripada otak kiri
(kecerdasan intelektual). Namun ternyata kurikulum di sekolah justru sebaliknya. Hal ini
menjadi sumber kerawanan bagi anak : melakukan tawuran, terjerumus pada narkoba, dan
lain-lain, karena anak merasa terlalu terbebani dan stres.
Masyarakat pedesaan memiliki karakteristik nilai-nilai khusus yang berguna bagi
pengembangan karakter anak usia dini. Di dalam masyarakat pedesaan, hubungan antara
warga lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Selain itu,
sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan (gemeinschaft atau
paguyuban). Sebagian besar warga masyarakat hidup dari pertanian. Pekerjaan-pekerjaan
yang bukan pertanian merupakan pekerjaan sambilan (part time) yang biasa mengisi waktu
luang. Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adatistiadat dan sebagainya. Di samping, masyarakat pedesaan identik dengan istilah ‘gotongroyong’ yang merupakan kerja sama untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka.
Nilai-nilai yang ada di masyarakat pedesaan seperti saling menghargai, jujur, mudah
bekerjasama dan tanggung jawab dalam tugas, dapat dijadikan dasar pembelajaran bagi anak
usia dini untuk mengembangkan karakter-karakter yang baik. Dari uraian di atas maka
pertanyaan penelitian yang diajukan adalah ”apakah ada peningkatan karakter-karakter positif
(menghargai orang lain, kejujuran, kerjasama dan tanggung jawab) pada anak usia dini
setelah diberikan pelatihan pengembangan karakter berbasis kearifan masyarakat pedesaan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A). Anak Usia Dini
Batasan anak usia dini yang dikeluarkan oleh BAPPENAS (2009) mencakup janin
dalam kandungan sampai anak usia 6 tahun. Santrock (2007) juga menyebutkan bahwa masa
kanak-kanak awal (early childhood) merupakan periode perkembangan yang terjadi mulai
akhir masa bayi hingga sekitar usia 5 tahun atau 6 tahun.
Rancangan progam yang akan dibuat difokuskan pada anak usia dini yang berada
pada rentang usia 5 tahun hingga 6 tahun. Anak usia 5 tahun hingga 6 tahun pada umumnya
sudah memasuki pendidikan di jenjang taman kanak-kanak tingkat B.
B). Perkembangan Nilai dan Moral (Karakter) Pada Anak Usia Dini
Menurut Kohlberg (dalam Hurlock, 1997) ada beberapa tahap dalam perkembangan
moral anak yaitu :
4
Pada tingkat pertama, yaitu moralitas prakonvensional (preconventional level)
dimana perilaku anak tunduk pada kendali orang tua atau eksternal. Pada tahap pertama
tingkat ini, anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman. Pada tahap kedua, anak
menyesuaikan diri terhadap harapan sosial untuk memperoleh penghargaan.
Tingkat kedua disebut moralitas konvensional (conventional level). Pada tahap ini,
anak menyesuaikan dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain dan
mempertahankan hubungan dengan mereka. Pada tahap kedua tingkat ini, anak menyetujui
bila kelompok sosial menerima peraturan yang sesuai bagi seluruh anggota kelompok.
Mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan itu supaya terhindar dari kecaman sosial.
Pada tingkat ketiga, diberi nama moralitas pascakonventional (postconventional
level) menunjukkan bahwa moralitas akhirnya berkembang sebagai pendirian pribadi, jadi
tidak tergantung pada pendapat konvesional yang ada.
Orang tua memiliki peran yang sangat besar dalam mengembangkan karakter anak
yang positif. Hal ini karena pada masa kelahiran sampai memasuki masa sekolah hampir
seluruh waktu anak berada dalam lingkungan keluarganya. Dalam keluarga, nilai-nilai etika
diajarkan untuk pertama kali.
B). KARAKTER – KARAKTER POSITIF
Borba (2001) menyebutkan bahwa ada 7 nilai yang penting dalam kecerdasan moral
yaitu :
a) Emphaty, hal yang inti dari karakter moral yaitu bagaimana seorang anak dapat
memahami apa yang dirasakan oleh orang lain.
b) Conscience, merupakan suara hati atau kata hati yang membantu seorang anak untuk
mengetahui hal yang benar dan hal yang salah.
c) Self-control, membantu anak untuk mengendalikan diri serta belajar untuk berpikir
trelebih dahulu sebelum bertindak.
d) Respect, bagaimana anak dapat menghormati dan menghargai orang lain.
e) Kindness, membantu anak untuk menunjukkan perhatian dan kebaikan kepada orang
lain.
f) Tolerance, membantu anak untuk menghargai perbedaan orang lain, tetap terbuka
kepada nilai-nilai yang berbeda, serta perbedaan ras, gender, budaya, kepercayaan
serta orientasi seksual.
g) Fairness, membantu anak untuk berada pada kebenaran, bersikap netral dan bermain
sesuai dengan aturan yang berlaku.
5
Sedangkan Tillman & Hsu (2000) memaparkan beberapa karakter positif bagi anak.
Adapun karakter-karaketer positif yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah :
a. Menghargai Orang lain (respect)
Yaitu memiliki perasaan positif terhadap diri sendiri, memiliki penegtahuan bahwa
dirinya unik dan berharga, mampu mengahrgai diri sendiir, memiliki pengetahuan
bahwa dirinya makhluk yang yang disayangi dan punya kemampuan, menyukai
diirnya sendiri, mampu mendengarkan orang lain, mengetahui orang lain juga
berharga, memperlakukan orang lain secara baik.
b.
Karakter kejujuran (honesty)
adalah menceritakan apa yang sesungguhnya sedang terjadi, dan menceritakan
kebenaran.
c.
Kerjasama (cooperation)
adalah semua orang saling membantu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, saling
bekerjasama untuk mencapai satu tujuan, saling bekerjasam dengan sabar dan saling
mengasihi.
d.
Tanggung jawab (responsibility)
adalah mengerjakan tugas sendiri, peduli, berusaha sebaik mungkin, membantu
orang lain ketika mereka membutuhkan, bersikap adil.
D). KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT PEDESAAN
Sutardjo Kartohadikusuma (1984) mengemukakan bahwa desa adalah suatu kesatuan
hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan sendiri. Sedangkan
menurut Bintarto desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, social, ekonomi,
politik dan kultural yang terdapat di situ (suatu daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya
secara timbal-balik dengan daerah lain.
Ciri-ciri masyarakat pedesaan adalah sebagai berikut:
1. Di dalam masyarakat pedesaan memiliki hubungan yang lebih mendalam dan erat bila
dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas-batas wilayahnya.
2. Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan (gemeinschaft
atau paguyuban)
3. Sebagian besar warga masyarakat hidup dari pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang
bukan pertanian merupakan pekerjaan sambilan (part time) yag biasa mengisi waktu
luang.
6
4. Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adatistiadat dan sebagainya.
Masyarakat pedesaan identik dengan istilah ‘gotong-royong’ yang merupakan kerja sama
untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka. Kerja bakti itu ada dua macam, yaitu :
1. Kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya dari inisiatif warga masyarakat
itu sendiri (biasanya di istilahkan dari bawah).
2. Kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya tidak dari inisiatif warga itu
sendiriberasal dari luar (biasanya berasal dari atas).
Meskipun situasi dianggap penuh dengan ketentraman, namun ada beberapa gejala-gejala
sosial yang sering terjadi pada masyarakat pendesaan. Gejala-gejala sosial tersebut adalah
adanya konflik (pertengkaran), adanya kontraversi (pertentangan), adanya kompetisi
(persiapan), adanya kegiatan pada masyarakat pedesaan.
Sebagian besar masyarakat pedesaan memiliki mata pencaharian dalam bidang pertanian.
Petani pada umumnya memiliki sistem nilai budaya yang tersendiri. Sistem nilai budaya
petani Indonesia antara lain sebagai berikut:
1. Para petani di Indonesia terutama di pulau Jawa pada dasarnya menganggap bahwa
hidupnya itu sebagai sesuatu hal yang buruk, penuh dosa, kesengsaraan. Tetapi itu
tidak berarti bahwa ia harus menghindari hidup yang nyata dan menghindarkan diri
dengan bersembunyi di dalam kebatinan atau dengan bertapa, bahkan sebaliknya
wajib menyadari keburukan hidup itu dengan jelas berlaku prihatin dan kemudian
sebaik-baiknya dengan penuh usaha atau ikhtiar.
2. Mereka beranggapan bahwa orang bekerja itu untuk hidup, dan kadang-kadnag untuk
mencapai kedudukannya.
3. Mereka berorientasi pada masa ini (sekarang), kurang mempedulikan masa depan,
mereka kurang mampu untuk itu. Bahkan kadang-kadang ia rindu masa lampau
mengenang kekayaan masa lampau menanti datangnya kembali sang ratu adil yang
membawa kekayaan bagi mereka).
4. Mereka menganggap alam tidak menakutkan bila ada bencana alam atau bencana lain
itu hanya merupakan sesuatu yang harus wajib diterima kurang adanya agar peristiwaperistiwa macam itu tidak berulang kembali. Mereka cukup saja menyesuaikan diri
dengan alam, kurang adanya usaha untuk menguasainya.
5. Dan untuk menghadapi alam mereka cukup dengan hidup bergotong-royong, mereka
sadar bahwa dalam hidup itu tergantung kepada sesamanya.
7
Karakteristik khusus yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan ini yang dipakai sebagai
dasar dalam pengembangan karakter anak usia dini.
BAB III. METODE
a) Identifikasi Variabel
Variabel bebas
:
Program pelatihan pengembangan karakter anak usia dini
Variabel tergantung : Karakter Anak Usia Dini (Karakter Menghargai orang lain,
Karakter Kejujuran, Karakter Kerjasama dan Karakter
Tanggung Jawab).
b) Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan salah satu jenis penelitian eksperimen yang
menggunakan desain penelitian pre-experimental design. Menurut Leedy & Ormrod
(2005)
pre-experimental
design
merupakan
jenis
penelitian
dimana
tidak
dimungkinkan menunjukkan hubungan sebab akibat, dikarenakan (a). variabel
independent tidak bervariasi, (b). kelompok eksperimental dan kelompok kontrol
tidak terdiri dari individu yang setara atau dipilih secara acak. Desain seperti ini
sangat berguna untuk membentuk hipotesis tentatif yang harus ditindaklanjuti terlebih
dahulu dengan studi awal.
c) Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan satu kelompok subjek penelitian, tanpa ada
kelompok kontrol. Leedy & Ormrod (2005) mengatakan bahwa pada desain ini
menggunakan satu kelompok yang memiliki satu evaluasi pre-experimental,
kemudian diberikan suatu perlakuan atau treatment tertentu, dan kemudian dievaluasi
setelah diberikan treatment tersebut. Dalam one group pretest posttest design,
setidaknya ada suatu perubahan yang terjadi, namun tidak dapat dikesampingkan
bahwa perubahan yang terjadi dikarenakan oleh faktor yang lainnya (Leedy &
Ormrod, 2005).
Rancangan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Pre-test
Perlakuan
T1
Post-test
X
T2
8
Adapun prosedur penelitian :
1) Melakukan tes yang pertama (T1) yaitu Pre-test, untuk mengukur rerata
perilaku (karakter anak usia dini) dengan menggunakan observasi (bentuk
rating scale) dan checklist yang diisi oleh orang tua dan guru.
2) Memberikan perlakuan (X) kepada subjek, yaitu program pelatihan
pengembangan karakter anak usia dini berbasis kearifan lokal. Karakter yang
akan dikembangkan adalah Karakter Menghargai orang lain, Karakter
Kejujuran, Karakter Kerjasama dan Karakter Tanggung Jawab.
3) Melakukan tes kedua (T2) yaitu Post-test, untuk mengukur rerata perubahan
perilaku (karakter anak usia dini) dengan menggunakan observasi (bentuk
rating scale) dan checklist yang diisi oleh orang tua dan guru.
4) Membandingkan T1 dengan T2 untuk menentukan perbedaan yang
ditimbulkan, jika sekiranya ada, sebagai akibat dari pemberian perlakuan (X),
yaitu program pelatihan pengembangan karakter anak
usia dini berbasis
kearifan lokal.
5) Kemudian diterapkan tes statistik yang sesuai, yaitu t-test, untuk menentukan
apakah ada perbedaan yang signifikan.
d) Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dipakai oleh penulis untuk
memperoleh data yang akan diselidiki. Kualitas data ditentukan oleh kualitas alat
pengambilan data atau alat ukur pengukurannya (Suryabrata, 1990). Metode
pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode
observasi dan angket. Observasi yang digunakan berupa rating scales yang akan
diisikan oleh observer berdasarkan pengamatan pada anak usia dini. Angket berupa
checklist yang akan diisikan oleh orang tua dan guru.
Skor yang tinggi dari hasil observasi dan checklist yang disikan oleh orang tua
maupun guru menunjukkan bahwa adanya peningkatan perubahan perilaku (karakter)
yang terjadi pada anak usia dini. Sebaliknya, skor yang rendah dari hasil hasil
observasi dan checklist yang diisikan oleh orang tua maupun guru menunjukkan
bahwa ada penurunan perilaku (karakter) yang terjadi pada anak usia dini .
9
e) Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan teknik purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang dilakukan
dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah
tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu sehingga penentuan karakteristik
populasi dilakukan dengan cermat (Hadi, 2000).
Adapun karakteristik populasi adalah sebagai berikut :
1. Anak usia dini yang berusia 5 hingga 6 tahun
2. Mengikuti Pendidikan Dasar
3. Tinggal di Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang
f) Teknik Analisis Data
Analitis data kuantitatif yaitu berupa skor rating scale dan check list yang
diberikan pada saat pre-test dan post-test dilakukan dengan uji t. Uji t digunakan
untuk mengetahui ada atau tidaknya peningkatan perilaku-perilaku positif mengenai
karakter anak usia dini.
Metode analisis data yang digunakan adalah paired sample T-test. Paired sample
T-test adalah pengujian yang dilakukan terhadap dua sampel yang berpasangan.
Sampel yang berpasangan dapat diartikan sebagai sampel dengan subjek yang sama
namun mengalami dua pengukuran.
g) Materi Pelatihan Pengembangan Karakter Anak Usia Dini
Materi-materi yang disusun dalam pelatihan ini merupakan materi-materi yang
bertujuan untuk meningkatkan karakter-karakter positif pada anak usia dini, seperti
menghargai orang lain (respect), kejujuran (honesty), kerjasama (cooperation) dan
tanggung jawab (responsibiliy).
BAB IV. KESIMPULAN
Pelatihan adalah suatu bentuk pendidikan yang berkelanjutan untuk mengembangkan
peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan, standar kompetensi,
pengembangan sikap kewirausahaan, serta pengembangan kepribadian profesional. Dengan
demikian, pelatihan pengembangan karakter anak usia dini berbasis kearifan lokal adalah
suatu proses pendidikan jangka pendek yang bertujuan untuk meningkatkan penguasaan
keterampilan tentang karakter-karakter positif berbasis kearifan lokal masyarakat pedesaan.
Metode pelatihan dipilih karena pada dasarnya adalah suatu proses memberikan bantuan bagi
10
individu untuk menguasai keterampilan khusus atau membantu untuk memperbaiki
kekurangan dalam melaksanakan tugas. Maka diharapkan dengan pelatihan tersebut ada
peningkatan karakter-karakter positif (menghargai orang lain, kejujuran, kerjasama dan
tanggung jawab) pada anak usia dini setelah diberikan pelatihan pengembangan karakter
berbasis kearifan masyarakat pedesaan.
DAFTAR PUSTAKA
BAPPENAS. (2008). Strategi Nasional Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif.
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional.
Cozby, P.C. (2009). Method in Behavioral Research. Ed.9th . Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hadi, S. (2000). Metodologi Research. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Kartohadikusumo, S. (1984). Desa. Jakarta: Balai Pustaka
Kumar, R. (2005). Research Methodology. 2nd Edition. London : Sage Publications.
Leedy, P.A. & Ormrod, J.E. (2005). Practical Research : Planning and Design. 8th
Edition. New Jersey : Pearson Education.
Lickona, T. (1991), Educating for Character How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility, New York: Bantam Books.
Santrock, J.W. (2007). Child Development. 11th edition. New York : McGraw-Hill
Companies, Inc.
Tillman, D. & Hsu, D., (2000) Living Values Activities for Children Ages 3 – 7. New Delhi :
Sterling Publisher Privated Limited.
11
Download