gerakan aliran keagamaan

advertisement
PLURALISME DAN FENOMENA ALIRAN KEAGAMAAN
DALAM ISLAM1
Adeng Muchtar Ghazali
Pendahuluan
Tulisan ini tidak untuk ikut-ikutan memvonis atau bahkan menghujat
aliran-aliran di lingkungan umat Islam yang belakangan ini muncul, karena 1)
kapasitas untuk melakukan itu tidak penulis miliki, baik dari sisi intelektualitas
keagamaan (karena bukan seorang ulama, kyai, ustadz, tokoh agama, dll), maupun
membawa suara ormas-ormas Islam yang ada; 2) penulis hanyalah seorang guru
agama yang terbatas pada pengajaran agama yang sangat spesifik, yang bahkan
secara metodolgis kurang populer di kalangan kebanyakan umat Islam, yaitu ilmu
kalam, ilmu perbandingan agama, dan hubungan antaragama, yang didalamnya
hanya mengangkat fakta-fakta keagamaan yang terlepas dari penilaian ”benarsalah”nya suatu fakta keagamaan itu; 3) Perbedaan, mengkuti pendapat
Nurcholish dan para cendekiawan Islam (ulama) lainnya, adalah sangat alamiah
(Sunnatullah), yang setiap orang memiliki kecenderungan untuk berbeda; 4) Oleh
karena itu, atas basik keguruagamaan itulah, penulis hanya mencoba
merefleksikan pemahaman atas fakta yang ada, baik berdasarkan fakta sejarah
maupun fakta yang sekarang sedang terjadi. Atas dasar perbedaan dan keragaman
pandangan inilah menjadi fokus tulisan ini.
Dalam menyikapi perbedaan, penulis teringat dengan ungkapan seorang
intelektual dan ulama besar, Al-Ghazali. Dengan kecermatan metodologisnya, dia
mengatakan, bahwa : “Janganlah anda mengkritik sesuatu (dalam hal ini filsafat)
sebelum menguasai betul hal tersebut, bahkan kalau bisa anda mengungguli ahliahlinya.” Selama kurang lebih dua tahun, al-Ghazali mengabdikan dirinya untuk
mempelajari filsafat secara sistematik, dengan tujuan untuk mengkritiknya,
ternyata ia betul-betul menguasainya. Hasil penelitiannya itu ia abadikan dalam
1
Tema yang ditulis dalamn artikel ini, sebagian besar pernah disampaikan dalam sarasehan KNPI
Kota Bogor di auditorium RRI Bogor, 26 Januari 2008, dengan beberapa perubahan dan
penambahan disesuaikan dengan kepentingan tulisan Jurnal. (Penulis)
karyanya, Maqasid al-Falsifah. Setelah ia menganggap dirinya menguasai filsafat,
barulah ia melancarkan kritiknya yang tajam dan jitu terhadap ajaran-ajaran para
filosof dalam karyanya yang lebih dikenal Tahafut al-Falasifah.
Munculnya Perbedaan dikalangan Umat Islam
Sumber utama Islam dan sekaligus sebagai pedoman hidup umat Islam,
adalah sumber yang berdasarkan wahyu Allah yang diturunkan kepada
Rasulullah, Alqur’an; kemudian Rasulullah mengajarkannya (As-Sunnah). Karena
sebagai sumber kehidupan, maka Alqur’an dan ajarannya adalah rahmat al’alamin, yang sudah barang tentu bernilai universal. Prinsip pokok yang diajarkan
dan menjadi doktrin yang harus diyakini kebenarannya terumuskan dalam
paradigma Rukun Iman dan Rukun Islam. Paradigma ini harus menjadi sistem
hidup dan kehidupan umat Islam. Dengan demikian, setiap umat Islam berhak dan
bebas memahami Alqur’an dan As-Sunnah, selama tidak keluar dari paradigma
tadi.
Sehubungan Alqur’an adalah wahyu Ilahi yang berisi nilai-nilai universal
kemanusiaan, maka diturunkan bukan hanya untuk sekelompok manusia, tetapi
untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Oleh karena itu pula, nilai-nilai dasar
Al-Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan manusia secara utuh dan
komprehensif. Tema-tema pokoknya mencakup aspek ketuhanan, manusia sebagai
individu dan anggota masyarakat, alam semesta, kenabian, wahyu, eskatologi, dan
makhluk-makhluk spiritual. Eksistensi, orisinalitas, dan kebenaran ajarannya
dapat dibuktikan oleh sains modern, sedang tuntunan-tuntunannya adalah rahmat
bagi semesta alam.
Namun demikian, Al-Qur’an tidak boleh ditonjolkan sebagai kitab antik
yang harus dimitoskan, karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara AlQur’an dengan realitas sosial. Alqur’an di satu pihak diidealisasi sebagai sistem
nilai sakral dan transendental; sementara di pihak lain realitas sosial yang harus
dibimbingnya begitu pragmatis, rasional, dan materialistis. Seolah-olah nilai-nilai
Al-Qur’an yang diadreskan untuk manusia berhadap-hadapan dengan realitas itu.
Di sinilah Alqur’an memberikan motivasi sehingga bisa memunculkan pemikiran
di lingkungan umat Islam. Pemikiran yang di maksud di sini adalah upaya akal
dari para ulama untuk menjelaskan ajaran Islam dari sumbernya, yaitu Alqur’an
dan As-Sunnah.2 Dengan perkataan lain, bahwa pemikiran Islam merupakan
sesuatu yang dihasilkan oleh pemikiran Muslim sejak Rasulullah SAW.sampai
sekarang, sedangkan Alqur’an dan As-Sunnah dijadikan sebagai sumber yang
memberikan motivasi manusia untuk berfikir.3 Oleh karena itu, melalui upaya
interpretasi Alqur’an dan Sunnah inilah pemikiran-pemikiran di lingkungan umat
Islam terus berkembang.
Para ahli dari berbagai bidang disiplin ilmu, hampir semuanya mengarah
kepada suatu kesimpulan, bahwa munculnya perbedaan faham (aliran keagamaan)
di lingkungan umat Islam, adalah ketika ”teks suci” (Alquran dan kemudian
dipraktekkan Rasulullah/As-Sunnah) ”dikontekstualkan” berdasarkan kenyataankenyataan yang sedang berkembang. Oleh karena itu, faktor-faktor 1) Kapasitas
intelektual yang menjadi syarat dalam memahami teks suci; 2) latar belakang
sosial-kultural; dan 3) dinamika kehidupan ekonomi dan politik sangat
mempengaruhi pemikiran, pemahaman atau pun ijtihadi umat Islam. Dengan
demikian, setiap pemahaman sudah barang tentu akan melahirkan pemikiran; dan,
setiap pemikiran, baik langsung maupun tidak langsung, akan dipengaruhi oleh
sosial kultural dimana Islam itu hidup dan berkembang.
Dorongan Alqur’an
melalui banyak ayat4 yang mengandung anjuran,
bahkan perintah agar manusia banyak berfikir dan mempoergunakan akalnya, dan
mencela dengan keras taklid buta, memberi peluang manusia untuk berbeda,
sekalipun keperbedaan ini harus tetap dalam bingkai Alqur’an dan petunjuk
Rasulullah (As-Sunnah).
Dalam sejarah pemikiran Islam awal, beberapa faktor yang bisa
melahirkan perbedaan pendapat dikalangan umat Islam itu, tidak semata-mata
hanya karena faktor perbedaan dalam memahami teks Alqur’an dan As-Sunnah.
Namun demikian, faktor politik begitu dominan, terutama setelah wafatnya
Rasulullah. Kemunculan dan perjalanan aliran Khawarij, Murjiah, dan Syi’ah,
2
Muhammad al-Bahiy, Pemikiran dalam Islam, terjemahan Bambang S, Risalah, Bandung, 1985,
hal. 15
3
Muhsin Abdul Hamid, Tajdid al-Fikr al-Islamy, Dar as-Shofwah, Kairo, 1985, hal. 18
4
Banyak ayat yang menunjukkan ini, misalnya; Qaf 6, Ath-Thariq 5, An-Nahl 69, Yusuf 111; dll.
misalnya,
adalah berawal dari pertikaian masalah imamah. Ketiga aliran
pemikiran ini, secara metodologis maupun subtantif masih mewarnai pemikiran
muslim sekarang. Dikalangan para pemikir Muslim, menunjukkan adanya
beberapa faktor dominan yang menjadi penyebab munculnya perbedaan
pemahaman atau aliran-aliran, yaitu : 1) adanya pergolakan politik dalam negeri;
2) Mengalirnya pemikiran non-muslim; dan 3) akibat proses perubahan kultural
dan politik, dari masyarakat/budaya tradisional rural ke budaya/masyarakat maju;
dan dari politik regional ke dunia.5
Ketiga faktor di atas merupakan sebuah realitas historis, sosiologis, dan
kultural, untuk menyatakan bahwa Islam harus teraktualisasi dalam kehidupan
nyata.. Aktualisasi pesan-pesan Islam ini bisa terjadi hanya apabila Alquran telah
ditafsirkan dan diperjelas, tidak saja dengan menggunakan hadis-hadis Nabi
Muhammad SAW, melainkan juga dengan ijtihad para ulama, yang sering
dipengaruhi konteks sosio-historis, dan kultural tertentu. Ketika intervensi seperti
ini terjadi, tidak bisa dihindari muncul berbagai corak paham, aliran, dan mazhab.
Dalam perkembangan lebih lanjut, sebuah paham, aliran, atau mazhab menjadi
mainstream, arus utama, ketika penafsiran tetap berada dalam batas-batas
kerangka universalitas doktrin Islam. Sebaliknya, jika sebuah penafsiran melewati
batas-batas universalitas tersebut, maka ia menjadi penafsiran marginal. Sebagai
konsekuensinya, para pemegang penafsiran yang berbeda ini, yang kemudian
disebut sebagai kelompok marjinal, menjadi sasaran penindasan. Penindasan
tersebut bukan hanya secara sosial, juga secara politik dan kekuasaan.
Bila melihat ke belakang, akibat intensnya persentuhan umat Islam dengan
politik kekuasaan dan perebutan kekuasaan pada masa dan pasca-Dinasti
Abasiyah dan Umayah, perkembangan pemikiran Islam itu menjadi stagnan.
Terlebih lagi, setelah daerah kekuasaan Islam banyak yang jatuh ke tangan bangsa
kolonial lewat Perang Salib ataupun perang saudara. Untuk mengatasi keadaaan
yang semakin terpuruk itu, saat itu para ulama menyerukan agar ijtihad
diberhentikan. Alasannya, jika perbedaaan pemahaman keagamaan diteruskan
5
Lihat; Adeng Muchtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik hingga Modern, Pustaka
Setia, Bandung, 2005, hal. 53
berlanjut, umat Islam semakin terpuruk karena terjadi perang saudara. Pada
akhirnya, fikih boleh berkembang dibatasi hanya pada 4 (empat) mazhab:
Hambali, Maliki, Hanafi, dan Syafii, sedangkan kalam (teologi) yang banyak
dianut adalah teologi Asy’ariah dan tasawuf serta filsafat yang dijadikan rujukan
adalah paham yang dibawa oleh Al-Ghazali.
Fenomena Aliran Keagamaan di Indonesia
Perkembangan
pemikiran
Islam
sampai
munculnya
faham-faham
keagamaan di dunia Muslim, senantiasa menarik untuk diamati. Sebab, dari
perkembangan pemikiran itu dapat dilihat bagaimana corak pergerakan dan cara
pandang keagamaan yang sangat memengaruhi kehidupan sosial, politik, dan
budaya umat Islam. Terlebih dalam konteks Indonesia, umat Islamnya sampai
sekarang ini sudah mencapai jumlah kurang lebih 90 persen dari total penduduk.
Oleh karena itu, perkembangan pemikiran Islam tentu sangat berpengaruh pada
situasi dan kondisi Indonesia.
Perubahan ”orde” dari yang ”lama”, ”baru”, sampai yang sedang terjadi
sekarang, ”reformasi”, bukan saja merubah sistem dan tatanan dalam berpolitik,
namun juga sangat mempengaruhi pola dan dinamika pemikiran umat Islam pada
umumnya. Penulis pernah membuka dan membaca dalam internet, suatu refleksi
seorang umat Islam dalam menyikapi keadaan masyarakat Indonesia sekarang :
”Belakangan ini dapat kita lihat, betapa tidak sedikitnya tokoh yang menawarkan
diri untuk menjadi pemimpin, mencalonkan diri sebagai presiden, bahkan––tidak
tangung-tanggung––ada pula orang yang mengaku diri sebagai nabi atau malaikat.
Betapa heboh nya dinamika bangsa ini. Bukan saja dalam hal kebangsaaan,
melainkan juga dalam hal kehidupan ruhaniah keagamaan”.
Tampaknya, kebebasan ’ala reformasi’, memberi peluang kepada semua
orang untuk mengekspresikan jati dirinya baik melalui ide, harapan, maupun
keinginan-keinginan yang selama ini (orde baru) terkunci. Demikian pula,
kemunculan aliran-aliran keagamaan di Indonesia yang dipandang tidak sejalan
dengan keyakinan pokok umat Islam yang mayoritas itu tidak terlepas dari
beberapa faktor, baik pembinaan internal, partisipasi pemerintah, stabilitas politik,
ekonomi, dan lain sebagainya. Namun demikian, salah satu faktor yang tidak bisa
diabaikan adalah karena dangkalnya akidah dan pengetahuan sebagian umat
Islam. Sehingga pada saat bersamaan, jika ada upaya pendangkalan akidah umat
Islam karena tidak suka dengan berkembangnya Islam, akan mudah terpengaruhi.
Harus diakui, bahwa semua ormas dan orsospol Islam belum maksimal dalam
membina aqidah umat. Pembinaan yang serius boleh jadi belum berhasil
sepenuhnya. Di tataran akar rumput, harus diakui pula bahwa umat ini masih
belum mendapat sentuhan pendidikan dan pembinaan keagamaan. Fenomena
maraknya pengajian dan ceramah baru menyentuh lapis luar. Sedangkan akar
rumput rakyat yang terselip di sana-sini, luput dari sentuhan pembinaan. Angka
250 aliran yang dipandang ”nyeleneh” dan masih mengakui sebagai umat Islam
sepanjang 26 tahun, menunjukkan secara telanjang bahwa begitu mudahnya
sebuah aliran itu lahir dan punya pengikut.
Kita pun patut mempertanyakan kepedulian pemerintah, dalam hal ini
lembaga terkait, seperti Departemen Agama, sudah sejak lama berkembang aliranaliran keagamaan yang dipandang tidak sejalan keyakinan akidah mayoritas umat
Islam Indonesia, tapi ”tidak” maksimal dalam bentuk tindakan nyata. Hal ini
nampak, ketika umat sudah terjebak tindakan anarkis, barulah bertindak. Seolaholah kebakaran jenggot. Alasannya memang begitu klise, pemerintah tidak boleh
berpihak dan harus mengayomi semua aspirasi masyarakat.
Belum adanya payung hukum yang jelas untuk mengukur ”sesat tidaknya”
sebuah aliran keagamaan, sehingga, kalaupun ada yang sudah dipandang ”sesat”
oleh sebagian komunitas muslim maupun MUI, tidak dianggap sebagai melawan
hukum. Kalau pun ada yang ditangkap, bukan karena urusan aqidah yang sesat,
tapi karena dianggap meresahkan masyarakat. Untuk menyikapi semaraknya
aliran keagamaan yang ”nyeleneh”, yang perlu dilakukan, diantaranya :
Pertama; tugas dan kewajiban untuk meluruskan akidah yang dianggap
”nyeleneh” adalah tugas para ahli agama, seperti para Ulama, Kyai, para Da’i,
cendekiawan dan intelektual Muslim, maupun ormas-ormas Islam. Karena mereka
semua memiliki kapasitas keilmuan, kewibawaan, dan ketokohan yang dapat
diterima oleh umat Islam. Oleh karena itu, satu sikap, saling kerja sama, dan
memiliki visi dan misi yang sama untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam supaya
menjadi warna kehidupan bangsa Indonesia, adalah suatu tugas yang sangat mulia
dan suci.
Kedua; pembinaan internal dilingkungan umat Islam lebih digiatkan
dengan penyajian materi keagamaan yang terstruktur, misalnya mulai dari
pemeliharaan dan pendalaman keimanan sampai kepada masalah-masalah yang
berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian, Islam tidak
hanya dikesani sebagai urusan mesjid, majlis ta’lim, maupun perayaan-perayaan
Islam lainnya, tetapi jauh dari kesan itu, yaitu sebagai way of life, sebagaimana
dipesankan Alqur’an.
Ketiga; lembaga yang sudah diakui keberadaannya sebagai ”partner”
pemerintah dalam urusan-urusan keagamaan, yaitu MUI, benar-benar menjadi
representasi umat Islam Indonesia, juga, tidak hanya sebatas memberi fatwafatwa, tetapi juga memiliki dampak hukum yang mengikat. Oleh karena itu, MUI
memerlukan payung hukum supaya lebih leluasa dalam upaya preventif dan
melakukan pelarangan terhadap aliran-aliran keagamaan yang ”nyeleneh”.
Keempat; semakin maraknya aliran yang nyeleneh di berbagai tempat sangat
meresahkan masyarakat. Para ulama dan umara kiranya perlu bersikap dan
bertindak lebih tanggap mengantisipasi keadaan sebelum terlambat. Ulama dan
umara diharapkan tidak tinggal diam bila mengetahui keberadaan suatu ajaran
agama yang nyeleneh. Jangan dibiarkan berkembang dan membuat masyarakat
resah sekaligus juga bisa menimbulkan ketidakstabilan masyarakat. Masyarakat
yang resah bisa saja mengambil tindakan sendiri. Kericuhan dan kekacauan massa
bisa terjadi tiba-tiba.
Gerakan keagamaan adalah gerakan pemikiran yang mengacu pada
paradigma pemikiran agama. Dalam perpektif sosiologis, saya mempetakan
gerakan keagamaan kepada dua pola pemikiran : pertama, perkembangan sosial
kultural dimana agama itu hidup dan berkembang; kedua, interaksi pemikiran
keagamaan para penganut agama. Dalam konteks pemikiran, keduanya saling
berkaitan. Yang Pertama dipandang sebagai proses dalam mengikuti ataupun
reaksi atas pemetaan pola dan perkembangan pemikiran peradaban manusia,
seperti Tradisionalisme, Modernisme, dan Postmodernisme. Yang Kedua,
berkaitan dengan pola pemikiran gerakan, seperti Fundamentalisme, Liberalisme,
dan Sekularisme. Atau, bahkan menurut perkembangan sekarang, Terorisme
(Agama) sebagai bagian dari perkembangan gerakan keagamaan.
Dalam gerakannya, gerakan keagamaan ini susah untuk dibedakan, apakah
gerakan politik, politisasi agama, atau gerakan dakwah. Oleh karena itu, kita harus
cermat dan membutuhkan alat analisis untuk menganalisis gerakan itu, supaya
meminimalisir memberi kesimpulan yang kurang tepat. Kenapa? Karena gerakan
keagamaan pada dasarnya gerakan dakwah atau misi, yang sudah pasti akan
bersentuhan dengan berbagai kepentingan penguasa (politis) dan bersentuhan
dengan teologi pemikiran (baca: keyakinan) agama.
Atas dasar itu, kuliah kita untuk memahami apa itu tradisionalisme agama,
modernisme agama, posmo agama, fundamentalisme agama, dan liberalisme
agama. Setelah memahami ini, baru kita akan mempetakan sekaligus menganalisis
gerakan-gerakan keagamaan yang muncul di Indonesia.
Hanya sejak sekarang, saya mengingatkan, sesuai dengan disiplin
sosiologi dan metodologi pemikiran studi agama-agama, untuk tidak “Menilai”,
men-Justifikasi atau mem-Vonis benar-salahnya dalam beragama”. Dalam Islam
dikenal dengan “Fitrah”, suatu proses pencarian kebenaran sejati (hanifa).Tetapi,
semua proses itu cenderung kepada kebenaran, bukan kepada kesalahan.
Kebanaran Agama > realitas empiris
Dalam metodologi pemikiran studi agama-agama, ada dua cara dalam
memhami kebenaran agama: 1) Suigeneris; 2) Scientifik Method. Kedua metode
ini bersumber kepada “pengakuan para penganut Agama” atau berdasarkan “cara
berfikir” penganut agama. Inilah yang disebut “truth claim”>baik
individu
maupun komunitas.
Suigeneris>agama sendiri yang memberi penilaian, dan ini merupakan
kebenaran yang diyakininya. Hubungkan dg teori Wach, Taufiq Abdullah tentang
struktur pemikiran agama.
Metode ilmiah>teori-teori sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah, dll,
dalam menganilisis asal-usul dan perkembangan agama.
Gerakan Pemikiran dlm perspektif Sosial
Fazlur Rahman, salah seorang pemikir Islam asal Pakistan pernah menaruh
harapan kepada perkembangan Islam di Indonesia. Ia sangat optimis bahwa satu
saat nanti Islam di Indonesia akan menjadi kekuatan signifikan dalam
mempengaruhi peradaban dunia. Harapan Rahman boleh jadi benar, jika melihat
kuantitas umat Islam Indonesia yang sangat besar. Namun bersandar pada aspek
kuantitas tanpa diiringi kesadaran keberislaman sejati bak ‘katak merindukan
bulan’.
Wajah Islam Indonesia sangat unik jika dibandingkan dengan bangsabangsa muslim lain. Islam di Indonesia menampilkan beragam wajah dalam
segala dimensi keislamannya. Dalam perpektif gerakan sosial paling tidak Islam
Indonesia mengambil dua wajah yang satu sama lain sangat kontradiktif, yaitu
fundamentalisme
dan
liberalisme.
Fundamentalisme
Islam
Indonesia
direpresentasikan oleh gerakan islam seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut
Tahrir, Laskar Jihad, Forum Ukhuwah Umat Islam (FKUI), Kelompok Tarbiyah,
Dewan Dakwah Islamiyah, MUI dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Gerakan
Islam ini menawarkan Syari’at Islam sebagaimana yang mereka pahami sebagai
solusi untuk mengatasi problem kebangsaan. Mereka sepekat bahwa akar dari
keterpurukan bangsa Indonesia adalah lepasnya akar tunjang akidah dan syariat
Islam dalam kehidupan bangsa, khususnya kaum muslim Indonesia sebagai
kelompok mayoritas di negeri ini.Gerakan fundamentalis Islam ini memang
sangat agresif dalam memperjuangkan cita idealnya. Mereka menampilkan wajah
islam yang simbolik sebagai pemikat konsolidasi kekuatan mereka. Peforma
keislaman seringkali ditampakan dalam bentuk lahiriah yang seringkali
diidentifikasikan dengan budaya Arab, seperti janggut, gamis, dan jilbab panjang.
Dalam merespon dinamika politik nasional mereka lebih mengusung masalah
syariat ketimbang persoalan kebebasan dan kemiskinan. Salah satu isu utama,
misalnya mendorong PERDA Syari’at, dan RUU pornografi/pornoaksi yang
hangat akhir-akhir ini. Gerakan fundamentalisme Islam Indonesia ini berorientasi
sebagai pemurni akidah dan pengawal syariat dalam kehidupan bangsa Indonesia
masa kini.Bagi Islam fundamentalis Al-Quran dan as-Sunnah adalah the way of
life yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pandangan mereka terhadap teks-teks
agama (nash) terkesan sangat tekstual dan rigid. Sehingga para pengamat islam
mendefinisikan mereka sebagai skripturalisme. Rujukan mereka dalam memahami
Islam tidak lepas dari pemahaman ulama terdahulu (salaf) seperti Ibnu Taymiyah,
Ibnu Qayim al-Jauziyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ahmad bin Hambal dan
seluruh tokoh ulama salaf yang dikelompokkan sebagai Ahlul Hadis.
Sementara wajah lain Islam Indonesia masa kini adalah liberalisme Islam.
Mereka berhimpun dalam Paramadina, Jaringan Islam Liberal (JIL), Islam
Transformatif, Islam Progresif, Jaringan Intelektual Muda Muhamadiyah (JIMM),
Lkis, dan kelompok diskusi mahasiswa Islam yang mengusung kebebasan
berfikir. Mereka lebih menamplkan Islam yang kontekstual. Mereka berupaya
keras merelevansikan ajaran Islam dengan perkembangan modernitas. Kebebasan
berpikir adalah jargon dalam perjuangan intelektual mereka. Penafsiran mereka
terhadap nash seringkali kontroversial, bahkan mereka tidak segan untuk
meminjam metode penafsiran yang telah dikembangkan agama-agama lain seperti
hermenetika misalnya. Bagi mereka Islam adalah rahmat bagi semesta alam.
Mereka mengapresiasi pandangan klasik Islam namun juga melakukan kritik
tajam terhadap pemikiran Islam para ulama terdahulu. Mereka mengusung
pluralisme, menggugat otoritas keberagamaan, fiqh progresif kontemporer dan
lintas agama, mengedepankan penalaran (akal) ketimbang bersandar pada nash,
dan membangun jembatan toleransi yang luwes dengan agama-agama lain.
Liberalisme Islam di Indonesia ini memang belum menunjukkan ekspresi
intelektual keislaman yang mandiri. Mereka lebih mengeksplorasi pemikiran
Islam liberal yang diimpor dari dunia Islam lain. Tokoh-tokoh Islam liberal seperti
Musthafa Abdul Raziq, Fazlur Rahman, Mohammad Arkoun, Hasan Hanafi,
Nashr Abu Zaid, Hasan Hanafi, Muhammad Abeed al-Jabiri, dan Abdul Karim
Soroush merupakan idola mereka. Tidak jarang artikulasi intelektualitas gerakan
liberalisme Islam Indonesia ini merepresentasikan pemikiran para tokoh pemikir
muslim liberal tersebut.
Liberalisme Islam Indonesia berorientasi pada ranah kultural. Mereka
mengkonsolidasikan gagasan-gagasannya memlalui forum-forum ilmiah dan
media massa. Mereka agak kurang tertarik dalam wilayah politik. Mereka
menjaga jarak dengan kekuatan-kekuatan politik praktis. Seringkali respon
mereka terhadap realitas sosial terkesan senafas dengan agenda liberalisasi
ekonomi dan politik di negeri ini. Isu demokratisasi, HAM, kebebasan ekspresi
dan sistem ekonomi berdasarkan mekanisme pasar bebas merupakan contoh nyata
relasi mereka agenda liberalisasi politik dan ekonomi itu. Sehingga kalangan
fundamentalis Islam
menuding
mereka sebagai antek-antek kapitalisme
internasional, atau ilntelektual muslim yang sudah teracuni pemikiran Barat.
Adanya dinamika dan perkembangan Islam mengidentifikasikan pula
adanya dinamika dan perkembangan pemikiran Islam itu sendiri. Oleh karena itu,
pemikiran Islam merupakan refleksi teologis seseorang dalam memahami situasi
sosial, kultural, politik, ekonomi, dan lain sebagainya, sebagai aktualisasi
pemahaman keislamannya. Lebih tepatnya, pemikiran Islam itu merupakan upaya
ijtihadi seseorang atau sekelompok orang dalam memahami teks suci Alqur’an
dan As-Sunnah sejalan dengan perkembangan dan situasi sosial kultural,
ekonomi, dan politik dimana Islam itu berkembang. Tentu saja, kapasitas
intelektual dan persyaratan ‘akademik’ yang harus dimiliki seseorang dalam
berijtihad, adalah mutlak diperlukan.
Pemikiran Islam telah diawali sejak masa Rasulullah. Ketika Rasulullah
bertindak, bersikap maupun berbicara, adalah sedang dalam proses pengungkapan
kewahyuan yang diterimanya dari Allah dalam memahami ’situasi’ umat pada
waktu itu. Oleh karena itu, pemikiran Islam yang terjadi pada masa Rasulullah
dan para sahabat, menunjukkan adanya upaya ijtihadi itu. Hanya dalam proses
ijtihadinya, baik Rasulullah maupun para sahabat sangat berbeda. Rasulullah,
dalam melakukan proses ijtihadi itu langsung dibawah bimbingan wahyu Allah,
sehingga pemikiran Rasulullah tidak mungkin salah, kalaupun salah, maka Allah
langsung menegur kesalahan itu dengan wahyunya. Adapun proses ijtihadi pada
masa sahabat setelah Rasulullah wafat, mereka memahami langsung teks Alquran
dan As-Sunnah (al Hadits), kecuali, ketika para sahabat itu masih bersama-sama
dengan Rasulullah, maka setiap ada persoalan yang dihadapi, para sahabat
langsung bertanya pada Rasulullah. Jawaban Rasulullah adalah wahyu. Dengan
demikian, yang menjadi sumber pemikiran Rasulullah adalah wahyu. Sepeninggal
Rasulullah,maka yang menjadi sumber pemikiran umat Islam adalah Alqur’an dan
As-Sunnah. Upaya ijtihadi para sahabat dan generasi berikutnya terus
berlangsung,
dengan
tetap
berpegang
pada
Alqur’an
dan
As-Sunnah.
Terbentuknya Khulafaur Rasyidin, adalah sebagai bentuk dari adanya proses
ijtihadi para sahabat dalam melanjutkan penyebaran Islam dan pembinaan umat
setelah Rasulullah wafat, berdasarkan pemahamannya saat itu terhadap Alqur’an
dan As-Sunnah.
Karena pemikiran Islam itu merupakan refleksi dalam merespon situasi,
maka tiap generasi, wilayah, situasi sosial tertentu akan berbeda dan masingmasing memiliki karakteristik serta kecenderungan pemikiran yang khas. Asal
tetap berpegang pada prinsip-prinsip Alqur’an dan As-Sunnah sebagai sumbernya,
maka setiap produk pemikiran, sekalipun berbeda, maka itulah pemikiran Islam.
Dalam konteks inilah, kenapa dinamika, bentuk dan pola pemikiran Islam
Indonesia berbeda dengan pemikiran Islam Pakistan, Arab Saudi, Iran, Amerika,
Mesir, Maroko, dan lain sebagainya. Untuk kasus Indonesia saja, dinamika dan
produk pemikiran Islam masa penjajahan, kemerdekaan, Ordelama, OrdeBaru,
dan Reformasi berbeda, masing-masing memiliki karakteristik, kecenderungan,
proses, dan bentuk pemikiran yang tersendiri, tetapi tetap semuanya dalam koridor
Alqur’an dan As-Sunnah. Karena, demi kepentingan Islam lah mereka semua
memahami Alqur’an dan Assunnah dalam konteks zamannya. Dalam hal ini kita
bisa lihat produk-produk pemikiran Islam dalam upaya memahami Alqur’an dan
As-Sunnah sesuai dengan perkembangan zamannya, seperti Muhammadiyah, NU,
Persis, Al-Washliyah, dan lain sebagainya.
Khawarij : Pemikiran Islam radikal
Aliran Khawarij adalah salahsatu dari tiga aliran awal dalam pemikiran
Islam yang muncul pada saat terjadinya pertentangan politik (imamah) antara
pengikut Mu’awiyah dan pengikut Ali, yang kemudian berujung dengan
digelarnya upaya perdamaian (Majlis Tahkim). Yang dipertentangkan itu adalah
tentang siapakah yang berhak menggantikan khalifah setelah khalifah Utsman bin
Affan meninggal. Dua aliran lainnya adalah aliran Murji’ah dan Syi’ah. Aliran
Syi’ah adalah gerakan politik dan pemikiran yang setia terhadap Ali bin Abi
Thalib, yang memiliki pandangan teologis bahwa ”yang berhak menggantikan
kursi kekhalifahan setelah Rasul wafat adalah Ali bin Abi Thalib beserta
keturunannya”. Sedangkan, aliran Murj’iah adalah gerakan pemikiran dan politik
yang memiliki sikap dan pandangan yang moderat. Yang dimaksud kemoderatan
di sini adalah bahwa mereka tidak memihak kepada kelompok Ali maupun
Muawiyah, sehingga tidak memutuskan siapa yang ”benar” dan ”salah”,
semuanya diserahkan kepada keputusan Allah. Adapun aliran Khawarij adalah
gerakan pemikiran dan politik yang menentang adanya majlis tahkim termasuk
semua hasil yang diputuskannya. Mereka menganggap, bahwa orang-orang yang
mengikuti bahkan menyepakati hasil majlis tahkim itu telah menyimpamg dari
ajaran Islam (dosa besar), dan bahkan dihukumkan kafir. Sebenarnya, para
pengikut Khawarij adalah pengikut setia Ali bin Abi thalib. ”Mereka keluar”
(khawarij) dari barisan Ali, karena persoalan majlis tahkim itu. Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa kemunculan aliran Khawarij dengan segala gerakan, sikap,
dan pandangannya menjadi tanda atau indikasi kemunculan radikalisme pemikiran
dalam Islam yang diakibatkan oleh faktor politik, fanatisme, dan pemahaman
yang literal terhadap ajaran Islam.
Jika dihubungkan dengan pemikiran Islam dewasa ini, maka ciri-ciri
radikalisme, ternyata telah muncul dan berkembang disebagian umat Islam,
dengan indikasi : Pertama;. dalam memahami ajaran Islam (Alquran dan AsSunnah) berdasarkan kepentingan kelompok atau golongannya. Sehingga, simbolsimbol agama dijadikan sebagai ’alat politik’ untuk mendapatkan dukungan dan
simpati masyarakat. Tidak menutup kemungkinan pula, akibat dari pemahaman
yang literal, mementingkan kelompoknya sendiri, dan sikap-sikap yang radikal
itu, menyebabkan mereka menjadi kelompok Muslim yang marjinal (eksklusif),
dan bahkan bisa memunculkan aliran-aliran sesat. Kedua; faktor ”Barat”.
Kemunculan radikalisme dalam pemikiran Islam pada masa modern dan
kontemporer sekarang ini tidak lepas dari faktor ”Barat” pada umumnya.
Penutup
Faktor inilah yang ikut mendorong bagi upaya-upaya pembaruan di
kalangan kaum muslimin, yang pada gilirannya muncul dalam bentuk
”modernisme” dan ”reformisme”. Bagi kaum reformis dan modernis, bahwa untuk
mengangkat kaum muslimin dari kemunduran dan keterbelakangan, dalam segisegi tertentu, perlu dilakukan adopsi pemikiran dan kelembagaan Barat. Namun
sebaliknya, bagi kaum radikal dan ekstrim, justru Barat menjadi faktor
kemunduran umat Islam. Bagi mereka, Barat tidak hanya menjajah wilayah
muslim (dar-al-Islam), tetapi juga telah merusak dan menghancurkan sistem nilai,
budaya, sosial, ekonomi, dan intelektualitas Islam. Mana mungkin mengikuti
kaum Barat yang secara keimanan dan moral telah mengalami kebobrokan.
Daftar Pusataka
1.
Adeng Muchtar Ghazali, Pemikiran Islam Kontemporer, Pustaka Setia,
Bandung, 2005
2.
Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1997.
3.
Fazlur Rahman, Islam & Modernity : Transformation of an Intellectual
Tradition, the University of Chicago Press, 1993
Download