Problem Pengelolaan Gangguan Jiwa yang Lazim di

advertisement
ULASAN
Problem Pengelolaan Gangguan Jiwa yang Lazim
di Pelayanan Primer
Feranindhya Agiananda
Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Gangguan jiwa yang lazim (common mental disorder), termasuk di dalamnya anxietas dan depresi, merupakan masalah
kesehatan yang sering ditemukan di masyarakat dan bersifat universal. Survai World Health Organization (WHO) di pelayanan kesehatan primer pada tahun 1996, mendapatkan sekitar 24% pasien menderita gangguan jiwa, yang terbanyak
adalah gangguan anxietas dan gangguan depresi.
Beberapa studi mengungkapkan bahwa apabila gangguan-gangguan tersebut tidak terdeteksi dan tertatalaksana dengan baik, dapat menyebabkan timbulnya hendaya bagi penderitanya, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial-okupasional. Karenanya, petugas kesehatan di pelayanan primer yang merupakan lini terdepan harus memiliki kemampuan
mendeteksi dan mampu mengelola gangguan jiwa yang lazim tersebut.
Terdapat beberapa kendala yang menyebabkan sulitnya deteksi pasien dengan gangguan tersebut, baik dari pihak
petugas kesehatan di pelayanan primer, pihak pasien, problem dalam hal konsultasi itu sendiri, dan sistem pelayanan
kesehatan, yang juga memberikan pengaruh pada pengelolaan gangguan jiwa yang lazim secara komprehensif.
Beberapa alternatif solusi yang mungkin dapat dilaksanakan adalah memberi pelatihan kepada petugas kesehatan di
pelayanan primer, membuat instrumen diagnostik dan terapi yang singkat, sederhana dan mampu laksana, melakukan
perubahan dalam sistem pendidikan kedokteran, melakukan edukasi terhadap masyarakat untuk mengurangi stigmatisasi, edukasi terhadap petugas kesehatan di pelayanan primer mengenai pentingnya deteksi dini dan pengelolaan
gangguan jiwa yang lazim secara adekuat, dan mengembangkan riset untuk advokasi kebijakan pemerintah
Kata kunci: Gangguan jiwa yang lazim, problem pengelolaan, alternatif solusi
PENDAHULUAN
Gangguan jiwa yang lazim (common
mental disorder), termasuk di dalamnya anxietas dan depresi, merupakan masalah kesehatan yang sering
ditemukan di masyarakat. Gangguan
ini bersifat universal, dapat terjadi
pada individu di semua daerah, semua
negara dan semua kelompok sosial.
Gangguan ini juga dapat mengenai
laki-laki dan perempuan dari berbagai
lapisan umur, dengan berbagai tingkatan sosial ekonomi, baik yang tinggal
di perkotaan maupun di pedesaan.1
Sebuah survei World Health Organization (WHO) di pelayanan kesehatan primer pada tahun 1996, mendapatkan sekitar 24% pasien menderita
gangguan jiwa, yang terbanyak ada-
586
Layout CDK Edisi 181 November 2010 dr.indd 586
lah gangguan anxietas dan gangguan
depresi.1,2,3
Beberapa studi mendapatkan bahwa
apabila gangguan-gangguan tersebut tidak terdeteksi dan tertatalaksana dengan baik, dapat menyebabkan
disabilitas penderitanya, baik secara
fisik, psikologis, maupun sosial-okupasional.1-7 Beberapa kepustakaan
bahkan menyebutkan bahwa disabili-tas yang terjadi dapat lebih berat
dibanding dengan pada penyakit
fisik kronik lain, seperti hipertensi,
diabetes mellitus, arthritis dan nyeri
punggung.2-4 Hal ini menimbulkan
kerugian yang tidak sedikit, baik bagi
penderita sendiri, keluarga dan lingkungannya. Dampak ekonomi yang
terjadi juga tidak kecil, dan bisa berakibat terhadap sistem pelayanan
kesehatan itu sendiri maupun juga
terhadap komunitas.1-7
Pelayanan primer, seperti puskesmas,
praktek dokter umum dan dokter keluarga merupakan lini terdepan kesehatan yang akan menangani gangguan-gangguan tersebut pertama
kali. Karenanya, petugas kesehatan di
pelayanan primer haruslah memiliki
kemampuan untuk mendeteksi dan
mampu menatalaksana gangguan jiwa
yang lazim tersebut.
Hal tersebut bukanlah persoalan mudah; terdapat beberapa kendala yang
menyulitkan deteksi pasien dengan
| NOVEMBER - DESEMBER 2010
10/27/2010 2:45:53 PM
TINJAUAN PUSTAKA
guan depresi, gangguan anxietas,
gangguan penyalahgunaan alkohol,
gangguan tidur, kelelahan kronik,
dan gangguan somatoform (WHO).9
Gangguan-gangguan ini merupakan
gangguan jiwa yang umum ditemui di
pelayanan primer. Pada kesempatan
kali ini hanya akan dibahas gangguan
depesi dan gangguan anxietas, karena keduanya memiliki prevalensi terbanyak di antara gangguan jiwa yang
lazim lainnya.
gangguan tersebut, baik dari pihak
petugas kesehatan di pelayanan primer, dari pasien sendiri, juga dari
sistem pelayanan kesehatan. 2,3,8,9
Tinjauan pustaka ini akan membahas
problem pengelolaan gangguan jiwa
yang lazim di pelayanan primer dan
bagaimana menyiasatinya supaya
deteksi dan pengelolaan gangguan
tersebut di masyarakat dapat berjalan
baik.
BATASAN
EPIDEMIOLOGI
Cukup banyak penderita gangguan
jiwa yang lazim di pelayanan primer.
Gangguan jiwa yang lazim (common mental disorders) adalah gang-
Sebuah studi WHO berskala besar di
15 situs di 14 negara mendapatkan
data sekitar 24% responden menderita
gangguan jiwa.1,2 11,7% di antaranya
gangguan depresi, 10,5% gangguan
anxietas, dengan 4,6% menderita keduanya. Dari jumlah tersebut, ternyata
hanya separuhnya yang dideteksi oleh
dokter umum pelayanan primer. National Comorbidity Study di Amerika
Serikat melaporkan 11,3% responden
menderita gangguan depresi dan
17,2% menderita gangguan anxietas.2
24%
Gejala
psikologis yang
signifikan
36%
Kemungkinan
gangguan
mental
9%
Sehat secara
psikologis
31%
WHO-PPGHC
0 Gejala
Beberapa gejala
Gangguan yang tidak nyata
Diagnosis ICD-10
Grafik 1. Prevalensi gangguan psikiatri di pelayan-
Grafik 2. Angka gangguan mental pada pasien
an kesehatan primer
yang datang ke pelayanan primer
Tabel 1. Prevalensi gangguan psikiatri yang lazim di komunitas dan pelayanan primer
Gangguan psikiatrik yang lazim
Gangguan depresif
Pelayanan
Primer
Internasional
(ICD-10)
Komunitas
AS
(DSM-III-R)
Komunitas
Australia
(1997)
Depresi Mayor
10.40
2.10
5.10
Distimia
10.30
2.50
1.10
Gangguan anxietas
Gangguan anxietas menyeluruh
7.90
3.10
3.10
Gangguan panik/agorafobia
2.60
5.10
2.40
Somatisasi
2.70
-
-
Neurastenia
5.40
-
-
Hipokondriasis
0.80
-
-
6.00
9.70
6.50
29.50
17.70
9.50
14.00
4.80
Gangguan somatik
Gangguan penggunaan alkohol
Diagnosis psikologis apa pun
Dua atau lebih gangguan mental
| NOVEMBER - DESEMBER 2010
Layout CDK Edisi 181 November 2010 dr.indd 587
Sebuah studi WHO-PPGHC, mendapatkan 24% pasien yang datang ke pelayanan primer menderita gangguan
psikiatrik berdasarkan ICD-10, 9%
memiliki gangguan yang tidak nyata,
dan 31% menunjukkan beberapa gejala gangguan jiwa.8 (Grafik 1) Penelitian lain oleh Goldberg (1996) dan
Ustun & Sartorius (1995) juga menunjukkan hasil serupa: 1/3 pasien yang
datang berobat ke pelayanan primer
menderita gangguan jiwa, sementara
1/3 lainnya memiliki gejala gangguan
jiwa tetapi tidak memenuhi kriteria diagnosis tertentu.3 (Grafik 2)
Penelitian Goldberg dan Lecrubier
(1995) di pelayanan primer mendapatkan prevalensi gangguan depresi
sebesar 20,7% dan gangguan anxietas
sebesar 10,5%; di komunitas AS, Kessler dkk (1994) mendapatkan prevalensi gangguan depresi sebesar 4,6%
dan gangguan anxietas sebesar 8,2%;
dan di komunitas Australia, Andrews
dkk (1999) mendapatkan prevalensi
gangguan depresi sebesar 6,2% dan
gangguan anxietas sebesar 5,5% 3 (Tabel 1)
Di Indonesia belum ada data epidemiologi mengenai gangguan mental
yang lazim ini. Penelitian Direktorat
Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI pada tahun 1984 di Puskesmas
Kecamatan Tambora Jakarta Barat
mendapatkan 28,73% pasien yang
berobat di Puskesmas tersebut menderita gangguan jiwa.11,12
587
10/27/2010 2:45:53 PM
TINJAUAN PUSTAKA
si dan melakukan pengelolaan pasien
gangguan jiwa yang lazim. Merekalah
yang melakukan penyaringan, siapa
yang merupakan pasien psikiatrik
dan yang tidak. Setelah itu, mereka
pulalah yang melakukan tatalaksana
dan kemudian memutuskan apakah
pasien tersebut memerlukan rujukan
ke pelayanan spesialistik.8 (Gambar
2) Hal ini akan sangat membantu dan
meringankan beban psikiater, karena pasien yang datang benar-benar
murni pasien psikiatrik yang membutuhkan pelayanan spesialistik.
PROBLEM PENGELOLAAN
GANGGUAN JIWA YANG LAZIM DI PELAYANAN PRIMER
Cukup banyak kasus gangguan depresi
dan anxietas di pelayanan primer yang
tidak terdeteksi dan terkelola dengan
baik. Banyaknya penderita gangguan
jiwa di masyarakat merupakan fenomena gunung es; jumlah kasus yang terdeteksi di pelayanan primer tidak sesuai dengan kenyataannya. Sebagian
memang tidak datang untuk berkonsultasi, tetapi mereka yang datang untuk berkonsultasi pun kadang bukan
untuk keluhan psikiatriknya, melainkan
untuk keluhan lainnya.8 (Gambar 1)
Beberapa kepustakaan menyebutkan
sekitar 50% kasus gangguan jiwa yang
lazim luput dari perhatian petugas
kesehatan di pelayanan primer, dalam
hal ini dokter umum.2,13,14 Pengelolaan
Karena mayoritas pasien akan datang
ke pelayanan primer, maka menjadi tugas dokter umumlah untuk mendetek-
Pasien depresif dan/atau anxietas
yang diperiksa oleh psikiater
Pasien depresif dan/atau
anxietas yang dijumpai pada
praktik layanan primer
Tidak pernah berkonsultasi
Gambar 1. Dasar dari fenomena gunung es pasien depresi dan/atau anxietas
Rawap inap
Filter 4: Keputusan untuk dirawat
Filter 3: Keputusan untuk merujuk
Filter 2: Diagnosis oleh Dokter umum
Seluruh pasien psikiatrik
Pasien pelayanan primer dengan
gejala mencolok
Pasien Pelayanan Primer
Filter 1: Keputusan untuk berkonsultasi
Diadaptasi dari Goldberg & Huxley, 1980
Gambar 2. Alur pasien dengan gangguan anxietas dan/atau depresi menuju perawatan spesialistik
588
Layout CDK Edisi 181 November 2010 dr.indd 588
gangguan tersebut tentunya tidak
akan berjalan baik apabila kasusnya
tidak dikenali. Untuk itu, dirasakan
perlu untuk mengetahui kendala-kendala yang menjadi penyebab tidak terdeteksinya kasus gangguan jiwa yang
lazim di pelayanan primer.13,15
Alasan dibalik tidak dikenalinya kasuskasus tersebut kompleks. Penyebabnya bisa beraneka ragam, tetapi dapat dikelompokkan menjadi tiga hal,
yaitu:
1. Pihak dokter
Sebagian besar dokter hanya mendapatkan sedikit pelatihan psikiatrik formal. Pendidikan kedokteran umum
hanya memberikan sedikit kurikulum
pendidikan psikiatri, kurang dari 5%
dari total pendididikan kedokteran.
Selain itu, pada masa pendidikan
tersebut, para mahasiswa lebih banyak berhadapan dengan pasien
psikotik yang dirawat inap dibanding
dengan pasien-pasien rawat jalan. Hal
ini menyebabkan kurangnya kemampuan mendiagnosis gangguan-gangguan jiwa yang ada di masyarakat.7
Para dokter di pusat pelayanan primer
lebih terpaku pada gejala fisik yang
ditampilkan oleh pasien saat berobat,
yang seringkali memang merupakan
keluhan utama penderita gangguan
depresi dan anxietas, sehingga sering terjadi salah diagnosis dan tidak
adekuatnya terapi.2,3,8
Penyebab lain adalah adanya persepsi
negatif mengenai gangguan jiwa; para
dokter khawatir pasien akan merasa
dirinya aneh dan akan dikucilkan oleh
masyarakat sekitar apabila ia didiagnosis menderita gangguan jiwa.2 Terdapat pula persepsi negatif dokter
berupa keraguan diagnosis psikiatrik
karena dianggap tidak nyata mengingat tidak terdapat bukti-bukti obyektif,
seperti pemeriksaan laboratorium atau
EKG, sehingga mereka cenderung untuk mensomatisasi gejala yang dialami
pasien.7 Persepsi negatif yang salah
tentang terapi juga dapat mengacu
pada pesimisme dalam mendiagnosis
gangguan jiwa, karena dianggap bahwa pasien-pasien dengan gangguan
| NOVEMBER - DESEMBER 2010
10/27/2010 2:45:53 PM
TINJAUAN PUSTAKA
jiwa tidak dapat sembuh dan tidak responsif terhadap terapi.2
Para praktisi kesehatan sering menyamakan depresi dan anxietas sebagai
suatu respons alamiah dalam menghadapi situasi kehidupan tertentu dan
bukan merupakan kondisi yang membutuhkan intervensi. Walaupun memang kondisi tersebut sering dapat
dipahami, jangan dilupakan bahwa
kondisi tersebut dapat menimbulkan
hendaya bagi penderitanya dan bahwa kondisi tersebut dapat diobati, sehingga tidak boleh dilewatkan begitu
saja.2
Terakhir, adanya masalah personal
dokter sendiri yang menghambat
proses pengenalan penyakit: adanya
perasaan tidak nyaman ketika harus
menghadapi masalah yang berhubungan dengan emosi dan adanya
masalah interpersonal dari diri dokter
tersebut yang berhubungan dengan
anxietas atau depresi.2
2. Pihak pasien
Beberapa studi menunjukkan bahwa
pasien-pasien dengan gangguan
depresi atau anxietas pada awalnya
menunjukkan keluhan somatik dan
hal tersebutlah yang membawa mereka untuk berobat. Kebanyakan mereka tidak menyadari dasar emosional
gejala-gejala yang mereka alami.
Mereka umumnya takut akan stigmatisasi atau takut akan menjadi “gila”
dan karenanya cenderung menolak
apabila dilabel menderita gangguan
jiwa, terlebih lagi bila harus dirujuk ke
psikiater. Pasien-pasien seperti ini seringkali menolak atau tidak kooperatif
dengan terapi yang diberikan.2,3,7,8
Banyak pasien yang juga tidak memahami konsekuensi negatif penyakitnya
apabila tidak tuntas ditangani; hal ini
ikut mempengaruhi kepatuhan berobat. Selain itu, akses ke pelayanan
kesehatan juga terbatas, sehingga
cukup banyak pasien yang akhirnya
memilih untuk tidak berobat.3,8
Gangguan depresi dan anxietas seringkali tidak terdiagnosis apabila
disertai penyakit fisik atau gangguan
psikiatrik lain (terutama demensia,
skizofrenia, dan penyalahgunaan alkohol dan zat addiktif lainnya), apabila
gejala-gejalanya tidak khas dan apabila terdapat perbedaan kultur antara
pasien dengan dokter.2
3. Proses konsultasi
Lama konsultasi pada sebagian besar
dokter umum berkisar antara 3-20 menit dengan rata-rata sekitar 6-7 menit.
Para dokter di pelayanan primer menganggap bahwa evaluasi seseorang
dengan masalah psikiatri membutuhkan waktu lama. Hal ini membuat
dokter cenderung menggunakan pertanyaan tertutup dalam mewawancara
pasien untuk mencegah agar pasien
tersebut tidak bercerita panjang lebar
dan menghabiskan waktu.2,7
Langewitz dkk (2002) berusaha mengukur berapa lama pasien akan berbicara spontan pada awal konsultasi
di sebuah klinik rawat jalan. Ternyata,
apabila pasien dibiarkan berbicara
bebas mengutarakan keluhan utama
mereka, rata-rata (78%) waktu yang
dihabiskan adalah 92 detik. Jadi sebenarnya, lama konsultasi yang biasa
terjadi di pelayanan primer memungkinkan dokter untuk menangani pasien
psikiatri tanpa perlu menghabiskan
waktu panjang.3
Mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan kunci untuk menegakkan diagnosis dan memberi terapi.
Pasien perlu diberi penjelasan mengenai penyakitnya dan pilihan terapi
yang tersedia, efek apa yang diharapkan terjadi dan efek samping apa saja
yang mungkin akan terjadi. Selain
terapi medikamentosa, pasien dengan
masalah psikiatrik juga membutuhkan
konseling psikologis sederhana untuk
membantu mengatasi masalah yang
dihadapinya.7,16
Penelitian-penelitian mengenai teknik
wawancara menunjukkan bahwa angka pengenalan gangguan jiwa akan
meningkat apabila dokter mengadopsi sikap empatik, membiarkan
pasien yang memimpin wawancara,
| NOVEMBER - DESEMBER 2010
Layout CDK Edisi 181 November 2010 dr.indd 589
menanyakan masalah yang berorientasi psikologis sejak awal wawancara,
berespons terhadap tanda-tanda nonverbal, mendengarkan dengan penuh
perhatian, mentoleransi keheningan, mempertahankan kontak mata,
menghindari pertanyaan tertutup
mengenai gejala fisik dan menghindari
menginterupsi pembicaraan pasien.2,3
4. Sistem Pelayanan Kesehatan
Sistem penggantian asuransi untuk
gangguan mental seringkali tidak
adekuat. Hal ini turut memberi kontribusi dalam keengganan dokter maupun pasien terhadap diagnosis gangguan jiwa.3,8
Kurangnya perawat dan tenaga medis
yang terlatih dalam hal pengelolaan
gangguan jiwa juga merupakan kendala dalam memberikan pelayanan
kepada pasien. Hal ini berhubungan
dengan pengawasan (monitoring)
dan re-evaluasi pasien-pasien dengan
gangguan jiwa yang tidak adekuat.3
Hal lain yang juga perlu menjadi perhatian adalah kurangnya koordinasi
antara berbagai jenis pelayanan kesehatan, termasuk sistem rujukan. 3,8
Tidak dikenalinya gangguan jiwa yang
lazim di pelayanan primer memiliki
dampak terhadap pengelolaannya.
Di pusat pelayanan primer, seperti
puskesmas, terdapat suatu kegiatan
pencatatan dan pelaporan mengenai
setiap kasus yang datang. Apabila kasus gangguan jiwa yang lazim tersebut
tidak terdeteksi baik, tentu catatan
dan laporan yang dibuat tidak menggambarkan keadaan sebenarnya.
Dampaknya adalah tidak cukup tersedia obat-obatan yang diperlukan untuk tatalaksana gangguan tersebut
karena dianggap kasusnya sedikit atau
jarang sehingga obat-obatan tersebut
dialokasikan ke tempat lain yang lebih
membutuhkan. Hal ini akan makin
merugikan penderita gangguan jiwa
yang lazim dan bisa menimbulkan
hendaya yang lebih berat.11
Dampak lain adalah timbulnya disabilitas pada pasien penderita gangguan
589
10/27/2010 2:45:54 PM
TINJAUAN PUSTAKA
Problem berkaitan
perilaku
9.5
Malaria
2.8
Lain-lain
23.3
Problem
Serebrovaskuler
3.2
Penyakit jantung
4.4
Kanker
5.8
Problem Kes.Jiwa
8.1
Problem pernapasan
9
Problem
Maternal/Perinatal
9.5
Grafik 2. Distribusi global dari beban kesehatan
Alternatif Solusi Mengatasi Problem
Pengelolaan Gangguan Jiwa yang
Lazim di Pelayanan Primer
Setelah mengidentifikasi kendala-kendala dalam mengenali dan mengelola
gangguan jiwa yang lazim di pelayanan primer, banyak upaya yang dapat
dilakukan, di antaranya:
• Pelatihan dokter umum
Pelatihan mengenai cara deteksi gangguan jiwa yang lazim di pelayanan
primer yang mungkin dilakukan, misalnya menggunakan instrumen yang
singkat dan sederhana tetapi sensitif.
Dapat pula diberikan pelatihan teknik
wawancara psikiatri dan psikoterapi.16
Sebuah studi di Australia mengenai
efek pelatihan kesehatan jiwa terhadap manajemen gangguan jiwa yang
lazim menunjukkan terjadi peningkatan rasa percaya diri dokter umum dalam melakukan terapi dan meningkatkan angka diagnosis gangguan mental
yang lazim di pelayanan primer.17
• Membuat instrumen diagnostik
dan terapi yang singkat dan sederhana, yang dapat mempermudah dokter
umum dalam menegakkan diagnosis
psikiatrik.18
Departemen Kesehatan RI sudah mengeluarkan sebuah panduan diagnostik
| NOVEMBER - DESEMBER 2010
Layout CDK Edisi 181 November 2010 dr.indd 591
Tahap 1: anamnesis dan pemeriksaan
fisik diagnostik
Tahap 2: penegakan diagnosis, terapi
dan rencana tindakan
Tahap 3: pemeriksaan psikiatrik (dilakukan pada kunjungan berikutnya)
Sangat disayangkan instrumen ini
kurang sosialisasi dan diseminasi dalam bentuk pelatihan kepada para
dokter umum dan petugas kesehatan
lainnya di puskesmas sehingga banyak
yang tidak menggunakannya.
• Perubahan kurikulum pendidikan
psikiatri dalam pendidikan dokter
umum.
Angka mencerminkan persentase “disability-adjusted life years lost”
The World Bank, 1993
jiwa yang lazim yang tidak terdeteksi
dan tertatalaksana dengan baik. Disabilitas ini merupakan beban yang
harus ditanggung oleh pasien, keluarga dan masyarakat. Beban ini dapat
berupa biaya langsung, seperti biaya
pengobatan, dapat pula tidak berupa
biaya tak langsung, seperti kehilangan
penghasilan, penurunan produktivitas,
dan sebagainya. Problem kesehatan
jiwa menimbulkan lebih dari 8% “disability-adjusted life year lost”. Dikatakan bahwa disabilitas yang timbul akibat gangguan jiwa dapat lebih berat
dibanding akibat penyakit fisik kronik
lainnya, seperti hipertensi, diabetes
mellitus, arthritis dan nyeri punggung;
bahkan disabilitas akibat depresi menempati urutan kedua setelah disabilitas akibat operasi jantung.8 (Grafik 2)
yang dikenal dengan nama Metoda
Dua Menit. Metoda ini terdiri dari 3
tahap yang masing-masing memakan
waktu selama 2 menit, yaitu:11
Salah satunya adalah dengan menambah waktu pendidikan psikiatri selama
masa pendidikan dokter umum. Jika
tidak mungkin, dapat dipertimbangkan untuk lebih memaparkan mahasiswa kedokteran dengan gangguan
mental yang lazim. Bagian Psikiatri
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) sudah mulai mensosialisasikan diagnosis gangguan mental
yang lazim kepada mahasiswa kedokteran tingkat IV. Mereka diberi modul
yang diadaptasi dari modul WHO untuk dokter umum di pelayanan primer.
Modul tersebut berisi panduan singkat menegakkan 6 gangguan mental
yang lazim.19
Selain itu, dalam pendidikan di bagian
kedokteran komunitas, mahasiswa
tingkat V dilibatkan di sebuah klinik
dokter keluarga yang juga bekerja
sama dengan bagian Psikiatri dalam
memberikan pelayanan psikiatrik.
Mereka diminta memaparkan kasus
menggunakan evaluasi multi aksial.
Hal-hal tersebut merupakan suatu terobosan yang baik dalam meningkatkan kualitas dokter umum agar lebih
peka terhadap masalah psikiatri.
•
Edukasi kepada masyarakat me-
591
10/27/2010 2:45:54 PM
TINJAUAN PUSTAKA
ngenai gangguan jiwa agar masyarakat
memiliki gambaran dan pandangan
yang benar mengenai gangguan jiwa
sehingga dapat mengurangi stigma.7
• Edukasi petugas kesehatan pelayanan primer mengenai pentingnya
deteksi dini dan pengelolaan yang
tepat terhadap pasien dengan gangguan jiwa yang lazim.
• Melakukan riset, di antaranya survei epidemiologi untuk mendapatkan
gambaran nyata mengenai hal ini di
Indonesia sehingga dapat lebih diperhatikan dan ditangani secara komprehensif oleh pihak-pihak terkait (advokasi kebijakan pemerintah)
ILUSTRASI KASUS
Tn. B, 35 tahun, tamat SMA, pegawai
swasta, menikah, mempunya 2 orang
anak, Islam, datang ke Poliklinik Jiwa
RS Persahabatan dengan keluhan utama dada sering berdebar-debar dan
sesak napas. Keluhan ini dirasakan
pasien sudah sejak ± 2 tahun yang lalu
dan akhir-akhir ini makin sering terjadi.
Keluhan tersebut muncul tiba-tiba tanpa ada pencetus yang jelas, berlangsung selama 10-15 menit, kemudian
reda dan menghilang dengan sendirinya. Pada awalnya, keluhan muncul 1
kali dalam 2-3 bulan, tetapi makin lama
makin sering. Akhir-akhir ini keluhan
dirasakan setiap 1-2 minggu sekali.
Gejala yang dirasakan juga makin berat. Setiap kali serangan, dada pasien
berdebar-debar, sesak napas, telapak
tangan terasa dingin, gemetar, dan
pasien merasa takut mati. Sejak 6 bulan terakhir ini pasien menjadi takut
keluar rumah dan bepergian sendiri
karena takut apabila terjadi serangan
di jalan, tidak ada yang menolongnya.
Setiap kali ke luar rumah, pasien harus
selalu diantar isterinya atau supirnya.
Pasien tidak lagi berani mengendarai
mobil sendiri. Pasien menjadi sering
tidak masuk kerja; saat ini pasien sudah mendapat surat peringatan dari
kantornya mengenai masalah presensinya.
Sebelum datang ke RS, pasien sudah
592
Layout CDK Edisi 181 November 2010 dr.indd 592
beberapa kali ke dokter. Saat keluhan
pertama kali muncul, pasien ke dokter
praktek 24 jam di dekat rumah pasien.
Didapatkan tekanan darah pasien
140/90 mmHg, lainnya dalam batas
normal; pasien dinyatakan menderita
hipertensi ringan. Pasien kemudian
diberi obat penenang, diminta untuk
diet rendah garam dan diberi vitamin.
Sejak saat itu pasien menjadi ketakutan dirinya terkena penyakit jantung.
Pasien berulang kali memeriksakan
kondisinya ke dokter lain, mulai dari
dokter umum yang lain, dokter spesialis penyakit dalam, sampai dengan
dokter spesialis jantung. Pasien bahkan pernah dirawat di rumah sakit
selama 4 hari. Pasien juga sudah diperiksa laboratorium darahnya, fungsi
tiroid, foto rontgen dada, EKG, dan
treadmill, dan hasilnya selalu dinyatakan normal. Pasien sudah diberi berbagai macam obat (pasien tidak ingat
obat apa saja yang diminum), tetapi
hasilnya kurang memuaskan.
Karena kondisi pasien yang tidak kunjung membaik, dokter spesialis jantung tempat pasien terakhir berobat
kemudian menyarankan pasien untuk
berobat ke psikiater. Awalnya pasien
enggan karena merasa dirinya tidak
“gila” sehingga tidak perlu berobat
ke psikiater. Pasien tetap menganggap bahwa dirinya menderita penyakit
jantung dan gejala-gejala yang dialaminya adalah tanda-tanda penyakit
jantung. Pasien takut meninggal karena penyakit tersebut seperti teman
kantornya. Akan tetapi karena serangan makin sering dan makin mengganggu, akhirnya pasien mau berobat
ke Poliklinik Psikiatri RS Persahabatan.
Dari pemeriksaan status mental didapatkan seorang pria, sesuai usianya,
berpakaian rapi, tampak cemas. Saat
berjabat tangan dengan pemeriksa,
tangan pasien terasa dingin dan berkeringat. Mood eutim, afek cemas, serasi. Pembicaraan spontan, lancar dan
jelas. Tidak ditemukan adanya gangguan persepsi. Terdapat preokupasi
mengenai kondisi pasien dan penyakit jantung yang mungkin dideritanya.
RTA tidak terganggu.
Pasien kemudian didiagnosis Gangguan Panik dengan Agorafobia dan
mendapat terapi Alprazolam 2 x 0,5
mg serta terapi kognitif perilaku (CBT).
Pada pertemuan berikutnya kondisi
pasien sudah lebih membaik, serangan
panik jarang muncul walaupun pasien
belum berani ke luar rumah sendirian.
Dua bulan kemudian, serangan panik
hanya datang satu kali, pasien sudah
dapat pergi ke luar rumah sendirian
dan sudah dapat kembali bekerja seperti sediakala.
PEMBAHASAN
Dari ilustrasi kasus di atas, terlihat jelas
bahwa gangguan jiwa pasien tidak terdeteksi dengan baik. Keluhan pasien
tidak dianggap sebagai salah satu tanda adanya gangguan jiwa akan tetapi
malah dianggap sebagai sebuah penyakit fisik (hipertensi ringan). Kondisi
pasien yang dibiarkan berlarut-larut
membuat disabilitas yang makin berat.
Gejala yang makin berat karena tidak
diterapi dengan adekuat menyebabkan pasien tidak dapat melakukan
aktivitas rutinnya, menjadi sangat tergantung pada orang lain, dan terancam PHK. Hal ini jelas merugikan, baik
bagi pasien sendiri, keluarganya dan
juga perusahaan tempat pasien bekerja. Selain itu, tidak terdiagnosisnya
gangguan jiwa mengakibatkan pasien
harus menjalani berbagai pemeriksaan bahkan perawatan di rumah sakit
yang mungkin sebenarnya tidak perlu,
selain memerlukan biaya.
Mendiagnosis kasus di atas juga tidak
mudah karena memang gejala yang
dialami pasien merupakan gejalagejala fisik yang juga bisa merupakan
manifestasi penyakit fisik. Akan tetapi,
dengan pemeriksaan teliti, diagnosis
pasien tersebut dapat ditegakkan lebih awal sehingga dapat mengurangi
disabilitas dan juga biaya. Karenanya,
dirasakan sangat perlu agar petugas
kesehatan di pelayanan primer mampu mendeteksi dan mengelola kasus
gangguan jiwa yang lazim ada di tempat tugas mereka.
| NOVEMBER - DESEMBER 2010
10/27/2010 2:45:55 PM
Download