perbedaan produktivitas leguminose rawa di danau

advertisement
33
PERBEDAAN PRODUKTIVITAS LEGUMINOSE RAWA DI DANAU PANGGANG
KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI HIJAUAN PAKAN
T. Rostini1)
Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan MAB Banjarmasin
Email : [email protected]
1
ABSTRACT
Legume forages is one ingredient that is absolutely necessary either quantitatively or qualitatively throughout
the year in livestock production systems. The purpose of this study was to analyze and evaluate the
productivity and quality of swamp Legume nutrients South Kalimantan Methods survey by taking samples
for identification, production levels BK, Important Value Index and carrying capacities legumes. The results
showed in swamplands have 10 types of potential leguminose which has an important index values and
capacities are 1.7 ST ha . Concluded legume swamp can be used for ruminant feed
Key words : carrying capacity, dominant, productivity. legume,
PENDAHULUAN
Leguminose
merupakan
bahan pakan
hijauan yang mutlak diperlukan baik secara
kuantitatif atau kualitatif sepanjang tahun dalam
sistem produksi ternak (Rostini., 2014). Peternakan
rakyat yang masih subsisten, hampir sebagian besar
pakan yang diberikan adalah rumput dan hanya
usaha untuk memperbaiki dan mengembangkan
rumput domestik/hijauan lokal. Tanaman budidaya
yang produktif dipeternakan rakyat masih sangat
terbatas, umumnya rumput domestik/hijauan lokal
rendah produktivitasnya, hal ini disebabkan oleh
faktor tanah, iklim, biotik dan potensi hijauan
(Setiana 2011)
Legumninose rawa merupakan legum yang
tumbuh di lahan rawa yang mempunyai potensi
pakan untuk ternak ruminansia. Melimpah dan
beragam leguminosa di rawa yang merupakan
pakan alami untuk ternak, digunakan peternak
sebagai pakan andalan terutama saat tibanya musim
kemarau. Dalam penyediaan pakan di lahan rawa
umumnya peternak memanfaatkan tanamman rawa
sebagai pengganti rumput unggul. tanaman rawa
oleh peternak secara tradisional dimanfaatkan
langsung dengan sistim pengembalaan (diangon)
atau sebagai cut and carry (rumput potongan)
sebagai pengganti hijauan unggul.
Habitat rawa yang ada di Kalimantan
Selatan dapat dibedakan menjadi dua katagori
selama setahun, yakni saat air pasang (High water
period) dan pada saat air surut/kering (low water
period) sebagai padang penggembalaan rumput
terapung (Floating meadows) (Badjoeri dan
Lukman, 2002).
Pasang surutnya air akan
mempengaruhi ekosistem di rawa seperti jenis-jenis
rumput dan leguminosa, jenis-jenis hijauan yang
dapat dikonsumsi, tingkat produktivitas dan kualitas
dari hijauan (Rostini, 2014).
Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis dan mengevaluasi produktivitas dan
kualitas nutrisi hijauan rawa Kalimantan Selatan
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan
rawa Danau Panggang yang terdiri dari desa
Palbaru, Bararawa, Rintisan dan Tampakang (Kab.
Hulu Sungai Utara) Kalimantan Selatan. Penelitian
dilakukan pada dua musim yang berbeda yaitu
musim pasang dan musim surut.
Bahan dan alat yang digunakan meliputi
kantong sampel untuk tempat legumt yang diambil,
paralon untuk membuat petak kuadrant berukuran
5m x 5m, pisau untuk memotong rumput, alkohol
75% untuk mengawetkan hijauan yang dikumpulkan
supaya tidak layu, dan kertas koran.
Metode dan Anailsis Sampel
Penelitian ini menggunakan metode survei
dengan cara pengambilan contoh legum (sample) di
danau panggang.
Teknik pengambilan contoh
Perbedaan Produktivitas Leguminose Rawa di Danau Panggang Kalimantan Selatan Sebagai Hijauan Pakan (T. Rostini)
Al Ulum Sains dan Teknologi Vol.1 No.1 Nopember 2015
34
tanaman dilakukan dengan menempatkan petak
kuadran berukuran 1 m x 1 m secara acak pada
setiap wilayah terpilih, diulang sebanyak tiga kali.
Semua spesies leguminosa yang terdapat pada
petak kuadran diambil, lalu dimasukkan ke karung
sampel dan dibawa ke laboratorium untuk
dianalisis.Setiap spesies legum yang terdapat pada
petak kuadran diidentifikasi dan dihitung frekuensi
masing-masing spesies. Berdasarkan indikator
tersebut , selanjutnya dihitung Indeks Nilai relative
dari leguminosa dengan rumus berdasarkan rumus
Purnomo (2006)
karena keberadaan spesies tersebut tertekan
pertumbuhannya, maka spesies lain akan berusaha
tumbuh menggantikannya untuk mempertahankan
kestabilan komunitas. Hal ini senada dengan Bucio
et al, (2005) mengemukakan bahwa kestabilan
komunitas tanaman dipengaruhi oleh lingkungan
biotik (ternak) dan abiotik (air, tanah dan iklim),
sehingga tanaman yang tidak bisa tumbuh pada
keadaan tersebut maka spesies lain menggantikan.
Rohaeni et al, (2007) melaporkan bahwa kestabilan
pertumbuh tanaman dipengaruhi faktor-faktor
lingkungan, terutama fluktuasi level air berpengaruh
terhadap ekosistem rawa.
Faturrahman (1988)
melaporkan keragaman spesies tanaman rawa tidak
terkonsentrasi pada satu dua jenis spesies saja,
tetapi tanaman yang tahan akan membagi diri untuk
menutupi area secara optimum dan menjaga
kestabilan komunitas.
Indeks Nilai Penting = FR + KR
Indeks Nilai Penting dan Kapasitas Tampung
Kondisi air rawa yang bersifat fluktuatif
dapat menggangu pertumbuhan dan produktivitas
dari tanaman, sehingga berakibat pada penurunan
biomasa tanaman. Produksi biomasa tanaman legum
rawa diperoleh dari kedua musim yang berbeda yaitu
musim pasang dan musim surut dimana produksi
bahan kering pada musim pasang lebih tinggi
dibandingkan dengan musim surut.
Produksi bahan kering hasil penelitian
(Tabel 2.) menunjukkan produksi bahan kering
berkisar antara 43.79- 889.22 kg/ha/panen pada
musim pasang sedangkan pada musim surut berkisar
antara 38.53 – 516.26 kg/ha/panen.
Produksi
tertinggi jenis Polygonum barbatum L yaitu sebesar
1 032 kg BK/ha/panen, Ludwigia hyssopifolia
sebesar 516.26 kg BK/ha/panen,. Hasil penelitian ini
masih lebih rendah dibandingkan dengan hasil
leguminose yang ada dilahan darat yaitu Turi
(Sesbania grandiflora leaves) sebesar 700-1000
kg/ha/panen sedangkan Gamal (Gliricidia sepium)
menghasilkan 2- 2.5 ton per ha/panen.( Dahlanuddin
.2002)
Terjadi penurunan bahan kering (Tabel 2)
pada musim surut,
karena kondisi air rawa
berkurang. Air merupakan bahan utama yang
diperlukan dalam proses potosintesis. Menurunnya
kondisi air rawa akan menyebabkan terjadinya
HASIL DAN PEMBAHASAN
Leguminose yang Tumbuh di Rawa
Berdasarkan hasil identifikasi leguminose
yang tumbuh di lahan Rawa terdapat 10 jenis
spesies. Legum rawa tersebut terdiri dari pipisangan,
beberasan untuk lebih jelaskan tersaji pada Tabel 1.
Tabel .1 Leguminose yang tumbuh di rawa
Nama daerah
Nama latin
Pipisangan
Ludwigia hyssopifolia
Beberasan
Polygonum barbatum L
Babatungan
Persicaria barbata (L) H, Hara
Kayapu
Pistia stratioles
Belaran
Ipomea sp
Kayamahan
Sesbania sericea (Wild) Link
Supan-supan
Neptunia oleracea Lour
Bundungan
Actinoscirpus grossus (L.f) Goetgh
Dadangsit
Ludwigia adscendens (L). H. Hara
Kasisap
Altenanthera sesilis
Ragam dan komposisi tanaman legume yang
dapat beradaptasi pada lahan rawa menunjukkan
perbedaan yang spesifik.
Keaneka ragaman
tumbuhan legum yang tumbuh pada lahan rawa ini
sangat dipengaruhi oleh musim dimana ada beberapa
jenis tumbuhan yang tidak tumbuh dimusim surut
35
Tabel 2. Produksi bahan kering, indek nilai penting dan kapasitas tampung tumbuhan rawa pada musim
pasang dan surut
Nama latin
Polygonum barbatum L
Ludwigia hyssopifolia
Persicaria barbata (L) H, Hara
Sesbania sericea (Wild) Link
Ludwigia adscendens (L). H. Hara
Pistia stratioles
Ipomea sp
Neptunia oleracea Lour
Altenanthera sesilis
Actinoscirpus grossus (L.f) Goetgh
Pasang
Kg
BK/panen INP (%)
889.22
34.82
851.67
34.66
500.28
7.21
225.2
6.84
201.35
4.81
148.46
4.25
138.66
4.02
131.04
3.49
90.24
3.29
43.79
1.42
penurunan proses potosintesis. Penurunan proses
potosintesis akan mengakibatkan produksi bahan
kering menurun. Terganggunya proses metabolisme
pada tanaman secara tidak langsung juga akan
berpengaruh terhadap produksi tanaman. Berat
kering tumbuhan menggambarkan akumulasi
senyawa organic yang berhasil disintesis tumbuhan
dari senyawa –senyawa anorganik terutama air dan
CO2 (Lakitan 1992). Kekurangan air mempengaruhi
semua aspek pertumbuhan tanaman, yang meliputi
proses fisiologis, biokimia, anatomi dan morfologi.
Pada saat kekurangan air sebagian stomata daun
menutup sehingga terjadi hambatan masuknya CO2
dan menurunkan aktivitas fotosintesis, selain
menghambat aktivitas potosintesis juga menghambat
sintesis proten dan dinding sel (Wood 2005). Hal
ini diperkuat oleh Jun-Feng et al. (2010) bahwa
kekurangan air berdampak buruk pada pertumbuhan
tanaman sehingga dapat menyebabkan penurunan
produksi tanaman. (Jaeel et al., 2009; Taiz dan
Zeiger 2002), penyebab terjadinya penurunan
produksi akibat tingginya kecepatan evaporasi,
yang melebihi laju absorbsi air oleh akar tanaman,
sedangkan Borges (2003) kekurangan air pada
tanaman menyebabkan rendahnya kadar air,
penutupan stomata, serta berkurangnya pembesaran
dan pertumbuhan sel. Tanaman yang mengalami
kekurangan air secara umum mempunyai ukuran
yang lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang
tumbuh normal (Kurniawan et al., 2010). Penurunan
Surut
Kg
BK/panen
516.26
498.58
329.02
133.54
0
82.23
88.83
38.53
130.19
INP
(%)
28.32
27.88
11.54
5.84
0
3.37
3.82
2.05
5.37
Kapasitas
Tampung
ST/thn
1.7
1.64
1.03
0.47
0.53
0.3
0.3
0.3
0.26
0.32
laju fotosntesis akan menurunkan pembentukan
karbohidrat, maka produksi bahan kering tanaman
juga akan menurun (Xiuhai et al., 2005)
Kekurangan air menyebabkan penurunan hasil yang
sangat signifikan dan bahkan menjadi penyebab
kematian pada tanaman (Salisbury dan Ross 1992).
Indeks Nilai Penting (INP) atau Important
value index adalah komposisi keragaman jenis
berdasarkan penjumlahan dari Kerapatan Relatif
(KR) dan Frekwensi relative (FR ) pada suatu lahan
(Soerianegara dan Indrawan 2008). Sedangkan
Swamy (2000) menyatakan indeks nilai penting
merupakan suatu parameter kuantitatif yang dapat
dipakai untuk menyatakan tingkat penguasaan atau
pentingnya peran suatu jenis tumbuhan dalam
ekosistemnya.
Sedangkan Indriyanto (2006)
mengemukakan
bahwa
indeks nilai penting
dipengaruhi oleh kerapatan, penyebaran dan
penguasaan areal atau kombinasi dari kedua atau
ketiga faktor tersebut.
Hasil pengamatan dilapangan berdasarkan
(Tabel 2.2) menunjukkan indeks nilai penting
tertinggi pada musim pasang oleh Polygonum
barbatum L. 34.82%, dan Ludwigia hyssopifolia
34.66%, sedangkan musim surut nilai INP tertinggi
pada hijauan Polygonum barbatum L. 28.31% dan
Ludwigia hyssopifolia 27.84%. Perbedaan nilai INP
ini akibat komposisi vegetasi dominan pada setiap
jenis musim maupun pola susunan menunjukkan
perbedaan, dipengaruhi kondisi
lingkungan
Perbedaan Produktivitas Leguminose Rawa di Danau Panggang Kalimantan Selatan Sebagai Hijauan Pakan (T. Rostini)
36
Al Ulum Sains dan Teknologi Vol.1 No.1 Nopember 2015
terutama intensitas cahaya matahari, tanah dan air.
Setyawan et al. (2006) menyatakan kondisi
hari sekali. “proper use factor” (puf) 40 – 60%
(Brown 1954; Purnomo, 2006). Produksi dan
Tabel3 Potensi produksi bahan kering dan kapasitas tampung daerah rawa
Daerah
Bararawa
Palbatu
Daha
Rintisan
Tampakang
Produksi kg
BK/ha musim
pasang
1400.2
1099.2
1298.1
995.3
883
Produksi kg
BK/ha Musim
peralihan
1021.4
929
841.7
783.6
689.4
Produksi kg
BK/ha Musim
Surut
735.6
654.6
615.4
423.6
321.4
kapasitas
tampung
(ST)
2.36
1.33
1.28
1.08
0.93
Keterangan : musim pasang selama 150 hari dengan interval pemotongan 40 hari sekali, musim peralihan selama
120 hari dengan interval pemotongan 30 hari sekali, musim surut selama 90 hari dengan interval
pemotongan 50 hari sekali
lingkungan
mengakibatkan
komposisi
jenis
tumbuhan berbeda. Suatu jenis hijauan dapat
berperan dalam ekosistem vegetasi jika memiliki
indeks nilai penting lebih dari 10 % (Raharjo 2006).
Adanya jenis tumbuhan pakan yang lebih
tinggi nilai INP (Tabel 2.2) dibandingkan jenis
lainnya mengindikasikan jenis ini memiliki
kemampuan adaptasi dan toleransi yang baik
terhadap kondisi lingkungan. Hal ini menunjukkan
indikator tanaman Kumpai Batu, Kumpai Minyak,
Beberasan dan Pipisangan merupakan spesies
potensial untuk pengembangan hijauan pakan yang
adaptif pada lingkungan pasang dan surutnya lahan
rawa. Hal ini sejalan dengan Krebs (1994)
menyatakan bahwa sebaran tumbuhan pada suatu
komunitas tertentu dibatasi oleh kondisi lingkungan,
keberhasilan setiap jenis beradaptasi secara optimal
terhadap seluruh faktor lingkungan fisik (suhu,
cahaya, struktur tanah, kelembaban) faktor biotik
(interaksi antar jenis, kompetisi dll) sedangkan
faktor kimia yaitu ketersediaan air, pH, dan nutrisi
dalam tanah.
Kapasitas tampung merupakan kemampuan
suatu lahan untuk menampung sejumlah ternak
dalam satuam luas tertentu tanpa menyebabkan
kerusakan pada lahan, tanaman dan ternak.
Kebutuhan hijauan rawa sebagai sumber pakan
ternak dihitung berdasarkan asumsi kebutuhan bahan
kering 1 Satuan Ternak adalah 6.25 kg/hari (NRC
1984). Jika diasumsikan berdasarkan curah hujan
maka lama musim pasang, peralihan dan musim
surut berturut-turut adalah 5, 4 dan 3 bulan, dengan
interval pemotongan pada musim pasang, peralihan
dan surut masing-masing 40 hari, 30 dan 50 hari
kapasitas tampung jenis-jenis hijauan rawa tersaji
pada Tabel 2.
Hasil pada Tabel 2 menunjukkan bahwa
kapasitas tampung tumbuhan rawa pada musim
pasang dan musim surut. Hasil tertinggi pada
Polygonum barbatum L sebesar 1.7 ST, kemudian
Ludwigia hyssopifolia sebesar 1.64 ST Hasil ini
menunjukkan kapasitas tampung berhubungan erat
dengan produksi bahan kering, dimana produksi
bahan kering tertinggi pada musim pasang hijauan
Polygonum barbatum L yaitu sebesar 889.22 kg
BK/ha (Tabel 2)
Potensi Produksi lokasi Penelitian
Potensi produksi pada daerah penelitian
berdasarkan produksi biomasa pada musim pasang,
musim peralihan dan musim surut disajikan pada
Tabel 3.
Kapasitas tampung tertinggi didaerah
Bararawa produksi sebesar 1400.2 kg BK/ha,
sedangkan pasa musim peralihan sebesar 1021.4 kg
BK/ha dan pada musim surut 735.6 kg BK/ha (Tabel
3) dengan puf 50% maka dapat menampung ternak
sebanyak 2.36 ST/ha/tahun, sedangkan Desa
Tampakang
dengan
produksi
883.013kg
BK/ha/panen hanya mampu menampung ternak
sebanyak 0.93 ST. Hal ini dikarena pengaruh kondisi
tanah yang kurang subur yaitu kurang adanya luapan
air sehingga tanah berbongkah, selain itu juga
produksi biomasa dipengaruhi oleh spesies yang
adaptif pada masing-masing daerah berbeda-beda,
dan spesies yang tumbuh menentukan besarnya
kapasitas tampung. Hasil ini lebih tinggi
dibandingkan pada padang pastura hutan yang
37
dilaporkan Purnomo (2006) yang menyatakan bahwa
kapasitas tampung pastura hutan alami berkisar
antara 0.99-1.32 ST/ha/tahun
KESIMPULAN
Leguminose yang tumbuh di lahan rawa
memiliki jenis-jenis yang berbeda yang dapat
dimanfaatkan untuk pakan ternak ruminansia dengan
memiliki kapasitas tampung yang cukup tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Association of Official Analytical Chemist. 1999.
Official Methods of Analysis. Ed ke-16.
Washington: AOAC Internationa
Badjoeri M, Lukman M. 2002. Pemanfaatan
tumbuhan kumpai dari danau semayang
sebagai pakan sapi. Jurnal tropic Animal
agriculture. 27: 125-133.
Badan Pusat Statistik Direktorat Jendral Tanaman
Pangan. 2010. Luas Lahan Rawa di
Indonesia, Departemen Pertanian. Jakarta.
Bucio RD, Cook RG, Cooke MA, 2005. An Auxin
transport independent pathway is involved
in
phosphate
stress-induced
root
architectural alternation in arabidopsi. J.
Plant Physiologi. 71:421-425
Church DC, 1991. Digestive Physiology and
Nutrition
of
Ruminant
Ed ke-12
Oxford Press. Inc. Portland. Oregon.
Crowder LV, Chheda HR. 1982. Tropical
grassland husbandry. First Published. United
state of America by Longman Inc. New
York
Dahlanuddin, Mashur, Zaenuri, L. A, Panjaitan, T.
S., dan Muzani, A 2002. Pengembangan
model peternakan kambing berbasis
tanaman turi (Sesbania grandiflora).
Laporan Penelitian BPTP NTB.
Dilaga SH. 2006. Kontribusi potensial padang
rumput sebagai wadah dan sumber pakan
kerbau di Sumbawa. Proseding Lokakarya
Nasional: Usaha ternak kerbau mendukung
program kecukupan daging sapi. Hal.227233
Faturrahman. 1988. Analisa Vegetasi dan
Produktivitas rumput rawa dikecamatan
danau panggang kabupaten Hulu Sungai
utara Kalimantan Selatan. Skripsi. Fakultas
Peternakan IPB.
Jun-Feng S, Guo MX, Lian JR, Xiaobin P, Guo WY,
Ping CX. 2010. Gene expression profile of
respon to water stress at the jointing stage in
wheat. Agricultural Science in China.
9(3):323-330
Luo JA, Goetsh L, Moore JE, Johnson JB, Sahlu T,
Ferell CL, Galyean MI and Owens FN.
2004. Prediction of endogenous urinary
nitrogen of goats.
J. Small Ruminant
Research. 53:293-308
National Research Council. 1985. Nutrient
Requirement of Sheep. Washington DC:
National Acad Press.
Purnomo J. 2006. Hijauan Pakan Ternak di
Indonesia . Jakarta . Badan penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departement
Pertanian
Purnomo D, Sitompul SM. 2005. Evaluasi potensi
dan
kendala
pengembangan
system
agroforestri di Jawa tengah. Habitat
4(3):197-207
Raharjo R. 2006. Studi terhadap produktivitas
serasah, dekomposisi serasah, air tembus
tajuk dan aliran batang serta bleaching pada
beberapa kerapatan tegakan pinus (Pinus
merkusii) di Hutan Pendidikan Gunung
Walat,
Sukabumi.
(Tesis).
Sekolah
Pascasarjana.Institut Pertanian Bogor.
Rachman A, Noor M, Rina Y. 2010. Prospek dan
strategis pengembangan sistem budidaya
dan Agribisnis tanaman jagung di Lahan
rawa. Kendala dan tantangan. Proseeding
pakan serrealia Nasional.
Rohaeni ES, Danu IS, Subhan A. 2010. Profil Usaha
ternak kambing Di lahan Pasang Surut
Kalimantan selatan. Lokakarya Nasional
Kambing potong. . Balai besar teknologi
pertanian Kalimantan selatan. Hlm 165170.
Rostini T. 2014. Differences in
chemical
composition and nutrient quality of swamp
forage ensiled. International Journal of
Biosciences. Vol. 5(12): 145-151
Rostini T. 2014. Analisa Potensi dan Pemanfaatan
Hijauan Rawa di Kalimantan Selatan
sebagai Hijauan Pakan Berkelanjutan.
Perbedaan Produktivitas Leguminose Rawa di Danau Panggang Kalimantan Selatan Sebagai Hijauan Pakan (T. Rostini)
Al Ulum Sains dan Teknologi Vol.1 No.1 Nopember 2015
Disertasi. Fakultas Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor
Sastrapraja S dan Afriantini JJ. 1980. Jenis Rumput
dataran rendah dan tinggi. Lembaga Biologi
nasional. LIPI. Bogor
Setiana MA. 2011. Pola PEnyediaaan Tanaman
Pakan Ternak sapi Pedaging di Kampung
Cikoang. Kecamatan ujung Jaya Sumedang.
Seminar Nasional Pengembangan Sistem
Produksi dan Pemanfaatan Sumberdaya
Lokal untuk Kemandirian Pangan asal
Ternak. Fakultas Peternakan Unpad.
Bandung.
Setyawan AD, S Setyaningsih, Sugiyarto. 2006.
Pengaruh jenis dan kombinasi tanaman Sela
terhadap Diversitas dan Biomasa Gulma di
bawah tegakan Sengon (Paraserienthes
falcataria L. Nielsen) di resort Pemangkuan
hutan jatirejo Kediri. J. Biosmart. 8:27-32
Suparjo K, Wiryawan KG, Laconi EB,
Mangunwidjaja D. 2011. Perubahan
komposisi kimia kulit buah kakao akibat
penambahan mangn dan kalsium dalam
biokonversi dengan kapang Phanenruceta
chrysesperium. J. Media. Peternakan.
32:204-211
Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. 3 rd ED.
Sinauer Association,Inc
Wood AJ. 2005. Eco-physiological adapation to
limited water environments. J. Plant Abiotic
Stress. (20): 1-13
38
Download