KEPERCAYAAN DIRI INDIVIDU DWARFISME

advertisement
KEPERCAYAAN DIRI INDIVIDU DWARFISME
(TINJAUAN TEORI PSIKOLOGI TRANSPERSONAL)
Mirtha Yusnita
Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma
ABSTRAK
Dwarfisme merupakan suatu kondisi fisik dimana seorang individu mengalami
pertumbuhan fisik yang berbeda dengan orang pada umumnya. Dalam hal ini tentu
banyak aspek-aspek psikologi yang terkait dalam perkembangan dwarfisme, khususnya
pada aspek pribadinya. Kepercayaan diri menjadi salah satu hal yang menjadi penentu
perkembangan dwarf di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
penyebab dwarfisme serta proses perwujudan kepercayaan diri individu tersebut.
Adapun penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan
grounded theory dalam analisis data penelitian, dimana analisis ini digunakan agar
diperoleh hasil yang dapat mewakili secara utuh fenomena yang telah diteliti. Hasil
penelitian diperoleh bahwa penyebab seseorang dapat mengalami dwarfisme bukan
hanya adanya faktor genetik tapi dapat juga berasal dari adanya mutasi genetik.
Adapun proses perwujudan kepercayaan diri individu dwarfisme diperoleh dari adanya
dukungan sosial, spiritualitas, serta adanya mekanisme diri subjek sehingga individu
dapat memperoleh wujud kepercayaan dirinya dalam berbagai hal tanpa merasa
terbatasi oleh kondisi fisiknya yang berbeda dengan orang pada umumnya.
Kata kunci : Dukungan sosial, kepercayaan diri, dwarfisme, psikologi transpersonal
PENDAHULUAN
Memiliki
fisik
yang
sempurna
merupakan impian bagi setiap individu
ketika dilahirkan, baik pria maupun
wanita. Dengan kesempurnaan tersebut
seorang individu akan dengan mudah
diterima
oleh
lingkungan
dan
kelompoknya tanpa ada pengecualian.
Bagaimanapun juga, tidak semua
struktur biologis yang ada dapat bekerja
sebagaimana mestinya dan hal tersebut
akan memunculkan berbagai hal yang
dapat menyebabkan kelainan, misal
kekurangan hormon pertumbuhan akan
menjadikan seseorang sebagai individu
yang kerdil (dwarfisme) dengan panjang
tubuh sekitar 60-100 cm. Dwarfisme
merupakan sebuah fenomena yang masih
terdengar begitu asing pada masyarakat
umumnya, namun ketika kita mulai
berbicara mengenai “manusia kerdil”
kita tentunya akan mengimplikasikannya
tidak hanya sebagai individu yang kerdil
tapi juga penyebab patologi dari
kekerdilan tersebut.
Dapat terlihat bahwa dengan keyakinan
terhadap diri sendiri akan memudahkan
seorang
individu
dwarfisme
mengembangkan potensi diri yang
dimilikinya tanpa perlu merasa terbatasi
dengan kondisi fisiknya. Hal inilah yang
kemudian menimbulkan suatu sikap
positif individu yang memampukan
dirinya untuk mengembangkan penilaian
positif baik terhadap diri sendiri maupun
terhadap lingkungan atau situasi yang
dihadapinya, atau yang biasa disebut
dengan kepercayaan diri. Dengan
keyakinan diri, individu dwarfisme tidak
perlu merasa terbatasi dengan kondisi
fisik yang dimilikinya, karena keyakinan
tersebut pun dapat berkembang diiringi
dengan
adanya
dukungan
sosial
khususnya dari orang tua, spiritual,
bahkan adanya mekanisme diri yang
timbul dari keterkaitan hal-hal tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA
Kepercayaan Diri
Kepercayaan
diri
merupakan
kepercayaan akan kemampuan yang
dimiliki serta dapat memanfaatkannya
secara
tepat
(Hasan,
dalam
Iswidharmanjaya, 2004).
Tidak jauh berbeda dengan sebelumnya,
disebutkan oleh Rini (2002) bahwa
kepercayaan diri adalah sikap positif
individu yang memampukan dirinya
untuk mengembangkan penilaian positif
baik terhadap diri sendiri maupun
terhadap lingkungan atau situasi yang
dihadapinya. Dalam hal ini rasa percaya
diri yang tinggi sebenarnya hanya
merujuk pada adanya beberapa aspek
dari kehidupan individu tersebut dimana
ia merasa memiliki kompetensi yakni
mampu dan percaya bahwa dia bisa
karena didukung oleh pengalaman,
potensi aktual, prestasi, serta harapan
yang realistik terhadap diri sendiri.
Disebutkan pula oleh Liendenfiel (1997)
kepercayaan diri lebih menekankan pada
kepuasan yang dirasakan individu
mengenai dirinya sendiri. Menurut
konsep ini individu yang percaya diri
adalah individu yang merasa puas pada
dirinya sendiri.
Iswidharmanjaya (2004), menjelaskan
beberapa faktor yang menyebabkan
kepercayaan diri seseorang antara lain :
proses belajar menjadi percaya diri,
konsep diri, efek interaksi. Adapun Rini
(2002) menyebutkan beberapa faktor
yang turut mempengaruhi perkembangan
percaya diri seseorang, antara lain : pola
asuh orang tua, pola pikir negatif
Angelis (2005) menyebutkan beberapa
jenis kepercayaan diri, antara lain
berkenaan dengan tingkah laku, emosi,
serta spiritual.
Dukungan Orang tua
Dalam kepercayaan diri, terdapat
beberapa faktor yang terkait di dalam
diantaranya adanya peran serta orang tua
dalam
pemberian
kasih
sayang,
perhatian, penerimaan, serta adanya
kelekatan emosi dengan orang tua secara
tulus. Disamping itu pula terdapat peran
dari lingkungan berupa interaksi yang
memudahkan
seseorang
untuk
memperoleh informasi mengenai dirinya
dari orang lain. Adapun peran orang tua
menjadi hal yang mendasar dari
pembentukan kepercayaan diri seorang
individu, dimana dengan peran orang tua
individu akan tumbuh menjadi individu
yang mampu menilai positif dirinya dan
mempunyai harapan yang realistik
terhadap diri – seperti orangtuanya
meletakkan harapan realistik terhadap
dirinya (Rini, 2002).
Dukungan sosial menurut Sarafino
(1994) adalah adanya penerimaan dari
orang atau sekelompok orang lain
terhadap individu yang menimbulkan
persepsi dari si individu bahwa ia
disayangi, diperhatikan, dihargai, dan
ditolong. Adapun dukungan sosial
menurut Sarason (1990) adalah sebagai
keberadaan atau tersediaannya seseorang
yang dapat kita percaya, seseorang yang
kita tahu bahwa dia mengerti,
menghargai, dan mencintai kita.
DiMatteo & Martin (2002) menyebutkan
bahwa dukungan sosial merupakan suatu
dukungan atau bantuan dari individu
seperti teman, keluarga, tetangga, rekan
kerja, ahli profesional, dan pasangan
hidup.
Adapun jenis dukungan sosial menurut
Sarafino (1994), antara lain : dukungan
emosi,
dukungan
penghargaan,
dukungan
instrumental,
dukungan
informasi, dukungan jaringan sosial.
Psikologi Transpersonal
Kepercayaan diri memiliki beberapa
jenis diantaranya berkenaan dengan
tingkah laku, emosi, serta spiritual
(Angelis, 2005). Adapun dari jenis yang
berkenaan dengan spiritual dapat terkait
dengan psikologi transpersonal dimana
menurut Davis (2000), psikologi
transpersonal merupakan kaitan antara
psikologi dengan spiritualitas. Dalam
psikologi terintegrasi dengan konsep
psikologi, teori, dan metode terhadap
subjek serta pelatihan dari bentuk
spiritualitas. Psikologi transpersonal
bukan mengenai religiusitas, dimana
pada psikologi transpersonal tidak
diperlihatkan adanya suatu sistem
kepercayaan atau disediakannya suatu
pengaturan struktur. Salah satu teori
yang
terkait
dengan
psikologi
transpersonal adalah diagram telur yang
dikembangkan oleh Assagioli
Gambar 1. Diagram Telur Assagioli
Dalam diagram telur tersebut terdapat
tiga tahapan dengan aspek-aspek yang
berbeda pada diagram
tersebut,
diantaranya
1. Lower Unconscious
Dunia kita sendiri yang berasal dari
“pindahan”
pengalaman
luka
(woundings) yang dialami dalam
hidup
2. Middle Unconscious
Di sini kita mengintegrasikan
pengalaman, belajar, bakat, serta
keterampilan kita, dimana dipandu
juga oleh sejumlah ketidaksadaran
(collective unconscious) dan dalam
hubungannya dengan lingkungan
tertentu yang kemudian membentuk
dasar dari kepribadian sadar kita.
3. Higher Unconscious
Di sini individu dihadapkan pada
suatu pengalaman puncak yang
berkaitan
dengan
hubungannya
sebagai manusia dengan Tuhan.
Inilah saat dimana manusia telah
dapat merasakan pengalaman masa
lalunya menjadi suatu kondisi yang
mudah diterima tanpa memikirkan
kembali luka di masa lalunya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif
dengan
menggunakan
grounded theory dalam analisis data
penelitian, dimana analisis ini digunakan
agar diperoleh hasil yang dapat mewakili
secara utuh fenomena yang telah diteliti.
Dalam penelitian ditentukan sejumlah
karakteristik subjek penelitian, yaitu pria
dwarfisme yang berusia diatas 20 tahun,
dan telah sukses dalam bidang yang
ditekuninya. Adapun subjek penelitian
berjumlah 1 orang dengan 1 significant
other. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah wawancara serta
catatan lapangan. Untuk membantu
proses pengumpulan data digunakan
pedoman wawancara dan alat perekam
audio sebagai alat bantu peneliti.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada pembahasan ini peneliti akan
membahas pertanyaan penelitian dengan
teori yang dijelaskan pada tinjauan
pustaka. Pada pertanyaan pertama
peneliti akan membahas hasil penelitian
yang telah didapat dengan teori
mengenai
individu
dwarfisme,
sedangkan untuk pertanyaan penelitian
kedua mengenai proses perwujudan
kepercayaan dirinya akan dibahas
dengan menggunakan teori psikologi
transpersonal (diagram telur) dari
Roberto Assagioli.
Faktor Penyebab Terjadinya Kondisi
Dwarfisme
Seseorang dapat menjadi individu
dwarfisme disebabkan oleh beberapa hal,
antara lain :
a. Defisiensi seluruh sekresi kelenjar
hipofisis anterior (panhipopituitary)
selama masa kanak-kanak (Guyton &
Hall, 1997).
b. Terlalu sedikitnya hormon hipofisis
sehingga menyebabkan tubuh yang
kerdil (Atkinson, 1994)
c. Mutasi genetik yang berlangsung
secara spontan yang terjadi pada sel
telur atau pada sel sperma. Dalam
beberapa kasus, kedua orang tua yang
memiliki ukuran tubuh normal
sekalipun dapat memiliki anak
dengan struktur tubuh yang kecil
(Nicholson, 2005).
d. Defisiensi hormon pertumbuhan
selanjutnya dapat disebabkan karena
penyakit hipofisis atau defek pada
tigkat hipotalamus yang tidak mampu
merangsang
sekresi
hormon
pertumbuhan (Ganong, 1990).
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
jawaban mengenai penyebab subjek
mengalami kondisi dwarf disebabkan
karena adanya mutasi genetik yang
berlangsung secara spontan, dimana
kedua orang tua subjek memiliki ukuran
tubuh yang normal. Adapun alasan lain
dari subjek mengenai penyebab kondisi
fisiknya
adalah
karena
pada
kenyataannya kerabat subjek pun tidak
ada yang memiliki kondisi fisik seperti
subjek (tidak ditemukan adanya faktor
keturunan).
Proses Perwujudan Kepercayaan Diri
Individu Dwarfisme
Merupakan kondisi dimana seorang
individu berada pada kondisi atau
titik terendah dalam hidupnya. Titik
dimana kondisi ini umumnya
membuat seseorang menjadi individu
yang lemah dan terkadang timbul
pikiran-pikiran negatif mengenai
dirinya. Umumnya tingkatan ini tidak
disadari oleh subjek dan berusaha
untuk ditekan keluar ke kesadaran
seseorang, sehingga menimbulkan
suatu sikap yang negatif dan dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup
seseorang.
b. Middle Unconscious
Merupakan kondisi dimana terjadi
penggabungan
antara
belajar,
pengalaman
serta
kemampuan
seseorang dimana ketiga hal tersebut
secara disadari dipengaruhi pula oleh
lingkungan sehingga membentuk
dasar kepribadian seseorang. Dasar
kepribadian ini disebut dengan
subkepribadian
(subpersonality),
dimana pandangan orang lain
terhadap
diri
seseorang
akan
membentuknya dan membangun
identitas dirinya atau biasa disebut
“the real subpersonality”.
c. Higher Unconscious
Pada pertanyaan penelitian kedua akan
dibahas
lebih
lanjut
dengan
menggunakan diagram telur dari
Assagioli (dalam Firman & Gila, 2002),
yang terdiri dari tiga tahap diantaranya
lower unconscious, middle unconscious,
serta higher unconscious
a. Lower Unconscious
Merupakan kondisi dimana pada
tingkatan ini, seorang individu telah
dapat melepas segala beban ataupun
hambatan yang telah diketahuinya
pada
waktu-waktu
sebelumnya
(pengalaman hidup terdahulunya).
Pada kondisi ini, seorang individu
umumnya telah memiliki energi baru
yang positif dan seperti sebagai
individu
yang
baru
kembali.
Umumnya pengalaman hidupnya
berkaitan dengan hubungannya antara
dirinya dengan Tuhan, dimana hal ini
pun nantinya menjadi suatu hikmah
yang baik disadari ataupun tidak akan
membuatnya merasa lebih baik untuk
menjalani hidup berikutnya.
Berdasarkan penelitian di atas, peneliti
memperoleh struktur diri subjek seperti
teori Assagioli bahwa struktur ini
dimulai
saat
subjek
mengalami
pengalaman luka ketika kecil saat duduk
di bangku SD kelas 3-4, dimana saat itu
subjek sulit mendapat penerimaan dari
teman-temannya mengenai fisiknya dan
mendapati dirinya hanya sebagai “anak
yang pendek dan kuntet”. Hal ini
membawa subjek menjadi anak yang
memiliki pandangan bahwa subjek tidak
bisa melakukan apapun, terlihat aneh
diantara teman-temannya, menjadi anak
yang lemah, serta hanya dapat menjadi
objek ejekan pada lingkungannya. Sikap
lingkungan seperti ini pun menjadikan
mentalnya di usia anak-anak menjadi
lemah dan lambat laun timbul rasa
ketidakpercayaan diri subjek terhadap
lingkungannya. Subjek hanya mau
bergaul dengan teman yang memang
mendekati dirinya lebih dulu dan
menerima kondisi fisiknya. Hal ini pun
terus berlangsung sampai pada usia SMP
kelas 3 akhir, ketika dia mulai menemui
teman yang sesuai dengan dirinya dan
mampu membuat dirinya mudah berbaur
dengan
lingkungan
teman
sepermainannya. Namun kondisi ini pun
terkadang masih mengingatkan dirinya
dengan gambaran diri negatifnya sampai
ketika menginjak usia SMA.
Subjek pun menyiasati identifikasi
negatif yang sempat terbentuk di masa
lalunya menjadi suatu hal yang positif
dan juga dapat membuat dirinya menjadi
nyaman
dengan
kondisi
dirinya
sekarang. Subkepribadian yang awalnya
dianggap sebagai suatu hal yang negatif,
perlahan pada saat SMA mulai dibentuk
menjadi hal yang lebih positif, seperti
subjek secara sadar menyebut dirinya
pendek dan kuntet bahkan sampai
memiliki julukan ‘ocol’ dari temantemannya dan hal ini terjadi pada
konteks candaan dengan temantemannya.
Menurut
teman-temannya
subjek
merupakan individu yang humoris,
spontanitas, serta kreatif dimana sikap
ini selalu ditampilkan subjek dalam
kesehariannya. Saat SMA itulah subjek
mulai berani untuk memberi dan menilai
gambaran dirinya, dimana pada SD dan
SMP sempat memiliki gambaran negatif
terhadap dirinya sendiri. Subjek mulai
memberi gambaran terhadap dirinya,
seperti misalnya, sensitif dimana
umumnya sensitif memiliki konotasi
yang negatif namun subjek sadar bahwa
sensitif yang dimilikinya bukan lagi
terhadap kekurangan fisiknya melainkan
subjek telah mampu merasakan apa yang
dirasa oleh orang lain jika menghadapi
suatu kondisi. Ketika subjek merasa
sebagai individu yang di “spesial”-kan,
subjek seolah mendapat tempat untuk
dapat berpikir lebih positif mengenai apa
yang
telah
dialaminya
sehingga
membuat subjek menjadi lebih dewasa
dan mudah untuk menyelesaikan
masalahnya sendiri. Selain itu, terdapat
pula gambaran diri subjek yang semula
sebagai anak yang perlu dikasihani,
justru dengan kondisi seperti itu subjek
mulai menyadari bahwa kemudahan
untuk mendapatkan segala hal secara
tidak langsung berasal dari keadaan
tersebut.
Kesemua hal itu dapat muncul karena
adanya dukungan yang muncul dari
keluarga (khususnya orang tua),
lingkungan pertemanan mulai dari SMP
sampai dengan kuliah, serta kerabat yang
dengan segala bentuk dukungan
sehingga
secara
tidak
langsung
memberikan kesempatan pada subjek
untuk dapat mengubah gambaran dirinya
yang sempat negatif menjadi hal-hal
yang positif. Dalam perwujudan ini pun
mekanisme diri subjek turut terbentuk,
dimana mekanisme diri itu dapat terlihat
dari cara bergaul subjek, pengelolaan
emosi, serta adanya pembuktian diri
pada lingkungan sekitarnya atas
kemampuan diri yang dimilikinya.
Perlahan subjek mulai menemukenali
hikmah di balik segala kejadian yang
telah dialaminya. Hikmah terbesar yang
disadarinya adalah adanya rasa syukur
akan kebesaran Tuhan akan keadilannya
terhadap hidup subjek. Hal ini mendasari
subjek mengenali hikmah-hikamh yang
telah diberikan Tuhan padanya, seperti
kemudahan yang selalu didapatnya yang
mungkin tidak semua orang bisa
mendapatkannya
dengan
mudah,
kemampuan diri yang tidak semua orang
normal memilikinya, serta diberikannya
lingkungan yang mampu memberikan
hikmah
dan
kenyamanan
tanpa
mempermasalahkan kondisi fisiknya.
Hikmah ini didapatnya saat subjek mulai
merenung akan keadaan fisiknya, saat
kondisi subjek sedang labil, atau marah
subjek hanya akan bercerita dan
berkomunikasi dengan Tuhan, tidak
dengan orang lain. Secara langsung pun
peran orang tua khususnya Ayah subjek
dalam mengajarkan agama pada subjek
turut mendasari pemikiran subjek
dengan Tuhan dan hubungannya
langsung dengan Tuhan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penyebab terjadinya kondisi dwarfisme
pada sebagian orang berbeda-beda
faktornya, namun yang dialami oleh
subjek bukan karena adanya fator
keturunan atau genetik seperti yang
umumnya dialami oleh dwarfisme
lainnya melainkan karena adanya mutasi
genetik.
Ketika dukungan, spiritualitas, dan
mekanisme telah terpenuhi secara
langsung kepercayaan diri subjek pun
turut
terwujud.
Adapun
wujud
kepercayaan diri subjek dapat tergambar
dalam pergaulannya, adanya pikiran
positif mengenai kondisi fisiknya dan
wujud emosional yang dirasanya saat
berhadapan
dengan
dunia
luar.
Hubungan dirinya sebagai makhluk
Tuhan pun turut tersaji dalam wujud
kepercayaan
dirinya
menyangkut
spiritualitas yang dimilikinya. Selain itu
juga terdapat keterbukaan diri pada
lingkungan mengenai kondisi fisiknya,
orientasi masa depan berupa cita-cita
baik untuk orang-orang terdekatnya,
lingkungan maupun dirinya sendiri, serta
kesadaran akan diri yang memiliki
kelebihan dan kekurangan diri sama
halnya dengan individu normal lainnya.
Saran
1.
2.
3.
Untuk
individu
dwarfisme
diharapkan dapat mengembangkan
segala potensi yang dimilikinya
tanpa terbatasi oleh kondisi fisiknya
yang tidak sempurna.
Untuk orang tua, masyarakat, dan
orang terdekat individu dwarfisme
diharap dapat membantu mereka
dengan pemberian dukungan dari
segala aspek, dimana hal ini diharap
dapat
membantu
mewujudkan
kepercayaan
dirinya
menjadi
individu yang mampu berkembang
seperti individu normal tanpa
memandang
kekurangan
fisik
sebagai suatu penghambat.
Untuk peneliti selanjutnya yang
akan mengadakan penelitian dengan
topik penelitian serupa diharapkan
lebih memperluas aspek psikologi
yang akan diteliti seperti dukungan
sosial dan kepercayaan diri. Adapun
untuk subjek penelitian diharapkan
diperbanyak jumlah subjek dengan
kasus yang berbeda, seperti pada
pria atau wanita dwarfisme yang
belum berhasil dalam hidupnya,
serta pencantuman assesmen medis
penyebab kondisi subjek sebagai
bahan
pendukung
penelitian
sehingga diharapkan akan diperoleh
hasil yang beragam dari aspek yang
diteliti tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Davis, J. (2000). Introduction to
transpersonal
psychology.
http://www.naropa.edu/faculty/john
davis/tp/tpintro1.html.
Diakses
tanggal 12 September 2008
De Angelis, B. (1997). Percaya diri
sumber sukses dan kemandirian.
Cetakan
Pertama.
Jakarta
:
Gramedia Pustaka Utama
DiMatteo, M.R. & Martin, L.R. (2002).
Health psychology. Boston : Allyn
& Bacon
Iswidharmanjaya, D. & Agung, A.
(2004). Satu hari menjadi lebih
percaya diri : Panduan bagi remaja
yang masih mencari jati diri. Jakarta
: PT. Elex Media Komputindo.
Liendenfiel, G. (1997). Mendidik anak
agar percaya diri. Alih bahasa :
Kamil, E Jakarta : Arcan
Moleong, L.J. (1999). Metodologi
penelitian kualitatif. Bandung :
Remaja Rosda Karya
Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatakan
kualitatif untuk perilaku manusia.
Depok : LPSP3 UI
Rini, J.F. (2002). Memupuk rasa percaya
diri.
http://www.epsikologi.com/dewasa.
Diakses
tanggal 1 Mei 2008
Sarafino, E.P. (1994). Health psychology
: Biopsychology interactions. New
York : John Willey & Sons, Inc
Sarason, B.R. & Irwin, G.S. (1990).
Social support : An intelectual view.
New York : John Willey & Sons,
Inc
Strauss, A. & Corbin, J. (2003). Dasardasar
penelitian
kualitatif.
Yogyakarta : Pustaka Belajar
Yin, R.K. (2004). Studi kasus desain dan
metode (Edisi Revisi Cetakan 5).
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Download