Oseana, Volume XXIV, Nomor 3, 1999 : 1 - 10

advertisement
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXIV, Nomor 3, 1999 : 1 - 10
ISSN 0216- 1877
BEBERAPA CATATAN TENTANG GELIDIUM (RHODOPHYTA)
oleh
Nurul D.M. Sjafrie 1)
ABSTRACT
SOME NOTES ON GELIDIUM (RHODOPHYTA). Gelidium is one the red
algae belong to Rhodophyta. They have been known as the best agar produce. They
are usually growing in clean sea water with high salinity and water current. Some
species can grow on muddy bottom. The life cycle of this algae are triphasic, i.e. :
tetrasporophytes, gametophytes and carposporophytes. This paper will discuss the
biology and development prospects of this algae.
PENDAHULUAN
obat-obatan, tekstil, dan sebagainya. Salah satu
rumput laut yang dapat menghasilkan
agar-agar adalah marga Gelidium.
Kandungan agar-agar dalam thallus
Gelidum sangat bervariasi menurut jenis dan
lokasi tumbuh. G. pussilum yang tumbuh di
perairan Veraval, India mempunyai kandungan
agar 22% (MAIRTH & RAO, 1978).
Selanjutnya, kandungan agar pada G.
pristoides yang tumbuh di Port Alferd, Afrika
Selatan adalah sebesar 30-48% berat kering
(CARTER & ANDERSON, 1986). Gelidiium
latifolium yang tumbuh di Roscoff (sebelah
utara Britain), memiliki kandungan agar 26 42% kering (MOURADI-GIVERNAUD, et al.
1992). Sementara itu Gelidium yang tumbuh
di perairan Sulawesi mempunyai kandungan
agar mencapai 30% (KADI & ATMADJA.
1988).
Di Indonesia rumput laut marga
Gelidium, mempunyai nama daerah yang
Penggalian sumberdaya alam sudah
dilakukan sejak dulu, terutama pada
sumberdaya yang ada di daratan. Untuk
sumberdaya laut pun usaha penggalian terus
dilaksanakan, bahkan saat ini, telah diketahui
adanya senyawa bioaktif yang berasal dari
organisme laut, misalnya dari sponge, karang
lunak, teripang, rumput laut dan sebagainya.
Senyawa bioaktif tersebut ada yang bersifat
antikanker, antibakteri dan lain-lain, sehingga
penggalian terus ditingkatkan.
Telah diketahui pula bahwa hasil
ekstraksi dari beberapa jenis rumput laut
menghasilkan senyawa-senyawa berupa
alginat, furcelaran, caulerpin, carragenan atau
agar-agar (SOEGIARTO et al., 1978).
Senyawa-senyawa tersebut umumnya
digunakan dalam industri, misalnya agar-agar
banyak digunakan dalam industri makanan,
1)
Balai Peneiitian Lingkungan Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta.
1
Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
berbeda-beda. Di Jawa Barat disebut kades,
atau intip kembang karang. Di Bali disebut
bulung ayam atau bulung merak, sedangkan
di Ambon disebut sayur laut (ATMADJA &
SULISTIJO, 1988).
Saat ini pemanfaatan Gelidium sebagai
bahan baku agar-agar masih tergantung pada
sediaan alami. Usaha pengembangan ke arah
budidaya di lapangan masih belum dilakukan,
karena belum ditemukan metoda yang cocok
untuk membudidayakan rumput laut tersebut.
Bila pengambilan di alam dibiarkan terus
sementara usaha ke arah budidaya tidak
dilakukan, maka dikhawatirkan suatu saat
keberadaan Gelidium di Indonesia akan
mengalami kepunahan.
Informasi mengenai Gelidium dari
berbagai aspek telah banyak dipublikasi oleh
pakar asing, namun di Indonesia tulisan
tentang Gelidium masih terbatas pada
sebarannya (ATMADJA & SULISTIJO, 1988)
dan daur hidupnya (SJAFRIE, 1993). Dalam
tulisan ini akan dikemukakan tentang sifat-sifat
hidup, daur hidup serta prospek pengembangan
rumput laut marga Gelidium. Diharapkan
tulisan ini akan menambah wawasan kita untuk
pengembangan serta pengelolaan rumput laut
tersebut di masa mendatang.
bervariasi antara 1 mm - 30 cm. G. pussilum,
memiliki panjang thallus antara 1 - 2 mm
sedangkan G. robustum panjang thallusnya
antara 15 - 30 cm (DAWES, 1981). Trhallus
tumbuhan membentuk rumpun dengan tipe
percabangan dichotomous atau menyirip
dengan batang utama yang tegak. Bentuk thallus pipih dan bersifat cartilagenous. Thallus
berwarna coklat, hijau-coklat atau pirang. Organ reproduksi berukuran mikroskopis (KADI
& ATMADJA, 1988), sistokarp biokular
(EDYVANE, 1991).
SIFAT-SIFAT HIDUP
Seperti tumbuhan hijau lainnya, untuk
tumbuh dan berkembang Gelidium
membutuhkan cahaya, dan nutrisi. Faktorfaktor lingkungan lain yang ikut menunjang
tumbuh-kembangnya algae ini adalah suhu,
salinitas, substrat serta pergerakan air. Selain
itu faktor biotik seperti kompetisi juga turut
menentukan keberadaannya.
A. Cahaya
Cahaya merupakan salah satu faktor
yang membatasi sebaran dari Gelidium.
Beberapa pakar melaporkan bahwa Gelidium
banyak didapati di daerah yang agak terlindung
atau di daerah yang berintensitas cahaya
rendah. Hal ini didukung oleh hasil dalam
penelitian di dalam laboratorium memperlihatkan bahwa pertumbuhan Gelidium akan
lebih baik di tempat yang berintensitas cahaya
rendah. Kecepatan fotosintesis dari G.
caulacantheum lebih cepat pada intensitas
cahaya 800 lilin daripada intensitas cahaya
2000 lilin. Sementara itu G. amansii akan
mengalami kejenuhan pada intensitas cahaya
dibawah 5000 lux. (SANTELICES, 1988).
Cahaya akan mempengaruhi warna dan
MORFOLOGI
Gelidium termasuk salah satu anggota
ordo Gelidiales, divisio Rhodophyta (algae
merah). Dalam Taksonomi, klasifikasi
Gelidium menurut DAWES (1981) adalah
sebagai berikut:
Divisio
Kelas
Ordo
Suku
Marga
:
:
:
:
:
Rhodophyta
Floridophyceae
Gelidiales
Gelidiaceae
Gelidium
morfologi thallus Gelidium. Bleacing
Geledium hidup di daerah intertidal dan
subtidal, melekat pada substrat padat seperti
kayu, batu, karang mati. Panjang thallus
(pemutihan) akan terjadi apabila tumbuhan
berada pada intensitas cahaya yang tinggi. Di
daerah substropis bleacing umumnya terjadi
2
Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
pada musim panas (AKATSUKA, 1986;
SATELICES 1988). Diketahui bahwa proses
perubahan warna pada thallus Gelidium antara
lain disebabkan oleh berkurangny a kandungan
phycobilin (phycocianin dan phycoerythrin).
Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang
telah dilakukan FREDRICKSEN &
RUENESS (1989). Hasil penelitian mereka
menunjukkan bahwa kandungan pigmen
phycoerytrin dan phycocianin Gelidium
latifolium yang diperlihara di dalam
Gambar la.
laboratorium pada Photon Flux Density (PFD)
20 µmol/m2 detik masing-masing adalah
sebesar 6.84 dan 0.369 mg/berat basah.
Kemudian PFD dinaikkan menjadi 300 µmol/
m2 detik, maka kandungan phycoerythrin dan
phycocianin menjadi 1.78 dan 0.086 mg/ berat
basah. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan
penambahan Nitrogen (AKATSUKA, 1986;
FREDDRICSEN & RUENESS, 1989). Pada
gambar la dan lb. diperlihatkan kandungan
phycobilin dan chlorofil a pada keadaan yang
cukup dan kekurangan Nitrogen.
Total phycobiliprotein pada keadaan yang
cukup dan kekurangan hidrogen
Gambar lb. Phycoeritrin dan phycocanin pada keadaan
yang cukup dan kekurangan nitrogen
3
Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
fotosintesis akan terus meningkat sampai suhu
30 °C dan akan turun secara drastis pada suhu
diatas 35 °C. Selanjutnya G. coulterii
mempunyai suhu optimum antara 25 °C dan
35 °C, namun proses fotosintesis akan terjadi
sangat lambat pada suhu antara 33 - 42 °C
(SANTELICES, 1988).
Hasil penelitian MACLER & WEST
(1987) memperlihatkan bahwa G. coulteri yang
ada di Baja California dapat hidup pada kisaran
suhu antara 8 - 17 °C. Hasil pengamatan
laboratorium menunjukkan bahwa jenis
tersebut tumbuh optimal pada kisaran suhu
antara 20 - 27 °C.
Hasil penelitian D'ANTONIO &
GIBOR (1985) tentang pengaruh PFD
terhadap morfologi G. robustum yang berasal
dari Santa Cruz, California menunjukkan
bahwa tanaman yang diberi perlakuan PFD
tinggi akan membentuk percabangan yang
banyak namun ukuran thallusnya pendekpendek. Sebaliknya, tanaman yang diberi
perlakuan PFD rendah mempunyai ukuran
thallus yang panjang serta percabangan yang
relatif sedikit. Hasil lain yang diperoleh
menunjukkan bahwa tanaman yang diperlihara
dengan periode penyinaran 16.8 terang:gelap
akan memiliki percabangan dan perakaran
yang lebih banyak dibandingkan dengan
tanaman yang diberi periode penyinaran 12 :
12 terang:gelap.
C. Salinitas
Kemampuan adaptasi Gelidium
terhadap salinitas cukup bervariasi, tergantung
dari masing-masing jenis. Misalnya G.
pussilum memiliki kisaran salinitas antara 26,3
- 31.36 permil. G. corneum dari Texas, dapat
hidup pada salinitas minimum 13 permil
dan salinitas maksimum 37 permil
(SANTELICES, 1988).
Di Indonesia Gelidium cenderung
hidup di daerah yang bersalinitas tinggi,
misalnya di Bali 33 permil, di Cilurah Banten
34 permil dan di Seram Timur 34 permil
(ATMADJA & SULISTIJO, 1988) dan belum
pernah ada publikasi yang menyatakan bahwa
ada Gelidium yang hidup pada salinitas rendah.
B. Suhu
Setiap makhluk hidup memiliki
toleransi yang berbeda terhadap suhu.
Umumnya suhu akan berpengaruh terhadap
proses-proses metabolisma tubuh. Pada
Gelidium, faktor suhu akan berpengaruh
terhadap sebaran vertikal dari rumput laut ini.
G. cartilageneum dan G. nudiform yang hidup
pada kedalaman 13-14 meter dapat bertahan
hidup pada suhu di bawah 30 - 32°C,
sedangkan G. pussilum yang hidup di daerah
upper intertidal tumbuh baik (optimal) pada
suhu 20 °C. Selanjutnya G. rex yang hidup di
daerah sub tidal tumbuh optimal pada suhu
15 °C (SANTELICES, 1988).
Menurut CARTER (1985) suhu optimum bagi G. pristodes yang tumbuh di Port
Alfred, Afrika Selatan adalah 15-23 °C. la
juga mengatakan bahwa pada suhu dibawah
5 °C aktivitas fotosintesis akan terhambat,
sementara itu untuk jenis-jenis Gelidium yang
hidup di perairan hangat, aktivitas fotosintesis
akan terhenti pada suhu di bawah 10 °C.
Penelitian laboratorium tentang
pengaruh suhu terhadap aktivitas fotosintesis
Gelidium amansii menunjukkan bahwa proses
D. Substrat
Untuk hidup, masing-masing jenis
Gelidium membutuhkan substrat yang paling
cocok. Umumnya rumput laut ini lebih
menyukai substrat yang berupa batu-batuan.
Namun kekecualian yang terjadi pada G.
pussilum yang tumbuh di Australia Selatan
lebih menyukai substrat berlumpur, sedangkan
G. crinale yang tumbuh di pantai Cadiz lebih
menyukai substrat berpasir.
Tipe substrat akan berpengaruh
terhadap morfologi Gelidium. Dari hasil
4
Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
penelitian diketahui bahwa Gelidium yang
tumbuh pada substrat batuan akan memiliki
percabangan yang gemuk, sedangkan yang
tumbuh pada pasir/lumpur akan memiliki
percabangan yang kurus tetapi panjang
(SANTELICES, 1988). Hal ini tidak berlaku
mutlak, karena masih banyak faktor-faktor lain
yang ikut menentukan morfologi dari
Gelidium.
pada tempat yang sama. Selain memiliki
kompetitor, Gelidium juga tidak lepas dari
intaian pemangsanya. Organisme pemangsa
terdiri dari ikan (Acanthurus triostegus dan A.
aliala), moluska (Haliotis cracherodii dan H.
australis) dan bulu babi (Arbacia lixula dan
Paracentrotus lividus) (SANTELICES, 1988).
E. Pergerakan Air
Umumnya Gelidium tumbuh di daerah
yang berombak besar, dimana pergerakan air
(ombak) dan arus yang relatif besar
(ATMADJA & SULISTIJO, 1988).
SATELICES (1988) mengatakan bahwa suku
Gelidiaceae digolongkan kedalaman rumput
laut yang dapat hidup pada pergerakan air
sedang sampai keras.
Seperti umumnya Rhodophyceae, daur
hidup Gelidium mengalami pergantian
generasi antara seksual dan aseksual. Bentukbentuk yang dapat ditemukan di alam adalah
bentuk tetrasporofit (2n=diploid) dan bentuk
gametofit (n=haploid). Pada tetrasporofit
tumbuhan akan membentuk spora yang haploid, masing-masing akan tumbuh menjadi
gamettofit jantan dan gammetofit betina.
Setelah tumbuh menjadi tumbuhan masingmasing gametofit betina akan berdiferensiasi
menjadi wadah tempat memelihara zigot
apabila sperma masuk ke dalamnya, Zigot (2n)
akan dikeluarkan sebagai karpospora, yang
selanjutnya akan tumbuh menjadi tetrasporofit
kembali (Gambar 2).
DAUR HIDUP
G. Kompetisi
Organisme yang dianggap sebagai
kompetitor utama adalah Pterocladia
cappilacea. Secara visual antara Gelidium dan
Pterocladia. sangat sulit dibedakan. Umumnya
kedua rumput laut ini selalau hidup bersamaan
Gambar 2. Daur hidup Gelidium (Edyvane, 1991)
5
Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Di alam bentuk gametofit jantan
maupun betina sangat sukar dijumpai, bentuk
yang umum adalah tetrasporofit. DEL-PROO
& DE-LACAMPA (dalam SANTELICES,
1988) mendapatkan perbandingan tetrasporofit
dan gametofit Gelidium robostum yang hidup
di Baja California adalah 12 : 1.
Hasil penelitian di laboratorium
menunjukkan bahwa spora yang baru dilepaskan
oleh tetrasporofit Gelidium amansii berbentuk
seperti amoeba dan lama kelamaan akan berbentuk
bulat dengan diameter 25 µm, sedangkan
karpospora berdiameter 30 µm (SJAFRIE, 1993).
Ditambahkan pula bahwa spora yang dikeluarkan
oleh thallus akan menempel di dasar petridish
setelah 10 - 20 menit (KATADA, 1955)
Hasil penelitian KATADA (1955); DELPROO, et al. (1971); CARTER (1985) dan
SJAFRIE (1993) tentang perkembangan spora
dari marga Gelidium memperlihatkan bahwa
pada saat spora menempel di dasar petridish
warnanya akan menjadi gelap (Gambar 3 a) dan
segera disusul dengan keluarnya "germ tube"
(Gambar 3b, c, dan d). Selanjutnya isi sel lama
akan bermigrasi ke tonjolan yang dibentuk dan
setelah seluruh isi sel berpindah, sel akan
membelah (Gambar 3e, f, g, h). Setelah
beberapa waktu "primary rhizoid" akan muncul
dan akan bertambah panjang sesuai dengan
pertambahan waktu (Gambar i, j, k). Selanjutnya
kumpulan sel (thallus) akan membuat
percabangan serta akar-akar (Gambar 31, m, n).
disarikan dalam Tabel 1.
PROSPEK PENGEMBANGAN
Seirama dengan berkembangnya
bioteknologi, terutama masalah-masalah yang
berhubungan dengan manipulasi genetik
(kultur bakteri), maka permintaan bahan baku
agar-agar akan semakin meningkat. Seperti
diketahui bahwa medium agar standar yang
digunakan dalam kultur bakteri adalah agar
yang sebagian besar berasal dari marga
Gelidium. Oleh karena itu usaha untuk tetap
dapat mempertahankan suplay bahan baku
harus terus dipertahankan.
Sampai saat ini usaha untuk
membudidayakan Gelidium di alam masih
merupakan tanda tanya yang besar. Salah satu
penyebab mengapa Gelidium tidak menarik
untuk dibudidayakan adalah morfologinya.
Bentuk thallus yang relatif kecil bila
dibadingkan dengan Gracilaria atau Eucheuma
akan menyulitkan usaha budidaya dengan
menggunakan sistem yang ada saat ini. Seperti
diketahui bahwa sistem penanaman rumput
laut yang lazim dipakai sampai saat ini adalah
sistem ini rumpun tanaman diikatkan pada rakrak atau tali. Untuk Gelidium hal ini sangatlah
tidak memungkinkan karena thallusnya yang
relatif pendek. Selain itu, Gelidium yang ada
di Indonesia umumnya adalah jenis-jenis yang
menyukai salinitas tinggi dan perairan yang
relatif berombak besar. Hal ini akan menjadi
faktor pembatas karena sistem tanam yang ada
tidak dapat diterapkan di lokasi tersebut.
Tampaknya sistem tanam untuk
Gelidium tidak dapat dilakukan di alam,
melainkan dilakukan di dalam bak-bak yang
diisi oleh air laut serta dirancang sedemikian
rupa sehingga keadaannya tidak jauh berbeda
dengan di alam. Disamping teknik penanaman,
usaha pengadaan bibit juga perlu diperhatikan
agar usaha budidaya dapat berjalan seoptimal
mungkin. Di bawah ini akan dikemukakan
beberapa alternatif untuk pengembangan
pembibitan rumput laut marga Gelidium.
SEBARAN
Dari 40 jenis Gelidium yang ada di
dunia, 8 diantaranya terdapat di perairan Indonesia (LEVRING et al. dalam ATMADJA
& SULISTIJO, 1988). Di Indonesia, Gelidium
mempunyai sebaran geografik yang luas.
Umumnya rumput laut ini hidup di perairan
pantai yang berombak besar, misalnya pantai
Barat Sumatera, pantai Selatan Jawa, Bali,
Nusa Tenggara dan Maluku. ATMADJA &
SULISTIJO (1988) telah merangkum sebaran
dan habitat Gelidium di Indonesia dan
6
Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 3. Perkembangan spora Gelidium
(a-n)
7
Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 1. Sebaran dan Macam Habitat Gelidium spp. di Indonesia (ATMADJA DAN SULISTUO, 1988)
Selanjutnya FUJITA & SAITO (1990) telah
dapat menggabungkan protoplasma dari 7 jenis
Porphyra.
A. Kultur Jaringan.
Teknik ini mungkin dapat diterapkan
setelah diperoleh keberhasilan pada kultur
jaringan porphyra dan Gracilaria. (EVAN et
al., 1983)
C. Perkawinan Silang
Dari bekal pengetahuan tentang siklus
reproduksi maka sangatlah memungkinkan
dapat dilakukannya perkawinan silang antara
2 jenis Gelidium. Setelah diperoleh bentuk
gametofit jantan dan betina dari 2 jenis yang
berlainan, maka akan dapat dilakukan kawin
silang, dengan catatan bahwa kromosom antara
kedua jenis tersebut relatif sama. Pada Tabel
2. diperlihatkan jumlah kromosom dari
beberapa jenis Gelidium yang hidup di Jepang
(AKATSUKA, 1986).
B. Fusi Protoplasma
Kemungkinan untuk melakukan fusi
protoplasma pada Gelidium tampaknya akan
menjadi tantangan para pakar. Namun ada titik
terang setelah muncul keberhasilan yang
diperoleh FUJITA & MIGITA (1987) dalam
menggabungkan protoplasma dari 2 jenis
Porphyra. Keberhasilan lainnya diperoleh
REDDY et al. (1989) yang telah
menggabungkan protoplasma dari 3 jenis Ulva.
8
Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
D'ANTONIO CM. and A. GIBOR 1985. A
note on some influences of Photon
Flux Density on the morphologY of
Tabel 2. Jumlah kromosom dari beberapa jenis
Gelidium yang hidup di perairan Jepang
germlings
of
Gilidium
robustum
(Gilidiales, Rhodophyta) in culture.
Botanica Marina. 24 : 313 - 316.
DAWES, C.J. 1981. Marine Botany. John
Wiley & Sons, New York : 173 - 194.
EDYVANE, K.S. 1991. An Introduction to taxonomy of coral reef macroalgae and
their role as bio-indicators of the effects
of pollution. Paper presented in AseanAustralia Marine Project : Living
Coastal Resourses, July, 1991, Jakarta :
48p.
Kultur spora direkomendasikan juga
untuk memenuhi kebutuhan bibit rumput laut.
Dari kultur spora diharapkan akan diperoleh
bibit-bibit pilihan yang dapat dikembangkan.
Dengan begitu banyak informasi serta peluang
yang ada, maka pengembangan sumberdaya
laut yang masih belum diungkapkan akan
menjadi tantangan bagi kita semua.
EVANS, D.A.; W.R. SHARP; PV.
AMMIRATO and Y. YAM ADA 1983.
Handbook of Plant Cell Culture Volume
I: Technique for propagation and breeding.
FREDRICKSEN, S and J. RUENESS 1989.
Culture studies of Gelidium latifolium
(Grev.) Born et Thur. (Rhodophyta)
from Norway. Growth and Nitrogen
storage in response to varying photon
flux density, temperature and nitrogen
availability. Botanica Marine. 32 : 539546.
DAFTAR PUSTAKA
AKATSUKA, I. 1986. Japanese Gelidiales
(Rhodophyta) especially Gelidium.
Oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev. 24 : 171
- 263.
ATMADJA, W.S. dan SULISTIJO 1988.
Sebaran dan habitat Gelidium di Indonesia. Penelitian Oseanologi Perairan
Indonesia Buku I: Biologi, Geologi,
Lingkungan dan Oseanografi : 69 - 73.
FUJITA, Y. and MIGITA, S. 1987. Fusion of
protoplast from thalli two different
color types in Porphyra yezoensis Ueda.
and development of fusion products.
Jap. J. Phycol. 35 : 201 - 208.
CARTER, A.R. 1985. Reproduktive morphology and culture studies of Gelidium
pristoides (Rhodophyta) from Port
Alfred in South Africa. Botanica Marina 28: 303 - 311.
FUJITA, Y. and SAITO, M. 1990. Protoplast
isolation and fusion in Porphyra
(Bangiales,
Rhodophyta) .
Hydrobiologia. 204/205 : 161 - 166.
KADI, A., dan W.S. ATMADJA 1988. Rumput
Laut (Algae) : Jenis, Reproduksi,
Budidayadan Pasca-panen. Puslitbang
Oseanologi LIPI Jakarta : vi + 69 h.
KATADA, M. 1955. Fundamental studie on
the propagation of Gelidiaceous Algae
CARTER, A.R. and R.J. ANDERSON 1986.
Seasional growth and agar contents in
Gelidium
pristoides
(Gelidiales,
Rhodophyta) from Port Alfred, South
Africa. Botanica Marina 24 : 117 -123.
9
Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
with special reference to shedding and
adhesion of spores, germination,
growth and vegetative reproduction.
Jour. Shimoseki Coll. Fish. 5 : 1 - 87.
MACLER, B.A. and J.A. WEST 1987. Life
history, physiology of red alga,
Gelidium coulterii, in unualgal culture.
Aquaculture. 61 : 281 - 293.
MAIRH, O.R and RAO, P.S. 1978. Culture
studies on Gelidium pussilum (Stackh.)
Le Jolis. Botanica Maarina. 21 : 169 174.
MOURADI-GEVERNOUD,
A.;
T.
GIVERNOUD; H. MORVAN and J.
COSSON 1992. Agar from Gelidium
latifolium (Rhodophyceae, Gelidiales) :
Biochemical composition and
seaseonal variations. Botanica Marina
35 : 153 - 159.
REDDY, C.R.K.; MIGITA, S AND Y. YUJITA
1989. Protoplast isolation and regeneration of three species of Ulva in axenic
culture. Botanica Marina 32:483 - 490.
SANTELICES. B. 1988. Synopsis of biological data on seaweed genera Gelidium
and Pterocladia (Rhodophyta). FAO
Fish. Synop. (145): 55 p.
SOEGIARTO. A.; SULISTIJO; W.S.
ATMADJA dan H. MUBARAK 1978.
Rumput Laut (Algae) : Manfaat,
Potensi dan Usaha Budidayanya.
Lembaga Oseanologi Nasional LIPI,
Jakarta. V 61 hal.
Sjafrie N.D.M. 1993. Studi tentang daur hidup
Gelidium amansii (Rhodophyta) di
dalam laboratorium. Paper yang
disampikan pada Seminar Ilmiah
Nasional Biologi XI di Ujungpandang,
20-21 Juli 1993: 14 h.
10
Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999
Download