BAB I EKSISTENSI DAN TANTANGAN DI DALAM

advertisement
BAB I
EKSISTENSI DAN TANTANGAN DI DALAM REZIM SCHENGEN
1. Latar Belakang Masalah
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi Rezim Schengen yang
hingga saat ini masih dapat bertahan, kendatipun jumlah keanggotaannya
bertambah pesat dan permasalahan yang dihadapi semakin kompleks. Dengan
bertambahnya jumlah anggota rezim menyebabkan peluang kerawanan yang terjadi
semakin besar, maka setiap negara harus melakukan harmonisasi regulasi Schengen
ke dalam wilayah domestik, standarisasi keamanan, koordinasi, dan saling bertukar
informasi.
Sedangkan permasalahan yang dihadapi yaitu keamanan non-tradisional seperti
terorisme, imigran ilegal, perdagangan orang dan narkoba, serta tindak kejahatan
lainnya. Seperti yang diketahui, bahwa Eropa pada masa lalu sering berkonflik.
Negara-negara tersebut saling berkonflik untuk mendapatkan pengaruh dan
kekuasaan di tanah Eropa. Salah satu peperangan terbesar yang terjadi di Eropa,
yaitu dalam rentang waktu lebih dari tiga puluh tahun yang dilatarbelakangi oleh
masalah agama, yaitu Katolik dan Protestan yang berlangsung pada tahun 1618
hingga 1648.
Hingga akhirnya dibentuk sebuah perjanjian yang bernama Perjanjian
Westphalia pada tahun 1648. Perjanjian Westphalia ini memberikan konsep legal
tentang kedaulatan yang pada dasarnya para penguasa di Eropa saling mengakui
kedaulatan wilayahnya masing-masing. Kemudian konsep ini menjadi titik awal
berkembangnya sistem negara modern dan susunan masyarakat internasional yang
beralih dari kerajaan menjadi negara-bangsa, sehingga muncul konsep nation-state.
Tidak hanya pada masa kerajaan Eropa mengalami konflik, pada era modern
Eropa juga mengalami konflik, yaitu Eropa pernah menjadi arena pertempuran
Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Semua faktor konflik tersebut di dominasi oleh
perasaan paling hebat (superior) dari suatu negara, sehingga menganggap negara
lain lebih lemah (inferior) dan harus tunduk kepadanya. Dengan demikian konflik
1
di Eropa sering tidak terhindarkan dan terjadi dalam waktu yang lama, sehingga
membuat situasi menjadi tidak kondusif.
Hingga akhirnya negara-negara di Eropa membahas mengenai proses
pengintegrasian, yaitu memilih untuk menghapuskan pengawasan terhadap
perbatasan negara yang diatur dalam Rezim Schengen. Proses pengintegrasian
Eropa diawali dengan Perjanjian Paris European Coal and Steel Community
(ECSC) yang ditandatangani pada 18 April 1951 dan berakhir pada 2002 oleh
negara-negara Benelux (Belgia, Netherland, dan Luxembourg), Jerman, Italia, dan
Prancis. Perjanjian ini mengakomodir mengenai penghapusan hambatan dan
menginginkan adanya pasar tunggal bersama dan bertujuan agar negara-negara
anggotanya dapat bergerak bebas tanpa adanya hambatan.
Kemudian negara penandatangan ECSC ingin memperluas cakupan bidang
ekonomi ke semua sektor dan tidak hanya di sektor batubara dan baja. Dengan
demikian negara-negara yang membentuk ECSC membuat suatu perjanjian, yaitu
Perjanjian Roma (European Atomic Energy Community (EAEC) dan European
Economic Community (EEC)) yang ditandatangani pada 1-2 Juni 1955 dan mulai
berlaku pada tahun 1958.1 Negara-negara yang tergabung di dalam EAEC dan EEC
berkomitmen untuk membentuk pasar bersama, di antaranya adalah menghapuskan
perpindahan barang, jasa, pekerja, dan modal, menghapuskan pajak, pembatasan
impor, dan memberlakukan tarif pajak bersama yang ditujukan kepada negara
ketiga (non-anggota EAEC dan EEC).
Ketiga komunitas ini, yaitu Perjanjian Paris (ECSC) dan Perjanjian Roma
(EAEC dan EEC) mulai dibentuk satu dewan dan satu komisi pada 1 Juli 1967.2
Hal ini bertujuan untuk memudahkan kerjasama di antara mereka. Hingga pada
akhirnya ketiga komunitas ini menjadi European Communities (EC) dan memiliki
Dewan Menteri sendiri.
Tindaklanjut untuk proses pengintegrasian ini kemudian dilanjutkan dalam
membentuk Perjanjian Schengen (Rezim Schengen). Pada awalnya Perjanjian
‘Sejarah Pembentukan Uni Eropa (UE),’ Mission of The Republic of Indonesia to the
European
Union
(daring),
<http://www.indonesianmissioneu.org/website/page943418664200310095958555.asp>, diakses pada 20 November 2015.
2
Mission of The Republic of Indonesia to the European Union (daring).
1
2
Schengen yang dibuat pada 14 Juni 1985 ini hanya diratifikasi oleh lima negara,
yaitu Luxembourg, Belanda, Prancis, Jerman, dan Belgia.3 Sedikitnya jumlah
negara yang meratifikasi karena banyak negara di Eropa yang belum memiliki
ketertarikan terhadap Perjanjian Schengen, hal ini diakibatkan rasa kurang percaya
di antara negara Eropa pada saat itu.
Hal tersebut juga memiliki alasan yang mendasar bagi negara-negara di Eropa.
Dengan diterapkannya Perjanjian Schengen ini, maka bisa saja kejahatan lintas
negara akan berkembang. Namun tujuan utama dari dibentuknya Perjanjian
Schengen ini adalah untuk memberikan kebebasan berpindah bagi seluruh warga
Negara Anggota Eropa, sehingga dapat memudahkan mobilitas antar negara.
Perjanjian Schengen ini juga dapat dijadikan alat untuk menangkal adanya imigran
ilegal yang masuk ke Eropa.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai Perjanjian Schengen, penulis akan
membahas mengenai Perjanjian Maastricht terlebih dahulu. Perjanjian Maastricht
ini merupakan langkah awal dalam sejarah terbentuknya organisasi supranasional,
yaitu Uni Eropa. Pembentukan Uni Eropa disepakati pada 7 Februari 1992 dan
mulai berlaku pada 1 November 1993.4 Sehingga European Community (EC)
berubah bentuk menjadi European Union (EU) dengan menambahkan kerjasama di
bidang Kebijakan Keamanan dan Luar Negeri dan Peradilan Bersama. Perjanjian
Maastricht menghasilkan: ”Pergerakan bebas pekerja, pasar tunggal, pendidikan,
penelitian, lingkungan, Trans-European Network, kesehatan, budaya dan
perlindungan konsumen.”5
Perjanjian Maastricht ini kemudian di revisi pada Perjanjian Amsterdam.
Pertemuan yang berlangsung pada 17 Juni 1997 ini menyetujui untuk merevisi
Perjanjian Maastricht. Sehingga Perjanjian Amsterdam menghasilkan beberapa
keputusan, di antaranya adalah penghapusan hambatan dan memperkuat keamanan
kerjasama negara anggota Uni Eropa dan perjanjian ini yang kemudian memberikan
‘The Schengen Area and Cooperation,’ Europa (daring), <http://eur-lex.europa.eu/legalcontent/EN/TXT/?uri=URISERV:l33020>, diakses pada 3 November 2015.
4
Mission of The Republic of Indonesia to the European Union (daring).
5
Mission of The Republic of Indonesia to the European Union (daring).
3
3
Rezim Schengen ruang untuk dapat diaplikasikan ke dalam organisasi
supranasional Uni Eropa, namun Inggris dan Irlandia tidak ikut bergabung ke dalam
Rezim Schengen (hanya bergabung pada SIS).
Dengan diaplikasikannya Perjanjian Schengen ke dalam Perjanjian Amsterdam
membuat banyak negara berangsur-angsur bergabung ke Rezim Schengen. Seiring
berjalannya waktu, keanggotaan Rezim Schengen semakin bertambah, hingga saat
ini terdapat 26 negara yang tergabung ke dalam Rezim Schengen, yaitu; Austria,
Belgia, Republik Czech, Denmark, Estonia, Finlandia, Peranci, Jerman, Yunani,
Hongaria, Islandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luxembourg, Malta, Belanda,
Norwegia, Polandia, Portugal, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, dan
Liechtenstein.6 Dengan bertambahnya anggota Rezim Schengen, maka akan
semakin banyak kepentingan yang harus diakomodir di dalamnya seperti
kepentingan keamanan yang menjadi fokus rezim saat ini.
Bergabungnya mayoritas negara di Eropa ke dalam Rezim Schengen
merupakan suatu keputusan yang besar karena masing-masing negara dapat
menurunkan egonya (selfish). Selain negara yang menjadi anggota Rezim Schengen
semakin banyak, isu-isu yang berkembang juga semakin luas serta kompleks.
Seperti teroris, imigan ilegal, perdagangan orang dan narkoba, serta tindak
kejahatan lainnya.
2. Pertanyaan Penelitian
“Bagaimana strategi Rezim Schengen dapat bertahan hingga saat ini?”
Tesis ini menjelaskan apa strategi Rezim Schengen dalam menjaga
eksistensinya hingga saat ini. Maka dari itu mengapa pertanyaan ini penting
mengingat beberapa dinamika yang sangat kompleks di dalam Rezim Schengen
seperti berkembangnya isu-isu non-tradisional, dan semakin bertambah banyak
anggota rezim. Sehingga membuat pertanyaan ini sesuai untuk diaplikasikan di
dalam tulisan ini.
6
‘Schengen
Area
Countries
List,’
Schengen
Visa
Info
(daring),
<http://www.schengenvisainfo.com/schengen-visa-countries-list/>, diakses pada 31 Oktober
2016.
4
3. Literature Review
Menurut Mahoney & Thelen konsep layering merupakan suatu alat analisis
yang berfungsi untuk melihat perubahan di dalam rezim. Pada umumnya untuk
dapat mempertahankan eksistensi dan fungsi suatu rezim maka dibutuhkan
penyesuaian peraturan serta implementasinya.
Mahoney dan Thelen dalam bukunya yang berjudul Explaining Institutional
Change; Ambiguity, Agency, and Power menjelaskan bahwa di dalam rezim
terdapat pihak yang mendukung status quo dan berusaha untuk mempertahankan
peraturan lama. Namun disaat yang sama mereka tidak dapat menolak adanya
perubahan aturan lama atau penambahan aturan baru. Sehingga untuk menjaga
stabilitas dan fungsi dari suatu rezim dibutuhkan peraturan baru atau perubahan
aturan tanpa harus menghapus peraturan lama.7
Dalam melihat fenomena ini, konsep layering menjadi suatu mekanisme yang
sesuai dalam menganalisa Rezim Schengen. Dalam jurnal tulisan Etta Bick yang
berjudul "Layering" as a Mode of Institutional Change: National Civic Service in
Israel 1996-2014 mengutip dari Lijphardt dan Don Yehiye yang menyatakan bahwa
mekanisme layering memungkinkan proses amandemen secara perlahan (aturan
lama) tanpa harus menimbulkan kegaduhan politik karena adanya pergeseran
aturan.8 Dengan demikian eksistensi dan fungsi dari rezim internasional masih
dapat berjalan.
Adapun pengimplementasian Rezim Schengen berjalan cukup lama sejak awal
Perjanjian Schengen ditandatangani. Pada mulanya Perjanjian Schengen
ditandatangani pada 14 Juni 1985 oleh lima negara, yaitu Prancis, Luxembourg,
Belgia, Jerman, dan Belanda. Perjanjian ini bertujuan untuk menghapuskan
pengawasan perbatasan negara. Menurut Rubben Zaiotti di dalam bukunya yang
berjudul Cultures of Border Control; Schengen & the Evolution of European
Frontiers, Perjanjian Schengen menjadi rezim baru untuk pengawasan perbatasan
7
J. Mahoney & K.Thelen, Explaining Institutional Change; Ambiguity, Agency, and Power,
Cambridge University Press, New York, 2010, p. 9.
8
E. Bick, "Layering" as a Mode of Institutional Change: National Civic Service in Israel 19962014, Ariel University, Israel, p. 16.
5
Eropa dan rezim ini dimulai oleh lima negara anggota Komunitas Eropa (sekarang
menjadi Uni Eropa) dari sepuluh negara anggota pada masa itu.9
Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan mobilitas individu serta barang dalam
kawasan Uni Eropa terlepas dari munculnyanya pro dan kontra akibat dibentuknya
rezim ini. Dalam hal ini terbentuknya Rezim Schengen menjadi pro dan kontra
karena dikhawatirkan akan banyak timbul kejahatan lintas negara akibat dari
penghapusan pengawasan perbatasan ini.
Namun menurut Peter Cofey di dalam bukunya yang berjudul Europe Toward
2001: International Studies in Economics and Econometrics edisi ke 35 menuliskan
bahwa Perjanjian Schengen ini tidak akan memberikan kerawanan keamanan akibat
dari penghilangan pengawasan perbatasan antar negara, Perjanjian Schengen ini
bahkan akan memperkuat keamanan antar negara.10 Hal ini karena Perjanjian
Schengen akan fokus pada peningkatkan integrasi keamanan antar negara seperti
kerjasama kepolisian dan saling bertukar data yang menyangkut dengan keamanan.
Maka dari itu mobilisasi kejahatan yang terjadi di internal Negara Anggota Rezim
Schengen dapat dipantau dan dicegah dengan cepat.
Sedangkan di sisi lain, perjanjian ini mendapat perhatian penuh dari Lembaga
Amnesti Internasional, yaitu perjanjian ini dianggap dapat membatasi imigran
untuk masuk ke Uni Eropa dan menghambat akses pencari suaka. Hal ini
disebabkan karena pengungsi/ imigran yang mencari suaka pasti tidak dapat
menunjukkan dokumen dan visa yang dibutuhkan untuk dapat masuk ke wilayah
Schengen dan perlindungan kepada para pengungsi akan berkurang.11
Untuk mengatasi hal tersebut Rezim Schengen memiliki cara untuk menyeleksi
pencari suaka atau orang asing dari negara ketiga yang dianggap aman atau tidak
aman oleh otoritas negara, yaitu penyatuan informasi ke dalam database Eurodac,
Visa Information System (VIS), dan Schengen Information System (SIS). Masingmasing dari sistem ini memiliki spesialisasi tersendiri. Seperti Eurodac yang fokus
9
R. Zaiotti, Cultures of Border Control Schengen and the Evolution of European Frontiers,
The University of Chicago Press, Chicago, 2011, p. 2.
10
P. Coffey, Europe Toward 2001: International Studies in Economics and Econometrics
Volume 35, Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, 1996, p. 161.
11
Coffey, p. 162.
6
pada perekaman sidik jari pencari suaka, VIS yang fokus pada kepengurusan visa,
dan SIS yang fokus pada pengawasan keamanan.
Seperti yang dijelaskan oleh Steffen Mau dkk. dalam bukunya yang berjudul
Liberal States and the Freedom of Movement; Selective Borders, Unequal Mobility
bahwa fokus pencari suaka yang dilakukan oleh sistem Eurodac (dactyloscopy;
sidik jari) akan memberikan informasi yang akurat mengenai pencari suaka dan
imigran ilegal yang datang ke Uni Eropa dan sistem ini dapat mengidentifikasi
paspor palsu.12 Sistem ini dapat di akses oleh semua otoritas Negara Anggota
Schengen sehingga dengan mudah dapat mengidentifikasi orang yang mungkin
dianggap mencurigakan dan membahayakan keamanan negara.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk menghilangkan dan
mengatasi masalah yang terjadi, Rezim Schengen membuat suatu sistem yang
bernama Schengen Information System (SIS). Sistem ini telah mulai beroperasi
pada tahun 1995. Berdasarkan tulisan dari Evelien Brouwer dalam bukunya yang
berjudul Digital Borders and Real Rights; Eff ective Remedies for Third-Country
Nationals in the Schengen Information System akar dari implementasi SIS
didasarkan pada Convention on the Implementation of the Schengen Agreement of
1990 (CISA) yang digunakan oleh pihak imigrasi dan pengawasan perbatasan di
Uni Eropa.13 Mekanisme tersebut merupakan kebijakan tambahan sebagai akibat
dari penghapusan kontrol perbatasan internal di antara Negara Anggota Schengen.
Setelah beroperasi pada tahun 1995, Perjanjian Schengen ini kemudian menjadi
bagian dari regulasi Uni Eropa melalui amandemen Perjanjian Amsterdam.
Menurut Emilio De Capitani dalam artikelnya yang berjudul The Schengen System
After Lisbon: From Cooperation to Integration, Perjanjian Schengen dapat diterima
dan diimplementasikan oleh Uni Eropa karena memiliki prinsip yang terkandung di
dalam Pasal ke 3 Treaty on the European Union (TEU), yaitu memberikan
kebebasan bergerak, keamanan dan keadilan tanpa adanya pembatasan pergerakan
12
S. Mau, H. Brabandt, L. Laube & C. Roos, Liberal States and the Freedom of Movement;
Selective Borders, Unequal Mobility, Palgrave Macmillan, Hampshire, 2012, p. 98.
13
E. Brouwer, Immigration and Asylum Law and Policy in Europe, Martinus Nijhoff
Publishers, Leiden, 2008, p. 1.
7
di dalam Uni Eropa. Visi yang dibawa oleh Rezim Schengen linier dengan prinsip
dasar dari Uni Eropa.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dengan adanya kerjasama Rezim
Schengen ini akan membuat terjadinya internasionalisasi dalam segala bidang baik
itu ekonomi, politik, budaya, dan bidang lainnya. Maka dari itu agar Rezim
Schengen tidak hanya memberikan keuntungan kerjasama ekonomi, politik, dan
budaya, rezim juga dapat memberikan keuntungan dalam bidang keamanan antar
negara. Di dalam buku karangan Stephen Kabera Karanja yang berjudul
Transparency and Proportionality in the Schengen Information System and Border
Control Co-operation mengatakan bahwa kebijakan di dalam Rezim Schengen ini
didasarkan pada kerjasama di segala bidang, seperti bea cukai, keamanan, migrasi,
dan peradilan hukum pidana.14 Dengan adanya Rezim Schengen ini, maka akan
memudahkan proses mobilisasi atau sistem birokrasi di Uni Eropa.
Dengan bergabungnya mayoritas Negara Anggota Uni Eropa ke dalam Rezim
Schengen, maka negara tersebut telah mengikatkan diri ke dalam Rezim Schengen
serta mentaati peraturan yang telah berlaku, yaitu berupa penghapusan pengawasan
perbatasan. Menurut Rubben Zaiotti, dengan bergabungnya negara ke dalam Rezim
Schengen, maka setiap negara anggota harus mentransfer hak prerogratif mereka
atas perbatasan kepada negara lain.15 Dengan demikian terjadi sistem pemerintahan
yang disebut dengan “transgovernmental intensive”, yaitu hubungan antar
pemerintah negara yang lebih intensif untuk melakukan kerjasama di segala bidang.
Menurut Charles Raab yang terdapat di dalam tulisan Stephen Kabera Karanja,
perubahan dalam suatu sistem dapat dibagi menjadi empat cara, yaitu:
1. Penghapusan perbatasan internal
2. Peningkatan aktivitas kriminal internasional,
3. Adanya percepatan perpindahan, sehingga adanya kerjasama
polisi dan melibatkan pertukaran informasi.
4. Pengembangan mekanisme pengaturan, termasuk sistem
perlindungan data untuk menjaga keamanan dari pertukaran
14
S. K. Karanja, Transparency and Proportionality in the Schengen Information System and
Border Control Co-operation, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden, 2008, p. 3.
15
Zaiotti, p. 3.
8
data tersebut, serta privasi individu yang rinciannya hanya boleh
diketahui oleh polisi.16
Berdasarkan empat poin di atas dapat dijelaskan bahwa perubahan-perubahan
dapat dilakukan di dalam suatu sistem, yaitu dengan cara penghapusan perbatasan
internal suatu komunitas. Meskipun akan memunculkan berbagai macam
peningkatan tindak kejahatan yang mungkin terjadi, maka perlu adanya pertukaran
informasi antar pemerintah melalui pihak kepolisian untuk mencegah adanya tindak
kejahatan lintas negara. Selain itu rezim juga mengatur mekanisme untuk
memperoleh data-data individu dan menjaga kerahasiaan data tersebut. Data-data
tersebut digunakan untuk mengetahui individu yang melakukan kejahatan dan
mencegah kejahatan yang lebih luas.
Namun Raab menambahkan dua hal lagi, yaitu adanya pertukaran sistem
informasi pengawasan perbatasan dan meningkatkan sistem perlindungan hak asasi
manusia.17 Dengan demikian peningkatan individu dan barang bertujuan untuk
kesejahteraan anggota akan tercapai dan sistem keamanan masing-masing negara
dapat ditingkatkan kembali tanpa harus melanggar hak asasi manusia, yaitu untuk
melakukan lintas batas negara.
Oleh sebab itu Rezim Schengen membentuk suatu sistem yang bernama
Schengen Information System (SIS). Dengan adanya sistem ini, maka diharapkan
kerjasama peningkatan ekonomi dan politik dapat ditingkatkan tanpa harus
mengkhawatirkan keamanan negara. Sistem yang dibuat oleh Rezim Schengen
dalam SIS memberikan keputusan berupa izin kepada individu, terutama bagi
individu yang berasal dari luar wilayah Schengen untuk dapat melarang mereka
masuk atau mengizinkannya masuk.
Menurut buku yang ditulis oleh Evelien Brouwer, SIS dapat membuat
keputusan untuk melaporkan individu dari negara ketiga (non-anggota Schengen)
yang dianggap memiliki ancaman bagi ketertiban umum, keamanan publik atau
keamanan nasional.18 Lalu keputusan ini yang kemudian berdasarkan keputusan
16
Karanja, p. 1.
Karanja, p. 1.
18
Brouwer, p. 2.
17
9
hukum imigrasi dapat mendeportasi individu tersebut, menolak masuk dan bahkan
dapat menahannya, serta individu tersebut akan secara otomatis tertolak ke setiap
negara anggota Schengen.
Dari beberapa sumber review literatur yang penulis paparkan di atas, uraian
tersebut memberikan masukan dan kontribusi dalam proses analisis di dalam
penelitian ini. Penulis mendapatkan penjelasan dan pengetahuan tentang apa saja
tantangan yang terjadi dalam Rezim Schengen sehingga terdapat beberapa
perubahan dan penambahan regulasi.
Namun, terdapat beberapa perbedaan pokok penulisan yang menjadi sumber
review literatur dengan penelitian yang penulis buat. Secara garis besar review
literatur di atas memberikan pembahasan tentang sejarah dibentuknya Perjanjian
Schengen, proses masuknya perjanjian ini ke dalam struktur Uni Eropa, regulasi
yang dibentuk, dan permasalahan yang terjadi di dalam Rezim Schengen. Penulis
belum dapat menemukan analisis yang membahas mengapa Rezim Schengen masih
dapat bertahan hingga saat ini. Meskipun anggota yang ada semakin banyak dan
permasalahan yang dihadapi terus berkembang. Maka dari itu penulis ingin
mengelaborasi lebih lanjut dan menganalisis lebih dalam mengenai perubahan
Rezim Schengen dengan menggunakan mekanisme layering.
4. Kerangka Pemikiran
a. Rezim Internasional
Schengen merupakan suatu rezim internasional yang menjadi wadah untuk
mengakomodir kepentingan-kepentingan Negara Anggotanya di wilayah
Eropa. Menurut Stephen D. Krasner dalam jurnal Theories of International
Regimes yang ditulis oleh Stephan Haggard dan Beth A. Simmons menjelaskan
bahwa rezim internasional adalah "Implicit or explicit principles, norms, rules
and decision-making procedures around which actors' expectations converge
in a given area of international relations.”19 Maka dapat dijelaskan rezim
internasional merupakan suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma,
S. Haggard & B.A Simmons, ‘Theories of International Regimes,’ International
Organization Foundation, vol. 41, No. 3 (Summer, 1987), p. 493.
19
10
aturan, dan prosedur pembuatan kebijakan baik yang berupa eksplisit maupun
implisit, yang berkaitan dengan ekspektasi dan kepentingan aktor dalam
hubungan internasional.
Sedangkan menurut Andrew Heywood dalam buku Global Politics
menyatakan rezim internasional adalah “International regime is a set of
principles, procedures, norms or rules that govern the interactions of states
and non-state actors in particular issue areas within international politics.”20
Sama seperti pendapat dari Stephen Krasner, Andrew Heywood juga
menjelaskan bahwa rezim internasional adalah seperangkat prinsip, prosedur,
norma, atau peraturan yang mengatur interaksi aktor antar negara maupun non
negara di dalam masalah politik internasional.
Berdasarkan definisi rezim internasional di atas terdapat empat konsep
yang dapat menjelaskan rezim internasional. Empat konsep ini menurut
Stpehen D. Krasner dalam jurnal Structural Causes and Regime
Consequences: Regimes as Intervening Variables, yaitu:
1. Konsep principles yang merupakan kepercayaan atas fact
(kenyataan), causation (penyebab), dan rectitude (kejujuran).
2. Konsep norms yang merupakan standar perilaku yang
dituangkan atas hak dan kewajiban di dalam rezim.
3. Konsep rules yang merupakan ketentuan dan larangan yang
harus dipatuhi dalam bertindak.
4. Decision-making merupakan praktik umum untuk membuat
dan mengimplementasikan keputusan bersama.21
Lebih lanjut lagi Mc Elwain dalam buku International Political Economy,
Power and Wealth: Institutional Approaches menjelaskan karakter dan
perilaku fungsional yang dapat merubah suatu rezim, yaitu:
“Principles dan norms didefinisikan sebagai karakter sebuah
rezim, yaitu perubahan yang terjadi merupakan indikasi dari
adanya pergeseran dalam sebuah rezim. Rules dan decisionmaking procedures adalah perilaku fungsional dalam rezim, yaitu
20
A. Heywood, Global Politics, Palgrave Macmillan, China, 2011, p. 67.
S. D. Krasner, ‘Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening
Variables,’ International Organization, vol. 36, no. 2, (Spring, 1982), p. 186.
21
11
perubahan yang terjadi merupakan indikasi pergeseran dalam
sebuah rezim.”22
Perubahan yang terjadi dalam Rezim Schengen berada pada perilaku
fungsional, yaitu rules dan decision making procedures. Sedangkan karakter
dari Rezim Schengen yang terdapat pada principles dan norms tidak dirubah
atau dihilangkan. Pembahasan lebih lanjut mengenai institusionalisasi/ rezim
menurut Keohane adalah sebagai berikut:
1. Kebersamaan: Derajat di mana harapan-harapan terhadap
perilaku dan pemahaman yang tepat mengenai bagaimana
menginterpretasikan tindakan dibagi bersama oleh partisipan
dalam sistem tersebut.
2. Kekhususan: Derajat di mana harapan-harapan ini jelas khusus
dalam bentuk aturan-aturan.
3. Otonom: Perluasan di mana institusi dapat mengubah
aturannya sendiri daripada tergantung pada badan-badan dan
agen-agen asing untuk melakukan hal tersebut.23
Pendapat dari Keohane di atas sesuai dengan pembahasan yang penulis
angkat di dalam penelitian ini. Rezim Schengen merupakan institusi yang
mengedepankan kebersamaan. Rezim Schengen juga memiliki wewenang
untuk membuat atau mengubah aturannya secara independen.
b. Konsep Layering
Mahoney & Thelen menyatakan bahwa perubahan institusi seringkali
terjadi secara gradual dan tidak serentak, artinya suatu rezim tidak berubah
secara langsung atau menyeluruh.24 Perubahan tersebut tidak hanya
dipengaruhi faktor eksternal (eksogenous) tetapi juga faktor internal
(endogenous), terdapat empat konsep dalam perubahan rezim internasional
yaitu, displacement, layering, drift, conversion.25
22
Mc Elwain, International Political Economy, Power and Wealth: Institutional Approaches,
p. 1.
23
R. Jackson & G. Sorensen, Introduction to International Relations: Theories and
Approaches 5th edisi bahasa Indonesia Pengantar Studi Hubungan Internasional: Teori dan
Pendekatan edisi 5, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, p. 195.
24
Mahoney & Thelen, p. 4.
25
Mahoney & Thelen, p. 8.
12
Tabel 1. Tipe-tipe Perubahan Institusi Secara Perlahan
Change of
Formation
Displacement
Layering
Drift
Conversion
Yes
No
No
No
-
No
Yes
No
-
No
Yes
Yes
Yes
Yes
No
No
Removal of old
rules
Neglect of old
rules
Change
impact/enactment
of old rules
Introduction of
new rules
Sumber: James Mahoney & Kathleen Thelen. Explaining Institutional Change;
Ambiguity, Agency, and Power, New York, Cambridge University Press. 2010.
Berikut ini penjabaran empat mekanisme perubahan rezim internasional
menurut tabel di atas; displacement, merupakan perubahan formasi dalam
rezim dengan menghapus peraturan lama dan membuat peraturan baru.
Layering, membuat peraturan baru tanpa menghapus peraturan lama rezim,
sehingga peraturan baru akan berjalan secara berdampingan dengan peraturan
lama. Menurut Mahoney & Thelen, layering merupakan mekanisme yang
melakukan amandemen, revisi, atau penambahan aturan baru.26
Drift, yaitu terjadi pengabaian terhadap peraturan lama dalam suatu rezim
dan melakukan perubahan yang kuat terhadap peraturan lama. Conversion,
yaitu terjadi perubahan peran dari peraturan lama rezim dan melakukan
perubahan terhadap peraturan lama rezim secara drastis.
Dinamika yang terjadi di dalam Rezim Schengen membuat rezim ini harus
membuat atau mengamandemen peraturan. Hal tersebut dilakukan untuk
memperkuat serta menjaga stabilitas rezim. Meskipun pembuatan amandemen
suatu aturan menjadi tuntutan di dalam rezim, Negara Anggota tidak sertamerta menghapuskan peraturan lama dengan peraturan baru. Namun peraturan
baru tetap berjalan di samping peraturan lama, maka dengan demikian
26
Mahoney & Thelen, p. 9.
13
peraturan baru melapisi (layering) peraturan lama. Sehingga eksistensi dari
Rezim Schengen dapat di analisis dengan konsep mekanisme layering.
Berdasarkan penjelasan layering di atas, maka sesuai dengan adanya
perubahan di dalam Rezim Schengen yang menambah aturan baru dan adanya
amandemen terhadap peraturan lama. Pembuatan aturan baru yaitu seperti
penambahan peraturan Visa Information System (VIS), Eurodac dan
mengamandamen peraturan lama Schengen Information System (SIS) menjadi
Schengen Information System II (SIS II). Semua peraturan baru dan
amandemen peraturan lama ini tidak mengubah secara menyuluruh aturan lama
Rezim Schengen, yaitu kerjasama ekonomi yang menghilangkan pengawasan
perbatasan internal Negara Anggota. Perubahan-perubahan yang ada juga
ditujukan untuk menjaga stabilitas Rezim Schengen agar semakin kuat dan
anggota-anggota rezim semakin memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.
5. Hipotesa
“Strategi Rezim Schangen dapat bertahan hingga saat ini adalah dengan
mekanisme layering, yaitu melapisi regulasi lama dengan regulasi baru”
Dengan strategi layering tersebut, maka aktor-aktor di dalam Rezim Schengen
tidak perlu mengganti aturan terdahulu dengan aturan baru karena pasti akan timbul
resistensi dari aktor-aktor lain. Demi keberlangsungan Rezim Schengen maka para
aktor cukup menambahkan aturan baru disamping aturan lama (layering) sebagai
solusi untuk menjaga stabilitas rezim.
6. Batasan Penelitian
Penelitian ini membatasi ruang lingkup penulisan pada regulasi yang
ditambahkan setelah disepakatinya Perjanjian Schengen pada tahun 1985.
Penelitian
membahas
mengenai
regulasi
inti
yang
ditambahkan
dan
diamandemenkan dalam Rezim Schengen yaitu SIS, VIS, dan Eurodac. Tiga
regulasi ini yang kemudian menjadi fokus peneliti untuk menjelaskan bertahannya
Rezim Schengen hingga saat ini.
14
7. Metode Penelitian
Tesis ini merupakan penelitian yang bersifat eksplanasi. Kerangka pemikiran
tulisan ini memakai penjelasan konseptual yang digunakan sebagai alat untuk
menganalisis penelitian ini. Tesis ini memiliki fokus analisis pada Rezim Schengen
yang masih dapat bertahan hingga saat ini.
Konsep layering dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan fungsi dan
eksistensi Rezim Schengen dalam menghadapi perkembangan berbagai masalah.
Konsep layering dalam Rezim Schengen terefleksi pada pembuatan dan
amandemen peraturan. Adapun peraturan yang ditambahkan setelah Rezim
Schengen dibentuk adalah VIS dan Eurodac. Sedangkan peraturan yang
diamandemen adalah SIS. Semua pembuatan dan amandemen peraturan tersebut
dimaksudkan untuk menjaga stabilitas Rezim Schengen agar dapat menjalankan
fungsinya dengan baik.
Sedangkan untuk metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini
adalah metode kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode yang menggunakan
data primer dan sekunder dari sumber analisis yang berasal dari buku, jurnal, tesis,
internet dan sumber lain yang berkaitan dengan penulisan tesis dan dapat
dipertanggungjawabkan.
8. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai
berikut:
BAB I EKSISTENSI DAN TANTANGAN DI DALAM REZIM SCHENGEN
Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah dari penelitian yang
penulis angkat, yaitu mengenai eksistensi Rezim Schengen dapat bertahan hingga
saat ini. Selain itu, di dalam bab ini penulis membahas latar belakang masalah,
pertanyaan penelitian, kerangka konseptual, hipotesis, batasan penelitian,
metodologi penelitian, dan isi (sistematika penulisan setiap bab menjelaskan
analisis yang lebih dalam).
15
BAB
II
KERJASAMA
AWAL
INTEGRASI
EROPA
DAN
TERBENTUKNYA REZIM SCHENGEN
Bab ini menguraikan permulaan kerjasama integrasi Eropa dan sejarah Rezim
Schengen, proses pembentukan yang memakan waktu cukup lama untuk kemudian
regulasi rezim dapat dijalankan. Selain penjabaran sejarah dan proses pembentukan
rezim Schengen, bab ini juga menjabarkan implementasi rezim di Uni Eropa.
BAB III ANALISIS PERMASALAHAN YANG DIHADAPI REZIM
SCHENGEN
Bab ini memaparkan analisis kompleksitas isu yang semakin berkembang
dalam wilayah Rezim Schengen. Banyaknya anggota dan masalah yang kompleks
dalam Rezim Schengen, membuat rezim memiliki kerawanan atas eksistensi.
Meskipun demikian, Rezim Schengen masih dapat bertahan hingga saat ini.
BAB IV MENGATASI TANTANGAN REZIM SCHENGEN
Bab ini menjelaskan strategi yang digunakan dalam menghadapi isu yang
semakin kompleks. Perkembangan isu tersebut memberikan celah untuk dibuatnya
suatu perubahan atau tambahan aturan baru di dalam Rezim Schengen. Penambahan
aturan baru dan amandemen dibuat agar rezim dapat bertahan dan stabil dalam
menghadapi setiap isu-isu yang sedang berkembang.
BAB V KESIMPULAN
Bab ini memaparkan jawaban dari rumusan masalah dalam penelitian ini serta
sekaligus menjadi kesimpulan dalam tesis ini.
16
Download