BAB III SISTEM HUKUM PERATURAN PERUNDANG

advertisement
BAB III
SISTEM HUKUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA
A. Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia
Hans Kelsenmengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum
(Stufentheorie), yang artinya bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang
lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi,
norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat
ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar
(Grundnorm). Teori tersebut kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky, yang
merupakan salah seorang murid Hans Kelsen. 35
Hans Nawiasky mengemukakan teori jenjang norma dalam suatu negara
(die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen). Hans Nawiasky berpendapat
bahwa selain norma yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum
dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok sebagaimana dipisahkan dalam
4 (empat) kelompok besar berikut ini: 36
a. Kelompok I (Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental Negara),
merupakan norma dasar bagi pembentukan konstitusi dan undang-undang
dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Ia
terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.
35
Maria Farida indrati, Ilmu Perundang-Undangan, 2007, Kanisius, Yogyakarta, hal. .41
Ibid., hal.41-42
36
38
Universitas Sumatera Utara
39
b. Kelompok II (Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar Negara atau Aturan
Pokok Negara), merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan
merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga
masih merupakan norma hukum tunggal.
c. Kelompok III (Formell Gesetz atau Undang-UndangFormal), merupakan
norma hukum yang lebih konkret dan terinci, serta sudah dapat langsung
berlaku di dalam masyarakat. Norma-norma hukum dalam UndangUndang ini tidak saja norma hukum yang bersifat tunggal, tetapi normanorma hukum itu dapat merupakan norma hukum yang berpasangan,
sehingga terdapat norma hukum sekunder di samping norma hukum
primernya. Di dalam Undang-Undang sudah dapat dicantumkan normanorma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana atau sanksi pemaksa.
d. Kelompok IV (Verordnung dan Autonome Satzung atau Aturan
Pelaksana dan Aturan Otonom), merupakan peraturan-peraturan yang
terletak di bawah undang-undang yang berfungsi menyelenggarakan
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Peraturan Pelaksanaan
bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan Peraturan Otonom
bersumber dari kewenangan atribusi. Atribusi kewenangan merupakan
pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang
diberikan oleh Grondwet (Undang-Undang Dasar) atau wet (UndangUndang) kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan. Sementara
delegasi kewenangan merupakan pelimpahan kewenangan membentuk
peraturan
perundang-undangan
yang
dilakukan
oleh
peraturan
Universitas Sumatera Utara
40
perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundangundangan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas
maupun tidak.
Berdasarkan teori yang dikemukakan Jhon Austin yang merumuskan,
hukum sebagai perintah penguasa yang berdaulat.Hal tersebut menjelaskan bahwa
pembentukan peraturan perundang-undangan berada ditangan pemerintah yang
kemudian diamanatkan kepada lembaga legislatif dalam Undang-Undang Dasar
1945. 37
Menurut Bagir Manan, ada lima hal yang mendasari pembentukan undangundang yaitu: 38
1. Perintah Undang Undang Dasar 1945;
2. Perwujudan Kedaulatan Rakyat;
3. Memperbaharui undang-undang yang sudah terbentuk atau bagian dari
undang-undang yang ada;
4. Perintah undang-undang yang sudah terbentuk (lebih dulu ada);
5. Suatu perjanjian Internasional.
Munculnya beberapa permasalahan dalam proses pembentukan undangundang, maka melahirkan pemikiran tentang pembentukan undng-undang yang
efektif. Beberapa teori tentang pembentukan undang-undang (theories of
lawmaking), diantaranya ialah dikemukakan oleh Jan Michiel Otto dan kawankawan. Otto mengarahkan teori pembentukan undnag-undang kepada “ the socio-
37
Armen Yasir, Hukum Perundang-Undangan, Universitas Lampung, Bandar Lampung,
2007, hal.15
38
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar
Maju,Bandung, 2007,hal. 26
Universitas Sumatera Utara
41
legal concept of real legal certainty” yang terdiri dari 5 (lima) elemen pencapaian
kepastian hukum yang nyata, yaitu: 39
a. a lawmaker has laid down clear, accessible and realistic rules;
b. the administration follows these rules and induces citizens to do the same
c. the majority of people accept these rules, in principle, as just;
d. serious conflict are regularly brought before independent and impartial
judges who decide cases in accordance with those rules;
e. these decisions are actually complied with defining objectives of law and
development projects in these terms could help improving their
effectiveness.
Ilmu hukum (rechtswetenschap) membedakan antara Undang - Undang
dalam arti materiil (wet in materielezin) dan Undang - Undang dalam arti formal
(wet’in formelezin). Dari perbedaan ini kebanyakan dari masayarakat khususnya
masyarakat awam, bahkan orang yang bergerak dalam bidang hukum tidak
mengetahui, sehingga sering salah dalam mengartikan Undang - Undang itu
sendiri.
Dalam arti materiil, Undang-Undang adalah setiap keputusan tertulis yang
dikeluarkan pejabat berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau
mengikat secara umum. Dari pengertian ini masyarakat sering mengartikan bahwa
setiap aturan yang bersifat tertulis yang dibuat atau dikeluarkan pejabat yang
berwenang (Pemerintah) adalah Undang - Undang. Tetapi pada dasarnya Undang
- Undang dalam pengertian ini hanyalah Undang - Undang dalam arti materiil.
39
Jan Michiel Otto, dkk dikutip dalam Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Yang Baik, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 26
Universitas Sumatera Utara
42
Sedangkan Undang - Undang dalam arti formil, Undang-Undang adalah
keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekutif
dan legislatif yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara
umum.
Undang - Undang dalam arti formil ini dapat dikatakan mempunyai sifat
yang lebih formil karena cara pembentukannya yangberbeda dengan Peraturan
Perundang - Undangan lainnya. Dalam Peraturan Perundang - Undangan ini harus
adanya kerjasama antara lembaga kekuasaan eksekutif dan legislatif, yaitu antara
Presiden sebagai lembaga eksekutif dan DPR sebagai lembaga legislatif. Dari
kedua bentuk arti Peraturan Perundang - Undangan tersebut, dapat dikatakan
bahwa Peraturan Perundang - Undangan mencakup segala bentuk Peraturan
Perundang - Undangan yang dibuat pada tingkat pemerintahan pusat (negara)
maupun di tingkat pemerintahan daerah (provinsi dan kebupaten/kota).
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang - Undang Dasar 1945 dikatakan bahwa
Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang - Undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Sedangkan lebih lanjut dalam Pasal 20 disebutkan bahwa: 40
(1)Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang Undang
(2)Setiap Rancangan Undang - Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
40
Undang-Undang Dasar 1945, pasal 20
Universitas Sumatera Utara
43
(3)Jika rancangan Undang - Undang itu tidak mendapatkan persetujuan
bersama, Rancangan Undang - Undang itu tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu
(4)Presiden mengesahkan Rancangan Undang - Undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi Undang - Undang.
(5)Dalam hal ini Rancangan Undang - Undang yang telah disetujui tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak Rancangan
Undang - Undang tersebut disetujui, Rancangan UndangUndang tersebut
sah menjadi Undang - Undang dan wajib diundangkan.
Dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang - Undang Dasar 1945
dapat disimpulkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kekuasaan untuk
membentuk Undang - Undang, tetapi dalam setiap Rancangan Undang - Undang
tetap dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan
persetujuan
bersama.
Sedangkan
Presiden
berhak
untuk
mengajukan
RancanganUndang - Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dari kedua
ketentuan ini dapat dilihat bahwa telah adanya kerjasama dan koordinasi, antara
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat karena persetujuan atas suatu Rancangan
Undang - Undang berdasarkan atas persetujuan bersama.
Berbeda dengan sebelum adanya Amandemen Undang - Undang Dasar
1945 dimana dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), mengandung
pengertian bahwa kekuasaan membentuk Undang - Undang itu dipegang oleh
Presiden. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi untuk
Universitas Sumatera Utara
44
memberikan persetujuan terhadap setiap rancangan Undang-Undang yang
diajukan oleh Presiden.
Prof.Dr. Sudikno Mertokusumo membedakan pengertian Undang Undang dalam arti materiil dan Undang - Undang dalam arti formil. Undang Undang dalam arti materiil adalah Undang - Undang merupakan keputusan atau
ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya disebut Undang - Undang dan
mengikat setiap orang secara umum. Sedangkan Undang - Undang dalam arti
formil adalah keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya
disebut Undang-Undang. Jadi Undang - Undang dalam arti formil tidak lain
merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan “Undang - Undang”
karena secara pembentukannya. 41
Saldi Isra menjelaskan bahwa proses pembentukan undang-undang (law
making process) yang merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari: (1)
prakarsa pengajuan rancangan undang-undang; (2) pembahasan rancangan
undang-undang; (3) persetujuan rancangan undang-undang; (4) pengesahan
rancangan undang-undang menjadi undang-undang; dan (5) pengundangan dalam
Lembaran Negara.
Rangkaian kegiatan tersebut didasarkan kepada ketentuan Pasal 1 angka 1
UU No. 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan
41
Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum Suatu Pengantar, ed.ke-3 cet.ke-1, Liberty,
Yogyakarta, 2007,hal.41
Universitas Sumatera Utara
45
yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,
perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. 42
Bagir Manan berpendapat bahwa agar pembentukan undang-undang
menghasilkan suatu undang-undang yang tangguh dan berkualitas dapat
digunakan 3 (tiga) landasan dalam menyusun undang-undang, yaitu: Pertama,
landasan yuridis ( juridische gelding); kedua, landasan sosiologis ( sociologische
gelding); dan ketiga, landasan filosofis. 43
Berbeda dengan pendapat yang diungkapkan Bagir Manan, Jimly
Asshiddiqie berpendapat bahwa landasan pembentukan undang-undang dilihat
dari sisi teknis pembentukan undang-undang tercermin dalam konsideran. Dalam
konsideran haruslah memuat norma hokum yang baik, yang menjadi landasan
keberlakuan bagi undang-undang tersebut, yaitu terdiri dari: 44
“Pertama, landasan filosofis undang-undang selalu mengandung normanorma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu masyarakat kearah
mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat bernegara hendak
diarahkan. Kedua, landasan sosiologis, bahwa setiap norma hukum yang
dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntunan
kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan
realitas kesadaran hukum masyarakat. Ketiga, landasan politis, bahwa
dalam konsideran harus pula tergambar adanya sistem rujukan
konstitusional menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber
politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang
bersangkutan. Keempat, landasan yuridis, dimana dalam perumusan setiap
undang-undang, landasan yuridis ini haruslah ditempatkan pada bagian
konsideran “mengingat.”. Kelima, landasan administratif, dimana dasar ini
bersifat “fakultatif” (sesuai kebutuhan), dalam pengertian tidak semua
undang-undang mencantumkan landasan ini.Dalam teknis pembentukan
undang-undang biasanya landasan dimasukkan dalam konsideran
42
Jimly Asshiddiqie,Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta,2006,hal. 41
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Rajawali Pers, Jakarta, 2010,hal. 29
44
Jimly Asshiddiqie, Op.Cit,hal.240
43
Universitas Sumatera Utara
46
“memerhatikan.’Landasan ini bersifat pencantuman rujukan dalam hal
adanya perintah untuk mengatur secara administratif.”
Berdasarkan paparan diatas, jka kelima landasan tersebut terpenuhi dalam
setiap proses pembentukan undang-undnag maka menurut Yuliandri undangundang yang dihasilkan menjadi undang-undang yang baik, berkualitas dan
berkelanjutan.Pembentukan
peraturan
perundang-undangan
haruslah
memperhatikan aspek atau kaidah-kaidah pembentukannya, yaitu: 45
a. Landasan Filosofis
yaitu dasar filsafat atau pandangan atau ide yang menjadi dasar cita-cita
sewaktu menuangkan hasrat dan kebijakan kedalam suatu rencana atau
draft peraturan perundang-undangan.
b. Landasan Sosiologis
Suatu peraturan perundang-undangan agar ditaati masyarakat, harus
dibuat dan dapat dipahami oleh masyarakat sesuai dengan kenyataan
hidup masyarakat yang bersangkutan atau kata lain hukum yang dibuat
oleh negara harus sesuai dengan kebiasaan dan kebutuhan masyarakat.
c. Landasan Politis
Merupakan garis kebijakan politik yang menjadi dasar lanjutannya bagi
kebijaksanaan-kebijaksanaan
dan
pengarahan
ketatalaksanaan
pemerintah negara.
45
Armen Yasir, Hukum Perundang-Undangan, Universitas Lampung, Bandar Lampung,
2007,hal. 57
Universitas Sumatera Utara
47
d. Landasan Yuridis
Landasan yuridis di dalam dasar pertimbangan berkaitan dengan
pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
apabila ia berkaitan langsung dengan substansi peraturan atau menjadi
dasar peraturan perundang-undangan terebut yang dicantumkan dalam
dasar hukum “mengingat”.
B. Asas-Asas Peraturan Perundang-undangan
Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir,
berpendapat dan bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan
berati dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan
perundang-undangan. Pandangan kata asas adalah prinisip yang berarti kebenaran
yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan bertindak.Dalam
menyusun peraturan perundang-undangan banyak para ahli yang mengemukakan
pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, pada dasarnya beragam pendapat itu
mengarah pada substansi yang sama. 46
Pembahasan asas peraturan perundang-undangan berkaitan erat dengan
sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang cenderung menganut pada civil law
sebagai akibat dari sikap represif penjajahan Belanda yang pada dasarnya juga
menganut civil law. Secara garis besar, sistem hukum dibagi dua macam yaitu
sistem Eropa Kontinental yang berkembang di Benura Eropa kecuali wilayah
Inggris dan Anglo Saxon yang berkembang di wilayah Inggris. Dalam sistem ini
hukum lebih banyak dibentuk melalui undang-undang bahkan ada kecenderungan
46
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Peraturan perundang-undangan dan
Yurisprudensi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal.11
Universitas Sumatera Utara
48
untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi atau sekurang-kurangnya dilakukan
kompilasi. 47
Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir,
berpendapat dan bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan
berarti dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan
perundang-undangan.
Padanan
kebenaranyang menjadi
bertindak.Pemahaman
pokok
terhadap
kata
asas
adalah
prinisip
dasar dalam
berpikir,
asas
pendekatan
dalam
yang
berarti
berpendapat
ilmu
dan
hukum
merupakanlandasan utama yang menjadi dasar atau acuan bagi lahirnya
suatuaturan.Pemahaman terhadap asas hukum perlu sebagai tuntutan etis
dalammendalami
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.Asas
hukummengandung tuntutan etis, dan dapat dikatakan melalui asas hukum,
peraturanhukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis. Asas
hukum merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan prinsip hukum yang
masih bersifat abstrak. Dapat pula dikatakan bahwa asas dalam hukum merupakan
dasar yang melatarbelakangi suatu peraturan yang bersifat konkrit dan bagaimana
hukum itu dapat dilaksanakan. 48
Asas hukum adalah pikiran dasar yang bersifat umum dan abstrak. Asas
hukum terdapat dalam setiap sistem hukum dan menjelma dalam setiap hukum
positif.Asas hukum merupakan unsur penting dan pokok dari peraturan
hukum.Pembentukanhukum praktis sedapat mungkin berorientasi pada asas-asas
47
Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perndang-undangan Indonesia,Mandar Madju,
Bandung, 1998, hal. 30
48
Fence M. Wantu dkk, Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata, Reviva
Cendekia,Jakarta:, 2002, hal. 13
Universitas Sumatera Utara
49
hukum.Asas hukum menjadi dasar-dasar atau petunjuk arah dalampembentukan
hukum positif.Dalam pandangan beberapa ahli, asas mempunyai arti yang
berbeda-beda.Asas adalah sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau
berpendapat, dan asas dapat juga berarti merupakan hukum dasar. 49
The Liang Gie berpendapat bahwa asas adalah suatu dalil umum yang
dinyatakan
dalam
istilah
umum
tanpa
menyarankan
cara-cara
khusus
mengenaipelaksanaannya, yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk
menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu. 50
Satjipto Rahardjo menyebutkan asas hukum ini merupakan jantung dari
ilmu hukum. Kita menyebutkan demikian karena pertama, ia merupakanlandasan
yangpaling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum.
Batasan pengertian asas hukum dapat dilihat beberapa pendapat para ahli,
diantaranya sebagai berikut:
a. Bellefroid berpendapat bahwa asas hukum umum adalah norma
dasaryang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum
tidak dianggapberasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum
merupakanpengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. 51
b. van Eikema Hommes mengatakan bahwa asas hukum itutidak boleh
dianggap
sebagai
norma-norma
hukum
kongkrit,
akan
tetapi
perludipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi
49
Ibid., hal. 13
Ibid.,hal. 14
51
Ishaq, .Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 75
50
Universitas Sumatera Utara
50
hukumyang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi
pada asas-asashukum tersebut. 52
c. Scholten mengatakan asas hukum adalah kecenderungankecenderungan
yang
disyaratkan
oleh
pandangan
kesusilaan
kita
pada
hukum,merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya
sebagaipembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus
ada. 53
d. Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa asas hukum adalah bukan
merupakan peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran
dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dan peraturan
yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum
yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim
yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari
sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut. 54
Jadi, asas hukum bukanlah kaidah hukum yang konkrit (nyata), melainkan
merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat umum atau abstrak.
Umumnya asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk peraturan yang konkrit atau
pasal-pasal seperti misalnya asas reo, asas resjudicato pro veritate habetur,
asaslex posteriori derogat legi priori dan lain sebagainya. Akan tetapi, tidak
jarang juga asas hukum dituangkan dalam peraturan konkrit seperti misalnya asas
the presumption of innocence yang terdapat dalam Pasal 8 Undang Undang
52
Ibid
Fence M. Wantu dkk,Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata, Refika Aditama,
Jakarta, 2009,hal. 15
54
Ibid
53
Universitas Sumatera Utara
51
Nomor 14 Tahun 1970 dan asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege
poenali seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHPidana.
Dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya di
Indonesia ada beberapa asas-asas yang diperlukan, antara lain :
1. Asas Pancasila
Bangsa Indonesia telah menetapkan falsafah/asas dasar negarayaitu
Pancasila, yang artinya setiap tindakan/perbuatan baiktindakan pemerintah
maupun perbuatan rakyat harus sesuai denganajaran Pancasila.Dalam
bidang hukum Pancasila merupakan sumberhukum materiil, sehingga
setiap isi peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan
sila-sila yang terkandung dalamPancasila.UndangUndang Dasar 1945
merupakan
landasanKonstitusional
daripada
Negara
Republik
Indonesia.PerubahanUndangUndang Dasar 1945 mengandung empat
pokok-pokok pikiran yang merupakan cita-cita hukum Bangsa Indonesia
yangmendasari hukum dasar negara baik hukum yang tertulis danhukum
tidak tertulis. 55
Pokok-pokok pikiran yang merupakan pandangan hidup bangsa
adalah:
- Pokok Pikiran Pertama“Negara“. “Negara melindungi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesiadengan berdasar atas
persatuan dengan mewujudkan keadilansosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.” Dari penjelasan di atas menegaskan bahwa Negara
55
G.J. Wolhoff,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Timun Mas,
Jakarta, 1960,hal.9-10
Universitas Sumatera Utara
52
Republik Indonesia adalah negarakesatuan yang melindungi bangsa
Indonesia serta mewujudkankeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Dengan demikiannegara mengatasi dan menyelesaikan
masalah-masalah yang menimbulkan perpecahan dalam negara, dan
sebaiknyapemerintah
serta
setiap
warga
negara
wajib
mengutamakankepentingan negara di atas kepentingan golongan
ataupun perorangan.
- Pokok pikiran kedua adalah: “Negara hendak mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat”. Istilah keadilan sosialmerupakan masalah
yang selalu dibicarakan dan tidak pernahselesai, namun dalam
bernegara semua manusia Indonesia mempunyai hak dan kewajiban
yang sama dalam segala bidang terutama yang menyangkut hukum
positif. Penciptaan keadilansosial pada dasarnya bukan semata-mata
tanggung jawabnegara akan tetapi juga masyarakat, kelompok
masyarakatbahkan perseorangan.
- Pokok
pikiran
ketiga
adalah:
“Negara
yang
berkedaulatan
rakyat“pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam negara Indonesia
yang berdaulat adalah rakyat atau kedaulatan adaditangan rakyat.
Dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat ini dilakan dengan melalui
mekanisme musyawarah oleh wakil-wakil rakyat.
- Pokok pikiran keempat “Negara berdasarkan Ketuhanan YangMaha Esa
yang adil dan beradab”. Negara menjamin adanyakebebasan beragama
dan tetap memelihara kemanusian yang adil dan beradab
Universitas Sumatera Utara
53
2. Asas Pembagian Kekuasaan dalam Check and Balances
Pengetian pembagian kekuasaan adalah berbeda daripemisahan kekuasaan,
pemisahan kekuasaan berarti bahwakekuasaan negara itu terpisah-pisah
dalam beberapa bagianseperti dikemukakan oleh John Locke yaitu:
a. Kekuasaan Legislatif
b. Kekuasaan Eksekutif
c. Kekuasaan Federatif
Montesquieu mengemukakan bahwa setiap negara terdapattiga jenis
kekuasaan dengan istilah Trias Politicayaitu:
a. Eksekutif
b. Legislatif
c. Yudikatif
Dari ketiga kekuasaan itu masing-masing terpisah satu sama lainnya baik
mengenai orangnya mapun fungsinya. Pembagian kekuasaan berarti bahwa
kekuasaan itu dibagi-bagi dalambeberapa bagian, tidak dipisahkan yang dapat
memungkinkan fiksi hukum dalam pembuatan peraturan perundang-undangan,
adanya kerjasama antara bagian-bagian itu (Check and Balances). 56
Tujuan adanya pemisahan kekuasaan agar tindakan sewenangwenangdari
raja dapat dihindari dan kebebasan dan hak-hak rakyat dapat terjamin.UUD 1945
setelah perubahan membagi kekuasaan negaraatau membentuk lembaga-lembaga
kenegaraan yang mempunyaikedudukan sederajat serta fungsi dan wewenangnya
masing-masing yaitu:
56
G.J. Wolhoff,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Refika
Aditama,Jakarta, 2011, hal. 10
Universitas Sumatera Utara
54
a. Dewan Perwakilan Rakyat
b. Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Dewan Pimpinan Daerah
d. Badan Pemeriksa Keuangan
e. Presiden dan Wakil Presiden
f. Mahkamah Agung
g. Mahkamah Konstitusi
h. Komisi Yudisial
i. Dan Lembaga-lembaga lainnya yang kewenangannya diatur dalam
UUD
1945
dan
lembaga-lembaga
yang
pembentukandan
kewenangannya diatur dengan undang-undang
Dengan demikian UUD 1945 tidak menganut pemisahan kekuasaan negara
seperti dikemukakan oleh John Locke danMontesqieu seperti tersebut di atas,
akan tetapi UUD 1945membagi kekuasaan negara dalam lembaga-lembaga tinggi
negara dan mengatur pula hubungan timbal balik antaralembaga tinggi negara
tersebut.
Sedangkan disisi yanglain, teori perundang-undangan mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam pembuatanperaturan perundang-undangan,
Purnadi Purbacaraka dan Prof. Soerjono Soekanto, memperkenalkan asas hukum
dalam perundang-undangan yaknisebagai berikut: 57
1. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif);
57
PurnadiPurbacaraka dan Soerjono Soekanto,Peraturan perundang-undangan dan
Yurisprudensi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 1989, hal. 7-11
Universitas Sumatera Utara
55
2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih
tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (system hierarki);
3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis
derogat lex generalis);
4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori
derogate lex periori);
5. Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
6. Peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal
mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi
masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian
(asas welvaarstaat).
Berdasarkan asas-asas tersebut di atas, dapat dijelaskanbahwa dalam
penyusunan peraturan perundang-undanganharus mengedepankan minimal empat
asas dari asas-asas tersebut di atas.Keberadaan asas tidak berlaku surut (non
retroaktif) adalah untukmenjamin adanya kepastian hukum di masyarakat
mengenaiberlakunya suatu hukum. Walaupun keberadaan asas inidikecualikan
bagi
kasus-kasus
pelanggaran
HAM
(hak
asasi
manusia)
yang
berskalainternasional dengan beberapa alasan tertentu. Akan tetapi,alasannya tetap
dalam rangka untuk adanya jaminan kepastianhukum dan keadilan bagi
masyarakat secara keseluruhan. Asas hierarki menegaskan bahwa dalam tata
urutan peraturanperundang-undangan harus memperhatikan kordinasi antarasatu
Universitas Sumatera Utara
56
peraturan dengan peraturan yang lainnya. Antara peraturandi tingkat pusat dan
peraturan di tingkat daerah. Dengan adanyaasas ini menegaskan bahwa adanya
hierarki dalam sistemperundang-undangan dan bersifat subordinasi, tidak
hanyakoordinasi saja. Asas ini menegaskan bahwa adanya taat hukumdan taat
asas antara peraturan pusat dan peraturan daerah. 58
Asas lex posterior derogate lex priori menegaskan asashiearki dalam
system peraturan perundang-undangan.Keberadaan peraturan yang di atas
otomotis harus lebih ditaatikeberadaannya dan dijadikan rujukan oleh peraturan
yang dibawahnya sekaligus menjadi dasar atas pembentukan peraturanperundangundangan yang berada di bawahnya. Dengan asasini menegaskan bahwa peraturan
perundang-undangan adalahsuatu sistem yang bersifat sistematis menuju
terciptanya sistemhukum
yang berkeadilan.Asas specialis derogate legi
generalismenegaskan bahwahukum dibuat untuk menciptakan keadilan. Tujuan
hukumtiada lain tiada bukan adalah menuju keadilan. Keberadaanasas ini
menegaskan bahwa peraturan yang lebih khususmengecualikan peraturan yang
lebih umum. Bahwa ketika telahdibuat suatu peraturan yang lebih khusus dalam
suatu
bidangtertentu,
maka
serta
merta
keberadaan
peraturan
ini
akanmengecualikan peraturan yang sebelumnya yang masih bersifat umum.
Keberadaan asas ini kembali menegaskan tidak adanyapenafsiran yang berbeda
dengan tujuan diciptakannya peraturan itu sendiri, sehingga akan memberikan
rasa kepastian hukum ditengah masyarakat.
58
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007,hal. 56-57
Universitas Sumatera Utara
57
Berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas, pada dasarnya
menunjuk pada bagaimana sebuah peraturan perundang-undangan dibuat, hal ini
mengacu pada UU No. 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, baik dari segi materi-materi yang harus dimuat dalam
peraturan perundang-undangan, cara atau teknik pembuatannya, akurasi organ
pembentuk, dan lain-lain dengan tambahan dan penjelasan yang dideduksi dari
uraian para ahli, yaitu:
1. Asas-asas Hukum Umum
a. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif).
Peraturan perundang-undangan yang dibuat hanya berlaku pada
peristiwa peristiwa hukum yang terjadi setelah peraturan perundangundangan itu lahir. Namun demikian, mengabaikan asas ini
dimungkinkan terjadi dalam rangka untuk memenuhi keadilan
masyarakat.
b. Asas
kepatuhan
pada
hirarkhi
(lex
superior
derogat
lex
inferior).Peraturan perundang-undangan yang ada di jenjang yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berada pada jenjang lebih tinggi. Dan seterusnya
sesuai dengan hierarki norma dan peraturan perundang-undangan.
c. Peraturan
perundang-undangan
yang
bersifat
khusus
menyampingkanperaturan perundang-undangan yang bersifat umum
(lex specialis derogat lex generalis);
Universitas Sumatera Utara
58
d. Peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
belakangan
membatalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu
(lex posteriori derogate lex periori); dalam setiap peraturan
perundang-undangan biasanya terdapat klausul yang menegaskan
keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut dan menyatakan
peraturan perundangundangan sejenis yang sebelumnya digunakan,
kecuali terhadap pengaturan yang tidak bertentangan.
2. Asas Material/ Prinsip-prinsip Substantif
Secara umum, prinsip-prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam menilai
substansi/ materi muatan peraturan perundang-undangan adalah:
a. Nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dan keadilan gender yang sudah
tercantum di dalam konstitusi;
b. Jaminan integritas hukum nasional; dan
c. Peran negara versus masyarakat dalam negara demokrasi.
Ketiga prinsip dasar itu jika diturunkan secara lebih rinci adalah sebagai
berikut:
a. Pengayoman; memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan
ketenteraman masyarakat.
b. Kemanusiaan; memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap
hakhak asasi manusia serta harkat dan martabat.
c. Kebangsaan; mencerminkan watak bangsa Indonesia yang pluralistik.
d. Bhinneka Tunggal Ika; memperhatikan keragaman penduduk, agama,
suku, golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya.
Universitas Sumatera Utara
59
e. Keadilan; memuat misi keadilan.
f. Kesamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan; memberikan
akses dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
g. Ketertiban dan kepastian hukum; menciptakan ketertiban melalui
jaminan hukum.
h. Keseimbangan, keseresaian, dan keselarasan; menyeimbangkan antara
kepentingan individu dan masyarakat, serta kepentingan bangsa dan
negara.
i. Keadilan dan kesetaraan gender; memuat substansi yang memberikan
keadilan dan kesetaraan gender dan mengandung pengaturan
mengenai tindakan-tindakan khusus bagi pemajuan dan pemenuhan
hak perempuan.
j. Antidiskriminasi; tidak mengandung muatan pembedaan (baik
langsung maupun tidak langsung), berdasarkan jenis kelamin, warna
kulit, suku, agama, dan identitas sosial lainnya.
k. Kejelasan tujuan; mengandung tujuan yang jelas yang hendak dicapai,
akurasi pemecahan masalah.
l. Ketepatan
kelembagaan
pembentuk
Perda;
jenis
peraturan
perundangundangan harus dibuat oleh lembaga yang memiliki
kewenangan.
m. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan memuat substansi yang sesuai berdasarkan
kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
60
n. Dapat dilaksanakan; memuat aturan yang efektif secara filosofis,
yuridis, dan sosiologis, sehingga dapat dilaksanakan.
o. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; peraturan perundang-undangan
harus memuat aturan yang menjawab kebutuhan masyarakat,
memberikan daya guna dan hasil guna.
p. Kejelasan rumusan; bahasa, terminologi, sistematika, yang mudah
dimengerti dan tidak multitafsir.
q. Rumusan yang komprehensif; muatan Perda harus dibuat secara
holistik dan tidak parsial.
r. Universal dan visioner; muatan peraturan perundang-undangan
disusun untuk menjawab persoalan umum dan menjangkau masa
depan (futuristik), tidak hanya dibuat untuk mengatasi suatu peristiwa
tertentu.
s. Fair trial (peradilan yang fair dan adil); muatan tentang pelaksanaan
peraturan
perundang-undangan
harus
menyediakan
mekanisme
penegakan hukum yang fair.
t. Membuka kemungkinan koreksi dan evaluasi; setiap peraturan
perundang-undangan harus memuat klausul yang memungkinkan
peninjauan kembali bagi koreksi dan evaluasi untuk perbaikan.
C. Hierarki Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia
Tata urutan atau hierarki peraturan perundang-undangan dalam suatu tata
hukum itu oleh Hans Kelsen disebut hierarchi of norm (strufenbau des recht).
Setiap kaidah hukum merupakan suatu susunan daripada kaidah-kaidah. Dalam
Universitas Sumatera Utara
61
stufentheorie-nya Hans Kelsen mengemukakan bahwa dipuncak “stufenbau“
terdapat kaidah dasar dari suatu tata hukum nasional yang merupakan suatu
kaidah
fundamental.
Kaidah
dasar
tersebut
disebut
“grundnorm”atau
“usprungnorm”. Grundnorm merupakan asas-asas hukum yang bersifat abstrak,
bersifat umum, atau hipotesis. Menurut Kelsen, Grundnorm pada umumnya
adalah meta juridisch, bukan produk hukum (buatan) badan pembuat undangundang (de wetgeving), bukan bagian dari peraturan perundang-undangan
(algemene venbindende voorshrifften), namun merupakan sumber dari semua
sumber (the source of the source) dari tatanan peraturan perundang-undangan
yang berada dibawahnya. 59
a. Hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang
No. 10 Tahun 2004).
Setelah selesainya Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Tahun
1945 dan ditetapkannya Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat
Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan 2002, maka Dewan Perwakilan
Rakyat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Tata Cara Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Setelah melalui proses pembahasan, rancangan
undang-undang tersebut kemudian disahkan dan diundangkan menjadi undangundang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
yang dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 November 2004. 60
59
Ni’matul Huda dan R. Nazriyah,Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan,
Nusa Media, Bandung, 2011, hal.25
60
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan 1, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta,1998, hal. 97
Universitas Sumatera Utara
62
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan pula tentang jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7, yang dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi bersama Gubernur;
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan
desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
pembuatan
peraturan
desa/peraturan yang setingkat diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota
yang bersangkutan
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Universitas Sumatera Utara
63
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan
hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 61
b. Hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 7
ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011.
Ditetapkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,
sebagai berikut:
1. Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketatapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
4. Peraturan pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 bahwa kekuatan
hukum setiap jenis peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya.
Dalam penjelasan ayat (2) dinyatakan lebih lanjut, yang dimaksud dengan
“hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undanganyang
didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Jenis Peraturan Perundang-undangan tidak terbatas pada yang dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) saja, tetapi mencakup juga peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR, Dewan Perwakilan Daerah
61
Ibid, hal. 97
Universitas Sumatera Utara
64
(DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), Bank Indonesia (BI), Menteri, badan,
lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU atau Pemerintah
atas perintah UU, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Provinsi, Gubernur,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat (ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011).
Peraturan perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan
(ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011). 62
62
Aziz Syamsuddin, Proses dan Tekhnik Penyusunan Undang-undang, Sinar Grafika,
Jakarta, 2012,hal. 6-7
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
KEDUDUKAN PERATURAN DESA DALAM SISTEM HUKUM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lahirnya Peraturan Desa
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan pengertian desa
sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari defenisi tersebut,
sebetulnya desa merupakan bagian penting bagi keberadaan bangsa Indonesia.
Penting karena desa merupakan satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan
keragaman Indonesia. Selama ini terbukti keragaman tersebut telah menjadi
kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan demikian penguatan
desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkan dari pembangunan
bangsa ini secara menyeluruh.
Memang hampir semua kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan
pembangunan desa mengedepankan sederet tujuan mulia, seperti mengentaskan
rakyat miskin, mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan dan taraf
hidup masyarakat, memberikan layanan sosial desa, hingga memperdayakan
masyarakat dan membuat pemerintahan desa lebih modern. Sayangnya sederet
tujuan tersebut mandek diatas kertas. Karena pada kenyataannya desa sekedar
dijadikan obyek pembangunan, yang keuntungannya diambil oleh segelintir orang
yang melaksanakan pembangunan di desa tersebut, bisa elite kabupaten, provinsi,
65
Universitas Sumatera Utara
66
bahkan pusat. Para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta dengan
segala pemahamannya tentang kondisi tanah air Indonesia yang terdiri beribu-ribu
pulau dan suku bangsa dengan bijak menempatkan kondisi desa sebagai unsur
pemerintah terdepan.
Struktur pemerintahan sedemikian rupa memiliki semangat untuk
menjadikan desa sebagai pilar utama pembangunan bangsa, logikanya bila sekitar
80.000 desa di bumi pertiwi ini maju, mandiri, sejahtera dan demokratis maka
menjelmalah Negara Kesatuan Indonesia menjadi bangsa yang besar dan
terhormat dalam percaturan bangsa-bangsa di dunia.
Lain yang diharap lain pula kenyataannya, dengan pola sentralistik yang
dikembangkan di masa lalu telah menempatkan desa menjadi “pelengkap
penderita“ yang tidak berdaya segalanya ditentukan dari atas bahkansegala potensi
yang dimilikinya cenderung lebih banyak menjadi “upeti“ pada pemerintah
diatasnya. Desa tetap miskin bodoh dan para pejabat diatasnya yang semakin
rakus mengeksploitasi desa.
Setelah berjalan lama mulai tumbuh akan kesadaran akan kekeliruan
tersebut terutama setelah terbukti bahwa pola sentralistik hanya menghasilkan
koruptor-koruptor dan kesenjangan sosial yang tajam antara pusat, daerah dan
desa. Reformasi pola ini dirombak total dimana pola desentralisasi yang
ditinggalkan akan dipacu kembali oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang telah
diamandemen, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian terakhir diubah menjadi
Universitas Sumatera Utara
67
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang
semangatnya lebih berpihak pada desentralisasi dan demokratisasi.
Kesulitan berhimpun dalam rangka membangun posisi tawar bagi
pemerintahan desa telah punah. Selama ini, kebijakan pembangunan di Indonesia
terutama pembangunan desa selalu bersifat top down dan sectoral dalam
perencanaan serta implementasinya tidak terintegrasi, hal ini dapat dilihat dari
program
pemerintah
pusat
(setiap
departemen)
yang bersifat
sectoral.
Perencanaan disusun tanpa melibatkan sektor yang lain serta pemerintah daerah,
hal lain yang menjadi permasalahan adalah tidak dicermatinya persoalan
mendasar yang terjadi di daerah, sehingga formulasi strategi dan program menjadi
tidak tepat.
Berkaitan dengan kemiskinan, sebagaimana terinformasikan dalam data
statistik, ternyata sebagian besar masyarakat miskin berada di desa, oleh karena
itu, pembangunan sudah sewajarnya difokuskan di desa sebagai upaya mengatasi
kemiskinan, Pembangunan selama ini, lebih banyak di arahkan di kota, hal ini
menyebabkan aktivitas perekonomian, berpusat di kota, hal inilah yang
menyebabkan terjadinya migrasi dari desa ke kota. Masyarakat desa dengan
segala keterbatasan pindah ke kota mengadu nasib dan sebagian besar dari mereka
menjadi persoalan besar di kota.
Disisi lain, kondisi di desa tidak tersentuh pembangunan secara utuh,
infrastruktur dasar tidak terpenuhi, aktivitas ekonomi sangat rendah, peluang
usaha juga rendah, sarana pendidikan terbatas, sebagian besar baru terpenuhi
untuk sekolah dasar saja. Kondisi ini menyebabkan tidak ada pilihan lain bagi
Universitas Sumatera Utara
68
masyarakat desa untuk merubah nasibnya, yaitu dengan merantau ke kota. Pada
kenyataannya, seluruh potensi sumber daya alam, sebagai raw material aktivitas
penunjang perekonomian bisa dilaksanakan tanpa ada dukungan bahan baku yang
diproduksi di desa. Kondisi ini yang harus segera diselesaikan melalui strategi
pembangunan desa yang tepat dan teritegrasi. Fakta lain memperlihatkan
ekploitasi sumber daya alam di desa secara besar besaran, dengan tidak
mencermati daya dukung lingkungan serta tidak melibatkan masyarakat setempat,
dengan alasan kemampuan rendah dari masyarakat setempat, menyebabkan
kerusakan lingkungan, baik fisik maupun sosial.
Terkait dengan pembangunan desa (rural development), secara tradisional
bahwa pembangunan desa mempunyai tujuan untuk pertumbuhan sektor
pertanian, dan integrasi nasional, yaitu membawa seluruh penduduk suatu negara
ke dalam pola utama kehidupan yang sesuai, serta menciptakan keadilan ekonomi
berupa bagaimana pendapatan itu didistribusikan kepada seluruh penduduk.
Pembangunan desa diarahkan kepada bagaimana mengubah sumber daya alam
dan sumber daya manusia suatu wilayah atau negara, sehingga berguna dalam
produksi barang dan melaksanakan pertumbuhan ekonomi, modernisasi dan
perbaikan dalam tingkat produksi barang (materi) dan konsumsi.
Dengan demikian, pembangunan desa diarahkan untuk menghilangkan atau
mengurangi berbagai hambatan dalam kehidupan sosial ekonomi, seperti kurang
pengetahuan dan keterampilan, kurang kesempatan kerja, dan sebagainya. Akibat
berbagai hambatan tersebut, penduduk wilayah pedesaan umumnya miskin.
Sasaran dari program pembangunan pedesaan adalah meningkatkan kehidupan
Universitas Sumatera Utara
69
sosial dan kehidupan ekonomi masyarakat desa, sehingga mereka memperoleh
tingkat kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan material dan spiritual
Berdasar uraian di atas, pembangunan desa secara konkret harus
memperhatikan berbagai faktor, diantaranya adalah terkait dengan pembangunan
ekonomi, pembanguna atau pelayanan pendidikan, pengembangan kapasitas
pemerintahan dan penyediaan bernagai infrastruktur desa. semua faktor tersebut
diperlukan guna mengimplementasikan dan mengintegrasikan pembangunan desa
ke dalam suatu rencana yang terstruktur dalam desain tata ruang. Disisi lain, baik
dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), Musyawarah
Perenacanaan
Pembangunan
Daerah
(Musrenbangda),
dan
Musyawarah
Perencanaan Pembanguan Kecamatan (Musrenbangcam), dimana ajang tersebut
sebagai ajang perencanaan pembangunan daerah, selama ini dirasakan tidak
optimal dan hanya bersifat formalitas semata, karena terjadi tarik menarik
kepentingan antara elite di daerah,
Dengan demikian, ajang musrenbang/musrenbangda/musrenbangcam pun
tidak maksimal untuk menyerap aspirasi masyarakat dalam pembangunan karena
masing masing(elite birokrasi) bertahan dengan pendirian atau keputusan
keputusan yang telah dibuat sebelumnya dalam hal penentuan program
pembangunan daerah. Di samping itu, hasil musrenbang dalam kenyataannya
tidak pernah diaplikasikan dan diimplementasikan dilapangan secara utuh.
Minimnya peran pemerintah Provinsi terkait dengan pembangunan desa,
kondisi tersebut kemudian diperparah dengan banyaknya kebijakan pemerintah
pusat dalam pembangunan desa yang selalu bersifat top down, dimana pemerintah
Universitas Sumatera Utara
70
pusat selalu memaksakan program programnya dalam pembangunan desa bagi
daerah.
Kebijakan Pemerintah dalam pembangunan desa juga bersifat parsial atau
sektoral, sehingga keterkaitan dan keterpaduan antar program tidak terjadi.
Dengan kata lain, antar departemen terkait tidak ada sinergitas fungsi dan program
terkait dengan kemiskinan di desa, selain itu, kebijakan pemerintah dalam
pembangunan desa selam ini tidak akomodatif terhadap ke khasan daerah dan
cenderung diseragamkan, kebijakan tidak fokus pada pengentasan atau
penanggulangan kemiskinan, dimana kegiatan apa yang akan dilakukan tidak
berdasarkan pada grand design pembangunan desa (misalnya 5 tahunan).
Kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama ini dinilai tidak
berdasarkan pada potensi desa yang ada, tidak berdasarkan pada desain tata ruang
(yang telah dibuat), hasil musrenbang tidak implementatif, tidak ada perencanaan
yang komprehensif terhadap pembangunan desa, mekanisme perencanaan dan
pembiayaan desa tidak optimal, peran Stakeholders terutama pemerintah desa
tidak optimal. Selain itu, kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama
ini juga dinilai tidak memperhatikan kondisi faktual infrastruktur yang ada di
desa, ketersediaan prasarana ekonomi dan aktivitas ekonomi, pelayanan
pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja sehingga diversifikasi usaha di desa
sangat terbatas, lebih lanjut, desa menjadi tidak mandiri dan hanya
menggantungkan usaha atau pencaharian nafkah kepada sektor pertanian semata.
Akibat program program pemerintah yang tidak berdasarkan pada potensi dan
Universitas Sumatera Utara
71
kekhasan daerah tersebut telah menyebabkan banyak potensi yang berada di desa
menjadi tidak berkembang.
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa (selanjutnya disebut
sebagai UU Desa) yang disahkan dan diundangkan pada 15 Januari 2014 lalu lahir
melalui proses. Hampir semua fraksi di DPR dan Pemerintah dalam proses
pembahasan telah menyinggung kegagalan perundang-undangan lama dan
perlunya peraturan baru tentang Desa. Peraturan baru ini menjadi koreksi terhadap
kesalahan-kesalahan aturan lama sekaligus menjadi antisipasi untuk perubahan di
masa mendatang.
Rancangan UU Desa sebenarnya lahir dari proses rapat kerja Komisi II
DPR RI periode 2004-2009 dengan jajaran Kementerian Dalam Negeri. Rapat
kerja telah menyepakati UU No. 32 Tahun 2004 dipecah menjadi tiga UndangUndang, yaitu UU tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang Pemilihan Kepala
Daerah, dan UU tentang Desa. Untuk menindaklanjuti rapat kerja tersebut Menteri
Dalam Negeri menerbitkan Surat Keputusan No. 180.05-458 tanggal 1 September
2006 tentang Penyusunan Undang-Undang di Lingkungan Departemen Dalam
Negeri, termasuk di dalamnya Undang-Undang tentang Desa.
Pentingnya UU Desa disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
seperti tertuang dalam Keterangan Pemerintah tertanggal 2 April 2012 berikut ini:
“Undang-Undang tentang Desa bertujuan hendak mengangkat Desa pada
posisi subjek yang terhormat dalam ketatanegaraan Republik Indonesia.
Hal lain adalah bahwa pengaturan Desa akan menentukan format Desa
yang tepat sesuai dengan konteks keragaman lokal. Penguatan kemandirian
Universitas Sumatera Utara
72
Desa melalui Undang-Undang tentang Desa sebenarnya juga menempatkan
Desa sebagai subjek pemerintahan dan pembangunan yang betul-betul
berangkat dari bawah (bottom up)”.
Dalam proses pembahasan, Pemerintah dan DPR punya satu pandangan
bahwa aturan mengenai Desa dalam UU No. 32 Tahun 2004 sudah tidak
memadai. Fraksi Partai Golkar, seperti disampaikan Ibnu Munzir, menyampaikan
pandangan yang relevan mengenai urgensi kelahiran UU Desa tersendiri.
Pandangan Partai Golkar disampaikan pada 11 Desember 2013, yang pada intinya
menyebut tiga hal. Pertama, pengaturan tentang Desa dalam UU No. 32 Tahun
2004 terlalu umum sehingga dalam banyak hal pasal-pasal tentang Desa baru bisa
dijalankan setelah lahir PP atau Perda yang cenderung membuat implementasi
kewenangan ke Desa bergantung banyak kepada kecepatan Pemda. Kedua, UU
No. 32 Tahun 2014 belum secara jelas mengatur tata kewenangan antara
pemerintah, Pemda, dan Desa. Ketiga, Desain kelembagaan Pemerintahan Desa
belum sempurna sebagai visi dan kebijakan untuk kemandirian, demokrasi dan
kesejahteraan Desa.
Senada dengan Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Amanat Nasional
menyampaikan pandangan tentang pentingnya UU Desa, sebagaimana dibacakan
H. Totok Daryanto pada 11 Desember 2003, berikut :
“Undang-Undang tentang Desa sangat diperlukan untuk memberdayakan
masyarakat Desa dalam perspektif komprehensif yang bisa membuat Desa
mampu mengembangkan diri dengan segala potensi yang ada di dalamnya.
Universitas Sumatera Utara
73
Dalam konteks tersebut, Undang-Undang tentang Desa harus memberikan
legitimasi atau kewenangan bagi Desa untuk mengatur dirinya sendiri”.
Alasan ini tertuang dalam UU Desa, yang pada pokoknya menjelaskan
bahwa pengaturan selama ini belum cukup melindungi kepentingan masyarakat
desa. Peraturan tentang Desa menghadapi tantangan terbesarnya ketika
berhadapan dengan jumlah desa yang sangat banyak di Indonesia. Hukum sudah
tidak lagi mampu mengimbangi laju perkembangan utamanya berkaitan dengan
eksistensi desa termasuk masyarakat adat di dalamnya terhadap perkembangan
zaman sehingga menimbulkan kesenjangan sosial, pada akhirnya akan
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Pembentuk Undang-Undang Desa merasa perlu untuk mencantumkan poin
penting yang perlu dijelaskan selain dasar Pemikiran, asas pengaturan, dan materi
muatan. Tujuan ini sebenarnya berhubungan dengan pentingnya pengaturan Desa
dengan undang-undang tersendiri. Tujuan ini dilandasi Pemikiran pembentuk
undang-undang agar UU Desa diselaraskan dengan konstitusi, yaitu ‘penjabaran
lebih lanjut Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Ketika menyampaikan “pendapat mini” atas RUU Desa, Fraksi PPP secara
khusus juga menyinggung tujuan tersebut. Menurut Fraksi PPP ada lima tujuan
UU Desa, yaitu (i) pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap otonomi
asli yang bersumber dari hak asal usul sehingga Desa terdiri atas Desa dan Desa
adat; (ii) keinginan membentuk Pemerintahan Desa yang modern, yaitu
professional, efisien dan efektif, terbuka dan bertanggung jawab. Namun Desa
juga tetap memelihara nilai-nilai lokal sekaligus bisa mengikuti perkembangan
Universitas Sumatera Utara
74
zaman; (iii) adanya semangat meningkatkan pelayanan publik agar lebih
berkualitas untuk menjawab tuntutan karena masyarakat semakin cerdas; (iv)
mengakselarasi pembangunan untuk memajukan dan menyejahterakan masyarakat
agar Desa tidak ditinggalkan penduduknya; dan (v) pemberdayaan dan
peningkatan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pembangunan di
pedesaan.
Sedangkan dalam Penjelasan Umum UU Desa, tujuan pengaturan tentang Desa
adalah :
1. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada
dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya NKRI.
2. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
3. Melestarikan dan memajukan adat
B. Kedudukan
Peraturan
Desa
dalam Sistem Hukum Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia
Seiring dengan kemunculan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014,
kedudukan, fungsi, dan eksistensi Peraturan Desa sudah tentu harus disesuaikan
dengan pengaturan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Hal ini dikarenakan
memang terdapat beberapa perubahan substansi pengaturan terkait peraturan desa
di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Analisa terhadap perubahan pengaturan
di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dapat dimulai melalui Pasal 5 UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 yang kali ini dengan tegas menyatakan bahwa desa
Universitas Sumatera Utara
75
berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota. Melaui kejelasan kedudukan desa
yang berada di wilayah Kabupaten/Kota ini analisa terkait Peraturan Desa
didasarkan.
Selain kedudukan desa yang secara tersurat diatur, Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 juga mengatur secara lain terkait kewenangan desa. Pasal 18
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menyatakan “Kewenangan desa meliputi
kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,dan adat istiadat
Desa.” Di mana kewenangan tersebut sesuai dengan Pasal 19 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 meliputi:
a. Kewenangan berdasarkan hak asal usul;
c. Kewenangan lokal berskala Desa;
d. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
e. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut di dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
mengatur bahwa pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan
kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 19 huruf
a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa. Sementara Pasal 21 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 mengatur perihal pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan
Universitas Sumatera Utara
76
dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud di
dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa. Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 menjelaskan lebih lanjut bahwa penugasan dari Pemerintah
atau Pemerintah Daerah kepada Desa sebagaimana dimaksud Pasal 19 huruf c
meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa, di mana
penugasan tersebut disertai biaya.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa kewenangan mengatur Desa
hanya terdapat di dalam kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan
kewenangan lokal berskala desa. Dalam hal penugasan dari Pemerintah atau
Pemerintah Daerah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 hanya memberi
kewenangan Desa untuk mengurus. Pasal 69 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 menyatakan bahwa “Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa
setelah dibahas dan disepakati bersama dengan BPD.” Perlu dilihat kembali
pengaturan Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang
menyatakan bahwa,
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 Ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk denganUndang-Undang,
Universitas Sumatera Utara
77
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.”
Melihat pengaturan tersebut maka sudah jelas seturut dengan pengaturan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Peraturan Desa kembali berkedudukan
sebagai Peraturan Perundang - Undangan selain dari peraturan perundangundangan yang terdapat di dalam hierarki sesuai Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011. Melihat hubungan tersebut, Peraturan Desa pasca
disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 bukan lagi berkedudukan
semata sebagai penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi, melainkan telah berkedudukan sebagai peraturan perundangundangan yang diakui. Kemunculan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 secara
serta merta mengafirmasi pengaturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, Peraturan Desa merupakan
instrumen hukum penyelenggaraan Pemerintahan Desa di dalam melaksanakan
kewenangan Desa. Sehingga Peraturan Desa seturut Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 berfungsi untuk menyelenggarakan Pemerintahan Desa dalam hal
kewenangan desa mengatur pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul
dan kewenangan lokal berskala Desa. Pengaturan demikian dapat diartikan bahwa
Peraturan Desa memiliki fungsi sebagai instrumen penyelenggaraan otonomi
desa. Seperti yang telah dijelaskan di atas, kedudukan Desa adalah berada di
wilayah Kabupaten/Kota. Selain itu, perlu dicermati pengaturan Pasal 115 huruf b
dan e jo. Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang
Universitas Sumatera Utara
78
mengatur bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, yang dalam hal Peraturan Desa
berupa memberikan pedomanpenyusunan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala
Desa serta melakukan evaluasi dan pengawasan Peraturan Desa. Ketentuan ini
memperjelas bahwa fungsi Peraturan Desa tetap tidak berubah, yakni berfungsi
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Selain itu juga perlu dilihat bahwa melalui pengaturan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 terkait Peraturan Desa ini terlihat jelas bahwa tampuk
kekuasaan dan penyelenggaraan pemerintahan desa adalah berada di Kepala Desa.
Kepala Desalah badan yang selain melaksanakan peraturan perundang-undangan,
juga merupakan badan yang membentuk Peraturan Desa. Hal ini menegaskan
kedudukan dan fungsi BPD yang telah dibahas di bab sebelumnya. Sehingga jelas
adanya bahwa berjalannya demokratiasi di Desa pada umumnya dilaksanakan
melalui Kepala Desa, dengan BPD sebagai parlemen desa dan lembaga
demokratisasi
desa
menjadi
lembaga
yang
ikut
serta
melalui
fungsi
pengawasannya. Demokratisasi ini dilaksanakan dalam bingkai otonomi desa
yang sejatinya semakin kabur, di mana Pemerintahan Desa seturut UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 tidaklah dapat diselenggarakan secara otonom
sepenuhnya, melainkan tetap dalam sistem negara kesatuan Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004 Juncto Pasal 137 UU Nomor 23
Tahun 2014 diatur bahwa Peraturan Daerah yang di dalamnya termasuk
adalah Peraturan Desa dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan
peraturan perundang-undangan, dan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang sifatnya mengatur, juga harus memenuhi asas
materi muatan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 23 Tahun
2014 juncto Pasal 138 UU Nomor 23 Tahun 2014. Berkaitan dengan asasasas materi muatan tersebut, ada sisi lain yang harus dipahami oleh
pengemban kewenangan dalam membentuk Peraturan Desa. Pengemban
kewenangan harus memahami segala macam seluk beluk dan latar
belakang permasalahan dan muatan yang akan diatur oleh Peraturan Desa
tersebut.
2. Ditetapkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,
sebagai berikut:
1. Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketatapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
4. Peraturan pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
79
Universitas Sumatera Utara
80
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 bahwa kekuatan
hukum setiap jenis peraturan perundang-undangan sesuai dengan
hierarkinya. Dalam penjelasan ayat (2) dinyatakan lebih lanjut, yang
dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan
perundang-undanganyang
didasarkan
pada
asas
bahwa
peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Jenis Peraturan Perundang-undangan tidak terbatas pada yang dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) saja, tetapi mencakup juga peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR, Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah
Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial
(KY), Bank Indonesia (BI), Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat (ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun
2011).
3. Peraturan
Desa
merupakan
instrumen
hukum
penyelenggaraan
Pemerintahan Desa di dalam melaksanakan kewenangan Desa. Sehingga
Peraturan Desa seturut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 berfungsi
untuk menyelenggarakan Pemerintahan Desa dalam hal kewenangan desa
Universitas Sumatera Utara
81
mengatur pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan
kewenangan lokal berskala Desa. Pengaturan demikian dapat diartikan
bahwa
Peraturan
Desa
memiliki
fungsi
sebagai
instrumen
penyelenggaraan otonomi desa. Seperti yang telah dijelaskan di atas,
kedudukan Desa adalah berada di wilayah Kabupaten/Kota. Selain itu,
perlu dicermati pengaturan Pasal 115 huruf b dan e jo. Pasal 112 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang mengatur bahwa Pemerintah
Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, yang dalam hal Peraturan Desa berupa memberikan
pedomanpenyusunan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa serta
melakukan evaluasi dan pengawasan Peraturan Desa. Ketentuan ini
memperjelas bahwa fungsi Peraturan Desa tetap tidak berubah, yakni
berfungsi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu juga
perlu dilihat bahwa melalui pengaturan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 terkait Peraturan Desa ini terlihat jelas bahwa tampuk kekuasaan dan
penyelenggaraan pemerintahan desa adalah berada di Kepala Desa.
B. Saran
1. Dalam menjalankan peraturan desa para pemangku jabatan harus menjalin
komunikasi dengan baik tentang pengaturan desa agar terlaksananya
otonomi desa sesuai dengan yang diharapkandan berpegang pada prinsipprinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
2. Sistem perundang-undangan di Indonesia harusnya dilakukan sesuai
dengan kedudukannya masing-masing seperti yang sudah tertuang di
Universitas Sumatera Utara
82
dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan
Perundang-undangan agar setiap peraturan yang ada dapat terlaksana
sebagaimana mestinya dan mencegah terjadinya benturan didalam
pelaksaanaan setiap peraturan perundang-undangan
3. Desa dalam menjalankan sistem pemerintahannya agar diberikan
kebebasan karena pengaturan desa dan kedudukan peraturan desa untuk
menjalankan sistem pemerintahan sudah berdiri sendiri tanpa adanya
pengaruh dari peraturan lain karena desa sudah diberikan kewenangan
otonomi desa oleh pemerintah pusat.
Universitas Sumatera Utara
Download