pemikiran abu al-hasan al-asy`ari tentang asma` dan sifat allah

advertisement
PEMIKIRAN ABU AL-HASAN AL-ASY’ARI
TENTANG ASMA’ DAN SIFAT ALLAH
NASKAH PUBLIKASI
DiajukanKepada:
Program Studi Magister Pemikiran Islam UniversitasMuhammadiyah Surakarta
untukMemenuhi Salah SatuSyaratGunaMemperoleh
Gelar Magister Pemikiran Islam
Oleh:
IKMAL FAHAD
NIM : O 000080013
PROGRAM STUDI MAGISTER PEMIKIRAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
ABSTRAK
Penelitian ini mengangkat judul “Pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ
tentang AsmÉ’ dan ØifÉt Allah ”. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan
gambaran deskriptif yang lebih jelas tentang pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ
dan Asy‟ariyah tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah  serta apa yang melatarbelakangi
dan membedakan pemikiran keduanya.
Proses penelitian ini bersifat kualitatif yang dikembangkan dalam sebuah
metode penelitian ilmiah. Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif, analitis
kritis, dan perbandingan. Data-data yang diperoleh kemudian dideskripsikan serta
dianalisa dengan pendekatan kategorisasi dan perbandingan. Pendekatan
sosiologis dan historis digunakan untuk mengungkap hal-hal yang
melatarbelakangi pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dengan melihat sejarahnya.
Hasil penelitian yang dapat disimpulkan dari “Pemikiran Abu al-×asan alAsy‟arÊ tentang AsmÉ’ dan ØifÉt Allah ” adalah sebagai berikut: 1) Abu al×asan al-Asy‟arÊ mengimani dan menetapkan semua asmÉ’ Allah  sebagaimana
yang telah ditetapkan oleh Alquran dan sunah. Ia juga menolak pertentangan
dalam polemik tentang al-ismu (nama) dan musammÉ (yang dinamai), baginya alismu adalah untuk musammÉ, sedangkan keyakinan bahwa al-ismu adalah selain
musammÉ adalah kesesatan dalam beragama, sehingga perdebatan dalam masalah
ini adalah kebidahan. 2) Ia menetapkan semua ÎifÉt Allah  sebagaimana yang
telah ditetapkan oleh Alquran dan sunah serta memperlakukannya sesuai makna
lahirnya dengan tanpa melakukan takyÊf, tamtsÊl, ta’ÏÊl, dan ta’wÊl. Sehingga ia
menetapkan semua ÎifÉt żÉtiyah bagi Allah  seperti ÎifÉt ilmu, wajah, dua mata,
dua tangan, dan jari-jari. Ia juga menetapkan semua ÎifÉt fi’liyah bagi Allah 
seperti ÎifÉt al-qabÌah, al-istiwÉ’, al-ityÉn, al-majÊ’, dan al-nuzËl. Dalam
penetapannya terhadap ÎifÉt tersebut, ia menegaskan keharusan menetapkannya
dengan tanpa melakukan tamtsÊl dan takyÊf. 3) Asy‟ariyah berpendapat bahwa
asmÉ’ Allah  adalah qadÊm sebagaimana ÎifÉt-Nya, ia bukanlah makhluk dan ia
adalah zat-Nya sendiri, hanya saja penamaan (al-tasmiyyah) maka itu adalah
makhluk. 4) Asy‟ariyah berpendapat bahwa kewajiban pertama bagi setiap
mukalaf adalah pengenalan atas Allah  terkait dengan apa yang wajib
ditetapkan atas-Nya, apa yang mustahil, dan apa yang boleh dari ÎifÉt-Nya yang
berjumlah 20. 5) Asy‟ariyah menetapkan seluruh ÎifÉt Allah  melalui akal
sehingga mereka menafikan semua ÎifÉt khabariyah bagi Allah , baik yang
berupa ÎifÉt żÉtiyah maupun ÎifÉt fi’liyah, melainkan hanya tujuh ÎifÉt yang
mereka sebut dengan ÎifÉt ma’ÉnÊ. Selain dari tujuh ÎifÉt ma’ÉnÊ di atas, maka
harus ditakwilkan atau diserahkan kepada Allah  (tafwÊÌ).
Kesimpulan yang dihasilkan adalah adanya perbedaan antara pemikiran
akidah Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dan Asy‟ariyah, yang membawa implikasi pada
adanya perbedaan pemikiran dalam mengimani asmÉ’ dan ÎifÉt Allah . Ini
merupakan fakta yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian (diskrepansi) dalam
penisbatan Asy‟ariyah kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ.
Kata Kunci: Pemikiran, AsmÉ’ dan ØifÉt Allah , dan Asy‟ariyah
ABSTRACT
In this study the title "Thinking Abu al-×asan al-Asy'arÊ about asmÉ’ and
ÎifÉt Allah " is raised. The purpose of this research is to get a clearer of the
descriptive in thinking Abu al-×asan al-Asy'arÊ and Ash'arite about asmÉ’ and
ÎifÉt Allah . It can get distinguishes the background and thinking both in terms
of faith in general and specifically in asmÉ’ thing and Allah‟s ÎifÉt.
This is a qualitative research process is the research library (library
research) that developed in a scientific research method. The comparative
approach was used to compare the views of Abu al-×asan al-Asy'arÊ with other
views associated with the specified theme. The sociological and historical
approach also used to state the reasoning behind the Abu al-×asan al-Asy'arÊ by
looking at its history.
The results of this research can be inferred from the "Thought Abu al×asan al-Asy'arÊ" are as follows: 1) Abu al-×asan al-Asy'arÊ’s about asmÉ’ and
ÎifÉt Allah  faith and determine all asmÉ’ Allah  as established by the Qur'an
and the Sunnah. He also rejected the contention in the debate about al-ismu
(name) and musammÉ (named), her al-ismu (name) is to musammÉ (named), while
the belief that al-ismu (name) is besides musammÉ (named) is heresy in religion,
so that the debate on this issue is heresy. 2) He sets all ÎifÉt Allah  as established
by the Qur'an and Sunnah and also treat it in suitable with the original meaning
without doing takyÊf, tamtsÊl, ta’ÏÊl, and ta’wÊl. So he determine all ÎifÉt żÉtiyah for
Allah  like ÎifÉt science, face, two eyes, two hands, and fingers. He also set the
all ÎifÉt fi'liyah for Allah  like ÎifÉt al-qabÌah (grasping), al-istiwÉ', al-ityÉn, almajÊ', and al-nuzËl. In his decision about ÎifÉt, he asked the necessity to define
without tamtsÊl and takyÊf. 3) AsmÉ’ Ash'arite give an opinion that 'Allah  is
qadÊm ÎifÉt as his character, he is not a creature, and he is his own agent, only
naming (al-tasmiyyah) then it is a creature.it meant of the naming is asmÉ’ Allah
 itself. 4) Ash'arite opinion is the first obligation of every mukalaf is recognition
of Allah  (ma'rifatullah) related to what is required to set upon him, Allah 
what is impossible, and what is allowed of his ÎifÉt totaling 20. 5) So they
determine all set the whole ÎifÉt Ash'arite God through reason, thinking or logical
, either in the form ÎifÉt żÉtiyah and ÎifÉt khabariyah for Allah  and ÎifÉt
fi'liyah, but only seven ÎifÉt they called by ÎifÉt ma'ÉnÊ. Beside from the seven
ÎifÉt ma'ÉnÊ above, it should be deciphered (ditakwilkan) or submitted to Allah .
The conclude is there are a lot of difference between thinking creed Abu
al-×asan al-Asy'arÊ and Ash'arite thinking in directly the implications for
differences in faith asmÉ’ thinking 'and ÎifÉt Allah . In fact that indicates the
discrepancy in Ash'arite attribution to Abu al-×asan al-Asy'arÊ and Ash'arite‟s.
Keywords: Thought, AsmÉ’ and ØifÉt Allah 
‫ِب ِب ِب‬
‫ا َّرال ْس َم ِب َّرالِب ْس ِب‬
‫ْس‬
Sudah menjadi sunnatullÉh al-kauniyah terjadinya perselisihan (ikhtilÉf)
dan perpecahan (iftirÉq) ditengah kaum muslim sebagaimana terjadi di tengah
Bani Israil. Nabi  menegaskan hal ini dalam banyak sabdanya, di antaranya:
“Yahudi terpecah belah menjadi 71 atau 72 golongan, NaÎrani terpecah belah
menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah belah menjadi 73
golongan”. Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Dan sesungguhnya agama ini
akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 akan masuk Neraka dan yang satu akan
masuk Surga yaitu al-jamÉ’ah ”. Dalam riwayat TurmużÊ, disebutkan dengan
lafal: “Semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan yaitu yang berjalan
di atas jalan yang aku bersama para sahabatku berada diatasnya”.
Hanya saja tercerai berainya umat Islam belumlah terjadi di masa Nabi 
karena semua perselisihan yang terjadi mendapatkan penyelesaian melalui wahyu
yang ketika itu masih turun. Di masa ke-khilÉfah-an Abu bakar, „Umar, dan
„UtsmÉn , kaum muslim masih dalam satu persatuan dan pemahaman keislaman.
Hingga di masa akhir khalifah „UtsmÉn  dan awal ke-khilÉfah-an „AlÊ  mulai
bermunculanlah kebidahan dalam hal ibadah dan perselisihan dalam masalah
uÎËlu al-dÊn dan keimanan yang mengakibatkan mulai bermunculannya firqah
dalam Islam. Adalah firqah KhawÉrij kemudian firqah SyÊ‟ah dan diikuti oleh
firqah-firqah yang lain seperti Murji‟ah, Mu‟tazilah, Jahmiyah, Qadariyah,
Asy‟ariyah, MÉturÊdiyah, al-Nusuk (Tasawuf) dan lain-lain. Sehingga dari sini
semakin tajamlah perpecahan dan perselisihan di tengah umat Islam, mengingat
setiap firqah memiliki uÎËl yang mereka pertahankan. Hal ini merupakan bukti
kebenaran apa yang disabdakan oleh Nabi  di atas.
Secara lebih khusus, Nabi  telah menjelaskan jalan keluar dari
perselisihan yang terjadi di tengah umat sepeninggalnya. Beliau  bersabda:
“Sesungguhnya siapa saja yang hidup setelahku ia akan melihat perselisihan
yang sangat banyak, maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunahku
dan sunah para al-KhulafÉ' al-RÉsyidÊn yang mendapatkan petunjuk setelahku
dan gigitlah ia dengan gigi geraham”. Ibnu Abbas  juga meriwayatkan sabda
Nabi : “Aku telah meninggalkan ditengah-tengah kalian dua hal yang kalian
tidak akan pernah tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya:
kitab Allah  dan sunnahku”.
Dua hadis diatas menjelaskan bahwa perselisihan di tengah umat Islam
merupakan suatu keniscayaan dan jalan keluar darinya adalah dengan berpegang
teguh dengan sunah beliau  dan para sahabatnya.
Syaikh „Abdullah al-GhunaimÉn menjelaskan bahwa sebab perselisihan
dan perpecahan ditengah umat Islam disebabkan oleh dua sebab utama, yaitu:
Pertama, Sebab-sebab dari dalam umat Islam, di antaranya; 1) memperturutkan
hawa nafsu yang mendorong manusia untuk menyimpang dari kebenaran dan
menolaknya, 2) kebodohan hal ini penyebab utama seseorang jatuh pada
kebidahan dan perselisihan, 3) sikap melampaui batas (al-ghuluw dan al-ifrÉÏ), hal
ini adalah sebab yang mendorong terjadinya iftirÉq dalam Islam, 4) ta’wÊl
terhadap nas-nas syariat dengan tanpa dalil, 5) menjadikan akal sebagai tolok ukur
dalam menerima nas-nas syariat.
Kedua, Sebab-sebab dan pengaruh dari luar umat Islam, di antaranya; 1)
futËÍÉt islÉmiyah, hal ini menyebabkan infiltrasi budaya dan pemikiran dari luar
Islam, 2) banyaknya umat lain yang masuk Islam dalam keadaan belum bersih
akidah, sehingga menimbulkan pengaruh dalam pemahaman keislaman, 3)
penerjemahan kitab-kitab filsafat dan mantik (logika) Yunani (ilmu kalÉm), serta
usaha untuk mempelajari dan mendalaminya, 4) masuk islamnya sebagian
misionaris Yahudi, NaÎrani, atau agama lain dengan tujuan untuk merusak Islam.
Sa‟ad „Abdullah Sa‟dÉn menambahkan, bahwa perpecahan di tengah umat
Islam disebabkan pula oleh beberapa hal, di antaranya; 1) makar dan tipu daya
dari musuh-musuh Islam untuk memecah-belah mereka, 2) fenomena fanatisme
(ta’aÎÎub) kepada mazhab atau golongan tertentu, 3) tidak diindahkannya
kebidahan dan kesesatan hingga tersebar luas di masyarakat, 4) peremehan
terhadap Ïalabu al-’ilmi syar’i berdasarkan manhaj salaf, 5) penerimaan atas
semua pemikiran yang masuk dalam Islam tanpa menimbang kebenarannya
dengan Alquran dan sunah, dan 6) tidak optimalnya amar ma’ruf nahi munkar.
Dua pendapat di atas diakui pula oleh Harun Nasution. Ia menuturkan,
bahwa diantara yang menimbulkan perpecahan umat islam adalah banyaknya
terjadi kontak kaum muslim
dengan keyakinan-keyakinan dan pemikiran-
pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sehingga dari
sinilah mulai bermunculan paham-paham yang berseberangan dengan Islam
seperti Qadariyah, Jabariyah atau yang dikenal dengan Fatalis, dan Mu‟tazilah.
Kontak dengan filsafat Yunani ini membawa kepada pemujaan terhadap akal ke
dalam Islam. Kaum Mu‟tazilah dalam hal ini adalah yang banyak terpengaruhi
sehingga tidaklah mengherankan apabila dalam pemikiran teologi mereka banyak
dipengaruhi oleh daya akal atau ratio dan teologi mereka memiliki corak liberal.
Pada perkembangannya, penggunaan akal telah dipergunakan oleh
Mu‟tazilah untuk memahami tentang keimanan (IlÉhiyyÉt) dan mereka tidak lagi
menggunakan nas (dalil) sebagai pijakan dalam memahaminya. Di antara
pendapat yang mereka sebarkan sejak masa pendahulu mereka, WÉÎil bin „AÏÉ‟,
yaitu penafian terhadap sifat-sifat Allah  dan mereka berkeyakinan bahwa Allah
 tidak mempunyai sifat. Hal itu tidaklah mengherankan karena menurut mereka
pemberian sifat kepada Allah  membawa kepada kesyirikan atau politeisme.
Menurut mereka, hal tersebut membawa pengertian bahwa yang bersifat qadÊm
(permulaan) akan banyak, maka untuk memelihara tauhid atau kemahaesaan
Tuhan, tidak boleh dikatakan bahwa Tuhan memiki sifat. Tuhan tetap mengetahui,
berkuasa, pemurah, dan sebagainya tetapi semua itu bukanlah sifat malahan esensi
Tuhan itu sendiri.
Pemikiran-pemikiran rasional Mu‟tazilah dalam masalah teologi ini terus
dibawa dan disebarkan oleh para penerusnya seperti; Abu Hużail al-„AllÉf, alNaÐÐÉm, al-Murdar, al-JÉÍiÌ, al-JubÉ‟i, al-KhayyÉÏ, Abu HÉsyim, dan lain-lain. Di
antara pembesar Mu‟tazilah ketika itu adalah Abu al-×asan al-Asy‟arÊ yang
merupakan murid besar dari al-JubÉ‟Ê.
Abu al-×asan al-Asy‟arÊ pada perkembangan pemikiran dan pemahaman
teologinya ia berbalik menyerang ideologinya yang dahulu ia pegangi yaitu
Mu‟tazilah. Di antara yang ia tolak dari teologi Mu‟tazilah adalah penafian
terhadap sifat Allah . Ia mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat dan tidak
mungkin ia mengetahui dengan esensi-Nya, maka Tuhan harus mengetahui
dengan sifat-Nya.
Hanya
saja
para
ulama
menjelaskan
bahwa
pada
masa
awal
penentangannya terhadap Mu‟tazilah, Abu al-×asan al-Asy‟arÊ sebenarnya masih
dalam kegoncangan antara pemikiran teologinya yang lama yaitu Mu‟tazilah yang
mana telah terwariskan pada dirinya ilmu mantik (logika) dan kecondongannya
kepada Ahlusunah waljamaah atau AÎÍÉb al-×adÊts dan iapun jatuh pada
pemahaman KullÉbiyah. Sehingga dalam penetapan sifat-sifat bagi Allah , ia
hanya menetapkan tujuh sifat bagi Allah  yang ia anggap sesuai dengan akal
manusia. Adapun Îifat khabariyah tentang Allah  iapun menakwilkannya.
Apa yang dicetuskan oleh al-Asy‟arÊ ketika itu tersebar ditengah
masyarakat dan menjadi titik awal berkembangnya teologi Asy‟ariyah. Sikap
sejalan dengan Abu al-×asan al-Asy‟arÊ juga dilakukan oleh Abu ManÎËr alMÉtËridÊ (w. 333 H) dimana dalam banyak hal ia sepaham dengan al-Asy‟arÊ
terutama dalam masalah penetapan Îifat bagi Allah  dan iapun menentang
Mu‟tazilah. Dalam penetapan Îifat Allah  ia sejalan dengan al-Asy‟arÊ yaitu
menggunakan akal sebagai tolok ukur, dan ia menambahkan 13 sifat tambahan
bagi Allah  selain apa yang diprakarsai oleh al-Asy‟arÊ sehingga genaplah
menjadi 20 sifat bagi Allah . Inilah yang dinamakan sifat wajib dua puluh bagi
Allah  yang wajib diyakini menurut AsyÉ'irah.
Dalam perkembangannya, mazhab ini berkembang ditengah masyarakat
dan diterima oleh mayoritas kaum muslim di kala itu. Abu al-×asan al-Asy‟arÊ
dalam perjalanan pemikirannya tidaklah berhenti sampai disitu, namun ia
kemudian menyadari bahwa apa yang ia yakini dan ia tetapkan sebelumnya adalah
keliru dan iapun mengakui bahwa akidah yang ia yakini sebelumnya adalah keliru
dan ia menyatakan bahwa akidah yang benar adalah apa yang Imam AÍmad bin
Hanbal berada diatasnya, terutama dalam masalah asmÉ’ dan ÎifÉt karena pada sisi
itulah terjadi perpecahan dan perdebatan dalam dunia ilmu kalÉm.
Ibnu KatsÊr (w. 774 H) berkata, „Para ulama menyebutkan bahwa Syaikh
Abu al-×asan al-Asy‟arÊ memiliki tiga fase pemikiran: Pertama, mengikuti
pemikiran Mu‟tazilah yang kemudian beliau keluar darinya, Kedua, menetapkan
tujuh ÎifÉt aqliyyah, yaitu; HayÉt, ’Ilmu, Qudrah, IrÉdah, Sama’, BaÎar, dan
KalÉm, dan beliau menakwil ÎifÉt khabariyyah seperti wajah, dua tangan, telapak
kaki, betis, dan yang semisalnya. Ketiga, menetapkan semua Îifat Allah  tanpa
takyÊf dan tasybÊh sesuai manhaj para salaf, inilah jalan yang ia pilih dalam
kitabnya yang berjudul al-IbÉnah yang merupakan akhir karangannya‟.
Abu al-×asan al-Asy‟arÊ berkata bahwa, “Pendapat yang kami pegang dan
agama yang kami yakini adalah berpegang kepada kitab Rabb kami  dan sunah
Nabi kami  dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi‟in, dan para imam
hadis. Kami berpegang kepada semua itu dan kami mengatakan apa yang
diucapkan oleh Abu „Abdillah AÍmad bin MuÍammad bin ×anbal -semoga Allah
 mengangkat derajatnya dan mengagungkan pahalanya-. Kami menyelisihi
pendapat yang menyelisihi ucapannya, karena ia adalah imam yang agung,
pemimpin yang mulia, yang dengannya Allah  menjelaskan kebenaran dan
menepis kesesatan orang-orang yang ragu. Semoga Allah  melimpahkan rahmat
atasnya”. Ucapan al-Asy‟arÊ di atas menunjukkan pertaubatannya dari akidah
yang sebelumnya ia yakini dan pernyataannya atas kebenaran mazhab Ahlusunah
waljamaah atau AÎhÉb al-HadÊts, yang mana sosok Imam AÍmad bin ×anbal di
kala itu diakui sebagai salah seorang pembawa benderanya.
Meski demikian, pemahaman yang telah dikembangkan oleh al-Asy‟arÊ
sebelum ia kembali kepada manhaj yang Íaq, hingga kini masih bergulir dan
digeluti oleh banyak kaum muslim. Hal yang paling menonjol adalah penetapan 7
sifat wajib bagi Allah  yang kemudian dikembangkan oleh mutaakhirÊn
Asy‟ariyah sehingga menjadi 20 sifat dan penakwilan ÎifÉt khabariyah. Inilah
yang kemudian menjadi akidah Asy'ariyah dalam penetapan ÎifÉt Allah .
Dalam perkembangannya, pemikiran kalÉm Asy'ariyah telah melewati
masa-masa yang kian menambah jarak antara mereka dengan Ahlusunah
waljamaah, terutama setelah para tokohnya yang datang terakhir memasukkan
prinsip-prinsip keyakinan yang diambil dari filsafat, tasawuf, mantik (logika) dan
ilmu kalÉm. Pergeseran inilah yang menyebabkan rentannya mazhab Asy‟ariyah
untuk tersusupi pemikiran-pemikiran batil. Dan secara umum mereka sejalan
dengan Ahlusunah waljamaah dalam beberapa masalah akidah, dan berbeda
dalam beberapa perkara akidah lainnya.
Perberkembang pesat mazhab Asy'ariyah menjadikannya sebagai mazhab
kalÉm tersendiri yang tersebar ke banyak negeri Islam dan menjadi mazhab
kebanyakan dari kaum muslim. Dari sinilah awal munculnya klaim bahwa mereka
adalah golongan yang berada di atas kebenaran (Íaq) dan mereka adalah
representasi dari Ahlusunah waljamaah.
Di Indonesia, pemikiran kalÉm Asy'ariyah diajarkan secara mendalam di
kebanyakan pesantren tradisionalis yang pada umumnya mengajarkan fikih
mazhab SyÉfi‟Ê dan akidah Asy‟ariyah. Lebih dari itu akidah Asy‟ariyah juga
telah merambah ke kurikulum pendidikan Agama Islam Departemen Agama.
Tidak hanya sampai di sini, setelah penulis memperhatikan penerjemahan Alquran
di Indonesia, yang pada umumnya mengacu kepada terjemah Departemen Agama
Republik Indonesia, di dalamnya terdapat penakwilan ÎifÉt khabariyah bagi Allah
. Ini menunjukkan kekuatan pengaruh mazhab AsyÉ‟irah di bumi Indonesia.
Apa yang telah dipaparkan dengan singkat diatas adalah pendorong utama
bagi penulis untuk mencoba meneliti dan mendalami pemikiran asmÉ’ dan ÎifÉt
Allah  menurut Abu al-×asan al-Asy‟arÊ di akhir perjalanan keagamaannya,
serta berusaha mendudukkannya dengan pemikiran Asy‟ariyah, mengingat
pemikiran mereka tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah  telah tersebar di tengah umat
Islam dan terkesan bahwa pemikiran tersebut adalah akhir dari pemikiran Abu al×asan al-Asy‟arÊ. Penulis meyakini diperlukannya suatu penelitian untuk
menjelaskan kepada kaum muslim pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ tentang
asmÉ’ dan ÎifÉt Allah ?
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka rumusan masalah
yang diajukan adalah sebagai berikut; 1) Bagaimanakah pemikiran Abu al-×asan
al-Asy‟arÊ tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah  ?, 2) Bagaimanakah pemikiran
Asy‟ariyah tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah  ?
Nama lengkap beliau adalah Abu al-×asan „AlÊ bin IsmÉ‟Êl bin Abi Bisyr
IsÍÉq bin SÉlim bin IsmÉ‟Êl bin „Abdullah bin MËsÉ bin BilÉl bin Abi Burdah bin
Abi MËsÉ „Abdullah bin Qais bin ×aÌar al-Asy‟arÊ al-YamanÊ . Ia dilahirkan di
kota BaÎrah, Iraq pada tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H.
Beliau dibesarkan dalam keluarga yang mencintai ilmu dan sederhana
sehingga zuhud dan warÉ‟ adalah dua sifat yang menonjol darinya. Aktifitas
ilmiah mengitari kehidupan al-Asy‟arÊ, di mana ia menyibukkan diri dengan
mencari ilmu. Di antara gurunya yang terpenting adalah ayah tirinya, Abu „AlÊ
MuÍammad bin „Abd al-Wahhab al-JubÉ‟Ê al-Mu‟tazÊlÊ dan Zakariya bin YaÍyÉ
al-SÉjÊ al-SyÉfi‟Ê yang darinyalah ia mengambil ilmu uÎËl al-ÍadÊts dan
mempelajari mazhab Salaf khususnya dalam masalah Îifat Allah . Dan di antara
murid-murid beliau adalah: Ibnu MujÉhid MuÍammad bin AÍmad
bin
MuÍammad bin Ya‟qËb dan Abu al-×asan al-BÉhilÊ (keduanya adalah guru alBÉqilÉnÊ dan Ibnu al-Faurak)
Abu al-×asan al-Asy‟arÊ adalah seorang ulama yang produktif, ia
menyibukkan diri dengan menulis banyak karya ilmiah pada setiap disiplin ilmu
yang ia kuasai. Karya beliau mencapai 98 judul, yang tercetak dan tersebar di
tengah kaum muslim tidak lebih dari empat buah judul yaitu; 1) Al-Luma’ fÊ alRaddi ’ala Ahli al-Zaighi wa al-Bida’, 2) RisÉlatun ilÉ Ahli al-Tsaghr, 3)
MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn wa IkhtilÉfi al-MuÎallÊn, dan 4) Al-IbÉnah ’an UÎËli aDiyÉnah, kitab ini adalah kitab yang penting yang di dalamnya ia menerangkan
apa yang menjadi akidah yang ia pegangi di akhir perjalanan hidup beliau.
Perkembangan iktikad Abu al-×asan al-Asy‟arÊ melalui tiga marÍalah
(fase) sebagaimana yang diterangkan oleh ulama, yaitu:
Fase Awal iktikad al-Asy‟arÊ, ia mengikuti pemikiran Mu‟tazilah. Hal ini
dikarenakan sejak kecil sampai usia beliau empat puluh tahun berada dalam
didikan bapak tirinya, Abu „AlÊ MuÍammad bin „Abd al-WahhÉb al-JubÉ‟Ê alMu'tazilÊ. Ketika genap umur beliau 40 tahun, ia meninggalkan pemikiran i’tizÉlnya. Adapun sebab keluarnya Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dari Mu‟tazilah ada dua
sebab asasi sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu „AsÉkir; Pertama, Beliau
bermimpi bertemu Nabi , yang memerintahkannya untuk mengikuti Alquran
dan sunah. Kedua, Pertanyaan-pertanyaan dan munÉqasyah (diskusi) antara alAsy‟arÊ dengan para gurunya dari kalangan Mu‟tazilah, akan tetapi ia tidak
mendapatkan jawaban yang menentramkan hatinya.
Fase Kedua iktikad al-Asy‟arÊ berada di atas pemikiran KullÉbiyah. Ia
mulai membantah Mu‟tazilah dengan berpijak kepada pemikiran KullÉbiyah
dibawa oleh Abu MuÍammad „Abdullah bin Sa‟Êd bin KullÉb al-BaÎrÊ. Pada fase
kedua ini, ia hanya menetapkan tujuh sifat ‘aqliyah/ lÉzimah yang bersifat azali
bagi Allah , yaitu: al-ÍayÉh (hidup), al-‘ilmu (ilmu), al-qudrah (kemampuan),
al-irÉdah (kehendak), al-kalÉm (berfirman), al-sama’ (mendengar), dan al-baÎar
(melihat). Pendapat ini berasal dari pendapat Ibnu KullÉb, hal ini sebagaimana
diakui sendiri oleh al-Asy‟arÊ dalam MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn, Jilid II, h. 546.
Adapun sikapnya terhadap Îifat ikhtiyÉriyah dan ÎifÉt khabariyah bagi Allah 
adalah dengan menakwilkannya.
Fase Ketiga yaitu kembalinya Abu al-×asan al-Asy‟arÊ kepada mazhab
Salaf Ahlusunah waljamaah dan meninggalkan pendapat KullÉbiyah. Setidaknya
ada lima fakta yang membuktikannya, yaitu; 1) persaksian ulama ahlu taÍqÊq
terdahulu sampai sekarang atasnya, 2) perjumpaan Beliau Dengan al-HÉfiÐ
Zakaria al-SÉjÊ yang mana ia mengambil uÎËl Ahlusunah dan Hadis darinya
demikian pula Abu MuÍammad al-BarbahÉri al-×anbalÊ yang merupakan ahli
hadis dan fikih yang merupakan sahabat imam AÍmad bin ×anbal, 3) penulisan
kitab al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah yang merupakan karya terakhir al-Asy‟arÊ
dan di dalamnya berisi persaksian atas iktikad akhir yang ia yakini yaitu iktikad
Ahlusunah waljamaah salaf saleh aÎÍÉbu al-ÍadÊts sebagaimana ia ber-intisÉb
kepada imam AÍmad bin ×anbal, 4) perbedaan yang sangat jelas dalam hal
metode bayÉnÊ dan burhÉnÊ pada fase kedua dan fase ketiga iktikad al-Asy‟arÊ.
Perbedaan yang paling menonjol adalah dalam metode istidlÉl, pada kitab alLuma’ dan IstihsÉnu al-×auÌi fÊ ‘Ilmi al-KalÉm, ia mengikuti pemikiran Ibnu
KullÉb dan menetapkan sifat lÉzimah bagi Allah  serta mengingkari ÎifÉt
ikhtiyÉriah-Nya. Hal serupa tidak terjadi pada kitab RisÉlatun ilÉ Ahli Tsaghr,
MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn wa IkhtilÉfi al-MuÎallÊn, dan al-IbÉnah ’an UÎËli alDiyÉnah yang merupakan buah karyanya di fase akhir perkembangan iktikadnya.
Dalam ketiganya ia ber-istidlÉl dengan nas-nas Alquran, sunah, perkataan para
salaf saleh, dan terkadang memberikan diskusi-diskusi logis untuk menjatuhkan
syubuhÉt firqah-firqah di luar Ahlusunah waljamaah, 5) pernyataan al-Asy‟arÊ
bahwa dia mengikuti mazhab Ahlu al-×adÊts Ahlusunah waljamaah sebagaimana
iktikad imam AÍmad bin ×anbal sebagaimana termaktub dalam dua karyanya;
MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn wa IkhtilÉfi al-MuÎallÊn, dan al-IbÉnah fÊ UÎËli alDiyÉnah.
Penisbatan al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah kepada al-Asy‟arÊ adalah suatu
hal yang jelas berdasarkan argumentasi-argumentasi yang tidak terbantahkan.
Mengenai pengingkaran atas penisbatan kitab al-IbÉnah kepada al-Asy‟arÊ, maka
persaksian ulama yang mengetahui kehidupan al-Asy‟arÊ adalah cukup sebagai
sanggahan atas pengingkaran tersebut. Di antara mereka adalah Ibnu NÉdim (w.
385 H), seorang muarrikh yang paling dekat masa hidupnya dengan al-Asy‟arÊ.
Ketika ia menuliskan biografi al-Asy‟arÊ dan menyebutkan karya–karyanya, di
antaranya kitab al–TabyÊn ‘an UÎËl al-DÊn (judul ini semakna dengan al-IbÉnah
’an UÎËli al-DiyÉnah). Hal serupa juga dipersaksikan oleh Ibnu „AsÉkir, ia
menegaskan bahwa kitab al-IbÉnah adalah karya al-Asy‟arÊ dalam kitabnya
TabyÊn Każibi al-MuftarÊ.
Ibnu Darbas (w. 659 H) mengarang kitab yang ia beri judul al-Żabbu ‘an
Abi al-×asan al-Asy’arÊ wa KitÉbihi al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah, ia berkata:
“Ketahuilah bahwa kitab al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah adalah karya imam alAsy‟arÊ, dan ia merupakan tolok ukur bagi kebenaran penyandaran pendapat
kepadanya, sehingga semua penisbatan pendapat kepada al-Asy‟arÊ yang tidak
sesuai dengan isi kitab tersebut maka beliau berlepas diri darinya”. Kemudian
Ibnu Darbas menyebutkan nama–nama ulama yang menegaskan keabsahan kitab
al-IbÉnah sebagai karya akhir al-Asy‟arÊ.
Sebagaimana pula keabsahan penisbatan kitab tersebut kepadanya
ditetapkan oleh mayoritas ulama ahli taÍqÊq terdahulu maupun sekarang. Di antara
mereka adalah: Ibnu Taimiyah, al-ŻahabÊ, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu KatsÊr,
Ibnu FarÍun al-MÉliki, JalÉlu al-DÊn al-SuyËÏÊ, Ibnu al-„ImÉd, Sayyid al-MurtaÌÉ
al-ZabÊdÊ, al-HÉfiÐ al-×akamÊ, ×ammÉd al-AnÎÉrÊ, Dr. Fauqiyah ×usain, Dr.
„AbdurraÍman al-BadawÊ, „AbdurraÍman bin ØÉliÍ bin ØÉliÍ al-MaÍmËd, Dr.
NÉÎir bin „Abd al-KarÊm al-„Aql, dan Dr. ØÉlih Muqbil al-„UÎaimÊ. Kiranya uraian
di atas cukup untuk menegaskan atas kebenaran penisbatan kitab
al-IbÉnah
kepada al-Asy‟arÊ dan semua pendapat yang disandarkan kepadanya yang tidak
sesuai dengan isi kitab al-IbÉnah, maka beliau berlepas diri darinya.
Kesungguhan ulama Ahlusunah dalam membahas dan menerangkan asmÉ’
dan ÎifÉt Allah  dibangun di atas pengagungan terhadap nas-nas Alquran dan
sunah, sehingga mereka mengimaninya sebagaimana datangnya dengan tanpa
melakukan ta’ÏÊl, taÍrÊf, tamtsÊl, takyÊf, tafwÊÌ, atau ilÍÉd. Mereka meyakini
bahwa nas-nas ÎifÉt merupakan wahyu dari Allah  yang tidak dapat diketahui
kaifiyat-nya dengan akal yang lemah serta boleh jadi tersisipi dalam batin-batin
mereka suatu keburukan sehingga menyeret mereka untuk berbicara atas Allah 
pada apa yang tidak mereka ilmui. Mereka mendahulukan sikap ta'ÐÊm dan taslÊm
terhadap semua berita yang datang dari Allah  dan Rasul-Nya , termasuk
dalam memahami asmÉ’ dan ÎifÉt Allah . Secara ringkas, mereka menetapkan
asmÉ’ dan ÎifÉt berdasarkan Alquran dan sunah, dengan tidak melakukan ta’ÏÊl,
taÍrÊf, ta’wÊl, tamtsÊl, takyÊf, atau ilÍÉd, menafikan semua asmÉ’ dan ÎifÉt yang
Allah  nafikan dari Diri-Nya dalam Alquran dan sunah, dan menyikapi asmÉ’
dan ÎifÉt Allah  yang diperselisihkan oleh umat Islam karena tidak ada nas yang
bersifat itsbÉt ataupun nafyu dengan tawaqquf, tidak menetapkan dan tidak
menolaknya.
Pemikiran seorang tokoh dapat diketahui di antaranya melalui karyakaryanya, pemikirannya yang diriwayatkan oleh orang-orang semasanya, baik dari
kawan atau lawannya, demikian pula penelitian-penelitian sejarah terkait dengan
kehidupan
tokoh
tersebut.
Pemikiran
Abu
al-×asan
al-Asy‟arÊ
yang
mencerminkan akidah beliau yang terakhir ia tuangkan dalam tiga karyanya,
yaitu: RisÉlatun ilÉ Ahli
al-Tsaghr, MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn wa IkhtilÉfi al-
MuÎallÊn, dan al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah. Dalam menjelaskan akidah dan di
antaranya kajian tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah , al-Asy‟arÊ berjalan di atas
manhaj yang dapat diketahui dengan meneliti tiga karyanya di atas.
Secara ringkas, manhaj yang beliau pegang dalam mengambil akidah
adalah sebagai berikut: 1) berpegang teguh terhadap Alquran dan sunah, 2)
wajibnya meninggalkan perbuatan bidah dan para pelakunya, 3) meninggalkan aljadal (debat), al-mirÉ’ (pertentangan), dan al-khuÎËmatu fÊ al-dÊn (bertengkar
dalam masalah agama), 4) berpegang pada hadis-hadis yang sahih, 5) berpegang
dengan manhaj salaf Ahlusunah waljamaah, dan 6) Al-Asy‟arÊ menjelaskan
akidah dengan metode bayÉnÊ dan burhÉnÊ yang tepat.
Asy‟ariyah adalah kelompok dari Ahlu al-KalÉm yang menisbatkan diri
kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dalam masalah akidah, hanya saja penisbatan
mereka tidaklah secara adil karena penisbatan mereka kepada al-Asy‟arÊ tidaklah
tercermin melainkan pada fase kedua dari pemikiran al-Asy‟arÊ yaitu ketika ia
memegang pemikiran KullÉbiyah, sehingga sebagian ulama menyebut Asy‟ariyah
dengan KullÉbiyah. Sedangkan mereka yang menisbatkan diri kepada Abu al×asan al-Asy‟arÊ sebagaimana fase akhir pemikiran beliau yang tertuang dalam
karyanya yang akhir yaitu al-IbÉnah, maka tidaklah disebut dengan Asy‟ariyah
namun Ahlusunah waljamaah karena kesesuaian manhaj mereka dengan
Ahlusunah waljamaah.
Dalam perkembangan mazhabnya, Asy‟ariyah semakin jauh dari
penisbatannya kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ, hal tersebut disebabkan karena
para tokoh mereka banyak memasukkan hal-hal baru dalam akidah yang mereka
ambil dari uÎËl Mu‟tazilah, sehingga terjadi banyak pergeseran antara qudamÉ’
dan mutaakhirÊn Asy‟ariyah.
Asy‟ariyah dalam menetapkan akidah berpegang pada manhaj berikut: 1)
mengambil akidah hanya dari dalil-dalil yang mutawÉtir, 2) mendahulukan akal
atas naqal, 3) mengingkari ÐÉhir dari nas dan meyakini makna majas darinya,
bahkan mereka beranggapan bahwa mengambil makna lahir dari suatu nas adalah
salah satu sumber kekafiran. 4) pokok (uÎËl) akidah menurut Asy‟ariyah ada tiga,
yaitu sebagai berikut; pertama, yang hanya ditetapkan oleh akal saja dengan tanpa
melihat kepada naqal, seperti sebagian besar ÎifÉt Allah ; oleh sebab itu mereka
menyebut sifat tujuh yang mereka tetapkan dengan ÎifÉt ‘aqliyyah, kedua, yang
hanya ditetapkan oleh naqal saja yaitu yang terkait dengan perkara gaib (alsam’iyyÉt), al-taÍsÊn wa al-taqbÊÍ (penilaian baik dan buruk), dan al-tasyrÊ’.
ketiga, yang sumber penetapannya adalah akal dan naqal secara bersamaan –hal
ini masih diperselisihkan oleh mereka- seperti melihat Allah  di surga, hal ini
ditetapkan akal sedangkan naqal adalah menguatkannya. Empat hal ini adalah
pijakan Asy‟ariyah dalam membangun akidah mereka.
Perlu kiranya disebutkan akidah Asy‟ariyah secara ringkas sehingga dapat
diketahui lebih jauh sisi distorsi antara akidah mereka dengan akidah al-Asy‟arÊ.
Secara garis besar Asy’ariyah menetapkan akidah sebagai berikut: 1) keimanan
adalah sekedar pembenaran (al-taÎdÊq) dan mereka tidaklah menetapkan
perbuatan anggota tubuh (amalan) termasuk dari cabang keimanan, sehingga
kekufuran tidaklah terjadi disebabkan karenanya, 2) Asy‟ariyah berakidah
Jabariyah dalam permasalahan takdir, mereka tidak menetapkan al-irÉdah alsyar’iyyah, menurut mereka takdir datangnya dari Allah  dan usaha (al-kasbu)
dari manusia, dan al-kasbu ini tidak ada pengaruhnya sama sekali. Oleh sebab itu,
menurut al-RÉzÊ, bahwa manusia adalah majbËr (dipaksa) dan mukhtÉr (diberi
pilihan), 3) mengingkari sebab dan hikmah dalam perbuatan allah , menurut
mereka, jika ditetapkan adanya sebab di balik perbuatan Allah  berarti Allah 
tidaklah
berbuat
sekehendak-Nya.
Dengan
dasar
inilah
mereka
tidak
mencantumkan hikmah ke dalam tujuh sifat ma’ÉnÊ, dan mencukupkan dengan
sifat irÉdah. Padahal hikmah mengharuskan adanya irÉdah dan ilmu serta lebih
dari itu, 4) membatasi makna kalimat tauhid hanya pada tauhid rubËbiyyah, 5)
nubuwwÉt (kenabian) adalah kembali kepada masyÊ’ah murni, dan tidak ada yang
menjadi bukti kebenarannya melainkan hanya mukjizat, 6) wilÉyah (Kewalian)
adalah karunia dari Allah  (wahbiyyah), bukan sesuatu yang dapat diupayakan
(muktasabah), dan dibuktikan dengan karÉmah, 7) penilaian baik dan buruk
dengan menggunakan akal dan fitrah manusia, 8) kewajiban pertama seorang
mukalaf adalah melihat (naÐar) kepada ayat-ayat yang tegas dan bukti-bukti logis
(barÉhin ‘aqliyyah) yang jelas, sampai ia mengetahui dengan benar bahwa alam
semesta adalah baru (ÍudËts) demikian pula dirinya. Menurut mereka apabila
seseorang berkata bahwa ia mengimani Allah  melalui jalan ma’rifah fiÏriyyah
dengan jalan selain naÐar, maka hakikatnya ia adalah seorang muqallid, bahkan
sebagian mereka menguatkan pendapat atas kekafirannya. Sebagian yang lain
menyatakan bahwa hal yang pertama yang wajib dikehui oleh seorang hamba
adalah pengenalan terhadap Allah  (ma’rifatullah) terkait apa yang wajib, apa
yang boleh, dan apa yang mustahil bagi-Nya. Pengenalan yang mereka
maksudkan adalah pengenalan dengan jalan akal (naÐar ’aqlÊ) atas Allah .
Al-Asy‟arÊ mengimani dan menetapkan semua asmÉ’ Allah 
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Alquran dan sunah. Ia juga menolak
pertentangan dalam polemik tentang al-ismu (nama) dan musammÉ (yang
dinamai), baginya al-ismu adalah untuk musammÉ, sedangkan keyakinan bahwa
al-ismu adalah selain musammÉ adalah kesesatan dalam beragama, sehingga
perdebatan dalam masalah ini adalah kebidahan.
Ia menetapkan semua ÎifÉt Allah  sebagaimana yang telah ditetapkan
oleh Alquran dan sunah serta memperlakukannya sesuai makna lahirnya dengan
tanpa melakukan takyÊf, tamtsÊl, ta’ÏÊl, dan ta’wÊl. Sehingga ia menetapkan semua
ÎifÉt żÉtiyah bagi Allah  seperti ÎifÉt ilmu, wajah, dua mata, dua tangan, dan
jari-jari. Ia juga menetapkan semua ÎifÉt fi’liyah bagi Allah  seperti ÎifÉt alqabÌah, al-istiwÉ’, al-ityÉn, al-majÊ’, dan al-nuzËl. Dalam penetapannya terhadap
ÎifÉt tersebut, ia menegaskan keharusan menetapkannya dengan tanpa melakukan
tamtsÊl dan takyÊf.
Pembelaannya terhadap akidah dan manhaj Ahlusunah waljamaah salaf
saleh aÎÍÉbu al-ÍadÊts ia buktikan dengan memberikan bantahan (rudËd) atas
argumentasi aÎÍÉbu al-firaq seperti Mu‟tazilah, Jahmiyah, Qadariyah, KhawÉrij,
RÉfiÌah, Murji‟ah dan selainnya yang menyimpang dalam hal akidah secara
umum dan lebih khusus terkait dengan pemikiran asmÉ’ dan ÎifÉt Allah . AlAsy‟arÊ mematahkan argumentasi mereka dengan dalil-dalil naqli dan akli dengan
metode bayÉnÊ serta burhÉnÊ yang telah ia pelajari sebelumnya. Bahkan al-Asy‟arÊ
menegaskan bahwa siapa saja yang menyimpang dari al-Íaq maka termasuk
pelaku kebidahan (ahlu al-bida’), pengikut hawa nafsu (ahlu al-ahwÉ’), dan
orang-orang yang menyimpang (ahlu al-zaighi).
Dalam menetapkan asmÉ’ Allah , Asy‟ariyah berpendapat bahwa ia
adalah qadÊm sebagaimana ÎifÉt-Nya. Pendapat ini pada dasarnya sama dengan
pendapat Mu‟tazilah dari sisi kesamaan anggapan bahwa asmÉ’ Allah  adalah
makhluk (diciptakan). Mereka menyatakan bahwa asmÉ’ Allah  bukanlah
makhluk dan asmÉ’ Allah  adalah zat-Nya sendiri, hanya saja penamaan (altasmiyyah) maka itu adalah makhluk. Tidak lain yang mereka maksudkan dari
penamaan (al-tasmiyyah) adalah asmÉ’ Allah  itu sendiri. Maka tampaklah
kesesuaian mereka dengan Ahlusunah secara lahir namun dari sisi makna mereka
sesuai dengan Mu‟tazilah.
Asy‟ariyah berpendapat bahwa kewajiban pertama bagi setiap mukalaf
adalah pengenalan atas Allah  (ma’rifatullah) terkait dengan apa yang wajib
ditetapkan atas-Nya, serta apa yang mustahil dan apa yang boleh dari ÎifÉt-Nya
dengan mengenali dan mengimani ÎifÉt wajib yang berjumlah 20, mengenali 20
ÎifÉt yang mustahil bagi Allah  yang merupakan kebalikannya, dan mengenali
semua hal yang boleh bagi Allah .
Øifat wajib berjumlah 20, mereka membagi menjadi empat; Pertama, Øifat
Nafsiah yaitu WujËd (Ada). Kedua, ØifÉt Salbiyyah yaitu al-Qidam (Terdahulu),
al-BaqÉ’ (Kekal), al-MukhÉlafatu li al-×awÉdÊtsi (Berbeda dengan Makhluk),
QiyÉmuhu bi Nafsihi (Berdiri Sendiri), dan al-WahdÉniyyah (Esa). Ketiga, ØifÉt
Ma’ÉnÊ
yaitu
al-Qudrah (Berkuasa), al-IrÉdah
(Berkehendak),
al-‘Ilmu
(Mengetahui), al-HayÉh (Hidup), al-Sam’u (Mendengar), al-BaÎaru (Melihat),
dan al-KalÉm (Berbicara). Keempat, ØifÉt Ma’nawiyyah yaitu Kaunuhu Qadiran
(Senantiasa Berkuasa), Kaunuhu MurÊdan (Senantiasa Berkehendak), Kaunuhu
„AlÊman (Senantiasa Mengetahui), Kaunuhu Hayyan (Senantiasa Hidup),
Kaunuhu SamÊ’an (Senantiasa Mendengar), Kaunuhu BaÎÊran (Senantiasa
Melihat), dan Kaunuhu Mutakalliman (Senantiasa Berbicara).
Sedangkan ÎifÉt mustahil adalah ÎifÉt yang pasti tidak melekat pada Allah
 dan wajib tidak adanya. Sifat ini merupakan kebalikan dari ÎifÉt wajib yang
juga berjumlah 20, yaitu al-‘Adam (Tidak Ada), al-HudËts (Baru), al-FanÉ’
(Binasa), al-MumÉtsalah li al-×awÉdÊtsi (serupa dengan makhluk), QiyÉmuhu bi
Ghairihi (Berdiri Dengan yang Lain), al-Ta’addud (Berbilang), al-‘Ajzu (Lemah),
al-KarÉhah (Terpaksa), al-Jahlu (Bodoh), al-Maut (Kematian), al-Øammu (Tuli),
al-‘Umyu (Buta), al-Bukm (Bisu), Kaunuhu ‘AjÊzan (Senantiasa Lemah), Kaunuhu
KarÊhan (Senantiasa Terpaksa), Kaunuhu JÉhilan (Senantiasa Bodoh), Kaunuhu
Mayyitan (Senantiasa Mati), Kaunuhu AÎam (Senantiasa Tuli), Kaunuhu A’mÉ
(Senantiasa Buta), Kaunuhu Abkamu (Senantiasa Bisu).
Asy‟ariyah menetapkan seluruh ÎifÉt Allah  melalui akal tidak melalui
naqal sehingga mereka menafikan semua ÎifÉt khabariyah bagi Allah  yang
terdapat dalam Alquran dan sunah, baik yang berupa ÎifÉt żÉtiyah maupun ÎifÉt
fi’liyah, melainkan hanya tujuh ÎifÉt yang mereka sebut dengan ÎifÉt ma’ÉnÊ.
Sedangkan selain dari tujuh ÎifÉt ma’ÉnÊ di atas, maka harus ditakwilkan atau
diserahkan kepada Allah  (tafwÊÌ). Hal ini adalah uÎËl yang disepakati oleh
mutaÉkhirÊn Asy‟ariyah, adapun qudamÉ’ Asy‟ariyah sebelum Abu al-Ma„ÉlÊ alJuwainÊ, mereka menetapkannya.
Di antara bentuk penakwilan Asy‟ariyah terhadap ÎifÉt żÉtiyah Allah 
adalah dengan menakwilkan ÎifÉt wajah dengan zat, dua tangan dengan kekuatan
dan kenikmatan, dua mata Allah dengan penglihatan dan pengawasan. Sedangkan
penakwilan mereka terhadap ÎifÉt fi’liyah Allah , maka di antaranya mereka
menakwilakn istiwÉ’ dengan istÊlÉ’, kedatangan Allah  pada hari Kiamat
dengan datangnya ketetapan atau perintah atau azab-Nya, turunnya Allah 
dengan turunnya rahmat-Nya atau para malaikat, dan lain-lain. Penakwilan ini
pada asalnya adalah penakwilan yang mereka ambil dari Mu‟tazilah.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa secara umum
terdapat banyak perbedaan secara jelas antara pemikiran akidah Abu al-×asan alAsy‟arÊ dan Asy‟ariyah, yang secara tidak langsung membawa implikasi pada
perbedaan pemikiran dalam mengimani asmÉ’ dan ÎifÉt Allah . Ini merupakan
fakta yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian (diskrepansi) dalam penisbatan
Asy‟ariyah kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ.
Download