1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbatasan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbatasan maritim dalam hukum internasional telah berkembang pesat
dengan adanya perluasan yurisdiksi nasional di perbatasan maritim pada era 50 atau
60 tahun terakhir ini. Hal ini menyebabkan penyelesaian delimitasi perbatasan
menjadi salah satu agenda penting bagi negara-negara pantai di dunia. Sebagai
perumpamaan, satu hektar laut mungkin lebih bernilai dari satu hektar tanah tandus,
terutama jika ada minyak atau gas yang terkandung di dasar lautnya. Oleh karena
itu penyelesaian keputusan perbatasan saat ini menjadi tugas utama bagi negara
pantai dan relatif sedikit dari negara pantai yang telah menyelesaikan perbatasan
maritimnya secara keseluruhan.1
Dalam praktek penentuan perbatasan negara, proses penentuan perbatasan
maritim lebih kompleks daripada perbatasan darat. Untuk menentukan perbatasan
maritim antar negara perlu dilakukan proses delimitasi, yaitu suatu penentuan garis
batas di wilayah maritim yang berbatasan langsung dengan negara lain baik itu yang
berdampingan ataupun berseberangan. Penentuan delimitasi perbatasan maritim
dipengaruhi dan berinteraksi dengan beberapa isu seperti politik, faktor historis dan
kebudayaan, isu strategis dan keamanan, kepentingan ekonomi, dan kepentingan
bagi kelompok-kelompok masyarakat.2 Pentingnya hasil yang harus dicapai dalam
1
http://chathamhouse.org/sites/default/files/public/Research/International%20Law/ilp140
206.doc, diakses tanggal 21 Januari 2014
2
Nuno M. Antunes, 2003, Toward the Conceptualisation of Maritime Delimitation,
Martinus Nijhoff Publishers: Netherlands, hlm. 1-2
2
delimitasi maritim serta kompleksitas proses yang terkait dalam penentuan
delimitasi maritim membuat topik ini menjadi objek penelitian yang populer dalam
hukum internasional.
Sesuai dengan ketentuan United Nations Convention on the Law of the Sea
1982 (UNCLOS 1982), suatu negara pantai memiliki hak untuk menetapkan zona
maritim di bawah yurisdiksinya. Zona ini mencakup perairan pedalaman dalam
garis pangkal yang digunakan untuk mengukur sejauh mana laut teritorial dan
perairan yurisdiksi lainnya, laut teritorial yang tidak boleh melebihi 12 nautical
mile (n.m.)3 diukur dari garis pangkal, 4 zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang tidak
boleh melebihi 200 n.m. diukur dari garis pangkal, 5 dan landas kontinen yang
memiliki beberapa kriteria6 yaitu: pertama kriteria jarak sampai 200 n.m. jika tepian
luar kontinennya tidak mencapai jarak 200 n.m., kedua adalah kriteria kelanjutan
alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya
tidak boleh melebihi 350 n.m. yang diukur dari garis dasar laut teritorial jika di luar
200 n.m. masih terdapat daerah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari
wilayah daratan, dan ketiga adalah kriteria kedalaman sedimentasi yang ditetapkan
dalam konvensi atau tidak boleh melebihi l00 n.m. dari garis kedalaman (isobath)
2500 meter. Di zona maritim tersebut suatu negara pantai berhak untuk menikmati
3
Secara teknis singkatan untuk n.m. (n.m - nautical mile) adalah “M” (“n.m.” adalah
singkatan untuk nanometer). Akan tetapi, “n.m.” secara luas telah digunakan oleh berbagai otoritas
(contohnya the United Nations Office of Ocean Affairs and the Law of the Sea) dan juga untuk
menghindari salah paham dengan singkatan “M,” yang sering dianggap sebagai singkatan untuk
“meter.”
4
UNCLOS 1982 Pasal 3
5
UNCLOS 1982, Pasal 57
6
UNCLOS 1982, Pasal 76
3
kedaulatan dan atau hak berdaulat untuk melaksanakan yurisdiksinya serta
menegakkan hukum dan peraturan yang sesuai dengan hukum internasional.7
Berkembangnya teknologi serta kebiasaan internasional di rezim zona
ekonomi eksklusif yang memberikan hak berdaulat bagi negara pantai di wilayah
kolom air sampai batas maksimal 200 n.m. yang disahkan dalam UNCLOS 1982
menyebabkan penambahan wilayah hak berdaulat secara signifikan pada negara
pantai. Penciptaan zona laut ini membawa akibat perlunya delimitasi wilayah
maritim yang berbatasan ketika masing-masing negara hendak menentukan
perbatasannya. Besarnya nilai yang dipertaruhkan seperti stok perikanan, ladang
minyak yang melimpah, atau karena lokasi yang strategis berdampak kemungkinan
penggunaan kekuatan militer untuk menegaskan klaim negara atas wilayah maritim
semakin meningkat.8
Perpanjangan yurisdiksi zona maritim negara pantai dapat menyebabkan
konflik dan perselisihan diantara negara-negara tetangga yang berbagi laut yang
sama sehingga pengaturan bilateral diperlukan untuk memfasilitasi pemeliharaan
tatanan hukum laut. Pengaturan ini berkaitan dengan berbagai hal maritim seperti
manajemen perikanan, batas maritim, pengembangan bersama sumber daya
kelautan non-hayati, perlindungan lingkungan laut dan keselamatan maritim.9
Zou Keyuan, “Implementing The United Nations Convention On The Law Of The Sea In
East Asia: Issues And Trends,” Singapore Year Book Of International Law And Contributors, 2005,
hlm. 37
8
David J Bederman, 2006, International Law Frameworks, Second Edition, Foundation
Press: New York, hlm. 134
9
Zou Keyuan, op.cit., 2005, hlm. 38
7
4
Sampai pada tanggal 7 Januari 2015, UNCLOS 1982 telah diratifikasi oleh
167 negara.10 Masing-masing negara memiliki kepentingan nasional dalam proses
delimitasi perbatasan, diantaranya adalah alasan keamanan terlebih jika letak
negara tersebut strategis secara geografis. Alasan perikanan menjadi salah satu
dasar penting dalam pengajuan klaim delimitasi mengingat sumber perikanan
terbanyak ada di wilayah ZEE. Pertimbangan ada atau tidaknya cadangan gas dan
minyak bumi dalam suatu wilayah yang akan di delimitasi merupakan unsur krusial
yang mendapat perhatian lebih dari pemerintah untuk melindungi cadangan sumber
daya alam untuk kepentingan negaranya.
Berdasarkan jenis perbatasan antar negara maka suatu negara pantai dapat
berbatasan dengan laut bebas ataupun dengan negara tetangga di sekitarnya.
Mengingat luas pantai dan keadaan geografis masing-masing negara berbeda maka
ada kemungkinan suatu klaim atas wilayah maritim terjadi tumpang tindih. Hukum
internasional telah mengatur mengenai delimitasi yang tercantum dalam Pasal 15
UNCLOS 1982 tentang penentuan batas laut teritorial antara negara yang
berhadapan atau berdampingan, Pasal 74 UNCLOS 1982 tentang penentuan batas
zona ekonomi eksklusif (ZEE) antara negara yang berhadapan atau berdampingan
serta Pasal 83 UNCLOS 1982 tentang penentuan batas landas kontinen antara
negara yang berhadapan atau berdampingan.
Mengingat ZEE merupakan zona baru jika dibandingkan landas kontinen
maka dengan diberlakukannya UNCLOS 1982 menyebabkan negara-negara yang
10
http://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.htm,
diakses tanggal 16 November 2015
5
saling berhadapan ataupun bersebelahan yang jarak pantainya kurang dari dua ratus
n.m. harus melakukan delimitasi ZEE satu sama lain. Pengaturan delimitasi ZEE
diatur tersendiri dalam Pasal 74 UNCLOS 1982. Rumusan pasal ini secara mutatis
mutandis sama dengan Pasal 83 tentang delimitasi landas kontinen.11
Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan yang memiliki perairan yang
luas memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap perkembangan di ZEE dan
landas kontinen, baik dari segi sumber daya alam strategis, lintas navigasi,
pertahanan, dan keamanan, sumber perekonomian serta sumber daya mineral yang
potensial. Akan tetapi sampai tiga dekade sejak penandatanganan UNCLOS 1982
perkembangan perjanjian perbatasan antara Indonesia dan negara-negara tetangga
belum semua terselesaikan. Sampai tahun 2016 perjanjian perbatasan landas
kontinen masih belum dicapai kesepakatan dengan empat negara yaitu: Malaysia,
Filipina, Palau, dan Timor Leste. Untuk perbatasan di ZEE masih belum disepakati
dengan enam negara yaitu: Malaysia, Thailand, Vietnam, India, Palau, dan Timor
Leste.
Problem delimitasi ZEE dan landas kontinen yang belum selesai dilakukan
dengan beberapa negara berada di beberapa kawasan, yaitu:
1. Malaysia berada di Selat Malaka, di Laut China Selatan serta di Laut Sulawesi.
2. Filipina berada di kawasan Laut Sulawesi di daerah antara Pulau sulawesi
sampai ke ujung Pulau Miangas yang berhadapan dengan Kepulauan Filipina.
11
Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Edisi ke-2, Alumni: Bandung, hlm.365
6
3. Palau delimitasi perbatasan yang belum disepakati di wilayah Laut Halmahera
yang berhadapan dengan gugusan kepulauan di sekitar Pulau Halmahera dan
Pulau Irian.
4. Timor Leste delimitasi perbatasan yang belum disepakati berada di kawasan
Selat Ombai, Selat Wetar dan Laut Timor.
5. Thailand delimitasi perbatasan yang belum disepakati berada di kawasan Selat
Malaka.
6. Vietnam delimitasi perbatasan yang belum disepakati berada di kawasan Laut
China Selatan.
7. India delimitasi perbatasan yang belum disepakati berada di kawasan Samudera
Hindia antara daratan ujung Sumatera di Nangroe Aceh Darussalam dengan
Kepulauan Nicobar milik India.
Untuk pembagian wilayah yang tumpang tindih ini aturan delimitasi
mengenai ZEE dalam Pasal 74 ayat (1) UNCLOS 1982 menyebutkan: “Penetapan
batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional,
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk
mencapai equitable solution.”12
Hak berdaulat di ZEE memberikan kontrol atas sumber daya laut sepanjang
radius 200 n.m. (370 kilometer) di sebelah luar laut teritorial suatu negara pantai.
Hal ini menyebabkan proliferasi sengketa ZEE dari dua atau lebih negara yang
12
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Departemen Luar Negeri
Direktorat Perjanjian Internasional, hlm 73
7
tumpang tindih, terutama di negara yang mengklaim kedaulatan di pulau-pulau
kecil karena banyak negara terutama negara kepulauan yang berada dalam jarak
yang kurang dari 400 n.m. di antara kedua negara memiliki ZEE yang berpotongan
satu sama lain.13
Untuk delimitasi landas kontinen dalam Pasal 83 ayat (1) UNCLOS 1982
menyatakan: “Penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya
berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan atas dasar
hukum internasional, sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah
Internasional untuk mencapai equitable solution.”14
Uniknya untuk pasal yang mengatur tentang delimitasi, UNCLOS 1982
memberi petunjuk teknis penarikan garis pangkal yang berbeda untuk masingmasing rezim hukum laut. Pada penentuan delimitasi laut teritorial ditetapkan
dengan metode atau cara menarik garis tengah (median line) atau garis sama jarak
(equidistance line). Ketentuan ini dapat disimpangi apabila terdapat alasan hak
historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlu ditetapkan batas laut
teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan
di atas. Berdasarkan esensi pasal di atas, sarana (means) dalam menentukan
delimitasi laut teritorial telah ditetapkan secara definitif melalui metode median
atau equidistance.
Di sisi lain, UNCLOS 1982 menetapkan bahwa delimitasi ZEE dan landas
kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus
13
Sumber dari http://people.hofstra.edu/geotrans/eng/ch5en/conc5en/EEZ.html, diakses
tanggal 9 Oktober 2012
14
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, op.cit, hlm. 83
8
diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai suatu
pemecahan yang adil (equitable solution). Dalam aturan ini prinsip Equitable
berkedudukan sebagai hasil dari delimitasi (result) dan tidak ada cara yang
dijelaskan secara definitif untuk mencapai delimitasi equitable solution.
Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan delimitasi ZEE dan landas
kontinen yang masih samar karena aturan yang dibuat tidak menentukan secara
eksplisit definisi equitable solution serta metode penarikan delimitasinya. Hal ini
merupakan salah satu contoh yang menunjukkan hukum itu terkadang masih samarsamar dan mengandung ketidakjelasan, jika membaca teks konvensi yang
tercantum di dalam hukum internasional ada yang memerlukan penjelasan lebih
lanjut meskipun teks konvensi atau rekam jejak konferensi sebelumnya telah
dipelajari dengan seksama.15
Ada beberapa peraturan dalam hukum internasional yang memiliki
kesamaran makna, ketidakjelasan peraturan ini juga diakui oleh Peterson dalam
bukunya:“Its reference to ‘international law’ is questioned on the grounds that the
rules of international law are too general and that the principles of justice and
equity are abstract and vague.”16
Berdasarkan pendapat para ahli hukum, hukum internasional memiliki tiga
permasalahan khusus yang mengacaukan keefektifan hukum internasional di
15
Henrik Ringbom, (eds), 1997, Competing Norms In the Law of Marine Environmental
Protection, Kluwer Law International: Dordrecht, hlm. 5
16
Maureen Williams, Book Review, “International Regimes For The Final Frontier. By
M. J. Peterson,” 105 Am. J. Int'l L. 403, 2005, hlm. 406
9
masyarakat internasional, yaitu: (1) ambiguity of rules; (2) a widespread perception
of recurrent non-compliance; (3) absence or defect in rules. 17 Berdasarkan
pendapat di atas permasalahan penentuan equitable principle ini termasuk dalam
kategori satu, yaitu terdapat kesamaran atau ambigu peraturannya.
Ada dua kemungkinan penyebab perbedaan pendapat atau sengketa dalam
penyelesaian perbatasan maritim:18
1. Sengketa atas kedaulatan daratan
Dua negara dapat mengklaim pulau yang sama (contohnya:
perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia)
atau klaim terhadap daratan yang sama (contohnya Bakassi
peninsula dalam kasus Mahkamah Internasional antara Cameroon v.
Nigeria). Untuk menyelesaikan permasalahan di atas, aturan yang
terkait dalam hukum internasional antara lain berhubungan dengan
akuisisi kedaulatan serta aktivitas manusia di wilayah tersebut
(okupasi dan administrasinya).
2. Overlapping entitlements atas hak dan yurisdiksi maritim
Klaim yang tumpang tindih antara negara yang bersebelahan atau
berseberangan di wilayah 200 n.m. ZEE dan landas kontinen.
Semenjak hak berdaulat negara pantai diperluas sampai 200 n.m.
berakibat klaim tumpang tindih semakin banyak terjadi. Untuk
menyelesaikan isu klaim tumpang tindih ini, aturan hukum
17
Yasuhiro Shigeta, 2010, International judicial control of environmental protection,
Wolters Kluwer: Netherlands, hlm. 1
18
http://chathamhouse.org/sites/default/files/public/Research/International%20Law/ilp140
206.doc, diakses tanggal 21 Januari 2014
10
internasional yang berkaitan adalah delimitasi perbatasan maritim.
Aturan delimitasi ini terdapat dalam UNCLOS, praktek negaranegara serta yurisprudensi internasional.
Sampai saat ini masih terdapat sejumlah perbatasan ZEE dan landas
kontinen yang belum selesai proses perjanjian delimitasinya, selain itu terdapat
sejumlah negara yang mengeluarkan legislasi nasional yang mengklaim ZEE atau
landas kontinen yang berbatasan dengan negara lain baik itu berseberangan ataupun
berdampingan dengan tanpa adanya perjanjian delimitasi perbatasan maritim
dengan negara tetangganya atau dilakukan secara sepihak.
Sebagai contoh, terdapat beberapa kasus sengketa ZEE dan landas kontinen,
diantaranya: sengketa di kepulauan Spratly di Laut China Selatan, yaitu wilayah
laut yang diperebutkan oleh China, Vietnam, Malaysia, Taiwan, Brunei dan
Filipina; permasalahan ZEE yang belum selesai antara negara Indonesia dan
Malaysia di wilayah Selat malaka; sengketa landas kontinen antara China dan
Jepang di Laut China Timur di Pulau Diaoyu; 19 sengketa antara Kanada dan
Amerika Serikat di Beauford Sea; protes dari negara Islandia, Inggris dan Irlandia
atas klaim Denmark bahwa landas kontinen di Kepulauan Faroe melampaui 200
n.m.; permasalahan landas kontinen laut Kaspia antara Turkmenistan dengan
Azerbaijan, Iran dan Kazakhstan. 20
Zhu Fenglan, 2006, “The Delimitation of East China Sea Continental Shelf :SinoJapanese Disputes from the Perspective of International Law,” China International Studies-Fall
2006,sumber: http://yataisuo.cass.cn/English/Articles/showcontent.asp?id=793, diakses tanggal 9
Oktober 2012
20
Sumber dari https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/fields/
print_2070.html, diakses tanggal 9 Oktober 2012
19
11
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang besar, dalam
penentuan delimitasi dengan negara lain tunduk pada rezim peraturan negara
kepulauan, dalam
UNCLOS 1982 konsep negara kepulauan mendapatkan
pengakuan dengan dimasukkannya Bab IV tentang Negara Kepulauan yang
meliputi ketentuan-ketentuan hukum tentang definisi negara kepulauan, cara
penarikan garis pangkal kepulauan, status hukum perairan kepulauan hak lintas
alur-alur laut kepulauan, dan hak lintas damai.
Setelah dikukuhkannya konsep negara kepulauan dalam hukum laut
internasional menyebabkan luas laut wilayah Indonesia bertambah secara legal
dengan sangat signifikan dengan panjang pantai menjadi ± 81 ribu km, memiliki
wilayah daratan seluas ± 2.207 juta km2, perairan seluas ± 5.8 juta km2.21 Selain
luas laut wilayah tersebut di mana Indonesia memiliki kedaulatan penuh, masih
ditambah dengan luas zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen di mana
Indonesia memiliki hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber
kekayaan alam yang telah diatur dalam UNCLOS 1982. Indonesia juga berhak
menggunakan penarikan garis pangkal kepulauan dalam penentuan zona-zona lain
di dalam UNCLOS 1982. Untuk itu peneliti mengkaji substansi equitable principle
dalam penentuan delimitasi di ZEE dan landas kontinen berdasarkan karakter
Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state).
Problem perbatasan negara Indonesia yang belum tuntas juga masih menjadi
masalah bagi pemerintah. Perbatasan maritim Indonesia berhubungan langsung
21
Sumber dari makalah Haris D Nugroho, “Penanganan Perbatasan Negara dan ALKI
Ditinjau dari Aspek Hankam,” Makalah yang disampaikan dalam Diklat Fungsional Analis Jak
Hanneg di Jakarta, 19 Maret 2014
12
dengan 10 negara tetangga dan ada beberapa wilayah perbatasan antara Indonesia
dengan negara tetangga yang belum disepakati bersama. Negara yang berhadapan
langsung dengan Indonesia antara lain adalah:
a. India dan Thailand di Laut Andaman;
b. Thailand di Selat Malaka bagian Utara;
c. Malaysia di Selat Malaka bagian Selatan, di Laut Sulawesi serta di Laut
Natuna bagian Timur dan Barat;
d. Vietnam di Laut China Selatan;
e. Filipina di Laut Sulawesi;
f. Palau di Samudera Pasifik;
g. Australia di Laut Arafura, Laut Timor, Samudera Hindia dan di wilayah
perairan di sekitar Pulau Christmas;
h. Timor Leste di Laut Timor.
Dari seluruh batas wilayah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga,
batas terpanjang adalah dengan Malaysia. Saat ini sebagian besar batas laut
teritorial dan landas kontinen telah disepakati, baik oleh Indonesia maupun
Malaysia. Persetujuan batas laut teritorial telah mencapai lebih dari 80 persen dan
yang belum disepakati adalah 20 persen, yaitu sepanjang hampir 50 n.m. atau 92,6
kilometer.
Beberapa tempat yang belum ada kesepakatan perjanjian perbatasan yaitu:
di bagian barat, daerah ”abu-abu” (“Grey Area”) itu berada di selatan Selat Malaka,
daerah antara Johor dan Pulau Bintan, serta perairan dekat Batu Puteh di timur
Singapura. Perairan Kalimantan perbatasan yang belum disepakati ada di Tanjung
13
Datuk yang berhadapan dengan Laut China Selatan dan Pulau Sebatik di Laut
Sulawesi. Landas kontinen yang sudah disepakati mencapai lebih dari 95 persen,
atau masih menyisakan batas berjarak kurang dari 100 mil atau 185,2 kilometer,
yaitu di Ambalat Laut Sulawesi. Namun, hingga kini Zona Ekonomi Eksklusif di
perbatasan kedua negara belum ada satu pun yang disepakati. Padahal, kawasan ini
memiliki arti penting bagi aspek ekonomi karena Zona Ekonomi Eksklusif
mengandung potensi perikanan dan nilai strategis dari aspek transportasi laut.
Salah satu contoh permasalahan delimitasi maritim yaitu garis batas
perairan ZEE antara Indonesia dan Malaysia dan adanya klaim tumpang tindih ZEE
di wilayah Selat Malaka secara tidak langsung memiliki dampak terhadap
perlindungan nelayan, jika suatu perbatasan belum diselesaikan maka berakibat
nelayan yang mencari ikan di sana terancam dapat ditangkap karena tidak jelasnya
perbatasan maritim antar negara. Penangkapan nelayan ini karena dianggap telah
melakukan pelanggaran dengan memasuki daerah kekuasaan negara tetangga serta
melakukan penangkapan ikan illegal (illegal fishing) di wilayah negara tetangga
tersebut. Usaha untuk menyelesaikan perundingan batas maritim secepatnya juga
mendukung perlindungan terhadap nelayan agar mereka dapat mencari ikan di
lokasi yang jelas merupakan bagian wilayah negaranya.
Dalam beberapa kesepakatan yang sudah dilakukan antara Indonesia
dengan negara tetangga, terdapat beberapa area yang menyebabkan klaim tumpang
tindih di rezim ZEE dan landas kontinen. Terdapat satu rezim yang sudah disepakati
bersama yang kebanyakan menyangkut wilayah landas kontinen, sedangkan
wilayah ZEE masih dalam proses penyelesaian. Timbulnya ketidaksepahaman
14
dalam penyelesaian delimitasi di ZEE ini karena beberapa negara tetangga
Indonesia menyatakan bahwa perbatasan ZEE dengan sendirinya mengikuti
perbatasan landas kontinen yang sudah lebih dahulu ditetapkan. Hal ini disebut
sebagai “single maritime boundary” dalam perbatasan maritim. Kendala bagi
penyelesaian delimitasi ini adalah Indonesia tidak menyetujui penentuan batas ZEE
dan landas kontinen diwakili oleh satu garis karena beberapa alasan yang dibahas
secara mendetail dalam Bab IV disertasi ini. Beberapa kesepakatan yang memiliki
posisi kasus seperti itu antara lain dengan negara Malaysia, India, Thailand dan
Vietnam.
Berdasarkan posisi unilateral perbatasan maritim Indonesia di ZEE jelas
digambarkan dalam peta resmi Indonesia. Indonesia telah mengklaim area yang
lebih besar di ZEE (kolom air) dibandingkan dengan landas kontinen (dasar laut)
yang dimiliki oleh Indonesia saat ini. Hal ini mungkin menjadi sumber
kekhawatiran bagi negara-negara tetangganya.22 Mengingat pola yang sama dalam
permasalahan kasus ini antara Indonesia dengan beberapa negara, maka peneliti
merasa penting untuk menelaah tentang single maritime boundary untuk menjadi
salah satu obyek penelitian yang relevan terhadap pencapaian equitable principle
dalam penentuan delimitasi Indonesa dengan negara tetangga.
Berdasarkan tinjauan dari sisi filosofis, equitable principle memiliki
permasalahan filosofis, yaitu terdapat ketidakjelasan makna dari equitable yang
merupakan suatu asas yang absolut dalam tujuan delimitasi. Hal ini mungkin terjadi
22
I Made Andi Arsana, “Predicting Indonesia’s Maritime Boundaries,” sumber:
http://www.thejakartapost.com/news/2011/12/22/predicting-Indonesia-s-maritimeboundaries.html, diakses tanggal 13 januari 2014
15
karena prinsip hukum equitable ini terlalu umum dan luas sehingga dapat terjadi
salah interpretasi antara para pihak yang sedang melakukan proses delimitasi.
Pembahasan mengenai definisi equitable principle dalam tataran hukum laut
internasional belum tuntas dilakukan baik oleh pengadilan internasional maupun
dari pendapat para sarjana hukum internasional.
Dalam penentuan keputusan delimitasi melalui peradilan internasional
kewenangan pengadilan internasional dalam mencapai equitable principle sangat
luas. Untuk mencapai equitable principle maka alasan-alasan seperti: geografis,
geologis, ekonomi, sosial dan kriteria keadaan yang relevant (relevant
circumstances) dapat dijadikan unsur penentu dalam kasus penentuan batas wilayah
maritim. Equitable yang secara umum biasa diterjemahkan sebagai keadilan atau
keseimbangan, merupakan keadilan dari sudut pandang para hakim di peradilan
internasional. Keadilan sendiri sampai saat ini belum mendapat definisi yang ajeg
mengingat keadilan dapat dilihat dari berbagai sudut tergantung dari masingmasing pihak yang memandangnya.
Lebih jauh lagi, pencapaian prinsip equitable antara negara pantai dengan
negara kepulauan lebih kompleks, mengingat negara kepulauan memiliki hak untuk
melakukan penarikan garis pangkal kepulauan yang tidak dimiliki oleh negara
pantai. Secara filosofis perlu dipertegas pemahaman equitable principle dalam
perspektif negara kepulauan yang ditinjau dari sisi interpretasi, area, orientasi,
cakupan serta tujuan equitable principle.
Jika ditinjau dari sisi normatif, maka pencantuman secara eksplisit equitable
principle dalam penentuan delimitasi di ZEE dan landas kontinen hanya merupakan
16
suatu tujuan akhir yang ingin dicapai oleh proses delimitasi, di sini terdapat
kekosongan hukum tentang bagaimana cara atau metode teknis dalam proses
delimitasi sedangkan metode teknis ini merupakan salah satu elemen dasar yang
diperlukan dalam setiap penarikan delimitasi perbatasan maritim. Perlu
pembahasan yang mendalam tentang indikator penting untuk mencapai equitable
principle dalam konsep negara kepulauan.
Berdasarkan sisi implementatif, maka dengan tidak adanya definisi
equitable principle serta tidak diaturnya cara atau metode untuk melakukan
delimitasi secara teknis mempersulit penyelesaian delimitasi antar negara di dalam
prakteknya. Pada akhirnya banyak timbul kasus sengketa atau menyebabkan
lamanya proses delimitasi perbatasan maritim yang tidak hanya merugikan para
pihak namun juga dapat mempengaruhi keamanan dan stabilitas masyarakat
internasional. Untuk mengatasi hambatan dalam implementatsi equitable principle
ini, maka diperlukan identifikasi
detail atas penyebab hambatan delimitasi
equitable principle khususnya dalam perspektif Indonesia sebagai negara
kepulauan.
Pentingnya pemecahan masalah filosofis, normatif dan implementatif
equitable principle berkaitan erat dengan usaha penyelesaian delimitasi. Perbatasan
maritim yang telah ditentukan dengan jelas merupakan elemen dasar untuk
hubungan internasional yang baik dan pengelolaan laut yang efektif. Jika
perbatasan maritim belum diselesaikan dapat menimbulkan resiko politik dan
keamanan yang berpotensial besar dalam sengketa perbatasan maritim.
17
Sebagaimana yang dikatakan oleh Lord Curzon's: "frontiers are the razor's edge on
which hang suspended…issues of war and peace…"23
Perbatasan maritim yang belum diselesaikan dapat menyebabkan hambatan
bagi aktivitas ekonomi seperti eksplorasi dan perikanan karena adanya
kekhawatiran dianggap sebagai pelanggaran oleh negara lain diperbatasan tersebut.
Selain itu, dapat pula menimbulkan penyebab sengketa baru, seperti contoh
penangkapan nelayan yang dituduh mencuri ikan di perbatasan atau penemuan
sumber minyak dan gas bumi baru di wilayah tumpang tindih akan menyebabkan
perebutan antara kedua negara yang merasa berhak atas sumber daya alam
tersebut.24
Perbatasan
yang
tidak
terselesaikan
dapat
merugikan
kegiatan
perekonomian, seperti pekerjaan eksplorasi atau penangkapan ikan, karena takut
akan reaksi dari negara lain. Selain itu, perbatasan yang belum jelas secara tidak
sengaja menyebabkan perselisihan, seperti misalnya, seorang nelayan yang
ditangkap karena menangkap ikan di daerah perbatasan atau jika terdapat penemuan
minyak bumi di daerah yang merupakan klaim tumpang tindih antara dua negara.25
Sebaliknya, tercapainya kesepakatan perbatasan membawa manfaat positif.
Kepastian hukum berarti bahwa kegiatan ekonomi dapat dimulai. Industri minyak
dapat lisensi untuk bekerja sampai ke garis perbatasan. Penegakan hukum
perikanan juga dimungkinkan sampai ke garis perbatasan. Perbatasan maritim yang
23
http://chathamhouse.org/sites/default/files/public/Research/International%20Law/ilp140
206.doc, diakses tanggal 21 Januari 2014
24
Ibid.
25
Ibid.
18
jelas menghilangkan "kerusakan" yang disebabkan oleh ketidakpastian yurisdiksi.
Sebagaimana dikatakan dalam kutipan puisi Robert Frost 26
yang berjudul
“Mending Wall” dalam sebuah baitnya: "Good fences make good neighbours."
Percepatan penyelesaian perbatasan maritim bagi negara Indonesia
merupakan salah satu agenda penting yang harus dilakukan. Untuk alasan tersebut
maka penelitian mengenai equitable principle di landas kontinen dan zona ekonomi
eksklusif ini menggunakan ruang lingkup di wilayah perbatasan maritim Indonesia
sebagai salah satu kontribusi nantinya dalam mendorong penyelesaian delimitasi
perbatasan Indonesia. Cakupan penelitian adalah perbatasan Indonesia dengan
negara tetangga baik yang belum selesai maupun yang sudah selesai untuk
mengkaji lebih lanjut equitable principle yang menjadi topik penelitian ini.
Untuk lebih fokus dan terarah maka peneliti membatasi ruang lingkup
penelitian dalam beberapa kategori:
1. Kategori ruang lingkup pembahasan; dalam penelitian ini pembahasan di
pusatkan pada penentuan delimitasi ZEE dan landas kontinen di mana hak
yang berlaku di sana berbentuk hak berdaulat, jadi suatu negara tidak
memiliki wilayah tersebut secara penuh, tidak seperti zona teritorial yang
dimiliki oleh negara dan berdaulat penuh di sana. Selain itu alasan
penetapan obyek penelitian kepada penentuan delimitasi ZEE dan landas
kontinen karena kedua rezim ini memiliki aturan delimitasi yang sama
berdasarkan UNCLOS 1982.
26
Mark Richardson, 2014, Robert Frost in Context, Cambridge University Press:
Cambridge, hlm. 207
19
2. Kategori ruang lingkup wilayah; wilayah penelitian ini adalah perbatasan
maritim Indonesia dengan negara tetangganya, baik yang sudah selesai
dilakukan delimitasi maupun yang belum selesai dilakukan delimitasi dalam
meneliti equitable principle yang menjadi topik sentral penelitian ini.
Analisis terhadap equitable principle perlu dilakukan agar dapat
memperjelas definisi equitable dan pencapaian kesepakatan delimitasi maritim di
ZEE dan landas kontinen. Mengingat pentingnya perbatasan ZEE dan landas
kontinen dalam hukum laut internasional dan khususnya bagi negara Indonesia
maka peneliti merasa perlu untuk mengangkat permasalahan equitable principle
ini untuk dijadikan penelitian disertasi yang kemudian dituangkan dalam judul
penulisan hukum: “Equitable Principle Dalam Penentuan Delimitasi Perbatasan
Indonesia Dengan Negara-Negara Lain di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas
Kontinen.”
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tampaklah bahwa tujuan dari
perubahan UNCLOS 1982 untuk sesegera mungkin menyelesaikan dan
mempermudah proses delimitasi perbatasan maritim khususnya untuk wilayah
ZEE dan landas kontinen masih belum sepenuhnya tercapai. Ketidakjelasan definisi
pencapaian equitable solution menjadi suatu perdebatan baru para ahli hukum
internasional. Pencapaian equitable solution perlu diteliti terlebih pada negara
kepulauan yang memiliki pola penarikan garis pangkal kepulauan yang berbeda
dengan negara pantai umumnya. Secara khusus perlu diidentifikasi mengenai
permasalahan penyelesaian perbatasan maritim antara Indonesia dengan negara
20
tetangga. Perlu dicermati apakah penentuan delimitasi antara negara kepulauan dan
negara pantai dalam penentuan equitable principle terdapat kendala yang berarti?
Beberapa perbatasan Indonesia dengan negara tetangga ditengarai terdapat
perbedaan pandangan terhadap metode penarikan perbatasan maritim, di mana
negara tetangga Indonesia menghendaki penerapan single maritime boundaries,
sedangkan Indonesia menghendaki penerapan perbatasan maritim yang berbeda
antara ZEE dan landas kontinen. Untuk menjawab hal tersebut maka dirumuskanlah
permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Mengapa terdapat perbatasan ZEE dan landas kontinen Indonesia
dengan negara-negara lain yang belum dapat diselesaikan dengan
equitable principle?
2. Bagaimana substansi equitable principle dalam penentuan delimitasi di
ZEE dan landas kontinen berdasarkan karakter Indonesia sebagai negara
kepulauan (archipelagic state) ?
3. Apakah single maritime boundaries menghasilkan equitable solution
dalam hal permasalahan perbatasan Indonesia dengan negara
tetangganya di ZEE dan landas kontinen?
C. Keaslian Penelitian
Untuk menunjang keaslian penelitian ini maka telah dilakukan penelusuran
terhadap penelitian dan karya ilmiah yang berhubungan dengan topik
permasalahan. Terdapat beberapa penelitian yang memiliki topik yang senada
namun memiliki perbedaan sudut pandang dalam fokus kajiannya. Sampai saat
21
penelitian ini telah dilakukan belum ditemukan permasalahan yang sama dengan
permasalahan yang dikaji dalam disertasi ini.
Untuk melihat keaslian penelitian ini perlu dijelaskan bahwa penelitian
disertasi ini fokusnya tentang equitable principle dalam penentuan delimitasi di
ZEE dan landas kontinen dimana variabel yang dianalisis adalah asas hukum serta
konsep negara kepulauan Indonesia dan konsep single maritime boundary yang
berkaitan dengan problem perbatasan maritim Indonesia. Substansi kajian
penelitian ini berkisar pada penemuan kerangka hukum equitable principle serta
definisinya. Adapun obyek kajiannya adalah perbatasan Indonesia dengan negaranegara tetangga. Metode yang dipergunakan adalah metode yuridis normatif yang
merupakan studi pustaka.
Dari referensi tesis Strata 2, penulis mendapatkan penelitian yang berkaitan
dengan perbatasan Indonesia yang dilakukan oleh I Made Andi Arsana yang
berjudul: 27 “Challenges and Opportunities in Indonesia’s Maritime Boundary
Delimitation: A Legal and Technical Approach.” Dalam
penelitian ini yang
menjadi fokus adalah tantangan dan manfaat yang di dapat dalam penyelesaian
perbatasan maritim Indonesia secara keseluruhan, baik itu perbatasan teritorial,
ZEE ataupun landas kontinen. Penelitian ini menggabungkan studi literatur dan
percobaan teknis menggunakan data geospasial (peta, citra satelit dan data
lapangan) untuk menghasilkan tesis yang komprehensif menyangkut aspek hukum
dan teknis/geodesi dari delimitasi perbatasan maritim. Tujuan penelitian Andi
27
I Made Andi Arsana, Challenges and opportunities in the delimitation of Indonesia's
maritime boundaries: a legal and technical approach, Thesis, Australian National Centre for Ocean
Resources and Security, University of Wollongong, 2014. http://ro.uow.edu.au/theses/4040,
diakses tanggal 25 Februari 2013
22
Arsana adalah untuk melakukan studi kritis dan komprehensif serta analisis
mengenai aspek hukum dan teknis/geodesi yurisdiksi maritim dan perbatasan yang
relevan dengan Indonesia.
Penelitian tesis lainnya dilakukan oleh Andrew Mark Macrae Halliday yang
mengangkat topik tentang negara kepulauan dalam tesisnya yang berjudul:
“Archipelagic Matters:The Case Of The United Nations Convention On The Law
Of The Sea And The Republic Of The Philippines.” 28 Tesis ini meneliti kasus
Republik Filipina dalam menetapkan archipelagic sea lanes (ASLs) dan pengaruh
di tingkat nasional dan internasional yang memberikan dampak pada proses
penetapan ASLs di Filipina. Jika dibandingkan topik penelitian disertasi ini
penekanan konsep negara kepulauan lebih dikaitkan pada equitable principle,
sedangkan Halliday menekankan pada kajian alur laut kepulauan.
Untuk referensi dalam tataran jurnal ilmiah terdapat penelitian yang
mengangkat permasalahan mengenai problem penentuan equitable principle dalam
delimitasi perbatasan maritim yang ditulis oleh M. Shah Alam dan Abdullah Al
Faruque yang berjudul “The Problem of Delimitation of Bangladesh’s Maritime
Boundaries with India and Myanmar: Prospects for a Solution.”29 Penelitian ini
menganalisis permasalahan klaim tumpang tindih dari tiga negara: Bangladesh,
India, dan Myanmar di Teluk Benggala untuk zona maritim laut teritorial, ZEE, dan
landas kontinen yang perlu diselesaikan agar eksplorasi sumber daya alam dapat
28
Andrew M.M. Halliday, 2013, Archipelagic Matters:The Case Of The United Nations
Convention On The Law Of The Sea And The Republic Of The Philippines,1-199, Master’s Thesis,
University Of Prince Edward Island
29
M. Shah Alam dan Abdullah Al Faruque, “The Problem of Delimitation of Bangladesh’s
Maritime Boundaries with India and Myanmar: Prospects for a Solution.” The International Journal
of Marine and Coastal Law 25, 2010, 405–423
23
segera dilakukan. Sementara India dan Myanmar ingin menetapkan perbatasan
maritim berdasarkan prinsip equidistance, Bangladesh menuntut perbatasan harus
didasarkan pada equitable principle. Keadaan geografis khusus dari zona pesisir
negara-negara ini menjadi perhatian utama dalam penelitian itu agar perbatasan
yang akan ditetapkan menghasilkan equitable solution.
Selain itu penelitian tentang peran equitable principle dilakukan oleh L. D.
M. Nelson yang berjudul “The Roles Of Equity In The Delimitation Of Maritime
Boundaries.”30 Tema utama yang disorot dalam artikel Nelson ini mengenai peran
prinsip equity dalam penentuan delimitasi perbatasan maritim, sebagaimana
tercantum dalam UNCLOS 1982 bahwa untuk penentuan delimitasi landas
kontinen dan zona ekonomi eksklusif bagi negara yang berdampingan atau
berseberangan harus menggunakan equitable principle agar mencapai hasil yang
adil. Dalam struktur penjelasannya di bagian kedua, Nelson memaparkan alasan
utama mengapa pada akhirnya dunia internasional memilih prinsip equity dalam
usaha penentuan delimitasi perbatasan maritim. Pada awal perkembangan konsep
landas kontinen telah dikemukakan argumen bahwa fitur geografis sangat
bervariasi sehingga sangat sulit untuk menempatkan aturan baku yang mengatur
pembentukan perbatasan maritim antara negara. Ide tentang keunikan masingmasing perbatasan mendapat dukungan signifikan dalam yurisprudensi Mahkamah
Internasional dan Pengadilan Arbitrase yang menangani sengketa batas maritim.
Alasan keunikan bentuk masing-masing geografis ini menyebabkan sulitnya
L.D.M. Nelson, “The Roles Of Equity In The Delimitation Of Maritime Boundaries,”
84 Am. J. Int'l L. 837, 1990, hlm 837-858
30
24
pemilihan suatu metode baku dalam penentuan delimitasi sehingga aturan
delimitasi dibuat fleksibel dan longgar melalui equitable principle.
Selanjutnya di bagian ketiga membahas peran penting prinsip equity dengan
menganalisis putusan-putusan pengadilan dan arbitrase internasional terkait
perkembangan prinsip equity dalam delimitasi dengan menambahkan beberapa
kritikan atas perkembangan tersebut. Nelson juga membahas beberapa metode atau
prinsip yang terkait dengan sarana pencapaian equitable solution, diantaranya
adalah metode equidistance, natural prolongation, kriteria jarak, dengan dilengkapi
beberapa komentar atas hasil pengamatannya. Selanjutnya di bagian akhir Nelson
mengulas kemungkinan untuk membuat gagasan sistem equity yang terstruktur
dengan baik dan peran penting dan fungsi pengadilan atau arbitrase internasional
dalam permasalahan delimitasi maritim.
Penulis lain yang mengangkat masalah equity adalah M. W. Janis yang
menulis artikel tentang “Equity And International Law: The Comment In The
Tentative Draft.”31 Artikel ini secara khusus bertujuan membahas peran ‘equity’
serta memberikan komentar terhadap prinsip ‘equity’ yang tercantum di dalam
Tentative Draft No. 1 of the Restatement of Foreign Relations Law of the United
States. Pada bagian awal Janis memaparkan definisi ‘equity’ dalam doktrin
tradisional dan dunia modern dalam hukum internasional. Selanjutnya Janis juga
memaparkan mengenai permasalahan kedudukan equity principle di dalam sumber
hukum internasional di mana hal ini timbul karena equity principle tidak secara
M.W. Janis, “Equity And International Law: The Comment In The Tentative Draft,”
Vol.57 Tulane Law Review, 1982, hlm. 80-88
31
25
eksplisit tercantum dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional. Artikel ini
juga membahas mengenai permasalahan kedudukan equity principle dibandingkan
dengan prinsip ex aequo et bono yang secara umum definisinya terlihat sama.
Menurut Janis permasalahan riil saat ini yang ditimbulkan oleh peran equity dalam
hukum internasional terutama berkaitan dengan dua jenis perselisihan: perselisihan
tentang delimitasi wilayah maritim dan distribusi global kesejahteraan.
Artikel lain yang ditulis oleh M.W. Janis yang juga relevan adalah “The
Ambiguity Of Equity In International Law.” 32 Untuk artikel Janis yang kedua
membahas mengenai kesamaran/ambiguitas prinsip equity dalam hukum
internasional secara umum. Dalam bahasannya yang pertama, Janis menjelaskan
secara deskriptif beberapa doktrin umum tentang peran “equity”dalam hukum
internasional; kedua, pembahasan analitis untuk mengevaluasi seberapa baik atau
buruk prinsip tersebut bekerja dalam menjelaskan praktek internasional dewasa ini;
ketiga, pembahasan preskriptif untuk menguraikan persepsi ketiga mengenai peran
“equity” dalam hukum internasional.33
Penelitian tentang perbatasan maritim secara umum di regional Asia
Tenggara dilakukan oleh Tara Davenport dengan judul “Southeast Asian
Approaches to Maritime Boundaries.” 34 Penelitian ini menganalisis perbatasan
maritim di Asia Tenggara dari perspektif geografis dan geopolitik dan merupakan
studi kasus yang sangat menarik untuk perbatasan maritim. Meskipun adanya
32
M.W. Janis, “The Ambiguity Of Equity In International Law,” Vol.IX:1 Brooklyn
Journal of International Law, 1983, hlm. 7-34
33
Ibid.
34
Tara Davenport, “Southeast Asian Approaches to Maritime Boundaries,” Asian Journal
of International Law, 4, 2014, pp. 309–357
26
hambatan yang signifikan untuk penetapan perbatasan maritim, termasuk geografi
pesisir yang kompleks dan banyak perselisihan teritorial dan yurisdiksi, Asia
Tenggara telah digambarkan sebagai “scene of very active and innovative ocean
boundary diplomacy.” Tujuan dari makalah ini adalah untuk menguji pendekatan
perbatasan maritim di Asia Tenggara. Pertama, untuk mengidentifikasi apakah ada
kecenderungan umum dan praktek dalam praktek Asia Tenggara yang telah
memberi kontribusi pada tingginya jumlah perbatasan maritim yang disepakati oleh
negara-negara Asia Tenggara. Kedua, penelitian ini mengeksplorasi sejauh mana
praktik Asia Tenggara telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan
normatif hukum internasional tentang perbatasan maritim. Ketiga, penelitian ini
membahas apakah ada pelajaran yang bisa diambili dari praktek Asia Tenggara
yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah perbatasan maritim yang
belum terselesaikan di kawasan itu.
Penelitian dalam Strata S3 dilakukan oleh Mohamed Munavvar yang
berjudul ”Ocean States: Archipelagic Regimes In The Law Of The Sea.”35 Disertasi
ini membahas tentang pengembangan konsep negara kepulauan dalam hukum laut
internasional di mana keadaan geografis, ekonomi, sosial, politik dan lingkungan
dari negara kepulauan berbeda dengan negara pantai, oleh karena itu memerlukan
definisi yang lebih realistis untuk mewakili wilayah negara kepulauan. Konsep
negara kepulauan dalam hukum laut internasional telah menciptakan sebuah
metode yang fungsional untuk akuisisi wilayah dalam hukum internasional. Akan
35
Mohamed Munavvar, 1993, Ocean States: Archipelagic Regimes In The Law Of The Sea,
Dissertation at Dalhousie University, Halifax, Nova Scotia
27
tetapi, konsep kepulauan tidak harus dilihat hanya dalam hal perluasan yurisdiksi
pesisir oleh negara-negara tertentu, tetapi sebagai praktek serta dasar fungsional
untuk penentuan batas teritorial negara kepulauan. Dengan kata lain, perairan yang
menghubungkan pulau-pulau nusantara adalah bagian konstituen dari wilayah
negara kepulauan. Meskipun ukuran, sifat dan persyaratan dari berbagai negara
kepulauan berbeda jauh, konsep kepulauan menjadi dasar teritorial yang diperlukan
untuk persatuan nasional, kemandirian, dan integritas negara kepulauan. Konsep
negara kepulauan juga menentukan dasar penting bagi pembangunan berkelanjutan
negara kepulauan.
Dalam tataran disertasi penelitian tentang equitable principle telah
dilakukan oleh Kuen-Chen Fu dan telah diseminasikan dalam bentuk buku yang
berjudul “Equitable Ocean Boundary Delimitation.”36 Fokus bahasan Kuen-Chen
fu antara lain tentang evolusi hukum equitable principle, praktek negara dalam
delimitasi maritim, serta membahas metode dan indikator equitable principle untuk
penentuan delimitasi negara pantai secara umum. Adapun perbedaan penulis, yang
menjadi variabel adalah equitable principle dalam perspektif negara kepulauan,
khususnya perbatasan maritim antara Indonesia dengan negara tetangganya serta
keterkaitan teori keadilan dan kedaulatan terhadap equitable principle, yang belum
dibahas dalam disertasi Kuen-Chen fu.
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian karya-karya ilmiah yang telah
dilakukan para peneliti terdahulu terdapat kesamaan dalam hal-hal tertentu. Adapun
36
Kuen-Chen Fu, 1989, Equitable Ocean Boundary Delimitation, National Taiwan
University Law Books No. 58, 123 Information Company: Taipei:Taiwan
28
orisinalitas penelitian ini terletak pada variabel penelitiannya yaitu merupakan
penelitian yang mendalam mengenai asas equitable principle dalam konsep negara
kepulauan dengan sasaran kajian yang mencakup penelitian mengenai problem
penerapan equitable principle di wilayah perbatasan maritim Indonesia di ZEE dan
landas kontinen, untuk mengetahui kriteria indikator equitable principle bagi
negara kepulauan serta relevansi single maritime boundary pada delimitasi
Indonesia dengan negara tetangganya.
D. Manfaat Penelitian
Sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang bahwa penentuan
delimitasi maritim merupakan hal yang penting bagi Indonesia sehingga adanya
penelitian ini diharapkan dapat membantu secara akademis pemecahan problem
perbatasan maritim Indonesia. Secara sistematis manfaat penelitian ini dapat dilihat
sebagai berikut:
1. Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
Manfaat umum yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk
memberikan kajian dalam hukum laut internasional khususnya dalam penyelesaian
proses delimitasi maritim di ZEE dan landas kontinen dalam konteks negara
kepulauan khususnya Indonesia. Penelitian ini secara teoretis diharapkan mampu
untuk menganalisis equitable principle baik dari sisi filosofis, normatif dan
implementatif untuk memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya hukum laut internasional.
29
2. Manfaat bagi pembangunan hukum Indonesia
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini secara khusus di Indonesia dapat
memberikan informasi dan data yang komprehensif guna mencapai equitable
principle dalam penyelesaian delimitasi maritim dan dapat memberikan masukan
bagi pemerintah khususnya dalam penentuan batas maritim negara Indonesia yang
saling berhadapan atau berdampingan dengan negara lain di ZEE dan landas
kontinen serta mempercepat proses delimitasi yang belum selesai dengan negara
tetangga.
E. Tujuan Penelitian
Penelitian mengenai equitable principle dalam penyelesaian delimitasi
perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga di ZEE dan landas kontinen
dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh jawaban atas beberapa permasalahan
yang telah dirumuskan di atas. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis dan menemukan faktor penyebab problem yang
timbul dalam delimitasi perbatasan maritim di Indonesia dengan negara
tetangga dalam upaya mencapai equitable solution serta mencari jalan
keluar bagi permasalahan delimitasi tersebut agar dapat tercapai
percepatan penyelesaian perjanjian perbatasan maritim antar negara di
ZEE dan landas kontinen.
2. Untuk menganalisis dan menemukan kerangka kriteria indikator dan
definisi equitable principle dalam praktek penentuan delimitasi
30
perbatasan wilayah maritim berdasarkan karakter Indonesia sebagai
negara kepulauan di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.
3. Untuk menganalisis relevansi equitable principle dengan
single
maritime boundary dalam kasus perbatasan Indonesia dengan negara
tetangga di ZEE dan landas kontinen.
F. Sistematika Disertasi
Disertasi ini disusun dalam lima bab. Bab II membahas permasalahan kedua
dari rumusan permasalahan penelitian mengenai problema penerapan equitable
principle dalam penyelesaian perbatasan ZEE dan landas kontinen Indonesia
dengan negara-negara lain. Bab III merupakan pembahasan dari rumusan
permasalahan kedua yang merangkum konsep equitable principle dalam penentuan
delimitasi di ZEE dan landas kontinen berdasarkan karakter Indonesia sebagai
negara kepulauan dalam konteks kerangka teoritis dan konseptual. Bab IV
menyajikan pembahasan dari rumusan permasalahan ketiga, yaitu tentang equitable
principle dan relevansinya dengan
single maritime boundaries dalam kasus
perbatasan Indonesia dengan negara tetangga di ZEE dan landas kontinen. Bab V
merupakan Bab penutup yang merangkum hasil penelitian dalam suatu kesimpulan
untuk menjawab rumusan permasalahan serta saran bagi penelitian ini.
G. Tinjauan Pustaka
1.
Perkembangan Delimitasi Maritim
Selama berabad-abad dari masa penemuan rute pelayaran utama antar benua
sampai pada masa perang dunia kedua, perkembangan lautan hanya terkonsentrasi
untuk menjamin komunikasi maritim dan keamanan negara pantai. Perkembangan
31
ini diadopsi menjadi hukum kebiasaan yang muncul selama masa abad ke-17
melalui prinsip laut bebas dan pengakuan kedaulatan negara-negara pantai terhadap
wilayah laut yang berdampingan dengan pantainya, serta menjadi subjek untuk
menghormati hak lintas damai bagi pihak ketiga.37
Sejarah kepemilikan hak atas laut diawali pernyataan yang dibuat oleh Paus
Alexander VI dalam Inter Caetera (1492) yang membuat garis perbatasan imajiner
dari utara ke selatan 100 mil sebelah barat Pulau Azores dan Pulau Cave Verde dan
menyatakan bahwa wilayah laut dan teritori tersebut masuk kedalam kedaulatan
Spanyol. Kenyataan itu tidak dapat diterima oleh Portugal yang akhirnya
melakukan negosiasi dengan Spanyol yang akhirnya menghasilkan perjanjian
Tordesillas (1493) di mana dalam perjanjian itu Portugis mengklaim rute ke India
dan wilayah Atlantik Selatan, sedangkan Spanyol mengklaim wilayah laut Pasifik
dan Teluk Meksiko. Dari fakta di atas tampak bahwa peraturan atas laut masih
belum memiliki kepastian hukum di mana Portugis masih dapat meminta
pengaturan ulang mengenai batas teritorial kepada Paus Alexander VI.38
Tindakan Spayol dan Portugis membuat perjanjian Tordesillas ini mendapat
protes dari negara-negara Eropa Utara yang memiliki kepentingan perdagangan
melalui laut bebas. Hugo Grotius mengarang buku berjudul Mare Liberum (1609)
yang mengusung prinsip kebebasan di laut bebas. Untuk membantah pendapat
Grotius maka sarjana dari Inggris, Welwood dalam bukunya Abridgement of all Sea
Laws (1613) dan Selden yang mengarang buku Mare Clausum (1635) mendukung
37
Dupuy & Vignes (eds), 1991, A Handbook on the New law of the Sea, Kluwer:
Netherlands, hlm. 3
38
J. O’Brien, 2001, International Law, Routledge-Cavendish: New York, hlm. 391.
32
klaim Inggris atas kontrol pelayaran di Laut Utara. Melalui “perang buku” ini
O’Brien menarik kesimpulan bahwa yang akhirnya bertahan adalah pendapat
grotius dengan alasan prinsip laut bebas saling menguntungkan dan untuk
memfasilitasi perdagangan, selain itu juga karena suatu negara tidak dapat secara
efektif memiliki kedaulatan atas laut bebas kecuali mempunyai angkatan laut yang
memadai untuk mengawasi wilayah tersebut. 39 Sejalan dengan perkembangan
teknologi dan kebutuhan ekonomi terhadap sumber daya laut, maka prinsip yang
ternyata diterima oleh masyarakat internasional adalah mare clausum dengan
pengesahan UNCLOS 1982 yang memberikan negara pantai kewenangan hak
berdaulat sampai batas 200 n.m..
Terdapat perbedaan pola penguasaan antara daratan dan lautan, di darat
telah
diakui
mengenai
usaha-usaha
negara
dalam
rangka
untuk
memperluas/ekspansi wilayah daratannya. Kebalikan dengan hukum laut,
perkembangan usaha penguasaan lautan tidak diakui melalui tesis Grotius tentang
Mare liberum yang mengukuhkan bahwa lautan tidak dapat dimiliki atau dikuasai
oleh satu atau lebih negara di dunia dan larangan klaim kedaulatan teritorial di laut
bebas. Alasan bahwa laut tidak dapat dikuasai disimpulkan oleh Oxman melalui
alasan rasional yaitu “the interests of states in unrestricted access to the rest of the
world outweighed their interests in restricting the access of others at sea.”40
Di awal sejarah hukum laut, beberapa eksploitasi sumber kekayaan laut
khususnya perikanan telah dilakukan, namun baru dalam skala kecil dan hanya
39
Ibid, hlm. 392.
Bernard H.Oxman, “The Territorial Temptation: A Siren Song At Sea,” American
Journal of International Law, Oktober, 2006, hlm. 830.
40
33
dilakukan oleh beberapa negara saja, tanpa mempertimbangkan ancaman terhadap
cadangan sumber daya laut yang ada. Kemajuan besar dalam industri perikanan dan
peningkatan teknologi untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber alam di dasar laut
dan di lapisan tanah di bawahnya akhirnya mengubah pandangan klasik terhadap
lingkungan laut dan hukum yang telah dihasilkan dari pandangan klasik itu.
Pada masa lampau negara-negara di dunia jarang membatasi perbatasan
lautnya dengan negara lain. Situasi ini kemudian berubah, perkembangan sumber
kekayaan laut telah memimpin negara untuk menentukan batas-batas maritim
mereka secara lebih akurat. Dorongan utama dibalik pergerakan untuk menetapkan
batas maritim itu karena perkembangan teknologi yang menemukan hidrokarbon
dan sumber kekayaan alam mineral yang tinggi nilainya di dasar laut dan lapisan
tanahnya. Eksploitasi komersial dari sumber daya alam ini sering memerlukan area
yang telah ditentukan dan di alokasikan bagi masing-masing perusahaan minyak
yang mendapatkan ijin eksploitasi dari negara pantai. Hal ini menyebabkan negara
pantai memiliki dorongan kuat untuk mengklaim zona baru di luar yurisdiksi
maritim laut teritorial tradisional dan untuk menegaskan perbatasan antar negara
serta memaksimalkan wilayah di mana mereka memiliki kewenangan eksklusif
untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber kekayaan
alamnya. Sebagai
akibatnya dorongan untuk membuat perbatasan wilayah laut antar negara tetangga
semakin meningkat.41
41
Jonathan I. Charney, & Lewis M. Alexander (eds), 1993, International Maritime
Boundaries, Volume I, Martinus Nijhoff Publishers: Netherlands, hlm. xxiii.
34
Untuk perkembangan hukum laut pada masa lalu lebih bersandar pada
prinsip kebiasaan yang sederhana dan sudah di kenal secara umum. Hukum laut
pada masa itu merupakan salah satu hukum yang stabil dalam hukum internasional.
Hal ini karena teknik untuk memanfaatkan lingkungan laut dan untuk
mengeksploitasi sumber daya alam tidak mengalami kemajuan yang berarti dan
karena negara yang menikmati manfaat utama lautan hanya beberapa negara saja.
Negara tersebut biasa disebut “maritime powers,” yang memiliki pantai dan juga
armada kapal yang besar. Saat ini, perubahan yang radikal dalam hukum laut
merupakan akibat dari pesatnya perkembangan yang terjadi dalam teknologi
kelautan serta keragaman dan diversifikasi pelaku dalam kelautan.42
Konsep maritim manusia telah berevolusi dari mulanya "living by the sea"
dan "inshore sailing" ke konsep lautan sebagai saluran yang penting untuk
transportasi dan sebagai ruang penting bagi eksistensi manusia dan pembangunan.
43
Dengan bergesernya kepentingan tersebut membuat arus lalu lintas di laut
semakin tinggi.
Pengaruh kekuatan di laut dapat mempengaruhi besarnya suatu bangsa. Hal
ini didukung oleh argumen Mahan yang berpendapat bahwa secara politik kekuatan
di laut telah memberikan pengaruh yang menentukan pada pembangunan dan
kesejahteraan bangsa sepanjang sejarah.44 Dalam bidang politik-ekonomi, asumsi
dasarnya adalah bahwa ketika kereta api telah menjadi transportasi utama bagi
42
Dupuy & Vignes (eds), op.cit, hlm. xlvi.
Hwai-Pong Jinn et all, 2001, World Maritime Military Geography, National Defense
University: Beijing, hlm. 2
44
Mahan, “the influence of sea power upon History,” David Jablonsky (ed), 1999, Books
of Strategy: Book 4, Stackpole Books: Mechanicsburg, hlm. 48
43
35
perekonomian internal negara, kapal laut akan tetap lebih mudah, lebih murah, dan
dengan menjadi modus transportasi utama untuk perdagangan eksternal. Faktor
pertama dalam argumen Mahan adalah bahwa akuisisi koloni dan produksi
bersamaan dengan pengiriman yang menjadikan ekonomi maritim penting untuk
kemakmuran suatu negara dan berfungsi sebagai faktor pendorong dalam kebijakan
suatu bangsa yang berdekatan dengan laut. Faktor kedua adalah bahwa sejarah
menunjukkan perlunya supremasi angkatan laut dalam melindungi kepentingan
nasional terkait dengan ekonomi maritim, alasan utama pentingnya supremasi laut
itu dalam kancah perang antara kekuatan-kekuatan besar. Akhirnya, faktor ketiga
terdiri dari enam "kondisi pokok" atau unsur-unsur yang mempengaruhi
kemampuan suatu negara untuk mengembangkan kekuatan laut: posisi geografis,
konformasi fisik (meliputi iklim dan sumber daya alam), luas wilayah, jumlah
penduduk, karakter nasional, dan karakter pemerintah.45
Pada abad ke-20 keadaan mulai berubah, hal ini sejalan dengan adanya
kolonialisasi yang secara tidak langsung menjadikan lautan dunia sebagai bagian
dari subjek kekuasaan kolonial. Kolonialisasi menyebabkan meningkatnya jumlah
negara pantai independen yang menginginkan kontrol atas laut lebih luas yang
berbatasan langsung dengan negaranya. Setelah perang dunia ke-I masyarakat
internasional mulai berusaha untuk membentuk hukum laut melalui Liga BangsaBangsa dengan meminta Committee of Experts untuk membuat rancangan
kodifikasi hukum laut, namun draft kerja komite tersebut masih belum
menghasilkan konvensi. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi
45
Ibid.
36
menyebabkan spekulasi
perusahaan-perusahaan
swasta dalam melakukan
pengeboran di laut bebas serta berupaya melakukan eksplorasi kekayaan
tambangnya.46
Pada tahun 1945 dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa yang kemudian
membentuk International Law Commission (ILC) pada tahun 1947 yang aktif
dalam melakukan usaha kodifikasi hukum laut internasional. Salah satu momen
penting yang terjadi dalam hukum laut yaitu adanya Deklarasi Truman pada
September 1945 yang intinya menyatakan dua hal; pertama, hal yang berkaitan
dengan sumber kekayaan alam yang ada di bawah permukaan laut dan di dalam
tanah di daerah landas kontinen; kedua, hal yang berkaitan dengan penangkapan
ikan di wilayah laut bebas yang ada di atas landas kontinen tersebut. Bahaya dari
perbuatan hukum sepihak (unilateral law making) yang dilakukan oleh Amerika
Serikat yaitu selain melanggar zona maritim tradisional yang telah diakui sebagai
hukum kebiasaan internasional namun juga memicu negara lain untuk bereaksi
serupa. Dari tahun 1945 sampai dengan tahun 1955, beberapa negara Amerika latin
secara unilateral mendeklarasikan zona maritim dengan jarak yang berbeda-beda.
Negara-negara tersebut mengklaim jarak perairan teritorial dan tanah dibawahnya
sampai batas 200 n.m.47
a. Konsep Delimitasi
Untuk memperjelas pemaparan dalam penelitian ini maka beberapa poin
penting yang berkaitan dengan terminologi dan konsep yang digunakan dalam
46
47
O’Brien, op.cit, hlm. 393.
Ibid.
37
pembahasan diulas terlebih dahulu. Sebagaimana diketahui bahwa istilah-istilah
dalam proses delimitasi maritim banyak menggunakan istilah asing atau istilah
teknis sehingga perlu dijelaskan lebih terperinci.
Ada beberapa kata yang mewakili untuk menggambarkan arti ‘perbatasan,’
dalam hal ini kata-kata tersebut biasa diadopsi dari bahasa inggris. Sebagai contoh
dalam bahasa inggris terdapat kata “frontier” dan “boundary.” Pada awalnya, para
ahli hukum internasional tidak membuat perbedaan jelas definisi dari kedua kata itu
dalam penggunaannya untuk mewakili kata “perbatasan.” Sampai pada masa akhir
perang dunia ke-1, kedua kata di atas sering digunakan secara bergantian. Setelah
era 1920-an baru menjadi suatu kebiasaan untuk membedakan antara garis natural
untuk boundary dan karakter zona untuk frontier. Saat ini, didalam penggunaan
bahasa Inggris secara normal, istilah “boundary” hampir selalu mengacu pada
‘garis’ (a line), sedangkan penggunaan kata “frontier” untuk mengacu pada tipe
zona perbatasan.48
Selain itu istilah “boundary” juga harus dibedakan dengan istilah “a
maritime limit,” boundaries adalah garis yang memisahkan lingkup yurisdiksi dari
negara-negara yang berdampingan. “limits” adalah garis yang memisahkan lingkup
yurisdiksi suatu negara dari area maritim yang bukan merupakan subjek dari
otoritas suatu negara (laut bebas). Maritime boundaries selalu memiliki karakter
bilateral (berkaitan dengan dua negara atau lebih yang saling berdampingan),
48
Douglas M. Johnston, 1988, The Theory and History of Ocean Boundary-Making,
McGill-Queen’s University Press: Canada, hlm. 3
38
sedangkan maritime limits adalah perbuatan unilateral yang dilakukan oleh satu
negara (tidak memerlukan perjanjian atau perundingan dengan negara lain).49
Istilah delimitasi dalam proses penyelesaian perbatasan maritim harus
dipergunakan dengan hati-hati agar tidak terjadi kesalahan dalam penggunaannya.
Penarikan baselines atau closing lines/penutup mulut teluk dan tempat lainnya oleh
suatu negara pantai secara unilateral yang tidak berbatasan secara langsung dan
tidak tumpang tindih dengan negara lain disebut “delineation.”
Definisi delimitasi adalah suatu proses dalam penentuan pembagian garis
antar pemerintahan dari negara yang bertetangga melalui deskripsi verbal untuk
menunjukkan lokasi perbatasan yang dibuat, yang terkadang disertai dengan petapeta atau denah gambar. Definisi verbal ini dimuat di dalam perjanjian, persetujuan,
ataupun berasal dari keputusan pengadilan.50
Definisi dari delimitasi maritim sendiri adalah: ”the process that consists of
“establishing lines separating from each other the maritime areas in which coastal
states exercise jurisdiction.”51 Delimitasi perbatasan di dalam perjanjian haruslah
komplit, akurat dan tepat. 52 Kemajuan dari beberapa metode dalam menentukan
perbatasan menjelaskan bahwa, “sebuah dokumen tunggal dapat menggunakan
beberapa metode delimitasi untuk bagian garis batas yang berbeda,”53 yaitu:
49
Antunes, op.cit., hlm. 6
Ron Adler, “Geographical Information and International Land Boundaries,” Volume 3
Number 4 International Boundaries Research Unit, hlm. 10
51
Lucius Caflisch, “Maritime Boundaries, Delimitation” R. Bernhardt (ed.), Encyclopedia
of Public International Law, Instalment 11, 1989, Elsevier Science Publishers: Netherlands, hlm.
212
52
Adler, op.cit., hlm. 5
53
Ibid.
50
39
1. Complete Definition, yang merupakan upaya untuk menjelaskan
garis perbatasan secara menyeluruh dan demarkasi hanyalah
merupakan bagian dari rutinitas survey.
2. Complete Definition, with power to deviate, yang menjabarkan garis
batas selengkap mungkin dari data yang didapat di lapangan, namun
juga memasukkan klausul yang memberikan wewenang kepada
demarkator untuk membuat perubahan atau membuat rekomendasi,
yang bertujuan untuk memfasilitasi penetapan garis batas yang
sesuai dengan situasi pandangan di lapangan.
3. Definition by turning point, definisi adalah yang paling umum dan
metode yang paling logis karena setiap garis dapat didefinisikan oleh
bagian, yang bervariasi dalam panjang, dalam rangka untuk
mengekspresikan bentuk garis. Merupakan praktek yang telah
diterima dalam survei untuk membuat kurva/lengkungan dengan
membuat urutan garis yang mendekati kurva yang diinginkan.
intervisibilitas antara titik balik tidak lagi menjadi keharusan teknis,
tetapi tetap menjadi fitur yang paling diinginkan dari sudut pandang
administrasi perbatasan.
Boundary-making bukanlah merupakan suatu proses yang mudah dan
singkat, menurut DeLapradelle hal ini melibatkan tiga tahap perkembangan:54
1. Persiapan (Preparation), termasuk didalamnya rencana politik dan
rencana teknik untuk mengantisipasi pengerjaan delimitasi.
54
Adler, op.cit., hlm. 2
40
2. Keputusan (Decision), yang merupakan kerangka dasar yang
sesungguhnya dalam merumuskan perjanjian, yang disebut
delimitasi.
3. Pelaksanaan (the Execution), atas perjanjian yang telah disetujui dan
telah diterima oleh para pihak, pelaksanaan ini yang disebut dengan
demarkasi.
Tahun 1940, Jones memaparkan bahwa proses pembuatan perbatasan
memiliki empat tahapan, yaitu: alokasi (Allocation), delimitasi (delimitation),
demarkasi (demarcation) dan administrasi (administration). Alokasi berkaitan
dengan keputusan politik dalam pembagian wilayah; delimitasi berkaitan dengan
seleksi lokasi perbatasan yang spesifik; demarkasi berhubungan dengan membuat
tapal batas/tanda perbatasan di daratan; sedangkan administrasi berkaitan dengan
ketentuan untuk mengawasi dan memelihara perbatasan yang telah ditentukan.
Alokasi dan delimitasi berkaitan dengan penggambaran garis batas di atas peta.
Idealnya peta yang digunakan adalah peta terbaik yang tersedia dan berada pada
skala besar sampai medium. Demarkasi membutuhkan tim survey bersama dan
didukung oleh peta terbaik yang disertai tanda-tanda dan keterangan, untuk
dilanjutkan pada perbatasan daratan dan menandainya dengan tanda patok atau
monumen perbatasan, sedangkan untuk wilayah hutan dengan membersihkan area
antara monumen atau patok perbatasan.55
55
Victor Prescott & Gillian D. Triggs, 2008, International Frontiers and Boundaries: Law,
Politics and Geography, Martinus Nijhoff Publishers: Leiden-Boston, hlm. 60
41
Penekanan konsep perbatasan ini diadopsi murni dari sisi politik.
Sebagaimana yang dijelaskan Jones, “the most unreal of boundary classifications
is the too-familiar one of natural and artificial”. Makna politik hukum dari fitur
alami (natural feature) timbul dari keputusan negara.56 Perbatasan secara umum
adalah perbuatan manusia dan bernuansa politik. Terlebih lagi di lautan, perbatasan
merupakan fenomena politik karena di lautan susah untuk mendapatkan
karakteristik fitur alami yang dapat dipergunakan sebagai tanda perbatasan. Hakim
Bedjaoui secara tegas menyatakan:
The idea of ‘natural boundaries’ formed by mountains, waterways
or various accidents of nature, has never been able to commend itself
to states for purposes of their land frontiers, although these limits
are visible to the naked eye. Legal science is unlikely to accept for
maritime spaces what it reject for land spaces and to confer legal
standing on those ‘natural boundaries’ constituted by an important
and significat geological feature when that boundary is not even
visible to the naked eye. Having always shunned land relief despite
the fact that it is visible, man cannot but shun still more underwater
relief which is out of his sight.57
Istilah fitur alami (natural feature) sering muncul dalam proses delimitasi,
yaitu fitur pemandangan yang diciptakan oleh proses alam seperti sungai, gunung,
bukit. 58 Definisi fitur alami ini masih dipandang dalam arti yang luas. Jika
diterapkan dalam proses delimitasi maka dapat menimbulkan kesulitan dalam
mengaplikasikan dan mempertahankannya. Sebagai contoh, fitur sungai jika
dijadikan salah satu metode delimitasi maka akan sulit untuk mendefinisikan
sepanjang mana sungai tersebut dapat dijadikan batas delimitasi.
56
57
Antunes, op.cit., hlm.8
Guinea-Bissau/Senegal Arbitration, Disenting Opinion dalam buku Antunes, op.cit.,
58
diakses tanggal 14
hlm. 9
Sumber dari: www.newberry.org/k12maps/glossary/index.html,
November 2011
42
Definisi “Zona” adalah wilayah di mana perbatasan yang akan didemarkasi
tidak dilakukan sesuai dengan metode yang diinginkan karena peluang perjanjian
itu untuk dapat disepakati sangat rendah, terkecuali jika kedua negara yang
melakukan perundingan mempunyai hubungan yang dekat dan bersahabat.59
b. Kerangka Hukum Perbatasan Maritim
Ketika melihat bumi dari angkasa, maka tampak satu fakta yang jelas bahwa
lautan merupakan fitur dominan yang menutupi bumi. Sekitar 70 persen planet ini
ditutupi oleh perairan dan sebagian besar bumi ditutupi oleh air beku di Kutub Utara
dan Antartika. Hal ini menunjukkan fungsi penting lautan di mana sekitar 80 persen
populasi dunia tinggal di dekat pantai dan 90 persen perdagangan internasional
mempergunakan transportasi laut. Selain itu, sekitar 65 persen dari cadangan
minyak dunia dan 35 persen dari cadangan gas dunia terletak di lautan.60
Pada jaman dahulu keperluan akan lautan tidak seperti saat ini, yang hanya
dipergunakan sebagai sarana transportasi, navigasi dan perikanan. Pesatnya
perrkembangan teknologi menyebabkan pengembangan potensi sumber daya alam
di lautan semakin bertambah dan memberikan hasil yang menjanjikan. Terlebih
dengan ditemukan cara untuk mengeksploitasi sumber gas dan minyak bumi dari
dasar lautan.
Banyaknya kegunaan lautan bagi dunia menyebabkan hukum internasional
mau tidak mau mengikuti perkembangan tersebut dengan mengeluarkan
seperangkat peraturan yang mengatur zona lautan serta memberikan hak dan
59
Johnston, op.cit,, hlm. 6
http://www.acus.org/?q=new_atlanticist/maritime-disputes-and-international-law,
diakses tanggal 12 Oktober 2014
60
43
kewajiban tertentu kepada negara pantai untuk mengelola wilayah lautan yang ada
disekitarnya.
Beberapa sarjana seperti McDougal dan Burke memandang fungsi hukum
laut, secara historis sebagai: “...that of protecting and balancing the common
interests, inclusive and exclusive, of all peoples in the use and enjoyment of the
oceans, while rejecting all egocentric assertions of special interests in contravention of general community interests.” Menurut kedua penulis ini, sejarah
memperlihatkan bahwa pada suatu saat beberapa negara mulai melakukan klaim
atas sebagian besar dari laut untuk digunakan secara eksklusif oleh mereka.61
Kapoor menyatakan bahwa terdapat tiga alasan utama yang membawa
peningkatan terhadap ketertarikan internasional terhadap perkembangan hukum
laut setelah perang dunia kedua: pertama, lajunya perkembangan teknologi
kelautan; kedua, munculnya negara-negara baru dari masa pemerintahan kolonial
dan ketiga karena meningkatnya kebutuhan terhadap sumber kekayaan laut.62
Pengaturan mengenai masalah kelautan semakin disadari pentingnya dalam
hukum internasional. Mengingat hampir setiap negara khususnya bagi negara
pantai telah menerbitkan ketentuan yang bersifat sepihak yaitu dengan menekankan
segi kepentingan negara yang bersangkutan. Menghadapi masalah itu maka perlu
suatu peraturan hukum laut yang manfaatnya dapat dirasakan antara lain:63
1. Menghilangkan penafsiran dari masing-masing negara tentang masalah
kelautan.
61
Etty R. Agoes, 1991, Konvensi Hukum Laut 1982 dan Masalah Pengaturan Hak Lintas
Kapal Asing, Abardin: Bandung, hlm. 22
62
R. Kapoor, 2009, Development of international principles. Ocean management,
Global Media: Jaipur, hlm. 177
63
Joko Subagyo, 2002, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta: Jakarta, hlm. 58
44
2. Menghilangkan bentuk-bentuk peraturan yang semata-mata untuk
kepentingan negara tertentu.
3. Timbulnya keseragaman dalam peraturan masalah kelautan dengan
pedoman pada hukum internasional yang berlaku umum.
4. Bagi negara pemakai fasilitas lautan dapat berpegang pada pedoman
hukum internasional yang ada.
5. Timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban baru.
Untuk mengimbangi kepentingan negara terhadap lautan maka perlu aturan
internasional yang dapat menjamin keadilan dalam penggunaan laut oleh masingmasing negara. Terdapat tiga kerangka hukum internasional yang menjadi sumber
hukum tertulis dalam hukum laut internasional yaitu: UNCLOS 1958, UNCLOS
1960 dan UNCLOS 1982. Berikut ini dipaparkan mengenai sejarah pembentukan
UNCLOS yang menjadi acuan bagi negara-negara dalam penyelesaian perbatasan
maritim.
1) UNCLOS 1958
Kerangka hukum laut internasional yang pertama adalah UNCLOS 1958.
Pelopor dari konferensi ini adalah International Law Commission (ILC) yang
mendapatkan mandat dari PBB untuk menyelesaikan kodifikasi hukum laut
internasional. Setelah berkali-kali bersidang dimulai pada tahun 1949, maka dalam
tahun 1955 ILC telah dapat merumuskan suatu “provisional draft” mengenai
berbagai aspek hukum laut yang kemudian disampaikan kepada negara-negara
anggota PBB. Setelah menerima komentar-komentar dari anggota PBB tersebut,
maka ILC kemudian merumuskan “final draft” yang dijadikan dasar pembicaraan
dalam konferensi hukum laut yang pertama di bawah PBB yang diadakan di Jenewa
dari tanggal 24 Pebruari sampai tanggal 27 April 1958.
45
Konferensi Jenewa tersebut diketuai oleh Pangeran Wan Waithayakon dari
Thailand dan dihadiri oleh 86 negara, termasuk Indonesia. Konferensi tersebut telah
berhasil membuat 4 Konvensi Internasional yang menjadi dasar utama dari Hukum
Laut Internasional dewasa ini, yaitu:
1. Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone;
2. Convention on the High Seas;
3. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the
High Seas;
4. Convention on the Continental Shelf.
Terdapat kekurangan dalam UNCLOS 1958, meskipin telah membuat 4
Konvensi Hukum Laut namun masih ada hal penting lain yang belum juga
disepakati pada UNCLOS 1958 yaitu tidak berhasilnya ditetapkan lebar laut
teritorial. Dalam konferensi yang berlangsung lebih dari 2 bulan itu, masalah Lebar
laut teritorial tetap macet dan tidak dapat dipecahkan karena adanya perbedaan
pendapat yang besar antara negara-negara maritim dan negara-negara berkembang.
Dalam persoalan ini, Amerika Serikat disokong oleh negara-negara maritim
menghendaki agar batas atau lebar laut teritorial ditetapkan sekecil mungkin yaitu
selebar 3 n.m.; sebaliknya negara-negara berkembang menghendaki lebar laut
wilayah yang lebih dari 3 n.m. dan mengusulkan 12 n.m.. Sampai akhir konferensi
tidak tercapai kesepakatan mengenai luas laut teritorial sehingga permasalahan itu
menjadi PR bagi konferensi selanjutnya.
Dalam konvensi yang khusus mengatur tentang landas kontinen, pengaturan
bagi negara yang berhadapan atau bersebelahan menetapkan metode yang
46
digunakan untuk menarik garis delimitasi, yaitu penggunaan median line dan
equidistance line. Garis-garis ini dijadikan sebagai metode awal dalam menentukan
delimitasi. Terdapat kelemahan dalam penetapan jarak maksimal landas
kontinennya karena penetapan jarak maksimal hanya berdasarkan kemampuan
kedalaman eksploitasi sumber mineral. Hal ini dianggap hanya menguntungkan
negara-negara maju yang memiliki teknologi untuk mengeksploitasi dasar laut
sehingga masyarakat internasional melakukan perundingan lagi untuk merevisi
UNCLOS 1958.
2) UNCLOS 1960
Resolusi 1307 (XIII) dalam Sidang Umum PBB tanggal 10 Desember 1958
menetapkan United Nations Conference on the Law of the Sea 1960 yang
diselenggarakan di Jenewa 17 Maret 1960 sampai 26 April 1960, yang diwakili oleh
86 negara.64 Tujuan dari konferensi ini adalah untuk menyelesaikan kesepakatan
dalam menyimpulkan garis batas terluar laut teritorial yang belum berhasil
dirumuskan pada UNCLOS 1958. Dalam Konferensi ini telah diajukan pula
beberapa usul penting antara lain:
1. Usul Amerika Serikat-Canada yang menyarankan ditetapkannya 6 n.m.
wilayah ditambah 6 mil “exclusive fishing zone” (tanpa ketentuan bagi
“traditional fishing”). Usul ini (yang terkenal dengan nama “six-plus-six
proposal”) dikalahkan satu suara, yaitu 54 setuju, 28 menentang, 5 abstain
dan 1 absent.
64
L. Juda, 1996, International Law and Ocean Use Management, Routledge: London,
New York, hlm. 160.
47
2. Golongan 12 mil (termasuk Indonesia) mengulangi usul mereka, usul mana
juga ditolak dengan 39 setuju, 36 menentang dan 13 abstain.
3. Suatu usul lainnya untuk hanya mengakui 12 mil wilayah perikanan saja
juga dikalahkan dengan suara 38 setuju, 32 menentang dan 18 abstain.
Sampai akhir konferensi tidak terdapat kesepakatan antar negara untuk
memutuskan luas laut teritorial, sehingga hal ini masih menjadi hambatan yang
berarti dalam hukum laut internasional mengingat kedudukan perbatasan laut
teritorial merupakan elemen dasar dalam penentuan delimitasi zona laut lainnya.
Pada akhirnya Konferensi Jenewa 1960 yang diadakan khusus untuk
menetapkan lebar laut teritorial juga telah gagal. Setelah tahun 1960, berpuluhpuluh negara baru merdeka telah muncul dan negara-negara ini kemudian telah
menetapkan sendiri lebar laut wilayah mereka sesuai dengan kebutuhan mereka
masing-masing, umumnya antara 3 sampai 200 mil.
3) UNCLOS 1982
Setelah kegagalan kedua konferensi di atas akhirnya dilaksanakan
Konferensi Ketiga yang menghasilkan konvensi yang dikenal sebagai United
Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982). Negosiasi selama
sembilan tahun yang dilakukan oleh para ahli hukum internasional menghasilkan
aturan normatif hukum laut yang komprehensif. Peran UNCLOS1982 sangat
penting dalam penentuan perbatasan maritim karena UNCLOS 1982 memuat
ketentuan mengenai delimitasi tiap zona maritim yang telah diakui keberadaannya
oleh masyarakat internasional.
48
UNCLOS 1982 memberikan kesempatan besar bagi negara-negara
berkembang untuk berpartisipasi secara penuh dan bersama-sama dalam
membentuk bagian yang sangat penting dari sistem hukum internasional. Pada masa
lalu hukum internasional dibuat dengan jumlah yang relatif kecil oleh negaranegara barat. Pada tahun 1973 masyarakat dunia telah berubah secara substansial
dengan disintegrasi kekaisaran kolonial dan perkembangan negara-negara baru di
Afrika dan Asia. Selanjutnya, negara-negara Amerika Latin memiliki pemerintahan
yang tegas demi kepentingan nasional mereka, bahkan jika ketegasan tersebut
membawa mereka ke dalam konflik dengan kekuatan dominan belahan bumi barat,
Amerika Serikat. Memahami kurangnya pengaruh mereka dalam negosiasi
internasional secara individual, negara-negara itu mencari kekuatan kolektif dan,
pada tahun 1964, bergabung bersama dalam Kelompok 77 (G-77), nama itu
kemudian tetap dipertahankan bahkan setelah keanggotaannya meningkat lebih dari
jumlah aslinya. Pada UNCLOS 1982, pengelompokan daerah G-77 dan berbagai
kelompok kepentingan berusaha mempengaruhi hasil konferensi untuk memenuhi
kebutuhan mereka.65
Aturan hukum laut internasional ini bersifat soft law, namun acuan kepada
UNCLOS 1982 kiranya merupakan suatu keniscayaan (conditio sine qua non).
Pertimbangan utamanya adalah bahwa UNCLOS 1982 berfungsi sebagai
framework agreement yang secara komprehensif mengatur berbagai aspek
pemanfaatan laut, baik yang berada di bawah kedaulatan dan hak berdaulat negara
65
Juda, op.cit., hlm. 209
49
pantai maupun yang tunduk kepada rezim sui generis sebagai common heritage of
mankind.
Berdasarkan UNCLOS 1982 sebuah negara pantai baik itu negara benua
(continental state) maupun negara kepulauan (archipelagic state) berhak
mengklaim batas wilayah maritim tertentu yang diukur dari garis pangkal negara
tersebut. Wilayah maritim yang bisa diklaim meliputi perairan pedalaman (internal
waters), perairan kepulauan (khusus untuk negara kepulauan /archipelagic waters),
laut teritorial (territorial sea) sejauh maksimal 12 n.m., zona tambahan (contiguous
zone) sejauh maksimal 24 n.m., zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone)
sejauh maksimal 200 n.m.dan landas kontinen (continental shelf).66
Negara pantai memiliki bentuk kedaulatan yang berbeda dalam masingmasing zona laut. Untuk perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial
negara pantai memiliki kedaulatan mutlak (sovereignty), sedangkan di zona
tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen negara pantai hanya
memiliki hak berdaulat (sovereign rights) untuk mengeksplorasi dan eksploitasi
sumber kekayaan laut sampai pada batas yang telah ditentukan dalam UNCLOS.
Hal ini merupakan salah satu bentuk pertimbangan masyarakat internasional dalam
pembagian sumber kekayaan alam serta penggunaan lautan yang lebih adil dan
merata bagi masing-masing negara baik itu negara pantai maupun negara yang tidak
berpantai agar mendapat manfaat sebesar-besarnya dari sumber daya laut untuk
kepentingan umat manusia.
66
I Made Andi Arsana, 2007, Batas Maritim Antar Negara, Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta, hlm.8
50
Bertambahnya yurisdiksi negara pantai untuk mengontrol wilayah maritim
di wilayah ZEE yang disahkan oleh UNCLOS 1982 maka berdampak pada:67
a. Perubahan hukum yang merupakan modifikasi paling besar dalam
hukum laut internasional setelah periode Grotius.
b. Merupakan transfer of property rights dari milik masyarakat
internasional menjadi rezim properti negara (State property
regimes).
c. Pembangunan berkelanjutan dalam hukum kebiasaan internasional
melalui praktek negara-negara.
Selain itu, semakin bertambah kepentinganan bagi negara pantai untuk
melakukan delimitasi perbatasan maritim. Mengingat hampir 90 % stok perikanan
berada di wilayah ZEE maka pengaturan mengenai ZEE ini berakibat besar bagi
penambahan pemasukan bagi negara pantai yang dapat mengklaim ZEE secara
maksimal. Negara pantai juga dapat mengklaim landas kontinen yang melebihi
200nm jika bentuk geografis negaranya mendukung untuk klaim perpanjangan
landas kontinen sesuai dengan peraturan dalam konvensi.
Konvensi baru tentang hukum laut ini menandai perubahan struktur
fundamental dalam hukum laut, alasan pertama karena
konvensi tersebut
merupakan pendekatan komprehensif dalam masalah kelautan. Kedua, karena
konvensi tersebut merupakan refleksi dari sebagian besar kebutuhan kontemporer
pengelolaan sumber daya dan pengaturan kegiatan di wilayah yang luas dari
67
Clive Schofield, “Maritime Zone and Jurisdictions,” School of Surveying and Spatial
Information, University of New South Wales, sumber:
http://www.iho.int/mtg_docs/com_wg/ABLOS/ABLOS_Conf3/SESSION3.PDF diakses tanggal
17 November 2014
51
lingkungan laut serta merupakan konsekuensi tak terelakkan dari penggunaan ruang
laut yang lebih intensif dan beragam. Inovasi penting dalam konvensi ini hampir
terlalu banyak untuk dihitung. Beberapa diantaranya termasuk: 68
1. konsep lintas transit melalui selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional;
2. konsep garis pangkal kepulauan dan perairan kepulauan;
3. konsep zona ekonomi eksklusif;
4. perubahan mendasar dalam definisi hukum landas kontinen;
5. Pengakuan eksplisit terhadap kebebasan penelitian ilmiah dan
kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya seperti
kebebasan tambahan di laut lepas;
6. tugas kerjasama internasional dalam pengembangan dan transfer ilmu
dan teknologi kelautan; dan
7. konsep hukum lingkungan yang komprehensif dari laut berdasarkan
kewajiban semua negara untuk melindungi dan melestarikan lingkungan
laut.
Dalam beberapa kasus, seperti hubungan dengan batas-batas laut teritorial,
ketentuan konvensi tidak diragukan lagi mencerminkan kesepakatan substantif
pada mayoritas masyarakat internasional. Ada alasan kuat untuk mempercayai
bahwa perwakilan (representatives) dalam konferensi, diyakini menghadapi
kesulitan untuk mencapai persetujuan pada substansi permasalahan, sehingga
68
Arvid Pardo, before and after, Law and Contemporary Problems,Vol. 46, No. 2, The
Law of the Sea: Where Now? Spring, 1983, pp. 95-105, hlm.97
52
akhirnya mencari formula yang cukup samar atau ambigu untuk memungkinkan
semua negara yang signifikan bersangkutan untuk mengklaim bahwa tujuan
kebijakan mereka masing-masing kurang lebih telah tercapai dengan memuaskan.69
2.
Tinjauan Mengenai Landas Kontinen
Pengaturan mengenai landas kontinen disetujui dalam UNCLOS 1958 di
Jenewa, tetapi perumusan pengertian landas kontinen yang terdapat dalam
UNCLOS 1958 berbeda dari pengertian landas kontinen aslinya (pengertian
“continental shelf” dalam arti geologis). Semua ketentuan tentang landas kontinen
menurut UNCLOS 1958 direvisi dalam UNCLOS 1982. Landas kontinen diatur
dalam Bab VI, tentang Landas Kontinen, Pasal 76-85 UNCLOS 1982 yang di
dalamnya terdapat pengertian landas kontinen, hak negara pantai di landas
kontinen, penetapan batas landas kontinen oleh setiap negara, pembuatan peta dan
koordinat geografis dan menyampaikan ke Sekretaris Jenderal PBB.
Pengertian landas kontinen menurut Pasal 76 UNCLOS 1982 adalah sebagai
berikut :
Article 76. Definition of the Continental Shelf:70
1. The continental shelf of a coastal State comprises the seabed and
subsoil of the submarine areas that extend beyond its territorial sea
throughout the natural prolongation of its land territory to the outer
edge of the continental margin, or to a distance of 200 nautical miles
from the baselines from which the breadth of the territorial sea is
measured where the outer edge of the continental margin does not
extend up to that distance.
69
Ibid., hlm. 98
United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, 2009, Nova Science Publishers:
New York, hlm. 43
70
53
2. The continental shelf of a coastal State shall not extend beyond the
limits provided for in paragraphs 4 to 6.
3. The continental margin comprises the submerged prolongation of
the land mass of the coastal State, and consists of the seabed and
subsoil of the shelf, the slope and the rise. It does not include the deep
ocean floor with its oceanic ridges or the subsoil thereof.
4. (a) For the purposes of this Convention, the coastal State shall
establish the outer edge of the continental margin wherever the
margin extends beyond 200 nautical miles from the baselines
from which the breadth of the territorial sea is measured, by
either:
(i) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference
to the outermost fixed points at each of which the thickness of
sedimentary rocks is at least 1 per cent ofthe shortest distance
from such point to the foot of the continental slope; or
(ii) a line delineated in accordance with paragraph 7 byreference
to fixed points not more than 60 nautical milesfrom the foot of
the continental slope.
(b) In the absence of evidence to the contrary, the foot of the
continental slope shall be determined as the point of maximum change in
the gradient at its base.
5. The fixed points comprising the line of the outer limits of the
continental shelf on the seabed, drawn in accordance with paragraph
4 (a)(i)and (ii), either shall not exceed 350 nautical miles from the
baselines from which the breadth of the territorial sea is measured or
shall not exceed 100 nautical miles from the 2,500 metre isobath,
which is a line connecting the depth of 2,500 metres.
Berbeda dengan UNCLOS 1958 tentang Landas Kontinen yang menetapkan
lebar landas kontinen berdasarkan pada kriteria kedalaman atau kriteria
kemampuan eksploitasi, maka UNCLOS 1982 berdasarkan pada beberapa kriteria:
a. Jarak sampai 200 n.m. jika tepian luar kontinen tidak mencapai jarak 200
n.m. tersebut;
b. Kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar
kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 n.m. yang diukur dari garis
dasar laut teritorial jika di luar 200 n.m. masih terdapat daerah dasar laut
54
yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dan jika
memenuhi kriteria kedalaman sedimentasi yang ditetapkan dalam konvensi;
atau
c. tidak boleh melebihi l00 n.m. dari garis kedalaman (isobath) 2500 meter.
GAMBAR 1 LANDAS KONTINEN 71
Jika ditinjau dari pengertian yuridis, alternatif yang digunakan untuk
menentukan batas terluar landas kontinen hingga pinggiran luar tepian kontinen
atau dengan cara melampaui batas 200 n.m. karena adanya perpanjangan alamiah
maka cara pengukuran ini sudah jauh meninggalkan pengertian “continental shelf”
dalam arti ilmu geologis, maka untuk membedakan pengertian tersebut Mochtar
Kusumaatmadja, 72 mengungkapkan bahwa: “untuk membedakan dua pengertian
yang berlainan isinya di dalam bahasa Indonesia digunakan dataran kontinen untuk
71
Sumber: http://sites.google.com/a/gadjahmada.edu/andi-arsana/papers/persetujuan-pbbatas-landas-kontinen-ekstensi-australia, diakses tanggal 12 November 2013
72
Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Bunga rampai Hukum Laut, Binacipta: Bandung,
hlm.111
55
pengertian continental shelf dalam arti geologis, sedangkan pengertian hukum yang
kemudian berkembang daripadanya dinamakan landas kontinen.
Secara geofisik dasar laut yang berbatasan dengan pantai umumnya terdiri
dari 3 bagian yang terpisah, yaitu “continental shelf”, “continental slope” dan
“continental rise”, yang secara keseluruhan disebut “continental margin” atau
tepian kontinen. Sedangkan “continental shelf” bukan merupakan keseluruhan dari
“continental margin”. Sehingga penggunaan istilah “continental shelf” sudah tidak
relevan lagi dan dapat menimbulkan kekaburan atau ketidakjelasan pengertian dari
“continental shelf”, karena sudah mencapai batas terluar “continental margin” atau
dapat juga melampaui batas itu. 73
Pasal 83 ayat (1) UNCLOS 1982 menyatakan, bagi negara-negara yang
landas kontinennya berhadap atau berdampingan dalam menetapkan garis batas
landas kontinen harus dilakukan dengan persetujuan atau atas dasar hukum
internasional sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah
Internasional untuk mencapai suatu “equitable solution.” Ketentuan ini berarti
bahwa untuk mencapai suatu keadilan dalam penetapan garis batas landas kontinen
harus berpedoman atau dilandasi oleh Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional,
yaitu :
1. Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun
khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara
tegas oleh negara-negara yang bersengketa ;
73
Rosmi Hasibuan, 2002, Kaitan Permasalahan Rejim Hukum Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) Dan Lintas Kontinen Dalam Konvensi Hukum Laut 1982, Sumatera Utara, USU digital
library.www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../hukuminter-Rosmi2.pdf, diakses tanggal
20 Maret 2010
56
2. Kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan
umum yang telah diterima sebagai hukum ;
3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang
beradab;
4.
Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling
terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi penetapan
kaedah-kaedah hukum.
Cara penentuan garis batas tersebut berarti konvensi menunjuk pada dua
pilihan, yaitu menunjuk pada hukum internasional yang disebut dalam Pasal 38
Statuta Mahkamah Internasional dan menunjuk kepada “equitable solution.”
Selain itu Pasal 77 UNCLOS 1982 telah jelas menyebutkan bahwa setiap
perbuatan yang berpotensi sebagai bentuk okupasi seperti penanaman bendera tidak
memberikan efek hukum yang signifikan kepada negara pantai sehingga dapat
mengakui “sovereign rights” atas landas kontinen mereka, yang dilaksanakan dan
ada secara independen dari pernyataan atau gerakan fisik dan sebagai persoalan hak,
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 77 (3):“The rights of the coastal State
over the continental shelf do not depend on occupation, effective or notional, or on
any express proclamation.”74
3.
Tinjauan Mengenai Zona Ekonomi Eksklusif
Rezim ZEE dibentuk pada Konferensi UNCLOS ketiga sebagai hasil
kompromi antara negara pantai yang kebanyakan merupakan negara berkembang
Betsy Baker, “Law, Science, And The Continental Shelf: The Russian Federation And
The Promise Of Arctic Cooperation,” 25 Am. U. Int'l L. Rev. 251, 2010, hlm. 261
74
57
dengan negara maritim maju. Negara berkembang bermaksud mengklaim luas
wilayah maritim yang lebih luas agar dapat melindungi sumber kekayaan alam di
perairannya dari kapal-kapal ikan yang kebanyakan berasal dari negara maju. Pada
posisi yang berlawanan, negara maritim yang kuat menginginkan kebebasan di
lautan, khususnya kebebasan navigasi.75
Tercapainya kesepakatan atas rezim ZEE ini telah mengakomodasi
kepentingan kedua belah pihak. Wilayah ZEE meliputi daerah diluar laut teritorial
sampai batas 200 n.m. dari garis pangkal di mana laut teritorial diukur. Dalam
wilayah ZEE negara pantai memiliki hak berdaulat untuk mengekplorasi dan
eksploitasi, melindungi serta mengatur sumber daya alam baik hayati maupun non
hayati dalam kolom air ZEE. Selain itu, kebebasan navigasi di ZEE juga dijamin
bagi kapal-kapal yang berlayar dengan mengibarkan bendera dari masing-masing
negara.
Saat ini banyak klaim terhadap perbatasan ZEE, di mana negara dengan
jarak perbatasan yang kurang dari 400 n.m. satu sama lain harus melakukan
delimitasi perbatasan maritim. Tumpang tindih klaim maritim ini berpotensi
menjadi sengketa perbatasan maritim mengingat kecenderungan negara untuk
mencoba memaksimalkan klaim maritim masing-masing. Kemajuan signifikan
telah dibuat dalam hal pengaturan perbatasan maritim, namun jalan masih panjang
untuk sampai pada penyelesaian batas maritim di seluruh dunia. Memang, kurang
dari setengah potensi perbatasan maritim di seluruh dunia telah disepakati. Selain
75
Budislav Vukas, “‘State Practice In The Aftermath Of The Un Convention On The Law
Of The Sea: The Exclusive Economic Zone And The Mediterranean Sea,” A Strati (eds), 2006,
Unresolved Issues And New Challenges To The Law Of The Sea, Martinus Nijhoff Publishers:
Leiden/ Boston, hlm. 251-252
58
itu, banyak dari perjanjian batas maritim yang telah diselesaikan secara parsial atau
tidak lengkap, misalnya hanya meliputi sebagian dari panjang batas maritim
potensial atau hanya penyelesaian perbatasan landas kontinen sedangkan di ZEE
belum disepakati.76
Jika dicermati, perkembangan ZEE merupakan cermin kebiasaan
internasional (international customs) yang diterima menjadi hukum kebiasaan
internasional (customary international law). Menurut Ian Brownlie, elemen dari
suatu kebiasaan internasional antara lain karena sudah terpenuhi empat syarat
penting, yaitu:77
a. Durasi (duration); yaitu konsistensi dan keumuman praktek dari
kebiasaan tersebut telah dilakukan oleh masyarakat internasonal.
Meskipun tidak adanya batas minimal berapa lama suatu perbuatan
harus dilakukan secara konsisten sehingga dapat diakui sebagai suatu
kebiasaan.
b. Keseragaman (uniformity); dalam hal ini yang dimaksud keseragaman
adalah substansi dari kebiasaan itu.
c. praktek umum negara-negara (generality of the practice); aspek ini
adalah pelengkap dari konsistensi suatu kebiasaan. Karena jika suatu
perbuatan dilakukan oleh suatu negara dan kemudian hal tersebut
didiamkan oleh negara lainnya maka hal itu dapat berarti dua sisi. Bisa
saja diamnya negara lain berarti persetujuan (tacit agreement) atau
kebalikannya suatu bentuk ketidaktertarikan akan hal tersebut. Sehingga
untuk lebih meneguhkan suatu perbuatan itu telah diterima sebagai suatu
kebiasaan internasional yaitu dengan ditirunya perbuatan tersebut oleh
negara-negara lain.
d. opinio juris et necessitatis;
ZEE bagi negara pantai sangat menguntungkan karena di dalamnya terdapat
kekayaan sumber daya alam hayati dan nonhayati, sehingga mempunyai peranan
Clive Schofield, “Parting the Waves: Claims to Maritime Jurisdiction and the Division
of Ocean Space,” 1 Penn. St. J.L. & Int'l Aff. 40, 2012, http://elibrary.law.psu.edu/jlia/vol1/iss1/3,
diakses tanggal 12 Desember 2014, hlm. 48
77
Ian Brownly, 2003, Principles of Public International Law, sixth Edition, Oxford
University Press: Oxford, hlm.7
76
59
sangat penting bagi pembangunan ekonomi bangsa dan negara. ZEE suatu negara
sudah diatur oleh UNCLOS 1982 yang terdapat dalam Pasal 55-75. ZEE ini
mempunyai sifat sui generis78 atau specific legal regime. Pasal 55 menyatakan: “the
exclusive economic zone is an area beyond and adjacent to the territorial sea,
subject to the specific legal regime established in this Part, under which the rights
and jurisdiction of the coastal State and the rights and freedoms of other States are
governed by the relevant provisions of this Convention.”
ZEE adalah daerah di luar dan berdamping dengan laut territorial yang
tunduk pada rezim hukum khusus di mana terdapat hak-hak dan yurisdiksi negara
pantai serta hak dan kebebasan negara lain yang diatur oleh konvensi. Lebar ZEE
bagi setiap negara pantai maksimal 200 mil sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 57
UNCLOS 1982 yang berbunyi: “the exclusive economic zone shall not extend
beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the
territorial sea is measured.”
Jika ternyata terjadi konflik dalam penentuan hak dan yurisdiksi negara di
ZEE maka berdasarkan Pasal 59 UNCLOS 1982 mengatur sebagai berikut:79
In cases where this Convention does not attribute rights or jurisdiction
to the coastal State or to other States within the exclusive economic
zone, and a conflict arises between the interests of the coastal State
and any other Stateor States, the conflict should be resolved on the
basis of equity and in thelight of all the relevant circumstances, taking
into account the respective importance of the interests involved to the
parties as well as to the international community as a whole.
78
(latin “of its own kind”); unique or peculiar; Bryan A. Garner (eds), 2004, Black’s Law
Dictionary, Eighth Edition, Thomson West Publishing: St Paul, hlm. 1475
79
United Nations Convention on the Law of the Sea (1982), 2009, Nova Science Publishers:
New York, hlm. 31
60
GAMBAR 2 ZONA EKONOMI EKSKLUSIF. 80
Karena besarnya keuntungan yang didapat dari hak berdaulat untuk
pengelolaan laut di ZEE dan landas kontinen maka negara pantai sangat
memerlukan kepastian batas-batas antar negara untuk menentukan ZEE dan landas
kontinen. Ada lima belas negara yang mempunyai leading exclusive economic zone,
yaitu Amerika Serikat, Perancis, Indonesia, Selandia Baru, Australia, Rusia,
Jepang, Brasil, Kanada, Meksiko, Kiribati, Papua New Guinea, Chili, Norwegia
dan India. Indonesia beruntung sekali termasuk satu dari lima belas negara yang
mempunyai ZEE sangat luas bahkan termasuk tiga besar setelah Amerika Serikat
dan Prancis, yaitu sekitar 1.577.300 n.m..81
80
Sumber: www.dekin.dkp.go.id/yopi/files/LA%20UNCLOS%20Pdf.pdf, diakses tanggal
12 Oktober 2013
81
R.R. Churchill & A.V. Lowe, 1999, Third Edition, The Law of the Sea, Manchester
University Press: Manchester, hlm. 178
61
4.
Tahapan Delimitasi Maritim
Untuk menterjemahkan suatu konsep atau prinsip ke dalam praktek atau
aplikasinya maka perlu pengadopsian suatu proses tertentu. Mengingat delimitasi
perbatasan maritim merupakan suatu proses yang komprehensif maka memerlukan
proses yang melibatkan semua sumber daya, materi dan keahlian. Untuk lebih
memahami proses delimitasi maka di bawah ini dipaparkan mengenai konsep
delimitasi yang dihimpun dari referensi tentang delimitasi maritim dan praktek
negara dalam melaksanakan delimtasi maritim, mengenai tahapan-tahapan penting
yang harus dilakukan dalam proses delimitasi batas maritim yang diselesaikan
melalui negosiasi dan menunjukkan tugas dan isu-isu yang perlu ditangani oleh para
pihak pada setiap tahap delimitasi.
Jika kebutuhan untuk melakukan delimitasi antar negara telah muncul dan
telah dipilah perbatasan maritim mana yang akan didelimitasi serta dasar legislasi
yang mendasarinya serta keputusan politik yang diambil oleh para pihak untuk
mencari kesepakatan perbatasan, maka persiapan menjelang negosiasi dapat segera
dilakukan. Perlu ditekankan disini bahwa fase ini cukup penting untuk kesuksesan
negosiasi perbatasan dan tidak boleh dianggap remeh, dilakukan dengan tergesagesa atau dengan sengaja mengurangi tahapan proses delimitasinya.82
Beberapa guidelines bagi para negosiator dalam fase pra-negosiasi untuk
menyiapkan delimitasi maritim, yaitu:83
1. Persiapan secara menyeluruh
82
Prescott & schofield, 2005, The Maritime Political Boundaries of the World, Martinus
Nijhoff Publishers: Leiden/Boston, hlm. 308
83
http://www.chathamhouse.org/search/node/Methods%20of%20resolving%20maritime%
20boundary%20disputes, diakses tanggal 21 Januari 2014
62
Pelajari area geografis yang akan di delimitasi, kepentingan para pihak yang
patut dipertimbangkan, peraturan legislasi maritim dari kedua belah pihak
yang diberlakukan pada area yang akan didelimitasi dan sejarah diplomatik
dari area tersebut (protest notes, notifications of claims, dll). Perkirakan
garis pangkal yang relevan dari kedua belah pihak yang dibuat berdasarkan
peta berskala besar yang terkini. Telusuri apakah ada sengketa perebutan
pulau atau fitur (misalnya low-tide elevations), atau status politik dan
permasalahan teknis yang belum jelas yang pernah terjadi berkaitan dengan
wilayah yang akan didelimitasi. Jika ternyata ada permasalahan maka
diteliti menjadi milik pihak manakah wilayah yang dipersengketakan
tersebut, selalu gunakan hipotesis kerja bahwa fitur kecil yang berada di
dalam batas normal laut teritorial suatu negara pantai maka menjadi milik
negara pantai itu jika tidak ada klaim dari negara lain. 84 Status tersebut
tergantung pada apakah fitur itu berada di atas permukaan air saat air surut,
berada di permukaan saat air pasang, atau tidak pernah berada di atas
permukaan air sama sekali. Penting juga untuk mempelajari perbatasan
maritim yang telah ada di area yang akan didelimitasi, terlebih pada
perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
2. Menentukan hukum yang berlaku
Setelah melakukan beberapa persiapan di atas kemudian pertimbangkan
apakah dalam proses delimitasi ini dapat menggunakan hukum kebiasaan
internasional ataukah hanya berdasarkan hukum perjanjian. Apakah ada
84
Permasalahan ini dapat dilihat dalam kasus Qatar v. Bahrain
63
perjanjian perbatasan darat di wilayah tersebut dan jika ada apakah hal itu
dapat menjadi ketentuan dalam penentuan laut teritorial.
3. Membentuk tim
Pembentukan
tim perunding serta menunjuk pemimpin yang akan
melakukan negosiasi didampingi anggota lainnya yang telah ditentukan
masing-masing tugasnya. Hidrografer juga dibutuhkan dalam tim perunding
delimitasi untuk dimintai nasehatnya dalam masalah teknis delimitasi.
Dalam penentuan delimitasi di zona ZEE dan landas kontinen terdapat tiga tahapan,
yaitu:85
a. Menarik garis equidistance sementara berdasarkan metode geometris yang
obyektif.
b. membuat penyesuaian yang diperlukan untuk mencapai equitable solution.
c. Verifikasi garis equidistance sementara, apakah perlu disesuaikan atau
tidak, jika mengarah pada hasil yang tidak adil "berdasarkan alasan apapun
ditandai oleh perbedaan yang jelas antara rasio panjang pantai masingmasing dan rasio antara daerah maritim yang relevan dari masing-masing
negara."
H. Landasan Teori
Definisi teori adalah:“A set of assumptions, propositions, or accepted facts
that attempts to provide a plausible or rational explanation of cause-and-effect
(causal) relationships among a group of observed phenomenon. The word's origin
85
Case Romania v. Ukraine, 2009 ICJ Rep., paras. 116-122
64
(from the Greek thorós, a spectator), stresses the fact that all theories are mental
models of the perceived reality.”86
Teori-teori
diformulasikan
untuk
menjelaskan,
memprediksi
dan
memahami fenomena dan dalam banyak kasus untuk menantang dan memperluas
pengetahuan yang ada, dalam ikatan batas-batas asumsi kritis. Landasan teoritis
adalah struktur yang dapat mempertahankan atau mendukung teori studi penelitian.
landasan teoritis memperkenalkan dan mendeskripsikan teori yang menjelaskan
mengapa masalah penelitian yang diteliti itu eksis.87
Dalam proses analisis penelitian diperlukan suatu landasan teori dalam
rangka untuk membantu memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan.
Landasan teori ini menjadi dasar dan acuan kajian permasalahan serta untuk
mengetahui apakah permasalahan yang sedang dibahas itu telah sesuai dengan
kaidah-kaidah dan teori dalam hukum internasional yang berlaku dalam hal
penentuan delimitasi perbatasan maritim khususnya di ZEE dan landas kontinen.
1.
Teori Keadilan
Filsafat hukum tidak dapat dipahami tanpa pemeriksaan terhadap ide-ide
dasar tentang hak dan keadilan. Hak, hukum dan moral, meliputi hukum dan sistem
hukum, menjadi pusat perhatian yurisprudensi. Suatu keadilan ideal merupakan
86
http://www.businessdictionary.com/definition/theory.html, diakses tanggal 26 Februari
2013
87
http://libguides.usc.edu/print_content.php?pid=83009&sid=618409, diakses tanggal 9
Agustus 2014
65
sebuah kebanggaan utama dalam sistem hukum domestik dan dalam klaim
universalitas, keadilan ideal ini bercita-cita untuk melampaui hukum itu sendiri.88
Hukum sering disamakan dengan keadilan. Pengadilan yang biasa disebut
'court of justice', bangunannya dengan semarak dihiasi dengan kata “justice”, atau
representasi simbolis dari equity dan fairness.89 Keadilan, dalam hal apapun, adalah
jauh dari konsep sederhana. Sebagian besar diskusi tentang subjek keadilan dimulai
dari klaim Aristoteles bahwa keadilan terdiri dari memperlakukan sesuatu yang
sederajat dengan yang sama sederajat dan yang tidak sederajat diperlakukan tidak
sederajat pula, sesuai dengan proporsi ketidaksetaraan mereka. Ia membedakan
antara keadilan 'korektif' (di mana pengadilan memperbaiki sebuah kesalahan yang
dilakukan oleh satu pihak terhadap yang lain), dan keadilan 'distributif' (yang
berusaha untuk memberikan setiap orang haknya sesuai dengan apa yang layak dia
dapatkan). Keadilan distributif dalam pandangan Aristoteles adalah perhatian
utama bagi legislator. Akan tetapi Aristoteles tidak memberitahu kita apa keadilan
yang sebenarnya.90
Kita mendapatkan gambaran tentang keadilan agak lebih jelas dari masa
pemerintahan Romawi. Corpus Juris Civilis adalah badan hukum perdata yang
dikodifikasikan di bawah perintah Kaisar Justinian di masa 482-565 Masehi.
Keadilan didefinisikan sebagai “keinginan konstan dan abadi untuk memberikan
semua orang apa yang layak mereka dapatkan.” Dalam kodifikasi tersebut “ajaran
hukum” dinyatakan sebagai “untuk hidup jujur, tidak melukai orang lain, dan
88
Raymond Wacks, 2006, Philosophy Of Law: A Very Short Introduction, Oxford
University Press: Oxford, hlm. 52
89
Ibid., hlm. 58
90
Ibid,. hlm. 59
66
memberikan semua orang haknya.” Ekspresi ini meskipun cukup umum,
mengandung setidaknya tiga fitur penting yang tumpang tindih dari setiap konsepsi
keadilan, yaitu pertama, menyampaikan pentingnya suatu individu; kedua, bahwa
individu diperlakukan secara konsisten dan tidak memihak; dan, ketiga
diperlakukan secara sama (equally).91
Pemaparan mengenai teori keadilan ini penting dijadikan sebagai salah satu
lanadasan teori karena perlunya definisi dan penjelasan yang pasti mengenai
perbedaan atau pendekatan antara “keadilan” dengan istilah “equitable.” Teori
keadilan ini dipergunakan untuk memberi arah dalam mencari jawaban dan analisis
terhadap permasalahan yang kedua dalam penelitian ini yang terfokus pada
substansi equitable principle dan untuk menganalisis permasalahan ketiga yang
terfokus pada relevansi single maritime boundary dan equitable principle dalam
Sub-bab permasalahan.
Berikut ini penjelasan mengenai teori keadilan menurut beberapa ahli
hukum. Teori keadilan dipengaruhi oleh beberapa aliran, salah satunya adalah
aliran utilitarianisme yang dianut oleh Jeremy bentham, John Stuart Mill dan
Rudolf von Jhering. Ide dasar utilitarianisme menurut Mil sangat sederhana, yaitu:
yang benar untuk dilakukan adalah yang menghasilkan kebaikan terbesar. Definisi
singkat yang dikemukakan Mill sebagai berikut:
‘kemanfatan’ atau ‘prinsip kebahagiaan terbesar’ menyatakan bahwa
tindakan tertentu benar jika cenderung memperbesar kebahagiaan; dan
tindakan itu keliru jika cenderung menghasilkan berkurangnya
91
Ibid., hlm. 59
67
kebahagiaan. Yang dimaksudkan dengan kebahagiaan adalah
kesenangan dan tidak adanya rasa sakit…92
Dari pernyataan singkat ini maka dapat ditarik dua asumsi krusial yang
melandasi keadilan menurut perspektif utilitarian. Pertama, tujuan hidup adalah
kebahagiaan. Kedua, ‘kebenaran’ dari suatu tindakan ditentukan oleh kontribusinya
bagi kebahagiaan. 93 Dalam perkembangannya teori keadilan utilitarianisme ini
mendapatkan beberapa kritikan. Salah satu kritikan itu karena adanya pengabaian
terhadap konsep tradisional mengenai ‘keadilan’ oleh teori yang mengklaim
‘benarnya’ suatu tindakan jika hal tersebut dapat memaksimalkan kebaikan bagi
orang banyak, sehingga meskipun hal tersebut dianggap tidak adil namun jika
memberikan kebahagiaan yang lebih banyak kepada banyak orang maka hal itu
dianggap benar. Sebagai contoh, jika sejumlah warga yang minoritas dikorbankan
haknya karena alasan pengorbanan hak itu akan memberikan kebaikan yang lebih
besar bagi banyak orang maka hal itu dapat dianggap benar oleh kaum utilitarian.
Selama kebaikan terbesar bisa dicapai melalui cara itu maka semua hak dan klaim
individu bisa diabaikan.94
Selain Mill, tokoh utilitarian lain yaitu Jeremy Bentham, seorang ahli
hukum dan pembaharu politik, adalah filsuf yang namanya paling erat terkait
dengan era dasar dari tradisi utilitarian modern. Sarjana-sarjana sebelumnya telah
melahirkan beberapa gagasan inti dan terminologi karakteristik filsafat utilitarian,
terutama John Gay, Francis Hutcheson, David Hume, Claude-Adrien Helvetius dan
92
Karen Lebacqz, 2011, Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap Pemikiran
J.S.Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, J.P. Miranda, Nusa Media: Bandung, hlm.
14
93
Ibid.
94
Ibid.
68
Cesare Beccaria, tapi dari semua sarjana tersebut Bentham-lah yang telah
memperkenalkan teori dalam bentuk sekuler dan sistematis dan membuatnya
menjadi alat yang penting dalam filsafat moral dan hukum dan perbaikan politik
dan sosial.95
Jeremy Bentham berpendapat, karena dalam kehidupan manusia seharihari, manusia berusaha untuk menjadi bahagia dan menghindari rasa sakit, maka
demikian juga dalam masyarakat terstruktur untuk mewujudkan tujuan ini:96
Nature has placed mankind under the governance of two sovereign
masters, pain and pleasure. It is for them alone to point out what we
ought to do, as well as to determine what we shall do. On the one hand
the standard of right and wrong, on the other the chain of causes and
effects, are fastened to their throne. . . . The principle of utility
recognizes this subjection, and assumes it for the foundation of that
system, the object of which is to rear the fabric of felicity by the hands
of reason and of law. Systems which attempt to question it, deal in
sounds instead of sense, in caprice instead of reason, in darkness
instead of light.
Penting untuk dicatat bahwa utilitarian membedakan antara 'act
utilitarianism' yaitu kebenaran atau kesalahan dari tindakan yang akan dinilai oleh
konsekuensi, baik atau buruk, tindakan itu sendiri; dan 'rule utilitarianism' yaitu
kebenaran atau kesalahan dari tindakan yang akan dinilai oleh kebaikan atau
keburukan konsekuensi dari aturan bahwa setiap orang harus melakukan tindakan
dalam situasi yang sama.97
Bentham mendeteksi cacat serius dan berpotensi melemahkan dalam
pengejewantahan prinsip utilitas sebagai "greatest happiness of the greatest
95
James E. Crimmins, "Jeremy Bentham", The Stanford Encyclopedia of Philosophy
(Spring 2015 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL
http://plato.stanford.edu/archives/spr2015/entries/bentham/. diakses tanggal 22 Mei 2016
96
Raymond Wacks, op.cit., hlm. 61
97
Ibid., hlm. 62
69
number." Dalam pandangannya Bentham berkesimpulan bahwa prinsip tersebut
bisa membenarkan pengorbanan yang banyak sekali oleh minoritas, akan tetapi
minoritas
tersebut
mungkin
terbentuk
untuk
kepentingan meningkatkan
kebahagiaan mayoritas. Ia menganggap ini sebuah kesimpulan yang keliru, tapi satu
hal yang perlu dipastikan, yaitu: 98
"Be the community in question what it may," he writes, “divide it
into two unequal parts, call one of them the majority, the other the
minority, lay out of the account the feelings of the minority, include in
the account no feelings but those of the majority, the result you will
find is that to the aggregate stock of the happiness of the community,
loss, not profit, is the result of the operation.”
Semakin sedikit perbedaan numerik antara minoritas dan mayoritas, maka
akan lebih jelas semakin berkurang dalam agregat kebahagiaannya. 99 Logikanya
kemudian, semakin dekat kita mendekati kebahagiaan semua anggota masyarakat,
semakin besar agregat kebahagiaannya (Greatest Happiness Principle).100
Sebagai perbaikan tambahan dalam cara di mana Bentham memahami
prinsip utilitas, ia telah mencantumkan “universal interest.” Ide awalnya dinyatakan
dalam Rencana Reformasi Parlemen di mana Bentham menampilkan konsepsi yang
lebih khusus dari prinsip kebahagiaan terbesar yang ditujukan pada "maximum …
of comfort and security" untuk semua pihak.101
“If it is a good thing to sacrifice the fortune of one individual to
augment that of others, it will be yet better to sacrifice a second, a
third, a hundred, a thousand, …; for whatever may be the number of
98
James E. Crimmins, loc.cit.
Jeremy Bentham, “Deontology,” A. Goldworth (ed.), 1983, Deontology together with A
Table of the Springs of Action and the Article on Utilitarianism, Clarendon Press: Oxford, hlm. 309
100
James E. Crimmins, loc.cit.
101
Jeremy Bentham Published under the Superintendence of his Executor, John Bowring,
1838–43, The Works of Jeremy Bentham, Vol. III., William Tait: Edinburgh, hlm. 452
99
70
those you have sacrificed, you will always have the same reason to
add one more. In one word, the interest of everybody is sacred, or the
interest of nobody.”102
keamanan dasar harus diberikan kepada setiap anggota masyarakat, dan
pelanggaran terhadap kepentingan vital ini tidak dibenarkan, baik pelanggaran itu
dilakukan oleh individu lain atau oleh pemerintah, karena pelanggaran terhadap hak
mendasar bertentangan dengan unsur-unsur distributif teori utilitarian. Sejauh ini
kesimpulan
Bentham,
diperhitungkan.
103
setidaknya
kebahagiaan
setiap
orang
harus
Karena pandangannya inilah Bentham kemudian dikenal
sebagai seorang filsuf yang mempergunakan pendekatan individual dalam aliran
utilitarianisme.
Sarjana lain yang cukup terkenal dalam aliran utilitarian adalah Rudolf von
Jhering. Dalam karyanya yang paling ambisius, Geist des römischen Rechts, 104
Jhering menjelaskan hubungan hukum pada perubahan sosial. Karyanya yang lebih
berpengaruh di abad ke-20 adalah “Law As a Means to an End,” yang menyatakan
bahwa tujuan hukum adalah perlindungan kepentingan individu dan masyarakat
dengan koordinasi antara keduanya sehingga meminimalkan kemungkinan
timbulnya konflik. Dimana konflik tidak dapat dihindari, maka Jhering
menekankan bobot yang lebih besar untuk kepentingan masyarakat, sehingga
mengundang kritik bahwa ia telah mengebawahkan individu dari masyarakat. Ide-
102
Jeremy Bentham Translated from the French of Etienne Dumont, by Richard Hildreth,
1840, Theory of Legislation, Vol. I., Week, Jordan & Company: Boston, hlm. 144
103
James E. Crimmins, loc.cit.
104
Terjemahannya adalah "The Spirit of Roman Law" 4 vol. (1852-1865)
71
idenya tersebut merupakan hal yang penting bagi perkembangan "jurisprudence of
interests" di Jerman.105
Pada posisi yang berlawanan terdapat juga teori keadilan yang dicetuskan
oleh John Rawls, yang bertolak belakang dengan pandangan utilitarian ini, karena
dalam teori keadilan Rawls hak individu sangat dilindungi. John Rawls
berpendapat: “justice is the first virtue of social institutions, as truth is of systems
of thought.” 106 Dalam pandangan Rawls, keadilan merupakan kebaikan utama
suatu institusi (misalnya: negara) dalam suatu sistem pemikiran. Salah satu gagasan
utama Rawls adalah bahwa prinsip-prinsip keadilan dapat dibenarkan dengan
menunjukkan bahwa mereka akan menjadi produk dari kesetaraan yang adil (justice
as fairness). 107 Dalam keadilan sebagai suatu kesetaraan posisi awal keadilan
berhubungan dengan keadaan alamiah dalam teori tradisional kontrak sosial. 108
Keadilan ini merupakan hak bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan
sosial maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social
goods”). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat diizinkan bila ada kemungkinan
keuntungan yang lebih besar bagi kaum minoritas/individu. Rawls juga
memaksimalkan kebebasan. Pembatasan terhadap kebebasan ini hanya untuk
kepentingan kebebasan itu sendiri.109
105
http://www.britannica.com/biography/Rudolf-von-Jhering, diakses tanggal 23 Mei
2016
106
J. Rawls, 1999, A Theory Of Justice, Revised Edition, Harvard University Press: United
States, hlm. 3
107
J. Mikhail et al., “The Law of Peoples: with ‘the Idea of Public Reason Revisited’.” by
John Rawls, Book Notes, 36 Stan. J. Int'l L. 357, 2000, hlm. 357
108
Rawls, op.cit., hlm. 11
109
Ibid.
72
Rawls melahirkan 3 (tiga) prinsip kedilan, yang sering dijadikan rujukan
oleh para ahli yakni:
1. Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
2. Prinsip perbedaan (differences principle)
3. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Rawls berpendapat jika terjadi benturan (konflik), maka: Equal liberty principle
harus diprioritaskan dari pada prinsip-prinsip yang lainnya. Dan, Equal opportunity
principle harus diprioritaskan dari pada differences principle.110
Dalam ‘The Law of Peoples,’ yaitu kumpulan perkuliahan pada tahun 1993,
Rawls memperluas elemen dasar kontrak kerangka kerjanya ke dalam hubungan
internasional. Rawls menjelaskan bahwa prinsip perbedaan di seluruh dunia dapat
secara rasional diterima sebagai basis kerjasama yang stabil dan damai. Beliau
menegaskan bahwa pilihan hanya dapat dilakukan atas dasar informasi yang
relevan secara moral. Oleh karena itu ia kembali menekankan kepada para pihak
yang terkait kepada selubung ketidaktahuan dan disesuaikan dengan kasus yang
ada.111
Masyarakat dalam hipotetis kontrak internasional Rawls tidak tahu ukuran
wilayah mereka atau populasinya, tingkat sumber daya alam mereka, tingkat
pembangunan ekonomi, atau kekuatan relatif militer mereka. Melalui cara ini,
mereka tidak mampu untuk mengeksploitasi kontinjensi seperti ini dalam desain
lembaga yang mendukung satu pihak di atas pihak yang lain. Rawls mengakui
110
111
Rawls, op.cit., hlm. 151-156
Mikhail et al., op.cit., hlm. 358
73
bahwa eksperimen pikirannya utopis, dalam arti bahwa ia menggunakan cita-cita
politik dan moral untuk menentukan isi dari suatu tatanan internasional yang adil.
Konsepnya membimbing dari utopia yang realistis. Menurut Rawls, konsepsi
keadilan adalah realistis hanya jika hal itu bergantung pada hukum-hukum alam
yang sebenarnya dan mencapai jenis stabilitas hukum-hukum yang diperbolehkan.
Selain itu, prinsip pertama dan aturannya harus dikerjakan dan berlaku untuk
pengaturan politik dan sosial yang berkelanjutan.112
Keadilan dalam sudut pandang liberalisme juga berkembang dalam filsafat
hukum dewasa ini. Teori liberal hukum adalah sekelompok pandangan tentang sifat
hukum dan batasan yang
diperbolehkan dalam penggunaan hukum. Esensi
liberalisme adalah pandangan bahwa negara tidak boleh menggunakan kekuasaan
koersif untuk memaksakan konsepsi tentang kehidupan yang baik pada individu.
Dalam setidaknya satu dari bentuk-bentuk modern yang signifikan, liberalisme juga
berkomitmen untuk kesetaraan. negara memperlakukan warganya sebagai setara
hanya jika memungkinkan setiap orang untuk mengembangkan dan bertindak atas
konsepsi kebaikannya sendiri. Komitmen kebebasan secara historis telah terwujud
dalam hubungan filosofis antara liberalisme dan positivisme hukum.113
Dalam arti yang paling umum, libertarianisme adalah filsafat politik yang
menegaskan hak-hak individu untuk kebebasan, untuk memperoleh, menyimpan,
dan bertukar kepemilikan mereka, dan menganggap perlindungan hak-hak individu
merupakan peran utama untuk negara. Catatan ini adalah pada libertarianisme
112
Ibid.
Leslie P.Francis & Bruce Landesman, “Liberal Philosophy of Law,” Christopher Berry
Gray (ed), 1999, The Philosophy of Law: An Encyclopedia Volume II, Garland Publishing, Inc.: New
York & London hlm. 506
113
74
dalam arti sempit dalam pandangan moral yang agen awalnya sepenuhnya memiliki
diri mereka sendiri dan memiliki kekuatan moral tertentu untuk memperoleh hak
milik dalam hal-hal eksternal.114
Versi yang paling terkenal dalam aliran Libertarian tidak diragukan lagi,
adalah "teori hak" Robert Nozick, yang menyatakan bahwa keadilan distributif
terutama hanya terdiri dari tiga prinsip:115
1. the principle of justice in acquisition,
2. the principle of justice in transfer,
3. the principle of rectification for violations of (1) and (2).
Libertarian melihat individu sebagai unit dasar analisis sosial. Hanya
individu yang membuat pilihan dan bertanggung jawab atas tindakan mereka.
pemikiran libertarian menekankan martabat masing-masing individu, yang
mencakup hak dan tanggung jawab. Karena individu adalah agen moral, mereka
memiliki hak untuk menjadi aman dalam hidup mereka, kebebasan, dan properti.
Hak-hak ini tidak diberikan oleh pemerintah atau masyarakat; akan tetapi melekat
dalam sifat manusia.116
Berdasarkan beberapa teori tentang keadilan di atas kemudian dipergunakan
untuk menganalisis permasalahan asas equitable principle dalam penentuan
delimitasi maritim dengan melakukan interpretasi analogi terhadap kedudukan
negara dalam penentuan delimitasi ini. Sebagaimana dijabarkan dalam teori
114
Peter Vallentyne & Bas van der Vossen, "Libertarianism", The Stanford Encyclopedia
of Philosophy (Fall 2014 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL
http://plato.stanford.edu/archives/fall2014/entries/libertarianism, diakses tanggal 23 Mei 2016
115
Ibid.
116
David Boaz, 1997, Libertarian A Primer, Free Press: New York, hlm. 16
75
keadilan yang bersubyek pada individu perorangan, maka untuk memakai teori
tersebut, posisi negara-negara yang melakukan delimitasi dalam kedudukannya di
masyarakat internasional dianalogikan sebagai individu internasional, sehingga
penggunaan teori keadilan itu dapat dicocokan dengan situasi hubungan negara
dalam masyarakat internasional. Adapun peran penguasa dalam hal ini
pengejewantahan negara atau pemerintah diwakili oleh hukum internasional yang
mengatur tentang delimitasi yang mengacu pada UNCLOS 1982.
Hal penting yang harus dicapai oleh teori keadilan ini adalah agar
tercapainya salah satu dari tujuan hukum. Tujuan pemberlakuan hukum adalah agar
tercapai keseimbangan sebagaimana yang disebutkan dalam teori Gustav Radbruch,
menurutnya pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yaitu keadilan, manfaat
dan kepastian hukum di mana ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada
pengertian hukum yang memadai. Aspek pertama yaitu keadilan dalam arti yang
sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan.
Aspek kedua kemanfaatan di mana aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi
hukum harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah
kepastian hukum atau legalitas. Aspek ini menjamin bahwa hukum dapat berfungsi
sebagai peraturan yang harus ditaati.117
2.
Teori Kedaulatan
Teori ini dipergunakan untuk memberi arah dalam mencari jawaban
terhadap permasalahan pertama, kedua, dan ketiga dalam sub-bab permasalahan.
117
hlm.163
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius: Yogyakarta,
76
Pentingnya unsur kedaulatan dalam proses perjanjian antar negara serta proses
delimitasi membuat teori ini perlu untuk disertakan dalam penelitian ini.
Bersamaan dengan munculnya negara modern muncul ide atau konsep ideal
tentang kedaulatan.118 Kedaulatan negara diartikan sebagai organisasi politik yang
menjalankan kewenangan yang tak tertandingi dalam batas wilayahnya, termasuk
kekuasaan tertinggi untuk membuat dan menegakkan hukum. Kedaulatan tersebut
berdiri di atas hukum dan tidak bisa dikenakan pembatasan hukum. Sebagaimana
dikatakan oleh Austin, “Supreme power limited by positive law, is a flat
contradiction in terms.”. 119 Pemahaman tentang kedaulatan negara yang tidak
terbatas sebagian didasarkan pada realitas praktis yang dirasakan. Dalam teori
hukum positivis, tidak adanya otoritas penegak hukum sentral di atas negara-negara
berarti tidak ada cara yang dapat diandalkan untuk memaksa kepatuhan negara
tersebut. Bagi Hobbes dan para sarjana sebelumnya yang membahas tentang
negara, otonomi tanpa belenggu dari kedaulatan mengikuti asal-usul dalam kontrak
sosial. Mulai dari kondisi kebebasan alam, orang dikontrak untuk memberikan
otoritas dalam kedaulatan besar di mana mereka yang akan menjadi subyeknya.
Tindakan, atau fiksi dari kontrak itulah yang melegitimasi pelaksanaan otoritas
kedaulatan seiring dengan pengorbanan otonomi individu. Tidak ada meta-kontrak
yang dapat membuat legitimasi otoritas super yang mampu mengikat kedaulatan.
Kedaulatan tak terbatas adalah akibat wajar dari persetujuan umum.120
118
F.H. Hinsley, 1986, Sovereignty, 2d ed., Cambridge Univ. Press: Cambridge, hlm. 126-
213
119
John Austin, 1995, The Province of Jurisprudence Determined, edited by Wilfrid E.
Rumble, Cambridge Univ. Press: Cambridge, hlm. 212
120
Jack Goldsmith & Daryl Levinson, Law For States: International Law, Constitutional
Law, Public Law, 122 Harv. L. Rev, 1791, hlm.1843
77
Dalam versi ekstrim dari kedaulatan negara yang dibayangkan oleh Hobbes
dan Austin, bahkan persetujuan untuk membatasi kekuasaan kedaulatan oleh
kedaulatan itu sendiri – merupakan hal yang mustahil. Kedaulatan, sekali diberikan,
maka tidak dapat dicabut. ketika mengakui bahwa "badan-badan berdaulat telah
berusaha untuk membantu diri mereka sendiri, atau untuk mewajibkan penerus
kekuasaan kedaulatan mereka," Austin menyatakan kesia-siaan menundukkan
kekuasaan kedaulatan bahkan jika kedaulatan itu ingin membatasi dirinya sendiri.
Dalam formulasi Hobbes tentang kedaulatan, beliau menjelaskan:121
The Soveraign of a Common-wealth . . . is not subject to the Civill
Lawes. For having power to make, and repeale Lawes, he may when
he pleaseth, free himselfe from that subjection, by repealing those
Lawes that trouble him, and making of new; and consequently he was
free before. For he is free, that can be free when he will: Nor is it
possible for any person to be bound to himselfe; because he that can
bind, can release; and therefore he that is bound to himselfe onely, is
not bound.
Tentu saja kita tidak perlu berpendirian sejauh Hobbes dalam mengartikan
kedaulatan tak terbatas. Status kedaulatan dapat dilihat sebagai memberdayakan
kedaulatan untuk masuk ke dalam kontrak yang mengikat atau komitmen, termasuk
kontrak hukum.
Hukum internasional didasarkan pada konsep negara. Negara pada
gilirannya terletak di atas dasar kedaulatan, yang mengekspresikan internal
supremasi lembaga pemerintah dan eksternal supremasi negara sebagai subyek
hukum internasional. Akan tetapi, kedaulatan itu sendiri yang mengandung hak dan
kewajiban hukum, didirikan pada fakta wilayah. Tanpa wilayah suatu entitas tidak
121
Ibid., hlm.1843-1844
78
bisa menjadi negara. Tidak diragukan lagi wilayah merupakan salah satu
karakteristik dasar negara dan yang paling banyak diterima dan dipahami.122
Konsep hukum fundamental seperti kedaulatan dan yurisdiksi hanya dapat
dipahami dalam kaitannya dengan wilayah, maka bahwa sifat hukum dari wilayah
menjadi bagian penting dalam setiap penelitian hukum internasional. Prinsip
dimana negara dianggap menjalankan kekuasaan eksklusif atas wilayahnya dapat
dianggap sebagai aksioma dasar hukum internasional klasik. 123 Perkembangan
hukum internasional atas dasar kewenangan eksklusif negara dalam kerangka kerja
teritorial telah disepakati memiliki arti bahwa wilayah menjadi konsep yang
fundamental dalam hukum internasional. 124 Kebanyakan negara-negara memang
berkembang melalui hubungan dekat dengan tanah yang mereka dihuni.125
Wilayah merupakan salah satu unsur penting kedaulatan yang menjadi fitur
bagi otoritas politik dalam perkembangan modern. Teritorialitas adalah prinsip
dimana anggota komunitas harus dikelompokkan. Teritorial juga menentukan
bahwa keanggotaan suatu komunitas berasal dari tempat tinggal mereka di dalam
suatu perbatasan. Otoritas tertinggi dalam wilayah adalah definisi umum
kedaulatan, sehingga manifestasi sejarah terhadap kedaulatan hampir selalu spesifik
terkait dengan klaim wilayah tersebut.126
122
Malcolm N. Shaw, 2003, International Law, Fifth Edition, cambridge university press:
Cambridge, hlm. 409
123
Ibid.
124
D. P. O'Connell, 1970, International Law, 2nd edn, Stevens & Sons Ltd: London, vol.
I, p. 403.
125
Shaw, 2003, op.cit., hlm. 410
126
Daniel Philpott, "Sovereignty", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer
2016 Edition), Edward Zalta (ed.) http://plato.stanford.edu/archives/sum2016/entries/sovereignty/,
diakses tanggal 24 Mei 2016
79
Selain fungsi “power monopoly,” kedaulatan juga memainkan peran penting
lainnya, seperti konsep pusat gagasan “equality of nations”… Konsep kesetaraan
bangsa ini terkait dengan konsep kedaulatan karena kedaulatan telah mendorong
gagasan bahwa tidak ada kekuatan yang lebih tinggi daripada negara-bangsa, jadi
'kedaulatan' meniadakan gagasan bahwa ada kekuatan yang lebih tinggi, baik asing
maupun internasional (kecuali yang disetujui oleh negara).127
Berkaitan dengan hukum laut internasional maka telah timbul dua bentuk
kedaulatan yang disandang oleh negara, pertama kedaulatan penuh dan kedua
adalah hak berdaulat. Kedua kedaulatan ini berkaitan erat dengan penentuan
delimitasi perbatasan maritim, karena adanya perbatasan maritim maka batas
tersebut menjadi penentu mulainya dan berakhirnya suatu kedaulatan negara di laut.
Di wilayah laut teritorial, permasalahan dasarnya adalah kedaulatan
teritorial yang merupakan eksistensi elemen suatu negara. Pada zona maritim
lainnya, permasalahan terletak pada hak berdaulat atas sumber kekayaan alam
termasuk didalamnya minyak dan gas bumi. Mengamankan perbatasan maritim
berarti sama dengan mengamankan sumber kekayaan alamnya. Selain itu penting
bagi negara untuk mengamankan jalur pelayaran laut di wilayahnya.128
Dalam bab pembahasan penelitian ini dilakukan analisis terhadap
keterkaitan teori kedaulatan dalam proses delimitasi berdasarkan praktek negara
John H Jackson, “Sovereignty: Outdated Concept or New Approaches,” Wenhua Shan,
Penelope Simons & Dalvinder Singh, 2008, Redefining Sovereignty in International Economic Law,
Hart Publishing: Oxford And Portland, Oregon, hlm. 4
128
A. Jinangkung, “Maritime Boundary Disputes Among Asean Member Countries: Could
Asean Do Something?,” Jurnal Hukum Internasional Opinio Juris, Volume 3 edisi Sep-Des 2011,
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI, hlm. 2
127
80
untuk menjelaskan posisi kedaulatan dan hak berdaulat yang dipergunakan sebagai
landasan melakukan delimitasi di ZEE dan landas kontinen.
3.
Konsep Single Maritime Boundary
Berlakunya rezim ZEE dalam UNCLOS 1982 diikuti dengan meningkatnya
trend diantara negara-negara yang mengadopsi “single maritime boundary” untuk
memisahkan perbatasan laut di luar laut teritorial dengan alasan untuk kepentingan
kesederhanaan, kepastian dan kenyamanan bersama. Dalam hal negara pantai yang
berdampingan, garis pangkal yang ditarik ke arah laut dari tepi pantai biasanya
hanya memisahkan laut teritorial dari kedua negara dalam jarak 12 n.m.. Untuk
wilayah di atas laut teritorial jika negara yang berunding itu menyetujui maka garis
batas zona laut ZEE dan landas kontinen dapat dibuat sama diantara mereka.129
Konsep ini dipergunakan untuk menjawab permasalahan ketiga dalam Sub-Bab
permasalahan.
I. Cara Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari
satu
atau
beberapa
gejala
hukum
tertentu
dengan
jalan
menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan mendalam terhadap
Surya P. Sharma, “The Single Maritime Boundary Regime and the Relationship
between the Continental Shelf and the Exclusive Economic Zone,” 2 Int'l J. Estuarine & Coastal L.
203, 1987, hlm. 203
129
81
fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.130
Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder belaka dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian
hukum kepustakaan, disamping adanya penelitian hukum sosiologis atau empiris
yang terutama meneliti data primer. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan
tersebut mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf
sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.131
Berdasarkan jenisnya penelitian mengenai “Equitable Principle Dalam
Penentuan Delimitasi Perbatasan Indonesia Dengan Negara-Negara Lain di Zona
Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen” ini merupakan penelitian hukum
normatif atau studi kepustakaan karena yang diteliti adalah prinsip atau asas hukum
yang berkaitan dengan equitable principle, sesuai dengan uraian Soerjono Soekanto
di atas.
2.
Jenis Data
Jenis data dalam penelitian kepustakaan ini adalah data sekunder berupa
kaidah atau norma yang meliputi asas-asas hukum. Pada dasarnya dapat dibedakan
antara data sekunder yang bersifat pribadi dengan data sekunder yang bersifat
publik. Secara sistematis-visual tipe-tipe data sekunder tersebut, adalah sebagai
berikut:132
130
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, hlm.43
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, suatu tinjauan
singkat, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, hlm.13-14
132
Ibid., hlm. 24-25
131
82
1. Bersifat
pribadi
Data
sekunder
a. Dokumen pribadi
b. Data pribadi yang disimpan di lembaga dimana
seseorang bekerja atau pernah bekerja
a. Data arsip
2. Bersifat
publik
b. Data resmi instansi
Pemerintah
c. Data lain, misalnya, yurisprudensi
Mahkamah Agung
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas maka data yang
dicari dan dianalisis dalam penelitian ini adalah data arsip, data resmi instansi serta
keputusan-keputusan hukum dan fakta-fakta yang berhubungan dengan equitable
principle dalam proses delimitasi perbatasan maritim di ZEE dan landas kontinen
serta problem penerapannya di Indonesia.
Atas dasar pertimbangan tersebut maka data penelitian yang diperlukan
antara lain: (1) informasi tentang situasi dan perkembangan delimitasi perbatasan
Indonesia dengan negara tetangga, serta hambatan-hambatan yang ada dalam
mencapai equitable principle; (2) data tentang konsep equitable principle dikaitkan
dengan penentuan delimitasi negara kepulauan dalam hukum laut internasional
serta kaitannya dengan proses delimitasi di Indonesia di ZEE dan landas kontien
serta serta aspek-aspek yang berpengaruh dalam proses delimitasi dalam ketentuan
hukum internasional lain yang relevan; (3) data tentang metode single maritime
boudary dalam penyelesaian delimitasi dan relevansinya dengan equitable
principle di ZEE dan landas kontinen.
Bahan hukum yang dikaji dalam penelitian ini antara lain adalah:
83
1. Bahan hukum primer; merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.133
Dalam hukum internasional yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan
mengikat, yang terdiri dari Perjanjian-perjanjian internasional, baik
yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuanketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh masyarakat
internasional, seperti:
a. United Nations Convention Law Of The Sea 1982
b. United Nations Convention on the Continental Shelf 1958
c. Perjanjian bilateral yang menyangkut penentuan delimitasi ZEE dan
landas kontinen antara Indonesia dengan negara tetangga serta
perjanjian bilateral dari negara lain yang relevan dengan kasus
delimitasi di Indonesia sebagai data pembanding.
d. Keputusan Pengadilan Internasional dalam kasus-kasus yang
berkaitan dengan sengketa delimitasi ZEE dan landas kontinen
e. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen;
f. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE);
133
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana: Jakarta, hlm. 141
84
g. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea 1982 Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76;
h. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73.
i. Kebiasaan internasional, yaitu suatu kebiasaan umum yang telah
diterima sebagai hukum ;
j. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang
beradab ;
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan tentang bahan hukum primer seperti:
a. yurisprudensi dan doktrin ajaran sarjana-sarjana yang terkemuka
dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi penetapan
kaedah-kaedah hukum.
b. buku hukum terutama yang berkaitan dengan hukum laut
internasional; jurnal ilmiah seperti American Journal of
International Law, Stanford Journal of International Law,
American University International Law Review, Brooklyn
Journal of International Law, Chinese Journal of International
Law, dll; makalah dan karya-karya ilmiah para sarjana hukum,
serta penelusuran data internet yang terkait dengan masalah yang
diteliti.
85
3. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus
hukum baik yang berupa hardcopy misalnya: Black Law dictionary,134
Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, 135 The Advance Learner’s
Dictionary of Current English,136 ataupun dalam bentuk kamus online
seperti: www.thefreedictionary.com, www.businessdictionary.com, dll;
ensiklopedi dalam bidang hukum contohnya: Legal Problem Solver.137
3.
Cara Pengumpulan Data
Dalam penelitian pada umumnya dikenal tiga jenis teknik atau cara
pengumpulan data, yakni studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau
observasi dan wawancara. Ketiga cara tersebut dapat dipergunakan masing-masing,
atau bersama-sama. Untuk penelitian ini cara yang dipergunakan adalah studi
dokumen atau bahan pustaka serta wawancara dengan narasumber yang
berkompeten sebagai bahan tambahan untuk melengkapi bahan penelitian.
Proses pengumpulan data sekunder dan bahan hukum dalam penelitian ini
diambil dari beberapa sumber, yaitu:
a. Berbagai perpustakaan baik lokal maupun nasional. Dalam
penelitian ini pencarian literatur sebagian besar dilakukan di
perpustakaan Fakultas Hukum UGM.
Bryan A. Garner (eds), 2004, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, Thomson West
Publishing: St Paul
135
Ranuhandoko, 2003, Terminologi hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta
136
A.S.Hornby, et al., 1973, The Advance Learner’s Dictionary of Current English, ed. 2.
Oxford University Press: London
137
John A. Pope, 1994, Legal Problem Solver: a Quick and Easy Action Guide To The Law,
Reader’s Digest: New York
134
86
b. Pusat data dari lembaga dan instansi pemerintah terkait dengan
objek penelitian, seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian
Pertahanan, Dinas Hidrografi dan Oceanografi, Badan Koordinasi
Survey dan Pemetaan Nasional.
c. Situs jurnal internet seperti Westlaw, Jstor, Proquest, Social Science
Research Network.
Dalam pengumpulan data melalui wawancara, penulis melakukan
wawancara kepada narasumber dari instansi pemerintah yang terkait langsung
dengan proses delimitasi dan tokoh yang merupakan ekspertis dalam hukum laut
internasional di Indonesia. Menurut Peter Marzuki hasil wawancara dengan pejabat
yang memiliki kewenangan bukan merupakan bahan hukum primer karena hasil
wawancara itu tidak bersifat autoritatif, Akan tetapi hasil wawancara dapat
dogolongkan pada bahan penelitian non-hukum. Jika wawancara tersebut
dituangkan dalam bentuk tertulis dan narasumber memberikan hasil wawancara
dalam bentuk tertulis pula maka hasil wawancara ini dapat menjadi bahan hukum
sekunder.138
Wawancara dilakukan kepada beberapa narasumber berikut ini:
1. Prof. Dr. Hasjim Djalal, M.A., ahli hukum laut internasional Indonesia
yang saat ini menjabat sebagai Senior Advisor to the Indonesian
Minister for Maritime Affairs and Fisheries & Indonesian Naval Chief
of Staff. Beliau juga berpartisipasi aktif dalam Konferensi Hukum Laut
Internasional 1973-1982 sebagai salah satu wakil delegasi Indonesia.
138
Marzuki, op.cit, hlm. 165
87
2. Prof. Dr. Ir.. Sobar Sutisna, M.Surv.Sc dari instansi Badan Informasi
Geospasial dan dosen tetap di Program Magister Teknik Geomatika
Universitas Gadjah Mada.
3. Kol. Dr. Ir.Trismadi, M.Sc, pejabat Kepala subdissurvei Dishidros.
4. Kolonel Laut (KH) Drs. Haris Djoko Nugroho, M.Si, saat wawancara
dilaksanakan menjabat sebagai Kasubdit Perbatasan Laut, Direktorat
Wilayah
Pertahanan,
Direktorat
Jenderal
Strategi
Pertahanan,
Kementerian Pertahanan.
5. Terry Subagja, dari Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian
Internasional di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Adapun hasil wawancara dalam penelitian ini digolongkan kepada bahan
penelitian non-hukum karena hasil wawancara hanya dituangkan dalam bentuk
rekaman suara, meskipun hasil wawancara dipergunakan juga sebagai masukan
dalam pembahasan disertasi ini.
4.
Analisis Penelitian
Setelah proses pengumpulan data yang relevan dengan topik penelitian
maka data tersebut diolah dan dianalisis dengan melakukan interpretasi dan
evaluasi untuk menemukan jawaban permasalahan. Pengolahan data adalah suatu
kegiatan mengartikan, membanding-bandingkan, menghubung-hubungkan dan
mencari kesesuaian antara data yang telah dikumpulkan satu sama lain dalam
rangka mengungkapkan suatu kebenaran yang dipermasalahkan. Akhir pengolahan
data itu adalah penarikan kesimpulan.139 Analisis sendiri adalah upaya sistematik
139
Sugeng F. Istanto, 2007, Penelitian Hukum, Ganda: Yogyakarta, hlm. 28
88
untuk menguraikan isu penelitian dengan memilah-milahkan atau menguraikan
komponen informasi yang telah dikumpulkan ke dalam bagian-bagian atau unitunit analisis.140
Sintesis sebagai upaya menggabungkan semua data yang terkait dengan
komponen (unit-unit analisis), disamping memiliki kemampuan untuk menilai
karya sarjana lain di bidang yang relevan; Sintesis pendahuluan harus mencakup
upaya penggabungkan secara konsisten antara temuan analisis dan sintesis. Dalam
hal ini peneliti berupaya menata kembali hasil analisis dalam rangka menjelaskan
(a) pengertian makna harfiah dan makna real dari komponen tersebut; (b) unsur
subjektif atau bias yang terkandung di dalamnya. Sintesis akhir (final synthesis),
mencakup upaya penggabungan bagian-bagian secara keseluruhan dari data yang
telah dianalisis.
Dalam penelitian normatif bahan hukum yang diperoleh dianalisis secara
preskriptif dengan mempergunakan metode deduktif sebagai cara yang dipakai
untuk menarik kesimpulan. Bahan penelitian tentang equitable principle berupa
prinsip hukum, keputusan pengadilan serta ajaran dan pendapat para ahli dirangkai
secara sistematis sebagai susunan fakta hukum untuk mengkaji pencapaian
equitable principle dalam penyelesaian delimitasi ZEE dan landas kontinen
Indonesia dengan negara-negara tetangga. Pencarian data pustaka dalam penelitian
ini dilakukan terhadap kebijakan penerapan equitable principle dalam perjanjian
bilateral mengenai penentuan batas wilayah maritim Indonesia dengan negara
140
Mestika Zed, 2004, Metode Penelitian Kepustakaan, Penerbit Yayasan obor Indonesia:
Jakarta, hlm. 82
89
tetangga. Selain itu dilakukan juga studi pustaka terhadap kasus-kasus yang relevan
berkaitan dengan penerapan equitable principle yang telah diputuskan oleh
pengadilan internasional.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah:
1) Pendekatan konseptual; yaitu beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.141 Dalam penelitian
ini pendekatan konseptual dilakukan dengan memaparkan beberapa
persepsi doktrinal mengenai equitable principle yang umum digunakan
dalam hukum internasional.
2) Pendekatan Hermeneutika; Kata “hermeneutika” secara etimologi berasal
dari istilah Yunani, dari kata kerja hermeneuein, yang berarti “menafsirkan”
dan kata benda hermeneia yang berarti “interpretasi.” Hermeneutika
ditujukan kepada suatu proses mengubah sesuatu atau situasi yang tidak bisa
dimengerti sehingga dapat dimengerti. Ada tiga komponen dalam proses
tersebut; mengungkapkan, menjelaskan dan menerjemahkan.142 Pendekatan
hermeneutika ini digunakan dalam menganalisis makna equitable principle.
Selain itu dalam analisis interpretasi permasalahan dan dalam rangka
membedahnya dengan teori yang telah dipilih, peneliti mempergunakan
interpretasi per analogiam. Definisinya dapat di pahami sebagai berikut,
analogy means partial resemblance.” Dua fenomena dapat dikatakan
analogi satu sama lain jika dalam hubungan signifikan tertentu hal itu dapat
141
Marzuki, op.cit, hlm. 95
Richard E. Palmer, “Interpratation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and
Gadamer,” terj. Hery Mansur & M. Damanhuri, 2005, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai
Interpretasi, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, hlm. 14.
142
90
dikategorikan sebanding atau dapat dikomparasikan, meskipun apa yang
diperbandingkan itu merupakan hal yang berbeda. Secara umum interpretasi
per analogiam dapat digunakan jika pengguna menarik kesimpulan
terhadap arti ketentuan yang ingin diinterpretasikan itu berdasarkan
observasi bahwa analogi tersebut dapat dilakukan terhadap dua fenomena
tersebut.143
3) Pendekatan Komparatif; penelitian komparatif yaitu melihat dua atau lebih
kelompok, individu, atau kondisi yang sama dengan membandingkan
mereka. Perbandingan ini sering berfokus pada beberapa karakteristik
khusus. Perbandingan dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif. 144 Dalam
penelitian ini yang dikomparasikan adalah metode delimitasi di wilayah
ZEE dan landas kontinen antar kasus perbatasan Indonesia dengan negara
tetangganya, serta membandingkannya dengan kasus serupa dalam praktek
di negara lain serta yurisprudensi internasional.
143
Ulf Linderfalk, 2007, On The Interpretation Of Treaties, Springer: Netherlands, hlm.
144
http://www.hd.gov/HDdotGov/detail.jsp?ContentID=346, diakses tanggal 23 Desember
294
2012
Download