Bab I

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak usia sekolah terutama sekolah dasar adalah investasi bangsa, karena
anak usia tersebut adalah generasi penerus bangsa. Tumbuh kembang anak usia
sekolah yang optimal tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas
yang benar. Masa untuk tumbuh kembang, pemberian nutrisi tersebut atau asupan zat
gizi pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna. Banyak sekali
masalah yang ditimbulkan dalam pemberian makanan yang tidak benar dan
menyimpang. Penyimpangan ini mengakibatkan gangguan pada banyak organ dan
sistem tubuh anak (Judarwanto, 2007). Gangguan pada banyak organ dan sistem
tubuh anak bisa menyebabkan anak mengalami pertumbuhan abnormal salah satunya
adalah autis.
Dikdasmen Depdiknas (dalam Putra Kembara 2005) mengatakan bahwa autis
adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya
gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan
interaksi sosial yang biasanya muncul pada usia 1 – 3 tahun. Sedangkan menurut
Judarwanto
Widodo
dalam
Pencegahan
http://mamaabram.multiply.com/journal/item/22),
Autis
autis
pada
adalah
Anak
gangguan
(2007,
yang
dipengaruhi oleh multifaktorial yang masih belum terdapat kejelasan secara pasti
mengenai penyebab dan faktor resikonya.
1
Penelitian ini akan dilakukan pada siswa autis SLB Negeri Pembina
Yogyakarta. Kendala yang dihadapi guru dalam proses belajar mengajar saat ini
adalah kendala komunikasi. Menurut Adriana Soekandar Ginanjar dalam jurnalnya
yang berjudul Memahami Spektrum Autistik secara Holistik (2007), salah satu ciri
utama pada gangguan autistik adalah hambatan yang besar dalam berkomunikasi dan
berbicara. Komunikasi merupakan hal yang sangat penting karena dapat membantu
mengerti apa yang diinginkan dan dirasakan oleh anak autis, mengetahui kemampuan
dan kecerdasan yang sebenarnya, dan orangtua bisa mengembangkan hubungan
emosional yang dekat dengan anak autis.
Peneliti dari University of Cambridge menemukan bahwa ada bagian otak
penderita autis yang tidak mengenali kesadaran tentang dirinya sendiri. Akibatnya,
jangankan untuk berkomunikasi, untuk mengenali kesadaran terhadap pribadinya saja
penderita
autis
merasa
sangat
kesulitan
(http://bacaankesehatan.blogspot.com/2013/01/anak-autis-kenapa-mereka-sulit.html ).
Gangguan-gangguan dalam berkomunikasi ini menjadi penyebab terjadinya
hambatan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Sehingga terapi komunikasi
menjadi hal penting bagi penyembuhan anak yang mengalami gejala atau menderita
autis. Komunikasi yang dapat membangun konsentrasi pada anak autis akan menjadi
terapi yang signifikan dengan tingkat penyembuhan. Komunikasi terapetik menjadi
salah satu solusi dalam menangani anak autis sehingga anak autis mempunyai
kemungkinan sembuh lebih cepat apabila diketahui lebih dini dan diasuh di sekolah
khusus penyandang autis.
2
Menurut Hermawan A.H proses interaktif antara anak autis dan guru dapat
membantu anak autis mengatasi stress sementara untuk hidup harmonis dengan orang
lain, menyesuaikan dengan sesuatu yang tidak dapat diubah, dan mengatasi hambatan
psikologis. Proses ini disebut komunikasi terapeutik (dalam jurnal Persepsi Pasien
Tentang Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Perawat Dalam Asuhan keperawatan
Pada Pasien Di Unit Gawat Darurat RS. Mardi Rahayu Kudus, 2009). Sedangkan
menurut
Ibnu
Dermawan komunikasi
terapeutik adalah
komunikasi
yang
direncanakan dan dilakukan bertujuan untuk membantu penyembuhan atau
pemulihan dari penyakit atau kondisi abnormal (dalam jurnal Hubungan Pelaksanaan
Komunikasi Terapeutik Dengan Kepuasan Klien Dalam Pelayanan Keperawatan di
Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Soedarso Pontianak Kalimantan Barat, 2009).
Komunikasi terapeutik berbeda dari komunikasi sosial, yaitu pada komunikasi
terapeutik selalu terdapat tujuan atau arah yang spesifik untuk komunikasi. Oleh
karena itu, komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang terencana. Komunikasi
paling terapeutik berlangsung ketika murid dan guru keduanya menunjukkan sikap
hormat akan individualitas dan harga diri.
Guru harus memiliki ketrampilan komunikasi yang bersifat profesional dan
bertujuan untuk menyembuhkan muridnya. Guru yang memiliki ketrampilan
komunikasi terapeutik akan lebih mudah menjalin hubungan saling percaya dengan
murid, sehingga akan lebih efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran dan
memberikan kepuasan dalam pembelajarannya.
3
Guru sebagai tenaga pendidik yang profesional mempunyai kesempatan besar
untuk
memberikan
pelayanan
pendidikan
khususnya
pembelajaran
yang
komprehensif dengan membantu murid memenuhi kebutuhan dasar yang holistik.
Untuk menjalankan perannya dengan baik, guru perlu memiliki keterampilan dalam
mengklarifikasi nilai, konseling, dan komunikasi (Hamid, 2009:20).
Berdasarkan observasi di lapangan, terdapat siswa yang mengalami gangguan
perkembangan pervasive yang desertai dengan perilaku deficit (berkekurangan).
Perilaku deficit (berkekurangan) tersebut yaitu anak yang mengalami kurangnya
keinginan untuk bergerak. Anak cenderung diam/pasif dan menyendiri serta kurang
berinteraksi sosial dengan temannya. Apabila siswa tersebut terus mengalami
perilaku berkekurangan (kurangnya kemampuan gerak) maka ini akan berakibat pada
system syarafnya, diantara organ geraknya akan menjadi kaku, bila hal ini terus
terjadi maka berakibat pada kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi sosialnya
semakin buruk. Setelah melihat permasalahan yang terdapat di SLB Negeri Pembina
Yogyakarta, untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi serta berinteraksi sosial
pada siswa autis diperlukan suatu rangsangan yang dapat membuat anak terdorong
untuk melakukan gerakan motorik dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
Dalam sebuah jurnal penelitian yang berjudul “Permainan ‘Bakiak Race’
Untuk Meningkatkan Kemampuan Motorik Kasar Anak Autis Hipoaktif” menjelaskan
bahwa permainan adalah suatu aktifitas yang dapat dilakukan oleh semua orang dari
anak-anak hingga orang dewasa, tidak terkecuali bagi penderita autis. Permainan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan merupakan kebutuhan
4
dasar. Para ahli pendidikan juga mengatakan bahwa anak-anak identik dengan
bermain karena hampir seluruh waktunya di habiskan untuk bermain.
Banyak media yang dapat merangsang anak untuk tetap bersemangat dalam
mengikuti pendidikan. Walaupun bukan media utama dalam menyampaikan materi,
namun media –media tersebut dapat menjadi selingan yang membuat anak tetap fokus
dalam menerima pelajaran. Anak autis merupakan anak yang memiliki kemampuan
rendah untuk berkonsentrasi, mereka adalah anak-anak dengan tipe visual learner.
Namun siswa autis memiliki kemampuan dalam mengamati benda –benda tertentu,
misalnya televisi ataupun memainkan game, mereka akan cenderung hiperfokus
ketika sedang melakukan kegiatan dengan media-media tersebut, karenanya mereka
lebih peka dengan gerakan, cahaya dan sesuatu yang dapat digerakan. Oleh sebab itu
mereka lebih menyukai game, animasi, dan acara televisi.
Game merupakan sebuah multimedia interaktif yang disukai oleh anak-anak
penyandang autis. Game juga dapat diadaptasi sebagai media pendidikan untuk anak
autis. Pembelajaran dengan media game, animasi, audio, dan video merupakan
penyampaian yang dapat membuat anak autis tertarik serta berkonsentrasi lebih lama,
bisa menjadi salah satu cara yang disukai dan mudah digunakan dalam penyampaian
materi.
Di SLB Negeri Pembina Yogyakarta guru mempunyai teknik tersendiri dalam
usaha meningkatkan ketrampilan berkomunikasi siswa, antara lain melalui
permainan edukasi dengan media komputer. Menurut Eva Handriyantini (dalam
jurnal Permainan Edukatif ( Educational Games ) Berbasis Komputer untuk Siswa
5
Sekolah Dasar, 2009) permainan edukatif adalah permainan yang dirancang dan
dibuat untuk merangsang daya pikir anak termasuk meningkatkan kemampuan
berkonsentrasi dan memecahkan masalah. Permainan edukasi yang digunakan di SLB
Negeri Pembina Yogyakarta menggunakan program permainan dari IBM KidSmart
Easy Learning Program, yang pada tahun 2009 memberikan bantuan berupa
beberapa unit komputer dengan tujuan membantu proses belajar mengajar bagi anakanak berkebutuhan khusus. Permainan dalam program KidSmart merupakan
permainan sederhana yang mudah dimainkan oleh siapapun, aplikasi permainan pada
media komputer sangat efektif melatih siswa berbicara dan menggunakan tangannya
secara bersamaan. Selain itu dalam beberapa permainan para siswa autis juga diajak
berinteraksi dengan tokoh virtual yang ada di dalam permainan, bersama tokoh
virtual yang ada di dalam permainan mereka mempelajari kemampuan sosial,
sehingga bisa mengaplikasikannya dalam dunia nyata. Dalam memainkan permainan
dengan media komputer siswa didampingi oleh guru, siswa berkomunikasi dengan
guru untuk mengerti perintah yang disampaikan dalam permainan. Jadi beberapa
permainan yang diberikan guru selain bertujuan merangsang kemampuan motorik
dan sensorik siswa autis sekaligus juga melatihnya berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya.
Komunikasi efektif membutuhkan usaha sadar guru dalam mencari cara untuk
membantu murid dan keluarganya mengkomunikasikan pemikiran dan perasaan
dengan lebih efektif. Selain itu pemberian intervensi dan teknik komunikasi yang
sesuai dengan latar belakang budaya, dan umur murid juga harus diperhatikan.
6
Keberhasilan dalam meningkatkan kemampuan murid dalam berkomunikasi juga
tergantung pada partisipasi murid dalam menentapkan keberhasilan, tetapi juga pada
gaya pendidik melakukan komunikasi dan kemampuan untuk menetapkan hubungan
yang membantu. Penggunaan kemampuan komunikasi akan membantu guru
merasakan, bereaksi, dan menghargai kekhasan muridnya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian
dengan judul ”Teknik Komunikasi Terapetik Guru dengan Menggunakan Game
Komputer dalam Meningkatkan Keterampilan Berkomunikasi Siswa Autis di SLB
Negeri Pembina Yogyakarta”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan suatu rumusan masalah
sebagai berikut: Bagaimanakah Teknik Komunikasi Terapeutik Guru dengan
Menggunakan Game Komputer dalam Meningkatkan Keterampilan Berkomunikasi
Siswa Autis di SLB Negeri Pembina Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui teknik komunikasi terapeutik yang digunakan guru dalam
meningkatkan keterampilan berkomunikasi siswa autis di SLB Negeri Pembina
Yogyakarta.
7
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui seberapa berhasil teknik komunikasi terapeutik yang
dilakukan guru di SLB Negeri Pembina Yogyakarta.
b. Untuk mengetahui keterampilan berkomunikasi siswa autis di SLB Negeri
Pembina Yogyakarta.
c. Untuk mengetahui lebih mendalam seperti apa teknik komunikasi terapeutik
menggunakan permainan edukasi dengan media komputer yang diberikan
guru untuk meningkatkan ketrampilan berkomunikasi siswa autis.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:
1. Peneliti
Meningkatkan pemahaman tentang teknik-teknik komunikasi terapeutik guru
untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi siswa autis.
2. Untuk Masyarakat
Sebagai bahan rujukan informasi mengenai salah satu cara komunikasi terapeutik
untuk anak autis.
3. Peneliti lain
Menambah
pengalaman
dalam
melakukan
penelitian
sehingga
dapat
melaksanakan penelitian yang lebih baik dari penelitian ini.
8
E. Kajian Teori
Secara garis besar dalam tinjauan pustaka ini peneliti akan memberikan
gambaran tentang komunikasi terapeutik, teknik-teknik komunikasi terpeutik dan
dimensi respon.
Seorang guru tidak akan mengetahui kondisi siswanya jika tidak ada
kemampuan menghargai keunikan siswanya. Tanpa mengetahui keunikan masingmasing kebutuhan siswa, guru juga akan kesuliatan memberikan bantuan kepada
siswa dalam mengatasi masalah siswa, sehingga perlu dicari metode yang tepat
dalam mengakomodasi agar mampu mendapatkan pengetahuan yang tepat tentang
siswa. Melalui komunikasi terapeutik diharapkan guru dapat menghadapi,
mempersepsikan, bereaksi dan menghargai siswa.
1. Pengertian Komunikasi Terapeutik
Budi Anna Keliat (1999:22), dalam bukunya yang berjudul Komunikasi
Terpeutik Perawat dan Klien menjelaskan bahwa komunikasi terapeutik pada
hakekatnya merupakan bentuk dari komunikasi interpersonal yang secara khusus
ditujukan untuk proses pemulihan atau terapi tertentu. Sehingga dalam prakteknya
komunikasi terapeutik digunakan dalam lingkup yang terbatas. Menurut Budi Anna
Keliat (1999:23) berdasarkan pernyataanya dapat disimpulkan bahwa komunikasi
terapeutik menjadi bagian dari proses terapi yang sedang dijalankan sehingga
diharapkan mampu mempercepat proses pemulihan dari pasien terutama dari sisi
psikologis/kejiwaan.
9
Komunikasi terapeutik menurut Heri Purwanto (1994:20), adalah komunikasi
yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk
kesembuhan pasien. Pada dasarnya komunikasi terpeutik merupakan komunikasi
professional yang mengarah pada tujuanya yaitu penyembuhan pasien, karena siswa
penyandang autis adalah siswa yang memiliki kelainan pada mentalnya atau pada
kejiwaanya sehingga tujuannyapun sama dengan menyembuhkan. Komunikasi
terpeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan
pengertian antara terapis dengan pasien yang dalam hal ini adalah guru dan siswa
autis menyerupai hubungan terapis dengan pasien. Persoalan mendasar dari
komunikasi ini adalah adanya saling kebutuhan antara guru dan siswa, sehingga dapat
dikategorikan kedalam komunikasi pribadi diantara guru dan siswa, guru membantu
dan siswa menerima bantuan.
Sedangkan menurut Reusch seperti dikutip Jalaludin Rakhmat (2003:5),
komunikasi terapeutik dewasa ini banyak digunakan untuk teknik penyembuhan jiwa,
dimana dengan menggunakan metode komunikasi terapeutik seorang terapis mampu
mengarahkan bentuk komunikasi sedemikian rupa sehingga pasien dengan gangguan
jiwa dihadapkan pada situasi dan pertukaran pesan yang dapat menimbulkan
hubungan sosial yang bermanfaat. Lebih jelasnya komunikasi terapeutik memandang
gangguan jiwa bersumber pada gangguan komunikasi, yakni terletak pada ketidak
mampuan pasien untuk mengungkapakan dirinya. Secarasingkat, bahwa meluruskan
jiwa seseorang bisa dicapai dengan cara meluruskan caranya berkomunikasi.
10
Berarti dalam hal ini untuk membantu peningkatan kesadaran dan kemampuan
siswa autis sangat diperlukan terapi komunikasi dan tidak bisa dipungkiri bahwa
terapi komunikasi sebenarnya dominan menjadi solusi bagi peningkatan kemampuan
siswa dengan gangguan mental atau autis. Kualitas berhasil atau tidaknya suatu terapi
komunikasi juga tergantung pada sejauh mana kualitas guru dalam memahami
permasalahan siswa, baik secara faktor internal maupun eksternal.
2. Fungsi Komunikasi Terapeutik
Menurut Heri Purwanto (1994:20), fungsi dari komunikasi terpeutik adalah
untuk mendorong dan mengajarkan kerjasama antara terapis dengan pasien. Guru
berusaha mengungkapkan perasaan, mengidentifikasi dan mengkaji masalah serta
mengevaluasi tindakan yang dilakukan dalam proses terapi. Proses komunikasi terapi
yang baik dapat memberikan pengertian tingkah laku siswa dan membantu siswa
untuk mengatasi persoalan yang dihadapi pada tahap terapi. Sedangkan pada tahap
preventif kegunaanya adalah mencegah adanya tindakan yang negatif terhadap
pertahanan diri siswa.
3. Tujuan Komunikasi Terapeutik
Selain dalam menjalankan fungsinya, hal yang terpenting dalam komunikasi
terapeutik adalah memiliki tujuan. Menurut Mundakir (2007:119) bahwa komunikasi
11
terpeutik bertujuan untuk mengembangkan pribadi klien kearah yang lebih positif
atau adaptif dan diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi:
a. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan
dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi
yang ada bila pasien percaya pada hal yang diperlukan.
b. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang
efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
c. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri dalam
hal peningkatan derajat kesehatan
d. Mempererat hubungan atau interaksi antara klien dengan terapis secara
professional dalam rangka membantu penyelesaian masalah klien.
Untuk mencapai tujuan ini, berbagai aspek pengalaman hidup siswa dikaji
selama berlangsungnya komunikasi terapeutik. Guru memberikan kesempatan kepada
pasien
untuk
mengekspresikan
persepsi,
pikiran,
dan
perasaanya
serta
menghubungkan hal-hal tersebut untuk mengamati dan melaporkan tindakan-tindakan
yang dilakukan siswa. Guru menggunakan kemampuan komunikasi ketika
menetapkan hubungan terapeutik. Setiap orang berkomunikasi secara unik dan setiap
siswa membutuhkan teknik komunikasi yang berbeda.
4. Manfaat Komunikasi Terapeutik
Dengan profesinya sebagai terapis, maka menjadi menjalankan komunikasi
terapeutik adalah suatu hal yang wajib dilakukan dan diharapkan akan memberikan
kontribusi dalam melakukan pelayanan kesehatan kepada masyarakat (Nurjannah,
2005:33).
Manfaat
komunikasi
terapeutik
adalah
untuk
mendorong
dan
menganjurkan kerjasama antara terapis dan pasien melalui hubungan terapis dan
12
pasien. Mengklarifikasi, mengungkap perasaan dan mengkaji masalah dan evaluasi
tindakan yang dilakukan oleh terapis.
5. Teknik-Teknik Komunikasi Terapeutik
Dalam menanggapi pesan yang disampaikan siswa, seorang guru dapat
menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Adapun beberapa teknik-teknik
komunikasi terapeutik menurut Stuart dan Sundeen yang dikuti oleh Heri Purwanto
(1999:25) adalah:
a. Mendengar (Listening)
Merupakan dasar utama dalam berkomunikasi. Dengan mendengarkan
seorang guru dapat mengetahui perasaan siswa. Guru dituntut untuk
memberikan kesempatan yang lebih luas kepada siswa untuk bebicara
dan menjadi pendengar yang baik.
b. Pertanyaan Terbuka (broad opening)
Teknik ini memberi kesempatan pada siswa untuk mengungkapkan
perasaanya sesuai kehendak siswa tanpa membatasi.
c. Mengulang (restarting)
Mengulang pokok pikiran yang diungkapkan siswa. Hal ini
dimaksudkan untuk menguatka ungkapan siswa dan member indikasi
bahwa guru mengikuti pembicaraan siswa.
d. Klarifikasi
13
Dilakukan bila guru ragu, tidak jelas, tidak mendengar atau siswa
berhenti karena malu mengemukakan informasi, informasi yang
diperoleh tidak lengkap atau mengemukakannya berpindah-pindah.
e. Refleksi
Refleksi merupakan reaksi guru dan siswa selama berlangsungnya
komunikasi. Refleksi ini dibedakan menjadi dua yaitu, refleksi isi,
yang bertujuan untuk memvalidasi apa yang didengar. Klarifikasi ide
yang diekspresikan siswa dengan pengertian guru. Refleksi perasaan,
yang bertujuan memberi respon pada perasaan siswa terhadap isi
pembicaraan agar siswa mengetahui dan menerima perasaanya. Teknik
ini berfungsi untuk mengetahui dan menerima ide dan perasaan,
mengoreksi dan memberi keterangan secara lebih jelas. Namun tehnik
ini memiliki kelemahan yaitu, mengualng teralu sering dan sama serta
dapat menimbulkan kemarahan, iritasi dan frustasi.
f. Memfokuskan
Membantu siswa berbicara pada topik yang telah dipilih dan bersifat
penting serta menjaga pembicaraan tetap menuju tujuan yang lebih
spesifik, lebih jelas dan berfokus pada realitas.
g. Membagi Persepsi
Terapis dalam hal ini guru meminta pendapat siswa tentang hal yang
guru rasakan dan pikirkan. Dengan cara ini guru dapat meminta umpan
balik dan member informasi.
14
h. Identifikasi Tema
Mengidentifikasi latar belakang masalah yang dialami siswa yang
muncul selam percakapan. Funsinya untuk meningkatkan pengertian
dan mengeksplorasi masalah yang penting.
i. Diam (Silence)
Cara yang biasanya sukar dilakukan setelah mengajukan pertanyaan.
Tujuannya adalah member kesempatan berfikir dan memotivasi pasien
(siswa) untuk berbicara. Pada pasien (siswa) yang menarik diri, teknik
diam berarti terapis (guru) menerima pasien.
j. Informing
Memberi informasi dan fakta untuk proses pendidikan dan
pembelajaran.
k. Saran
Memberi alternatif ide untuk pemecahan masalah. Tepat dipakai pada
fase kerja dan tidak tepat pada fase awal hubungan.
Dengan menggunakan teknik-teknik komunikasi terapeutik, maka akan
mengembangkan hubungan komunikasi yang terjalin antara guru dan siswa autis,
apa yang dialami oleh siswa, guru dapat mengerti serta memahaminya, sehingga
siswa akan merasa dihargai sepenuhnya.
15
6. Tahapan Komunikasi Terapeutik
Menurut Stuart dan Laraia (2001:135), ada empat tahapan komunikasi
terapeutik adalah sebagai berikut:
a) Tahap preinteraksi
Tahap preinteraksi dimulai sebelum terapis bertemu dengan klien.
Terapis mengumpulkan data tentang klien, mengeksplorasi perasaan,
fantasi dan ketakutan diri dan membuat rencana pertemuan dengan
klien.
b) Tahap orientasi
Tahap ini dimulai denga pertemuan dengan klien. Hal utama yang
perlu dikaji adalah alasan klien minta pertolongan yang akan
mempengaruhi terbinanya hubungan terapis-klien. Hubungan tugas
pertama adalah membina hubungan percaya, penerimaan dan
pengertian, komunikasi yang terbuka dan perumusan kontrak
dengan klien. Pada tahap ini terapis melakukan kegiatan sebagai
berikut: member salam dan senyum pada klien, melakukan validasi
(kognitif, psikomotor, afektif), memperkenalkan diri, menjelaskan
kegiatan
yang
akan
dilakukan,
menjelaskan
waktu
yang
dibutuhkan untuk untuk melakukan kegiatan, menjelaskan
kerahasiaan.
c) Tahap kerja
16
Pada tahap kerja dalam komunikasi terpeutik, kegiatan yang
dilakukan adalah memberi kesempatan pada klien untuk bertanya,
menanyakan keluhan utama, mulai kegiatan dengan cara yang
baik, melakukan kegiatan sesuai rencana.
d) Tahap terminasi
Pada tahap terminasi dalam komunikasi terapeutik kegiatan yang
dilakukan oleh terapis adalah menyimpulkan hasil wawancara,
tindak lanjut dengan klien, melakukan kontrak (tempat, waktu dan
topik), mengakhiri wawancara dengan cara yang baik.
7. Sikap dalam Melakukan Komunikasi Terapeutik
Seorang guru hadir secara utuh (fisik dan psikologis) pada waktu
berkomunikasi dengan siswa. Guru tidak hanya mengetahui teknik komunikasi
dan isi komunikasi tetapi yang sangat penting adalah sikap atau penampilan
dalam komunikasi. Menurut Egan (Mundakir 2006:125-128) mengidentifikasi 5
sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik, yaitu:
a. Berhadapan, arti dari posisi ini adalah “saya siap membantu anda”.
b. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama
berarti menghargai siswa dan menyatakan keinginan untuk tetap
berkomunikasi. Sikap ini juga dapat menciptakan perasaan nyaman
bagi pasien.
17
c. Membungkuk ke arah siswa. Posisi ini menunjukan kepedulian dan
keinginan guru untuk mengatakan atau mendengar sesuatu yang
dialami siswa.
d. Mempertahankan sikap terbuka. Tidak melipat kaki atau tangan
menunjukan keterbukaan untuk berkomunikasi. Sikap terbuka guru ini
meningkatkan kepercayaan siswa kepada guru.
e. Tetap rileks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan
dan relaksasi dalam memberikan respon terhadap siswa.
Sikap fisik dapat pula disebut sebagai perilaku non verbal yang perlu
dipelajari pada setiap tindakan terapeutik. Beberapa perilaku non verbal yang
perlu diketahui :
a. Gerakan mata. Gerakan mata dipakai untuk memberikan perhatian.
Kontak mata berkembang pada anak sejak lahir. Kontak mata antara ibu
dan bayi merupakan cara interaksi dan kontak social. Seorang guru perlu
mengetahui perkembangan kontak mata, misalnya usia 2 bulan bayi
tersenyum jika melakukan kontak mata dengan ibu. Bayi dan anak
memperlihatkan reaksi yang tinggi terhadap rangsangan visual. Kontak
mata dan ekspresi muka merupakan alat pertama yang dipakai untuk
pendidikan dan sosialisasi. Anak sangat mengerti ekspresi ibu yang
marah, sedih dan tidak setuju.
18
b. Ekspresi muka umumnya dipakai sebagai bahasa non verbal, namun
banyak dipengaruhi oleh budaya. Orang yang tidak percaya pasti akan
tampak dari ekspresi muka tanpa ia sadari.
c. Sentuhan, sentuhan merupakan cara interaksi mendasar. Konsep diri
didasari oleh asuha ibu yang memperlihatkan perasaan menerima dan
mengakui. Ikatan kasih sayang dibentuk oleh pandangan, suara dan
sentuhan yang menjadi elemen penting dalam pembentukan ego,
perpisahan dan kemandirian. Sentuhan sangat penting bagi anak sebagai
alat komunikasi dalam pembentukan ego, perpisahan dan kemandirian.
Menurut Carl Rogers (Mundakir 2006:121-122) untuk mengembangkan
proses komuniksi terapeutik hal-hal yang perlu dilakukan oleh seorang terapis
atau dalam hal ini guru antara lain :
a. Terapis harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati,
memahami dirinya sendiri serta nilai yang dianut.
b. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling
percaya dan saling menghargai.
c. Terapis harus menghargai pentingnya kebutuhan pasien (siswa)
baik fisik maupun mental.
d. Terapis harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan
pasien (siswa) bebas berkembang tanpa rasa takut serta
memungkinkan pasien (siswa) memiliki motivasi untuk mengubah
19
dirinya baik sikap, tingkah lakunya sehingga tumbuh maki matang
dan dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.
e. Memahami betul arti empati sebagai tindakan terapeutik.
f. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan
terapeutik.
g. Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukan dan
meyakinkan orang lain tentang kesehatan , oleh karena itu terapis
perlu mempertahankan suatu keadaan sehat fisik, mental, spiritual
dan gaya hidup.
h. Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin
mengambil keputusan berdasarkan prinsip kesejahteraan umat.
i. Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab
terhadap diri sendiri atas tindakan yang dilakukan dan tanggung
jawab terhadap orang lain.
8. Dimensi Respon dalam Komunikasi Terapeutik
Didalam komunikasi terapeutik terdapat dimensi respon. Dimensi respon
merupakan sikap guru secara psikologis dalam berkomunikasi kepada siswa.
Dimensi respon sangat penting pada awal hubungan dengan siswa untuk membina
hubungan saling percaya dan komunikasi terbuka. Respon ini harus terus
dipertahankan sampai akhir hubungan. Adapun dimensi respon tersebut menurut
Truax, Carkhoff dan Benerson (Mundakir 2006:126-127):
20
a. Keikhlasan
Sikap ikhlas guru dapat dinyatakan melalui keterbukaan,
kejujuran, ketulusan dan berperan aktif dalam berhubungan dengan
siswa. Guru berespon tulus, tidak berpura-pura, mengekspresikan
perasaan yang sebenarnya dan spontan. Guru bertindak sepenuh
hatinya sesuai dengan tanggung jawab dan wewenangnya.
b. Menghargai
Guru menerima siswa apa adanya. Sikap guru harus tidak
menghakimi, tidak mengkritik, tidak menghina dan tidak
mengejek. Rasa menghargai dapat dikomunikasikan melalui duduk
diam bersama siswa yang menangis. Sikap ini secara psikologis
dapat menimbulkan perasaan nyaman bagi siswa.
c. Empati
Empati merupakan kemampuan masuk kedalam kehidupan siswa
agar dapat merasakan pikiran dan perasaannya. Guru memandang
melalui pandangan siswa, merasakan melalui perasaan siswa dan
kemudian mengidentifikasi masalah siswa serta membantu siswa
mengatasi masalah tersebut.
d. Kongkrit
Guru menggunakan istilah yang khusus dan jelas, bukan yang
abstrak. Hal ini perlu untuk menghindari keraguan dan
ketidakjelasan komunikasi.
21
9. Hubungan Komunikasi Terapeutik dan Autisme
Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas bahwa komunikasi terapeutik
merupakan suatu bentuk komunikasi yang sudah dirancang sedemikian rupa
dalam rangka mendukung proses percepatan terapi atau pemulihan pasien menuju
kondisi normal. Berkaitan dengan hal tersebut, autisme sebagai salah satu bentuk
gangguan (sindrom) perkembangan mental, emosional, pikiran, perbuatan dan
kemampuan berbahasa juga sangat membutuhkan adanya komunikasi terapeutik
tersebut. Terlebih lagi pada kondisi autisme, seorang anak mengalami kesuliatan
atau keterbatasan dalam berkomunikasi dengan orang lain atau lingkungannya.
Sehingga adanya komunikasi terapeutik ini akan sangat membantu anak
penyandang autis dalam proses pemulihan menuju pada kondisi normal atau
setidaknya mendekatinya. Dengan demikian, komunikasi terapeutik sangat
diperlukan dalam proses pemulihan atau terapi autisme.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mengunakan pendekatan
naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman tentang
fenomena dalam suatu latar yang berkonteks khusus (Moleong, 2007:3).
Penelitian kualitatif hanya mempersoalkan dua aspek, yaitu pendekatan penelitian
yang digunakan adalah naturalistik, sedang upaya dan tujuannya adalah
22
memahami suatu fenomena dalam suatu konteks khusus. Sehingga penelitian ini
tidak menggunakan prosedur analisis statistic atau kuantifikasi lainnya.
Lexy J. Moleong dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian
Kualitatif menyatakan bahwa penelitian kualitatif ialah penelitian yang
menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi.
Sehingga penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat
penemuan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen kunci. Oleh
karena itu, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas jadi bisa
bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi obyek yang diteliti menjadi lebih
jelas. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai. Penelitian
kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang
tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori,
untuk memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan.
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif.
Metode ini dianggap sangat tepat untuk upaya memahami sikap, pandangan,
perasaan dan perilaku individu yang akan menjadi informan nantinya melalui
wawancara terbuka dengan lebih detail, merinci serta juga tak menutup
kemungkinan memanfaatkan pengamatan dan dokumen-dokumen terkait.
Fenomena-fenomena yang merupakan fakta dari hal-hal yang terkait dalam
penelitian ini tentunya semakin lebih baik dan mudah untuk dipahami secara lebih
mendalam. Melalui metode ini pun, peneliti menjadi lebih peka dan lebih dapat
menyesuaikan diri dengan adanya pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai
23
yang dihadapi karena penelitian ini mempercayai akan fenomena yang benarbenar ada dan terlihat sehingga peneliti berusaha untuk sejauh mungkin dari
subyaktifitas dan menjadi netral, selain itu metode ini menyajikan secara langsung
hakikat hubungan antar peneliti dengan informan, sehingga nantinya pada analisis
dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat memberikan kesimpulan yang
tajam.
Data-data yang diperoleh kemudian dikumpulkan dan sesuai dengan
metode penelitian kualitatif ini maka lebih banyak mementingkan segi proses
daripada hasil. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan bagian-bagian yang
sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses. Penelitian
kualitatif menyusun desain secara terus menerus disesuaikan dengan kenyataan di
lapangan, jadi penelitian inii tidak menggunakan desain yang telah disusun secara
ketat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi. Dengan demikian, desain
khususunya masalah yang telah ditetapkan terlebih dahulu apabila peneliti ke
lapangan dapat saja diubah, sehingga metode ini dinilai sangat luwes.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah SLB Negeri Pembina
Yogyakarta.
24
3. Pengambilan Informan
Teknik informan dalam penelitian ini adalah menggunakan rancangan non
probabilitas, pengambilan informan dilakukan dengan teknik purposif sampling
(sampel bertujuan). Purposive sampling, artinya cara pengambilan informan
dengan pertimbangan tertentu (Moleong, 2007:90).
Pengambilan informan
purposif sampling berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang
diperkirakan mempunyai hubungan erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang ada
populasi yang sudah ditentukan sebelumnya sehingga diperlukan seleksi untuk
memilih informan. Pada dasarnya dalam purposif sampling digunakan karena unit
analisa penelitian yang tidak homogen.
4. Informan Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, sumber data penelitian adalah subjek
penelitian atau informan. Informan yang akan memberikan berbagai macam
pertanyaan yang diperlukan selama proses penelitian. Informan penelitian ini
meliputi dua macam, yaitu informan utama disini adalah guru atau pengajar di
SLB Negeri Pembina Yogyakarta, dan informan tambahan yaitu siswa
penyandang autism di SLB Negeri Pembina Yogyakarta. Informan utama adalah
mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang diteliti.
Sedangkan informan tambahan adalah mereka yang dapat memberikan informasi
walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang diteliti.
25
Informan yang dijadikan sumber informasi dalam penelitian ini adalah
guru di SLB Negeri Pembina Yogyakarta dan siswanya. Dalam hal ini peneliti
mengambil 2 pasang informan, yaitu para guru dan siswanya. Para guru yang
dipilih dalam penelitian ini yaitu Bu Am dan Pak Mh, keduanya dipilih karena
merupakan guru serta wali kelas yang mendampingi siswa autis ketika melakukan
terapi disekolah. Sedangkan informan siswa diambil dari siswa autis pada tingkat
Sekolah Menengah Pertama dan siswa tingkat Sekolah Menengah Atas yang
masih intens melakukan terapi menggunakan game komputer, sehingga bisa
dilihat
teknik
yang
digunakan
guru
dalam
meningkatkan
ketrampilan
berkomunikasi.
5. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui beberapa cara, antara lain:
a. Wawancara mendalam (in depth interview)
Wawancara merupakan alat untuk mengungkapkan kenyataan hidup,
apa yang dipikirkan atau dirasakan orang tentang berbagai aspek kehidupan.
Melalui tanya jawab kita dapat memasuki alam pikiran orang lain, sehingga
kita memperoleh gambaran tentang dunia mereka. Jadi wawancara dapat
berfungsi deskriptif, yaitu melukiskan dunia kenyataan seperti dialami orang
lain (Nasution, 2006:14). Wawancara diartikan percakapan dengan maksud
tertentu, yang
dilakukan
oleh
dua
pihak
yang
bertindak
sebagai
26
pewawancara dan yang diwawancarai dengan maksud untuk mendapatkan
informasi yang valid dan reliable.
Dalam penelitian kualitatif, penggunaan jenis wawancara tertentu
akan mempersempit ruang lingkup atau upaya eksplorasi sekaligus elaborasi
data dari responden, sehingga harus disesuaikan (fleksibel) dengan kondisi
lapangan
(situasional)
dan
individual (Moleong, 2007:93). Wawancara
secara garis besar dibagi dua, yaitu wawancara terstruktur dan tak tersruktur
(Mulyana, 2002:180). Wawancara terstruktur disebut juga wawancara baku
(standardized
interview)
merupakan
wawancara
dengan
pertanyaan-
pertanyaan yang telah disusun sebelumnya berikut dengan pilihan jawaban
yang juga telah disediakan.
Wawancara
tak
terstruktur
disebut
juga
wawancara mendalam, merupakan teknik pengumpulan data yang sering
digunakan
dalam
penelitian
kualitatif.
Hal
ini
didasari
oleh
keuntungannya, yaitu kebebasan yang menjiwainya, sehingga responden
secara
spontan
dapat
mengeluarkan
segala
sesuatu
yang
ingin
diungkapkannya. Wawancara tak terstruktur mirip dengan percakapan
informal yang bertujuan menggali sebanyak mungkin informasi dari semua
responden.
Dalam wawancara semacam ini, peneliti mencatat pokok-pokok
penting yang akan dibicarakan sebagai pegangan untuk mencapai tujuan
wawancara, dan responden bebas menjawab menurut isi hati dan pikirannya.
Lama wawancara juga tidak dibatasi dan diakhiri menurut keinginan
27
peneliti. Dengan demikian, peneliti dapat memperoleh gambaran yang
lebih luas karena setiap responden bebas meninjau berbagai aspek menurut
pendirian dan masing-masing, sehingga dapat memperkaya pandangan
peneliti (Nasution, 2006:119). Wawancara tak terstruktur bersifat fleksibel,
susunan pertanyaan dan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah
pada saat berlangsungnya wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi saat wawancara, termasuk karakteristik sosial budaya (agama, suku,
gender, tingkat pendidikan, pekerjaan) responden.
b. Observasi
Dalam penelitian ini, salah satu alat pengumpul data (pendukung)
yang digunakan adalah observasi. Observasi merupakan salah satu usaha
pengumpulan data yang dilakukan dengan pengamatan secara langsung
yang berupa data deskriptif aktual, cermat, dan terperinci tentang keadaan
lapangan kegiatan manusia dan situasi sosial serta konteks di mana kegiatan
itu terjadi (Nasution, 2006:52).
Manfaat
metode
observasi
terutama
adalah
peneliti
akan
memahami konteks data secara keseluruhan situasi. Pengalaman langsung
memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif yang dapat
membuka kemungkinan melakukan penemuan, misalnya menemukan hal-hal
yang sedianya tidak akan diungkapkan oleh subyek karena bersifat
sensitif atau ingin ditutupi karena dapat merugikan diri sendiri. Selain itu,
28
peneliti dapat menemukan hal-hal di luar persepsi peneliti dan memperoleh
kesan-kesan pribadi, misalnya merasakan situasi sosial (Nasution, 2006:62).
Observasi dimaksudkan untuk melihat apakah subjek memilih
berperilaku dengan cara tertentu agar sesuai dengan situasi yang ada.
(Mulyana, 2002:163). Dalam observasi ini diusahakan mengamati keadaan
yang wajar yang sebenarnya tanpa usaha yang disengaja
mempengaruhi,
observasi
mengatur
menurut
atau memanipulasikannya.
untuk
Mengadakan
kenyataan, melukiskannya dengan kata-kata secara
cermat dan tepat apa yang diamati,
mencatatnya
dan
kemudian
mengolahnya dalam rangka masalah yang diteliti secara ilmiah bukanlah hal
yang mudah. Selalu akan ada persoalan seberapa valid dan reliabelkah
hasil pengamatan itu atau seberapa representatifkah obyek pengamatan itu
bagi gejala yang muncul bersamaan (Nasution, 2006:83).
c. Dokumentasi dan artikel
Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk
dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat,
catatan lapangan, laporan, foto, dan sebagainya. Sifat utama data ini tak
terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti
untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam.
29
6. Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pasca
pengumpulan data di lapangan. Data berupa informasi yang telah diperoleh dari
observasi maupun wawancara dikumpulkan menjadi satu dan kemudian dilakukan
pengorganisasian data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mengsintesiskan dan menemukan pola yang kemudian dapat membantu peneliti
untuk menentukan mana data yang penting atau yang tidak penting untuk
dipelajari (Moleong, 2007:284).
Proses analisis data kualitatif berlangsung selama dan pasca pengumpulan
data. Proses analisis mengalir dari tahap awal hingga tahap penerikan kesimpulan
hasil studi. Karenanya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Miles dan Huberman,
analisis data kualitatif dikatakan sebagai model alir yang mengikuti keseluruhan
dari proses penelitian untuk kemudian ditafsirkan untuk dihubungkan dengan
masalah yang sedang diteliti. Analisis data yang dilakukan peneliti menggunakan
teknik sebagai berikut:
a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi langsung melalui
pengamatan, wawancara dan pengumpulan dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan penelitian.
b. Reduksi Data
Data yang telah dihimpun pada proses penelitian kemudian direduksi,
dirangkum, dipilih hal-hal pokok yang menjadi tema kajian penelitian.
30
Dengan cara ini peneliti memudahkan peneliti untuk melakukan analisis data
hasil penelitian.
c. Display Data
Agar dapat melihat bagian tertentu dalam penelitian, peneliti
menyajikan dalam bentuk matrik atau grafik. Dengan cara ini peneliti tidak
saja memaparkan segala temuan lapangan dalam tulisan detail, tetapi dapat
ditampilkan dalam bentuk matrik atau gambar yang memudahkan dalam
analisis data.
d. Mengambil Kesimpulan dan Verifikasi
Data yang telah dikumpulkan selama proses penelitian dan selesai
melalui tahap reduksi atau pemilahan, kemudian saling diambil hubungan
antar data yang sesuai dengan tema penelitian sehingga memunculkan satu
hipotesis dan dapat diambil satu kesimpulan. Kesimpulan tersebut kemudian
difrivikasi selama penelitian berlangsung, dengan mencari data baru yang
mendukung agar menjamin validitas.
Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif ini di dasarkan pada
pendekatan yang peneliti gunakan untuk mencapai akhir dari kegiatan analisis
data kualitatif yang terletak pada pelukisan atau peraturan tentang apa yang
berhasil dimengerti berkenaan dengan sesuatu masalah yang diteliti, dan dari
sinilah lahir kesimpulan-kesimpulan yang bobotnya mendalam. Dalam
penelitian ini peneliti memilih untuk menggunakan pendekatan studi kasus.
31
Dalam studi kasus ini terinci pada langkah-langkah analisis data sebagai
berikut :
1) Mengumpulkan dan mengorganisir informasi.
2) Membaca ulang, rekap dan mereduksi data dari keseluruhan informasi.
3) Membuat suatu uraian terperinci mengenai kasus dan konteksnya.
4) Peneliti menetapkan pola dan mencari hubungan antara beberapa kategori.
5) Selanjutnya
peneliti
melakukan
interpretasi
dan
mengembangkan
generalisasi natural dari kasus baik untuk peneliti maupun untuk
penerapannya pada kasus yang lain.
6) Menyajikan data dan menarik kesimpulan secara naratif.
7. Validitas Data
Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena
beberapa hal, yaitu subjektivitas peneliti merupakan hal yang dominan dalam
penelitian kualitatif, alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan
observasi mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka dan
apalagi tanpa kontrol, dan sumber data kualitatif yang kurang kredibel akan
mempengaruhi hasil akurasi penelitian. Teknik pemeriksaan keabsahan data yang
dilakukan oleh penulis diantaranya adalah sebagai berikut:
32
a. Triangulasi
Triangulasi
adalah
teknik
pemeriksaan
keabsahan
data
yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan
atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling
banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber lainnya (Moleong,
2007:330). Triangulasi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data wawancara.
2) Membandingkan perkataan di depan umum dengan perkataan secara
pribadi.
3) Membandingkan perkataan orang-orang tentang situasi penelitian dengan
perkataannya sepanjang waktu.
4) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dngan berbagai
derajad dan pandangan orang, seperti rakyat biasa, orang berada, orang
berpendidikan menengah dan tinggi atau orang pemerintahan.
5) Membandingkan hasil wawancara dengan isu dalam satu dokumen
berkaitan.
b. Konfirmabilitas
Konfirmabilitas dilakukan dengan observasi secara mendalam dan
bukan hanya sekilas saja, serta dengan melakukan pengecekan terhadap data
atau informasi yang cukup. Observasi tidak dilakukan hanya sekilas dalam
satu waktu, melainkan dilakukan selama beberapa hari dan memerlukan
waktu yang cukup untuk dapat memahami hasil pengamatan.
33
c. Referensi yang Cukup
Untuk menghindari kedangkalan kajian, penulis berusaha untuk mencari
referensi yang berkaitan dengan masalah yang diangkat oleh penulis. Tidak hanya
tergantung pada buku-buku akademik namun peneliti juga menggunakan sumber lain
seperti laporan penelitian, skripsi, informasi-informasi yang didapat dari internet
maupun media massa baik elektronik maupun media cetak dan sebagainya.
Dalam penelitian ini uji validitas data yang digunakan yaitu teknik triangulasi
dengan cara membandingkan hasil data pengamatan dengan data wawancara.
8. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini secara keseluruhan akan disajikan dalam sistematika
penulisan yang terbagi menjadi empat bab, yakni; bab satu dengan pendahuluan
yang akan membuat uraian yang akan menggambarkan permasalahn yang akan
diteliti. Bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, kerangka teori yang memuat semua teori-teori yang berhubungan
dengan permasalahn penelitian untuk dijadikan landasan dalam metodologi
penelitian.
Bab dua penelitian ini meliputi gambaran umum tentang SLB Negeri Pembina
Yogyakarta, yang menggambarkan tentang kondisi lingkungan SLB Negeri Pembina
Yogyakarta meliputi letak wilayah, sejarah dan perkembangan, kurikulum
pendidikan, tenaga pengajar dan program kerja.
34
Bab tiga akan menjelaskan tentang hasil penelitian dan penjelasan. Di bab ini
meliputi pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik guru kepada siswa autism, faktor
pendukung dan penghambat dalam proses komunikasi terapeutik antara guru dan
siswa autisme dan peran komunikasi terapeutik dalam proses bimbingan/rehabilitasi.
Bab selanjutnya adalah bab empat yaitu penutup, bab ini akan memuat tentang
kesimpulan yang menyimpulkan semua pembahasan dan hasil penelitian ini serta
akan dikemukakan pula saran-saran yang dijadikan dasar untuk kelancaran proses
pemulihan pada siswa autisme.
35
Download