- Yappika

advertisement
Pembelajaran Pelaksanaan Program SIAP II
di 6 Kabupaten/Kota
Menantang Akuntabilitas Publik dari Medan Warga
Pembelajaran Pelaksanaan PROGRAM SIAP II (Strengthening Integrity and Accountability
Program) di Enam Wilayah Kabupaten/Kota
Cetakan Pertama, Agustus 2014
xii - 136, 16 x 26 cm
Penulis
: Sutoro Eko
Editor
: Hendrik Rosdinar
Tata Letak : Moelanka
Cover
: repro_html_onepiecenakama1024gc6tk1.png
ISBN
:
Diterbitkan oleh:
YAPPIKA
Jl. Pedati Raya No. 20, RT 007/09, Jakarta Timur 13350,
Phone: +62-21-8191623, Fax: +62-21-85905262, +62-21-8500670,
E-mail: [email protected] Website: www.yappika.or.id
Diperkenankan untuk melakukan modifikasi, penggandaan maupun penyebarluasan
buku ini untuk kepentingan pendidikan dan bukan untuk kepentingan komersial
dengan tetap mencantumkan atribut penulis dan keterangan dokumen ini secara
lengkap
ii
Prawacana
“Mempublikkan
Demokrasi, Mendemokrasikan
Pelayanan Publik”
Sutoro Eko
Direktur FPPD [Forum Pengembangan Pembaharuan Desa]
S
elama satu dekade saya mengenal dekat YAPPIKA, sebuah
aliansi masyarakat sipil untuk demokrasi. Studi dan advokasi
tentang indeks masyarakat sipil dan tata kelola pemerintahan
lokal yang demokratis (TKLD) menjadi ikon utama YAPPIKA. Pada
tahun 2009, YAPPIKA melalui program ANCORS (Acehnese Civil
Society Organization Strengthening) memberikan kesempatan
kepada saya melakukan studi tentang gerakan organisasi
masyarakat sipil dalam pemerintahan lokal di Aceh, yang
menghasilkan sebuah buku bertitel, Masyarakat Sipil
Mendemokrasikan Daerah: Pelajaran dari Aceh. Dalam beberapa
tahun terakhir, YAPPIKA mempromosikan reformasi pelayanan
publik, mulai dari studi lapangan, menggerakkan Masyarakat
Peduli Pelayanan Publik (MP3) dan melakukan advokasi Undangundang Pelayanan Publik melalui sebuah pertautan (engagement)
dengan Kementerian Pendayagunaan Apatur Negara dan
Reformasi Birokrasi. Sebuah kemenangan diraih oleh YAPPIKA
dan MP3, setelah UU No. 25/2009 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Publik dilahirkan oleh pemerintah dan DPR.
YAPPIKA terus-menerus berkepentingan mengawal delivery
UU No. 25/2009 sampai ke level daerah dan komunitas warga.
Tindakan ini diambil YAPPIKA karena UU pelayanan publik itu
tidak begitu populer di mata daerah dan warga masyarakat.
iii
Dalam dua tahun terakhir (2012-2014) YAPPIKA bersama USAID
menyelenggarakan program “Menumbuhkan Budaya Akuntabilitas
Masyarakat Melalui Pemanfaatan Ruang-Ruang Partisipasi
Masyarakat Dalam Kebijakan Penyelenggaraan Pelayanan Publik”
atau yang lebih populer dengan sebutan SIAP (Strengthening
Integrity and Accountability Program) II. YAPPIKA tidak sendirian.
Jaringan dan kolaborasi merupakan cirikhas utama gerakan
YAPPIKA. Ia berkolaborasi dengan enam mitra di enam daerah,
yakni PUSSbik Lampung, PATTIRO Pekalongan, PATTIRO Surakarta,
MCW Malang, KOPEL Sinjai, PIAR Kupang.
Dua program USAID, KINERJA dan SIAP, tampak mempunyai
kemiripan. Keduanya berorientasi pada reformasi pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Namun,
sejauh saya tahu, KINERJA mengutamakan pendekatan
teknokratis dalam pelayanan publik. Pengembangan kapasitas
dalam pelayanan publik (sistem, organisasional dan individual)
merupakan pendekatan teknokratis kuno yang digunakan oleh
KINERJA. Sedangkan SIAP mengutamakan pendekatan demokrasi
dalam pelayanan publik. Meskipun mengusung tema pelayanan
publik, YAPPIKA tetap tidak keluar dari khittah-nya sebagai aliansi
masyarakat sipil untuk demokrasi, yang mendorong reformasi
pelayanan publik dari sisi demokrasi dan dari pintu masyarakat
sipil.
Apa dan bagaimana keterkaitan antara demokrasi dan
pelayanan publik? Selama ini antara demokrasi dan pelayanan
publik bekerja di dua ranah yang berbeda dan terpisah. Demokrasi
merupakan ranah politik, pelayanan publik merupakan ranah
administrasi publik. Meskipun Indonesia adalah kampiun ketiga
dalam berdemokrasi, tetapi praktik demokrasi di negeri ini masih
dangkal, terjebak dalam demokrasi elektoral, yakni demokrasi
yang terpusat pada pemilihan untuk mengorganisir kekuasaan
melalui proses kontestasi politisi dan mobilisasi partisipasi rakyat.
Bangunan ini bukanlah demokrasi yang sejati, melainkan apa yang
disebut Lani Guinier (2008) sebagai elektokrasi (pemerintahan
oleh pemilihan). Dalam elektokrasi, politik berpindah dari tangan
warga ke tangan politisi. Pada saat yang sama, pelayanan publik
sudah lama bukan lagi menjadi ranah warga, melainkan dikuasai
oleh birokrat. Para sarjana administrasi publik, teknokrat dan
iv
birokrat profesional secara sengaja menjauhkan pelayanan publik
dari ranah politik dan demokrasi agar penyelenggaraan pelayanan
publik bersifat netral, objektif dan steril dari intervensi politik.
Tetapi keyakinan kuno ini diruntuhkan oleh sejumlah hal.
Pertama, imajinasi tentang birokrasi dan pelayanan publik
yang profesional tidak terjadi secara empirik. Dalam praktik
birokrasi terbelah menjadi tiga tipe: birokrat pencari nafkah,
birokrat politik dan birokrat profesional. Birokrat pencari nafkah,
yang tampaknya berjumlah paling banyak. Akuntabilitas publik
jauh dari pikiran dan tindakan mereka. Prinsip dasar mereka
menjadi PNS adalah bekerja untuk sekadar mencari nafkah.
Mereka hanya berpikir secara personal untuk dirinya sendiri, tidak
berpikir serius terhadap kepentingan publik. Mereka bekerja apa
adanya (taken for granted), tidak mau berpikir dan berkarya
lebih serius. Sebagai contoh yang sederhana, begitu membagibagi bantuan ke rakyat mereka langsung pergi, tidak mau tahu
apakah bantuan itu efektif atau tidak. Tahun-tahun berikutnya,
pekerjaan serupa mereka ulang kembali, tanpa menghayati dan
menilai apakah pekerjaan yang mereka lakukan itu membawa
hasil atau tidak.
Birokrat politik selalu berpikir dan bertindak politik, bukan
politik dalam pengertian demokrasi dan kewargaan, tetapi politik
kontrol, kontestasi dan patronase. Mereka berorientasi mencari
dan mengamankan kedudukan (jabatan) dengan pendekatan
politik, bukan pendekatan profesional. Pendekatan politik antara
lain ditempuh dengan membentuk blok-blok politik, membentuk
kartel yang mengidentifikasi siapa kawan dan lawan politik, serta
merajut patronase dengan pemimpin daerah. Birokrat politik
lebih banyak melayani kepentingan pemimpin (baca: penguasa)
daripada memimpin anak buah, apalagi melayani kepentingan
warga. Jika pilkada berlangsung, para birokrat politik secara
terang-terangan menjadi “tim sukses” kandidat, terutama sang
petahana (incumbent). Sebaliknya, pemimpin daerah yang
bercorak penguasa selalu melakukan politisasi birokrasi, juga
senang dibentengi oleh para birokrat politik untuk mengawetkan
kekuasaannya. Begitu sang pemimpin berujar “tolong amankan
jalan menuju Roma”, sang birokrat langsung paham dan lihai
bagaimana merancang dan menjalankan strategi politik.
v
Kedua tipe birokrat ini telah terbiasa dengan perburuan rente,
dengan spirit melakukan hal yang salah dengan cara yang benar.
Birokrat pencari nafkah tingkat rendah terbiasa dengan pencarian
rente dari pembelian peralatan kantor, kosumsi, akomodasi,
transportasi dna lain-lain. Birokrat tingkat tinggi terbiasa dengan
perburuan rente pada skala besar seperti rekruitmen pegawai,
mutasi pegawai dan promosi pegawai, mark up proyek, dan
gratifikasi dari rekanan penggarap proyek.
Birokrat profesional adalah birokrat yang bekerja dengan otak
dan hati. Mereka mempunyai kecerdasan, komitmen dan
keberanian dalam menjalankan mandat sebagai mesin negara
yang netral secara politik. Mereka tidak bertugas melayani
penguasa, tetapi loyal pada profesi yang berguna untuk
menjabarkan kebijakan pemimpin. Mereka yakin betul bahwa
regulasi, pengetahuan dan aspirasi orang banyak menjadi input
yang sangat berharga bagi kerja-kerja mereka, sehingga mereka
sangat rajin membangun jaringan dan pembelajaran keluar ranah
pemerintah. Dalam pra kebijakan, mereka bertindak sebagai
teknokrat yang berani berbeda pendapat dan meyakinkan pada
pemimpin, tetapi pada pasca kebijakan mereka bertindak sebagai
birokrat yang harus mengamankan dan menjalankan kebijakan.
Tetapi jumlah birokrat profesional terlalu sedikit, sehingga kerja
keras mereka sering berbenturan dengan politik dan perilaku
rente.
Kedua, dominasi birokrasi dalam pelayanan publik
membangun keyakinan dan kepentingan secara otonom yang jauh
dari kepentingan umum, bahkan mereka melakukan marginalisasi
terhadap warga. “Saya sudah bekerja di Dinas Kesehatan selama
20 tahun, sehingga saya lebih tahu tentang kesehatan daripada
Anda”, demikian ungkap seorang pejabat Dinas Kesehatan di
sebuah kota di Indonesia. Argumen ini mencerminkan keyakinan
dan kepentingan birokrat yang jauh dari kepentingan warga.
Perlombaan heroik tentang masa kerja itu biasa diungkapkan
oleh para pejabat publik. Seolah-olah pejabat yang mempunyai
masa kerja lebih lama jauh lebih hebat daripada pegawai yang
bermasa kerja lebih pendek. Tetapi masa kerja itu mengandung
paradoks. Saya sering mengatakan bahwa sebenarnya pejabat
itu hanya berpengalaman 1 tahun yang diulang-ulang 20 kali.
vi
Selama 20 kali pengulangan sang pejabat mampu meningkatkan
mobilitas sosial, tetapi sebenarnya tidak memberikan sumbangan
terhadap transformasi sosial Dinas Kesehatan. Dari sisi mobilitas,
setiap pegawai mengalami peningkatan karir dan kemakmuran,
sekaligus Dinas Kesehatan juga memiliki fasilitas yang semakin
baik serta para dokter dan bidan yang semakin banyak. Tetapi
Dinas Kesehatan tidak mengalami transformasi secara signifikan.
Problem transformasi tentu tidak hanya dimonopoli oleh Dinas
Kesehatan. Dinas Pendidikan beserta unit layanan pendidikan
juga tidak luput dari masalah, mulai dari pungutan liar, akses
orang miskin yang terbatas, hingga mandulnya komite sekolah.
Bappeda, sebagai penjaga gawang perencanaan partisipatif,
hanya mampu mengulang-ulang Musrenbang yang formalistik dan
tidak bermutu. Para camat selalu melakukan kontrol terhadap
masyarakat dan desa, sekaligus mengambil rente dari peran
kontrol itu. Kantor/Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan
Perlindungan Masyarakat, di atas kertas mempunyai mandat
melindungi masyarakat, tetapi dalam praktik instansi yang dulu
disebut Kantor Sosial Politik ini, lebih banyak mengontrol dan
membatasi masyarakat. Di mata peneliti, organisasi masyarakat
maupun LSM, Kesbangpol Linmas itu tetap merupakan instansi
negara yang paling konservatif dan menyeramkan.
Segelintir contoh itu memperlihatkan dominasi birokrasi atas
warga. Mereka mengklaim sebagai pemilik negara, sementara
warga mereka anggap sebagai pihak lain. Mereka bekerja bukan
atas dasar kepentingan publik, melainkan atas keyakinan dan
kepentingan mereka secara otonom. Karena itu sejumlah term
seperti “negara pejabat”, “negara birokratik”, “negara birokratik
rente”, “negara korporatis” maupun “state qua state” masih
relevan digunakan untuk mengatakan bahwa negara Indonesia
masih dikuasai oleh para birokrat.
Ketiga, kehadiran paradigma New Public Service meninjau
ulang paradigma kuno pelayanan publik. Paradigma baru ini yang
membingkai pelayanan publik dengan teori demokrasi, khususnya
democratic citizenship. NPS menempatkan menempatkan warga
pada posisi terhormat dalam demokrasi dan pelayanan publik.
Warga merupakan individu, ditempatkan sebagai pribadi yang
utuh, sebagai pemilik absah atas negara serta memiliki hak dan
vii
kewajiban yang sama. Warga jauh lebih fundamental dari rakyat
(yang hanya menjadi pijakan kekuasaan), maupun hamba, klien
dan pelanggan dalam pemberian pelayanan publik. Warga
bukanlah pelanggan yang membeli pelayanan publik, sehingga
prinsip “pembeli adalah raja” tidak pantas dibawa dalam ranah
pelayanan publik. Pelayanan publik adalah hak warga dan
kewajiban negara, yang secara normatif harus dikelola secara
inklusif, non diskriminatif, akuntabel, tranparan dan partisipatif.
Keempat, NPS menemukan titik temu dengan model-model
demokrasi alternatif. Pendalaman demokrasi melalui demokrasi
deliberatif maupun demokrasi partisipatoris merupakan
demokrasi alternatif yang mengutamakan warga ketimbang
politisi dan pemilihan (John Gaventa, 2006). Demokrasi alternatif
yang berpusat pada warga dan masyarakat sipil antara lain
menaruh perhatian pada everyday life democracy, yakni praktik
demokrasi dalam kehidupan sehari-hari dan penyelenggaraan
pemerintahan setiap hari. Menurut cara pandang ini, pelayanan
publik termasuk dalam bagian everyday life democracy, sehingga
demokrasi tidak hanya bekerja pada arena pemilihan umum tetapi
juga pada pelayanan publik, sekaligus juga membawa pelayanan
publik ke ranah demokrasi. Dengan kalimat lain, jika NPS
merupakan jawaban atas dominasi birokrasi dan pengabaian
demokrasi dalam pelayanan publik, maka demokrasi alternatif
merupakan jawaban atas jebakan elektokrasi yang mengabaikan
pelayanan publik. Mendemokrasikan pelayanan publik atau
membawa demokrasi ke dalam pelayanan publik di satu sisi dan
mempublikkan demokrasi atau membawa pelayanan publik ke
dalam demokrasi, merupakan titik temu antara NPS dengan
demokrasi alternatif.
Dalam titik temu yang agung itu warga dan masyarakat sipil
merupakan aktor utama dalam pelayanan publik dan demokrasi.
Jika selama ini politisi merupakan aktor utama elektokrasi, dan
birokrat merupakan aktor utama pelayanan publik, maka warga
dan masyarakat sipil merupakan aktor yang: (a) mengisi ruang
kosong antara demokrasi dan pelayanan publik; (b) membawa
pelayanan publik ke ranah demokrasi (mempublikkan demokrasi)
dan membawa demokrasi ke ranah pelayanan publik
(mendemokrasikan pelayanan publik); (c) mempertemukan
viii
birokrat dan politisi dengan cara mempublikkan demokrasi di
ranah politisi dan mendemokrasikan pelayanan publik di ranah
birokrasi. Akuntabilitas merupakan jantung titik temu antara
politisi dan birokrasi maupun antara mempublikkan demokrasi
dan mendemokrasikan pelayanan publik.
UU Pelayanan Publik cara normatif bekerja di bawah payung
NPS yang berupaya mendemokrasikan pelayanan publik, karena
di dalamnya mengutamakan partisipasi warga dalam pelayanan
publik. Namun regulasi yang canggih sangat penting tetapi tidak
cukup. Kepemimpinan yang progresif juga tidak mungkin hadir
secara voluntaristik. Perubahan adalah politik dan gerakan. Azwar
Abubakar, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi, pernah berujar: “Bureaucracy reform is not a program
– it is a movement”. Dorongan dan gerakan dari atas maupun
inspirasi horizontal sangat penting untuk dilakukan, tetapi juga
tidak cukup. Partisipasi warga dan gerakan masyarakat sipil dari
bawah merupakan jawaban lain untuk mempublikkan demokrasi
dan mendemokrasikan pelayanan publik.
Dalam pandangan saya, SIAP II yang dijalankan oleh YAPPIKA
dan enam OMS mitra, merupakan sebuah prakarsa gerakan untuk
mempublikkan demokrasi dan mendemokrasikan pelayanan
publik. Partisipasi warga dan akuntabilitas pelayanan publik
merupakan pusat perhatian SIAP II. Melalui proses edukasi politik,
warga menjadi tahu, sadar dan kritis terhadap pelayanan publik.
Melalui proses inklusi, warga mengorganisir diri menembus batasbatas parokhial, menjadi organisasi masyarakat sipil yang lebih
kuat dan diperghitungkan. Melalui aksi kolektif, komunitas warga
dan organisasi masyarakat sipil memperjuangkan hak dan
kepentingan mereka di hadapan politisi dan birokrasi. Melalui
politik advokasi, mereka menggerakkan collective voice yang
mempengaruhi kebijakan, sekaligus menantang akuntabilitas
pelayanan publik.
SIAP II tentu tidak membuahkan hasil yang sempurna. Tetapi
pengalaman YAPPIKA bersama PUSSbik Lampung, PATTIRO
Pekalongan, PATTIRO Surakarta, MCW Malang, PIAR Kupang dan
Kopel Sinjai dalam SIAP II mempunyai semangat, nilai, makna
dan kemenangan kecil yang bisa diangkat menjadi pelajaran
ix
berharga. Saya menuliskan pengalaman dan pelajaran berharga
itu menjadi sebuah buku yang bertitel “Menantang Akuntabilitas
Publik Dari Medan Warga”. YAPPIKA berharap bahwa buku ini
menjadi bahan pelajaran berharga bagi pemikiran, pengetahuan,
kebijakan dan gerakan, tentu termasuk gerakan yang menjadi
imajinasi Menteri PAN dan RB.
Dalam menulis buku ini, saya memperoleh pasokan banyak
data dan cerita dari YAPPIKA, PUSSbik, PATTIRO Pekalongan,
PATTIRO Surakarta, Malang Corruption Watch (MCW), PIAR Kupang
dan KOPEL Sinjai. Di dunia metodologi ada keyakinan: “data yang
banyak bisa bicara banyak, tetapi juga bisa tidak bisa bicara
sama sekali” dan “data yang sama bisa menghasilkan bunyi cerita
yang berbeda”. Saya juga menyampaikan pendapat kepada
teman-teman, “Anda punya satu cerita, saya akan kembangkan
menjadi tiga, lima bahkan sepuluh cerita”. Apa makna di balik
argumen ini? Data bisa berbunyi, data yang sama bisa berbunyi
berbeda-beda, dan satu cerita bisa menghasilkan banyak cerita,
bisa terjadi kalau didukung dengan perspektif teori. Dalam buku
ini saya menggunakan banyak perspektif untuk mengurai,
memahami dan mengembangkan cerita. Buku ini merupakan buah
dialog antara narasi kecil (pengalaman SIAP) dan narasi besar
(teori). Prawacana di atas “Mempublikkan Demokrasi dan
Mendemokrasikan Pelayanan Publik”, merupakan salah satu
pelajaran bermakna dari sekian banyak narasi kecil dari SIAP
yang saya pahami dengan dengan narasi besar.
x
Daftar Isi
Prawacana .......................................................
Daftar Isi .........................................................
Bab 1 Demokrasi dan Pelayanan Publik Baru ...........
Pelayanan Publik Baru ................................
Tentang Akuntabilitas .................................
Partisipasi Warga Aktif ................................
Akuntabilitas Pelayanan Publik Berbasis Warga...
Bab 2 Konteks: Masalah Klasik Pelayanan Publik ......
Klientelisme Pelayanan Publik ......................
Lemahnya Akuntabilitas ..............................
Budaya Diam ...........................................
Bab 3 Komunitas Warga .....................................
Mengorganisir dan Mendidik Warga .................
Spirit Publik, Spirit Kewargaan ......................
Bab 4 Pertautan Warga dan Masyarakat Sipil ...........
Menggalang Solidaritas, Menolong Warga ..........
Menggalang Jaringan dan Pendukung ...............
Membuka dan Mengisi Ruang Publik ................
Kemitraan Dengan Pemerintah Daerah .............
Bab 5 Menantang Akuntabilitas ............................
Rute Pendek: Pengaduan Komunitas Warga .......
Rute Panjang: Politik Advokasi LSM .................
Bab 6 Respons Lokal dan Reformasi Inkremental ......
Komitmen, Toleransi dan Akomodasi Pemimpin
Daerah ..................................................
Respons SKPD dan Unit Layanan.....................
Perubahan Kebijaksanaan dan Pelayanan ..........
Bab 7 Modalitas untuk Keberlanjutan ....................
Kisah Reformasi ........................................
Harapan dan Masa Depan SIAP II ....................
iii
xi
1
4
8
14
19
23
26
29
33
41
45
53
55
59
63
66
69
77
80
95
99
106
108
113
125
131
133
xi
xii
Pembelajaran Pelaksanaan Program SIAP II
di 6 Kabupaten/Kota
BAB I
Demokrasi dan
Pelayanan Publik Baru
A
kuntabilitas merupakan jantung demokrasi dan pelayanan
publik. Namun akuntabilitas bukan hanya bekerja dalam
ranah internal pemerintahan (kontrol dan keseimbangan
antara legislatif dan eksekutif), apalagi hanya sebuah prosedur
formal dalam tubuh birokrasi. Bagaimana dan di mana letak warga
dan masyarakat sipil dalam akuntabilitas, demokrasi dan pelayanan
publik? Ini adalah pertanyaan teoretis dan praksis. Partisipasi warga
merupakan konsep kunci untuk menjawab pertanyaan itu. UU
Pelayanan Publik telah menempatkan dan mengutamakan partisipasi
masyarakat dalam pelayanan publik. Sementara program SIAP II yang
dijalankan YAPPIKA dan enam OMS mitra secara umum lebih banyak
memberikan jawaban praksis ketimbang teori. Tanpa berteori secara
canggih mereka bekerja secara konkret memperkuat partisipasi
warga untuk menantang akuntabilitas dalam demokrasi dan
pelayanan publik.
Namun ketika saya membaca sejumlah dokumen yang
dipublikasikan oleh PATTIRO Surakarta dan PUSSbik Lampung, saya
menangkap ada butir-butir teori tentang partisipasi dan akuntabilitas
dalam pelayanan publik. PATTIRO Surakarta, misalnya, menegaskan:
“Pemikiran Jokowi tentang ‘birokrasi itu melayani’ merupakan
potongan dari paradigma New Public Service (NPS) yang ditandai
adanya kebijakan yang berpihak kepada publik, adanya akuntabilitas,
dan partisipasi warga (citizen). Namun PATTIRO Surakarta tidak
melakukan elaborasi lebih lanjut terhadap NPS itu untuk mewadahi
dan merajut hubungan antara demokrasi, pelayanan publik,
akuntabilitas dan partisipasi warga. Tetapi pada saat yang sama,
buku Melawan Diam karya PUSSbik, tidak mengambil posisi NPS
melainkan New Public Management (NPM), meskipun buku ini sangat
kuat berbicara tentang voice dan demand.
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
SIAP II lebih tepat dikerangkai dengan NPS ketimbang NPM.
Karena itu bab ini hendak melakukan elaborasi keterkaitan antara
demokrasi, pelayanan publik, akuntabilitas dan partisipasi warga
dengan payung NPS. Pada bagian akhir saya akan menguraikan
tentang akuntabilitas pelayanan publik berbasis warga, yang relevan
dengan judul buku Menantang Akuntabilitas Pelayanan Publik Dari
Medan Warga.
Pelayanan Publik Baru
Negara mempunyai kewajiban memberikan pelayanan kepada
warga untuk menjalankan fungsi kesejahteraan (welfare). Warga
negara berkewajiban membayar pajak, dan berhak memperoleh
pelayanan dari negara. Selain memiliki hak, warga juga memiliki
pilihan (option) dalam pelayanan publik.
Pelayanan publik tentu perlu dipahami dalam kerangka relasi
kewajiban negara dan hak warga. Kewajiban negara disebut sebagai
supply dan hak warga disebut sebagai demand. Voice warga menjadi
jantung demand. Dengan cara pandang ini, pelayanan publik bukan
hanya domain administrasi publik yang apolitik dan pekerjaan rutin
para birokrat di kantor pemerintah. Pelayanan publik bukan juga
sekadar perkara teknokrasi yang mengutamakan efisiensi dan
efektivitas. Lima dekade silam, F. Mosher (1968), dalam bukunya
Democray and the Public Service, telah mengingatkan bahwa sungguh
berbahaya jika pelayanan publik didominasi oleh kaum profesional
(birokrat dan teknokrat), sebab mereka mempunyai cara pandang,
etika dan kepentingan mereka sendiri yang berbeda dengan
kepentingan umum. Mereka bekerja dengan cara mengutamakan
keahlian yang mengabaikan kepentingan warga.
Buku Mosher itu menjadi inspirasi penting bagi generasi
berikutnya untuk mengelaborasi pemikiran mendemokrasikan
pelayanan publik. Salah satu keyakinan generasi baru adalah bahwa
pelayanan publik harus digeser dan diletakkan dalam ranah politik
dan demokrasi. Para sarjana sudah menunjukkan bahwa selama
dua dekade terakhir pelayanan publik menjadi isu politik dan telah
mengalami politisasi yang serius (B. Guy Peters dan Jon Pierre, 2004;
Ariel Fiszbein, 2005; Kate Jenkins, 2008). Politik ini diletakkan dalam
kerangka relasi antara warga, birokrat dan politisi. Warga menaruh
perhatian pada keluaran dan hasil pelayanan; birokrat pejabat publik
menangani input dan proses pelayanan beserta manajemen dan
anggaran, sementara politisi bekerja di ranah kebijakan dan
konsekuensi politik atas keberhasilan dan kegagalan pelayanan.
4
BAB I Demokrasi dan Pelayanan Publik Baru
Setidaknya pada politisi yang terpilih dalam jabatan-jabatan publik
selalu melakukan investasi waktu dan tenaga yang besar untuk
memastikan pelayanan publik kompatibel dengan konstituen mereka
dan preferensi kebijakan. Dengan demikian kriteria politik bukan
dalam pengertian klientelisme dan patronase, melainkan
memastikan nilai-nilai demokratis dalam pelayanan publik daripada
nilai-nilai kebaikan (merit) konvensional (B. Guy Peters dan Jon
Pierre, 2004)
Merajut kembali hubungan demokrasi dan pelayanan publik
menjadi pusat perhatian paradigma pelayanan publik baru (new
public service), sebagai kritik atas paradigma administrasi publik
lama dan manajemen publik baru (new public management). Prinsip
dasarnya, paradigma paling lama mengutamakan kapasitas dan
kinerja birokrasi, NPM berhaluan neoliberal mengutamakan
pelayanan publik pro pasar yang menempatkan warga sebagai
pelanggan, dan NPM menempatkan warga sebagai jantung pelayanan
publik.
Paul Light (1999) termasuk perintis dalam mempromosikan NPS.
Dengan melihat konteks perkembangan pelayanan publik, Light
secara sederhana memberikan empat ciri utama NPS. Pertama,
keragaman: pelayanan publik jauh lebih beragam ketimbang
pelayanan publik lama yang berpusat pada pemerintah. Kedua,
munculnya banyak kepentingan di ranah nonpemerintah, terutama
di sektor nonprivat. Ketiga, pergeseran sektor dari pemerintah
menuju sektor privat dan nonprivat. Keempat, pelayanan publik
mempunyai komitmen yang dalam untuk membuat perbedaan di
dunia.
Jauh berbeda dengan gagasan itu, James Perry (2007) membidik
NPS dari sisi demokrasi dalam NPS, yakni: akuntabilitas, representasi,
perlindungan warga dan agensi warga. Perry juga berpendapat
beberapa hal. Perubahan profesional sangat dibutuhkan untuk
memperkuat akuntabilitas dan perlindungan warga. Reformasi
institusional yang berorientasi pada penguatan partisipasi warga
dapat memperbaiki agensi warga. Reformasi struktur pelayanan
publik akan memperkuat representasi dan lebih mendukung
akuntabilitas. Pembaruan pendidikan kewargaan dibutuhkan untuk
membidik ancaman perlindungan warga dan agensi warga.
Di antara sejumlah karya yang menaruh perhatian pada NPS,
adalah karya Janet Denhardt dan Robert Denhardt (2000, 2003 dan
2007) yang paling lengkap, sistematis dan berpengaruh. Ada
beberapa argumen dasar utama yang muncul pada karya mereka.
5
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Pertama, menonjolkan sejumlah kata kunci seperti demokrasi,
democratic citizenship, kewargaan, spirit publik, kepentingan
publik, kebajikan warga, masyarakat sipil, keadilan, representasi,
deliberasi dan partisipasi. Kata-kata kunci ini lebih dominan daripada
kata-kata kunci lain seperti birokrasi, politisi, efisiensi, efektivitas,
pasar, kompetisi, klien, pelanggan. Kedua, pemerintah seharusnya
tidak berlari seperti sebuah bisnis, melainkan harus berlari seperti
demokrasi. Argumen ini sebenarnya menjadi titik masuk kritik
mereka terhadap NPM yang hendak membawa pemerintah bekerja
seperti dunia bisnis. Di balik pesan itu, mereka menunjukkan bahwa
politisi dan birokrasi pelayanan publik bertindak atas dasar prinsip
dan komitmen baru yang mengutamakan kepentingan publik, proses
tata kelola pemerintahan dan kewargaan demokratis. Ketiga, NPS
mengarah pada demokrasi, harga diri (pride) dan warga. Karena itu
birokrat pelayan publik tidak menyediakan pelayanan kepada
pelanggan, mereka menyediakan demokrasi.
Atas dasar argumen itu, Janet Denhardt dan Robert Denhardt
membuat perbedaan yang tegas antara paradigma administrasi
publik lama, manajemen publik baru dan pelayanan publik baru,
sebagaimana tersaji dalam tabel 1.1. OPA pada dasarnya dipengaruhi
oleh teori politik dan administrasi, yang memisahkan antara politik
dan administrasi atau antara politisi dan birokrasi. Pelayanan publik
merupakan ranah yang didominasi oleh pemerintah dan birokrat.
Individu penerima layanan ditempatkan sebagai klien dan konstituen,
bahkan bisa disebut sebagai hamba. Struktur organisasi bersifat
birokratis dan hirarkis, dengan akuntabilitas yang bekerja secara
internal dalam tubuh pemerintah, melalui proses yang berjenjang
ke atas.
NPM muncul dari tradisi neoliberal yang emoh negara, atau
melubangi dan meminggirkan negara (hollowing out the state) dalam
pembangunan dan pelayanan publik. Dilandasi oleh teori ekonomi,
NPM bergerak dari negara ke pasar, berorientasi pelanggan.
Pemerintahan yang kaku, sentralistik dan berjalan lambat harus
diganti dengan pemerintahan yang berjiwa wirausaha, sebagaimana
digambarkan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku
Reinventing Government.1 Buku ini telah diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia, Mewirausahakan Birokrasi, yang menjadi buku
wajib pendidikan dan pelatihan bagi birokrat di seluruh Indonesia.
6
BAB I Demokrasi dan Pelayanan Publik Baru
Sumber: J. Denhardt dan R. Denhardt (2007), The New Public Service: Serving Not Steering, New
York, London: M.E. Sharpe, hal. 28-29.
Pada intinya NPM berupaya meminggirkan negara,
mengutamakan pasar dan pelanggan, dan sekaligus mengabaikan
warga. Kritik secara teoritik terhadap NPM telah banyak bertebaran.
J. Denhardt dan R. Denhardt, misalnya, membidik kelemahan nalar
paradigma mengarahkan ketimbang mengayuh (steering rather than
rowing) pada kapal ala NPM. NPM di mata mereka melupakan
1
Osborne dan Gaebler menawarkan 10 prinsip pemerintahan yang berjiwa wirausaha: Pemerintahan
katalis; pemerintahan yang mengarahkan bukan mengayuh; Pemerintahan milik masyarakat;
pemerintahan yang memberdayakan bukan melayani; Pemerintahan kompetetif; pemerintahan
yang menginjeksikan semangat kompetisi dalam pelayanan publik; Pemerintahan yang digerakkan
oleh misi; pemerintahan yang mampu merubah orientasi dari pemerintahan yang digerakkan
oleh aturan; Pemerintahan yang berorientasi hasil; pemerintahan yang membiayai hasil bukan
input; Pemerintahan yang berorientasi pelanggan; pemerintahan yang memenuhi kebutuhan
pelanggan bukan birokrasi; Pemerintahan wirausaha; pemerintahan yang menghasilkan profit
bukan menghabiskan; Pemerintahan antisipatif; pemerintahan yang berorientasi pencegahan
bukan penyembuhan; Pemerintahan desentralisasi; merubah pemerintahan yang digerakkan oleh
hierarki menjadi pemerintahan partisipatif dan kerjasama tim; Pemerintahan yang berorientasi
pasar; pemerintahan yang mendorong perubahan melalui pasar.
7
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
hakekat, siapa sebenarnya pemilik kapal. Menurut J. Denhardt dan
R. Denhardt, pemilik kapal bukan negara, apalagi pasar, melainkan
adalah warga.
NPS yang dilandasi teori democratic citizenship dan
mengutamakan warga dalam pelayanan publik itu mengedepankan
sejumlah karakteristik sebagai berikut:
1. Melayani masyarakat sebagai warga, bukan pelanggan.
Melalui pajak yang mereka bayarkan maka warga adalah
pemilik sah (legitimate) negara bukan pelanggan. Dalam
dunia politik, warga lebih sekadar penduduk, masyarakat,
hamba dan rakyat. Dalam dunia pelayanan publik, warga
bukan sekadar klien apalagi pelanggan.
2. Memenuhi kepentingan publik. Kepentingan publik seringkali
berbeda dan kompleks, tetapi negara berkewajiban untuk
memenuhinya. Negara tidak boleh melempar tanggung
jawabnya kepada pihak lain dalam memenuhi kepentingan
publik.
3. Mengutamakan warga di atas kewirausahaan. Kewirausahaan
itu penting, tetapi warga berada di atas segala-galanya.
4. Berpikir strategis dan bertindak demokratis. Pemerintah
harus mampu bertindak cepat dan menggunakan pendekatan
dialog dalam menyelesaikan masalah publik.
5. Menyadari kompleksitas akuntabilitas. Akuntabilitas
merupakan proses yang sulit dan terukur sehingga harus
dilakukan dengan metode yang tepat.
6. Melayani bukan mengarahkan. Fungsi utama pemerintah
adalah melayani warga bukan mengarahkan.
7. Mengutamakan kepentingan warga bukan produktivitas.
Kepentingan warga harus menjadi prioritas meskipun
bertentangan dengan nilai-nilai produktivitas.
Tentang Akuntabilitas
Akuntabilitas dalam praksis menghadirkan banyak tafsir. Dalam
masyarakat Indonesia kita mengenal “tanggung jawab” , “amanah”
dan bahkan kalangan organisasi masyarakat sipil juga
mengedepankan konsep “tanggung gugat” untuk menggantikan
konsep “tanggung jawab”. Ketiga konsep itu berkaitan dengan
akuntabilitas. Dalam tradisi Jawa, jawab bukan sekadar menjawab
pertanyaan, tetapi jawab mengandung “janji dan tugas” yang
8
BAB I Demokrasi dan Pelayanan Publik Baru
dibicarakan, diterima, dipegang dan dijalankan secara konsisten
oleh seseorang. Dengan demikian tanggung jawab berarti
membicarakan, menerima, memegang dan menjalankan janji dan
tugas secara konsisten tanpa penyimpangan. Sedangkan konsep
amanah muncul karena pengaruh Islam di Indonesia, yang
diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi mandate dan ke
dalam Bahasa Indonesia menjadi amanat. Ada juga yang
memahaminya sebagai mandat. Dalam bahasa Arab, kata amanah
dapat diartikan sebagai titipan, kewajiban, ketenangan,
kepercayaan, kejujuran dan kesetiaan. Dari pengertian bahasa dan
dari pemahaman tematik amanah dapat dipahami sebagai sikap
mental yang di dalamnya terkandung unsur kepatuhan kepada
hukum, tanggung jawab kepada tugas, kesetiaan kepada komitmen,
keteguhan dalam memegang janji. Secara konkret, amanah
mencakup: bersih dari tindakan yang jahat (seperti korupsi, suap,
membunuh dan sebagainya), jujur, konsisten memegang dan
menjalankan janji, satu kata antara perkataan dan perbuatan,
menjalankan tugas dengan baik.
Tanggung gugat, yang sering disampaikan oleh organisasi
masyarakat sipil, bermakna lebih dari sekadar tanggung jawab,
yakni sebagai sebuah mekanisme bagi warga masyarakat untuk
menggugat pejabat publik yang telah memperoleh mandat dari
rakyat. Karena itu akuntabilitas dalam pengertian ini mengandung
tiga hal: (a) pejabat menjawab terhadap kebijakan dan tindakan
jika memperoleh pertanyaan; (b) penegakan mandat dan aturan
main, artinya harus ada penegakan hukum terhadap penyelewengan
mandat; (c) masyarakat berhak menggugat pejabat publik yang tidak
menjalankan mandat dan tugas dengan baik, apalagi pejabat yang
melakukan penyelewengan seperti tindakan korupsi.
Makna karakter, sikap dan perilaku di satu sisi serta cara dan
mekanisme di sisi lain sebenarnya telah menjadi jantung perhatian
dalam literatur ilmu politik maupun administrasi publik. Mark Bovens
(2010) secara jelas membedakan dua pengertian dalam konsep
akuntabilitas: yakni akuntabilitas sebagai kebajikan (virtue) dan
akuntabilitas sebagai mekanisme institusional. Akuntabilitas sebagai
kebajikan merupakan konsep normatif, yang mengandung
seperangkat nilai dan standar untuk evaluasi terhadap perilaku
organisasi atau pejabat publik. Sebagai kebajikan normatif,
akuntabilitas setara dengan konsep-konsep lain seperti
responsibilitas, responsivitas, integritas, transparansi, kesetaraan
dan juga efisiensi. Bagi Bovens, akuntabilitas sebagai kebajikan
9
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
bersifat retorika ketimbang empirik. Sedangkan akuntabilitas sebagai
mekanisme dipahami lebih dangkal dalam pengertian yang lebih
empirik dan deskriptif.
Akuntabilitas sebagai mekanisme yang empirik-deskritif
umumnya berbicara tentang siapa (who) yang bertanggungjawab,
bagaimana (how) mempertanggungjawabkan, bertanggung jawab
atas apa (what) dan kepada siapa (whom) bertanggung jawab (A.
Przeworski et al, 1999; R.D. Behn, 2001; R. Mulgan, 2003; M.K.
Dowdle, 2006; J.L. Mashaw, 2006; C. Harlow, 2002; M. Philip, 2008).
Keempat dimensi pertanyaan ini sering dimaknai sebagai
perhitungan, jawaban atau laporan pertanggungjawaban pejabat
publik setelah menjalankan kebijakan, atau “menjawab atas
penggunaan kekuasaan dan kewenangan”. Dalam pengertian ini,
M. Boven (2007), mengidentifikasi empat dimensi akuntabilitas: (a)
pemberian narasi perhitungan; (b) jawaban atas pertanyaan dan
debat; (c) evaluasi maupun klarifikasi atas dugaan; dan (d)
kemungkinan pemberian sanksi dan impeachment.
Pengertian akuntabilitas setelah tindakan itulah yang disebut
dengan akuntabilitas ex post facto (J.M. Moncrieffe, 2001). Di
Indonesia, pemahaman seperti ini sangat dominan, meski ada
mekanisme kemitraan serta check and balance dari legislatif atas
eksekutif. Kita mengenal konsep akuntabilitas secara konkret dalam
bentuk laporan pertanggungjawaban (LPJ) bupati/walikota kepada
Mendagri
melalui
gubernur,
laporan
keterangan
pertanggjungjawaban (LKPJ) bupati/walikota kepada DPRD dan
laporan informasi pertanggungjawaban (LIPJ) kepada publik/rakyat.
Pengertian dan skema ini lemah dalam dua sisi. Pertama, dari
sisi mekanisme dan waktu, akuntabilitas seperti itu hanya dilakukan
setelah tindakan (ex post), atau sekadar memberikan jawaban.
Kedua, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, tetapi
pertanggungjawabannya diberikan ke atas. Jika dalam UU No. 22/
1999 DPRD sangat powerful sebagai penerima pertanggungjawaban
kepala daerah atas nama rakyat, tetapi dalam UU No. 32/2004 DPRD
cukup hanya menerima laporan keterangan sehingga mekanisme
check and balances tidak berjalan secara maksimal. Regulasi juga
mengalami kesulitan untuk merumuskan bagaimana mekanisme
akuntabilitas kepada rakyat, karena itu UU No. 32/2004 cukup hanya
mewajibkan kepala daerah melakukan pemberian informasi LPJ
kepada rakyat. Kalau rakyat mau memberikan sanksi kepada kepala
daerah yang bermasalah, maka yang bersangkutan bisa dihukum
atau tidak dipilih kembali kepada periode berikutnya. Tetapi kalau
10
BAB I Demokrasi dan Pelayanan Publik Baru
sang kepala daerah sudah menjabat pada periode kedua, tentu sanksi
politik itu tidak berjalan.
Karena itu akuntabilitas pemimpin daerah sebaiknya dilihat
secara menyeluruh dari banyak dimensi: substansi, mekanisme, aktor
dan waktu. M. Bovens (2007), misalnya, mengidentifikasi
akuntabilitas berbasis empat hal. Pertama, akuntabilitas berbasis
forum: akuntabilitas politik, hukum, administratif, profesional dan
sosial. Kedua, berbasis aktor: akuntabilitas perusahaan; akuntabilitas
hirarkhis, akuntabilitas kolektif; dan individual. Ketiga, akuntabilitas
berbasis tindakan: akuntabilitas finansial, akuntabilitas prosedural
dan akuntabilitas produk (kinerja). Keempat, akuntabilitas berbasis
kewajiban: akuntabilitas vertikal kepada rakyat; akuntabilitas
diagonal dan akuntabilitas horizontal. Dari sisi waktu, yang
mempunyai timing dan dampak terhadap peran aktor dan
mekanisme, akuntabilitas dapat dibagi menjadi ex ante (sebelum)
akuntabilitas dan ex post (sesudah) akuntabilitas (J.M. Moncrieffe,
2001; M. Bovens, 2007; C. Harlow dan R. Rawling, 2007; M. Philip,
2008). Bahkan P. Schmitter (2004) membagi dimensi waktu
akuntabilitas menjadi tiga: sebelum (before), selama (during) dan
sesudah (after). Tiga dimensi waktu ini mengikuti proses dan tahapan
kebijakan: sebelum kebijakan dibuat, selama kebijakan dalam proses
dibuat, dan setelah kebijakan dibuat untuk dilaksanakan.
Menurutnya, dimensi waktu ini jauh lebih berpengaruh ketimbang
dimensi ruang (space) terhadap akuntabilitas.
Akuntabilitas “sebelum” dan “selama” itu mempunyai kaitan
langsung dengan representasi. Pertama, pejabat yang dipilih seperti
bupati/walikota mempunyai responsibilitas (amanah) bekerja untuk
mewujudkan kepentingan dan harapan-harapan publik, atau
menjalankan visi-misinya atau memenuhi janji-janji yang ditebar
sewaktu kampanye. Kedua, sang pejabat terpilih bekerja atas dasar
preferensi (aspirasi) warga, dan sang wakil rakyat (parlemen)
menjalankan tugas mengontrol eksekutif atas dasar preferensi
warga. Ketiga, partisipasi warga merupakan elemen penting dalam
akuntabilitas ex ante, dan mengharuskan mekanisme implementasi
yang menjamin suara warga didengarkan dan menjadi input
kebijakan pemerintah (J.M. Moncrieffe, 2001; AM. Goetz dan R.
Jenkins, 2001; R.W Grant dan R.O. Keohane, 2005).
Akuntabilitas kepala daerah dan representasi DPRD secara
konseptual bisa saling memperkuat. Keberadaan DPRD yang dipilih
secara demokratis oleh rakyat sebenarnya dimaksudkan untuk
menjaga dan memperkuat akuntabilitas kepala daerah. Representasi
11
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
DPRD ini bisa memperkuat akuntabilitas kepala daerah bila
setidaknya memenuhi dua syarat. Pertama, akuntabilitas
membutuhkan kesetaraan antar aktor (J. Rubenstein, 2007). Sesuai
doktrin Trias Politica, kepala daerah dan DPRD sebaiknya dalam
posisi yang seimbang dan setara. Ini berarti harus ada “matahari
kembar”, tetapi matahari kembar bukanlah devided government.
Jika kepala daerah primus interpares di hadapan DPRD, bahkan jika
DPRD dalam posisi yang marginal, maka akan sulit membangun
akuntabilitas kepala daerah. Kedua, membutuhkan apa yang disebut
Guillermo O’Donnell (1998) sebagai akuntabilitas horizontal.
P. Schmitter (2004) dengan baik memetakan tipologi akuntabilitas
yang mengaitkan antara aktor, waktu dan proses (tabel 1.2 dan
tabel 1.3). Tabel tipologi itu membagi dua kategori yakni waktu
(sebelum, selama dan sesudah) serta tiga aktor utama (warga,
parlemen dan penguasa). Tabel 1.2 berbicara tentang gambaran
akuntabilitas yang gagal, dan tabel 1.3 berbicara tentang
akuntabilitas ideal. Akuntabilitas yang gagal ditunjukkan dengan
warga yang absen sebelum pembuatan keputusan, masa bodoh
selama pelaksanaan kebijakan dan menaruh kebencian terhadap
penguasa. Parlemen terus-menerus melakukan mobilisasi untuk
melawan penguasa, menghadirkan kegaduhan dan gangguan dalam
proses pembuatan kebijakan, dan tetap resisten terhadap
pelaksanaan kebijakan sampai pertanggungjawaban penguasa.
Sebaliknya penguasa melakukan eksklusi sebelum kebijakan, meraup
keuntungan melalui kolusi di balik perumusan kebijakan, dan
sekaligus melakukan pemaksaan terhadap warga dalam pelaksanaan
kebijakan.
Sumber: Philippe C. Schmitter, “The Ambiguous Virtues of Accountability”, Journal of Democracy,
Vol. 15. No. 4, 2004.
Akuntabilitas ideal bisa terjadi jika warga melakukan partisipasi
sebelum kebijakan, menaruh perhatian terhadap proses kebijakan
dan berkewajiban menjalankan kebijakan. Parlemen melakukan
mobilisasi sebagai bentuk oposisi kritis, memainkan kompetisi dalam
proses pembuatan kebijakan, dan bekerja keras melakukan
12
BAB I Demokrasi dan Pelayanan Publik Baru
pemenuhan dalam pelaksanaan kebijakan. Penguasa membuka akses
bagi warga dan organisasi masyarakat, menggelar deliberasi dalam
proses pembuatan kebijakan dan tetap responsif dalam pelaksanaan
kebijakan.
Sumber: Philippe C. Schmitter, “The Ambiguous Virtues of Accountability”, Journal of Democracy,
Vol. 15. No. 4, 2004.
Sebagai ilustrasi, ada contoh Peraturan Daerah (Perda) tentang
Pelayanan Kesehatan, yang di dalamnya mencakup kedudukan dan
tupoksi instansi penyelenggara pelayanan kesehatan, fasilitas
kesehatan yang disediakan, mekanisme dan prosedur pelayanan
kesehatan, hak dan kewajiban pengguna layanan kesehatan termasuk
di dalamnya kewajiban membayar retribusi kesehatan, dan
seterusnya. Dalam skema akuntabilitas yang buruk/gagal, Perda itu
mengandung catat sebelum dirancang, selama dirumuskan dan
setelah diputuskan. Sebelum Perda dirancang, warga (termasuk
organisasi masyarakat sipil) sama sekali tidak hadir, pasif, atau sama
sekali tidak mempengaruhi penguasa dan parlemen agar dilahirkan
Perda tentang Pelayanan Kesehatan yang berkualitas dan dapat
diakses oleh warga. Parlemen, bukan mendorong kelahiran Perda
kesehatan, tetapi malah melakukan politisasi dan mobilisasi untuk
melawan ide penguasa/eksekutif. Sebaliknya, penguasa yang
memiliki inisiatif menyusun Perda, cenderung melakukan pengabaian
(eksklusi) terhadap parlemen dan warga.
Ketika Raperda tengah dibahas dan dirumuskan, warga bersikap
masa bodoh (apatis), meskipun isi Raperda akan menimbulkan risiko
beban bagi warga. Parlemen dalam kondisi cerai berai, antara
pendukung dan penolak. Kelompok penolak terus-menerus
melakukan gangguan agar Perda tidak lahir, dengan beragam alasan,
yang intinya menolak kebijakan eksekutif. Sementara kelompok
parlemen dan eksekutif melakukan kolusi untuk melahirkan Perda.
Perda Pelayanan Kesehatan lahir dalam konteks apatisme warga,
kegaduhan yang kontraproduktif di parlemen, dan kolusi yang
dilakukan oleh penguasa. Setelah Perda dijalankan tentu membawa
dampak bagi warga. Warga terkejut dengan prosedur dan tarif baru
ketika mereka ke Puskesmas atau RSUD. Warga satu demi satu
13
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
menaruh kebencian dan distrust terhadap Perda dan pemerintah
daerah. Kalangan parlemen, terutama kelompok penolak, tidak
mendukung (resisten) terhadap Perda, tetapi mereka tidak bisa
berbuat banyak karena Perda telah resmi disahkan dan bahkan
dijalankan. Pada saat yang sama, penguasa melakukan pemaksaan
dalam menjalankan Perda.
Sebaliknya akuntabilitas yang ideal jika dalam proses kebijakan,
penguasa membuka aksesibilitas (inklusi) bagi warga maupun
organisasi masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan (sebelum
kebijakan ditetapkan), kemudian menggelar proses deliberasi dengan
beragam aktor (selama proses perumusan kebijakan), serta selalu
responsif dalam pelaksanaan kebijakan, termasuk responsif terhadap
tuntutan dari warga. Parlemen melakukan mobilisasi aspirasi warga
sebelum kebijakan dirumuskan, berkompetisi untuk merumuskan
kebijakan yang terbaik, serta memastikan bahwa pelaksanaan
kebijakan mampu menjamin pemenuhan hak dan kepentingan warga.
Sedangkan partisipasi merupakan ranah utama warga, mulai dari
sebelum kebijakan, selama proses kebijakan dan pasca kebijakan.
Pada pasca kebijakan, warga mempunyai kewajiban mematuhi
kebijakan karena substansi kebijakan merupakan hasil dari partisipasi
mereka. Namun warga tetap mempunyai hak untuk melakukan,
pengawasan dan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan,
meskipun tetap wajib mematuhi keputusan. Kombinasi antara
kewajiban mematuhi dan hak (monitoring dan pengaduan) yang
dijalankan warga, tentu jauh lebih sehat dan dewasa ketimbang
pasif tetapi selalu mencaci maki kebijakan.
Partisipasi Warga Aktif
Setiap individu/orang mempunyai posisi yang beragam dalam
negara. Kadang individu menjadi penduduk, kadang menjadi
masyarakat, kadang menjadi rakyat, kadang menjadi pelanggan,
dan kadang menjadi warga. Penduduk adalah konsep administratif
dan statistik yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk. Ketika
orang di data oleh BPS, ia sedang menjadi penduduk. Masyarakat
adalah konsep sosiologis antropologis, yakni kumpulan sejumlah
individu yang memiliki orientasi dan kepentingan yang sama. Ketika
orang aktif dalam gotong royong atau kegiatan sosial lain, ia sedang
menjadi masyarakat. Rakyat adalah konsep politik. Demokrasi sering
dimaknai sebagai kedaulatan rakyat, artinya pemerintahan “dari”
(partisipasi), “oleh” (akuntabilitas dan transparan) dan “untuk”
(responsif) rakyat. Tetapi demokrasi yang terjebak secara sempit
14
BAB I Demokrasi dan Pelayanan Publik Baru
menjadi demokrasi elektoral (elektokrasi), konsep kedaulatan rakyat
itu hanya utopis. Dalam demokrasi elektoral, rakyat tidak memiliki
kedaulatan, dan orang bukan ditempatkan sebagai rakyat yang sejati,
tetapi hanya sebagai basis kekuasaan atau konstituen bagi politisi.
Pelanggan adalah posisi individu yang sangat dangkal, hasil ciptaan
NPM. Pelanggan identik dengan pembeli (ingat pembeli adalah raja)
yang harus dilayani dan direspons dengan baik. Kalau orang tidak
mampu membeli, maka dia tidak memperoleh pelayanan dan respons
yang baik. Sedangkan yang terakhir, warga, adalah konsep filosofis,
bahwa setiap individu merupakan pemilik absah negara yang
mempunyai hak dan kewajiban.
Sesuai NPS maupun demokrasi alternatif, yang sangat dipengaruhi
oleh republikenisme, setiap individu ditempatkan sebagai warga.
Ke(warga)an pada dasarnya menunjuk keanggotaan individu dalam
komunitas politik, terutama negara, yang mengandung lima
komponen: status legal, identitas, hak, kewajiban dan aktivitas
politik atau partisipasi (J. Cohen, 1999; G. Delanty, 2000; Michael
Lister dan Emily Pia, 2008).
Warga menempati posisi penting dalam akuntabilitas dan
partisipasi. Peran warga bukan hanya menyerahkan mandat kepada
penguasa dan parlemen melalui proses pemilihan (elektoral), serta
bukan hanya sebagai pelengkap dalam mekanisme akuntabilitas
horizontal antara penguasa dan parlemen. Dalam konteks ini budaya
politik warga merupakan prakondisi penting bagi akuntabilitas, tetapi
akuntabilitas maupun proses kebijakan juga membentuk budaya
politik warga. Akuntabilitas yang ideal membutuhkan budaya politik
yang demokratis, sebaliknya akuntabilitas yang baik juga akan
menumbuhkan budaya demokratis. Dengan kalimat lain, budaya
politik demokratis merupakan pendukung akuntabilitas ideal, tetapi
kebijakan yang demokratis juga menjadi arena untuk pendidikan
politik yang membuat budaya demokratis bagi elite dan warga.
Apa dan bagaimana budaya demokratis? Gabriel Almond dan
Sidney Verba (1960) pernah membagi budaya politik menjadi tiga.
Pertama, budaya parokhial, dengan ciri: orang terikat dalam
komunitas dan kegiatan kekerabatan atau keagamaan, yang tidak
tahu dan tidak memperhatikan isu-isu publik dan politik. Kedua,
budaya subyek dengan ciri: orang sudah mulai tahu tentang politik
serta mematuhi peraturan negara, tetapi belum aktif berpartisipasi
dalam pemerintahan dan urusan-urusan publik kecuali memberikan
pilihan dalam proses elektoral. Ketiga, budaya partisipan, dimana
orang semakin melek politik, melek urusan publik, sadar akan hak
15
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
dan kewajibannya sebagai warga, kritis dan aktif dalam urusan publik
yang berpengaruh terhadap hidupnya sehari-hari.
Budaya partisipan itulah yang disebut sebagai budaya
demokratis. Dalam dua dekade terakhir budaya demokratis atau
budaya partisipan itu diperkuat dengan sejumlah konsep seperti
democratic citizenship, active citizenship maupun civic engagement.
Menurut Duncan Green (2008), kewargaan aktif adalah kombinasi
antara hak dan kewajiban yang menghubungkan antara individual
dengan negara, termasuk wajib membayar pajak dan mematuhi
hukum, serta pemenuhan hak sipil, sosial dan politik. Warga aktif
menggunakan hak-haknya untuk memperbaiki kualitas hidup sosial
dan politik, melalui keterlibatan dalam ekonomi dan politik formal,
atau melalui tindakan aksi kolektif yang secara historis membebaskan
kaum miskin dan terpinggirkan membuat suaranya lantang. Robert
Hollister (2002) juga mengatakan bahwa kewargaan aktif merupakan
aksi kolektif ketimbang perilaku individual. Ini adalah kolaborasi
tentang aktivitas intens baik aktivitas sosial maupun aktivitas politik.
Sedangkan warga yang demokratis adalah agen politik yang
mengambil bagian (partisipasi) secara regular dalam politik baik
lokal maupun nasional, bukan hanya dalam pemilihan, tetapi dalam
politik sehari-hari (Judith Shklar, 1991 dan Axel Hadenius, 2001).
Warga yang aktif, warga yang demokratis, dapat dibentuk melalui
proses civic engagement. Sebuah definisi yang sempit mengatakan
bahwa civic engagement adalah keterlibatan warga dalam proses
pemerintahan (Jenny Stewart, 2009). Sejalan dengan konsep
kewargaan aktif, saya memahami engagement merupakan pertautan
warga secara horizontal dalam relasi sosial dan komunitas lokal,
serta pertautan warga secara vertikal dengan negara. Pemahaman
ini penting sebab, komunitas warga atau organisasi lokal tidak semata
untuk mempengaruhi pemerintah atau mengadukan pelayanan publik
yang bermasalah, tetapi juga sebagai tempat untuk kerja sama,
tolong menolong, solidaritas, kepercayaan dan partisipasi.
Pengertian engagement yang luas ini muncul dari sejumlah
sarjana. Richard Alder dan Judy Goggin (2005), misalnya, memahami
civic engagement mencakup pelayanan komunitas, aksi kolektif,
partisipasi politik, dan perubahan sosial. Ariel Armony (2004)
mempertukarkan engagement dengan partisipasi, tetapi yang lebih
penting dia mengemukakan tiga perspektif dan dimensi penting
(modal sosial, organisasi sukarela dan ruang publik) dalam
engagement (lihat tabel 1.4). Modal sosial merupakan basis
partisipasi dan engagement warga terutama pada ranah sosial dan
16
BAB I Demokrasi dan Pelayanan Publik Baru
horizontal, sedangkan sektor ketiga dan ruang publik merupakan
dimensi penting partisipasi warga dalam ranah politik.
Modal sosial menjadi dasar pembentukan komunitas yang
bertenaga secara sosial. Komunitas menjadi wadah untuk saling
belajar, kerja sama, tolong menolong dan membangun kepercayaan.
Warga yang tergabung dan ikut serta dalam organisasi lokal
membantu pembentukan dan perawatan kerja dan kepercayaan (R.
Putnam, 1993). Sejumlah literatur menunjukkan bahwa masyarakat
yang asosial (tidak berinteraksi sosial) mudah menciptakan distrust,
apatis dan melemahkan demokrasi, sebaliknya masyarakat yang kaya
aktivitas sosial dan organisasi sukarela di luar rumah jauh lebih
kohesif, saling percaya, terkelola dengan baik, demokratis dan
makmur (Putnam, 1993; Knack dan Keefer, 1997; Hall, 1999;
Whiteley, 2000).
Selangkah berikutnya, warga terlibat dalam sektor ketiga, baik
dalam NGOs atau asosiasi warga. Wadah ini selain untuk menolong
warga, juga digunakan untuk pemantauan terhadap pemerintah dan
kanalisasi tuntutan, melalui mekanisme monitoring terhadap isuisu publik, artikulasi kepentingan, dan advokasi. Agar lebih kuat,
sektor ketiga mengalami transformasi menjadi ruang publik. Ini
menjadi wadah representasi politik warga untuk aksi kolektif atau
gerakan sosial untuk menantang pemerintah atau untuk melakukan
gerakan reformasi dari bawah. Ketiga dimensi inilah yang akan
membentuk active citizenship. Warga aktif merupakan transformasi
dari posisi anggota (orang tidak peduli pada isu sosial dan publik),
relawan (peduli tetapi kurang terdidik), warga kritis (tahu, sadar
dan kritis terhadap politik dan isu-isu publik), dan warga warga aktif
(tahu, sadar, kritis dan berorganisasi untuk memperjuangkan hak
dan kepentingan publik kepada negara).
Sumber: Ariel Armony (2004: 24)
17
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Bagan 1.1 semakin melengkapi posisi individu dalam negara bila
dilihat dari perspektif civic engagement. Bagan itu menyajikan
tipologi posisi keanggotaan individu dalam negara, yang
memperhatikan dua variabel: kegiatan politik (yang terdiri dari
memilih atau vote dan bersuara atau voice) dan kegiatan sosial
kemasyarakatan (yang terdiri dari lemah atau tidak terlibat dalam
kegiatan sosial dan kuat yang berarti aktif dalam kegiatan sosial).
Kuadran I adalah konstituen, yakni individu yang hanya
melakukan kegiatan pemilihan dan tidak terlibat dalam kegiatan
sosial (asosial). Kuadran II adalah warga kritis, yakni warga yang
melek dan kritis terhadap politik, aktif bersuara, tetapi ia tidak
melakukan kegiatan sosial. Warga ini hanya sendirian dalam
melakukan voice. Pelanggan dalam pengertian NPM termasuk dalam
kategori ini. Sebagai contoh, pelanggan secara individual bersikap
kritis melakukan pengaduan pelayanan publik, tanpa harus terlibat
dalam kegiatan sosial dan juga tidak melakukan politik advokasi
secara kolektif. Kuadran III adalah sukarelawan, yang aktif dan kuat
dalam kegiatan sosial, dan melakukan kegiatan politik sebatas
memilih dalam proses elektoral. Mereka tidak menyampaikan suara
(voice) dalam politik sehari-hari. Ini sama dengan budaya subyek.
Kuadran IV adalah warga aktif, yang aktif/kuat dalam kegiatan sosial,
sekaligus juga aktif dalam pemilihan maupun bersuara dala politik
sehari-hari.
Dalam buku ini saya berpendapat bahwa dalam Program SIAP II
para aktivis LSM dan komunitas warga melakukan civic engagement
untuk menumbuhkan warga aktif dan demokratis. Warga bukan hanya
aktif melakukan advokasi dan pengaduan secara individual, tetapi
bergabung dalam komunitas warga hingga organisasi masyarakat
sipil secara kolektif, mengisi ruang publik dan menantang
akuntabilitas pemerintah dan pelayanan publik. Di sisi lain, warga
aktif juga membangun solidaritas menolong warga di komunitas.
18
BAB I Demokrasi dan Pelayanan Publik Baru
Akuntabilitas Pelayanan Publik Berbasis Warga
Akuntabilitas merupakan sebuah nilai dan mekanisme
institusional yang kompleks. Analisis akuntabilitas bisa dilihat dari
sisi relasi horizontal antara eksekutif dan legislatif, akuntabilitas
politik birokrasi pada politisi pembuat kebijakan, maupun sisi
hubungan timbal balik antara pembuat kebijakan dengan warga.
Berdasarkan pada pengalaman Program SIAP II, buku ini membatasi
pembahasan akuntabilitas pelayanan publik yang berbasis warga.
Bagaimana akuntabilitas pelayanan publik yang berbasis warga
bekerja? Ini bermula dari hak warga dalam pelayanan publik. Selain
memiliki hak, warga juga mempunyai pilihan (option) ketika
menghadapi pelayanan publik. Mengikuti karya klasik Albert O.
Hirschman (1970), pilihan warga terdiri dari: exit, voice dan loyalty.
Pilihan loyalty mengandung dua sisi pengertian. Di satu sisi, warga
mempunyai kesetiaan, kebanggaan dan kepercayaan kepada
pelayanan publik yang disediakan oleh negara atau lembaga lain,
sebab pelayanan publik yang diselenggarakan bersifat baik dan
memuaskan. Sebaliknya, di sisi lain, loyalty juga bermakna warga
diam dan pasif ketika pelayanan publik yang diberikan negara bersifat
buruk. Pilihan diam dan pasif ini bisa terjadi karena mereka tidak
berdaya dan tidak ada pilihan lain. Exit merupakan pilihan
meninggalkan pelayanan publik yang disediakan negara, beralih
kepada sektor privat, dengan membayar (pay) lebih. Mereka mampu
bersekolah atau ke rumah sakit swasta ketika sekolah dan rumah
sakit yang disediakan oleh negara tidak bermutu, atau warga
menyediakan energi listrik secara mandiri ketika pelayanan PLN
sangat buruk. Tetapi exit dengan cara pay kaum kelas menengah
itu mustahil ditempuh oleh orang kebanyakan, apalagi kaum miskin
dan marginal. AM Goetz dan J. Gaventa (2001) menegaskan bahwa
opsi exit tidak selalu bekerja khususnya bagi warga yang memiliki
kekuatan terbatas sebagai konsumen. Karena tidak berdaya, orang
kebanyakan hanya diam alias loyalty. Namun Keith Dowding dan
Peter John (2008) mencatat bahwa loyalitas warga merupakan
bentuk “investasi sosial” yang mempunyai potensi dan motivasi untuk
melakukan voice melalui komplain terhadap penyedia layanan
ketimbang meninggalkan dan berpindah (exit) ke penyedia layanan
lain.
Para pemakai teori Hirschman itu menegaskan bahwa exit
merupakan mekanisme ekonomi dan voice merupakan mekanisme
politik (Crouch, 2003; Needham, 2003; Gabriel and Lang, 2006).
Samuel Paul (1992) bahkan menegaskan bahwa exit (kemampuan
19
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
publik mencari sumber alternatif atas supply pelayanan) dan voice
(tekanan terhadap penyedia layanan untuk berkinerja lebih baik)
merupakan mekanisme untuk mengimbangi fenomena perampasan
(capture), yakni kecenderungan pengelola layanan berburu rente
yang tidak melayani kepentingan publik.
Voice menjadi titik masuk akuntabilitas pelayanan publik berbasis
warga, yang sering juga disebut sebagai akuntabilitas sosial. Bagan
1.2 memberikan gambaran yang jelas tentang akuntabilitas
pelayanan publik berbasis warga, dalam konteks relasi antara warga,
pembuat keputusan dan penyedia layanan. Bagan itu mengandung
tiga komponen utama: aktor, relasi dan rute akuntabilitas. Ada tiga
aktor utama dalam rantai akuntabilitas: negara, penyedia layanan
dan warga. Negara mencakup pemerintah dan lembaga legislatif,
sebagai institusi politik yang memperoleh mandat secara elektoral
dari rakyat. Mereka mempunyai domain kebijakan, yakni membuat
keputusan yang terkait dengan pelayanan publik, sekaligus
memberikan instruksi dan kontrol terhadap bekerjanya penyedia
layanan.
Relasi akuntabilitas terdiri dari tiga yakni: relasi antara warga
dengan negara, relasi antara negara dengan penyedia layanan dan
relasi antara warga dengan penyedia layanan. Politik merupakan
ranah relasi antara warga dengan negara (pembuat kebijakan), yang
terdiri dari politik representasi dan politik advokasi. Politik
representasi berarti warga mengorganisir diri untuk menempatkan
wakil-wakilnya (representatives) sebagai pembuat kebijakan melalui
proses elektoral. Sedangkan politik advokasi merupakan agenda
mempengaruhi kebijakan yang dijalankan oleh warga atau organisasi
masyarakat sipil.
Kepaduan merupakan ukuran akuntabilitas yang membentang
dalam relasi antara pembuat kebijakan dan penyedia layanan. Dalam
pandangan saya, kepaduan adalah koherensi dan konsistensi antara
substansi kebijakan dan implementasi kebijakan, sekaligus antara
visi-kehendak pembuat kebijakan dengan birokrasi penyedia layanan
publik. Mengikuti gagasan B. Guy Peters dan Jon Pierre (2004),
birokrat penyelenggara pelayanan publik tidak boleh memegang
prinsip “kompetensi netralitas”, melainkan harus memiliki
“kompetensi responsivitas”. Birokrat netral dalam pengertian kebal
dari campur tangan politik yang bernuansa patronase, tetapi harus
responsif terhadap visi pembuat kebijakan.
20
BAB I Demokrasi dan Pelayanan Publik Baru
Sumber: World Bank (2003), World Development Report 2004: Making Services Work for
Poor People, Washington, Oxford: World Bank dan Oxford University Press.
Rute akuntabilitas pelayanan publik dibagi menjadi dua, yakni
rute panjang dan rute pendek. Rute panjang ditempuh oleh organisasi
masyarakat sipil atau komunitas warga dengan cara cara melakukan
politik advokasi atau politik representasi ke ranah negara (eksekutif
dan legislatif) untuk mendesak reformasi kebijakan. Rute politik
yang melahirkan reformasi kebijakan ini dilanjutkan dengan rute
kepaduan antara negara (pembuat kebijakan) dengan birokrasi
pengelola dan penyedia layanan publik. Rute panjang ini bisa disebut
berhasil jika melahirkan beberapa hal. Pertama, menghadirkan
pejabat publik (eksekutif dan legislatif) yang reformis dan
berkomitmen melakukan reformasi kebijakan. Kedua, perubahan
kebijakan yang dilahirkan oleh pejabat publik. Ketiga, kepaduan
antara kehendak pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan,
termasuk konsistensi antara substansi kebijakan dengan
implementasi kebijakan. Keempat, pelayanan publik berubah
menjadi lebih baik dan berkualitas, serta meningkatnya akses warga
terhadap pelayanan publik.
21
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
22
Pembelajaran Pelaksanaan Program SIAP II
di 6 Kabupaten/Kota
BAB II
Konteks:
Masalah Klasik Pelayanan Publik
P
rogram SIAP II yang dijalankan oleh YAPPIKA dan enam OMS
mitra (PUSSbik Lampung, PATTIRO Pekalongan, PATTIRO
Surakarta, Malang Corruption Watch, PIAR Kupang dan KOPEL
Sinjai) di enam daerah bukan datang tiba-tiba. Selain didasari oleh
sebuah keyakinan tentang mendemokrasikan pelayanan publik dan
mempromosikan Undang Undang Pelayanan Publik (UU No. 25/2009),
Program SIAP II secara kontekstual juga didorong oleh kondisi
pelayanan publik yang bermasalah, jika tidak bisa dianggap sangat
buruk. Ketika mengawali pelaksanaan program, para pelaku Program
SIAP II menggelar sebuah survei tentang pengetahuan warga
masyarakat terhadap UU No. 25/2009 tentang pelayanan publik.
Survei yang terlalu “mewah” ini memperoleh gambaran bahwa
sejumlah 86,6% responden (untuk tidak menyebut seluruh warga
masyarakat) di enam daerah sama sekali tidak mengetahui UU
pelayanan publik. Hanya 13,4% responden yang mengetahui
keberadaan UU pelayanan publik.
Saya menyebut survei “mewah” bukan karena biaya, responden
dan publikasi yang sangat besar, tetapi pertanyaan kepada responden
tentang UU Pelayanan Publik itu yang saya anggap “mewah”.
Pengetahuan warga tentang keseharian pelayanan publik pun sudah
rendah dan bermasalah, apalagi pengetahuan mereka tentang
kebijakan makro seperti UU Pelayanan Publik. Para pejabat publik
sekalipun tidak tahu tentang UU Pelayanan Publik, apalagi warga
masyarakat kebanyakan. Para pejabat daerah sering tidak
menggubris undang-undang sektoral atau undang-undang khusus
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
seperti pelayanan publik, kecuali undang-undang yang
menguntungkan mereka. Selama ini mereka sangat paham terhadap
undang-undang yang terkait dengan kepegawaian (seperti UU No.
5/2014 tentang Aparat Sipil Negara) karena menyangkut hakkewajiban dan karir mereka, serta UU Pemerintahan Daerah karena
menyangkut tentang kewenangan dan tupoksi mereka.
Warga yang tidak tahu, pejabat publik yang abai, itu merupakan
kondisi empirik yang melatari bekerjanya Program SIAP II. Secara
umum penyelenggaraan pelayanan publik belum mencerminkan
prinsip demokrasi atau belum mencerminkan praktik
kepemerintahan yang baik sebagaimana diamanatkan oleh UU
Pelayanan Publik. Bab ini hendak mengelaborasi tiga persoalan dasar
dalam pelayanan publik: penyakit klientelisme dan patronase,
akuntabilitas lemah serta budaya diam yang menjangkiti warga
masyarakat.
Klientelisme Pelayanan Publik
Birokrasi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia
sebenarnya sudah semakin modern, bahkan sangat akrab dengan
konsep-konsep impor seperti manajemen publik baru, good
governance, mewirausahakan birokrasi, privatisasi, contracting out
dan lainnya. Namun struktur dan watak dasar birokrasi merupakan
warisan masa lalu yang mengutamakan paternalisme atau
klientelisme. Dalam struktur ini terjadi hubungan benevolensi
pejabat/birokrat dan obediensi rakyat yang sangat personal dan
intim. Birokrat mempunyai citra diri sebagai orang yang budiman,
berkewajiban melindungi dan membantu rakyat, serta tidak mungkin
menjerumuskan rakyat. Sebaliknya rakyat bukan berposisi sebagai
warga yang berdaulat dan terhormat, melainkan sebagai hamba
(kawula) yang harus patuh dan tidak boleh macam-macam di
hadapan para pejabat.
Selain paternalisme dan klientelisme, warisan kolonial juga
sangat berpengaruh terhadap watak dan struktur negara birokratis
yang melakukan eksklusif terhadap rakyat tetapi mempunyai
hubungan dekat dengan modal/bisnis (Anthony B. L. Cheung, 2005).
Relasi pemerintah dan bisnis yang dekat juga dibentuk oleh tradisi
klientelisme dan patronase.
Hal serupa juga ditandaskan oleh MCW: “Ada anggapan keliru
yang lahir dari rahim budaya kolonial yang mencatat bahwa
pelayanan publik bergantung pada kebaikan hati pemerintah
26
BAB II Konteks: Masalah Klasik Pelayanan Publik
sehingga baik buruknya juga bergantung pada kehendak
pemerintah”. Dalam buku Melawan Diam para staf PUSSbik menulis
sebagai berikut:
Terdapat tiga entitas utama yang terlibat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu masyarakat sebagai
pengguna pelayanan, pemerintah sebagai pengambil
kebijakan (regulator dan fasilitator), serta penyedia
pelayanan publik (pemerintah dan sektor swasta). Secara
ideal, ketiga entitas tersebut semestinya memiliki relasi
pemberian/pelaksanaan mandat serta relasi akuntabilitas
pelaksanaan mandat pelayanan. Tetapi dalam realitasnya,
ketiga entitas ini kurang memahami posisi, peran, dan
relasinya. Pelayanan publik belum dipandang sebagai hak
masyarakat yang pemenuhannya menjadi kewajiban
pemerintah, tetapi selama ini lebih dipandang sebagai
‘kebaikan’ dari pemerintah.
Hubungan klientelistik dan patronase itu masih tetap terjadi
dalam dunia politik dan pelayanan publik. Dalam dunia politik setiap
individu tidak dikonstruksi sebagai warga negara secara utuh
melainkan sebagai masyarakat yang dihadapkan dengan negara,
rakyat yang dihadapkan pada penguasa atau massa yang dihadapkan
pada elite. Sebagai warga masyarakat, setiap individu memulai dan
mengakhiri hidupnya di dalam batas-batas dan kontrol negara. Setiap
individu, sebagai bagian dari rakyat, digambarkan orang kebanyakan
yang bodoh, miskin, rakus, tidak beradab, dan sebagainya, sehingga
harus selalu dibina oleh pemerintah. Mereka harus selalu patuh pada
pemerintah. Di tempat lain, rakyat selalu dimanipulasi oleh berbagai
komponen bangsa bahwa mereka bertindak atas nama rakyat. Setiap
pejabat akan selalu bilang bahwa apa yang mereka lakukan demi
kepentingan rakyat banyak, meski mereka menindas banyak individu
yang termasuk dalam bagian rakyat. Sebagai bagian dari massa,
setiap individu adalah barang mainan yang selalu dimanipulasi oleh
para elite politik untuk kepentingan politik mereka. Massa
digambarkan sebagai kerumunan anarkis yang mudah menimbulkan
keributan.
Klientelisme dan patronase dalam dunia politik berdampak serius
ke dunia pelayanan publik. Ketika terjadi monopoli pelayanan
administrasi (misalnya izin) oleh tangan birokrasi, rente dengan cara
membayar-paying (suap, pungutan liar, gratifikasi) merupakan
mekanisme instan di luar mekanisme exit dan voice. Meskipun
birokrasi pelayanan publik begitu sulit dan berbelit-belit, tetapi
27
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
hal ini mudah ditundukkan dengan hubungan klientelistik
(persahabatan maupun kekerabatan)
Klientelisme pelayanan publik antara lain disaksikan di Kota
Pekalongan, yang pada dasarnya tidak bisa lepas dari budaya
“juragan”, yang mewarnai kehidupan sehari-hari warga kota,
terutama di awal-awal ketika era otonomi daerah tiba. Di satu sisi,
pihak pemberi layanan memberi layanan seadanya tanpa dorongan
regulasi maupun peraturan perundang-undangan agar memberi
layanan yang maksimal. Ruang-ruang partisipasi masyarakat sebagai
sasaran penerima layanan masih tertutup. Di sisi yang lain, warga
menerima layanan apapun adanya. Bagi kalangan tertentu melihat
bahwa yang penting mendapatkan pelayanan cepat dan tidak
membutuhkan waktu lama, oleh karena itu ketika mengurus sesuatu
“yang penting cepat dan tidak bertele-tele, membayar berapa pun
tidak keberatan”. Bagi kalangan yang lain, yang tidak memberikan
imbalan, maka layanan apa pun yang diberikan pemberi layanan
akan diterima seperti layanan yang ketus dan lambat. Mereka juga
menganggap layanan apa pun bentuknya diterima sebagai suatu
kewajaran. Para penerima layanan tidak menyadari bahwa pelayanan
publik yang baik adalah hak bagi mereka. Cara pandang ini
mempengaruhi pelayanan publik di Kota Pekalongan terutama di
awal era otonomi daerah. Demikian tutur koordinator program:
“ ... Budaya juragan di Kota Pekalongan mempengaruhi
model-model pelayanan di birokrasi. Pelayanan dulu kalau
juragan itu yang penting mendapatkan pelayanan cepat,
tidak membutuhkan waktu lama, sehingga praktik-praktik
misalnya berkaitan dengan biaya mereka tidak memikirkan.
Ketika mereka mengurus itu, yang penting mereka dapat,
uang berapa pun besarnya diberikan. Itu budaya di birokrasi.
Sehingga penyelenggaraan pelayanan dalam hal ini birokrasi
dengan budaya itu itu mereka sudah terbiasa ... Ketika
masyarakat tidak memberi sesuatu, pemberi layanan itu
ketus, diperlambat, tapi kalau mereka memberikan sesuatu
akan cepat. Itu jadi budaya. Apa pun pelayanan yang
diberikan, ya diterima saja. Jadi ada budaya menerima
apapun pelayanannya, berapa rupiah yang harus dikeluarkan,
imbalan, tanda terimakasih, mereka lakukan ..”1
1
Wawancara Dyah Widuri dengan Koordinator Program SIAP II PATTIRO Pekalongan, 23 April 2014.
28
BAB II Konteks: Masalah Klasik Pelayanan Publik
Proses atau transfer regulasi untuk mendorong pelayanan publik
di kota membutuhkan waktu. Akhir-akhir ini persoalan di bidang
pelayanan publik masih kentara belum memihak warga masyarakat
sebagai penerima layanan sebagaimana dijamin peraturan
perundang-undangan. Di bidang pendidikan banyak pungutan liar,
jual-beli buku, besaran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) yang
tidak dilakukan melalui musyawarah. Di bidang administrasi dan
kependudukan, marak kegiatan calo, kotak amal (imbalan dari warga
yang dimasukkan di kotak di atas meja pelayanan untuk membayar
iuran tidak resmi atas pelayanan yang diterima warga), bahkan orang
dalam sendiri bermain untuk mempercepat layanan terutama bagi
warga yang mau membayar berapa pun di luar tarif resmi. Di bidang
kesehatan, diskriminasi terjadi, orang yang dekat dengan orang
dalam, baik saudara atau temannya lebih diutamakan dilayani. Orang
miskin yang datang, pemberi layanan melayani seadanya, tanpa
standar yang baku bahwa semua penerima layanan berhak menerima
layanan yang sama. Disampaikan oleh koordinator program
berkenaan dengan kondisi pelayanan publik beberapa waktu terakhir:
“ ... di bidang pendidikan, kesehatan, dan adminduk,
awalnya sama saja. Pelayanan di pendidikan masih terjadi
banyak hal yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat,
pungutan liar masih banyak, jual beli buku masih banyak,
SPP yang tidak dimusyawarahkan dengan Komite Sekolah
dan wali murid juga masih. Kemudian Adminduk itu, kotak
amal di tiap kelurahan, kemudian ada calo-calo yang
mengurus administrasi, kemudian orang dalam juga bermain
untuk proses bagaimana mendapatkan pelayanan yang cepat
itu. Kemudian di kesehatan lebih banyak diskriminasi,
misalnya siapa yang punya hubungan kedekatan dengan
birokrasi, siapa yang punya saudara pegawai, itu yang
diutamakan. Tapi jika masuk ke situ orang miskin, pertama,
mereka memberi pelayanan agak ogah-ogahan. Seakan-akan
orang yang datang itu bukan orang yang perlu dilayani..”2
Lemahnya Akuntabilitas
Akuntabilitas pelayanan publik secara umum dapat dilihat dari
sisi supply pemerintah dan demand warga. Supply pemerintah dapat
dilihat dari kualitas, kejujuran, keterbukaan, konsistensi, perilaku
pelayan, fasilitas, kepedulian, dan lain-lain. Korupsi, suap,
Wawancara Dyah Widuri dengan Koordinator Program SIAP II PATTIRO Pekalongan, 23 April 2014.
2
29
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
gratifikasi, prosedur yang berbelit-belit, pengabaian dan lain-lain
merupakan ukuran akuntabilitas yang buruk. Demand adalah
partisipasi warga dalam penyelenggaraan pelayanan publik mulai
dari kebijakan, perencanaan, pengawasan hingga pengaduan.
Kehadiran UU No. 25/2009 maupun prioritas reformasi birokrasi
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2010-2015 sebenarnya berorientasi pada penguatan akuntabilitas
dan kualitas pelayanan publik. Dalam praktik kementerian/lembaga
dan pemerintah daerah juga sudah berlomba-lomba memperbaiki
kinerja pelayanan publik, sebab kinerja yang baik bukan hanya
karena perintah regulasi tetapi secara politik para menteri, gubernur,
bupati/walikota mempunyai insentif politik di balik kinerja itu.
Tetapi monitoring dan survei banyak institusi menunjukkan bahwa
perubahan berjalan sangat lambat, dan akuntabilitas pelayanan
publik dinilai masih rendah, jauh dari harapan publik.
Bulan Januari 2014 Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi
merilis informasi bahwa masih ada sekitar 449 pemerintah
kabupaten/kota yang memiliki akuntabilitas kinerja pelayanan publik
dengan predikat di bawah baik. Dari hasil monitoring dan evaluasi
atas seluruh pemerintah kabupaten/kota seluruh Indonesia pada
tahun 2013, tercatat hanya 4 (empat) pemerintah kabupaten/kota
masuk dalam kategori baik atau bernilai B (Baik). Sekitar 449
pemerintah kabupaten/kota mendapat nilai di bawah B. Angka
tersebut terdiri dari 240 pemerintah kabupaten/kota yang mendapat
nilai D (Kurang), 55 mendapat nilai C (agak kurang) dan 154
mendapat nilai CC (cukup baik). Sementara Menteri PAN-RB, Azwar
Abubakar mengatakan kualitas pelayanan publik yang belum
membaik secara nasional itu terjadi di semua sektor, mulai dari
sektor pendidikan, kesehatan, seerta administrasi kependudukan
dan catatan sipil.
Survei KPK sejak 2007 hingga 2012 memperlihatkan bahwa Indeks
Integritas Indonesia mengalami fluktuasi, dan belum merangkak jauh
tinggi dari standar nilai 6 yang ditetapkan KPK. Pada tahun 2007,
nilai IIN sebesar 5,53 (di bawah standar nilai 6), kemudian meningkat
signifikan menjadi 6,84 pada tahun 2008, tetapi menurun lagi
menjadi 6,50 pada tahun 2009, serta merosot drastis ke angka di
bawah standar, yakni 5,42, pada tahun 2010. Nilai IIN tahun 2012
yang sedikit meningkat dibanding tahun sebelumnya cukup
menunjukkan upaya lembaga dan unit layanan dalam menciptakan
layanan publik yang berintegritas atau akuntabel. Nilai variabel
pengalaman integritas 6,89 sudah cukup didukung oleh nilai-nilai
30
BAB II Konteks: Masalah Klasik Pelayanan Publik
sub indikator yang keseluruhannya sudah lebih besar dari 6,5.
Variabel potensi integritas dengan nilai 5,34 memberikan kontribusi
negatif terhadap nilai integritas secara keseluruhan. Nilai yang lebih
rendah dari standar 6 yang ditetapkan tersebut merupakan kontribusi
dari nilai-nilai sub indikator kebiasaan pemberian gratifikasi (5,43),
keterbukaan informasi (5,84), pemanfaatan teknologi informasi
(5,39), ekspektasi petugas terhadap gratifikasi (5,98), perilaku
pengguna layanan (5,11), tingkat upaya anti korupsi (3,02) dan
mekanisme pengaduan masyarakat (3,87). Karena itu “rapor merah”
merupakan predikat untuk upaya pemberantasan korupsi dan
pengaduan masyarakat.
Sumber: Direktorat Penelitian dan Pengembangan, Kedeputian Bidang Pencegahan Komisi
Pemberantasan Korupsi, Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2012, Jakarta: KPK, 2013.
Pada tahun 2013, KPK juga melakukan survei Indeks Integritas
Daerah (IID) tahun 2012 di sejumlah 60 pemerintah kabupaten/kota,
dengan total responden 5.640 orang. Seperti terlihat dalam tabel
2.2 nilai Indeks Integritas Daerah (IID) masih berada di bawah IIN,
yaitu dengan nilai 6.32. Angka ini merupakan akumulasi dari nilai
pengalaman integritas sebesar 6,82 dan potensi integritas yang
berada di bawah standar, yakni sebesar 5,30. Dari berbagai indikator
dan sub indikator, angka tertinggi diberikan pada lingkungan kerja,
yakni sebesar 7,14, dan sub indikator kebutuhan pertemuan di luar
prosedur, yaitu mencapai 9,56. Angka yang tertinggi menunjukkan
bahwa lingkungan kerja diciptakan sebaik mungkin, untuk
menghindari pertemuan di tempat lain dalam rangka gratifikasi.
Tetapi pelayanan publik daerah tidak didukung dengan sistem
administrasi yang memadai, dengan nilai di bawah standar (nilai
6), yakni sebesar 5,92. Keterbukaan informasi dan penggunaan
teknologi dapat diberi predikat “lampu kuning”. Sedangkan predikat
“rapor merah” jatuh pada indikator pencegahan korupsi (3,09),
dengan rincian tingkat upaya anti korupsi sebesar 2,78 (nilai yang
paling rendah dari semua indikator dan sub indikator), dan
mekanisme pengaduan masyarakat memperoleh nilai 4,02.
31
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Sumber: Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Bidang Pencegahan Komisi
Pemberantasan Korupsi, Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2012, Jakarta: KPK, 2013.
Tabel 2.3 melengkapi posisi IID daerah, khususnya berdasarkan
hasil survei di 60 daerah kabupaten/kota. Dari 60 daerah, jumlah
terbesar (21 daerah) adalah daerah yang mempunyai posisi rendah/
buruk dalam IID, yaitu berada di bawah rata-rata (nilai 6). Sejumlah
20 daerah menempati posisi tengah/cukup, dan paling sedikit, 19
daerah, berpredikat IID baik. Dari tabel itu juga terlihat bahwa tidak
ada satupun kabupaten yang masuk pada predikat baik.
Enam daerah Program SIAP, kecuali Sinjai, juga menjadi lokasi
survei KPK tersebut. Hanya Kota Surakarta yang mempunyai poisisi
IID baik/atas. Kota Malang, Pekalongan dan Kupang berada pada
posisi tengah. Yang memprihatinkan, Kota Bandar Lampung berada
pada posisi IID rendah/buruk.
32
BAB II Konteks: Masalah Klasik Pelayanan Publik
Penelitian dengan hasil serupa sebenarnya juga muncul dari LSM.
Hasil kajian PUSSbik (2013), misalnya, menyatakan bahwa terdapat
lima hal yang menjadi keluhan masyarakat Bandar Lampung terhadap
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh rumah sakit baik
pemerintah maupun swasta, dan puskesmas. Pertama, warga
mengeluhkan tingginya biaya pengobatan. Kedua, sikap perilaku
dokter, paramedis, dan petugas rumah sakit/puskesmas yang tidak
menyentuh. Ketiga, keterbatasan sarana dan prasarana kesehatan.
Keempat, warga mengeluhkan prosedur administrasi yang berbelitbelit dan tidak adanya kepastian waktunya. Kelima, persyaratan
yang dibutuhkan pihak layanan cenderung menyusahkan. Dari kelima
keluhan di atas penyelenggara pelayanan kesehatan yang paling
banyak mendapat komplain masyarakat adalah Rumah Sakit Umum
Daerah, puskesmas dan rumah sakit swasta.
Budaya Diam
Selama ini, dalam pandangan saya, masyarakat Indonesia dapat
digolongkan menjadi tiga jika dilihat dari pengetahuan dan
kebutuhan mereka terhadap negara. Pertama, masyarakat yang sama
33
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
sekali tidak mengetahui negara, Indonesia dan juga pelayanan publik.
Masyarakat yang hidup di laut, di pulau terpencil, di pelosok
pedalaman maupun yang hidup di hutan, sama sekali tidak
mengetahui Indonesia. Kedua, warga masyarakat kebanyakan yang
sangat membutuhkan negara. Mulai dari fakir miskin, orang miskin,
orang hampir miskin, hingga PNS dan politisi termasuk dalam kategori
ini. Mereka sangat membutuhkan KTP untuk keperluan banyak hal.
Mereka hidup bergantung pada negara, baik melalui gaji maupun
proyek pemerintah. Mereka yang tidak mampu membutuhkan
pendidikan dan kesehatan gratis yang disediakan oleh negara. Banyak
di antara mereka yang membutuhkan Surat Keterangan Miskin dan
senang memperoleh Subsidi Langsung Tunai dari negara. Ketiga,
warga masyarakat yang tidak butuh negara. Mereka adalah orangorang berduit dan sibuk dengan beragam aktivitas pekerjaan. Bagi
mereka, negara selalu mengatur dan mengganggu kehidupan mereka.
sebisa mungkin mereka menghindari relasi atau pertemuan dengan
aparat negara. Mereka mampu melakukan exit dari pelayanan publik
yang disediakan negara dengan cara membeli (pay) pelayanan yang
disediakan secara berkualitas dan cepat oleh swasta. Mereka bisa
membayar calo atau biro jasa ketika hendak memperoleh KTP, SIM,
STNK, Akta Tanah, Akta Kelahiran, surat izin investasi, dan
sebagainya.
Negara biasa membiarkan atau mengisolasi terhadap kelompok
pertama. Para pejabat publik tidak ambil pusing dengan tindakan
kelompok ketiga yang penting mereka tetap membayar pajak.
Sementara negara tampak sangat sibuk mengurus dan melayani
kelompok masyarakat kebanyakan yang membutuhkan negara.
Sebagian besar kelompok kedua ini tidak mampu mencari pelayanan
alternatif (exit) sebagaimana dilakukan oleh kelompok ketiga.
Sebagian kecil kelompok kedua mampu melakukan voice dalam
bentuk pengaduan, baik lewat telpon, SMS, media atau mendatangi
langsung unit pelayanan. Tetapi tentu sebagian besar warga
masyarakat tidak mempunyai pengetahuan, kemampuan dan
keberanian melakukan voice, sehingga mereka hanya mampu
merawat loyalty, alias diam dan menerima keadaan.
Sikap loyalty tercermin dalam bentuk sikap masyarakat yang
diam, tidak tahu, apatis serta tidak melakukan pengaduan pelayanan
publik. Survei integitas sektor publik yang digelar KPK di atas
menunjukkan bahwa mekanisme dan tradisi pengaduan masyarakat
berpredikat “rapor merah”. Data survei lembaga lain dari tahun ke
tahun juga konsisten. Penelitian YAPPIKA di 7 kabupaten pada tahun
34
BAB II Konteks: Masalah Klasik Pelayanan Publik
2006 dapat diambil sebagai contoh. Di semua kabupaten lokasi
penelitian ditemukan bahwa sebagian besar responden tidak pernah
menyampaikan keluhan kepada unit layanan masyarakat (Puskesmas,
sekolah dan pemerintah desa) untuk ketidaknyamanan layanan yang
mereka terima di bidang kesehatan, pendidikan dan proses
administrasi pembuatan KTP. Temuan ini menunjukkan beberapa
masalah, pertama, tidak ada mekanisme pengaduan yang disediakan
oleh unit pelayanan publik/penyelenggara atau kesadaran rendah
dari masyarakat yang berkaitan dengan hak layanan sipil yang
membuat mereka memilih untuk tidak melakukan tindakan bahkan
untuk layanan yang sangat buruk. Kedua, masyarakat tidak
memahami atau terinformasikan dengan baik mengenai prosedur
untuk menyampaikan keluhan. Ketiga, masyarakat meragukan jika
keluhan mereka akan diurus atau diselesaikan oleh unit layanan
publik.
Enam tahun kemudian, 2012, survei KAP (Knowledge Attitude
Practice) pada Program SIAP II yang digelar oleh YAPPIKA,
menunjukkan bahwa tradisi pengaduan masyarakat terhadap
pelayanan publik belum berubah secara signifikan. Di sektor
adminduk, data menunjukkan pengaduan permasalahan adminduk
paling besar dilakukan oleh responden di Surakarta. Sementara
pengaduan paling kecil berada di Sinjai. Pada pengurusan akta
kelahiran di Malang sebanyak 40% responden pernah mengadukan
masalah, di Pekalongan sebanyak 20% responden pernah
mengadukan masalah, di Sinjai sebanyak 2,7% responden pernah
mengadukan masalah, dan di Surakarta (33,3%). Sementara pada
pengurusan kartu keluarga, di Malang sebanyak 33,% pernah
melakukan pengaduan, di Pekalongan 18,2%, di Sinjai 3%, di Surakarta
30%. Sedangkan pada pengurusan kartu tanda penduduk, sebanyak
21,1% responden di Malang pernah mengadukan permasalahannya,
11,1% di Pekalongan, 3% di Sinjai, dan 63,6% di Kota Surakarta.
Mendatangi tempat pelayanan adminduk untuk mengadukan
permasalahan yang dihadapi merupakan pilihan mayoritas
responden. Hanya sedikit responden yang menggunakan surat dan
telepon untuk mengadukan permasalahan yang dihadapi. Meski
beragam untuk setiap jenis pelayanan, secara umum tanggapan
instansi pelaksana terhadap pengaduan relatif cukup baik. Secara
umum responden menilai respons instansi yang diberikan terhadap
pengaduan mampu menyelesaikan permasalahan yang dialami. Di
Malang respons instansi mampu menyelesaikan permasalahan pada
pelayanan akta kelahiran mendapatkan respons penuh (100%), kartu
35
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
keluarga (75%), dan KTP (50%). Di Pekalongan respons warga mampu
menyelesaikan masalah pada akta kelahiran mendapatkan respons
penuh (50%), kartu keluarga (50%), dan KTP (50%). Sementara di
Sinjai respons mampu dinilai mampu menyelesaikan permasalahan
akta kelahiran sebanyak 37%; sebanyak 66,7% permasalahan kartu
keluarga dinilai selesai dan menyelesaikan permasalahan KTP
sebanyak 44,4%. Sedangkan di Surakarta untuk akta kelahiran
sebanyak 50% permasalahan dinilai selesai, sebanyak 66,7%
responden menilai permasalahannya pada kartu selesai dengan
respons dan 25,0% responden merasa selesai masalah pada
pengurusan KTP.
Ketidaktahuan mengenai tata cara merupakan alasan utama
responden tidak mengadukan permasalahan yang dihadapi dalam
pelayanan. Jawaban paling banyak yang diberikan responden di tiga
daerah (Malang, Pekalongan dan Sinjai) adalah karena tidak tahu
tata cara pengaduan. Sementara itu, alasan paling banyak yang
disampaikan responden Surakarta adalah karena tidak akan
menyelesaikan masalah (37,5%). Karena itu dapat dikatakan bahwa
rendahnya pengaduan para responden di Malang, Pekalongan dan
Sinjai karena pengetahuan yang rendah, sementara di Surakarta
karena faktor apatisme atau ketidakpercayaan. Dengan
ketidaktahuannya tersebut maka masyarakat tidak dapat berperan
aktif dalam mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik. Di sisi
lain, masyarakat juga masih enggan untuk memberikan kritik saran
maupun pengaduan ketika mendapatkan pelayanan yang tidak
semestinya.
Di sektor pendidikan, mayoritas responden hampir tidak pernah
melakukan pengaduan. Hanya 44% (SD/MI Negeri), 37,3% (SMP/MTs
Negeri) 9% untuk SD/MI dan SMP/MTs swasta yang pernah melakukan
pengaduan. Cara yang ditempuh responden dalam menyampaikan
pengaduan adalah datang langsung (rata-rata di semua jenjang
sebesar 89%), mengirim surat (10,17%) dan lainnya (3.2%) misalnya
dengan menyampaikan kepada DRPD. Respon yang diberikan oleh
instansi pelayanan dalam menanggapi pengaduan secara umum
cukup rendah. Ketidaktahuan tentang bagaimana cara melakukan
pengaduan merupakan alasan paling banyak kenapa responden tidak
mengadukan masalah pelayanan publik yang dihadapinya. Dalam
hal keterlibatan responden dalam perencanaan dan pengawasan
penyelenggaraan pelayanan pendidikan, secara umum masih sangat
rendah. Hanya 10% responden yang pernah terlibat dalam
perencanaan dan 5,1% yang pernah melakukan pengawasan.
36
BAB II Konteks: Masalah Klasik Pelayanan Publik
Ketidaktahuan mengenai tata cara perencanaan dan pengawasan
merupakan alasan paling utama.
Di sektor kesehatan, tercatat hanya 7,4% responden yang pernah
mengadukan permasalahan yang diberikan RSUD dan hanya 6,36%
responden yang pernah mengadukan permasalahan pelayanan yang
diberikan Puskesmas. Dalam melakukan komplain, mayoritas
responden memilih datang langsung. Meskipun demikian, beberapa
cara lain juga ditempuh seperi mengirim surat, telepon dan lainnya
seperti kepada elit eksekutif setempat, DPRD maupun langsung
kepada Kepala Daerah. Namun, dari pengaduan yang dilakukan
ternyata sangat minim mendapatkan respons. Pihak RSUD hanya
5,17% memberikan respons sedangkan Puskesmas hanya 4,95%.
Minimnya pengaduan yang dilakukan oleh responden tidak lepas dari
ketidaktahuan mereka tentang tata cara mengadu dan persepsi
responden yang merasa bahwa pengaduan yang disampaikan tidak
akan menyelesaikan masalah pelayanan yang dihadapi, bahkan ada
responden yang masih mempunyai ketakutan ketika berhadapan
dengan birokrasi. Situasi keterlibatan masyarakat dalam
perencanaan dan pengawasan pelayanan kesehatan juga masih
sangat rendah. Hanya 4,9% yang mempunyai pengalaman terlibat
dalam forum perencanaan dan hanya 4,64% responden yang
mempunyai pengalaman terlibat dalam pengawasan pelayanan
kesehatan. Ketiadaan informasi tentang tata cara masyarakat dalam
berpartisipasi merupakan salah satu penghalang keterlibatan
masyarakat dalam perencanaan dan pengawasan pelayanan
kesehatan.
Di sektor kelistrikan, mayoritas responden memilih tidak
mengadukan masalah yang dihadapi kepada instansi terkait. Namun
demikian, jika melihat persentasenya, maka perbandingan yang
mengadu dan tidak mempunyai selisih relatif kecil. Sebagai contoh,
untuk langganan lama, 54,5% pernah mengadu dan 45,5% tidak.
Mayoritas pengguna layanan listrik dalam melakukan pengaduannya
lebih memilih datang langsung dan telepon. Respon yang diterima
pengguna layanan saat menyampaikan pengaduan cukup baik, antara
50%-66,7%. Namun demikian, dari respon tersebut masalah yang
dihadapi hanya mampu diselesaikan paling tinggi 50%. Hal ini
menunjukkan waktu penyelesaian masalah masih sangat rendah.
Responden pengguna layanan listrik yang memilih tidak melakukan
pengaduan disebabkan karena tidak mengetahui cara pengaduannya
(75%), sisanya karena menganggap tidak akan menyelesaikan masalah
dan takut. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pelayanan
37
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
listrik juga sangat rendah, hanya 0,80% saja yang mempunyai
pengalaman terlibat. Ketiadaan informasi merupakan penghalang
keterlibatan masyarakat dalam pelayanan listrik. Hal senada juga
terjadi pada pengalaman responden dalam pengawasan pelayanan
listrik. Hanya 3,3% yang pernah melakukan pengawasan.
Keterbatasan informasi menjadikan keterlibatan dalam pengawasan
menjadi rendah.
Di bidang perizinan, pengaduan responden masih cukup tinggi.
Rata-rata 45% responden mengadukan permasalahan perizinan.
Datang langsung kepada instansi terkait merupakan cara pengaduan
yang paling banyak dilakukan responden. Selain itu, ada juga
responden yang mengadukan permasalahannya kepada DPRD, Dinas
dan Kepala Daerah. Lebih dari 50% pengaduan direspon oleh instansi
terkait. Secara umum permasalahan yang diadukan oleh responden
mampu diselesaikan. Mayoritas responden menilai bahwa
ketidaktahuan mengenai tata cara pengaduan merupakan alasan
terbesar kenapa mereka tidak mengadukan permasalahan yang
dalam perizinan. Keterlibatan responden pada perencanaan
pelayanan perizinan masih sangat rendah. Hanya 0,3% responden
yang mempunyai pengalaman terlibat dalam perencanaan dan
selebihnya, sebanyak 99,7% responden menyatakan tidak pernah
terlibat dalam perencanaan. Ketiadaan informasi merupakan salah
satu penghalang keterlibatan masyarakat dalam perencanaan
pelayanan perizinan. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan
pelayanan perizinan juga sangat rendah. Hanya 6,7% yang
menyatakan pernah terlibat. Anggapan bahwa pengawasan bukan
tanggung jawab masyarakat merupakan alasan paling banyak kenapa
responden tidak melakukan pengawasan.
Penilaian umum responden terhadap penyelenggaraan pelayanan
di semua sektor yang disurvei memang menunjukkan fakta positif.
Namun penilaian tersebut terbatas pada aspek prosedur pelayanan,
kenyamanan lingkungan dan keramahan petugas. Aspek lain seperti
transparansi, akuntabilitas dan perlakuan diskriminatif masih
mendapatkan penilaian negatif. Padahal ketiga aspek terakhir
tersebut seharusnya merupakan bagian dari prosedur pelayanan. Di
sisi lain, tingkat pengetahuan tentang kebijakan pelayanan publik
dan praktik partisipasi masih sangat rendah. Situasi ini dapat
dimaknai bahwa penilaian positif oleh responden tidak berdasarkan
pada tingkat pengetahuan yang cukup akan hak dan kebijakan
pelayanan publik serta tidak didasari pada praktik penggunaan ruang
partisipasi pelayanan publik yang maksimal.
38
BAB II Konteks: Masalah Klasik Pelayanan Publik
Pengaduan warga terhadap pelayanan publik itu sebenarnya telah
menjadi jantung perhatian Ombudsman yang berada di Jakarta dan
semua provinsi. Rendahnya pengaduan masyarakat yang masuk
kepada penyedia layanan maupun Ombudsman Republik Indonesia
(ORI) disebabkan masih rendahnya hubungan permintaan (demand)
dan penawaran (supply) dari masyarakat dan penyedia layanan.
Masyarakat bersikap pasif (diam) dalam memberikan pengaduan
perbaikan kualitas pelayanan publik. Pertama, disebabkan oleh
asumsi bahwa perbaikan yang akan muncul tidak terlalu banyak
berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Kedua, munculnya asumsi
bahwa kualitas pelayanan yang masih di bawah rata-rata tidak akan
mengganggu hidup mereka. Ketiga, sifat skeptis dan pesimis warga
masyarakat kepada penyedia dan penyelenggara pelayanan publik
dapat menjadi sebab minimnya pengaduan masyarakat menuju
pelayanan publik.
39
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
40
Pembelajaran Pelaksanaan Program SIAP II
di 6 Kabupaten/Kota
BAB III
Komunitas Warga
D
alam setiap ranah (kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan,
desa) selalu hadir beragam institusi lokal sebagai wadah ikatan
sosial bagi masyarakat setempat. Pertama, institusi asli
(indigenous institutions) adalah organisasi, pranata maupun tradisi
asli yang dibentuk secara mandiri oleh komunitas lokal di masa lalu
yang kemudian diwariskan pada generasi berikutnya secara
berkelanjutan. Mulai dari institusi adat hingga gotong royong
termasuk dalam jenis institusi asli ini. Pada umumnya institusi asli
berorientasi pada perawatan harmoni sosial dan keberlanjutan
pengelolaan sumber daya lokal. Karena itu isu-isu publik tidak masuk
dalam radar institusi asli, kecuali hanya memperhatikan isu-isu
komunal atau kepentingan masyarakat setempat.
Kedua, institusi parokhial, atau sering disebut paguyuban, yang
dibentuk sendiri oleh masyarakat setempat atas dasar kesamaan
kerabat, agama, suku, aliran dan sebagainya. Arisan, paguyuban
kerabat, pengajian, ikatan keluarga atau kesukuan di daerah
perantuan, perkumpulan agama tertentu merupakan contoh konkret
bentuk institusi parokhial. Seperti halnya institusi asli, institusi
parokhial ini tidak memperhatikan isu-isu publik dan kepentingan
warga di hadapan negara. Dalam literatur modal sosial, institusi
parokhial ini disebut sebagai social bonding. Institusi social bonding
ini tidak menaruh perhatian pada isu-isu publik yang mampu
menembus batas-batas parokhial yang sempit, melainkan merawat
dan memperjuangkan kepentingan mereka sendiri. Para anggotanya
mempunyai hubungan sosial yang sangat dekat dan intim untuk
kepentingan saling tolong menolong sesama anggota dan sekaligus
menjadi benteng ketika berhadapan dengan kelompok lain yang
berbeda. Institusi parokhial bersifat inklusif dan positif ke dalam
bagi para anggotanya, tetapi bersifat eksklusif dan negatif bagi orang
atau kelompok lain yang berbeda.
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Portes dan Landolt (2000), misalnya, menegaskan bahwa social
bonding itu mengandung sejumlah sisi gelap: (a) eksklusi terhadap
orang lain; (b) klaim atas anggota kelompok; (c) pembatasan
terhadap kebebasan individu; dan (d) mengabaikan norma, termasuk
norma hukum. Studi Weijland (1999) menemukan bahwa hubungan
sosial (social bonding) di berbagai komunitas lokal di Indonesia
biasanya dimaknai sebagai “hubungan patronase dengan hirarkhi
sosial-politik, kepemilikan tanah, dan ikatan keluarga”. Hubungan
sosial semacam ini tentu bukanlah modal sosial yang mengutamakan
kepercayaan, jaringan inklusif dan tanggung jawab, melainkan
mengandalkan hubungan yang eksklusif, tertutup bahkan merusak
hukum. Tindakan merusak hukum ini antara lain hadir dalam bentuk
pemberian izin maupun kontrak kerja yang menyimpang atau
memotong ketentuan dan prosedur resmi. KKN (korupsi, kolusi dan
nepotisme) dalam pengadaan barang dan jasa, perizinan maupun
kontrak kerja, tentu berangkat dari ikatan sosial semacam ini. Bukan
hanya KKN, social bonding yang eksklusif mudah menyebabkan
konflik beragam kelompok atau komunitas parokhial (agama, suku,
kekerabatan, aliran).
Ketiga, institusi korporatis yang dibentuk secara seragam oleh
pemerintah sebagai kepanjangan tangan untuk pelayanan warga
maupun sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
PKK dan Posyandu merupakan jenis institusi korporatis. Institusi ini
elitis dan hirarkhis, tetapi sudah mulai memperhatikan isu-isu publik
dan kepentingan warga, seperti pendidikan dan kesehatan. Berbeda
dengan institusi parokhial yang eksklusif, institusi korporatis lebih
inklusif secara horizontal, artinya institusi ini menjadi jembatan
sosial yang menembus batas-batas kekerabatan, keagamaan maupun
kesukuan.
Setiap institusi supralokal seperti pemerintah, perguruan tinggi,
lembaga-lembaga internasional, perusahaan maupun NGOs selalu
berkepentingan terhadap institusi lokal, setidaknya sebagai arena
untuk menyemai nilai-nilai yang diyakini dan sebagai wadah saluran
program. NGOs, sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil, pada
umumnya menghormati dan tidak menyentuh institusi asli maupun
institusi parokhial, kecuali NGOs yang menaruh perhatian pada isuisu adat. Pada masa Orde Baru cenderung menghindari institusi
korporatis bentukan pemerintah karena karakternya yang
sentralistik, elitis dan tidak demokratis, seraya memfasilitasi
pembentukan institusi/organisasi baru yang mencerminkan
kepentingan rakyat dan bersifat demokratis. Organisasi baru seperti
44
BAB III Komunitas Warga
kelompok nelayan, petani, buruh, usaha kecil, korban kekerasan
dan sebagainya merupakan kaum marginal yang dipinggirkan oleh
pemerintah dan tidak terakomodasi ke dalam institusi-institusi
korporatis.
Pada masa reformasi, NGOs masih tetap mengabaikan institusi
korporatis. PKK maupun Posyandu merupakan contoh terkemuka.
Namun ketika gerakan kesetaraan gender dan pembangunan
kesehatan semakin menguat satu dekade silam, NGOs mulai melirik
keberadaan PKK dan Posyandu bentukan pemerintah. NGOs mulai
dengan pengorganisasian dan pendidikan terhadap kaum perempuan,
yang kemudian mereka merebut PKK dan Posyandu dari tangan
pemerintah lokal dan elite lokal. Kaum perempuan itu tumbuh
menjadi aktor-aktor lokal yang kritis, sukarela, aktif dan peduli
menjadi kader-kader terdepan dalam PKK dan Posyandu. Kehadiran
aktor-aktor baru dari kaum marginal itu membuat PKK dan Posyandu
tidak hanya menjadi institusi korporatis kepanjangan tangan
pemerintah, melainkan menjadi institusi sipil yang
merepresentasikan kepentingan kaum perempuan untuk
memperjuangkan hak ibu hamil dan balita. PKK dan Posyandu juga
menjadi institusi interseksi antara kepentingan program-program
pemeritah (supply) dan kepentingan kaum perempuan (demand).
Meskipun institusi korporatis menjadi arena kontestasi yang
dianggap penting oleh NGOs, tetapi mereka tetap mewarnai karakter
institusi sipil dalam institusi korporatis agar institusi bentukan
pemerintah ini menjadi inklusif, demokratis dan partisipatoris. Dalam
praktik, NGOs lebih banyak menginisiasi pembentukan institusi sipil
baru, baik komunitas warga maupun community based organisations
(CBOs), yang lebih inklusif dan demokratis, sebagai basis partisipasi
dan aksi kolektif warga.
Mengorganisir dan Mendidik Warga
Pengetahuan dan kekuatan menjadi basis bagi warga untuk
memperjuangkan hak dan kepentingan mereka dalam pelayanan
publik. Hanya warga yang well informed, kritis, proaktif dan
terorganisir yang mampu memperjuangkan kepentingannya dan
menantang akuntabilitas pelayanan publik. Sejumlah literatur juga
telah menunjukkan bahwa daripada individual voice yang sendirian,
collective voice atau organized voice lebih mampu mengadvokasi
penyedia layanan menjadi lebih responsif (M. A. Rodwin, 1998; K.
Dowding, P. John, T. Mergoupis, and M. Van Vugt, 2000; D. W. Light,
45
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
R. Castellblanch, P. Arredondo, and D. Socolar, 2003). “Warga
masyarakat yang terorganisir ke dalam kelompok-kelompok yang
padu”, demikian ungkap Francis Fukuyama (2005), “jauh lebih
mungkin menuntut dan menerima pertanggungjawaban ketimbang
masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang tidak
terorganisir”. Keyakinan ini serupa dengan sebuah peribahasa, ribuan
semut mampu mengangkut bangkai gajah yang besar.
YAPPIKA dan OMS mitra di enam daerah mempunyai pembacaan
yang sama, bahwa warga yang tidak memiliki informasi, tidak
mengetahui dan tidak memiliki kesadaran akan hak-hak warga, serta
berjalan sendiri (tidak terorganisir), tidak mempunyai pengetahuan
dan kekuatan yang memadai untuk menantang akuntabilitas
pelayanan publik. Karena itu mereka berkeyakinan bahwa
akuntabilitas pelayanan publik bisa dicapai dengan perjuangan warga
yang tahu, terdidik, kritis, kuat, terorganisir dan aktif. Buku Melawan
Diam yang ditulis oleh PUSSbik Bandar Lampung memperlihatkan
sebuah keyakinan bahwa “budaya diam” harus dilawan dengan
kebangkitan dan aktivisme warga.
Sebelum menggelar pendidikan politik, para OMS mitra di enam
daerah memulai dengan pengorganisasian komunitas warga
(community based organization), yang mengonsolidasi warga secara
individual menjadi kolektivitas warga. Melalui pengorganisasian,
warga mengalami transformasi menjadi masyarakat sipil. Komunitas
warga itu bukan hanya menjadi saluran Program SIAP, tetapi juga
menjadi basis organisasi warga untuk memperjuangkan hak dan
kepentingan mereka.
Dalam pengorganisasian, enam OMS di enam daerah
memanfaatkan civil institutions yang sudah ada, melanjutkan
komunitas warga yang telah dibentuk dan didampingi sebelumnya,
serta membentuk komunitas warga yang baru. Setiap mitra
mempunyai komunitas warga dampingan, antara 12 (dua belas)
sampai 17 (tujuh belas) organisasi. Komunitas warga itu sangat
beragam sehingga sulit dipetakan. Namun saya mencoba memetakan
komunitas warga dengan membuat tipologi yang saya dasarkan pada
dua variabel, yaitu organisasi dan isu atau kepentingan. Organisasi
mempunyai kategori lemah (sempit, cair, longgar, tidak punya
identitas, jaringan terbatas) dan kuat (ikatan solid, basis dan
identitas jelas, jaringan bisa luas). Isu atau kepentingan mempunyai
kategori lemah (memiliki isu atau kepentingan yang beragam dan
tidak jelas). Bagan 3.1 menyajikan peta tipologi empat komunitas
warga berdasar pada variabel organisasi dan isu/kepentingan
tersebut.
46
BAB III Komunitas Warga
Kuadran I adalah komunitas warga berbasis wilayah. Wadah ini
memiliki anggota komunitas yang terdiri dari beragam identitas dan
profesi dalam satu wilayah, seperti RW, desa, kelurahan. Dalam
pandangan saya, komunitas ini adalah transisional, dari institusi
komunal-parokhial menuju institusi sipil. Mereka belum mampu
beranjak jauh ke institusi sipil, sebab ikatan ketetanggaan masih
kuat, yang memudahkan mereka untuk melakukan pengorganisasian.
Mereka inklusif di dalam wilayah, tetapi belum inklusif secara
eksternal. Karena itu, meskipun pengorganisasian wadah ini lebih
mudah, tetapi organisasi komunitas wilayah ini masih lemah. Isu
dan kepentingan mereka juga sangat beragam, sehingga tidak
mencerminkan kepentingan yang khusus, spesifik dan karena itu
kepentingan belum well-organized.
Kuadran II adalah komunitas warga berbasis identitas. Wadah
ini dibentuk karena kesamaan identitas untuk memudahkan
pengorganisasian dan memperkuat ikatan sosial, seperti komunitas
perempuan, komunitas mahasiswa hijau, hingga komunitas berbasis
organisasi keagamaan tertentu. Komunitas ini mempunyai organisasi
yang lebih solid karena kesamaan identitas itu, tetapi memiliki isu/
kepentingan yang beragam dan fragmented. Jika organisasi bersifat
elitis, maka isu/kepentingan yang dibawa juga elitis, tergantung
pada preferensi pemimpin organisasi.
Kuadran III adalah komunitas warga berbasis isu. Ciri utama
komunitas warga berbasis isu adalah memiliki isu/kepentingan yang
khusus dan fokus yang mempersatukan beragam aktor yang peduli
pada isu tersebut. Orang yang bergabung dalam organisasi ini
melintasi batas-batas parokhial, identitas dan teritorial. Namun
organisasi komunitas warga berbasis isu umumnya bersifat cair,
longgar, dan lemah (kurang solid). Karena cair dan longgar itu, orang
yang bergabung dalam komunitas itu on and off alias come and go.
Ketika melakukan aksi kolektif, komunitas warga ini hanya
digerakkan oleh segelintir orang yang elitis dan tidak masif.
47
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Kuadran IV adalah komunitas warga berbasis kepentingan.
Organisasi ini dibangun secara inklusif atas dasar kesamaan profesi
dan kepentingan tertentu, dalam rangka memperjuangkan right and
interest mereka di hadapan negara. Kesamaan profesi dan
kepentingan membuat organisasi komunitas warga ini lebih spesifik,
fokus, jelas serta berjaringan luas dan lebih kuat. Komunitas petani,
buruh, nelayan, usaha kecil, merupakan contoh komunitas berbasis
kepentingan ini. Tetapi kalau komunitas kepentingan ini terbatas
pada wilayah tertentu, maka organisasi mereka juga tidak akan kuat
dan besar.
Atas dasar tipologi itu, saya mengidentifikasi posisi setiap
komunitas warga dampingan Program SIAP II, sebagaimana tersaji
dalam tabel 3.1. Sebagian besar komunitas warga dampingan di
enam daerah termasuk dalam tipe komunitas warga berbasis wilayah,
yang umumnya berada di wilayah desa/kelurahan maupun
kecamatan. Komunitas warga berbasis wilayah ini dimaksudkan untuk
memudahkan pengorganisasian warga karena kedekatan para
anggota komunitas, sambil melakukan transformasi dari komunitas
parokhial menjadi komunitas sipil yang memiliki tradisi baru, yakni
membicarakan, mendiskusikan dan melakukan pengaduan pelayanan
publik.
48
BAB III Komunitas Warga
Di enam daerah hadir sejumlah kecil komunitas warga berbasis
identitas tertentu, seperti Komunitas Serikat Perempuan Bandar
Lampung, Nahdliyin Center, Forum Silaturahmi Warga Nahdliyin
Surakarta, Komunitas Green Student, Komunitas Perempuan Al
Khoiriyah anggota Fatayat NU Kota Pekalongan. Persatuan Tuna
Netra Indonesia di Malang sebenarnya mengandung unsur identitas
yang kuat, tetapi kepentingan mereka jauh lebih kuat daripada
identitas itu, sehingga saya masukkan ke dalam komunitas warga
berbasis kepentingan. Komunitas identitas ini sudah ada sebelum
Program SIAP hadir, sehingga OMS mitra memanfaatkan dan masuk
ke ranah komunitas, seraya memasukkan isu pelayanan publik ke
ranah kegiatan mereka. Komunitas identitas tidak melakukan
penolakan atas infiltrasi isu pelayanan publik dari OMS mitra ini,
mereka dengan senang hati mengangkat isu-isu pelayanan publik,
sebab hal ini juga merupakan kepentingan umat sebagai warga
Indonesia.
Di setiap kota juga hadir komunitas warga berbasis kepentingan,
meskipun tidak sebanyak komunitas warga berbasis wilayah. Sebagai
contoh adalah Komunitas Perempuan Buruh Nelayan, Komunitas
Buruh Peduli Pelayanan Publik, Forum Komunikasi Keluarga Becak,
Forum Komunikasi Kader Posyandu, Jaringan Perempuan Usaha Kecil,
Persatuan Tuna Netra Indonesia. Mereka dibentuk karena kesamaan
profesi dan kepentingan, menjadi institusi sipil yang melampaui
institusi parokhial, yang memperjuangkan hak dan kepentingan
mereka di hadapan negara. Karakter organized interest muncul dari
49
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
komunitas ini. Meskipun mereka telah memiliki kepentingan sendiri,
tetapi LSM pendamping juga memasukkan isu pelayanan publik ke
dalam agenda kegiatan mereka.
Enam LSM mitra sadar betul tentang pengorganisasian
kepentingan warga, yang membuat mereka membuat organisasi yang
lebih besar dan lebih luas, sebagai bentuk jaringan dari komunitas
warga berbasis wilayah, identitas dan kepentingan. Ciri utama
komunitas besar melampaui (beyond) atau scaling up dari lokal ke
kabupaten/kota ini berbentuk organisasi masyarakat sipil yang
berbasis pada isu. Di Bandar Lampung hadir Forum Komunikasi
Masyarakat Peduli Pelayanan Publik, Komunitas Mahasiswa Peduli
Pelayanan Publik maupun Masyarakat Peduli Pelayanan Publik.
Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta hadir di Surakarta, Forum
Peduli Masyarakat Sipil (FPMS) hadir di Sinjai, Freepublik hadir di
Kupang, Forum Masyarakat Peduli Pendidikan hadir di Malang.
Gerakan ini membuat ruang publik skala daerah menjadi lebih
bergetar (vibrant), yang menantang akuntabilitas dan responsivitas
pemerintah daerah, tetapi tantangannya adalah kecenderungan
elitisme. Organisasi masyarakat sipil ini hanya digerakkan oleh
segelintir orang, yang serig dipertanyakan mereka
merepresentasikan kepentingan siapa.
Tipe komunitas warga itu sebenarnya memiliki kemiripan dengan
tipe konstituensi dalam representasi politik. Konstituensi sebagai
bentuk hubungan antara konstituen dengan wakil selalu
menghadirkan pertanyaan: siapa konstituen setiap wakil rakyat,
bagaimana wakil menentukan dan berhubungan dengan konstituen,
bagaimana sistem konstituensi yang dibangun oleh sebuah negara.
Dalam demokrasi prosedural, konstituensi elektoral menjadi dasar
pembentukan konstituensi, yakni pengelompakan dimana suara
warga dihitung berdasarkan hasil pemilihan umum (Andrew Rehfeld,
2005). Melissa Williams (1998) menilai bahwa konstituensi elektoral
ini adalah bentuk konstituensi yang sangat sempit karena hanya
berbicara tentang hubungan antara pemilih dan wakil-wakilnya
dalam pemilihan umum. Lebih dari sekadar konstituensi elektoral,
Kitschelt et. al. (1999) menegaskan bahwa konstituensi mengandung
tiga elemen penting: proteksi terhadap hak-hak dan kepentingan
kelompok atau organisasi rakyat; merepresentasikan kepentingan
lokal yang dimarginalkan oleh kepentingan nasional; dan mendidik
keahlian atau keterampilan kewarganegaraan di kalangan warga.
50
BAB III Komunitas Warga
Andrew Rehfeld (2005) juga menilai bahwa konstituensi teritorial
merupakan tipe konstituensi yang paling lemah, bahkan menciptakan
pengabaian (exclusion) terhadap konstituen, karena wilayah sebagai
basis konstituensi menyediakan “community of interest” yang tidak
jelas, heterogen dan meluas. Dalam kondisi ini, wakil rakyat tidak
cukup jelas mewakili atau merepresentasi kepentingan apa dan
siapa. Karena itu Rehfeld merekomendasikan konstituensi berbasis
kelompok dan organisasi atau disebut konstituensi organisasional,
yang tentu berbasis pada kepentingan yang spesifik dan jelas. Sebagai
contoh, wakil rakyat mempunyai basis konstituen pada organisasi
buruh, organisasi petani, organisasi nelayan, dan sebagainya. Saya
berpendapat pada konstituensi organisasional ini akan membuat
representasi lebih substantif ketimbang representasi simbolik dan
deskriptif.1
Spektrum konstituensi dan tipe komunitas warga dalam bagan
3.2 semakin memperjelas bagaimana dan dimana posisi setiap
komunitas warga. Di kutub kiri terdapat konstituensi teritorial yang
bercirikan fragmented interest dan di kutub kanan ditempati oleh
konstituensi organisasional yang memiliki organized interest.
Pengorganisasian kepentingan semakin lemah semakin ke kiri,
sebaliknya semakin kuat semakin ke kanan. Komunitas warga berbasis
wilayah memiliki pengorganisasian kepentingan paling lemah,
komunitas warga berbasis identitas berpredikat moderat lemah,
komunitas warga berbasis isu berpredikat moderat kuat dan
komunitas warga berbasis kepentingan berada pada posisi kuat.
Kekuatan dan kelemahan pengorganisasian kepentingan
komunitas warga itu mempunyai relevansi dengan potensi gerakan
sosial dan politik representasi. Komunitas atau organisasi berbasis
kepentingan (organized interest) mempunyai potensi dan modalitas
lebih kuat untuk membangun politik representasi dan gerakan sosial,
guna melancarkan reformasi pemerintahan dan kebijakan.
Sementara komunitas warga yang lain memiliki potensi dan modalitas
yang lemah untuk gerakan sosial dan politik representasi. Namun
mereka menjadi kekuatan dan arena penting untuk mengisi ruang
1
Ada tiga tipe representasi. Pertama, representasi simbolik, artinya wakil berdiri untuk (standing
for) konstituen karena kesamaan identitas, budaya, agama, kerabat dan sebagainya. Dalam
pandangan kami, representasi semacam ini bisa juga disebut representasi komunal atau
representasi parokhial. Kedua, representasi deskriptif, yakni wakil berdiri untuk (standing for)
konstituen karena kesamaan daerah, komunitas, jenis kelamin, profesi. Ketiga, representasi
substantif, yakni wakil bertindak untuk (acting for) konstituen karena kesamaan organisasi,
pandangan, kepentingan, dan ideologi (H. Pitkin, 1967, Gerry Mackie, 2003; Olle Tornquist,
2009).
51
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
publik, politik advokasi, pengaduan pelayanan publik, dan kelak
(seperti saya sajikan dalam bab 6) mereka menjadi kekuatan penting
untuk mendorong reformasi inkremental.
Tipologi komunitas warga dan spektrum konstituensi itu, bagi
saya, menjadi bahan refleksi untuk transformasi menuju konstituensi
organisasional sebagai basis politik representasi dan gerakan sosial.
Namun komunitas warga, apapun tipenya, menjadi arena untuk
memupuk modal sosial dan menyemai warga aktif untuk
membicarakan, mendiskusikan, memperjuangkan dan melakukan
pengaduan terhadap pelayanan publik. Hal ini menantang
akuntabilitas dan responsivitas pemerintah daerah maupun unit
penyedia layanan publik.
OMS mitra di enam daerah memanfaatkan komunitas warga
sebagai arena inklusi, edukasi dan aksi. Sebagai arena inklusi,
komunitas warga menghimpun pegiat secara terbuka, sekaligus
mereka juga melayani warga tanpa diskriminasi. Dengan eduksi,
OMS mitra memberikan informasi dan mendidik komunitas beserta
warga tentang pelayanan publik, agar mereka menjadi melek, sadar,
kritis dan mau aktif melakukan pengaduan pada pelayanan publik.
Langkah berikutnya komunitas warga melakukan aksi pengaduan
pelayanan publik kepada unit penyedia layanan yang terkait.
Spirit Publik, Spirit Kewargaan
Pada bulan April 2014 lalu saya sempat berdiskusi panjang dengan
banyak komunitas warga di Kota Bandar Lampung dan Kota Surakarta.
Pada saat yang sama Dyah Widuri melakukan diskusi serupa dengan
komunitas warga di Pekalongan, Malang, Sinjai dan Kupang. Mulai
dari motivasi bergabung dalam komunitas warga, harapan, tindakan,
hingga pembelajaran merupakan sederet daftar pertanyaan yang
kami sampaikan kepada para pengurus dan pegiat komunitas warga.
Dengan bahasa yang berbeda-beda, tetapi secara umum mereka
mengatakan bahwa “panggilan, kepedulian dan harapan” merupakan
penggerak mereka bergabung membangun komunitas warga. Secara
52
BAB III Komunitas Warga
sukarela mereka terpanggil bergabung menjadi pegiat komunitas
warga, diskusi dan belajar tentang pelayanan publik, membangun
kerja sama, membantu warga dalam pengurusan pelayanan publik,
serta melakukan pemantauan dan pengaduan layanan publik yang
bermasalah kepada penyedia layanan. Harapan akan pelayanan
publik yang lebih baik menggerakkan mereka menjadi pegiat
komunitas warga, sekaligus menjadi pengikat di antara mereka yang
tergabung dalam komunitas warga.
Meskipun komunitas warga belum tumbuh menjadi organisasi
aksi kolektif yang sempurna dan kokoh, tetapi ada sejumlah
pengalaman dan pelajaran yang bisa dipetik. Pertama, panggilan
(vocation) dan kesukarelaan itu sungguh merupakan kebajikan warga
(civic vitue), yang sangat kontras dengan dengan pragmatisme politik
rakyat dalam proses elektoral. Banyak pihak melaporkan bahwa
pemilihan umum 9 April 2014 lalu sungguh diwarnai dengan
kebrutalan politik, dimana rakyat secara pragmatis menggadaikan
kedaulatannya dengan menerima politik uang dari para politisi
pragmatis dan brutal. Proses elektoral yang brutal itu sungguh
menggerus atau tidak menciptakan kebajikan warga.
Kedua, komunitas warga memupuk modal sosial dalam bentuk
kerja sama, solidaritas dan kepercayaan. Melalui komunitas warga,
para pegiat tidak hanya berpikir tentang dirinya sendiri, tetapi
mereka secara sukarela menggalang solidaritas warga dan menolong
warga yang mengalami kesulitan dalam pelayanan publik.
Ketiga, komunitas warga memupuk spirit publik yang melampaui
spirit parokhialisme. Semula para anggota komunitas warga mengisi
kehidupan sehari-hari dengan kegiatan parokhial seperti kegiatan
keluarga, kekerabatan dan keagamaan. Mereka menjadi komunitas/
institusi sipil yang mengisi bahkan merebut ruang-ruang publik untuk
membicarakan, mendiskusikan, memperhatikan, dam
memperjuangkan kepentingan publik, antara lain dengan pengaduan
pelayanan publik.
Keempat, komunitas warga memupuk spirit kewargaan. Melalui
edukasi dan aksi, warga di sekitar komunitas menjadi lebih melek,
lebih tahu, lebih sadar, dan lebih aktif sebagai warga, yang memiliki
hak-hak dalam pelayanan publik. Mereka menjadi warga yang tidak
hanya terkungkung dalam kepentingan komunitas lokal, atau warga
yang pasif dan loyal, tetapi menjadi warga aktif yang menantang
akuntabilitas pelayanan publik.
53
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
54
Pembelajaran Pelaksanaan Program SIAP II
di 6 Kabupaten/Kota
BAB IV
Pertautan Warga
dan Masyarakat Sipil
A
lkisah, empat dekade silam, para pekerja sosial (NGOs) di
India secara aktif mengambil, merawat dan membesarkan
banyak bayi yang dibuang di tepi sungai Gangga. Namun
mereka sangat heran mengapa setiap hari selalu ada banyak bayi
yang ditaruh di tepi sungai itu. Mereka lantas bertanya dan
berdiskusi, siapa yang membuang bayi dan mengapa mereka
membuang bayi. Mereka melakukan penelusuran dan menemukan
bahwa para pembuang bayi adalah kaum dalit1 yang benar-benar
tidak diakui dan dihormati oleh siapapun, termasuk oleh pemerintah.
Hasil penelusuran itu membuahkan perubahan strategi NGOs. Mereka
tetap melakukan pertolongan terhadap bayi, namun mereka juga
melakukan aksi kolektif dan advokasi terhadap kebijakan pemerintah
agar pemerintah menempatkan kaum dalit memiliki kesamaan hak
sebagai warga negara seperti kasta-kasta lain. Kaum dalit juga
mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan publik yang sama.
Peran awal NGOs itu adalah mengambil alih (take over)
pemerintah dengan cara berbagi amal (charity) kepada kaum lemah,
dan peran kedua adalah advokasi kebijakan pemerintah. Kegiatan
amal yang mengambil alih peran pemerintah itu merupakan strategi
konvensional NGOs, yang bersifat apolitik, tidak bersentuhan dengan
pemerintah dan kebijakan. Kegiatan amal merupakan tindakan mulia
dan baik, apalagi ketika pemerintah tidak hadir. Saya sering
1
Dalit atau Paria dalam sistem kasta di India adalah seorang yang biasanya diharamkan untuk
disentuh, (untouchable), adalah orang yang tidak memiliki varna. Varna merujuk kepada keyakinan
Hindu bahwa manusia pada umumnya diciptakan dari bagian-bagian tubuh yang berbeda-beda
dari dewa Purusha. Kedudukan sosial mereka ditentukan dari bagian-bagian tubuh manakah
mereka diciptakan, misalnya dengan siapa mereka dapat menikah dan pekerjaan apa yang dapat
mereka lakukan. Kaum Dalit berada di luar sistem varna dan secara historis telah dilarang untuk
melakukan pekerjaan apapun kecuali pekerjaan-pekerjaan yang paling rendah. Mereka juga
dikenal sebagai kaum tak berkasta. Di antaranya termasuk para penyamak kulit (disebut chamar),
petani-petani miskin dan para buruh yang tidak bertanah, pemulung sampah (disebut bhangi
atau chura), para pekerja kerajinan di jalan-jalan, seniman-seniman rakyat, pencuci pakaian
dhobi, dan sebagainya. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Dalit.
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
berkomentar bahwa kegiatan mengambil alih peran pemerintah yang
NGOs atau CBOs merupakan kebaikan tetapi juga kekonyolan.
Pemerintah biasanya sangat senang kalau ada para pihak mengambil
alih perannya, tetapi hal ini membuat pemerintah lari dari tanggung
jawab. Pejabat pemerintah selalu berujar bahwa pembangunan
(termasuk penanggulangan kemiskinan dan pelayanan publik)
merupakan tanggung jawab bersama. Frasa tanggung jawab bersama
ini terdengar nyaman, tetapi dalam praktik biasanya tidak ada
satupun pihak yang bertanggung jawab. Frasa itu sebagai senjata
pejabat publik untuk melempar tanggung jawab kepada pihak lain,
sekaligus lari dari tanggung jawab.
Akuntabilitas pemerintah tentu merupakan jantung perhatian
organisasi masyarakat sipil. Partisipasi warga tidak hanya berhenti
pada partisipasi, dan partisipasi bukanlah alat untuk menolong
dirinya sendiri, melainkan sebagai proses dan instrumen untuk
menantang akuntabilitas. Peran strategis organisasi masyarakat sipil,
baik NGOs maupun CBOs, adalah melakukan advokasi kebijakan
pemerintah, termasuk mengisi ruang-ruang kosong di antara warga
dan pemerintah, untuk membuat pemerintah hadir dan akuntabel.
Bagaimana advokasi OMS dijalankan? Bagaimana OMS
menghadapi pemerintah dalam advokasi? Selama ini ada tiga
perspektif yang dominan mempengaruhi strategi dan peta jalan
advokasi yang ditempuh OMS. Pertama, perspektif gerakan sosial,
yang merekomendasikan bahwa OMS harus membangun organisasi
rakyat yang kuat dan melakukan aksi kolektif untuk menentang atau
melawan negara. J. Friedmann (1992), misalnya, menengarai dua
basis argumen yang disampaikan oleh gerakan sosial. Pertama,
bahwa negara adalah sumber dari segala sumber masalah. Kedua,
rakyat tidak bisa berbuat salah. Kalau rakyat berbuat kesalahan
karena bersumber pada negara yang salah, negara yang tidak
menjamin keadilan untuk rakyat.
“Tiada hari tanpa perlawanan” maupun “rakyat bersatu tak bisa
dikalahkan” merupakan semboyan aliran ini. Rakyat harus terdidik
dan mengorganisir diri untuk berkonfrontasi (melawan negara)
terhadap penyakit negara, seperti kebijakan yang salah urus dan
tidak pro rakyat, maupun tindakan korupsi.
Kedua, perspektif politik representasi. Perspektif ini pada
dasarnya merekomendasikan kepada organisasi masyarakat sipil
untuk mengubah dari gerakan sosial ke gerakan politik, dari
community organizing ke political organizing, untuk menghadirkan
aktor-aktor masyarakat sipil ke ranah politik. Pilihan ini didasari
58
BAB IV Pertautan Warga dan Masyarakat Sipil
oleh argumen dan fakta bahwa demokratisasi telah terjadi, tetapi
demokrasi dibajak oleh oligarki elite yang tidak merepresentasikan
kepentingan rakyat. Karena itu strategi ini sering disebut dengan
merebut negara (reclaiming the state). Ada tiga pilihan yang biasa
ditempuh dalam merebut negara. Pertama, memperdalam
demokrasi atau memperkuat popular democray atau yang sering
disebut demokrasi partisipatoris (Hilary Wainwright, 2003). Pilihan
ini sudah termasuk radikal kalau dilihat dari sisi demokrasi, tetapi
ia merupakan pilihan yang moderat kalau dilihat dari sisi melawan
negara. Kedua, membangun aliansi secara programatik dan politik
antara OMS dengan politisi atau partai politik. Ketiga, OMS merebut
posisi atau jabatan-jabatan politik seperti bupati/walikota maupun
DPRD. Kalau aktivis OMS bisa berhasil merebut posisi politik itu,
maka mereka tidak hanya “melihat” dan “mempengaruhi”
kebijakan, tetapi sudah “menentukan” kebijakan.
Ketiga, perspektif governance yang mereposisi peran dan relasi
antara negara, pasar dan masyarakat sipil. Dalam konteks tata
pemerintahan baru yang demokratis, perspektif ini menyampaikan
beberapa argumen. Pertama, masyarakat sipil yang semarak dan
bergetar (vibrant). Artinya masyarakat sipil tidak harus berdering
yang menciptakan kebisingan (noise) di hadapan pemerintah dan
pasar, melainkan mengisi ruang-ruang publik untuk menjembatani
kepentingan warga, negara dan pasar. Kedua, negara berbagi peran
dan tanggung jawab kepada daerah melalui desentralisasi, kepada
pasar melalui debirokratisasi dan privatisasi, serta kepada
masyarakat sipil melalui inklusi dan partisipasi. Ketiga, hubungan
kesejajaran dan kemitraan antara negara, pasar dan masyarakat.
Kesejajaran dan kemitraan ini dibangun kemitraan antara negara,
pasar dan masyarakat sipil.
Bagaimana posisi dan pilihan para pelaku Program SIAP II? Letupan
konfrontasi tentu dilakukan oleh para pelaku Program SIAP II,
misalnya mulai dari demo ke kelurahan sampai dengan petisi
pelayanan publik. Namun secara umum Program SIAP II menempuh
jalan kemitraan (kolaborasi) ketimbang konfrontasi dan representasi
politik. Kemitraan merupakan menu utama, letupan konfrontasi dan
gerilya representasi politik merupakan bumbunya.
Menggalang Solidaritas, Menolong Warga
Komunitas warga pada dasarnya mempunyai dua fungsi. Selain
melakukan pengaduan pelayanan publik, yang paling dasar dan
dekat, mereka juga menggalang solidaritas dan menolong warga.
59
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Ini disebut sebagai bentuk aktivitas sosial-kemasyarakatan dalam
civic engagement untuk memupuk modal sosial. Kegiatan utama
mereka adalah menolong warga yang terbelit urusan pelayanan
publik.
Di Bandar Lampung, beberapa anggota komunitas telah mampu
melakukan pendampingan/advokasi bagi anggota komunitas atau
masyarakat lainnya yang terbelit persoalan pelayanan publik seperti
: (1) pendampingan pasien Jamkesda, (2) pendampingan masyarakat
terkait pelayanan kelistrikan, (3) pendampingan korban banjir, (4)
pendampingan anak wajib sekolah dari keluarga miskin, (5)
pendampingan keluarga yang membutuhkan surat akte kelahiran
(6) komunitas terlibat secara aktif dalam kegiatan mobile complain
baik secara bersama maupun mandiri, dan terlibat dalam kegiatan
forum-forum besar seperti diskusi tematik, dialog publik, dan
bertemu dengan unit pelayanan untuk membahas hasil mobile
complain. Bentuk nyata dari gerakan advokasi komunitas adalah
Gerakan pembuatan akta kelahiran kolektif komunitas. Bermula dari
keresahan kelompok perempuan nelayan Kelurahan Sukaraja
Kecamatan Bumi Waras yang kesulitan mendapatkan akta kelahiran
sebagai persyaratan anak mereka masuk sekolah atau untuk
kebutuhan lainnya, isu ini muncul dalam pendampingan komunitas
dan ternyata keresahan ini juga di rasakan oleh kelompok komunitas
lainnya. Keresahan tersebut dirangkum dengan baik oleh CO,
kemudian dibahas dalam rapat perencanaan kegiatan bulanan dan
diputuskan untuk di advokasi bersama pasca pasal yang mengatur
tentang akta kelahiran melalui pengadilan negeri dicabut. Bentuknya
adalah mengumpulkan persyaratan pembuatan akta kelahiran secara
kolektif lalu bersama-sama dengan komunitas dan di dampingi
PUSSbik serta CO beraudiensi dengan Kepala Disdukcapil Bandar
Lampung. Diplomasi yang disampaikan adalah bahwa saat ini
Disdukcapil sangat kerepotan dengan banyaknya pemohon
pembuatan akta kelahiran menjelang penerimaan siswa baru, bahkan
rata-rata mencapai 500 pemohon tiap hari. Antrian yang panjang di
loket Disdukcapil membuat Walikota membuka loket tambahan di
halaman Pemkot. Usulan komunitas sederhana, para anggota
komunitas dampingan tidak perlu ramai-ramai datang ke loket namun
meminta formulir pendaftaran dan persyaratan lain yang perlu
dipenuhi lalu berkas tersebut dikumpulkan sesuai dengan wilayah
kelurahan masing-masing lalu diserahkan ke Diskdukcapil, sehingga
warga tidak perlu ramai-ramai datang dan petugas Disdukcapil juga
tidak kerepotan menghadapi ratusan orang pemohon. Gerakan ini
berhasil dan kini sedang digarap untuk gelombang kedua pembuatan
60
BAB IV Pertautan Warga dan Masyarakat Sipil
akta kelahiran massal kolektif anggota komunitas dampingan.
Keberhasilan ini menarik minat warga masyarakat lain untuk mau
bergabung dalam kegiatan-kegiatan komunitas walau mereka masih
ragu bergabung dalam struktur komunitas.
Di Pekalongan, Comunity Center Utara telah berhasil melakukan
advokasi terhadap pelayanan Kartu Keluarga bagi beberapa warga
yang tidak mendapatkan kejelasan proses dan biaya pengurusan.
Proses advokasi dilakukan dengan melakukan pendampingan kepada
korban dalam melakukan pengurusan dari tingkat kelurahan,
kecamatan hingga Dispendukcapil. Komunitas Community Center
Selatan berhasil melakukan mediasi antara warga dengan beberapa
perusahaan rumahan terkait keluhan adanya pencemaran udara
yang diakibatkan oleh kegiatan produksi pewarnaan kain.
Kesepakatan yang dicapai adalah, kegiatan produksi akan dipindah
ke lokasi yang jauh dari pemukiman dalam kurun waktu 3 bulan.
Komunitas Nahdliyin Center dan Al Khoiriyah melakukan
pendampingan masyarakat untuk masalah-masalah pendidikan dan
kesehatan (biaya pendidikan dan JAMKESMAS). Pengalaman ini
sekaligus menjadi pembelajaran bagi masyarakat yang mereka
dampingi, sehingga mengetahui apa yang harus dilakukan ketika
menghadapi masalah serupa di kelak kemudian hari. Dalam
melakukan kerja-kerja advokasi, komunitas-komunitas warga
tersebut melakukan kolaborasi dengan tim advokasi yang dibentuk
ditingkat kota dan pers lokal.
Di Surakarta, sepuluh komunitas (MPPS, Komunitas
Danukusuman, Faskel Monev Serengan, FKKP, FKKB, Komunitas
Kerten, Komunitas Joyotakan, JARPUK, komunitas Nusukan,
komunitas Pucangsawit) telah memiliki tim advokasi yang aktif
melakukan pendampingan warga. Mereka membantu warga yang
terbelit masalah pengurusan pelayanan publik, mulai dari KTP, Akta
hingga JAMKESDA.
Di Kupang, FPO atau Forum Pemuda Oemama adalah komunitas
mahasiswa dampingan PIAR, yang aktif menolong warga. Berbagai
pengaduan berhasil mereka himpun baik melalui pengaduan keliling
maupun posko pengaduan di sekretariat FPO. Sekretariat mereka
disediakan oleh warga kelurahan, mantan RT yang juga menjadi
anggota forum, setelah beberapa kali kesulitan mendapat tempat
berorganisasi. Pak mantan RT adalah bapak kos beberapa mahasiswa
anggota forum yang tinggal di kamar-kamar kos di belakang rumah
pak mantan RT. Sekretariat FPO di teras depan rumah pak mantan
RT yang sehari-hari bekerja membuka kios kebutuhan konsumsi di
61
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
kompleks rumah pak mantan RT tersebut. Menurut Amro, ketua
komunitas, mahasiswa Universitas Kristen Arta Wacana, awalnya
mereka adalah sekelompok mahasiswa dari desa Oemama yang sering
berkumpul dan mendiskusikan berbagai hal. Mereka kemudian diajak
membentuk forum dan mulai mendapatkan berbagai informasi
tentang pelayanan publik dari CO. Dalam menghimpun pengaduan,
mereka menemukan tiga hal besar yang menjadi keluhan warga.
Pertama, penumpukan sampah. Kedua, sistem pelayanan kesehatan
yang informasinya simpang siur sehingga warga sering tidak
mendapat pelayanan yang baik dari pihak layanan kesehatan. Ketiga,
pelayanan pendidikan yang masih memberlakukan pungutanpungutan bagi siswa padahal sudah ada program pendidikan gratis.
Di bidang kesehatan, mereka sering mendapat pengaduan warga
bahwa selama ini mereka mendapat informasi bahwa biaya
pelayanan kesehatan di Puskesmas dan RSUD ditanggung oleh
Jamkesda dan Jamkesmas, namun mereka masih diminta biaya ketika
memeriksakan kesehatan di fasilitas kesehatan tersebut. Informasi
jaminan kesehatan masih simpang siur, baik pemberi layanan maupun
warga penerima layanan masih belum menemukan titik temu ketika
mereka saling berhadapan.
Di bidang pendidikan, warga sering mengeluhkan pungutanpungutan yang memberatkan orang tua, terutama orang tua yang
anak-anak mereka sekolah di SMP dan SMA. Salah satu kasus yang
dikeluhkan adalah adanya uang les tambahan bagi siswa kelas yang
dilakukan beberapa bulan terakhir menjelang Ujian Nasional
berlangsung. Besarnya 50 ribu per bulan atau Rp 250 ribu selama
lima bulan. Ketika hal ini ditanyakan ke pihak sekolah, pihak sekolah
mengatakan bahwa biaya les tambahan hasil kesepakatan para orang
tua murid yang tergabung dalam Komite Sekolah. Kemungkinan para
orang tua dari luar kota tidak bisa hadir ketika Komite Sekolah
memutuskan besaran uang les sekolah atau mereka tidak diundang
oleh Komite Sekolah untuk mendiskusikan besaran uang les tersebut.
Hal yang memberatkan orang tua adalah selama ini anak-anak
mereka sudah duduk di sekolah dari pagi sampai siang di mana guru
dapat memanfaatkan jam sekolah untuk mengajar anak-anak
didiknya, namun justru sekolah menambah jam pelajaran dengan
menarik biaya les.
Untuk pengaduan pendidikan dan kesehatan, FPO bekerja sama
dengan PIAR melakukan advokasi di tingkat kota bersama-sama
dengan pengaduan dari forum-forum lain maupun dari pengaduan
keliling. Mereka secara rutin terlibat dalam kegiatan diskusi publik
62
BAB IV Pertautan Warga dan Masyarakat Sipil
yang diselenggarakan PIAR dan mengundang pihak SKPD atau
pemerintah kota bidang-bidang tertentu sesuai dengan tema diskusi
yang digelar pada waktu itu.
FPO berhasil mengangkat masalah sampah di kelurahan Oesapa.
Penumpukan sampah bertahun-tahun dilakukan di satu titik di RT
13. Warga mengeluhkan sampah tersebut karena berada di gang di
mana mobil sampah pemerintah kota susah masuk gang dan
mengambil sampah di RT 13. Warga tahu hal tersebut mengganggu,
beberapa kali sudah lapor ke RT atau lurah tetapi tidak ada tindakan
apa pun dari semua pihak baik warga, RT maupun kelurahan. Hal ini
dibiarkan terus-menerus hingga saat ini. FPO yang mendapat
pengaduan tersebut mengambil langkah lanjut. FPO membangun
fasilitasi di tingkat RT, bersama dengan perwakilan warga bertemu
RT, kemudian berlanjut ke kelurahan. Dari kelurahan, urusan ini
mendapat respon, lurah mulai berani mengambil sikap dengan
mengajak warga bergotong royong. Sampah dibersihkan, dipindahkan
ke tempat pembuangan sampah di pinggir jalan besar yang dilewati
truk sampah untuk dibuang ke TPA. Gotong-royong berbuah
terjaganya kebersihan lingkungan, selokan juga dibersihkan dari
sampah. Padahal dulu daerah ini selalu banjir karena selokan
tertutup sampah dan tidak ada satu pun yang perlu bertanggung
jawab untuk mengatasi hal ini. Amro menceritakan sebagai berikut:
“ ... Sampah di RT 13. Ada kotak sampah di pinggir jalan.
Masyarakat kumpul sampah di kotak itu, di pertigaan.
Penumpukan sampah banyak sekali, timbulkan bau di situ,
masyarakat tidak nyaman dalam lingkungan. Kasus sampah
itu kita bawa ke RT, kita ke Lurah. Esoknya Lurah arahkan
untuk kerja bakti, kotak sampah dihancurkan, bak sampah
itu tidak dipakai lagi, karena berdampak buruk.2
Menggalang Jaringan dan Pendukung
Setiap komunitas warga di enam daerah tidak bekerja sendirian.
Para pengurus dan pegiat komunitas warga yakin betul bahwa
keberadaan mereka harus diterima dan didukung oleh warga
masyarakat di mana mereka berada. Mereka secara aktif mendatangi
para tokoh masyarakat, pengurus RT, lembaga kemasyarakatan,
maupun warga serta mengundang berbagai unsur masyarakat ini
2
Wawancara Dyah Widuri dengan Amro, di Kupang, 14 April 2014.
63
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
untuk berdiskusi di sekretariat (posko pengaduan). Mereka
melakukan sosialisasi dan diskusi tentang hak warga dalam pelayanan
publik, sekaligus membicarakan berbagai masalah dalam pelayanan
publik. Para pengurus dan pegiat komunitas warga, yang rata-rata
berkisar dari 15 sampai 20 orang, mengundang dan membuka diri
pengaduan pelayanan dari warga. Dukungan dan partisipasi warga
dalam komunitas warga semakin bertambah setelah komunitas warga
berhasil menolong warga dalam pengurusan pelayanan publik.
Komunitas warga tidak berhenti di level komunitas dan
kelurahan. Di setiap kota, komunitas warga membangun jaringan
antar komunitas menjadi komunitas atau organisasi masyarakat sipil
yang peduli pelayanan publik. Pada saat yang sama, LSM memberikan
dukungan terhadap pengembangan jaringan komunitas warga,
sekaligus membangun dukungan dari akademisi, tokoh masyarakat,
media, Ombudsman Daerah (Lampung, Kupang dan Sinjai) maupun
Komisi Informasi Provinsi.
Penerimaan dan dukungan warga terhadap komunitas warga terus
mengalir di semua daerah. Di Malang, selain bertambah anggota,
komunitas warga dampingan MCW yang berjumlah 17 (tujuh belas)
telah berupaya keras melakukan networking antar kelompok warga.
Forum Masyarakat Peduli Pendidikan, misalnya, setiap anggotanya
berkomitmen aktif untuk melakukan pendidikan publik berupa
forum-forum pertemuan dengan warga di masing-masing komunitas.
Dalam satu minggu setidaknya ada dua kali forum warga di luar
kegiatan pertemuan komunitas yang diinisiasi oleh warga. Dengan
kata lain, anggota-anggota dari 17 kelompok warga dampingan dalam
Program SIAP II telah aktif membentuk kelompok-kelompok baru
dengan melakukan pertemuan-pertemuan warga di sekitar tempat
tinggal mereka. Warga yang terlibat dalam pertemuan-pertemuan
tersebut, pada praktiknya tidak hanya mendapatkan pendidikan
tentang pelayanan publik saja, melainkan juga tentang pendidikan
politik dan hukum.
MCW bekerja sama dengan pihak stasiun televisi dan radio lokal.
Model kerja sama di atas, selain dapat melipatgandakan dukungan
dan “kawan” juga berpengaruh besar pada jumlah kegiatan yang
dapat terlaksana. Kegiatan kampanye dan pendidikan publik juga
telah memberikan inovasi dan inspirasi bagi gerakan MCW dalam
mendorong pengorganisasian gerakan sosial. Inovasi dan inspirasi
yang dimaksud adalah terjalinnya komunikasi antara MCW dengan
jaringan seniman di dalam dan luar Kota Malang. Di Kota Malang
misalnya, MCW bekerja sama dengan Teater Katamati, Komunitas
64
BAB IV Pertautan Warga dan Masyarakat Sipil
Lensa Mata dan Lembah Ibarat. Sedangkan di luar Kota Malang MCW
bekerja sama dengan komunitas pencipta puisi melawan korupsi.
Inovasi dan inspirasi ini sebenarnya telah lama ada, namun semakin
kuat setelah proses pelaksanaan kegiatan pameran foto pelayanan
publik yang dihadiri anggota-anggota jaringan seniman Jawa Timur.
Jaringan seniman tersebut telah memiliki banyak karya yang memuat
berbagai kritik sosial atas kehidupan masyarakat. Karya mereka
menginspirasi MCW untuk berjejaring dengan para seniman untuk
melakukan suatu gerakan perubahan melalui pendekatan
kebudayaan. Dalam beberapa sisi, tidak bisa dipungkiri bahwa
buruknya kualitas layanan publik juga dipengaruhi oleh aspek-aspek
kebudayaan yang hanya bisa diperbaiki dengan gerakan kebudayaan,
melalui puisi, aksi teatrikal, fotografi, bahkan nyanyian dan musik.
Di Bandar Lampung, pada bulan April 2013 telah terbentuk
Masyarakat Perduli Pelayanan Publik (MP3) Lampung. Deklarasi MP3
ini selain dihadiri oleh Pemerintah daerah di Bandar lampung, juga
dilakukan seminar yang dihadiri Walikota dan jajaran kepala satuan
kerja di lingkungan Pemerintah Kota Bandar Lampung, perwakilan
dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, perwakilan Kemenpan
dan RB RI, dan Ombudsman Lampung. Saat ini MP3 Lampung berhasil
menjadi salah satu nara sumber tetap di media massa untuk
spesialisasi isu pelayanan publik dan kerap di undang oleh
Ombudsman, kampus, dan acara-acara diskusi serta seminar.
Keberadaan lembaga advokasi pelayanan publik pada level daerah
adalah kebutuhan
Sementara untuk tim advokasi komunitas yang terbentuk saat
ini dan masih melakukan pendampingan pada warga bermasalah,
selain berfungsi sebagai posko advokasi juga berperan sebagai pusat
pengaduan warga di sekitar komunitas, posko advokasi komunitas
membuka kotak pengaduan komunitas di masing-masing sekretariat,
pengaduan yang masuk sebagian diselesaikan oleh komunitas warga
masing-masing, sementara yang sifatnya sengketa pelayanan publik
ada yang diteruskan ke unit-unit kerja pelayanan publik terkait,
sebagian besar juga diteruskan ke walikota untuk segera
ditindaklanjuti, atau diserahkan kepada Ombudsman Lampung.
Di Kupang, kerja sama PIAR dengan Victorynews sangat kuat,
bisa dikatakan semua informasi dan pengaduan warga yang
disampaikan melalui PIAR selalu dimuat oleh Victorynews, bahkan
Victorynews menyelenggarakan penguatan kapasitas untuk
komunitas dampingan dalam menulis berita. Berita tersebut
kemudian dimuat Victorynews. Sementara dengan Pos Kupang, kerja
65
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
sama lebih pada terbukanya Pos Kupang memberitakan berbagai
kegiatan yang diselenggarakan PIAR dan berbagai informasi
pengaduan warga atas pelayanan publik yang diterimanya.
Dituturkan oleh Koordinator Program,
“ ... kalau Victory bicara nyambung, mengalir, kita sudah
sampai pada level yang lebih kuat. Dengan Pos Kupang kita
lebih banyak pada sisi publikasi. Dengan Victory mereka
mendukung gerakan kita, bahkan juga dukungan penguatan
komunitas untuk menulis berita. Bahkan untuk komunitas,
kita kalau ada berita pelayanan publik di komunitas, kalau
disampaikan ke Victory, itu sudah pasti muat. Karena mereka
juga mendukung kita untuk pelatihan jurnalistik bagi forumforum dampingan kita. Kalau dengan Victory agak lebih kuat,
mereka dukung kita peningkatan kualitas layanan soal berita
pelayanan publik. Jika komunitas siap dan rutin berikan
informasi, pasti mereka kasih satu space untuk informasi dari
komunitas. Tapi komunitas belum siap ...”3
Kerja sama dan dukungan media juga sangat kuat di Sinjai. Sudah
beberapa tahun terakhir diskusi interaktif dilakukan di media televisi
terutama TV Sinjai yang membuka langsung pengaduan warga. Warga
dapat menelepon, berkomunikasi dengan pemerintah sebagai
penyedia layanan, dan mendapat respon langsung. Media surat kabar
juga aktif memberitakan peristiwa-peristiwa berkaitan dengan tidak
terlayaninya warga dalam memperoleh pelayanan di berbagai bidang
hingga persoalan ketidaksesuaian implementasi pembangunan
infrastruktur dengan perencanaan anggaran belanja. Hal-hal tersebut
mewarnai keseharian pelayanan publik di kabupaten Sinjai.
Membuka dan Mengisi Ruang Publik
Diskusi merupakan agenda penting bagi pelaku Program SIAP II
untuk membuka dan mengisi ruang publik, untuk membangun spirit
publik, spirit kewargaan dan spirit demokrasi. Diskusi digelar oleh
komunitas warga dan OMS di berbagai ruang, mulai dari komunitas,
media, kampus, unit layanan, SKPD, DPRD dan bupati/walikota.
Di Lampung, perkembangan komunitas dampingan bisa di lihat
dari aktivitas kegiatan mereka seperti melalui 28 kali pertemuan
diskusi rutin dan 6 kali rapat rutin komunitas yang telah dilaksanakan
3
66
Wawancara Dyah Widuri dengan Koordinator SIAP II PIAR Kupang, di Kupang, 14 April 2014.
BAB IV Pertautan Warga dan Masyarakat Sipil
di 12 komunitas dengan jumlah total peserta yang sama sekitar 540
orang, telah menerima dan membahas: (1) substansi UU No. 25/
2009 tentang pelayanan publik, (2) pentingnya keterlibatan
masyarakat secara langsung untuk terlibat mengawasi dan menilai
kinerja unit pelayanan publik, (3) membangun keberanian
masyarakat untuk berpartisipasi menciptakan dan terlibat dalam
ruang-ruang partisipasi publik dalam konteks pengawasan pelayanan
publik, (4) melakukan pengaduan, protes, saran, dan ide terkait
masalah-masalah pelayanan publik yang terjadi di sekitar komunitas,
selain itu oleh 3 orang dari 12 komunitas telah mengikuti pelatihan
advokasi sebagai penguatan kapasitas bagi komunitas untuk
melakukan pengawasan, penilaian, terlibat secara aktif dalam
penyelenggaraan pelayanan publik di Bandar Lampung.
PATTIRO Pekalongan memfokuskan diskusi komunitas untuk
membangun basis pengetahuan dan pemahaman isu pelayanan
publik, khususnya tentang: (1) Jaminan hak warga dalam UU
Pelayanan Publik; (2) ruang-ruang partisipasi warga dalam pelayanan
publik; (3) mekanisme penanganan pengaduan pelayanan publik dan
(4) persoalan-persoalan pelayanan publik di sekitar masyarakat.
Sebanyak 197 kegiatan diskusi rutin yang telah dilaksanakan oleh
15 komunitas warga dengan jumlah 255 orang, sebagai proses
penguatan komunitas. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran
terhadap hak-hak pelayanan publik terjadi baik secara kelembagaan
(komunitas) maupun individu-individu di dalamnya. Ada 36 orang
anggota komunitas dari 12 komunitas warga telah meningkat
kapasitasnya dan mempunyai kemampuan melakukan advokasi
yang terkait pengaduan pelayanan publik dan 18 orang perwakilan
komunitas mampu menjalankan CLeM yaitu instrumen monitoring
pelayanan publik yang terstruktur secara metodologis, ada 15 orang
komunitas dan 7 pelaksana program mampu menyusun standar
pelayanan publik. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran terhadap
hak-hak pelayanan publik telah berkontribusi pada bertambahnya
kemampuan komunitas dalam mengidentifikasi dan mendialogkan
masalah pelayanan publik yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Di Kota Surakarta, PATTIRO Surakarta maupun berbagai komunitas
warga secara rutin menggelar talk show di radio dan televisi; diskusi
tematik; maupun diskusi publik. Rangkaian kegiatan ini selain sebagai
upaya kampanye juga menjadi wahana edukasi (pembelajaran) bagi
warga masyarakat mengenai penyelenggaraan pelayanan publik.
Pemilihan media eletronik guna upaya edukasi publik, dilakukan
dengan pertimbangan lebih efektif sebab akan terjadi interaksi
67
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
langsung dengan warga masyarakat, sehingga apa yang menjadi
tujuan kegiatan akan lebih mengena. Sementara itu kegiatan diskusi
publik dan tematik dipilih sebagai media pembelajaran secara
langsung (tatap muka) dan juga sebagai salah satu sarana
mempertemukan pengguna layanan dan penyedia layanan.
Pemberian masukan perbaikan maupun komplain yang disampaikan
dapat langsung mendapatkan tanggapan dari penyedia layanan atau
SKPD bersangkutan.
Selain melalui media elektronik (talk show) dan model tatap
muka, isu-isu serta pembelajaran pelayanan publik juga dibagikan
(shared) melalui media cetak. Media yang digunakan untuk
penyebarluasan ini adalah melalu cetak factsheet berdasarkan hasilhasil penelitian maupun kajian diantaranya hasil KAP, hasil CLEM
serta hasil-hasil analisis mobile complain. Tujuannya adalah
membagikan informasi dan sebagai salah satu bentuk
pertanggungjawaban kepada publik tentang apa yang telah dilakukan
melalui penelitian dan kegiatan tersebut.
Komunitas warga juga difasilitasi untuk mengisi atau menuliskan
pengalamannya dalam mendampingi warga melalui buletin yang
disusun dan diterbitkan bersama komunitas. Agenda ini menginspirasi
warga lain ketika mereka melakukan akses pelayanan. Salah satu
komunitas yang kemudian secara kontinu melakukan penyebaran
dan pembagian ide gagasan maupun pembelajarannya adalah Forum
Silaturahmi Warga Nahdliyin Surakarta (FOSMINSA) yang membuat
bulletin sendiri atas swadaya anggotanya untuk dibagikan dalam
berbagai kesempatan pertemuan warga NU di Surakarta.
Pembelajaran yang dibagikan tersebut sangat bermanfaat bagi
publik luas. Ini akan menjadi referensi dan informasi bagi mereka
terutama pada saat mengalami kesulitan ketika mengakses
pelayanan publik. Dengan inspirasi, pengalaman dan informasi yang
mereka baca dan peroleh tersebut dapat mengubah perilaku mereka
jika mengalami kesulitan akan mampu dan mau menyampaikan
pengaduannya kepada penyedia layanan. Disisi supply juga sebagai
upaya mendorong penyedia layanan untuk belajar dalam menangani
berbagai permasalahan yang sangat dimungkinkan muncul dari
pelaksanaan kegiatan pelayanan publik yang mereka berikan.
Di Sinjai, diskusi publik mempunyai makna penting karena ruang
publik di kabupaten tidak sedinamis kalau dibandingkan dengan kota.
Diskusi di level komunitas selalu digelar oleh komunitas warga.
Diskusi dan talk show jaringan komunitas warga dengan SKPD selalu
68
BAB IV Pertautan Warga dan Masyarakat Sipil
difasilitasi oleh KOPEL-FPMS. Dinas Kesehatan dan Dinas Administrasi
Kependudukan dan Catatan Sipil merupakan dua SKPD yang paling
aktif terlibat dalam diskusi yang digelar oleh KOPEL-FPMS. OMS ini
juga sangat rajin menggelar diskusi dengan Sekda maupun DPRD.
Kemitraan Dengan Pemerintah Daerah
Relasi antara OMS/LSM dengan pemerintah daerah telah
mengalami pergeseran. Di masa lalu, posisi antara LSM dan
pemerintah daerah sangat jauh, bahkan LSM lebih banyak melakukan
oposisi (konfrontasi) terhadap pemerintah. Di satu sisi pemerintah
juga memandang LSM sebagai orang lain yang dieksklusi. Namun di
era reformasi, hubungan antara LSM dengan pemerintah semakin
dekat, saling membutuhkan dan saling bertautan.
Namun pertautan LSM-pemerintah tidak bersifat tunggal.
Jennifer Brinkerhoff (2002), misalnya, membuat tipologi tentang
kemitraan antara pemerintah dan sektor nonpofit (LSM), berbasis
sisi LSM, dengan memperhatikan dimensi mutualitas dan identitas
organisasional LSM (bagan 4.1). Kuadaran I adalah kemitraan
kontraktual, yakni mutualitas rendah dan identitas organisasional
tinggi. Dalam konteks ini, LSM bertindak sebagai pekerja atau
pemberi layanan atas pekerjaan pemerintah, dengan pola kerja
kontraktual. LSM tetap independen dan identitas organisasinya tetap
diakui, tetapi dia memperoleh keuntungan yang rendah, kecuali
hanya memperoleh uang kontrak. Hasil pekerjaan LSM itu merupakan
milik pemerintah, untuk kepentingan pemerintah. Hal ini seperti
relasi kontraktual antara lembaga survei dengan kandidat politik.
Sumber: Jennifer Brinkerhoff, “Government-Nonprofit Partnership: A Defining Framework”, Public
Administration and Development, 22, 2002.
Kuadran II adalah kolaborasi antara LSM dengan pemerintah.
Baik identitas organisasional dan mutualitas yang diterima oleh LSM
sama-sama tinggi. Keduanya mempunyai hubungan dan posisi yang
69
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
setera. LSM bukan pekerja kontrak. LSM tidak semata mencari uang
dari pemerintah. Antara pemerintah dan LSM duduk bersama dan
bekerja bersama, misalnya menyusun Rancangan Peraturan Daerah
maupun standar pelayanan publik. Hasilnya merupakan milik
bersama untuk kepentingan publik. Banyak aktivis menyebut
kolaborasi ini sebagai kemitraan kritis atau critical engagement.
Kalau pemerintah benar didukung, tetapi kalau pemerintah salah
tetap diingatkan dan dikritik.
Kuadran III adalah LSM sebagai kepanjangan tangan pemerintah.
Identitas dan mutualitas LSM sama-sama rendah. Selain tidak
independen, LSM juga tidak mempunyai keuntungan sosial, karena
LSM hanya menjadi pesuruh dan pembantu pemerintah. Jika terjadi
kesenjangan maupun pertikaian antara pemerintah dengan
masyarakat, LSM berdiri dan berpihak pada pemerintah, sehingga
masyarakat akan menuding LSM itu sebagai kaki tangan pemerintah.
Kuadran IV adalah LSM yang dikooptasi oleh pemerintah. Ini
serupa dengan pola relasi klientelistik atau patronase. LSM sebagai
klien, pemerintah sebagai patron. Kooptasi serupa dengan
kepanjangan tangan, dalam pengertian LSM tidak memiliki identitas
dan independensi. Tetapi LSM klientelistik ini mempunyai mutualitas
yang tinggi, terutama memperoleh gengsi dan keuntungan finansial
yang tinggi. Banyak orang menyebut LSM ini sebagai LSM “plat
merah”.
LSM mitra YAPPIKA (PUSSbik, PATTIRO Pekalongan, PATTIRO
Surakarta, MCW, KOPEKL Sinjai dan PIAR Kupang) sadar betul akan
bahaya dan kerugian jika menjadi LSM kontraktual, kepanjangan
tangan, dan kooptasi. Dana dari pemerintah merupakan isu yang
sensitif dan dilematis dalam konteks relasi LSM dengan pemerintah.
Secara normatif, sangat sah LSM memperoleh dana dari pemerintah,
sebab dana tersebut berasal dari warga. LSM bisa tetap independen
melakukan pemberdayaan dengan memperoleh dana dari
pemerintah. Di Barat, pemerintah sudah biasa melakukan delegasi
fungsi-fungsi pemberdayaan disertai dengan biaya kepada NGOs.
NGOs menggunakan dana itu untuk menjalankan programprogramnya secara independen, tanpa harus memperoleh label
sebagai NGOs plat merah atau dikooptasi oleh pemerintah.
Lain di Barat, lain di Indonesia. Di negeri ini belum ditemukan
dan dilembagakan relasi antara negara dan NGOs secara baik dan
akuntabel. Pemerintah terbiasa melakukan kontrak-kontrak kerja
70
BAB IV Pertautan Warga dan Masyarakat Sipil
(termasuk pekerjaan penelitian dan pemberdayaan) dengan
perusahaan dan perguruan tinggi, tetapi tidak dengan LSM.
Pemerintah juga terbiasa memberikan dana bantuan sosial (bansos)
kepada organisasi massa, yang dinilai kurang transparan dan sulit
dipertanggungjawabkan. Baik melalui penunjukan langsung maupun
bansos, pemerintah dapat memberikan dana kepada LSM. Tetapi
dana dapat menimbulkan masalah. Pemerintah memberikan dana
kepada LSM cenderung untuk mengkooptasi LSM, dan LSM
memandang bahwa dana dari pemerintah itu bisa membuat mereka
menjadi kepanjangan tangan atau pesuruh yang kehilangan
independensi. Dalam konteks ini, LSM di Indonesia lebih nyaman
memperoleh dana dari pemerintah negara lain, meskipun ini juga
menimbulkan dilema nasionalisme. Dilema dilema itu juga dihadapi
oleh YAPPIKA dan enam OMS mitra di enam daerah. Secara normatif
dan empirik mereka tidak mau menerima dana dari pemerintah
karena dilema independensi.
Dengan spirit independensi itu, para pelaku Program SIAP II di
enam daerah menempuh strategi kemitraan kolaboratif dalam
berinteraksi dengan pemerintah daerah maupun unit penyedia
layanan, meskipun terkadang strategi konfrontasi yang moderat juga
ditempuh (misalnya dengan aksi petisi massa). Dengan bahasa yang
lain, PUSSbik menyebut engagement itu sebagai strategi kolaborasi,
yakni dialog dan kerja sama antara LSM maupun komunitas warga
dengan pemerintah daerah dan unit penyedia layanan publik. Bahkan
Malang Corruption Watch (MCW) juga menempuh strategi
engagement meskipun sebelumnya MCW selalu melakukan
konfrontasi dengan pemerintah karena pemberantasan korupsi
menjadi mandat gerakannya. Demikian dituturkan oleh koordinator
CO MCW:
“Sebelumnya baru mendengar dari MCW saja orang sudah
nggak mau, sudah takut. Tapi pendekatan di program ini kan
lebih soft, kita melakukan survei, kita menyampaikan hasil
surveinya, semua pembicaraan kita by data, akhirnya kita
minta kerja sama, ayo kita perbaiki sama-sama. Itu lebih
soft. Karena sebelum ada program ini kita memang agak
strength. Orang melihat kita udah takut ...”4
4
Wawancara Dyah Widuri dengan koordinator community organizer MCW, Malang, 21 April 2014.
71
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Pilihan strategi tentu bersifat kontekstual dan fleksibel. Jika
menghadapi kebijakan maupun pelayanan yang bermasalah, maka
LSM akan cenderung memilih jalan konfrontasi. Tetapi kalau untuk
memperbaiki kebijakan dan pelayanan, maka engagement atau
kolaborasi merupakan strategi yang tepat untuk dipilih LSM. Sifat
dan orientasi SIAP II (mendekatkan interaksi antara pemerintah
daerah, penyedia layanan dan warga) mengharuskan para LSM mitra
YAPPIKA menempuh jalur kolaborasi.
Namun ada juga alasan spesifik yang membuat LSM menempuh
jalur engagement atau kolaborasi. Bukan hanya sifat dan orientasi
Progam SIAP II yang menjadi dasar, tetapi juga peta aktor dan
kekuasaan dalam ranah politik lokal. Salah satunya adalah argumen
yang sangat jujur PUSSbik berikut ini:
Pilihan strategi kolaborasi dengan Pemkot Bandar Lampung
didasarkan pada peta aktor pengambil kebijakan yang ada
dengan tipikal sikap Walikota yang keras, tidak suka didemo,
cenderung anti kritik, manajemen kebijakannya tidak
terkonsep dan tidak sistematis, cenderung reaktif tetapi
punya semangat dan komitmen yang besar untuk
menyejahterakan masyarakat Kota Bandar Lampung.
Sementara pada sisi yang lain watak birokrasi di Kota Bandar
Lampung cenderung lambat, kurang bertanggung jawab,
minim prestasi kerja dan kurang peduli terhadap pelayanan
publik. Dengan kondisi yang ada tersebut maka pilihan
strategis program yang paling memungkinkan adalah
melakukan pendekatan secara langsung ke walikota
“memanfaatkan jabatan walikota” agar visi program SIAP II
ini bisa diteruskan ke unit pelayanan publik di lingkungan
pemerintah Kota Bandar Lampung. Keberadaan walikota
menjadi jaminan dan bumper dari PUSSbik ketika
berhadapan satuan kerja dan unit layanan di bawahnya,
PUSSbik bisa menjual nama Walikota Bandar Lampung
sehingga bisa memaksa unit layanan untuk membantu
pelaksanaan Program SIAP II oleh PUSSbik, terlibat secara
aktif dalam setiap kegiatan dan perlahan-lahan berharap
ada perubahan paradigma pelayanan dampak dari tekanan
SIAP II.
Watak bupati/walikota yang anti kritik dan tidak suka konfrontasi
tentu bukan dimonopoli oleh Walikota Bandar Lampung. Hampir
semua penguasa mempunyai karakter serupa. Ketika LSM
72
BAB IV Pertautan Warga dan Masyarakat Sipil
membutuhkan walikota atau hendak melakukan perubahan
kebijakan, mau tidak mau LSM harus duduk bersama dengan
walikota, melakukan lobi dan diskusi untuk mempengaruhi kebijakan.
Memegang pucuk pimpinan daerah tentu bukan segala-galanya, dan
tidak serta-merta membuahkan perubahan, tetapi setidaknya enam
LSM mitra menjadikan bupati/walikota menjadi patron politik,
sebagai jalan awal untuk membangun kepaduan antara pembuat
kebijakan dengan SKPD dan unit penyedia layanan.
Tetapi strategi kolaborasi (engagement) yang ditempuh LSM
bukan tanpa masalah. Pertama, hubungan yang dekat antara LSM
dengan bupati/walikota membuat LSM diserap dan dikooptasi oleh
penguasa, sehingga daya kritis dan independensi mereka menjadi
berkurang. Bahkan hubungan yang intim tetapi tidak terbuka bisa
tergelincir pada relasi klientelistik. Kedua, LSM bisa dijadikan alat
bagi pemimpin daerah atau birokrat untuk justifikasi atas
tindakannya. “Jika tidak memiliki keseimbangan kekuatan antara
LSM dan organisasi rakyat dengan instansi penyelenggara pelayanan
publik, maka seringkali dipergunakan untuk melabeli kebijakan yang
tidak berhubungan langsung dengan rakyat bahkan kadang tidak
prorakyat”, demikian tulis PUSSbik. Ketiga, hubungan intim antara
LSM dengan bupati/walikota mudah menimbulkan resistensi di
kalangan birokrat. Begitu habis LSM berdiskusi dengan bupati/
walikota, setelah itu bupati/walikota biasa melakukan teguran dan
marah kepada pimpinan SKPD, bahkan tidak jarang bupati/walikota
melakukan mutasi terhadap pejabat yang tidak responsif. Tindakan
ini sebenarnya wajar sebagai perwujudan akuntabilitas politik dan
kepaduan antara pemimpin daerah dengan SKPD dan unit layanan
atau kepaduan antara kebijakan dengan implementasi dan antara
politik dengan administrasi. Namun para birokrat menjadi resisten
karena mereka mengendus kabar bahwa tindakan bupati/walikota
memperoleh input dari LSM. Ada pejabat yang berujar “LSM itu
keterlaluan, campur tangan terhadap internal pemda,
mempengaruhi walikota untuk melakukan mutasi terhadap pejabat
SKPD”. Ada pula pejabat yang berujar kepada LSM: “Saya melayani
Anda semata-mata karena Anda dekat dengan walikota”.
Dalam kondisi plus minus itu strategi engagement tetap
dijalankan dan berjalan di enam daerah. Ada berbagai bentuk
kolaborasi (engagement) yang dijalankan oleh LSM beserta
pemerintah daerah dan unit layanan. Pertama, LSM menjadi
intermediary (jembatan) antara komunitas warga dengan
73
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
pemerintah daerah, SKPD maupun unit layanan. Pada enam bulan
pertama, LSM tampil di depan membawa kumpulan pengaduan
kepada SKPD maupun unit layanan. Setelah itu, pengaduan digeser
ke komunitas warga secara mandiri. “Dulu kami di depan, tetapi
sekarang komunitas yang berada di depan, secara mandiri melakukan
pengaduan”, demikian ungkap staf PUSSbik, Nur Rakhman. Di Malang
juga demikian. Dulu, seringkali MCW menjadi pemadam kebakaran:
warga punya masalah, datang mengadu ke MCW, MCW yang
membereskan persoalan tersebut. Namun melalui program ini warga
dan komunitas didorong untuk mandiri, sedangkan MCW akan
mengambil posisi sebagai fasilitator yang menghubungkan warga
sebagai penerima layanan dengan pemerintah kota dan badan publik
lainnya sebagai pemberi layanan. Setelah komunitas warga berada
di depan, LSM bertindak sebagai mediator dan fasilitor antara
komunitas dengan SKPD dan unit layanan. PUSSbik misalnya seringkali
menjadi jembatan diskusi dan negosiasi antara PLN dengan berbagai
komunitas warga.
Kedua, diskusi atau dialog kebijakan antara organisasi
masyarakat sipil dengan pemerintah daerah. Ketiga, kolaborasi
antara OMS dengan SKPD menyelenggarakan survei kepuasan warga
terhadap layanan publik. Keempat, kolaborasi OMS dengan unsurunsur pemerintah daerah dalam penyusunan kebijakan. LSM di semua
daerah bekerja sama dengan SKPD terkait telah menyusun standar
pelayanan maupun SOP pelayanan publik.
Tentu tidak ada strategi tunggal yang berpredikat sempurna.
OMS mau tidak mau harus menerapkan multistrategi yang lentur
dan kontekstual. Strategi pengaduan, yang harus menempuh jalan
konfrontasi secara kritis, telah dijalankan oleh OMS mitra YAPPIKA
bersama komunitas warga, ketika menghadapi pelayanan publik yang
bermasalah. Konfrontasi secara kritis-moderat ini telah menjadi
terapi kejut bagi pejabat daerah, yang bahkan dihargai dan diterima
dengan baik oleh jajaran pemimpin dan pejabat daerah. Sebaliknya
konfrontasi secara radikal cenderung menciptakan penolakan oleh
pejabat daerah, sekaligus membuat cerai berai (disengagement)
dan saling tidak percaya antara pemerintah daerah dengan OMS.
Strategi konfrontasi kritis itu dilengkapi dengan strategi
kolaborasi antara OMS dengan pemerintah daerah maupun unit
pelayanan, terutama untuk keperluan perubahan kebijakan. Pilihan
kolaborasi ini merupakan strategi yang tepat, tanpa membuat OMS
74
BAB IV Pertautan Warga dan Masyarakat Sipil
terjebak menjadi kepanjangan tangan atau tenaga kontrak yang
dikooptasi pemerintah daerah. Mereka tetap menjaga independensi
dan sikap kritis di hadapan pemerintah daerah. Lebih dari sekadar
pengaduan, kolaborasi juga membuat penguatan dan percepatan
kebijakan daerah yang lebih sistemik untuk perubahan pelayanan
publik, sehingga memberikan kontribusi bagi akuntabilitas rute
panjang.
75
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
76
Pembelajaran Pelaksanaan Program SIAP II
di 6 Kabupaten/Kota
BAB V
Menantang Akuntabilitas
S
truktur dan sistem politik formal di Indonesia, baik di level
nasional maupun daerah, sebenarnya telah menjamin
akuntabilitas pelayanan publik. Sederet regulasi, termasuk UU
No. 25/2009, telah mengamanatkan setiap unit layanan maupun
pejabat/pegawai harus bertanggung jawab menyelenggarakan
pelayanan publik, termasuk harus menyediakan mekanisme dan
merespons pengaduan secara positif. Setiap pidato presiden, wakil
presiden, menteri, gubernur, dan bupati/walikota selalu mengusung
visi dan instruksi agar setiap instansi pemerintah beserta jajaran
pejabat dan pegawai memastikan akuntabilitas pelayanan publik.
Para pejabat publik dan petugas pelayanan bukanlah mesin
negara yang sempurna, bukan juga malaikat sempurna yang setia
melayani warga dengan baik. Mereka sebenarnya tahu posisinya
sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang harus melayani warga
dengan baik dan bertanggung jawab. Tetapi struktur hirarkis maupun
regulasi dan instruksi pemimpin tidak serta merta membuat
membuat unit layanan maupun pejabat publik akuntabel dalam
pelayanan publik. Kultur paternalistik maupun warisan kolonial
membuat kinerja birokrasi lembam dan melemahkan akuntabilitas
pelayanan publik.
Lemahnya akuntabilitas juga disokong oleh warga yang payah,
warga yang pasif, apatis dan diam. Kultur paternalistik dan parokhial
membuat warga menjadi hamba yang tidak tahu tentang pelayanan
publik. Apapun yang diberikan oleh pemerintah, mereka terima
dengan loyal dan diam. Ada juga warga yang melek pelayanan publik,
tetapi apatis dan tidak mau menantang dan melakukan pengaduan
terhadap pelayanan publik yang bermasalah, karena faktor distrust,
yaitu tidak yakin apakah pengaduan yang disampaikan akan
memperoleh respons yang positif dari pemerintah.
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Program SIAP II hadir untuk membangkitkan warga yang pasif,
apatis dan diam itu. Para OMS mitra YAPPIKA pegiat Program SIAP II
yakin bahwa partisipasi (voice, akses dan kontrol) warga merupakan
salah satu jalan penting untuk menantang akuntabilitas pelayanan
publik, yang membuat pelayanan publik berubah menjadi lebih lebih.
Dalam konteks ini komunitas warga dan organisasi masyarakat sipil
menantang akuntabilitas pelayanan publik dengan rute yang berbeda
tetapi tetap berkaitan dan saling memperkuat. Pertama, komunitas
warga, baik secara mandiri maupun didampingi oleh OMS, menempuh
rute pendek, yakni melakukan pengaduan kepada SKPD maupun unit
penyedia layanan publik. Kedua, OMS beserta tim advokasi yang
berasal dari perwakilan komunitas warga maupun dengan komunitas
warga berbasis isu menempuh rute panjang akuntabilitas, yaitu
melakukan politik advokasi di hadapan pemimpin daerah, DPRD
maupun SKPD. SKPD terkait (seperti kesehatan, pendidikan,
adminduk) menjadi arena dan titik temu rute pendek dan rute
panjang tersebut, sebab SKPD berposisi menjadi pemegang kebijakan
yang menerjemahkan visi dan kehendak pemimpin daerah, sekaligus
menjadi pengendali terhadap unit pelayanan publik.
Rute Pendek: Pengaduan Komunitas Warga
Proses edukasi dan pengorganisasian telah membentuk komunitas
warga di semua daerah. Komunitas warga berbasis wilayah
merupakan komunitas yang paling banyak dibandingkan dengan
komunitas lain. Mereka bersentuhan dan berhubungan dengan warga
secara langsung dan dekat. Setiap komunitas warga memiliki
sekretariat yang digunakan sebagai posko pengaduan. Dari proses
sosialisasi dan diskusi komunitas, para pegiat mampu
mengidentifikasi berbagai keluhan dan problem yang dihadapi warga
terkait dengan pelayanan publik, mulai dari pendidikan, kesehatan,
adminduk hingga kelistrikan. Warga di sekitar posko mulai berani
bicara dan menyampaikan pengaduan kepada posko pengaduan,
kemudian membawa aduan itu kepada unit pelayanan publik.
Pola posko pengaduan itu dijalankan oleh hampir semua
komunitas warga, tetapi yang paling menonjol dilakukan oleh
komunitas warga berbasis wilayah. Sementara komunitas warga
berbasis isu lebih dominan bermain di ranah media. Mobile complain
digelar oleh kolaborasi antara LSM dengan komunitas di ruang-ruang
publik. Mobile Complain adalah sebuah kegiatan agregasi pengaduan
bagi warga, berfungsi sebagai media untuk publik untuk mengubah
pengetahuan dan sikap mereka dalam praktik akuntabilitas. Melalui
80
BAB V Menantang Akuntabilitas
pengorganisasian pos pengaduan bergerak di wilayah publik,
diharapkan dapat mengurangi keyakinan bahwa masyarakat tidak
dapat menyampaikan komplain ketika mereka tidak puas dengan
layanan. Selain mendorong masyarakat, pos pengaduan bergerak
juga bertujuan untuk menjembatani dialog antara masyarakat
sebagai pengguna layanan, pemerintah daerah dan unit layanan.
Hasil dari pos pengaduan bergerak akan disampaikan kepada pihak
yang berwenang (penyedia layanan, administrator pelayanan, dan
DPRD) dalam dialog publik.
Pola seperti itu bekerja di semua daerah. Di Bandar Lampung,
terdapat 14 posko advokasi dan pengaduan komunitas: Forum
Komunitas Peduli Pelayanan Publik (FKLP) Kota Karang; Komunitas
Bukit Kemiling Permai ; Ikatan Pemuda Peduli Layanan Publik (IPPLP);
Forum Masyarakat Kelapa Tiga; Forum Masyarakat permata biru,
Forum komunikasi masyarakat peduli pelayann publik (FKMP3
Panjang Utara), Komunitas nelayan pesisir Sukaraja, Komunitas
mahasiswa peduli pelayanan publik, Komunitas tanggap tetangga,
Komunitas SPBL Panjang , Komunitas Warga Kebon Jeruk, Komunitas
SPBL ketapang kuala, MP4 Masyarakat Panitrik Perlu Pelayanan
Publik, dan MNP3 Masyarakat Nusantara Peduli Pelayanan Publik.
Ada dua jalan pengaduan ditempuh. Pertama, membuka pos
pengaduan di pusat-pusat keramaian, sebelumnya dilakukan
sosialisasi dan kampanye (theatrical event) dan pemberitaan media
massa, lokasi mobile complain terbuka dilakukan di pasar, terminal,
lapangan, dan kampus. Respon publik cukup bagus namun tidak
mampu mencapai target yang diinginkan karena warga paham
tentang masalah pelayanan publik namun tidak punya waktu untuk
mengisi formulir pengaduan pelayanan publik karena mereka sibuk.
Di pasar warga sedang belanja, di kampus mahasiswa sedang kuliah,
dan di terminal orang sedang bepergian. Kedua, adalah membuka
pos-pos pengaduan di tiap komunitas, sebelumnya di deklarasikan
dahulu pos pengaduan komunitas yang di beri nama Kotak Pengaduan
Komunitas (KPK), KPK ini berada di 12 posko advokasi komunitas,
model complain yang di kumpulkan adalah anggota komunitas
menyebarkan formulir pengaduan kepada warga yang ingin mengadu
namun tidak punya waktu atau keberanian sehingga anggota
komunitas menjemput bola, atau warga di sekitar posko advokasi
komunitas yang mendatangi sekretariat komunitas untuk mengadu
(mengisi formulir pengaduan) lalu menyampaikan kepada komunitas
melalui KPK.
81
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Jaringan kerja komunitas warga beserta PUSSbik juga menggelar
petisi pemadaman listrik. Sampai menjelang akhir Desember 2013,
petisi yang terkumpul lebih dari 1.000 lembar, telah di kemas rapi
dan diserahkan kepada PLN Wilayah Lampung, selain itu juga di
sampaikan juga breifing paper pelayanan kelistrikan. Petisi dan
breifing paper pelayanan kelistrikan ini mendapat tanggapan serius
dari pihak PLN, karena PUSSbik dan MP3 (komunitas warga berbasis
isu) terus diundang dan dilibatkan oleh PLN bersama perguruan tinggi
untuk membantu PLN dalam rangka perbaikan kualitas pelayanan
kelistrikan di Lampung dan membantu PLN menyelesaikan masalah
pembangunan jaringan transmisi PLN yang terhambat oleh
perusahaan swasta.
Dari aktivitas mobile complain dan kegiatan kotak pengaduan
komunitas, dari 1.586 data orang yang melakukan pengaduan, dan
ditambah dengan 300 data pengaduan tambahan pasca kegiatan
mobile complain, berturut-turut jenis pengaduan paling tinggi yang
masuk adalah: (a) Sektor kesehatan (Jenis pengaduan jamkesda,
fasilitas, pengelola pelayanan, biaya pengobatan); (b) Sektor
pendidikan (Jenis pengaduan biaya komite sekolah, dana BOS,
bantuan seragam dan alat sekolah dari pemda yang tidak merata,
program bina lingkungan salah sasaran); (c) Sektor dukcapil/
adminduk (Jenis pengaduan tentang antri proses rekam dan
pembagian E-KTP, kesulitan mendapatkan kartu keluarga dan akta
kelahiran); (d) Sektor kelistrikan (Jenis pengaduan tentang seringnya
pemadaman, fasilitas seperti tiang listrik dan kabel/jaringan,
petugas catat meter); (e) Sektor lainnya (jenis pengaduan terkait
dengan pelayanan polisi lalu lintas di jalan raya, pengaduan paspor,
pengaduan transportasi umum, dan kondisi jalan raya). Setelah
ditambah dengan kegiatan petisi warga tolak pemadaman listrik,
maka pengaduan listrik menjadi paling tertinggi, sekitar 1.200 petisi
yang dicetak dan disebar, sekitar 1.000 lebih telah diisi warga dan
telah di serahkan kepada PLN Wilayah Lampung.
Di Pekalongan, ada 12 komunitas warga dampingan PATTIRO
Pekalongan yang terdiri dari berbagai latar belakang baik jenis
kelamin, usia, tempat tinggal, dan pekerjaan, yang memperoleh
penguatan kapasitas dan pendampingan dari CO PATTIRO Pekalongan.
Komunitas tersebut melakukan kegiatan pengaduan dan advokasi
dalam berbagai tingkat yaitu kelurahan, kecamatan, dan kota.
Pertama, komunitas bekerja di tingkat kelurahan bagi anggota
komunitas yang tinggal dalam satu wilayah kelurahan yang sama.
Kedua, komunitas bekerja di tingkat kecamatan bagi anggota yang
82
BAB V Menantang Akuntabilitas
tinggal dalam wilayah kecamatan yang sama. Ketiga, komunitas yang
bekerja di tingkat kota Pekalongan, anggotanya meliputi warga yang
tinggal dalam lingkup kota. Setiap komunitas memiliki tim advokasi
sendiri-sendiri. Jika komunitas kelurahan mendapat pengaduan dari
anggota atau warga masyarakat, mereka melakukan advokasi sendiri
ke penyedia layanan di tingkat kelurahan. Jika tidak dapat
diselesaikan, mereka melakukan advokasi ke dinas atau pemberi
layanan terkait di atas kelurahan. Tim-tim advokasi ini bertemu
dalam forum di tingkat kota untuk menjamin komunikasi sekaligus
melakukan advokasi di tingkat kebijakan.
Sebagian besar komunitas sudah melakukan advokasi atau
pendampingan dari hasil pengaduan yang masuk lewat posko
pengaduan (mobile complain) di masing-masing komunitas.
Percepatan terbentuknya tim advokasi ini dipicu oleh adanya posko
pengaduan yang dikelola oleh masing-masing komunitas. Para pegiat
komunitas (pengurus dan anggota kelompok yang aktif) sudah
mendampingi warga dalam memperoleh Jamkesda, melakukan
sosialisasi ke warga melalui agenda rutin warga (ibu-ibu RT, IPNUIPPNU ranting) dan melalui pertemuan-pertemuan informal di
warung-warung terkait pengaduan pelayanan publik, mendampingi
warga sampai mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUD Bendan,
menyebarluaskan terkait dengan pentingnya hak-hak warga dalam
penyampaian pengaduan di tingkatan Pimpinan Ranting Fatayat NU/
tingkat Kelurahan, pegiat komunitas berani mengadukan/komplain
terkait dengan pelayanan kesehatan.
Anggota community center sudah terbiasa melakukan advokasi
ke pemberi layanan, PATTIRO Pekalongan mendorong mereka
mendalami pengertian bahwa mereka mempunyai hak untuk
mendapat pelayanan publik yang baik. Dalam beberapa pengaduan,
anggota sudah memiliki pengalaman advokasi, mereka langsung
mendampingi secara personal warga yang mengadu. Community
Center ini mendapat pengakuan dari Dinas Kesehatan. Mereka sering
dilibatkan dalam berbagai kegiatan seperti dalam proses sosialisasi
Kawasan Tanpa Rokok (KTR), terlibat dalam AMPAR (Aliansi
Masyarakat Peduli Asap Rokok) yang merupakan program Pemerintah
Kota, aktif dalam diskusi-diskusi. Warga komunitas ini bahkan sudah
berani mengirimkan pesan singkat (sms) ke Walikota dan direktur
RSUD untuk menanyakan sesuatu hal berkaitan dengan pelayanan
di Rumah Sakit.
Komunitas-komunitas ini juga mengisi ruang partisipasi di
kelurahan, misalnya menjadi anggota LPM, BKM, atau Karang Taruna,
83
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
yang melakukan pengawasan program di kelurahan. Isu-isu yang
berkembang di komunitas di mana mereka terlibat kemudian
dikomunikasikan secara luas melalui Musrenbang Kelurahan seperti
yang dilakukan CC Selatan. Community Center Selatan memiliki
program telecenter (Internet masuk kelurahan) yang diinisiasi
Pemerintah Kota. Komunitas menyampaikan aspirasi bahwa
kebutuhan internet bagi warga sangat tinggi, tidak mengenal waktu,
oleh karena itu dalam Musrenbang disampaikan bahwa sebaiknya
internet tidak ditaruh di kelurahan yang jam kantornya hanya sampai
sore, mereka mengusulkan internet ditaruh di rumah warga agar
dapat leluasa dimanfaatkan kapan pun. Musyawarah menyetujui
usulan itu, kini fasilitas internet dipindah ke rumah warga agar bisa
diakses setiap saat.
Di Kota Pekalongan, keanggotaan komunitas dampingan beragam.
Jika di wilayah Buaran adalah komunitas berbasis organisasi
keagamaan, di kelurahan Panjang Baru merupakan komunitas buruh
yang terdiri dari buruh pabrik pengolahan ikan, istri pengayuh becak,
atau istri nelayan. Hari-hari berikutnya meluas guru PAUD dan ibu
rumah tangga pun mau bergabung. Komunitas ini tinggal di
perumahan di kawasan tepi laut, merupakan kawasan rawa,
seringkali air laut pasang menggenang rumah-rumah di lingkungan
itu yang disebut rob. Kawasan rob ini memiliki kelompok komunitas
yang aktif bekerja sama dan berdiskusi mempromosikan pelayanan
publik di kota Pekalongan, mereka tergabung dalam Komunitas
Perempuan Buruh Nelayan (KPBN). Isu-isu perburuhan menjadi daya
tarik tersendiri sebelum CO memperkenalkan isu pelayanan publik.
CO melihat kelompok ini sebagai kelompok yang asal berani tapi
pengetahuannya terbatas. Mereka tergabung dalam organisasi buruh
di wilayah kota Pekalongan atau SPN. Awalnya hanya dua orang yang
mau bergabung, kemudian diskusi-diskusi dilakukan dengan
mengundang warga perempuan lainnya untuk menarik minat mereka
agar mau bergabung dalam komunitas ini. Kini anggotanya meluas,
mencapai 20-an perempuan.
Kini kelompok ini sudah mandiri dalam menerima pengaduan
warga, mengadvokasi pengaduan warga secara langsung dan tidak
langsung. Jika ada warga kesulitan mengurus surat-surat adminduk,
anggota komunitas mengantar mereka ke Dinas Adminduk seperti
mengurus akta kelahiran. Ketika mengurus pembebasan biaya
kesehatan di fasilitas kesehatan tidak bisa mereka selesaikan,
mereka mengundang Dinas Kesehatan dan pihak-pihak lain untuk
menjelaskan hal yang tidak mereka pahami.
84
BAB V Menantang Akuntabilitas
Komunitas buruh lainnya adalah Formapp dan KBP3 (Komunitas
Buruh Peduli Pelayanan Publik). Formapp terdiri dari mantan buruh
perusahaan, mereka kena PHK beberapa waktu sebelumnya,
sekarang bergabung dalam komunitas. Sehari-hari mereka bekerja
sebagai pedagang di wilayah kota, sebagian adalah pedagang yang
menjajakan dagangan di Pasar Tiban, pasar dadakan yang berpindahpindah tempat setiap malam di wilayah Kota Pekalongan. Saat ini
mereka dilarang berjualan berpindah-pindah oleh pemerintah kota
karena mengganggu lalu lintas, namun aktivitas Pasar Tiban tetap
berlangsung. Walikota dinilai tidak memberi solusi ke mana pedagang
Pasar Tiban boleh berjualan. Anggota Formapp kini meluas tidak
hanya mantan buruh perusahaan, namun juga kalangan lainnya
seperti media massa dan wilayah keanggotaan meluas hingga ke
Kabupaten Pekalongan. Anggota kini menjadi majemuk. Formapp
menjadi wadah anggota untuk menyuarakan berbagai isu termasuk
isu kebijakan perburuhan dan isu pelayanan publik. Dituturkan oleh
Koordinator Program SIAP II Pekalongan:
“ ... PATTIRO Pekalongan melihat anggota Formapp adalah
para mantan buruh, mereka kena PHK, kemudian bekerja
sama dengan PATTIRO mengerjakan sesuatu. Jika ada
kegiatan, kita berdayakan mereka. Kita sering diskusi, sepakat
teman-teman yang mengalami PHK mendirikan Formapp. Agar
persoalan orang ter-PHK itu bisa tersampaikan ke pengambil
kebijakan. Ketika mereka di-PHK mereka dapat kerja lain
misalnya dengan tambahan pelatihan dari dinas. Mereka bisa
masuk ke situ lewat Formapp. Sekarang berkembang ada
kalangan media, orang-orang kabupaten, dan lain-lain. Sudah
majemuk ...”
KBP3 dan komunitas-komunitas yang lain saat ini masih
melakukan kegiatan rutin mereka, baik diskusi rutin membahas
pengaduan warga atau persoalan pelayanan publik lain yang mereka
hadapi atau pun melakukan advokasi ke berbagai pihak. Persoalan
rob yang menimpa warga Kelurahan Pasirsari mendorong Kompas
(Komunitas Pasirsari) melakukan audiensi dengan Walikota agar
pemerintah kota mengambil tindakan mengatasi persoalan yang tidak
bisa diselesaikan warga yang terkena rob tersebut. Warga
mengusulkan membuat tanggul dengan dana dari pemerintah kota,
namun pembuatan tanggul sungai merupakan kewenangan
pemerintah provinsi. Pemerintah provinsi atas berbagai
pertimbangan baik dari sisi teknis, struktur pembangunan, dan
anggaran tidak merekomendasikan warga membuat tanggul.
85
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Walaupun tidak semua persoalan teratasi segera, warga kini dapat
memanfaatkan ruang-ruang partisipasi untuk membuka jalan dalam
mengatasi persoalan mereka.
Persoalan pengurusan surat adminduk yang rumit dan lambat
juga diatasi dengan meminta informasi ke Dinas Adminduk atau ihak
Dinas Adminduk diminta hadir dalam diskusi komunitas. Salah satu
yang dikeluhkan warga adalah biaya yang tinggi, ternyata setelah
ditelusuri biaya tinggi terjadi karena warga mengurus melalui calo.
Calolah yang mengambil keuntungan dari warga masyarakat yang
menitipkan pengurusan pada para calo ini. Selain itu ada indikasi
bahwa orang dalam juga menarik pungutan untuk membantu
mengurus surat agar lebih cepat selesai diurus. Pihak Dinas Adminduk
menyadari lambatnya pelayanan karena keterbatasan sumber daya
manusia. Dialog warga dan komunitas dengan Dinas Adminduk
menjadi penting karena warga mendapat informasi langsung dari
pihak Dinas Adminduk. Warga mengadu dan pihak dinas merespon
dengan menerima pengaduan warga dan memberi informasi tentang
hal-hal yang diadukan warga tersebut. Pengaduan-pengaduan warga
juga disampaikan langsung ke pemberi layanan seperti Dinas
Pendidikan mengenai masih banyaknya pungutan di sekolah-sekolah,
dan Dinas Kesehatan mengenai pelayanan kesehatan yang tidak
memuaskan warga ketika memeriksakan diri ke berbagai fasilitas
kesehatan di wilayahnya.
Di Kota Surakarta, posko pengaduan (mobile complain) juga
dipakai oleh PATTIRO Surakarta sebagai saluran pengaduan. Kegiatan
mobile complain telah mampu menampung sebanyak 1.951
pengaduan yang masuk. Jumlah ini mengalami kenaikan dari triwulan
keenam (bulan Desember 2013) yang baru mengumpulkan 1.537
pengaduan masuk. Penambahan sebanyak 415 pengaduan dilakukan
selama Desember 2013-Februari 2014 dengan mengoptimalkan
simpul pengaduan pada tingkat warga. Ada beberapa komunitas mitra
dampingan yang melakukan jemput bola pada pertemuan-pertemuan
tingkat RT, RW dan kelurahan. Dari jumlah pengaduan yang masuk
tersebut 46,9% adalah kaum perempuan dan 53,1% laki-laki. Di
mana usia pengadu terbesar adalah pada rentang usia 17-26 tahun
(34,55%) dan lebih lengkap dapat dibaca dalam lampiran di bagian
akhir laporan ini. Sementara itu jika dipetakan lebih jauh, dari 1.951
pengaduan yang masuk tersebut sebanyak 26,04% atau lebih dari
500 pengaduan yang masuk adalah mengeluhkan pelayanan pada
sektor kesehatan. Sementara itu sektor pendidikan dan sektor
administrasi kependudukan hampir berimbang, yakni pada angka
17,94% (pendidikan) dan 17,12% (administrasi kependudukan).
86
BAB V Menantang Akuntabilitas
Di antara 17 komunitas warga di Kota Surakarta, Forum
Komunikasi Kader Posyandu (FKKP) merupakan salah satu komunitas
warga berbasis kepentingan yang solid, luas dan solid bersuara. Salah
satu upaya dalam menuntut perubahan kebijakan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, komunitas juga menggunakan
metode penggalangan petisi. Adalah Forum Komunikasi Kader
Posyandu (FKKP) Surakarta yang menggalang penandatanganan petisi
guna menuntut pemerintah kota Surakarta lebih memperhatikan
kader posyandu.
Dalam pertemuan komunitas, para kader posyandu ini
mengusulkan dan mengadvokasi usulannya tentang keberadaan kartu
sehat atau PKMS Kader sebagai salah satu bentuk penghargaan dan
perhatian pemerintah kota kepada mereka. Usulan yang dikawal
sejak Diskusi Kelompok Terbatas (DKT) Kesehatan, Forum SKPD dan
juga Forum Rakerkesda 2012 menemukan titik terang ketika Dinas
Kesehatan mengakomodir hal ini. Akan tetapi dalam pembahasan
RAPBD 2014 alokasi anggaran tersebut tidak disetujui oleh DPRD
dengan alasan dikhawatirkan salah sasaran karena banyak kader
posyandu yang termasuk dalam golongan mampu. Namun, karena
esensi kartu sehat tersebut bukan untuk golongan mampu atau tidak,
akan tetapi sebagai sebuah penghargaan dan perhatian Pemkot
terhadap kader-kader kesehatan yang juga berjuang membantu
upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat maka FKKP
melakukan upaya penggalangan petisi untuk mendapatkan dukungan
warga Surakarta atas usulan program tersebut.
Tidak mudah dalam menggalang dukungan dan meyakinkan warga
Surakarta untuk mendukung tersebut, namun berkat kerja keras
para anggota FKKP akhirnya mampu mengumpulkan setidaknya 200
tanda tangan dari 500 tanda tangan yang diharapkan terkumpul.
Kesempatan kehilangan momen dalam pembahasan RAPBD 2014 yang
segera berakhir merupakan alasan utama tidak dikejarnya target
tersebut. Meskipun hanya dengan 200 tanda tangan, dan bahkan
FKKP berhasil memaksa anggota Komisi IV DPRD Kota Surakarta turut
menandatangani petisi tersebut, kemudian mereka menyerahkannya
ke Dinas Kesehatan, Ketua DPRD, Badan Anggaran DPRD dan Walikota
Surakarta. Hasilnya, apa yang diusulkan tersebut dapat diakomodir
dalam APBD 2014 dengan alokasi sebesar Rp. 7.500.000 per kader
dengan sistem reimbursement ketika ada kader yang sakit dan
menggunakan fasilitas tersebut dapat langsung ke puskesmas maupun
rumah sakit daerah.
Dengan belajar dari pengalaman FKKP tersebut, maka upaya
penggalangan petisi dapat dijadikan sebagai salah satu model
87
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
advokasi yang cukup menuai keberhasilan. Meskipun upaya advokasi
lain berupa lobi dan hearing maupun desakan melalui media massa
tetap dilaksanakan. Artinya, model ini dapat juga digunakan untuk
menuntut perubahan kebijakan yang bermanfaat bagi lebih banyak
warga sebagai penerima manfaatnya.
Di Kota Malang, pos pengaduan keliling sangat bermanfaat dalam
menyebarkan isu pentingnya akuntabilitas pelayanan publik di Kota
Malang. Sebagian warga mengetahui bahwa mereka dapat
mengadukan pelayanan publik yang mereka terima dari brosur-brosur
yang disebarkan tim program. Warga kemudian menghubungi MCW,
dipertemukan dengan komunitas yang mendalami pelayanan publik
yang mereka adukan, kemudian melakukan advokasi bersama-sama.
Hayik, salah seorang CO menuturkan, pada awal melakukan
pendampingan pada forum warga menghadapi tantangan tersendiri.
Warga ingin agar semua persoalan selesai segera dengan cepat.
Setelah hampir dua tahun MCW melakukan penyadaran akuntabilitas
pelayanan publik, melakukan pendampingan pada forum-forum
warga, kini ada 8 komunitas yang bisa dikatakan mampu membuka
pos pengaduan dan melakukan advokasi sendiri.
“ ... Saya di Komunitas Kelurahan Sukun ... Memang di sana
awalnya hambatan yang kami rasakan, kita harus mampu
meyakinkan masyarakat bahwa kedatangan MCW ini ada nilai
manfaatnya, bahkan beberapa waktu warga memper–
tanyakan, MCW ini apa, yang dilakukan apa? ... Warga ini
pola pikirnya masih ingin sesuatu yang sifatnya karitatif, ada
persoalan selesai, tidak mencoba berpikir lebih panjang, tidak
membangun partisipasi masyarakat dalam akuntabilitas
pelayanan publik, tidak sampai di situ. Contohnya, ini ada
ijazah ditahan, besok selesai. Ini tantangan yang perlu kita
diskusikan dengan warga. Di warga sendiri terlalu lama tidak
ada model diskusi yang dilakukan partai politik atau penyedia
layanan. Warga merasa kebingungan mesti bicara dengan
siapa jika ada persoalan pelayanan publik. Ketika MCW masuk
ke forum warga, diskusi tentang layanan publik, persoalan
mereka semua muncul. Kami ditanya pemakaman. Ada pabrik
mebel, warga sekitar terganggu asap dan suara ... MCW
datang, semua diadukan. Karena kita ada keterbatasan
pengetahuan ... kita lalu jadi semacam fasiltator. Waktu ada
warga mengeluh biaya pernikahan mahal, tidak 130 ribu
seperti aturan tertulis, tapi bisa mencapai 600 ribu, akhirnya
88
BAB V Menantang Akuntabilitas
kita datangkan KUA dan Depag. Kemudian di Madyapuro,
mereka kesulitan soal PLN, karena akan kena proyek
penggusuran proyek PLN. Mereka kesulitan ngomong ke mana,
ngomong ke Lurah dan Camat disuruh nunggu ... kita
datangkan PLN rayon sana. Setelah itu warga terbiasa,
kemudian melakukan dialog langsung dengan pihak pemberi
layanan ...”
Pengalaman lain yang menarik datang dari Forum Masyarakat
Peduli Pendidikan (FMPP), sebuah forum dampingan MCW sejak
sebelum Program SIAP II berjalan. Dulu mereka adalah warga
masyarakat dari berbagai kelurahan atau kecamatan yang mengalami
persoalan atau ketidakadilan terutama di bidang pendidikan. Mereka
kemudian berjejaring, membentuk forum, melakukan advokasi
tentang tidak memadainya pelayanan publik di Kota Malang. Saat
ini mereka masih aktif melakukan advokasi di bidang pendidikan
dan bahkan meluas ke bidang-bidang lainnya. Para anggota FMPP
sebagian besar orang-orang tua yang bekerja sebagai wiraswasta,
pensiunan pegawai negeri, baik laki-laki maupun perempuan.
Komunitas Pertuni (Persatuan Tuna Netra Indonesia) yang
beranggotakan 60 orang juga aktif menyampaikan pengaduan.
Mereka takut jika mengadu tentang hal-hal yang berkaitan dengan
pelayanan publik yang mereka terima selama ini. Sejak 2012
didampingi MCW, mereka mulai terbuka dan mau berkomunikasi
dengan tim MCW. Mereka bercerita bahwa mereka tidak pernah
mendapatkan bantuan atau program apa pun dari Dinas Sosial. MCW
kemudian mengambil inisiatif untuk mempertemukan Pertuni dan
Dinas Sosial, untuk berdiskusi dan berdialog langsung. Setelah
pertemuan tersebut, pihak Pertuni dan Dinas Soial sudah
berkomunikasi secara langsung tanpa mediasi MCW. Kabar terakhir,
mereka sudah mendapatkan perhatian dari Dinas Sosial berupa
penguatan kapasitas dan pemberdayaan kaum tuna netra. Mereka
memperoleh pelatihan sebagai juru pijat dan mendapat bantuan
dana untuk membuka panti pijat, yang difasilitasi oleh Dinas Sosial.
Selain itu MCW pernah mempertemukan KPU dengan Pertuni karena
dalam sebuah Pilkada, para pemilih tuna netra tidak bisa mencoblos
langsung kartu suara, akibatnya petugas membantu mencoblos surat
suara. Setelah KPU dan Pertuni bertemu, KPU sepakat untuk
membuat kartu suara berhuruf braille agar dalam pemilihan kepala
daerah mendatang para pemilih tuna netra dapat mencoblos secara
mandiri.
89
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Secara statistik pengaduan komunitas warga di Kota Malang
mengalami peningkatan secara signifikan dari 431 pada awal program
menjadi 1.708 pada akhir program. Keberanian warga maupun
kepercayaan warga bahwa pengaduan memperoleh respons positif
menjadi faktor penting peningkatan pengaduan pada pelayanan
publik. Dari sejumlah 1.708 pengaduan itu, pengaduan di sektor
kesehatan menempati tempat pertama, yakni sejumlah 334
pengaduan, yang muncul dari kaum perempuan sejumlah 172
pengaduan dan 162 pengaduan dari kaum laki-laki. Tempat kedua
adalah sektor pendidikan, dengan jumlah pengaduan 259 (140
perempuan, 119 laki-laki). Pelayanan di bidang adminduk
menghadirkan 221 pengaduan, dan yang paling sedikit adalah bidang
perizinan dengan 87 pengaduan. Angka-angka ini menunjukkan isuisu populis (pendidikan, kesehatan dan adminduk) menjadi sasaran
utama voice kaum marginal. Orang-orang gedongan tidak mungkin
melakukan voice pengaduan, karena mereka mampu exit dan paying
terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan dan adminduk. Kaum
kaya ini biasanya menaruh perhatian pada perizinan untuk lisensi
bisnis, tetapi kecilnya pengaduan di bidang perizinan menunjukkan
bahwa mereka tidak mengambil bagian dalam voice yang dijalankan
oleh Program SIAP II. Sejumlah 87 pengaduan bidang perizinan tetap
muncul dari warga biasa.
Di Kabupaten Sinjai, animo warga untuk berpartisipasi dalam
akuntabilitas pelayanan publik lebih meningkat. Semua kelompok
dampingan aktif bekerja di lapangan, terlibat dalam berbagai proses
advokasi dan diterima warga masyarakat umum serta menjadi
sasaran pengaduan warga. Secara umum fokus isu di Kabupaten Sinjai
adalah pendidikan, kesehatan, dan adminduk, namun meluas pada
isu kelistrikan, kekerasan dalam rumah tangga, infrastruktur,
mempertanyakan biaya tinggi dalam pengurusan SIM, dan lain-lain.
Setiap kelompok dampingan bergerak di semua isu tergantung
pengaduan warga di lingkungan mereka.
Komunitas Pemuda Koro menerima pengaduan penjualan Lembar
Kerja Siswa bagi anak-anak sekolah. Para orang tua keberatan karena
biaya LKS menjadi beban pengeluaran keluarga, sementara yang
dipahami orang tua adalah sekolah tidak lagi dapat menarik biaya
baik untuk buku maupun pelayanan pendidikan lainnya. Pada bagian
yang lain pemerintah kabupaten Sinjai sudah memiliki Perda
Pembebasan Biaya Pendidikan yang menyatakan sekolah tidak
diperkenankan menarik biaya pada orang tua murid. Pengaduan ini
dilanjutkan ke FPMS dan Kopel. Mereka melakukan kajian, melakukan
90
BAB V Menantang Akuntabilitas
advokasi ke DPRD, mengadakan jumpa pers tentang keluhan ini.
Setelah itu DPRD memanggil pihak Dinas Pendidikan dan pihak
sekolah untuk membicarakan pengaduan ini. Berdasarkan pengaduan
orang tua siswa dan kajian yang dilakukan FPMS dan Kopel serta
ketentuan Perda Pembebasan Biaya Pendidikan, DPRD memutuskan
agar pihak sekolah mengembalikan uang LKS itu.
Isu pendidikan dan kesehatan juga diangkat oleh Kelompok
Pengrajin Cempaga. Mereka mengeluhkan masih adanya pungutanpungutan di sekolah sementara sudah ada Perda Pembebasan Biaya
Pendidikan, dan masih adanya biaya ketika berobat di fasilitas
kesehatan baik Pustu maupun Puskesmas.
Komunitas Pemuda Koro dan FPMS juga mengadvokasi seorang
ibu bersalin yang melahirkan di Pustu dengan membayar, sementara
saat ini berlaku Jampersal (Jaminan Persalinan) yang membebaskan
biaya ibu melahirkan di fasilitas kesehatan pemerintah. Advokasi
dilakukan dengan meminta informasi ke Dinas Kesehatan mengenai
Jampersal dan prosedurnya. Hasilnya biaya ibu bersalin tersebut
dapat dijamin oleh Jampersal, oleh karena itu uang yang sudah
dikeluarkan ibu bersalin dikembalikan ke ibu yang bersangkutan.
Pengaduan seperti itu menunjukkan minimnya informasi mengenai
Jampersal yang diterima pengguna layanan, sementara para pemberi
layanan juga kurang terbuka dalam memberi informasi tentang
Jampersal atau tidak memberi informasi yang memadai tentang
Jampersal.
Forlipera (Forum Peduli Perempuan Lappa) menerima pengaduan
di isu pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, bahkan isu-isu
kekerasan rumah tangga di lingkungan mereka tinggal. Forlipera
terdiri dari sekitar 20 perempuan, dibentuk tahun 2011, dan aktif
terlibat dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan mereka. Mereka
adalah kader Posyandu, anggota PKK, guru PAUD, para perajin usaha
rumah tangga seperti penjahit. Forum ini memperoleh pengakuan
dari pihak Kelurahan terlihat dari aktifnya mereka mengikuti
kegiatan di kelurahan termasuk Musrenbang Kelurahan dan
Musrenbang Kecamatan. Untuk tahun anggaran 2015 mereka
mengajukan kegiatan pelatihan usaha rumah tangga yang lolos
sebagai usulan kelurahan di tingkat Musrenbangcam. Kini mereka
menunggu proses Musrenbangkab. Ketua kelompok, Ibu Pira
panggilannya, merupakan warga yang aktif dalam kegiatan ini.
Penguatan kapasitas yang didapatnya adalah pelatihan advokasi dan
sekolah anggaran yang pernah diselenggarakan KOPEL Sinjai.
91
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Warga tidak segan mengadu ke Ibu Pira, jika tidak ketemu, warga
hanya menelepon saja. Pira mendiskusikan dengan CO,
menindaklanjuti pengaduan ke FPMS dan KOPEL kemudian
mendiskusikan langkah-langkah advokasinya. Beberapa kali FPMS
langsung mengadukan ke layanan bersangkutan seperti Dinas
Kesehatan atau Dinas Pendidikan, namun seringkali tidak ditanggapi
segera. Hal ini membuat warga tidak sabar, oleh karena itu mereka
bekerja sama dengan pihak media agar memberitakan pengaduan
tersebut dengan meminta informasi pada pihak penerima layanan
dan pihak pemberi layanan. Pengaduan di bidang pendidikan
misalnya pembayaran buku sekolah, pengaduan di bidang kesehatan
misalnya pelayanan di Puskesmas Pembantu (Pustu) yang tidak
maksimal dan gizi buruk balita.
Forlipera juga menemukan kasus gizi buruk yang menimpa balita
di kelurahannya. Waktu itu Bupati di tahun 2012 mengumumkan
bahwa tidak ada gizi buruk di Kabupaten Sinjai, namun Forlipera
mengangkat kasus gizi buruk ke publik. Media menanggapi dan
memberitakan peristiwa tersebut. Melalui advokasi Forlipera, FPMS,
dan KOPEL, kemudian Pemda menggratiskan biaya perawatan balita
gizi buruk selama perawatan dua minggu di RSUD. Komunitas
Pengrajin Cempaga juga menemukan anak yang kena tumor tapi
tidak mendapat perawatan yang memadai karena keterbatasan
ekonomi dan pengetahuan keluarganya. Mereka bergerak dan
melakukan advokasi agar penderita tumor dirawat di fasilitas
kesehatan.
Untuk pengaduan kekerasan dalam rumah tangga, Forlipera
melakukan advokasi di tingkat kelurahan. Kelurahan diminta
memantau peristiwa yang menimpa warganya tersebut. Kelurahan
kemudian memanggil pihak yang bertikai, memanggil polisi, pihak
suami menandatangani surat yang isinya berjanji tidak mengulang
perbuatannya lagi. Di bidang administrasi, Forlipera menerima
pengaduan warga yang dipungut biaya 60 ribu ketika mengurus KTP
padahal seharusnya tidak membayar. Warga juga mengadu biaya
pengurusan akta kelahiran mencapai 300 ribuan, padahal seharusnya
sekitar 200 ribuan saja. Saat ini Forlipera menerima pengaduan
tentang kelangkaan air bersih di tiga lingkungan. Anehnya jika musim
Pilkada dan Pileg seperti ini air lancar dari PDAM, tetapi jika musim
Pilkada dan Pileg lewat, air langka lagi. Ketika musim Pilkada dan
Pileg, semua calon menjanjikan air bersih akan diprioritaskan di
Kelurahan Lappa yang merupakan kelurahan dengan jumlah pemilih
terbanyak di Kabupaten Sinjai, akan tetapi setelah Pilkada dan Pileg
92
BAB V Menantang Akuntabilitas
lewat, air macet lagi. Warga selama ini membayar ke PDAM, namun
aliran air tidak stabil. Menurut penuturan Ibu Pira, perempuan yang
menjadi korban karena setiap sore harus mengambil air di rumah
warga yang lancar aliran airnya. Itu pun harus dengan membayar
2000 rupiah per jerigen. Advokasi dilakukan terus-menerus, bahkan
dipublikasikan ke media, namun tetap saja air macet di beberapa
lingkungan tersebut. Jika masalah kelangkaan air bersih di Lappa
menguat, PDAM mengirim truk tangki. Namun jika warga tidak
mengeluh lagi, truk tangki tidak datang lagi.
Jaringan Komunikasi Pemuda Sukamaju (JKPS) dari desa
Sukamaju terdiri dari 15 anggota kelompok. Kelompok ini merupakan
kelompok baru yang dibentuk dalam program SIAP II, terdiri dari
mahasiswa,warga masyarakat umum baik laki-laki maupun
perempuan. Mereka pernah menghadirkan temu konstituen dengan
anggota DPRD dan berdiskusi dengan warga. Dari 8 anggota dewan
termasuk anggota dewan yang berasal dari Sukamaju, hanya hadir
dua anggota dewan, itu pun bukan warga desa Sukamaju. Dalam
temu konstituen itu, warga menyampaikan keluhan terutama tentang
keterbatasan infrastruktur di desa mereka. Warga mengusulkan
kegiatan pembangunan jalan rabat beton di desa dalam APBD 2013.
Hasilnya jalan tersebut didapat warga. Ruang ini menjadi ruang
pengaduan warga yang dapat ditindaklanjuti oleh anggota dewan.
Gerakan FPMS juga merambah ke advokasi berkenaan dengan
pembangunan jalan yang tidak memadai dan penyalahgunaan dana
untuk Raskin. Mereka menemukan ada ketidaksesuaian pembangunan
jalan yang dibuat kontraktor di suatu desa atau kelurahan antara
pelaksanaan dengan perencanaan, melakukan advokasi,
mempublikasikan di media. Jalan itu baru selesai dibuat tapi sudah
rusak. Kemudian FPMS juga mengadukan aparat penanggung jawab
gudang beras karena beras miskin tidak berkualitas. Di ujung advokasi
ditemukan bahwa ada korupsi di tubuh aparat, kini aparat yang
bersangkutan sudah ditahan. Seorang anggota Forum Pemuda
Saukang dan CO menuturkan:
“ ... Sempat lima bulan tidak bagi raskin, malahan di gudang
tidak ada raskin, kami komentar di koran atas nama Forum
Pemuda Saukang, mengadukan penyelewengan raskin... ada
selama 5 bulan tidak disalurkan itu raskin, padahal kan
pemerintah desa sudah membayar melunasi terus tidak
ditindaklanjuti ... di bawa ke media .. setelah itu langsung
kejaksaan turun dan tim pemeriksa dari BULOG pusat turun
93
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
.. dia temukan tidak ada stok padahal dari pusat sudah
disalurkan ke daerah .. lalu ditemukan penyelewengan,
banyak, hampir 3 miliar ... sempat buron tapi sudah ditahan.
Sempat kami komunikasi dengan kejaksaan. Langsung dipecat
seluruh karyawannya yang kerja saat itu karena rupanya ada
kerja sama semua karyawan dengan pihak ketiga ... itu atas
temuan FPS ...”
Forum Peduli Perempuan dan Anak menerima pengaduan warga
tentang keadaan Puskesmas di lingkungannya. Petugas kesehatan
atau dokter sering tidak ada di tempat, justru praktek di tempat
lain. Selain itu, lingkungan Puskesmas kotor, tidak terawat, dan
pelayanan sangat buruk. Mereka mengadukan hal ini ke FPMS dan
KOPEL, kemudian bersama-sama melakukan advokasi ke Dinas
Kesehatan dan mempublikasikannya ke media. Hasilnya dokter
pindah ke daerah kerja baru, posisinya di Puskesmas diganti dengan
yang dokter lain. Meskipun layanan Puskemas belum memadai,
namun warga telah menunjukkan partisipasi dalam pemantauan
dokter yang tidak disiplin dalam menjalankan tugas. Saat ini FPPA
sedang menerima pengaduan warga tentang pungutan dari desa
dalam pembuatan surat keterangan miskin seorang warga desa
Alenangka. Warga tersebut keberatan ditarik pungutan karena tidak
memiliki uang. Ketua FPPA sudah menanyakan pada pihak kantor
desa bahwa pungutan sudah ditetapkan melalui Perdes namun
mereka belum mendapatkan Perdesnya. Kapasitas pengetahuan
komunitas dampingan mengenai isu yang mereka terima harus
ditingkatkan lebih dulu untuk melancarkan proses advokasinya. FPPA
merupakan organisasi warga yang dianggap vokal oleh desa sehingga
jarang dilibatkan dalam kegiatan desa seperti Musrenbang maupun
kegiatan pembangunan lainnya. Anggota FPPA pada umumnya guru
PAUD yang secara rutin membina PAUD di dusun mereka, merupakan
warga perempuan yang aktif mengajak warga mengadukan persoalan
pelayanan publik yang tidak semestinya diterima.
Di Kota Kupang, dari semua pengaduan keliling hingga pengaduan
warga melalui kelompok komunitas sampai saat ini mencapai 1.023
pengaduan. Jumlah itu merupakan akumulasi selama 1 tahun PIAR
dan komunitas dampingan membuka mobile complain dan posko
pengaduan. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran warga masyarakat
untuk mendapatkan pelayanan publik yang optimal meningkat seiring
dengan kampanye penyadaran akuntabilitas pelayanan publik dan
pertemuan serta diskusi dengan para pemberi layanan.
94
BAB V Menantang Akuntabilitas
PIAR telah menyampaikan pengaduan warga ke pemerintah.
Dilihat dari perubahannya secara nyata dapat dikatakan bahwa
pemerintah sekarang sudah mulai mengubah pendekatan pelayanan
publik di Kota Kupang. Sekarang ini pemerintah kota sudah membuka
saluran pengaduan yang disebut call center yang dimulai tahun lalu,
2013. Walikota memberlakukan mekanisme pengaduan itu setelah
dilantik pada tahun 2012. Call center merupakan mekanisme baru
yang dibentuk pemerintah kota untuk pengaduan warga. Sebelumnya
warga menyalurkan pengaduan melalui Ombudsman NTT dan media
massa.
PIAR bersama-sama Ombudsman dan warga masyarakat secara
tidak langsung berperan mendorong pemerintah kota terbuka dalam
menerima pengaduan warga. Berbagai pengaduan yang berhasil
dihimpun PIAR dan komunitas dampingan disampaikan ke
pemerintah. Dari sisi pemerintah, pemerintah kota telah melakukan
inovasi dalam meningkatkan pelayanan publik seperti terlihat dari
keberadaan call center ini. Inovasi pemerintah kota yang lain akan
diluncurkan di bulan April 2014 yaitu Brigade Kupang Sehat (BKS).
BKS baru diinformasikan ke masyarakat pada bulan Maret lalu dan
akan diluncurkan programnya pada 25 April 2014, bertepatan dengan
Ulang Tahun Kota Kupang. Inovasi yang lain yang sudah dibuat
pemerintah kota ini adalah call center untuk memanggil dokter di
saat darurat dan keberadaan beberapa Puskesmas Reformasi yang
menempatkan pelayanan yang cepat dan nyaman bagi para warga
pengguna layanan. Pemerintah kota juga sudah melakukan inovasi
di bidang pendidikan dan perizinan. Di bidang pendidikan,
pemerintah menerapkan sistem pengawasan penerimaan siswa baru.
Di bidang perizinan, lembaga perizinan sudah menerapkan kuesioner
untuk evaluasi internal dalam rangka mendukung pelayanan publik
yang lebih optimal.
Rute Panjang: Politik Advokasi LSM
Jika berbagai komunitas warga menjadi ujung tombak pengaduan
(rute pendek) ke unit pelayanan, LSM bersama tim advokasi
komunitas warga menempuh rute panjang: politik advokasi ke
pimpinan daerah kemudian ke SKPD. Mereka meninggalkan teori
advokasi yang begitu kompleks, dengan mengandalkan kekuatan
massa, berubah menjadi lobbying dengan mengandalkan
pengetahuan dan data. Dalam menjalankan politik advokasi, LSM
menempuh jalur “agensi dulu, baru struktur”. Artinya mereka
95
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
mempengaruhi kebijakan terhadap aktor-aktor kunci (bupati/
walikota, politisi, sekda dan pimpinan SKPD terkait) yang
diproyeksikan akan berdampak terhadap struktur dan sistem
kebijakan dan pelayanan. Sebagai contoh, KOPEL-FPMS menjalin
hubungan dan diskusi informal dengan Sekda dan sejumlah politisi,
yang kemudian secara inkremental berdampak terhadap lahirnya
Peraturan Daerah No.3/2013 tentang Pelayanan Publik.
Bupati/wakikota merupakan sasaran utama politik advokasi yang
dilakukan oleh OMS. MCW tampaknya membangun hubungan formal
dengan walikota. Sementara PUSSbik, PATTIRO Pekalongan, PATTIRO
Surakarta, PIAR Kupang dan KOPEL Sinjai mempunyai hubungan
formal sekaligus hubungan informal yang dekat dengan bupati/
walikota. Hubungan ini termasuk dalam kategori aliansi politik
strategis, yang menyajikan simbiosis mutualisme. OMS membutuhkan
bupati/walikota sebagai patron politik ketika OMS berhadapan
dengan DPRD dan SKPD, sekaligus juga berharap lahir kebijakan
inovatif dari sang pemimpin daerah. Sebaliknya pemimpin daerah
membutuhkan kehadiran LSM sebagai sumber alternatif tentang
informasi dan juga sumber alternatif legitimasi politik.
Bagi OMS, aliansi politik dengan bupati/walikota antara lain
didasari argumen bahwa “kalau kepala dipegang, maka tubuh, tangan
dan kaki akan mengikuti”. Dengan kalimat lain, jika lobby
menghasilkan kebijaksanaan bupati/walikota, maka SKPD akan
mengikutinya. Argumen ini benar sebagian, tetapi juga salah
sebagian. Argumen itu bisa benar jika ada kepaduan antara pemimpin
daerah dengan SKPD, pemimpin daerah berposisi dan bekerja sangat
kuat di hadapan SKPD. Ini hanya bisa terjadi kalau pemimpin daerah
tidak hanya menelurkan kebijakan dan memberikan instruksi ke
bawah, tetapi juga mengawal, memantau dan memastikan
instruksinya dijalankan oleh SKPD. Sejauh ini duet Gubernur dan
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo dan Basuki Ahok,
merupakan contoh terkemuka pemimpin daerah yang kuat,
membangun kepaduan dengan SKPD, sekaligus terus-menerus
melakukan pengawalan dan supervisi secara intensif terhadap
seluruh SKPD. Sebaliknya argumen itu bisa salah kalau kepaduan
tidak terjadi, sang pemimpin daerah lemah, tidak menjalankan peran
pemantauan dan pengawalan secara intensif.
Isu kepaduan pemimpin daerah dengan SKPD itu juga menjadi
perhatian oleh OMS. Dalam hubungan informal antara OMS dengan
pemimpin daerah, mereka sering berdiskusi kebijakan dengan
96
BAB V Menantang Akuntabilitas
bupati/walikota. Pada umumnya ada tiga materi utama yang
dijadikan bahan diskusi antara OMS dengan bupati/walikota: (a)
persoalan pelayanan publik dan pengaduan warga; (b) kinerja SKPD
dan unit layanan dalam pelayanan publik; dan (c) mempengaruhi
kebijakan makro pelayanan publik.
Hubungan antara OMS dengan pemimpin daerah itu juga
mendorong terjadinya kepaduan, selain mendorong lahirnya
kebijaksanaan daerah di bidang pelayanan publik, meskipun
kepaduan itu masih parsial dan inkremental. Sebagai contoh adalah
munculnya kehendak bupati/walikota melakukan supervisi terhadap
SKPD, melakukan teguran terhadap pimpinan SKPD, dan melakukan
mutasi pejabat SKPD yang kurang responsif terhadap aspirasi warga.
Kebijaksanaan ini secara inkremental mendorong akuntabilitas SKPD
dalam pelayanan publik. Namun, rute panjang dengan politik
advokasi yang terbatas, tidak mempunyai makna apapun, jika ruangruang publik tidak terbuka dan bergetar karena ketidakhadiran
advokasi rute pendek melalui pengaduan.
97
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
98
Pembelajaran Pelaksanaan Program SIAP II
di 6 Kabupaten/Kota
BAB VI
Respons Lokal dan
Reformasi Inkremental
S
etiap inisiatif perubahan dalam pemerintahan, seperti prakarsa
Program SIAP II, dapat disebut sebagai reformasi. Ada reformasi
yang parsial inkremental dan ada pula reformasi yang total
radikal. Reformasi parsial inkremental membidik sebagian (sepotong)
isu pemerintahan dan berlangsung secara bertahap dan
berkelanjutan, tanpa melibatkan pertarungan politik yang keras di
antara aktor-aktor politik. Dalam reformasi ini, penggunaan
pengetahuan dan teknologi lebih dominan ketimbang penggunaan
kekuasaan (power exercice). Dengan kalimat lain, reformasi parsial
inkremental ini lebih cocok disebut sebagai inovasi, karena kurang
mengandung kontestasi dan pertarungan politik yang luas. Sedangkan
reformasi total radikal membidik bangunan institusi pemerintahan
secara menyeluruh dengan gebrakan politik secara cepat yang sarat
dengan kontestasi dan pertarungan politik beragam aktor.
Baik reformasi inkremental maupun reformasi radikal bisa muncul
karena prakarsa masyarakat dari bawah atau prakarsa elite dari
atas. Reformasi dari bawah” (reform from bellow) yang digerakkan
oleh masyarakat (society driven reform) sering disebut sebagai
demand side reform. Sedangkan reformasi dari atas (reform from
above) yang digerakkan oleh elite (elite driven reform atau elite
led reform) disebut supply side reform (Susan E. Scarrow, 2001;
Kurt Weyland, 2008; Christopher W. Close, 2009). Tabel 6.1
memberikan tipologi dan deskripsi tentang reformasi baik dari sisi
pola, aktor, dan jalur. Kuadran I adalah reformasi inkremental dari
atas. Pemimpin/elite dengan pendekatan institusional (nilai,
pengetahuan, kebijakan dan regulasi) melakukan perubahan aspek-
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
aspek pemerintahan secara parsial, gradual dan berkelanjutan.
Pemimpin secara hati-hati tetapi pasti melakukan deliberasi dan
persuasi kepada politisi, birokrat maupun masyarakat tanpa melalui
pertarungan politik yang sengit dan konfliktual. Model ini berjalan
secara soft dan lambat, yang terkesan tidak membuahkan
perubahan, tentu dengan risiko politik yang minimal.
Kuadran II adalah reformasi radikal yang digerakkan dari atas
oleh elite (pemimpin). Pemimpin/elite melakukan gebrakan politik
untuk melancarkan perubahan kepemerintahan secara menyeluruh
dan cepat. Gebrakan ini bisa dilakukan pemimpin pembaharu dengan
cara deliberasi dan persuasi kepada politisi, birokrat maupun
masyarakat tanpa melalui pertarungan politik yang sengit dan
konfliktual. Jalur ini bisa menghasilkan smart reform atau
institutionalized reform1 yang kokoh dan berkelanjutan, karena
memperoleh dukungan dari banyak aktor dan bekerja dalam konteks
pertarungan politik yang minimal. Namun pemimpin bisa juga
melakukan secara nekat (audacious) bahkan penuh pertarungan
politik yang sengit, tanpa proses persuasi dan deliberasi beragam
aktor. Reformasi ini bisa membuahkan hasil konkret dan cepat tetapi
rentan dan mudah terjadi erosi.
1
102
Institutionalized reform atau reformasi yang terlembaga adalah proses, visi, dan hasil reformasi
yang dinegosiasikan dan disepakati bersama oleh beragam aktor, baik pemerintah, politisi, maupun
organisasi masyarakat. Model ini bukanlah reformasi yang dihasilkan oleh kenekatan pemimpin
daerah, bukan juga reformasi karena tekanan masyarakat, dan bukan juga reformasi yang
dihasilkan melalui pertarungan politik yang keras. Kesepakatan beragam aktor tentang visi
reformasi dituangkan dan dilembagakan dalam peraturan daerah.
BAB VI Respons Lokal dan Reformasi Inkremental
Kuadran III adalah reformasi inkremental dari bawah yang
digerakkan oleh masyarakat. Organisasi masyarakat sipil melakukan
politik advokasi (baik melalui jalur panjang maupun jalur pendek)
menyampaikan voice atau demand untuk mempengaruhi kebijakan
maupun pelayanan. Politik advokasi mencari jaringan sosial dan
dukungan politik agar berhasil menekan perubahan, tanpa harus
melalui pertarungan politik yang sengit. Bila politik advokasi
disambut responsif oleh elite, jalur ini menghasilkan perubahan
(reformasi) inkremental yang berjalan lambat dan gradual. Jika
masyarakat terus-menerus melakukan voice terhadap pemerintah
maka ruang-ruang politik menjadi semakin demokratis, spirit publik
dan kewargaan menguat, budaya demokratis kian tumbuh baik, trust
semakin membaik, budaya korupsi semakin berkurang, dan
perubahan terus-menerus hadir secara berkelanjutan.
Potret jalur reformasi dari bawah oleh masyarakat sipil itu sama
sebangun dengan “empowered participatory governance” (Fung dan
Wrights, 2003) atau “new democratic space” (Andrea Cornwall dan
Vera Schattan P. Coelho, 2007). Konsep-konsep ini sangat dipengaruhi
oleh tradisi republikenisme tentang masyarakat sipil dan demokrasi,
yang berorientasi pada penguatan democratic citizenship. Gerakan
komunitas warga dan organisasi masyarakat sipil dalam ruang publik
yang mengutamakan spirit publik dan spirit kewargaan, sekaligus
memperjuangkan hak-hak dan kepentingan warga, tentu tidak hanya
berhenti pada penciptaan ruang baru yang demokratis. Pertautan
mereka dengan pemerintah daerah, yang di dalamnya mengandung
103
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
demand dan voice perubahan, juga mendorong reformasi
(perubahan). Cornwall dan Coelho mengatakan, reformasi
pemerintahan dapat dihasilkan oleh dan dari melimpahnya ruang
baru pertautan warga (citizen engagement).
Kuadran IV adalah reformasi radikal yang digerakkan oleh
masyarakat dari bawah. Model ini menempuh dua jalur. Jalur
pertama melalui politik respresentasi atau bisa juga disebut political
reclaiming. Dalam hal ini organisasi masyarakat menggalang jaringan
sosial dan politik yang besar dan kuat merebut posisi pemimpin
pemerintahan seperti bupati/walikota. Jika upaya ini berhasil, sang
pemimpin yang berbasis masyarakat itu melakukan reformasi radikal
dengan gebrakan politik. Jalur kedua, organisasi masyarakat
menggelar aksi kolektif yang masif dan pertarungan politik yang
sengit, melakukan tekanan keras pada elite untuk melakukan
perubahan. Jalur kedua ini efektif untuk melumpuhkan atau
menjatuhkan pemimpin yang bermasalah; bisa juga menghasilkan
perubahan kebijakan jika elite secara responsif memberikan
akomodasi dan konsesi terhadap tekanan massa. Tetapi jalur dua
ini tidak akan membuahkan perubahan secara cepat jika elite
bersikap represif dan mempertahankan status quo. Jika status quo,
jalur kedua ini bisa menjadi investasi politik untuk berubah menjadi
jalur pertama, dengan cara merebut kekuasaan melalui proses
elektoral yang konstitusional.
Dengan peta seperti itu, di mana posisi Program SIAP II yang
dijalankan oleh YAPPIKA bersama enam OMS mitra? Para pelaku
Program SIAP II memang tidak pernah secara eksplisit berbicara
tentang reformasi. Mereka lebih banyak berbicara melakukan
advokasi, monitoring dan pengaduan terhadap pelayanan, melalui
proses mengisi ruang-ruang partisipasi publik serta pertautan dengan
pemerintah daerah dan unit pelayanan. Namun apa yang mereka
lakukan itu sebenarnya merupakan prakarsa reformasi berbasis
masyarakat dari bawah. Dalam konteks ini, Program SIAP II termasuk
tipe reformasi inkremental dari bawah berbasis masyarakat,
meskipun reformasi di enam daerah bukan hanya dimonopoli oleh
masyarakat, sementara pemerintah daerah dalam posisi pasif.
Dengan cara, obyek dan skala yang berbeda, enam daerah (Bandar
Lampung, Pekalongan, Surakarta, Malang, Sinjai, dan Kupang)
sebenarnya telah melakukan reformasi pemerintahan daerah.
Bagaimanapun setiap bupati/walikota mempunyai moral hazard
untuk melanjutkan dan mengawetkan kekuasaan. Bupati/walikota
model lama cenderung mengawetkan kekuasaan dengan stick and
104
BAB VI Respons Lokal dan Reformasi Inkremental
carrot, bagi-bagi uang, kooptasi, intimidasi bahkan dengan cara
represi. Sedangkan bupati/walikota model baru berupaya
mengawetkan kekuasaan secara elegan dan bermartabat dengan
melakukan reformasi pemerintahan, termasuk menjalankan
kebijakan yang pro rakyat. Reformasi itu menjadi insentif politik
bagi bupati/walikota untuk membangun legacy, legitimasi dan
dukungan rakyat. Studi C. von Luebke (2009) menunjukkan bahwa
reformasi dari atas yang terjadi di Solok, Kebumen, Gianyar dan
Bima karena didorong oleh insentif politik sang bupati.
Pengalaman Kota Surakarta dapat diambil sebagai sebuah contoh.
Sepanjang 2000 hingga 2005 Kota Surakarta hanya melakukan
reformasi minimal, antara lain hadirnya mengakomodasi dan
melembagakan Musrenbang partisipatif (participatory planning) yang
didesakkan oleh koalisi LSM. Tetapi dalam hal pelayanan publik yang
pro rakyat hampir tidak hadir pada periode itu. Tahun 2005 di bawah
kepemimpinan Joko Widodo, Pemkot Surakarta melakukan reformasi
radikal yang terlembaga dengan baik melalui proses deliberasi dan
partisipasi, sehingga membuahkan smart reform. Jokowi, yang
sangat merakyat, memperoleh insentif politik yang sangat besar
dari smart reform ini. Tanpa harus kampanye besar-besaran, JokowiRudi memperoleh kemenangan secara fantastis (sekitar 90% suara)
dalam pilkada 2010.
Apa kelebihan reformasi inkremental yang didorong dengan
politik advokasi oleh LSM dan komunitas warga dalam Program SIAP
II? Apakah advokasi mereka lebih unggul daripada reformasi yang
telah dipimpin oleh bupati/walikota? Apakah politik advokasi yang
dilakukan oleh PATTIRO Surakarta dan komunitas warga jauh lebih
hebat daripada gebrakan politik reformasi yang dijalankan oleh
walikota? Tidak! Bagaimanapun reformasi yang telah dilancarkan
oleh bupati/walikota, baik yang radikal ala Surakarta maupun
inkremental di daerah lain, tidak membuahkan hasil yang total
sempurna. Selalu ada ruang-ruang kosong dalam kebijakan dan
pelayanan publik. Kepaduan (konsistensi antara bupati/wali dengan
SKPD dan unit layanan maupun konsistensi antara kebijakan dan
kebijaksanaan) selalu tidak berjalan secara sempurna. Resistensi
birokrasi terhadap kebijakan walikota selalu hadir, dengan skala
yang berbeda-beda. Ini terlihat dari masalah-masalah yang muncul
dalam penyelenggaraan pelayanan publik, baik dalam bentuk
pungutan liar, percaloan hingga pengabaian terhadap orang miskin.
Demikian juga dengan keterbatasan ruang-ruang demokratis yang
bisa mewadahi voice bagi warga terhadap pelayanan publik dan
105
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
kebijakan daerah. Sederet problem ini merupakan ruang-ruang
kosong dalam konteks relasi antara warga dengan bupati/walikota,
bupati/walikota dengan birokrasi, dan antara warga dengan
birokrasi.
Politik advokasi yang dilakukan oleh LSM maupun voice
pengaduan yang dijalankan oleh komunitas warga sebenarnya
mengisi ruang-ruang kosong itu. Mereka mengisi bahkan merebut
ruang-ruang kosong itu sebagai ruang publik dengan spirit publik,
spirit kewargaan, dan spirit demokratis, sekaligus mendorong
reformasi inkremental yang melahirkan respons baik dan perubahan
kebijaksanaan. Bagaimanapun para pelaku Program SIAP II
menyegarkan dan memperluas praktik-praktik inovasi pelayanan
publik yang selama ini telah diprakarsai oleh pemerintah daerah
maupun unit layanan.
Komitmen, Toleransi dan Akomodasi Pemimpin
Daerah
Setiap penguasa, baik demokratis maupun otokratis, selalu
sensitif terhadap tuntutan masyarakat, apalagi aksi kolektif yang
masif, sebab penguasa selalu berkepentingan membangun dan
memperkuat legitimasi (Jack Goldstone and Charles Tilly, 2001).
Dalam teori exit, voice dan loyalty, negara mempunyai dua pilihan
dalam menghadapi voice warga, yakni merespons secara baik dengan
memenuhi tuntutan warga, atau mengabaikan tuntutan warga. Dua
pilihan ini bisa dikembangkan menjadi ada tiga cara yang ditempuh
penguasa: (a) pemberian konsesi, yakni memenuhi tuntutan massa;
(b) penguasa demokratis akan memberikan toleransi terhadap
tuntutan massa, dan (c) penguasa otokratis melakukan represi yang
mengabaikan tuntutan seraya menindak dengan kekerasan terhadap
partisipan (Yong Shun Cai, 2008). Namun setiap pilihan tindakan ini
sangat tergantung pada pertimbangan antara manfaat dan biaya,
seperti terlihat dalam tabel 6.2.
Sumber: Yong Shun Cai “Power Structure and Regime Resilience: Contentious Politics in China”,
British Journal of Political Science, No. 38, 2008.
106
BAB VI Respons Lokal dan Reformasi Inkremental
Peta dalam tabel 6.2 tidak sepenuhnya benar tetapi juga tidak
sepenuhnya salah. Peta itu sangat tepat untuk melihat respons
penguasa pada masa lalu, maupun penguasa pada masa sekarang
yang masih anti kritik atau anti gerakan dan mengutamakan harmoni
politik. Namun peta itu tidak memasukkan toleransi yang ditempuh
oleh penguasa demokratis.
Di masa lalu yang otokratis, gerakan LSM dan pengaduan warga
tidak mungkin hadir secara masif setiap hari. Ketika menghadapi
gerakan massa, penguasa dengan mudah melakukan represi dan
eksklusi. Namun situasi sudah berubah. Reformasi membuahkan
zaman baru dan semangat baru. Para pemimpin di enam daerah
Program SIAP II pada umumnya mempunyai komitmen toleransi,
inklusi dan konsesi terhadap advokasi LSM dan komunitas warga,
tanpa pretensi harus menghentikan tuntutan warga, serta tanpa
kalkulasi biaya ekonomi yang tinggi dan tidak peduli dengan
kelemahan politik. Para bupati/walikota sudah terbiasa berdiskusi
dengan LSM, baik formal maupun informal, serta berkomunikasi
lewat telepon. Sebaliknya para pegiat Program SIAP II tidak merasa
kesulitan berkomunikasi dan berdiskusi dengan bupati/walikota,
bahkan berdiskusi tentang kinerja setiap kepala SKPD. Dengan
membuka diri terhadap kehadiran LSM, bupati/walikota memperoleh
keseimbangan politik, mendapat informasi alternatif yang tidak
diperolehnya dari para birokrat, menjaga citra diri sebagai pemimpin
yang terbuka dan merakyat, serta merawat legitimasi dan
popularitas. Para bupati/walikota tentu tidak ingin dituduh antiLSM, anti kritik, tertutup, menyeramkan, dan tidak merakyat.
Pada akhir April 2014 saya sempat melakukan wawancara dengan
Walikota Bandar Lampung, Herman HN, seputar respons dan sikapnya
terhadap LSM dan tuntutan komunitas warga. Walikota sangat paham
membedakan antara LSM baik dan LSM buruk. LSM baik adalah LSM
yang dewasa, independen, yang selalu memberikan kritik dan solusi,
mendampingi masyarakat, dan tidak minta uang. LSM yang buruk
suka berbuat macam-macam, main laporan tanpa data yang
memadai, lebih banyak merecoki pemerintah, tetapi ujung-ujungnya
minta uang. Karena itu LSM yang buruk ini disebut Lembaga Suka
Minta. Walikota memberikan respons yang positif terhadap PUSSbik
dan Program SIAP II. Berikut ini ungkapnya:
Saya memberikan respons secara positif terhadap program
dan kegiatan PUSSbik. Dia membantu Pemkot dalam
sosialisasi program dan ikut memberdayakan masyarakat.
107
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Saya butuh masukan PUSSbik dan informasi alternatif dari
masyarakat yang dibawa PUSSbik, yang tentu tidak saya
peroleh dari SKPD atau unit layanan. Kalau masyarakat
menjadi kritis dan menyampaikan pengaduan, itu sangat
wajar dan baik. Berarti masyarakat semakin berdaya. Saya
menanggapi positif terhadap pengaduan masyarakat, karena
bisa untuk mengoreksi dan memperbaiki pelayanan. Sebab,
saya ada karena mereka.
Respons SKPD dan Unit Layanan
Respons politik yang baik dari bupati/walikota tidak sama dengan
respons birokrat di SKPD yang menjadi mitra Program SIAP. Setiap
kabupaten/kota memiliki banyak SKPD, mulai dari badan, dinas,
kantor, kecamatan hingga kelurahan. Kalau spektrum dipetakan,
ada SKPD yang ekstrem inklusif responsif, moderat dan ekstrem
eksklusif konservatif, seperti terjadi dalam bagan 6.2. Garis
spektrum itu menunjukkan bahwa semakin ke kanan bersifat inklusif
responsif (terbuka dan bersedia merespons perubahan) dan semakin
ke kiri bersifat eksklusif konservatif (tertutup dan anti perubahan).
Gambar itu merupakan peta umum yang bersifat tentatif hipotetik.
Karena tentatif hipotetik, maka spektrum itu belum tentu benar
sempurna, dan tentu masih membutuhkan klarifikasi melalui studi
lapangan.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa Bappeda termasuk
yang paling ekstrem inklusif responsif, sebab instansi perencanaan
daerah ini memperoleh mandat untuk menyelenggarakan dan
mengawal aspirasi dan partisipasi warga dari bawah dalam
perencanaan (Musrenbang). Jika para anggota dewan sering
menyebut gedung DPRD sebagai “rumah rakyat”, kantor Bappeda
bisa disebut sebagai “rumah warga”.
108
BAB VI Respons Lokal dan Reformasi Inkremental
Sedangkan kutub paling kiri, eksklusif konservatif, ditempati oleh
Badan/Kantor Kesbangpol Linmas, yang dulu disebut Kantos Sospol.
Kesbangpol Linmas umumnya mempunyai persepsi diri bahwa tugas
utamanya adalah mencurigai orang dan mengontrol sepak terjang
masyarakat, bukan memberdayakan masyarakat. Di Bandar Lampung
dan Sinjai, Kesbangpol Linmas cenderung menghalau gerakan
komunitas warga, mempertanyakan legalitas komunitas warga dan
LSM. Camat dan Lurah juga mempunyai sikap serupa meski tidak
sama dengan Kesbangpol Linmas. Di Bandar Lampung, para camat
dan lurah pada tahap awal resisten, banyak bertanya dan bahkan
menghambat aktivitas komunitas warga. Sikap camat dan para lurah
ini mungkin dipengaruhi oleh satu dari tiga hal. Pertama, mereka
mempunyai persepsi diri bertugas mengontrol masyarakat. Apalagi
camat dan lurah lulusan STPDN/IPDN yang mayoritas berhaluan
kontrol dan stabilitas. Kedua, mereka tidak tahu atau takut salah
dalam menyikapi kehadiran komunitas warga. Setelah mereka
diyakinkan, dan tahu tentang sikap terbuka pimpinan daerah, maka
sikap mereka bisa berubah. Ketiga, mereka ketakutan kalau
perbuatan rente dalam pelayanan diketahui dan digugat oleh warga.
Di luar dua ekstrem itu terdapat setidaknya empat dinas yang
berposisi moderat, yakni Dinas Perizinan (atau nama lain), Dinas
Adminduk/Dukcapil, Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan. Dinas
Adminduk/Dukcapil menempati posisi moderat konservatif karena
sikapnya yang semi terbuka dan semi responsif, tetapi juga sering
abai terhadap pengaduan warga. Bagaimanapun dinas ini masih
rawan dengan pungutan liar. Dinas Perizinan berada pada posisi
paling moderat, karena keberadaannya untuk menjaga iklim investasi
yang pro pasar, tetapi tidak terlalu responsif jika berhadapan dengan
OMS. Sementara Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan berada posisi
moderat inklusif responsif.
Di Kota Surakarta, spektrum sikap politik berbeda dengan
spektrum bagan 6.1 di atas. Menurut pemetaan PATTIRO, spektrum
sikap SKPD Kota Surakata adalah: Kesbanglinmas - Dinas Pendidikan
- Kecamatan - Kelurahan - Adminduk - Dinas Kesehatan – Bappeda.
Satu hal yang membedakan, Dinas Pendidikan menempati posisi
moderat eksklusif responsif yang hampir dekat dengan Kesbangpol
Linmas. Sebaliknya, Dinas Adminduk malah lebih inklusif responsif
yang dekat dengan Dinas Kesehatan dan Bappeda. Kecamatan dan
Kelurahan berada pada posisi tengah yang moderat. Artiya, berbeda
dengan di Bandar Lampung, para lurah dan camat di Kota Surakarta
lebih akomodatif terhadap komunitas warga.
109
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Pada tanggal 17 April 2014 saya sempat berdiskusi secara terpisah
dengan Kepala Dinas Pendidikan dan Olah Raga dan Dinas Pendidikan
Kota Surakarta. Keduanya sama-sama perempuan. Kedua pejabat
itu mengatakan bahwa dua dinas mempunyai hubungan yang baik
dengan PATTIRO Surakarta. Mereka berpendapat bahwa PATTIRO
merupakan LSM yang dewasa, hadir sebagai penyeimbang, sebab
mereka mengakui bahwa pelayanan dinas selalu terdapat kekurangan
dan kesalahan. Namun sikap Kepala Dikpora sedikit agak berbeda
dengan sikap Kepala Dinkes. Kepala Dinkes lebih rileks, karena
masalah yang dihadapi tidak sekompleks pendidikan, dan mempunyai
mitra, yakni Forum Komunikasi Kader Posyandu (FKKP – komunitas
dampingan PATTIRO) yang kooperatif dan banyak membantu Dinkes,
meskipun komunitas ini tidak pernah berhenti mengajukan tuntutan
dan pengaduan. Sedangkan Kepala Dikpora merasa menghadapi
masalah pendidikan dan sekolah yang sangat kompleks, menghadapi
banyak sekolah dan guru yang bermasalah. Jika Dinkes memiliki
mitra FKKP yang kooperatif dan moderat, Dikpora menghadapi
“musuh” Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta (MPPS) yang lebih
garang. Kepala Dikpora sering merasa ditelikung oleh tindakan MPPS
yang melakukan konferensi pers, aksi jalanan, atau komunikasi
dengan walikota tanpa berdiskusi dulu dengan Dikpora. Demikian
ungkapnya:
“Saya sebenarnya membuka diri, selalu siap untuk berdiskusi
dengan siapapun. Diskusi dengan PATTIRO dan MPPS sudah
biasa saya lakukan. Sebelum MPPS konferensi pers atau
demo, sebaiknya melakukan diskusi dan konfirmasi dulu
dengan Dikpora. Telinga saya sering dibuat merah oleh
MPPS”.
Namun, apapun tindakan OMS, tetap membawa hikmah bagi para
pejabat. Masyarakat sipil yang “bergetar” (banyak melakukan diskusi
dalam ruang publik dan engagement dengan birokrasi) maupun yang
“berdering” (yang sering menciptakan kebisingan karena melakukan
protes dan aksi jalanan) selalu hadir menjadi kekuatan kontrol
publik. Mereka mau tidak mau harus cermat dan bekerja lebih baik
agar tidak menghadapi gugatan dari masyarakat. Mereka juga harus
hati-hati dalam mengelola keuangan, agar tidak dijadikan ATM oleh
Lembaga Suka Minta yang terbiasa mengendus pungli atau korupsi
para birokrat.
Beda Surakarta, beda Sinjai. Di Sinjai, unsur pemimpin daerah
maupun Sekda sangat inklusif dan responsif terhadap kehadiran LSM
110
BAB VI Respons Lokal dan Reformasi Inkremental
dan Program SIAP II. Sekda mengakui pentingnya peran masyarakat
sipil sebagai bagian dari pengawasan pelaksanaan kebijakan selama
ini, seperti disampaikannya,
“ ... saya membutuhan second opinion dari kebijakan
pemerintah untuk penyempurnaan ... kami butuh pendapat
lain. Hanya saja harus diingat, selalu saya ingatkan namanya
kebijakan itu harus tergantung pada waktu yang tepat,
ketersediaan anggaran yang cukup, ketersediaan sumber
daya. Kalau pelayanan yang lain, perizinan, kita sudah baik
dari tahun ke tahun. Kalau masih ada kurangnya kita terus
berusaha bagaimana memperbaiki sesuai kemampuan kita
...”
Kehadiran FPMS-KOPEL disambut baik oleh Sekda karena dapat
menjadi mitra kerja seperti di tuturkannya,
“ ... Inilah yang terus kita monitor. Saya membutuhkan
informasi pembanding. Saya ingin jadikan sebagai bahan
pengawasan bagi teman-teman kami yang melakukan
pelayanan publik. Kami minta disampaikan secara
proporsional, apa yang kurang, supaya jadi bahan evaluasi
bagi teman-teman kami. Saya harus dapat menerima itu.
Karena kalau hanya mengandalkan laporan, bisa saja ada
laporan tidak obyektif dari teman-teman kami ... komunikasi
kami dengan lembaga kemasyarakatan penting ... kita
bicarakan ... informasi seperti apa, datanya seperti apa.
Kemarin ... ada persoalan Bansos, saya tahan, setelah
evaluasi, rapat semua, baru Bansos bisa keluar. Apa boleh
buat. Jika di bawah ada kekeliruan, kita harus koreksi.
Informasi yang masuk penting ...”
Di tingkat SKPD, FPMS-KOPEL saat ini sedang mengadvokasi
Standar Pelayanan Publik Dinas Kesehatan. Proses ini masih
berlangsung dan belum melangkah ke forum Konsultasi Publik. Hal
yang menjadi catatan dalam proses ini adalah terbukanya ruang
partisipasi warga masyarakat sipil untuk terlibat dalam proses
penyusunan kebijakan pelayanan publik dalam hal ini bertaut dengan
Dinas Pendidikan menyusun Standar Pelayanan Publik. Dinas
Pendidikan selama ini banyak sekali mendapat sorotan dari
masyarakat. Pengaduan berkenaan dengan pungutan sekolah yang
ditarik selalu saja terjadi. Ketika hal ini dikonfirmasi pada kepala111
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
kepala sekolah ternyata sebagian besar tidak memahami bahwa
sudah ada Perda Pembebasan Biaya Pendidikan.
Perbedaan sikap antara SKPD dan pemimpin daerah
memperlihatkan bahwa kepaduan (dimensi akuntabilitas antara
pembuat kebijakan dan birokrasi) antara politisi dengan pejabat,
antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan, antara arahvisi kebijakan dengan implementasi kebijakan masih lemah.
Meskipun sikap SKPD masih mengandung resistensi dan
konservatif, tetapi unit pelayanan (front line service) jauh lebih
terbuka dan responsif terhadap pengaduan dari LSM dan komunitas
warga. RSUD, Puskesmas maupun PLN merupakan contoh terkemuka.
Jika SKPD mempunyai kultur birokratis (administrasi publik lama)
yang menganggap rakyat sebagai hamba, unit pelayanan umumnya
mempunyai kultur korporat yang melayani pelanggan jauh lebih baik.
PLN Bandar Lampung merupakan contoh terkemuka. Meskipun PLN
memegang monopoli atas pelayanan listrik, tetapi BUMN ini
mempunyai good corporate governance yang relatif sempurna,
dengan menjaga akuntabilitas, integritas dan responsivitas di
hadapan para pengguna jasa (pelanggan). PLN mempunyai diskresi
besar dalam melayani pemasangan instalasi listrik yang dituntut
oleh komunitas warga. Ketika akan terjadi pemadaman, PLN tidak
hanya memberikan pengumuman secara terbatas melalui media,
tetapi juga melakukan jemput bola dengan bertatap muka dan
berdiskusi langsung dengan berbagai komunitas warga, yang
difasilitasi oleh PUSSbik.
Kultur korporat PLN bisa dipahami karena pelanggan harus
membayar pelayanan, meskipun PLN adalah pemegang monopoli
yang tidak membuka peluang warga untuk exit atau berpindah ke
tempat lain. Tetapi bagaimana memahami respons baik Puskesmas,
yang tidak memegang monopoli dan tidak berbayar (gratis)? Sebagai
ujung tombak pelayanan kesehatan, Puskesmas menghadapi tekanan
dari pemimpin daerah dan tuntutan langsung-dekat dari warga. Relasi
ini merupakan faktor politik pertama yang membuat pimpinan dan
staf Puskesmas responsif dalam menghadapi pengaduan warga. Para
pimpinan Puskesmas juga memperoleh kesempatan untuk mengikuti
pelatihan dan studi banding baik yang diselenggarakan oleh
Kementerian Kesehatan dan lembaga-lembaga internasional, yang
membuat mereka memiliki wawasan luas dan kultur korporat yang
lebih baik. Mereka juga memiliki movitasi dan insentif karir yang
lebih baik ketika mempunyai kinerja lebih baik di hadapan warga
dan pemimpin daerah. Faktor politik, pengalaman dan motivasi
112
BAB VI Respons Lokal dan Reformasi Inkremental
itulah yang membuat Puskesmas menjadi lebih responsif dalam
pelayanan. Hal ini menjadi contoh kepaduan antara pemimpin daerah
dengan Puskesmas, sekaligus memperlihatkan downward dan upward
accountability Puskesmas.
Perubahan Kebijaksanaan dan Pelayanan
“Respons pemerintah daerah, SKPD dan unit layanan pada
umumnya cukup baik terhadap terhadap advokasi dan pengaduan
yang kami lakukan. Telah menghasilkan perubahan banyak
kebijaksanaan tetapi belum mengarah pada perubahan kebijakan”,
demikian ungkap Adi, pegiat Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta.
Pembedaan tentang “kebijakan” dan “kebijaksanaan” ini sungguh
menarik untuk dielaborasi secara teoretik dan empirik. Apa makna
pembedaan ini?
Antara kebijakan dan kebijaksanaan bisa disamakan tetapi juga
bisa dibedakan. Dalam public policy, keduanya mengandung makna
yang sama, yaitu keputusan pemerintah untuk bertindak atau tidak
bertindak. Namun orang sudah terbiasa memaknai public policy
sebagai kebijakan publik, bukan kebijaksanaan publik. Kata dasar
kebijakan adalah bijak dan kata dasar kebijaksanaan adalah
bijaksana. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Moeliono, 1989)
mengartikan kata bijak sebagai keadaan atau sifat yang selalu
menggunakan akal budi, pandai, mahir, pandai bercakap-cakap. Kata
bijaksana diartikan akal budi, arif, tajam pikiran, pandai dan ingatingat (cermat, teliti) ketika menghadapi kesulitan. Pengertian
leksikal pada bentuk dasar ini tampak mirip dan sulit dibedakan.
Namun kata kebijaksanaan sering dikaitkan dengan wise atau wisdom
yang bermakna kearifan, yang mengandung dimensi sifat, sikap dan
perilaku seseorang (misalnya pemimpin) untuk mencapai kebaikan.
Bisa juga kebijaksanaan dimengerti sebagai tindakan khusus secara
arif bijaksana dalam mengatasi berbagai kasus. Dari sisi sifat, jika
kebijaksanaan mengutamakan kearifan, kebijakan mengutamakan
kepandaian. Bahkan kebijakan lebih dimengerti sebagai proses dan
sistem politik, meskipun kebijaksanaan juga bermakna pilihan dan
tindakan politik.
Dalam ranah pemerintahan, kebijakan bermakna struktural,
institusional dan sistemik. Sedangkan kebijaksanaan bermakna
kultural, personal dan kasuistik. Dalam praktik kebijaksanaan hadir
dalam bentuk sikap dan tindakan pejabat yang penuh kearifan dalam
mengatasi banyak kasus, termasuk banyak pengaduan yang
disampaikan oleh warga. Untuk mengatasi banyak kasus, pejabat
113
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
bisa memberikan respons cepat dan baik, tanpa harus melakukan
perubahan struktur dan institusi secara sistemik melalui proses
politik yang panjang. Kebijaksanaan ini bisa disebut sebagai diskresi
(keleluasaan) dalam melaksanakan kebijakan dengan pertimbangan
kearifan kultural dan politik. Sedangkan kebijakan adalah keputusan
politik yang secara sistemik hendak menjawab banyak masalah yang
sudah terakumulasi, mengakomodasi banyak kepentingan, dan juga
menjabarkan visi misi pemimpin. Perda dapat disebut kebijakan
karena bersifat struktural dan sistemik, serta dibuat melalui proses
politik yang melibatkan beragam aktor. Sedangkan tindakan bupati/
walikota, kepala SKPD, maupun unit pelayanan merespons secara
leluasa dan baik terhadap usulan dan gugatan warga, dapat disebut
sebagai kebijaksanaan. Kebijaksanaan dapat juga diwujudkan dalam
bentuk tindakan tambahan dan khusus dalam rangka melaksanakan
kebijakan.
Meskipun antara kebijakan dan kebijaksanaan berbeda, tetapi
keduanya tidak bertentangan secara diametral. Kebijaksanaan bisa
merupakan landasan bagi pembuatan kebijakan, dan kebijaksanaan
merupakan tindakan yang baik dalam melaksanakan kebijakan.
Dalam ranah advokasi dan reformasi, antara kebijaksanaan dan
kebijakan merupakan satu rangkaian peta jalan dan perubahan
secara inkremental. Dalam tipe reformasi inkremental, perubahan
dimulai dari kebijaksanaan, yang kemudian secara bertahap dan
berkelanjutan akan menghasilkan kebijakan. Sebagai contoh,
perubahan pelayanan dari banyak unit pelayanan kemudian
mengalami pembesaran dan perluasan (scaling up) menjadi
Peraturan Daerah. Dalam dunia metodologi, perubahan semacam
ini disebut sebagai perubahan induktif dari bawah.
Hadirnya banyak kebijaksanaan itu dapat disaksikan di enam
daerah karena politik advokasi LSM dan pengaduan komunitas warga.
Di semua daerah, baik pemimpin daerah dan sebagian besar SKPD
menerima pengaduan dari warga dengan baik, melembagakan
monitoring dan pengaduan berbasis masyarakat, dan sebagian besar
unit layanan langsung memberikan respons dalam bentuk perubahan
pelayanan menjadi lebih baik.
Di Surakarta, pelembagaan dan responsivitas terhadap
pengaduan berjalan dengan baik. Pemkot Surakarta telah
membentuk unit pengaduan bernama ULAS, meskipun tidak dipakai
secara optimal oleh warga, sebab warga lebih senang melakukan
pengaduan secara langsung atau melewati PATTIRO. Banyak
komunitas warga yang mencatut nama PATTIRO atau menggunakan
114
BAB VI Respons Lokal dan Reformasi Inkremental
password “kami mitra PATTIRO” untuk memperoleh kemudian
pelayanan. Forum Komunikasi Kader Posyandu (FKKP) juga
memperoleh pengakuan dan insentif lebih dalam asuransi kesehatan,
karena mereka telah banyak membantu program peningkatan
kesehatan masyarakat.
Di Bandar Lampung, sebagian besar unit layanan juga sangat
responsif menghadapi pengaduan komunitas warga. RSUD, Puskesmas
dan PLN menjadi jauh lebih baik dalam melayani warga. Dinas
Pendidikan juga memiliki standar pelayanan sebagai alat
pengendalian terhadap sekolah agar mampu memberantas pungutan
liar dan memberikan pelayanan lebih baik.
Di Pekalongan, proses advokasi berlangsung terus-menerus dan
terjadi perubahan pada kualitas layanan. Jika dulu Rumah Sakit
Daerah melayani pasien dengan ketus dan berlama-lama, kini sudah
tidak lagi dilakukan. Apalagi pihak Rumah Sakit terus-menerus
membenahi diri seiring dengan perbaikan internal institusi maupun
dalam menanggapi berbagai pengaduan-pengaduan warga. Dinas
Pendidikan yang memperoleh pengaduan warga tentang pungutan
pendidikan yang tidak perlu, merespon dengan menghimbau pihak
sekolah untuk tidak memberlakukan pungutan-pungutan tersebut.
Dinas Adminduk melakukan pembenahan internal dengan
menempatkan seorang petugas di kantor itu khusus menerima
pengaduan warga. Petugas tersebut adalah petugas yang mampu
berkomunikasi secara baik dengan warga dari berbagai kalangan.
Perbaikan-perbaikan lainnya dilakukan oleh pemberi layanan seiring
advokasi yang dilakukan komunitas, warga, dan PATTIRO, melalui
diskusi tematik dan diskusi publik, serta diskusi-diskusi di tingkat
komunitas yang mengundang para pemberi layanan.
Pertautan warga dan komunitas dengan pemberi layanan publik
dapat meningkatkan kualitas layanan publik. Untuk mengapresiasi
pemberi layanan yang memberi layanan publik meningkat dan
berkualitas di Kota Pekalongan, PATTIRO dan kalangan media
Pekalongan memberi anugerah pelayanan publik yang baik bagi tiga
SKPD yaitu RSUD Kota Pekalongan, Dinas Dukcapil, dan Dinas
Perizinan.
Engagement dengan RSUD membuahkan perbaikan-perbaikan
layanan fasilitas dan pelayanan terhadap pasien dan keluarganya.
Jika sebelumnya petugas front office bersikap ketus dan masa bodoh,
kini ditempatkan tim yang ramah dan dapat memberi layanan yang
baik bagi penerima layanan. Rumah Sakit membenahi diri dengan
115
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
membuka Perpustakaan atau Ruang Baca bagi anak-anak setiap pukul
8 - 2 siang, membuat acara dongeng untuk anak-anak setiap hari
Rabu dengan mengundang seniman supaya pasien dan keluarga tidak
jenuh, menyediakan pelatihan keterampilan dan kerajinan
menyulam untuk keluarga pasien yang menunggu pasien,
mengadakan penyuluhan kesehatan satu minggu sekali tentang tematema tertentu yang diberikan oleh tenaga medis dan paramedis
Rumah Sakit.
RSUD kini telah selesai menyusun Standard Pelayanan (SP) dan
sudah melalui proses partisipatif. Mereka bahkan mengundang
berbagai pihak untuk mendapat masukan demi penyempurnaan
Standar Pelayanan melalui ruang Konsultasi Publik. Kini SP dalam
proses finalisasi dan akan diluncurkan pada awal Mei 2014.
Engagement dengan Dinas Dukcapil dilakukan melalui dua cara.
Pertama, warga dan komunitas mengundang pihak Dukcapil untuk
hadir dalam diskusi komunitas dan menjelaskan berbagai hal
berkaitan dengan pengurusan administrasi kependudukan. Hal ini
penting untuk menjernihkan berbagai isu seperti anggapan bahwa
mengurus surat adminduk harus ada orang dalam, atau mengurus
akta membayar Rp 600 ribu rupiah, atau mengurus surat-surat itu
bisa berbulan-bulan tidak selesai juga suratnya. Pihak Dinas
Adminduk menegaskan dalam pertemuan komunitas bahwa,
pengurusan akta kelahiran memerlukan waktu satu minggu saja.
Warga tidak perlu menyerahkan urusan pada calo yang justru
mengambil keuntungan dari warga tapi suratnya tidak jadi juga
selama beberapa bulan. Untuk menjembatani agar warga dapat
memperoleh informasi yang tepat di dinas Adminduk, Dinas kemudian
merespon dengan menempatkan petugas khusus untuk menampung
pengaduan warga sekaligus memberi informasi. Dinas Dukcapil sudah
tidak lagi menaruh kotak amal, sudah ada informasi tertulis bahwa
pengurusan administrasi gratis, dan himbauan untuk tidak mengurus
administrasi melalui calo.
Di bidang kesehatan lainnya, warga, komunitas dan PATTIRO
sering melakukan diskusi dan advokasi terutama pada tema
bagaimana warga miskin yang tidak mampu dapat memperoleh
informasi yang benar dan jelas mengenai Jamkesda/Jamkesmas.
Advokasi yang dilakukan membuahkan hasil, Pemerintah Kota mengcover warga jika mereka menjalani rawat inap di Rumah Sakit
terutama para penerima Jamkesda lama yang tidak ter-cover sebagai
penerima Jamkesda baru. Dinas Kesehatan merespon lebih cepat,
di antaranya menempelkan prosedur pelayanan di tempat umum,
116
BAB VI Respons Lokal dan Reformasi Inkremental
perilaku terutama di front office sudah mulai ramah dan tidak ketus.
Ketika RSUD melakukan IKM mereka melibatkan warga dan komunitas
dampingan. Di RSUD sudah mulai responsif di tingkat kebijakan
termasuk penyusunan Standard Pelayanan yang sekarang sudah final
dan telah melalui Konsultasi Publik di mana PATTIRO dan warga
masyarakat diundang untuk mendiskusikannya.
Di bidang pendidikan, pengaduan warga tentang pungutanpungutan pendidikan disikapi dengan mengeluarkan Surat Edaran
Dinas Pendidikan yang menghimbau sekolah-sekolah untuk tidak
membuat pungutan-pungutan yang memberatkan orang tua siswa.
Meskipun kekuatan Surat Edaran tidak menjamin sekolah tidak
memungut iuran macam-macam pada siswa, akan tetapi respon dinas
cukup bagus dalam menanggapi pengaduan warga masyarakat.
Di Surakarta, agenda Community Led Monitoring (CLeM) telah
membuka jalan dan menjadi jembatan bagi warga masyarakat untuk
melakukan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik. Hasil
dari penelitian CLeM tersebut telah menjadi bahan rekomendasi
dan telah diakomodir dalam penyelenggaraan perubahan/perbaikan
kebijakan. Penyampaian pengaduan atau keluhan juga merupakan
bagian dari pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat. Model
mobile complain telah mendekatkan mekanisme pengaduan yang
dapat dijangkau oleh masyarakat serta mampu memecahkan budaya
diam yang selama ini terjadi karena apatisme warga tidak pernah
ada saluran komplain yang pasti.
Kepercayaan publik menjadi naik ketika hasil mobile complain
maupun CLeM sebagai bagian dari pengawasan masyarakat
disampaikan kepada penyedia layanan dan SKPD terkait serta
disebarluaskan pada publik luas baik melalui diskusi publik maupun
media massa. Indikasi yang mengarah pada peningkatan kepercayaan
masyarakat ditunjukkan dengan bukti bahwa apa yang mereka
tuliskan dan sampaikan telah sampai pada yang berwenang, sekaligus
juga beberapa komitmen perbaikan telah konfirmasi oleh masyarakat
melalui pernyataan media massa. Beberapa rekomendasi yang
diusulkan serta beberapa inovasi yang diadopsi oleh pemerintah kota
dapat dirasakan oleh warga, meskipun belum dapat dikatakan
menjangkau segenap lapisan masyarakat.
Untuk mendekatkan pengaduan pada masyarakat, pemerintah
kota Surakarta meluncurkan Unit Layanan Aduan Surakarta (ULAS)
yang melayani dan menangani pengaduan warga baik melalui
website, SMS maupun datang langsung. Unit pengaduan pada tingkat
117
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
kota ini di bawah kendali Inspektorat dan dibantu oleh Bidang Humas
Protokol serta Dishubkominfo untuk pelayanan melalui teknologi
informasi (website). Dinas Kesehatan juga telah menerima usulan
untuk keberadaan call center khusus PKMS dan Jampersal/
Jamkesmas untuk menerima dan penyelesaian pengaduan. Meskipun
masih dalam taraf jam kerja namun setidaknya mampu menjadi
sarana penyelesaian beberapa hal yang menjadi keluhan warga.
TKPKD juga telah mulai mengadopsi model formulir pengaduan yang
disusun oleh warga dan melibatkan beberapa tokoh komunitas untuk
memelopori dan menjadi bagian dari Kelompok Pengaduan
Masyarakat (Pokdumas) pada tingkat kelurahan dan kecamatan.
Sementara Dinas Kesehatan langsung menerima usulan complain
handling dengan penyediaan call center yang menangani aduan PKMS
dan Jampersal/Jamkesmas dengan membuka line telepon khusus
bagi kedua program tersebut yakni call center program PKMS (0271)
7063521 dan call center Jamkesmas/Jampersal (0271) 7063522,.
Bukan hanya pelembagaan pengaduan, kebijaksanaan juga
muncul dari banyak SKPD. Pada sektor pendidikan, rekomendasi
tentang transpransi biaya sekolah ditindaklanjuti dengan instruksi
kepala dinas bagi sekolah untuk mempublikasikan RAPBS-nya pada
papan pengumuman dan menyampaikannya pada orang tua siswa
pada saat penerimaan rapor. Dinas kependudukan catatan sipil juga
menerapkan sosialisasi mekanisme akta kelahiran dan kematian pada
PKK di kelurahan sebagaimana direkomendasikan oleh komunitas.
Di Kupang, relasi OMS dengan BPPT (Badan Perizinan) sudah
terjalin sejak program dari TAF tahun 2009 hingga Program SIAP II
ini. PIAR mempunyai peran dalam pembentukan BPPT ini. Kini dalam
Program SIAP II, PIAR meneruskan relasi lebih kuat dengan BPPT.
Komunikasi PIAR intensif dengan BPPT juga dalam kaitannya untuk
memperkuat kapasitas di dalamnya. Dari Program SIAP II ini PIAR
dan warga komunitas dampingan dapat memberi hasil pemantauan
ke BPPT. Banyak hasil pengaduan yang disampaikan dan direspon
oleh mereka misalnya ketidaktahuan warga dalam memperoleh izin
mendirikan bangunan atau izin usaha. Secara internal BPPT
meningkat kualitas pelayanannya meskipun pihak internal merasa
belum terlalu efektif pelayanan mereka. Oleh karena itu BPPT
mengembangkan Indeks Kepuasan Pelayanan, berupa kuesioner
untuk diisi para penerima layanan setelah mereka mendapat
pelayanan di BPPT. Kuesioner itu menjadi bagian dari evaluasi
internal. Sedangkan evaluasi dari pihak luar dilakukan oleh PIAR
dan warga masyarakat. Mereka kemudian lebih banyak
118
BAB VI Respons Lokal dan Reformasi Inkremental
menyampaikan informasi tentang minimnya informasi perizinan yang
dipahami masyarakat. Oleh karena itu komunitas dampingan
membuka ruang sosialisasi tentang BPPT di komunitas-komunitas.
BPPT diajak turun langsung ke komunitas untuk mengikuti diskusi
rutin. Meskipun demikian warga masyarakat secara umum menilai
bahwa sektor perijinan membantu kalangan usaha, bukan warga
masyarakat kebanyakan yang lebih banyak mengadu tentang
persoalan pelayanan pendidikan dan kesehatan.
Di tiga sektor yaitu pendidikan, kesehatan, dan perizinan,
pemerintah kota yang membidangi selalu terlibat dalam diskusidiskusi tentang pelayanan publik. Selain memberi informasi atau
sosialisasi tentang pelayanan publik, pemerintah kota juga menerima
pengaduan langsung warga yang disampaikan dalam diskusi-diskusi
tersebut.
Di sektor kesehatan misalnya, pelayanan kesehatan di Puskesmas
Pembantu (Pustu) dan Puskesmas dinilai masih perlu perbaikan,
sedangkan RSUD termasuk SKPD yang maju dan satu-satunya SKPD
yang sudah memiliki SPP. Dinas Pendidikan dan Kesehatan sedang
dalam proses penyusunan. Berbagai pengaduan warga masyarakat
tentang pelayanan kesehatan disampaikan melalui berbagai media
termasuk diskusi publik yang melibatkan staf Dinas Kesehatan.
Di sektor pendidikan sudah terjalin relasi yang baik dengan LSM
dan komunitas dampingan. Berbagai pengaduan seperti pungutan
liar di berbagai sekolah kini disikapi oleh dinas dengan menyusun
Rancangan Perda Penyelenggaraan Pendidikan untuk menghindari
sekolah yang menerapkan dana di luar regulasi yang sudah dibuat.
Pengaduan-pengaduan warga di antaranya pengaduan yang dihimpun
oleh komunitas dampingan direspon dinas pendidikan dengan rutin
hadir dalam diskusi publik dengan warga masyarakat. Keluhan
masyarakat baik melalui sms center maupun pengaduan tersebut
direspon oleh Dinas Pendidikan pada saat hadir dalam diskusi publik
baik di kantor PIAR maupun di radio atau media lainnya.
Kerja sama Dinas Pendidikan dan PIAR dalam pemantauan
penerimaan siswa baru penting dilakukan. Tahun lalu warga
masyarakat mengadu karena anaknya tidak diterima di sekolah
favorit padahal sekolah favorit terbatas jumlah siswanya. Menurut
penuturan salah seorang Kabid Dinas Pendidikan, para orang tua
mengadu ke DPRD kemudian dewan menyampaikan aduan ke Dinas
Pendidikan berkaitan dengan banyaknya orang tua yang protes karena
anaknya tidak diterima di SMA favorit. Dinas berpatokan pada SPM
119
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
bahwa siswa SMA per kelas jumlahnya hanya 36. Tapi dewan memaksa
dinas harus menerima aspirasi warga masyarakat, akhirnya jumlah
siswa ditambah dari 36 per kelas menjadi lebih dari 45 siswa per
kelas. Hal ini menyalahi SPM tapi dinas tidak bisa berbuat apa-apa
karena tekanan dewan. Tahun ini PIAR dan Dinas Pendidikan bekerja
sama memantau sistem penerimaan siswa baru salah satunya untuk
menghindari kejadian yang sama berulang kembali. Selain itu
pemantauan juga dilaksanakan karena saat ini sistem penerimaan
siswa SMA menggunakan sistem online, merupakan sistem baru di
sekolah menengah di Kota Kupang.
Di Malang, ada tahap awal, hubungan MCW dengan pihak pemberi
layanan bisa dikatakan mengalami hambatan psikologis karena
selama ini MCW dikenal sebagai OMS yang bergerak di isu anti korupsi.
Melalui sosialisasi pentingnya pelayanan publik yang berkualitas bagi
warganya, MCW mulai dapat diterima oleh kalangan pemerintah
kota. Oleh karena itu ketika menjelang akhir program MCW
menyelenggarakan lokalatih Standard Pelayanan Publik, peserta dari
pihak pemberi layanan bersedia hadir dan mengikuti keseluruhan
kegiatan. Hasilnya Dinas Adminduk telah menyelesaikan SPP mereka
meskipun saat ini sedang dalam proses menyusun SOP.
Hubungan Dinas Adminduk dan komunitas warga yang difasilitasi
oleh MCW telah membuahkan hasil yaitu selesainya Standar
Pelayanan Publik (SPP) dibuat secara internal meskipun belum
Konsultasi Publik. Saat ini mereka sedang menunggu Peraturan
Pemerintah yang mengatur UU Adminduk yang baru. Kerja sama
dengan Dinas Adminduk berlangsung lama sejak awal program hingga
menjelang berakhirnya program, pertama, pihak Dinas Adminduk
bersedia hadir ke komunitas warga untuk memberi penjelasan
tentang prosedur pengurusan surat-surat Adminduk. Kedua,
pengaduan warga dari sarana prasarana yang terbatas hingga jumlah
hari pengurusan direspon oleh dinas dengan baik. Contohnya, kritik
warga terhadap terbatasnya ruang duduk di kecamatan atau
kelurahan, direspon dinas dengan menyediakan tempat duduk di
tempat pelayanan tersebut. Ketiga, keterlibatan dalam lokalatih
SPP dan disusunnya draf SPP yang kemudian ditindaklanjuti dinas
dengan menyusun SOP.
Saat ini proses pengurusan akta kelahiran hanya dibutuhkan
waktu empat hari seiring dengan digunakannya komputer dalam
proses registrasi akta kelahiran. Sebelumnya semua akta kelahiran
ditulis melalui buku register yang membutuhkan waktu lama. Untuk
pengurusan atau pembaharuan kartu Keluarga (KK) diperlukan waktu
120
BAB VI Respons Lokal dan Reformasi Inkremental
lebih lama terutama ketika banyak pemohon yang membutuhkan
pembaharuan KK sedangkan tanda tangan harus dilakukan oleh
kepala dinas secara langsung. Penggantian pencatatan manual ke
komputer ini merupakan langkah Dinas Adminduk dalam memberi
pelayanan publik yang lebih baik bagi warga masyarakat.
Dinas Kesehatan juga memberi respon yang baik sehubungan
banyaknya pengaduan warga tentang pelayanan kesehatan terutama
untuk warga miskin yang tidak menerima Jamkesmas dan Jamkesda.
Dinas Kesehatan memberi kesempatan warga bukan penerima
Jamkesmas dan Jamkesda untuk mengurus Surat Keterangan Miskin
(SKM) dari tingkat RT hingga kecamatan sebelum disampaikan ke
Dinas Kesehatan. SKM ini berfungsi sebagai dokumen yang
menunjukkan bahwa mereka akan dibiayai oleh Pemerintah Kota
ketika sakit dan dirawat di fasilitas kesehatan kota Malang.
Di Sinjai, kebijaksanaan (responsivitas SKPD dan unit layanan)
tidak sesubur kebijaksanaan yang terjadi di Bandar Lampung,
Pekalongan, Malang, Surakarta dan Kupang. Namun Sinjai melakukan
lompatan kebijakan dengan menghadirkan Perda Pelayanan Publik.
KOPEL dan FPMS selama ini telah melakukan advokasi di tingkat
kebijakan yaitu dengan mendorong lahirnya Perda No.03/2013
tentang Pelayanan Publik di Kabupaten Sinjai. Berbagai masukan
dari warga masyarakat, kalangan LSM, media, dihimpun dan menjadi
masukan dalam proses penyusunan perda tersebut. Kertas
rekomendasi yang disusun FPMS juga berisi masukan untuk
penyusunan Rancangan Perda Pelayanan Publik. Saat ini FPMS-KOPEL
sedang melakukan advokasi penyusunan Raperda Penyelenggaraan
Pelayanan Kesehatan, Raperda Bantuan Hukum Masyarakat Miskin,
dan Raperda Revisi atas Perda Pembebasan Biaya Pendidikan.
Diskusi mengenai kebijakan-kebijakan selalu rutin dilakukan oleh
FPMS-KOPEL dengan Sekretaris Daerah. Langkah ini diambil karena
di tataran kebijakan, pimpinan daerah lebih cepat memberikan
respon dibandingkan di tataran SKPD. Meskipun demikian bukan
berarti advokasi ke SKPD atau pihak pemberi layanan tidak
membuahkan hasil. Advokasi ke pihak pemberi layanan tetap
dilakukan meskipun responnya lambat atau bahkan tidak direspon.
RSUD merupakan SKPD yang cepat merespon dorongan pelayanan
publik yang baik bagi warganya, yaitu diluncurkannya sms aduan.
Setiap sms yang masuk langsung dibalas pihak RSUD. FPMS pernah
beberapa kali meminta informasi melalui sms aduan RSUD, baik pagi,
siang, sore, malam, dan selalu dibalas pihak RSUD. Hal ini
memperlihatkan bagian informasi RSUD bekerja selama 24 jam.
121
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Sekretaris Daerah menuturkan bahwa Kabupaten Sinjai berupaya
memberi pelayanan publik bagi warganya dengan baik dan membuka
ruang partisipasi warga untuk terlibat dalam perencanaan kebijakan
pelayanan publik, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kinerja
pelayanan publik. Selama ini FPMS-Kopel membangun jaringan dalam
melakukan pengawasan pelayanan publik dengan membuka posko
pengaduan melalui FPMS sekaligus melakukan advokasi. Sekretaris
Daerah mengakui peran itu namun juga menyatakan bahwa sumber
daya para pemberi layanan juga perlu ditingkatkan. Secara umum,
Sekda menilai bahwa pelayanan publik di Sinjai sudah lebih baik
dari sebelumnya, seperti dituturkannya:
“ ... dalam pelayanan publik, kita juara empat se-Sulsel.
Hanya karena Perdanya itu yang terlambat. Seandainya
Perdanya kita ada ... saya percaya ... saya tidak menganggap
kita di atas dengan daerah lain ... Kalau bantuan hukum,
Perda sedang proses ... Hanya saya berharap ke depan
bantuan hukum untuk masyarakat miskin ini yang kita harus
sinergi dulu dengan pemerintah pusat ... dengan bantuan
hukum yang ada di pengadilan untuk masyarakat tidak
mampu juga. Pelayanan publik kita sudah baik. Kesehatan
gratis bagian dari itu. Perdanya kita sesuaikan dengan
Jaminan Kesehatan Masyarakat (JKM). Walaupun sebenarnya
kita harus mengakui pola Jamkesda masih lebih baik dari
JKM. Perbedaannya di JKM orang tidak bisa naik tingkat,
kalau di Jamkesda tinggal bayar selisih. Di situ bedanya.
Jadi kalau orang naik tingkat hilang haknya ... Masyarakat
tidak ada lagi yang membayar iuran walaupun ini sebenarnya
beban berat ... 20-an miliar lebih per tahun dari APBD. Ini
berlaku tahun ini tahun 2014 ini kita sudah anggarkan ...”
Di Kupang, perubahan pelayanan publik merupakan hal yang
membanggakan. Meskipun pemerintah tidak secara langsung
mengakui bahwa PIAR mempunyai peran di ranah itu, namun PIAR
dan komunitas dampingan percaya bahwa pemerintah kota perlu
didorong untuk menghargai hak-hak warga sebagai penerima
layanan. Untuk itu pemerintah kota perlu melakukan perbaikan
pelayan publik di berbagai bidang agar kualitas pelayanan meningkat.
Berikut tutur koordinator program:
“ ... hanya dari sisi kita mau mengklaim ini adalah intervensi
PIAR kita juga nggak berani ketika mereka me-launching
122
BAB VI Respons Lokal dan Reformasi Inkremental
program mereka, mereka tidak mengatakan karena apa,
apakah ini karena apa yang disampaikan PIAR atau tidak.
Tetapi kita hanya merasa bangga bahwa sedikit yang kita
sampaikan itu mendorong adanya suatu perubahan. Itu yang
kita lihat bahwa ada banyak hal berubah di kota, perizinan
saja mereka sudah mulai secara rutin membuat yang
namanya pengawasan secara internal, dan juga memberikan
kuesioner yang selalu diberikan pada orang yang diberi
layanan, namanya kuesioner kepuasan pelayanan. Jadi siapa
yang mengurus izin di situ, dia keluar, nanti ada bagian
terakhir yang dikasih kuesioner, tolong minta waktu isi,
disuruh mengisi, dikembalikan lagi ...”
PIAR merasakan perbedaan penerimaan dari pihak pemerintah
terhadap kegiatan masyarakat dulu dan sekarang. Jika dulu warga
sulit menyampaikan komplain kini lebih terbuka. Hanya saja
penanganan dari pihak pemerintah perlu didorong terus-menerus
agar tidak berhenti pada komplain saja tapi berimplikasi pada tindak
lanjutnya. Demikian tutur koordinator program:
“ ... Seandainya bicara bahwa yang paling berbeda dulu dan
sekarang, misalnya ... kalau yang awal itu memang kita dari
NGO khususnya PIAR mau mendapatkan dukungan partisipasi
atas kegiatan dan menerima kita menyampaikan komplain
aja susah, tapi sekarang beda, paling tidak, partisipasi,
kolaborasi kita untuk mendukung kegiatan-kegiatan publik
sudah cukup baik. Kita sudah sering diundang untuk diskusi
bagaimana melakukan pemetaan pendidikan, itu sudah
mulai. Jadi kalau kita lihat langkah yang paling maju
sebenarnya di situ. Belum sampai pada level mengubah
kebijakan. Karena memang PIAR ini masih dilihat sebagai
pihak yang memantau secara represif, mungkin di waktu
awalnya. Tapi kita sudah mulai membuka diri, membangun
kolaborasi bersama khususnya dengan pemerintah kota,
akhirnya mereka juga bisa terima, ternyata PIAR bisa
membuka diri. Tapi dari sisi kita, kita juga berpikir
sebenarnya mereka juga tidak mau membuka diri. Tapi ya
syukurlah, itu perubahan yang paling nampak sebelum dan
sesudah. Kita sudah mulai ada kolaborasi, mereka juga sudah
mau membuka diri. Kita juga sudah mulai ikut terlibat dalam
pemantauan pelayanan publik. Itu kaitannya dengan
bagaimana proses kampanye pelayanan publik...”
123
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
124
Pembelajaran Pelaksanaan Program SIAP II
di 6 Kabupaten/Kota
BAB VI
Modalitas
untuk Keberlanjutan
S
etiap prakarsa program, seperti Program SIAP II, selalu
menghadirkan tantangan keberlanjutan pada titik ujung. Ada
sebuah pertanyaan, apakah komunitas warga dan organisasi
masyarakat sipil semakin kuat dan terus-menerus melakukan
advokasi kebijakan dan pengaduan pelayanan publik setelah tidak
memperoleh pendampingan? Apakah ruang publik yang demokratis,
partisipasi, pertautan warga terus-menerus akan berlanjut
menantang akuntabilitas pemerintahan daerah?
Pertanyaan itu sudah saya lontarkan ketika saya berdiskusi
dengan komunitas warga di Bandar Lampung dan Surakarta. Mereka
berkomitmen tetap merawat komunitas warga dan melakukan
pengaduan kepada unit layanan, seraya membentuk wadah organisasi
yang lebih besar pada skala daerah. Di Bandar Lampung, komunitas
warga mampu bergerak secara mandiri melakukan pendampingan
warga yang bermasalah dengan pelayanan publik. Bahkan komunitas
Ikatan Pemuda Peduli Pelayanan Publik (IPPLP) kini berkembang
menjadi organisasi rakyat yang melintasi batas-batas wilayah,
bekerja mandiri yang menjadi pusat pengaduan warga, tidak hanya
masalah pelayanan publik bahkan persoalan-persoalan kecil di sekitar
warga, warga mau mengadukan ke IPPLP dan IPPLP mampu
membantu memediasi pihak yang berkonflik. Di Surakarta, setiap
komunitas warga terus akan berjuang karena apa yang diperjuangkan
menyangkut kepentingan mereka sehari-hari. Sejumlah organisasi
yang melintasi batas wilayah dan beranggotakan multi aktor seperti
JARPUK, MPPS maupun FKKP mempunyai kekuatan dan sumber daya
yang memadai untuk tetap berlanjut, mengisi ruang-ruang publik
dan menantang akuntabilitas pelayanan publik. Baik di Bandar
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Lampung maupun Surakarta, beragam komunitas warga tengah
berproses membentuk Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3),
sebagai wadah yang lebih besar dan terbuka untuk merawat ruangruang partisipasi, kontrol publik terhadap pemerintah lokal, serta
menantang akuntabilitas pelayanan publik.
Komitmen dan upaya serupa untuk merawat keberlanjutan juga
ditemukan di Pekalongan, Malang, Sinjai dan Kupang. Di Pekalongan,
para pegiat komunitas warga tetap mempertahankan organisasi
mereka, sekaligus akan masuk ke berbagai institusi di level kelurahan
dan kota. Untuk komunitas warga yang bekerja di kelurahan,
anggotanya didorong masuk sebagai pengurus LPM atau lembaga
kemasyarakatan lain agar dalam memantau dan melakukan
pengawasan pelayanan publik di tingkat kelurahan sekaligus
menggalang dan memperkuat komunitas untuk melakukan advokasi
ke pemberi layanan yang lebih tinggi. Komunitas warga yang
mempunyai relasi dengan lembaga di tingkat kota dapat melebur
dan menghimpun kekuatan dalam lembaga di tingkat kota tersebut
dalam melakukan advokasi maupun menerima pengaduan
masyarakat. Contohnya, Komunitas Al Khoiriyah adalah komunitas
yang anggotanya juga menjadi anggota Fatayat NU di tingkat kota.
Fatayat NU di tingkat kota terdiri dari anggota di tingkat rantingranting. Pengaduan warga dan advokasi dapat dimulai dari Fatayat
ranting yang akan berelasi dengan Fatayat kota jika diperlukan
advokasi hingga di tingkat kota. Sebelum mengenal pelayanan publik
yang dipromosikan PATTIRO, para pengurus Al Khoiriyah sudah
bekerja dalam menerima pengaduan warga dan melakukan audiensi
dengan berbagai pihak baik narasumber dari akademisi, kalangan
pemerintah maupun pihak-pihak lain, untuk mendiskusikan berbagai
hal atau persoalan yang dijumpai dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari. Sementara komunitas buruh yang tergabung dalam
Formapp, KBP3, dan KPBN (Komunitas Perempuan Buruh Nelayan)
melakukan pemantauan dan pengawasan pelayanan publik dalam
payung SPN (Serikat Pekerja Nasional) Kota Pekalongan. Di dalam
SPN dibuka divisi Kebijakan Publik yang akan berfungsi sebagai posko
pengaduan dan wadah melakukan advokasi hingga tingkat kebijakan.
Meskipun demikian komunitas-komunitas tersebut tetap melakukan
aksi dari bawah untuk menerima pengaduan warga, melakukan
pendampingan pada warga dan anggota komunitas, dan melakukan
advokasi ke pihak pemberi layanan. Komunitas Buruh Peduli
Pelayanan Publik (KBP3) tetap melakukan pemantauan dan
pengawasan terhadap pelayanan publik yang mereka dapatkan dan
melakukan advokasi melalui komunitas ini.
128
BAB VII Modalitas untuk Keberlanjutan
Di Malang, MCW akan tetap melakukan pendampingan pada
komunitas dan warga untuk isu pelayanan publik dan isu-isu lainnya,
juga melakukan kampanye, menyelenggarakan forum warga dan
advokasi, meskipun frekuensi penyelenggaraan berkurang. Di pihak
komunitas warga, terutama mereka yang sudah mandiri,
berdasarkan pengalaman akan mampu menjalankan pengaduan dan
advokasi secara mandiri, apalagi ada dua kelompok yang sudah
membentuk koperasi sebagai bagian dari penggalangan dana
operasional kegiatan. Ke depan, MCW tetap memfasilitasi jika
kelompok dampingan mandiri tersebut memerlukan dukungan
dengan dana operasional MCW sendiri yang memiliki bidang usaha
penerbitan di mana sebagian keuntungan dialokasikan untuk dana
operasional kegiatan MCW.
Di Sinjai, ada dua jalan yang akan ditempuh untuk merawat
keberlanjutan. Pertama, menjaga trust dengan Pemda yang telah
membuka ruang partisipasi bagi warga masyarakat agar memperoleh
pelayanan publik yang maksimal. Kedua, komunitas warga harus
mampu merawat dan memelihara jaringan mereka melalui FPMS
tanpa fasilitasi pendanaan dari mana pun. Dari sisi kelompok warga,
KOPEL optimis mereka mampu memperkuat diri. Buktinya kelompokkelompok itu sebagian sudah terbentuk sejak 2005 melalui Parlemen
Grup. Ketika bergabung dalam Program SIAP II, sebagian komunitas
warga mampu memainkan peran sebagai jembatan antara warga
dengan DPRD atau kegiatan panggung demokrasi lain. Panggung
demokrasi adalah kegiatan dialog anggota dewan dengan warga
masyarakat. Melalui FPMS, Kopel percaya kelompok dampingan dapat
bekerja sama menyuarakan isu warga berkaitan dengan pelayanan
publik yang tidak maksimal. FPMS akan mempertahankan relasi
dengan kalangan media. Media selalu memberitakan peristiwa tidak
maksimalnya pelayanan publik di kabupaten ini terutama peristiwa
yang sedang di advokasi FPMS, bahkan penyimpangan keuangan yang
dilakukan para pemberi layanan.
Komitmen merawat dan melanjutkan gerakan komunitas warga
juga terjadi di Kota Kupang. PIAR tentu tidak akan melakukan
pendampingan sejumlah 12 komunitas warga satu per satu. Karena
itu PIAR memfasilitasi pembentukan Freepublik sebagai bagian atau
strategi keberlanjutan program. Sejumlah 12 komunitas warga
bergabung dalam Freepublik sebagai satu wadah untuk terusmenerus melakukan pemantauan dan advokasi ke pemberi layanan,
menghimpun pengaduan, menyampaikan ke pemberi layanan agar
sistem pemantauan berjalan terus walaupun program ini berakhir.
129
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Pada saat yang sama PIAR akan terus menerus berdampingan dengan
Freepublik untuk mengisi ruang-ruang publik yang demokratis,
melakukan kontrol publik, advokasi kebijakan dan pengaduan
pelayanan publik.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari kisah itu? Pengetahuan,
kesadaran, keberanian dan kebiasaan baru dalam hal melakukan
pengaduan, telah menjadi energi besar bagi warga untuk terusmenerus menyampaikan pengaduan kepada unit-unit pelayanan
publik. Warga secara individual berpotensi besar melakukan
pengaduan secara berkelanjutan. Namun pengaduan secara
individual tidak cukup kuat berhadapan dengan pemerintah daerah
dan unit pelayanan publik. Baik pengaduan maupun advokasi
kebijakan pelayanan publik akan kuat dan efektif jika dilakukan
oleh OMS. Karena itu tantangan terbesar terletak pada keberlanjutan
organisasi.
Komitmen berbagai OMS sangat penting tetapi tidak cukup
sebagai energi untuk merawat keberlanjutan. Selain komitmen itu,
kepentingan dan bentuk organisasi juga sangat menentukan, apakah
organisasi akan berlanjut dan berhenti. Komunitas warga berbasis
wilayah mudah rapuh karena mereka harus melayani banyak isu
dan kepentingan warga, sebab energi relawan komunitas warga juga
terbatas. Sementara OMS berbasis isu mempunyai cakupan gerakan
yang lebih luas dan mampu mempengaruhi ruang publik dan
kebijakan daerah, tetapi organisasi yang cenderung elitis ini mulai
meninggalkan berbagai bentuk pengaduan berskala kecil yang datang
setiap hari. Sebaliknya komunitas atau organisasi yang berbasis
identitas (parokhial) cenderung menghabiskan energinya untuk
kepentingan internal mereka, yang kurang menaruh perhatian pada
isu-isu publik.
Keterbatasan pada tiga jenis komunitas warga dan OMS ini bisa
diatasi jika tumbuh OMS yang berbasis kepentingan. OMS berbasis
kepentingan seperti serikat buruh atau serikat nelayan pada
umumnya mempunyai ikatan sosial yang kuat karena kesamaan
kepentingan, mempunyai basis keanggotaan yang lebih besar dan
bertingkat (dari desa/kelurahan, kecamatan hingga kabupaten/
kota), serta berkepentingan langsung dengan kebijakan pemerintah.
Organisasi semacam ini lebih kuat dalam mengawal pengaduan
pelayanan publik (beragam pelayanan) dan advokasi kebijakan yang
sesuai dengan kepentingan mereka.
130
BAB VII Modalitas untuk Keberlanjutan
Kisah Reformasi
Kalau hanya menyaksikan komitmen normatif, tentu cerita
tentang keberlanjutan sudah sampai di sini. Buku ini berupaya
melampaui komitmen normatif para OMS mitra dan komunitas warga,
sekaligus berupaya menganalisis konteks politik yang membentuk
keberlanjutan atau kemandekan gerakan warga. Pada dasarnya
pertanyaan tentang keberlanjutan serupa (meski lebih kecil) dengan
dinamika pasca reformasi. Apakah reformasi yang dihasilkan pada
periode tertentu akan semakin kuat dan berkelanjutan, atau
sebaliknya akan mengalami erosi atau pembalikan reformasi? Eric
M. Patashnik (2008), misalnya, telah memberikan kontribusi yang
berharga dalam menganalisis dinamika pasca reformasi, sebagaimana
tersaji dalam tabel 7.1. Patashnik membuat tipologi dinamika pasca
reformasi dengan dua variabel penting: identitas dan afiliasi
kelompok serta investasi kelompok. Identitas dan afiliasi kelompok
ia bagi menjadi dua: stabil (Identitas dan afiliasi kelopok relatif
stabil, banyak pengikut memiliki preferensi kebijakan yang sama)
dan cair (kelompok-kelompok baru muncul, koalisi cepat berubah,
kohesi kelompok kepentingan lemah). Investasi kelompok ia bagi
menjadi dua, yakni investasi sederhana dan investasi ekstensif.
Investasi sederhana berarti aktor-aktor sosial politik gagal melakukan
investasi berskala besar; ditambah dengan adaptasi organisasional
untuk melakukan reformasi sangat minimal. Investasi ekstensif
berarti kelompok-kelompok membuat investasi berskala besar, sering
berbentuk investasi spesifik yang tinggi berbasis pada harapan
bersama bahwa reformasi akan berlanjut.
Interaksi dua variabel itu menghasilkan empat tipe dinamika
pasca reformasi. Kuadran I adalah pembalikan reformasi, atau
reformasi berbalik mundur ke posisi status quo sebelum terjadi
reformasi. Hal ini terjadi karena identitas dan afiliasi kelompok stabil
(banyak pengikut memiliki preferensi kebijakan yang sama), tetapi
hanya didukung oleh investasi yang sederhana. Para pelopor
reformasi gagal melakukan investasi politik berskala besar; dan
pada saat yang adaptasi organisasional untuk melakukan reformasi
sangat minimal.
Kuadran II adalah erosi reformasi, yaitu reformasi ibarat istana
pasir, yang pelan-pelan luntur, merosot dan gagal. Erosi reformasi
bisa terjadi ketika para pelopor reformasi gagal melakukan investasi
politik berskala besar; dan pada saat yang sama adaptasi
organisasional untuk melakukan reformasi sangat minimal. Di sisi
131
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
lain juga disebabkan oleh identitas dan afiliasi kelompok yang cair,
di mana kelompok-kelompok baru muncul, koalisi cepat berubah,
serta kohesi kelompok kepentingan lemah. Situasi yang cair ini
fragmentasi kepentingan beragam aktor baru, yang tidak semua
berkepentingan untuk memperjuangkan reformasi.
Kuadran III adalah reformasi yang kokoh dan berkelanjutan. Ini
yang saya sebut smart reform atau institutionalized reform dalam
bab 6. Reformasi ini ditandai dengan investasi yang ekstensif, yakni
kelompok-kelompok membuat investasi berskala besar, sering
berbentuk investasi spesifik yang tinggi berbasis pada harapan
bersama bahwa reformasi akan berlanjut. Juga didukung dengan
identitas dan afiliasi kelompok yang relatif stabil, tanpa disertai
dengan kehadiran kekuatan baru yang membawa kepentingan baru
dan fragmented. Meskipun telah berganti kepemimpinan atau rezim,
tetapi kepemipinan baru tetap menjalakan dan melanjutkan
reformasi, sebagai buah investasi besar pada periode sebelumnya.
Sumber: Eric M. Patashnik, Reforms at Risk: What Happens After Major Policy Changes Are Enacted,
Princeton: Princeton University Press, 2008.
132
BAB VII Modalitas untuk Keberlanjutan
Kuadran IV adalah rekonfigurasi atas reformasi. Reformasi di
tata ulang oleh rezim atau kepemimpinan baru. Meskipun reformasi
ini menghasilkan investasi yang besar dan ekstensif, tetapi tidak
didukung oleh identitas dan afiliasi kelompok yang stabil, melainkan
muncul kelompok-kelompok baru dengan beragam kepentingan dan
terfragmentasi. Pergantian rezim memungkinkan hadir aktor-aktor
baru yang tidak nyaman dengan warisan reformasi rezim sebelumnya,
sehingga mereka menata ulang reformasi. Produk-produk kebijakan
masa sebelumnya dirombak ulang.
Terus terang saya belum berani memberikan contoh empirik
tentang pengalaman daerah dengan tipologi pasca reformasi di atas.
Ada sebuah pertanyaan, apa dan bagaimana kabar daerah-daerah
inovatif (seperti Aceh Barat Daya, Solok, Tanah Datar, Musi Banyuasin,
Tanah Bumbu, Luwu Utara, Sumedang, Kebumen, Purbalingga,
Sragen, Bantul, Yogyakarta, Surakarta, Makassar, Gianyar, Jembrana,
Tuban, Lamongan, Blitar, dan lain-lain). Apakah di daerah-daerah
itu terjadi pembalikan reformasi, erosi reformasi, rekonfigurasi
reformasi, atau reformasi tetap kokoh dan berkelanjutan?
Pertanyaan ini merupakan puzzle yang menarik dan menantang.
Relevansi tipologi itu perlu diuji secara empirik dengan melakukan
penelitian lapangan di daerah-daerah tersebut.
Namun dalam buku Daerah Inklusif (2013), saya telah
menengarai bahwa selama satu dekade (2000-2010) merupakan era
“musim semi” reformasi, tetapi pasca 2010 telah terjadi pergeseran
menjadi “musim gugur” reformasi karena pergantian rezim melalui
pilkada. Setidaknya ada gejala yang bisa ditunjukkan, bahwa cerita
inovasi di daerah-daerah itu kini tidak terdengar lagi dari media
maupun penelitian. Sekarang yang menjadi teladan menonjol adalah
Kota Bandung dan Kota Surabaya. Sementara Sragen dan Jembrana,
yang dulu paling kondang, sekarang tidak lagi terdengar ceritanya.
Bahkan pasca lengser 2010 Bupati Untung Wiyono (Sragen) dan Bupati
I Gede Winasa (Jembrana) menjadi pesakitan rezim yudikatif.
133
Menantang Akuntabiltas Publik dari Medan Warga
Harapan dan Masa Depan Program SIAP II
Para pegiat Program SIAP II tentu mempunyai harapan untuk
memperkuat dan mewujudkan reformasi yang kokoh dan
berkelanjutan. Secara empirik mereka telah melakukan investasi
politik (meskipun belum besar dan masif), antara lain dengan cara:
(a) perluasan (scaling up) organisasi aksi kolektif; (b) infiltrasi ke
dalam organisasi-organisasi formal yang eksis; (c) merawat
komunikasi dan kerja sama dengan SKPD maupun unit penyedia
layanan publik; serta (d) memainkan politik representasi baik
merebut posisi politik di DPRD maupun berkoalisi dengan para
anggota parlemen lokal.
Keempat agenda itu sebenarnya merupakan modalitas politik
penting bagi reformasi inkremental yang digerakkan dari bawah oleh
masyarakat, seperti saya telah sajikan dalam bab 6. Artinya aksi
kolektif, jaringan sosial, koalisi, representasi, komunikasi, edukasi
publik, dan engagament menjadi kekuatan atau modalitas politik
untuk merawat ruang-ruang demokrasi dan memperkokoh hasil-hasil
reformasi secara berkelanjutan. Modalitas ini terus akan menguat
dan berlanjut jika melihat komitmen para pelaku Program SIAP yang
sudah saya uraikan sebelumnya.
Jika investasi politik sudah memadai dan akan semakin kuat,
maka tantangan penting adalah pada sisi identitas dan afiliasi
kelompok. Pertama, ada tantangan perubahan rezim pada tahuntahun mendatang akibat dari proses elektoral dalam pilkada.
Menurut para penganjur teori political reclaiming, jaringan OMS
diharapkan melakukan konsolidasi politik secara solid untuk
memainkan politik representasi atau aliansi dengan kandidat yang
berpihak pada reformasi pelayanan publik. Tetapi kalangan OMS tidak
solid, alias terfragmentasi, karena perbedaan garis politik parokhial
(kekerabatan, pertemanan, keagamaan, kesukuan, aliran, dan
sebagainya), maka politik representasi akan mengalami kesulitan.
Kedua, mutasi besar-besaran dalam tubuh SKPD yang
menghadirkan pejabat baru, sehingga sering merisaukan dan
menyulitkan OMS, karena OMS harus memulai engagement dari titik
nol kembali. Kerisauan ini selalu muncul sebab pendekatan OMS
masih sebatas pada egensi-personal ketimbang pendekatan strukturinstitusional. Bagi daerah yang telah melahirkan reformasi kebijakan,
atau perubahan struktur-institusi, mutasi besar tidak harus menjadi
134
BAB VII Modalitas untuk Keberlanjutan
kerisauan. Siapapun pejabatnya, pasti akan tunduk pada strukturinstitusi baru yang terlembaga dalam Perda hingga SOP. Jika harus
bertautan kembali dengan pejabat baru, tentu itu merupakan seni
dan permainan yang harus dijalani oleh OMS. Sementara, OMS yang
baru bergerak pada level agensi-personal, maka hal itu harus
dilanjutkan dengan peningkatan pada level struktur-institusi, yakni
perubahan kebijakan. Namun hal ini juga tidak harus dirisaukan,
sebab eksistensi komunitas warga, jaringan OMS, maupun ruangruang demokratis yang selalu bergetar akan menjadi kekuatan untuk
reformasi kebijakan dan transformasi struktural-institusional.
Ketiga, tantangan menjaga stabilitas dan soliditas OMS. Satu
per satu aktor-aktor lama pergi meninggalkan dunia OMS, sementara
kaderisasi tidak berjalan dengan baik, tentu akan melumpuhkan
OMS. OMS juga akan lumpuh ketika ada aktor-aktor baru hadir dalam
dunia OMS yang belum tentu mempunyai visi dan orientasi yang
sama, sebaliknya mempunyai kepentingan baru menjadi penumpang
gelap.
Tantangan lain yang penting dalam hal ini adalah hijrahnya para
aktivis menjadi politisi. Selama beberapa tahun terakhir, hijrah
aktivis ke politisi ini menjadi fenomena baru yang mewadah di
seluruh Indonesia. Marcus Mietzner (2013), misalnya, telah
melakukan studi tentang representasi aktivis ke dalam DPR pada
pemilu 2009, yang berjumlah 37 orang (setara 7% dari total 560
anggota DPR), lebih besar dari 2% mantan tentara dalam DPR. Dari
37 anggota politisi-aktivis itu, Marcus membagi menjadi 3 kategori.
Pertama, politisi-aktivis yang berorientasi pada karir, yakni mencari
kedudukan dan kekayaan ekonomi. Dengan kalimat lain, aktivis hijrah
menjadi politisi DPR dalam rangka mencari kerja. Kedua, politisiaktivis berorientasi politik, yang memupuk kekuasaan atas dirinya
sendiri dan untuk partainya. Kedua kelompok ini mempunyai
kesamaan. Mereka terjebak (kooptasi) dalam pragmatisme dan
patronase politik, termasuk dalam pencarian dana melalui cara yang
tidak transparan dan tidak akuntabel. Ketiga, kelompok politisiaktivis yang berorientasi pada perubahan dan demokrasi. Mereka
tidak terjebak dalam korupsi dan patronase politik sebagaimana
dilakukan oleh kelompok pertama dan kedua, namun kelompok
reformis ini tidak mampu mendorong perubahan besar, kecuali hanya
mendorong sebagian produk legislasi yang mengarah pada reformasi.
Kekuatan ini tidak mampu mendobrak “demokrasi patronase” yang
terbangun di Indonesia pasca-Soeharto.
135
Kisah hijrah dari aktivis ke politisi, atau yang saya sebut sebagai
political reclaiming, itu bisa menjadi pelajaran penting bagi OMS.
Jika kelak para aktivis OMS, termasuk pelaku Program SIAP II, hijrah
ke dunia politik menjadi politisi-aktivis yang berorientasi karir dan
politisi-aktivis berorientasi politik, maka hal itu merupakan kerugian
besar bagi gerakan OMS dan demokratisasi lokal. Ini adalah tantangan
baru bagi OMS, selain ada tantangan dalam merawat citizen
engagement.
Biodata
Sutoro Eko, lahir di Sukoharjo, 27
November 1969. Lulus dari Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada
(UGM) tahun 1993, dan sekarang sedang
dalam proses penyelesaian program
doktor Ilmu Politik di UGM, dengan
menulis disertasi DRAMA REFORMASI:
Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede
Winasa di Jembrana. Toro, demikian
panggilan akrabnya, mengajar di Jurusan
Pemerintahan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa
(STPMD) “APMD” Yogyakarta, dan juga pegiat Forum
Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD). Melakukan kejian dan
advokasi
desa merupakan
panggilan dan Program
profesi Toro,SIAP
sedangkan
Pembelajaran
Pelaksanaan
II
mengkaji demokrasi, pemerintahan lokal dan masyarakat sipil
6 Kabupaten/Kota
merupakan hobbydi
yang
ia senangi karena terkait dengan studi
ilmu politik dan pemerintahan yang ia tekuni. Hobby ini antara
lain teraktualisasikan dengan menulis buku bersama YAPPIKA
dengan titel Masyarakat Sipil Mendemokrasikan Daerah:
Pelajaran Dari Aceh (2009), dan bersama Afrizal Tjoetra di Aceh
Development Fund (ADF) menulis buku Masyarakat Sipil dan
Pembangunan Perdamaian Aceh (2012). Toro juga menulis buku
DAERAH INKLUSIF: Pembangunan, Demokrasi Lokal dan
Kesejahteraan (IRE, 2013).
Download