analisa kritis atas good governance - JIPSI: Jurnal Ilmu Politik dan

advertisement
ANALISA KRITIS ATAS GOOD GOVERNANCE
Mudiyati Rahmatunnisa
Program Studi Ilmu Pemerintahan dan Pascasarjana
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran
Abstrak
Diskursus kontemporer menunjukkan good governance sebagai sebuah strategi alternative
pembangunan yang mengglobal. Beragam elemen penting yang melekat di dalamnya telah menjadikan
good governance diterima oleh banyak Negara hampir tanpa resistensi yang berarti. Apakah good
governance selalu berimplikasi positif terhadap demokrasi dan pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan sebagaimana diformulakan oleh para pendukungnya? Analisis kritis dalam artikel ini
menunjukkan bahwa kalkulasi teoritik tersebut tidak selalu benar.
Abstract
Contemporary discourse shows that good governance has become a global strategic alternative in
development process. Its various features have made good governance globally accepted almost without
significant resistance. Has good governance always have positive implications toward democracy and
economic development as it has been originally formulated by its proponents? Critical analysis within
this article shows that theoretical calculation has not always been right.
Pendahuluan
Good governance telah menjadi sebuah
buzz word bagi banyak pihak, baik akademisi,
policy makers, birokrat dan lembaga-lembaga
strategis baik nasional maupun international
sejak akhir decade 80-an. Dengan kata sifat
“good” yang melekat, banyak pihak berasumsi
good governance sebagai sebuah tatanan yang
akan selalu berkaitan dengan outputs dan
outcomes yang baik. Para pendukungnya
mengatakan
bahwa
good
governance
merupakan
prasyarat
penting
untuk
pembaharuan ekonomi dan stabilitas politik
(1991, dalam Pauly 1999: 273; Joseph 2001).
Karena potensi inilah, good governance begitu
cepat menyebar dan diterima oleh banyak
Negara. Apakah memang demikian? Tulisan
ini bermaksud untuk menguraikan pengertian
serta perdebatan teoritik maupun praktek dari
good governance.
Pengertian Governance dan Good
Governance
Sebagaimana istilah-istilah lainnya
dalam ilmu social, good governance juga
mengalami dilemma dalam pemaknaannya.
Berbagai ahli, pemerintah berbagai negara,
lembaga donor, baik regional maupun
internasional telah melakukan pendefinisian
yang beragam atas good governance. Namun
demikian, kondisi tersebut bukan berarti tanpa
adanya konsensus berkait dengan good
governance.
Disepakati
bahwa
good
governance pada masa sekarang ini merupakan
elemen strategis yang harus di-inkorporasi
dalam strategi pembangunan.
Ada dua kekuatan utama yang
melatarbelakangi
kemunculan
wacana
governance,
yaitu
globalisasi
dan
demokratisasi.
Kesemuanya
merupakan
konsekuensi logis dari adanya perkembangan
dan perubahan fundamental disemua lini dalam
kehidupan
masyarakat,
seperti
halnya
dikemukakan oleh Chhotray and Stoker (2009:
2) sebagai berikut:
There are the implications of our
growing interdependence in a context
where the expectations of citizens to
influence the decisions that affect them
have increased the pressure on
established systems of collective
decision-making, and brought forth
demands for new forms of governance.
Pierre dan Peters (2000: 7, dalam Chhotray &
Stoker 2009) misalnya mengatakan bahwa
konsep governance ‘is notoriously slippery”.
Sementara itu Schneider (2004: 4, dalam
Chhotray & Stoker 2009) mengatakan bahwa
ketidakjelasan konsep governance merupakan
“[the] secret of its success”.
Secara sederhana, governance dapat
diterjemahkan sebagai “ways of governing”
(Crook & Manor 1995). Sementara, Chhotray
dan Stoker (2009: 3) mendefinisikan
governance sebagai “the rules of collective
decision-making in settings where there are a
plurality of actors or organizations and where
no formal control system can dictate the terms
of the relationship between these actors and
organizations”.
Namun, perkembangan selanjutnya
menunjukkan bahwa pengertian governance
menjadi begitu beragam. Misalnya, LandellMills dan Serageldin (1991, dalam Nanda
2006: 273) dalam artikelnya menjelaskan
bahwa
Governance may be taken as denoting
how people are ruled and the affairs of a state
are administered and regulated. It refers to a
nation’s system of politics and how this
functions in relation to public administration
and law. Thus, the concept of governance goes
beyond that of “government” to include a
political dimension.
Definisi governance yang agak berbeda
dikemukakan oleh United Nation Development
Programme (UNDP) berikut ini merupakan
salah satu definisi yang dijadikan rujukan oleh
banyak akademisi, praktisi maupun lembagalembaga regional maupun internasional:
“the exercise of economic, political and
administrative authority to manage a
country’s affairs at all levels. It
comprises mechanisms, processes and
institutions through which citizens and
groups articulate their interests,
Kemunculan governance dipandang
sebagai alternative cara pandang dalam
memahami dinamika perubahan social,
ekonomi dan politik yang melanda dunia pada
decade 90-an. Disebutkan selajutnya oleh
Chhotray dan Stoker (2009: 2) bahwa
“Governance seeks to understand the way we
construct collective decision-making…existing
models were failing to capture what was
happening, and not providing an appropriate
framing of key issues for reformers.”
Di ranah politik, keputusan-keputusan
masih harus dibuat oleh Negara atau
pemerintah. Perspektif governance mencoba
mempertanyakan bagaimana tugas ini bisa
dilaksanakan dengan efektif dan legitimate.
Pertanyaan ini pada gilirannya memaksa
Negara
atau
pemerintah
untuk
mempertimbangkan cara alternative dalam
pembuatan keputusan. Namun demikian,
menurut Bandyopadhyay (1996: 3109),
“…governance is wider than government,
though government because it is the most
powerful and coercive institution continues to
be the major element of any system of
governance...”.
Banyak ahli mengatakan bahwa
governance tidak terdefinisi dengan jelas.
8
exercise their legal rights, meet their
obligations
and
mediate
their
differences”(UNDP 1997)1
Dengan
mengutip
Mosley,
Leftwich
menguraikan
bahwa
program
tersebut
mencakup dua tahapan utama, ‘stabilisation’
dan ‘adjustment’.
Stabilisation normally meant immediate
devaluation and often drastic public
expenditure cuts. This was followed by
adjustment which sought to transform
economic structures and institutions
through varying doses of deregulation,
privatization, slimming down allegedly
oversized
public
bureaucracies,
reducing subsidies and encouraging
realistic prices to emerge as a stimulus
to greater efficiency and productivity,
especially for export.
Dari
beberapa
definisi
tentang
governance di atas, dapat disimpulkan bahwa
pada hakekatnya governance merujuk pada
mekanisme pengelolaan negara di mana di
dalamnya mencakup pengoperasian berbagai
kewenangan, pengelolaan warga negara dan
interaksi berbagai entitas politik dalam proses
pembuatan keputusan yang tidak hanya di
dominasi oleh negara, tetapi juga aktor-aktor
lainnya.
Dalam konteks pembangunan, good
governance sebenarnya berkaitan dengan awal
mula kemunculan tuntutan akan prasyarat
politik yang dikenakan pada program-program
bantuan pembangunan (aid programmes) yang
ditawarkan oleh international financial
institutions (IFIs), yaitu the International
Monetary Fund (IMF) dan the World Bank
serta beberapa Negara Barat kepada beberapa
Negara Sub-Saharan Africa (terutama bilateral
aid policies) (Crook & Manor 1995; Nanda
2006). Pada decade 1980an, lembaga-lembaga
beserta
Negara-negara
donor
tersebut
meluncurkan apa yang disebut dengan
Structural Adjustment Programs (SAPs) untuk
beberapa Negara Sub-Saharan Afrika yang
mengajukan bantuan keuangan, karena pada
saat itu mengalami “economic malaise caused
by balance of payments deficits, high inflation,
and sluggish GDP” (Nanda 2006: 271).
Thus, pada prinsipnya Negara-negara
Barat tersebut menuntut Negara-negara SubSaharan Afrika tersebut melaksanakan apa
yang disebut dengan “good government”, yaitu
mengadopsi “more (world) market-oriented
economic policies”, sebagai prasyarat untuk
mendapatkan bantuan. Oleh karena itu, banyak
kalangan mengatakan bahwa formulasi awal
kebijakan “good government” lebih merupakan
“crude ideological assertion” yang melihat
bahwa rejim yang korup dan inefisien
bertentangan dengan perkembangan pasar
bebas ekonomi kapitalis dan karenanya harus
diganti dengan “Anglo-American style multiparty democracies” (Crook & Manor 1995).
Perkembangan
selanjutnya
menunjukkan
adanya
perubahan
dari
“government“ ke “governance”.2 Salah satu
1
2
The World Bank, governance adalah “the
manner in which power is exercised in the
management of a country’s economic and
social resources for development”, dalam
Abdellatif, A. M. 2003, Good Governance and
Its Relationship to Democracy & Economic
Development in Global Forum III on Fighting
Corruption and Safeguarding Integrity S.
Ministry of Justice Republic of Korea, Seoul.
Leftwich menjelaskan bahwa konsep
governance memiliki makna yang lebih luas
dibanding government. Konsep government
secara konvensional merujuk kepada “ the
formal institutional structure and location of
authoritative decision making in the modern
state”. Sementara governance merujuk kepada
“a looser and wider distribution of both
internal and external political and economic
9
alasan terpenting yang mendasari perubahan
tersebut adalah adanya respon dan kritik dari
lembaga-lembaga multilateral seperti The
World Bank dan NGOs bahwa promosi tentang
tipe pemerintahan tertentu dipandang terlalu
ideologis atau “ethnocentric” (Crook & Manor
1995). Oleh karena itu, perubahan dilakukan
dengan proposisi yang dipandang lebih teknis
dan apolitik yang terwakili dalam governance,
yang dimaknai sebagai “the processes by which
economic and social matters are managed, and
the capacity of institutions to manage them
fairly, rationally and predictably” (Crook &
Manor 1995). Governance dalam perspektif ini
tidak hanya menyangkut pembangunan
ekonomi dalam arti yang sempit, tetapi
mencakup juga kinerja institusi dan hubunganhubungan antara Negara dan masyarakat.
Kemunculan pertama dari pinsip good
governance adalah pada tahun 1989 (Adrian
Leftwich 1993) ketika The World Bank
memberikan laporan tentang permasalahan
pembangunan di Afrika yang disinyalir
disebabkan oleh persoalan penggunaan
kekuasaan politik untuk mengatur urusanurusan Negara. Lebih lanjut, sebagaimana
dikemukakan oleh Marc dan Byong-Joon
(dalam Abdellatif 2003) good governance
merupakan “the term that symbolizes the
paradigm shift of the role of governments”.
Banyak kalangan mengatakan bahwa good
governance merupakan “a new way of thinking
about public sector, political and administrative
structures of developing countries” (Uddin &
Joya 2007: 7).
Dalam perspektif teknis-manajerial,
good governance yang dipandang IBRD3
sebagai “sound development management”
(Adrian
Leftwich 1993) merupakan
pendekatan alternatif yang diluncurkan untuk
mengatasi
kelemahan
pendekatan
pembangunan sebelumnya, di mana otonomi
Negara sangat minimal (free market
mechanism). Salah satu kelemahan utama
pendekatan pembangunan sebelumnya adalah
karena
terlalu
mengandalkan
kepada
mekanisme pasar dan pemangkasan peran
Negara yang cukup signifikan. Satu hal
strategis dalam perspektif ekonomi politik yang
terlupakan adalah keberadaan struktur Negara
yang efektif, yang penting untuk dapat
menjamin pasar dengan memelihata stabilitas
politik dan ekonomi, serta kejujuran dan
keamanan dalam transaksi-transaksi ekonomi
serta kapasitas infrastruktur yang mendukung
dan tepat (Adrian Leftwich 1993). Oleh karena
itu, sebagaimana Crook dan Manor (1995)
menyatakan, penekanan terpenting dalam
governance adalah pada kapasitas Negara,
pengembangan institusi dan berfungsinya
peran-peran minimal Negara. Berkaitan dengan
fungsi ini, Nayyar (2000) memberikan ilustrasi
sebagai berikut:
The state must concentrate on
improving its traditional functions like
the maintenance of law and order... its
economic function should be restricted
to providing the necessary social and
physical infrastructure for development.
The state would also need to evolve new
power. Governance thus denotes the structures
of political and, crucially, economic
relationships and rules by which the productive
and distributive life of a society is governed”.
Singkatnya, governance merujuk kepada “a
system of political and socioeconomic relations
or, more loosely, a regime”. Leftwich, A. 1993,
'Governance, Democracy and Development in
the Third World', Third World Quarterly, vol.
14, no. 3, pp. 605-624. Available from:
http://www.jstor.org/stable/3992489
[26/01/2011].
3
International Bank for Reconstruction and
Development
10
Satu hal yang perlu menjadi poin
penting di sini adalah bahwa dalam perspektif
good governance, bukan ditujukan untuk
menjadikan Negara lebih otonom, akan tetapi
lebih kepada membangun
“horizontal links between state and civil
society. By embedding organised
interests like business with government
in decision-making processes it is hoped
to build stable networks of interest
which would both promote the general
interest and bring specialist knowledge
to bear on decision-making.” The gain
in terms of the good governance agenda
would be that the exclusive powers of
the state could be reduced in scope and
also the initiative and knowledge
available in civil society could be
harnessed for public purposes.” (Joseph
2001).
delivery of political goods — beginning with
security — to the citizens of nation-states”,
maka good governance merujuk kepada
“results, when nation-states provide high order
of certain political goods — when the nation
states perform effectively and well on behalf of
their citizens” (Besancon 2003 dalam Uddin &
Joya 2007: 8).
Sementara itu, Organization for
Economic Cooperation and Development
(OECD) menjelaskan bahwa good governance
adalah kondisi ketika
…public institutions act effectively,
providing an enabling environment for
economic growth and development.
Good
governance
requires
the
improvement of accountability and
transparency of public sector agencies,
concomitant with the effective fight
against corruption. The effective
performance of democratic institutions,
including legislatures, and the fight
against corruption, are the central
elements of good governance (dikutip
dalam Uddin & Joya 2007: 10).
Dari pernyataan di atas, dapat diketahui
bahwa konsep governance berkaitan langsung
dengan manajemen proses pembangunan, yang
didalamnya tidak hanya didominasi oleh
Negara tetapi juga terdapat keterlibatan sectorsektor privat dam masyarakat pada umumnya.
Governance
mencakup
kapasitas
dan
keberfungsian sector public dan juga aturanaturan dan institusi-institusi yang menjadi
kerangka bagi keterlibatan sector privat dan
masyarakat dalam hubungannya dengan
Negara.
Uddin dan Joya (2007: 7) menyatakan
bahwa definisi dan interpretasi tentang good
governance sejak kemunculan pertamanya
pada tahun 1989, telah menjadi sangat
beragam. Misalnya, Marie Besancon, dengan
mendefinisikan governance sebagai “the
Sementara itu, O’Neill (Uddin & Joya
2007) menambahkan poin penting lainnya
dalam definisi good governance yang
ditawarkannya, yaitu “Good governance means
ruling justly, enforcing laws and contracts
fairly, respecting human and property rights
and fighting corruption.” Dari berbagai definisi
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa good
governance pada hakekatnya merujuk pada
aspek kualitatif dari governance.
Adapun yang menjadi elemen-elemen
inti dari good governance adalah partisipatif,
berorientasi kepada konsensus, akuntabel,
transparan, responsive, efektif dan efisien, adil
dan inklusif serta mengikuti aturan-aturan
hukum yang berlaku. Good governance harus
dapat menjamin bahwa korupsi dapat
diminimalisir, pandangan dan aspirasi kaum
laws to govern the new market economy
and to ensure its smooth and efficient
functioning. But these laws, when
formulated, should facilitate and not
obstruct the functioning of markets.
11
assembly and freedom from arbitrary
imprisonment; and the adoption of
policies designed to safeguard longterm global interests like education,
health and the environment”.
minoritas didengar dan dipertimbangkan dalam
proses pengambilan keputusan, dan responsive
terhadap kebutuhan masyarakat masa kini dan
mendatang.4
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Sumber:
http://www.unescap.org/pdd/prs/ProjectActivities/Ongoing/gg/governance.asp
Fenomena kontemporer menunjukkan
bahwa good governance telah memiliki makna
yang jauh lebih kompleks dibanding formulasi
awalnya pada akhir decade 80-an. Najem
(2003) mengatakan bahwa good governance
pada saat ini mencakup aspek-aspek penting
sebagai berikut:
“economic liberalisation and the
creation
of
market
friendly
environments;
transparency
and
accountability with respect to both
economic and political decisionmaking;
political
liberalisation,
particularly democratic reforms; rule of
law and the elimination of corruption;
the promotion of civil society; the
introduction of fundamental human
rights guarantees, especially with
respect to political rights such as
freedom of expression, freedom of
Pendapat yang hampir sama juga
dikemukakan oleh Demmers, Jilberro dan
Hogenboom (2004) bahwa konsep good
governance seringkali didefinisikan sebagai “a
political regime based on the model of a liberal
democratic polity, which protects human and
civil rights, combined with a competent, noncorrupt
and
accountable
public
administration.”
Dalam pandangan Leftwich (1993),
paling tidak, ada tiga komponen utama dari
pemahaman good governance di atas: Pertama,
dari perspektif system secara umum,
governance yang memiliki makna yang lebih
luas dari government, merujuk kepada sebuah
system hubungan politik dan sosioekonomi
yang tidak hanya didominasi oleh Negara,
tetapi juga aktor-aktor lain di luar Negara.
Kedua, dari perspektif politik, posisi Negara
dalam good governance memiliki legitimasi
dan otoritas yang berasal dari mandat
demokratis melalui mekanisme pemilu yang
4
Lihat juga, misalnya, Joseph, S. 2001,
'Democratic Good Governance: New Agenda
for Change', Economic and Political Weekly,
vol. 36, no. 12, pp. 1011-1014[26/01/2011].
12
bebas dan diselenggarakan secara regular.
Negara juga dibangun atas dasar prinsip
“separation of legislative, executive and
judicial powers” yang jelas. Ketiga, dari
perspektif administrasi, good governance
berarti “an efficient, open, accountable and
audited public service which has the
bureaucratic competence to help design and
implement appropriate policies and manage
whatever public sector there is.” Good
governance juga meniscayakan adanya system
hukum yang independen yang mampu
menegakkan supremasi hokum dan mengatasi
perselisihan-perselisihan yang muncul.
(perspektif
good
government)
yang
menghendaki pengadopsian model Barat secara
secara utuh dan menyeluruh, good governance
memberikan ruang untuk elemen-elemen yang
berakar pada negara-negara penerima donor
untuk
mendisain
mekanisme-mekanisme
politik dan social yang diperlukan. Oleh karena
itu, good governance dipandang lebih aplikatif
dan mempertimbangkan kondisi kultur
(culturally sensitive) negara-negara penerima
donor.
Lebih jauh lagi, peran Negara yang
dibatasi dalam aktivitas ekonomi masyarakat
berdampak pada kemunculan pusat kekuasaan
lain di luar Negara. Pada gilirannya,
keberadaan elemen-elemen kekuasaan baru ini
akan menuntut Negara menjadi lebih terbuka
dan akuntabel. Dengan demikian, secara
singkat dapat dikatakan bahwa “a considerable
degree of political liberalization, and perhaps
even democratization” merupakan keuntungankeuntungan yang dapat diperoleh dari praktek
good governance (Najem 2003), di samping
tentunya
pertumbuhan
ekonomi
dan
pembangunan yang berkelanjutan. Berkaitan
dengan pembangunan dan good governance,
Windsor (2001: 15) menyatakan bahwa
“success in the other core areas of sustainable
development is inextricably related to
democratization and good governance.”
Sebagaimana banyak dikemukakan
dalam berbagai literature, pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan
berimplikasi sangat luas. Nayyar (2000)
misalnya, mengatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi, bersama-sama dengan human
development program dan program-program
jangka pendek untuk mengurangi kemiskinan
merupakan tiga strategi penting dalam
mengatasi kemiskinan. Oleh karena itu, secara
khusus, berdasarkan studinya di India, Nayyar
berkesimpulan bahwa persistent poverty
Mengapa Good Governance?
Sejak awal peluncurannya oleh The
World Bank pada tahun 1989 melalui
dokumennya yang berjudul Sub-Saharan
Africa: From Crisis to Sustainable Growth,
good governance berkaitan dengan kebijakankebijakan penyesuaian struktural (structural
adjustment policies) seperti “reduced state
intervention in economic decision-making;
reduced public sectors and more efficient and
transparent public sector administration; freer
markets and the elimination of unnecessary
public subsidies; and increased integration
into the world economy…”(Najem 2003).
Rangkaian kebijakan yang terangkum dalam
good governance tersebut didasarkan pada
argumentasi bahwa
[Good governance] would in itself, help
to promote the appropriate political
environment for sustainable economic
growth – which, incidentally, would be
a more inclusive and accountable
environment on the whole than most
developing societies had previously
experienced (Najem 2003).
Berbeda
dengan
pembangunan yang berlaku
pendekatan
sebelumnya
13
merupakan akbibat dari ketiadaan good
governance.
Keuntungan lainnya yang seringkali
diasosiasikan dengan praktek good governance
adalah sebagaimana diungkapkan Demmers,
Jilberro dan Hogenboom (2004) bahwa “[good
governance] aimed to help countries reach
economic prosperity, ensure the rule of law,
improve the efficiency and accountability of
their public sectors and tackle corruption.”
Implikasi lebih lanjut berkait dengan realisasi
hak asasi manusia dan demokrasi. Disebutkan
bahwa good governance dipandang sebagai
rejim yang menjunjung tinggi prinsip
pemisahan kekuasaan, system hukum yang
independen, kebebasan untuk berorganisasi
berbicara dan pers, pemilu-pemilu yang bebas
dan system multi partai serta memberikan
ruang yang lebar untuk civil society berperan
aktif dalam pembangunan yang berkeadilan.
The United Nations High Commisioner for
Human Rights (dalam Kirby 2004: 3-4)
misalnya, memberikan ilustrasi keterkaitan
antara human rights dengan good governance
sebagai berikut:
Governance is the process whereby
public institutions can conduct public
affairs, manage public resources and
guarantee the realization of human
rights. Good governance accomplishes
this in a manner essentially free of
abuse and corruption, and with due
regard for the rule of law. The true test
of “good” governance is the degree to
which it delivers on the promise of
human rights: civil, cultural, economic,
political and social rights.
Kritik Atas Good Governance
Sebagaimana kata sifat yang melekat
dalam
konsepsinya,
good
governance
sepertinya akan selalu menawarkan dan
diasosiasikan dengan kondisi-kondisi yang
“good”. Namun demikian, sebagaimana konsep
atau teori dalam ilmu politik, good governance
tidak terbebas dari kritik dan perdebatan, baik
secara konseptual maupun praktek.
Salah satu kritik utama terhadap good
governance yang dimotori oleh beberapa
lembaga donor internasional terkemuka, seperti
The World Bank, UNDP dan juga IMF adalah
bahwa agenda good governance pada
kenyataannya merupakan “a sub ideology to
further
enhance
the
neoliberal
agenda”(Demmers, Jilberto & Hogenboorn
2004). Seperti halnya juga dikemukakan oleh
Patomaki (dalam Demmers, Jilberto &
Hogenboorn 2004),
From a cosmopolitan democratic
perspective, it is clear that slogans such
as ‘participatory development and good
governance’ should not be ways to
impose, in an undemocratic way,
particular,
Western
visions
of
organizing society upon the dependent
countries of Latin America, Africa and
Asia. It is even worse when this
paternalistic—and
often
straightforwardly
imperialistic—
attitude is coupled with de facto
furthering of profit-seeking corporate
interests of those actors who seem to be
beyond all measures of transparency,
good governance, and democratic
accountability, in particular Bretton
Woods
institutions
and
the
transnational corporations.5
Potensi keuntungan-keuntungan inilah
yang telah menjadikan good governance
diterima secara luas dan mengglobal sebagai
sebuah strategi pembangunan yang penting.
5
Bretton Woods Institutions terdiri dari The
World Bank dan The International Monetary
Fund (IMF)
14
economic advantages when compared to
the poor.
Pernyataan diatas menunjukkan bahwa
agenda global good governance tidaklah tanpa
bias atau “interest-free”. Sulit untuk tidak
sepakat bahwa agenda good governance sangat
suportif
terhadap
neoliberalism
dan
kepentingan ekonomi global. Bahkan menurut
Robinson (dalam Demmers, Jilberto &
Hogenboorn 2004), pasar bebas dan demokrasi
yang terangkum dalam agenda good
governance tidak hanya dimotivasi oleh
kepentingan masyarakat yang hidup di bawah
rejim yang tidak demokratis atau karena
perhatian yang tulus dan solidaritas dari dunia
internasional, akan tetapi lebih kepada niat “to
make the world both available and safe for
global capitalism by creating the best
conditions around the world for the unfettered
operation of the new global production
system”.
Dalam sebuah pertemuan internasional
yang diselenggarakan oleh The Commission of
Human Rights pada tahun 2004 di Seoul Korea
Selatan, peserta dari banyak Negara
berkembang memandang bahwa ide good
governance tidak lebih dari
…the latest attempt of developed
countries to impose on the developing
world their notions of governance,
whatever the culture, needs and
capacity of poorer nations..[it is] seen
as a Trojan horse for institutions and
laws that would require of developing
countries a machinery of “governance”
considered suitable to the developed
world and protective of the interests and
power of developed world. Instead of
promoting human rights and nationbuilding, “good governance”…is the
means of ensuring obedience to the
rules imposed on the developing world
by the World Trade Organisation
(WTO) and, through bilateral trade
agreements, the means whereby the
richest countries shore up their
Oleh karena itu, secara tegas Tony
Evans (2001: 640) menyatakan bahwa good
governance hanyalah sebuah mekanisme untuk
melindungi aliran modal dan keuangan di
seluruh dunia untuk kepentingan dan
keuntungan dari Negara-negara kaya dan para
investor.
Kritik lainnya dikemukakan oleh
Leftwich (1993) atas klaim bahwa akibat
negative pendekatan pembangunan sebelumnya
(perspektif government) bukan karena ada
persoalan dalam model neoliberal, akan tetapi
lebih disebabkan oleh “bad governance”.
Dalam perspektif ini, good governance
dipandang sebagai strategi alternative penting
untuk
mewujudkan
kebijakan-kebijakan
neoliberal yang bermuara pada pencapaian
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Namun, menurut Leftwich, berdasarkan fakta
empiric pengalaman banyak Negara Dunia
Ketiga (Third World Countries), baik Negara
demokratis maupun yang tidak, keberhasilan
dan kegagalan pembangunan ekonomi tidak
ada hubungannya dengan tipe rejim.
Pengalaman Inggris (periode 1750-1850),
Jerman di bawah Bismarck, beberapa negara
dunia ketiga seperti Brazil, Korea Selatan dan
Taiwan post-1960, termasuk Singapura dan
Malaysia, yang mengalami kemajuan dalam
pembangunan ekonomi luar biasa, tetapi tidak
di bawah rejim yang demokratis, merupakan
bukti nyata atas argumen Leftwich. Kemajuan
yang dialami oleh Negara-negara ini, menurut
Leftwich, bukan berkait dengan persoalan
managerial sebagaimana diklaim dalam banyak
literature yang dikeluarkan oleh lembagalembaga donor internasional, tetapi justru lebih
dikarenakan oleh “the kind and character of
the state” yang berperan aktif, independen dan
15
kompeten mempengaruhi proses pembangunan
ekonomi. Dengan kata lain, bukan sekedar
persoalan better atau good governance.
Leftwich (1993: 620) berargumen bahwa “it
has been politics and the state rather than
governance or democracy that explains the
differences
between
successful
and
unsuccessful developmental records”. Lebih
lanjut, Leftwich menyimpulkan bahwa
…from a development point of view, the
general but simplistic appeal for better
governance’ as a condition of
development is virtuous but naïve. For
an
independent
and
competent
administration is not simply a product
of ‘institution building’ or improved
training, but of politics. And if the
politics do not give rise to the kind of
state which can generate, sustain and
protect an effective and independent
capacity for governance, then there will
be
no
positive
developmental
consequences.
governance sebagai alternative mengatasi
krisis. Namun demikian, analisis Thompson
(2004) atas implementasi good governance
selama tujuh tahun menunjukkan bahwa justru
rejim-rejim authoritarian (Cina, Vietnam,
Malaysia dan Singapura) yang lebih bertahan
dan maju ketimbang rejim-rejim demokrasi
yang baru yang menerapkan good governance,
yang malah mengalami instabilitas politik dan
pertumbuhan ekonomi yang sangat lambat
(Indonesia, Filipina dan Thailand).
Implementasi good governance juga
tidak selalu menjamin output dan outcome
sebagaimana
dikalkulasikan
sebelumnya.
Pengalaman pemerintah Bosnia, misalnya,
menunjukkan bahwa agenda good governance,
tidak mampu mengatasi permasalahan korupsi
yang melanda negeri tersebut. Bahkan
sebaliknya, justru semakin mempertajam
segregasi
social
dan
meningkatkan
ketergantungan Negara terhadap bantuan
internasional (Chandler 2004).
Mengingat
proses
pembangunan
sejatinya merupakan proses politik, karena
menyangkut “conflict, negotiation and
cooperation over the use, production and
distribution of resources”, menurut Leftwich,
yang lebih diperlukan adalah “a developmental
state”, yaitu “a state whose political and
bureaucratic
elite
has
the
genuine
developmental determination and autonomous
capacity to define, pursue and implement
developmental goals”. Argumentasi Leftwich
ini semakin diperkuat oleh fenomena Negaranegara di kawasan Asia Pasifik pasca krisis
ekonomi yang parah yang melanda kawasan
tersebut pada akhir decade 90-an. Krisis
ekonomi telah mendiskreditkan “Asian Values”
6
dan menggantikannya dengan wacana good
Kesimpulan
Good governance telah menjadi
fenomena
yang
mengglobal.
Para
pendukungnya
percaya
bahwa
good
Asian Values. Namun demikian, beragam
literature cenderung melihat Asian Values
sebagai nilai-nilai yang dijadikan pedoman
oleh masyarakat di Negara-negara Confusius
Asia Timur. Asian Values seringkali
disamakan dengan Confucian Values, yaitu
“the importance of family, the concern for
virtues and ethics, the primacy of group over
individuals, the emphasis on unity or harmony,
hard work, thrift, and the importance of
education”. Park, C. M. & Shin, D. C. 2004,
Do Asian Values Deter Popular Support for
Democracy? The Case of South Korea,
Working Paper Series: No. 26, Asian
Barometer Project Office, National Taiwan
University and Academia Sinica, Taipei.
6
Di kalangan akademisi, tidak ada consensus
yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan
16
International Anti-corruption Initiatives
in Bosnia-Herzegovina', in Good
Governance in the Era of Global
Neoliberalism:
Conflict
and
Depolitisation in Latin America,
Eastern Europe, Asia and Africa, eds J.
Demmers, A. E. F. Jilberto & B.
Hogenboom, Routledge, London &
New York, pp. 140-156.
governance merupakan prasyarat penting untuk
demokrasi dan pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan. Dengan mempertimbangan
beberapa komponen inti dari good governance,
sulit rasanya untuk tidak menerima asumsiasumsi yang dibangun tentang beragam
potential benefits yang dapat dihasilkan dari
proses implementasinya.
Namun demikian, good governance
bukanlah tanpa kelemahan. Pengalaman
beberapa Negara menunjukkan bahwa good
governance bukanlah satu-satunya penyebab
laju pertumbuhan ekonomi. Bahkan sebaliknya,
beberapa Negara yang telah mengadopsi good
governance justru mengalami instabilitas
politik dan pertumbuhan ekonomi yang lambat.
Kemunculan konsep development state bisa
jadi merupakan altenatif untuk mengatasi
kelemahan praktek good governance dengan
menekankan kepada eksistensi Negara yang
tidak hanya good, tetapi juga efektif, relative
kuat, otonom dan kapabel dalam upaya
pencapaian
tujuan-tujuan
pembangunan.
Karakter development state juga dipercaya
sebagai alternative yang cukup menjanjikan
untuk
menangkal
dampak
negative
neoliberalisme.
Chhotray, V. & Stoker, G. 2009, Governance
Theory and Practice: A CrossDisciplnary
Approach,
Palgrave
Macmillan, Hamshire and New York.
Crook, R. C. & Manor, J. 1995, 'Democratic
Decentralisation
and
Institutional
Performance: Four Asian and African
Experiences Compared', Journal of
Commonwealth
&
Comparative
Politics, vol. 33, no. 3, pp. 309-334.
Demmers, J., Jilberto, A. E. F. & Hogenboom,
B. (eds) 2004, Good Governance in the
Era of Global Neoliberalism: Conflict
and depolitisation in Latin America,
Eastern Europe, Asia and Africa,
Routledge, London & New York.
Demmers, J., Jilberto, A. E. F. & Hogenboorn,
B. 2004, 'Good Governance and
Democracy in A World of Neoliberal
Regimes', in Good Governance in the
Era of Global Neoliberalism, eds J.
Demmers, A. E. F. Jilberto & B.
Hogenboorn, Routledge, London &
New York, pp. 1-32.
Daftar Pustaka
Abdellatif, A. M. 2003, Good Governance and
Its Relationship to Democracy &
Economic Development in Global
Forum III on Fighting Corruption and
Safeguarding Integrity S. Ministry of
Justice Republic of Korea, Seoul.
Evans, T. 2001, 'If Democracy, Then Human
Rights?', Third World Quarterly, vol.
22, no. 4, pp. 623-642.
Bandyopadhyay, D. 1996, 'Administration,
Decentralisation and Good Governance',
Economic and Political Weekly, vol. 31,
no. 48 pp. 3109-3111+3113-3114.
Joseph,
S.
2001,
'Democratic
Good
Governance: New Agenda for Change',
Economic and Political Weekly, vol. 36,
no. 12, pp. 1011-1014[26/01/2011].
Chandler, D. 2004, '‘Good Governance’ Can
Make Bad Government: A Study of
17
Kirby, M. 2004, 'Human Rights and Good
Governance: Conjoined Twins or
Incompatible Strangers?', Chancellor's
Human Rights Lecture. Available from:
http://www.unimelb.edu.au/speeches
[19/12/11].
http://www.jstor.org/stable/4409861
[26/01/2011].
Park, C. M. & Shin, D. C. 2004, Do Asian
Values Deter Popular Support for
Democracy? The Case of South Korea,
Working Paper Series: No. 26, Asian
Barometer Project Office, National
Taiwan University and Academia
Sinica, Taipei.
Leftwich, A. 1993, 'Governance, Democracy
and Development in the Third World',
Third World Quarterly, vol. 14, no. 3,
pp.
605-624.
Available
from:
http://www.jstor.org/stable/3992489
[26/01/2011].
Pauly, L. W. 1999, 'Good Governance and Bad
Policy: The Perils of International
Organizational Overextension', Review
of International Political Economy, pp.
401-424.
Available
from:
http://www.jstor.org/stable/4177321
[26/01/2011].
Leftwich, A. 1993, 'Governance, Democracy
and Development in the Third World ',
Third World Quarterly, vol. 14, no. 3,
Democratisation in the Third World, pp.
605-624.
Thompson, M. R. 2004, 'Pacific Asia after
'Asian
Values':
Authoritarianism,
Democracy, and 'Good Governance'',
Third World Quarterly, vol. 25, no. 6,
pp. 1079-1095.
Najem, T. P. 2003, 'Good Governance: The
Definition and Application', in Good
Governance in the Middle East Oil
Monarchies eds T. P. Najem & M.
Hetherington,
RoutledgeCurzon,
London & New York, pp. 1-28.
Uddin, M. J. & Joya, L. A. 2007, 'Development
Through Good Governance: Lessons for
Developing Countries', Asian Affairs,
vol. 29, no. 3, pp. 1-28.
Nanda, V. P. 2006, 'The "Good Governance"
Concept Revisited', Annals of the
American Academy of Political and
Social Science, vol. 603, Law, Society,
and
Democracy:
Comparative
Perspective, pp. 269-283.
UNDP 1997, Governance for Sustainable
Human Development, UNDP Policy
Paper.
Nayyar, D. 2000, 'Alleviating Poverty: Role of
Good Governance and Constitutional
Reform', Economic and Political
Weekly, vol. 35, no. 42, pp. 3739-3742.
Available
from:
Windsor,
J.
2001,
Democracy
and
Development: The Evolution of U.S.
Foreign Assistance Policy, Freedom
House, pp. 143-145.
18
16
Download