modernisasi dan wanita jepang : suatu telaah historis

advertisement
KONTESTASI PEMIKIRAN FEMINIS DAN IDEOLOGI PATRIARKI:
ANALISIS PADA TIGA TEKS SASTRA BERBUDAYA ARAB–
MUSLIM DENGAN PERSPEKTIF FEMINIS MUSLIM
Free Hearty
Staf Pengajar Jurusan Bahasa Inggris Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA Jakarta
[email protected]
Abstrak
Pendekatan budaya feminis, terutama feminis muslim, digunakan untuk mengamati
bagaimana gagasan feminis berkembang ketika dominasi lelaki dan citra perempuan sebagai
korban atau mereka yang mempunyai potensi untuk berjuang mendapatkan keadilan tampak
dalam ketiga novel: Women at Point Zero, Nawal el Saadawi; Wife for my Son, Ali Ghalem;
The Beginning and the End, Naguib Mahfudz. Pengamatan ini difokuskan kepada Kontestasi
gagasan feminis dan gagasan Patriarki di dalam tiga teks sastra berbudaya Arab- Muslim.
Ketiga teks menawarkan titik pandang yang berbeda berkaitan dengan gagasan
feminis dan gagasan patriarki. Perbedaan ini memperlihatkan bahwa perhatian terhadap
diskriminasi jender dan keinginan untuk berjuang demi keadilan tersebut tidak serta merta
membuat seseorang mampu membuat rencana langkah strategis untuk memperjuangkan
keadilan itu sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa perjuangan feminis bagi perempuan bisa
terperangkap juga ke dalam perilaku budaya patriarki itu pula. Sadar atau tidak, mereka
terperangkap dalam perilaku yang menyudutkan perempuan dan mengukuhkan kekuasaan
lelaki.
Kata Kunci: pemikiran feminis, patriarki, feminis muslim
Abstract
A Cultural approach of feminist, especially Moslem Feminist, is used to view how
feminists ideas develop when the domination of men, and how the image of women as victim, or
those having the potention to fight for equality, is presented in the texts of Women at Point
Zero (WaPZ) by Nawal El Saadawi, A Wife for My Son ( AWfMS) by Ali Ghalem and The
Beginning and The End (TBTE) by Naguib Mahfoudz. The observation focused on the
contestation of feminist ideas and patriarchal ideology in the above three Arab-Moslem
Culture Literary texts.
The three texts offer different points of view in contesting feminist ideas and
patriarchal ideology. This difference shows that the concern for gender discrimination and the
will of fighting for equality do not necessarily make someone able to plan strategic steps to
fight for equality. It also indicates that feminist fighting for women’s preference can be trapped
also in a patriarchal cultured behavior. Consciously or not, they are trapped in an attitude
forcing out women and confirming men’s power.
Key Words: feminist approach, patriachal ideology, moslem feminist
Kontestasi Pemikiran Feminis dan Ideologi Patriarki Analisis pada Tiga Teks Sastra Berbudaya
Arab–Muslim dengan Perspektif Feminis Muslim (Free Hearty)
1
PENDAHULUAN
Hamim Ilyas mengutarakan hal-hal menarik tentang isi Al-Quran yang
memberi penekanan pada kehormatan, persamaan manusia, dan kesetaraan
jender. Penekanan ini diiringi dengan penegasan untuk menghaspuskan
penindasan dan kekerasan terhadap perempuan. Hamim menguraikan bahwa
kitab suci melarang enam bentuk kekerasan yang sering terjadi di masyarakat
Arab, yaitu
1. membunuh bayi perempuan dan menguburkannya hidup-hidup
(QS Al-Taqwir 8:8-9);
2. memukul perempuan (QS An-Nissa’ 4:30);
3. menceraikan istri setelah tua (QS Al-Mujadilah 58:2);
4. membuat perempuan sengsara dan menderita (QS Al-Thalaq 65:6);
5. mengusir perempuan dari rumah (QS Al-Thalaq 65:1);
6. mempersulit kehidupan wanita (QS Al-Baqarah 2:236).
Menurut Hamim Ilyas, kalau feminisme dipahami sebagai suatu
kesadaran bahwa perempuan itu tertindas, kemudian ada usaha untuk
menghapuskan penindasan itu, ajaran Islam dan Sunnah Rasul yang melarang
hal tersebut sejalan dengan gagasan feminisme. Katanya, ‖... dengan demikian
Nabi Muhammad SAW adalah seorang feminis‖ (Ilyas, 2003, xiii).
Apabila kaum Muslim meyakini ajaran yang berdasar kepada AlQuran, tentulah konstruksi sosial budaya yang menempatkan perempuan
sebagai mahkluk kedua yang terpinggir dan tertindas bertentangan dengan
ajaran Islam. Konstruksi sosial budaya yang bernuansa patriarki seringkali
dibenarkan dengan mengacu pada ajaran Al-Quran.
Menurut Fatima Mernissi, seorang feminis muslim dari Maroko,
feminisme adalah kesadaran kaum perempuan dan laki-laki tentang adanya
penindasan dan eskploitasi terhadap kaum perempuan di masyarakat, publik
2
LINGUA Vol.10 No1, April 1—14
dan domestik, yang diikuti oleh tindakan sadar untuk mengubah situasi dan
kondisi ini. Lebih jauh Mernissi menegaskan bahwa feminisme tidak berhenti
pada kesadaran manusia atau hanya tertuju kepada wanita. Penindasan dan
eksploitasi tidak terjadi pada perempuan saja, tetapi juga bisa terjadi pada
lelaki. Menurut Mernissi, laki-laki dalam hal-hal tertentu juga mengalami
tindakan seperti dialami perempuan. Gagasan Mernissi ini sama dengan yang
dikemukakan Naomi Wolf tentang feminis kekuasaan. Menurutnya, perempuan
juga harus membangun toleransi terhadap lelaki dan tidak melakukan
pembenaran menjadi kekuatan dan kekuasaan dengan menggali potensi diri.
Wolf mengkritik perempuan yang kadang juga mengeskploitasi hal-hal yang
dikatakan sebagai stereotipik perempuan yang diciptakan laki-laki dengan
maksud menyubversi pihak lawan. Sikap seperti ini disebut Wolf sebagai
feminis korban, yaitu dengan membuat daftar catatan kejahatan laki-laki
terhadap perempuan untuk memperoleh hak.
Adanya
beberapa
pandangan
kritis
terhadp
tafsir
Al-Quran
memungkinkan munculnya gagasan feminis muslim untuk melihat Al-Quran
dengan perspektif jender. Tujuan gagasan feminis muslim, menurut Siti
Ruhaini Dzulhayatin, adalah untuk menjamin keberpihakan Islam terhadap
integritas dan otoritas perempuan yang terdistorsi oleh narasi-narasi besar
wacana keislaman klasik yang sarat dengan ideologi patriarki (Dzuhayatin:
2002,14). Narasi-narasi besar keislaman klasik ini mendominasi proses
sosialisasi dan pembelajaran keislaman kontemporer yang menyebabkan
ideologi patriarki dan dominasi laki-laki semakin kokoh keberadaannya di
masyarakat.
Pandangan
Naomi
Wolf
dan
Fatima
Mernissi
dalam
memperjuangkan gagasan feminisme ini digunakan untuk membahas tiga novel
bernuansa Arab-Muslim, yakni Women at Point Zero (WaPZ) karya Nawal El
Kontestasi Pemikiran Feminis dan Ideologi Patriarki Analisis pada Tiga Teks Sastra Berbudaya
Arab–Muslim dengan Perspektif Feminis Muslim (Free Hearty)
3
Saadawi, A Wife for My Son (AwfMS) karya Ali Ghalem dan The Beginning
and The End (TBTE) karya Naguib Mahfoudz.
ANALISIS
Kontestasi pemikiran feminisme dan ideologi patriarki diamati dalam
tiga teks berbudaya Arab-Muslim. Teks WaPZ diterbitka 1976 dan AWfMS
diterbitkan 1969. Kemudian, teks-teks ini dibandingkan dengan TBTE yang
diterbitkan 1949. Ketiga teks merupakan terjemahan bahasa Inggris dari teks
asli yang ditulis dalam bahasa Arab.
Karya sastra sebagai teks dianggap media yang bisa menyosialisasikan
dan membangun wacana baru tentang perempuan. Ketiga novel ini
mengungkapkan persoalan ideologi patriarki yang mendominasi kehidupan
masyarakat dengan sosial budaya yang bernuansa Arab-Muslim. Meneliti
ketiga teks sastra dari Timur Tengah ini menjadi menarik karena
pengarangnya, seperti Saadawi dan Ghalem, menunjukkan kesadaran (baca:
kepedulian) akan adanya ketimpangan peran jender di masyarakat. Diamati
bagaimana teks-teks di atas menampilkan citra perempuan sebagai korban atau
citra perempuan yang berpotensi memperjuangkan kesetaraan dalam teks
WaPZ, AWfMS, dan TBTE.
Bagaimana ideologi feminisme mewujud dalam menghadapi dominasi
laki-laki dan kekuasaan patriarki berdasarkan ketiga teks tersebut? Untuk
memperoleh jawaban atas pertanyaan itu, penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan budaya feminis Muslim karena teks yang diteliti
bernuansa budaya Arab-Muslim.
Pendekatan budaya feminis–pandangan Fatima Mernissi yang feminis
Muslim digabung dengan pandangan Naomi Wolf yang post-feminisme–
digunakan karena penelitian ini menempatkan teks sebagai suatu peristiwa
4
LINGUA Vol.10 No1, April 1—14
budaya yang merupakan reaksi atau aksi terhadap fenomena yang ada di tengah
budaya masyarakat nyata. Kalau dianalisis tidak dari unsur estetika, tetapi
dianalisis dari kontestasi politis, sastra menjadi aspek budaya yang dianggap
sebagai wacana yang mampu menyosialisasikan berbagai hal dalam
membangun atau meruntuhkan suatu ideologi. Penganalisaan dengan
pendekatan budaya seperti ini membantu membongkar ideologi yang ada
dalam teks.
Penelitian karya sastra dengan menggunakan pendekatan budaya
feminis tidak bisa memperlakukan teks sebagai bagian yang terpisah dan
berdiri sendiri. Menurut Kate Millet bila ingin memahami karya sastra secara
benar, konteks sosial budayanya harus dipelajari (lihat Mei 1985, 24). Konteks
sosial budaya yang melingkupi sebuah karya ikut mempengaruhi penciptaan
karya. Maka, pengetahuan tentang sosial budaya tersebut diperlukan untuk
menganalisis karya sastra dimaksud. Hal senada juga diungkapkan oleh
Maggie Humm, bahwa “The Project of Feminist Critics is Precisely to Relate
Reading to Other Kinds of Society Activity. The Strength of Feminist Criticism
is in Its Refusal to Accept the Dislocation of Literatur from Other Social
Practice” (Humm: 1986, 19).
Ketiga teks dianalisis dengan mengamati bagaimana objek, peristiwa,
atau ekspresi dan perilaku tokoh menampilkan konsep, gagasan, perasaan, dan
pikiran perempuan dalam cerita. Penelitian lebih ditekankan pada bagaimana
posisi narator (dilihat sebagai second self pengarang) dan posisi berbagai tokoh
ataupun posisi gagasan dan peristiwa ditempatkan dalam teks. Posisi-posisi ini
diamati dan dipahami sebagai pilihan, mana yang dipilih oleh seseorang untuk
ditempatkan sehingga membawa makna tertentu.
Naomi Wolf menjelaskan bahwa ada dua pendekatan dalam debat
tentang feminisme, yaitu feminisme korban dan feminisme kekuasaan.
Kontestasi Pemikiran Feminis dan Ideologi Patriarki Analisis pada Tiga Teks Sastra Berbudaya
Arab–Muslim dengan Perspektif Feminis Muslim (Free Hearty)
5
Feminisme korban melihat perempuan dalam peran seksual yang murni dan
mistis, dipandu oleh naluri untuk mengasuh dan memelihara, serta menekankan
kejahatan-kejahatan yang telah terjadi atas perempuan-perempuan ―mulia‖ ini,
sebagai jalan menuntut hak-hak mereka. Feminisme Kekuasaan (power
feminism) menganggap perempuan sebagai manusia biasa yang seksual,
individual, tak lebih baik dan tak lebih buruk ketimbang laki-laki yang menjadi
mitranya–dan mengkalim hak-haknya atas logika yang sederhana saja;
perempuan memang memiliki hak-hak itu (Wolf:1999, xxv).
Menurut Wolf feminis korban bergerak berdasarkan anggapan bahwa
ada intisari kebaikan perempuan yang berlaku secara universal bersamaan
dengan ketidakberdayaan yang juga universal, dan tentu saja laki-laki di sini
berperan sebagai penjahat-penjahat kejam. Wolf mengatakan, “Kejujuran
seorang perempuan dalam memandang sisi-sisi gelap dalam diri mereka
adalah sesuatu yang memberdayakan dan baik secara moral” (Wolf:1999,
xxv). Maka, menurutnya, perlu membangun citra baru perempuan. Citra yang
akan mendorong perempuan ke arah aksi adalah citra yang agresif, keahlian,
dan tantangan ketimbang pencitraan feminis korban. Dengan begitu,
“Perempuan tidak lagi perlu minta izin kepada siapapun untuk memperoleh
kesetaraan sosial” (Wolf:1999, 79). Kesetaraan sosial, menurut Wolf, bukan
sesuatu yang dimohon dari orang-orang lain. Perempuan harus siap untuk
memiliki tempat yang memang menjadi haknya.
Pergeseran titik ini menuntut perempuan agar mulai memandang diri
sebagai orang yang potensial bagi perubahan, dengan banyak sumber daya,
bukan lagi sebagai korban-korban. Dengan begitu, Wolf lebih menyarankan
pendekatan feminis kekuasaan dengan melakukan langkah-langkah praktis
yang mempraktikkan toleransi, bukannya pembenaran diri sendiri. Pemikiran
ini sejalan dengan pemikiran Fatima Mernissi yang mengatakan bahwa
6
LINGUA Vol.10 No1, April 1—14
feminisme adalah kesadaran kaum perempuan dan laki-laki tentang adanya
penindasan dan eksplotasi terhadap kaum perempuan di masyarakat, publik dan
domestik, lalu melakukan tindakan sadar untuk mengubah keadaan ini.
Feminisme, menurut Mernissi, tidak berhenti pada kesadaran manusia saja atau
hanya tertuju kepada wanita, tetapi melakukan tindakan lanjutan dan
membangun kesadaran dan toleransi terhadap laki-laki, karena laki-laki, dalam
hal-hal tertentu, juga mengalami tindakan serupa (Mernissi: 1994, 34).
Dengan pendekatan budaya feminis pada teks-teks WaPZ, AWfMS, dan
TBTE ditemukan bahwa dalam WaPZ, yang penulisnya dikenal sebagai
seorang aktivis feminis yang berjuang meruntuhkan dominasi laki-laki,
menampilkan tokoh Firdaus yang dicitrakan pengarang dan Narator sebagai
tokoh yang gagah berani. Firdaus digambarkan Nawal dan Narator sebagai
tokoh perempuan yang meruntuhkan mitos tentang laki-laki. Dengan ―perkasa‖
tokoh Firdaus mempermainkan lelaki. Namun, dia tetap berada di bawah
kekuasaan seorang mucikari. Firdaus kemudian membunuh mucikari tersebut.
Ia pun dihukum mati dan menolak mengajukan grasi. Keberanian Firdaus
menjalani kehidupan di bawah penindasan lelaki dan mengakhiri hidup dengan
menerima hukuman mati dilukiskan Nawal dan Narator sebagai perempuan
yang mempunyai keberanian yang dahsyat dan perempuan yang mempunyai
kehormatan luar biasa.
Namun,
cara
Firdaus
menceritakan
kisah
hidupnya
sendiri
memunculkan citra diri yang berbeda dengan yang dibangun Nawal ataupun
Narator. Firdaus lebih memunculkan dirinya sebagai korban yang patut
dikasihani dan di bawah dominasi laki-laki. Kehendak menolak dominasi lakilaki, dalam narasi tersebut, tampak lebih mengemukakan kelemahan daripada
keberanian perempuan. Firdaus menampilkan dirinya tampak sebagai tokoh
yang gampang dibodohi, dirayu, dan emosi karena cinta palsu lelaki.
Kontestasi Pemikiran Feminis dan Ideologi Patriarki Analisis pada Tiga Teks Sastra Berbudaya
Arab–Muslim dengan Perspektif Feminis Muslim (Free Hearty)
7
Kemudian, dengan marah dan dendam ia kembali menjadi pelacur dan
memainkan hasrat lelaki serta membunuh mucikari. Tidak ditampilkan wacana
yang membangun citra baru perempuan ataupun potensi perempuan agar
mendapatkan hak setara dengan laki-laki.
Karya Saadawi (WaPZ) sangat kuat dan tajam menentang budaya
patriarki lewat pemberontakan Firdaus. Sebaiknya, Ghalem (AWfMS) dengan
pola penceritaan tanpa emosi dan agitasi menggambarkan banyak aspek wanita
dan laki-laki dalam mengetengahkan konflik dalam tradisi patriarki. Dengan
nada marah Saadawi menghadapi dominasi laki-laki yang merepresi
perempuan. Ghalem dengan nada prihatin memaparkan konflik dan tragedi
yang dihadapi perempuan. Namun, teks AWfMS tidak memunculkan
pertarungan kuat antara pemikiran kritis feminis dan ideologi patriarki.
Pergulatan pemikiran muncul sebatas wacana dan gagasan dalam dialog dan
argumentasi antartokoh. Kesadaran perempuan tidak teraktualisasi dalam
gerakan dan usaha. Aksi yang banyak ditampilkan justru menunjukkan
kekuasaan tradisi yang kental nuansa patriarki.
Ideologi feminisme (dalam arti luas) tidak muncul dari sikap dan
perilaku tokoh. Bahkan, ada benturan dan perbedaan antara pemikiran dan
perilaku seorang tokoh. Fatima menuntut perubahan dan menolak kawin paksa,
tetapi menerima saja dipaksa kawin dengan lelaki yang tidak pernah ia kenal.
Ia ingin mandiri, tetapi sangat tergantung dengan suami. Seorang tokoh lelaki
yang tampak setuju dengan gerakan perempuan malah ditampilkan memerkosa
teman ibunya, hanya untuk membuktikan keperkasaan dirinya sebagai lakilaki.
Cara Narator menyorot gagasan feminisme yang diusung Fataouma dan
menempatkan gagasan tersebut sebagai ideologi yang dibawa dari Barat (baca:
Eropa dan Amerika) menunjukkan pandangannya yang secara implisit tidak
8
LINGUA Vol.10 No1, April 1—14
menyetujui gagasan tersebut. Namun, sesuai dengan budaya Arab yang tidak
terbuka dan tidak membuka diri bagi perjuangan perempuan, Ghalem
mengakhiri kisah dengan simbol kelahiran anak perempuan.
Sama seperti Nawal, Ghalem tidak merekonstruksi wacana baru bagi
perempuan. Bahkan, ada kesan bahwa perubahan yang ditampilkan Narator
dengan nada positif adalah perubahan yang tetap menempatkan perempuan
sebagai “pendamping” setia suami. Gagasan feminisme yang diusung
Fataouma dengan makna lebih luas dipinggirkan dalam cerita. Fataouma dan
gagasannya tidak mendapat tempat berarti dalam cerita. Bahkan, nama dan cara
Narator menceritakan feminisme Fataouma pun terkesan negatif.
Tidak ada pemberontakan yang berarti dari tokoh-tokoh perempuan,
kecuali di akhir kisah Fatima melarikan diri dari rumah mertua setelah harapan
yang ditunggu sia-sia, dan ia ditolak pula oleh orang tuanya. Menunggu dan
mengharap inilah citra perempuan yang ditampilkan dalam teks. AWfMS
terkesan merupakan bentuk teks pembelaan terhadap laki-laki, kekhawatiran
laki-laki terhadap perubahan, dan perjuangan perempuan di arena lebih luas.
Namun, tidak mengangkat gagasan feminisme dalam konteks peran jender.
Mahfoudz dalam TBTE tidak menunjukkan minat dan perhatian kepada
perjuangan perempuan. Hal ini bisa diamati dari nada dan cara penggambaran
tokoh dan peristiwa dalam teks. Perempuan tetap di posisi sebagai orang
rumahan. Laki-laki dianggap bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga.
TBTE menyorot perempuan dari sisi yang berbeda, tetapi melihat kekuatan dan
potensi perempuan. Boleh jadi ini merupakan bentuk lain kepedulian
Mahfoudz kepada potensi perempuan yang bisa dikembangkan, tetapi tetap
menempatkan perempuan di ruang domestik. Hal ini jelas menunjukkan
pandangan Mahfoudz yang patriarkis. Sikap Samira, tokoh wanita, lebih
Kontestasi Pemikiran Feminis dan Ideologi Patriarki Analisis pada Tiga Teks Sastra Berbudaya
Arab–Muslim dengan Perspektif Feminis Muslim (Free Hearty)
9
ditonjolkan sebagai sikap orang kecil yang mempunyai harga diri saat meminta
hak yang seharusnya dimiliki kepada seorang besar yang berkuasa.
Mahfoudz menyorot sikap jujur, ikhlas, dan luhur yang ada dalam diri
tokoh yang dianggap sampah masyarakat. Sementara tokoh terhormat
digambarkan bersikap sewenang-wenang tanpa kejujuran dan keikhlasan dalam
memperlakukan golongan bawah. Ketimpangan ini yang menjadi sorotan dan
kritikan Mahfoudz. Mahfoudz menampilkan potensi perempuan tidak dengan
perspektif feminisme dan diskriminasi jender dan tidak dalam konteks
mengajak perempuan ikut serta aktif di arena publik. Namun, ketika potensi
perempuan disorot, tanpa kesadaran jender pengarangnya, gambaran ini
meruntuhkan mitos-mitos yang membagi kerja laki-laki dan perempuan secara
otomatis. Gambaran ini membangun citra baru perempuan yang kuat, tegas,
dan
mandiri.
Citra
perempuan
seperti
ini
memungkinkan
mereka
memperlihatkan kemampuan dan perjuangan untuk mendapatkan hak agar
setara dengan laki-laki.
Mahfoudz, umpamanya, menggambarkan sikap Samira yang lebih
“fatherly” daripada tokoh ayah yang lembut dan bersifat “motherly” dalam
mendidik anak-anaknya. Samira tampil kuat, rasional, dan tegas menjalani
hidup setelah suaminya meninggal. Mengontraskan sikap ayah dan ibu
menunjukkan kenyataan bahwa sifat-sifat yang dicitrakan melekat pada jenis
kelamin dibuktikan bukan sebagai hal yang alamiah. Gambaran yang
dimunculkan dengan memindahletakkan sifat ini, menunjukkan bahwa sifat
tersebut bukanlah kodrati.
Kekuatan perempuan yang muncul dalam TBTE menggambarkan
kemampuan perempuan untuk mencapai kesetaraan, seperti gagasan feminis
kekuasaan. Menurut Wold ... tokoh perempuan ciptaan Mahfoudz tidak
menampakkan citra feminis korban, tetapi membangun citra baru perempuan
10
LINGUA Vol.10 No1, April 1—14
yang mempunyai toleransi dan kekuatan untuk mandiri, yang sebenarnya
memang dimiliki perempuan.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian teks WaPZ menunjukkan bahwa kesadaran kritis
Narator yang membangun citra Firdaus sebagaia tokoh yang kuat dan berani
berbenturan dengan sikap dan perilaku tokoh utama Firdaus yang menarasikan
kisah hidupnya sendiri. Firdaus menggambarkan dirinya dengan membeberkan
daftar kejahatan lelaki terhadap dirinya sebagai korban, sedangkan kesadaran
kritis tokoh perempuan Fatima dalam teks AWfMS tidak sejalan dengan apa
yang dilakukannya. Pergulatan pikirannya tentang kebebasan bertolak belakang
dengan sikap dan perilaku yang menggantungkan dirinya pada putusan orang
tua dan suami. Kedua teks ini, dalam narasi lebih menampilkan sikap dan citra
perempuan tradisional yang menjadi korban penindasan lelaki tanpa
menggambarkan perjuangan untuk membela diri. Tokoh utama perempuan,
Firdaus dalam WaPZ dan Fatimah dalam AWfMS, tidak menunjukkan
perjuangan yang bisa membangun wacana tentang citra baru perempuan. Cara
memunculkan gagasan feminisme menggunakan pola feminisme korban. Cara
ini menurut Naomi Wolf adalah dengan menyodorkan catatan penderitaan
perempuan dikarenakan kejahatan lelaki, untuk mendapatkan hak (Wolf:1992,
72–74).
Sebaliknya, teks TBTE menampilkan sikap tokoh-tokoh perempuan
tidak sebagai korban. Tokoh perempuan yang muncul dalam teks TBTE tidak
menampilkan diri sebagai korban yang memberikan daftar kehancuran
hidupnya dengan maksud menyubversi pihak lawan, seperti yang disebut
Naomi Wolf sebagai gerakan feminis korban. Tokoh perempuan Mahfoudz
lebih
menunjukkan
potensi
dan
kekuatan
diri
mereka
Kontestasi Pemikiran Feminis dan Ideologi Patriarki Analisis pada Tiga Teks Sastra Berbudaya
Arab–Muslim dengan Perspektif Feminis Muslim (Free Hearty)
menghadapi
11
permasalahan, seperti gagasan feminis kekuasaan, daripada hanya sebagai
korban penindasan lelaki. Apa yang tidak dimiliki perempuan adalah ruang dan
kesempatan untuk menunjukkan potensi diri tersebut. Seperti digagas oleh
Naomi Wolf dan Fatima Mernissi serta feminis Muslim lainnya, perjuangan
perempuan tidak pada tuntutan kesetaraan saja, tetapi juga memerhatikan cara
menuntut dan memperjuangkannya sehingga tidak menciptakan kendala lain.
Maka, Naomi Wolf mengimbau, “Jika perempuan ingin melanjutkan
perjalanan menuju era egalitarian, mereka harus memantapkan iklim dimana
laki-laki yang membebaskan diri dari baju zirah tradisional – dominasi –
dijamin aman” (Wolf:1999, 30).
Dari penelitian ini bisa disimpulkan bahwa beberapa hal perlu
diperhatikan dalam cara memperjuangkan gagasan feminisme. Pertama, cara
mengangkat kejahatan lelaki dan cara menggambarkan perempuana-perempuan
yang menjadi korban kejahatan. Tanpa menggambarkan perlawanan berarti dan
menampilkan potensi perempuan hanya mempertagas pandangan patriarki
tentang kelemahan dan ketidakberdayaan perempuan. Kedua, cara yang tidak
memberikan toleransi dan melakukan pembenaran terhadap diri sendiri tidak
membuat lelaki sadar, bahwa perempuan memang mempunyai hak setara
dengan mereka. Dengan begitu, kehendak feminis untuk memperjuangkan
kesetaraan, secara sadar atau tidak, akan semakin mendapat perlawanan keras
dari laki-laki, bahkan dari perempuan korban sendiri. Keadaan ini semakin
menyudutkan perempuan. Sebaliknya, dengan memberikan gambaran potensi
yang dimiliki perempuan menunjukkan bahwa perempuan siap memiliki
tempat setara dengan lelaki yang memang menjadi haknya karena kesetaraan
sosial bukan sesuatu yang dimohon dari orang lain.
12
LINGUA Vol.10 No1, April 1—14
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Leyla. 1992. Women anda Gender in Islam. Historical Roots of a
Modern Debate. London: Yale University.
Amin, Qasim. 1995. Sejarah Penindasan Perempuan. Menggugat “Islam Lakilaki”, Menggurat “Perempuan Baru”. Penerjemah: Syaiful Alam.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan.
Arkoun, Muhammed. 2001. Islam Kontemporer. Menuju Dialog Antar Agama.
Terjemahan Ruslaini. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Armstrong, Karen. 2001. Sejarah Tuhan. Terjemahan Zainul Am. Bandung:
Mizan.
Badran, Margot. 1993. “Independent Women. More than A Century of
Feminism in Egypt”. Dalam buku Yudith. E. Tucker Arab Women. Old
Boundaries, New Frontier. Bloomington and Indianapolis: Indian
University Press.
Bhasin, Kamla. 2002. Memahami Gender. Penerjemah: Moh. Zaki Hussein.
Jakarta: TePLOK Press.
Boulatta, Isa J. 2001. Dekonstruksi Tradisi. Terjemahan Imam Khoiri.
Yogyakarta: LKIS.
Duanta, Melani. 2002. “Pendekatan Feminis Terhadap Wacana”, dalam
Analisis Wacana. Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi. Aminuddin dkk.
Yogyakarta: Penerbit Kanal.
Earhol, Robyn R. and Diane Price Herndl. 1997. Feminism. An Anthology of
Literary Theory and Criticsm. New Jersey: Rutgers University Press.
Fakih, Mansour, dkk. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ghalem, Ali. 1984. A Wife for My Son. Translation. G. Kazolias. Chicago:
Banner Press.
Guindi, Fadwa El. 2003. Jilbab. Antara Kesopanan, Kesalehan, dan
Perlawanan. Penerjemah: Mujiburahman. Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta.
Kontestasi Pemikiran Feminis dan Ideologi Patriarki Analisis pada Tiga Teks Sastra Berbudaya
Arab–Muslim dengan Perspektif Feminis Muslim (Free Hearty)
13
Humm, Maggie. 1986. Feminist Critism. Women as Contemporary Critics. The
Harverster Press.
Ilyas, Hamim, dkk. 2003. Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-hadis
“Misginis”. Ed. Mochamad Sodik. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan
Kalijaga.
Megawangi, Ratna. 1998. Membiarkan Berbeda. Sudut Pandang Baru tentang
Relasi Gender. Bandung: Mizan.
Mernissi, Fatima. 1991. The Veil and Male Elite. Translation Mary Jo
Lakeland. Addison Wesley Publishing.
Mernissi, Fatima. 1992. Islam dan Demokrasi, Antologi Ketakutan.
Terjemahan Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LKIS.
Mernissi, Fatima. 1993. The Forgotten Queen of Islam. Translation Mary Jo
Lakeland. Minneapolis: Minnesota Press.
Mernissi, Fatima. 1994. Women and Islam. An Historical and Theological
Enquiry. Translation Mary Jo Lakeland, Oxford: Blackwell.
Mernissi, Fatima. 1997. Beyond The Veil. Seks dan Kekuasaan. Terjemahan
Masyhur Abadi. Surabaya: Al Fikr.
Storey, John. 1993. An Introductory Guide to Cultural Theory and Pop
Culture. New York: Harverster Wheatsheaf.
Umar, Nasaruddin. 1998. Kodrat Perempuan dalam Islam. Jakarta: Lembaga
Kajian Agama dan Gender.
Umar, Nasaruddin. 1999. Argumen Kesetaraan Jender. Perspektif Al-Quran.
Jakarta: Paramadina.
Wolf, Naomi. 1999. Gegar Gender, Kekuasaan Perempuan Menjelang Abad
21. Terjemahan Omi Intan Naomi. Ed. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Irwan
Abdulah, Mansour Fakih. Yogayakarta: Pustaka Semesta Press.
Yamani, Mai. 1999. Feminis dan Islam: Perspektif Hukum dan Sastra.
Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia.
14
LINGUA Vol.10 No1, April 1—14
Download