bagian waris anak luar kawin dalam hukum islam pasca

advertisement
BAGIAN WARIS ANAK LUAR KAWIN DALAM
HUKUM ISLAM PASCA PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010
SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Universitas Negeri Semarang
Oleh:
NUNKY ADIN ARDILLA
8150408146
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi dengan judul “Bagian Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” oleh Nunky
Adin Ardilla, telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia
ujian skripsi di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada :
Hari
:
Tanggal
:
Menyetujui,
Dosen Pembimbing 1
Dosen Pembimbing 2
Baidhowi, S.Ag., M.Ag
Dian Latifiani S.H., M.H
NIP. 19730712 200801 1 010
NIP. 19800222 200812 2 003
Mengetahui,
Pembantu Dekan Bidang Akedemik
Drs. Suhadi, S.H, M.Si
NIP. 19671116 199309 1 001
ii
PENGESAHAN
Skripsi dengan judul “Bagian Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” oleh Nunky
Adin Ardilla, telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas
Hukum Universitas Negeri Semarang pada :
Hari
:
Tanggal
:
Panitia Ujian
Ketua,
Sekretaris,
Drs Sartono Sahlan, MH
Drs. Suhadi, SH, Msi
NIP.19530825 1982031 003
NIP. 19671116 199309 1 001
Penguji Utama,
Tri Andari Dahlan S.H.,M.Kn
NIP. 19830604 200812 2 00 3
Penguji 1,
Penguji 2,
Baidhowi, S.Ag., M.Ag
Dian Latifiani S.H., M.H
NIP. 19730712 200801 1 010
NIP. 19800222 200812 2 003
iii
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi dengan judul “Bagian
Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” benar-benar hasil karya saya sendiri,
bukan jiplakan karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat
atau temuan orang lain dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Semarang, 12 Maret 2013
Nunky Adin Ardilla
NIM. 8150408146
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
 Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah)
tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani (
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.)
PERSEMBAHAN

ALLAH
SWT
yang
senantiasa
melindungi dan memberi berkah

Ayahanda Edi Salari dan Ibunda Septaria
Suciati, beliau adalah orang tua terbaik
di dunia yang tak pernah henti-hentinya
memberikan dukungan dan doa.

Saudara-saudaraku
Hening
Kasih
Sarinastiti, Sasha Nadia Putih dan Adlan
Juang Taratih.

Almamaterku tercinta.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat,
taufik dan
hidayah-Nya
sehingga
penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun
tidak langsung sehingga skripsi dengan judul “Bagian Waris Anak Luar Kawin
Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010”dapat terselesaikan. Sehubungan dengan pelaksanaan penelitian sampai
tersusunnya skripsi ini, dengan rasa rendah hati, penulis sampaikan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1.
Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si, Rektor Universitas Negeri
Semarang.
2.
Drs. Sartono Sahlan, M.H, Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri
Semarang.
3.
Baidhowi, S.Ag., M.Ag, Dosen Pembimbing 1 yang telah berkenan
memberikan bimbingan serta motivasi kepada penulis hingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
4.
Dian Latifiani S.H., M.H, Dosen Pembimbing 2 yang telah berkenan
memberikan bimbingan dan semangat kepada penulis hingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
vi
5.
Tri Andari Dahlan S.H.,M.Kn, Dosen Penguji Utama pada sidang skripsi
penulis.
6.
Dr. Indah Sri Utari, S.H M.Hum. Sosok bunda yang telah memberikan
petunjuk, motivasi, bantuan, semangat, kasih sayang dengan sabar dan tulus
dalam proses yang dijalankan penulis semasa berorganisasi dan kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.
7.
Dr Muhyidin M.Ag Ketua Fatwa MUI Provinsi Jawa Tengah yang telah
berkenan berdiskusi dan membantu memberikan informasi dalam penelitian
di MUI Provinsi Jawa Tengah.
8.
Bapak Ibu Dosen serta Staf Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
yang telah membantu dan membimbing penulis selama mengikuti
perkuliahan.
9.
Keluargaku tercinta (Bapak Edi Salari, Ibu Septaria Suciati, dan Adikadikku Sari, Puput dan Adlan) atas kasih sayang, do’a, motivasi, dan
semangat dalam penyusunan skripsi ini.
10.
Keluarga Besar Embah Uti Rodah Tati dan Alm.Eyang Hj.Rubiati (Bude
Titik, Bude Tatik, Pakde Gede, Pakde Heri, Pakde Sis,Bude Minuk)
11.
Sahabatku angkatan 2008 Denny, Kukuh, Martini, Salomo, Edwin yang
selalu memberikan kecerian dan dukungan dalam menyusun skripsi ini
kepada penulis.
12.
Kakak-kakak angkatan Mas Fajar, Mas Luhur, Mbak Sesar, Bang Doni,
Bang Agus,dan Bang Andi.
vii
13.
Adik-adik di Unit Peradilan Semu Kevin Hutapea, Rudi Hermawan, Julias
Bahariq R, Ikhsan, Rizky Muhammad, Zulfa Latuconsina, Oni Mahardika,
Dewi Rumapea, San Mauridz, Uminah Hakim, Desran, Maya, Mitha, Yahra
dan seluruh teman-teman lain di Unit Peradilan Semu yang selalu
memberikan kudungan, bantuan dan motivasi kepada penulis dalam
membuat skripsi ini.
14.
Kakak sahabat terkasih Fajar Romy Gumilar yang selalu ada dan
memberikan bantuan, dukungan, semangat, kasih sayang tanpa henti selama
penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.
15.
Teman-teman Kos Eresa , Winda, Vivi dan Ari yang membantu dan
mendukung penulis selama menyelesaikan skripsi ini.
16.
Semua teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2008 yang sudah
memberikan informasi maupun masukannya selama penulisan skripsi.
17.
Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas amal baik Bapak, Ibu dan Saudara. Disadari
bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak sangat diharapkan guna menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis.
Semarang 12 Maret 2013
Penulis
viii
ABSTRAK
Ardilla, Nunky Adin, 2013. Bagian Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum
Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Skripsi.
Bagian Hukum Perdata. Fakultas Hukum. Universitas Negeri Semarang.
Pembimbing I, Baedhowi, S.Ag.,M.Ag. Pembimbing II, Dian Latifiani, S.H.,M.H.
Kata Kunci: Hukum Waris Islam, Anak Luar Kawin, Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 merupakan putusan atas judicial review
dari Pasal 43 ayat 1 UUP yang diajukan oleh H Macicha Mochtar. Didalam
Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 anak yang dihasilkan diluar perkawinan juga
mempunyai hak keperdataan dengan sang ayah biologisnya asalkan bisa
dibuktikan dengan ilmu teknologi dan pengetahuan. Di keluarkannya Putusan MK
tersebut, membuat penulis tertarik untuk meneliti mengenai Bagian Waris Anak
Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010.
Permasalahan yang akan dikaji adalah: (1) Pandangan Hukum Islam
terhadap bagian waris anak luar nikah sebagai ahli waris pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010 (2) Berapakah bagian waris
dalam Hukum Islam terhadap anak luar nikah sebagai ahli waris pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010.
Pendekatan peneliti dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian
hukum normatif, yaitu suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsipprinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau
konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Dari Hasil Penelitian dan Pembahasan yang dilakukan oleh Anak Luar
Kawin yang dibahas oleh penulis merupakan Anak Luar Kawin Nikah sirri.Nikah
sirri merupakan pernikahan yang sah sehingga anak yang dilahirkan mempunyai
kedudukan yang sama dengan anak sah dalam hal saling mewarisi. Terhadap
bagian waris anak luar kawin nikah sirri sama dengan anak sah pada umumnya,
dimana pembagianya sesuai dengan aturan-aturan yang ada dalam Hukum Waris
Islam dan yang ada dalam KHI.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait adalah sebagai
berikut : (1) Bagi pemerintah hendaknya lebih cepat dan lebih peduli untuk
membuat kepastian tentang kategori anak luar kawin pasca Putusan MK No
46/PUU-VIII/2010. Agar seluruh masyarakat dan pejabat lain yang terkait dapat
bertindak dengan benar. (2) Bagi masyarakat janganlah mendiskriminasikan anak
luar kawin, karena pada hakikatnya anak tetaplah anak bagi kedua orang tuanya.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN................................................................................
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..........................................................................
v
KATA PENGANTAR ...........................................................................................
vi
ABSTRAK ...........................................................................................................
ix
DAFTAR ISI .........................................................................................................
x
DAFTAR TABEL .................................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................
xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................
1
1.2 Pembatasan Masalah .......................................................................................
6
1.3 Perumusan Masalah ........................................................................................
6
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................................
7
x
1.5 Manfaat Penelitian ..........................................................................................
7
1.6 Sistematika Skripsi ..........................................................................................
8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
10
2.1 Tinjauan Tentang Perkawinan .........................................................................
10
2.1.1 Pengertian Perkawinan .................................................................................
10
2.1.2 Syarat dan Rukun Perkawinan ......................................................................
12
2.1.2.1 Syarat sahnya Perkawinan .........................................................................
12
2.1.2.1.1 Syarat Umum Perkawinan .......................................................................
15
2.1.2.1.1 Syarat Khusus Perkawinan ......................................................................
16
2.1.2.2 Rukun Perkawinan ....................................................................................
16
2.1.2.2.1Calon Suami dan Istri ...............................................................................
17
2.1.2.2.2 Wali Nikah .............................................................................................
19
2.1.2.2.3 Dua Orang saksi ......................................................................................
20
2.1.2.2.4 Akad Nikah ............................................................................................
22
2.2 Tinjauan Anak Luar Kawin ..............................................................................
23
2.2.1 Pengertian Anak Laur Kawin .......................................................................
23
2.2.2 Kedudukan Anak Luar Kawin ......................................................................
25
xi
2.2.3 Status Anak Luar Kawin ..............................................................................
29
2.3 Tinjauan Tentang Waris ..................................................................................
33
2.3.1 Pengertian Hukum Waris Islam ....................................................................
33
2.3.2 Syarat-syarat pewarisan ................................................................................
37
2.3.2.1 Pewaris ......................................................................................................
37
2.3.2.2 Ahli Waris .................................................................................................
38
2.3.2.3 Harta Peninggalan ......................................................................................
40
2.3.3 Asas-asas Pewarisan ....................................................................................
41
2.3.3.1 Asas Ijbari .................................................................................................
41
2.3.3.2 Asas Bilateral ............................................................................................
44
2.3.3.3 Asas Individual .........................................................................................
42
2.3.3.4 Asas Keadilan Berimbang .........................................................................
42
2.3.3.5 Asas Kewarisan Semata Karena Kematian..................................................
43
2.3.4 Bagian-bagian Waris dalam Hukum Islam.....................................................
43
2.4 Tinjauan tentang Putusan Judicial Review MK No 46/PUU-VIII/2010 ............
45
2.4.1 Kedudukan MK berkaitan dengan Judicial Review ........................................
45
2.4.2 Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 .............................................................
47
xii
BAB 3 METODE PENELITIAN ..........................................................................
53
3.1 Metode Penelitian ...........................................................................................
53
3.2 Sifat Penelitian ................................................................................................
53
3.4 Pendekatan Penelitian .....................................................................................
58
3.5 Jenis dan Sumber Data ....................................................................................
54
3.6 Teknik Pengumpulan Data ..............................................................................
55
3.7 Teknik Analisis Data .......................................................................................
57
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..........................................
59
4.1 Hasil Penelitian ...............................................................................................
59
4.1.1 Pandangan Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin Sebagai
Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 ...............
59
4.1.2 Bagian Waris dalam Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar
Kawin Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUUVIII/2010 ...............................................................................................................
79
4.2 Pembahasan ...................................................................................................
96
4.1.1 Pandangan Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin Sebagai
Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 ...............
xiii
96
4.1.2 Bagian Waris dalam Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar
Kawin Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUUVIII/2010 ...............................................................................................................
106
BAB 5 PENUTUP ................................................................................................
119
5.1 Simpulan .........................................................................................................
119
5.2 Saran ...............................................................................................................
121
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
122
LAMPIRAN ..........................................................................................................
130
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Bagian Waris Dalam Hukum Islam ........................................................ 44
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian ............................................................................ 131
Lampiran 2 Instrumen Penelitian ........................................................................... 132
Lampiran 4 Putusan Mahkamh Konstitusi No 46 / VIII-PUU/2010 ....................... 133
Lampiran 5 Fatwa MUI No 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina
Dan Perlakuan Terhadapnya ................................................................. 134
Lampiran 6 SEMA NO 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat
Pleno Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan .......................................................................................... 135
Lampiran
7
Surat
Edaran
Pengadilan
Tinggi
Agama
NO
W11-
A/863/HK.00.8/III/2012 ..................................................................... 136
xvi
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Keberadaan anak menjadi hal yang sangat dibanggakan dan diingin oleh
kedua orang tuanya. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang.
Anak merupakan penyambung keturunan, investasi masa depan, dan anak
merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Anak
dianggap sebagai modal untuk meningkatkan peringkat hidup, sehingga kelak
dapat mengontrol status sosial orang tua. Anak menjadi keistimewaan bagi
setiap orang tua, waktu orang tua masih hidup anak sebagai penenang dan
sewaktu orang tua telah meninggal anak adalah lambang penerus dan
lambang keabadian.
Setiap anak kelak akan memikul tanggung jawabnya baik itu tanggung
jawabnya secara pribadi maupun tangung jawabnya secara keluarga terhadap
orang tuanya dan terhadap keluarganya yang ia bagun kelak. Untuk dapat
melakukaan hal tersebut hendaknya anak perlu mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara normal baik secara
jasmani maupun secara rohani.
Upaya anak untuk memenuhi segala tanggung jawabnya tentunya tidak
lepas dari peran serta kedua orang tua, baik itu ayah maupun ibu. Kewajiban
orang tua kepada anak harusnya tidak terbatas pada asal usul dan status si
2
anak, kerena bagaimanapun adanya seorang anak dari akibat yang
ditimbulkan oleh orang tuanya.
Anak digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu anak sah dan anak luar kawin.
Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan anak
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
menjelaskan anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim
dan dilahirkan oleh istri tersebut merupakan anak sah menurut Pasal 99
Kompilasi Hukum Islam.
Kedudukan dan status anak dapat dilihat dari sah atau tidak suatu
perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua orang tuanya. Dalam Hukum
Nasional dijelaskan bahwa suatu perkawinan sah apabila dicatatkan
dilembaga atau instansi yang berwenang mencatatkan nikah. Sedangkan
dalam Hukum Islam suatu perkawinan sah apabila sudah memenuhi syarat
dan rukun nikah.
Pandangan Hukum Islam anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang
sah namun tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama sesuai Hukum Nasional
merupakan anak sah. Karena dalam Hukum Islam sendiri sekalipun
perkawinan itu disebut Nikah Sirri tetap perkawinan itu sah, karena sudah
memenuhi syarat dan rukun nikah. Kedudukan anak luar kawin ditinjau
3
dalam Hukum Islam apakah ada. Sementara itu bagaimana akibat hukum
terhadap pembagian waris anak luar kawin berdasarkan uraian yan telah
dibahas sebelumnya.
Berdasarkan hal yang diuraikan mengenai kedudukan anak luar kawin,
masyarakat mulai melakukan upaya-upaya agar anak luar kawin mendapatkan
kejelasan hukum. Upaya tersebut salah satunya dilakukan oleh artis Machicha
yang mengajukan permohonan judicial review terhadap Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, khususnya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat
(1) kepada Mahkamah Konstitusi.
Machicha melangsungkan perkawinan dengan Moerdjiono yang hanya
dilakukan secara agama atau biasanya disebut Nikah Sirri tanpa adanya
pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangakan sesuai penjelasan
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang sah
adalah perkawinan yang dicatatkan. Perkawinan yang tidak dicatatkan ialah
perkawinan yang tidak sah dan anak yang dihasilkan atas perkawinan tersebut
adalah anak tidak sah atau anak luar kawin. Akibat yang timbul dari itu sesuai
Pasal 43 ayat (1) bahwa anak diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya.
Pada dasarnya Machicha hanya mengkhawatirkan nasib si anak kelak
dimasa depan ketika si ibu sudah meninggal dan hanya ada ayah ataupun
keluarga ayahnya. Anak luar kawin tersebut tentunya tidak akan mendapatkan
hak keperdataan si ayah atau sering disebut harta warisan / harta peninggalan.
4
Pada tanggal 17 Februari 2012 permohonan Machicha atas judicial
review Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) disahkan oleh Mahkamah
Konstitusi lewat Putusannya No.46/PUU-VIII/2010. Lewat Putusan tersebut
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pasal 43 ayat (1) dan
menolak permohonan terhadap Pasal 2 ayat (2). Putusan tersebut menjelaskan
bahwa anak luar kawin juga mempunyai hubungan keperdataan dengan sang
ayah.
Permasalahan yang terjadi apabila sang ayah dari anak luar kawin
tersebut meninggal dunia dan meninggalkan anak tersebut dengan ibunya.
Apakah anak tersebut dapat mendapatkan hak-haknya sebagai anak dari ayah
biologisnya. Hak-hak seorang anak dalam hal ini ialah hak waris mewarisi
antara pewaris yaitu si ayah dan si ahli waris ialah anak. Karena
bagaimanapun si ayah tersebut tetap behubungan darah dengan si anak dan
tetap menjadi ayah biologis si anak. Apakah anak tersebut mendapatkan
haknya sebagai anak dari ayah biologisnya atau tidak berhak sama sekali
seperti yang sudah tertulis dalam perundang-undangan.
Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 hanya menjelaskan
anak luar kawin juga mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah, apabila
dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Putusan
Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 tidak menjelaskan mengenai
bagian-bagian atau aturan-aturan tentang pembagian warisan antara anak luar
kawin dan ayah biologisnya. Hukum Islam tidak mengatur dan menjelaskan
tentang pembagian warisan antara pewaris ayah dengan ahli waris anak luar
5
kawin. Oleh sebab itulah terjadi kebinggungan apabila ada kasus tentang
pewarisan anak luar kawin dengan ayah biologisnya.
Pencerahan terhadap hubungan keperdataan dan kedudukan anak luar
kawin kepada sang ayah biologisnya juga diberikan oleh Putusan Mahkamah
Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010. Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi ayah
harus bertanggung jawab atas anak yang lahir dari hubungan perzinahan. Hal
itu sesuai dengan Undang-undang Kewarganegaraan menyangkut Hak Asasi
Manusia (HAM). ( Dalam diskusi publik Akibat Hukum Terhadap Anak Luar
Kawin Pasca putusan Mahkamah Konstitusi di Yogyakarta )
Masyarakat tidak sepenuhnya menerima Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010. Fenomena yang terjadi di masyarakat pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 ini beragam. Ada sekelompok
masyarakat yang merasa diuntungkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010 dan ada pula yang merasa bahwa Putusan Mahkamah
Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 tidak sesuai dengan kaidah Agama Islam,
masyarakat merasa Mahkamah Konstitusi melegalkan anak zina. Padahal
anak zina dengan anak luar kawin berbeda, keragaman kedudukan dan status
anak luar kawin inilah yang menjadi penentu apakah anak luar kawin dapat
meminta dan menerima haknya dari ayah biologisnya.
Berdasarkan uraian mengenai polemik dan permasalahan anak luar kawin
tersebut, penulis berkeinginan untuk meneliti lebih lanjut tentang “BAGIAN
6
WARIS ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM
ISLAM PASCA
PUTUSAN MAHKAMAH KONSITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010”
1.2
Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang terjadi pada anak luar kawin,
maka permasalahan dibatasi pada kedudukan anak luar kawin sebagai ahli
waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 menurut
Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam dan bagaimana bagian waris anak
luar kawin apabila anak luar kawin tersebut masuk dalam ahli waris pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010.
1.3
Perumusan Masalah
Agar permasalahan yang diteliti menjadi lebih jelas dan penulisan
penelitian hukum mencapai tujuan yang diinginkan maka perlu disusun
perumusan maslah yang didasarkan pada uraian latar belakang diatas. Adapun
perumusan masalah dalam penelitian hukum ini adalah:
1.
Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap bagian waris anak
luar kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010?
2.
Berapakah bagian waris dalam Hukum Islam terhadap anak luar
kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010?
7
1.4
Tujuan Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan oleh penulis agar dapat menyajikan
data akurat sehingga dapat memberikan manfaat dan mampu menyelesaikan
masalah. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mempunyai tujuan
sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui bagaimana pandangan Hukum Islam tentang
bagian waris anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010 .
2.
Untuk mengetahui berapa bagian waris anak luar kawin dalam
Hukum Islam pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010 .
1.5
Manfaat Penelitian
Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini
akan bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Adapun manfaat yang
diharapkan penulis dapat dari penulisan hukum ini antara lain:
1.
Manfaat teoritis
Dapat menambah wawasan baik penulis sendiri maupun siapa saja
yang membacanya sebagai referensi kepustakaan bagi pihak-pihak yang
ingin mengetahui tentang pandangan Hukum Islam mengenai bagian
waris anak luar kawin.
8
2.
Manfaat Praktis
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah serta memberikan
pengetahuan kepada masyarakat tentang kedudukan hukum anak luar
kawin sebagai ahli waris dan berapa bagian warisan yang didapat anak
luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010
menurut Hukum Islam. Memberikan sumbangan pemikiran dalam
memecahkan permasalahan yang ada hubungannnya dengan bagian
waris anak luar kawin.
1.6
Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai penelitian
yang akan dilakukan oleh peneliti, perlu kiranya untuk mengetahui
pembagian sistematika penulisan hukum ini. Secara keseluruhan, penulisan
hukum ini terbagi atas empat bab yang masing-masing terdiri beberapa sub
bab sesuai dengan pembahasan dan sustansi penelitiannya. Adapun
sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
Bab 1 : Pendahuluan
Dalam bab ini dikemukakan tentang latar belakang masalah,
pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
Bab 2 : Tinjauan Pustaka
Bab kedua ini membahas mengenai Kerangka Teoritis dan
Kerangka Berfikir. Kerangka teoritis yang mendasari penulisan
9
ini adalah tinjauan tentang perkawinan, tinjauan tentang anak
luar kawin, tinjauan tentang warisan dan tinjauan tentang
Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010.
Bab 3 : Metode Penelitian
Bab ketiga ini membahas tentang jenis penelitian, sifat
penelitian, pendekatan penelitian, jenis dan sumber penelitian,
teknik analisis data.
Bab 4 : Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Bab ini merupakan suatu hasil dari penelitian yang dilakukan
peneliti mengenai bagian waris anak luar kawin sebagai ahli
waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010 berdasarkan Hukum Islam dan Kompilasi Hukum
Islam.
Bab 5 : Penutup
Bab ini sebagai bagian aKompilasi Hukum Islamr dari penulisan
penelitian mengenai simpulan dan saran sebagai suatu masukan
maupun perbaikan dari apa saja yang telah didapatkan selama
penelitian
Daftar Pustaka
Lampiran
10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan tentang Perkawinan
2.1.1 Pengertian Perkawinan
Hukum Islam memberikan pengertian perkawinan yang dalam bahasa
Islam disebut pernikahan dengan dua pandangan yaitu yang secara luas
maupun yang secara sempit. Pernikahan secara luas sebagai alat pemenuhan
kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar guna memperoleh
keturunan yang sah dan sebagai fungsi sosial. Sedangkan pernikahan secara
sempit seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan
dalam Pasal 2 bahwa pernikahan merupakan suatu akad yang sangat kuat atau
mitsaqan galidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Pernikahan / perkawinan di langsungkan sebagai tujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaadah dan rahmah
(tentram, cinta dan kasih sayang) hal ini sesuai yang tertuang dalam Pasal 3
Kompilasi Hukum Islam.
Selain dalam Kompilasi Hukum Islam pengertian dan istilah pernikahan
juga terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
dimana Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dewasa
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
11
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Perkawinan / pernikahan barulah ada apabila dilakukan antara seorang
pria dan seorang wanita, dengan demikian perkawinan sama dengan perikatan
/ Verbindtenis (Hadikusumo, 1990 : 7). Tidak dinamakan perkawinan apabila
yang terkait dalam perjanjian itu 2 (dua) orang pria saja ataupun 2 (dua) orang
wanita saja, atau dilakukan antara banyak pria dan banyak wanita. Demikian
juga tidak merupakan pernikahan apabila sekiranya ikatan lahir batin itu tidak
bahagia, atau pernikahan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Peraturan yang digunakan untuk mengatur perkawinan
inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan (Prodjodikoro, 1974 : 7) .
Perkawinan sendiri merupakan salah satu perintah agama khusunya
dalam agama Islam dimana perkawinan harus segera dilaksanakaan oleh
orang yang sudah mampu untuk melaksanaakan perkawinan. Hal ini sebagai
suatu bentuk pengendalian diri dan menjauhakan kita dari maksiat dan
perbuataan-perbuatan zina.
2.1.2 Syarat dan Rukun Perkawinan
Tiap-tiap perkawinan yang dilaksanakaan mempunyai syarat dan rukun
masing yang harus dipenuhi ataupun dilaksanakaan guna menjadi sahnya
suatu perkawinan. Karena kita berada dalam Negara Hukum yang tidak lepas
pula dari unsur agama yang sangat kental. Maka keberadaan hukum di dalam
agama masing-masing juga ikut serta dalam peraturan nasional. Termasuk
12
dalam peraturan perkawinan dalam Hukum Islam, antara lain mengenai syarat
dan rukun perkawinan.
2.1.2.1 Syarat sahnya Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1)
menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan. Sehingga dapat dikatakan disini
syarat materiil perkawinan secara umum diambil dari aturan-aturan agama
yang ada di Indonesia, karena masyarakat Indonesia mayoritas agama yang
dianut Indonesia ialah Agama Islam tentunya peraturan yang ada dalam
Agama Islam memiliki andil besar dalam mempengaruhi penentuan syarat
materiil perkawinan dalam Hukum Nasional Indonesia seperti adanya
aturan tentang larangan perkawinan, masa tunggu bagi wanita yang
bercerai, pembebanan nafkah keluarga, dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No.
1 Tahun 1974, jika sebuah perkawinan tidak memenuhi syarat materil
perkawinan baik itu syarat materil yang telah mendapat penegasan dalam
undang-undang maupun yang masih hidup dalam aturan agama dan
kepercayaan masing-masing pemeluknya, maka terhadap perkawinan
tersebut dapat dilakukan pencegahan perkawinan atau dibatalkan jika
telah terlaksana.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 selain menentukan
dan mengatur syarat materil perkawinan, juga mengatur syarat formil
13
sebagai syarat yang ditentukan dengan tujuan untuk mewujudkan
ketertiban perkawinan di Indonesia. Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tersebut sebagai bentuk perlindungan yang diberikan Negara
untuk ketertiban perkawinan bagi wargannya.
Pelaksanaan perkawinan di Indonesia bukan hanya didasarkan atas
prinsip saling menyukai, tetapi ada syarat-syarat materil dan formil
perkawinan yang mesti dipenuhi oleh masing-masing calon mempelai. Jika
syarat tersebut tidak dipenuhi maka secara legal perkawinan tidak dapat
dilaksanakan.
Sah atau tidaknya suatu perkawinan bukan hanya memenuhi rukun
serta syarat perkawinan yang ditentukan oleh agama dan kepercayaannya
masing-masing, tetapi perkawinan dikatakan sah jika dicatatkan pada
instansi yang berwenang untuk itu. Penguraian Pasal 2 ayat (1) dan ayat
(2) apabila dicermati memiliki pengertian yang ambigu. Pertama, dilihat
pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan perkawinan sudah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ini berarti
bahwa perkawinan antar orang-orang yang beragam Islam sudah sah
apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya sebagaiman tersebut dianut
oleh agamanya (Hasan dan Sumitro, 1997 : 116).
Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1) di dalam Hukum Perkawinan
Islam pencatatan perkawinan bukanlah rukun perkawinan. Agama Islam
mengkatagorikan rukun perkawinan (yang menentukan sah atau tidaknya
14
perkawinan) adalah: ijab dan qabul, wali, 2 orang saksi, dan kedua
mempelai sebagaimana telah di taqnin dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum
Islam. Sehingga dalam hal ini fungsi sebuah Negara yang menjamin
penduduknya secara bebas untuk menjalankan ajaran agama dan
kepercayaannya sesuai Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tidak dibenarkan
untuk memaksakan sebuah ajaran agama tunduk terhadap aturan hukum
nasional.
Mazhab syafi’I menyebutkan bahwa perkawinan sah menurut Islam
dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana
adanya ijab qabul dan dihadiri oleh dua orang saksi. Sedangkan Mazhab
maliki memberikan pendapat bahwa perkawinan harus terlaksana dengan
adanya kedua mempelai laki-laki dan perempuan adanya mahar dengan
dilakukannya ijab qabul dan harus dihadiri oleh wali nikah karena tanpa
wali perkawinannya tidak sah.
Kaitanya tentang sahnya perkawinan sesuai Pasal 4 Kompilasi Hukum
Islam sebutkan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
Hukum Islam sesuai dengan Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan.
Perkawinan dapat diuraikan menurut Islam dikatakan sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Untuk ketentuan harus adanya pencatatan, dalam Kompilasi Hukum Islam
15
Pasal 5 ayat (1) diterangkan bahwa untuk menjamin ketertiban perkawinan
bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
Pencatatan tidak membuat perkawinan tersebut menjadi batal atau
tidak sah, hanya perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum,
yang mana kekuatan hukum itu kan menjadi pelindung atas akibat-akibat
hukum yang mungkin terjadi atas perkawinan tersebut.
Perkawinan yang tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
dapat diajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama hal ini sesuai Pasal 7
Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi pengajuan itsbat nikah terbatas pada
hal-hal tertentu sesuai tertuang dalam Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum
Islam.
Selain itu dalam Hukum Islam sahnya perkawinan harus memenuhi
syarat pernikahan sebagai berikut :
2.1.2.1.1 Syarat Umum Perkawinan
Syarat umum suatu pernikahan dikatakan sah apabila
perkawinan dilakukan dengan tidak menentang larangan perkawinan
yang berbeda agama. Dalam ketentuan Q. II ayat 221, kecuali S. Al
Ma’adah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini
perempuan ahli kitab, dan tidak bertentangan dengan QS. An-Nisa’
ayat (22), ayat (23),dan ayat (24).
16
2.1.2.1.2 Syarat Khusus Perkawinan
Syarat Khusus adanya calon pengantin laki-laki dan calon
pengantin perempuan. Dimana setiap calon pengantin tersebut harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Kedua mempelai harus beragama Islam, aqil, baligh, sehat jasmani
dan rohani
2. Harus ada wali nikah (Mazhab Syafi’i)
3. Harus membayar mahar / mas kawin, dari laki-laki kepada
perempuan
4. Harus ada dua orang saksi, Islam, dewasa dan adil
5. Adanya ijab dan qobul.
2.1.2.2 Rukun Perkawinan
Rukun pernikahan yang dimaksud ialah segala sesuatu yang
ditentukan menurut Hukum Islam dan harus dipenuhi pada saat pernikahan
dilangsungkan. (Murtiningdyah, 2005: 31) Hal ini dapat diartikan apabila
syarat-syarat
perkawinannya
telah
dipenuhi,
maka
sebelum
melangsungkan perkawinan syarat-syarat untuk sahnya harus ada rukunrukun yang perlu dipenuhi.
Adapun rukun pernikahan diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum
Islam. Pelaksanaan pernikahan harus ada:
17
2.1.2.2.1 Calon Suami dan Istri
Calon suami dan calon istri atau dapat juga disebut dengan
calon mempelai adalah seorang pria dan seorang wanita yang
merupakan hal paling penting sebagai para pihak yang akan
melangsungkan pernikahan. Para calon mempelai harus memenuhi
syarat-syarat tertentu antara lain :
1.
Telah baligh dan memenuhi kecakapan yang sempurna.
Pasal 15
ayat
(1)
Kompilasi Hukum
Islam
memberikan ketentuan sebagai berikut untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan oleh mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974yaitu calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri
sekurang-kurangnya berumur 16 tahun Bagi calon mempelai
yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5)
Undang-Undang Perkawinan
Berakal sehat dan tidak mengalami gangguan, baik
jasmani maupun rohani, artinya para mempelai harus dapat
mempertanggungjawabkan
dilaksanakaan.
apa
itu
perkawinan
yang
18
2.
Tidak karena paksaan, artinya harus didasarkan pada kerelaan
kedua belah pihak.
Pasal
16
ayat
(1)
Kompilasi
Hukum
Islam
menyebutkan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan
calon mempelai. Persetujuan ini penting agar masing-masing
suami dan istri, memasuki gerbang perkawinan dan rumah
tangga benar-benar dengan senang hati dan bahagia sehingga
dapat melaksanakan tugas, hak dan kewajibannya secara
proposional (Rofiq 2003:74 )
Persetujuan yang dimaksud dapat berupa pernyataan
tegas dan nyata dengan tulisan-tulisan, lisan atau isyarat
tetapi juga berupa diam dalam arti tidak ada penolakan yang
tegas sesuai dengan Pasal 16 ayat (2) Kompilasi Hukum
Islam. Dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW, riwayat dari
ibnu Abbas ra “janda lebih berhak atas dirinya dari pada
walinya,
dan
kepada
gadis
(perawan)
dimintai
persetujuannya, dan persetujuannya jika dimintai,(gadis itu)
diam (Riwayat Muslim)”
Sebagai bukti adanya persetujuan antara kedua
mempelai, Pegawai Pencatat menanyakan kepada mereka
sesuai yang dijelaskan dalam Pasal 17 Kompilasi Hukum
Islam .
19
2.1.2.2.2 Wali Nikah
Wali nikah dalam perkawinan sangatlah penting dan yang
menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Hal ini disampaikan
Mazhab Maliki tentang harus adanya wali, karena wali nikah dalam
hukum perkawinan Islam merupakan rukun perkawinan (nikah),
sehingga nikah tanpa wali adalah tidak sah sebagaimana hadis
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruquthni,
berbunyi “ Jangan menikahkan perempuan akan perempuan yang lain
dan jangan pula menikahkan perempuan akan dirinya sendiri ” dan
yang diriwayat HR Ahmad, berbunyi “Tidak sah nikah melainkan
dengan wali dan dua saksi yang adil.”
Ketentuan mengenai pentingnya wali dalam melangsungkan
pekawinan juga lebih dipertegas dengan ketentuan Pasal 19 Kompilasi
Hukum Islam, yang di dalamnya disebutkan bahwa “Wali nikah
dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.”
Kedudukannya yang sangat penting dan menentukan ini maka
tidak sembarangan orang dapat menjadi wali nikah. Pasal 20 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan “bahwa yang bertindak sebagai
wali adalah laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yaitu
muslim, aqil dan baligh”.
20
2.1.2.2.3 Dua Orang Saksi
Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksana akad
nikah, karena setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi
hal ini sesuai Pasal 24 Kompilasi Hukum Islam. Adanya saksi dalam
akad nikah menurut Imam Syafi’i adalah suatu keharusan dalam
perkawinan, karena saksi dalam perkawinan sangat diperlukan.
Dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 menegaskan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di
muka Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah
yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang
saksi dapat dimintakan pembatalan oleh para keluarga dalam garis
keturunan yang lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri.
Al-Daruqutny meriwayatkan dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW
bersabda “Tidak ada nikah melainkan dengan (adanya) wali, dan
siapa saja wanita yang nikah tanpa wali maka nikahnya batal. Jika dia
tidak punya wali, maka penguasa (hakimlah) walinya wanita yang
tidak punya wali.”
Saksi terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat dan
mendengarkan ijab qabul. Tugasnya dalam perkawinan hanya
memberikan kesaksian bahwa perkawinan itu benar-benar dilakukan
oleh pihak-pihak yang berkeinginan dan menyatakan tegas tidaknya
ijab qabul diucapkan.
21
Dua orang saksi hendaknya laki-laki, tetapi kalau tidak ada,
wanitapun diperkenankan hanya berjumlah 4 orang. Dasar hukum
perbandingan jumlah itu dilihat dari makna anak kalimat dari Surah
(2) Al-Baqarah ayat 228 yang menyatakan :
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan
hari aKompilasi Hukum Islamrat. Dan suamisuaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.
Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya.Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah
serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah
dilangsungkan hal ini sesuai dengan Pasal 26 Kompilasi Hukum
Islam.
Tujuan lain adanya saksi dalam suatu perkawinan sebagai
antisipasi yang mungkin akan terjadi dalam kelangsungan suatu
22
perkawinan nantinya dimana saksi-saksi perkawinan itu bisa menjadi
saksi guna menerangkan perkawinan tersebut.
2.1.2.2.4 Akad Nikah (Ijab Qabul)
Akad nikah / ijab qabul adalah pernyataan sepakat dan pihak
calon suami dan pihak istri untuk mengikatkan diri mereka ke dalam
tali perkawinan dengan menggunakan sighat akad nikah, yaitu
perkataan atau ucapan-ucapan yang diucapkan oleh calon suami dan
calon istri yang terdiri atas ijab dan qabul.
Ijab ialah pernyataan penyerahan dari pihak wanita yang
biasanya dilakukan oleh wali calon mempelai wanita atau wakilnya
dengan maksud bahwa calon mempelai wanita bersedia dinikahkan
dengan calon mempelai pria, sedangkan qabul ialah pernyataan
penerimaan yang sah atau jawaban pihak calon mempelai pria atas
ijab calon mempelai wanita, yang intinya bahwa calon mempelai pria
menerima kesediaan calon mempelai wanita menjadi menjadi istrinya
yang sah.
Memperhatikan ketentuan Pasal 29 Kompilasi Hukum Islam,
tidak membenarkan pelaksanaan ijab qabul jarak jauh melalui sarana
telekomunikasi. Ketika calon mempelai berhalangan, Kompilasi
Hukum Islam memilih alternatif dengan seorang kuasa.
23
2.2.
Tinjauan tentang Anak Luar Kawin
2.2.1 Pengertian Anak Luar Kawin
Anak merupakan akibat yang timbul dari suatu perkawinan. Kelahiran
seorang anak menjadi symbol keturunan bagi sebuah keluarga. Keturunan
(afstamming) ada hubungan darah antara anak-anak dan orangtuanya.
Undang-undang mengatur tentang anak-anak sah dan anak-anak tidak sah
(wettige en on wettige kinderen). Yang teraKompilasi Hukum Islamr ini juga
diberi nama anak luar kawin (natuurlijke kinderen) atau diterjemahkan “anakanak alam” (Kie, 2000 : 18).
Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan,
sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah
dengan pria yang menyetubuhinya. Pengertian di luar kawin adalah hubungan
seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan,
sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah
menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya. (Abdul Manan, 2008:
80)
Anak luar kawin dalam Undang-undang sendiri tidak secara spesifik
menyebutkan arti ataupun makna anak luar kawin. Pasal 43 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menyebutkan “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas
selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
24
Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974tersebut hanya menerangkan tentang hak keperdataan dari anak luar
kawin dan tidak menyebutkana bahwa anak luar kawin ini ialah anak yang
lahir diluar perkawinan yang sah atau anak yang dihasilkan / dibenihkan
diluar perkawinan yang sah.
Kompilasi Hukum Islam juga hanya menyebutkan tentang nasab dari
anak luar kawin seperti yang tertera dalam Pasal 100 yang menyebutkan
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya ”
Beberapa ulama berpendapat mengenai anak luar kawin, Syafi`iy dan
Malik berpendapat “bahwa anak di lahirkan kurang dari enam bulan setelah
akad nikah maka tidak bisa dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibunya,
juga tidak menjadi mahram dan dengan demikian dia bisa dinikahi ayah
tersebut”. Ali bin Abi Thalib menyebutkan “masa mengandung dan menyusui
bayi adalah 30 bulan seperti yang tertera di dalam surat Al- Ahqaaf ayat 15,
lalu dikaitkan dengan surat al-Baqarah ayat 233 bahwa masa menyusui adalah
2 tahun, ini artinya masa mengandung paling pendek 6 bulan dan masa
menyusui paling panjang 2 tahun. ( Tafsir Al-Alusi, Surat al Ahqaaf ayat 15)”
(http://www.muslimat-nu.or.id/index.php)
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama, dapat
dipahami bahwa anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan diluar
perkawinan yang sah menurut syara’.
25
Ulama telah sepakat bahwa seorang tidak dapat dinasabkan kepada
ayahnya sebagai anak sah, kalau anak itu dilahirkan kurang dari waktu enam
bulan setelah akad perkawinan, sebab menurut mereka tenggang waktu yang
sependek-pendeknya yang harus ada antara kelahiran anak dengan
perkawinan itu adalah enam bulan. Hal ini dapat diartikan jika ada anak yang
lahir tidak mencapai enam bulan setelah orang tuanya akad nikah, maka anak
tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah.
(Ishaq, 2008 : 88)
2.2.2 Kedudukan Anak Luar Kawin
Keberadaan anak luar kawin menjadi fenomena tersendiri saat ini, karena
keberadaan anak tersebut semakin banyak terjadi. Tidak bisa dipungkiri kelak
ini akan menjadi masalah yang sangat besar apabila pemerintah maupun
masyarakat sendiri tidak segera mengatasinya. Kemajuan gaya hiduplah yang
membuat anak luar kawin menjadi berkembang. Gaya hidup kita yang selalu
mengarah kebarat-baratan membuat pola hidup yang berkembang dalam
masyarakat tidak lagi sesuai norma – norma hukum dan agama yang ada. Para
muda-mudi yang melakukan seks bebas tanpa peduli pada akibat yang timbul
atas perbuatanya tersebut. Kelak yang dirugikan dengan adanya seks bebas
adalah perempuan dan apabila seks bebas itu menimbulkan anak maka anak
tersebut akan merasa dirugikan atas perbuatan kedua orang tuanya, kemudian
anak tersebut akan merasa binggung dengan kedudukannya kelak.
26
Sebagai penduduk Indonesia yang menganut norma-norma pancasila
tentunya harus tunduk dengan aturan-aturan yang ada, namun karena
penduduk Indonesia mayoritas memeluk Agama Islam tentunya norma-norma
dan aturan-aturan yang ada dalam Hukum Islam tidak bisa diabaikan karena
tanpa dipungkiri ini sangat berdampak besar dalam menjalankan normanorma yang ada agar sesuai dengan kaidah yang baik.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menggolongkan
kedudukan anak menjadi dua yaitu anak sah dan anak luar kawin. Pasal 42
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menyebutkan anak sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak
sah menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam yang diterangkan “Anak yang
lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” Hasil pembuahan
suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut
(Abdurahman, 1995 : 137).
Kedudukan anak luar kawin menjadi sangat ironis ketika kesalahan atas
adanya anak luar kawin hanya ditunjukan pada sang ibu. Karena
bagaimanapun lahirnya seorang anak tidak hanya berperan pada sang ibu,
seorang ayah sangat berperan dalam hal ini. Sehingga anak luar kawin ialah
anak yang dihasilkan dari hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang
dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan
perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya.
(Manan, 2008: 80)
27
Anak luar kawin sering kali mendapat pandangan buruk dan cacian dari
masyarakat dengan sebutan anak haram. Kondisi inilah yang memeberikan
sebuah ketidakadilan bagi seorang anak, disamping itu seorang anak seolaholah ikut menanggung dosa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Hal ini
tidak sesuai dengan hadist Rasulullah SAW yang berbunyi “setiap anak
dilahirkan dalam ke adaan fitrah (sesuai dengan asal kejadian bersih tanpa
dosa)”.
Kedudukan anak luar kawin baik di dalam Undang-Undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam berkedudukan nasab
dengan ibu dan keluarga ibunya. Menurut Abu Hanifah, anak mempunyai
hubungan darah dengan laki-laki yang tidur seranjang dengan ibu anak. Bila
dilahirkan di luar perkawinan maka menurut Abu hanifah anak tersebut meski
tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, ia tetap menjadi
mahram (haram dinikahi) oleh ayah biologisnya sama dengan mahram
melalui perkawinan.( Al-Qurthubi, Bidayah al--Mujtahid, juz 2 hal. 34).”
Kekuasaan orang tua terhadap anak erat kaitanya dengan bagaimana
kedudukan anak tersebut atas orang tuanya. Kekuasaan orang tua ini kelak
yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak.
Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anak luar kawin hanya terbatas pada
ibu dan keluarga ibunya saja.
Anak luar kawin yang diingkari keberadaanya oleh ayah biologisnya,
dengan kekuasaan sang ibu juga dapat membuktikan bahwa asal usul si anak
28
dengan akta kelahiran seperti yang tercantum dalam Pasal 103 Kompilasi
Hukum Islam “(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan
akta kelahiran atau alat bukti lainnya.(2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya
tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah. (3) Atas dasar
ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat
Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut
mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.”
Proses pengingkaran anak luar kawin yang dilakukan ayah dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan seperti yang terdapat Pasal 102
Kompilasi Hukum Islam “(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak
yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama
dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah
putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya
melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan
perkaranya kepada Pengadilan Agama. (2) Pengingkaran yang diajukan
sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.”
Ayah biologis dapat mengakui anak luar kawin sebagai anaknya sehingga
mempunyai hak dan kewajiban terhadap anak luar kawin atas persetujuan
sang ibu. Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 menyebutkan
anak luar kawin ialah anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
29
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan atau alat bukti lainya menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya
Guna kepengurusan pengakuan anak luar kawin pemerintah menunjuk
Kantor Catatan Sipil sebagai instansi pemerintah yang berwenang, sesuai
dengan tugas dan fungsi Kantor Catatan Sipil. Adapun yang dimaksud
dengan Catatan Sipil adalah suatu catatan yang menyangkut kedudukan
hukum seseorang. Bahwa untuk dapat dijadikan dasar kepastian hukum
seseorang maka data atau catatan peristiwa penting seseorang, seperti :
perkawinan, perceraian, kelahiran, kematian, pengakuan anak dan pengesahan
anak, perlu didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil. Kantor Catatan Sipil adalah
suatu lembaga resmi pemerintah yang menangani hal-hal yang berhubungan
dengan percatatan sipil, Kantor Catatan Sipil yang sengaja diadakan oleh
pemerintah dan bertugas untuk mencatat, mendaftarkan serta membukukan
selengkap mungkin setiap peristiwa penting bagi status keperdataan
seseorang.
2.2.3 Status Anak Luar Kawin
Mengenai status anak luar kawin, para ulama sepakat bahwa anak itu
tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung
jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spiritual adalah ibunya
dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris (Ibnu
Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz V:357). Pemerintah melalui Undang-
30
Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga menjelaskan bahwa status anak
luar kawin hanya berhubungan dengan sang ibu namun tidak dipungkiri
keberadaan sang ayah biologis apabila dapat dibuktikan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang lain.
Setelah uraian mengenai pengertian serta kedudukan anak luar kawin
diatas, didapatkan beberapa kesimpulan tentang anak luar kawin, dimana
Aniisatul Murtasyidah menyebutkan bahwa anak luar kawin tergolong atas 2
(dua) yaitu Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun
dilahirkan dalam pernikahan yang sah dan Anak yang dibuahi dan dilahirkan
diluar perkawinan yang sah .( Murtasyidah 2012:20) .
1. Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan
dalam pernikahan yang sah.
Menurut Imam Malik dan imam Syafi’i, anak yang lahir
setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu
dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam
bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya.
Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah
bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya
sebagai anak yang sah (M. Ali Hasan, 1997 : 81). Perbedaan pendapat
ini disebabkan karena terjadinya perbedaan ulama dalam mengartikan
lafaz fiarsy, dalam hadist nabi : “anak itu bagi pemilik tilam dan bagi
pezina adalah hukum rajam”. Mayoritas ulama mengartikan lafadz
31
firasy menunjukkan kepada perempuan, yang diambilkan ibarat dari
tingkah iftirasy (duduk berlutut). Namun ada juga ulama yang
mengartikan kepada laki-laki (bapak) ( Jalaluddin al-Mahalli, alQulyuby wa Umarah, , Juz III : 31).
2. Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah.
Status anak diluar kawin dalam kategori yang kedua,
disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li’an. Terhadap anak
zina tentunya tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak
wajib memeberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia
tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi,
bukan secara hukum.
Dalam hal mewarisi anak zina tidak dapat mewarisi harta
warisan suami dari sang ibu, anak tersebut hanya dapat mewarisi dari
sang ayah karena ini berhubungan nasab dengan sang ayah
kandungnya. Apabila anak luar kawin itu perempuan maka bapak
biologisnya
tidak
mempunyai
hak
untuk
menjadi
wali
diperkawinannya. (Amir Syarifuddin, 2002 : 195).
Namun berdasarkan pembahasaan yang sebelumnya telah dibahas
tentang anak luar kawin, penulis juga merasa perlu adanya satu golongan
tentang anak luar kawin yaitu
32
1. Anak yang dibuahi dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah namun
tidak dicatatkan dalam Pegawai Pencatat Nikah atau biasanya disebut
Nikah Sirri.
Karena dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974maupun Kompilasi Hukum Islam mengisyaratkan bahwa setiap
perkawinan harus dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah agar terjamin
ketertiban perkawinan dan agar mendapatkan perlindungan hukum
terhadap perkawinan tersebut. Namun dalam peratauran tidak
dijelaskan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan dalam PPN
merupakan perkawinan yang tidak sah. Sehingga disini pencatatan
nikah hanya sebagai syarat administratif yang hendaknya harus
dilaksanakan.
Dalam Islam tidak mengenal Nikah Sirri, karena setiap
perkawinan itu sah apabila dilakukan sesuai dengan syarat-syarat dan
rukun perkawinan sesuai dengan ajaran dan kaidah-kaidah norma
agama Islam. Apabila perkawinan yang dilakukan itu sah menrut
agama tentunya anak yang lahir dalam perkawinan itu sah. Sehingga
ukewajiban orang tua kepada anak hendaknya terpenuhi dengan
sendirinya. Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 233 :
33
“Para ibu menyususi anaknya dua tahun secara
sempurna, bagi yang menginginkan untuk
menyempurnakan masa menyusui, dan bagi yang
memiliki anak (ayah) wajib untuk menafkahi isteri
mereka dan memberikan pakaian secara baik (Q.S.
Al-Baqarah ayat [233])”
Didasarkan Indonesia merupakan negara hukum dengan begitu banyak
agama dan norma-norma yang ada tentunya akan merasa sulit apabila terjadi
perbedaan dalam suatu hal, oleh karena itunya dikeluarkanlah undang-undang
dan peraturan-peraturan lainnya. Perkawinan yang tidak dicatatkan tidak
mempunyai kekuatan hukum maka anak yang timbul atas perkawinan
tersebut juga tidak mendapatkan kekuatan hukum dari kedua orang tuanya.
Kekuatan hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua
dan anak. Karena tidak berkekuatan hukum maka hak dan kewajiban orang
tua dan anak yang semestinya timbul menjadi hilang. Pasal 43 UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menjelaskan anak yang lahir diluar
perkawinan hanya mempunyai keperdatan dengan ibunya. Hak dan kewajiban
yang harusnya ada antara orang tua dan anak terbatas pada anak dan ibunya
saja.
2.3.
Tinjauan tentang Hukum Waris
2.3.1 Pengertian Hukum Waris Islam
Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
34
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masingmasing.
Hukum Kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata
farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang
harus dilaksanakan. Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya bersumber pada
beberapa ayat dari firman Allah SWT dalam Al Qur’an terutama surat AnNisa’ (4) ayat 11, 12, 176 dan sunnah Nabi (Ali, 2004:313).
An-Nisa’ (4) ayat (11)
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai
anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka
35
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat
seperenam.
(Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan
dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.”
An-Nisa’ (4) ayat (12)
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya
.Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika
kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
36
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat
atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan
yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun.
An-Nisa’ (4) ayat (176)
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang
kalalah)387. Katakanlah : "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu) : jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika
ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak
bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu
37
tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.
Salah satu sabda Nabi dalam Hadis riwayat Muttafaq ‘alaih yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Nabi SAW bersabda: Berikanlah
bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk
orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya)” (Rofiq, 2003: 380)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hukum Waris adalah suatu hukum
yang mengatur tentang hak dan kewajiban serta tata cara pembagian harta
peninggalan dari seseorang yang sudah meninggal (Pewaris) kepada para
keluarga dan kerabat-kerabatnya yang ditinggalkan (ahli waris).
2.3.2 Syarat-syarat Pewarisan
Terdapat tiga komponen yang sangat pokok dalam melakukan system
pewarisan, dimana tanpa adanya tiga komponen tersebut sistem pewarisan
tidak dapat terjadi. Tiga Komponen tersebut ialah :
2.3.2.1 Pewaris
Pada Pasal 171 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal
berdasarkan
putusan
Pengadilan
beragama
Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Pewarisan tidak dapat
terlaksana tanpa adanya pewaris.
Tidak semua orang dapat dikatkan sebagai pewaris salah satu yang
penting ialah seorang dikatakan pewaris apabila sudah meninggal. Selain
38
disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama
Islam dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan. Syarat-syarat ini
sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqh mawaris.
2.3.2.2 Ahli Waris
Pasal 171 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam, Ahli waris adalah orang
yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Ahli waris dalam Hukum Islam dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan
karena adanya hubungan darah
2. Ahli waris sababiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan
karena adanya suatu sebab yaitu perkawinan yang sah dan atau
karena memerdekakan hamba (hamba sahaya) (Rofiq, 2003:
383).
Dilihat dari bagian yang diterima atau haknya ahli waris dibedakan
menjadi tiga yaitu :
1. Ahli waris Ashab al-farud yaitu ahli waris yang telah
ditentukan bagian-bagiannya. Misalkan 12, 13 dan lain-lainya.
2. Ahli waris Ashab al-usubah yaitu ahli waris yang ketentuan
bagiannya adalah menerima sisa setelah diberikan kepada
ashab al-farud, seperti anak laki-laki, ayah, paman dan lain
sebagainya.
39
3. Ahli waris Zawi al – arham yaitu orang yang sebenarnya
mempunyai hubungan darah dengan pewaris, namun karena
dalam ketentuan nas tidak diberi bagian, maka mereka tidak
berhak menerima. Kecuali ahli waris tersebut termasuk
golongan Ahli waris ashab al-farud dan Ahli waris ashab alusubah.
Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan ahli waris terdiri dari
beberapa kelompok sebagai berikut :
1. Menurut hubungan darah yakni golongan laki-laki yang terdiri
dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek
dan golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan,
saudara perempuan dari nenek.
2. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Berdasarkan Pasal 174, 181, 182 dan 185 Kompilasi Hukum Islam
,golongan-golongan ahli waris yang telah disebutkan diatas tersebut terdiri
atas:
1. Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara lakilaki, paman, kakek dan suami.
2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara
perempuan, nenek dan isteri.
40
3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti
adalah seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki
atau perempuan.
4. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris sesuai Pasal 173
Kompilasi Hukum Islam apabila dengan putusan hakim yang telah
mempunyai ketetapan hukum tetap dikarenakan :
1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris.
2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih
berat.
2.3.2.3 Harta Peninggalan
Menurut Pasal 171 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam, harta
peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa
benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada Pasal 171 huruf (e)
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan harta waris adalah harta bawaan
ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan
pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah
(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Harta Peninggalan dapat disimpulkan terdiri atas :
41
1. Benda
dan
sifat-sifat
yang
mempunyai
nilai
kebendaan,
dimaksudkan ialah benda tersebut dapat berwujud ataupu tidak dan
dapat bergerak mauun tidak bergerak.
2. Hak-hak kebendaan ialah hak yang dapat dimiliki terhadap benda
tersebut.
3. Hak-hak yang bukan kebendaan, misalkan hak tetangga.
Pada aturan umum dalam Pada Bab 1 butir (d) dan (e) Kompilasi
Hukum Islam membedakan antara harta peninggalan dengan harta warisan
menyebutkan:
“Harta Peninggalan adalah harta yang ditinggalkan
oleh seorang pewaris baik yang berupa harta benda
yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
Sedangkan Harta Warisan adalah harta bawaan
ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan
untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meningganya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran
uang dan pemberian untuk kerabat.”
2.3.3 Asas-asas Pewarisan
Dalm pembangian waris terdapat beberapa asas-asas yang ikut
mendukung keberadaannya yaitu :
2.3.3.1 Asas Ijbari
Yang dimaksudkan dalam asas ini ialah peralihan harta sesorang yang
meninggal dunia kepada ahli warinya berlaku dengan sendirinya tanpa
menurut kehendak pewaris ataupun ahli waris (Muhibbin, 2009:23 ).
Asas ini mengatur mengenai cara peralihan harta warisan, juga disebut
dalam Pasal
187 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan
42
bahwa sisa dari pengeluaran yang dimaksud adalah merupakan harta
warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
Ketentuan asas ini sesuai dengan surat An.Nissa ayat 7 yang
menyatakan sebagai berikut :
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian harta
peninggalan ibu bapak dan kerabat, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) harta peninggalan ibu
bapak dan kerabat, baik sedikit ataupun banyak
menurut bagian yang ditetapkan”
2.3.3.2 Asas Bilateral
Asas Bilateral ialah bahwa seseorang menerima hak warisan dari
kedua belah pihak garis kerabat, yaitu garis keturunan perempuan maupun
garis keturunan laki-laki (Suhrawardi K. Lubis, 2004:60)
2.3.3.3 Asas Individual
Setiap ahli waris berhak mendapatkan bagian yang semestinya ia
dapatkan tanpa terikat terhadap ahli waris yang lain. (Suhrawardi K. Lubis,
2004:60)
2.3.3.4 Asas Keadilan Berimbang
Yang dimaksudkan dalam asas ini ialah keseimbangan antara hak dan
kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan yang akan
diperlukan dan digunakan. (Suhrawardi K. Lubis, 2004:61)
43
2.3.3.5 Asas Kewarisan Semata Karena Kematian
Asas ini menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal
dunia tercermin dalam rumusan berbagai istilah yaitu hukum kewarisan,
pewaris, ahli waris dan harta peninggalan dalam Pasal 171 pada bab
ketentuan umum (Ali, 2004: 322).
Tanpa adanya kematian pembagian warisan tidak akan terjadi,
walaupun ketika ia hidup dapat memanfaatkan hartanya utuk dapat
dibagikan kepada kerabat yang lain. Namun dalam hukum kewarisan Islam
antara wasiat dengan kewarisan diuraikan secara terpisah
2.3.4 Bagian-bagian Waris dalam Hukum Islam
Harta peninggalan sebagai harta waris terlebih dahulu harus diselesaikan
masalah hutang piutang pewaris (yang meninggal) dan biaya pemakaman
serta wasiat yang dibolehkan (bila ada). Disamping itu bila si mayit
meninggalkan istri (janda) atau suami (duda) dan masih terikat perkawinan
perlu dipisahkan lebih dahulu antara harta bawaan dan harta bersama
Kerabat yang tidak memperoleh bagian waris dapat memperoleh bagian
sebagai hibah (ketika pewaris masih hidup) atau sebagai wasiat wajibah, atau
diberi bagian yang tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan sesuai ketentuan
Pasal 194 s/d 214 Kompilasi Hukum Islam. Ketika adanya sengketa dalam
pembagian waris dapat bersepakat melakukan perdamaian. Pembagian
warisannya sesuai dengan tabel yang akan digambarkan sebagai berikut :
44
Tabel 1
Bagian-bagian Warisan Ahli Waris dalam Hukum Islam
(Lubis 2006:107 )
45
2.4.
Tinjauan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010
2.4.1 Kedudukan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan Judicial Review
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga, pertama kali diperkenalkan oleh
Hans Kelsen (1881-1973), pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan
Administrasi University of Vienna. Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan
aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika
suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah
suatu
produk
hukum
itu
konstitusional
atau
tidak,
dan
tidak
memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut
tidak konstitusional. Untuk kepentingan itu, kata Kelsen, perlu dibentuk
organ pengadilan khusus berupa constitutional court, atau pengawasan
konstitusionalitas undang-undang yang dapat juga diberikan kepada
pengadilan biasa. Pemikiran Kelsen mendorong Verfassungsgerichtshoft di
Austria yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Inilah Mahkamah
Konstitusi pertama di dunia. (Gaffar,2009:4)
Janedjri M. Gaffar didalam malakahny yang ditulis di Surakarta pada
tanggal 17 Oktober 2009 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah
Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, pembentukan
Mahkamah Konstitusi didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang
terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara
hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum.
46
Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan
demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai
hukum tertinggi.
Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji
konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan
Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan
menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan
prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap
ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga
negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi
konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang
menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan
lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus
pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada
Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari
mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis
semata.
Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban
menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil
Presiden diberhentikan dalam masa jabatannyan. Salah satu wewenang yang
dimiliki Mahkamah Konstitusi sesuai yang dijelaksan sebelumnya ialah
47
melakukan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar hal
tersebut berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pengujian Undang-undang, diatur dalam Bagian Kesembilan Pasal 50
sampai dengan Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003. Undang-undang disini
adalah
produk
politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-
kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin
saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi.
Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang
yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di
atasnya.
Pengujian suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan
konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah Judicial review. Jika undangundang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak selaras dengan
konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan Mahkamah Konsitusi. Melalui
kewenangan Judicial review, Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga negara
yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari
koridor konstitusi.
2.4.2 Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010
Putusan No.46/PUU-VIII/2010 ini sebagai hasil dari Judicial review
Pasal 2 ayat (2)dan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machica Bin H.
48
Mochtar Ibrahim dan anaknya yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan
bin Moerdiono terhadap Moerdiono dimana Moerdiono sebagai seorang
suami yang telah beristri menikah kembali dengan istrinya yang kedua
bernama Hj. Aisyah Mokhtar secara syari’at Islam dengan tanpa dicatatkan
dalam register Akta Nikah, oleh karena itu ia tidak memiliki Buku Kutipan
Akta Nikah, dan dari perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang
bernama Muhammad Iqbal Ramdhan Bin Moerdiono.
Dasar adanya Judicial review ini ialah pihak dari pemohon merasa hakhak konstitusinya sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal
28 B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 telah
dirugikan, karena status perkawinannya menjadi tidak sah, demikian juga
terhadap anak yang dilahirkannya menjadi tidak sah. Dengan berlakunya
Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undung Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974.
Perkawinan yang tidak sah berakibat hilangnya status perkawinan
antara Moerdiono dengan Hj. Aisyah serta status Muhammad Iqbal Ramdhan
sebagai anak Moerdiono. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 menyatakan “ perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu”
Pada Pasal 2 ayat (2) menyatakan “tiap-tiap pernikahan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 43 ayat (1) UndangUndang Perkawinan menyatakan “anak yang dilahirkan di luar perkawinan
49
hanya mempunyai
hubungan
perdata
dengan
ibunya
dan
keluarga
ibunya”. Undang- Undang Dasar RI 1945 Pasal 28 B ayat (1) yang
menyatakan “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Pasal 28 B ayat (2) menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas
kelangsungan
hidup,
tumbuh
dan
berkembang
serta
berhak
atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, dan Pasal 28 D ayat (1)
yang
menyatakan
“setiap
orang
berhak
atas pengakuan,
jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum”.
Atas permohonan Hj. Aisyah serta status Muhammad Iqbal Ramdhan
tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat mengenai ketentuan Pasal 2
ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang pencatatan
perkawinan bahwa sesuai penjelasan umum angka 4 huruf ( b) UndangUndang
Perkawinan
No.
1 Tahun
1974
,
Mahkamah
Konstitusi
menyimpulkan bahwa pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan
sahnya perkawinan, pencatatan merupakan kewajiban administrasi yang
diwajibkan berdasarkan perundang-undangan. Oleh karena itu Mahkamah
Konstitusi berpendapat
bahwa
Pasal
2
ayat
(2)
Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak bertentangan dengan konstitusi .
Mahkamah Konstitusi juga berpendapat mengenai anak yang dilahirkan
di luar perkawinan yang dikonklusikan dengan anak yang tidak sah.
50
Menurut Mahkamah Konstitusi secara alamiah tidak mungkin seorang
perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dengan sperma
baik melalui hubungan seksual maupun melalui cara
lain berdasarkan
perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan.
Maka dari itu tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan
bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di
luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebutlah
sebagai ibunya karena tidak tepat dan tidak adil pula apabila laki-laki yang
membuahi sang anak dibebaskan dari tanggung jawabnya sebagai seorang
ayah.
Amar
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010
ini
mengubah Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya”, dimana Pasal tersebut bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai
ayahnya.
51
Sehingga Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang
menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai
hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak
yang dilahirkan di luar mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”.
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat (final and
binding). Pasal
24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh
upaya hukum berikutnya pasca putusan itu sebagaimana putusan pengadilan
biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).
Selain itu juga ditentukan putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan
hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi .
Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki
kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Semua pihak termasuk
52
penyelenggara negara yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh
Mahkamah Konstitusi harus patuh dan tunduk terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi
53
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi (Soekanto 1981:2). Ilmu pengetahuan yang
merupakan pengetahuan yang tersusuk secara sistematis dengan penggunaan
kekuatan pemikiran, pengetahuan mana senantiasa dapat diperiksa dan
ditelaah secara kritis, akan berkembang terus atas dasar penelitian-penelitian
yang dilakukan oleh pengasuh-pengasunya.
Pemilihan metode yang tepat dalam melakukan penelitian sangat penting
bagi penelitian itu. Obyek yang akan diteliti dapat digali dengan dalam dan
apa yang menjadi tujuan dari penelitian itu tersampaikan dan tersalurkan
dengan baik.
Metode pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian yuridis normatif, Penelitian hukum normatif adalah
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder belaka. (Soekanto 2011:14).
3.2
Sifat Penelitian
Dilihat dari sifatnya penelitian terbagi atas tiga yaitu , Penelitian
eksploratoris, Penelitian dan Penelitian eksplanotaris. Sedangkan sifat
54
penelitian yang digunakan oleh penulis ialah sifat Penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan data
yang seteliti mungkin tentang manusia, keadan dan gejala-gejala lainya
terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu didalam
memperkuat teori-teori lama atau didalam kerangka menyusun teori-teori
baru. ( Soekanto 2081:10 )
Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti akan meneliti dan menguji
apakah Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 membahas
mengenai bagian waris anak yang lahir diluar perkawinan, bagaimana
kaitanya dengan Hukum Islam dan fiqh Islam terhadapat kedudukan anak luar
kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 untuk
saling mewarisi.
3.3
Jenis dan Sumber Data
Data terdiri atas dua yaitu data primer dan data skunder (Soekanto
1982:52)
Data Primer yaitu sumber data utama yang diperoleh langsung dari
sumber pertama melalui penelitian (Soekanto1982:52). Didalam penelitian
penulis, data primer dari penulis ialah wawancara yang dilakukan sebagai
bahan pelengkap yaitu
wawancara yang dilakukan kepada Dr Muhyidin
M.Ag selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng dan Bapak H.
Nurmasyah Hakim Pengadilan Agama Semarang.
55
Data sekunder ialah data kepustakaan yang mencakup dokumendokumen resmi, buku-buku, perundang-undangan, putusan dan data yang
berhubungan dengan anak luar kawin.
Data sekunder atau data yang tertulis yang digunakan dalam penelitian
dapat berupa Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010, Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam ,Fiqh Islam,Buku-buku, Dokumen dan
literatur
yang berkaitan Hukum Waris Islam, Hukum Perkawinan, Anak Luar Kawin
di Indonesia.
3.4
Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam pengumpulan data
terbagi atas pengumpulan data primer dan data skunder.
1.
Data Primer
Teknik Pengumpulan data primer
dilakukan dengan
cara
wawancara kepada Dr Muhyidin M.Ag selaku Ketua Komisi Fatwa MUI
Provinsi Jateng dan Bapak H. Nurmasyah Hakim Pengadilan Agama
Semarang.
Wawancara Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk
memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu
(Ashshofa, 2004: 95). Dalam penelitian ini jenis wawancara yang
digunakan adalah wawancara yang berencana (berpatokan) yaitu
56
mewancarai informan yang telah disiapkan sebelumnya, untuk menggali
informasi tunggal.
2.
Data Skunder
Teknik Pengumpulan data skunder dilakukan dengan cara studi
kepustakaan menurut Soerjono Soekanto studi kepustakaan adalah studi
dokumen yang merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan
atas data tertulis dengan mempergunakan “content analysis” atau yang
biasa disebut dengan analisis muatan. Dalam hal ini peneliti mencari,
membaca, dan mempelajari dari bahan-bahan kepustakaan yang berupa
buku-buku, dokumen, dan bahan tulisan lainnya yang ada hubungannya
dengan penelitian yang akan dilaksanakan (Soekanto, 2010:21).
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder. Dalam
studi kepustakaan ini dilakukan terhadap bahan-bahan hukum sekunder.
Dalam hal ini peneliti memperoleh data kepustakaan dari buku-buku atau
literatur mengenai Hukum Waris Islam dan anak Luar kawin, media tulis,
yang pada intinya mengenai pada permasalahan yang diteliti yaitu bagian
waris anak luar kawin dalam Hukum Islam pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010
Peneliti juga menggunakan dokumentasi resmi buku, majalah,
jurnal, undang-undang, yurispudensi ataupun kasus-kasus yang berkaitan
dengan bagian waris dalam Hukum Islam pada umumnya dan kedudukan
57
anak luar kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010.
Selain dengan studi kepustakaan, teknik pengumpulan data skunder
juga dilakukan dengan Studi Literatur yang didapat diwebsite. Teknologi
informasi ini memungkinkan melakukan pencarian data dan / atau
informasi dengan menggunakan internet sebagai media alat pengumpulan
data yang cepat dan mudah dilakukan. Metode pencarian dapat berupa
metode yang sederhana ataupun metode yang canggih sesuai dengan
fasilitas yang disediakan oleh alat pencari tertentu. (Sarwono, 2006:228).
3.5
Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan data (Moleong 2001:103).
Penelitian ini berusaha untuk mengerti ataupun memahami gejala
yang diteli untuk kemudian mendeskripsikan data-data yang diperoleh
selama penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan-bahan hukum yang
relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan
sebagaimana telah disinggung diatas.
Teknik analisa data yang dipakai oleh penulis ada teknik analisa
data kualitatif . Analisa data kualitatif merupakan upaya yang dilakukan
dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-
58
milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mengintesiskanya, mencari
dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang
lain (moleong 2007:248)
59
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Pandangan Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin
Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 /
PUU-VIII/ 2010
Anak luar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita
yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam
ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang
dipeluknya. (Abdul Manan, 2008: 80). Pasal 43 ayat (1) dan (2) UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada hanya menyebutkan “(1) Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di
atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya, hal ini sesuai dengan Pasal 100
Kompilasi Hukum Islam
Sebuhungan dengan itu kemudian keluarlah Putusan Mahkamah
Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 dikeluarkan pada tanggal 17 February 2012
berdasarkan permohonan uji materiil Undang-Undang Perkawinan No 1
Tahun 1974 yang diajukan oleh Aisyah Mochtar alias Machica mochtar.
60
Machica Mochtar mempertanyakan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) dan
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Akibat
kedua pasal tersebut, pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan
karena tidak bisa mendapatkan pengesahan status hukum bagi anaknya
Muhammad Iqbal yang merupakan hasil hubungan dari perkawinan sirri.
Amar
Putusan Mahkamah
Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010
yang
bersusunkan sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD selaku
Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono,
Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar,
dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi
oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para
Pemohon dan/atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan
Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, menyebutkan dan mengabulkan
permohonan uji materiil Machica mochtar sebagai berikut :
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya”
Mahkamah Konstitusi berpendapat tentang Putusan Mahkamah Konstitusi
sebagai berikut
61
“secara alamiah tidak mungkin seorang perempuan
hamil tanpa adanya pertemuan antara ovum dan
spermatozoa. Apakah pertemuan itu melalui
hubungan seksual, maupun melalui cara lain
berdasarkan
perkembangan
teknologi
yang
menyebabkan terjadinya pembuahan. Dengan alasan
itu, menurut Mahkamah, menjadi tidak adil manakala
hukum membebaskan laki-laki yang melakukan
hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya
kehamilan dan kelahiran anak, dari tanggung
jawabnya sebagai bapak dilepaskan dari tanggung
jawab begitu saja ”(Jurnal Konstitusi Edisi Mei NO
64 2012-3 )
Putusan
Mahkamah
Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010
mengundang
kontroversi, ada beberap pihak yang menganggap Putusan Mahkamah
Konstitusi itu memberikan jaminan dan perlindungan terhadap anak diluar
perkawinan resmi. Padahal sebelumnya, sesuai Pasal 43 ayat (1) UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 anak diluar kawin hanya punya
hubungan dengan ibu dan keluarga sang ibu. Reaksi yang paling terlihat dari
MUI. Sebab keputusan itu bertentangan dengan ajaran Islam. Jika dibiarkan
bisa menimbulkan kegelisahan, kerisauan, bahkan kegoncangan bagi umat
Islam.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan wadah atau majelis yang
menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk
menyatukan gerak dan
langkah-langkah umat
Islam Indonesia dalam
mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal,
7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai
hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama
62
yang
datang
dari
berbagai
penjuru
tanah
air.
(http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=49
&Itemid=53 )
Drs. Imam Tabroni beliau berpendapat “bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut terindikasi memutar balikkan ajaran Islam dan lebih gawat
lagi mengubah syariat agama. Padahal dalam Hukum Islam telah secara tegas
dijelaskan tentang ketiadaan hubungan keperdataan anak hasil perzinahan
dengan lelaki yang menyebab kan kelahirannya” ( Lensa Kasus Edisi Mei
2012 : 17)
MUI menafsirkan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini maka
tidak ada perbedaan status antara anak diluar kawin dengan anak yang
dilahirkan melalui sebuah perkawinan secara resmi. Sebagaimana diberitakan,
MUI Pusat telah mengeluarkan Fatwa No. 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan
Anak Hasil Zina dan Perlakukan Terhadapnya. Fatwa itu dikeluarkan pada 10
Maret 2012/18 Rabiul A Kompilasi Hukum Islam r 1433 H, ditanda tangani
oleh Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat Prof. Dr. H Hasanuddin AF, MA dan
sekretaris Dr. HM Asrorun Ni'an Sholeh, MA.
Dr Muhyidin M.Ag selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng
menanggapi tentang anak luar kawin yang dituturkan Mahkamah Konstitusi
sebagai berikut :
“anak yang lahir diluar kawin dalam putusan
Mahkamah Konstitusi itu ada tiga macam, yang
pertama ialah anak diluar kawin resmi atau biasa
63
disebut kawin sirri, yang kedua ialah anak diluar
kawin yang kemudian ketika ibunya masih hamil
kemudian dikawini oleh ayah si anak biasa disebut
kawin wanita hamil dan yang teraKompilasi Hukum
Islam r ialah anak diluar kawin yang tidak pernah
sama sekali ada perkawinan atau biasa disebut anak
zina. Menurut pandangan MUI apabila kategori
pertama anak luar kawin itu merupakan anak
bapaknya, karena dalam Hukum Islam kawin sirri itu
merupakan kawin yang sah sehingga sama dengan
anak sah, kemudian yang yang kedua anak lahir
ketika ibunya hamil dikawinin oleh suami yang
merupakan bapak biologis anaknya juga merupakan
anak yang sah dan yang ketiga anak luar kawin yang
tidak pernah dikawini tidak bisa disebut anak sah dan
merupakan anak luar kawin” (wawancaranya
dikantor MUI Jateng tanggal 13 February 2013
Pukul 13.30)
Sedangkan menurut MUI pusat, putusan Mahkamah Konstitusi itu telah
melampaui permohonan yang sekadar menghendaki pengakuan keperdataan
atas anak dengan bapak hasil perkawinan tetapi tidak dicatatkan pada KUA
(Kantor Urusan Agama) menjadi meluas mengenai hubungan keperdataan
atas anak hasil hubungan zina dengan lelaki yang mengakibatkan
kelahirannya. Ketua MUI KH Ma'ruf Amin yang menanggapi bahwa :
“Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki
konsekuensi yang sangat luas termasuk mengesahkan
hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak
hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan
kelahirannya. Dimana, hal demikian tidak
dibenarkan oleh ajaran Islam. “Akibat nyata putusan
Mahkamah Konstitusi , kedudukan anak hasil zina
dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir
dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi
kewajiban memperoleh nafkah dan terutama hak
waris, jelaslah Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut telah menjadikan lembaga perkawinan
menjadi
kurang
relevan
apalagi
sekadar
64
pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara
anak hasil zina dengan anak hasil perkawinan yang
sah tersebut.”
Ketua Dewan Pimpinan MUI, Ma'ruf Amin mengatakan keputusan Fatwa
MUI No 11 Tahun 2012 ini menggunakan Hukum Agama Islam.
“anak dari hasil zina, itu dari segi nasabnya tidak
bisa dinisbahkan pada orang tuanya . Fatwa MUI ini
justru meneguhkan perlindungan terhadap anak.
Salah satunya, dengan mewajibkan lelaki yang
mengakibatkan kelahiran anak untuk memenuhi
kebutuhan anak. Selain itu, fatwa juga melindungi
anak dari kerancuan nasab yaitu anak dari dari hasil
zina tidak punya hubungan nasab, wali kawin dan
waris,.” (Jurnal Nasional, 2012:3)
Ketua Mahkamah Konstitusi menanggapi pemberitaan mengenai pendapat
MUI dengan menegaskan “bahwa vonis Mahkamah Konstitusi itu justru
sebagai langkah untuk menghalangi perzinahan. Dengan putusan itu maka
orang yang melakukan perzinahan harus bertanggung jawab karena telah
diancam
hukuman”.
(http://jatim.tribunnews.com/2012/03/28/mahfudmdsoalstatusanaklahirluarka
win-mui-dan-Mahkamah Konstitusi bedapendapat diunduh 29/1/12 20.13)
Mahfud MD menyebutkan ”Kami menyiapkan ancaman hukuman bagi
mereka yang tidak bertanggung jawab. Ini justru menghalangi adanya
perzinahan,” (Universitas Islam Majapahit Mojokerto (UNIM) Rabu 28
Maret 2012)
65
Mahfud berpendapat MUI menyamakan hubungan keperdataan dengan
nazab. Padahal kata dia, dari sisi hukum, keduanya tidak memiliki hubungan
(berbeda).(http://jatim.tribunnews.com/2012/03/28/mahfudmdsoalstatusanaka
hirluarkawin-mui-dan-Mahkamah Konstitusi -beda-pendapat diunduh 29/1/12
20.13).
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa orang yang lahir di luar
perkawinan itu punya hubungan keperdataan dengan bapaknya. Lalu oleh
MUI hubungan keperdataan diartikan hubungan nasab. Lebih jauh Mahfud
menjelaskan, hubungan keperdataan yang dimaksud Mahkamah Konstitusi ,
tidak lantas menyebabkan anak yang lahir dari perzinahan menjadi anak yang
punya hubungan nazab. Dengan demikian kata Mahfud, seharusnya MUI tak
meributkan keputusan Mahkamah Konstitusi itu.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa perkawinan yang sah itu adalah
dilakukan menurut agama masing-masing. Sehingga anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah, tidak mempunyai hubungan nazab, tapi ada hubungan
dalam keperdataan saja dengan bapak biologisnya, itu yang harus diketahui.
(http://jatim.tribunnews.com/2012/03/28/mahfudmdsoalstatusanaklahirluarka
win-mui-dan-Mahkamah Konstitusi bedapendapat diunduh 29/1/12 20.13).
Hubungan keperdataan Dr Muhyidin M.Ag selaku Ketua Komisi Fatwa
MUI Provinsi Jateng menuturkan sebagai berikut :
“apabila anak luar kawin mempunyai hubungan
keperdataan dengan kedua orang tuanya itu sah-sah
saja. Dalam konteks hubungan keperdataan selain
66
hubungan waris ya, seperti biaya pendidikan,biaya
hidup dan biaya-biaya yang lain. Jangankan kepada
anaknya kepada orang lain yang kita tidak kenal saja
kita boleh memberikan hak keperdataan misalakan
saya memberikan uang untuk biaya pendidikan
kepada orang yang tidak saya kenal itu tidak ada
masalahkan dan tidak di halangi. Apabila putusan
Mahkamah Konstitusi mengkaitakan semua anak
luar kawin mempunyai hubungan kepedataan anak
luar kawin dengan waris yang dalam hal ini nasab
tentu tidak biasa. Karena seperti yang sebelumnya
saya jelaskan bahwa anak luar kawin ada tiga macam
dan ketiga-tiganya boleh mendapatkan hubungan
keperdataan namun untuk hubungan nasab hanya
anak luar kawin dalam perkawinan sirri dan anak
luar kawin yang kemudian ibunya dikawini oleh
bapak biologi si anak yang mendapatkanya”(
wawancara tanggal 13 February 2013 Pukul 13.50)
Chatib Rasyid ( Ketua Pengadilan Tinggi Semarang ) berpendapat sama
dengan Dr Muhyidin M.Ag. Bahwa dari Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010 ada beberapa hal yang patut menjadi catatan. Pertama,
persoalan status anak yang lahir di luar perkawinan dari kasus Machica itu
bermuara
pada
masalah
perkawinan
yang
tidak
tercatat.
Kedua,
pengembangan analisis selanjutnya adalah seputar anak yang lahir di luar
perkawinan, dan anak yang sah dalam perspektif bahasa, Undang-undang dan
perspektif kasus posisi dari kasus Machica. Ketiga, menyangkut kewenangan
Pengadilan Agama. ( Seminar Status Anak Di Luar Kawin dan Hak
Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN Walisongo
Semarang)
Menurut Chatib Rasyid Kenyataan yang ada di masyarakat luas, anak
Indonesia terdapat tiga (3) macam status kelahirannya, yaitu “Anak yang lahir
67
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah ;Anak yang lahir di luar
perkawinan ;Anak yang lahir tanpa perkawinan (anak hasil zina)”.
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 itu tidak
berdiri sendiri, sangat berkaitan dengan adanya perkawinan sebagaimana
diatur oleh pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Disebut
luar perkawinan, karena perkawinan itu dilakukan di luar prosedur pada pasal
2 ayat (2) Tidak bisa "luar perkawinan" itu diartikan sebagai perzinaan,
karena perbuatan zina itu dilakukan sama sekali tanpa ada perkawinan, beda
sekali antara luar perkawinan dengan tanpa. (Chatib Rasyid (Ketua
Pengadilan Tinggi Semarang) berpendapat dalam Seminar Status Anak Di
Luar Kawin dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012).
Perdebatan antar Mahkamah Konstitusi dengan MUI terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 menurut Chatib, yang menjadi
ialah terhadap kalimat “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” membawa
kepada perdebatan panjang.
Frasa “di luar perkawinan” sangat berbeda maknanya
dengan frasa “tanpa perkawinan”. Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan atau anak yang lahir
dari perkawinan yang dilakukan sesuai dengan
ketentuan agama dan kepercayaannya tapi tidak
tercatat pada KUA atau Kantor Catatan Sipil
merupakan anak yang sah secara materiil tapi tidak
sah secara formil.Sedangkan anak yang dilahirkan
tanpa perkawinan orang tuanya atau anak yang
dilahirkan dari hubungan antara lelaki dengan
perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan
merupakan anak yang tidak sah secara materiil juga
tidak sah secara formil (anak zina).
68
Pendapat mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi berasal dari asal
usul dari kata “anak luar kawin”yang terasa kurang tegas dan terang juga di
disampaikan oleh Irma Devita ( Diskusi Hukum online pada tanggal 29
Maret 2012 lalu, bersama dengan bapak Djafar, SH, dan Bapak Dr. H.M.
Akil Mochtar S.H.,M.H. (salah seorang hakim Mahkamah Konstitusi ).
(http://irmadevita.com/2012/pengertiananakluarkawindalamputusanMahkama
h Konstitusi diunduh 2 November 2012 pukul 22.48 )
Irma Devita menyampaikan bahwa Dr. H.M. Akil Mochtar berpendapat
mengenai Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak menyangkal
ketentuan-ketentuan hukum agama sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan
umum angka 3, sehingga bagi yang beragama Islam, implementasinya tidak
boleh ada yang bertentangan dengan prinsip- prinsip syar’i. Apabila pasal 43
Undang-Undang Perkawinan dihubungkan pasal 42 Undang-Undang
Perkawinan tersebut, maka dapat ditarik pengertian bahwa anak luar kawin
bukan merupakan anak yang sah.
Menurut Akil, “ Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hendaknya tidak
dibaca sebagai pembenaran terhadap hubungan diluar kawin dan tidak
bertentangan dengan Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 1 Tahun l974. Adapun
yang berkaitan dengan kewarisan misalnya, maka hak keperdataannya tidak
bisa diwujudkan dalam bentuk konsep waris Islam tapi dalam bentuk lain
misalnya dengan konsep wasiyat wajibah . Demikian pula yang berkaitan
dengan nafkah/ biaya penghidupan anak, tidak diwujudkan dalam nafkah
anak sebagaimana konsep hukum Islam, melainkan dengan bentuk kewajiban
69
lain berupa penghukuman terhadap ayah biologisnya untuk membayar
sejumlah uang/ harta guna keperluan biaya hidup anak yang bersangkutan
sampai
dewasa”
(http://irmadevita.com/2012/pengertian-anak-luar-kawin-
dalam-putusan-Mahkamah Konstitusi diunduh tanggal 2 November 2012
pukul 22:47)
Ketentuan tentang nafkah anak dan waris itu berkaitan dengan nasab,
padahal anak luar kawin tidak bisa dinasabkan pada ayah biologisnya. Inilah
yang memicu timbulnya protes terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No.
46/PUU-VIII/2010 sebab putusan tersebut mengesankan adanya pertalian
nasab antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya. Andai kata dalam
putusan tersebut ada penegasan bahwa nasab anak dikembalikan pada hukum
agamanya,
niscaya
tidak
menimbulkan
kontroversi.
(http://irmadevita.com/2012/pengertiananakluarkawindalamputusanMahkama
h Konstitusi diunduh tanggal 2 November 2012 pukul 22:47 )
Akil Mochtar menyebutkan dalam pengujian pasal 2 ayat (2) UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Mahkamah Konstitusi berpendapat
“pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor
yang menentukan sahnya perkawinan. Sahnya
perkawinan adalah bila telah dilakukan sesuai
dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh agama
dari masing-masing pasangan calon mempelai; dan
(2) pencatatan merupakan kewajiban administratif
yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundangundangan. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa perkawinan sirri juga merupakan
perkawinan yang sah. Tidak dicatatkannya suatu
perkawinan dalam catatan administratif negara, tidak
70
lantas menjadikan perkawinan tersebut tidak sah.
(Hukumonline pada tanggal 29 Maret 2012)”
Anak yang lahir dalam perkawinan sirri digolongkan pada anak luar
kawin. Dengan diakuinya perkawinan yang sesuai dengan ajaran agama
masing-masing mempelai namun tidak dicatatkan sebagai suatu perkawinan
yang sah maka seharusnya anak yang lahir dari perkawinan tersebut termasuk
sebagai anak sah. Namun kenyataannya, anak itu digolongkan sebagai anak
luar kawin ujur Irma Devita.
Chatib Rasyid berpendapat bahwa “putusan Mahkamah Konstitusi tidak
perlu dipertentangkan atau dinyatakan sesuai dengan syari’ah karena secara
hakiki tidak ada yang sesuai dan tidak ada yang bertentangan dengan
syari’ah”. Sehubungan dengan itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D
mengklarifikasi putusan tersebut dengan menyatakan bahwa yang dimaksud
majelis dengan frasa “anak di luar perkawinan” bukan anak hasil zina,
melainkan anak hasil kawin sirri.
Klarifikasi yang dilakukan oleh Mahfud M.D menurut Chatib Rasyid itu
sudah benar, karena Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010
tanggal 17 Februari 2012, memberikan putusan atas permohonan Machica
yang telah kawin dengan Moerdiono sesuai Undang-Undang Perkawinan No.
1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat (1), jadi oleh karena Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut mengabulkan permohonan Machica yang sudah mekawin
dengan Moerdiono. Sangat naif bila diterapkan untuk kasus perzinahan, hal
ini sesuai dengan Kaidah Ushul Figh yang mengatakan bahwa “Perintah pada
71
sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi sarananya hukumnya
sama dengan hal yang dituju”
Drs. H Syamsul Anwar.S.H.,M.h ( ketua pengadilan agama kelas 1a
majalengka) DRS. Isak Munawar, M.H. ( Hakim pada Pengadilan Agama
Kelas I A Majalengka ). Menyebutkan dengan demikian sejalan dengan pasal
43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang rumusannya
sama dengan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam , adalah : “anak yang lahir di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya”. Dapat dikatakan yang termasuk anak yang lahir di luar
perkawinan adalah :
“(1)Anak yang dilahirkan oleh wanita yang
tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah
dengan pria yang menghamilinya.(2) Anak
Yang dilahirkan oleh wanita akibat korban
perkosaan oleh satu orang pria atau lebih.(3)
Anak yang dilahirkan oleh wanita yang dili’an
(diingkari) oleh suaminya.(4) Anak yang
dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya
akibat salah orang (salah sangka), disangka
suami ternyata bukan. (5) Anak yang dilahirkan
oleh wanita yang kehamilannya akibat
perkawinan yang diharaMahkamah Konstitusi
an seperti mekawin dengan saudara kandung
atau saudara sepesusuan.”
Hukum Islam anak Subhat yang apabila diakui oleh Bapak subhatnya,
nasabnya dapat dihubungkan kepadanya. Sedangkan angka 1, 2 dan 3 adalah
termasuk
dalam
kelompok
anak
zina’.
(http://badilag.net/artikel/10609nasabanakdiluarperkawinanpaskaputusanmah
kamahkonstitusidrshsyamsulanwarshmhdandrsisakmunawarmh164.hmtl&sa=
72
U&ei=eUTUZ6lII7jkgWo9YCoDA&ved=0CAkQFjAB&client=internaludscs
e&usg=AFQjCNGwfIcptnaDVIH52Y9kCRMc44Nx-Q diunduh 6 Februari
2013 pukul 22:23)
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, tidak serta merta
(tidak otomatis) berlaku sebagai bukti, “ Sahnya anak “ sekalipun terhadap
dari Muhammad Iqbal Ramadhan sebagai pemohon uji Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 terhadap Undang-undang Dasar 1945, maka
untuk menetapkan sahnya anak, harus melalui putusan pengadilan yaitu
Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri
bagi
yang
lainnya.
(http://badiag.net/data/ATIKEL/MAJALAH2MAKNA%2520ANAK.pdf&sa
+U&ei+eUTUZ6lII7jkgWo9YCoDA&ved=0CA4QFjAD&client=internaluds
cse&usg=AFQjCNGDptOQyVCPmSZ2_M6LGIS94HwuDQ\
Diunduh
tanggal 6 Februari 2013 22:24).
Dari uraian-uraian mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010 menurut Chatib Rasyid dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut
“(1). Yang dimaksud dengan “ Anak yang lahir di
luar perkawinan “ adalah anak yang lahir dari
perkawinan menurut agama, tetapi tidak tercatat
menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku , dalam arti kata : sah secara matriil tetapi
tidak sah secara formil. Tidak termasuk anak yang
lahir tanpa perkawinan ( anak zina ), karena anak
zina sama sekali tidak tersentuh dengan
perkawinan.(2). Untuk melegalkan “ Anak yang lahir
diluar perkawinan “ secara hukum adalah dengan
terlebih dahulu melakukan pengesahan (isbat kawin)
di Pengadilan dan dilanjutkan dengan pengesahan
73
anak di Pengadilan yang sama. Dengan telah adanya
pengesahan anak dari Pengadilan maka anak yang
lahir diluar perkawinan sudah seutuhnya sama
dengan anak yang lahir dalam atau akibat
perkawinan yang sah. (3)Anak yang lahir tanpa
perkawinan (anak hasil zina) tidak dapat dilegalkan
secara hukum, karena disamping tidak ada lembaga
pengesahan zina juga perbuatan zina adalah
merupakan perbuatan yang melanggar hukum yang
tidak
layak
mendapat
legalisasi
hukum.
(http://badiag.net/data/ATIKEL/MAJALAH2MAKN
A%2520ANAK.pdf&sa+U&ei+eUTUZ6lII7jkgWo9
YCoDA&ved=0CA4QFjAD&client=internaludscse
&usg=AFQjCNGDptOQyVCPmSZ2_M6LGIS94H
wuDQ\ Diunduh tanggal 6 Februari 2013 22:24)
Kaitanya dengan hubungan Hukum Islam dengan putusan Mahkamah
Konsititusi Dr Muhyidin M.Ag sebagai berikut
“Hukum Islam dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi itu berbeda, artinya dua hal yang tidak
bisa dihubungkan, apabila putusan Mahkamah
Konstitusi itu menjadi pedoman bagi peraturanperaturan dibawahnya dan diterapkan oleh
Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Jadi
sebenarnya ada atau tidaknya Putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap anak
luar
kawintidak
berpengaruh dalam Hukum Islam. Karena didalam
Hukum Islam anak luar kawin didalam perkawinan
yang sah walaupun tidak dicatatkan kedudukan
anaknya sama dengan anak sah. Kecuali anak luar
kawin zina,anak zina tidak bisa berubah menjadi
anak apapun. Sebenarnyakan dalam kaitanya
permohonan Machica Moctar itukan yang
dimohonkan adalah dihapusnya pasal pecatatan
perkawinan karean Machica Moctar merasa sudah
menikah secara sah namun karena adanya pasal
pencatatan sehingga kedudukan iqbal yang memang
anak sah terganjal.” (wawancaranya Rabu 13
February 2013 pukul 14.00 Wib)
74
Dr Muhyidin M.Ag juga menjelaskan tentang perkawinan yang tidak
dicatatkan seperti halnya perkawinan sirri sebagai berikut :
“Nikah sirri itu kan sah menurut hukum sebenarnya,
karena sudah sesuai dengan syariat Hukum Islam,
MUI juga pernah mengeluarkan Fatwa Nikah
Dibawah Tangan yang dihasilkan dalam Keputusan
Komis B Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia
Tahun 2006 Tentang Masail Waqi'iyyah Mu'asyirah
dimana disebutkan Nikah Di Bawah Tangan yang
dimaksud dalam fatwa ini adalah “Perkawinan yang
terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan
dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan
resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan Dibawah Tangan hukumnya sah karena
telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi
haram jika terdapat mudharat.”
Diantara pro dan kontra putusan Mahkamah Konstitusi kemudian
Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edara MA (SEMA) No 7 tahun 2012
tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung
Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang didalamnya
membahas masalah anak luar kawin dan nikah sirri. Didalam bagian
Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung Republik
Indonesia Tanggal 03 S/D 05 Mei 2012 .
Mahkamah Agung (MA) memerintahkan seluruh hakim di Indonesia
melaksanakan putusan Mahkamah soal hak anak di luar kawin. Namun
Mahkamah Agung menegaskan, hak tersebut tidak disebut sebagai waris.
Menurut Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan
Mansur, selain didorong putusan Mahkamah Konstitusi , hal ini didasarkan
atas Mazhab Hanafiah. Yaitu anak hasil perzinaan berhak mendapat nafkah
75
dari ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya. Ridwan Mansur
mengatakan saat berbincang dengan detikcom, Senin (4/2/2013) pagi “Ini
didasarkan pendapat Mazhab Hanafiah, istilahya bukan waris, tetapi
menafkahi segala biaya hidup anak sesuai kemampuan ayah biologisnya dan
kepatutan”(http://news.detik.com/read/2013/02/04/081755/2160080/10/maper
intahkanhakimlaksanakanputusanMahkamahKonstitusisoalhakanakhasilzina?
nd771104bcj diunduh tanggal 8 Februari 2013 pukul 4:44).
Pendapat Mahkamah Agung ini telah dituangkan oleh Komisi Bidang
Peradilan Agama Mahkamah Agung beberapa waktu lalu. Dalam keputusan
ini menyatakan anak yang dilahirkan dari hasil hubungan perzinaan berhak
mendapatkan nafkah dari ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya.
Menurut Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
pengujian Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974
tentang status anak luar kawin adalah putusan yang progresif. Ridwan
Mansur juga mengatakan :
“Kesimpulan Komisi Bidang Peradilan Agama MA
sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang
secara progresif mengubah pandangan masyarakat
bahwa anak luar kawin termasuk anak hasil
perzinahan hanya memiliki hubungan hukum dengan
ibunya,”
Ada beberapa poin pokok dalam SEMA No 7 tahun 2012 yang
tertera dalam uraian khusus Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama
Mahkamah Agung Republik Indonesia Tanggal 03 S/D 05 MEI
76
2012.(http://news.detik.com/read/2013/02/04/144843/2160595/10/inikeput
usanlengkapma-soal-hak-anak-yang-lahir-diluarperkawinan?nd771104bcj)
“Anak yang dilahirkan dari hasil zina sebaiknya
untuk memenuhi rasa keadilan dan kepentingan anak
serta hak azasi anak. Hal ini menerapkan pendapat
mazhab Hanafiah, di mana anak hasil zina berhak
mendapat nafkah dari pihak ayah biologisnya dan
keluarga ayah biolgisnya. Anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang tidak tercatat oleh pejabat yang
berwenang, berhak untuk memperoleh nafkah dan
wasiat wajibah dari ayahnya tersebut. Anak yang
lahir dalam perkawinan sirri dapat mengajukan
permohonan pengesahan anak ke pengadilan agama,
karena anak mempunyai hak azasi untuk mengetahui
dan memperoleh kepastian siapa orang tuanya”
Langkah Mahkamah Agung (MA) mengambil jalan tengah atas kasus ini
membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) awalnya gerah dengan putusan
Mahkamah Konstitusi soal kedudukan anak di luar perkawinan menjadi
tersenyum. Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am saat berbincang
dengan detikcom, Senin (4/2/2013). Menyampaikan "Keputusan Mahkamah
Agung ini tidak mengubah struktur nasab/garis keturunan. Ini keputusan yang
sangat bagus,"
MUI khawatir putusan Mahkamah Konstitusi akan menarik anak zina ke
dalam garis keturunan. Namun hal ini ternyata tidak masuk dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 tahun 2012 ini. SEMA tersebut
sangat sejalan dengan kaidah Islam. "Esensi Keputusan MA ini adalah
menghukum terhadap lelaki hidung belang dan untuk menjamin hak anak
tanpa menetapkan status anak dan waris," jelas Asror.
77
Berbeda dengan SEMA No 7 tahun 2012, Dr. Muhyidin M.Ag kurang
sependapat, beliau menyampaikan sebagai berikut :
“Nikah Sirri itu tidak bisa diitsbatkan kepengadilan
agama dan tidak perlu diitsbatkan. Karena nikah sirri
itukan perkawinan yang sah menurut hukum Islam.
Apabila dilihat dari hukum isla ya tetap sah, kecuali
dilihat dari hukum nasional. Namun terbebas dari hal
itu, saya merasa bahwa MA lebih berpihak dengan
MUI karena dalam SEMA menjadi tengah-tengah
antara Mahkamah Konstitusi dengan MUI. Saya
berpendapat SEMA ini membatalkan Putusan
Mahkamah Konstitusi, karena Pengadilan Agama
berpedoman dengan Mahkamah Agung, bukan
Mahkamah Konstitusi”
Karena Nikah Sirri adalah perkawinan yang sah hanya menurut agama
Islam dan belum tercatat dalam hukum negara. Apabila diperlukanya
pencatatan nikah, maka harus diajukan istbat nikah terlebih dahulu di
Pengadilan Agama kemudian diajukan pengakuan / pengesahan anak.
Walaupun dalam Islam tidak mengenal adanya pengakuan, namun dengan
keluarnya surat edaran dari Pengadilan Tinggi Agama Semarang Nomor:
W11-A/863/HK.00.8/III/2012 tertanggal 19 Maret 2012, yang menyatakan
Pengadilan Agama dapat menerima Permohonan tentang Pengesahan Anak,
sepanjang memenuhi syarat dan mengacu kepada:
“UUD 1945 Pasal 28-B ayat (1), yaitu “Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah” Perkawinan
yang sah adalah perkawinan yang telah memenuhi
syarat dan rukun perkawinan sesuai Hukum Islam,
baik tercatat maupun tidak. Jika tidak, bisa
melakukan Istbat nikah di Pengadilan Agama. Dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum”
78
Surat Edaran PTA Semarang tersebut terbit karena adanya putusan
Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 mengenai status anak
luar kawin. Sehingga antara Kompilasi Hukum Islam dengan UndangUndang Perkawinan sangat erat kaitannya.
Karenanya anak luar kawin dalam perkawinan sirri mempunyai
kedudukan yang sama dengan anak sah maka hak dan kewajiban yang
timbulpun sama. Sehingga dapat diartikan bahwa anak luar kawin juga
mempunyai bagian waris yang sama dengan anak sah sebagai ahli waris.
Namun harus dijukan pengesahan anak terlebih dahulu seperti yang tertuang
diuraian sebelumnya.
Disimpulakan dalam pembahasan ini bahwa anak luar kawin dalam Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 merupakan anak luar
kawin yang lahir dalam perkawinan yang sah namun belum dicatatkan seperti
yang dianjurkan oleh Undang-Undang Perkawinan. Dalam kaitanya dengan
Hukum Islam maka, anak tersebut sama dengan anak yang sah, karena nikah
sirri itu merupakan nikah yang sah. Sehingga bagian warisnya sama dengan
anak sah pada umumnya.
79
4.1.2 Bagian Waris dalam Hukum Islam terhadap anak luar kawin sebagai
ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46 / PUU-VIII/
2010
Permasalah anak luar kawin tidak hanya sampai pada pengertian dan
makna anak luar kawin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010 saja, karena dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut
membahas tentang hak keperdataan anak luar kawin dengan sang ayah
biologi tentunya permasalahan selanjutnya bagaimana hak keperdataan
seorang anak luar kawin dari sang ayah didapatkannya .
Mahfud MD menyatakan, hubungan perdata yang diberikan kepada anak
di luar perkawinan tidak berbentuk nasab, waris, dan wali nikah.Hak yang
dapat dituntut anak di luar perkawinan yang tidak diatur fiqih, antara lain,
berupa hak menuntut pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi
karena perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain. Intinya adalah
hak-hak perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah, atau hak perdata apa
pun yang tidak terkait dengan prinsip-prinsip munakahat sesuai fiqih.( Padang
Express Kamis, 29/03/2012 12:16 WIB)
Menurut Akil Mochtar anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri,
seharusnya, termasuk dalam anak sah karena dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi telah diakui bahwa perkawinan yang dilakukan sesuai
dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh agama masing-masing pasangan
calon mempelai adalah perkawinan yang sah meskipun perkawinan itu tidak
dicatat
dalam
catatan
administratif
negara.
80
(http://irmadevita.com/2012/perlindungananakluarkawinpascaputusanMahka
mah Konstitusi diunduh 29 January 2013 Pukul 15:51)
Akan tetapi, dalam prakteknya anak yang dilahirkan dalam perkawinan
sirri justru digolongkan kedalam anak luar kawin sehingga si anak tidak
memperoleh hak-hak keperdataan sebagaimana mestinya. Anak dalam akta
kelahirannya tidak dicantum nama bapaknya sehingga muncul stigma negatif
di masyarakat. Ditambah lagi, berkembang praktek di masyarakat bahwa
perkawinan sirri merupakan praktek poligami terselubung. Pihak laki-laki,
terutama, seringkali menyangkal adanya perkawinan tersebut sehingga hakhak
anak
yang
lahir
dalam perkawinan
tersebut
tidak
dipenuhi(
http://irmadevita.com/2012/perlindungananakluarkawinpascaputusanMahkam
ah Konstitusi diunduh 29 January 2013 Pukul 15:51)
Irma Devita menjelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam asal-usul anak
hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran. Akan tetapi Pengadilan
Agama diberikan kewenangan untuk mengeluarkan ketetapan (itsbat) bila
tidak ada akta kelahiran dari anak tersebut. Pengadilan memeriksa asal-usul
anak dengan mendasarkan pada alat-alat bukti yang sah, seperti keterangan
saksi-saksi, tes DNA, pengakuan ayah (istilhaq), sumpah ibunya dan alat-alat
bukti lain yang sah menurut hukum.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Umar Shihab, juga menyambut
baik putusan Mahkamah Konstitusi itu. Menurut Umar, putusan ini bisa
menjadi dasar hukum bagi hakim dalam memutus sengketa anak.
81
“Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010 ini menjadi dasar hukum bagi hakim
dalam memutus. Kalau tes DNA-nya bilang itu
ayahnya, ya dia harus bertanggung jawab, Anak yang
lahir di luar nikah kan ada dua kemungkinan, anak
diakui oleh ayahnya atau tidak. Kalau ayahnya
mengakui maka tidak menjadi masalah. Kalau tidak
mengakui akan dibuktikan ke pengadilan.”
Selanjutnya, pembuktian di pengadilanlah yang akan menentukan nasib
anak apakah benar anaknya atau tidak, yaitu dengan menggunakan sarana
ilmu pengetahuan atau teknologi yang tersedia dan diakui secara hukum.
Adapun untuk perkawinan sirri, menurut Umar, tidak ada masalah dalam
Islam. Sebab, Nikah Sirri diakui secara sah dalam syariat Islam. Seandainya
di belakang hari laki-laki mengelak tidak mengakui perkawianan tersebut
maka tinggal dibuktikan di pengadilan. Umar juga menegaskan sebagai
berikut “Bedanya kalau anak yang lahir di luar perkawinan dia tidak
mendapat hak waris. Tapi kalau lahir dalam perkawinan sirri maka secara
agama tetap dapat hak waris, nasab, nafkah, biaya pendidikan dan
sebagainya” (Majalah Konstitusi edisi February 2012 halaman 17)
Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 menjadikan anak
luar kawin sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (persona in
judicio) dalam perkara kewarisan di pengadilan dan berhak memperoleh harta
warisan ayah biologisnya dengan keharusan mampu membuktikan adanya
hubungan darah berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti
lain
menurut
hukum.
82
(http://news.detik.com/read/2012/02/20/085328/1846287/103/pengakuanhakk
eperdataan-anak-luar-kawin diunduh tanggal 2 November 2012 pukul 22:58)
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, HM
Nurul Irfan, berpendapat Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010 tersebut memang mengarah ke pembagian harta ayah kepada anak
di luar nikah. Tapi, pembagian harta tersebut tidak bisa diimplementasikan
sebagai warisan menurut konsep dasar hukum Islam, yaitu anak laki-laki
mendapat harta dua kali lipat ketimbang anak perempuan.
Hal tersebut dikarenakan warisan menurut konsep dasar Hukum Islam
memiliki syarat seperti adanya nasab atau hubungan sah menurut perkawinan.
Nasab sendiri adalah keturunan darah atau hubungan-hubungan kekerabatan
di dalam Islam melalui perkawinan yang sah. Atau, melalui pengakuan
seorang laki-laki bahwa itu anaknya yang diikuti dengan adanya bukti-bukti
DNA dan tes darah. Nurul Ifan menyampaikan :
Kalau mau disinkronisasi dengan konsep dasar
Hukum Islam jangan diberi nama waris. Kalau waris
syaratnya harus ada hubungan kekerabatan yang sah.
Kalau anak di luar nikah kan tidak sah (menurut
hukum). Jadi silakan memperoleh haknya tetapi
bukan nama waris, misalnya, hibah, sedekah dan
lain-lain.
A Mukti Arto menyampaikan dalam diskusi hukum hakim PTA Ambon
dan PA Ambon bersama Pejabat Kepaniteraan pada tanggal 16 Maret 2012 di
Auditorium PTA Ambon dalam pengubahan Pasal 43 ayat (1) UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tersebut, maka kita harus kembali
83
kepada nilai-nilai dasar syariah Islam dan asas-asas umum serta asas-asas
hukumnya agar dapat memahami perubahan hukum konkritnya mengenai
anak,
hubungan
darah,
dan
tanggung
jawab
ayah.
(http://badilag.net/data/ARTIKEL/DISKUSI%20HUKUM.pdf diunduh 6 february
2013 pulul 22:27)
A Mukti Arto dalam bahan diskusinya menyebutkan hubungan perdata
yang timbul akibat dari adanya hubungan darah ini meliputi hubungan
hukum, hak dan kewajiban antara anak dengan ayah dan ibunya yang dapat
berupa:
(1)hubungan nasab; (2) hubungan mahram; (3)
hubungan hak dan kewajiban; (4) hubungan
pewarisan (saling mewarisi) yang merupakan
pelanjutan hubungan hak dan kewajiban karena
nasab ketika mereka sama-sama masih hidup; dan (5)
hubungan wali nikah bagi anak perempuan.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD meminta para ulama memahami
keputusan Mahkamah Konstitusi terkait kedudukan anak diluar nikah.
Dikatakannya, keputusan itu mengandung pengertian setiap anak yang lahir
memiliki hubungan keperdataan kepada kedua orang tua.Saat membuka
pengajian Konstitusi di PP Tebuireng Jombang yang dihadiri Katib Aam
PBNU KH Malik Madany, dan RAis Syuriyah PBNU KH Masdar F Masudi,
Mahfud MD mengatakan “jangan samakan antara hubungan nasab dengan
hubungan keperdataan. Kalau hubungan perdata artinya anak memiliki hak
kepada
orang
tuanya”
84
(http://www.nu.or.id/a,publicm,dinamics,detailids,44id,37360lang,idc,nasionalt,Mah
fud+MD++Bedakan+Hubungan+Keperdataan+dengan+Soal+Nasab.phpx) :
Adanya keputusan Mahkamah Konstitusi, dikatakan Mahfud berarti tidak
boleh menelantarkan anak walapun yang dihasilkan di luar nikah. Saat ini
diakuinya, memang masih ada kesalahpahaman pengertian, terkait keputusan
itu, yaitu anak yang lahir diluar nikah memang tidak memiliki nasab.
Disampaikan mantan menteri era presiden Abdurrahman Wahid alias Gus
Dur ini, sekarang adalah waktunya segera mengisi hukum-hukum terkait hak
keperdataan anak yang lahir diluar nikah. MUI seharusnya segera mengatur
hal-hal keperdataan atas anak hasil hubungan diluar nikah. Yang menurut
Fiqh Muamalah diperbolehkan.
Terkait dengan anak yang berada dalam perkawinan sirri Asrorun Ni'am
menyatakan "Tinggal minta penetapan dari pengadilan agama (bahwa anak
tersebut adalah anak kedua orangtua yang menikah Sirri”.
Asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran (Pasal 55
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal 103 Kompilasi Hukum
Islam). Apabila tidak ada akta kelahiran, maka dapat dimintakan ketetapan
hukum (itsbat) kepada Pengadilan Agama (PA). Pengadilan memeriksa asalusul anak berdasarkan alat-alat bukti yang sah, seperti saksi, tes DNA,
pengakuan ayah (istilhaq), sumpah ibunya dan/atau alat bukti lainnya.
Apabila telah dapat dibuktikan siapa ayah dari anak tersebut, maka PA
memberi keputusan dengan menetapkan bahwa anak tersebut adalah anak dari
85
ayahnya dimaksud. Berdasarkan penetapan pengadilan, Kantor Catatan Sipil
(KCS) mencatat dalam buku akta kelahiran dan kepada yang bersangkutan
diberikan kutipannyaApabila tidak terdapat bukti yang cukup untuk
menetapkan siapa ayah dari anak tersebut, maka pengadilan menetapkan
bahwa anak tersebut adalah anak ibunya saja.(A. Mukti Bahan diskusi hukum
hakim PTA Ambon dan PA Ambon bersama Pejabat Kepaniteraan pada
tanggal 16 Maret 2012 di Auditorium PTA Ambon diunduh 6 February 2013
pukul 22:27.)
Dalam Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing.
Salah satu sabda Nabi dalam Hadis riwayat Muttafaq ‘alaih yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Nabi SAW bersabda: Berikanlah
bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk
orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya)” (Rofiq, 2003: 380)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hukum Waris adalah suatu hukum
yang mengatur tentang hak dan kewajiban serta tata cara pembagian harta
peninggalan dari seseorang yang sudah meninggal (Pewaris) kepada para
keluarga dan kerabat-kerabatnya yang ditinggalkan (ahli waris).
86
Saling mewarisi terjadi antara pewaris dengan ahli warisnya. Proses saling
mewarisi tidak sedemikian rupa terjadi dengan sendirinya, ada beberapa
sebab-sebab terjadinya saling waris. Ahmad Rofiq dalam bukunya Hukum
Islam diIndonesia menyebutkan bahwa sebab saling mewarisi ialah
a) Al-Qarabah (pertalian darah)
Al-Qarabah (pertalian darah) disini diartikan bahwa
sebab saling mewarisi berasal dari hubungan pertalian darah,
dimana semua ahli waris yang mempunyai hubungan darah
mendapatkan
bagianya
sesuai
dengan
dekat
jauhnya
kekerabatanya. Baik itu laki-laki, perempuan dan anak-anak,
bahkan bayi yang masih dalam kandunganpun memiliki hak
yang sama dengan orang dewasa.
b) Al – Musahrah (hubungan perkawinan)
Sebab saling mewarisi Al – Musahrah berasal dari
perkawinan yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan,
baik menurut hukum agama dan kepercayaan maupun hukum
negara yang menyebabkan adanya hubungan saling mewarisi.
c) Al – Wala (memerdekakan hamba sahaya)
Al – Wala adalah hubungan kewarisan karena seorang
memerdekakan hamba sahnya, atau melalui perjanjian tolong-
87
menolong. Laki-laki disebut mu’tiq dan perempuan disebut
mu’tiqah. Bagiannya 1/6 dari harta warisan pewaris.
Kompilasi Hukum Islam pasal 174 menggolongkan ahli waris terdiri
atas :
a) Menurut Hubungan Darah
-
Golongan Laki-laki terdiri ayah, anak laki-laki, saudara
laki-laki, paman dan kakek.
-
Golongan Perempuan terdiri ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dari nenek
b) Hubungan Perkawinan, terdiri atas dudu atau janda.
Dilihat dari bagian yang diterima atau haknya ahli
waris dibedakan menjadi tiga yaitu :
1.
Ahli waris ashab al-farud yaitu ahli waris yang
telah ditentukan bagian-bagiannya. Misalkan 12,
13 dan lain-lainya.
2.
Ahli waris ashab al-usubah yaitu ahli waris yang
ketentuan bagiannya adalah menerima sisa setelah
diberikan kepada ashab al-farud,seperti anak lakilaki, ayah , paman dan lain sebagainya.
3.
Ahli waris Zawi al – arham yaitu
orang yang
sebenarnya mempunyai hubungan darah dengan si
pewaris, namun karena dalam ketentuan nas tidak
88
diberi bagian, maka mereka tidak berhak menerima.
Kecuali ahli waris tersebut termasuk golongan Ahli
waris ashab al-farud dan Ahli waris ashab alusubah.
Untuk mengetahui secara lebih detail ahli waris terdiri atas skema sebagai
berikut (lubis, 2004:78) :
Skema Ahli Waris
5A
4
3A
3
4A
8A
7A
6A
1A
9A
2A
10
11
10
10
M
5
6
1
8
9
2
14
10A
15
7
89
Keterangan:
1.
Nomor dalam kotak adalah nomor ahli waris
2.
Nomor Urut 1 sampai dengan 15 (sebelah kanan) adalah
golongan laki-laki
3.
Nomor urut 1A sampai 10A (sebelah kiri)adalah ahi waris
perempuan
4.
Tanda panah keatas berarti seterusnya keatas, sedangkan
tanda panah kebawah berarti seterusnya kebawah.
5.
Garis lurus berarti mempunyai hubungan darah.
6.
Garis putus-putus berarti hubungan perkawinan.
Keterangan Skema :
M = Si Mayat / meninggal / pewaris
1.
= Anak laki-laki
2.
= Cucu laki-laki dari anak laki-laki. Tanda panah kebawah
menunjukan garis keturunan samapai kebawah. Cicit lakilaki, piut laki-laki dst.
3.
= Bapak
4.
= Kakek. Tanda panah keatas menunjukan seterusnya keatas.
Ayahnya kakek, kakeknya kakek jika ada.
5.
= Saudara laki-laki kandung si mayat (saudara se ayah dan se
ibu)
6.
= Saudara laki-laki seayah saja
7.
= Saudara seibu saja
90
8.
= Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
9.
= Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
10.
= Saudara laki-laki bapak (dari bapak) yang seibu sekalipun
yang terjauh.
11.
= Saudara laki-laki bapak
12.
= Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang seibu
sebapak
13.
= Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sebapak.
14.
= Suami (apabila yang meninggal seorang perempuan)
15.
= Laki-laki yang memerdekakan si mayat dari perbudakan
1A. = Anak perempuan (Saudara kandung dari 1)
2A. = Cucu perempuan dari anak laki-laki
3A. = Ibu
4A. = Nenek (Ibu dari Ibu)
5A. = Nenek (Ibu dari Bapak)
6A. = Saudara perempuan yang seibu sebapak kandung
7A. = Saudara perempuan yang sebakap saja
8A. = Saudara perempuan seibu saja
9A. = Istri (apabila yang meninggal suami/ si mayat laki-laki)
10A. = Perempuan yang memerdekakan si mayat dari perbudakan.
Saling mewarisi tidak akan terlaksana apabila ahli warisnya memiliki
penghalang saling mewarisi. Penghalang saling mewarisi terdiri atas :
(Baidhowi, 2010:41 )
91
1. Pembunuhan
Sesuai dengan Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam yang
menyebutkan bahwa seorang terhalang menjadi ahli waris
apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
2. Berbeda Agama
Didalam Pasal 171 huruf c menyatakan Ahli waris
adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris.
3. Perbudakan
Budak menjadi penghalang mewarisi, karena status
dirinya yang dipandang sebagai tidak cakap melaukan
perbuatan hukum.
Sebelum menentukan besarnya bagian anak luar kawin sebagai ahli waris
maka terlebih dahulu kita mengetahui apakah si anak ini mempunyai
penghalang atau apakah anak ini menjadi penghalang bagi ahli waris yang
lain. Dalam sistem kewarisan Islam mengenal adanya Hijab atau terhalang
memperoleh warisan dipewaris. Hijab dapat dikualifikasikan menjadi 2 yaitu
(Lubis, 2004: 86) :
92
1. Hijab Hirman
Hijab Hirman yaitu penghalang yang menyebabkan
sesorang ahli waris tidak memperoleh sama sekali warisan
disebabkan ahli waris yang lain. Misalkan seorang cucu kan
terhijab jika si mayat mempunyai anak.
Mayat
Anak Pr
Anak lk
Anak Pr
Cucu lk/pr
Dari skema diatas anak laki-laki merupakanhijab
hirman bagi cucu laki-laki atau perempuan, karena adanya
anak laki-laki cucu tidak menerima bagian sama sekali.
2. Hijab Nuqsan
Adapun Hijab Nuqsan adalah penghalang yang
menyebabkan berkurangnya bagian seorang ahli waris.
Suami (meninggal)
AL
AL
Istri
AP
AP
93
Baik
anak
laki-laki
maupun
anak
perempuan
merupakan hijab nuqsan bagi si istri, sebab dengan adanya
anak, maka bagian yang diperolehnya menjadi berkurang,
yaitu dari 1/4 bagian menjadi 1/8 bagian.
Dalam bagian ahli waris atas suatu warisan ada yang bagianya sudah
ditentukan dan dipertegas didalam Al-Quran seperti dalam skema ahli waris
yang diuraikan sebelumnya masih ada lagi kelompok ahli waris yang tidak
mempunyai bagian tertentu, dengan kata lain tidak ditegas kan dalam AlQuran maupun As-Sunnah. Ahli waris yang demikian disebut dengan
Ashabah (lubis, 2004:98)
Ashabah merupakan ahli waris yang menunggu sisa pembagian dari ahli
waris yang telah ditentukan bagiannya, dengan keistimewaan ashabah ini ia
akan mengambil pengahiban dari harta sisa yang telah dibagikan sebelumnya.
Secara umum Ashabah dibagi atas 2 yaitu Ashabah Nasabiyah dan Ashabah
Ma’al Ghair.
1. Ashabah Nasabiyah
yaitu seorang ahli waris menjadi
Ashabah dikarenakan adanya hubungan darah dengan si
pewaris.
Ashabah Nasabiyah terbagi atas 3 yaitu :
a)
Ashabah bi Nafsi, yaitu ia menjadi ashabah dengan
dirinya sendiri maksudnya disebabkan karena
94
kedudukanya. Adapun ahli waris ini ialah seluruh
ahli waris yang laki-laki kecuai suami dan saudara
laki-laki seibu.
b)
Ashabah bil Ghair, menjadi ashabah disebabkan
orang lain. Hal ini terjadi pada ahli waris
perempuan
dimana
sebelumnya
dia
bukan
merupakan ashabah, namun dengan adanya ahli
waris laki-laki yang sederajat dengannya maka ia
menjadi ashabah.
c)
Ashabah Ma’al Ghair , menjadi ashabah karena
mewarisi bersama orang lain. Yang menjadi ahli
waris ini ialah saudara seibu sebapak karena
mewarisi
bersama
anak
perempuan,
cucu
perempuan dan seterusnya.
2. Ashabah Sababiyah yaitu menjadi ashabah dikarenakan
adanya sesuatu sebab. Sebab yang dimaksud karena adanya
kemerdekaan si mayat dari perbudakan.
Setelah mengetahui hal-hal yang ada dalam pewarisan sebelum harta
peninggalan dibagikan oleh si pewaris, selanjutnya mengetahui porsi setiap
ahli waris dalam pewarisan Islam. Namun sebelum dibagikan harta
peninggalan sebelum dibagi sebagai harta waris terlebih dahulu harus
diselesaikan masalah hutang piutang pewaris (yang meninggal) dan biaya
pemakaman serta wasiat yang dibolehkan (bila ada).
95
Disamping itu bila si mayit meninggalkan istri (janda) atau suami (duda)
dan masih terikat perkawinan perlu dipisahkan lebih dahulu antara harta
bawaan (harta yang dipunyai sebelum menikah) dan harta bersama (harta
yang diperoleh setelah perkawinan atau harta gono-gini).
Jadi yang menjadi harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari
harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit
sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhis), pembayaran hutang
dan pemberian kerabat (Pasal 171 huruf e KHI ).
Setelah semua urusan dari sipewari telah selesai, barulah harta warisan itu
dibagikan sesuai dengan porsi ahli waris masing-masing.
Dari tabel dijelaksan tentang porsi setiap ahli waris. Anak luar kawin yang
dalam hal ini merupakan anak sah, maka kedudukan waris anak luar kawin
sama dengan anak sah. Bila anak tersebut perempuan dan hanya seorang saja
maka ia akan mendapatkan bagian ½ dari harta warisan, namun ketika anak
perempuan tersebut lebih dari 2 maka ia mendapatkan 2/3 bagian dan apabila
bersama dengan anak laki-laki maka mendapatkan sisa.
Apabila anak tersebut ialah anak laki-laki, maka ia akan mendapatkan
seluruh harta warisan setelah dibagikan dengan ahli waris lainya.
96
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pandangan Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin
Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 /
PUU-VIII/ 2010
Anak luar kawin didalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa yang dimaksud anak luar
kawin ialah anak yang lahir diluar kerkawinan. Namun tidak secara detail
disebutkan seperti apa dan bagaimana anak luar kawin tersebut.
Di lihat dari perkata, maka ada tiga makna yaitu anak, luar dan kawin.
Didalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI) anak mempunyai arti
anak n 1 keturunan yg kedua: ini bukan -- nya,
melainkan cucunya; 2 manusia yg masih kecil: -- itu
baru berumur enam tahun; 3 binatang yg masih kecil:
-- ayam itu berciap-ciap mencari induknya; 4 pohon
kecil yg tumbuh pd umbi atau rumpun tumbuhtumbuhan yg besar: --pisang; 5 orang yg berasal dr
atau dilahirkan di (suatu negeri, daerah, dsb): -Jakarta; -- Medan; 6 orang yg termasuk dl suatu
golongan pekerjaan (keluarga dsb): -- kapal; -komidi; 7bagian yg kecil (pd suatu benda): -baju; 8 yg lebih kecil dp yg lain: -- bukit;
-- ayam kehilangan induk, pb ribut dan bercerai-berai
krn kehilangan tumpuan; -- baik menantu molek,
pb mendapat keuntungan yg berlipat ganda; -dipangku dilepaskan, beruk dl rimba disusukan
(disusui), pb selalu membereskan (memikirkan)
urusan orang lain, sedangkan urusan sendiri
diabaikan; -- orang, -- orang juga, pb seseorang yg
asing bagi kita akan tetap asing juga; -- sendiri
disayangi, -- tiri dibengkengi, pb bagaimanapun
adilnya seseorang, kepentingan sendiri juga yg
diutamakan; kasihkan -- tangan-tangankan, kasihkan
bini tinggal-tinggalkan (sayang di -- dibenci, sayang
di negeri ditinggalkan), pb yg disayangi itu
97
hendaknya jangan terlalu dimanjakan; kecil-kecil -kalau sudah besar onak, pb anak itu selagi kecil
menyenangkan hati, tetapi kalau sudah besar
menyusahkan
hati
(krn
kelakuannya
dsb); menggantang -- ayam, pb melakukan pekerjaan
yg
tidak
mungkin
atau
sia-sia
untuk
dikerjakan; pecah -- buyung, tempayan ada, pb tidak
akan kekurangan perempuan untuk dijadikan
istri; rusak -- oleh menantu, pb orang yg kita kasihi
merusakkan harta yg kita berikan kepadanya;
Kawin mempunyai makna 1 v membentuk keluarga dng lawan jenis;
bersuami
atau
beristri;
menikah: ia
--
dng
anak
kepala
kampung; 2 v melakukan hubungan kelamin; berkelamin (untuk hewan); 3 v
cakbersetubuh: -- sudah, menikah belum; 4 n perkawinan; sedangkan luar
mempunyai makna sebagai berikut :
1 daerah, tempat, dsb yg tidak merupakan bagian dr
sesuatu itu sendiri: ia berdiri di -- gedung; lima tahun
ia tinggal di -- negeri; 2 bukan dr lingkungan
(keluarga,
negeri,
daerah,
dsb)
sendiri;
asing: meskipun ia orang -- , tetapi sudah spt
keluarga sendiri; 3 bagian (sisi, permukaan, dsb) yg
tidak di dalam: merk kecap itu tertempel di -- botol;
obat -- , obat untuk mengobati bagian luar tubuh
(kulit
dsb);
-- batas melampaui batas; -- bicara tidak masuk dl
pembicaraan; tidak terhitung; -- dalam 1lahir
batin; 2 bagian luar dan bagian dalam; -dugaan tidak disangka-sangka; -- kepala dng ingatan
(tidak perlu ditulis atau melihat tulisan); -negeri negeri luar; negeri asing; -- nikahhubungan
laki-laki
perempuan
yg
tidak
halal;
-ruang berlangsung (terjadi) di ruang terbuka atau
dimaksudkan untuk digunakan (dipakai) di ruang
terbuka: olahraga --; pakaian --; -- siarketerangan
tertentu dr seorang terwawancara kpd wartawan yg
mewawancarainya, tidak untuk disiarkan, tetapi
hanya untuk pengetahuan si wartawan sbg latar
belakang topik yg dijadikan bahan wawancara;
98
nirwarta;
me·lu·ar a menonjol ke luar; tersembul (terdorong)
ke luar;
Apabila dilihat dan digabungkan dari pengertian di Kamus Besar Bahasa
Indonesia dapat ditarik kesimpulan keturunan yang ada buka bagian dari
perkawinan atau proses keluarga antara laki-laki dan perempuan. Didalam hal
ini, karena pasal yang di Judicial review oleh Mahkamah Kontitusi ialah
Pasal 43 ayat (1) dari Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka
tentunya perkawinan yang dimaksud untuk anak luar kawin ialah perkawinan
yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tersebut.
Didalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, didalam Pasal 2
ayat (1) dan ayat (2) dijelaskan bahwa “(1) Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Sehingga ketika suatu perkawinan tersebut tidak memenuhi dua
unsur dari pasal tersebut, maka dikatakanlah bahwa perkawinan tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum atau biasanya disebut diluar perkawinan atau
masyarakat umum ada yang mengangapnya nikah sirri.
Anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/
2010 mempunyai pengertian setiap anak yang lahir didunia ini dengan kedua
orang tua yang tidak menikah ataupun yang pernikahannya tidak atau belum
dicatatkan di KAU mempunyai hak keperdataan yang sama dimata hukum
terhadap kedua orang tuanya terutama terhadap sang ayah.
99
Apabila anak luar kawin yang dimaksudkan dalam penelitian penulis ialah
anak yang dihasilkan atau dilahirkan dalam perkawinan yang sah menurut
agama namun tidak ataupun belum dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah.
Dua hal yang berbeda antara anak luar kawin yang akan penulis uraikan
dalam pembahasan penelitian ini dengan anak zina yang seperti telah
diuraikan sebelumnya.
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010
sebenarnya
memberikan perlindungan terhadap nasib-nasib anak yang ditelntarkan oleh
sang ayah karena status perkawinan dengan sang ibu tidak jelas. Dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 anak memiliki hak
kepada orang tuany sehingga dapat diatrikan seorang ayah tidak boleh
menelantarkan anak walapun yang dihasilkan di luar nikah. Saat ini
diakuinya, memang masih ada kesalahpahaman pengertian, terkait keputusan
itu, yaitu anak yang lahir diluar nikah memang tidak memiliki nasab, tapi
punya hak keperdataan.
Hak keperdataan dilihat dari dua suku kata hak dan perdata yang mendapat
awalan ke dan akhiran an. Hak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
mempunyai makna :
1.a benar: mereka telah dapat menilai mana yg -- dan
mana yg batil; 2 n milik; kepunyaan:barang-barang
ini bukan -- mu; 3 n kewenangan: dng ijazah itu ia
mempunyai -- untuk mengajar; 4 n kekuasaan untuk
berbuat sesuatu (krn telah ditentukan oleh undangundang, aturan, dsb): semua warga negara yg telah
berusia 18 tahun ke atas mempunyai -- untuk
memilih
dan
dipilih
dl
pemilihan
100
umum; 5 n kekuasaan yg benar atas sesuatu atau
untuk menuntut sesuatu: menantu tidak ada -- atas
harta peninggalan mertuanya; 6 n derajat atau
martabat: orang Melayu pd waktu itu tidak sama -nya dng orang Eropa; 7 n Huk wewenang menurut
hukum;
Sedangkan perdata tanpa adanya imbuhan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia mempunyai pengertian “ 1per·da·ta n Huk sipil (sbg) lawan
kriminal atau pidana; -- formal yg mengatur hak, harta benda, dan hubungan
antara orang atas dasar logika; --material yg mengatur hak, harta benda,
hubungan antarorang atas dasar kebendaan”
Apabila digabungkan antara hak dan perdata menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia dapat dikatakan bahwa kepemilikan atas harta benda dan
hubungan antar orang. Dengan kata lain hak keperdataan ialah hak yang
dimiliki oleh seseorang yang dalam hal ini ialah anak terhadap harta benda
atau hubungan yang dalam hal ini ialah kepada orang tuanya. Hal ini
disebabkan karena hak keperdataan yang dibahas ialah hak keperdataan yang
ada dalam Pasal 43 ayat 1 Undang-undang Perkawinan yang menyebutkan
hubungan antara anak dengan orang tuanya.
Hak keperdataan seorang anak luar kawin yang dimaksud ialah seperti
baiya hidup sang anak, biaya kesehatan, biaya pendidikan dan biaya-biaya
yang lain yang tidak berhubungan dengan nasab dan yang tidak tertulis dalam
Fiqih Islam.
101
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menjelaskan mengenai hak dan
kewajiban antara orang tua dan anak. Hak tersebutlah dapat dikatakan sebagai
hak keperdataan yang dimiliki oleh orang tua dan anak. Harusnya tanpa
melihat dari mana anak itu berasal, orangtua dengan sang anak tentunya tidak
bisa dipisahkan. Dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974
diterangkan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya.
Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 jelas
terlihat, orang tua wajib mendidik dan memelihara anak-anaknya. Jangankan
ada hubungan darah, dengan anak angkat saja kita diwajibkan untuk
dipelihara oleh orang tua angkatnya. Seorang anak tidak anak bisa hidup
tanpa adanya dua orang tuanya yang membantunya sampai saatnya anak
menikah dan dapat hidup sendiri.
Selain didalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974
di dalam kitab
Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan dalam Pasal 298 ayat (2)
sebagai berikut :
Setiap anak, berapa pun juga umurnya, wajib
menghormati dan menghargai orang tuanya. Orang
tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka yang masih di bawah umur.Kehilangan
kekuasaan orang tua atau kekuasaan wali tidak
membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi
tunjangan menurut besarnya pendapat mereka guna
membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
mereka itu.
102
Hukum Islam memandang anak luar kawin yang dalam kaitanya dengan
anak luar kawin sirri sebenarnya sama atau statusnya sama dengan anak sah.
Karena nikah sirri menurut syariat Islam merupakan nikah yang sudah sah
dan sudah sesuai dengan rukun dan syarat nikah.
Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, adalah
anak yang lahir dari perkawinan yang sah, perkawinan yang mengikuti
prosedur Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974. Anak yang
lahir di luar perkawinan, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang
dilakukan
menurut
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya.
Pengertian ini menunjukkan adanya perkawinan, dan jika dilakukan menurut
agama Islam, maka perkawinan yang demikian ”sah” dalam perspektif fikih
Islam sepanjang memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Dengan demikian
anak tersebut sah dalam kacamata agama, yaitu sah secara materiil, namun
karena tidak tercatat baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun di Kantor
Catatan Sipil (anak hasil kawin sirri, seperti halnya Machica Mochtar dengan
Moerdiono), maka tidak sah secara formil. Anak yang lahir tanpa perkawinan,
adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara pria dengan wanita tanpa
ada ikatan perkawinan
Hal ini juga sesuai dengan penjelasan KH.Ma’ruf Amin, Ketua Majelis
Ulama Indonesia dimana. KH.Ma’ruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia
menjelaskan dalam wawancaranya dengan redaksi Redaksi Mimbar Ulama
menyebutkan bahwa apabila syarat dan rukun nikah sudah terpenuhi, nikah
tersebut sudah disebut nikah yang sah. MUI juga merekomendasikan supaya
103
nikah sirri itu dicatatkan, sehingga tidak ada korban istri maupun anak yang
dihasilkan
dari
perkawinan tersebut
terlantar.(mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=199:pe
rihalkontroversi-nikah-sirri-&catid=47:materi-konsultasi&Itemid=66 diunduh
tanggal 8 february 2013 pukul 5:39 )
Pada dasarnya perkawinan di Indonesia harus dilaksanakan dengan
prosedur sesuai dengan pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah yang dimaksud dengan perkawinan
yang sesungguhnya menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Jika
perkawinan dilakukan hanya mengikuti pasal 2 ayat (1) saja, maka
perkawinan itu disebut ”luar perkawinan”.
Disamping itu, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan keperdataan
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Konsep ini sejalan dengan konsep
Hukum Islam dan hukum adat pada umumnya. Agama Islam menganut
prinsip bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah sehingga tidak ada
alasan untuk membeda-bedakan setiap anak yang lahir, termasuk anak luar
kawin sekalipun.
Dalam hal warisan ataupun saling mewarisi dalam Hukum Islam Allah
Swt. Memerintakan agar setiap orang yang beriman mengikuti ketentuanketentuan Allah menyangkut hukum kewarisan sebagaimana yang termaktub
dalam kitab suci Al-Qur'an dan menjanjikan siksa neraka bagi orang yang
104
melanggar peraturan ini. Dalam Q.S. An-Nisa' ayat (13) dan (14) Allah
berfirman:
Hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan
dari Allah, barang siapa yang ta'at pada (hukumhukum) Allah dan RasulNya, niscaya Allah akan
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di
dalamnya sungai-sungai, sedang mereka (akan) kekal
di dalamnya. Dan yang demikian tersebut merupakan
kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang
mendurhakai Allah dan RasulNya, serta melanggar
ketentuan (hukum-hukum) Allah dan rasulNya,
niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam api
neraka, sedangkan mereka akan kekal di dalamnya,
dan baginya siksa yang amat menghinakan.
Seperti yang telah diterangkan sebelumnya bahwa berdasarkan SEMA No
7 tahun 2012, apabila anak luar kawin ingin mendapatkan hak-haknya dari
bapaknya harus terleih dahulu mengajukan permohonan pengesahan anak ke
Pengadilan Agama dengan terlebih dahulu melakukan Itsbat perkawinan sirri.
Setelah adanya proses itulah kemudian munculah bagian-bagian waris yang
didapatkan oleh anak luar kawin nantinya.
Penulis berpendapat sesuai dengan Dr Muhyidin M.Ag selaku Ketua
Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng yang menuturkan dalam wawancaranya
dikantor MUI Jateng tanggal 13 February 2013 Pukul 13.30 menanggapi
tentang anak luar kawin Mahkamah Konstitusi sebagai berikut :
“anak yang lahir diluar kawin dalam putusan
Mahkamah Konstitusi itu ada tiga macam, yang
pertama ialah anak diluar kawin resmi atau biasa
disebut kawin sirri, yang kedua ialah anak diluar
kawin yang kemudian dikawini oleh suami atau ayah
sianak biasa disebut kawin wanita hamil dan yang
105
terakhir ialah anak diluar kawin yang tidak pernah
sama sekali ada perkawinan atau biasa disebut anak
zina. Menurut pandangan MUI apabila kategori
pertama anak luar kawin itu merupakan anak
bapaknya, karena dalam Hukum Islam kawin sirri itu
merupakan kawin yang sah sehingga sama dengan
anak sah, kemudian yang yang kedua anak lahir
ketika ibunya hamil dikawinin oleh suami yang
merupakan bapak biologis anaknya juga merupakan
anak yang sah dan yang ketiga anak luar kawin yang
tidak pernah dikawini tidak bisa disebut anak sah dan
merupakan anak luar kawin”
Menurut penulis dalam skripsi penulis terbatas anak luar kawin menurut
Hukum Islam, apabila sesuai dengan macam-macam anak luar kawin yang
telah dijelaskan Dr Muhyidin M.Ag. Penulis sepahaman dengan hal tersebut.
Karena luar kawin yang dimaksud oleh Mahkamah Kostitusi itu menJudicial
review Pasal 43 Undang-undang Perkawinan yang dimana didalam undangundang perkawinan disebutkan dalam pasal sebelumnya yaitu pasal 2 ayat (2)
bahwa tiap perkawinan harus dicatatkan supaya mempunyai kekuatan hukum.
Karena didalam Hukum Islam tidak mengenal pencatatan, maka anak diluar
kawin yang kaitanya dengan anak diluar perkawinan yang tidak dicatatkan
atau sering disebut anak nikah sirri merupakan anak sah yang lahir dalam
perkawinan yang sah menurut agama.
4.2.2 Bagian Waris dalam Hukum Islam terhadap anak luar kawin sebagai
ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/
2010
106
Dr. Muhyidin M.Ag dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis pada
hari Rabu tanggal 13 Februari 2013 di kantor MUI Provinsi Jateng
menerangkan tentang warisan yang terkait dengan anak luar kawin pasca
dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi menurut beliau sebagai
berikut :
Apabila kaitanya dengan anak luar kawin pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi, tidak ada sangkut
pautnya dengan hukum Islam. Karena Hukum Islam
punya aturan tersendiri. Yang harus melihat
kemaslahatan umat Islam lainya. Apabila waris anak
luar kawin yang lahir dalam perkawinan yang sah
walaupun tidak dicatatkan porsi anak tersebut sama
kedudukanya dengan anak sah. Namun ketika anak
luar kawin itu merupakan anak zina, maka ia tidak
akan menerima warisan. Hal ini sesuai dengan Fatwa
MUI NO 11 Tahun 2012. Dimana anak zina tidak
mempunyai
nasab
dengan
sang
ayah.
Didalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010 memang
tidak sama sekali menyinggung mengenai hak waris anak luar kawin sebagai
nasab yang dengan mudah diputuskan. Menurut Dr. Muhyidin M.Ag,
MAHKAMAH KONSTITUSI
tidak akan mungkin mengubah hubungan
nasab dengan seenaknya karena bagaimanapun para hakimnya juga orang
Islam, tentunya akan ada rasa takut dengan hal itu.
Didalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010 hanya
menjelaskan mengenai hak keperdataan dari anak luar kawin tanya
mencampur masalah nasabnya. Hak keperdataan yang dimaksud sesuai
dengan uraian yang sebelumnya terdiri atas hak mendapatkan biaya hidup,
107
biaya kesehatan dan biaya-biaya lain yang tidak berhubungan dengan nasab si
anak kepada si bapak.
Seperti yang diutarakan Mahfud MD menyatakan, hubungan keperdataan
yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak berbentuk nasab, waris,
dan wali nikah.Hak yang dapat dituntut anak di luar perkawinan yang tidak
diatur fikih, antara lain, berupa hak menuntut pembiayaan pendidikan atau
hak menuntut ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang merugikan
orang lain. Intinya adalah hak-hak perdata selain hak nasab, hak waris, wali
nikah, atau hak perdata apa pun yang tidak terkait dengan prinsip-prinsip
munakahat sesuai fikih.( Padang Express Kamis, 29/03/2012 12:16 WIB)
Selanjutnya, pembuktian di pengadilanlah yang akan menentukan nasib
anak apakah benar anaknya atau tidak, yaitu dengan menggunakan sarana
ilmu pengetahuan atau teknologi yang tersedia dan diakui secara hukum.
Adapun untuk perkawinan sirri menurut Umar tidak ada masalah dalam
Islam. Sebab, Nikah Sirri diakui secara sah dalam syariat Islam. Seandainya
di belakang hari laki-laki mengelak tidak mengakui perkawianan tersebut
maka tinggal dibuktikan di pengadilan. Umar juga menegaskan “Bedanya
kalau anak yang lahir di luar perkawinan dia tidak mendapat hak waris. Tapi
kalau lahir dalam perkawinan sirri maka secara agama tetap dapat hak waris,
nasab, nafkah, biaya pendidikan dan sebagainya” (Majalah Konstitusi edisi
February 2012 halaman 17):
,
108
Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 ini menjadikan anak
luar kawin sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (persona in
judicio) dalam perkara kewarisan di pengadilan dan berhak memperoleh harta
warisan ayah biologisnya dengan keharusan mampu membuktikan adanya
hubungan darah berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti
lain
menurut
hukum.(http://news.detik.com/read/2012/02/20/085328/1846287/103/pengak
uan-hak-keperdataan-anak-luar-kawin diunduh tanggal 2 November 2012
pukul 22:58)
Dalam bahan diskusinya A Mukti Arto menyebutakan Hubungan perdata
yang timbul akibat dari adanya hubungan darah ini meliputi hubungan
hukum, hak dan kewajiban antara anak dengan ayah dan ibunya yang dapat
berupa:
(1)hubungan nasab; (2) hubungan mahram; (3)
hubungan hak dan kewajiban; (4) hubungan
pewarisan (saling mewarisi) yang merupakan
pelanjutan hubungan hak dan kewajiban karena
nasab ketika mereka sama-sama masih hidup; dan (5)
hubungan wali nikah bagi anak perempuan.
Dalam kaitanya dengan hak keperdataan seperti yang telah diuraikan Dr
Muhyidin M.Ag selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng
menuturkan dalam wawancaranya dikantor MUI Jateng tanggal 13 February
2013 Pukul 13.50 sebagai berikut :
109
“apabila anak luar kawin mempunya hubungan
keperdataan dengan kedua orang tuanya itu sah-sah
saja. Dalam konteks hubungan keperdataan selain
hubungan waris ya, seperti biaya pendidikan,biaya
hidup dan biaya-biaya yang lain. Jangankan kepada
anaknya kepada orang lain yang kita tidak kenal saja
kita boleh memberikan hak keperdataan misalakan
saya memberikan uang untuk biaya pendidikan
kepada orang yang tidak saya kenal itu tidak ada
masalahkan dan tidak di halangi. Apabila putusan
Mahkamah Konstitusi mengkaitakan semua anak
luar kawin mempunyai hubungan kepedataan anak
luar kawin dengan waris yang dalam hal ini nasab
tentu tidak biasa. Karena seperti yang sebelumnya
saya jelaskan bahwa anak luar kawin ada tiga macam
dan ketiga-tiganya boleh mendapatkan hubungan
keperdataan namun untuk hubungan nasab hanya
anak luar kawin dalam perkawinan sirri dan anak
luar kawin yang kemudian ibunya dikawini oleh
bapak biologi si anak yang mendapatkanya”
Apabila dilihat dari uraian dan pendapat bapak Dr Muhyidin M.Ag selaku
Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng, maka anak luar kawin dari
perkawinan sirri sama dengan anak sah hal itu sejalan dengan Hukum Islam,
sehingga dalam kaitanya dengan warisan anak luar kawin tersebut
mendapatkan porsi seperti anak sah pada umumnya.
Menurut penulis Anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010 merupakan anak dari bapaknya dan merupakan anak
yang lahir atas suatu perkawinan yang sah sehingga apabila dilihat dari sebab
– sebab saling mewarisi, maka anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 memenuhi sebab mewarisi Al-Qarabah
(pertalian darah) dan Al – Musahrah (hubungan perkawinan). Apabila anak
110
luar kawin tidak mempunyai hubungan dari kedua sebab mewarisi tersebut,
misalkan anak luar kawin zina maka tidak akan ada saling mewarisi.
4. Al-Qarabah (pertalian darah)
Al-Qarabah (pertalian darah) disini diartikan bahwa
sebab saling mewarisi berasal dari hubungan pertalian darah,
dimana semua ahli waris yang mempunyai hubungan darah
mendapatkan
bagianya
sesuai
dengan
dekat
jauhnya
kekerabatanya. Baik itu laki-laki, perempuan dan anak-anak,
bahkan bayi yang masih dalam kandunganpun memiliki hak
yang sama dengan orang dewasa.
5. Al – Musahrah (hubungan perkawinan)
Sebab saling mewarisi Al – Musahrah berasal dari
perkawinan yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan,
baik menurut hukum agama dan kepercayaan maupun hukum
negara yang menyebabkan adanya hubungan saling mewarisi.
Setelah adanya sebab mewarisi dari anak dan sang ayah, kemudian harus
dilihat dulu apakah sang ahli waris memang pantas menjadi ahli waris dan
tidak memiliki penghalang saling mewarisi, seperti apakah ahli waris tersebut
bukan seorang pembunuh, apakah ahli waris tersebut merupakan ahli waris
yang beragama Islam dan apakah ahli waris tersebut bukan merupakan
seorang budak.
111
Hal ini dikarenakan saling mewarisi tidak akan terlaksana apabila ahli
warisnya memiliki penghalang saling mewarisi. Penghalang saling mewarisi
terdiri atas : (Baidhowi, 2010:41 )
1. Pembunuhan
Sesuai dengan Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam yang
menyebutkan bahwa seorang terhalang menjadi ahli waris
apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
2. Berbeda Agama
Didalam Pasal 171 huruf c menyatakan Ahli waris
adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris.
3. Perbudakan
Budak menjadi penghalang mewarisi, karena status
dirinya yang dipandang sebagai tidak cakap melakukan
perbuatan hukum.
Setelah ahli waris anak luar kawin tersebut sudah bisa saling mewarisi
dengan sang bapaknya karena sebab saling mewarisi terpenuhi dan bukan
112
merupakan penghalang mewarisi, maka selanjutnya menurut penulis apakah
ahli waris tersebut merupakan ahli waris Ashabah atau tidak
Ashabah merupakan ahli waris yang menunggu sisa pembagian dari ahli
waris yang telah ditentukan bagiannya, dengan keistimewaan ashabah ini ia
akan mengambil pengahiban dari harta sisa yang telah dibagikan sebelumnya.
Secara umum Ashabah dibagi atas 2 yaitu Ashabah Nasabiyah dan Ashabah
Ma’al Ghair.
1. Ashabah Nasabiyah yaitu seorang ahli waris menjadi
Ashabah dikarenakan adanya hubungan darah dengan si
pewaris.
Ashabah Nasabiyah terbagi atas 3 yaitu :
a)
Ashabah bi Nafsi, yaitu ia menjadi ashabah dengan
dirinya sendiri maksudnya disebabkan karena
kedudukanya. Adapun ahli waris ini ialah seluruh
ahli waris yang laki-laki kecuai suami dan saudara
laki-laki seibu.
b)
Ashabah bil Ghair, menjadi ashabah disebabkan
orang lain. Hal ini terjadi pada ahli waris
perempuan
dimana
sebelumnya
dia
bukan
merupakan ashabah, namun dengan adanya ahli
waris laki-laki yang sederajat dengannya maka ia
menjadi ashabah.
113
c)
Ashabah Ma’al Ghair , menjadi ashabah karena
mewarisi bersama orang lain. Yang menjadi ahli
waris ini ialah saudara seibu sebapak karena
mewarisi
bersama
anak
perempuan,
cucu
perempuan dan seterusnya.
2. Ashabah Sababiyah yaitu menjadi ashabah dikarenakan
adanya sesuatu sebab. Sebab yang dimaksud karena adanya
kemerdekaan si mayat dari perbudakan.
Setelah mengetahui hal-hal yang ada dalam pewarisan sebelum harta
peninggalan dibagikan oleh si pewaris, selanjutnya mengetahui porsi setiap
ahli waris dalam pewarisan Islam. Namun sebelum dibagikan harta
peninggalan sebelum dibagi sebagai harta waris terlebih dahulu harus
diselesaikan masalah hutang piutang pewaris (yang meninggal) dan biaya
pemakaman serta wasiat yang dibolehkan (bila ada).
Disamping itu bila si mayit meninggalkan istri (janda) atau suami (duda)
dan masih terikat perkawinan perlu dipisahkan lebih dahulu antara harta
bawaan (harta yang dipunyai sebelum menikah) dan harta bersama (harta
yang diperoleh setelah perkawinan atau harta bersama).
Jadi yang menjadi harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari
harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit
sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhis), pembayaran hutang
dan pemberian kerabat (Pasal 171 huruf (e ) Kompilasi Hukum Islam ).
114
Setelah semua urusan dari sipewari telah selesai, barulah harta warisan itu
dibagikan sesuai dengan porsi ahli waris masing-masing. Dr Muhyidin M.Ag
selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng menuturkan dalam
wawancaranya dikantor MUI Jateng tanggal 13 February 2013 Pukul 14.30
sebagai berikut :
Harta warisan dalam kaitanya dengan anak luar
kawin sirri yang dimana merupakan nikah sirri
poligami seperti kasusnya Machica Moctar
merupakan harta murni dari sang ayah / suami, yang
sudah dipisahkan terlebih dahulu dengan harta
bersama dengan istri pertamanya. Misalkan
Murdiono mempunyai harta 10 M, namun harta 10M
tersebutkan bukan milik Murdiono seluruhnya.
Karena harta tersebut ada pada masa perkawinan
maka biasa disebut harta gono-gini / harta bersama.
Dimana sebelumnya kan harus dibagikan atau
dipisah dlum, mislkan harta Bu Murdiono 5M dan
milik Murdiono 5M. Maka harta yang akan
dibagikan atau didapat oleh anak Machica Moctar
buka dari harta yang 10 M melaikan dari harta yang
5M tersebut.
Penulis mengingatkan kembali bahwa sebelum diadakannya pembagian
waris anak luar kawin menurut prosedur Hukum Islam. Harus dilihat terlibih
dahulu apakah anak luar kawin tersebut laki-laki atau perempuan, karena
seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa porsi laki-laki dan porsi
perempuan berbeda.
Setelah mengetahui jenis kelamin dari ahli waris, kemudian dilihat apakah
ahli waris tersebut
Sebelumnya telah dijelaskan tentang Tabel, Bagan maupun sebab-sebab
saling mewarisi. Pembagian warisan seperti yang diuraikan sebelumnya
115
diatas tiap orang dengan kedudukan dan posisinya sudah mempunyai porsi
dan bagian-bagian masing-masing.
Porsi-porsi dalam pembagian waris terdiri atas ½,1/3,1/4,1/6,1/8 dan ¾.
Tiap bagian atau prosi sudah terbagi sendiri sesuai dengan kedudukan orang
tersebut. Namun penulis tidak akan membahas mengenai bagian waris orang
lain artinya yang akan dibahas disini hanya mengenai pembagian/ porsi anak
luar kawin, baik anak luar kawin laki-laki maupun perempuan.
Dalam sistem kewarisan Islam juga mengenal adanya Aul dan ar-Radd.
Pasal 192 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan Aul ialah Apabila dalam
pembagian harta warisan di antara para ahli warisnya Dzawil furud
menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka
angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah
itu harta warisnya dibagi secara aul menutu angka pembilang. Sedangkan
dalam Pasal 193 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan ar-Radd ialah
Apabila dalam pembarian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud
menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut,
sedangkan tidak ada ahli waris asabah,maka pembagian harta warisan
tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masingmasing ahli
waris sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka.
Aul terjadi karena makin banyaknya ahli waris Dzawil furud sehingga
harta yang dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum
menerima bagian.Dalam keadaan seperti itulah maka harus menaikan atau
116
menambah pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi
Dzawil furud yang ada, meski ada bagian mereka yang berkurang
(Baidhowi,2010:51)
Namun tidak semua pokok masalah dapat diaulkan, karena pokok masalah
yang dapat diaulkan adalah enam, duabelas dan dua puluh empat. Sedangkan
pokok masalah dua, tiga, empat dan delapan tidak bisa diaulkan.
(Baidhowi,2010:52)
ar-Radd merupakan berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya
jumlah bagian Ashhabul Furudh. Namun ar-Radd tidak dapat terjadi apabila
tidak adanya Ashhabul Furudh, adanya ‘ashabah dan tidak ada sisa harta
waris. Karena ar-Radd mempunyai tiga syarat yaitu
adanya Ashhabul
Furudh, tidak adanya ‘ashabah dan adanya sisa harta warisan .
(Baidhowi,2010:55)
Selain itu ada ahli waris yang berhak mendapatkan ar-Radd ialah
Ashhabul Furudh . Adapun Ashhabul Furudh yang menerima hanya 8 orang
yaitu anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,saudara
kandung perempuan,saudara perempuan seayah,ibu kandung,nenek sahih,
saudara perempuan saeibu dan saudara laki-laki saibu.
Setelah semua hal tentang mewarisi dan hal sebelum dibagikannya warisan
sudah dijelaskan oleh penulis, kemudia masuklah kepada bagian-bagian ahli
warisnya.
117
Anak perempuan apabila sendiri atau hanya seorang maka akan
mendapatkan bagian ½ dan apabila anak perempuan tersebut lebih dari satu
orang maka akan mendapatkan 2/3. Satua anak perempuan jika ia mewarisi
bersama 1 atau lebih cucu perempuan, maka perempuan mendapatkan ½ dan
satu atau lebih cucu perempuan mendapatkan 1/6. (Lubis, 2004:106)
Anak perempuan akan mendapatkan sisa apabila bersama-sama dengan
anak laki-laki. Anak perempuan mendapatkan 1 bagian dan anak laki-laki
mendapatkan 2 bagian. Sesuai yang dituliskan dalam Pasal 176 KHI
anak perempuan bila hanya seorang ia mendapatkan
separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka
bersama-sama mendapatkan dua pertiga bagian dan
apabila bersama-sama anak laki-laki, maka bagian
anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan
anak perempuan.
Apabila ahli waris anak laki-laki akan mendapatkan 2 kali lipat dari porsi
anak perempuan. Apabila anak perempuan 1 maka anak laki-laki
mendapatkan 2.
Berdasarkan uraian yang telah penulis jelaskan sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa anak luar kawin mendapatkan ahli waris sama dengan
anak sah, apabila anak luar kawin tersebut lahir dalam perkawinan yang sah
atau nikah sirri. Namun ketika anak luar kawin tersebut sama sekali tidak
lahir dalam perkawinan atau anak zina, maka tidak akan mendapatkan ahli
waris sama sekali.
118
Dalam kaitanya Hukum Islam, meskipun perkawinan nikah sirri maka itu
disebut nikah sah dan anak yang dihasilkan juga sah menurut islah. Tidak
perlu diadakannya itsbat nikah untuk mengesahkan perkawinan tersebut,
apabila dilihat dari hukum nasional berdasarkan surat edaran dari Mahkamah
Agung maupun Pengadilan Tinggi Agama Semarang maka diperlukannya
itsbat nikah untuk nikah sirri dan pengakuan anak luar kawin oleh Pengadilan
Agama.
Bagaian / porsi dari masing-masing ahli waris ditentukan berdasarkan jenis
kelamin dan dimana ahli waris tersebut digolongkan.
119
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai Bagian Waris Anak Luar Kawin
Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan
Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 maka penulis menyimpulkan
sebagai berikut :
1.
Pandangan Hukum Islam terhadap bagian waris anak luar Kawin
sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Putusan Mahkamah
Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010
1)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis anak luar
kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010 merupakan seluruh anak luar kawin yang lahir diluar
perkawinan yan ketentuan ataupun syaratnya tertuang dalam
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974.
2)
Anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010 tergolong dalam tiga golongan yaitu
anak luar kawin yang dalam Perkawinan yang sah menurut
agama Islam namun tidak dicatatkan atau biasa disebut dengan
120
Kawin sirri, anak luar kawin yang dimana ibu dari anak
tersebut kemudian dikawini oleh bapaknya sianak atau sering
disebut Perkawinan wanita hamil dan yang terakhir anak luar
kawin yang sama sekali tidak dalam Perkawinan yang sah atau
sering kita sebut dan kenal dengan anak zina.
3)
Anak Luar Kawin yang ada dalam penelitian penulis
merupakan anak luar kawin yang ada didalam suatu
perkawinan yang belum atapun tidak dicatatkan dalam
lembaga pencatat nikah atau nikah sirri
4)
Berdasarkan hasil penelitian penulis, anak luar kawin yang
berada dalam perkawinan sirri merupakan anak yang sah dan
kedudukan anak tersebut sama dengan anak sah lainnya
termasuk dalam hal saling mewarisi.
2.
Berapakah bagian waris dalam Hukum Islam terhadap anak luar
Kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Putusan
Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010
1)
Untuk bagian waris anak luar kawin dalam Perkawinan sirri
sama dengan bagian waris dalam Perkawinan yang sah.
2)
Untuk Anak perempuan apabila sendiri atau hanya seorang
maka akan mendapatkan bagian ½ dan apabila anak
perempuan tersebut lebih dari satu orang maka akan
mendapatkan 2/3 bagian. Satu anak perempuan jika ia
mewarisi bersama 1 atau lebih cucu perempuan, maka
121
perempuan mendapatkan ½ bagian dan satu atau lebih cucu
perempuan mendapatkan 1/6 bagian.
5.2 Saran
Saran yang dapat peneliti kemukakan berdasarkan hasil pembahasan ini
adalah sebagai berikut :
1.
Bagi
pemerintah
kewenangan
khususnya
membuat
pejabat
Undang-undang
yang
dan
mempunyai
peraturan-
peraturan. Untuk permasalahan anak luar kawin sangat luas
dan menyangkut dengan nasib seorang anak. Hendaknya lebih
cepat dan lebih peduli untuk membuat kepastian anak luar
kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010. Agar seluruh masyarakat dan pejabat lain yang
terkait dapat bertindak dengan benar.
2.
Bagi masyarakat janganlah mendiskriminasikan anak luar
kawin, karena pada hakikatnya anak tetaplah anak bagi kedua
orang tuanya.
3.
Janganlah melakukan Perkawinan Sirri karena perkawinan
Sirri mendapatkan kepastian hukum.
122
DAFTAR PUSTAKA
Dari Buku:
Ali, Mohammad Daud. 2004. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Abdurrahman, Muslan.2009. Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum Cetakan
Pertama. Malang: UMM Press
Baidhowi. 2010. Buku Ajar Hukum Kekeluargaan dan Waris Islam. Semarang:
Unnes.
Hadikusuma, Hilam. 1990. Hukum Perkawinan Adat. Bandung : Citra Aditya
Bakti.
Hadikusuma, Hilam. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama Bandung: Mandar Mandur.
Johni, Ibrahim.2006. Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang :
Bayu Media Publishing.
Komariah. 2005. Hukum Perdata. malang: UMM Malang
Kie,Tan Thong. 2000 Studi Notariat:Serba-Serbi Praktek Notaris Buku I, Jakarta :
Ichtiar Baru Van Hoeve.
Lubis, Suhrawardi K dkk .2004. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Marzuki, Peter Mahmud. 2008 Penerlitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup
123
Moleong,Lexy.2007.Metodologi
Rosadakarya.
Penelitian
Kualitatif.
Bandung:Remaja
Murtiningdyah,Etty.2005.Tesis dengan Judul Peranan Wali Nikah Dalam
Perkawinan Dan Pengaruhpsikologis Adanya Wali Nikah Dalam
Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam.Semarang:Universitas
Diponegoro.
Manah, Abdul.2008. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia.Jakarta:
Prenada Media.
Prodjodikoro,R.Wirjono. 1974. Hukum Perkawinan di Indonesia.Bandung: Sumur
Bandung
Ramulyo, H.M. Idris. 2004. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam. Jakarta:
Sinar Grafika
Ramulyo, Mohammad Idris. 2000. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam
dengan Kewarisan Menurut KUHPer (BW). Jakarta: Sinar Grafika
Rofiq, Ahmad. 2003. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Saebani, Beni Ahmad. 2008. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Pustaka Setia
Shidieqy, Ash Hasbi. 1983. Hukum Waris dalam Syariat Islam. Jakarta: Bulan
Bintang
Syarifuddin,Amir.2002. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh
Munakat Dan Undang-Undang Perkawinan.Jakarta: Prenada Media Group
Soekanto, Soerjono. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press
124
Salman, H.R. Otje dan Mustofa Haffas. 2006. Hukum Waris Islam. Bandung: PT
Refika Aditama
Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif
.Yogyakarta; Graha Ilmu;
Wiranto,D.Y. 2012. Hukum Keluarga : Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin
Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan.
Jakarta: Prestasi Pustaka.
-------2005. Curah Gagasan (Pengantar Penulisan Karya Ilmiah) Semarang:
Rumah Indonesia Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNNES.
Dari Peraturan dan Undang-Undang :
Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
SEMA No 7 Tahun 2012 Tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama
Mahkamah Agung Republik Indonesia Tanggal 03 S/D 05 Mei 2012.
SEMA Pengadilan Tinggi Agama No W11-A/863/HK.00.8/III/2012 tertanggal 19
Maret 2012.
Fatwa MUI No 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan
Perlakuan Terhadapnya.
125
Keputusan Komis B Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Tahun 2006
Tentang Masail Waqi'iyyah Mu'asyirah dimana disebutkan Nikah Di Bawah
Tangan
Dari Jurnal :
Konstitusi, Mahkamah. 2012. Majalah Konstitusi Edisi 61. Jakarta: Mahkamah
Konstitusi.
Risalah sidang putusan perkara NO 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17 Febuari
2012.
Artikel Dari Diskusi Putusan MK Soal Anak Nikah oleh Pengurus Wilayah
Lembaga Bahtsul Masail NU Sumatra Barat Di Aula PWNU Sumbar 9 Mei
2012.
Makalah Nasab Anak Diluar Perkawinan Pasca Putusan MK oleh Drs. H Syamsul
Anwar.S.H.,M.H (ketua pengadilan agama kelas 1a majalengka) DRS. Isak
Munawar, M.H.
Hakim pada Pengadilan Agama Kelas I A
Majalengka.Tahun 2012.
Artikel Mencari Alternatif Hukum atas Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor
46/PUU-VIII/2010 oleh Asep Ridwan H, SHI, M.Ag tahun 2012
Makalah Bahan Diskusi Hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon Bersama
Pejabat Kepanitreaan pada tangal 16 Maret 2012 di Auditorium PTA tentang
Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUUIIIV/2010 Tanggal 27 Februari 2012 Tentang Perubahan Pasal 43 UUP, oleh
A. Mukti Arto Hakim Tinggi/WKPTA Ambon.
Makalah dengan Judul Anak Lahir Diluar Nikah (Secara Hukum) Berbeda
Dengan Anak Hasil Zina Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK NO.
46/PUU-VII/202.Yang disampaikan pada Seminar Status Anak Di Luar
Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN
Walisongo Semarang. Disampaikan Oleh Chatib Rasyid. Ketua Pengadilan
Tinggi Agama Semarang.
126
Makalah berjudul Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan,
Status Anak dan Status Harta Perkawinan Yang disampaikan oleh Prof. Dr.
H. Suparman Usman, S.H. Guru Besar Fakultas Syari’ah, IAIN “SMHB”,
Fakultas Hukum UNTIRTA dan Fakultas Hukum UNMA Banten., dalam
acara “Penelitian dan Pengkajian Aspek Hukum Itsbat Nikah” yang
diselenggarakan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 14-16 Mei 2012,
bertempat di Hotel Le Dian Serang, Banten.
Artikel berjudul Nasab Anak Luar Nikah perspektif Hukum Islam dan Hukum
Perkawinan Nasional yang ditulis oleh Jumni Nelli, M.Ag, Dosen Tetap
Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN Suska.
Makalah berjudul Anak Lahir Di Luar Perkawinan Pasca Putusan MK
No.46/PUU-VIII/2010 yang disampaika oleh Chatib Rasyid Ketua
Pengadilan Tinggi Agama Semarang. Disampaikan pada Seminar Nasional
Dengan Topik “ Kebijakan Pemerintah Jawa Tengah Terhadap Fenomena
Bersama Perkawinan Di luar Undang-undang Perkawinan Di Indonesia “
Tanggal 30 April 2012, yang diselenggarakan oleh Badan Kerjasa
Organisasi Wanita (BKOW) Propinsi Jawa Tengah.
Majalah Lensa Kasus Kontrversi Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK edisi Mei
2012.
Muh Rasyid Ridha .2009, Studi Komparasi Warisan Anak Luar Kawin Menurut
Hukum Islam dan Hukum Perdata. Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret
Anisatul Murtasyidah 2012. Tentang Kedudukan Hukum Ayah Biologis Sebagai
Wali Nikah Terhadap Anak Yang Lahir Sebelum Enam Bulan Sejak
Perkawinan (Kajian Komparasi Antara Hukum Perkawinan Nasional
Dengan Fiqh Islam). Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas
Negeri Semarang.
Dari Internet:
http://badilag.net/artikel/10609-nasab-anak-di-luar-perkawinan-paska-putusanmahkamah-konstitusi--drs-h-syamsul-anwar-sh-mh-dan-drs-isak-munawarmh164.hmtl&sa=U&ei=eUTUZ6lII7jkgWo9YCoDA&ved=0CAkQFjAB&c
lient=internal-uds-cse&usg=AFQjCNGwfIcptnaDVIH52Y9kCRMc44Nx-Q
127
http://badilag.net/data/ARTIKEL/MAKALAH2MAKNA%2520ANAK.pdf&sa=
U&ei=eUTUZ6lII7jkgWo9YCoDA&ved=0CA4QFjAD&client=internaluds
cse&usg=AFQjCNGDptOQyVCPmSZ2_M6LGIS94HwuDQ
http://www.akilmochtar.com/?s=Ulama+Pecah+Jadi+Dua+Pasca+MK+Mengabul
kan+Uji+Materi+UU+Perkawinan
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/02/29/178749/Putus
an-MK-Angin-Segar-Perlindungan-Anak-Indonesia.
http://politik.kompasiana.com/2012/08/18/suryadharma-ali-bahas-kasus-machicamochtar-dengan-para-ulama-486418.html
http://hukum.kompasiana.com/2012/02/19/status-hukum-anak-diluar-nikah/
http://hukum.kompasiana.com/2012/02/20/mahkamahkonstitusikabulkanujimateri
-anak-di-luar-nikah-436884.html
http://hukum.kompasiana.com/2012/05/25/pro-kontra-anak-luar-kawin-paskaputusan-mk-459941.html
http://news.detik.com/read/2012/02/20/085328/1846287/103/pengakuan-hakkeperdataan-anak-luar-kawin
http://news.detik.com/read/2012/03/28/162308/1879155/10/soal-putusan-statusanak-di-luar-nikah-ketua-mk-nilai-mui-tak-paham
http://sosbud.kompasiana.com/2012/02/17/horeeeee-orang-indonesia-bolehpunya-anak-di-luar-nikah-439838.html
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f632f5e9f2fa/inidiafatwamuitentanganak-hasil-zina
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f633ebb2ec36/pro-kontra-statusanak-luar-kawin
128
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f7475cd1eb4d/putusanmktakbermanf
aat-untuk-anak-luar-kawin
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f573e2151497/putusan-mk-sematalindungi-anak-luar-kawin
http://irmadevita.com/2011/bagaimana-agar-anak-yang-lahir-dari-perkawinan-siribisa-mendapatkan-warisan-dari-ayah-kandungnyah
http://firman.ngetik.com/2012/05/prokontrastatusanakluarkawin.html
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f4629da0424c/putusanmkbikinrepotp
embagianwaris
http://www.negarahukum.com/hukum/perkawinansiridananakluarkawin.html
http://www.negarahukum.com/hukum/eksistensianakpascaputusanmahkamahkons
titusidalamjudicialreviewpasal43ayat1uuno1tahun1974tentangperkawinan.ht
ml
http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=489
81:muiajakormasislamtolakputusanmk&catid=70:islamindonesia&Itemid=3
58
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f79272c66780/implementasiketentua
n-anak-luar-kawin-dalam-uu-perkawinan-pasca-putusan-mk
http://www.jurnas.com/halaman/5/2012-03-30/204029
http://www.voaislam.com/news/indonesiana/2012/03/21/18304/miumidukungsika
pmuidanminta-putusan-mk-soal-anak-zina-dianulir/
129
http://www.tempo.co/read/news/2012/02/20/063385270/MKTolakDisebutLegalka
n-Perselingkuhan
http://www.suara-islam.com/read4334-Ketua-Mahkamah-Konstitusi-LecehkanMUI.html
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,37852-lang,idc,nasionalt,Putusan+MK+Soal+Anak+Luar+Nikah+Munculkan+Pemahama
n+Beragam-.phpx
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=199:peri
hal-kontroversi-nikah-sirri-&catid=47:materi-konsultasi&Itemid=66
Download