II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekonomi Pencemaran

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ekonomi Pencemaran
Definisi ekonomi pencemaran tergantung pada beberapa efek fisik limbah
pada lingkungan dan reaksi manusia terhadap efek fisik. Efek fisik dapat biologis
(misalnya perubahan spesies, kesehatan yang buruk), kimia (misalnya efek dari
hujan asam pada permukaan), atau auditori (kebisingan). Reaksi manusia muncul
sebagai ketidakpuasan, kecemasan, atau ketidaknyamanan (Pearce dan Turner,
1990).
Biaya eksternal juga dikenal sebagai eksternalitas negatif atau diseconomy
eksternal. Eksternalitas adalah pengaruh atau dampak atau efek samping yang
diterima oleh beberapa pihak sebagai akibat dari kegiatan ekonomi, baik produksi,
konsumsi atau pertukaran yang dilakukan pihak lain. Eksternalitas dapat bersifat
menguntungkan (positive externalities) atau bersifat merugikan (negative
externalities). Eksternalitas negatif adalah pengaruh yang diterima oleh beberapa
pihak akibat kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain yang mengakibatkan
penurunan
kesejahteraan
dan
hilangnya
kesejahteraan
tersebut
tidak
dikompensasi. Eksternalitas positif adalah kegiatan satu pihak menghasilkan
peningkatan kesejahteraan pada pihak lain.
2.1.1 Kondisi Optimal Tanpa Terjadi Eksternalitas dan dengan
Eksternalitas
Dengan adanya eksternalitas, kita tidak dapat mencapai kondisi-kondisi
optimalitas pareto (P=MSC). Tingkat harga ketika terjadi eksternalitas akan lebih
tinggi dibandingkan ketika tidak terjadi eksternalitas. Sebaliknya, output yang
10
dihasilkan akan lebih sedikit ketika terjadi eksternalitas (Pearce dan Turner,
1990). Sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3.
P
MSC
MPC
Biaya Eksternal
p2
p1
D
q2
q1
Jumlah output
Gambar 3. Biaya Eksternal dan Keluaran Pasar
Gambar 3 mengilustrasikan hubungan antara jumlah produksi dan biaya
eksternal. Perpotongan kurva permintaan dan kurva biaya swasta marjinal (MPC)
terjadi pada harga p1 dan kuantitas q1. Inilah harga dan kuantitas yang muncul
pada pasar kompetitif dimana produsen mengabaikan biaya eksternal. Namun
pada kenyataannya, biaya sosial marginal (MSC) lebih tinggi dari MPC karena
MSC terdiri atas MPC dan MEC. Maka tingkat output yang efisien secara sosial
adalah q2 pada tingkat harga p2. Perhatikan bahwa tingkat output q1 lebih besar
dibandingkan tingkat output q2, sementara tingkat harga p1 lebih rendah
dibandingkan tingkat harga p2.
Sistem pasar memproduksi terlalu banyak dengan harga yang terlalu
rendah dibandingkan dengan tingkat kuantitas dan harga pada efisiensi sosial. Ini
karena perusahaan tidak membayar jasa lingkungan sebagai penyedia cara untuk
membuang limbah. Cara ini murah untuk perusahaan, tetapi tidak murah untuk
11
masyarakat yang terkena berbagai dampak negatif akibat pencemaran. Tingkat
output yang optimal yang dapat dicapai oleh perusahaan dalam pasar persaingan
sempurna (PPS) adalah pada saat P=MC. Hal ini yang melatarbelakangi mengapa
kompensasi yang dikeluarkan dari perusahaan dirasakan perlu oleh masyarakat.
2.1.2 Penyebab Terjadinya Eksternalitas dan Cara Mengatasinya
Ada beberapa hal yang menyebabkan masalah eksternalitas diantaranya
masalah hak kepemilikan (property rights), property rights sangat menentukan
alokasi sumberdaya yang efisien karena bagaimana produsen dan konsumen
menggunakan SDA tergantung pada hak pemilikan/pengelolaan yang mengatur
SDA tersebut, barang publik/public goods, common resources, kegagalan
pasar/market failure, dan kegagalan pemerintah/ state failure. Dari kelima
penyebab masalah eksternalitas, kegagalan pemerintah/state failure banyak terjadi
di Indonesia. Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentingan
pemerintah sendiri atau kelompok tertentu (interest group) yang tidak mendorong
efisiensi dan tidak berwawasan lingkungan (Putri et al, 2008). Kelompokkelompok ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking)
melalui proses politik, melalui kebijakan dan sebagainya. Aksi rent seeking bisa
dalam bentuk: lobby interest groups untuk memberlakukan aturan yang
melindungi/menguntungkan
mereka,
atau
sogokan
pada
oknum-oknum
pemerintah. Rent seeking menyebabkan dampak lingkungan yang seharusnya
diselidiki atau diatasi dengan penerimaan pemerintah dari denda atau pajak dan
lain-lain tidak dilaksanakan dengan semestinya sehingga masalahnya makin lama
makin serius. Permasalahan kegagalan pemerintah dalam pelaksanaan denda atau
pajak perlu diselesaikan untuk mengatasi masalah eksternalitas. Selaain itu
12
permasalahan eksternalitas juga dapat diatasi oleh subsidi dan bargaining
(penawaran) dari kedua belah pihak yang bersangkutan.
Pencemaran air tanah merupakan proses masuknya makhluk hidup, zat,
energi atau komponen lain oleh kegiatan manusia, yang menyebabkan kualitas air
turun (Nemerow 1978). Pencemaran dari perspektif ekonomi bukan hanya dilihat
dari hilangnya nilai ekonomi sumber daya akibat berkurangnya kemampuan
sumber daya baik kualitas maupun kuantitas, namun juga dilihat dari dampaknya
terhadap masyarakat.
Bagi masyarakat, pencemaran air tanah yang terjadi merupakan sebuah
kerugian, terutama secara ekonomi. Masyarakat tidak lagi bisa memanfaatkan
sumber daya air secara normal, baik digunakan untuk MCK maupun untuk
konsumsi. Jika ini yang terjadi tingkat kesejahteraan masyarakat pun akan
menurun, terutama ketika masyarakat harus mengeluarkan biaya tambahan seperti
biaya penyakit, biaya pengganti untuk mencari sumber air baru yang lebih layak
untuk dikonsumsi untuk memenuhi kegiatan sehari-hari.
2.2
Industri dan Klasifikasinya
Setiap bangsa membutuhkan dan berhak mencita-citakan basis industri
yang efisien untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya yang terus berubah.
Industri mengekstraksi material dari basis sumber daya alam, dan memasukkan
baik produk maupun limbah ke lingkungan hidup manusia. Dengan kata lain,
industri mengakibatkan berbagai perubahan dalam pemanfaatan energi dan
sumber-sumber daya alam.
Kristanto (2004) menjelaskan industri secara garis besar dapat
diklasifikasikan kedalam tiga bagian, diantaranya industri dasar atau hulu, industri
13
hilir, dan industri kecil. Industri dasar atau hulu memiliki sifat sebagai berikut:
padat modal, berskala besar, menggunakan teknologi maju dan teruji. Lokasinya
selalu dipilih dekat dengan bahan baku yang mempunyai sumber energi sendiri,
dan pada umumnya lokasi ini belum tersentuh pembangunan. Oleh karena itu
industri hulu membutuhkan perencanaan yang matang beserta tahapan
pembangunannya, mulai dari perencanaan sampai operasional. Di sudut lain juga
dibutuhkan pengaturan tata ruang, rencana pemukiman, pengembangan hidup
perekonomian, pencegahan kerusakan lingkungan, dan lain-lain. Pembangunan
industri ini dapat mengakibatkan perubahan lingkungan, baik dari aspek sosialekonomi dan budaya maupun pencemaran. Terjadi perubahan tatanan nasional,
pola konsumsi, tingkah laku, sumber air, kemunduran kualitas udara, penyusutan
sumber daya alam, dan sebagainya. Industri hilir merupakan perpanjangan proses
industri hulu. Pada umumnya industri ini mengolah bahan setengah jadi menjadi
barang jadi, lokasinya selalu diusahakan dekat pasar. Industri kecil umumnya
banyak berkembang di pedesaan dan perkotaan, dan memiliki peralatan
sederhana. Walaupun hakikat produksinya sama dengan industri hilir, tetapi
sistem pengolahannya lebih sederhana. Sistem tata letak pabrik maupun
pengolahan limbah belum mendapat perhatian. Sifat industri ini padat karya.
Sesuai
dengan
program
pemerintah,
untuk
lebih
memudahkan
pembinaannya, industri dasar dibagi lagi menjadi industri kimia dasar, industri
mesin, dan logam dasar, sedangkan industri hilir sering juga disebut dengan aneka
industri.
Di negara maju, pentingnya industri sebagai penyedia lapangan kerja
relatif telah menurun sejak beberapa dekade terakhir. Namun demikian,
14
pergeseran lapangan kerja menuju ke sektor industri jasa telah meningkat dengan
pesat sejalan dengan ditemukannya beberapa proses dan teknologi baru.
Kebanyakan para ekonom terus mempermasalahkan apakah datangnya era
ekonomi yang berlandaskan informasi akan semakin menekan lapangan kerja di
sektor industri atau justru akan memperluas kesempatan kerja secara keseluruhan.
Sebagian besar negara berkembang mengawali kemerdekaannya praktis
tanpa industri modern sama sekali. Selama dekade 1960 dan 1970an industri
perdagangan, produksi dan lapangan kerja mereka tumbuh lebih cepat daripada
sektor-sektor yang sama di negara-negara pasar industri. Perdagangan
internasional dalam barang-barang manufaktur merupakan salah satu faktor yang
mendasari perubahan peta industrialisasi dunia.
Secara umum, produk industri setiap negara terus berdiversifikasi dan
bergerak menuju ke bidang-bidang yang lebih padat modal, seperti produk-produk
logam, bahan kimia, mesin dan peralatan. Berbagai industri berat, yang banyak
menimbulkan pencemaran terus berkembang. Pada saat yang sama sektor industri
yang berhubungan dengan produk pangan (agro-industri) terus menurun dengan
cukup berarti.
2.3
Klasifikasi Kualitas Air
Kondisi air digambarkan dengan kualitas dan ketersediaannya (volume).
Kualitas air berhubungan dengan kelayakan pemanfaatannya untuk berbagai
kebutuhan sedangkan ketersediaan air berhubungan dengan berapa banyak air
yang dapat dimanfaatkan dibandingkan dengan kebutuhannya. Kualitas air juga
dipengaruhi oleh volumenya yang berpengaruh langsung pada daya pulih air (self
purification) untuk menerima beban pencemaran dalam jumlah tertentu
15
(Kementerian Lingkungan Hidup, 2009). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas Air dan pengendalian Pencemaran
Air, klasifikasi mutu air diterapkan menjadi 4 kelas yaitu:
1) Kelas I, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum,
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut.
2) Kelas II, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut.
3) Kelas III, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan
air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain
yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
4) Kelas IV, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman,
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut.
2.4
Konsep Industri Global Berwawasan Lingkungan
Persepsi
dan
respon
masyarakat
dunia
terhadap
permasalahan
pembangunan dan lingkungan senantiasa berkembang. Gro Halem Brundtland
mantan PM Norwegia yang juga ketika itu menjabat sebagai ketua komisi dunia
untuk lingkungan dan pembangunan, mempublikasikan laporannya yang berjudul
Hari Depan Kita Bersama (Our Common Future), konsep pembangunan yang
berkelanjutan mendapatkan gaungnya secara internasional. Sebelum konferensi
Stockholm 1972, sebagian besar pemimpin dunia menganggap bahwa kerusakan
16
lingkungan hidup adalah harga yang harus dibayar jika ingin melaksanakan
pembangunan. Sejak pascakonferensi sampai dekade 1980an, persepsi semacam
itu semakin pudar, dan yang berkembang adalah bahwa antara pembangunan dan
lingkungan sesungguhnya merupakan dua sisi mata uang yang sama. Dekade
1980an
juga
diwarnai
dengan
berkembangnya
gagasan
pembangunan
berkelanjutan (sustainable development), yang di Indonesia lebih populer dengan
istilah pembangunan berwawasan lingkungan.
Hal ini bisa kita lihat dengan diberlakukannya UU No 4/1982 tentang
ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup dan PP No.29/1986
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Namun, pelaksanaan
undang-undang ini pun masih tersendat-sendat. Sebagai buktinya pelaksanaan
studi AMDAL hingga kini belum dijadikan masukan dalam tahap perencanaan
dan operasi proyek. Kondisi semacam ini terjadi mungkin disebabkan kebanyakan
di antara kita belum menyadari manfaat dari dimasukkannya wawasan lingkungan
ke dalam kiprah pembangunan, hal ini dapat terjadi karena peraturan lingkungan
hidup seperti AMDAL, hanya dilihat dari sisi biayanya saja.
2.5
Pencemaran dan Limbah
Pada dasarnya kegiatan suatu industri adalah mengolah masukan (input)
menjadi keluaran (output). Pengamatan terhadap sumber pencemar sektor industri
dapat dilaksanakan pada masukan, proses maupun pada keluarannya dengan
melihat spesifikasi dan jenis limbah yang diproduksi. Pencemaran yang
ditimbulkan oleh industri diakibatkan adanya limbah yang keluar dari pabrik dan
mengandung bahan beracun dan berbahaya. Bahan pencemar keluar bersamasama dengan bahan buangan (limbah) melalui media udara, air dan tanah yang
17
merupakan komponen ekosistem alam. Bahan buangan yang keluar dari pabrik
dan masuk ke lingkungan dapat diidentifikasikan sebagai sumber pencemaran,
dan sebagai sumber pencemaran perlu diketahui jenis bahan pencemar yang
dikeluarkan, kuantitas dan jangkauan pemaparannya.
Menurut Soeparman dan Soeparmin (2001), limbah cair merupakan bahan
buangan yang timbul karena adanya kehidupan manusia sebagai makhluk hidup
maupun makhluk sosial. Apabila limbah cair tidak ditangani sebagaimana
mestinya maka dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran permukaan tanah
serta air tanah, yang berpotensi menjadi penyebab timbulnya penularan berbagai
macam penyakit saluran pencemaran.
Antara satu pabrik dengan pabrik lainnya berbeda jenis dan jumlah bahan
pencemar yang dikeluarkannya, tergantung pada bahan baku yang digunakan,
proses dan cara kerja karyawan dalam pabrik. Pencemaran terjadi akibat bahan
beracun dan berbahaya dalam limbah lepas masuk ke dalam lingkungan, sehingga
terjadi perubahan terhadap kualitas lingkungan. Menurut Wardhana (1995),
komponen pencemaran air yang berasal dari limbah industri, rumah tangga, dan
pertanian dapat dikelompokkan sebagai buangan padat, organik dan pengolahan
bahan makanan, anorganik, cairan berupa minyak, berupa panas, dan zat kimia.
Menurut Kristanto (2004), sumber bahan beracun dan berbahaya dapat
diklasifikasikan menjadi:
1) Industri kimia organik maupun anorganik.
2) Penggunaan B-3 sebagai bahan baku atau bahan penolong.
3) Proses kimia, fisika dan biologi di dalam pabrik.
18
Kemampuan lingkungan untuk memulihkan diri sendiri karena interaksi
pengaruh luar, disebut dengan daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan
antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya berbeda. Beberapa
komponen lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya ikut menetapkan nilai
daya dukung lingkungan.
Kristanto (2004) menjelaskan bahwa pengertian limbah itu sendiri adalah
buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki
lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomi. Bedasarkan nilai ekonominya,
limbah dibedakan menjadi limbah yang mempunyai nilai ekonomis dan limbah
yang tidak mempunyai nilai ekonomis. Limbah yang memiliki nilai ekonomis
yaitu limbah di mana dengan melalui suatu proses lanjut akan memberikan suatu
nilai tambah. Misalnya dalam pabrik gula, tetes merupakan limbah yang dapat
digunakan sebagai bahan baku untuk industri alkohol, sedangkan ampas tebu
sebai limbah dari pabrik gula juga dapat dijadikan bahan baku untuk industri
kertas karena mudah dibentuk menjadi bubur pulp.
Williams (1979) mengelompokkan bahan pencemar menjadi tiga tipe,
yaitu bahan patogenik, estetik dan ekomorpik. Bahan pencemar pada penelitian ini
bersifat patogen (pathogenic pollutants) yaitu bahan pencemar yang dapat
menyebabkan penyakit pada menusia, misalnya pencemaran logam berat.
Limbah non ekonomis adalah suatau limbah walaupun telah dialakukan
proses lanjut dengan cara apapun tidak akan memberikan nilai tambah, kecuali
sekedar untuk mempermudah sistem pembuangan. Limbah jenis ini sering
menimbulkan masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan. Menurut Kristanto
(2004) limbah industri dapat digolongkan menjadi tiga bagian:
19
1) Limbah cair, terdapat beberapa keracunan dalam mengidentifikasi limbah
cair, yaitu buangan air yang digunakan untuk mendinginkan mesinnya.
2) Limbah Gas dan Partikel, limbah ini merupakan limbah yang banyak dibuang
ke udara. Jenis limbah ini akumulasinya di udara dipengaruhi oleh arah angin,
namun sumbernya bersifat stasioner maka lingkungan sekitarnya menerima
risiko dampak pencemaran yang paling tinggi.
3) Limbah padat, hasil buangan industri yang berupa padatan, lumpur, dan
bubur yang berasal dari sisa proses pengolahan. Limbah ini dapat
dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu limbah padat yang dapat didaur
ulang (misalnya plastik, tekstil, potongan logam) dan limbah padat yang tidak
memiliki nilai ekonomis.
Oleh karena itu dalam kegiatan industri dan teknologi, air yang telah
digunakan (air limbah industri) tidak boleh langsung dibuang ke lingkungan
karena dapat menyebabkan pencemaran. Air tersebut harus diolah terlebih dahulu
agar mempunyai kualitas yang sama dengan kualitas air lingkungan. Jadi air
limbah industri harus mengalami proses daur ulang sehingga dapat digunakan lagi
atau dibuang kembali ke lingkungan tanpa menyebabkan pencemaran air
lingkungan. Proses daur ulang air limbah industri atau Water Treatment Recycle
Process adalah salah satu syarat yang harus dimiliki oleh industri yang
berwawasan lingkungan.
Beberapa jenis industri yang menghasilkan limbah gas atau partikel dapat
dilihat pada Tabel 2.
20
Tabel 2. Jenis Industri dan Limbahnya
No.
1
Jenis Industri
Industri pupuk
2
Industri pangan
3
4
Industri pertambangan
Industri metalurgi
(tembaga, baja, seng,
timah, dll)
Jenis Limbah
Uap asam
NH3, bau, partikel
Hidrokarbon
Karbon monoksida
Nitrogen dioksida
Karbon monoksida
Hidrokarbon
Dampak
Menyebabkan hujan asam
Menyebabkan sakit kepala
Penyebab Kanker
Penyakit jantung dan
pernapasan
Iritasi paru-paru
Pernapasan
Pusing
Kanker
Gatal-gatal
Sumber: Kristanto (2004)
2.6
Replacement Cost dan Cost of Illness
Penurunan kualitas lingkungan memberikan dampak negatif terhadap
masyarakat Kelurahan Nanggewer. Dipandang dari sisi ekonomi, kerugian atau
penurunan atas kualitas lingkungan akan menyebabkan timbulnya biaya. Pada
penelitian ini akan dibahas dua macam biaya yang ditanggung oleh masyarakat
Kelurahan Nanggewer yaitu Replacement Cost dan Cost of Illness. Replacement
Cost atau biaya pengganti merupakan metode yang digunakan untuk menilai suatu
sumber daya alam yang dilihat dari biaya yang dikeluarkan untuk menggantikan
atau memperbaiki sumberdaya tersebut setelah adanya kerusakan (Garrod dan
Willis, 1999). Metode Replacement Cost dapat digunakan untuk menentukan nilai
suatu aset pada saat ini.
Biaya kesehatan atau Cost of Illness didefinisikan sebagai metode yang
digunakan untuk mengestimasi kerugian yang ditanggung masyarakat yang
didasarkan pada biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan akibat adanya
penurunan kualitas lingkungan. Apabila dijabarkan, metode biaya kesehatan ini
terdiri dari biaya rumah sakit, biaya obat, biaya perawatan, dan penurunan
produktivitas (berkurangnya waktu bekerja).
21
2.7
Contingent Valuation Method (CVM)
Metode ini disebut Contingent Valuation karena metode ini mencoba
mendorong orang untuk mengungkapkan apa yang akan mereka lakukan jika
mereka ditempatkan pada kondisi tertentu. Pada awalnya, metode ini didasarkan
atas ide sederhana bahwa jika kita ingin mengetahui berapa nilai yang bersedia
dikeluarkan atau diterima oleh orang untuk mencapai kondisi lingkungan tertentu,
kita dapat menanyakannya kepada mereka. Studi Contingent Valuation telah
digunakan untuk mempelajari banyak faktor lingkungan, diantaranya yaitu
kualitas udara, nilai keindahan alam, kualitas kondisi pantai, perlindungan spesies
liar, dan kepadatan populasi alam liar (Fauzi, 2006).
CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui: pertama, keinginan
membayar (WTP) dari masyarakat, misal terhadap perbaikan kualitas lingkungan
(air, udara, dan sebagainya), dan kedua keinginan menerima (WTA) masyarakat
atas suatu kondisi lingkungan yang rusak. Teknik CVM didasarkan pada asumsi
hak kepemilikan, jika individu yang ditanya tidak memiliki hak-hak atas barang
dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, maka pengukuran yang relevan
adalah dengan mengukur seberapa besar keinginan membayar untuk memperoleh
barang tersebut. Sebaliknya, jika individu yang kita tanya memiliki hak atas
sumberdaya maka pengukuran yang relevan adalah seberapa besar keinginan
untuk menerima kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya
sumberdaya yang dia miliki (Fauzi, 2006). Penilaian WTA perlu dilakukan di
Kelurahan Nanggewer, karena pada kasus ini pihak industri yang mendekat ke
pemukiman warga di Kelurahan Nanggewer.
Langkah-langkah dalam metode CVM adalah :
22
1.
Menyusun pasar hipotetik
Langkah yang pertama adalah menetapkan suatu alasan untuk suatu barang
atau jasa dimana tidak ada arus pembayaran.
2.
Memperoleh penawaran (bid)
Metode untuk memperoleh penawaran diantaranya adalah bidding games
yaitu dengan cara responden diberikan penawaran yang lebih tinggi secara
progresif hingga mereka memperoleh nilai max WTP atau min WTA,
payment card yaitu suatu kisaran nilai yang sudah diberikan pada kartu dan
responden diminta untuk memilih satu, open-ended question yaitu responden
diminta memberi laporan tentang max WTP atau min WTA, close ended
question ada tiga jenis yaitu dichotomous choice (diberikan sebuah
penawaran, responden diminta jawaban ya atau tidak), double bounded choice
(yang menjawab tidak pada penawaran pertama akan diberikan penawaran
selanjutnya), dan yang terakhir trichotomous choice (responden diberikan tiga
pilihan untuk membayar ya, tidak atau indiferen.
3.
Mengestimasi mean WTP/WTA
Dengan tiga pendekatan pertama dalam menimbulkan penawaran, nilai mean
dan median dari WTP atau WTA dapat diperoleh.
4.
Mengestimasi kurva penawaran
5.
Menentukan total WTA (agregating data)
6.
Evaluasi Pelaksanaan CVM
2.8
Penelitian Terdahulu
Penelitian yang terkait dengan topik penelitian ini yaitu penelitian yang
pernah dilakukan oleh Bujagunasti (2009). Pada penelitiannya, Bujagunasti
23
menggunakan metode replacement cost dan cost of illness. Hasil penelitiannnya
menunjukkan adanya biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat akibat pencemaran,
total kerugian masyarakatnya yaitu sebesar Rp. 13.385.300 per tahun.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Ani Triani (2009) juga dapat
dijadikan referensi, penelitian dengan topik “Analisis Willingness To Accept
Masyarakat Terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau”. Pada
penelitiannya itu Ani menggunakan metode analisis regresi berganda untuk
menganalisis fungsi Willingness to Accept. Perhitungan terhadap dugaan nilai
rataan WTA (EWTA) menghasilkan nilai sebesar Rp 5.056,98 per pohon per
tahun. Satu hektar lahan berjumlah 500 pohon, setelah dikonversikan maka
didapat nilai rataan WTA sebesar Rp 2.528.4900,00 per ha per tahun. Sementara
hasil perhitungan total WTA Kelompok Tani Karya Muda II sebesar Rp
217.450,00 per pohon per tahun, luas lahan sebesar 25 ha dengan tiap ha lahan
ditumbuhi pohon berjumlah 500 pohon. Mengacu pada jumlah pohon yang
terdapat di lokasi penyedia jasa lingkungan maka diperoleh nilai total kesediaan
kelompok tani Karya Muda II untuk menerima kompensasi terhadap upaya
konservasi sebesar Rp 2.718.125.000. Pada penelitian ini juga menghasilkan
variabel yang secara nyata berpengaruh adalah tingkat pendapatan, nilai
pembayaran dan kepuasan jasa lingkungan yang diterima, lama tinggal, jumlah
pohon, dan penilaian terhadap cara penetapan nilai pembayaran. Sementara
variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah tingkat pendidikan, jumlah
tanggungan, status kepemilikan lahan, dan biaya pemeliharaan.
Sementara pada penelitian ini total kerugian yang ditanggung oleh
masyarakat Kelurahan Nanggewer sebesar Rp 7.426.000 per bulan. Pada
24
penelitian ini juga menghasilkan nilai rataan WTA sebesar Rp 275.000 per bulan,
sedangkan total WTA yang dihasilkan dari 48 responden sebesar Rp 13.200.000
per bulan. Untuk variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap besarnya
kesediaan menerima kompensasi adalah jumlah tanggungan dan ada atau tidaknya
upaya mengatasi pencemaran. Hal ini berbeda dengan apa yang dihasilkan oleh
penelitian Ani Triani (2009), pada penelitiannya variabel jumlah tanggungan tidak
secara nyata berpengaruh terhadap besarnya kesediaan menerima kompensasi
responden di kawasan DAS Cidanau.
25
Download