EVALUASI KESESUAIAN LAHAN TANAMAN KAKAO

advertisement
JURNAL AGROTEKNOS Juli 2013
Vol. 3 No. 2. Hal 80-85
ISSN: 2087-7706
EVALUASI KESESUAIAN LAHAN TANAMAN KAKAO (Theobroma
cacaoL.) BERDASARKAN ANALISIS DATA IKLIM MENGGUNAKAN
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI
Land Suitability Evaluation of Cocoa (Theobroma cacao L.) Crop
Based on Climate Data Analysis Using Geographic Information Systems
Applications
LA ODE SAFUAN*), AMINUDDIN MANE KANDARI, MUHAMAD NATSIR
Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo, Kendari
ABSTRACT
The aims of the study were to determine the type of climate and the distribution and
wide of each class of climate suitability for cocoa crop in the district of Buton. This study
was conducted in March to August 2012 by using spline interpolation through the
application of Geographic Information Systems (GIS) and ArcGIS 9.3 software and overlay
method to get climatic units in the research are. The research found that climate type in the
research area was climate type C (rather wet), subdistricts Batauga, Lasalimu, South
Lasalimu, Siotapina and part region of including sub district Wolowa; and climate type D
(medium) in the region of sub ditricts Kapontori, Wabula, Lapandewa and Sampolawa and
part region sub district Wolowa, Lasalimu and Pasarwajo. Based on the results of evaluation
of the suitability of the actual climate in the study area for the development of cocoa plants,
there were nine (9 ) units of climatic suitability classes, namely S1, S2t, S2t, w1, S2w1, S3w1,
S3w1, 3, S3w3, N1w3, and N2w1 with the area sizes of 91,16 ha or 0,08 %, 14.191,47 ha or
12,54 %, 10.726,04 ha or 9,47%, 2.245,34 ha or 1.98 %, 19.324,25 ha or 17,07 %, 17,80 ha or
0,02 %, 7.908,03 ha or 6,99 %, 29.017,40 ha or 25,63 % and 29.692,10 ha or 26,23 %. On the
other hand, the potential climatic suitability classes were seven (7) units, namely S1, S2t,
S2w1, S3w3, N1w1,3, N1w1 and N1w3 with each area size of 2.336,50 ha or 2,06%, 24.917,51
ha or 22,01%, 17,80 ha or 0,02%, 27.232,28 ha or 24,05%, 4.068,60 ha or 3,59%, 25.623,49
ha or 22,63% and 29.017,40 ha or 25,63% respectively, of the total evaluated area, with the
limiting factors of temperature, climate, the number of dry months and moisture. This
research showed that there are areas that can be developed for cocoa crop in the study area
based on climate suitability.
Keywords: climate, cocoa, land suitability
PENDAHULUAN
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan
salah satu komoditas perkebunan yang
peranannya cukup penting bagi perekonomian
nasional, khususnya sebagai penyedia
lapangan kerja, sumber pendapatan dan
devisa negara. Disamping itu, kakao juga
berperan dalam mendorong pengembangan
wilayah dan pengembangan agroindustri.
Menurut Balitbang Pertanian Departemen
Pertanian (2011), pada tahun 2010
perkebunan kakao telah menyediakan
lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi
sekitar 950 ribu kepala keluarga petani yang
sebagian besar berada di kawasan timur
Indonesia serta memberikan sumbangan
devisa terbesar ke tiga subsektor perkebunan
setelah karet dan kelapa sawit.
Iklim merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan dan produksi
tanaman. Berdasarkan gambaran iklim dapat
diidentifikasi tipe vegetasi yang tumbuh di
suatu lokasi. Untuk mengetahui apakah
tanaman dapat hidup sesuai dengan iklim
tertentu, diperlukan syarat tumbuh dan
informasi cuaca yang lebih rinci dari beberapa
dekade dengan nilai rata-rata bulanan dan
pola sebaran sepanjang tahun (Irianto, 2000
dalam As-Syakur, 2011).
Vol. 3 No.2, 2013
Spillane (1995) menyatakan bahwa
tanaman kakao merupakan tanaman yang
berasal dari daerah tropis di Amerika Selatan.
Untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan
baik, tanaman kakao menghendaki lahan
dengan keadaan tanah dan iklim tertentu.
Iklim yang sesuai untuk tanaman kakao adalah
iklim dengan curah hujan cukup dan hujan
yang terdistribusi merata sepanjang tahun
(curah hujan rata-rata antara 1500-2500
mm/tahun), dengan bulan kering kurang dari
3 bulan/tahun, suhu rata-rata antara 15-30 oC,
tidak ada angin yang bertiup kencang (Bahri,
1996). Winarso (2003) mengatakan bahwa
sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi
kendala bagi pertumbuhan dan produksi
tanaman kakao.
Kondisi geografis Indonesia secara umum
dan Kabupaten Buton secara khusus yang
berbentuk kepulauan, menyebabkan iklim
yang ada adalah iklim equator yang spesifik
dan rumit dikarenakan adanya daerah
tekanan Asia dan Australia serta pola angin
monsun. Akibat kondisi tersebut, maka hujan
yang jatuh di wilayah Indonesia digolongkan
menjadi tiga jenis yaitu hujan konvektif, hujan
orografik dan hujan konvergensi (Bayong,
1999). Variabilitas curah hujan sangat
menarik untuk diamati khususnya di wilayah
iklim maritim tropis.
Data BPS (2011) menunjukkan bahwa
jumlah produksi kakao di Kabupaten Buton
adalah 476 ton dari 1.710 ha luas lahan yang
produktif atau sebanyak 0,28 ton/ha. Hal ini
menunjukan jumlah produktivitas kakao di
Kabupaten Buton masih relatif rendah.
Sebagai komoditas yang memiliki prospek
yang cukup menjanjikan, untuk meningkatkan
produktifitas kakao telah dilakukan berbagai
upaya baik dengan intensifikasi maupun
ekstensifikasi pertanian. Secara umum, upayaupaya tersebut lebih difokuskan pada aspek
budidaya tanaman, sedangkan perhatian
terhadap iklim belum diperhatikan secara
serius. Padahal, faktor iklim merupakan
bagian yang penting untuk diperhatikan dalam
budidaya tanaman. Perkembangan Sistem
Informasi Geografi (SIG) saat ini telah
mengalami perkembangan yang sangat pesat
dengan kemampuannya untuk memperoleh,
menyimpan, memperbaiki, memanipulasi,
menganalisis, dan menampilkan semua bentuk
data dan informasi ke dalam sistem yang
bereferensi geografi, sehingga dengan
Evaluasi Kesesuaian Lahan Tanaman Kakao
81
kemampuan tersebut sebuah data maupun
informasi dapat disajikan secara efisien dan
efektif ke dalam bentuk peta. Dengan
demikian, informasi tersebut dapat dijadikan
sebuah
kebijakan
dalam
pengambilan
keputusan dalam suatu perencanaan maupun
pengelolaan dalam pemanfaatannya.
Berdasarkan uraian diatas, analisis data
iklim dengan bantuan SIG sangat penting
dilakukan dalam upaya memperoleh informasi
spasial tentang kesesuaian tanaman kakao
berdasarkan kesesuaian iklimnya di wilayah
Kabupaten Buton.
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu. Penelitian ini
dilaksanakan di wilayah kecamatan yang
berada di daratan Pulau Buton, Kabupaten
Buton pada bulan Maret sampai Agustus 2012.
Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan
pada penelitian ini yaitu Citra SRTM (Shuttle
Radar Topography Mission) resolusi 90 meter,
peta administrasi Kabupaten Buton Skala
1:500.000, data iklim dari stasiun Lawele,
Ngkari-ngkari, Kaisabu, Kapontori dan stasiun
Betoambari
selama 10 (sepuluh) tahun
terakhir (2002– 2011). Alat yang digunakan
dalam penelitian ini adalah peralatan untuk
analisis data seperti perangkat lunak
(software) ArcGIS 9.3 beserta extensions
spasial Analyst, Microsoft Office Excel 2003
dan laptop.
Metode
Penelitian.
Metode
yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi
metode tumpang susun (overlay) antara peta
administrasi dan peta-peta hasil interpolasi
dari data iklim seperti curah hujan, suhu,
bulan kering dan kelembaban untuk
mendapatkan karakteristik biofisik, salah
satunya adalah iklim sebagai dasar untuk
evaluasi kesesuaian agroklimat. Selanjutnya,
dilakukan metode pencocokkan (matching)
antara karakteristik iklim dengan persyaratan
agroklimat tanaman kakao.
Tahap
Persiapan.
Kegiatan
yang
dilakukan pada tahap persiapan adalah
sebagai berikut: mengumpulkan data dan
informasi tentang kondisi iklim wilayah
penelitian, yaitu mengumpulkan peta dasar
yang dibutuhkan dan data iklim dari beberapa
stasiun klimatologi di wilayah penelitian, serta
melakukan digitasi ulang pada peta
82
SAFUAN ET AL.
administrasi Kabupaten Buton, dan peta
Konsesi.
Tahap Pengamatan Lapangan. Kegiatan
pengamatan lapangan dilakukan melalui
teknik wawancara dengan petani atau pihak
terkait untuk mengetahui secara langsung,
jelas dan pasti informasi yang didapat tentang
jenis tanaman kakao yang diusahakan pada
lahan pertanian, termasuk data luasan dan
produksinya, keadaan sosial dan ekonomi
penduduk pada daerah penelitian serta
informasi lain yang berhubungan dengan
penelitian ini.
Tahap Pengolahan Data. Pengolahan data
yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari
3 (tiga) proses yaitu sebagai berikut:
Proses Tabulasi Data Iklim. Data iklim
yang diperoleh dari beberapa stasiun di
Kabupaten Buton maupun instansi terkait
selama 10 tahun pencatatan terakhir (20022011), diolah berdasarkan metode rata-rata:
dan dilanjutkan dengan
klasifikasi iklim berdasarkan klasifikasi
Schmidth Fergusson.
Proses Analisis Spasial. Proses analisis
spasial adalah proses pengolahan data-data
spasial beserta data atributnya untuk
menghasilkan suatu data spasial baru
berdasarkan
input-input
data
spasial
sebelumnya. Adapun proses analisis spasial
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
Sebaran spasial curah hujan di wilayah
penelitian
dilakukan
dengan
cara
menginterpolasi data curah hujan rata-rata
tahunan dari 4 stasiun penakar yang ada di
wilayah
penelitian.
Proses
interpolasi
dilakukan dengan menggunakan perangkat
lunak ArcGIS 9.3 dengan metode spline yang
ada pada spatial analyst tools. Untuk
memperoleh masa bulan kering, data curah
hujan bulanan direklasifikasi terlebih dahulu
dimana bila curah hujan bulanan <75 mm,
maka termasuk dalam bulan kering.
Melakukan tumpang susun (overlay)
terhadap hasil interpolasi dengan peta-peta
tematik yang lain seperti peta kawasan hutan
dan peta konsesi untuk mendapatkan unit
iklim.
Proses Evaluasi Kesesuaian Agroklimat.
Kesesuaian agroklimat dilakukan dengan
sistem klasifikasi kesesuaian lahan menurut
J. AGROTEKNOS
LREP II (1994) dan PPT (2003) yang
dimodifikasi. Evaluasi kesesuaian iklimnya
menggunakan
metode
pencocokkan
(matching) antara karakteristik iklim dengan
persyaratan agroklimat untuk mendapatkan
kelas kesesuaian agroklimat tanaman kakao
(Theobroma cacao L.).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Stasiun Curah Hujan. Kondisi curah hujan
di wilayah penelitian didasarkan pada 4
(empat) stasiun curah hujan yang terdiri dari
stasiun Lawele, Betoambari, Kapontori dan
Kaisabu, selama 10 (sepuluh) tahun (20022011). Hasil tabulasi curah hujan rata-rata
bulanan dari ke empat stasiun curah hujan
selama 10 tahun (2002-2011) di wilayah
penelitian disajikan sebagaimana pada Tabel
4.1
Stasiun Curah Hujan Betoambari.
Berdasarkan pembagian poligon Thiessen,
cakupan Stasiun Curah Hujan Betoambari
mewakili Kecamatan Batauga. Berdasarkan
klasifikasi Schmidth-Fergusson (BB= CH>100
mm/bulan; BK= CH<60 mm/bulan) bahwa di
wilayah cakupan stasiun curah hujan
Betoambari tergolong tipe iklim C, yaitu
terdapat 5,2 bulan basah (BB) dan 2,8 bulan
kering (BK) dengan nilai Quotient (Q)= 54,8%.
Kenyataan ini mengindikasikan bahwa di
wilayah cakupan stasiun curah hujan
Betoambari tergolong tipe iklim daerah agak
basah.
Stasiun
Curah
Hujan
Lawele.
Berdasarkan pembagian poligon Thiessen,
cakupan stasiun curah hujan Lawele mewakili
beberapa kecamatan, yang terdiri dari
Kecamatan Lasalimu, Lasalimu Selatan,
Siotapina dan sebagian wilayah Kecamatan
Wolowa. Berdasarkan klasifikasi SchmidthFergusson (BB= CH>100 mm/bulan; BK=
CH<60 mm/bulan) bahwa di wilayah cakupan
stasiun curah hujan Lawele tergolong tipe
iklim C, yaitu terdapat 5,3 bulan basah (BB)
dan 2,6 bulan kering (BK) dengan nilai
Quotient (Q) = 49,2 %.
Kenyataan ini
mengindikasikan bahwa di wilayah cakupan
stasiun curah hujan Lawele tergolong tipe
iklim daerah agak basah.
8
SAFUAN ET AL.
J. AGROTEKNOS
Tabel 1. Curah hujan (mm) rata-rata bulanan selama 10 tahun (2002-2011)
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Jumlah
Stasiun
Lintang
Bujur
Lawele
5º 13' 44''
122º 57' 37''
129,58
160,81
188,15
203,38
213,92
209,61
109,66
65,74
45,28
70,48
100,31
148,55
1.645,46
Betoambari
5º 28' 30''
122º 35' 10''
255,11
293,5
253,6
226,7
121,1
198,4
62,3
32,7
32,9
44,7
153,5
315,2
1.989,67
Kapontori
5º 12' 57''
122º 48' 56''
198,6
183,6
203,1
237,2
111,3
162,7
66,5
11,6
10,0
55,3
136,2
176,1
1.552,4
Kaisabu
5º 28' 59''
122º 43' 19''
237,3
264,6
217,2
203,8
111,4
158,2
59,3
9,0
9,8
65,4
160,9
250,3
1.747,2
Sumber: BMKG Baubau, BPTP Sultra dan Balai Wilayah Sungai Sulawesi IV
Stasiun
Curah
Hujan
Kapontori.
Berdasarkan pembagian poligon Thiessen,
cakupan stasiun curah hujan Kapontori
mewakili beberapa kecamatan, yang terdiri
dari Kecamatan Kapontori dan sebagian
wilayah Kecamatan Wolowa, Lasalimu dan
Kecamatan Pasarwajo. Berdasarkan klasifikasi
Schmidth-Fergusson (BB= CH>100 mm/bulan;
BK= CH<60 mm/bulan) bahwa di wilayah
cakupan stasiun curah hujan Kapontori
tergolong tipe iklim D, yaitu terdapat 4,8 bulan
basah (BB)dan 3,1 bulan kering (BK) dengan
nilai Quotient (Q)= 64,9 %. Kenyataan ini
mengindikasikan bahwa di wilayah cakupan
stasiun curah hujan Kapontori tergolong tipe
iklim sedang.
Stasiun
Curah
Hujan
Kaisabu.
Berdasarkan pembagian poligon Thiessen,
cakupan Stasiun Curah Hujan Kaisabu
mewakili beberapa kecamatan, yang terdiri
dari
Kecamatan
Pasarwajo,
Wabula,
Lapandewa,
Sampolawa
dan sebagian
Kecamatan Wolowa. Berdasarkan klasifikasi
Schmidth-Fergusson (BB= CH>100 mm/bulan;
BK= CH<60 mm/bulan) bahwa di wilayah
cakupan stasiun curah hujan Kaisabu
tergolong tipe iklim D, yaitu terdapat 6,8 bulan
basah (BB) dan 4,2 bulan kering (BK) dengan
nilai Quotient (Q)= 61,5 %. Kenyataan ini
mengindikasikan bahwa di wilayah cakupan
stasiun curah hujan Kaisabu tergolong tipe
agak basah.
Kesesuaian Iklim Aktual Tanaman
Kakao. Kelas kesesuaian iklim aktual disebut
juga kelas kesesuaian saat ini (current
suitabilty) atau kesesuaian lahan alami.
Kesesuaian ini menujukkan kesesuaian lahan
pada saat dilakukan evaluasi lahan, tanpa ada
perbaikan yang berarti
dan tingkat
pengelolaan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi kendala atau faktor pembatas yang
ada dalam suatu lahan. Evaluasi kesesuaian
iklim di dalam penelitian dilakukan sampai
tingkat unit, yaitu pembagian lebih lanjut
berdasarkan perbedaan besarnya penghambat
yang berpengaruh dalam pengelolaan suatu
sub kelas. Dari hasil evaluasi kesesuaian iklim
aktual di wilayah penelitian di peroleh 9
(sembilan) unit kelas kesesuaian iklim yaitu
S1, S2t, S2tw1, S2w1, S3w1, S3w1,3, S3w3,
N1w3 dan N2w1. Peta kesesuaian iklim aktual
di wilayah penelitian disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1.
Peta
kesesuaian iklim
aktual
tanaman kakao di wilayah penelitian
Kesesuaian Iklim Potensial Tanaman
Kakao. Kesesuaian lahan potensial adalah
Vol. 3 No.2, 2013
keadaan kesesuaian lahan yang
akan
dihasilkan setelah dilakukan perbaikan
terhadap faktor-faktor pembatas yang ada
pada setiap unit lahan. Dari hasil evaluasi
kesesuaian iklim aktual di wilayah penelitian
di peroleh 7 (tujuh) unit kelas kesesuaian
iklim, yaitu S1, S2t, S2w1, S3w3, N1w1,3,
N1w1 dan N1w3. Peta kesesuaian iklim
potensial di wilayah penelitian disajikan pada
Gambar 2.
Gambar 2.
Peta kesesuaian iklim potensial
tanaman kakao di wilayah penelitian
Evaluasi kelas kesesuaian iklim merupakan
pengelompokan terhadap suatu wilayah
spesifik dari faktor iklim. Evaluasi kelas
kesesuaian iklim untuk tanaman kakao
dimaksudkan untuk menilai unsur-unsur iklim
terhadap kondisi iklim yang dikehendaki oleh
tanaman kakao. Lingkungan yang alami bagi
tanaman kakao adalah hutan tropis. Dengan
demikian, suhu, curah hujan, kelembaban
udara
merupakan
faktor
pembatas
penyebaran tanaman kakao (Siregar et al.,
1989).
Suhu (oC). Berdasarkan beberapa hasil
penelitian,
temperatur
ideal
bagi
o
pertumbuhan kakao adalah 30-32 C dan 1821oC. Kakao dapat juga tumbuh dengan baik
pada temperatur minimum 15 oC per bulan
dengan temperatur minimum absolut 10 oC
per bulan. Pengaruh temperatur terhadap
pertumbuhan kakao erat kaitannya dengan
ketersediaan air, sinar matahari dan
kelembaban. Kelas kesesuaian iklim di lokasi
penelitian jika ditinjau dari aspek suhu
diperoleh kelas kesesuaian iklim S1 dan S2.
Bulan Kering. Suyoto dan Djamin (1983)
menyatakan bahwa musim kering untuk
tanaman adalah tidak lebih dari 3 bulan. Bulan
kering yang terdapat di lokasi penelitian
adalah 4 bulan, sehingga diperoleh kelas
Evaluasi Kesesuaian Lahan Tanaman Kakao
83
kesesuaian lahan aktual S3. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa di wilayah tersebut
kurang baik untuk pengembangan kakao.
Sementara itu, input teknologi untuk
perbaikan kondisi bulan kering merupakan
sesuatu yang sulit, sehingga kelas kesesuaian
lahan potensial ditetapkan sebagai S3.
Curah Hujan. Kondisi curah hujan yang
terdapat di lokasi penelitian berkisar 1.500>2.000
mm/tahun.
Kondisi
tersebut
merupakan kondisi yang paling cocok untuk
kakao sehingga termasuk dalam kelas
kesesuaian lahan aktual dan potensial S1.
Menurut Suyoto dan Djamin (1983), curah
hujan yang optimal untuk pertumbuhan
tanaman kakao berkisar antara 1.500–2.000
mm setiap tahun, dengan penyebaran yang
merata sepanjang tahun. Curah hujan 1.354
mm/tahun dianggap cukup jika hujan merata
sepanjang tahun dengan musim kering tidak
lebih dari 3 bulan dibutuhkan air irigasi.
Kesesuaian curah hujan untuk pengembangan
tanaman kakao di wilayah penelitian berada
pada kelas kesesuaian yang sangat sesuai (S1)
atau faktor curah hujan yang ada di wilayah
penelitian tidak dianggap sebagai faktor
penghambat untuk tanaman kakao.
Kelembaban. Kondisi kelembaban yang
ada di lokasi penelitian berdasarkan hasil
interpolasi yakni berkisar 38-114%. Hal
tersebut merupakan kelembaban yang tinggi
untuk tanaman kakao dan kemungkinan
kakao tidak dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik pada tingkat kelembaban yang
tinggi atau diatas 95%. Oleh karena itu, kelas
kesesuaian lahan aktual di lokasi penelitian
jika ditinjau dari aspek kelembaban diperoleh
kelas kesesuaian yang sangat beragam yaitu
dari S1 (sangat sesuai) sampai tidak sesuai
saat ini (N1) kemudian kelas kesesuaian lahan
potensial juga termasuk N1 karena kondisi
kelembaban sangat sulit dirubah meskipun
dengan input teknologi (membutuhkan tenaga
dan biaya yang tinggi).
Kelas Kesesuaian Aktual dan Potensial.
Hasil analisis kelas kesesuaian iklim aktual di
wilayah penelitian diperoleh 9 (sembilan) unit
kelas kesesuaian iklim yaitu S1, S2t, S2t,w1,
S2w1, S3w1, S3w1,3, S3w3, N1w3 dan N2w1
yakni kelas kesesuaian sangat sesuai (S1),
cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3), tidak
sesuai saat ini (N1) dan tidak sesuai permanen
(N2) dengan faktor pembatas iklimnya adalah
berupa suhu, bulan kering dan kelembaban.
84
SAFUAN ET AL.
Kelas kesesuaian aktual S1 (sangat sesuai)
memiliki luas sebaran sekitar 91,16 ha atau
0,08% yang berada di wilayah Kecamatan
Siotapina. Kesesuaian aktual S2 (cukup sesuai)
seluas 27.162,85 ha atau 23,99% yang berada
di Kecamatan Lasalimu, Lasalimu Selatan dan
Siotapina dengan faktor penghambat berupa
suhu (28-30 oC) dan jumlah bulan kering (2-3
bulan). Kesesuaian aktual S3 (sesuai marginal)
seluas 27.250,09 ha atau 24,07% yang berada
di Kecamatan Batauga, Lasalimu, Sampolawa,
Siotapina, Wolowa dan sebagian di Kecamatan
Kapontori, Lasalimu Selatandan Pasarwajo
dengan faktor penghambat berupa jumlah
bulan kering (3-4 bulan) dan kelembaban (7695%). Kesesuaian aktual N1 (tidak sesuai saat
ini) seluas 29.017,40 ha atau 25,63% yang
berada di Kecamatan Lapandewa, Pasarwajo,
Sampolawa, Wabula, Wolowa dan sebagian di
Kecamatan
Batauga
dengan
faktor
penghambat berupa kelembaban (95-114%).
Sedangkan kesesuaian aktual N2 (tidak sesuai
permanen) seluas 29.692,10 ha atau 26,23%
yang berada di Kecamatan Batauga, Kapontori,
Pasarwajo, Sampolawa dan sebagian di
Kecamatan
Lasalimu
dengan
faktor
penghambat berupa jumlah bulan kering (4-5
bulan). Sedangkan untuk kelas kesesuaian
iklim potensial di wilayah penelitian diperoleh
7 (tujuh) unit kelas kesesuaian iklim, yaitu S1,
S2t, S2w1, S3w3, N1w1,3, N1w1 dan N1w3.
Kelas kesesuaian potensial S1 (sangat sesuai)
memiliki luas sebaran sekitar 2.336,50 ha atau
2,06% yang berada di wilayah Kecamatan
Lasalimu, Lasalimu Selatan dan Kecamatan
Siotapina. Kelas potensial S2 (cukup sesuai)
seluas 24.935,32 ha atau 22,03% yang berada
di Kecamatan Lasalimu, Lasalimu Selatan dan
Siotapina dengan faktor penghambat berupa
suhu (28-30 oC) dan jumlah bulan kering (2-3
bulan). Kesesuaian potensial S3 (sesuai
marginal) seluas 27.232,28 ha atau 24,05%
yang berada di Kecamatan Batauga, Lasalimu,
Sampolawa, Siotapina, Wolowa dan sebagian
di Kecamatan Kapontori, Lasalimu Selatan dan
Pasarwajo dengan faktor penghambat
kelembaban (76-95%). Sedangkan kesesuaian
potensial N1 (tidak sesuai saat ini) seluas
58.709,49 ha atau 51,86% yang berada di
Kecamatan Batauga, Lapandewa, Kapontori,
Pasarwajo, Sampolawa, Wabula, Wolowa dan
sebagian di Kecamatan Lasalimu dengan
faktor penghambat berupa jumlah bulan
J. AGROTEKNOS
kering (4-5 bulan) dan kelembapan (95114%).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan, beberapa simpulan yang
dapat diambil adalah sebagai berikut: tipe
iklim di wilayah penelitian termasuk tipe iklim
C (iklim basah) yang meliputi Kecamatan
Batauga, Lasalimu, Lasalimu Selatan, Siotapina
dan sebagian wilayah Kecamatan Wolowa dan
tipe iklim D (iklim sedang) meliputi
Kecamatan Kapontori, Wabula, Lapandewa
dan Sampolawa dan sebagian wilayah
Kecamatan Wolowa, Lasalimu dan Pasarwajo.
Kelas kesesuaian iklim aktual di wilayah
penelitian untuk pengembangan tanaman
kakao diperoleh 9 (sembilan) unit kelas
kesesuaian iklim yaitu S1, S2t, S2t,w1, S2w1,
S3w1, S3w1,3, S3w3, N1w3, dan N2w1 dengan
luas masing-masing secara berturut-turut
adalah91,16 ha atau 0,08%, 14.191,47 ha atau
12,54%, 10.726,04 ha atau 9,47%, 2.245,34 ha
atau 1,98%, 19.324,25 ha atau 17,07%, 17,80
ha atau 0,02%, 7.908,03 ha atau 6,99%,
29.017,40 ha atau 25,63% dan 29.692,10 ha
atau 26,23%. Sementara itu, kelas kesesuaian
iklim potensial diperoleh 7 (tujuh) unit kelas
kesesuaian iklim, yaitu S1, S2t, S2w1, S3w3,
N1w1,3, N1w1 dan
N1w3 dengan luas
masing-masing secara berturut-turut adalah
2.336,50 ha atau 2,06%, 24.917,51 ha atau
22,01%, 17,80 ha atau 0,02%, 27.232,28 ha
atau 24,05%, 4.068,60 ha atau 3,59%,
25.623,49 ha atau 22,63% dan 29.017,40 ha
atau 25,63% dari total luas wilayah yang
dievaluasi, dengan faktor pembatas iklim
adalah suhu, jumlah bulan kering dan
kelembaban. Hal ini menunjukkan bahwa ada
wilayah yang dapat dikembangkan untuk
tanaman kakao di wilayah penelitian
berdasarkan kesesuaian iklimnya.
Saran. Sebaiknya dalam pengembangan
tanaman kakao di wilayah penelitian perlu
diperhatikan hasil evaluasi kesesuaian iklim
dan perlu penelitian lanjutan mengenai
kesesuaian biofisik lainnya seperti kelerengan
dan kesuburan tanahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Pedoman Teknis Budidaya
Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.).
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Jember.
Vol. 3 No.2, 2013
Ashari, S., 1995. Hortikultura Aspek Budidaya.
UI Press. Jakarta.
Bahri, S., 1996. Bercocok Tanam Tanaman
tahunan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Balitbang Pertanian Departemen Pertanian.
2011. Bogor Agricultura. IPB. Bogor
Barry, R. G. dan R. J. Chorley, 2010.
Atmosphere Weather and Climate. Methuen
and Co. Ltd. London. Eight Edition.
Bayong, Tj. H.K., 1999. Klimatologi Umum.
Penerbit ITB Bandung.
Boer, J. Muschler, R., D. Kass, dan E. Somarriba,
1998. Coffe Shade with Mimosa Scabrella
Benth for Frost Proctection in Southern
Brazil. Agroforestri system 33:205-214.
BPS. 2012. Kabupaten Buton dalam Angka.
Badan Pusat Statistik.
Duladi. 2004. Tanggap Perkembangan Buah
Kakao Atas Perlakuan CCC, Sukrosa,
Kofaktor, dan KNO3: Tinjauan Karakteristik
Layu Buah Pentil (Cherelle Wilt). Tesis.
Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Evaluasi Kesesuaian Lahan Tanaman Kakao
85
Habibie, F., 2011. Analisis Data Iklim dan
Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk
pengembangan
tanaman
jagung
di
Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara.
Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas
Haluoleo. Kendari. Sulawesi Tenggara.
Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2001.
Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata
Guna Tanah. Jurusan Tanah IPB. Bogor.
381p.
Irianto, G., 2003. Implikasi Penyimpangan
Iklim terhadap Tataguna Lahan. Makala
Seminar Nasional Ilmu Tanah. KMIT
Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UGM.
Yogyakarta.
Lakitan, B., 2002. Dasar-Dasar Klimatologi.
Cetakan Kedua. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Prahasta, E., 2009. Konsep-Konsep Dasar
Sistim Informasi Geografis.
Penerbit
Informatika. Bandung.
Download