BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Sikkam

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Sikkam termasuk jenis pohon dari suku Euphorbiaceae, dengan nama
daerah: singkam, cingkam (Batak); tingkeum (Gayo); gadog, gintung, kerinjing
(Jawa), di negara-negara lain disebut sebagai jitang (Malasia), tuai (Sabah,
Filiphina.), toem, pradu-som (Thailand), ’khom ‘fat (Laos), dan nhoi (Vietnam).
Kayunya dalam perdagangan dikenal dengan Bishop wood atau Java cedar
(Rajbongshi, et al., 2014).
Tumbuhan ini tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian ± 1500 m dari
permukaan laut, berasal dari Asia selatan, Asia tenggara, Australia dan China.
Pohon ini menyebar luas mulai dari barat India, Jepang selatan, timur Australia,
Pasifik hingga ke kepulauan nusantara Indonesia (Seed Leaflet, 2012).
2.1.1 Sistematika tumbuhan
Sistematika tumbuhan sikkam adalah sebagai berikut (Seed Leaflet, 2012):
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Bischofia
Spesies
: Bischofia javanica Blume
5
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Morfologi tumbuhan
Pohon sikkam (Bischofia javanica Blume) merupakan pohon besar yang
tingginya dapat mencapai 40 m, diameter batang 95 - 150 cm, bercabang-cabang,
arah tumbuh tegak lurus, berkayu, biasanya keras dan kuat, bentuk batang bulat,
tanpa mata kayu, termasuk dalam tumbuhan menahun (Seed Leaflet, 2012).
Kulit batang luar memecah dan bersisik berwarna coklat kemerahan
hingga keunguan, di sebelah dalam berwarna merah jambu, menyerat dan
mengeluarkan getah merah bening, encer atau agak kental seperti jeli (Rajbongshi,
et al., 2014). Daun berwarna hijau dengan panjang 4 - 8 inci dengan ketebalan 7 22 mm, bentuk daun lonjong berlekuk tiga serta meruncing ke ujung daun. Letak
daun spiral/melingkar, mempunyai tangkai daun panjang (3 - 8 inci), tepinya
beringgit hingga bergerigi halus, bertulang daun menyirip, sisi atas mengkilap.
Buah tidak memecah, bulat, bergetah, bergaris tengah 1,2 - 1,5 cm berwarna hitam
kebiruan jika masak, dengan 1 - 2 biji di setiap ruang, biji berwarna coklat,
lonjong, panjang 5 mm (Bachheti, et al., 2013).
2.1.3 Kandungan kimia tumbuhan
Kandungan sikkam adalah protein (18,69%), karbohidrat (18,91%), tanin
(16%) (Ajaib dan Khan, 2012), flavonoid, kuersetin, sitosterol,
asam stearat
(3,89%), asam linolenat (56,76%), asam palmitat (12,28%), serat (5,32%),
kalsium, kalium, natrium, magnesium (Bachheti, et al., 2013), vitamin C, asam
elagit (8 - 10% ) (Rajbongshi, et al., 2014).
2.1.4 Kegunaan tumbuhan
Sikkam merupakan salah satu pewarna alami yang telah dikenal dan
digunakan secara turun-temurun jauh sebelum mengenal zat pewarna sintetis
6
Universitas Sumatera Utara
untuk mewarnai pakaian, jala dan anyaman dari bambu (Bachheti, et al., 2013).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji manfaat sikkam (bischofia
javanica Blume), seperti antileukimia, antiinflamasi (Sutharson, et al., 2009),
antimikroba, antialergi (Rajbongshi, et al., 2014), mengobati luka bakar,
antihelmintik (Seed Leaflet, 2012), antidiare dan merangsang pertumbuhan
rambut (Pradhan dan Badola, 2008).
2.2 Simplisia dan Ekstrak
2.2.1 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat dan belum
mengalami pengolahan apapun, kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang telah
dikeringkan. Simplisia dibedakan atas simplisia nabati, simplisia hewani dan
simplisia pelikan (Depkes, 2000).
2.2.2 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi syarat baku yang telah
ditetapkan (Depkes, 2000).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat aktif dengan menggunakan pelarut
yang sesuai. Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi kedalam
dua cara yaitu:
a. Cara dingin
1. Maserasi, adalah ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan
7
Universitas Sumatera Utara
(kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode
pencapaian konsentrasi yang seimbang antara bahan dan pelarut.
2. Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction), umunya dilakukan pada temperatur
ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi
dan tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terusmenerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat).
b. Cara panas
1. Refluks adalah ektraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik.
2. Soxhlet, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3. Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara
umum dilakukan pada temperatur 40 - 50oC.
4. Infus, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96
- 98oC) selama waktu tertentu (15 - 20 menit).
5. Dekok, adalah infus pada waktu yang lebih lama≥( 30oC) dan temperatur
sampai titik didih air (Depkes, 2000).
8
Universitas Sumatera Utara
2.3 Uraian Golongan Senyawa Kimia Sikkam
Senyawa kimia yang terdapat pada sikkam meliputi flavonoida, glikosida,
tanin dan steroida/triterpenoida.
2.3.1 Flavonoida
Flavonoid mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya mempunyai
struktur C6-C3-C6 yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh tiga atom
karbon yang merupakan rantai alifatik. Menurut perkiraan, kira-kira 2% dari
seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau
senyawa yang berkaitan erat dengannya. Sebagian besar tanin berasal dari
flavonoid sehingga merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar
(Markham, 1988).
Flavonoid mencakup banyak pigmen dan terdapat pada seluruh dunia
tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospermae. Beberapa fungsi flavonoid
untuk tumbuhan yaitu pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, kerja
antimikroba dan antivirus dan anti serangga (Robinson, 1995).
Mekanisme kerja flavonoid dalam
menghentikan diare yaitu dengan
menghambat motilitas usus sehingga mengurangi sekresi cairan dan elektrolit (Di
Carlo, et al., 1993). Aktivitas flavonoid yang lain adalah dengan menghambat
pelepasan asetilkolin di saluran cerna sehingga akan menyebabkan berkurangnya
aktivasi reseptor asetilkolin nikotinik yang memperantarai terjadinya kontraksi
otot polos dan teraktivasinya reseptor asetilkolin muskarinik (khususnya Ach-M3)
yang mengatur motilitas gastrointestinal dan kontraksi otot polos (Ikawati, 2008;
Lutterodt, 1989).
9
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Glikosida
Glikosida adalah suatu senyawa, bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula
(glikon) dan senyawa lain (aglikon atau genin). Pembagian glikosida paling
banyak berdasarkan aglikonnya, umumnya mudah terhidrolisis oleh asam mineral
atau enzim. Hidrolisis oleh asam memerlukan panas sedangkan oleh enzim tidak
memerlukan panas (Farnsworth, 1966).
2.3.3 Tanin
Tanin terdapat luas pada tumbuhan berpembuluh. Tanin dapat bereaksi
dengan protein membentuk kopolimer yang tak larut dalam air. Sebagian besar
tumbuhan banyak mengandung tanin rasanya sepat. Salah satu fungsi tanin dalam
tumbuhan ialah sebagai penolak hewan pemakan tumbuhan (Robinson, 1995).
Berdasarkan identitas inti fenolit dan cara pembentukannya, tanin dibagi
menjadi tiga yaitu tanin yang terhidrolisis, tanin yang terkondensasi dan tanin
kompleks (Trease dan Evans, 1983).
a. Tanin terhidrolisis (Hydrosable Tannin)
Tanin jenis ini biasanya berikatan pada karbohidrat dengan membentuk
jembatan oksigen dan dapat dihidrolisis menggunakan asam sulfat atau asam
klorida ataupun dengan enzim. Prekursor pembentukan tanin ini adalah asam
fenolit (asam galat, asam elagit), residu glukosa, serta antara asam fenolit dan
glukosa ada ikatan ester.
b. Tanin terkondensasi (Condesed Tannins)
Tanin terkondensasi biasanya tidak dapat dihidrolisis, tetapi terkondensasi
menghasilkan asam klorida. Tanin jenis ini kebanyakan terdiri dari polimer
flavanoida yang merupakan senyawa fenol. Nama lain dari tanin ini adalah
10
Universitas Sumatera Utara
Proanthocyanidin yang merupakan polimer dari flavanoida yang dihubungkan
melalui C8 dengan C4. Prekursor pembentukan tanin ini adalah flavanoida,
catechin, flavonol -3-4-diol.
c. Tanin kompleks (Complex Tannin)
Tanin kompleks merupakan campuran antara tanin terhidrolisis dan tanin
terkondensasi. Contoh tumbuhan yang mengandung tanin kompleks adalah teh,
kuercus, dan castanea. Ada dua tipe dari tanin kompleks, yaitu true tannin (berat
molekul 1000-5000) dan pseudo tannin (berat molekul kurang dari 1000).
Tanin dapat mengurangi intensitas diare dengan cara menciutkan selaput
lendir usus dan mengecilkan pori sehingga akan menghambat sekresi cairan dan
elektrolit (Tan dan Rahardja, 2002). Sifat adstringen tanin akan membuat usus
halus lebih tahan (resisten) terhadap rangsangan bakteri Escherichia coli, Shigella
sp, Salmonella sp, virus, amuba, dan toksin bakteri seperti Staphylococcus aureus,
Clostridium welchii yang mengakibatkan diare (Kumar, 2001).
2.3.4 Steroid/triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isopren dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C 30 asiklik,
yaitu skualen. Senyawa tersebut mempunyai struktur siklik yang relatif kompleks,
kebanyakan merupakan suatu alkohol, aldehid atau asam karboksilat (Harbone,
1987).
Triterpenoid merupakan senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, sering
kali bertitik leleh tinggi dan optis aktif, yang dibagi atas 4 kelompok senyawa
yaitu triterpen sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Sebagian
senyawa triterpenoid juga merupakan komponen aktif dalam tumbuhan obat, yang
11
Universitas Sumatera Utara
berkhasiat sebagai anti diabetes, gangguan menstruasi, gangguan kulit kerusakan
hati dan malaria (Robinson, 1995).
Steroida adalah triterpen yang kerangka dasarnya sistem cincin
siklopentana perhidrofenantren. Dahulu steroid dianggap sebagai senyawa satwa
(digunakan sebagai hormon kelamin, asam empedu), tetapi pada tahun-tahun
terakhir ini makin banyak senyawa steroid yang ditemukan dalam jaringan
tumbuhan (Harborne, 1987).
Gambar 2.1. Struktur dasar steroida dan sistem penomorannya
Menurut asalnya senyawa steroid dibagi atas:
a.
Zoosterol, yaitu steroid yang berasal dari hewan, misalnya kolesterol.
b.
Fitosterol, yaitu steroid yang berasal dari tumbuhan, misalnya sitosterol dan
stigmasterol.
c.
Mycosterol, yaitu steroid yang berasal dari fungi, misalnya ergosterol.
d.
Marinesterol, yaitu steroid yang berasal dari organisme laut, misalnya
spongesterol.
Senyawa aktif golongan steroid/triterpenoid dapat meningkatkan absorpsi
air dan elektrolit dalam usus, sehingga mengakibatkan absorbsi air dan elektolit
dalam usus normal kembali (Goodman dan Gilman, 1996).
12
Universitas Sumatera Utara
2.4 Uraian Diare
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 g/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air
besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa
disertai lendir dan darah (Wells, 2006).
Secara normal makanan yang terdapat di dalam lambung dicerna menjadi
bubur (chymus), kemudian diteruskan ke usus halus untuk diuraikan lebih lanjut
oleh enzim-enzim. Setelah terjadi resorpsi, sisa chymus tersebut yang terdiri dari
90% air dan sisa-sisa makanan yang sukar dicernakan, diteruskan ke usus besar
(colon). Bakteri-bakteri yang biasanya selalu berada di kolon mencerna lagi sisasisa (serat-serat) tersebut, sehingga sebagian besar dari sisa-sisa tersebut dapat
diserap selama perjalanan melalui usus besar. Airnya juga direabsorpsi kembali
sehingga akhirnya isi usus menjadi lebih padat (Jeejeebhoy, 1977). Tetapi kadang
terjadi peristaltik usus yang meningkat sehingga pelintasan chymus sangat
dipercepat dan masih mengandung banyak air pada saat meninggalkan tubuh
sebagai tinja. Penyebab utamanya adalah bertumpuknya cairan di usus akibat
terganggunya resorpsi air dan atau terjadinya hipersekresi. Pada keadaan normal,
proses reabsorpsi dan sekresi dari air dan elektrolit-elektrolit berlangsung pada
waktu yang sama di sel-sel epitel mukosa. Biasanya reabsorpsi melebihi sekresi,
tetapi karena suatu sebab sekresi menjadi lebih besar daripada reabsorpsi,
sehingga terjadi diare (Tan dan Rahardja, 2007).
2.4.1 Klasifikasi diare
Berdasarkan penyebabnya diare dapat dibedakan atas:
13
Universitas Sumatera Utara
1. Diare karena infeksi, meliputi:
a. Diare akibat virus, misalnya influenza perut dan travelers diarrhea yang
dapat disebabkan oleh rotavirus dan adenovirus.
b. Diare akibat bakteri (invasif), disebabkan oleh Salmonella, Shigella,
Campylobacter, dan jenis Coli tertentu.
c. Diare parasiter, disebabkan oleh Entamooeba Hystolitica, Giardia Lambia,
Cryptosporidium dan Cyclospora yang terutama terjadi didaerah tropis.
d. Diare akibat enterotoksin, penyebabnya adalah E.Coli dan Vibrio Cholerae
dan yang jarang adalah Shigella, Salmonella, Campylobacter dan
Entamoeba Hystolitica (Tan dan Rahardja, 2002).
2. Klasifikasi berdasarkan organ yang terkena infeksi:
a. Diare infeksi enteral atau diare karena infeksi di usus (bakteri, virus,
parasit).
b. Diare infeksi parenteral atau diare karena infeksi di luar usus (otitis, media,
infeksi saluran pernafasan, infeksi saluran urin, dan lainnya).
3. Klasifikasi diare berdasarkan lamanya diare:
a. Diare akut merupakan diare yang bersifat mendadak dan bisa berlangsung
terus selama beberapa hari disebabkan oleh infeksi usus sehingga dapat
terjadi pada setiap umur.
b. Diare kronik merupakan diare yang berlangsung lebih dari dua minggu
(Suharyono, 1991).
2.4.2 Obat-obat diare
Obat-obat yang digunakan dalam pengobatan diare dikelompokkan
menjadi beberapa kategori, yaitu:
14
Universitas Sumatera Utara
1. Kemoterapeutik, untuk terapi kausal yakni memberantas bakteri penyebab
diare, seperti antibiotik, sulfonamid, kinolon dan furazolidon.
2. Obstipansia, yang dibagi menjadi:
a. zat-zat penekan peristaltik, candu dan alkaloidanya, derivat petidin
(difenoksilat dan loperamid), dan antikolinergik (atropine dan ekstrak
belladonna).
b. adstringen, menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak (tanin)
dan tanalbumin, pektin; adsorbensia, misalnya carbo adsorbens yang pada
permukaannya dapat menyerap zat-zat beracun yang dihasilkan oleh
bakteri, antara lain kaolin, garam-garam bismuth dan aluminium.
3. Spasmolitik, yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot
penyebab nyeri perut pada diare (Tan dan Rahardja, 2007).
2.5 Loperamid Hidrokloridum
Loperamid merupakan derivat difenoksilat dengan khasiat obstipasi dua
sampai tiga kali lebih kuat, tetapi tanpa khasiat terhadap susunan saraf pusat
sehingga tidak menimbulkan ketergantungan. Zat ini mampu menormalkan
keseimbangan resorpsi-sekresi dari sel-sel mukosa dengan memulihkan sel-sel
yang berada dalam keadaan hipersekresi ke keadaan resorpsi normal kembali (Tan
dan Rahardja, 2007).
Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 4 jam sesudah minum
obat. Masa laten yang lama ini disebabkan oleh penghambatan motilitas saluran
cerna dan karena obat mengalami sirkulasi enterohepatik (Sardjono, dkk., 1995).
Loperamid HCl memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot
sirkuler dan longitudinalis usus. Obat ini berikatan dengan reseptor opioid
15
Universitas Sumatera Utara
sehingga diduga efek konstipasinya diakibatkan oleh ikatan loperamid dengan
reseptor tersebut.
2.6 Minyak Jarak
Oleum ricini atau castor oil atau minyak jarak berasar dari biji Ricinus
communis suatu trigliserida risinoleat dan asam lemak tidak jenuh. Di dalam usus
halus minyak jarak dihidrolisis oleh enzim lipase menjadi gliserol dan asam
risinoleat. Asam risinoleat inilah yang merupakan bahan aktif sebagai pencahar.
Obat ini merupakan bahan induksi diare pada penelitian diare secara
eksperimental pada hewan percobaan (Teke, et al., 2007).
Menurut Katzung (2001), asam risinoleat hasil hidrolisis castor oil,
merupakan iritan lokal yang dapat meningkatkan motilitas usus. Mula kerjanya
cepat dan berlangsung terus sampai senyawa ini diekskresi melalui kolon. Dosis
oleum ricini adalah 2 - 3 sendok makan (15 - 30 ml), diberikan sewaktu perut
kosong. Efeknya timbul 1 sampai 6 jam setelah pemberian, berupa pengeluaran
buang air besar berbentuk encer (Anwar, 2000).
2.7 Metode-metode Pengujian Antidiare
Ada 3 metode yang biasa digunakan untuk pengujian antidiare, yaitu:
1. metode margens (pengamatan lintas norit)
Sampel dan norit diberikan pada hewan uji yang telah dibuat diare.
Kemudian dalam rentang waktu tertentu hewan dikorbankan, diukur panjang usus
keseluruhan. Hitung persentase lintasan norit dengan cara membandingkan
panjang lintasan norit dengan panjang usus. Jika persentase yang didapat lebih
16
Universitas Sumatera Utara
kecil dari kontrol bahwa dapat disimpulkan bahwa sampel uji memiliki efek
antidiare.
2. metode pola defekasi
Pada metode ini diamati frekuensi buang air besar, konsistensi feses,
massa feses dan waktu terjadinya diare. Semuanya diamati dalam jangka waktu
tertentu. Jika frekuensi buang air besar lebih kecil, konsistensi feses lebih padat,
massa feses lebih banyak dan waktu diare lebih lama dibandingkan kontrol, maka
dapat disimpulkan bahwa yang diuji memiliki efek sebagai antidiare.
3. secara in vitro
Metode ini digunakan untuk melihat apakah sampel uji dapat membunuh
mikroorganisme penyebab diare. Bisa dilakukan dengan metode cakram atau
tabung. Sampel uji dioleskan pada media yang sudah ditanami mikroba. Jika
terlihat adanya hambatan mikroba uji, maka disimpulkan bahwa sampel uji
memiliki efek antidiare dengan cara membunuh atau menghambat pertumbuhan
mikroba penyebab diare (Vogel, 2002).
17
Universitas Sumatera Utara
Download