peran para aktor dalam implementasi akuntansi akrual sektor

advertisement
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
PERAN PARA AKTOR DALAM IMPLEMENTASI AKUNTANSI AKRUAL
SEKTOR PEMERINTAHAN DI INDONESIA
(2000 - 2014)
Rahadian Setyo Noegroho | Ade Palupi
Kementerian Keuangan Republik Indonesia | Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga
ABSTRAK
Penelitian ini adalah tentang proses reformasi akuntansi sektor pemerintahan di Indonesia dari akuntansi
berbasis kas ke akuntansi berbasis akrual. Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti bagaimana peran para
aktor dalam implementasi akuntansi akrual sektor pemerintahan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan
Luder's Contingency Model yang telah dimodifikasi oleh Christensen (2002) untuk mengidentifikasi
bagaimana peran para aktor dalam proses implementasi akuntansi akrual sektor pemerintahan di Indonesia.
Data yang menjadi bahan analisis meliputi wawancara, dokumen resmi pemerintah, dan informasi lain yang
terkait dengan proses reformasi akuntansi sektor pemerintahan di Indonesia pada periode tahun 2000-2014.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa stimuli utama dalam implementasi akuntansi akrual sektor
pemerintahan di Indonesia adalah perintah undang-undang untuk melaksanakan akuntansi pemerintah
berbasis akrual. Penelitian ini mengidentifikasi pihak-pihak yang berperan sebagai promotors of change
(PoCs), producers of information (PoIs), dan users of information (UoIs) dalam konteks akuntansi
pemerintahan di Indonesia, termasuk peran dan interaksinya dalam proses implementasi akuntansi akrual
sektor pemerintah di Indonesia. Penelitian ini juga mengidentifikasi beberapa faktor kontijensi yang berperan
dalam menghambat implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia.Batasan penelitian ini
adalah ketiadaan informan yang mampu merepresentasikan peran dari para aktor di KSAP, DPR, BPKP, IAI,
akademisi dan akuntan publik.
Kata kunci: Reformasi akuntansi sektor pemerintahan; akuntansi akrual; contingency model.
ABSTRACT
This study is about the process of public sector accounting reform in Indonesia from cash-based accounting to
accrual-based accounting. The purpose of this study is to examine how the role of the actors in the
implementation of accrual accounting in the Indonesian government sector. This study uses Luder's
Contingency Model that has been modified by Christensen (2002) to identify how the role of the actors in the
process of implementation of accrual accounting in the Indonesian government sector. The data used in this
study include interviews, official government documents, and other information related to the process of public
sector accounting reform in Indonesia in the period 2000-2014. The results showed that the main stimuli of the
implementation of accrual accounting in the public sector in Indonesia is the command of laws to execute
accrual-based government accounting. This study identifies the parties who act as promotors of change
(POCs), producers of information (POIs), and users of information (UoIs) in the context of government
accounting in Indonesia, including the roles and its interaction in the process of implementation of accrual
accounting in the Indonesian government sector. This study also identifies several contingency factors that play
a role in inhibiting the implementation of accrual accounting in the Indonesian government sector. Limitations
of this study is the lack of informants who are able to represent the role of the actors in KSAP, DPR, BPK, IAI,
academics and public accountants.
Keywords: public sector accounting reform; accrual accounting; contingency model.
- 165 -
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
PENDAHULUAN
Adanya fenomena transformasi manajemen publik
yang mengacu pada konsep New Public Management
(NPM) pada tahun 1980-an telah mendorong terjadinya reformasi di bidang manajemen pemerintah di
beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris
Raya, Selandia Baru, Australia (Kickert, 1997).
Negara-negara tersebut mulai melihat bahwa praktikpraktik di bidang manajemen yang berhasil diterapkan
di sektor swasta merupakan “contoh sukses” yang
perlu untuk dipertimbangkan untuk diterapkan juga di
sektor pemerintah. NPM merupakan praktik-praktik
manajemen yang menekankan pada privatisasi,
komersialisasi, desentralisasi, dan orientasi pada
output (Connolly dan Hyndman, 2006). Elemen NPM
terdiri dari beberapa hal yang merupakan praktikpraktik manajemen yang diadopsi dari praktik-praktik
di sektor swasta ke entitas sektor publik dan bertujuan
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional di organisasi pemerintahan (Broadbent dan
Guthrie, 2008; Osborne dan Gaebler, 1992).
Penerapan akuntansi akrual pada sektor pemerintah
merupakan salah satu bentuk dari reformasi di bidang
manajemen pemerintah yang sesuai dengan konsep
NPM (Buhr, 2012). Penerapan akuntansi akrual pada
sektor pemerintah disebut sebagai salah satu pilar
utama dari praktik manajemen keuangan yang
modern (Blondal, 2003). Tujuan penerapan akuntansi
akrual pada sektor pemerintah adalah agar pemerintah
mampu mengukur secara akurat dan andal untuk aset
dan kewajibannya, kekayaan bersih serta perbaikan
dalam pengambilan keputusan untuk kesinambungan
kebijakan fiskal (Allen dan Tommasi, 2001). Penerapan akuntansi akrual pada sektor pemerintah dapat
memberikan informasi yang lebih akurat dan relevan
untuk pengambilan keputusan (IFAC, 2011).
Penerapan akuntansi akrual di sektor pemerintah
bukan merupakan sesuatu hal yang mudah untuk
dilaksanakan.Fakta menujukkan bahwa sampai
dengan tahun 2013 baru terdapat 26 negara yang telah
menerapkan akuntansi akrual (Pricewaterhouse
Cooper, 2013) Laporan dari Deloitte (2013)
menyatakan bahwa diantara negara-negara di dunia
yang telah menerapkan akuntansi akrual, hanya 6
negara di dunia yang berhasil menerapkan akuntansi
akrual secara konsisten sesuai dengan persyaratan
IPSAS1.
bendaharaan Negara mengamanatkan pemerintah
Indonesia untuk menerapkan akuntansi berbasis
akrual di organisasi pemerintahan seluruh Indonesia.
Kedua undang-undang di bidang keuangan negara
tersebut secara eksplisit mengharuskan penerapan
akuntansi akrual pada sistem akuntansi pemerintah
paling lambat pada tahun 2008.
Untuk melaksanakan amanat undang-undang tersebut
diatas, Pemerintah Indonesia telah melakukan
berbagai upaya dalam rangka proses penerapan
akuntansi akrual pada sistem akuntansi pemerintahan
di Indonesia. Pemerintah telah menerbitkan Standar
Akuntansi Pemerintahan, Sistem Akuntansi dan
Pelaporan Keuangan Pemerintah, dan juga telah
melakukan pendidikan dan pelatihan secara kontinu
dalam rangka proses penerapan akuntansi akrual pada
sistem akuntansi pemerintahan di Indonesia.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, penerapan
akuntansi akrual secara penuh pada sistem akuntansi
pemerintah belum berhasil dilaksanakan oleh
pemerintah. Sampai dengan tahun 2014, pemerintah
belum berhasil menerbitkan laporan keuangan yang
disusun berdasarkan akuntansi akrual. Sebagai
contoh, LKPP tahun 2012 masih disusun dengan
menggunakan basis kas menuju akrual (Pemerintah
RI, 2013). Dalam basis kas menuju akrual ini, pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam Laporan
Realisasi Anggaran masih diakui dengan basis kas,
sedangkan aset, kewajiban dan ekuitas dana diakui
dengan basis akrual (Pemerintah RI, 2013).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa permasalahan penerapan akuntansi akrual pada sektor
pemerintah di Indonesia tidak hanya dilihat dari aspek
teknisnya saja, melainkan juga perlu untuk dilihat dari
aspek socio-cultural-nya (Djamhuri, 2009; Harun,
2007; Harun dan Robinson, 2010; Harun et al., 2012;
Marwata, 2008; Palupi, 2013)
Penelitian ini mengembangkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Harun dan Robinson (2010) dengan
melakukan beberapa hal, yaitu:
(1) Fokus terhadap peran aktor baik internal maupun
eksternal dalam mendorong implementasi
akuntansi akrual di sektor pemerintahan;
(2) Mengaplikasikan teori Luder's Contingency
Model yang telah dimodifikasi oleh Christensen
(2002);
Indonesia termasuk dalam salah satu negara yang saat
ini sedang berusaha untuk menerapkan akuntansi
akrual sesuai dengan persyaratan IPSAS. Undangundang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
dan Undang-undang No. 1 tahun 2004 tentang Per-
- 166 -
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
(3) Membagi periode transformasi dari akuntansi
kas ke akuntansi akrual berdasarkan tahapan/
strategi yang dilakukan oleh pemerintah sejak
tahun 2000 sampai dengan 2014, antara lain:
a. Tahapan persiapan, penguatan kerangka
hukum dan kerangka institusional, sebagai
landasan utama untuk implementasi akuntansi
akrual;
b. Tahapan transisi, meliputi pemilihan dan
pelaksanaan metode transisi dalam rangka
penerapan akuntansi akrual; dan
c. Tahapan implementasi, meliputi pemilihan
dan pelaksanaan metode penerapan akuntansi
akrual.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti
bagaimana peran para aktor dalam implementasi
akuntansi akrual sektor pemerintahan di Indonesia
sejak tahun 2000 sampai dengan 2014. Adapun
untuk memenuhi tujuan tersebut penelitian ini
berfokus untuk:
(1) mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang
mendorong perlu dilakukannya perubahan
menuju akuntansi akrual (stimuli);
(2) mengidentifikasi para aktor utama yang terlibat
dalam proses perubahan menuju akuntansi
akrual;
(3) mengidentifikasi hambatan/permasalahan dan
fasilitator apa saja yang dihadapi dalam proses
perubahan menuju akuntansi akrual;
(4) mengidentifikasi peranan para aktor utama dalam
mengatasi hambatan dan mengakomodasi faktor
penunjang dalam proses perubahan menuju
akuntansi akrual.
KERANGKA TEORITIS
Penelitian ini menggunakan Luder's Contingency
Model yang telah dimodifikasi oleh Christensen
(2002) untuk mengidentifikasi bagaimana peran para
aktor dalam proses implementasi akuntansi akrual
sektor pemerintah di Indonesia. Contingency model
didasarkan pada suatu premise bahwa tidak terdapat
sebuah sistem akuntansi yang dapat diterapkan secara
universal pada semua organisasi dalam semua
keadaan (Otley, 1980) Kesesuaian fitur-fitur dalam
sistem akuntansi akan tergantung pada keadaan
spesifik yang ada pada organisasi itu sendiri (Otley,
1980) Contingency model digunakan sebagai sebuah
kerangka untuk memahami variabel-variabel contingency yang menjelaskan mengapa dan bagaimana
akuntansi telah berubah dan bagaimana faktor-faktor
yang berbeda mempengaruhi perubahan akuntansi
dalam berbagai cara yang berbeda (Innes dan
Mitchell, 1990; Otley, 1980; Waweru et al., 2004).
Oliorilanto, 2008; Saleh dan Pendlebury, 2006;
Upping dan Oliver, 2011; Yamamoto, 1999).
Di sektor publik, Luder (1992) mengembangkan
sebuah contingency model untuk menjelaskan inovasi
akuntansi pemerintah dari sistem akuntansi tradisional menuju ke sistem akuntansi yang lebih informatif.
Model tersebut banyak diadopsi dan dikembangkan
oleh banyak peneliti untuk menjelaskan perubahan
akuntansi dari sistem yang berbasis kas menuju
sistem yang berbasis akrual di berbagai negara
(Christensen, 2002; Godfrey et al., 2001; Jaruga dan
Nowak, 1996; Luder, 1992; Merrouche et al., 1996;
Luder's Contingency Model yang telah dimodifikasi
oleh Christensen (2002) terdiri dari 3 kelompok aktor
yang merespons satu dengan yang lain dan juga
bereaksi terhadap stimuli perubahan. Model ini
Christensen's Contingency Model (2002) ini dapat
mengidentifikasi hambatan dan fasilitator yang berhubungan dengan implementasi perubahan metode
akuntansi dari akuntansi kas ke akuntansi akrual di
organisasi pemerintahan.Luder's Contingency Model
yang telah dimodifikasi oleh Christensen (2002)
memiliki 5 bagian:
(1) Stimuli
Stimuli eksternal untuk perubahan (kekuatan
eksogen) di sektor publik adalah konteks yang
dibentuk oleh lingkungan politik dan lingkungan
sosial yang berlaku. Stimuli eksternal merupakan
diskusi yang relatif luas yang berpusat pada
masalah yang dirasakan dan menawarkan solusi
berbasis filosofis untuk masalah tersebut.
(2) Promoters of change
Promoters of change (PoC) diidentifikasi sebagai
orang dan/atau organisasi yang mendorong
pengenalan permasalahan dan memberitahukan
sebuah solusi.Meskipun dapat diidentifikasi,
PoC mungkin tidak secara aktif atau harus diketahui oleh masyarakat umum.
- 167 -
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
(3) Users of information
Users of information (UoI) adalah para aktor
politik meliputi menteri, anggota-anggota oposisi
dan penasihat politik meliputi lembaga audit,
komite akuntan publik, dan komite parlemen.
(4) Producers of information
Producers of Information (PoIs) adalah para aktor
birokrasi dengan beberapa kewenangan terhadap
informasi akuntansi. Kewenangan ini dapat diberikan oleh kantor pusat dan oleh pimpinan
instansi lini dimana CEOs, financial controllers
dan akuntan memegang kewenangan terhadap
keluaran akuntansi.
(5) Implementation barriers
Implementation barriers merupakan kekuatan
endogen berupa karakteristik organisasi sektor
publik dan sistem akuntansi yang berperan untuk
membatasi opsi-opsi yang tersedia dalam implementasi perubahan. Implementation barriers juga
merupakan fitur-fitur dari lingkungan politik dan
birokrasi yang berperan meningkatkan biaya atau
menambah waktu yang diperlukan untuk mengimplementasikan perubahan akuntansi.
Stimuli
Implementations
barriers
Legend :
Determinant influence
Significant influence
Minor influence
Implementation of a new public sector accounting system
Sumber: (Christensen, 2002: 2009)
Gambar 3.1
Process Model of Public Sector Accounting Change (Christensen, 2002)
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan
pendekatan kualitatif, yaitu metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat postpositivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang
alamiah, dimana penulis adalah sebagai instrumen
kunci. Data yang menjadi bahan analisis meliputi
wawancara, dokumen resmi pemerintah, dan
informasi lain yang terkait dengan proses reformasi
akuntansi sektor pemerintahan di Indonesia pada
periode tahun 2000-2014.
Wawancara dilakukan melalui 2 cara yaitu:
(1) wawancara secara langsung dan (2) wawancara
melalui email. Informan yang akan diwawancarai
adalah pihak-pihak yang dapat merepresentasikan
promotors of change, producers of information, dan
users of information terkait dengan proses implementasi akuntansi akrual pada sektor pemerintah di
Indonesia. Tabel 1 menunjukkan daftar informan
yang dijadikan subjek wawancara dalam penelitian
ini.
- 168 -
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tabel 1
Daftar Informan dalam penelitian
Kategori
Users of Information
Informan (orang/organisasi)
1.
2.
Producers of Information
1.
2.
3.
Promotors of change
1.
2.
Pemeriksa di Itjen Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Wawancara 1
Pemeriksa di Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
Wawancara 2 dan Wawancara 3
Pejabat di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Surabaya I, Ditjen
Perbendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Wawancara 4
Pejabat di Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Propinsi Jawa Timur
Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Wawancara 5
Pejabat di Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Ditjen
Perbendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Wawancara 6
Pejabat di Direktorat Transformasi Perbendaharaan Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Wawancara 7
Pejabat di Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Ditjen
Perbendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Wawancara 8
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Tahapan Persiapan (2000-an – 2004):
Identifikasi Stimuli dan Promotors of Change
Tahap persiapan merupakan tahap pertama setelah
adanya stimuli perubahan politik tahun 1998 dari
sistem otokrasi menjadi demokrasi serta tahapan
dimana dampak dari krisis ekonomi dan moneter
masih dirasakan oleh pemerintah Indonesia. Seiring
dengan kondisi ekonomi dan politik yang tidak stabil,
terdapat dorongan dari IMF (1997) agar pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara dilakukan oleh
pemerintah Indonesia secara akuntabel dan transparan. Untuk merespon kebutuhan tersebut, pada tahap
ini muncul upaya pemerintah untuk memperkuat
pengaturan kelembagaan dan landasan hukum
sebagai dasar perubahan sistem manajemen keuangan
pemerintah dan akuntansi pemerintahan di Indonesia.
(1) Kerangka hukum (legal framework)
Dukungan politik merupakan faktor utama yang
mempengaruhi proses implementasi akuntansi
akrual sektor pemerintahan (IFAC, 2011).
Demikian juga yang terjadi di Indonesia, dimana
dukungan politik ditunjukkan dengan adanya
komitmen politik antara pemerintah dan lembaga
legislatif yaitu DPR.Undang-undang adalah
representasi dari komitmen politik tersebut yang
melibatkan lembaga eksekutif sebagai pengelola
pemerintahan dan DPR sebagai lembaga perwa-
- 169 -
kilan rakyat di Indonesia. Keberadaan undangundang menunjukkan seberapa besar komitmen
politik dari pemerintah dan DPR dalam mendukung sebuah proses perubahan.
Pada awal tahun 2000-an, Pemerintah Indonesia
bersama-sama dengan DPR menerbitkan 3
undang-undang di bidang keuangan negara yang
memiliki peranan besar dalam mendorong implementasi akuntansi akrual sektor pemerintahan di
Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang Nomor 15
Tahun 2005 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Ketiga
undang-undang ini lahir sebagai upaya untuk
mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang
profesional, terbuka, dan bertanggung jawab.
Pasal 36 ayat 1Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara dan pasal 70 ayat
2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara mengamanatkan penerapan akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia paling lambat pada tahun 2008. Dengan demikian amanat kedua undang-undang ini merupakan
kerangka hukum yang sangat berharga untuk
pengembangan akuntansi pemerinthan dalam
mengadopsi akuntansi basis akrual.
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Undang undang keuangan negara yang dimotori
oleh pemerintah dalam hal ini adalah kementerian
keuangan mempunyai pandangan bahwa sistem
akuntansi akrual dapat menghasilkan informasi
yang lebih komprehensif dan ini disetujui oleh
DPR. Wawancara 6 yang dalam hal ini berkapasitas sebagai peserta rapat dengan DPR dalam
memutuskan undang undang keuangan negara
mengatakan bahwa:
“DPR menanyakan menurut pandangan
pemerintah, mana yang lebih bagus dalam
hal pertanggungjawaban pemerintah,
mana yang lebih komprehensif. Pada saat
itu, pemerintah menjelaskan bahwa
akuntansi akrual mampu memberikan
informasi yang komprehensif, dan dapat
menilai kinerja pemerintah secara lebih
baik, karena informasi diukur sesuai
dengan capaian-capaian pemerintah”
(Wawancara 6 – Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah
Tingkat Pusat).
Demikian juga bagi penyusun dan pengembang
sistem akuntansi pemerintah pusat yang
merupakan promotor untuk mengubah sistem
akuntansi pemerintah berbasis kas menjadi
sistem akuntansi pemerintah berbasis akrual
dalam menyusun laporan keuangan pemerintah
pusat.
“Landasan hukum kita…. menyebutkan
bahwa… akuntansi akrual harus diterapkan. (Wawancara 8 – Penyusun dan
Pengembang Sistem Akuntansi Pemerintah
Pusat).
Dengan demikian, kondisi di Indonesia memperlihatkan bahwa adanya undang-undang pengelolaan keuangan negara yang baru menimbulkan
suatu kesadaran bagi pelaku akuntansi pemerintahan untuk melakukan perubahan. Berbeda
dengan konteks yang ada di negara maju yang
mendasarkan suatu kesadaran untuk bertindak
lebih efisien dalam mengelola keuangan negara
akibat adanya defisit fiskal sebagai suatu stimuli
untuk mengubah sistem akuntansi pemerintahan
(Christensen, 2002; Pallot, 1996) maka di Indonesia kesadaran tersebut belum ada. Perpindahan
dari sistem akuntansi pemerintah berbasis kas ke
sistem akuntansi pemerintah berbasis akrual
hanya dianggap sebagai suatu kepatuhan terhadap
undang-undang daripada sebagai keinginan untuk
bertindak efisien dalam mengelola keuangan
negara lihat Djamhuri (2009)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa DPR
yang merupakan lembaga legislatif yang berperan
sebagai pengawas pemerintah tidak berada dalam
posisi pendorong diberlakukannya sistem akuntansi akrual, tetapi pemerintah berlaku sebagai
pendorong.
Sebagai negara yang menganut sistem civil law
dimana semua tindak sosial politik diatur dalam
perundangan, maka landasan hukum yang dibuat
dan diputuskan oleh pemerintah dan DPR merupakan sumber utama yang mendorong (stimuli)
diterapkannya sistem akuntansi berbasis akrual di
pemerintahan. Hal ini diyakini oleh pihak
pemeriksa keuangan negara sebagai pihak
pengguna informasi laporan keuangan dan pihak
kementerian keuangan sebagai penyusun laporan
keuangan pemerintah pusat.
“Faktor utama yang mendorong penerapan
akuntansi akrual adalah adanya perintah
undang-undang. (Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI).
Sebenarnya, sebagai penyusun laporan
keuangan, ketika hal itu sudah menjadi
undang-undang, maka hal itu menjadi
dasar bagi pemerintah untuk menyusun
laporan keuangan berbasis akrual”
(Wawancara 6 – Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah
Tingkat Pusat).
(2) Pengaturan kelembagaan
(institutional arrangements)
Keberhasilan suatu proses reformasi akuntansi
sektor pemerintahan akan sangat tergantung pada
kemampuan lembaga penyusun standar dan
lembaga penyusun kebijakan dalam mengelola
proses reformasi yang dijalankannya. IFAC (2011)
menyatakan bahwa penguatan lembaga penyusun
standar dan lembaga penyusun kebijakan di
bidang akuntansi pemerintahan merupakan salah
satu pendorong utama yang menentukan
keberhasilan implementasi akuntansi akrual.
Ketiadaan lembaga lembaga penyusun standar dan
lembaga penyusun kebijakan di bidang akuntansi
pemerintahan yang kuat, kredibel dan independen
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
lambannya proses reformasi akuntansi sektor
pemerintahan (Harun, 2007)
- 170 -
Strategi penguatan lembaga penyusun standar dan
lembaga penyusun kebijakan di bidang akuntansi
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
pemerintahan ditempuh pemerintah dengan
membentuk Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP) dan me-reorganisasi tugas dan
fungsi BAKUN kedalam Ditjen Perbendaharaan
Kementerian Keuangan. KSAP mengambil peran
sebagai lembaga penyusun standar akuntansi
pemerintahan, sedangkan Ditjen Perbendaharaan
Kementerian Keuangan berperan sebagai lembaga penyusun kebijakan akuntansi pemerintahan.
KSAP dibentuk melalui Keputusan Presiden
Nomor 84 Tahun 2004 tentang Komite Standar
Akuntansi Pemerintahan. KSAP bertugas mempersiapkan penyusunan konsep Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP) sebagai prinsip-prinsip
akuntansi yang wajib diterapkan dalam menyusun
dan menyajikan laporan keuangan pemerintah
pusat dan/atau pemerintah daerah.
Proses pembentukan lembaga penyusun standar
akuntansi pemerintahan telah mengalami 3 kali
evolusi sejak tahun 1992 sampai dengan
tahun 2014 ini. Evolusi pertama terjadi sejak
tahun 1992 sampai dengan tahun 2002 dimana
lembaga penyusun standar berada dalam kewenangan BAKUN, salah satu unit eselon I di
Kementerian Keuangan (Kementerian Keuangan,
1992). Selain mengemban tugas sebagai lembaga
penyusun standar akuntansi pemerintahan,
BAKUN juga berperan sebagai lembaga yang
berwenang untuk menyusun dan mengembangkan sistem akuntansi pemerintahan. Evolusi
kedua terjadi pada tahun 2002 dimana pemerintah
mulai memisahkan pemegang kewenangan
penyusun standar dan pemegang kewenangan
penyusun sistem akuntansi pemerintahan, yaitu
kepada KSAP sebagai lembaga penyusun standar
akuntansi pemerintahan dan BAKUN sebagai
lembaga penyusun sistem akuntansi pemerintahan (Kementerian Keuangan, 2002). Sampai
tahun 2004, kedua lembaga ini masih berada di
bawah kendali Menteri Keuangan RI. Evolusi
ketiga terjadi pada tahun 2004 dimana KSAP
ditetapkan oleh Presiden RI sebagai lembaga
independen, di luar Kementerian Keuangan, yang
berwenang untuk menyusun dan mengembangkan standar akuntansi pemerintahan di Indonesia
(Presiden RI, 2004). Pada saat dibentuk, KSAP
terdiri dari Komite Konsultatif, Komite Kerja,
Kelompok Kerja, dan Sekretariat yang para
- 171 -
anggotanya didominasi unsur pemerintahan
daripada praktisi akuntan.
Pada saat KSAP didirikan pada tahun 2004,
BAKUN juga melebur ke dalam Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan sebagai salah
satu organisasi eselon I melalui proses reorganisasi yang dilakukan oleh Departemen Keuangan
RI. Ditjen Perbendaharaan merupakan organisasi
yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 35, 36, dan 37 Tahun 2004 sebagai gabungan dari beberapa fungsi perbendaharaan negara
yang sebelumnya berada dalam kewenangan
Ditjen Anggaran, Sekretariat Jenderal, BAKUN,
dan Ditjen Lembaga Keuangan Departemen
Keuangan RI.
Ditjen Perbendaharaan memiliki tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perbendaharaan negara
sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Menteri
Keuangan RI, 2006). Dalam melaksanakan tugasnya, Ditjen Perbendaharaan menjalankan kewenangan kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan
anggaran, pengelolaan elemen utama dari neraca
keuangan negara (kas, piutang, aset tetap, hutang
dan kepemilikan pemerintah), serta penyu-sunan
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
Ditjen Perbendaharaan menjalankan 2 peran
penting dalam kaitannya dengan implementasi
akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia.
Pertama, Ditjen Perbendaharaan berperan sebagai
lembaga penyusun dan pengembang kebijakan di
bidang akuntansi pemerintahan. Ditjen Perbendaharaan, melalui Menteri Keuangan, berwenang
untuk menetapkan Sistem Akuntansi Pemerintahan dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat
sebagai acuan bagi seluruh entitas akuntansi dan
entitas pelaporan pemerintah dalam mencatat
transaksi keuangan pemerintah dan menyusun
laporan keuangan pemerintah. Kedua, Ditjen
Perbendaharaan berperan sebagai lembaga yang
menyusun dan menerbitkan laporan keuangan
pemerintah pusat. Ditjen Perbendaharaan, melalui Menteri Keuangan, berwenang untuk menyusun laporan keuangan konsolidasian dari seluruh
entitas pelaporan pemerintah dan menerbitkan
laporan keuangan pemerintah pusat sebagai
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
pertanggungjawaban pengelolaan keuangan
pemerintah.
Dalam penjelasan di tahap persiapan (awal
2000-2004) diatas, dapat disimpulkan bahwa
Kementerian Keuangan mengambil peranan
utama sebagai aktor yang mempromosikan transformasi akuntansi pemerintahan dari basis kas ke
akrual, yang menurut istilah Christensen (2002)
sebagai promotors of change dalam implementasi akuntansi sektor publik di Indonesia. Kementerian Keuangan merupakan pelaku utama
dengan reorganisasi bagian-bagiannya untuk
menjadi pengambil kebijakan standar akuntansi
dan kebijakan desain dan aplikasi sistem akuntansi. Penjelasan diatas juga dapat diintepretasikan bahwa semua proses reformasi ada di
tangan pemerintah dalam hal ini Kementerian
Keuangan, baik dari pembuat kebijakan di
bidang akuntansi pemerintahan serta penyusun
desain dan aplikasi sistem akuntansi. Temuan ini
mendukung penelitian sebelumnya bahwa pihak
akademisi dan profesional tidak mempunyai
peranan yang signifikan (Palupi, 2013) Kondisi
ini berbeda sekali dengan temuan dari
Christensen (2002) yang menyatakan bahwa
peran profesional sangat mempengaruhi pemerintah dalam mendorong terjadinya perubahan
akuntansi sektor pemerintahan.
Kondisi diatas juga membuktikan bahwa perintah
undang-undang di bidang keuangan negara
sebagai stimuli utama telah dijadikan dasar bagi
para promotors of change dan producers of
information untuk pengambilan keputusan yang
terkait dengan implementasi akuntansi akrual
sektor pemerintahan di Indonesia. Hal ini menunjukkan terdapatnya pengaruh yang menentukan
(determinant influence) antara stimuli dengan
promotors of change dan producers of
information.
Tahap Transisi (Tahun 2005 – 2013):
Identifikasi Producers of Information
dan Users of Information
(1) Kas menuju akrual sebagai dasar standar
akuntansi pemerintahan
Sebagai awal implementasi sistem akuntansi
pemerintahan berbasis akrual, KSAP telah
menerbitkan standar akuntansi pemerintahan
yang berbasis kas menuju akrual (cash toward
accrual) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2005. Akuntansi berbasis kas menuju
akrual mencatat akun pendapatan, belanja, dan
pembiayaan menurut basis kas dan akun neraca
- 172 -
dicatat dengan basis akrual (Pemerintah Indonesia, 2005, 2010). Pendapatan atau belanja diakui
pada saat diterima atau dikeluarkan di atau dari
Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau oleh
entitas pelaporan (Pemerintah Indonesia,
2005, 2010). Aset diakui pada saat potensi manfaat ekonomi masa depan diperoleh oleh pemerintah dan mempunyai nilai atau biaya yang dapat
diukur dengan andal (Pemerintah Indonesia,
2005, 2010). Kewajiban diakui pada saat dana
pinjaman diterima atau pada saat kewajiban
timbul (Pemerintah Indonesia, 2005, 2010).
Standar akuntansi pemerintah berbasis kas
menuju akrual dipilih oleh pemerintah sebagai
standar akuntansi pemerintahan pada masa
transisi (Priyono, 2013; Simanjutak, 2005). Hal
ini dimaksudkan sebagai jembatan sebelum
diberlakukannya sistem berbasis akrual penuh
(full accrual) sesuai dengan persyaratan IPSAS
(Hariyanto, 2013).
Kebijakan untuk menerapkan standar akuntansi
berbasis kas menuju akrual dilakukan dengan
mempertimbangkan bahwa pemerintah masih
memerlukan waktu yang lebih lama untuk mempersiapkan segala persyaratan yang harus
dipenuhi sebelum menerapkan standar akuntansi
pemerintah berbasis akrual.Hal ini khususnya
disadari oleh para penyusun laporan keuangan
pemerintah pusat.
“Sebenarnya, sebagai penyusun laporan
keuangan, yang memahami kondisi SDM di
pemerintahan maupun para penggunanya,
kita terlalu cepat untuk menerapkan laporan keuangan pemerintah berbasis akrual.
(Wawancara 6 – Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah
Tingkat Pusat).
Pemerintah pada masa ini juga dihadapkan pada
keterbatasan-keterbatasan dalam rangka mewujudkan sistem akuntansi pemerintahan berbasis
akrual, antara lain: (1) keterbatasan SDM;
(2) dukungan politik dari pimpinan yang masih
rendah; (3) budaya korupsi dan perilaku yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip akuntabilitas: dan (5) keterbatasan sarana teknologi informasi (Harun, 2007; Palupi, 2013; Simanjutak,
2005). Dengan demikian, karakteristik lingkungan akuntansi pemerintahan di Indonesia sangat
kompleks sehingga perlu waktu untuk mengadaptasi standar-standar IPSAS yang berbasis akrual.
Langkah selanjutnya untuk memenuhi amanat
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Keuangan Negara, KSAP menyusun standar
akuntansi pemerintahan berbasis akrual yang
dilegalisasi melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan. Namun peraturan ini
tidak sepenuhnya mendukung penerapan
akuntansi akrual secara penuh (full accrual)
karena peraturan ini menganut dualisme penerapan sistem akuntansi pemerintah berdasarkan
basis akrual dan basis kas menuju akrual. Artinya
pemerintah masih diperbolehkan menggunakan
standar akuntansi pemerintah berbasis kas menuju akrual dalam menyusun laporan keuangan
pemerintah.
“Jika berbicara masalah mana yang lebih
baik (manfaat-nya), maka akan selalu ada
trade-off diantara basis kas menuju akrual
dan basis akrual, misalnya masalah reliabilitas dan relevansi informasi dalam laporan
keuangan. (Wawancara 2 – Pemeriksa
Badan Pemeriksa Keuangan RI).
“Kemudian dari sisi informasi, saya
melihat dari sisi kebutuhan informasi tidak
ada hal yang penting-penting amat dari
penerapan akuntansi akrual (dibandingkan
dengan CTA)” (Wawancara 8 – Penyusun
dan Pengembang Sistem Akuntansi
Pemerintah Pusat).
Selain faktor toleransi yang diberikan oleh
peraturan, faktor urgensi penyusunan laporan
keuangan berbasis akrual juga dirasakan belum
terlalu mendesak. Hal ini disebabkan karena
kebutuhan untuk informasi berbasis akrual masih
belum dibutuhkan secara total oleh para pelaku
akuntansi pemerintahan. Sebagai contoh BPK
sebagai auditor pemerintah tidak menaruh urgensi
untuk penyusunan laporan keuangan pemerintah
berbasis akrual karena masih terpaku dengan
diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 71
Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan.
“Dalam pandangan saya sebagai
pemeriksa, antara basis kas menuju akrual
dan basis akrual itu adalah pilihan dari
pemerintah dalam mengambil sebuah
kebijakan akuntansi. Selama dilaksanakan
secara memadai, apakah itu basis kas
menuju akrual atau basis akrual itu tidak
menjadi masalah.” (Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI).
“Namun demikian, BPK akan kembali lagi
dengan standar apa yang digunakan oleh
pemerintah, apakah itu basis cash toward
accrual atau basis akrual (sesuai dengan
Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010),
sebagai kriteria yang digunakan untuk
menilai laporan keuangan pemerintah.
(Wawancara 2 – Pemeriksa Badan
Pemeriksa Keuangan RI).
Dari pengkajian diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa penerapan akuntansi akrual di organisasi
pemerintahan Indonesia mengalami hambatan.
Pilihan basis kas menuju akrual masih dipertahankan karena selain faktor karakteristik organisasi yang kompleks di lingkungan pemerintah,
kebutuhan informasi berbasis akrual juga belum
penting untuk kebutuhan manajerial dan pemeriksaan. Dengan demikian KSAP yang didominasi oleh pemerintah mengakomodasi keadaan
yang ada di lapangan dengan memutuskan bahwa
standar berbasis kas menuju akrual masih boleh
digunakan.
Faktor rendahnya urgensi ini dapat dipahami
karena para aktor yang terlibat dalam lingkungan
akuntansi pemerintah masih merasa bahwa
manfaat dari penerapan akuntansi pemerintah
berbasis akrual, dibanding dengan akuntansi
berbasis kas, masih debatable.
Berdasarkan kondisi diatas juga dapat disimpulkan bahwa BPK sebagai salah satu users of
information tidak menggunakan undang-undang
di bidang keuangan negara sebagai salah satu
kriteria dalam pengambilan keputusan, terutama
dalam pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan bahwa undangundang sebagai stimuli tidak memiliki pengaruh
yang signifikan (minor influence) terhadap users
of information.
(2) Pengembangan Sistem Akuntansi Pemerintah
Pusat dan Bagan Akun Standar
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan memberikan definisi tentang entitas akuntansi dan entitas
pelaporan dalam lingkup akuntansi pemerintahan. Entitas akuntansi merupakan unit pada
pemerintahan yang mengelola anggaran, kekayaan, dan kewajiban yang menyelenggarakan
akuntansi dan menyajikan laporan keuangan atas
dasar akuntansi yang diselenggarakannya. Entitas
pelaporan merupakan unit pemerintahan yang
terdiri dari satu atau lebih entitas akuntansi yang
menurut ketentuan peraturan perundang-
- 173 -
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
undangan wajib menyajikan laporan pertanggung
jawaban berupa laporan keuangan yang bertujuan
umum.
Pihak-pihak yang berwenang untuk menyusun
laporan keuangan pemerintah pusat sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan,
meliputi:
(a) Pemerintah pusat;
(b) Masing-masing kementerian negara atau
lembaga di lingkungan pemerintah pusat;
(c) Satuan organisasi di lingkungan pemerintah
pusat atau organisasi lainnya, jika menurut
peraturan perundang-undangan satuan
organisasi dimaksud wajib menyajikan
laporan keuangan.
Entitas pelaporan tersebut diatas memiliki
kewajiban untuk menyelenggarakan Sistem
Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah
Pusat (SAPP) dan menyusun penyusunan laporan
keuangan pemerintah pusat sesuai dengan tugas
fungsi dan kewenangannya.
Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan
bertanggung jawab dalam penyusunan dan
pengembangan Sistem Akuntansi dan Pelaporan
Keuangan Pemerintah Pusat (SAPP). SAPP
adalah serangkaian prosedur manual maupun
yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan
data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan
pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan
Pemerintah Pusat (Menteri Keuangan, 2005;
2007; 2011). SAPP terdiri dari Sistem Akuntansi
Bendahara Umum Negara (SABUN) yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan Sistem
Akuntansi Instansi (SAI) yang dilaksanakan
oleh Kementerian Negara/Lembaga.
Pemerintah melakukan pengembangan SAPP
untuk menghasilkan suatu sistem yang mampu
melakukan pencatatan, pemrosesan, dan pelaporan transaksi keuangan secara konsisten sesuai
dengan standar dan praktik akuntansi yang diterima secara umum. Pengembangan SAPP juga
ditujukan agar pemerintah mampu menyediakan
informasi tentang anggaran dan kegiatan
keuangan Pemerintah Pusat secara yang akurat,
tepat waktu, dan dapat dipercaya, yang berguna
sebagai dasar penilaian kinerja, perencanaan,
pengelolaan, dan pengendalian keuangan
pemerintah secara efisien.
Sampai tahun 2014, Ditjen Perbendaharaan
Kementerian Keuangan mengembangkan SAPP
- 174 -
dengan basis akuntansi kas menuju akrual (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.05/
2011). SAPP ini telah menerapkan prinsip
akuntansi sistem pembukuan berpasangan
(double-entry system), sistem dana tunggal dan
desentralisasi kegiatan akuntansi pada unit-unit
akuntansi. SAPP berbasis kas menuju akrual juga
memiliki ciri bahwa semua proses akuntansi dan
pelaporan telah dilakukan secara terkomputerisasi yang dilengkapi dengan fasilitas pengiriman
data secara elektronik. Fitur lain yang berbeda
dengan SAPP sebelumnya adalah dilakukannya
mekanisme pelaporan keuangan secara berjenjang dari unit organisasi sebagai entitas pelaporan
terendah sampai ke entitas pelaporan tertinggi
yaitu pemerintah pusat. Dalam proses penyusunan laporan dan pelaporan keuangan dilakukan
proses rekonsiliasi data berjenjang antara unit
organisasi di kementerian/lembaga dengan unit
organisasi di Kementerian Keuangan untuk
menjamin kualitas dan reliabilitas data.
Dalam proses penyusunan dan pengembangan
SAPP, terdapat interaksi yang sangat erat antara
Ditjen Perbendaharaan sebagai penyusun dan
pengembang SAPP dan unit kerja penyusun
laporan keuangan pemerintah yang masih di
lingkungan kementerian keuangan.
“Teman-teman yang ada di Direktorat APK
terlibat langsung dalam proses penyusunan
kebijakan akuntansi pemerintah, terutama
subdit akuntansi dan pelaporan keuangan
Direktorat APK sebagai penyusun laporan
keuangan. Sedangkan untuk kanwil dan
KPPN dilakukan secara tidak langsung
melalui subdit konsolidasi laporan
keuangan kanwil dan KPPN.Tetapi setiap
akan ada penyusunan kebijakan mereka
tetap kita informasikan”
(Wawancara 8 – Penyusun dan Pengembang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat).
Kerjasama antara pengembang SAPP dan
penyusun laporan keuangan pemerintah pusat
ditujukan agar dapat mengakomodasi kebutuhan
penyusun laporan keuangan:
“Penyusun laporan keuangan adalah
pengguna sistem akuntansi pemerintah
pusat. Dalam proses pengembangan sistem
akuntansi, maka kami sebagai penyusun
laporan keuangan terlibat secara aktif
dalam proses penyusunan sistem akuntansi
pemerintah agar sistem akuntansi tersebut
sesuai dengan kebutuhan pelaporan kita.
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
(Wawancara 6 – Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah
Tingkat Pusat)
Interaksi antara promotors of change yaitu
Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian
Keuangan dengan penyusun laporan keuangan
dilanjutkan juga pada saat sistem akuntansi yang
baru tersebut diaplikasikan.
Dalam hal terdapat permasalahan yang dihadapi
dalam proses penyusunan laporan keuangan
pemerintah pusat, penyusun laporan keuangan
(PoIs) akan meminta bantuan solusi dari Ditjen
perbendahraan sebagai PoCs.
“Setiap ada permasalahan kita secara
langsung menyampaikan ke kantor pusat
untuk mendapatkan tindak lanjut. Setiap
aplikasi yang kita gunakan, akan kita coba
agar setiap permasalahan dapat segera
kita sampaikan ke kantor pusat”
(Wawancara 5 - Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah
Tingkat Wilayah).
“Kita hanya menyampaikan permasalahan
ke pusat, baik melalui contact person,
email atau surat resmi. Dalam hal ini kita
tidak memiliki kewenangan untuk
mengatasi permasalahan sendiri”
(Wawancara 4 - Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah
Tingkat Instansi).
Selain dengan penyusun laporan keuangan,
Ditjen Perbendaharaan melibatkan pengguna
laporan keuangan seperti BPK dan Inspektorat
Jenderal Kementerian Keuangan dalam proses
penyusunan dan pengembangan SAPP melalui
hubungan tidak langsung. Artinya BPK dan
Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan
tidak terlibat secara day-to-day dalam memberikan masukan tetapi hanya pada waktu-waktu
tertentu misalnya dalam konsultasi publik dalam
proses penyusunan dan pengembangan kebijakan
dan peraturan di bidang akuntansi pemerintahan.
“Dalam hal pembuatan kebijakan, BPK
tidak dilibatkan secara aktif dalam proses
penyusunan standar atau peraturan tentang
akuntansi akrual. BPK hanya memberikan
pendapat dalam proses public hearing/uji
publik yang dilakukan dalam proses
penyusunan standar atau peraturan tentang
akuntansi akrual”
(Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI).
- 175 -
“Sebenarnya baru sejak tahun 2012, upaya
untuk melibatkan users dalam pembuatan
kebijakan mulai dilakukan dalam bentuk
konsultasi publik. BPK, Kementerian/
Lembaga, Itjen Kementerian Keuangan,
Setjen kementerian Keuangan. Walaupun
tidak semua pendapat mereka akan kita
akomodir. Dalam beberapa kesempatan
juga pernah kita undang dalam rapat
tentang pembahasan penyusunan kebijakan
akuntansi pemerintah”
(Wawancara 8 – Penyusun dan Pengembang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat).
Pengkajian diatas menunjukan bahwa promotors
of change dalam hal ini Ditjen Perbendaharaan
Kementerian Keuangan dan producers of information yaitu unit penyusun laporan keuangan
sama sama merupakan bagian dari kementerian
keuangan. Hal ini mengakibatkan pengembangan
sistem akuntansi dapat dilakukan dengan mudah
dan komunikasi antara kedua belah pihak dapat
berjalan lancar. Berbeda dengan hasil Christensen
(2002) yang menemukan bahwa producers of
information mengalami kesulitan teknis dalam
implementasi sistem akuntansi yang baru dimana
hal ini sulit dikomunikasikan dengan promotors
of change sebagai pihak pembuat kebijakan
akuntansi.
Meskipun pihak pemeriksa yaitu BPK dan
Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan
sebagai users of information dilibatkan oleh
Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan
dalam dalam pengembangan kebijakan sistem
akuntansi, tetapi interaksi keduanya bukan faktor
utama dalam proses keputusan kebijakan
akuntansi. Pengambil keputusan utama terletak
pada Ditjen Perbendaharaan Kementerian
Keuangan.
interaksi BPK sebagai users of information
dengan Unit Penyusun Laporan Keuangan
Pemerintah di Kementerian Keuangan juga tidak
secara aktif dan khusus dalam mendesak pemerintah untuk segera mengaplikasikan akuntansi
akrual secara penuh. BPK hanya akan memberikan pendapat atau pandangan terhadap hal-hal
yang terkait dengan temuan pemeriksaan atas
laporan keuangan pemerintah.
“Dalam berinteraksi dengan penyusun
LKPP, BPK memberikan dukungan dalam
bentuk 2 hal, pertama adalah pendapat
BPK yang disampaikan oleh Ketua BPK
kepada pemerintah dan rekomendasi yang
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
dihasilkan dalam proses pemeriksaan
terhadap LKPP. Terkait dengan proses
penerapan akuntansi akrual, keterlibatan
BPK hanya terbatas pada pemberian pendapat dan rekomendasi kepada pemerintah,
sesuai dengan hal-hal khusus yang ditemukan dalam proses pemeriksaan”
(Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI).
“Dalam beberapa diskusi antara pemerintah dan BPK, BPK sering memberikan
pandangan faktual terhadap beberapa isu
tentang penerapan akuntansi akrual,
meskipun BPK tidak memberikan pendapat
secara resmi tentang hal tersebut karena
takut nantinya akan dijadikan acuan oleh
semua pihak”
(Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI).
Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis akrual
dilaksanakan sejak tahun 2010 sampai dengan
tahun 2014 (KSAP, 2010, 2011).
(3) Peningkatan Kualitas Pegawai Pemerintah di
Bidang Akuntansi Pemerintahan
Selain pengembangan sistem akuntansi, KSAP
dan pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian
Keuangan juga memimpin program peningkatan
kualitas pegawai pemerintah di bidang akuntansi
pemerintahan di lingkungan organisasi kementerian secara keseluruhan. Terdapat dua cara yang
digunakan untuk membina pegawai di bidang
akuntansi pemerintahan, yaitu kegiatan sosialisasi, pelatihan dan bimbingan teknis dan melalui
Pelaksanaan Program Percepatan Akuntabilitas
Keuangan Pemerintah (PPAKP).
Kegiatan sosialisasi, pelatihan dan bimbingan
teknis tentang kebijakan/peraturan di bidang
akuntansi pemerintahan dilakukan oleh para
promotors of change yaitu KSAP dan Ditjen
Perbendaharaan Kementerian Keuangan. Sesuai
dengan kewenangannya, KSAP mengadakan
kegiatan sosialisasi, pelatihan dan bimbingan
teknis tentang standar akuntansi pemerintahan
dan aturan lain turunan dari standar akuntansi
pemerintahan ke entitas akuntansi dan entitas
pelaporan di lingkungan akuntansi pemerintahan. Kegiatan sosialisasi dan pelatihan tentang
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
berbasis kas menuju akrual dilaksanakan sejak
tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 di
beberapa kota dan perguruan tinggi di Indonesia
(KSAP, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009).
Kegiatan sosialisasi dan pelatihan tentang Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang
- 176 -
Ditjen Perbendaharaan juga melakukan kegiatan
sosialisasi, pelatihan, dan bimbingan teknis
tentang perangkat peraturan dan kebijakan pemerintah dalam rangka mengimplementasikan
standar akuntansi pemerintahan ke dalam sistem
akuntansi dan pelaporan pemerintah pusat ke
semua entitas akuntansi dan entitas pelaporan.
Materi sosialisasi antara lain berupa peraturan
tentang sistem akuntansi dan pelaporan pemerintah pusat, kebijakan akuntansi pemerintah pusat,
bagan akun standar, jurnal standar dan posting
rules sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan berbasi kas menuju akrual. Selain itu,
Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan
juga melakukan kegiatan bimbingan teknis
tentang sistem aplikasi yang digunakan untuk
menjalankan sistem akuntansi dan pelaporan
pemerintah pusat.
Kegiatan sosialisasi tentang rencana implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di
Indonesia juga dilaksanakan oleh Unit Penyusun
Laporan Keuangan di Kementerian Keuangan
kepada para Users of Information (UoIs) sebagai
pengguna laporan keuangan pemerintah pusat.
Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi adanya
perbedaan interpretasi antara producer of information dan user of information dalam membaca
informasi pada laporan keuangan pemerintah
pusat:
“Sampai saat ini kita telah melakukan
training of trainers dan sosialisai kepada
para eksekutif kementerian/lembaga, badan
anggaran DPR sebagai pengguna laporan
keuangan. karena ini adalah perubahan
mindset, baik dari sisi penyusun laporan
keuangan maupun dari sisi pengguna
laporan keuangan.”
(Wawancara 6 – Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah
Tingkat Pusat).
Pelaksanaan Program Percepatan Akuntabilitas
Keuangan Pemerintah adalah usaha kedua yang
dilakukan oleh Kementerian Keuangan untuk
mendidik dan melatih demi meningkatkan kualitas pegawai di bidang akuntansi pemerintahan.
Tujuan utama program ini adalah untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan pemerintah
pusat yang tercermin dalam opini BPK terhadap
laporan keuangan pemerintah pusat.
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
PPAKP telah dilaksanakan sejak tahun 2007 dan
masih berlangsung sampai dengan 2014.Selama
kurun waktu ini, PPAKP telah berhasil
memberikan pendidikan dan pelatihan kepada
30.531 orang peserta yang terdiri dari para pegawai pengelola keuangan negara di seluruh kementerian negara/lembaga pada level pimpinan dan
level pelaksana (www.perbendaharaan.go.id).
Dalam periode ini, fokus utama dari PPAKP
adalah memberikan pengetahuan, pemahaman,
dan keterampilan tentang sistem akuntansi dan
pelaporan pemerintah berbasis kas menuju akrual
sebagai transisi menuju ke implementasi sistem
akuntansi dan pelaporan pemerintah berbasis
akrual pada tahun 2015.
Kajian diatas menyimpulkan terdapat berbagai
interaksi antara promotors of change, productions
of information dan users of information dalam
periode transisi ini. Interaksi terjadi pada saat dan
proses penyusunan kebijakan dan edukasi dan
sosialisasi dari kebijakan. Interaksi yang intensif
terjadi antara promotors of change yaitu KSAP
dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan RI dengan penyusun laporan
keuangan pada saat pengembangan kebijakan dan
implementasi teknis kebijakan. Setiap kebijakan
yang ditetapkan oleh para promotors of change
akan selalu dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan akuntansi dan pelaporan oleh para
producers of information, demikian juga keterlibatan para producers of information juga dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan dalam
proses penyusunan kebijakan oleh para promotors
of change. Hal ini menunjukkan terjadinya interaksi secara determinan (determinant influence)
diantara kedua aktor ini.
Hal yang berbeda terjadi pada interaksi antara
producers of information dengan users of information dimana interaksi yang terjadi adalah
interaksi yang tidak signifikan (minor influence).
Hal ini dapat dipahami karena BPK sebagai users
of information berusaha untuk independen
terhadap producers of information dan tidak
dapat mendasarkan keputusan pemeriksaan
laporan keuangan pemerintah atas dasar interaksi
yang terjadi diantara keduanya.
(4) Pengembangan Sistem Informasi Akuntansi
Pemerintah Pusat
Dalam rangka melaksanakan standar akuntansi
pemerintahan berbasis akrual dan sistem
akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah
berbasis akrual, pada akhir akhir masa transisi ini
Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan
juga mengembangkan Sistem Informasi Akuntansi dan Manajemen Keuangan Terintegrasi
(SiAMAT). SiAMAT merupakan salah satu upaya
dalam rangka modernisasi sistem dan proses
bisnis pengelolaan perbendaharaan dan anggaran
negara yang sesuai dengan amanat Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan. SiAMAT didesain untuk dapat digunakan 2 basis akuntansi yang
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71
Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, yaitu basis kas menuju akrual dan basis
akrual. SiAMAT adalah suatu sistem pengelolaan
keuangan negara yang mengintegrasikan pengelolaan keuangan ke dalam satu sistem terintegrasi,
yang meliputi fungsi penganggaran, pelaksanaan
anggaran dan pertanggungjawaban keuangan
negara. SiAMAT merupakan program transformasi berskala besar di bidang keuangan negara
yang bertujuan meningkatkan efisiensi, efektivitas, akuntabilitas dan transparansi dalam
pengelolaan anggaran dan perbendaharaan negara
melalui penyempurnaan proses bisnis dan
pemanfaatan teknologi informasi yang terintegrasi. Penjelasan secara mendalam mengenai
SiAMAT dilanjutkan pada periode implementasi.
(5) Tahapan Implementasi (2014 – sekarang):
Identifikasi Implementation Barriers
Tahap implementasi melanjutkan pengembangan
SiAMAT yang terdiri dari sistem penganggaran,
pelaksanaan anggaran dan pertanggungjawaban
keuangan negara. Basis akuntansi yang digunakan untuk penyusunan laporan keuangan dalam
SiAMAT adalah basis akrual. Transaksi akan
diakui dan dicatat pada saat terjadinya walaupun
kas belum masuk ke rekening kas negara atau
keluar dari kas negara (Islam et al., 2010: 9)
Untuk menunjang implementasi akuntansi akrual
pada SiAMAT, maka program ini mengintegrasikan antara Sistem Akuntansi Umum (SAU) dan
Sistem Akuntansi Kas Umum Negara (SAKUN)
dan penggunaan 2 ledger akuntansi yang berisi
ledger akrual dan ledger kas. Pengintegrasian
SAU dan SAKUN dilakukan berdasarkan
pertimbangan bahwa sistem aplikasi yang akan
digunakan dalam SiAMAT hanya 1 sistem
aplikasi yang telah terintegrasi.
- 177 -
Proses penjurnalan dilakukan oleh program
SiAMAT berdasarkan basis akrual yang terdiri
dari kelompok jurnal standar yang menjadi
acuan dalam proses penjurnalan setiap transaksi
keuangan pemerintah. Kelompok jurnal tersebut
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
adalah jurnal pada tahap pengesahan APBN, dan
DIPA, timbulnya komitmen, realisasi APBN,
jurnal pada akhir periode untuk penyesuaian,
penutup, koreksi dan konsolidasi dan jurnal
koreksi setelah audit.
Demikianlah proses pengembangan institusi
akuntansi pemerintah di Indonesia terjadi. Proses
tersebut melibatkan aktor KSAP, Ditjen Perbendaharaan, Unit Penyusun laporan keuangan
sebagai aktor utama. Sedangkan peran users of
information tidak significant dalam proses ini.
Temuan ini berbeda dengan hasil penelitian
Christensen (2002) dimana PoIs dalam konteks
akuntansi sektor pemerintah di Australia adalah
central agencies dan managers of line agencies.
Sedangkan di Indonesia, Ditjen Perbendaharaan
sebagai PoC sekaligus PoI merupakan pusat dari
proses perubahan akuntansi pemerintahan di
Indonesia. Kementerian Keuangan sebagai tokoh
utama dalam proses perubahan di Indonesia mirip
dengan yang terjadi di Albania (Godfrey et al.,
2000; Oliorilanto, 2008)
Walaupun pembangunan institusi untuk implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di
Indonesia sudah dijalankan dengan benar, hasil
pembangunan institusi belum optimal. Hasil yang
belum optimal ini merupakan kendala dalam
pencapain implementasi akuntansi akrual sektor
pemerintah di Indonesia. Studi ini mengelompokan hambatan tersebut menjadi empat kelompok,
yaitu kualitas, kuantitas, dan mindset SDM yang
masih rendah, lamanya penyusunan peraturan
teknis tentang implementasi akuntansi akrual,
kekhawatiran penurunan opini laporan keuangan
pemerintah dan ketidaksiapan sistem informasi
akuntansi sebagai alat pendukung implementasi
akuntansi akrual.
(a) Kualitas, Kuantitas, dan Mindset SDM yang
masih rendah
Salah satu hambatan utama dalam implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di
Indonesia adalah faktor sumber daya manusia,
baik dari sisi kualitasnya, kuantitasnya,
maupun dari sisi mindsetnya. Hambatan di
bidang sumber daya manusia ini dikonfirmasi oleh semua kategori informan dalam
penelitian ini. Para pegawai yang memiliki
kemampuan di bidang akuntansi pemerintahan dinilai masih rendah, baik dari sisi petugas
penyusun laporan keuangan pemerintah
maupun dari sisi petugas pemeriksa laporan
- 178 -
keuangan keuangan pemerintah:
“Dari sisi personil (SDM) harus diakui
bahwa pemerintah sebenarnya belum siap.
Dari sudut pandang BPK sendiri, upaya
untuk meningkatkan kemampuan tentang
akuntansi akrual masih berada di level
eselon 4 keatas.”
(Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI).
“Selain itu juga ada keterbatasan dalam
personil karena yang bertugas untuk
menyusun aturan dan sistem akuntansi
jumlahnya terbatas”
(Wawancara 8 – Penyusun dan Pengembang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat).
“Untuk kemampuan SDM, kalau di lingkungan Kementerian Keuangan sudah siap,
sedangkan di kementerian lainnya sangat
bervariatif. Yang harus diantisipasi adalah
cara melakukan judgment seperti apa, nah
ini yang harus dikuatkan”
(Wawancara 8 – Penyusun dan Pengembang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat).
Penyebab dari masih rendahnya kemampuan
para pegawai di bidang akuntansi pemerintahan disebabkan oleh dua faktor penting.
Pertama adalah faktor masih rendahnya
kesadaran untuk merekrut pegawai yang
berlatar belakang akuntansi pemerintahan.
Kedua adalah faktor pelatihan SDM di
bidang akuntansi pemerintahan yang masih
belum optimal:
“Pertama adalah kesiapan SDM.Saat ini
kesadaran untuk merekrut pegawai berlatar
belakang akuntansi masih rendah”
(Wawancara 3 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI).
“Tentunya hal ini membutuhkan waktu
yang cukup untuk mendidik seluruh KL
agar dapat memahami implementasi akuntansi akrual. Sayangnya sekalipun pada
diklat PPAKP saat ini sudah diajarkan
akuntansi akrual namun masih terbatas
pada teori-teori umum dan belum bisa
dipraktekkan dengan tools aplikasi yang
mendukung akuntansi akrual pemerintah”
(Wawancara 1 – Pemeriksa Inspektorat
Jenderal Kementerian Keuangan).
Salah satu unsur SDM lain yang tidak kalah
pentingnya adalah terkait dengan mindset
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
para pegawai yang masih banyak yang
berorientasi akuntansi berbasis kas. Hal ini
tentu juga memiliki kontribusi untuk menghambat implementasi akuntansi akrual sektor
pemerintah di Indonesia karena banyak
diantara mereka masih resisten terhadap
perubahan ke arah akuntansi akrual:
“Karakteristik lingkungan akuntansi
pemerintah memang kondisinya belum
sepenuhnya mendukung penerapan akuntansi akrual mengingat “mindset” yang
ada masih pada akuntansi berbasis Kas”
(Wawancara 1 – Pemeriksa Inspektorat
Jenderal Kementerian Keuangan).
“Sebetulnya kebutuhan akan akuntansi
akrual sudah mendesak mengingat informasi yang dibutuhkan lebih tersedia jika
diterapkan akuntansi akrual namun masih
banyak pihak yang merasa “nyaman”
dengan akuntansi berbasis kas”
(Wawancara 1 – Pemeriksa Inspektorat
Jenderal Kementerian Keuangan).
(b) Lamanya Penyusunan Peraturan Teknis
tentang implementasi akuntansi akrual
Faktor kedua yang menghambat implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di
Indonesia adalah lamanya proses penyusunan
peraturan teknis sebagai turunan dari Undangundang Nomor 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dan Undang-undang
Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara serta Peraturan Pemerintah tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan.
“Dari sisi peraturan, pemerintah memerlukan waktu yang panjang untuk merumuskan PMK sebagai petunjuk teknis
pelaksanaan undang-undang dan peraturan
pemerintah tentang penerapan akuntansi
akrual. Terbukti, sejak tahun 2003 (UndangUndang diterbitkan) dan sejak tahun 2010
(PP No. 71 tentang SAP diterbitkan) pemerintah memerlukan beberapa tahun untuk
menyusun PMK sebagai petunjuk teknis
pelaksanaannya´
(Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI).
“Belum adanya pedoman teknis akuntansi
akrual yang merupakan turunan dari PP 71
Tahun 2010 dan khususnya dengan implementasi SiAMAT adalah pedoman yang
telah disesuaikan dengan disain akrual di
dalam SiAMAT. Pedoman ini seyogyanya
- 179 -
diterbitkan oleh Ditjen Perbendaharaan
khususnya Dit APK dan Dit.TP dan dipahami terlebih dahulu oleh lingkungan Kementerian Keuangan sebelum disosialisasikan
ke seluruh satker K/L”
(Wawancara 1 – Pemeriksa Inspektorat
Jenderal Kementerian Keuangan).
(c) Kekhawatiran Penurunan Opini Laporan
Keuangan Pemerintah
Faktor ketiga yang menjadi penghambat
implementasi akuntansi akrual adalah adanya
kekhawatiran tentang kemungkinan terjadinya penurunan opini BPK atas laporan
keuangan pemerintah. Risiko ini terkonfirmasi oleh pandangan ketiga kelompok
informan dalam penelitian ini. Risiko penurunan opini BPK atas laporan keuangan
pemerintah adalah hal yang paling dihindari
karena akan membawa konsekuensi politis
bagi pemerintah:
“Penurunan opini menjadi pemikiran
utama kita. Kalau nantinya opininya
adalah masih sama WDP dengan saat ini,
maka pemerintah tidak perlu berpikir
keras. Tetapi kalau turun opininya (menjadi
disclaimer) maka itu yang akan bermasalah, karena laporan keuangan adalah
pertanggungjawaban pemerintah ke DPR.
Karena kalau turun, hal ini menjadi masalah politik juga.”
(Wawancara 6 – Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah
Tingkat Pusat)
“Terkait dengan opini laporan keuangan,
ada kekhawatiran yang bersifat politis di
pemerintah jika akuntansi akrual dilaksanakan sedangkan pemerintah masih belum
sepenuhnya siap, akan terjadi penurunan
terhadap opini yang diberikan oleh BPK.”
(Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI).
“Kalaupun lingkungan akuntansi pemerintah tidak mendukung, hal ini lebih disebabkan kekhawatiran hasil audit BPK akan
berdampak terhadap penurunan kualitas
opini yang diberikan oleh BPK”
(Wawancara 1 – Pemeriksa Inspektorat
Jenderal Kementerian Keuangan).
“Akrual ini kan memungkinkan adanya
perbedaan persepsi dalam menilai judgement tadi. Jadi saya melihat, potensi perbedaan pendapat dengan BPK ini sangat
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
besar. Ada kemungkinan penurunan opini
sangat besar. Karena aturannya masih
belum lengkap, dan karena judgement yang
bersifat subjektif”
(Wawancara 8 – Penyusun dan Pengembang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat).
(d) Ketidaksiapan sistem informasi akuntansi
sebagai alat pendukung implementasi
akuntansi akrual
Faktor keempat yang menghambat implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah
di Indonesia adalah ketidaksiapan sistem
informasi yang digunakan sebagai alat eksekutor dalam melakukan proses akuntansi dan
pelaporan keuangan pemerintah. Faktor ini
terkonfirmasi oleh semua kelompok informan dalam penelitian ini.
“Infrastruktur juga harus disiapkan, sistem
akuntansinya, karena tidak gampang
menyusun laporan keuangan berbasis
akrual.Menyusun laporan keuangan 4 saja
(berbasis CTA) masih sulit, apalagi harus
menyusun 7 (berbasis akrual).”
(Wawancara 6 – Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah
Tingkat Pusat).
“Sistem akuntansi pemerintah pusat masih
belum dikembangkan dengan baik.Pada
tahun 2003 pada saat undang-undang
diterbitkanpun, pemerintah belum memiliki
sistem akuntansi yang mendukung penerapan akuntansi akrual.”
(Wawancara 3 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI).
Pengembangan Sistem Informasi Akuntansi
dan Manajemen Keuangan Terintegrasi yang
diharapkan mampu berperan sebagai sistem
utama yang mendukung implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia
ternyata berjalan dengan lambat dan tidak
sesuai harapan sehingga berisiko untuk
mengganggu rencana implementasi akuntansi
akrual pada tahun 2015. Pengembangan sistem informasi baru (selain Sistem Informasi
Akuntansi dan Manajemen Keuangan Terintegrasi) sebagai rencana perubahan dirasa
sangat mepet dan dikhawatirkan tidak
optimal, baik dari sisi fungsinya maupun dari
sisi sosialisasinya kepada para pengguna.
“Sejak tahun 2010, sebenarnya diwajibkan menggunakan SiAMAT. Namun dengan
berjalannya waktu di tahun 2013, SiAMAT
- 180 -
belum dapat diimplementasikan pada
tahun 2015……Nah, baru pada tahun 2013
dengan melihat progress dari SiAMAT, kita
diminta untuk menyiapkan sistem akuntansi
instansi berbasis akrual (SAIBA) dalam
rangka penerapan akuntansi akrual,
karena SiAMAT dinilai belum siap, sedangkan kita tetap harus melaksanakan akuntansi akrual di tahun 2015”
(Wawancara 8 – Penyusun dan Pengembang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat).
“Sistem Informasi Akuntansi berbasis
akrual yang dibangun memang belum sepenuhnya siap. Saat ini sebelum implementasi
SiAMAT diterapkan, terdapat aplikasi
“perantara” yaitu SAIBA. Masalahnya,
sosialisasi dan edukasi kepada satkersatker K/L tidak cukup waktu untuk mengejar implementasi akuntansi akrual yang
sebetulnya sudah ada dalam SiAMAT”
(Wawancara 1 – Pemeriksa Inspektorat
Jenderal Kementerian Keuangan).
Adanya hambatan-hambatan diatas menunjukan bahwa pembangunan institusi tidak
akan optimal jika cakupan proses perubahan
dalam skala yang besar, komitmen perubahan
yang kurang dan tingkat pengetahuan yang
juga kurang. Pembangunan personil belum
mencapai hasil optimal meskipun sudah ada
program pelatihan yang dipelopori oleh
Kementerian Keuangan mengingat ukuran
pemerintah Republik Indonesia sangatlah
besar dan perubahan ini tidak hanya melibatkan kementerian keuangan saja tetapi juga
BPK dan DPR. Lambatnya peraturan teknis
dan pengembangan sistem akuntansi dapat
menunjukan bahwa pemerintah masih belum
memiliki komitmen yang tinggi dalam mengakselerasi implementasi akuntansi akrual
secara penuh dalam penyusunan laporan
keuangan. Kekhawatiran penurunan kualitas
opini audit akibat diaplikasikannya sistem
akuntansi pemerintah berbasis akrual dapat
merupakan perwujudan kurang pahamnya
pengetahuan mengenai akuntansi akrual. Jika
aplikasi akuntansi akrual dilakukan dengan
benar dan bersih tentulah kekhawatiran
tersebut tidak ada.
Berdasarkan kondisi diatas dapat disimpulkan bahwa implementation barriers dalam
implementasi akuntansi akrual sektor pemerintahan di Indonesia lebih banyak diperoleh
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
dari kontribusi promotors of change dan
producers of information. Promotors of
change berkontribusi dalam hal terlalu
lamanya proses penyusunan peraturan teknis
dan kekurangsiapan pengembangan sistem
aplikasi dalam rangka mendukung implementasi akuntansi akrual. Producers of
information berkontribusi dalam hal masih
rendahnya kualitas, kuantitas dan mindset
SDM serta terlalu tingginya kekhawatiran
terjadinya penurunan opini BPK terhadap
laporan keuangan pemerintah apabila akuntansi akrual telah diimplementasikan. Hal ini
menunjukkan pengaruh yang menentukan
(determinant influence) antara promotors of
change dan producers of information
terhadap implementation barriers dalam
proses implementasi akuntansi sektor pemerintahan di Indonesia.
SIMPULAN
Penelitian ini adalah untuk meneliti bagaimana peran
para aktor dalam implementasi akuntansi akrual
sektor pemerintah di Indonesia sejak tahun 2000
sampai dengan 2014. Untuk memenuhi tujuan tersebut penelitian ini berfokus untuk: (1) mengidentifikasi
faktor-faktor apa saja yang mendorong perlu dilakukannya perubahan menuju akuntansi akrual (stimuli);
(2) mengidentifikasi para aktor utama yang terlibat
dalam proses perubahan menuju akuntansi akrual;
(3) mengidentifikasi hambatan/permasalahan dan
fasilitator apa saja yang dihadapi dalam proses perubahan menuju akuntansi akrual; dan (4) mengidentifikasi peranan para aktor utama dalam mengatasi hambatan dan mengakomodasi faktor penunjang dalam
proses perubahan menuju akuntansi akrual.
kan aktor utama dalam proses transformasi sistem
akuntansi dan pelaporan keuangan pemeritahan dari
berbasis kas menjadi berbasis akrual pada periode
tahun 2000 – 2014.
Dengan menggunakan Luder's Contingency Model
yang dimodifikasi oleh Christensen (2002), penelitian
ini menghasilkan 5 temuan tentang bagaimana peran
para aktor dalam implementasi akuntansi akrual
sektor pemerintah di Indonesia. Pertama, faktor utama
yang berperan dalam mendorong implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia (stimuli)
adalah perintah undang-undang untuk melaksanakan
akuntansi pemerintah berbasis akrual. Kondisi di
Indonesia pada periode tahun 2000 – 2014 memperlihatkan bahwa adanya undang-undang di bidang
keuangan negara menimbulkan suatu kesadaran bagi
pelaku akuntansi pemerintahan untuk melakukan
perubahan. Perpindahan dari sistem akuntansi pemerintah berbasis kas ke sistem akuntansi pemerintah
berbasis akrual hanya dianggap sebagai suatu
kepatuhan terhadap undang-undang daripada sebagai
keinginan untuk bertindak efisien dalam mengelola
keuangan negara (lihat Djamhuri (2009)).
Kedua, pihak-pihak yang memiliki peran sebagai
pendorong proses implementasi akuntansi akrual di
Indonesia adalah KSAP dan Ditjen Perbendaharaan
Kementerian Keuangan. Kedua lembaga ini merupa-
Ketiga, pihak-pihak yang berperan sebagai para
penyusun laporan keuangan pemerintah pusat di
Indonesia (PoIs) terdiri dari: (1) Pemerintah RI cq.
Kementerian Keuangancq. Ditjen Perbendaharaan,
sebagai penyusun laporan keuangan tingkat pusat;
(2) Kementerian Negara/Lembaga, sebagai penyusun
laporan keuangan tingkat Kementerian Negara/
Lembaga; dan Unit organisasi Kementerian Negara/
Lembaga di tingkat wilayah dan di tingkat instansi,
sebagai penyusun laporan keuangan pemerintah di
tingkat wilayah dan di tingkat instansi. Temuan ini
secara umum mendukung hasil penelitian Christensen
(2002) dimana PoIs dalam konteks akuntansi sektor
pemerintah di New South Wales adalah para central
agencies dan managers of line agencies.
Keempat, pihak-pihak yang diidentifikasi sebagai
pengguna informasi dalam laporan keuangan
pemerintah pusat di Indonesia (UoIs) adalah:
(1) masyarakat; (2) wakil rakyat, lembaga pengawas,
dan lembaga pemeriksa; (3) pihak yang memberi
atau berperan dalam proses donasi, investasi, dan
pinjaman; dan (4) pemerintah. Temuan ini menunjukkan kondisi yang hampir sama antara UoIs dalam
penelitian ini dengan UoIs dalam penelitian
Christensen (2002) di New South Wales. Hal yang
berbeda adalah bahwa pene-litian ini memasukkan
kembali masyarakat sebagai salah satu UoIs
sebagaimana hasil penelitian Luder (1992).
Kelima, faktor-faktor socio-cultural yang menjadi
hambatan dalam akselerasi implementasi akuntansi
akrual sektor di sektor pemerintahan di Indonesia.
Faktor-faktor tersebut adalah (1) kualitas, kuantitas,
dan mindset pegawai pemerintah di bidang akuntansi
pemerintahan yang masih rendah; (2) Lamanya
- 181 -
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Penyusunan Peraturan Teknis tentang implementasi
akuntansi akrual; (3) Kekhawatiran Penurunan Opini
Laporan Keuangan Pemerintah; dan (4) Ketidaksiapan
sistem informasi akuntansi sebagai alat pendukung
implementasi akuntansi akrual. Penyelesaian terhadap
keempat faktor hambatan diatas menjadi critical
success factor bagi pemerintah Indonesia untuk
melaksanakan akuntansi akrual sektor pemerintahan
pada 2015.
yang digariskan oleh para PoCs sehingga PoIs harus
mengetahui dan memahami betul setiap standar dan
peraturan sebagai acuan dalam melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya sebagai penyusun laporan
keuangan. Demikian juga sebaliknya, dalam setiap
proses penyusunan dan pengembangan peraturan PoI
juga selalu dilibatkan agar peraturan yang dibuat oleh
PoCs tersebut sesuai dengan kebutuhan pelaporan
dari PoIs.
Penelitian ini juga menghasilkan temuan tentang
interaksi yang terjadi antara para aktor dalam proses
implementasi akuntansi akrual sektor publik di
Indonesia. Pertama, stimuli berupa perintah undangundang merupakan faktor penentu bagi para PoCs
dan PoIs mengimplementasikan akuntansi akrual
sektor pemerintah di Indonesia. Stimuli ini tidak
memberikan pengaruh yang signifikan bagi para
UoIs dalam menjalankan peranannya.
Ketiga, interaksi antara Ditjen Perbendaharaan
sebagai PoIs dengan UoIs yaitu BPK dan DPR terjadi
walaupun interaksi ini tidak membawa pengaruh
signifikan bagi PoI untuk mempercepat proses perubahan. PoIs bertindak diatas UoI karena berperan
sebagai pendidik bagi UoIs yaitu DPR agar mereka
memiliki pandangan dan interpretasi yang sama
sehingga dapat membaca laporan keuangan dari sudut
pandang yang sama dengan PoIs. Namun demikian,
BPK sebagai UoIs juga tidak memberikan pengaruh
signifikan bagi PoIs karena BPK.BPK merasa tidak
berkewajiban mendorong Ditjen Perbendaharaan
dalam pengimplementasikan full accrual.
Kedua, interaksi yang terjadi antara PoCs dan PoIs
terjadi secara timbal balik dan bersifat sangat
menentukan. Di dalam negara yang menganut sistem
civil law, para PoIs dalam penelitian ini selalu patuh
dan tunduk terhadap setiap standar dan peraturan
KETERBATASAN DAN IMPLIKASI
PENELITIAN
Penelitian ini memiliki 2 batasan. Pertama, informan
dalam penelitian ini dipilih secara subjektif oleh
penulis berdasarkan pertimbangan keterbatasan
waktu dan sumber dana sehingga belum dapat
memotret sudut pandang dari semua aktor yang
terlibat dalam proses implementasi akuntansi akrual
sektor pemerintah di Indonesia, khususnya aktoraktor di KSAP, DPR, BPKP, IAI, akademisi dan para
akuntan publik. Kedua, data yang bersumber dari
dokumentasi berupa peraturan dan perundangan,
jurnal ilmiah, buku, dan sumber-sumber lainnya
belum dapat mencakup seluruh referensi tentang
reformasi akuntansi sektor pemerintah karena faktor
keterbatasan penulis untuk mendapatkan akses
terhadap sumber data.
buka ruang untuk keterlibatan para akademisi dan
akuntan profeisonal dalam proses implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia, khususnya dalam hal melakukan pelatihan dan pendidikan
kepada para producers of information. Penelitian ini
memberikan implikasi terhadap penelitian-penelitian
lebih lanjut tentang proses reformasi akuntansi sektor
pemerintah di Indonesia, baik dengan menggunakan
teori kontijensi maupun teori-teori lainnya. Hasil dari
penelitian ini mendorong perlu dilakukannya
penelitian lebih lanjut tentang peran dari pendidikan
dan pelatihan, peran pemeriksa (khususnya BPK),
peran sistem informasi akuntansi dalam menentukan
keberhasilan reformasi akuntansi sektor pemerintah
di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga mendorong
perlu dilakukannya penelitian yang mampu membuktikan secara empiris peran dari masyarakat sebagai
salah satu pengguna laporan keuangan pemerintah.
Terakhir, penelitian ini memberikan saran agar Ditjen
Perbendaharaan Kementerian Keuangan dapat mem-
- 182 -
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Stimuli
Perintah Undang-undang di
bidang Keuangan Negara
Promotors of
Change :
• KSAP
• Pemerintah RI cq.
Kementerian
Keuangan cq.
Ditjen
Perbendaharaan
Producers of
information :
• Pemerintah RI cq.
Kementerian
Keuangan
• Kementerian
Negara/Lembaga
• Unit organisasi
Kementerian
Negara/Lembaga
di tingkat Wilayah
dan di tingkat
Instansi
Users of
information :
• masyarakat;
• wakil rakyat,
lembaga
pengawas, dan
lembaga
pemeriksa;
pihak yang
memberi atau
berperan dalam
proses donasi,
investasi, dan
pinjaman; dan
• pemerintah
Implementation Barriers
, Kuantitas,
, dan Mindset
• Kualitas,
SDM yang masih rendah.
• Lamanya Penyusunan Peraturan
Teknis tentang implementasi
akuntansi akrual
• Kekhawatiran Penurunan Opini
Laporan Keuangan Pemerintah
• Ketidaksiapan sistem informasi
sebagai alat pendukung implementasi akuntansi akrual
Implementation of a new public sector accounting system
Legend:
Determinant influence
Significant influence
Minor influence
Sumber: Dimodifikasi dari Process Model of Public Sector Accounting Change (Christensen, 2002)
Gambar 5.1
Model Proses dari Perubahan Akuntansi Sektor Pemerintahan di Indonesia
- 183 -
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
REFERENSI
Allen, R., dan Tommasi, D. 2001. Managing Public Expenditure [electronic resource]: A Reference Book for
Transition Countries: OECD Publishing.
Blondal, J. R. 2003. Budget Reform in OECD Member Countries: Common Trends. OECD Journal on
Budgeting, 2(4), 7-26.
Broadbent, J., dan Guthrie, J. 2008. Public Sector to Public Services: 20 Years of "Contextual" Accounting
Research. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 21(2), 129-169.
Buhr, N. 2012. Accrual Accounting by Anglo-American Governments: Motivations, Developments, and Some
Tensions Over The Last 30 Years. Accounting History, 17(3-4), 287-309.
Christensen, M. 2002. Accrual Accounting in the Public Sector: The Case of the New South Wales Government.
Accounting History, 7(2), 93-124.
Connolly, C., dan Hyndman, N. 2006. The Actual Implementation of Accruals Accounting: Caveats From A
Case Within The UK Public Sector. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 19(2), 272-290.
Deloitte. (2013). Deloitte IPSAS on Your Pockets: Deloitte.
Djamhuri, A. (2009). A Case Study of Governmental Accounting and Budgeting Reform at Local Authority in
Indonesia [HD 28-70]. Universiti Sains Malaysia.
Godfrey, A. D., et al. 2000. Government accounting development within a transitional economy-Albania a case
study. Journal of Applied Accounting Research, 5(3), 53-86.
Godfrey, A. D., et al. (2001). A Diffusion-Contingency Model for Government Accounting Innovations
International Comparative Issues in Government Accounting (pp. 279-296): Springer.
Hariyanto, A. 2013. Penggunaan Basis Akrual Dalam Akuntansi Pemerintahan di Indonesia. Dharma
Ekonomi, 36(36).
Harun. 2007. Obstacles to Public Sector Accounting Reform in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic
Studies, 43(3), 365-376.
Harun, dan Robinson, P. 2010. The Adoption of Accrual Accounting in the Indonesian Public Sector. Research in
Accounting in Emerging Economies, 10, 233-250.
Harun, et al. 2012. Institutionalization of Accrual Accounting in the Indonesian Public Sector. Journal of
Accounting & Organizational Change, 8(3), 257-285.
IFAC. 2011. Transition to the Accrual Basis of Accounting: Guidance for Public Sector Entities: Study 14.
Retrieved from http://www.ifac.org/sites/default/files/publications/files/IPSASB-study-14-3e.pdf
IMF. 1997. Memorandum of Economic and Financial Policies of October 31, 1997: Letter of Intent of the
Government of Indonesia to the International Monetary Fund. Washington, D.C.: IMF (International
Monetary Fund).
Innes, J., dan Mitchell, F. 1990. The Process of Change in Management Accounting: Some Field Study Evidence.
Management Accounting Research, 1(1), 3-19.
Islam, S., et al. 2010. Future Model Sistem Akuntansi. Jakarta: Kementerian Keuangan.
Jaruga, A., dan Nowak, W. A. 1996. Toward A General Model of Public Sector Accounting Innovations.
Research in Governmental and Nonprofit Accounting, 21-32.
Kickert, W. 1997. Public Management in the United States and Europe. Public Management and Administrative
Reform in Western Europe. UK: Edward Elgar.
KSAP. (2004). Laporan Tahun 2004. Jakarta.
KSAP. (2005). Laporan Tahun 2005. Jakarta.
- 184 -
Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
KSAP. (2006). Laporan Tahun 2006. Jakarta.
KSAP. (2007). Laporan Tahun 2007. Jakarta.
KSAP. (2008). Laporan Tahun 2008. Jakarta.
KSAP. (2009). Laporan Tahun 2009. Jakarta.
KSAP. (2010). Laporan Tahun 2010. Jakarta.
KSAP. (2011). Laporan Tahun 2011. Jakarta.
Luder, K. 1992. A Contingency Model of Governmental Accounting Innovations in the Political Administrative
Environment. Research in Governmental and Nonprofit Accounting, 7, 99-127.
Marwata. (2008). Doctoral Research Abstract: Understanding Governmental Accounting Change in Developing
Country Context the Case of Accrual-Based Accounting Systems Adoption by Indonesian Local
Government.
Merrouche, C., et al. 1996. Local Government Accounting in Algeria and Moroco. Research in Governmental
and Nonprofit Accounting, 9, 139-156.
Oliorilanto, R. H. 2008. Contingency Factors Affecting the Adoption of Accrual Accounting in Malagasy
Municipalities. International Journal on Governmental Financial Management, 8(1), 37-50.
Osborne, D., dan Gaebler, T. 1992. Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit Is Transforming
The Public Sector. Harv. Blackletter J., 9, 163.
Otley, D. T. 1980. The Contingency Theory of Management Accounting: Achievement and Prognosis.
Accounting, Organizations and Society, 5(4), 413-428.
Pallot, J. 1996. Innovations in national government accounting and budgeting in New Zealand. Research in
Governmental and Nonprofit Accounting, 323-348.
Palupi, A. (2013). A Sociological Analysis of the Field of Public Sector Accounting in Indonesia from
the 1960s to 2010. (Doctoral), Macquarie University, Australia.
PricewaterhouseCooper. (2013). PwC Global Survey on Accounting and Reporting by Central Government (2013):
Toward A New Era in Government Accounting and Reporting: PwC.
Priyono, N. 2013. Perkembangan Akuntansi Pemerintahan di Indonesia Periode Sebelum Reformasi sampai
dengan Pasca-Reformasi. Majalah Ilmiah Dinamika, 37(1).
Saleh, Z., dan Pendlebury, M. W. 2006. Accruals Accounting in Government-Developments in Malaysia.
Asia Pacific Business Review, 12(4), 421-435.
Simanjuntak, B. H. 2005. Menyongsong Era Baru Akuntansi Pemerintahan di Indonesia. Jurnal Akuntansi
Pemerintah, 1(1).
Upping, P., dan Oliver, J. 2011. Accounting Change Model for The Public Sector: Adapting Luder's Model for
Developing Countries. International Review of Business Research Papers, 7(1), 364-380.
Waweru, N. M., et al. 2004. Management Accounting Change in South Africa: Case Studies from Retail Services.
Accounting, Auditing & Accountability Journal, 17(5), 675-704.
Yamamoto, K. 1999. Accounting System Reform in Japanese Local Governments. Financial Accountability &
Management, 15(3?4), 291-307.
- 185 -
Download