(Rhizopus stolonifer) PADA BUAH STROBERI SEMINAR

advertisement
SEMINAR NASIONAL
HASIL PENELITIAN PERTANIAN IV
24 September 2016
Universitas Gajah Mada
==========================================================================
EFEKTIVITAS CUKA KAYU TEMPURUNG KELAPA
PADA PENGENDALIAN PATOGEN BUSUK LUNAK
(Rhizopus stolonifer)
PADA BUAH STROBERI
Budy Rahmat1, Dedi Natawijaya1, dan Wawan Setiawan2
Abstrtak
Rhizopus stolonifer adalah penyebab penyakit busuk lunak pada stroberi. Jamur
ini menginfeksi pada saat buah menjelang matang. Pada saat pematangan dinding sel
akan melunak dan lubang lentisel akan mudah terbuka sehingga akan mempermudah
patogen untuk menginfeksi buah. Selain itu infeksi sering terjadi pula melalui
pelukaan. Infeksi melalui pelukaan akan lebih cepat terjadi karena jamur dapat
mengambil nutrisi secara langsung dari cairan sel yang keluar. Cuka kayu dari
tempurung kelapa berpotensi untuk dijadikan fungisida pada penyimpanan buah
stroberi. Maka dari itu perlu ada penelitian mengenai pengaruh cuka kayu tempurung
kelapa terhadap patogen busuk lunak (R. stolonifer) pada buah stroberi Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi cuka kayu tempurung kelapa pada
pengendalian R. stolonifer pada buah stroberi lepas panen. Penelitian ini disusun dalam
rancangan acak lengkap (RAL) berpola faktorial. Sebagai faktor perlakuan pertama
ialah taraf konsentrasi cuka kayu (k0, k1, k2, k3, k4 dan k5 berturut-turut 0,2,3,4,5, dan 6
%); dan faktor perlakuan kedua ialah taraf pelukaan (p0 = tidak dilukai, p1 = dilukai)
serta dilakukan empat ulangan. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam
(Anova) dan dilanjutkan dengan Uju Beda Duncan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa, tidak terjadi interaksi antara perlakuan konsentrasi cuka kayu tempurung kelapa
dengan pelukaan terhadap semua paremeter yang diamati. Pemberian cuka kayu
tempurung kelapa berpengaruh tehadap perkembangan patogen R. stolonifer, adapun
konsentrasi yang terbaik adalah sebesar 3%. Perlakuan pelukaan menunjukkan
pengaruh bahwa, buah yang dilukai lebih rentan terhadap infeksi jamur R. stolonifer.
Kata kunci: cuka kayu, Rhizopus stolonifer, stroberi, tempurung kelapa
PENDAHULUAN
Stroberi (Fragaria x ananassa) merupakan salah satu tanaman buah yang bernilai
ekonomis tinggi. Daya pikatnya terletak pada warna buah yang merah mencolok, dan
rasanya manis segar. Budidaya stroberi telah
dilakukan oleh beberapa petani di
Indonesia, terutama di daerah-daerah dataran tinggi. Menurut Budiman dan Desi (2007)
pengembangan stroberi di Indonesia bertempat di Sukabumi, Cianjur, Cipanas,
Lembang, Batu Malang, dan Bedugul Bali.
Di dalam budidaya stroberi, salah satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah
penanganan pascapanen.
Buah stroberi termasuk buah yang sensitif dan mudah
mengalami kerusakan (Budiman, dan Desi 2007). Menurut Soesanto (2007) kehilangan
pascapanen pada buah-buahan yang mudah rusak bisa lebih dari 50 %. Menurut Sallato
et al., (2007) salah satu faktor utama penyebab kehilangan pascapanen pada buahbuahan adalah serangan patogen.
Mengingat kehilangan hasil pada saat pascapanen oleh aktivitas jamur cukup
tinggi, maka perlu ada upaya pengendalian pertumbuhan jamur pada saat penyimpanan.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan aplikasi fungisida. Fungisida ada
yang bersifat sintetik ada juga yang alami (berasal dari bahan alam). Penggunaan
fungisida sintetik pada saat ini dirasa sudah tidak begitu menguntungkan, terutama
terhadap kesehatan. Maka dari itu perlu ada upaya untuk memanfaatkan fungisida
alami.
Menurut Lattanzio et al., (1996) patogen yang sering ditemui pada pasca panen
stroberi pada umumnya berasal dari golongan jamur. Jamur dapat tumbuh dengan baik
meskipun dalam kondisi derajat keasaman yang rendah, sehingga jamur seringkali
menjadi penyebab kerusakan pada buah-buahan. Hal ini senada dengan pernyataan
Vitoratos et al,. (2013) yang menyatakan bahwa infeksi jamur merupakan penyebab
utama kerusakan pasca panen buah-buahan.
Rhizopus stolonifer merupakan salah satu jenis jamur yang sering menginfeksi
buah stroberi pada saat penyimpanan. Rhizopus stolonifer merupakan penyebab
penyakit busuk lunak (leek) pada stroberi (Sallato et al., 2007). Jamur ini menginfeksi
pada saat buah menjelang matang. Pada saat pematangan dinding sel akan melunak dan
lubang lentisel akan mudah terbuka sehingga akan mempermudah patogen untuk
menginfeksi buah.
Selain itu infeksi sering terjadi pula melalui pelukaan. Infeksi
melalui pelukaan akan lebih cepat terjadi karena jamur dapat mengambil nutrisi secara
langsung dari cairan sel yang keluar.
Kajian cuka kayu tempurung kelapa dari aspek kesehatan telah diteliti oleh
Budijanto (2008) penelitiannya menyatakan bahwa cuka kayu tempurung kelapa aman
digunakan pada produk pangan. Hasil tersebut dibuktikan oleh identifikasi komponen
cuka kayu tempurung kelapa dengan GC-MS yang menunjukkan bahwa tidak
ditemukannya senyawa yang bersifat karsinogenik. Secara umum cuka kayu dapat
digunakan sebagai bahan pengawet alternatif yang aman.
Cuka kayu dari tempurung
kelapa berpotensi untuk dijadikan antijamur/fungisida pada penyimpanan buah stroberi.
Maka dari itu perlu ada penelitian mengenai “pengaruh cuka kayu tempurung kelapa
terhadap patogen busuk lunak (Rhizopus stolonifer) pada buah stroberi
Permasalahan yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah: Apakah ada
pengaruh konsentrasi cuka kayu tempurung kelapa terhadap patogen busuk lunak
(Rhizopus stolonifer) pada buah stroberi lepas panen. Tujuan mengetahui pengaruh
konsentrasi cuka kayu tempurung kelapa terhadap penekanan pertumbuhan jamur
Rhizopus stolonifer pada buah stroberi lepas panen.
BAHAN DAN METODE
1. Persiapan cuka kayu
Redestilasi cuka kayu bertujuan untuk memperoleh cuka kayu grade 1 yang bebas
dari tar dan senyawa karsinogenik. Hasil dari tahapan yang dilakukan dijelaskan secara
deskriptif. Uraian mengenai proses redestilasi diharapkan dapat memeberikan informasi
terkait bahan dasar yang digunakan, rendemen, dan gambaran umum mengenai kualitas
cuka kayu tempurung kelapa hasil redestilasi.
2. Uji Aktivitas Anti Jamur Cuka kayu secara In-Vitro
Penelitian untuk menentukan ada atau tidaknya aktivitas anti jamur dari cuka
kayu tempurung kelapa terhadap jamur Rhizopus stolonifer tidak dilakukan pengujian
secara statistik, sehingga tidak menggunakan rancangan penelitian. Penelitian ini hanya
untuk melihat aktivitas anti jamur dari cuka kayu dan melihat angka konsentrasi yang
mampu memberikan hambatan terhadap perkembangan jamur uji dalam media PDA.
Adapaun konsentrasi yang digunakan sebanyak 10 taraf, yaitu 0%,1%, 2%, 3%, sampai
9%, dengan tiga kali pengulangan.
3. Uji Pengaruh Cuka kayu Tempurung Kelapa secara In-Vivo
Metode Penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen dengan merujuk
pada referensi dari Gomez dan Gomez (1995), adapun rancangan yang digunakan
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial, dengan dua
faktor perlakuan yaitu :
a. Faktor pertama yaitu konsentrasi cuka kayu (k), terdiri dari 6 taraf.
k0 = Konsentrasi 1
k3 = Konsentrasi 4
k1 = Konsentrasi 2
k4 = Konsentrasi 5
k2 = Konsentrasi 3
k5 = Konsentrasi 6
Penentuan angka konsentrasi ditentukan berdasarkan hasil dari uji in vitro,
sehingga diperoleh lima taraf konsentrasi larutan uji (k1 - k5) dan satu kontrol (k0).
b. Faktor kedua yaitu pelukaan (p), terdiri dari dua taraf.
p0 = Tanpa Pelukaan
p1 = Dengan Pelukaan
Jika dari uji F terdapat berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut jarak berganda
Duncan pada taraf nyata 5 % dengan rumus sebagai berikut :
LSR = Sx X SSR
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pembuatan Cuka kayu
Pada penelitian ini produksi cuka kayu dilakuan dengan pemanasan selama 6
jam pada suhu 350°C. Suhu pemanasan pada proses pirolisis telah diketahui
berpengaruh terhadap rendemen dan kualitas cuka kayu. Hasil penelitian Anisah (2014)
menunjukkan adanya perbedaan rendemen dan warna cuka kayu tempurung kelapa
sawit akibat dari suhu pemanasan yang berbeda. Suhu 200-250°C menghasilkan
rendemen 3.1%, tar 2 ml, dan warna coklat, suhu 280-350°C menghasilkan rendemen
11.3%, tar 15 ml, dan warna kunging kecoklatan, sedangkan untuk suhu >400°C
menghasilkan rendemen 9.6%, tar 42 ml, dan warna kuning kecoklatan.
Pirolisis cuka kayu tempurung kelapa dilakuan pada penelitian terpisah, yang
dilakukan di Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi pada beberapa bulan sebelumnya.
Adapun perloehan cuka kayunya, adalah sebagai berikut dari 1.000 g batok kelapa
dengan kadar air 8% menghasilkan 460 ml cuka kayu, 293,5 g arang, dan 57,32 g tar.
Warna cuka kayu coklat kekuningan dengan aroma yang sangat menyengat.
Cuka kayu hasil pirolisis (grade 3) masih mengandung tar dan senyawa
karsinogenik, sehingga cuka kayu hasil pirolisis tidak layak digunakan untuk produk
pangan secara langsung. Perlu ada upaya untuk menurunkan atau bahkan
menghilangkan tar dan senyawa karsinogenik yang terkandung dalam cuka kayu. Salah
satu cara untuk menghilangkan tar dan senyawa karsinogenik adalah dengan melakukan
redestilasi, sehingga dapat diperoleh cuka kayu grade 2, atau bahkan grade 1 yang telah
bebas dari senyawa karsinogenik dan tar. Terpisahnya tar dan senyawa karsinogenik
dikarenakan suhu penguapan tar dan senyawa karsinogenik >200°C, sedang suhu untuk
redestilasi biasanya berkisar antara 100-150°C.
Langkah redestilasi telah dilakukan pada penelitian ini dengan meredestilasi
cuka kayu grade 3 sebanyak dua kali, sehingga diperoleh cuka kayu grade 1. Proses
redestilasi dilakukan di laboratorium Produksi Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi.
Alat yang digunakan adalah satu set alat destilasi yang berbahan dasar kaca dengan
kapasitas satu liter. Pemanas yang digunakan adalah bunsen, dengan lama pemanasan
selama kurang lebih satu jam, dan suhu pemanasan yang digunakan adalah 105°C.
Sedangkan untuk aroma asap grade 3 menghasilkan aroma yang sangat
menyengat, sedangkan untuk grade 1 dan grade 2 aroma asap nya tidak begitu kuat.
Hal ini diduga pada cuka kayu tempurung kelapa grade 3 masih mengandung tar,
sehingga aroma asapnya lebih kuat. Sedangkan untuk grade 2 dan grade 1 kandungan
tarnya diduga sudah tidak ada. Adapun aroma asap yang masih tercium pada grade 2
dan grade 1 itu diduga karena kandungan senyawa fenol yang terkandung di dalamnya.
a. grade 3
b. grade 2
c. grade 1
Gambar 1. Berbandingan kualitas cuka kayu grade 1,2, dan 3
2. Aktivitas Antijamur Cuka kayu Tempurung Kelapa secara In-Vitro
Pada perlakuan in-vitro spora jamur dalam bentuk suspensi (5.106)
diinokulasikan pada bagian tengah media agar sebanyak 10 µl. Media agar dibuat
dengan 10 taraf konsentrasi cuka kayu tempurung kelapa dari 0-9%. Hasil
Konsentrasi 1% mengalami penurunan aktivitas anti jamurnya seiring dengan
berjalannya waktu. Sedangkan untuk konsentrasi 2% terjadi sedikit pnurunan aktivitas
antijamur pada 96 dan 120 jam setelah inokulasi. Konsentrasi 3-9% aktivitas anti
jamurnya sebesar 100% dan tidak menunjukkan penurunan selama 120 jam setelah
inokulasi.
Gambar 2. Aktivitas Penghambatan Cuka kayu Tempurung Kelapa terhadap
Perkembangan Jamur Rhizopus stolonifer
Keterangan : Warna putih yang menutupi disekitar area paper dish pada konsentrasi
0,1,dan 2% adalah penampakan penutupan jamur Rhizopus stolonifer.
Jamur yang ditumbuhkan pada media agar tanpa cuka kayu tempurung kelapa
dapat tumbuh pada 6 jam setelah inokulasi, jumlah luasan diameter jamur terus
berkembang sehingga pada 48 jam koloni jamur menutupi semua permukaan agar.
Kondisi ini merupakan kondisi pertumbuah jamur secara normal, tanpa ada
penghambatan dari senyawa antijamur.
Perlakuan 1% cuka kayu yang diberikan pada media agar menunjukkan
aktivitas penghambatan sebesar 72% pada waktu inkubasi 48 jam, kemampuan
penghambatannya menurun seiring berjalanya waktu sehingga pada 96 jam setelah
inkubasi aktivitas penghambatannya menjadi 0%. Hal tersebut menunjukkan bahwa
konsentrasi 1% dari cuka kayu hanya dapat memberikan daya hambat yang cukup baik
pada 48 jam/dua hari, selebihnya tidak lagi efektif.
a. Konsentrasi cuka kayu Tempurung Kelapa 0%
b. Konsentrasi Cuka kayu Tempurung Kelapa 1%
Gambar 3. Perkembangan Miselium secara Mikroskopi
Hasil pengamatan secara mikroskopis menunjukkan adanya penghambatan
terhadap pembentukan miselium. Foto diambil dari miksroskop dengan pembesaran 400
X. Kondisi miselium pada konsentrasi 0% terlihat lebih besar dan lebih panjang,
sedangkan pada konsentrasi 1% terlihat pertumbuhan miselium yang terhambat, dengan
ukuran yang lebih kecil dan terlihat lebih pendek. Hal ini diduga karena proses
metabolisme didalam sel jamur terganggu pada jamur yang ditumbuhkan pada media
agar dengan pemberian cuka kayu tempurung kelapa 1%.
3. Uji Pengaruh Cuka kayu Tempurung Kelapa secara In-Vivo
1) Pengamatan Persentase Penutupan Jamur
Pada perlakuan in-vitro jamur Rhizopus stolonifer sudah menunjukkan adanya
gejala infeksi pada 24 jam setelah inkubasi. Akan tetapi pada perlakuan in-vivo gejala
infeksi mulai muncul pada 4 Hari Setelah Inokulasi (HSI). Hal ini diduga karena pada
perlakuan in-vivo faktor inang dan lingkunganya tidak begitu menguntungkan terhadap
perkembangan jamur.
Hasil pengamatan persentase buah yang terinfeksi pada 4 HSI menunjukkan
adanya pengaruh dari kedua perlakuan, akan tetapi tidak menunjukkan adanya interaksi.
Persentase buah yang terinfeksi pada perlakuan tanpa cuka kayu tempurung kelapa
menunjukkan persentase yang terbesar, yaitu sebesar 11,11% pada 4 HSI. Pemberian
cuka kayu tempurung kelapa 2% sudah menunjukkan aktivitas yang positif dalam
mengurangi jumlah buah yang terinfeksi, dengan persentase infeksi sebesar 0,28% pada
4 HSI.
Tabel. 1 Pengaruh Konsentrasi Cuka kayu Tempurung Kelapa dan Pelukaan terhadap
Persentase Buah yang Terinfeksi pada 4, 5, 6, 7 HSI.
Persentase Buah yang Terinfeksi (%)
Perlakuan
Waktu Inkubasi
4 HSI
5 HSI
6 HSI
7 HSI
k0 (0%)
11,11 b
13,89 b
25,00 a
55,56 b
k1 (2%)
0,28 a
5,56 ab
11,11 a
55,56 b
Konsentrasi
k2 (3%)
0,00 a
0,00 a
8,34 a
25,00 a
Cuka kayu
k3 (4%)
5,56 a
5,56 a
13,89 a
36,11 ab
k4 (5%)
2,78 a
2,78 a
11,11 a
27,78 ab
k5 (6%)
0,00 a
0,00 a
2,78 a
16,67 a
p0 ( tidak dilukai)
0,93 A
0,93 A
5,56 A
29,63 A
p1 (dilukai)
5,65 B
8,33 B
18,52 B
42,59 B
Pelukaan
Keterangan : Data yang dianalisis adalah data hasil transformasi √
, dan angka-anga yang ditandai
huruf yang sama pada setiap waktu inkubasi tidak berbeda menurut uji jarak berganda
Duncan pada taraf 5%.
Persentase terkecil terjadi pada perlakuan k2 dan k5 yaitu sebesar 0%. Hasil
tersebut menunjukkan aktivitas dari cuka kayu tempurung kelapa sudah bekerja.
Aktifitas cuka kayu terhadap jamur Rhizopus stolonifer yang terjadi, besar dugaan
karena adanya peran dari senyawa fenol yang terkandung di dalam cuka kayu.
Hasil pengamatan pada 5 HSI menunjukkan adanya pengaruh dari kedua
perlakuan yang diberikan, akan tetapi tidak menunjukkan adanya interaksi. Persentase
terbesar masih sama seperti pada 4 HSI yaitu terjadi pada perlakuan tanpa cuka kayu
tempurung kelapa, dan yang terendah terjadi pada perlakuan k2 dan k5. Hasil berbeda
terjadi pada konsentrasi 2% (k1), hasil uji lanjut Duncan menunjukkan k1 tidak berbeda
dengan k0. Hasil ini menunjukkan bahwa konsentrasi 2% sudah tidak lagi efektif pada 5
HSI, dan pengaruh yang nyata baru terlihat pada konsentrasi 3%.
Penurunan kemampuan cuka kayu tempurung kelapa ini dimungkinkan terjadi
karena sebagian dari senyawa aktif mengalami reaksi akibat adanya kontak dengan
udara, dan penguapan senyawa aktif pun dimungkin dapat terjadi. Selain itu, ada
kemungkinan jamur Rhizopus stolonifer dapat mentolelir keberadaan fenol dalam
konsentrasi yang masih rendah, sehingga dapat tumbuh dengan cukup baik pada 5 HSI.
Penurunan aktivitas antijamur ini juga terjadi pada perlakuan in-vitro, pada konsentrasi
1% penurunan aktivitas anti jamur terjadi pada 3 HSI, sedangkan pada konsentrasi 2%
penurunan aktivitas anti jamur terjadi pada 4 HSI. Hal tersebut memperkuat dugaan
bahwa kemampuan daya hambat cuka kayu tempurung kelapa pada konsentrasi rendah
dapat mengalami penurunan seiring berjalanya waktu.
Hasil pengamatan persentase buah terinfeksi pada 6 HSI menunjukkan hasil
yang bebeda dengan hasil pengamatan sebelumnya. Dimana pada pengamatan 6 HSI
pengaruh konsentrasi tidak terlihat, hanya pengaruh faktor pelukaan yang menunjukkan
pengaruh yang nyata. Hal ini dimungkinkan karena adanya penurunan kemampuan
daya hambat dari cuka kayu. Kemungkinan lain yang terjadi adalah adanya faktor
fisiogis tumbuhan yang berubah karena terjadinya perubahan kematangan buah. Selain
itu, faktor infeksi patogen lain pun diduga dapat memberikan pengaruh tehadap ketidak
efektifan dari cuka kayu. Dimungkinkan infeksi jamur lain akan mempengaruhi
perkembangan jamur uji, sehingga akan mempengaruhi data yang diambil.
Walaupun bila melihat persentase terbesarnya masih terjadi pada perlakuan k0
dengan persentase sebesar 25%, dan terendah pada k5 yaitu sebesar 2,78%. Hal ini
menunjukkan bahwa potensi daya hambat dari cuka kayu masih ada, dan hal terlihat
pada pengamatan 7 HSI, dimana pengaruh dari cuka kayu tempurung kelapa masih
terlihat.
Hasil pengamatan pada 7 HSI menunjukkan adanya pengaruh dari kedua
perlakuan. Persentase buah terinfeksi yang terbesar terjadi pada perlakuan k0 dan k1
dengan luas penutupan sebesar 55,56%, dan yang terendah terjadi pada k5 dengan luas
penutupan sebesar 16,67%. Perlakuan k1 atau pemberian 2% cuka kayu tempurung
kelapa tidak lagi efektif, hal ini diduga karena adanya penurunan aktivitas anti jamur.
Pengaruh perlakuan pelukaan (p1) pada semua waktu inkubasi menunjukkan
persentase yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa pelukaan (p0). Besar
kemungkian hal ini terjadi karena jamur Rhizopus stolonifer merupakan golongan jamur
luka, sehingga jamur ini akan sangat mudah untuk menginfeksi buah yang mengalami
luka. Menurut Soesanto (2006) kondisi buah yang terluka akan mengalami kerusakan
jaringan pelindungnya, sehingga jaringan endodermis pada buah menjadi terbuka dan
mengeluarkan cairan, keadaan ini akan memudahkan jamur untuk melakukan infeksi.
3. Pengamatan Persentase Penutupan Jamur (%)
Tabel. 5 Pengaruh Konsentrasi Cuka kayu Tempurung Kelapa dan Pelukaan terhadap
Persentase Penutupan Jamur pada 4, 5, 6, 7 HSI.
Persentase Penutupan Jamur (%)
Waktu Inkubasi
Perlakuan
4 HSI
5 HSI
6 HSI
7 HSI
k0 (0%)
5,56 a
10,42 b
16,67 a
30,56 c
k1 (2%)
0,69 a
3,47 a
7,64 a
25,69 bc
Konsentrasi
k2 (3%)
0,00 a
0,00 a
2,78 a
11,81 ab
Cuka kayu
k3 (4%)
3,47 a
4,86 a
10,42 a
20,83 abc
k4 (5%)
0,69 a
2,08 a
5,56 a
15,97 abc
k5 (6%)
0,00 a
0,00 a
1,39 a
7,64 a
p0 ( tidak dilukai)
0,46 A
0,69 A
2,55 A
13,43 A
p1 (dilukai)
3,02 A
6,25 B
12,27 B
24,07 B
Pelukaan
Keterangan : Data yang dianalisis adalah data hasil transformasi √
, dan angka-anga yang ditandai
huruf yang sama pada setiap waktu inkubasi tidak berbeda menurut uji jarak berganda
Duncan pada taraf 5%.
Hasil pengamatan persentase penutupan jamur pada 4 HSI menunjukkan tidak
ada pengaruh dari kedua faktor terhadap luas penutupan jamur pada buah stroberi. Hal
ini diduga kerena
miselium jamur baru menampakan gejala infeksi, belum
memperlihatkan perkembangan pertumbuhannya. Buah yang terinfeksi menurut Ullio,
(2004) dicirikan dengan adanya perubahan warna pada buah menjadi kecoklatan, dan
bila infeksi berlajut akan terbentuk miselium yang berbentuk kelabu pada permukaan
buah. Selain itu faktor kematangan buah juga dimungkinkan mempengaruhi, buah
stroberi yang belum terlalu matang dimungkinkan mengandung senyawa bioaktif yang
dapat menghambat perkembangan jamur, disamping peran dari cuka kayu itu sendiri.
Pada 5 HSI terdapat pengaruh yang nyata dari kedua perlakuan. Persentase
pentutupan terbesar terdapat pada buah yang tanpa diberikan cuka kayu tempurung
kelapa (k0) yaitu sebesar 10,42%, sedangkan yang terendah terdapat pada k2 dan k5,
dengan persentase sebesar 0%. Berdasarkan uji lanjut Duncan perlakuan k1 – k5 pada
seluruh taraf faktor pelukaan (p) tidak menunjukkan adanya perbedaan dan berbeda bila
dibandingkan dengan k0. Hal tersebut bisa diartikan buah yang tanpa diberi cuka kayu
menunjukkan persentase penutupan jamur yang lebih tinggi dibandingkan dengan buah
yang diberi cuka kayu tempurung kelapa, akan tetapi pengaruh dari tingkatan
konsentrasi yang diberikan tidak menujukan perbedaan. Adanya peran cuka kayu dalam
mengurangi persentase penutupan jamur tersebut diduga karena ada aktivitas senyawa
aktif dari cuka kayu tempurung kelapa yang memberikan pengaruh penghambatan
terhadap perkembangan jamur. Seperti telah dibahas pada uji in-vitro bahwa salah satu
senyawa aktif yang berperan besar dalam menghambat perkembangan jamur adalah
senyawa fenol.
Fenol dapat membentuk kompleks dengan ergosterol yang terdapat dalam
membran sel jamur, kompleks tersebut menyebabkan pori- pori membesar pada sel
jamur. Lewat pori – pori inilah komponen kecil dari isi sel jamur keluar seperti asam
nukleat dan protein lainnya. Hal tersebut bila terus berlangsung akan menyebabkan
kematian jamur. Kompleks fenol berada dalam keadaan lemah, disosiasi tidak langsung
yang menyebabkan fenol menembus sel. Pada konsentrasi tinggi senyawa fenol dapat
menyebabkan lisis pada sel membran. Fenol mempunyai kelarutan yang tinggi pada
lipid, maka efek terbesar fenol adalah kemampuanya bergabung dengan komponen lipid
sel. Membran sel pada jamur tersusun atas fosfolipid yang akan menyebabkan
permeabilitas membran sel terganggu sehingga jamur terhambat (Fardiaz, 1992) dalam
Dewi (2009).
KESIMPULAN
1) Tidak terjadi interaksi antara perlakuan konsentrasi cuka kayu tempurung kelapa
dengan pelukaan terhadap semua paremeter.
2) Teradapat pengaruh dari pemberian cuka kayu tempurung kelapa tehadap
perkembangan patogen busuk lunak (Rhizopus stolonifer), adapun konsentrasi yang
terbaik adalah sebesar 3%. Sedangkan untuk pengaruh pelukaan juga menunjukan
adanya pengaruh yang nyata, dimana buah yang dilukai lebih rentan terhadap
infeksi jamur Rhizopus stolonifer.
DAFTAR PUSTAKA
Alfiah, R. R., Siti, K., Mansur, T., 2015. Efektivitas Ekstrak Metanol Daun Sembung
Rambat (Mikania micrantha Kunth) Terhadap Pertumbuhan Jamur Candida
albicans. Jurnal Protobiont. Vol. 4 (1). : hal. 52-57.
Anisah, K., 2014. Analisis Komponen Kimia dan Uji Antibakteri Cuka kayu tempurung
Kelapa Sawit pada Bakteri Staphilococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa.
Jakarta : UIN Syarif Hidayatuloh
Budiman, S., dan D. Saraswati. 2007. Berkebun Stroberi Secara Komersial. Jakarta :
Penebar Swadaya
Budijanto, S., R, Hasbullah., S. Prabawati., Setiadjit., Sukarno. dan I, Zuraida. 2008.
Kajian keamanan Cuka kayu Tempurung Kelapa untuk Produk Pangan. Jurna
Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 13 (3). hlm. 194-203.
Budijanto, S., R. Hasbulloh, S. Prabawati, Setiadjit, 2007. Pengembangan Cuka kayu
Tempurung Kelapa untuk Pengawetan Produk Buah-buahan. Ringkasan Eklusif :
KKP3T. hal .179-180
Dewi, R., C., 2009. Uji Aktivitas Antijamur Ekstrak Buah Pare Belut (Trichosanthes
Anguina L.). Sekripsi : Universitas Sebelas Maret
Fachraniah, Zahra Fona, Zahratur Rahmi, (2009). Peningkatan Kualitas Cuka kayu
dengan Destilasi. Jurnal Reaksi : Vol. 7, No. 14.
Fessenden R., J. Dan J., S., Fessenden 1990. Kimia Organik. Jakarta : Erlangga
Ghaouth, A. E., J. Arul , J. Grenier, dan A. Asselin. 1991. Antifungal Activity of
Chitosan on Two Postharverst Pathogens of Strawberry Fruits. American
Phytopathological Society.
Gomez K., A., dan Gomez A., A., (1995). Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian.
Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Irianto, K. 2012. Bakteriologi Medis, Mikologi Medis, dan Virologi Medis (Medical
Bacteriology, Medical Micology, and Medical Midical Virology. Bandung :
Alfabeta.
Lattanzio, V., D. D. Venere, V. Linsalata, G. Lima, A. Ippolito, and M. Salemo. 1996.
Antifungal Activity of 2,5-Dimethoxybenzoic acid on Postharvest Phatogens of
Strawberry Fruits. Postharvest Biologi and Technology. Vol. 9. Page 325-334.
Kadir, S., P. Darmadji, C. Hidayat, Supriyadi, (2010). Fraksinasi Dan Identifikasi
Senyawa Volatil Pada Cuka kayu Tempurung Kelapa Hibrida. Jurnal Agritech :
Vol. 30 (2). hlm. 57-67.
Pantastico. E. B., 1997. Fisiologi Pascapanen. Yogyakarta : Gajah Mada University
Press
Pratiwi, T. S., 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Pujilestari, 2007. Penggunaan Cuka Kayu/Cuka kayu untuk Pengawetan Ikan.
Banjarbaru Kalsel : Baristand Industri Banjarbaru Kalsel
Roosheroe, I., G. dan W. Sjamsuridzal, 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia
Sallato, B. V., R. Torres, J. P. Zoffoli and B. A. Latorre. 2007. Efffect of Boscalid on
Postharvest Decay of Strawberry caused by Botrytis Cinerea and Rhizopus
stolonifer. Spainsh Journal of Agricultural Research, Vol. 5(1), page 67-78.
Silsia. D, Y. Rosalina dan F. Muda. 2011. Pemanfaatan Cuka kayu Untuk
Mempertahankan Kesegaran Buah Pisang Ambon Curup. Universitas Bengkulu
Soesanto, L. 2006. Penyakit Pascpanen (Sebuah Pengantar). Yogyakarta : Kanisius.
Solihat, H., J., T. Penturi, J.A. Rupiluh. A. Bandjar, R. Hutagalung, 2010. Aplikasi
Cuka kayu sebagai Biopreservatif dalam Bahan Pangan (Ikan Cakalang Asap).
Makalah di seminarkan pada Proseding Seminan Basic Science II di Universitas
Patimura Ambon.
Sopandi, T dan Wardah. 2014. Mikrobiologi Pangan – Teori dan Praktik. Yogyakarta :
Andi.
Sunardi., dan W. Yuliansyah. 2006. Rendemen Dan Kandungan Kimia Cuka Kayu
(Wood Vinegar) Serta Rendemen Arang Dari Kayu Bakau (Rhizophora
Mucronata Lamck). Jurnal Hutan Tropis Borneo. No. 19, hlm. 109-121.
Ullio, L. 2004. Strawberry Disease Control Guide. NWS : District Horticulturist
Elizabeth Macarthur Agricultural Institute Camden.
Vitoratos, A., D. Bilalis, A. Karkanis, A. Efthimiadou. 2013. Antifungal Activity of
Plant Essential Oils Against Botrytis cinerea, Pinicillium italicum and Penicillium
digitatum. Notulae Botanicae Horti Agrobotanici Cluj Journal. Vol. 41(1), page
86-92.
Download