BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Dasar Teori 1. Pepaya Pepaya (Carica

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Dasar Teori
1. Pepaya
Pepaya (Carica papaya, L.) Tanaman pepaya merupakan herba
menahun dan tingginya mencapai 8 m. Batang tak berkayu, bulat, berongga,
bergetah dan terdapat bekas pangkal daun. Dapat hidup pada ketinggian
tempat 1m-1.000m dari permukaan laut dan pada suhu udara 22°C- 26°C.
Pada umumnya semua bagian dari tanaman baik akar, batang, daun, biji dan
buah dapat dimanfaatkan (Dwi, 2009: 7-8).
Menurut Tjitrosoepomo (2004), sistematika tumbuhan pepaya (Carica
papaya, L.) berdasarkan taksonominya adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Class
: Dicotyledoneae
Ordo
: Cistales
Famili
: Caricaceae
Genus
: Carica
Spesies
: Carica papaya, L.
Nama lokal
: Pepaya
Tanaman pepaya merupakan salah satu sumber protein nabati. Pepaya
(Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika tropis.
8
Buah pepaya tergolong buah yang popular dan digemari hampir seluruh
penduduk di bumi ini (Amir, 1992: 9). Pepaya (Carica papaya, L.)
merupakan tanaman yang cukup banyak dibudidayakan di Indonesia. Di
Indonesia, tanaman pepaya dapat tumbuh dari dataran rendah sampai daerah
pegunungan 1000 m dpl. Negara penghasil pepaya antara lain kosta Rika,
Republik Dominika, Puerto Rika, dan lain-lain. Brazil, India, dan Indonesia
merupakan penghasil pepaya yang cukup besar (Dwi, 2009: 7-8).
a. Kandungan biji pepaya
Senyawa aktif dari tanaman pepaya ternyata banyak diantaranya
mengandung alkaloid, steroid, tanin dan minyak atsiri. Biji pepaya
mengandung senyawa-senyawa steroid. Kandungan biji dalam buah pepaya
kira-kira 14,3 % dari keseluruhan buah pepaya (Satriasa dan Pangkahila,
2010: 37-39). Biji pepaya memiliki kandungan berupa asam lemak tak jenuh
yang tinggi, yaitu asam oleat dan palmitat (Yuniwati dan Purwanti, 2008: 7884). Biji pepaya diketahui mengandung senyawa kimia lain seperti golongan
fenol, alkaloid, terpenoid dan saponin (Niken N. Paramesti, 2014: 7). Zat-zat
aktif yang terkandung dalam biji pepaya tersebut bisa berefek estrogenik
(Lohiya, dkk, 2002 dalam Purwoistri, R. F, 2010: 69-70).
Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak kental etanol biji pepaya diketahui
mengandung senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid, flavonoid,
alkaloid, dan saponin. Berdasarkan terbentuknya endapan atau intensitas
warna yang dihasilkan dengan pereaksi uji fitokimia, diketahui bahwa
9
kandungan senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid merupakan
komponen utama biji pepaya (Tika pangesti, dkk., 2013: 158).
Niken N. Paramesti (2014: 5) mengatakan bahwa papain dapat
ditemukan pada hampir seluruh bagian dari pepaya kecuali akarnya. Enzim
protease (pengurai protein) yaitu papain dan kimopapain. Papain merupakan
satu dari enzim paling kuat yang dihasilkan oleh seluruh bagian tanaman
pepaya. Enzim proteolitik merupakan kelompok hidrolase yang berperan pada
hidrolisa sekelompok protein menjadi protein – protein tunggal (Dongoran
dan Daniel S, 2004: 31).
2. Fitoestrogen
Fitoestrogen adalah senyawa yang terdapat pada kelompok tanaman
bibi-bijian, kacang-kacangan, sayuran, dan buah-buahan yang memiliki
khasiat hampir sama dengan hormon estrogen endogen atau dapat juga
berinteraksi reseptor estrogen endogen. Fitoestrogen memiliki dua gugus
hidroksil (OH), sama persis dengan estrogen. Gugus OH inilah yang menjadi
struktur pokok suatu substrat agar mempunyai efek estrogenik, sehingga
mampu berikatan dengan reseptor estrogen (Achadiat, 2003). Fitoestrogen
dapat diserap ke dalam tubuh dan mengalami berbagai perubahan dengan cara
diekskresikan atau dipecah menjadi komponen-komponen lain yang berbeda
di dalam tubuh dan masih mengandung khasiat seperti estrogen endogen.
Aktivitas dari khasiat yang mirip dengan estrogen endogen ini hanya
beberapa saat, dan pada umumnya tidak dapat disimpan oleh jaringan tubuh
dalam waktu yang lama (Biben, 2012: 1-2).
10
Struktur kimia berupa 2 penilnaptalen yang terdapat pada fitoestrogen
menyerupai rumus bangun hormon estrogen endogen. Fitoestrogen, estradiol,
dan dietilstilbesrol memiliki gugus OH yang merupakan salah satu
persyaratan untuk terjadinya aktivitas estrogenik (Biben, 2012: 2).
Fitoestrogen yang terdapat di dalam biji pepaya salah satunya adalah
flavonoid, oleh karena itu fitoestrogen tersebut memiliki fungsi estrogenik.
Biji pepaya juga terdapat salah satu bentuk fitoestrogen, yaitu
flavonoid. Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit
sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman.
Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa phenolik dengan struktur kimia
C6-C3-C6. Kerangka flavonoid terdiri atas satu cincin aromatik A, satu cincin
aromatik B, dan cincin tengah berupa heterosiklik yang mengandung oksigen
dan bentuk teroksidasi cincin ini dijadikan dasar pembagian flavonoid ke
dalam
sub-sub
kelompoknya.
Sistem
penomoran
digunakan
untuk
membedakan posisi karbon di sekitar molekulnya (Redha, 2010: 197).
Gambar 1. Kerangka C6-C3-C6 Flavonoid (Hardianzah, R. 2009: 43)
11
3. Asam Amino
Niken N. Paramesti (2014: 5) mengatakan bahwa papain dapat
ditemukan pada hampir seluruh bagian dari pepaya kecuali akarnya. Enzim
protease (pengurai protein) yaitu papain dan kimopapain. Papain merupakan
satu dari enzim paling kuat yang dihasilkan oleh seluruh bagian tanaman
pepaya. Enzim proteolitik merupakan kelompok hidrolase yang berperan pada
hidrolisa sekelompok protein menjadi protein – protein tunggal (Dongoran
dan Daniel S, 2004: 31).
Asam amino dapat diperoleh dari protein yang kita makan atau dari
hasil degradasi protein di dalam tubuh kita. Protein yang terdapat dalam
makanan di cerna dalam lambung dan usus menjadi asam-asam amino yang
diabsorpsi dan di bawa oleh darah ke hati. Asam amino yang terdapat dalam
darah berasal dari tiga sumber yaitu absorpsi melalui dinding usus, hasil
penguraian protein dalam sel dan hasil sintesis asam amino dalam sel (Tedy
Mulyadi, 2015: 1).
Asam amino yang berperan dalam pembentukan sel darah diantaranya
seperti Isoleusin, Alanin, Arginin, Asam aspartat, Glutamin, Glisin, Histidin,
Serin, Treonin. Dari beberapa jenis asam amino tersebut berperan dalam
pembentukan sel darah merah, dan pembentukan antibodi (Tedy Mulyadi,
2015: 4).
12
4. Transport Dan Penyimpanan Asam Amino
a. Asam Amino Darah
Konsentrasi normal asam amino di dalam darah antara 35 dan 65
mg/dl. Konsentrasi ini adalah rata-rata dari sekitar 2 mg/dl untuk setiap 20
asam amino, walaupun pada beberapa orang ditemukan konsentrasi yang
lebih besar dari pada orang lain. Karena asam amino adalah asam yang relatif
kuat, asam amino terdapat dalam darah terutama dalam bentuk ionisasi dan
menambah 2 sampai 3 miliekuivalen ion negatif dalam darah. Distribusi
sebenarnya dari berbagai asam amino dalam darah sampai batas tertentu
bergantung pada tipe protein yang dicerna, tetapi sedikitnya konsentrasi asam
amino tunggal diatur oleh sintesis selektif dalam berbagai sel (Guyton dan
Hall, 2007: 1095).
1) Asam Amino Yang Diabsorbsi Dari Saluran Pencernaan
Hasil akhir pencernaan protein dan absorbsi protein dalam saluran
pencernaan hampir seluruhnya dalam bentuk asam amino dan hanya sedikit
skali polipeptida atau seluruh molekul protein diabsorbsi dari saluran
pencrnaan masuk ke dalam darah. Segera setelah makan, konsentrasi asam
amino dalam darah meningkat, tetapi peningkatan biasanya hanya beberapa
mg/dl karena dua alasan: pertama, pencernaan dan absorbsi protein biasanya
berlangsung lebih dari 2-3 jam, sehingga hanya sedikit asam amino
diabsorbsi pada saat yang sama. Kedua, setelah memasuki darah, kelebihan
asam amino diabsorbsi dalam waktu 5-10 menit oleh sel di seluruh tubuh,
terutama oleh hati. Oleh karena itu hampir tidak pernah konsentrasi asam
13
amino yang tingi berkumpul dalam darah. Namun, kecepatan penggantian
asam amino begitu cepat sehingga banyak gram protein dapat dibawa dari
satu bagian tubuh ke tempat lain dalam bentuk asam amino tiap jam (Guyton
dan Hall, 2007: 1095).
2) Transport Aktif Asam Amino ke Dalam Sel
Pada dasarnya semua molekul asam amino terlalu besar untuk
berdifusi melalui pori-pori membran sel. Oleh karena itu jumlah asam amino
yang bermakna dapat ditransport melalui membran hanya dengan transpor
pasif atau transpor aktif yang menggunakan mekanisme carrier. Namun sifat
asli beberapa mekanisme carrier masih sangat sediki yang diketahui (Guyton
dan Hall, 2007: 1095).
5. Uterus
Uterus merupakan tempat implantasi konseptus (zigot yang telah
berkembang menjadi embrio). Uterus selanjutnya mengalami serangkaian
perubahan selama birahi (estrus) dan daur reproduksi (Dellmann dan Brown,
1992: 491-496).
a. Struktur Anatomi
Uterus merupakan salah satu organ reproduksi betina yang berfungsi
sebagai penerima dan tempat perkembangan janin. Dinding uterus terdiri dari
tiga lapisan utama, yaitu lapisan endometrium, miometrium dan perimetrium.
Lapisan endometrium merupakan lapisan yang responsif terhadap perubahan
hormon reproduksi, sehingga perubahan lapisan ini bervariasi sepanjang
14
siklus estrus dan dapat dijadikan indikator terjadinya fluktuasi hormon yang
sedang terjadi pada hewan tersebut (Sitasiwi, 2008: 40).
Uterus tikus memiliki tiga bagian yang melebar disebut korpus
bikormal, di bagian atas berbentuk bulat yang melintang di atas tuba uterina
disebut fundus, servik atau leher rahim merupakan bagian bawah yang
silindris dan bermuara ke dalam vagina (Soewolo, dkk., 2015: 341- 342).
b. Struktur Histologi
Dinding uterus terdiri dari tiga lapis, yaitu mukosa-submukosa atau
endometrium, tunika muskularis atau miometrium, dan tunika serosa atau
perimetrium (Sugiyanto, 1996: 10).
Endometrium adalah suatu struktur glandular yang terdiri dari lapisan
epitel yang membatasi rongga uterus, lapisan glandular, dan jaringan ikat.
Variasi tebal dan vaskularis endometrium tergantung pada perubahanperubahan hormonal ovarial dan kebuntingan (Feradis, 2010: 51).
Lapisan endometrium uterus terdiri dari tiga daerah fungsional, yaitu
stratum basalis, stratum spongiosum dan stratum kompaktum. Stratum
spongiosum dan kompaktum disebut juga stratum fungsional. Stratum
fungsional dilapisi oleh epitel berbentuk kubus selapis (tunggal). Stratum
fungsional mampu mengalami degenerasi sebagian atau seluruhnya secara
periodik selama siklus estrus berlangsung sedangkan stratum basalis relatif
akan tetap dan bertindak sebagai pembentuk stratum fungsional yang
mengalami degenerasi. Endometrium uterus dilengkapi oleh kelenjar dan
pembuluh darah (Sitasiwi, 2009: 4). Kelenjar endometrium merupakan
15
kelenjar yang tersusun atas epitel kolumnar dengan nuklei di bagian bawah.
Sel kolumner mengelilingi seluruh permukaan endometrium yang membatasi
antara lumen uterus, lapisan kelenjar, dan jaringan ikat longgar (Sugiyanto,
1996: 7). Kelenjar ini melebar dan terbuka pada permukaan endometrium.
Terdapat dua pembuluh darah dalam endometrium, yaitu spiral dan lurus.
Sepanjang siklus estrus kelenjar dan pembuluh darah mengalami perubahan
struktur. Peningkatan hormon estrogen yang terjadi dari fase proestrus sampai
fase estrus menyebabkan pertumbuhan serta percabangan kelenjar, sedangkan
kenaikan progesteron setelah fase estrus menyebabkan peningkatan aktivitas
sekresi kelenjar endometrium. Perkembangan struktur kelenjar sepanjang
siklus estrus berjalan seiring dengan pertambahan tebal endometrium uterus.
Peningkatan kandungan estrogen dapat merangsang pertumbuhan
serta percabangan kelenjar endometrium, tetapi uliran serta ekskresi kelenjar
tersebut tidak dapat terjadi sebelum ada rangsangan dari progesteron
(Dellmann dan Brown, 1992: 514).
Miometrium terdiri dari lapis otot dalam yang tebal umumnya
tersusun secara melingkar, dan lapis luar dapat memanjang terdiri dari sel-sel
otot polos yang mampu meningkatkan jumlah serta ukurannya selama
kebuntingan berlangsung. Di antara kedua lapis tersebut, atau bagian dalam
dari lapis dalam, terdapat lapis vascular yang mengandung arteri besar, vena,
dan pembuluh limfe. Pembuluh darah tersebut memberikan darah pada
endometrium (Dellmann dan Brown, 1992:515). Selama kebuntingan, jumlah
16
jaringan otot yang terdapat pada dinding uterus bertambah banyak karena
pembesaran sel dan penambahan jumlah sel (Feradis, 2010: 51).
Perimetrium atau tunika serosa, terdiri dari jaringan ikat yang longgar
yang dibalut dengan mesotel atau peritoneum. Sel-sel otot polos terdapat pada
perimetrium. Pada lapisan ini banyak terdapat pembuluh darah, pembuluh
limfe, dan saraf (Dellmann dan Brown, 1992: 515).
B
Skala 100µm
A
D
C
Gambar 2. Struktur Histologi Endometrium,A: kelenjar endometrium;
B:edometrium; C: miometrium; D: perimetrium. (Dokumen penelitian: 2017).
c. Pengaruh Hormon Pada Endometrium
Perubahan secara siklik pada endometrium diatur oleh hormonhormon hipotalamus-hipofisis-gonad. Aktifitas dari hipotalamus tersebut
dipengaruhi oleh kadar estrogen di dalam sirkulasi darah dan rangsangan
lingkungan luar.
17
Ovarium adalah tempat produksi utama hormon betina. Pada
seksualitas betina hormon yang bekerja adalah progesteron dan estrogen.
Estrogen bekerja dalam merangsang pertumbuhan miometrium dan
endometrium. Peningkatan dalam sintesis reseptor progesteron didalam
endometrium dipengaruhi oleh hormon estrogen sehingga progesteron
mampu merangsang endometrium tetapi setelah endometrium tersebut
dirangsang oleh estrogen. Adanya rangsangan hormon yang disekresikan oleh
hipotalamus sehinngga dalam proses tersebut menghasilkan hormon-hormon,
yaitu FSH-RF dan LH-RF. FSH-RF (Follicle Stimulating Hormone-Releasing
Factor) bertugas untuk merangsang hipofisa dalam mensekresi FSH (Follicle
Stimulating Hormon), sedangkan LH-RF (Luteinizing Hormone-Releasing
Factor) bertugas untuk merangsang pengeluaran dari LH (Luteinizing
Hormon) (Irianto, 2014: 129).
Dellman dan Brown (1992: 486) menyatakan bahwa estrogen
merupakan salah satu hormon reproduksi pada hewan betina. Hormon ini
terutama disekresi oleh sel-sel granulosa penyusun folikel ovarium. Struktur
hormon estrogen tersusun atas 18 atom C, gugus –OH fenolik pada C-3, sifat
aromatik cincin A dan tidak mempunyai gugus metil pada C-10. Bentuk
hormon estrogen dalam tubuh hewan betina berupa estradiol 17-β, estron dan
estriol, namun hormon estrogen yang sering dijumpai dengan jumlah yang
cukup tinggi dan paling sesuai dalam tubuh adalah estradiol 17-β.
18
Gambar 3. Struktur Kimia Estrogen (Junqueira, 2007: 4)
Estrogen terbentuk oleh sel-sel granulosa dalam folikel ovarium
melalui serangkaian reaksi enzimatis. Substrat utama sebagai pembentuk
estrogen adalah kolesterol. Kolesterol mengalami perubahan secara berurutan
menjadi pregnenolon, progesteron, 17α-hidroksi progesteron, androstenedion
dan testoteron. Peningkatan sintesis hormon estrogen seiring dengan
perkembangan folikel dalam ovarium (Dellman dan Brown, 1992: 486).
Kerja estrogen terhadap endometrium yaitu dimulai dari hipotalamus
akan
menyekresikan
hormon
gonadotropin.
Hormon
gonadotropin
merangsang kelenjar pituitari untuk menghasilkan hormon FSH. Hormon
FSH merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel di dalam ovarium.
Pematangan folikel ini merangsang kelenjar ovarium mensekresikan hormon
estrogen. Hormon estrogen yang berfungsi untuk membantu pembentukan
kelamin sekunder, selain itu estrogen juga membantu pertumbuhan lapisan
endometrium. Pertumbuhan endometrium memberikan tanda untuk kelenjar
pituitari agar menghentikan hormon FSH dan berganti dengan sekresi hormon
LH. Oleh stimulasi hormon LH, folikel yang sudah matang pecah menjadi
19
korpus luteum. Saat seperti ini ovum akan keluar dari folikel dan ovarium
menuju uterus (terjadi ovulasi). Korpus luteum yang terbentuk segera
menyekresikan
hormon
progesteron.
Progesteron
berfungsi
menjaga
pertumbuhan endometrium seperti pembesaran pembuluh darah dan
pertumbuhan kelenjar endometrium yang akan menyekresikan cairan
bernutrisi bagi janin. Namun apabila ovum pada uterus tidak dibuahi, hormon
estrogen akan berhenti. Berikutnya skresi hormon LH oleh kelenjar pituitari
juga berhenti. Akibatnya korpus luteum tidak bisa melangsungkan sekresi
hormon progesteron. Karena hormon progesteron tidak ada, maka dinding
rahim sedikit demi sedikit meluruh bersama darah (Irianto, 2014: 129).
d. Mekanisme Intrasel Dasar Dari Kerja Estrogen
Efek estrogen pada uterus yaitu mempengaruhi perubahan pada
endometrium, estrogen menyebabkan terjadinya poliferasi yang nyata pada
stroma endometrium dan sangat meningkatkan perkembangan yang nyata
pada kelenjar endometrium, yang nantinya akan membantu memberi nutrisu
pada ovum yang berimplantasi (Guyton dan Hall, 2007: 1070). Mekanisme
intrasel dasar dari kerja estrogen diawali dari kelenjar ovarium, estrogen
memasuki sel ovarium dalam waktu beberapa menit setelah disekresikan.
Kemudian kebanyakan estrogen ini seringkali diubah dibawah pengaruh
enzim intrasel 5-α-reduktase menjadi estradiol, dan zat ini lalu berikatan
dengan sebuah “protein reseptor” di sitoplasma. Kemudian penggabungan ini
bermigrasi ke nukleus, tempat terjadinya pengikatan dengan suatu protein dan
menginduksi transkripsi DNA-RNA. Dalam waktu 30 menit, RNA-
20
polimerase telah menjadi aktif dan konsentrasi RNA mulai meningkat di sel
ovarium, keadaan ini akan diikuti oleh penambahan yang progresif dari
protein sel. Setelah beberapa hari, jumlah DNA dikelenjar ovarium juga
meningkat dan bersama dengan itu juga terdapat peningkatan jumkah sel-sel
ovarium (Guyton dan Hall, 2007: 1058).
6. Komposisi Darah
Darah terdiri atas komponen cairan (plasma) dan komponen seluler
(sel-sel darah). Sel-sel darah terdiri dari eritrosit (sel darah merah), Lekosit
(sel darah putih) dan trombosit (keping darah), yang diedarkan ke seluruh
tubuh melalui sistem sirkulasi tertutup (Muhamad, 2008: 7-8). Sel dan plasma
darah mempunyai peranan fisiologis yang sangat penting.
a. Plasma Darah
Plasma darah adalah suatu cairan jernih yang mengandung mineral
terlarut, hasil absorpsi dari pencernaan makanan, buangan hasil metabolisme,
serta gas terlarut (Muhamad, 2008: 7-8).
b. Sel Darah Merah (Eritrosit)
Eritrosit atau disebut juga sel darah merah, di dalam tubuh bergerak
melalui sirkulasi atau memiliki gerak pasif. Eritrosit yang normal memiliki
bentuk cakram bikonkaf dengan diameter 7,5 μm dengan pinggiran sirkuler
dan pusat yang tipis. Bentuk cakram bikonkaf dapat meningkatkan area
permukaan eritrosit. Permukaan area yang luas tersebut memperlancar
pertukaran gas dari dalam dan dari luar eritrosit. Eritrosit memiliki fungsi
yang spesifik untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan
21
mengangkut karbondioksida dari jaringan ke paru-paru (Murray, dkk., 2003:
254). Fungsi ini berlangsung karena adanya kandungan hemoglobin di dalam
eritrosit.
Eritrosit atau sel darah merah merupakan salah satu komponen sel
yang terdapat dalam darah, fungsi utamanya adalah sebagai pengangkut
hemoglobin yang akan membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan.
Eritrosit merupakan suatu sel yang kompleks, membrannya terdiri dari lipid
dan protein, sedangkan bagian dalam sel merupakan mekanisme yang
mempertahankan sel selama 120 hari masa hidupnya serta menjaga fungsi
hemoglobin selama masa hidup sel tersebut (Muhamad, 2008: 7-8).
c. Sel Darah Putih (Lekosit)
Lekosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah
putih. Rata-rata jumlah lekosit dalam darah manusia normal adalah 50003
3
9000/mm , bila jumlahnya lebih dari 10.000/mm , keadaan ini disebut
3
lekositosis, bila kurang dari 5000/mm disebut leukopenia (Effendi, 2003: 1).
Lekosit terdiri dari dua golongan utama, yaitu agranular dan granular.
Lekosit agranular mempunyai sitoplasma yang tampak homogen, dan intinya
berbentuk bulat atau berbentuk ginjal. Lekosit granular mengandung granula
spesifik (yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair) dalam
sitoplasmanya dan mempunyai inti yang memperlihatkan banyak variasi
dalam bentuknya. Terdapat 2 jenis lekosit agranular yaitu; limfosit yang
terdiri dari sel-sel kecil dengan sitoplasma sedikit, dan monosit yang terdiri
dari sel-sel yang agak besar dan mengandung sitoplasma lebih banyak.
22
Terdapat 3 jenis lekosit granular yaitu neutrofil, basofil, dan asidofil
(eosinofil) (Effendi, 2003: 1).
Lekosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral
organisme terhadap zat-zat asingan. Lekosit dapat melakukan gerakan
amuboid dan melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler
dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan
penyambung. Lekosit dan turunannya merupakan sel dan struktur dalam
tubuh manusia yang didistribusikan keseluruh tubuh dengan fungsi utamanya
melindungi organisme terhadap invasi dan pengrusakan oleh mikro
organisme dan benda asing lainnya (Effendi, 2003: 1).
Jumlah lekosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah
3
3
5000-9000/mm , waktu lahir 15000-25000/mm , dan menjelang hari ke
empat turun sampai 12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal (Effendi,
2003: 1).
1). Jenis-Jenis Sel Darah Putih
a). Bergranula
(1). Neutrofil
Neutrofil (Polimorf), sel ini berdiameter 12–15 μm memilliki inti yang
khas padat terdiri atas sitoplasma pucat di antara 2 hingga 5 lobus dengan
rangka tidak teratur dan mengandung banyak granula merah jambu
(azuropilik) atau merah lembayung. Granula terbagi menjadi granula primer
yang muncul pada stadium promielosit, dan sekunder yang muncul pada
stadium mielosit dan terbanyak pada neutrofil matang. Kedua granula berasal
23
dari lisosom, yang primer mengandung mieloperoksidase, fosfatase asam dan
hidrolase asam lain, yang sekunder mengandung fosfatase lindi dan lisosom
(Hoffbrand dan Pettit, 1996 dalam Effendi, 2003: 2).
(2). Eosinofil
Sel ini serupa dengan neutrofil kecuali granula sitoplasmanya lebih
kasar dan berwarna lebih merah gelap (karena mengandung protein basa) dan
jarang terdapat lebih dari tiga lobus inti. Mielosit eosinofil dapat dikenali
tetapi stadium sebelumnya tidak dapat dibedakan dari prekursor neutrofil.
Waktu perjalanan dalam darah untuk eosinofil lebih lama daripada untuk
neutropil. Eosinofil memasuki eksudat peradangan dan nyata memainkan
peranan istimewa pada respon alergi, pada pertahanan melawan parasit dan
dalam pengeluaran fibrin yang terbentuk selama peradangan (Hoffbrand dan
Pettit, 1996 dalam Effendi, 2003: 2).
(3). Basofil
Basofil hanya terlihat kadang-kadang dalam darah tepi normal.
Diameter basofil lebih kecil dari neutrofil yaitu sekitar 9-10 μm. Jumlahnya
1% dari total sel darah putih. Basofil memiliki banyak granula sitoplasma
yang menutupi inti dan mengandung heparin dan histamin. Dalam jaringan,
basofil menjadi “mast cells”. Basofil memiliki tempat-tempat perlekatan IgG
dan degranulasinya dikaitan dengan pelepasan histamin. Fungsinya berperan
dalam respon alergi (Hoffbrand dan Pettit, 1996 dalam Effendi, 2003: 2).
24
b). Tidak Bergranula
(1). Monosit
Rupa monosit bermacam-macam, dimana ia biasanya lebih besar
daripada lekosit darah tepi yaitu diameter 16-20 μm dan memiliki inti besar di
tengah oval atau berlekuk dengan kromatin mengelompok. Sitoplasma yang
melimpah berwarna biru pucat dan mengandung banyak vakuola halus
sehingga memberi rupa seperti kaca. Granula sitoplasma juga sering ada.
Prekursor monosit dalam sumsum tulang (monoblas dan promonosit) sukar
dibedakan dari mieloblas dan monosit (Hoffbrand dan Pettit, 1996 dalam
Effendi, 2003: 3).
(2). Limfosit
Sebagian besar limfosit yang terdapat dalam darah tepi merupakan sel
kecil yang berdiameter kecil dari 10μm. Intinya yang gelap berbentuk bundar
atau agak berlekuk dengan kelompok kromatin kasar dan tidak berbatas tegas.
Nukleoli normal terlihat. Sitoplasmanya berwarna biru-langit dan dalam
kebanyakan sel, terlihat seperti bingkai halus sekitar inti. Kira-kira 10%
limfosit yang beredar merupakan sel yang lebih besar dengan diameter 1216μm dengan sitoplasma yang banyak yang mengandung sedikit granula
azuropilik. Bentuk yang lebih besar ini dipercaya telah dirangsang oleh
antigen, misalnya virus atau protein asing (Hoffbrand dan Pettit, 1996 dalam
Effendi, 2003: 3).
Tubuh manusia memiliki suatu sistem yang disebut sistem imun yang
memberikan respon dan melindungi tubuh terhadap unsur-unsur patogen
25
misalnya bakteri, virus, jamur, protozoa, parasit dan radikal bebas yang dapat
menyebabkan infeksi pada manusia (Effendi, 2003: 4).
Sistem imun terpapar zat yang dianggap asing, maka ada dua jenis
respon imun, yaitu respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik.
Respon imun non-spesifik merupakan imunitas alamiah atau bawaan,
sedangkan respon imun spesifik merupakan mekanisme pertahanan utama
dan pertama pada invasi mikroorganisme. Pada respon imun non-spesifik,
mekanisme yang terjadi adalah proses fagositosis mikroorganisme oleh sel
fagosit seperti neutrofil, eusinofil, basofil, monosit dan makrofag (Effendi,
2003: 4).
Makrofag adalah sel fagosit terpenting dalam sistem imun yang
berasal dari sel monosit dewasa yang menetap di jaringan. Makrofag memliki
dua fungsi utama yaitu menghancurkan antigen dan menyajikannya kepada
limfosit (Effendi, 2003: 5).
Proses fagositosis diawali dengan penempelan sel fagosit dengan
mikroorganisme atau zat asing. Sebelumnya, makrofag akan bergerak ke arah
antigen dimana pergerakan tersebut dimungkinkan berkat dilepaskannya zat
atau mediator yang disebut faktor kemotaktik. Selanjutnya, partikel patogen
masuk ke dalam sel dengan cara endositosis dan oleh proses pembentukan
fagosom ia terperangkap dalam kantung fagosom seolah-olah ditelan untuk
kemudian dihancurkan (Effendi, 2003: 5).
26
7. Tikus Putih (Rattus Norvegicus)
Tikus merupakan hewan mamalia yang paling umum digunakan
sebagai hewan percobaan pada laboratorium, dikarenakan banyak keunggulan
yang dimiliki oleh tikus sebagai hewan percobaan, yaitu memiliki kesamaan
fisiologis dengan manusia, siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per
kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah dalam penanganan
(Priyambodo, 1995: 55). Tikus (Rattus norvegicus) memiliki beberapa galur
yang merupakan hasil persilangan sesama jenis, namun galur yang akan
digunakan untuk penelitian ini adalah Wistar.
Rattus norvegicus merupakan salah satu jenis hewan yang biasa
digunakan untuk keperluan uji laboratorium. Rattus norvegicus mudah
ditemukan secara liar maupun ditangkar.
Gambar 4. Tikus Putih Betina (Dokumen Penelitian, 2017).
Klasifikasi tikus putih menurut (Priyambodo, 1995: 55) :
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub Filum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
27
Sub Kelas
: Theria
Ordo
: Rodentia
Sub Ordo
: Myomorpha
Family
: Muridae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
8. Siklus Reproduksi Mamalia Betina
a. Siklus Estrus
Periode birahi atau estrus adalah suatu periode yang secara psikologis
maupun fisologis bersedia menerima pejantan untuk melakukan perkawinan.
Siklus estrus adalah suatu periode (masa) dari permulaan periode birahi ke
permulaan perode berikutnya sampai akhir periode (Nalbandov, 1990: 140).
Tikus dan mencit siklus estrusnya termasuk poliestrus, hanya saja
ketika hewan tersebut menyusui maka aktivitas seksual seolah-olah juga
berhenti dan pada waktu itu disebut lactational diestrus (Sugiyanto, 1996:
22).
Menurut Sugiyanto (1996:22) siklus estrus dapat dibedakan menjadi 4
fase, yaitu :
1) Proestrus
: terdapat sel epitel biasa
2) Estrus
: terdapat banyak sel epitel menanduk
3) Diestrus
: terdapat sel epitel biasa dan banyak lekosit
4) Metestrus
: terdapat banyak sel epitel menanduk, sel epitel biasa dan
lekosit (Yatim,1982: 103).
28
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam ovarium dan vagina
ditunjukkan oleh preparat vaginal smear menurut (Priyambodo,1995: 55)
adalah sebagi berikut:
1) Proestrus
Proestrus adalah fase persiapan dan biasanya berlangsung dalam
waktu yang relatif pendek. Pada fase ini juga mulai terlihat perubahan pada
alat kelamin betina.
B
A
Gambar 5. Fase proestrus. A; eritrosit. B; epitel
(Dellman dan Brown, 1992: 524).
2) Estrus
Estrus merupakan fase yang terpenting dalam siklus estrus, karena
dalam fase ini hewan betina menunjukkan perilaku mau menerima hewan
jantan untuk melakukan kopulasi. Gambaran preparat vaginal smear pada
fase ini ditandai dengan ditemukannya banyak sel-sel superfisial.
Fase
estrus
merupakan
periode
birahi
dan
kopulasi
hanya
dimungkinkan padasaat ini. Keadaan ini pada tikus berakhir 9 sampai 15 jam
dan ditandai dengan aktifitas berlari-lari yang sangat tinggi.
29
A
B
Gambar 6. Fase Estrus. A; epitel bertanduk. B; lekosit heterofil
(Dellman dan Brown, 1992: 524).
3) Metestrus
Metestrus adalah fase dalam siklus estrus yang terjadi segera setelah
estrus berakhir.
A
B
Gambar 7. Fase Metestrus. A; epitel. B; lekosit (terdapat banyak lekosit)
(Dellman dan Brown, 1992: 524).
4) Diestrus
Diestrus adalah fase dalam siklus estrus yang ditandai tidak adanya
kebuntingan, tidak adanya aktivitas kelamin dan hewan menjadi tenang.
30
A
Gambar 8. Fase Diestrus. A; leksit (terdapat banyak lekosit)
(Dellman dan Brown, 1992: 524).
9.
Kerangka Berfikir
Estrogen alami tidak hanya ditemukan pada hewan maupun manusia,
akan tetapi senyawa yang mirip dengan estrogen juga ditemukan pada
tanaman salah satunya tanaman pepaya. Biji dari tanaman pepaya ini
mengndung senyawa yang disebut flavonoid yang termasuk dalam salah satu
jenis fitoestrogen. Estrogen merupakan salah satu hormon yang berperan
dalam reproduksi hewan betina, dan organ yang dipengaruhi yaitu uterus dan
ovarium. Fitoestrogen di dalam tubuh dapat berikatan dengan reseptor
hormon estrogen endogen meskipun memiliki efek yang lebih rendah
daripada estrogen endogen.
Pemberian fitoestrogen yang memiliki struktur yang mirip dengan
estrogen diharapkan mampu memberikan efek yang berbeda pada lapisan
endometrium pada organ betina tikus putih. Pengaruh fitoestrogen dapat
dilihat pada uterus, karena pada uterus terdapat reseptor estrogen. Efek dari
31
keberadaan fitoestrogen ini dapat dilihat pada jumlah kelenjar yang terdapat
di dalam lapisan tersebut.
Enzim protease (pengurai protein) yaitu papain dan kimopapain.
Papain merupakan satu dari enzim paling kuat yang dihasilkan oleh seluruh
bagian tanaman pepaya. Enzim proteolitik merupakan kelompok hidrolase
yang berperan pada hidrolisa sekelompok protein menjadi protein–protein
tunggal. Papain akan mempercepat penguraian protein dari makanan yang
dicerna di dalam sistem pencernaan menjadi asam amino, asam amino
diperlukan untuk pembentukan sel termasuk sel darah (Dongoran dan Daniel
S, 2004: 31).
32
Biji papaya
memiliki
kandungan yang
bersifat
estrogenik
(fitoestrogen)
Flavonoid
Fitoestrogen
Organ
Reproduksi
Betina
Strukturnya mirip
dengan Estrogen
Endogen (yang
dapat berkaitan
dengan reseptor
estrogen endogen)
Ovarium
Betina
Uterus
Epitel
Vagina
Sifat Kelamin
Sekunder
Jumlah Kelenjar
Endometrium
Gambar 9. Skema Kerangka Berfikir Pengaruh Ekstrak Biji Pepaya Terhadap
Jumlah Kelenjar Endometrium Tikus Putih
33
Enzim papain
Biji Papaya
(enzim protease
(pengurai protein))
Mempercepat
pengurai protein
menjadi asam
amino
Asam amino
Pembentukan
organel sel
Untuk
produksi
pelepasan
hormon
(arginin)
Pembentukan
Sel darah
Sintesis
DNA
(glutamin)
Dsb.
Jumlah eritrosit dan lekosit
Gambar 10. Skema Kerangka Berfikir Pengaruh Ekstrak Biji Pepaya Terhadap
Jumlah Eritrosit Dan Lekosit Tikus Putih Betina.
10. Hipotesis
Ekstrak biji pepaya (Carica pepaya, L.) dapat mempengaruhi jumlah
kelenjar endometrium, jumlah eritrosit, dan lekosit tikus putih (Rattus
norvegicus) betina.
34
Download