i. pendahuluan - IPB Repository

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum
menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan
hutan serta bangkrutnya dunia usaha di sektor kehutanan sebagai akibat besarnya
dominasi pengusahaan hutan dalam bentuk konsesi HPH atau IUPHHK serta
diperburuk lagi dengan praktek perambahan hutan, penebangan liar dan
penyelundupan kayu. Keberlanjutan peran dan kontribusi sektor kehutanan dalam
pembangunan nasional dipertanyakan, masih bisakah sektor kehutanan bangkit
kembali pada masa yang akan datang.
Peran sektor kehutanan dalam
pembangunan banyak dipertanyakan, utamanya yang terkait dengan pengelolaan
hutan alam Indonesia dalam bentuk konsesi HPH (IUPHHK).
Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia dimulai dengan keluarnya UndangUndang Nomor 5 tahun 1967 menjadi penanda awal lahirnya pengelolaan hutan
dalam bentuk konsesi HPH.
Kebutuhan modal yang besar guna mengejar
pertumbuhan ekonomi telah memalingkan penguasa Orde Baru ke arah sektor
kehutanan sebagai sumber devisa. Pada awal tahun 1969 tercatat 53 unit konsesi
HPH dan meningkat sampai 632 unit pada akhir tahun 1980-an dengan luas
konsesi mencapai sekitar 64,3 juta ha. Pada masa tersebut merupakan era emas
sektor kehutanan, devisa dari eksport produksi sektor kehutanan pada puncaknya
mencapai USD 8 Milyar pertahun (Ngadiono 2004). Atas pencapaian tersebut
sektor kehutanan menjadi penyumbang devisa terbesar kedua setelah Migas.
Setelah era tersebut sampailah pada masa keterpurukan. Pada tahun 2003 jumlah
HPH yang beroperasi hanya tinggal 266 unit dengan luas konsesi tinggal 28,1 juta
ha.
Kontribusi sektor kehutanan terhadap perolehan devisa merosok tajam
menjadi tinggal USD 1,5 Milyar pertahun (Ngadiono 2004). Kondisi tersebut
berlanjut sampai saat ini, sektor kehutanan tidak lagi mempunyai kontribusi yang
signifikan terhadap devisa nasional bahkan menjadi beban dan masalah bagi
pembangunan nasional.
Dunia kehutanan memang terpuruk tetapi belum mati, oleh karena itu untuk
memulai kembali kebangkitan kehutanan di Indonesia langkah pokok yang harus
2
dilakukan adalah redesign manajemen hutan.
Redesign manajemen hutan
mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan,
terutama pada hutan produksi sehingga pada hutan produksi tersebut tetap terjadi
kelestarian fungsi produksi dan ekologi. Diperlukan redesign kelola produksi
untuk membangkitkan kembali sektor kehutanan. Terkait kelola produksi dan
peningkatan produktivitas perlu penelaahan kembali sistem-sistem
silvikultur
yang pernah diterapkan di Indonesia.
Sistem silvikultur memegang peranan sentral dalam pengelolaan hutan
karena didalamnya terdapat pengaturan mengenai daur tebang, riap, tahapan
kegiatan dari seluruh penebangan kayu sampai pada kegiatan penanaman
pengayaan pada kawasan hutan bekas tebangan (Indrawan 2008). Kesalahan
dalam penerapan sistem silvikultur akan berakibat pada kerusakan hutan.
Sistem silvikultur yang menjadi landasan praktek pengusahaan hutan alam
tropis di luar Jawa adalah keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35/Kpts/DD/I/1972
tanggal 13 Maret 1972, tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang
Habis dengan Permudaan Buatan (THPB), Tebang Habis dengan Permudaan
Alam (THPA) dan Pedoman-pedoman Pengawasannya. Dalam perjalanannya
sistem silvikultur TPI disempurnakan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih
Tanam Indonesia (TPTI), yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 485/Kpts-II/1989 tanggal 18 September 1989 tentang Sistem Silvikultur
pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia.
Keputusan tersebut
dioperasionalkan dengan Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor
564/Kpts-IV/BPHH/1989 tanggal 30 November 1989 tentang Pedoman Tebang
Pilih Tanam Indonesia (TPTI).
Konsep sistem silvikultur TPTI yang semula diyakini mampu melestarikan
sumberdaya hutan ternyata belum sepenuhnya mewujud di lapangan. Salah satu
fenomena utama yang mengemuka sebagai akibat kondisional di atas adalah
menurunnya luas hutan alam yang dikelola dengan sistem tebang pilih dari 59,6
juta hektar (tahun 1990) menjadi 28,7 juta hektar (tahun 2007). Kondisi tersebut
juga tercermin dari penurunan produktivitas kayu bulat dari 28 juta m3 menjadi
hanya 9,1 juta m3. Riap tahunan juga menurun dengan rerata 0,46 m3 /ha/tahun
(Ditjen BPK 2010).
3
Dalam kondisi berat dan kompleknya problema kegiatan pengusahaan
hutan tersebut, diperlukan sebuah terobosan solusi.
Sebagai landasan utama
aktivitas kelola hutan, maka sistem silvikultur merupakan salah satu kunci solusi.
Diperlukan penyempurnaan sistem silvikultur yang mampu mengatasi berbagai
problema akibat dinamika dan perubahan lingkungan strategis di berbagai
tingkatan. Konfigurasi kawasan hutan alam produksi yang dewasa ini didominasi
oleh hutan bekas tebangan atau logged over area (LoA) yang produktivitas dan
potensi tegakannya cenderung menurun. Konsekwensi dari kondisi tersebut maka
penerapan sistem silvikultur hutan alam harus memenuhi beberapa syarat yaitu:
mampu meningkatkan produktivitas lahan, mendongkrak potensi dan riap
tegakan, menjamin kepastian hukum tenurial dan keamanan berusaha serta
meningkatkan
penyerapan
tenaga
kerja.
Untuk
menjawab
tantangan
permasalahan tersebut maka digagaslah sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam
Indonesia Intensif (TPTII). Sebagai landasan hukum, telah ditetapkan Keputusan
Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor SK.226/VI-BHPA/2005
tanggal 1 September 2005 tentang Pedoman Sistem Silvikultur TPTI Intensif.
Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan suatu teknik
silvikultur yang memadukan tindakan maupun prinsip-prinsip dasar silvikultur.
Prinsip-prinsip tersebut adalah pemuliaan pohon, perbaikan tapak/tempat tumbuh
dan perlindungan terhadap serangan hama dan penyakit (Indrawan 2008). TPTII
lebih dikenal dengan istilah Silvikultur intensif (SILIN) dipandang merupakan
cara-cara penyelenggaraan dan pemeliharaan hutan, serta penerapan praktikpraktik pengaturan komposisi dan pertumbuhan hutan yang secara intensif
dilakukan untuk mewujudkan hutan dengan struktur dan komposisi yang
dikehendaki dan disesuaikan dengan lingkungan setempat, dengan harapan dapat
menyempurnakan sistem silvikultur TPTI yang sudah selama 30 tahun diterapkan
pada hutan alam di Indonesia. Sistem silvikultur TPTII berkembang sebagai salah
satu upaya untuk penyelamatan hutan tropis Indonesia yang semakin rusak.
Sistem silvikultur TPTII mampu mengatasi kelemahan sistem silvikultur
TPTI dalam hal pengontrolan hasil penanaman, namun apakah sitem silvikultur
tersebut mampu mengatasi kelemahan yang paling penting dalam pengelolaan
hutan alam, yaitu meningkatkan produktifitas hutan. Untuk menjawab pertanyaan
4
tersebut sangat diperlukan agar kegagalan yang berujung pada deforestasi dan
degradasi hutan tidak terulang kembali serta tercipta kepastian dan kegairahan
usaha di bidang pengelolaan hutan dengan tetap menjaga kelestariannya.
1.2. Perumusan Masalah
Secara umum praktek tebang pilih yang diterapkan di dalam areal konsesi
hutan (IUPHHK/HPH) telah menyebabkan perubahan baik vegetasi, iklim mikro
maupun sifat tanah . Berbagai studi menunjukan adanya peningkatan kehilangan
unsur hara sebagai akibat deforestasi . Sebagai basis dalam pengelolaan hutan maka
ketiga aspek tersebut sangat menentukan produktifitas hutan yang menjadi faktor
penting dalam penilaian kelestarian sumber daya hutan di daerah tropis.
Menurut Wasis (2005), pengelolaan sumberdaya alam (hutan) akan lestari jika
mempertahankan produktivitas yang tinggi per satuan luas secara terus-menerus dan
meningkatnya kualitas tanah.
mengemukakan pendapat,
Sejalan dengan pendapat tersebut Lal (1995)
pengelolaan hutan yang berbasis pada cadangan unsur
hara yang rendah karena adanya penebangan, perubahan jumlah dan kualitas bahan
organik, erosi dan pencucian hara mempunyai sifat tidak lestari (Lal 1995). Dengan
kata lain kelestarian suatu sistem penggunaan lahan terkait secara langsung dengan
kualitas tanah yang harus dipertahankan atau ditingkatkan. Kualitas tanah memuat
dua aspek, yaitu aspek yang bersifat pokok (intrinsic part) yang mencakup kapasitas
yang melekat pada sifat tanah tersebut untuk pertumbuhan tanaman, dan aspek
dinamik (dinamic part) yang dipengaruhi oleh cara pengelolaan terhadap tanah
tersebut. ( Carter et al. 1997).
Dalam kaitannya dengan produktivitas hutan , sistem silvikultur TPTII
merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan dapat
meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman dengan sistem jalur.
Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah tingkat
keterbukaan tajuk pada tahap awal cukup besar sebagai akibat pembuatan Jalur
Tanam.
Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang cukup besar ini pada satu sisi
memungkinkan bagi pertumbuhan dari kelompok jenis Meranti, namun pada sisi lain
muncul kekhawatiran adanya kerusakan tanah dan perubahan vegetasi. kedua hal
tersebut merupakan pertanyaan-pertanyaan yang harus mendapat jawaban pasti.
5
Untuk memahami perubahan baik fungsi ekosistem maupun struktur ekosistem
akibat penerapan sistem silvikultur TPTII maka diperlukan penelitian untuk melihat
bagaimana kondisi kualitas tanah pada areal TPTII umur 0,1,2,3, 4, 5 tahun dan
hutan alam primer sebagai pembanding. Untuk mengkaji atau menilai kualitas tanah,
indikator kunci biologi, kimia dan fisik harus diidentifikasi atau dievaluasi untuk
melihat sensitivitas dari indikator tersebut terhadap sistem silvikultur
TPTII.
Beberapa parameter penting dari sifat tanah yang menentukan kualitas tanah dalam
penelitian ini adalah meliputi sifat fisik tanah, sifat kimia tanah dan sifat biologi
tanah. Selain itu struktur ekosistem juga perlu diketahui untuk melihat struktur
vertikal dan horizontal pada plot yang sama.
Beberapa masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah :
a. Apakah pada areal hutan alam terjadi peningkatan produktivitas setelah dikelola
dengan sistem silvikultur TPTII.
b. Sejauh mana perkembangan tegakan sisa pada areal hutan alam yang dikelola
dengan sistem silvikultur TPTII.
c. Sifat-sifat tanah apa yang secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan tegakan
pada areal hutan alam yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII.
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian bertujuan untuk mengetahui perkembangan tegakan
dan mengetahui produktivitas tegakan hutan dalam penerapan sistem silvikultur
TPTII, sedangkan tujuan khusus adalah :
a.
Mengevaluasi pertumbuhan tanaman Meranti merah (Shorea leprosula)
pada jalur tanam pada penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi
produktivitasnya.
b.
Menganalisa struktur dan komposisi dari tegakan sisa pada hutan alam
bekas
tebangan
dalam
penerapan
sistem
silvikultur
TPTII
serta
memprediksi produktivitasnya.
c.
Mengidentifikasi kualitas tanah pada
pengelolaan hutan alam produksi
dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta mencari hubungannya dengan
tegakan.
6
1.4. Hipotesis
a.
Sistem silvikultur TPTII mampu meningkatkan produktifitas hutan
b.
Tegakan sisa pada hutan alam bekas tebangan dalam penerapan sistem
silvikultur TPTII mempunyai struktur dan komposisi yang berbeda dengan
tegakan sebelumnya.
c.
Pada penerapan sistem silvikultur TPTII terjadi penurunan kualitas tanah.
1.5. Manfaat Penelitian
a.
Memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan kebijakan dalam
pengelolaan hutan alam produksi lestari pada tingkat IUPHHK.
b.
Sebagai bahan referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan bidang
pengelolaan hutan dan kehutanan.
c.
Sebagai bahan referensi bagi para stakeholder diantaranya yaitu : pemegang
IUPHHK, Kementrian Kehutanan RI, dan peneliti dalam menetapkan sistem
silvikultur, seberapa besar pengaruh keterkaitannya.
d.
Untuk memperoleh gambaran yang holistik mengenai produktivitas lahan yang
saling berinteraksi dalam pengelolaan sumberdaya hutan ditingkat pengelolaan
hutan alam produksi yang ramah lingkungan pada IUPHHK.
e.
Sebagai acuan bagi Pemerintah Khususnya Kementrian Kehutanan untuk
pengambilan kebijakan dalam pengelolaan hutan alam produksi.
1.6. Kerangka Pemikiran
Dalam konsep pengelolaan hutan lestari, multi fungsi (multiple functions),
yaitu kayu dan jasa ekosistem (ecosystem services) sudah menjadi tuntutan yang
harus dipenuhi. Sebagai respon atas konsep tersebut, kebijakan pengelolaan hutan
bekas tebangan mengalami modifikasi dari TPTI menjadi TPTI-Intensif. Secara
umum, praktek tebang pilih menyebabkan perubahan baik pada vegetasi, iklim
mikro maupun kondisi tanah. Sebagai basis dalam pengelolaan hutan maka ketiga
aspek tersebut (tanah, iklim dan vegetasi) sangat menentukan produktivitas hutan
yang menjadi faktor penting dalam penilaian kelestarian sumberdaya hutan di
daerah tropis. Dalam cakupan pengelolaan hutan alam poduksi aspek tanah dan
vegetasi merupakan dua faktor utama yang menjadi pijakan penerapan silvikultur.
7
Pengelolaan sumberdaya hutan akan lestari jika tetap mempertahankan
produktivitas yang tinggi per satuan luas secara terus-menerus dan meningkatnya
kualitas tanah. Dalam kaitannya dengan produktivitas hutan, sistem silvikultur
TPTII merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan
dapat meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman secara jalur.
Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah
tingkat keterbukaan tajuk pada tahap awal yang cukup besar sebagai akibat
pembuatan Jalur Tanam (Jalur Bersih). Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang
cukup besar ini pada satu sisi memungkinkan bagi pertumbuhan anakan dari
kelompok jenis Meranti, namun pada sisi lain muncul dugaan adanya kerusakan
tanah dan perubahan vegetasi secara spesifik keanekaragaman jenis, kemudian
dipertanyakan.
Untuk memahami dan mengetahui produktivitas hutan akibat penerapan
TPTII maka diperlukan suatu penelitian terhadap komponen ekosistem hutan,
diantaranya adalah struktur dan komposisi tegakan sisa, pertumbuhan tanaman
Meranti pada jalur tanam dan
kondisi tempat tumbuh (site).
Penelitian ini
penting dilakukan untuk melihat kecenderungan ketiga aspek tersebut pada areal
IUPHHK yang menerapkan sistem silvikultur TPTII.
Hal tersebut dapat dicapai dengan mengetahui pengaruh penerapan sistem
silvikultur TPTII terhadap komponen ekosistem hutan yang meliputi biodiversitas
jenis vegetasi, pertumbuhan tanaman target dan kualitas tanah. Dengan demikian
akan tersusun sebuah informasi dari pengaruh penerapan sistem silvikultur TPTII
terhadap
hutan.
ekosistem hutan yang merupakan indikator penilaian produktivitas
Download