2 Lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran

advertisement
2
Lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam
mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya
memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Lalu lintas dan angkutan jalan
sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus dikembangkan potensi
dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan
kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung
pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah (Undang-Undang Republik
Indonesia No 22 Tahun 2009). Pemerintah berkewajiban membina dan
menyelenggarakan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, dan
lancar melalui kegiatan gerak pindah kendaraan, orang, dan atau barang di jalan;
kegiatan yang menggunakan sarana prasarana, dan fasilitas pendukung lalu
lintas dan angkutan jalan; manajemen dan rekayasa lalu lintas dan lain
sebagainya.
Menurut UU RI No 22 tahun 2009, lalu lintas dan angkutan jalan adalah
satu kesatuan sistem yang terdiri atas lalu lintas, angkutan jalan, jaringan lalu
lintas dan angkutan jalan, prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, kendaraan,
pengemudi, pengguna jalan, serta pengelolaannya. Lalu lintas adalah gerak
kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan. Kendaraan adalah suatu sarana
angkut di jalan yang terdiri atas kendaraan bermotor dan kendaraan tidak
bermotor. Sedangkan yang dimaksud ruang lalu lintas jalan adalah prasarana
yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang, dan/atau barang yang
berupa jalan dan fasilitas pendukung.
Guna mewujudkan sistem transportasi nasional sebagaimana yang
diharapkan maka dilakukan manajemen dan rekayasa lalu lintas yaitu
3
serangkaian usaha dan kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan,
pemasangan, pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan jalan dalam
rangka mewujudkan, mendukung dan memelihara keamanan, keselamatan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas.
Kepadatan, ketidaktertiban, dan kemacetan adalah potret kondisi lalu
lintas di jalan, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta. Salah satu faktor
yang menyebabkan kondisi ini adalah ketidakseimbangan antara jumlah
kendaraan dengan volume jalan. Data pada Direktorat Lalu Lintas Polri
menunjukkan laju pertambahan kendaraan di Indonesia rata-rata berada di atas
10% pertahun, sedangkan laju pertambahan volume jalan hanya sekitar 0,10%
pertahun. Tahun 2013 jumlah kendaraan telah mencapai 104.118.969 unit terdiri
dari kendaraan roda dua, roda empat atau lebih.
Pada tahun yang sama,
panjang jalan nasional hanya mencapai 38.400 km (Ditlantas Mabes Polri, 2013).
Khusus untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya, pertumbuhan kendaraan rata-rata
12 persen pertahun, sedangkan pertumbuhan jalan 0,01 persen pertahun
(Ditlantas Polda Metro Jaya, 2015). Dalam waktu 10 tahun mendatang, Jakarta
tidak lagi memiliki ruang bagi kendaraan bermotor. Seluruh kendaraan yang
sudah memasuki jalan arteri dipastikan terjebak dalam kemacetan total (Kirono,
2015).
Tingginya kepadatan lalu lintas membuat kondisi jalan menjadi tidak ideal
lagi. Keadaan ini menjadi semakin parah oleh rendahnya tingkat disiplin berlalu
lintas para pengguna jalan. hal ini dapat dilihat dari tingginya angka pelanggaran
yang dilakukan oleh pengguna jalan pada saat dilakukan operasi penegakan
ketertiban lalu lintas oleh satuan lalu lintas Polri. Data dari Direktorat Lalu Lintas
Polda Metro Jaya menunjukkan bahwa selama operasi Zebra, dari 80.960
4
pelanggar yang dikenakan sanksi tilang, 25% dilakukan oleh pengemudi
angkutan umum atau terbesar kedua pelanggar terbanyak setelah pengendara
sepeda motor yang mendominasi pelanggaran mencapai 63%. Sedangkan
pelanggar yang dikenakan sanksi teguran mencapai 14.343. Jenis pelanggaran
terbanyak adalah melawan arus yang mencapai 19.964, sedangkan jenis
pelanggaran terbanyak kedua adalah mengetem (berhenti di tempat terlarang
menunggu penumpang) yang dilakukan oleh pengemudi angkutan umum yang
mencapai angka 9.839 (Ditlantas Polda Metro Jaya, 2014).
Operasi Zebra Lodaya yang dilakukan oleh Polres Bogor dari tanggal 26
Nopember hingga 11 Desember 2014 menunjukkan bahwa dari 8.918
pengendara yang terjaring operasi dan dikenakan tilang, 70% diantaranya adalah
pengemudi angkutan umum (Ditlantas Polda Jabar, 2014). Sepanjang tahun
2014 jumlah pelanggar lalu lintas yang dikenakan sanksi tilang (bukti
pelanggaran) sebanyak 869.239 pelanggar. Pada saat pelaksanaan operasi
Zebra yang digelar pada tanggal 26 Desember sampai dengan 9 Nopember 2014
jumlah pelanggar yang terjaring operasi dan dikenai sanksi tilang sebanyak
110.204 pelanggar, 11.548 (11%) diantaranya adalah pengemudi angkutan
umum (Ditlantas Polda Jateng, 2014).
Data pelanggaran lalu lintas sebagaimana tersebut di atas membuktikan
bahwa tingkat disiplin berlalu lintas masyarakat kita masih sangat rendah.
Rendahnya tingkat disiplin berlalu lintas akan berdampak langsung pada kondisi
lalu lintas yang semakin tidak kondusif. Kemacetan semakin parah karena saling
serobot, arus lalu lintas menjadi terhambat.karena pengendara berhenti pada
tempat-tempat yang tidak semestinya atau parkir di sembarang tempat.
Pelanggaran terhadap rambu-rambu lalu lintas dan mengendarai kendaraan
5
secara ugal-ugalan sehingga membahayakan keselamatan orang lain adalah
situasi yang biasa kita saksikan saat berada di jalan. Dampak yang lebih nyata
dari rendahnya tingkat disiplin berlalu lintas adalah tingginya angka kecelakaan.
Kecelakaan lalu lintas mempunyai korelasi yang tinggi dengan rendahnya tingkat
disiplin berlalu lintas karena hampir 90 persen kecelakaan selalu didahului
dengan pelenggaran terhadap peraturan lalu lintas.
Data pada Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) menunjukkan
angka kecelakaan lalu lintas (laka lantas) pada tahun 2014 cukup tinggi dengan
jumlah kejadian mencapai 17.122 yang menyebabkan 2.294 korban meninggal
dunia, 1.035 luka berat, 21.707 luka ringan, dengan korban materi mencapai
17.003.910.000 (Ditlantas Polda Jateng, 2014). Sebanyak 92% atau 15.690 dari
kejadian laka lantas tersebut disebabkan oleh faktor pengemudi (human error).
Selanjutnya dari 15.690 laka lantas, 58% atau 9.022 disebabkan karena faktor
ketidaktertiban saat berlalu lintas. Angka diatas menunjukkan, bagaimanapun
peraturan yang telah dibuat dan berapapun besarnya upaya yang telah dilakukan
oleh pemangku kepentingan (stakeholders) akhirnya semua kembali pada
manusia selaku subjek di jalan. Tanpa ada kesadaran dan kemamuan dari setiap
pengguna jalan untuk berdisiplin berlalu lintas, maka keselamatan, kenyamanan,
keamanan dan kelancaran lalu lintas akan sulit terwujud.
Angka pelanggaran lalu lintas dapat diibaratkan sebagai fenomena
gunung es. Fakta di lapangan menunjukkan pengguna lalu lintas yang
melakukan pelanggaran jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan data yang
teridentifikasi melalui pelaksanaan operasi zebra. Tingginya perbedaan data dan
fakta di lapangan terjadi karena operasi zebra yang dilakukan Polri bersifat
periodik, yang artinya operasi tersebut tidak dilakukan setiap hari secara terus
6
menerus sepanjang tahun. Operasi zebra dilakukan pada momen tertentu,
dengan rentang waktu pelaksanaan sekitar 12 hari.
Tinggi rendahnya tingkat pelanggaran lalu lintas dan kedisiplinan berlalu
lintas di atas masih berpedoman pada angka yang bersifat kuantitatif, yang
artinya hanya dilihat dari besaran angka yang didapat. Sampai saat ini belum
terdapat kajian ilmiah untuk pengkategorian atau pengklasifikasian secara baku
dari angka-angka tersebut. Angka yang sama pada jumlah pelanggaran atau
angka kecelakaan lalu lintas dari daerah yang berbeda tentunya mempunyai nilai
yang berbeda karena jumlah pengguna jalan yang berbeda pula.
Keberadaan angkutan umum di jalan patut mendapat perhatian lebih
karena fungsinya yang sangat vital sebagai salah satu transportasi publik yang
sampai saat ini masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Perannya sebagai
transportasi publik, keberadaan angkutan umum mampu mempengaruhi
perekonomian, baik secara mikro maupun makro karena angkutan
umum
merupakan urat nadi perekonomian masyarakat.
Pengemudi angkutan umum adalah pengemudi yang melakukan kegiatan
pengangkutan dengan menggunakan kendaraan bermotor umum. Pengemudi
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang RI no. 22 tahun 2009
adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang telah
memiliki surat ijin mengemudi. Bagi pengemudi angkutan umum wajib memiliki
Surat Ijin Mengemudi (SIM) dengan spesifikasi umum yaitu SIM A Umum, SIM B
I Umum, atau SIM B II Umum. Sedangkan angkutan adalah perpindahan orang
dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan
kendaraan di ruang lalu lintas jalan. Kendaraan bermotor umum adalah setiap
7
kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan
dipungut bayaran.
Masih banyaknya keluhan yang disampaikan oleh masyarakat pengguna
angkutan umum terkait dengan pelayanan, kenyamanan dan keamanan selama
menggunakan moda transportasi tersebut menandakan bahwa ada hal yang
masih perlu dibenahi dengan kondisi angkutan umum kita. Pada umumnya,
selain mengabaikan pelayanan, kenyamanan dan keamanan penggunanya,
ketidakdisiplinan pengemudi angkutan umum di jalan dapat mengganggu dan
merugikan pengguna jalan lain. Bentuk ketidakdisiplinan pengemudi angkutan
umun diantaranya adalah berhenti di tikungan, mengetem (berhenti di tempat
larangan menunggu penumpang), mengambil antrian disisi paling kiri pada traffic
light yang seharusnya untuk pengguna jalan yang akan belok kiri, berhenti
mendadak
saat
menaik
turunkan
penumpang,
serta
berbagai
bentuk
ketidakdisiplinan lainnya.
Berbagai upaya untuk mendisiplinkan masyarakat dalam berlalu lintas
selalu dilakukan. Mulai dari sosialisasi, operasi simpatik hingga penindakan. Jika
dulu kita mengenal slogan “Jadilah Pelopor Keselamatan Berlalu Lintas dan
Budayakan Keselamatan Sebagai Kebutuhan”, maka sejak awal tahun 2015
Direktorat Lalu Lintas Polri melakukan lounching slogan baru yaitu “Menuju
Indonesia Tertib, Bersatu, Keselamatan Nomor Satu” (Ditlantas Mabes Polri,
2015).
Permasalahan di jalan disebabkan oleh perilaku para pengguna jalan itu
sendiri, terutama disebabkan karena kurangnya disiplin saat belalu lintas di jalan.
Ketidakdisiplinan saat di jalan dapat membahayakan keselamatan diri dan
pengguna jalan lain. Ketidakdisiplinan di jalan raya menjadi suatu fenomena yang
8
berlangsung lama dan sudah diadaptasi oleh sebagian besar masyarakat
pengguna jalan. Kondisi ini dikhawatirkan akan semakin membudaya dan
ketidakdisiplinan dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar. Ketidakdisiplinan
saat berlalu lintas bagaikan penyakit yang setiap saat selalu menggerogoti
individu pengguna jalan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menumbuhkan
kedisiplinan masyarakat saat berlalu lintas, namun sampai saat ini belum
menunjukkan hasil yang signifikan. Upaya penindakan yang dilakukan Polri
dengan melakukan berbagai kegiatan operasi kepolisian untuk menekan
tingginya angka pelanggaran lalu lintas terbukti kurang efektif. Perlu dilakukan
usaha yang lebih komprehensif agar dapat menyentuh akar permasalahan yang
menjadi penyebab munculnya perilaku ketidakdisiplinan berlalu lintas.
Tujuan utama dari disiplin adalah untuk mengajarkan kepada individu
agar dapat mengikuti harapan-harapan sosial yang ada (Hurlock, 1973).
Kedisiplinan mengajarkan seseorang bahwa setiap perilaku yang dilakukan akan
menimbulkan akibat hukuman jika perbuatannya salah dan akan mendapat
penghargaan atau hadiah jika perbuatannya menyenangkan atau benar (Hurlock,
1973).
Kedisiplinan merupakan perilaku yang menunjukkan ciri-ciri pada sikap
seseorang
atau
sekelompok
orang
yang
dapat
menimbulkan
atau
mempertahankan keinginan untuk mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan
(Hodges, dalam Jamaludin, 1997). Disiplin juga bisa dimaknai sebagai sikap
batin dan perilaku individu yang bersifat patuh dan taat terhadap hukum dan
norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
dan didukung oleh kesadaran dan keyakinan yang tinggi akan kebenaran
manfaatnya bagi kehidupan (Saksono, 1994). Menurut Bernhardt (1964) pada
9
dasarnya disiplin memiliki makna yang positif, yaitu sebagai latihan dan bukan
sebagai koreksi, sebagai pengarahan dan bukan sebagai hukuman, dan kondisi
yang teratur untuk belajar.
Menurut Saksono (1994) disiplin sebagai suatu sikap terhadap normanorma dan kaidah-kaidah sosial, yang pada dasarnya terbentuk oleh
pengalaman individu saat berinteraksi dengan dunia luar. Sikap ini yang
mengarah pada pola tingkah laku menuju perilaku disiplin, yang berupa ketaatan
terhadap aturan-aturan yang ada. Seseorang yang berdisiplin adalah orang yang
bertanggung jawab terhadap dirinya dalam menjalankan aturan atau norma yang
berlaku di lingkungan sosialnya yaitu orang yang mendukung terhadap konsepkonsep disiplin dan konsisten terhadap disiplin dan kedisiplinan diharapkan dapat
mengajar seseorang tentang suatu cara berperilaku yang sesuai dengan kondisi
yang ada dalam kehidupan suatu masyarakat.
Berdasarkan cara pengajaran terhadap peraturan yang ada, disiplin dapat
dibedakan menjadi tiga macam yaitu authoritarian discipline, permissive
discipline, dan democratic discipline (Hurlock, 1973). Authoritarian discipline yaitu
seseorang menerapkan disiplin atau menerima aturan, kaidah moral, atau hukum
karena keharusan yang ditetapkan oleh perangkat yang memiliki kekuasaan
terhadapnya. Permissive discipline
yaitu pengajaran diberikan dengan
memberikan kebebasan seluas-luasnya terhadap pelaksanaan aturan yang ada.
Sedangkan yang dimaksud dengan democratic discipline yaitu jika disiplin
diterapkan secara demokratis, hubungan antara individu dengan aturan,
pengawas memiliki kekuasaan dan masyarakat dimana norma atau nilai-nilai
berada akan semakin dekat.
10
Penerapan disiplin secara demokratis memberikan pengaruh yang besar
terhadap munculnya loyalitas dan respek sehingga dapat mengarahkan
seseorang ketika menghadapi situasi yang tidak pasti dan kacau (Hurlock, 1973).
Oleh karena itu disiplin dalam manifestasinya berhubungan pula dengan
konformitas terhadap harapan-harapan sosial yang berupa norma-norma, aturan
atau standar yang berlaku dalam masyarakat sebagai sarana untuk menjaga
ketertiban dalam masyarakat itu sendiri (Jamaludin, 1997). Kedisiplinan
seseorang yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari bukan hanya tumbuh
dari dalam diri sendiri tetapi juga disiplin diikuti karena ada aturan-aturan dalam
masyarakat dimana seseorang berada.
Kedisiplinan dalam berlalu lintas pada individu merupakan bentuk perilaku
tanggung jawab seseorang terhadap peraturan atau norma yang berlaku di jalan
raya sebagai manifestasi kesadaran individu yang merupakan proses belajar dari
lingkungan sosialnya sehingga perilaku disiplin tersebut dapat menimbulkan
suasana berlalu lintas yang aman, lancar dan terkendali. Peraturan yang
dimaksud mengacu pada Undang-Undang no 22 Tahun 2009 tantang lalu lintas
dan angkutan jalan. Undang-undang tersebut diantaranya mengandung berbagai
jenis dan fungsi rambu-rambu lalu lintas yang masing-masing mempunyai
konsekuensi hukum yang berbeda. Pertama adalah rambu perintah, yaitu rambu
lalu lintas yang berisi perintah yang harus dilakukan oleh pengguna jalan. Kedua
adalah rambu larangan, yaitu rambu lalu lintas yang berisi larangan-larangan
yang tidak boleh dilakukan oleh pengguna jalan. Bagi yang tidak mentaatinya
bisa dikenakan sanksi tilang. Ketiga adalah rambu peringatan, yaitu rambu lalu
lintas yang berisi peringatan bagi para pengguna jalan tentang kemungkinan
adanya bahaya di jalan yang akan dilalui. Keempat adalah rambu petunjuk, yaitu
11
yaitu rambu lalu lintas yang menunjukkan sesuatu, arah, atau tujuan. Kelima
adalah rambu tambahan, yaitu rambu lalu lintas yang memberikan keterangan
tambahan bagi pengguna jalan.
Avery dan Baker (1990) mendefinisikan disiplin berlalu lintas sebagai
sikap mental yang dilandasi oleh keyakinan terhadap perilaku berlalu lintas dan
konsekuensi yang mengikutinya. Kedisiplinan berlalu lintas tersebut dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah
faktor yang berasal dari dalam individu itu sendiri, berupa sikap dan kepribadian
yang dimiliki individu yang mencerminkan tanggung jawab terhadap kehidupan
tanpa ada paksaan dari luar. Kedisiplinan dilaksanakan berdasarkan keyakinan
yang benar bahwa hal itu bermanfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakat
sekaligus menggambarkan kemampuan seseorang untuk menyesuaikan interes
pribadinya dan mengendalikan dirinya untuk patuh dengan hukum dan norma
serta kebiasaan yang berlaku dalam lingkungan sosial.
Faktor eksternal memandang kedisiplinan sebagai alat untuk menciptakan
perilaku atau masyarakat sehingga dapat terimplementasikan dalam wujud
hubungan serta sanksi yang dapat mengatur dan mengendalikan manusia
sehingga sanksi tersebut hanya dikenakan kepada mereka yang melanggar
hukum dan norma yang berlaku. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi
disiplin meliputi unsur-unsur sebagai berikut: pertama, unsur pemaksaan oleh
hukum dan norma yang diwakili oleh penegak hukum terhadap setiap anggota
masyarakat untuk taat kepada hukum dan norma yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kedua, unsur pengatur, pengendali,
dan pembentuk perilaku. Faktor ini merupakan aturan-aturan dan norma-norma
yang dijadikan standar bagi individu dan masyarakat atau kelompoknya. Adanya
12
perangkat hukum, norma, dan aturan-aturan ini maka individu belajar
mengendalikan diri dengan aturan yang berlaku. Hukum dan norma selalu
bersikap mengatur, mengendalikan, dan membentuk perilaku manusia agar
menjadi teratur, terkendali, dan membentuk perilaku manusia agar menjadi
teratur dengan adanya kepastian hukum.
Selanjutnya
Avery
dan
Baker (1990) membagi
disiplin lalu
lintas
menjadi empat aspek yaitu pemahaman terhadap peraturan lalu lintas, tanggung
jawab terhadap keselamatan diri dan orang lain, kehati-hatian dan kewaspadaan,
kesiapan diri dan kendaraan yang digunakan. Pemahaman terhadap peraturan
dan perundang-undangan lalu lintas diperlukan untuk menjadikan pengemudi
disiplin. Peraturan perundang-undangan lalu lintas dan angkutan jalan pada
dasarnya berisikan larangan, perintah, peringatan, anjuran dan petunjuk. Selain
itu juga memuat peraturan mengenai sarana angkutan yang dipergunakan di
jalan raya, pengaturan tentang jalan khususnya mengenai klasifikasi jalan raya,
jenis-jenis jalan raya dan rambu-rambu lalu lintas.
Aspek kedua adalah tanggung jawab terhadap keselamatan diri dan
orang lain. Kedisiplinan lalu lintas dari diri individu dapat berkembang apabila
timbul rasa saling menghargai antara sesama pengguna jalan, sehingga bila
sikap menghargai sebagai pengguna jalan benar-benar dipahami maka rasa
tanggung jawab pengguna jalan juga akan berkembang. Aspek ketiga adalah
kehati-hatian dan kewaspadaan. Pengendara yang mempunyai disiplin berlalu
lintas akan selalu mengendarai kendaraannya dengan hati-hati. Berperilaku hatihati berarti bersikap waspada, berjaga-jaga, selalu ingat dan tidak lengah.
Adanya rasa ketenangan, tidak ada rasa kaget dan bebas dari ketegangan
emosional merupakan tanda bahwa seseorang bisa bersikap hati-hati. Terakhir
13
adalah aspek kesiapan diri dan kendaraan yang digunakan, berupa kesiapan
setiap pengemudi baik fisik maupun mental serta pemeriksaan kondisi kendaraan
yang akan digunakan misalnya keadaan rem, kondisi ban, lampu, dan lain-lain.
Selain itu kelengkapan surat menyurat kendaraan bermotor wajib untuk dimiliki
dan dibawa.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Ancok (2004) yang membagi
disiplin lalu lintas menjadi tiga aspek, yaitu kualitas individu, penataan
kendaraan, penataan jalan dan rambu lalu lintas. Kualitas individu
meliputi
kualitas pemakai jalan yang akan menentukan ketertiban lalu lintas, kualitas dan
kuantitas petugas keamanan lalu lintas di jalan raya. Penataan kendaraan,
meliputi kelengkapan ketika mengendarai kendaraan sebagai persyaratan bagi
amannya seseorang berlalu lintas. Hal ini merupakan bagian penting bagi
penegakan ketertiban lalu lintas. Sedangkan penataan jalan dan rambu lalu lintas
adalah awal dari penataan ketertiban lalu lintas. Selain itu penataan jalan dan
rambu lalu lintas jalan memerlukan keterlibatan individu yang menyangkut
persepsi, ekspektasi, ilusi, self-hipnotic yang terjadi karena kondisi jalan.
Senada dengan peneliti sebelumnya, Valsiner (dalam Hartuti 1997) juga
mengemukakan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi kedisiplinan
individu sebagai pengguna jalan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal merupakan faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri
yang dapat berupa sikap dan kepribadian yang dimiliki oleh individu yaitu suatu
sikap dan perilaku yang mencerminkan tanggung jawab terhadap kehidupan
tanpa paksaan dari luar, dilaksanakan berdasarkan keyakinan yang benar bahwa
hal
itu
bermanfaat
bagi
dirinya
sendiri,
dan
masyarakat
sekaligus
menggambarkan kemampuan seseorang untuk menyesuaikan interes pribadinya
14
dan mengendalikan dirinya untuk conform dengan hukum dan norma serta
kebiasaan yang berlaku dalam lingkungan sosial. Sedangkan faktor eksternal
yaitu kedisiplinan dilihat sebagai alat untuk menciptakan perilaku dan tata hidup
tertib seseorang sebagai pribadi maupun sebagai anggota kelompok atau
masyarakat sehingga dapat terimplementasi dalam wujud hubungan serta sanki
yang dapat mengatur dan mengendalikan perilaku manusia sehingga sanki
tersebut hanya dikenakan kepada mereka yang melanggar hukum dan norma
yang berlaku. Sebagai contoh yang berkaitan dengan kondisi fisik seperti kondisi
jalan dan lalu lintas yang dilalui, letak rambu-rambu lalu lintas, dan kelengkapan
kendaraan yang akan digunakan, serta keadaan cuaca ketika berkendara di jalan
raya.
Kedua faktor diatas didukung oleh pernyataan dari Gunnarsson (1999)
bahwa permasalahan lalu lintas dan transportasi dapat dihubungkan dengan
empat area tingkatan yang harus dipenuhi, yaitu human-social, kesehatan publik,
lingkungan dan ekonomi. Human-social meliputi tingkat kemampuan para
pengguna transportasi dalam mengakses berbagai tipe alat transportasi dan
kualitas transportasi seperti kenyamanan, waktu pemakaian, dan informasi.
Kesehatan publik menyangkut tingkat risiko, keselamatan dan keamanan, stres,
dampak kebisingan, kelelahan dan pengaruh lalu lintas pada kesehatan. Faktor
lingkungan meliputi konsumsi energi, sumber daya alam, dampak emisi lokal dan
global, dampak terhadap sekitar dan keindahan. Selanjutnya adalah faktor
ekonomi, yang meliputi tingkat kemampuan (ekonomi), efisiensi dan biaya
operasional.
Manusia
dalam
hidupnya
mengalami
dua
perkembangan
yaitu
perkembangan secara fisik dan perkembangan secara mental (Monks, Knoers, &
15
Haditono, 2004). Perkembangan secara fisik dapat diukur dengan melihat usia
kronologis seseorang dan puncak tertentu dari perkembangan fisik disebut
kedewasaan.
Perkembangan
mental
dapat
dilihat
berdasarkan
tingkat
kemampuan (ability) dan pencapaian tingkat kemampuan perkembangan tertentu
dalam perkembangan mental disebut dengan kematangan. Salah satu
kematangan disini disebut dengan kematangan emosi. Keberhasilan dalam
mengelola emosi akan sangat mempengaruhi penyesuaian dan keberhasilan
dalam segala aspek perkembangan, dan sebaliknya apabila gagal akan
mempengaruhi juga aspek yang lainnya (Pastey & Aminbhavi, 2006).
Menurut Trierweiler (2002) banyak studi menemukan bahwa aspek emosi
diasosiasikan dengan perilaku, baik perilaku positif maupun negatif. Penelitian
yang dilakukan oleh Riffle (2010) menunjukkan adanya hubungan antara tingkat
kematangan emosi dengan perilaku seseorang. Hal ini semakin mengukuhkan
pendapat Valsiner (dalam Hartuti, 1997) yang mengemukakan bahwa perilaku
seseorang dipengaruhi oleh faktor internal yang salah satu diantaranya adalah
kematangan emosi.
Kematangan emosi menurut Wolman (1973) adalah suatu kondisi yang
ditandai oleh perkembangan emosi dan pemunculan perilaku emosi yang tepat
sesuai dengan usia dewasa daripada bertingkah laku seperti anak-anak. Jadi
semakin berkembang usia individu, maka diharapkan akan semakin mampu
melihat segala sesuatunya secara obyektif, mampu membedakan perasaan dan
kenyataan, serta bertindak atas dasar fakta daripada perasaan. Chaplin (1999)
didefinisikan kematangan emosi sebagai suatu keadaan atau kondisi mencapai
tingkat kedewasaan dari perkembangan emosi, dan karena itu individu yang
16
bersangkuan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anakanak.
Covey (2005) mengemukakan bahwa kematangan emosi adalah
kemampuan untuk mengekspresikan perasaan yang ada dalam diri secara yakin
dan berani, yang diimbangi dengan pertimbangan-pertimbangan akan perasaan
dan keyakinan akan individu lain. Jadi, kematangan emosi adalah hal penting
dalam pengembangan kapasitas positif dalam berhubungan dengan individu lain.
Kematangan emosi tidak hanya memungkinkan individu
dengan individu lain secara dewasa, namun individu
untuk berhubungan
juga dapat mengontrol
dirinya sendiri dan dapat menikmati hubungan tersebut (Birren & Sloane, 1980).
Hal ini dikarenakan individu yang matang emosinya memiliki penghargaan pada
individu lain.
Individu yang matang emosinya terbuka terhadap pengalaman, tidak
berpura-pura, dan percaya pada kapasitas dirinya untuk mengorganisasikan dan
menginterpretasikan bahan pengalamannya (Murray, 2005). Hal ini berarti
individu yang matang
akan menggunakan bahan pengalamannya sebagai
pengajaran dalam mengambil keputusan dan memandang kehidupannya seharihari. Individu yang matang emosinya dengan kata lain mampu memandang
pengalaman hidup sebagai proses belajar. Pada saat pengalaman bersifat
positif, individu akan menikmatinya dan merasa bahagia. Saat pengalaman
negatif, ia akan mampu mempertanggungjawabkan dan merasa percaya diri
bahwa dirinya mampu belajar dari kejadian ini untuk meningkatkatkan kualitas
hidupnya. Pada saat keadaan tidak berjalan sebagaimana yang diinginkannya
maka individu akan mencari kesempatan agar berhasil, karena individu yang
17
matang
emosinya
mempunyai
kemampuan
menyesuaikan
diri
dengan
lingkungan dan permasalahannya (Lafreniere, 2000).
Kematangan emosi seseorang dapat dilihat dari ciri-ciri yang tampak pada
orang tersebut. Driesen (2005) mengemukakan bahwa individu yang mempunyai
kematangan emosi setidaknya mempunyai empat ciri yang dapat ditunjukkan.
Pertama memiliki kemampuan untuk menghadapi kenyataan. Kedua, memiliki
kemampuan untuk melakukan adaptasi, ketiga, memiliki kemampuan untuk
menjalin hubungan dengan individu lain secara timbal balik, sehingga hubungan
yang tercipta bersifat saling membantu dan memuaskan kedua belah pihak.
Keempat adalah memiliki kemampuan untuk menyalurkan tenaga dari rasa
marah ke dalam bentuk perilaku yang konstruktif.
Sedangkan Hurlock (1980) menjelaskan bahwa individu dikatakan sudah
mencapai kematangan emosi bila di akhir masa remajanya mereka tidak
langsung meledakkan emosinya dihadapan individu lain, melainkan menunggu
saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara
yang lebih dapat diterima secara sosial. Selanjutnya mampu menilai situasi
secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional. Artinya individu
tidak bereaksi tanpa berpikir dahulu seperti individu-individu yang tidak matang
atau anak-anak. Mereka juga mampu mengabaikan banyak rangsangan yang
dapat menimbulkan ledakan emosi. Jadi kematangan emosi seharusnya sudah
dicapai pada akhir masa remaja, tetapi kematangan emosi pada akhir masa
remaja akan berbeda dengan kematangan emosi pada individu yang lebih tua.
Semakin bertambah usia individu, maka emosinya diharapkan akan lebih matang
dibanding dengan periode-periode sebelumnya. Hal ini dapat dipahami karena
konsep kematangan emosi tidak menunjukkan pada suatu kondisi yang statis,
18
atau tujuan akhir yang statis, atau tujuan akhir yang ingin dicapai oleh seorang
individu pada suatu periode kehidupannya (Jersild & Brook, 1978; Skinner,
1977).
Katkovsky
dan
Garlow
(1976)
menjelaskan
bahwa
aspek-aspek
kematangan emosi yaitu :
1. Kemandirian. Mampu memutuskan apa yang dikehendaki dan bertanggung
jawab terhadap keputusan yang diambilnya.
2. Kemampuan menerima kenyataan. Mampu menerima kenyataan bahwa
dirinya tidak sama dengan orang lain, mempunyai kesempatan, kemampuan
serta tingkat inteligensi yang berbeda dengan orang lain.
3. Kemampuan beradaptasi. Orang yang matang emosinya mampu beradaptasi
dan
mampu
menerima
beragam
karakteristik
orang,
serta
mampu
menghadapi situasi apapun.
4. Kemampuan merespon dengan tepat. Orang yang matang emosinya memiliki
kepekaan untuk merespon terhadap kebutuhan emosi orang lain baik yang
diekspresikan maupun yang tidak diekspresikan.
5. Merasa aman. Individu yang memiliki tingkat kematangan emosi yang tinggi
menyadari bahwa sebagai makhluk sosial ia memiliki ketergantungan pada
orang lain.
6. Kemampuan berempati. Kemampuan menempatkan posisi diri pada orang
lain dan memahami apa yang mereka pikirkan dan rasakan.
7. Kemampuan menguasai amarah. Individu yang matang emosinya dapat
mengetahui hal-hal apa saja yang membuatnya marah, maka ia dapat
mengendalikan perasaan amarahnya.
19
Sedangkan menurut Lazarus (1991) aspek-aspek kematangan emosi
meliputi:
1. Mengontrol emosi. Individu yang matang emosi mempunyai kemampuan
mengontrol emosinya, tidak gampang marah, memilih waktu dan tempat yang
tepat dalam mengekspresikan emosi.
2. Kemampuan adaptasi. Individu yang matang emosinya mampu beradaptasi
dengan lingkungan maupun orang lain
3. Empati. Individu yang matang emosinya akan memberikan respon emosi yang
kuat, mengenal dan membedakan perasaan diri sendiri dan orang lain serta
memahami orang lain dalam situasi yang berbeda
4. Koping. Koping merupakan kemampuan individu dalam menyelesaikan
problem emosi (emosional problem). Individu yang matang emosinya
mempunyai kemampuan mengatasi persoalan emosinya secara tepat.
5. Ketrampilan sosial. Individu yang matang emosinya mempunyai ketrampilan
untuk menjalin hubungan persahabatan dengan orang lain serta tidak
mengalami kesulitan bergaul dengan orang lain.
Penulis
menggunakan
aspek-aspek
kematangan
emosi
menurut
pandangan Lazarus (1991) pada penelitian ini, yang terdiri atas mengontrol
emosi, kemampuan adaptasi, empati, koping dan memeiliki ketrampilan sosial.
Adapun alasan pemilihan pandangan Lazarus sebagai teori yang dijadikan acuan
dalam penelitian ini karena komprehensif memahami kematangan emosi dalam
konteks perannya dalam memprediksi perilaku yaitu perilaku disiplin dalam
berlalu lintas.
Perilaku
disiplin
berlalu
lintas
selain
dipengaruhi
oleh faktor
internal (kematangan emosi) juga dipengaruhi oleh faktor eksternal diantaranya
20
adalah lingkungan sosial maupun lingkungan pekerjaan (Valsiner dalam Hartuti
1997). Meningkatnya tekanan terhadap pekerjaan, kurangnya kebebasan,
adanya perasaan tidak aman akan masa depan, tugas yang semakin bertambah
(overload),
adanya
konflik
dan
tuntutan psikologis
terhadap
pekerjaan
merupakan faktor eksternal yang dapat memicu timbulnya stres di kalangan
karyawan (Beehr, 1995).
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara stres kerja
dengan perilaku seseorang. Sackett dan Devore (2001) mengatakan bahwa
peningkatan stres kerja dan kelelahan emosional menyebabkan perilaku
menyimpang. Penelitian yang dilakukan Golparvar dkk., (2009) menunjukkan
bahwa stres kerja merupakan faktor yang dapat mengganggu keseimbangan
psikologis dan perilaku (negatif dan positif), terutama ketika seseorang merasa
lelah maka akan semakin mengganggu keseimbangan mereka dan kemudian
menciptakan
kecenderungan
untuk
terlibat dalam
perilaku menyimpang
(Golparvar dkk, 2009; Golparvar dkk., 2011). Penelitian lain menunjukkan ada
hubungan yang positif antara stres kerja dengan perilaku yang kontra produktif
pada karyawan (Javeed, 2012).
Stres adalah suatu respon adaptif terhadap situasi eksternal yang
berakibat pada penyimpangan fisik, psikologis, dan perilaku pada seseorang.
Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk
menghadapi lingkungannya (Luthans, 1998). Selanjutnya Wood dkk., (1998)
mendefinisikan stres sebagai suatu keadaan tegang yang dialami individu ketika
menghadapi tuntutan, paksaan, dan kesempatan yang luar biasa. Selye (1983)
mendefinisikan stres sebagai suatu keadaan yang tidak spesifik atau respon
tubuh yang umum terjadi. Respon ini terjadi ketika ada tuntutan terhadap tubuh
21
dimana tuntutan tersebut termasuk kondisi lingkungan yang mengharuskan
individu untuk menyelamatkan diri atau bertahan dari tuntutan untuk memenuhi
tujuan personal. Selanjutnya Selye (1983) membedakan stres dalam dua bentuk,
yaitu distress yang merupakan respon terhadap peristiwa atau situasi negatif,
dan eustres yang merupakan respon terhadap peristiwa atau situasi positif.
Perbedaan antara distress dan eustres ditekankan pada pembangkitan positif
maupun negatif yang mengikuti munculnya stres fisiologis. Respon fisiologis
meliputi perubahan dalam sistem saraf otonom dan kelenjar endokrin yang dipicu
oleh stimulus psikologis maupun lingkungan.
Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk
menghadapi lingkungan. Akibatnya berkembang berbagai macam gejala stres
yang dapat mengganggu aktifitasnya. Seseorang yang mengalami stres bisa
menjadi gugup dan merasakan kekhawatiran kronis yang mengakibatkan
menjadi mudah marah dan agresif, tidak dapat rileks, atau menunjukkan sikap
tidak kooperatif. Penelitian yang dilakukan Baradell dan
Klein
(1993)
mengungkapkan bahwa individu yang sensitif terhadap stres cenderung
mengambil keputusan yang salah dan tidak terorganisir, karena mereka lebih
terfokus untuk menyelesaikan stres internalnya dari pada mencari strategi untuk
mengambil keputusan atau tindakan.
Pada dasarnya setiap kondisi pekerjaan dapat menyebabkan stres. Stres
terjadi saat ada ketidakseimbangan antara job resources dan job demands
(Bakker dan Demerouti, 2006; Bakker, Demerouti, Hakanen, & Xanthopoulou,
2007; Kousar, Dogal, Ghazal, & Khattakl, 2006; Schaufeli et al., 2009). Hasil
penelitian yang dilakukan Cartwright dkk., (2005) menunjukkan bahwa stres kerja
banyak terjadi pada individu dengan latar belakang pekerjaan di bidang
22
pelayanan yang berkaitan erat dengan masyarakat misalnya perawat, pekerja
sosial, guru, konselor, dokter, polisi, dan termasuk didalamnya adalah
pengemudi angkutan umum.
Sejalan dengan pendapat Bakker tentang job resources dan job
demands, stres kerja dapat dipahami sebagai keadaan dimana individu
menghadapi tugas atau pekerjaan yang tidak dapat atau belum dapat dijangkau
oleh kemampuannya (Ehrhart, 2006). Artinya jika kemampuan seseorang baru
mencapai angka lima tetapi menghadapi pekerjaan yang menuntut kemampuan
dengan angka sembilan maka sangat mungkin sekali orang itu akan terkena
stres kerja (Ehrhart, 2006).
Greenberg (1996) menyebutkan stres kerja sebagai pola kondisi
emosional dan reaksi psikologis yang terjadi dalam merespon terhadap tuntutan
dari dalam maupun dari luar organisasi. Stres kerja memiliki hubungan dengan
perasaan negatif seseorang tentang pekerjaan mereka. Individu yang memiliki
stres kerja yang tinggi cenderung mempersepsikan pekerjaan yang dihadapinya
sebagai sesuatu yang negatif, yang dapat mengancam kenyamanan dirinya (Jex
dkk., 1992). Stres kerja juga dapat didefinisikan sebagai kondisi psikologis yang
tidak menyenangkan yang timbul karena seseorang merasa terancam dalam
bekerja. Perasaan terancam ini merupakan hasil persepsi dan penilaian individu
yang menunjukkan ketidakseimbangan atau ketidaksesuaian antara karakteristik
tuntutan pekerjaan dengan kemampuan atau kepribadiannya (Arsenault & Dolan,
1998).
Stres kerja dapat menimbulkan efek positif sekaligus negatif
bagi
individu (Selye, 1956 dalam Cooper & Dewe, 2004; Ongori & Ogolla, 2008;
Yahaya A, Yahaya N, Arshad, Ismail, Jalaam, & Zakariya, 2009). Jika dikelola
23
dengam baik stres kerja justru bisa meningkatkan produktivitas. Sebaliknya,
apabila individu tidak mampu mengelola stres yang dialaminya maka cenderung
menjadi tidak produktif. Kondisi stres yang berkepanjangan secara signifikan
terbukti menyebabkan terjadinya burnout yang secara signifikan terbukti
menyebabkan penurunan tingkat produktivitas, gangguan kesehatan fisik, dan
perilaku menyimpang yang yang lebih ekstrim dalam tempat kerja (Langelaan,
Bakker, Van Doornen, & Schaufeli, 2006; Chen & Chen, 2012). Stres kerja juga
dapat mengganggu komunikasi atau hubungan antar pekerja, menimbulkan
kelelahan/kejenuhan dalam bekerja yang dapat menyebabkan adanya perasaan
depersonalisasi,
kelelahan
emosional,
dan
memicu
terjadinya
perilaku
menyimpang dalam pekerjaan (Coetzer dan Rothmann, 2007; Dewa et al., 2011;
Omar et al., 2011). Oleh karena itu mengelola stres menjadi sangat penting agar
individu dapat mempertahankan kinerjanya (Adaramola, 2012).
Stres kerja menurut Sutherland dan Cooper (dalam Muluk, 1996; dalam
Smet, 1994) disebabkan beberapa hal, stressor, konflik peran, hubungan kerja,
perkembangan karir, iklim dan struktur organisasi, serta konflik kerja dan
keluarga. Stressor merupakan penyebab stress yang bersumber dari pekerjaan
itu sendiri, meliputi: beban kerja, fasilitas kerja yang kurang, proses pengambilan
keputusan yang lama. Konflik peran meliputi: peran di dalam kerja yang tidak
jelas, tanggung jawab yang tidak jelas. Selanjutnya adalah masalah dalam
hubungan dengan orang lain yang meliputi hubungan dengan atasan, rekan
sejawat, dan pola hubungan atasan dan bawahan. Perkembangan karir meliputi
promosi dan keselamatan kerja, sedangkan iklim dan struktur organisasi meliputi
adanya pembatasan-pembatasan perilaku dan iklim budaya di dalam organisasi.
Terakhir adalah adanya konflik antara tuntutan kerja dengan tuntutan keluarga.
24
Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (1996) mengemukakan adanya empat
stressor pekerjaan, yaitu lingkungan fisik, individu, kelompok dan organisasi.
Lingkungan fisik yang dapat menyebabkan stres pada pekerjaan meliputi cahaya,
suara, suhu, dan udara terpolusi. Stressor dari dalam individu meliputi konflik
peran, peran ganda, beban kerja berlebih, tidak ada kontrol, tanggung jawab,
dan kondisi kerja. Stressor pekerjaan selanjutnya adalah kelompok, yang meliputi
hubungan yang buruk dengan kawan, bawahan, dan atasan. Selanjutnya adalah
factor organisasi, yang meliputi desain struktur kurang bagus, politik kurang
kondusif, dan tidak ada kebijakan khusus. Sedangkan menurut Gordon (1991)
stres terjadi karena meningkatnya kompleksitas pekerjaan dan meningkatnya
tekanan ekonomi pada individu, tingkat pekerjaan, dan tingkat karir.
Jex dan Blisese (1999) mengatakan bahwa berbagai model stres
pekerjaan menunjukkan bahwa penyebab stres
pada lingkungan
kerja
mengakibatkan kondisi psikologis dan fisik yang negatif, serta perubahan
perilaku pada diri karyawan. Lebih jauh Inzana dkk., (1996) menyatakan bahwa
situasi yang penuh stres, situasi yang mengancam, dan situasi yang banyak
tuntutan dapat menyebabkan sejumlah konsekuensi yang tidak menyenangkan,
termasuk tingginya kecemasan dan menurunnya kinerja. Dampak negatif dari
stres kerja individu yaitu gangguan perilaku, gangguan kognitif dan gangguan
fisiologis (Ivancevich dan Matterson, 1993). Gangguan kognitif berupa penurunan
kemampuan pengambilan keputusan, penurunan tingkat konsentrasi dan
seseorang semakin pelupa (Slate 2007).
Ivansevich dan Matterson (1993) menyatakan bahwa dampak negatif
dari stres kerja akan mempengaruhi perilaku, kognitif dan fisiologis seseorang.
Gangguan perilaku yang muncul akibat stres kerja dapat
berupa penurunan
25
tingkat kepuasan kerja, penurunan kinerja, peningkatan tingkat absensi, turnover,
dan peningkatan angka kecelakaan kerja. Stres yang terus menerus dapat
merubah pola perilaku seseorang (Firth & Birthnm, 1989). Kemudian gangguan
kognitif berupa penurunan kemampuan pengambilan keputusan, penurunan
tingkat konsentrasi, dan karyawan semakin pelupa. Gangguan psikologis yang
paling sering terjadi akibat stres kerja adalah kecemasan dan depresi (Beehr,
1995). Selanjutnya gangguan fisiologis sebagai dampak stres kerja berupa
peningkaan tekanan darah, peningkatan kadar kolesterol, dan gangguan jantung.
Gejala stres kerja dapat dikelompokkan dalam tiga aspek yaitu aspek
fisiologis, aspek psikologis, dan aspek perilaku (Robbins, 2005). Gejala fisiologis
dapat dilihat dan dirasakan secara fisik, diantaranya ditandai dengan munculnya
simpton-simpton seperti sakit perut, detak jantung meningkat dan sesak nafas,
tekanan darah meningkat, sakit kepala, dan serangan jantung. Simpton-simpton
pada fisiologis memang tidak banyak ditampilkan, karena menurut Robbins
(2005) pada kenyataannya hal ini mempunyai kontribusi terhadap kesukaran
untuk mengukur stres kerja secara objektif.
Kedua adalah aspek psikologis. Aspek ini ditandai dengan munculnya
simpton-simpton seperti kecemasan, ketegangan, kebosanan, ketidakpuasan
dalam bekerja, irritabilitas, dan menunda-nunda pekerjaan. Gejala-gejala
psikologis tersebut merupakan gejala yang paling sering dijumpai, dan
diprediksikan dari terjadinya ketidakpuasan kerja. Seseorang terkadang sudah
berusaha untuk mengurangi gejala yang timbul, namun menemui kegagalan
sehingga menimbulkan keputusasaan yang seolah-olah terus dipelajari, yang
biasanya disebut dengan learned helplessness yang dapat mengarah pada
gejala depresi (Robbins, 2005).
26
Ketiga adalah aspek perilaku. Aspek ini ditandai dengan simpton-simpton
perilaku berupa meningkatnya ketergantungan pada alkohol dan konsumsi rokok,
melakukan sabotase dalam pekerjaan, makan yang berlebihan ataupun
mengurangi makan yang tidak wajar sebagai perilaku menarik diri, performansi
kerja menurun, gelisah dan mengalami gangguan tidur, dan berbicara cepat.
Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Robbins (2005), Terry dan
John (dalam Rice, 1992) juga mengelompokkan stres kerja dalam tiga aspek
yaitu aspek psikologis, aspek fisiologis dan aspek perilaku. Aspek psikologis
ditandai dengan munculnya gejala seperti cemas, tegang, kebingungan, sensitif,
merasa frustasi, marah, kebencian, hipersensitif emosi dan hiperaktif. Aspek
psikologis juga ditandai dengan perasaan tertindas, berkurangnya efektifitas
berkomunikasi, menarik diri dan depresi, kebosanan dan ketidakpuasan kerja,
kelelahan mental dan dan penurunan fungsi intelektual, kehilangan konsentrasi,
kehilangan spontanitas dan kreatifitas, dan menurunnya self-esteem. Aspek
fisiologis meliputi meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, meningkatnya
sekresi andrenalin dan nonadrenalin, gangguan gastrointestinal (misalnya
gangguan lambung), mudah terluka, mudah lelah secara fisik, gangguan
kardiovaskuler, kematian, gangguan pernafasan, lebih sering berkeringat,
gangguan pada kulit, kepala pusing atau migraine. Kanker, ketegangan otot, dan
problem tidur (sulit tidur atau terlalu banyak tidur). Sedangkan aspek perilaku
meliputi menunda atau menghindari pekerjaan, penurunan prestasi dan
produktivitas, meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk, perilaku
sabotase, meningkatnya frekuensi absensi, perilaku makan yang tidak normal
(kebanyakan atau kekurangan), meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko
tinggi seperti berjudi, meningkatnya agresifitas, kriminalitas dan mencuri,
27
penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman, serta
kecenderungan bunuh diri.
Perilaku tidak disiplin dapat didasari oleh kondisi stres pada individu.
Stres kerja bagi pengemudi angkutan umum adalah stres kerja yang terjadi
sebagai konsekuensi dari pekerjaannya selaku pengemudi angkutan umum.
Permasalahan yang timbul pada kehidupan individu akan timbul perilaku yang
kurang mematuhi peraturan lalu lintas yang berlaku sehingga perilaku tersebut
dapat membahayakan keselamatan diri dan orang lain yang menggunakan jalan
raya. Hal ini dikemukakan oleh Legree, Heffner, Psotka, Martin, dan Medsker
(2003) yang mengadakan penelitian mengenai stres lingkungan dan karakteristik
psikologi yang melandasi perilaku berkendaraan.
Kurt Lewin (dalam Alwisol, 2014) merumuskan suatu model hubungan
perilaku yang mengatakan bahwa perilaku adalah fungsi karakteristik individu
dan lingkungan atau dengan kata lain perilaku merupakan hasil integrasi antara
faktor internal (kepribadian individual) dan faktor eksternal (lingkungan) yang oleh
Lewin sering disebut dengan istilah lingkungan psikologis yaitu variabel eksternal
yang mempengaruhi fungsi kognitif seseorang. Pribadi dan lingkungan adalah
dua variabel independen yang mempengaruhi perilaku seseorang.
Menurut Lewin, sejumlah perubahan tingkah laku yang penting terjadi
sepanjang perkembangan. Variasi aktivitas, emosi, kebutuhan, hubungan sosial
dan sebagainya semakin banyak ketika orang semakin tambah usia (variasi itu
mungkin akan menurun pada usia udzur). Sepanjang perkembangan, tingkah
laku menjadi semakin terorganisir, hirarki, realistis dan efektif. Bertambahnya
usia membuat orang semakin sadar pentingnya pengorganisasian. Semakin
mencapai
kematangan,
semakin
diperoleh
saling
ketergantungan
yang
28
terorganisir (organizational interdependence), dimana aksi yang independen
menjadi terorganisir secara hirarki. Sesudah kematangan dicapai, kemampuan
untuk membedakan realitas dengan fantasi meningkat. Meningkatnya realisme
persepsi lebih dikenali pada area hubungan sosial. orang yang lebih matang
mampu memahami secara realistik, bahwa orang lain mempunyai rencana dan
tujuan dari tingkah laku mereka sendiri. Kematangan juga membuat tingkah laku
menjadi ekonomis. Orang berusaha untuk memperoleh hasil maksimal dengan
usaha yang minimal. Tingkah laku yang efektif menuntut adanya penyesuaian
ruang hidup dengan sifat-sifat yang sebenarnya dari lingkungan eksternal fisik
dan sosial. penyesuaian semacam itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang
telah mencapai kematangan.
Karakteristik individu yang meliputi berbagai variabel seperti kematangan
emosi, motif, nilai-nilai, sifat kepribadian dan sikap yang saling berinteraksi satu
sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam
menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam
menentukan perilaku, bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada
karakteristik individu. Hal inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih
kompleks.
Berdasarkan teori Lewin, pekerjaaan bisa menjadi lingkungan psikologis
pada ruang hidup seseorang, yang artinya bahwa pekerjaan merupakan variabel
eksternal yang dapat mempengaruhi kondisi psikologis seseorang berupa stres
pekerjaan. Pada dasarnya setiap jenis pekerjaan akan mempengaruhi perilaku
seseorang dan setiap kondisi pekerjaan pada hakekatnya dapat menyebabkan
stres (Bakker dan Demerouti, 2006; Bakker dkk., 2007; Kousar dkk., 2006;
Schaufeli dkk., 2009). Ruang hidup keseluruhan fakta yang ada pada suatu saat
29
yang mempengaruhi/menentukan perilaku seseorang. Ruang hidup terdiri atas
area pribadi (kepribadian) dan area lingkungan psikologis. Lingkungan psikologis
merupakan bagian dari ruang hidup seseorang yang keberadaannya mampu
mempengaruhi fungsi kognitif dan perilaku seseorang. Jadi, stres pekerjaan
merupakan lingkungan psikologis yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang.
Gambar dibawah ini menunjukkan pola hubungan antara kematangan
emosi dan stres pekerjaan dengan kedisiplinan berlalu lintas.
Kematangan Emosi
a. Kemampuan mengontrol
emosi
Kedisiplinan Berlalu Lintas
b. Kemampuan adaptasi
a. Pemahaman terhadap
c. Empati
peraturan lalu lintas
d. Koping
b. Tanggung jawab terhadap
e. Ketrampilan sosial
keselamatan diri dan orang lain
c. Kehati-hatian dan kewaspadaan
d. Kesiapan diri dan kendaraan
Stres Pekerjaan
yang digunakan
a. Fisiologis
b. Psikologis
c. Perilaku
Gambar 1. Pola Hubungan Antara Kematangan Emosi, Stres Kerja, Dan
Kedisiplinan Berlalu Lintas
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kematangan emosi dan
stres pekerjaan terhadap kedisiplinan berlalu lintas para pengemudi angkutan
umum. Dengan mengetahui akar permasalahan yang menjadi penyebab
munculnya perilaku tidak disiplin berlalu lintas pada masyarakat kita diharapkan
para pemangku kepentingan dapat mengambil kebijakan yang tepat dan efektif
untuk
menumbuhkan
kesadaran
dan
meningkatkan
kadar
kedisiplinan
30
masyarakat dalam berlalu lintas di jalan. Berdasarkan uraian dalam landasan
teori, maka dapat dinyatakan hipotesis penelitian sebagai berikut: “Kematangan
emosi dan stres pekerjaan secara bersama-sama dapat menjadi predictor
kedisiplinan berlalu lintas”.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu
psikologi baik secara teoritis maupun praktis.
1. Teoritis
Memperkaya kajian ilmu psikologi khususnya bidang psikologi industri dan
organisasi, yang berhubungan dengan kematangan emosi, stres kerja dan
kedisiplinan berlalu lintas.
2. Praktis
a. Menjadi masukan bagi institusi Polri khususnya Biro Psikologi Polri dalam
menyusun aspek-aspek psikologi calon pemegang Surat Ijin Mengemudi
(SIM) bagi pemohon SIM Umum, yang akan tertuang dalam Peraturan
Kapolri tentang Surat Ijin Mengemudi.
b. Penelitian ini diharapkan mampu menyediakan informasi yang dapat
digunakan sebagai acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang
terkait dengan kedisiplinan berlalu lintas para pengguna jalan.
Download