18 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka
Resor Wisata Nusa Dua yang sangat terkenal mendapat penelitian yang
relatif
sedikit
sehingga
menimbulkan
kesan
tidak
sebanding
dengan
popularitasnya. Berdasarkan hasil penelusuran literatur, terdapat sedikit sekali
kajian atau penelitian-penelitian terhadap Resor Wisata Nusa Dua terutama pada
dampak sosial pariwisata terhadap masyarakat Nusa Dua dan sekitarnya. Padahal,
kehadiran resor wisata mewah dengan ribuan kamar hotel dan jutaan room nights
terjual per tahun itu telah menimbulkan banyak perubahan besar di sana, mulai
dari dampak sosial budaya, ekonomi, demografi, sampai dengan lingkungan.
Penduduk di wilayah itu semakin bertambah, harga tanah kian tinggi, dan usahausaha jasa pariwisata bermunculan seperti usaha wisata tirta di daerah Tanjung
Benoa, utara Nusa Dua. Penelitian-penelitian yang ada, yang jumlahnya juga
relatif kecil, hanya memberikan perhatian pada daerah sekitar Resor Wisata Nusa
Dua atau aspek sosial budaya masyarakat yang tidak secara langsung berkaitan
dengan resor wisata elit Nusa Dua. Kebanyakan perubahan yang terjadi di Nusa
Dua mendapat liputan di media massa daripada penelitian mendalam. Mengingat
masih sedikitnya kajian-kajian atas Resor Wisata Nusa Dua kaitannya dengan
kehidupan sosial di sana, maka penelitian tentang relasi kuasa yang membahas
18
19
hubungan antara pemerintah (BTDC), pengusaha, dan masyarakat ini penting
dilaksanakan.
Sejauh yang ditemukan, hanya ada dua penelitian penting yang fokusnya
tertuju pada dampak pembangunan dan pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua,
yaitu disertasi Nyoman Madiun (2008) tentang partisipasi masyarakat lokal dalam
pengembangan Resor Wisata Nusa Dua, dan tesis Susrami Dewi (2009) tentang
peran BTDC dalam pengentasan kemiskinan di Desa Bualu dan Tanjung Benoa,
Resor Wisata Nusa Dua-Bali. Keduanya secara khusus memberikan perhatian
pada hubungan antara BTDC dan masyarakat sekitarnya.
Disertasi Madiun yang dipertahankan untuk meraih gelar doktor Program
Kajian Budaya Universitas Udayana diterbitkan menjadi buku dengan judul Nusa
Dua: Model Pengembangan Resor Wisata Modern (2010). Seperti sudah
disinggung sepintas di atas, buku Madiun sebetulnya membahas tentang bentukbentuk, faktor-faktor, dan makna partisipasi masyarakat sekitar Nusa Dua dalam
pengembangan kawasan tersebut. Jika dilihat antara judul dan isi, tampak sekali
judul buku dibuat sedemikian rupa lebih mengesankan judul buku untuk
kepentingan komersial, karena kaitan dengan isinya terasa agak jauh. Terlepas
dari itu, kajian kualitatif yang dilakukan Madiun memiliki posisi penting dalam
studi atas pembangunan, pengembangan, dan pengelolaan Nusa Dua dalam
kaitannya dengan hubungannya dengan masyarakat.
Penelitian Madiun memiliki kontribusi penting dalam memberikan
pemahaman atas posisi dan partisipasi masyarakat setempat dalam pengembangan
dan pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua. Hal-hal yang tidak mendapat perhatian
20
dalam kajian Madiun adalah usaha-usaha atau negosiasi atau resistensi yang
dilakukan masyarakat untuk membebaskan diri dari marjinalisasi atau dari
hegemoni. Penelitian disertasi ini akan memfokuskan pada relasi kuasa dengan
mengindentifikasi dan menganalisis bentuk-bentuk relasi kuasa sebagai sarana
bagi masyarakat setempat untuk membebaskan dirinya dari hegemoni atau proses
marjinalisasi.
Penelitian Susrami Dewi (Peran Bali Tourism Development Corporation
[BTDC] dalam Pengentasan Kemiskinan di Desa Bualu dan Tanjung Benoa,
Kawasan Pariwisata Nuda Dua-Bali) (2009) sama halnya dengan penelitian
Madiun, menggunakan metode kualitatif untuk mengungkapkan pengakuan
masyarakat miskin di Desa Bualu dan Tanjung Benoa akan minimnya peranan
BTDC dalam pengentasan kemiskinan di daerah tersebut. Dalam penelitiannya,
Susrami Dewi mengambil sampel 30 rumah tangga miskin (RTM), dan
menemukan bahwa 60% di antara mereka tidak memiliki asset. Sisanya (40%)
memiliki asset dasar seperti ternak dan sepeda motor (2009: 91). Tidak dijelaskan
apakah masyarakat yang dijadikan sampel adalah mereka yang dulu melepaskan
tanahnya dalam proses pembebasan lahan untuk Resor Nusa Dua atau mereka
menderita kemiskinan karena memang tidak memiliki warisan lahan.
Pihak BTDC memiliki beberapa program untuk membantu RTM, seperti
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), namun menurut Susrami Dewi
program itu dilaksanakan untuk pencitraan, charity images, jauh dari usaha
sistematis memecahkan masalah kemiskinan penduduk sekitar kawasan (2009:
194). Dalam penelitiannya, Susrami Dewi mengutip bagaimana anggota RTM
21
merasakan bahwa kehadiran BTDC tidak mengubah taraf hidupnya, mereka tetap
saja sebagai warga miskin. Kemiskinan itu disebabkan faktor internal (lemahnya
mutu SDM, kurang jengah, penyakit) dan faktor eksternal (penerapan sistem
outsourcing pemakaian tenaga kerja oleh hotel-hotel, dan pengambilalihan lahan
oleh pemerintah). Pada akhir tesisnya, Susrami Dewi menyampaikan sejumlah
saran kepada BTDC untuk membantu masyarakat sekitar, seperti membentuk
divisi PKBL tersendiri dalam struktur organisasi yang tugasnya difokuskan pada
program pengentasan kemiskinan dan memfokuskan penggunaan Corporate
Social Responsibility (CSR) yang berpihak pada masyarakat miskin (2009: 196).
Penelitian Susrami Dewi memberikan gambaran kehadiran BTDC yang
dianggap belum maksimal dalam membantu pengentasan kemiskinan masyarakat
sekitarnya. Sudut pandangnya ditinjau dari masyarakat RTM, namun kalau dilihat
dari sudut BTDC sendiri kemungkinan besar mereka akan mengatakan bahwa
mereka sudah melakukan banyak kewajiban sosial untuk membantu masyarakat
sekitar. Idealnya memang kehadiran resor wisata di BTDC tidak saja
mengharumkan destinasi wisata Bali, tidak saja memberikan devisa untuk negara,
tetapi juga meningkatkan taraf hidup dan kesejaheraan masyarakat di sekitarnya.
Jika taraf hidup masyarakat di sekitarnya rendah sekali, mereka akan menjadi
kontras dalam kemewahan resor wisata Nusa Dua, kontras mana akan
memerosotkan citra Nusa Dua pula.
Berbeda dengan penelitian Susrami Dewi, penelitian ini akan mengamati
bagaimana relasi kuasa atau negosiasi antara masyarakat dengan BTDC dalam
memecahkan persoalan yang ada. Bisa dikatakan bahwa penelitian ini menjadikan
22
penelitian Susrami Dewi dan Madiun sebagai salah satu dasar untuk melakukan
investigasi relasi kuasa antara pengusaha, BTDC, dan masyarakat setempat.
Penelitian lain mengenai perkembangan jasa wisata di Nusa Dua setelah
daerah ini berkembang sebagai resor wisata juga dilakukan oleh Ariasri (2005)
dan Iswarini (2013). Ariasri meneliti aspek upacara agama di daerah Nusa Dua
sebagai daya tarik wisata. Penelitian ini melihat masyarakat memiliki atau tampil
sebagai daya tarik budaya yang memberikan kontribusi pada daya tarik wisata di
Nusa Dua. Persoalan yang diangkat adalah sejauh mana masyarakat memperoleh
keuntungan balik dari praktik seni budaya yang mereka lakukan. Tentu saja tidak
mudah mengukur imbalan balik atas praktik budaya yang dilakoni masyarakat
dari penghasilan dari sector pariwisata karena masyarakat melakukan praktik
budaya juga untuk atau pertama-tama untuk memenuhi kebutuhan sosial, tradisi,
adat, dan agama mereka.
Berbeda dengan penelitian Ariasri, penelitian Iswarini tampak lebih
langsung mengkaji peluang usaha yang bisa dinikmati oleh masyarakat atas
perkembangan Resor Wisata Nusa Dua. Iswarini meneliti usaha sarana dekorasi
tradisional Bali untuk disalurkan ke hotel-hotel di Nusa Dua, seperti penjor,
gebogan, canang rebong, dan tamyang. Dekorasi atau asesori tradisional ini
banyak dibutuhkan hotel-hotel di Nusa Dua, baik untuk kepentingan sehari-hari
maupun ketika ada event-event besar seperti pertemuan, insentif, konferensi, atau
pameran (MICE, meeting, insentive, conference, exhibition). Selain membuka
peluang ekonomi, usaha ini juga memberikan dampak positif pada usaha
pelestarian budaya Bali. Usaha ini bisa membuat masyarakat dapat mendapatkan
23
keuntungan ekonomi dari kekayaan seni budaya dan pada saat yang sama
mempertahankan keberlangsungan seni budaya itu sendiri. Hanya saja, Iswarini
mencatat, peluang berusaha yang semula banyak diambil oleh masyarakat sekitar
Nusa Dua, belakangan banyak diambil oleh supplier dari daerah luar sehingga
menimbulkan kompetisi.
Penelitian lain yang lebih khusus pada jasa yang ditawarkan hotel di Nusa
Dua dilakukan oleh Parmita (2012), dengan fokus persepsi biro perjalanan produk
SPA Hotel Nusa Dua Beach. Penelitian ini melihat pentingnya peran biro
perjalanan dalam keberlanjutan bisnis sebuah hotel. Relasi yang dibahas di
dalamnya adalah hubungan bisnis antara Hotel Nusa Dua Beach dengan biro
perjalanan dan wisatawan yang menikmati jasa spa di hotel tersebut.
Semua penelitian di atas memberikan kontribusi pengetahuan tentang
keberadaan Resor Wisata Nusa Dua dan dampak yang diberikan kepada
masyarakat sekitar, terutama dampak ekonomi dan sosial budaya, juga relasi
bisnis hotel dengan biro perjalanan dalam menjual paket akomodasi dan atraksi
wisata. Akan tetapi, dengan sedikit perkecualian pada penelitian Madiun dan
Susrami Dewi, semua penelitian yang dibahas di atas tidak membuka dirinya
untuk membahas relasi kuasa antara masyarakat sekitar dengan BTDC dan
investor hotel. Dengan dasar kajian pustaka ini, dapat ditunjukkan bahwa
penelitian relasi kuasa antara masyarakat, BTDC, dan investor di Resor Wisata
Nusa Dua penting dilaksanakan untuk memperkaya pemahaman kita terhadap
berbagai dimensi dampak dari pembangunan dan pengelolaan Resor Wisata Nusa
Dua. Di balik dinamika bisnis hotel-hotel di Resor Wisata Nusa Dua, terdapat
24
dinamika negosiasi kepentingan antara ketiga pengampu kepentingan utama di
wilayah tersebut yaitu penguasa/pemerintah (BTDC), pengusaha (investor
pengelola hotel), dan masyarakat yang terus berusaha mendapatkan peluang
berusaha di sekitar pertumbuhan ekonomi di Resor Wisata Nusa Dua dan
sekitarnya.
2.2
Konsep
Dalam penelitian ini, konsep-konsep yang perlu dijelaskan adalah “relasi
kuasa” dan “Resor Wisata Nusa Dua”. Kedua konsep ini diuraikan satu per satu di
bawah ini.
2.2.1 Relasi Kuasa
Seperti sudah disinggung di dalam latar belakang sepintas bahwa relasi
kuasa adalah hubungan berdasarkan kepentingan (vested interest) antara berbagai
kelompok atau entitas yang berada dalam satu entitas wilayah. Istilah ‘relasi
kuasa’ adalah terjemahan dari konsep dalam bahasa Inggris ‘power relation’. Kata
kunci dari konsep ini adalah ‘power’, sebuah istilah penting dalam berbagai
disiplin ilmu termasuk dan terutama belakangan ini dalam Kajian Budaya. Michel
Foucault menegaskan bahwa power atau kuasa bersifat ubiquitous atau ada di
mana-mana, dan semua kuasa mencakup perjuangan untuk memediasi,
menciptakan makna, dan melakukan kontrol (Lewis, 2008: 31). Dennis Mc Quail
pernah menjelaskan bahwa lokasi kekuasaan tidaklah di satu tempat tetapi
menyebar dan bervariasi dalam institusi, masyarakat, individu, dan audiens
(dalam Burton, 1999: 58). McQuail berbicara dalam konteks kajian media, secara
25
umum pengertiannya jelas bahwa kuasa atau kekuasaan itu tidak terpusat, tidak
bergerak dari satu arah ke arah lain, akan tetapi bisa muncul dan bergerak dari
berbagai arah. Kuasa yang biasa diasosiasikan secara tradisional dengan politik,
pemerintahan, dan pemimpin, sebetulnya merupakan hal yang tersebar di berbagai
tempat, bersifat cair, dan berkaitan dengan proses atau usaha-usaha menciptakan
makna, pertengkaran, sengketa dan pencarian jalan ke luar (dispute and
dissolution) (Lewis, 2010: 31). Proses hadirnya kuasa sudah tampak dalam
penggunaan bahasa dan tindakan-tindakan fisik yang mungkin menyertainya. Para
ahli teori budaya dan kaum analis pada umumnya sepakat bahwa ada hubungan
erat antara proses mediasi kuasa dan penggunaan bahasa.
Kuasa atau kekuasaan didefinisikan oleh Van Dijk sebagai ‘kepemilikan
yang dimiliki’ oleh suatu kelompok (atau anggotanya) untuk mengontrol
kelompok (anggota) dari kelompok lain (dalam Eriyanto 2005: 272). Kontrol itu,
seperti juga halnya disampaikan oleh Faucault dan Gramsci, bisa dilakukan secara
langsung lewat kekuatan fisik, tetapi juga bisa secara tidak langsung atau caracara persuasif. Kepemilikan akan kekuasaan ditentukan oleh berbagai hal seperti
sumber-sumber daya, uang, status, dan pengetahuan. Kontrol bisa dilakukan lewat
mempengaruhi secara tidak langsung lewat penyebaran pengetahuan. Siapa
memiliki modal-modal seperti di atas lebih banyak identik dengan memiliki
kekuasaan lebih besar, lebih kuat, lebih berpengaruh.
Kata ‘relasi’ dalam konsep ‘relasi kuasa’ mengacu pada pengertian
hubungan atau interaksi berdasarkan kekuatan yang bentuk-bentuk dan akibatnya
ditentukan oleh akumulasi kekuasaan yang dimiliki kelompok atau anggota
26
kelompok dalam berhubungan dengan kelompok lain. Dalam relasi kuasa,
kelompok yang memiliki modal lebih besar cenderung memiliki kekuasaan atau
daya kontrol atau daya dominasi lebih besar atas kelompok lain. Akan tetapi ini
tidak mutlak, terutama kalau dilihat dari kemampuan suatu kelompok yang
tampak ‘lemah’ sebetulnya mampu mengajukan nilai tawar (bargaining position)
jika mereka memiliki kemampuan untuk menunjukkan modal-modal yang mereka
miliki. Persoalan sering terjadi bahwa satu kelompok tidak menyadari bahwa
mereka memiliki modal yang bisa dipakai dasar untuk melakukan negosiasi.
Misalnya, suatu masyarakat dalam destinasi wisata memang tidak memiliki modal
uang dan akses pada sumber daya yang memerlukan kekuatan finansial, tetapi
jelas mereka memiliki modal sosial dan modal budaya yang merupakan satu
entitas yang tidak terpisahkan dengan daya tarik alam atau yang lainnya dari
sebuah destinasi. Jika masyarakat menyadari kepemilikan seperti itu, nilai tawar
mereka dalam relasi kuasa bisa lebih kuat.
Kesadaran publik akan kekuasaan yang dia miliki juga ditentukan oleh
situasi sosial politik. Dalam pemerintahan yang represif, otoriter, yang cenderung
berpihak pada investor, masyarakat berada dalam posisi lemah. Mereka tidak
memiliki keberanian untuk mengajukan nilai tawar dalam relasi kuasa, sebab
kalau melakukan mereka akan mendapat tekanan dari pemerintah atau penguasa.
Sebaliknya, dalam masyarakat yang demokratis, di mana masyarakat bebas
menyampaikan aspirasinya, nilai tawar masyarakat akan lebih kuat. Mereka berani
berhadapan atau melakukan negosiasi dengan pemerintah dan swasta atau investor
untuk mendapatkan hak atau memenuhi kepentingannya.
27
Relasi kuasa merupakan kondisi yang sangat kompleks ditentukan oleh
berbagai kepemilikan modal dan situasi sosial politik. Dalam masyarakat
sederhana atau kompleks, di desa atau di kota, daerah wisata atau daerah pertanian,
relasi kuasa pasti terjadi dengan hasil dan kondisi yang berbeda-beda tergantung
kepemilikan modal oleh tiap-tiap pilar yang terlibat.
2.2.2 Resor Wisata Nusa Dua
Resor Wisata Nusa Dua adalah sebuah wilayah khusus (enclave)
kepariwisataan di Nusa Dua, Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan,
Kabupaten Badung, Bali, yang terdiri atas berbagai macam fasilitas yang
ditujukan untuk kepuasan wisatawan. Resor ini merupakan bagian dari Kawasan
Pariwisata Nusa Dua menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun
2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029.
Kawasan Pariwisata Nusa Dua menurut Perda ini mencakup desa atau kelurahan
Benoa, Tanjung Benoa, Jimbaran, Ungasan, Pecatu, dan Kutuh seluas 10.013
hektar. Dengan demikian, pengertian resor wisata dan pengertian kawasan
pariwisata dalam penelitian ini tidak sama.
Resor Wisata Nusa Dua dalam penelitian Kajian Budaya seperti ini
senantiasa terkait dengan keberadaannya sebagai tiga pilar (threefoldings). Yang
dimaksud dengan tiga pilar Resor Wisata Nusa Dua adalah kelompok entitas yang
berhubungan langsung atau berkaitan langsung secara berkelanjutan dalam
pembangunan, pengembangan, dan pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua. Dengan
batas sederhana ini, maka yang termasuk atau dimasukkan ke dalam ‘tiga pilar’
adalah pemerintah, investor, dan masyarakat. Istilah lain yang populer adalah
28
stakeholders atau pengampu kepentingan, akan tetapi tidak dipakai secara spesifik
dalam disertasi ini karena istilah tersebut cakupannya luas, sedangkan di sini
hanya menyangkut tiga entitas.
Pemerintah dimasukkan ke dalam salah satu dari tiga pilar ini adalah
karena merekalah yang memiliki inisiatif dan melaksanakan perencanaan dan
pembangunan Resor Wisata Nusa Dua. Pemerintah mengeluarkan aturan,
menegakkan regulasi, mencari pinjaman atau bantuan, menyewa konsultan, dan
mengundang investor untuk datang menanamkan modalnya di Resor Wisata Nusa
Dua. Segala persoalan yang muncul dalam proses perencanaan, pembangunan,
pembuatan lot/kavling, penyewaan, dan pemeliharaan semuanya dilakukan oleh
pemerintah. Dalam konteks pembangunan, pengelolaan, manajemen Resor Wisata
Nusa Dua, pemerintah hadir lewat badan usaha milik negara yaitu BTDC. Dalam
tiga pilar ini, boleh dikatakan sebagai pilar pertama.
Pilar kedua adalah investor atau pengusaha yang menanamkan modalnya
di kawasan Nusa Dua. Termasuk dalam hal ini adalah pemodal-pemodal yang
membiayai dan membangun hotel-hotel di Resor Wisata Nusa Dua. Mereka
menyewa kavling yang disediakan oleh pilar pertama dengan sistem sewa yang
disepakati. Dalam kegiatan operasional bisnis sehari-hari, pilar kedua ini tampak
lewat manajemen usaha atau hotel, yang mengelola investasi pemodal. Pilar
pertama, BTDC, berhubungan dengan manajemen, begitu juga sebaliknya,
manajemen hotel/usaha berhubungan dengan BTDC jika mereka memiliki
kepentingan yang perlu dibahas atau masalah yang perlu disepakati.
29
Pilar ketiga adalah masyarakat. Masyarakat di sini adalah warga Nusa Dua.
Resor Wisata Nusa Dua terletak di Kelurahan Benoa, oleh karena itu, pilar ketiga
di sini adalah warga Kelurahan Benoa yang wilayah timur dan selatannya
berbatasan dengan pantai. Wilayah baratnya berbatasan dengan Kelurahan
Jimbaran, sedangkan di utara Kelurahan Tanjung Benoa. Kelurahan Benoa terdiri
dari 16 dusun seperti Bualu, Mumbul, Peminge, Sawangan, Celuk, dan Menesa.
Sejak berkembang menjadi resor wisata, Kelurahan Benoa mendapatkan
lingkungan perumahan baru yaitu Lingkungan Permata Nusa Dua, Lingkungan
Bualu Indah, Lingkungan Puri Nusa Dua, dan Lingkungan Wisma Nusa Permai.
Data tahun 2007 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kelurahan Benoa adalah
18.773 orang. Tahun 2012, jumlah penduduk bertambah menjadi 21.502 orang.
Kelurahan Benoa meliputi Desa Pakraman Bualu, Desa Adat Peminge, dan Desa
Adat Kampial.
Warga di seluruh kelurahan Benoa adalah pilar ketiga dalam konteks
pembangunan dan pengelolaan Nusa Dua. Dalam relasi kuasa dengan dua pilar
lainnya, mereka bisa saja hadir sebagai anggota kelurahan, atau melalui
kelompok-kelompok profesi yang ada di wilayah ini, atau lewat lembaga
kelurahan atau Desa Pekraman. Kelompok taksi, pedagang souvenir, nelayan, atau
wisata tirta adalah contoh subkomunitas yang terdapat di Nusa Dua yang juga
terlibat dalam relasi kuasa dengan pilar satu dan pilar dua.
Secara historis, sejak awal Nusa Dua dirancang pembangunannya, ketiga
pilar ini sudah terlibat dalam relasi yang intens, mulai dari relasi kuasa yang tidak
seimbang, satu pilar mendominasi yang lain, lalu sejalan dengan perubahan iklim
30
politik mulai terjadi negosiasi, kompromi, atau bahkan resistensi. Hal tersebut
berlanjut sampai sekarang. Harus dikatakan bahwa perkembangan Resor Wisata
Nusa Dua sampai adanya sekarang adalah hasil kontribusi ketiga pilar. Walaupun
kontribusi mereka berbeda-beda, tetapi pilar yang satu tidak bisa mengecilkan arti
pilar yang lain. Dengan dijelaskan batasan masing-masing dari tiga pilar itu,
diharapkan penggunaan istilah pilar satu (pemerintah/BTDC), pilar dua
(investor/manejemen hotel atau fasilitas pariwisata), dan pilar tiga (masyarakat
dalam berbagai kelompok atau komunintas) menjadi lebih jelas.
2.3
Landasan Teori
Dalam mengkaji permasalahan sesuai dengan topik penelitian ini dalam
perspektif Kajian Budaya menggunakan tiga teori, yaitu: (1) Teori Hegemoni dari
Antonio Gramsci, (2) Teori Diskursus kuasa/pengetahuan dari Michel Foucault,
(3) Teori Tindakan Komunikatif dari Habermas. Teori yang digunakan ini diambil
dari teori-teori sosial kritis postmodern dan digunakan secara eklektik sesuai
dengan karakter persoalan yang dibahas yang berhubungan satu dengan yang
lainnya. Posmodernisme (Lubis, 2004: 34) menerima keaneka-ragaman paradigma,
perspektif dalam mengobservasi realitas, sehingga kebenaran ilmu pengetahuan
tidak lagi tunggal, tidak tetap, akan tetapi plural dan berubah sejalan dengan
perkembangan
budaya
manusia.
Sugiharto
(1996:
28),
menguraikan
posmodernisme menolak pemikiran yang totaliter, kemudian menghaluskan
kepekaan terhadap perbedaan dan memperluas kemampuan toleransi terhadap
kenyataan yang tidak terukur. Sikap kritis yang mendasari postmodernisme
31
tampak pada penolakannya akan kebenaran tunggal yang terpusat, tetapi lebih
pada perayaan akan perbedaan-perbedaan pendapat yang tersebar di luar pusat
atau pinggiran atau periferi.
Paradigma Teori Sosial Kritis mengadopsi pemikiran teori sosial Karl
Marx, yang memberikan perhatian kepada pembebasan masyarakat atau kelompok
yang tertindas serta terpinggirkan karena terjadinya perubahan sosial. Teori ini
dapat menguji secara kritis kontradiksi-kontradiksi yang terjadi di masyarakat dan
berupaya mencari akar penyebabnya dengan membongkar apa yang tersembunyi
dan membuat yang implisit menjadi eksplisit (Agger, 2006; Jenning, 2001; Ardika,
2007).
Teori ini digunakan mengingat masalah proses transformasi modal budaya
menjadi daya tarik wisata berkaitan erat dengan tindakan manusia dan interaksi
sosial budaya memiliki makna subjektif yang harus diinterpretasikan dalam
pengembangan pariwisata. Dengan demikian akan ditemukan pemahaman
terhadap tindakan manusia secara lebih utuh mengingat ada fenomena dimensidimensi manusia, dan tindakan manusia yang tidak bisa lepas dari ideologi yang
berkembang dalam relasi kuasa dalam pengembangan dan pengelolaan Resor
Wisata Nusa Dua.
2.3.1 Teori Hegemoni
Teori hegemoni berasal dari pemikiran seorang Marxist asal Italia yang
bernama Antonio Gramsci. Teori ini dapat dikatakan salah satu teori politik
terpenting dari begitu banyak yang ada pada akhir abad ke-20. Di Indonesia,
relevansi penggunaannya ditunjang oleh pelaksanaan kekuasaan pemerintah
32
selama kurang lebih tiga dasawarsa menjelang berakhirnya abad tersebut, tepatnya
selama masa Orde Baru (1966-1998), yang memang sangat dominatif dan
hegemonik. Tidak mengherankan teori yang sama sangat sering digunakan untuk
membedah permasalahan yang terkait erat kekuasaan, khususnya kekuasaan
pemerintah, selama masa itu. Walaupun di Indonesia pada masa Orde Baru
terdapat beberapa perlawanan seperti di Aceh, Timor Timur, dan beberapa daerah
lainnya, secara umum banyak sarjana sependapat akan kuasa hegemonik Orde
Baru.
Teori hegemoni mencakup sarana kultural dan ideologis yang di dalamnya
kelompok-kelompok penguasa atau pihak-pihak yang dominan menjalankan dan
melestarikan kekuasaannya dalam masyarakat melalui konsensus (persetujuan)
terhadap kelompok-kelompok yang dikuasai atau pihak-pihak yang didominasi.
Dengan demikian, kebudayaan dan masyarakat tidak lain merupakan perwujudan
dari upaya-upaya hegemoni yang justru diterima secara konsepsual oleh mereka
yang terhegemoni.
Salah satu penekanan konflik adalah hegemoni kultural kelas penguasa
sebagai bentuk dominasi (Kriesberg, 2000). Dari sini dapat dilihat, bahwa, kalau
konflik lebih mengacu kepada sesuatu yang fisikal dan penuh kekerasan,
sedangkan hegemoni berbentuk sebaliknya, yaitu canggih dan halus karena
menyasar
kepada
kesadaran-kesadaran
yang
menentukan
pikiran-pikiran,
perkataan-perkataan, dan tindakan-tindakan masyarakat. Konsep hegemoni terkait
dengan tiga bidang, yaitu ekonomi, negara, dan masyarakat (Bocock, 1986: 33).
Untuk itu, penggunaan teori hegemoni dalam penelitian ini dianggap perlu,
33
terutama untuk mengkaji aspek-aspek penguasaaan tanpa kekerasan atau persuasif
dalam relasi tiga pilar Resor Wisata Nusa Dua.
Timbul pertanyaan sejauh mana kelompok yang terhegemoni memberikan
persetujuan dalam proses hegemoni tersebut. Namun, Gramsci tidak terlalu
mempertentangkan antara hegemoni dan paksaan atau kekuatan yang disebut
dominasi. Dalam pandangannya, supremasi kelompok atas kelas sosial tampil
dalam dua cara, yaitu dominasi atau penindasan yang biasanya dilakukan oleh
aparat pemerintah, dan persetujuan melalui kepemimpinan intelektual dan moral
terhadap masyarakat sipil dimana yang terakhir disebut hegemoni. Lebih jauh
pendapat Gramsci (1976: 57-58) bisa dikutip seperti berikut:
“Supremasi kelompok sosial memanifestasikan dirinya dalam dua cara,
yaitu sebagai ‘dominasi’ dan sebagai ‘kepemimpinan intelektual dan
moral’. Sebuah kelompok sosial mendominasi kelompok antagonis, yang
cenderung ‘melikuidasi’, atau untuk menundukkan bahkan oleh kekuatan
bersenjata, yang mengarah pada kelompok kerabat dan sekutu. Sebuah
kelompok sosial bisa dan memang harus sudah melakukan pelatihan
‘kepemimpinan’ sebelum memenangkan kekuasaan pemerintahan (hal ini
memang salah satu kondisi prinsip untuk memenangkan kekuasaan
tersebut), yang kemudian menjadi dominan ketika menggunakan kekuatan,
namun bahkan jika dominasi itu sudah memegang kuat dalam genggaman,
ia harus terus ‘memimpin’ juga.”
Penggunakan teori hegemoni tersebut, bisa dikatakan bahwa semakin
setuju pihak-pihak yang dikuasai dengan kekuasaan yang dijalankan, semakin
berhasil hegemoni yang terjadi. Dalam hal ini, ide-ide yang dijalankan dalam
kekuasaan tampak wajar dan legitimate seolah-olah merupakan inisiatif dari orang
yang dikuasai dan bukan dari pihak-pihak lain karena terlebih dahulu sudah ada
internalisasi ideologi, kultur, nilai-nilai, norma-norma, dan segi-segi politik.
Dengan kata lain, penggunaan kekerasan dan kekuatan mencerminkan
34
kekurangberhasilan ideologi yang dijalankan oleh kekuasaan. Semakin koersif
kekuasaan berlangsung maka semakin pudar segi-segi hegemoniknya.
Menurut Piliang (2004: 357) konsep aparat negara ideologis memiliki
pengertian kurang lebih sama dengan konsep alat hegemoni. Sedangkan, konsep
alat negara ideologis menurut Althusser tampak lebih menekankan sifat pasif dari
alat tersebut di hadapan kekuasaan dominan (negara, kapitalisme). Sebaliknya,
Gramsci melihat konsep alat hegemoni (termasuk lembaga pendidikan) dalam
kerangka suatu medan perang, yang di dalamnya terjadi perjuangan aktif (active
struggle) dalam memperebutkan hegemoni yang tidak ada akhirnya di antara
berbagai ideologi yang bersaing (misalnya kapitalisme, sosialisme, feodalisme).
Fungsi ideologi, menurut Althusser, adalah mereproduksi hubunganhubungan produksi, hubungan di antara kelas-kelas, dan hubungan manusia
dengan dunianya. Ideologi merupakan satu praktik yang di dalamnya individuindividu dibentuk, dan pembentukan ini sekaligus menentukan orientasi-orientasi
sosial mereka agar mereka dapat bertindak dalam struktur ini dalam berbagai cara
yang selaras dengan ideologi. Ideologi diproduksi oleh lembaga-lembaga, yang
disebut “perangkat ideologi Negara” (Piliang, 2004: 456).
Di Bali nilai-nilai budaya lokal seperti konsep dharma negara (kewajiban
pada negara) dan guru wisesa (kepatuhan kepada pemerintah sebagai salah satu
guru) sering dimanfaatkan oleh penguasa untuk melakukan hegemonisasi.
Kearifan lokal itu sebetulnya netral tetapi menjadi bias ketika ditafsirkan dan
diimplementasikan untuk mendominasi satu pihak oleh pihak lain. Menurut Titib
(1995), guru wisesa atau kepatuhan kepada pemerintah merupakan salah satu guru
35
dari catur guru bhakti selain guru swadhyaya (Sang Hyang Widhi), guru
pengajian (guru di sekolah), dan guru rupaka (orang tua). Seperti yang diakui
oleh Dwipayana (2000), dominasi negara terhadap desa (desa adat) diperkuat oleh
adanya konstruksi budaya yang hegemonik bahwa pemerintah adalah guru wisesa,
yaitu salah satu guru dari empat guru yang harus dihormati. Sebagai guru wisesa,
pemerintah dianggap menjunjung kepentingan bersama. Kuatnya hegemoni
budaya tersebut membuat masyarakat “malas berbicara” (koh ngomong). Situasi
ini secara umum masih faktual karena evolusi panjang, namun harus diakui pula
bahwa sejak reformasi, masyarakat sudah mulai berani menyatakan aspirasinya,
melakukan protes, dan bahkan demonstrasi untuk melawan keputusan pemerintah
(guru wisesa) yang dianggapnya merugikan publik.
Dalam penelitian ini, teori hegemoni digunakan untuk mengkaji bentuk
relasi kuasa antara ketiga pengampu kepentingan yaitu pemerintah, pengusaha dan
masyarakat dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua, dengan memperhatikan
perubahan sosial politik yang memengaruhi cara-cara masyarakat, pemerintah,
dan pengusaha dalam berinteraksi untuk mewujudkan vested interest-nya masingmasing.
2.3.2 Teori Diskursus Kuasa/Pengetahuan
Teori diskursus yang diacu dalam penelitian ini adalah teori diskursus
yang mengetengahkan relasi antara kekuasaan dan pengetahuan dari Michel
Foucault (1926-1984). Teori diskursus pernah diperkenalkan oleh orientalis
Edward W. Said meskipun nyata bahwa baru menjadi populer setelah
diperkenalkan oleh Foucault. Said menunjukkan bagaimana wacana Barat tentang
36
Timur (orientalisme) bisa dijadikan contoh suatu konstruk “pengetahuan” tentang
Timur yang diciptakan oleh Barat dan suatu bentuk hubungan antara “kekuasaanpengetahuan” yang mengartikulasikan kepentingan “kekuasaan” Barat (Storey
2003: 135). Said bahkan mengutip pernyataan Michel Foucault bahwa
“kebenaran” suatu wacana tergantung pada apa yang dikatakan, terutama siapa
yang menyatakan, kapan dan di mana ia menyatakannya; kebenaran suatu wacana
tergantung pada konteks, yakni konteks kekuasaan.
Michel Foucault sebagai tokoh teori diskursus kuasa/pengetahuan
mendapat inspirasi dari pemikiran Nietsche tentang “Kematian Tuhan”. Pemikiran
Nietsche (1844-1900) ini membuka kesempatan luas bagi pemikir untuk
menentukan dirinya, yang akhirnya bermuara pada sikap “nihilism”, suatu sikap
yang menentang aturan moralitas yang wajib berlaku untuk semua orang. Nietsche
menganjurkan moralitas yang mencintai manusia, di mana moralitas dapat
dibenarkan hanya bila mendukung keunggulan dan mengangkat derajat manusia.
Semua nilai kehidupan harus dievaluasi kembali, sehingga lahir manusia
unggul yang bebas dari kekuasaan lain. Pemikiran ini berhasil mendobrak
kemapanan dan kebenaran kekuasaan tokoh-tokoh agama dan kebudayaan Eropa,
sehingga Paul Ricoeur menyebut pemikiran Nietsche sebagai “post-religieuse”,
sebagai jembatan yang menghubungkan agama dengan iman yang baru (Sudiarja,
1982: 3-9).
Pemikiran Nietsche tersebut diadopsi oleh Foucault untuk meramalkan
“kematian manusia” dalam ilmu-ilmu sosial kemanusiaan. “Kematian Manusia”
atau Kematian Subjek” dapat ditafsirkan sebagai berakhirnya konsep tertentu
37
tentang manusia, misalnya konsep tradisi humanism modern tentang manusia.
Pada masa modern, konsep diri (self) adalah sesuatu yang otonom yang
dihadapkan dengan dunia sebagai objek-objek yang dapat diketahui oleh rasionya
dan tidak terpengaruh oleh konteks sosial-historis. Foucault menolak pandangan
Descartes dan Kant tentang rasio dan kodrat yang tidak terpengaruh oleh konteks
sosial-historis (Lubis, 2004: 184).
Michel Foucault melihat kehendak untuk menemukan kebenaran objektifuniversal sebagai bentuk dari kehendak pada kekuasaan. Senantiasa ada
keterkaitan antara kebenaran dengan permainan kuasa. Wacana sebagai “dasar
untuk memutuskan apa yang akan ditetapkan sebagai suatu fakta dalam masalahmasalah yang dibahas dan untuk menentukan cara paling sesuai untuk memahami
fakta-fakta yang kemudian ditetapkan”. Kajian diskursus ini menurut Foucault
disebut “arkeologi” bukan sejarah, sebagai kumpulan peristiwa yang diucapkan,
disusun, diulang, dimanfaatkan kembali, ditransformasikan di dalam kebudayaan.
Berbeda dengan paradigma modernitas, subjek dan wacana berada dalam
kualitas interdependensi. Subjek berada dalam posisi sosial wacana, subjek
sebagai agen sosial. Sebaliknya wacana pun memerlukan kehadiran subjek dalam
rangka penyebarluasannya. Dalam hubungan ini baik wacana maupun subjek
bebas dari dominasi narasi-narasi besar. Wacana memiliki relevansi dalam seluruh
kehidupan manusia baik kehidupan praktis sehari-hari, maupun kehidupan formal
misalnya dalam tradisi ilmu pengetahuan. Wacana merupakan pusat aktivitas
tetapi tidak bersifat universal (Ratna, 2006: 280).
38
Michel Foucault tidak memusatkan perhatian pada pencarian asal-usul
sebagaimana dipahami dalam tradisi intelektual konvensional, tetapi lebih kepada
hubungan kekuasaan yang ada di balik gejala yang menjadi objeknya, sehingga
konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah penemuan pada wacana marginal,
bukan pusat. Kekuasaan bukan mekanisme, melainkan produktif yang memicu
munculnya objek-objek pengetahuan yang baru sehingga kekuasaan dan
pengetahuan tidak bisa dipisahkan.
Menurut Michel Foucault, ketika sebuah wacana atau diskursus dilahirkan,
maka diskursus itu sesungguhnya telah dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan
didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya. Wacana itu juga
dikonstruksi berdasarkan aturan-aturan (episteme) tertentu sehingga kebenaran
memiliki mata rantai dengan sistem kekuasaan. Ia menempatkan kebenaran, rasio,
pengetahuan, ilmu, diskursus akademik, pengobatan, pendidikan, rumah sakit,
manusia dan sebagainya dalam rangka relasi dengan kekuasaan. Kekuasaan adalah
relasi-relasi yang bekerja dalam ruang dan waktu tertentu serta memproduksi
kebenaran. Kebenaran memiliki mata rantai dengan sistem kekuasaan. Kebenaran
tidak berada di luar kekuasaan, akan tetapi berada dalam kekuasaan itu.
Kekuasaan adalah kebenaran (Lubis, 2004: 150 dan 163).
Foucault memahami ilmu pengetahuan sosial dapat menjadi alat
penguasaan
manusia
atas
manusia,
artinya
untuk
mengendalikan
dan
memengaruhi putusan (tubuh dan jiwa) orang lain, sehingga terjadilah dwitunggal
kekuasaan-pengetahuan. Tubuh dilihat sebagai “mesin hidup” (man-the-machine)
sebagai sumberdaya dan tenaga kerja yang perlu dikendalikan dan dimanfaatkan
39
guna kemajuan. Agger (2006: 349) menilai posmodernisme Foucault menawarkan
pandangan berharga tentang kontrol sosial. Para sosiolog sangat terbantu dalam
melihat perilaku menyimpang dalam hal pengalaman dan makna yang
mengkonstruksinya.
Tilaar (2003: 81) menyebut pandangan Foucault sangat sesuai dengan
abad informasi dewasa ini yang menganggap bahwa pengetahuan dan kekuasaan
mempunyai dasar yang sama. Kekuasaan menciptakan pengetahuan, dan
pengetahuan serta kekuasaan saling memengaruhi secara langsung satu sama lain.
Dengan demikian, ideologi yang diterapkan penguasa merupakan peta-peta makna
yang meski berpotensi mengandung kebenaran universal, sebenarnya merupakan
pemahaman historis yang menopengi dan melanggengkan kekuasaan (Barker,
2004: 13).
Teori diskursus kuasa/pengetahuan dalam penelitian ini digunakan untuk
mengkaji ideologi yang memengaruhi relasi kuasa dalam pengelolaan Resor
Wisata Nusa Dua.
2.3.3 Teori Tindakan Komunikatif
Habermas mengemukakan teori tindakan komunikatif dengan tekanan
pada kesadaran subjek dan kompetensi komunikatif, yang jelas-jelas akan
membawa mainstream (arus utama) kajian pada berfungsinya kapasitas kognitif
manusia yang berperan sebagai subjek. Satu versi teori kritis Habermas yang
melewati batas teori-teori lain dari Mashab Frankfurt awal, yang belum
membedakan kerangka filsafat Yunani, idealisme Jerman dan bahkan konsep
Marx tentang hubungan subjek (orang) dengan objek (orang lain dan alam)
40
(Agger, 2006: 189). Habermas mengemukakan perubahan dari “paradigma
kesadaran”, yang menyetujui dualitas barat atas subjek dan objek ke “paradigma
komunikasi”. Paradigma komunikasi ini mengkonseptualisasikan pengetahuan
dan praktek sosial bukan dalam hal dualitas antara subjek dan objek, namun
melalui rekonseptualisasi subjek sebagai intersubjektif yang inheren. Subjek
intersubjektif ini memiliki kapasitas primer bagi komunikasi, bukan hanya
kapasitas kerja.
Teori Tindakan Komunikatif yang dikemukakan oleh Habermas, secara
komprehensif telah memperkenalkan eklektisisme aplikasi teori-teori sosial yang
harus bisa menangkap dan membedah permasalahan secara kritis, reflektif,
grounded dan emansipatoris. Berangkat dari teori kritis, Habermas menyadari
masih tersisanya ruang dan fenomena yang belum bisa diselesaikan oleh teori
kritis. Fenomena modernitas yang dilihat secara emik belum bisa dimengerti dan
diikuti oleh masyarakat dan individu-individu yang diharapkan mampu sebagai
subjek di dalamnya, sehingga dikatakan modernisasi belum selesai. Dalam usaha
perjuangan emansipatoris, Habermas mengkonstruksi ulang teori Tindakan,
Fenomenologi, dan Hermeneutika, menjadi Teori Tindakan Komunikatif. Teori
kritis baik sebagai teori maupun sebagai filsafat dan mainstream studi kognitif dan
kesadaran, dilibatkan di dalamnya, dengan menilik kembali “rasionalitas” yang
banyak menuai kritikan, terlebih lagi penolakan Lyotard (Lubis, 2004: 221)
terhadap “rasionalitas universal” yang justru menutup pemikiran kritis, bahkan
disensus dan ketidaksepakatan radikal yang tidak bisa dipungkiri adanya. Dengan
Teori Tindakan Komunikatif atau The Theory of Communicative Action,
41
Habermas menekankan kembali “rasionalitas komunikatif” dan “kompetensi
komunikatif” (Lubis, 2004).
Teori Tindakan Komunikatif sebagai rekonstruksi dan sintesis dari
Fenomenologi,
Teori
Komunikasi,
Teori
Tindakan
dan
Hermeneutika
mensyaratkan eklektisisme dan emansipasi perjuangan intelektual bagi subjeksubjek yang terpinggirkan, tertindas dan tak berdaya tanpa kompetensi
komunikasi. Posisi subjek harus lebih mendapatkan perhatian dalam masalah
kapitalisme akhir, dimana menurut Habermas (Agger, 2003), sistem menjajah
dunia kehidupan berjalan sedemikian rupa sehingga orang terhambat untuk
mengembangkan makna budaya bersama komunitas berdasarkan pengalaman
hidup sehari-hari dan bahasa. Upaya perjuangan membangun kapasitas
komunikatif masyarakat untuk mengikuti dan menggelar diskusi nasional yang
merupakan demokrasi. Upaya-upaya ini dapat muncul sebagai satu gerakan sosial
baru,
termasuk
environmentalisme,
feminisme
dan
pasca
kolonialisme
berdasarkan prinsif etis komunikasi rasional yang tidak terdistorsi untuk
membangun ‘subjek kolektif’ transformatif.
Teori Tindakan Komunikatif dalam penelitian ini digunakan untuk
mengkaji pemaknaan relasi kuasa dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua
Kajian akan dilaksanakan dengan mencari dan mengkontraskan kata-kata kunci
yang dipakai oleh tiap-tiap pilar (pemerintah, pengusaha, dan masyarakat) dalam
mengutamakan keinginan masing-masing. Teori ini digunakan untuk menganalisis
bagaimana wacana (pilihan kata, cara-cara penyampaian) yang digunakan tiaptiap pilar dalam memperkuat posisi tawarnya atau dalam berinteraksi. Selain
42
melalui wawancara, wacana itu akan digali melalui kliping koran pemberitaan
tentang Resor Wisata Nusa Dua yang relevan dengan topik relasi kuasa.
2.4
Model Penelitian
Kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan berikut
(Gambar 2.1).
Resor Wisata
Nusa Dua
Pengusaha/
Pemodal
Teori:
-Hegemoni
-Diskursus kuasa/pengetahuan
-Tindakan komunikatif
Bentuk
relasi kuasa
Penguasa/
Pemerintah
Relasi kuasa dalam Pengelolaan
Resor Wisata Nusa Dua
pascareformasi 1998-2013
Ideologi yang
memengaruhi relasi
kuasa
- Temuan Penelitian
- Simpulan
Rekomendasi
Gambar 2.1
Model Penelitian
Keterangan:
: Memengaruhi
: Saling memengaruhi
Masyarakat/
Penduduk
Konsep:
-Relasi kuasa
-Resor Wisata Nusa Dua
Pemaknaan relasi
kuasa
43
Pemerintah Indonesia dalam rencana pembangunan lima tahun pertama
dan kedua tahun 1960-an/1970-an mulai melirik pariwisata sebagai salah satu
sektor utama untuk menjadi sumber devisa negara, selain sumber lainnya seperti
minyak dan gas bumi. Dari seluruh daerah di Indonesia, Bali memiliki potensi
yang paling siap untuk dikembangkan. Pemerintah kemudian menetapkan daerah
gersang di pantai Nusa Dua ditetapkan sebagai resor wisata mewah.
Dalam proses pembangunan, terjadi interaksi yang intens antara
pemerintah (dalam hal ini BTDC), pengusaha (pemodal yang menanamkan uang
di Nusa Dua), dan masyarakat yang suka atau tidak suka harus melepaskan atau
menjual tanahnya untuk membangun resor. Bentuk interaksi antara penguasa,
masyarakat, dan kemudian dengan pengusaha ditentukan oleh kekuasaan dan
modal. Bentuk-bentuk relasi dalam pembangunan dan pengelolaan Resor Wisata
Nusa Dua ditentukan oleh situasi sosial politik. Ketika kekuasaan pemerintah
sangat dominan, masyarakat mudah ditundukkan, sebaliknya ketika demokratisasi
menjadi dasar kehidupan sehari-hari maka bentuk relasi kuasa masyarakat dan
pemerintah mengalami perubahan bentuk dan makna.
Hal
tersebut
menimbulkan
sejumlah
implikasi
terhadap
sistem
sosiokultural masyarakat lokal yang sebelumnya telah terbentuk secara mapan
sebagai model adaptasi manusia dengan lingkungannya. Implikasi sosiokultural
yang dimaksud mencakup transformasi pada komponen basis infrastruktur
material yang selanjutnya berimplikasi kepada komponen struktur sosial dan
superstruktur ideologis. Pada akhirnya transformasi sosiostruktural tersebut
44
mengarah kepada terbentuknya sistem sosiokultural yang terhegemoni atau
“menghamba” pada kepentingan kapitalisme dan kekuasaan.
Berbagai fenomena dan permasalahan yang timbul sebagai implikasi relasi
kuasa dalam pengembangan dan pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua dianalisis
dengan menggunakan teori teori hegemoni, teori diskursus kuasa/pengetahuan,
dan teori tindakan komunikatif, yang diterapkan secara eklektik sesuai dengan
kaidah kritis Kajian Budaya.
Temuan baru dari penelitian ini dipergunakan sebagai pijakan utama
dalam memberikan rekomendasi/saran baik kepada pemerintah, pengusaha
pariwisata yang melibatkan aktivitas kepariwisataan di Resor Wisata Nusa Dua.
Download