Indeks Geomorfik sebagai Morfoindikator Geologi DAS Gobeh

advertisement
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
INDEKS GEOMORFIK SEBAGAI MORFOINDIKATOR
GEOLOGI DAS. GOBEH,
KABUPATEN GUNUNGKIDUL - DIY
Darmawan Arif Hakimi1, Salahuddin Husein2, dan Srijono3
1 Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi FT UGM
2&3 Staf Dosen di Lab. Geologi-Dinamik Jurusan Teknik Geologi FT UGM
Sari
Analisis geomorfologi secara kuantitatif dapat dilakukan melalui analisis morfometri
menggunakan indeks geomorfik. Daerah Aliran Sungai Gobeh di Kecamatan Ngawen dan Semin,
Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan bagian Pegunungan
Selatan Jawa Timur bagian Barat. Secara fisiografi DAS Gobeh berada pada pertemuan tinggian
morfologi Lajur Baturagung maupun Masif Panggung, serta rendahan Depresi Wonosari,
Kompleksitas fisiografi tersebut melatarbelakangi penelitian ini. Tujuan penelitian adalah mengetahui
peranan litologi dan struktur geologi berdasarkan indeks geomorfik.
Metode penelitian menggunakan Transverse Topographic Symmetry Factor (T), Stream
Length Gradient (SL), dan Hypsometric Curve. Hasil pengukuran indeks T untuk mendeteksi
pengaruh tektonik yang tercermin pada arah pengangkatan yang dibatasi oleh bidang diskontinyuitas.
Indeks SL digunakan mengidentifikasi perbedaan litologi dan kehadiran struktur. Kurva hipsometri
digunakan untuk mengetahui perbedaan resistensi litologi. Pengukuran ketiga indeks di atas
menggunakan peta topogafi DAS Gobeh dan sekitarnya dengan skala 1:25.000 sebagai peta dasar.
Hasil pengukuran indeks T menunjukkan bidang diskontinyuitas antara utara – selatan, hingga
baratlaut – tenggara, dan antara timur – barat hingga timurlaut – baratdaya. Hasil pengukuran indeks
SL diperoleh nilai SL pada batuan vulkanik (Formasi Semilir, dan Formasi Nglanggran) sebesar 24,98
hingga 96,32; berbeda signifikan dibandingkan dengan batuan karbonat (Formasi Oyo) yang
mempunyai indeks SL sebesar 2,10 hingga 16,77. Selain itu, perbedaan nilai SL dari satu formasi
batuan yang sama, dipengaruhi oleh pembentukan struktur geologi. Berdasarkan kurva hipsometri
yang dihasilkan, diidentifikasi adanya perbedaan kelengkungan kurva pada nilai kontur 250 m,
sebagai pertanda dari batas litologi antara Formasi Semilir - Formasi Nglanggran terhadap Formasi
Oyo.
PENDAHULUAN
Geologi Regional
Fisiografi. Zona Pegunungan Selatan di bagian selatan Yogyakarta, merupakan pegunungan
memanjang barat – timur, disebut Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian Barat (Van Bemmelen,
1970). Secara umum, fisiografi ini merupakan perbukitan yang terangkat dan miring ke arah selatan
Batas utaranya adalah Lajur Baturagung (Baturagung Range) yang merupakan gawir memanjang
barat-timur. Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian Barat dibagi menjadi tiga (Gambar 1).
Stratigrafi. Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian Barat hampir seluruhnya tersusun oleh
batuan hasil pengendapan gaya berat (Bothe, 1929; Surono dkk,1992). Batuan tertua adalah Formasi
Kebo-Butak, diikuti kemudian oleh Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, Formasi Sambipitu yang di
bagian atasnya menjari terhadap Formasi Oyo, selanjutnya Formasi Wonosari dan Formasi Kepek
(Gambar 2) .
Struktur geologi. Berdasarkan Sudarno (1997), pola struktur yang berkembang pada
Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu: berarah timurlaut – baratdaya yang
merupakan sesar geser sinistral, berarah utara – selatan yang dominan merupakan sesar geser
sinistral, berarah baratlaut – tenggara yang merupakan sesar geser dekstral, dan berarah barat –
timur yang dominan merupakan sesar turun.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan peta dasar RBI lembar Semin berskala 1:25.000. Dari peta RBI
tersebut kemudian hanya dipakai peta konturnya sebagai peta kerja penelitian, dan juga peta akses
jalan untuk membantu penelitian. Selain itu penelitian ini juga mengacu pada peta geologi lembar
Surakarta berskala 1:100.000 oleh Surono dkk (1992) yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung.
38
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Indeks Geomorfik
Analisa morfometri untuk mengetahui kondisi geologi suatu daerah, termasuk di dalamnya
adalah DAS, dilakukan dengan analisa menggunakan indeks-indeks geomorfik yang ada. Indeks
geomorfik (Gambar 3) yang digunakan pada penelitian ini adalah Transverse Topographic Symmetry
Factor (Indeks T, Stream Length Gradient (Gradien Panjang Sungai / Gradien SL), dan Hypsometric
Curve (Kurva Hipsometri).
1) Indeks T, dirumuskan:
T=
Da
Dd
Da = jarak garis tengah DAS dengan garis sungai dan
Dd = jarak garis tengah DAS dengan garis batas tepi DAS
Perhitungan T digunakan untuk mendeteksi adanya pengangkatan berdasar ketidaksimetrisan
suatu DAS. Untuk DAS yang benar-benar simetri T=0, dan nilainya semakin besar hingga T=1 sesuai
dengan semakin tidak simetrisnya suatu DAS (Keller & Pinter ,1996).
2) Gradien SL (Hack, 1973), rumus:
⎛ ΔH ⎞
SL = ⎜
⎟L
⎝ ΔL ⎠
∆H
∆L
L
= beda tinggi jangkauan titik pengukuran,
= panjang jangkauan titik pengukuran, dan
= panjang total sungai, dari titik atas hingga titik bawah pengukuran
.
Nilai SL dipengaruhi oleh resistensi batuan (Hack, 1973). Semakin resisten batuan, besaran
SL akan cenderung semakin besar. Selain itu, nilai SL juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
adanya pengaruh struktur geologi, dengan melihat anomali nilai SL pada batuan yang sama (Keller &
Pinter ,1996). Sebagai contoh, sepanjang lembah yang terbentuk oleh sesar, nilai SL akan rendah
karena batuan yang ada di lembah akan hancur akibat pergerakan sesar, dan aliran sungai yang
melewati lembah tersebut seharusnya akan memiliki nilai kemiringan lereng yang rendah.
3) Kurva hipsometri (Strahler, 1952) merupakan perbandingan antara beda tinggi relatif dan
luasan relatif DAS. Total luas (A) adalah luas total permukaan horizontal dari DAS tersebut.
Sedangkan nilai luas (a) adalah luas permukaan DAS yang dibatasi oleh kontur datum (elevasi h
tertentu). Sedangkan H adalah nilai selisih tinggi antara titik tertinggi dan titik terendah pada DAS
tersebut. Nilai luas relatif (a/A) selalu 1 pada titik terendah DAS dan pada nilai tinggi relatif (h/H) = 0.
Dan nilai a/A selalu 0 pada nilai h/H = 1. Perhitungan hipsometri tersebut mencerminkan stadia erosi
suatu daerah yang juga dipengaruhi resistensi litologinya. Sehingga dapat digunakan juga untuk
mengidentifikasi adanya perbedaan litologi pada suatu DAS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Geomorfologi DAS Gobeh
Secara morfologi, DAS Gobeh terdapat pada 2 morfologi yang berbeda, yaitu pada morfologi
ceusta dan morfologi dataran bergelombang. Perbedaan morfologi ini dapat teramati langsung
dengan mudah di lapangan maupun pada peta topografi. Morfologi cuesta merupakan morfologi
perbukitan dengan relief kuat yang berada pada bagian utara DAS Gobeh (bagian hulu) yang
ditunjukkan dengan kontur yang rapat pada peta topografi. Morfologi ini tersusun oleh litologi Formasi
Semilir dan Formasi Nglanggran yang kedudukan perlapisannya miring relatif ke selatan. Sedangkan
morfologi dataran bergelombang berada pada bagian selatan DAS Gobeh, atau pada daerah tengah
hingga hilir dari DAS Gobeh, yang memiliki morfologi hampir seluruhnya datar (kontur yang jarang
pada peta topografi). Morfologi ini tersusun oleh litologi Formasi Semilir, Formasi Oyo, dan Formasi
Wonosari.
B. Indeks Geomorfik
1. Indeks T (Transverse Topographic Symmetry Factor)
Berdasarkan penelitian Garrote dkk (2006), analisis indeks T ini baik dilakukan pada sungai
orde 2 dan dapat memberikan interpretasi bidang diskontinyuitas yang terbentuk, baik teramati di
permukaan atau bawah permukaan. Dari pengukuran indeks T, didapatkan peta blok tektonik yang
39
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
masing-masing blok dibatasi oleh bidang diskontinyuitas. Batas dari dua blok atau bidang
diskontinyuitas didapatkan dari perbedaan arah azimuth pengangkatan yang teridentifikasi
berdasarkan pengukuran indeks T. Berdasarkan hal tersebut, didapatkan hasil interpretasi
pembentukan bidang diskontinyuitas berarah utara – selatan hingga baratlaut – tenggara, dan antara
barat – timur hingga timurlaut – baratdaya (Gambar 4).
Hasil pengamatan lapangan menunnjukkan ada kecocokannya dengan hasil interpretasi.
Seperti pada koordinat 463215;9132995 dan koordinat 463499;9133030, kekar yang berkembang
0
0
berarah N 60 E hingga N 80 E. Arah-arah tersebut identik dengan bidang diskontinyuitas hasil
interpretasi yang membatasi antara blok A dengan blok H.
Pada koordinat 464553;9132882, dijumpai kekar berarah N 3200 E hingga N 3400 E. Ini identik
dengan bidang diskontinyuitas hasil interpretasi yang membatasi antara blok G dengan blok H.
Kemudian pada koordinat 464553;9132882, intensif terbentuk kekar berarah N 3200 E hingga
0
N 340 E. Hal tersebut identik dengan bidang diskontinyuitas hasil interpretasi yang membatasi antara
blok G dengan blok H.
2. Gradien SL
Nilai SL pada bagian utara – baratlaut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai SL pada
bagian selatan DAS Gobeh. Nilai SL yang tinggi tersebut (antara 24,98 – 96,32) berada pada Formasi
Semilir dan Formasi Nglanggran, sedangkan nilai SL yang rendah (antara 2,10 – 16,77) berada pada
Formasi Oyo dan Formasi Semilir pada bagian selatan. Berdasarkan nilai SL ini dan pengamatan
lapangan, untuk Formasi Semilir hasil penelitian Surono dkk (2008, komunikasi pribadi) dipisahkan
menjadi Formasi Semilir A dan Formasi Semilir B. Formasi Semilir A memiliki litologi breksi
batuapung, tuf dan batupasir vulkanik, tanpa dijumpai batuan karbonat dan memiliki nilai SL yang
lebih tinggi. Pada Formasi Semilir B dengan litologi perselingan batupasir non-karbonat dengan tuf
dan batupasir karbonat, memiliki nilai SL lebih rendah. Hal ini membuktikan bahwa perbedaan nilai SL
juga mencerminkan perbedaan litologi (Gambar 5).
Selain itu, perbedaan nilai SL pada formasi yang sama, dapat mengidentifikasi adanya
kehadiran struktur. Anomali nilai SL yang lebih rendah (antara 24,96 – 58,93) pada Formasi Semilir A,
dapat mengidentifikasi adanya struktur yang membentuk lembah tersebut. Ini ditunjukkan dengan data
lapangan berupa batuan yang relatif hancur dan pola struktur yang memanjang searah lembah. Hal ini
juga didukung hasil penelitian sebelumnya oleh Surono dkk (1992). Demikian juga dengan anomali SL
yang rendah dengan nilai 13,25 (koordinat 465469; 9134410) pada Formasi Nglanggran yang juga
dapat dihubungkan dengan sesar berarah relatif baratdaya – timurlaut pada daerah penelitian
(Gambar 5).
Indeks T dan SL
Hasil pertampalan antara kedua indeks tersebut (Gambar 6) memberikan hubungan yang
logis. Pada daerah yang dilewati bidang diskontinyuitas, nilai SL cenderung/relatif lebih rendah. Hal ini
dapat dijelaskan dengan bahwa pada daerah yang dilewati suatu struktur (bidang diskontinyuitas),
maka tingkat erosinya akan relatif lebih intensif dibandingkan dengan daerah yang tidak dilewati
struktur. Erosi yang relatif lebih intensif tersebut akan mengakibatkan gradien suatu daerah akan lebih
landai, sehingga memberikan nilai SL yang rendah. Hubungan ini saling memperkuat interpretasi
pada kedua indeks tersebut.
3. Kurva Hipsometri
Dari kurva hipsometrik DAS Gobeh, didapatkan titik pembelokan (break point) dimana pada
titik itu kelengkungan hipsometri berubah. Titik tersebut terdapat pada pengukuran nilai kontur 250 m.
Hal ini menandakan bahwa pada titik/nilai kontur tersebut terdapat perbedaan stadia erosi sehingga
kurva hipsometri tersebut berubah kelengkungannya. Perubahan pada nilai kontur tersebut identik
dengan perubahan formasi pada daerah penelitian, yaitu dari Formasi Semilir A dan Formasi
Nglanggran berubah menjadi Formasi Oyo dan Formasi Semilir B (Gambar 7).
Kurva hipsometri yang dihasilkan dari sungai orde 2 pada DAS Gobeh memberikan hasil yang
identik. Sungai orde 2 yang melewati lebih dari satu formasi batuan, dengan masing-masing cakupan
sebaran formasi yang signifikan, menghasilkan titik pembelokan kurva hipsometri pada perhitungan
nilai kontur datum yang identik dengan batas dua formasi batuan (Tabel 1, Gambar 8). Bahkan pada
sungai orde 2 yang hanya melewati Formasi Semilir A menghasilkan kurva hipsometri yang dapat
dijadikan panduan untuk membedakan satuan batuan pada formasi tersebut (Surono & Adhiani,
2007).
40
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Tabel 1. Tabel Titik Pembelokan Kurva Hipsometri sungai orde 2 DAS Gobeh
Sub-DAS pengukuran
Nilai kontur break point
Perbedaan litologi
Sub-DAS 1
212,5 m
F. Oyo dengan F. Semilir B
Sub-DAS 4
400 m
F. Semilir A dengan F. Nglanggran
Sub-DAS 5
250 m
F. Nglanggran dengan F. Oyo
Sub-DAS 6
300 m
F. Semilir A dengan F. Nglanggran
Sub-DAS 7
500 m
Satuan Batupasir vulkanik-tuf dengan
Satuan Breksi batuapung
Sub-DAS 8
250 m
F. Semilir A dengan F. Oyo
KESIMPULAN
1. Perbedaan jenis dan atau intensitas dari faktor litologi, proses eksogenik dan proses endogenik
akan menghasilkan sifat dan karakteristik morfologi permukaan yang berbeda pula, yang juga
tercermin dari sifat morfometrinya yang dapat dihitung dengan indeks geomorfik.
2. Dari hasil pengukuran indeks T didapatkan bahwa bidang diskontinyuitas yang berkembang pada
daerah penelitian adalah antara utara – selatan hingga baratlaut – tenggara dan antara timur –
barat hingga timurlaut – baratdaya..
3. Hasil perhitungan SL dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan satuan litologi,
dalam penelitian kali ini terutama adalah batuan asal vulkanik dengan batuan yang mengandung
material karbonat (Formasi Semilir A dan Formasi Nglanggran yang bernilai SL 24,98 – 96,32;
dengan Formasi Oyo dan Formasi Semilir B yang bernilai SL 2,10 – 16,77).
4. Perbedaan nilai SL pada formasi yang sama, dapat digunakan untuk mengetahui kontrol struktur
suatu lembah secara cukup signifikan (hasilnya didukung dengan data primer dan sekunder).
5. Dari kurva hipsometri yang dihasilkan pada DAS Gobeh dan masing-masing sub-DAS, dihasilkan
titik perubahan kelengkungan kurva (break point) pada nilai kontur yang identik dengan
perubahan litologi/formasi pada daerah penelitian.
UCAPAN TERIMA KASIH
Keberhasilan penelitian di DAS Gobeh ini tidak terlepas dari bantuan dan diskusi dengan
beberapa pihak. Oleh karena itu penulis perlu menghaturkan rasa terima kasih kepada Komite PHKA3 Jurusan Teknik Geologi FT UGM yang telah membantu mendanai penelitian. Kepada rekan-rekan
Mahasiswa: Jangkung Wibowo, Bonaventura Hari Wibowo dan Rahmadi Hidayat (ketiganya dari
Jurusan Teknik Geologi FT UGM), dan Reza beserta Devina (keduanya dari Jurusan Teknik Geologi
FT UNDIP Semarang), yang telah saling mendukung dan mendiskusikan pemanfaatan Analisis
Morfometri di DAS besar Oyo. Terlebih terima kasih dihaturkan kepada Bapak Dr. Ir. Ev. Budiadi, M.S.
(STT Nasional Yogyakarta) dan Bapak Ir. Prakosa Rachwibowo, M.S. (Jurusan Teknik Geologi UNDIP
Semarang), keduanya telah berkenan memberi masukan konsep-konsep analisis geomorfologi pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bloom, A.L., 1978, Geomorphology, A Systematic Analysis Of Late Cenozoic Landform, Prentice Hall
Inc., Englewood Cliffs New Jersey.
Bothé, A.Ch.D (1929) Jiwo Hills and Southern Range Excursion Guide. IVth Pacific Science Congress,
Java, Bandung, pp. 1-14.
Garrote, J., Cox, R.T., Swann, C., and Ellis, M., 2006, Tectonic Geomorphology of The Southern
Mississippi Embayment in Northern Mississippi, USA, dalam Geological Society of America
Bulletin; September/Oktober 2006; v. 118; no.9/10; p. 1160-1170, USA.
Hack, J.T., 1973, Stream Profile Analysis and Stream-Gradient Index, dalam U.S. Geological Survey
Journal of Research, v.1, p.421-429.
Husein, S. & Srijono, 2007, Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan DIY/Jawa Tengah: Telaah
Peran Faktor Endogenik Dan Eksogenik Dalam Proses Pembentukan Pegunungan, dalam
41
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Kumpulan Makalah Potensi Geologi Pegunungan Selatan Dalam Pengembangan Wilayah,
Pusat Survey Geologi, Bandung.
Keller E.A., 1986, Investigation of Active Tectonics: Use of Surficial Earth Processes,
http://www.nap.edu/openbook.php?record_id=624&page=146
Keller E.A. & Pinter N. 1996, Geomorphic Indices of Active Tectonics, dalam Active tectonics:
Earthquakes, Uplift and Landscapes. Prentice Hall, New Jersey.
Keller E.A. & Pinter N. 1996, Landforms, Tectonic, Geomorphology, and Quternary Chronology, dalam
Active tectonics: Earthquakes, Uplift and Landscapes. Prentice Hall, New Jersey.
Strahler, A.N., 1952, Hypsometric (area-altitude) Analysis of Erosional Topography, dalam Geological
Society of America Bulletin, v. 63, p. 1117-1142.
Sudarno, Ign. (1997) Petunjuk Adanya Reaktifasi Sesar di Sekitar Aliran Sungai Opak, Perbukitan
Jiwo dan Sisi Utara Kaki Pegunungan Selatan. Media Teknik, no. 1, Tahun XIX.
Surono & Adhiani, M.P., 2007, Semilir Formation, Sorthern Mountain As A Result of Huge-Miocene
Explosion, dalam Kumpulan Makalah Potensi Geologi Pegunungan Selatan Dalam
Pengembangan Wilayah, Pusat Survey Geologi, Bandung.
Surono, B. Toha, dan Ign. Sudarno (1992) Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro, Jawa. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Van Bemmelen, R.W., 1970, The Geology of Indonesia, vol. 1A, General Geology of Indonesia and
Adjacent Archipelagoes, 2nd ed., Matinus Nijhoff, The Haque.
42
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Gambar 1. Fisiografi Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat
(modifikasi van Bemmelen, 1970; dalam Husein dan Srijono, 2007)
Gambar 2. Urutan Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat
(Surono dkk, 1992)
Gambar 3. Indeks Geomorfik Yang Digunakan Dalam Penelitian
43
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
(1. Indeks T; 2. Indeks S
L; 3. Kurva hipsometri)
Gambar 4. Peta Blok Tektonik DAS Gobeh
44
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Gambar 4. Peta Blok Tektonik DAS Gobeh
Gambar 5. Pertampalan Peta Geologi dengan Peta Nilai SL DAS Gobeh
45
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Gambar 5. Pertampalan Peta Geologi dengan Peta Nilai SL DAS Gobeh
Gambar 6. Pertampalan Peta Nilai SL dan Peta Blok Tektonik DAS Gobeh
46
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Gambar 7. Perbandingan Peta Litologi dan Break Point Hipsometri DAS Gobeh
47
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Gambar 7. Perbandingan Peta Litologi dan Break Point Hipsometri DAS Gobeh
Gambar 8. Perbandingan Peta Litologi dan Break Point Hipsometri Tiap Sub-DAS
48
Download