ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum

advertisement
TESIS
KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA UMUM DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTI
TUTUM TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN HAK
ASASI TERSANGKA DALAM PEMBAHARUAN
HUKUM ACARA PIDANA
(IUS CONSTITUENDUM)
I DEWA GEDE ANOM RAI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
TESIS
KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA UMUM DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTI
TUTUM TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN HAK
ASASI TERSANGKA DALAM PEMBAHARUAN
HUKUM ACARA PIDANA
(IUS CONSTITUENDUM)
I DEWA GEDE ANOM RAI
NIM : 1296501026
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i
KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA UMUM DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTI
TUTUM TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN HAK
ASASI TERSANGKA DALAM PEMBAHARUAN
HUKUM ACARA PIDANA
(IUS CONSTITUENDUM)
Tesis ini Untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I DEWA GEDE ANOM RAI
NIM : 1296501026
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL, 28JULI 2015
Pembimbing I
(Dr. I Gede Artha, SH.MH)
NIP.19580127 198503 1002
Pembimbing II
(Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya,SH.MH)
NIP. 19620605 198803 1000
Mengetahui :
Ketua Program Studi MagisterIlmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
(Dr.Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH.M.Hum., LLM)
NIP. 19611101 198601 2001
(Prof.Dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S.(K))
Nip. 19590215 198510 2001
iii
Tesis ini Telah Diuji
Pada Tanggal 9 Juli 2015
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor : 2040/UN 14.4/HK/2015 tanggal 7 Juni 2015
Ketua
:
Dr. I Gede Artha, SH.,M.H.
Sekretaris
:
Dr. Ida Bagus Surya Dharmajaya, SH.,M.H.
Anggota
:
Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,Msi
Dr. I Gede Made Swadhana, SH., M.H.
Dr. Ni Ketut Supati Dharmawan, SH.M.Hum.
LLM
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: I Dewa Gede Anom Rai
Program Studi
: Ilmu Hukum
Judul Tesis
: Ketentuan Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana
Umum Dalam Perspektif Ius Constitutum Terkait
Dengan Perlindungan Hak Asasi Tersangka Dalam
Pembaharuan
Hukum
Acara
Pidana
(Ius
Constituendum)
Dengan ini menyatakan bahwa karya tulis ilmiah tesis ini benar-benar bebas dari
Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sangsi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional R.I. Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku.
Denpasar, 28 Juli 2015
Yang Membuat Pernyataan
I Dewa Gede Anom Rai
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul
“Ketentuan Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum Dalam Persepektif Ius
Constitutum Terkait Dengan Perlindungan Hak Asasi Tersangka Dalam
Pembaharuan Hukum Acara Pidana (Ius Constituendum)”
Penyusunan Karya Tulis ini merupakan salah satu kewajiban bagi mahasiswamahasiswi yang menempuh pendidikan Strata 2 ( Pasca Sarjana) dan merupakan
tugas akhir untuk menyelesaian masa studi , oleh karena itu dengan segala
keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang penulis miliki, penulis berusaha menyusun
dan menyelesaikan karya tulis ini dengan segenap kemampuan
yang penulis
miliki.
Ucapan Terima kasih yang sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada :
1. Dr. I Gede Artha, SH.MH selaku Pembimbing I yang telah bersedia
melowongkan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengkoreksi, membimbing,
membina, memberi saran-saran, masukan dalam rangka penulisan Karya Ilmiah
(tesis) sejak penulisan proposal sampai dengan selesainya tulisan ini.
2. Dr. Ida Bagus Surya Dharmajaya, SH. M.H. selaku Pembimbing II yang juga
telah bersedia melowongkan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengkoreksi,
membimbing, membina, memberi saran-saran, masukan dalam rangka penulisan
Karya Ilmiah (tesis) sejak penulisan proposal sampai dengan selesainya tulisan
ini.
3. Prof. Dr.dr. I Ketut Suastika, Sp.PD., Kemd. selaku Rektor Universitas Udayana
4. Pro. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi Sp.S (K) selaku Direktur Program Pascasarjana
(S-2) Ilmu Hukum Universitas Udayana
5. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH. M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Udayana
6. Dr. Ni. Ketut Supasti Dharmawan, SH.M.Hum. LLM selaku Ketua Program
Studi Magister Ilmu Hukum (S-2) Universitas Udayana
vi
7. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.MH. selaku Sektretaris Program Studi
Fakultas Hukum Universitas Udayana
8. Dr. I Gusti Ketut Aryawan, SH. MH. selaku Pembimbing Akademik
9. Seluruh Pegawai pada Sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum (S-2)
Fakutas Hukum Universitas Udayana, yang telah mencurahkan tenaga, pikiran
dan pengetahuan dan bimbingan
serta pelayanan
administrasi selama
perkuliahan dan penulisan Karya Ilmiah (Tesis) ini
10. I Dewa Made Raka, ayah ( Alm) dan I Dewa Ayu Made Oka (Ibu) selaku orang
tua, I Dewa Ayu Nyoman Raka W. ( Alm) kakak, I Dewa Ayu Putu Oka Sasih
dan I Dewa Ayu Made Supraningrat ( Adik). Ni Kadek Yudiantari, Amd.Keb.
(Istri) serta kedua putri tersayang I Dewa Agung Ayu Nirmala Karini dan I
Dewa Agung Ayu Sita Diah Mahaswari, serta Bapak – Ibu Mertua masingmasing dengan penuh semangat memberi dorongan moril, materiil, serta doa
sehingga seluruh akvitas perkuliahan sampai pada penyelesaian Karya Ilmiah
(Tesis) ini dapat berjalan dengan baik dan lancar.
11. Seluruh Pimpinan dan rekan sejawat di Kejaksaan Tinggi Bali yang telah
memberi dorongan semangat /moril sehingga aktivitas perkuliahan dan
penyelesaian Karya Ilmiah (Tesis) dapat berjalan dengan lancar.
12. Teman-teman kuliah yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang juga
telah memberi dorongan semangat / moril selama perkulihan sampai pada
penyelesaian Tesis ini
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam tulisan ilmiah (Tesis)
ini
masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan – kekurangan yang harus
diperbaiki. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan bimbingan dari para
pembimbing / Dosen serta masukan dari pembaca baik yang berupa kritik ataupun
saran yang bersifat membangun dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan karya
tulis dimasa yang akan datang .
vii
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf jika dalam
tulisan ini banyak terdapat kesalahan dan/atau kekurangan-kekurangan, serta
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga disertai harapan karya tulis (Tesis )
ini dapat diterima dan dijadikan bahan pertimbangan kelulusan Magister Ilmu
Hukum.
Denpasar, 28 Juli 2015.
Penulis
viii
ABSTRAK
Fenomena penegakan hukum pidana dewasa ini semakin kehilangan arah
bahkan dinilai telah mencapai titik terendah, masyarakat pencari kadilan
mengeluhkan proses penyidikan tindak pidana ( umum) yang prosesnya berbelitbelit, berlarut-larut bahkan tidak ada ujung penyelesaianya, keadaan ini jelas tidak
memberi kepastian hukum, keadilan serta menfaat dalam penegakan hukum terlebih
lagi akan terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersangka, salah satu penyebab
keadaan tersebut adalah tidak adanya ketentuan batas waktu penyidikan
(kekosongan norma), yang memberi kesempatan kepada penyidik
untuk
menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya, berkenaan dengan hal tersebut
penulis mengangkat judul tesis “Ketentuan Batas Waktu Penyidikan Tindak
Pidana Umum Dalam Persepektif Ius Constitutum Terkait Dengan Perlindungan
Hak Asasi Tersangka Dalam Pembaharuan Hukum Acara Pidana (Ius
Constituendum) ”.
Penelitian dalam tesis ini menggunakan metode deskriptif normatif,
dilakukan untuk mencari jawaban atas permasalahan : Bagaimana ketentuan
batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan perlindungan hak
asasi tersangka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)?
dan Bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana
umum dalam hukum acara pidana yang akan datang ?.
Hasil penelitian kepustakaan, diperoleh jawaban atas permasalah tersebut
yaitu : Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Ius Constitutum) tidak
diatur mengenai ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum secara
tegas sehingga banyak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi tersangka dan
pembaharuan hukum acara pidana yang akan datang ( Ius Constituendum)
seharusnya mengatur mengenai batas waktu penyidikan tindak pidana umum secara
tegas dan pasti, serta mengatur mengenai penegakan, perlindungan dan pemenuhan
hak asasi tersangka, korban maupun saksi pada umumnya .
Untuk mewujudkan tindakan penyidikan yang memiliki kepastian hukum,
mencerminkan keadilan serta penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi
manusia (tersangka, korban dan saksi ) .
Kata Kunci :
waktu penyidikan, hak asasi tersangka, ius contitutum dan ius
constituendum .
ix
ABSTRACT
The phenomenon of criminal law enforcement today is increasingly
disoriented and even considered to have reached its lowest point, the community
searching for justice complained about the (general) criminal investigation process
which is very complicated, protracted even with no completed end, this situation do
clearly not provide legal certainty, justice and usefulness of law enforcement
moreover, there will be a violation of the rights of the suspects, one of the causes of
this situation being the absence of time limit specification for the investigation (void
norm), which gives an opportunity to the investigator for abusing his authority, with
respect to this the writer raised the title of the thesis “The Specification of Time
Limit for General Crime Investigation Relating to the Protection of Rights of
Suspects in The Code of Criminal Procedure Reform”.
The research in this thesis used descriptive normative method, carried out to
find the answer to the problem: How is the specification of time limit for general
criminal investigations associated with the protection of human rights of suspects in
the Code of Criminal Procedure (KUHAP) ? and How should the setting of
deadlines of general investigation of criminal offenses be like in the criminal law
procedure in the future?
The results of the library research obtained answers to these problems,
namely: In the Code of Criminal Procedure (Ius Constitutum) there is no regulation
regarding the time limit for general criminal investigation, resulting in the violent
of a number of rights of suspects and
The future Code of Criminal
Procedure should set a time limit for the investigation of (general) criminal
investigation firmly so that it gives more legal certainty, and ensures the protection,
enforcement of human rights (suspects, victims and witnesses in general).
To realize investigation actions which have legal certainty reflects the
fulfillment of justice and provide the enforcement and protection of human rights
(suspects, victims and witnesses).
Keywords: investigation time, human rights of suspects, ius constitutum, ius
constituendum.
x
RINGKASAN
Ringkasan ini disajikan dalam bentuk garis besar dari keseluruhan tulisan
dalam tesis, yang pada pokoknya sebagai berikut :
Tesis ini mengangkat judul
“ Ketentuan Batas Waktu Penyidikan Tindak
Pidana Umum Dalam Persepektif Ius Constutum Terkait Dengan Perlindungan Hak
Asasi Tersangka Dalam Pembaharuan Hukum Acara Pidana ( Ius Constituendum)”
tulisan ini dibagi dalam 5 (lima) Bab, dengan ringkasan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, berisikan uraian mengenai Latar Belakang Penelitian,
yaitu banyak terjadi penangana penyidikan perkara tindak pidana umum yang
memakan waktu berlarut-larut, sehingga menimbulkan ketidak percayaan
masyarakat terhadap penegakan hukum, tidak memberi kepastian hukum, rasa
keadilan, serta pelanggaran terhadap hak-hak tersangka; Rumusan Masalah, Ruang
Lingkup Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Orisinalitas Tesis,
Landasan Teori dan Kerangka Berpikir, landasan teori meliputi Asas-Asas, Konsep
Hukum Teori Hukum seperti Teori Sistm Peradilan Pidana, Teori Pembentukan
Hukum, Teori Penemuan Hukum, Teori HAM Bidang Hukum, Teori Kebijakan
Hukum Pidana, dan
Teori Kepastian Hukum, Kerangka Berpikir, Metode
Penelitian, Jenis Penelitian, Jenis Pendekatan, Sumber Bahan Hukum, Teknik
Pengumpulan Bahan Hukum, Teknik Analisis.
Bab II menguraikan mengenai Tinjauan Umum Tentang
Penyidikan Tindak
Pidana
Batas Waktu
Umum Dan Perlindungan Hak Asasi Tersangka,
Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Pengertian Waktu Dikaitkan Dengan Hukum
Pidana, Pengertian Tindak Pidana atau Peristiwa Pidana, Pengertian Hukum Acara
Pidana, Pengertian Penyidikan Tindak Pidana Umum, Perlindungan hak Asasi
Tersangka, Pengertian hak Asasi Manusia, Hak Asasi Tersangka dan pengertian
Pembaharuan Hukum Acara Pidana.
Bab III Menyajikan Pembahasan terhadap Permasalahan 1 dari rumusan
masalah dengan judul Bab “Ketentuan Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana
Umum Dalam Persepektif Ius Constitutum Terkait Dengan Perlindungan Hak Asasi
xi
Tersangka”, secara ringkas bab ini membahas Ketentuan Batas Waktu Penyidikan
Perkara Tindak Pidana Umum
Dalam Persepektif Sistem Peradilan Pidana,
Kepastian Hukum Penyidikan Perkara Tindak Pidana Umum Dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Selesainya Proses Penyidikan Perkara
Tindak Pidana umum, Teori Hak Asasi Manusia Dalam Rangka Penegakan Hak
Asasi Tersangka Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia, Hak Asasi Tersangka
Dalam Persepektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Ius Constitutum),
Kewajiban Pemerintah Untuk Penegakan, Penghormatan Dan Pemenuhan Hak Hak
Tersangka Pada Tahap Penyidikan Tindak Pidana Umum.
Bab IV menguraian menganai pembahasan atas permasalah 2 dengan judul
Bab. “Pengaturan Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum Dalam Hukum
Acara Pidana Dari Persepektif Ius Constituendum”. Secara ringkas diuraikan bahwa
setelah dilakukan penelitian terhadap ketentuan KUHAP yang tidak mengatur
mengenai batas waktu penyidikan tindak pidana umum, dalam rangka mewujudkan
kepastian hukum dan perlindungan, penegakkan dan pemenuhan hak-hak asasi
tersangka termasuk didalamnya perlindungan terhadap hak-hak korban dan saksi
pada umumnya, maka dipandang perlu dan mendesak dilakukan penyempurnaan
atau perubahan terhadap KUHAP baik secara menyeluruh maupun bagian-bagian
tertentu dan diharapkan dalam hukum acara pidana yang akan datang mengatur
ketentuan batas waktu penyidikan secara tegas dan pasti serta lebih detail mengatur
mengenai perlindungan dan penegakan hak-hak asasi tersangka, korban dan saksi
pada umumnya.
Bab V merupakan Bab Penutup yang berisikan simpulan dan saran.
Simpulan 1. Sebagai dasar pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) belum mengatur mengenai batas waktu
penyidikan dalam tindak pidana umum, keadaan ini membawa akibat terjadinya
ketidak pastian hukum serta memberi kesempatan bagi aparat untuk bertindak
sewenang-wenang serta terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersangka / terdakwa
termasuk juga saksi , 2. Pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum
dalam hukum acara pidana yang akan datang (Ius Constituendum) dirumuskan
xii
secara tegas dan pasti berdasarkan kwalifikasi berat atau ringan perkara yang
ditangani demi terwujudnya kepastian hukum.
Sedangkan yang menjadi saran dari penulis adalah sebagai berikut :1. Untuk
mewujudkan proses peradilan yang benar sesuai ketentuan hukum yang berlaku
(due process model), maka Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
sebagai dasar pelaksanaan sistem peradilan pidana perlu segera diperbaharui /
disempurnakan baik secara total atau parsial, agar
proses penanganan perkara
(penyidikan) ditentukan batas waktunya secara tegas dan pasti, untuk mewujudkan
kepastian hukum serta menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh
aparat penegak hukum (penyidik) dan sebagai wujud kewajiban negara cq.
pemerintah untuk pemenuhan, perlindungan hak-hak asasi manusia (tersangka/
terdakwa maupun saksi). 2. Agar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (RUU-KUHAP) yang sedang dibahas DPR RI bersama Pemerintah , yang
telah merumuskan ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum secara
tegas dan pasti serta lebih memberi perlindungan, pemenuhan
hak asasi
tersangka/terdakwa, saksi segera dapat disahkan menjadi undang-undang sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL DEPAN...........................................................................
i
HALAMAN SAMPUL DALAM.................................................................. .......
ii
LEMBAR PENGESAHAN................................................ ..................................
iii
HALAMAN
PENGUJI.......................................................................................... ....................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.............................................. .......
v
UCAPAN TERIMA KASIH.................................................................................
vi
ABSTRAK ...........................................................................................................
ix
ABSTRACT..........................................................................................................
x
RINGKASAN ............................................................................................... .......
xi
DAFTAR ISI.........................................................................................................
xiv
BAB I. PENDAHULUAN...................................................................................
1
1.1. Latar Belakang Masalah. ..................................................................
1
1.2. Rumusan Masalahan........................................................................
8
1.3. Ruang Lingkup Masalah ………………………….. ......................
8
1.4. Tujuan Penelitian ..................................................................... .......
8
1.5. Manfaat Penelitian ………….. .......................................................
9
1.5.1. ManfaatTeoritis................................................................
1.5.2. Manfaat Praktis ....................................................................
1.6. Orisinalitas ......................................................................................
xiv
.
9
9
10
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir .......................................
1.7.1.
10
Asas Asas Hukum Yang Berkaitan Dengan Tindakan
Penyidikan Dalam tindak pidana .......................................
11
1.7.2.
Teori Sistem Peradilan Pidana....................................... ....
15
1.7.3.
Teori Pembentukan Hukum (Perundang-Undangan).. .......
19
1.7.4.
Teori Penemuan Hukum.....................................................
22
1.7.5.
Teori
Hak
Asasi
Manusia
(HAM)
Bidang
Hukum........ ........................................................................
25
1.7.6.
Teori Kebijakan Hukum Pidana ........................................
28
1.7.7.
Teori Kepastian Hukum ..................................................
31
1.7.8.
Kerangka Berpikir .............................................................
35
1.8. Metodelogi Penelitian .....................................................................
36
1.8.1.
Jenis Penelitian ...................................................................
36
1.8.2.
Jenis Pendekatan ................................................................
37
1.8.3.
Sumber Bahan Hukum .......................................................
38
1.8.4.
Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum ................................
39
1.8.5.
Tehnik Analisis ................................................................
.39
BAB II. BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
UMUM DAN PERLINDUNGAN
HAK ASASI
TERSANGKA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM
ACARA PIDANA ................................................................................
40
2.1. Batas waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum.............................
40
2.1.1. Pengertian Waktu Dikaitkan Dengan Hukum Pidana...... ..
40
2.1.2. Pengertian Tindak Pidana atau Peristiwa Pidana....... ........
41
2.1.3. Pengertian Hukum Acara Pidana ......................................
44
2.1.4. Pengertian Penyidikan Tindak Pidana Umum ..................
45
2.2. Hak Asasi Manusia Dan Hak Asasi Tersangka. .............................
52
2.2.1. Pengertian Hak Asasi Manusia...........................................
52
2.2.2. Hak Asasi Tersangka..........................................................
61
2.2.3. Pembaharuan Hukum Acara Pidana ..................................
62
xv
BAB III. KETENTUAN
BATAS
WAKTU
PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA UMUM DALAM PERSEPEKTIF IUS
CONSTITUTUM TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN
HAK ASASI TERSANGKA . ............................................................
64
3.1. Ketentuan Batas Waktu Penyidikan Perkara Tindak
Pidana Umum
Dalam Persepektif Sistem Peradilan
Pidana ........................................................................................
64
3.1.1. Kepastian Hukum Penyidikan Perkara Tindak Pidana
Umum Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) ..........................................................
72
3.1.2. Selesainya Proses Penyidikan Perkara Tindak Pidana
umum ............................................................................
88
3.2. Teori Penegakan dan penghormatan Hak Asasi Tersangka
Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia ……………….........
3.2.1. Hak Asasi Tersangka Dalam Persepektif
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
Kitab
(Ius
Constitutum)…………………………………………...
3.2.2. Kewajiban
Pemerintah
Untuk
96
100
Penegakan,
Penghormatan Dan Pemenuhan Hak Hak Tersangka
Pada
Tahap Penyidikan Tindak Pidana Umum
………............................................................................
106
3.2.3. Proses Pembentukan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana .................................................................
BAB IV.
113
PENGATURAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA UMUM DALAM PEMBAHARUAN HUKUM
ACARA PIDANA ( IUS CONSTITUENDUM ).......................... ...
xvi
115
4.1. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Polilicy) Dalam Upaya
Mengatasi Kekososngan Batas Waktu Penyidikan Tindak
Pidana Umum ........................................................................
115
4.2. Pembentukan Perundang-Undangan Hukum Acara Pidana
Terkait Dengan Kebijakan Penghormatan Dan Pemenuhan
Hak Asasi Tersangka Dalam Penyidikan Perkara Tindak
Pidana Umum .........................................................................
117
4.2.1.Penemuan Hukum Dalam Rangka Pembaharuan
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
Khususnya Mengenai Penyidikan Tindak Pidana
Umum………… ............................................................
4.2.2.Pembaharuan
120
Kitab Undang-Undang Hujkum
Acara Pidana Dalam Bidang Penyidikan Perkara
Tindak Pidana Umum ...................................................
124
4.3. Pengaturan Hak Asasi manusia Dalam Pembaharuan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Pada Bidang
Penyidikan Tindak Pidana Umum................................... .......
134
4.4. Upaya Mengisi Kekosongan Hukum Dalam KUHAP
Khususnya Pada Tahap penyidikan Perkara Pidana Umum
.................................................................................................
140
4.5. Beberapa Ketentuan Perundang - Undangan Republik
Indonesia
Yang
Menerapkan
Batas
Waktu
Proses
Penyidikan...............................................................................
144
BAB V. PENUTUP .............................................................................................
153
5.1 Simpulan ..................................................................................
153
5.2 Saran ........................................................................................
153
DAFTAR SINGKATAN
DAFTAR PUSTAKA
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang masalah
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 (Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 1981 Nomor 76) sudah berusia lebih dari tiga puluh
tahun, sebagai pedoman umum dalam penanganan perkara tindak pidana secara
garis besar telah mengatur mengenai tugas dan kewajiban aparat penegak hukum
serta hak-hak bagi warga negara yang terlibat masalah hukum pidana, dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur mengenai tahapan
penanganan perkara yang dibagi dalam tahap Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan
Persidangan, Upaya Hukum dan tahap Eksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah
diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan
perkara.
Pembagian tugas aparatur penegak hukum dalam menjalankan fungsi, tugas
dan wewenang dibagi secara tegas dalam KUHAP, antara lain Penyidik diberi
wewenang untuk melakukan penyidikan, Jaksa/Penuntut Umum diberi wewenang
untuk melakukan pra penuntutan dan penuntutan, melaksanakan penetapan serta
melaksanakan putusan pengadilan, Hakim diberi wewenang untuk mengadili/
memeriksa dan memutus perkara, sedangkan Lembaga Pemasyarakatan diberi
wewenang melakukan pembinaan terhadap para nara pidana. Kemudian dengan
lahirnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara
tahun 2003 Nomor 49), selain adanya aparat penegak hukum seperti tersebut dalam
KUHAP maka berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 tahun 2003
“Avokat berstatus sebagai
penegak hukum
bebas dan … “ sehinga lembaga
penegak hukum bertambah satu lagi yaitu Advokat/Penasehat Hukum
mempunyai
tugas
dan
wewenang
memberi
tersangka/terdakwa.
1
bantuan
hukum
yang
terhadap
2
Tujuan dibentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah
untuk memperbaiki sistem peradilan pidana Indonesia yang merupakan peninggalan
pemerintah kolonial menjadi sistem peradilan yang berjiwa dan bersumber kepada
sendi-sendi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengkodifikasi hukum
acara pidana yang tersebar dalam berbagai perundang-undangan. Bahwa hukum
acara pidana yang berlaku sebelum disahkanya Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 adalah hukum acara pidana peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda yaitu
Herzien Indlandsch Reglement
(HIR)
konkordansi sebagaimana diatur dalam
yang diadopsi
berdasarkan asas
ketentuan Pasal II Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 19451, kemudian ditetapkan berlaku di Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946. Dalam hukum acara pidana
peninggalan pemerintah kolonial tersebut walaupun telah dilakukan perubahanperubahan secara parsial, namun pengaturan hak-hak tersangka/ tertuduh belum
mendapat tempat yang layak, karena prinsip
dari HIR adalah
menempatkan
tertuduh sebagai obyek pemeriksaan dan mengejar pengakuan atas kejahatan yang
dituduhkan, sehingga aparat penyidik dapat berlaku dengan sewenang-wenang
untuk mendapat pengakuan atas kesalahan yang dilakukan oleh tertuduh sehingga
upaya paksa, seperti penyiksaan, penekan fisik maupun fisikis seolah-olah adalah
tindakan yang legal untuk memperoleh pengakuan tertuduh. Dalam HIR pengakuan
dan perlindungan tehadap-hak-hak tertuduh
terutama dalam tahap pemeriksaan
permulaan hampir tidak ada.
Penanggulangan tindak pidana (kejahatan) dengan Sistem Peradilan Pidana
yang bertumpu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
sebagai pengganti HIR yang telah membagi tugas dan wewenang aparatur penegak
hukum secara tegas, namun dalam menjalankan fungsi tugasnya masing-masing
aparat pengak hukum tetap melakukan koordinasi (kerja sama) yang berkelanjutan,
sebagai satu kesatuan sistem peradilan . Adapun tujuan utama penanggulangan
kejahatan dengan Sistem Peradilan Pidana adalah :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
1
Dimyati, Khudzaifah, 2004,, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhamadyah University Pers, Surakarta, hal. 4
3
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatan 2.
Dilihat dari tata cara
(hukum formil) penanganan pekara tindak pidana
dalam praktek dibedakan atas :
1. Perkara Tindak Pidana umum, yaitu jenis perkara tindak pidana yang proses
pemeriksaanya semata-mata berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2. Perkara Tindak Pidana Khusus, yaitu jenis perkara tindak pidana yang dalam
perundang-undangannya didsamping mengatur ketentuan hukum materiil juga
mengatur hukum acara pidana
secara khusus disamping juga secara umum
tetap berpedoman kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), seperti penanganan perkara tindak pidana korupsi, penanganan
perkara tindak pidana HAM berat, tindak pidana perikanan dan lain-lain.
Pelaksanaan penanggulangan kejahatan yang berlandaskan kepada Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentu tidak boleh mengabaikan
perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia khususnya bagi
warga negara yang terlibat masalah hukum pidana, secara garis besar Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
telah mengatur mengenai
perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 50 sampai dengan Pasal 74 KUHAP. yang pada pokoknya menentukan :
hak-hak tersangka seperti hak segera diperiksa (diambil keterangan) oleh penyidik,
hak mengetahui atas tindak pidana yang disangkakan kepada dirinya,
hak
memberikan keterangan secara bebas, hak mendapat bantuan hukum, hak mendapat
bantuan juru bahasa,hak menghubungi penasehat hukum, menerima kunjungan
dokter, hak menerima kunjungan keluarga, hak mengirim dan menerima surat dari
penasehat hukum dan keluarga, hak menerima kunjungan rohaniwan, hak
mengajukan saksi – ahli yang menguntungkan, hak menuntut ganti rugi, hak
dihubungi oleh penasehat hukum dan pendampingan , hak mendapat turunan berita
acara pemeriksaan .
2
Ibid, hal 74-75
4
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai karya besar
Bangsa Indonesia yang merupakan pedoman umum dalam penanganan perkara
tindak pidana
secara teori maupun praktek ternyata masih banyak terdapat
kekurangan dan kelemahan, baik karena rumusan pasal yang kurang jelas,
terjadinya tumpang tindih ketentuan maupun adanya kekosongan norma, sehingga
memerlukan berbagai penafsiran dalam pelaksanaanya baik oleh kaum praktisi,
akademisi serta kalangan penegak hukum. Keadaan yang demikian itu memberi
peluang kepada aparat penegak hukum dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk
dapat bertindak sewenang-wenang, dan masyarakat mulai merasa tidak puas atas
jalannya penegakan hukum di negeri kita yang dipandang tidak memberi kepastian
hukum, rasa keadilan, serta manfaat yang optimal.
Mhd.Shiddiq Tgk Armia menyatakan “ memang akhir-akhir ini banyak
komentar dari pakar, tokoh masyarakat, tokoh politik, bahkan juga para birokrat,
bertalian dengan kondisi bagian-bagian dari sistem peradilan pidana. bahkan juga
semakin gencar dan tajam suara-suara yang mengatakan, penegakan hukum dewasa
ini sudah sampai pada titik terendah”3. Pernyataan pesimistis masyarakat pada
dasarnya menghendaki segera dilakukannya perbaikan / penyempurnaan dari pada
sistem peradilan pidana termasuk substansi hukumnya disamping juga masalah
struktur hukumnya4. Sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang
moder dan komplek, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang semakin mutakhir dan tuntutan akan pemajuan, perlindungan dan pemenuhan
terhadap hak asasi manusia dalam bidang hukum, sosial maupun ekonomi, sangat
mudah diucapkan dan sulit untuk dilaksanakan yang disebabkan ketidaksempurnaan
dari hukum acara pidana dan sikap mental dari aparatur penegak hukum itu sendiri.
Aparatur penegakan hukum dalam praktek sampai saat ini masih menunjukan
sikap arogansi dan fragmentaris atas kewenangan yang dimiliki masing-masing,
dalam tahap penyidikan perkara sering terjadi tarik menarik antara kewenangan
penyidik Polri dengan penyidik PPNS yang pada ujungnya menjadi korban adalah
3
Armia, Mhd. Sidiq Tgk., Op.Cit, hal. 85
4
Sujata, Antonoius, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta, hal.39.
5
masyarakat pencari keadilan termasuk di dalamnya tersangka. Keadaan prilaku
aparat penegak hukum tersebut disoroti oleh Ronald D. Dworkin, yang menyatakan:
…ada sejumlah besar fenomena, maka hati kecil kita, apakah itu hati kecil
penyidik, hati kecil jaksa atau hati kecil pengacara, sulit mengakui bahwa
sejak sejumlah tahun terakhir ini yang namanya proses penegakan hukum
telah kehilangan fondasinya yaitu prinsip moral, sehingga sah kiranya,
apabila disimpulkan bahwa sejak sejumlah tahun terakhir ini profesi hukum
dan proses penegakan hukum dilanda demoralisasi. Dalam proses
demoralisasi itu, maka tidak heran bilamana pepatah kuno China yang
berbunyi “It’s better to enter the mounth of tiger then a court of law” kian
lama kian dirasakan kebenaranya5
Penyidikan suatu perkara dihitung sejak mulai penyidik memberitahukan
tindakan penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum banyak yang belum/tidak
ditindak lanjuti dengan pengiriman berkas perkara tahap pertama dalam waktu lebih
dari 6 (enam) bulan bahkan 1(satu) tahun, penyelesaian perkara tidak berdasarkan
urutan masuknya laporan /pengaduan atau kejadian, marak terjadi mafia peradilan.
Atas tindakan penyidik tersebut masyarakat yang merasa tidak puas atas kinerja
penyidik melakukan upaya-upaya seperti membuat laporan/pengaduan kepada
atasan penyidik, kepada Komisi Kepolisian Nasional ( Kompolnas) mengenai
kinerja penyidik dalam penanganan perkara. Keadaan tersebut juga bisa memicu
masyarakat ingin
menyelesaikan kasus dengan cara-cara diluar hukum (main
hakim sendiri) bila menjadi korban atau menemui suatu tindak pidana, karena
ketidak percayaanya tehadap kinerja aparat penyidik.
Diwilayah
hukum
Kejaksaan
Tinggi
Bali
ditemukan
permasalahan
penanganan perkara pada tahap penyidikan yang berlarut-larut dan berakibat tidak
memberikan kepastian hukum, rasa keadilan sehingga pihak-pihak terkait dalam
perkara tersebut merasa tidak puas atas kinerja penyidik, seperti :
1. SURYATIN
LIJAYA, SH selaku kuasa dari H MADRAIS dkk berdasarkan
surat pengaduan Nomor 04/SL/XI/2013 tanggal 25 Nopember 2013 telah
melaporkan kinerja aparat penegak hukum dalam penangan perkara dugaan
tindak pidana penggelapan dan penipuan atas nama tersangka Putu Surya Jaya,
dkk. bahwa laporan tentang dugaan tindak pidana penipuan tersebut sudah
5
D.Dworkin, Ronald, dalam Buletin KHN, 2002, Demokrrasi dan Rekruitmen serta
Pembinaan Profesi Hukum, Edisi Juni, Jakarta, hal. 14
6
dilaporkan sejak tahun 2012 ke penyidik Polda Bali, namun sampai tahun 2014
penyidikan perkara tersebut belum selesai. (SPDP) Nomor :B/41/II/2012/Dit.
Reskrimum tangal 21 Pebruari 2012
atas nama tersangka Putu Surya Jaya,
dkk. diterima di Kejati Bali tanggal 30 Oktober 2012
2. JACOB ANTOLIS, SH. MH.MM adalah kuasa dari RITA KISHORE KUMAR
PRIDHANI, melaporkan mengenai penanganan perkara pada tahap penyidikan
yaitu klien pelapor telah melaporkan permasalah hukum tersebut ke pihak
Kepolisian Polda Bali sejak tanggal 25 Juni 2011 yang diterima di Polda Bali
tanggal 25 Juni 2011 sesuai Bukti Surat Laporan Polisi Nomor : Pol.
LP/233/VI/2011/Bali/Dit.Reskrim tanggal 25 Juni 2011, namun sampai tahun
2014 belum ada tindak lanjut penyelesaian kasusnya. SPDP perkara tersebut
telah
dikirim
oleh
Penyidik
Polda
Bali
sesuai
surat
Nomor
B/242/XII/2011/Dit.Reskrimum tanggal 15 Desember 2011.
H.R.Abdussalam (mantan penyidik) menyajikan data penyelesaian penanganan
beberapa perkara sebagai berikut :
a. Perkara pencurian kendaraan bermotor penyelesaian melalui proses
hukum sampai memperoleh kekuatan hukum tetap hanya mencapai
5(lima) persen, sedangkan selebihnya banyak yang dilaporkan oleh
masyarakat namun penyelesaianya tidak ada kepastian.
b. Kasus tindak pidana penggelapan penyelesaian perkara dalam proses
hukum hanya mencapai 30% (tiga puluh) persen sedangkan sisanya ada
yang dihentikan dan ada juga yang berlarut-larut tanpa kepastian hukum6.
Penanganan penyidikan perkara tindak pidana umum diawal tahun 2015
kembali memperlihatkan ketidak pastianya, antara lain dalam penyidikan perkara:
1. Penanganan perkara tindak pidana umum atas nama tersangka B.W. .(Wakil
Ketua KPK non aktif) yang bersangkutan disangka melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 KUHP, BW telah ditetapkan sebagai
tersangka oleh penyidik sejak bulan Januari 2015, setelah proses penyidikan
berlangsung kurang lebih 2 bulan, pihak penyidik menyatakan penyidikan kasus
tersebut ditunda penanganannya sampai waktu yang tidak ditentukan.
2. Penanganan perkara tindak pidana umum atas nama tersangka A.S.(Ketua KPK
non aktif) yang bersangkutan disangka melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 263 KUHP, A.S. ditetapkan sebagai tersangka sejak
6
Ibid. hal 684-685
7
bulan Pebruari 2015 setelah penyidikan berlangsung kurang lebih satu bulan
penyidik menyatakan penyidikan perkara tersebut ditunda sampai bataas waktu
yang tidak ditentukan
Bahwa penundaan proses penyidikan perkara atas nama tersangka B.W. maupun
tersangka A.S. tidak ditentukan batas waktunya oleh penyidik dan tidak pernah
disampaikan alasan penundaan perkara tersebut apakah kurang alat bukti atau
karena sebab lain.
Penetapan B.W. maupun A.S. sebagai tersangka oleh penyidik telah
menimbulkan perampasan sejumlah hak dari tersangka, diantaranya menduduki
jabatan tertentu (mencari pekerjaan). Selanjutnya dengan dilakukan penundaan
proses penyidikan yang tidak dibatasi waktu tersebut sudah dipastikan juga
merampas sejumlah hak-hak tersangka seperti, hak untuk segera diajukan ke
penuntut umum, untuk selanjutnya oleh penuntut umum segera diajukan ke
persidangan, hak melakukan pembelaan. Dengan status tersangka yang disandang
oleh B.W. maupun A.S. maka hak yang bersangkutan untuk maju ke panggung
politik juga terampas.
Terjadinya penanganan perkara pidana (umum) yang berlarut-larut khususnya
pada tahap penyidikan disebabkan karena dalam ketentuan hukum acara pidana (
KUHAP) terjadi kekosongan hukum ( vacuum of law) yaitu tidak adanya ketentuan
batas waktu berapa lama proses penyidikan perkara tindak pidana (umum) harus
diselesaikan dan oleh karena itu KUHAP harus segera direvisi atau diperbaharui
dan dalam hukum acara pidana yang akan datang ( Ius Constituendum) diatur
secara tegas mengenai batas waktu penyidikan perkara tindak pidana umum serta
lebih memperhatikan masalah perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi
tersangka, saksi korban maupun saksi-saksi pada umumnya.
Memperhatikan berbagai permasalahan hukum yang terjadi dalam proses
penanganan perkara tindak pidana
pada tahap penyidikan,
perhatian penulis untuk mengangkat judul
cukup menarik
tesis, “ KETENTUAN BATAS
WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DALAM PERSPEKTIF
IUS CONSTITUTUM TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN HAK ASASI
TERSANGKA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA (IUS
CONSTITUENDUM) ”
8
1.2. Rumusan masalah
Dari
uraian latar belakang masalah seperti tersebut diatas penulis dapat
merumuskan permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana
ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait
dengan perlindungan hak asasi tersangka dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)?
b. Bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum
dalam hukum acara pidana yang akan datang ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Dalam setiap penulisan tesis diperlukan adanya suatu ketegasan tentang
materi yang diuraikan, hal ini dimaksudkan untuk membatasi agar materi yang
dibahas tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka ruang lingkup yang
akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
Dalam hubungannya dengan permasalahan pertama,
pengaturan batas waktu
penyidikan
dibahas mengenai
tindak pidana umum terkait dengan
perlindungan hak asasi tersangka dalam KUHAP; Sedangkan dalam permasalahan
kedua, membahas mengenai bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu
penyidikan tindak pidana umum dalam hukum acara pidana yang akan datang.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan umum (het doel van onderhoek) berupa upaya peneliti untuk
pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma “ science as a process” ilmu
sebagai proses. Adapun tujuan umum dari tulisan ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan
perlindungan hak asasi tersangka dalam KUHAP maupun dalam pembaharuan
hukum acara pidana .
9
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk meneliti dan menganalisa
ketentuan waktu penyidikan perkara tindak pidana umum dalam KUHAP serta
kaitannya dengan perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi tersangka,
serta bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan perkara tindak
pidana umum dalam hukum acara pidana yang akan datang .
1.5. Manfaat Penelitian
Bahwa dalam setiap penelitian ilmiah sudah pasti ada hal-hal yang bermanfaat
yang ingin dicapai baik oleh peneliti sendiri maupun bagi masyarakat umum,
khususnya yang bersinggungan dengan hal-hal yang diteliti, adapun manfaat
penelitian meliputi :
1.5.1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
terhadap pengembangan ilmu pengetahuan hukum
pidana, berkaitan dengan
penyempurnaan perundang-undangan hukum pidana formil sehingga lebih
mencerminkan kepasian hukum dan penghargaan terhadap hak-hak asasi tersangka
termasuk saksi (korban).
1.5.2. Manfaat praktis.
Manfaat praktis dari tulisan ini adalah dalam rangka memberi masukan kepada
pihak-pihak terkait (lembaga legislatif) dalam rangka penyempurnaan ketentuan
undang-undang hukum acara pidana yang berlaku saat ini, karena dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum
ada
ketentuan yang
membatasi waktu penyidikan sehingga penanganan perkara pada tahap penyidikan
10
banyak berlarut-larut sehingga tidak mencerminkan asas penanganan
perkara
secara cepat sederhana dan biaya ringan.
1.6. Orisinalitas Penelitian
Keasilian tulisan sebagai salah satu persyaratan dalam tulisan ilmiah ini
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penjiplakan (plagiatism) karya tulis
orang lain, karena setiap karya tulis dilindungi oleh undang-undang. Penulis yakin
bahwa tulisan ini benar-benar asli/original, karena penulis telah melakukan
penelitian terhadap beberapa karya tulis ilmiah khususnya tesis dan ternyata tidak
ada karya tulis ilmiah (tesis) yang membahas mengenai
“kekosongan hukum
(norma) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ” khususnya
masalah tidak adanya batas waktu penyidikan tindak pidana (umum).
Setelah penulis melakukan perbandingan dengan karya tulis lain, penulis tidak
menemukan adanya karya tulis ilmiah (tesis) yang mirip dengan karya tulis ini yang
memadai untuk dijadikan perbandingan.
Dengan demikian maka tulisan ini dapat disebutkan sebagai tulisan asli /orisinal
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
Teori hukum senantiasa tidak dapat dilepaskan dari kontek zamanya karena
sarat dengan penjelasan-penjelasan hukum secara dialektis, sebagai hasil dari
konstruksi sosial. Teori hukum juga sering dijadikan sebagai landasan teori untuk
mencari suatu jawaban terhadap permasalahan hukum yang dominan pada suatu
jaman. Dalam landasan teoritis diuraikan mengenai segala sesuatu yang terdapat
dalam teori sebagai suatu sistem aneka “theorema “ atau ajaran 7. Dalam landasan
teoritis diuraikan secara singkat mengenai asas hukum, konsep hukum, dan teoriteori hukum .
7
Soerjono Soekanto , Sri Mamudji, 2003,Penelitian Hukum Normatif
Singkat, Cetakan ke enam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 7.
Suatu Tinjauan
11
Landasan hukum pembangunan nasional dibidang hukum adalah Pancasila
yang memberikan landasan filosopi, landasan sosiologi, sedangkan landasan
konstitusional adalah Undang-Undang Dsasar Negara Republik Indonesia
(UUDNRI) Tahun 1945 beserta peraturan perundang-undangan terkait lainnya,
salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 206) telah merumuskan visi dan misi pembangunan
bidang hukum
yang berbunyi “Terwujudnya sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya
supremasi hukum dan hak asasi manusia berlandaskan keadilan dan kebenaran” 8.
Berlandaskan pada misi tersebut,
manusia mendapat
pembangunan bidang hukum dan hak asasi
perhatian yang serius dari pemerintah, berbagai peraturan
perundang-undangan yang sudah tidak relevan segera dilakukan perubahan/ revisi
baik yang bersifat menyeluruh maupun bersifat parsial, agar ketentuan hukum yang
berlaku benar-benar mencerminkan nilai filosifis Pancasila, kaedah-kaedah hukum
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1.7.1. Asas Asas Hukum Yang Berkaitan Dengan Tindakan Penyidikan
Dalam Tindak Pidana
Menurut C.W. Paton, dalam bukunya A Textbook of Jurisprudence ;
A
principles is the broad reason, wich lies at the base of a rule of law, diterjemahkan
menjadi “ asas adalah
suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan
mendasari adanya sesuatu norma hukum9. Asas hukum yang dianut dalam suatu
undang-undang ada yang bersifat universal serta ada asas yang bersifat nasional .
8
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, Kebijakan Reformasi Hukum (suatu
Rekomendasi), Partnership Government Reform in Indoensia, Jakarta, hal.2.
9
Arrasjid, Chainur, 2000, Op. Cit. hal. 36.
12
Bellefroid menyatakan bahwa “asas hukum adalah norma dasar yang
dijabarkan dari hukum posistif dan yang oleh hukum tidak dianggap berasal dari
aturan-aturan yang lebih umum 10“
Roeslan Saleh menyatakan “ asas hukum adalah aturan hukum tertinggi yang
berfungsi sebagai ratio legis dari aturan perundang-undangan yang ada
11
”, bliau
juga menyatakan bahwa terdapat tiga ciri asas-asas hukum, yakni :
1. Asas hukum adalah fundamen dari sistem hukum, oleh karena itu dia
adalah pikiran-pikiran dasar dari sistem-sistem hukum;
2. Asas-asas hukum bersifat lebih umum dari pada ketentuan undangundang dan keputusan-keputusan hukum oleh karena ketentuan undangundang dan keputusan-keputusan hukum adalah penjabaran asas-asas
hukum;
3. Akhirnya difinisi ini menunjukan bahwa beberapa asas hukum berada
sebagai dasar dari sistem hukum; beberapa lagi dibelakangnya, jadi di
luar sistem hukum itu sendiri, sungguhpun demikian mempunyai
pengaruh terhadap sistem hukum tersebut12
Asas hukum adalah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum
positif,
merupakan kelengkapan vital dalam legislasi, asas hukum merupakan
bagian integral dari suatu undang-undang dan sistem hukum keseluruhan. Setiap
undang-undang yang dibentuk dalam suatu negara selalu memiliki asas-asas hukum
yang kuat sehingga undang-undang tersebut dapat bertahan dalam waktu yang lama,
demikian halnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai
ketentuan hukum positif dalam bidang penegakan hukum pidana, menganut asasasas hukum antara lain :
1. Asas legalitas, memberi pedoman bahwa tidak seorangpun dapat dihukum atas
suatu kejahatan jika tidak ada peraturan yang mengatur mengenai kejahatan
tersebut sebelum kejahatan dilakukan ” tidak ada perbuatan yang boleh
dihukum selain atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang, yang
diadakan pada waktu sebelum perbuatan itu terjadi “, Pasal 1 KUHP (SV)
Nederland berbunyi “ Strafvordering helf alleen plaats op de wijze bij de wett
10
Ali Zaidan., M, 2015, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 49
11
12
Ibid, hal. 53
Loc. Cit
13
voozien” ( acara pidana dijalankan hanya menurut cara yang diatur oleh undangundang) 13 . Proses penyidikan tidak akan dilakukan jika penyidik tidak/belum
menemukan
peraturan perundang-undangan yang diduga dilanggar oleh
terlapor.
2. Prinsip /Asas keseimbangan antara perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia, dengan perlindungan terhadap
kepentingan dan ketertiban
masyarakat14.
3. Prinsip /Asas praduga tidak bersalah, bahwa setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan,
wajib dianggap sebagai orang yang tidak bersalah sampai dengan adanya
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa
terdakwa adalah orang yang bersalah telah melakukan tindak pidana yang
didakwakan terhadapnya. Diharapkan semua pihak mengesampingkan asas
praduga bersalah (presumtion of guil), karena dalam proses pembuktian tidak
menutup kemungkinan hakim akan memutus bahwa terdakwa tidak terbukti
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh penuntut
umum baik putusan bebas (vrijspraak) maupun pelepasan dari segala tuntutan
hukum (onstlag van alle rechtsvervolging) 15.
4. Prinsip /Asas Akusator, dimana dalam setiap perkara tersangka harus diajukan
ke muka pengadilan dengan tidak memihak, dan diperiksa sesudah tersangka
memperoleh haknya secara penuh untuk mengajukan pembelaan .
5. Prinsip / deferensiasi fungsional, yaitu setiap badan atau sub sistem telah
ditetapkan
fungsi
dan
wewenangnya
masing-masing
tetapi
saling
ketergantungan antara subsistem penyidik, penuntut umum, hakim, lembaga
pemasyarakatan, serta advokat/penasehat hukum.
13
Sunarso Siswanto H., 2012, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika,
Jakarta hal. 131
14
Harahap, M. Yahya, 2004, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,
Penyidikan dan Penuntutan, Edisi 2, Cetakan ke-6, Sinar Grafika Jakarta, hal. 38
15
Hamzah Andi, 2007, Terminologi Hukum Pidana, Edisi 1 Cetakan pertama, Sinar Grafika
Offset, Jakarta hal. 126
14
6. Prinsip /Asas peradilan dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan
serta bebas, jujur dan tidak memihak; dimana dengan adanya batas waktu yang
pasti pada setiap tahap penangan perkara tidak ada lagi orang-orang
(tersangka/terdakwa) menyandang status tersangka dalam waktu yang lama/
berlarut-larut tanpa adanya kepastian hukum.
Proses penanganan perkara tidak ribet dalam arti tidak lagi terjadi proses pra
penuntutan yang memakan waktu lama karena petunjuk penuntut umum
(peneliti) tidak bisa dipenuhi oleh penyidik, atau penyidik sengaja berlama-lama
tidak mengirimkan kembali berkas perkara kepada penuntut umum (Kejaksaan).
Tidak ada lagi laporan masyarakat dalam waktu yang lama tidak ada
kejelasanya. Tidak ada lagi surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP)
dalam waktu lama tidak ditindak lanjuti dengan pengiriman berkas perkara
tahap I (pertama). Tidak ada lagi berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap
oleh penuntut umum tidak ditindak lanjuti dengan penyerahan perkara tahap
kedua / penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti oleh penyidik
kepada penuntut umum. Tidak ada lagi penanganan perkara pada tahap
penuntutan dan upaya hukum yang memakan waktu cukup lama, bertahuntahun (upaya hukum).
Bagi warga negara yang tersangkut suatu tindak pidana tidak lagi mengeluarkan
biaya yang banyak untuk keperluan mengurus perkara, tidak ada mafia hukum
yang menguras uang para pesakitan dan mereka cukup mengeluarkan biaya
untuk membayar ongkos/biaya perkara .
Tindakan penyidik yang tidak kunjung mengirimkan berkas perkara kepada
penuntut umum dan/atau hasil penyidikan yang sering kali dikembalikan oleh
penuntut umum kepada penyidik untuk dilengkapi akan berpengaruh kepada
kepercayaan masyarakat kepada instansi penyidik16 .
7. Prinsip /Asas perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa.
Aparatur penegak hukum dalam melaksanakan tugas-tugas penegakan hukum
(law inforcement) baik disengaja maupun tidak melakukan pelanggaran
terhadap hak-hak tersangka / terdakwa baik hak didampingi penasehat hukum,
16
Yahya Harahap, M. Op.Cit. hal 357
15
hak diam, hak mendapat pemeriksaan yang cepat, hak mengajukan saksi/ahli
yang menguntungkan, hak mendapat bentuan juru bahasa dan lain sebagainya.
Memberikan perlindungan terhadap para saksi / korban. Memberikan
penghargaan bagi warga yang berjasa mengungkap suatu peristiwa pidana.
8. Prinsip /Asas pemeriksan dipersidangan pengadilan dilakukan secara terbuka
untuk umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang
1.7.2. Teori Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang didasarkan kepada Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai landasan bertindak bagi aparat
penegak hukum, merupakan satu kesatuan sistem, karena pelaksanaan pidana
tersebut tidak terlepas dari sub-subsistem yang saling mendukung antara subsistem
struktur hukum, subsistem substansi hukum maupun subsistem kultur hukum.
Adapun ciri pendekatan sistem dalam hukum acara pidana menurut Romli
Atmasasmita adalah :
a. Titik berat pada kondisi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana
(kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga Pemasyarakatan).
b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen
peradilan pidana
c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi
penyelesaian perkara
d. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memanfaatkan “The
administration of justice”17
Pendekaan dalam sistem peradilan pidana indonesia adalah pendekatan yang
menggunakan segenap unsur (struktur hukum) yang terlibat didalamnya sebagai
satu kesatuan dan saling berhubungan, saling mempengaruhi satu sama lain, yaitu
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan18. Dalam sistem
peradilan pidana dikenal ada dua model pendekatan dikotomi, yaitu pendekatan
17
Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem peradilan Pidana Persefektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme, Cetakan 2, Putra Abardin, Bandung, hal. 9-10
18
Fachmi,2011, Kepastian hukum mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem
Perddilan Pidana Indonesia, PT. Ghalia Indonesia Publishing, Jakarta, hal.123
16
Crime Control Model (CCM) dan pendekatan Due Process Model (DPM);19,
pendekatan Crime Control Model mengutamakan pemberantasan kejahatan dengan
tindakan represif terhadap suatu kriminal dan efisiensi
dengan penekanan
efektivitas kecepatan dan kepastian. Sedangkan pendekatan Due Process Model
menekankan proses peradilan yang mengutamakan prosedur formal yang sudah
ditetapkan dalam undang-undang,
setiap prosedur adalah penting dan harus
dilaksanakan secara ketat
Sistem Peradilan Pidana secara umum bertujuan untuk melaksanakan proses
hukum yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (due process model),
dalam proses hukum yang baik memiliki persyaratan antara lain: adanya ketentuan
hukum yang jelas, tiap-tiap komponen penegak hukum memiliki tugas dan fungsi
yang jelas, memiliki koordinasi dan kerjasama secara berkelanjutan, dan adanya
pengawasan internal maupun eksternal dalam pelaksanaan tugas masing-masing.
Konsep due process model sangat menjunjung tinggi adanya supremasi
hukum. Penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus sesuai
dengan persyaratan konstitusionil dan harus mentaati hukum, serta menghormati hal
sebagai berikut :
a. The right of self incrimination, tidak seorangpun dapat dipaksa menjadi
saksi yang memberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana.
b. Dilarang mencabut, menghilangkan hak hidup, kemerdekaan atau harta
benda tanpa sesuai dengan ketentuan hukum acara.
c. Setiap orang harus “terjamin hak terhadap diri, kediaman, surat-surat atas
pemeriksaan dan penyitaan yang tidak beralasan”.
d. Hak konfrontasi dalam bentuk pemeriksaan silang dengan orang yang
menuduh atau melaporkan.
e. Hak memperoleh pemeriksaan yang cepat.
f. Hak perlindungan yang sama dan perlakuan yang sama dalam hukum.
g. Hak mendapat bantuan penasehat hukum20 .
Sistem Peradilan Pidana dapat diuraikan pengertianya kata demi kata sebagai
berikut:
sistem berarti suatu susunan ataupun jaringan tentunya pada sistem terdapat
komponen-komponen yang merupakan bagian atau sub-sub yang kemudian
19
Packer,Herbert L.. 1968, The Limits of The Criminal Santion, West Publishing, New York
London, hal.24.
20
Harahap, M. Yahya, Op.Cit. hal 95-96
17
menyatu membentuk sistem, hubungan antara beberapa unsur yang satu
tergantung pada unsur yang lain. Peradilan merupakan derivasi dari kata
adil, yang diartikan sebagai tidak memihak, tidak berat sebelah ataupun
keseimbangan dan secara keseluruhan, peradilan dalam hal ini adalah
menunjukan kepada suatu proses, yaitu proses untuk menciptakan atau
mewujudkan keadilan dan kata Pidana yang dalam ilmu hukum pidana
(criminal scientific by law) diartikan sebagai hukuman, sanksi, dan ataupun
penderitaan yang diberikan yang dapat mengganggu keberadaan fisik
maupun fsikis dari orang yang terkena pidana itu21.
Sistem Peradilan Pidana Indonesia menggunakan pendekatan Due Process
Model yaitu melaksanakan proses peradilan pidana sesuai prosedur hukum yang
telah diatur dan ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang prosesnya dimulai dari tahap penyidikan, pra penuntutan, tahap
penuntutan, tahap pemeriksaan dipersidangan termasuk upaya hukum dan berakhir
pada pelaksanaan putusan pengadilan.
Pemahaman mengenai sistem peradilan pidana di Indonesia diperkenalkan
oleh ahli hukum Mardjono Reksodiputro, yang memberikan batasan tentang Sistem
Perailan Pidana adalah “sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi
masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar
berada dalam batas toleransi masyarakat22”. Disadari atau tidak bahwa kejahatan itu
ada seiring dengan berkembangnya peradaban hidup manusia, oleh karena itu
adanya kejahatan harus ditekan seminimal mungkin.
Pendapat ahli hukum Remington dan Ohlin mengenai
Sistem Peradilan
Pidana adalah sebagai berikut :
Sistem Peradilan Pidana (Criminal justice system) dapat diartikan sebagai
pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan
pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi
antara peraturan perundang-undangan, praktek administrasi dan sikap atau
tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu
proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien
untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya 23
21
Fachmi. Op.Cit. hal 49-50
22
Reksodiputro, Mardjono, 1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peranan penegak
Hukum Melawan Kejahatan, FHUI, Jakarta, hal. 84-85
23
Susanto, Anton F. 2004, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial Tentang penyimpangan,
Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana,PT. Refika Aditama, Bandung, hal.74
18
Melalui Sistem Peradilan Pidana ini akan diperoleh cara penyelesaian perkara atau
penanggulangan kejahatan yang baik dan adil (doe process of law) .
Muladi menyatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan
kerja
(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana
utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum
pelaksanaan pidana24. Reformasi dibidang hukum idealnya harus dilakukan melalui
pendekatan sistem hukum25. Pendekatan sistem yang dimaksud adalah adanya
hubungan kerjasama/ koordinasi antara unsur-unsur aparat hukum yang terkait satu
dengan yang lain. Sudikno Mertokusumo mengartikan sistem hukum adalah suatu
kesatuan yang terdiri dari
unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain
dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut26 . Tujuan yang ingin
dicapai dalam sistem hukum adalah terpenuhinya rasa keadilan masyarakat, adanya
kepastian hukum dalam rangka kesejahteraan masyarakat .
Proses penanggulangan kejahatan,
dalam hukum acara pidana Indonesia
diimplementasikan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integreted Criminal
Justice System).
Keterpaduan sistem peradilan pidana tersebut memiliki ciri
tersendiri dibanding dengan sistem pradilan pidana di negara lain, dimana tiap-tiap
aparat penegak hukum memiliki wadah/lembaga tersendiri namun dalam
pelaksanaan tugas mereka tetap melakukan kerja sama dan saling membantu demi
kelancaran penanganan perkara.
Pengertian dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) menurut Muladi
dinyatakan :
Sinkronisasi/keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan, pertama
Sinkronisasi Struktural yaitu keserempakan dan keselarasan dalam kerangka
hubungan antara lembaga penegak hukum, kedua Sinkronisasi Substansial
yaitu keserempakan dalam keselarasan yang sifatnya fertikal dan hirisontal
dalam kaitannya dengan hukum positif, dan ketiga Sinkronisasi Kultural
yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-
24
Ibid, hal 76.
25
Basrief Arief, 2013, Menata Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Kumpulan Makalah Jaksa
Agung Republik Indonesia Tahun 2012, Gaung Persada Press, Jakarta, hal 2.
26
Lok.Cit.
19
pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari
jalannya Sistem Peradilan Pidana27
Antara aparat penyidik dengan penuntut umum senantiasa ada koordinasi
dalam tahap prapenuntutan, penyidik penuntut umum dengan pengadilan terjadi
koordinasi dalam pertanggung jawaban hasil penyidikan, penuntut umum dengan
Pemasyarakatan terjadi koordinasi dalam hal penitipan penahanan serta pelaksanaan
putusan pengadilan dan lain sebagainya .
Tujuan akhir dari sistem peradilan pidana dalam jangka panjang, yakni
mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan tujuan kebijakan sosial,
dalam jangka pendek yakni mengurangi terjadinya kejahatan dan residivisme28,
pada prinsipnya sistem peradilan pidana merupakan sarana untuk mencegah
sekaligus menanggulangi kejahatan .
1.7.3. Teori Pembentukan Hukum (Perundang- undangan).
Sebagai Negara hukum yang mengedepankan asas legalitas formal, maka
hukum yang diberlakukan cenderung dalam bentuknya yang tertulis, namun masih
tetap memberi peluang berlakunya hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat. Hukum dalam bentuk tertulis perwujudannya berupa peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh pejabat/lembaga yang berwenang untuk itu.
Dalam pembentukan hukum (peraturan perundang-undangan)
tidak bisa terlepas
dari asas hukum, teori hukum maupun doktrin hukum. Salah satu teori hukum yang
dikenal dengan teori
penjenjangan yang dikebangkan oleh Hans Nawiasky
menerangkan bahwa
“suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis dan
berjenjang yakni mulai dari norma yang paling bawah berlaku, berdasar, dan
bersumber pada norma yang lebih tinggi dan seterusnya sampai pada norma
27
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP,
Semarang, hal.4
28
Ali Zaidan.,M. 2015, Op. Cit, hal .116
20
tertinggi yang disebut norma dasar
29
”
yang merupakan pengembangan
teori
penjenjangan dari Hans Kelsen. Dalam pembentukan peraturan perundangundangan, disamping harus memperhatikan penjenjangan hukum, maka menurut
ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82) harus juga berpedoman pada asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik, yang meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Kejelasan tujuan
Kelembagaan atau pembentuk yang tepat
Kesesuain atara jenis, hirarki dan materi muatan
Dapat dilaksanakan
Kedayagunaan dan kehasilgunaan
Kejelasan rumusan, dan
keterbukaan
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun
2011
menyatakan
materi
muatan
peraturan
perundang-undangan
harus
mencerminkan asas:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
pengayoman,
kemanusiaan,
kebangsaan,
kekeluargaan,
kenusantaraan,
bhineka tunggal ika,
keadilan,
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan ,
ketertiban dan kepastian hukum, dan /atau,
keseimbangan, keserasian dan keselarasan
Dan ayat (2) memberi peluang dalam penerapan asas-asas lain sesuai
kebutuhan perundang-undangan yang bersangkutan .
Reformasi menghendaki terjadinya perubahan hukum kearah yang lebih baik,
mewujudkan tujuan hukum seperti keadilan, kepastian hukum, ketentraman dan
kesejahteraan masyarakat, masyarakat membutuhkan ketertiban serta keteraturan
29
Rais
Rozali,
2013
Teori
Pembenttukan
perundang-Undangan,
birohukum.pu.go.id/component/content/article/101.html diunggah tanggal 23 September 2013
21
sehingga membutuhkan hukum, hukum sudah ada di negeri ini sehingga cara-cara
untuk “mengadilkan, membenarkan, meluruskan serta membumikan” hukum
menjadi pekerjaan yang tidak dapat ditawar-tawar30 untuk segera dilakukan,
perubahan maupun pembentukan peraturan perundang-undangan baru saat ini
mengarah kepada tipe hukum responsif.
Mochtar Kusumaatmadja, mengajarkan konsep pembangunan bidang hukum
Indonesia yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan, disamping
sebagai sarana untuk menjamin ketertiban dan
kepastian hukum 31 , hukum
dipandang sebagai sarana pembangunan sosial dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan kehidupan dalam masyarakat.
Salah satu konsep dasar yang
dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang memandang hukum sebagai “alat
pembaharuan masyarakat”, yang diilhami oleh pemikiran
Rosco Pound yang
mengintroduksikan bahwa “ law as a tool of social engineering”32, hukum harus
peka terhadap perkembangan masyarakat serta menyesuaikan diri dengan
perubahan yang terjadi.
Upaya membuat peraturan perundang-undangan yang baik, maka dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan
nilai-nilai
filosofis, sosiologis, ekonomis dan yuridis, yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat, pembuatan peraturan perundang-undangan tidak dapat dilakukan
secara serta merta mengadopsi hukum-hukum yang berkembang dari negara lain.
Proses pembaharuan hukum acara pidana yang saat ini masih dalam proses
pembahasan tingkat legislatif bersama eksekutif terhadap Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) secara konseptual telah
mengikuti tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam teori pembentukan hukum, sehingga bila RUU-KUHAP tersebut
30
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Prograsip sebuah sintesa Hukum Indonesia, Genta
Publising, Materam , hal.123.
31
Khudzaifah Dimyati, 2004, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum di Indonesia 1945-1990, Cetakan pertama, Muhamadyah University Press, Surakarta, hal
29
32
Ibid, hal. 175- 176.
22
nantinya disahkan menjadi undang-undang mudah diterapkan, ditaati oleh
masyarakat serta mampu bertahan untuk waktu yang lama.
1.7.4. Teori Penemuan Hukum .
Reformasi pembangunan bidang hukum, meliputi reformasi struktur hukum,
substansi hukum serta kultur hukum, reformasi struktur hukum dilakukan dengan
memperbaiki
dan mengontrol sistem penegakan hukum (law enforcement)
perbaikan serta kontrol tersebut dilakukan baik secara internal maupun eksternal
yang ditandai dengan dibentuknya Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Yudiasial,
Komisi Kejaksaan, Komisi Ombusman, Komisi Pemberantasan Korupsi dan lain
sebagainya, dibentuknya berbagai komisi tersebut dilatar belakangi kurang
efektifnya kinerja serta pengawasan internal lembaga-lembaga penegak hukum.
Sedangkan reformasi substansi hukum dilakukan dengan penciptaan/pembuatan
peraturan perundang-undangan (hukum) baru serta perubahan terhadap peraturan
perundang-undangan yang sudah ada yang dipandang tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang
secara dinamis. Reformasi budaya hukum dilakukan dengan cara menanamkan
nilai-nilai moral serta ketaatan terhadap norma-norma yang berlaku serta memberi
teladan yang baik dan benar kepada masyarakat, meningkatkan peran serta
masyarakat dalam mengawasi kinerja aparatur penegak hukum.
Reformasi bidang hukum menghendaki terjadinya perubahan perilaku aparat
penegak hukum serta perilaku masyarakat yang semakin sadar dan taat hukum,
mewujudkan kepastian hukum, keadilan, ketentraman dan keteraturan.
sudah ada di negeri ini tinggal bagaimana
Hukum
cara-cara untuk “mengadilkan,
membenarkan, meluruskan serta membumikan” hukum menjadi pekerjaan yang
tidak dapat ditawar-tawar33 untuk segera dilakukan,
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru
perubahan maupun
mengarah kepada tipe
hukum responsif.
33
Satjipto Rahardjo, Hukum Prograsip Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publising,
Mataram 2009, hal.123.
23
Tipe hukum responsif dipandang cocok untuk dikembangkan saat ini dengan
pertimbangan:
Pertama, proses pembuatannya bersifat “ partisipatif”, yakni mengundang
sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok
sosial dan individu di dalam masyarakat.
Kedua, dilihat dari fungsinga maka, hukum yang bersifat responsif lebih
“aspiratif”.
Ketiga , dilihat dari segi ‘penafsiran’ maka hukum yang berkarakter responsif
biasanya memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran
sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan, dan peluang yang sempit
itupun hanya berlaku untuk hal-hal yang betul-betul bersifat teknis34.
Konsep dasar penciptaan / penemuan hukum yang dikemukakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja salah satunya memandang hukum sebagai “alat pembaharuan
masyarakat”, yang diilhami oleh pemikiran Rosco Pound yang mengintroduksikan
bahwa “ law as a tool of social engineering”35, hukum harus peka terhadap
perkembangan masyarakat serta menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.
Upaya penemuan hukum oleh hakim dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal
5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
yang menentukan, “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Rumusan pasal ini diilhami oleh asas “ hakim tidak boleh menolak mengadili suatu
perkara dengan alasan tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya
“, setiap perkara yang masuk ke lembaga pengadilan wajib diperiksa, diadili dan
diputus. Jika suatu perkara yang diterima hakim belum/tidak ada undang-undang
yang mengaturnya maka hakim diwajibkan menggali hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat, karena hukum yang demikian akan lebih
mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat setempat, untuk selanjutnya dapat
diikuti dan ditaati oleh masyarakat, tindakan seperti inilah yang disebut penemuan
hukum .
Pandapat ahli (doktrin) hukum mengenai difinis dari penemuan hukum
(rechtvinding), diantaranya diungkapkan oleh Paul Scholten
34
Khudzaifah Dimyati,Op Cit hal 107
35
Ibid hal. 175- 176.
yang menyatakan
24
“penemuan hukum adalah sesuatu yang lain dari pada hanya penerapan peraturan
pada peristiwanya36”. Penemuan hukum semacam ini dilakukan oleh hakim, dalam
penanganan suatu perkara.
D.H.M. Meuwissen mengatakan “penemuan hukum adalah proses kegiatan
pengambilan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum
bagi situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh
notaris, dan sebagainya)37, Meuwissen melihat hukum sebagai suatu kenyataan
aktivitas yang menimbulkan akibat hukum .
Secara garis besar dikenal ada dua metode penemuan hukum, yakni :
(1) Metode interpretasi, yaitu penemuan yang dilakukan dengan cara melakukan
penafsiran terhadap
teks undang-undang yang sudah ada, masih tetap
berpegang pada bunyi teks itu, metode interprestasi ini terdiri dari gramatikal,
historis, sistematis, teleologis, komparatif, futuristic, restriktif, ekstensif,
autentik, interdisipliner.
(2) Metode konstruksi, dalam metode ini hakim menggunakan penalaran logisnya
untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, Hakim dalam
melakukan penemuan hukum tidak lagi berpegang pada bunyi teks peraturan
perundang-undangan, tapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum
sebagai suatu sistem. Jenis metode ini terdiri dari : analogi (Argumentum Per
Analogiam), Argumentum a Contrario, Penyempitan/Pengkonkretan hukum
(rechtsverfijning), Fiksi hukum .
Di Indonesia penemuan hukum banyak dilakukan oleh hakim pada Mahkamah
Konstitusi (MK) seperti diantaranya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :
21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015
yang menetapkan bahwa “penetapan
sebagai tersangka dan … adalah merupakan obyek dari Gugatan Pra peradilan”
padahal dalam Pasal 77 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
ditetapkan yang menjai obyek praperadilan adalah mengenai “ sah atau tidaknya
36
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty, Yogyakarta, 2009,
halaman 37.
37
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011,
halaman 106-107
25
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan,
dst. ..” namun oleh Hakim Mahkamah Konstitusi tindakan “penetapan sebagai
tersangka “telah ditetapkan untuk dijadikan obyek gugatan Pra peradilan dan hal
tersebut telah diterapkan oleh beberapa hakim pengadilan negeri di Indonesia.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa ketentuan batas waktu penyidikan dapat
dijadikan temuan hakim dalam rangka mengissi kekosongan hukum ( judge made
law) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pengisian kekosongan hukum juga dapat dilakukan lembaga legislatif
bersama-sama lembaga eksekutif atau
lembaga
eksekutif sendiri, sesuai
kewenangan yang dimiliki masing-masing, sebagaimana diatur alam konstitusi
Negara R.I. UUDNRI 1945 ) Pasal 5 dan Pasal 20, 21 dan 22 . Bentuk pengisian
kekosongan hukum dapat berupa perubahan atau penambahan pasal atau ayat baru
dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada, atau penemuan peraturan
yang baru.
1.7.5. Teori Hak Asasi Manusia (HAM) Bidang Hukum
Pengakuan, perlindungan serta pemenuhan terhadap hak-hak asasi manusia di
Negara Indonesia secara konstitusi telah diatur dalam
Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 beserta perubahan (amandemen) baik hak asasi bidang sosial, politik,
hukum maupun budaya, kemudian
secara substansial juga telah diatur dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat organik. Namun demikian
awal mula pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia secara
formil oleh negara pada mulanya berkembang di negara-negara eropah, salah satu
contoh dalam sistem hukum eropah yang mengatur mengenai perlindugan terhadap
hak-hak asasi pelaku kejahatan dapat dilihat dalam ketentuan European Convention
on Human Rights (ECHR), dimana
pada Pasal 6 (3) (e) dari ECHR tersebut
menyatakan “Everyone charge with a criminal offence [….] “has the rights to free
assistance of an interpreter if he cannot understand or speak the language used
court, terjemahan bebasnya Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan [……]
punya hak mendapatkan bantuan dalam bentuk penerjemah gratis jika orang itu
26
tidak bisa mengerti atau tidak bisa bahasa yang digunakan di pengadilan. 38”,
(ECHR) berkembang jauh sebelum lahirnya Decleration of Human Rights, hal ini
menandakan bahwa pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak tersangka telah
diatur dalam konvensi (Convention) di Eropah.
C de Rover memberi pengertian hak asasi manusia adalah hak hukum yang
dimiliki setiap orang sebagai manusia. Sedangkan John Locke menyatakan hak
asasi adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat
kodrati.
Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia sejak tahun 1948 mulai
mendapat perhatian secara internasional yang ditandai dengan dideklarasikannya
Piagam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal
Hak-Hak Asasi Manusia 1948, yang diikuti dengan
deklarasi hak-hak asasi
manusia bidang sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR) tahun 1966, deklarasi tersebut mewajibkan tiap-tiap negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memberi perlindungan dan penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia bidang sipil dan politik dalam keadaan apapun.
Ciri-cii khusus dari hak asasi manusia antara lain : ham tidak dpat
dilaksanakan secara mutlah karena dapat merugikannhak orang lain; tidak dapat
dicabut artinya tidak dapat dihilangkan atau diserahkan kepada pihak lain; dan tidak
dapqt dibagi aartinya semua orang berhak mendaptkan semua haknya.
Perkembangan konsepsi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga mewarnai
perkembangan hukum baik dalam tataran internasional dan domestik, HAM dapat
dijadikan sebagai acuan bagi hukum pidana di masing-masing negara untuk
menerapkan konsepsi humanisasi dan sivilisasi agar sesuai dengan prinsip-prinsip
hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan pertanggung jawaban pidana39
Pengaturan hak-hak asasi manusia bidang hukum dalam konstitusi negara R.I.
dapat di temukan dalam rumusan Pasal 27 UUDNRI Tahun 1945 yang mengatur
mengenai persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,
38
sedangkan
Ida Elisabeth Koch, 2009, Human Rights as Indivisible Rights, The Protection of SocioEconomic Demands under the European Convention on Human Rights, Martinus Nijhoff Publishers,
Leiden.Boston, Page 7 Capter 1.
39
Ali Zaidan.M. Op. Cit.hal 123
27
dalam Pasal 28 D ayat (1) menyatakan “ Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum“.
Konsep perlindungan hak asasi manusia khususnya bagi mereka yang terlibat
masalah hukum (tersangka), adalah setiap orang harus diperlakukan sama dan
sederajat dihadapan hukum, mereka memiliki hak-hak sipil maupun politik.
Upaya
pemerintah mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain
dalam
pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia bagi warga negara
(bidang sipil dan politik)
dilakukan dengan turut meratifikasi Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik tahun 1966 (International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR)) melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 2005 tentang
Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 119), dalam Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2005 point 3. Pokok-pokok isi kovenan internasional tentang Hakhak Sipil dan Politik, antara lain menyebutkan:
Pasal 1, bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya
sendiri dan menyerukan kepada semua negara, termasuk negara-negara yang
bertanggung jawab atas Pemerintahan Wilayah yang tidak berpemerintahan
sendiri dan Wilayah Perwalian, untuk memajukan perwujudan hak tersebut .
dst.
Pasal 6 sampai dengan Pasal 27 pada pokoknya menetapkan bahwa setiap
manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungan oleh hukum, dan
bahwa tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenangwenang , tidak seorangpun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau
penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat,
tidak seorangpun boleh diperbudak, bahwa perbudakan dan perdagangan
budak dilarang, dan bahwa tidak seorangpun boleh diperhamba, atau
diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib, tidak seorangpun boleh
ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang, tidak seorangpun boleh
dipenjarakan hanya atas dasar ketidak mampuannya memenuhi kewajiban
kontraktualnya.
Orang yang didudukan sebagai tersangka memiliki hak Previleges berupa
perlindungan dari stigmatisasi praduga bersalah artinya setiap orang yang disangka
telah melakukan suatu tindak pidana tidak boleh divonis atau dicap atau dilabelisasi
sebagai pelakunya, karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) menerapkan asas “ praduga tidak bersalah “, maka sebelum ada putusan
pengadilan yang menyatakan bahwa benar terdakwa tersebut sebagai pelaku tindak
28
pidana dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka
tersangka harus tetap dianggap sebagai orang yang tidak bersalah .
Merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk mewujudkan perlindungan,
pemenuhan serta penegakan hak asasi manusia, sebagaimana dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 28 J ayat (4) Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia
dinyatakan
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah “.
Perwujudan komitmen pemerintah dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia
dibidang hukum pidana dapat dilihat dalam KUHAP yang telah mengatur sejumlah
hak-hak tersangka dan pemenuhannya bersifat wajib. Menurut Sofyan Lubis, dalam
sistem peradilan pidana di negara kita, terutama yang ada di dalam KUHAP, pada
prakteknya terjadi sangat banyak pelanggaran terhadap hak-hak tersangka terutama
ditingkat penyidikan, dan setiap pelanggaran terhadap KUHAP ternyata tidak ada
aturan yang dengan jelas memberikan sanksi bagi mereka yang telah melakukan
pelanggaran
tersebut40, sehingga aparat secara leluasa dapat menyalahgunakan
kewenangan yang berakibat terjadinya pelanggaran hak-hak tersangka .
1.7.6. Teori Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) .
Kata Policy (kebijakan) dalam
“Blacks Law Dictionary” disebut, “The
general principles by which a gounernment is guided in the managemen of public
affairs”. Sedangkan menurut G. Pringgodigdo kata “kebijakan” bukanlah
terjemahan dari Policy, tetapi terjemahan dari “ wisdom”. Policy diartikan dengan
kebijaksanaan, sedangkan “wisdom” diartikan sebagai “kebijakan” 41.
40
41
Sofyan Lubis, Op. Cit, hal. 10
Nuraeny,Henny 2011, Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijaksan Hukum Pidana
dan Pencegahannya, Sinar Grafika, Jakarta Timur, hal 43-44
29
G. Peter Hoefnagels memberikan beberapa rumusan politik kriminal sebagai :
The science of responses", the science of crime prevention", "a policy of detignating
human behavior as crime " dan " a rational total of the respond to crime42.
Menurut Marc Ancel, poltitik hukum pidana (penal policy) adalah suatu seni
yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, yang
tidak saja kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada aparat pelaksana
undang-undang43.
Politik hukum pidana mencakup ruang lingkup kebijakan yang luas, yang
meliputi bidang hukum pidana yang tidak dapat dilepaskan dari pembaharuan
hukum pidana . Politik Hukum Pidana berintikan tiga tahap, yakni tahap formulasi,
tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Tahap formulasi merupakan tahap perumusan
undang-undang yang diwujudkan dalam bentuk pasal-pasal dan penjelasanya.
Tahap aplikasi dan eksekusi adalah tahap penerapan suatu undang-undang, yang
berkaitan erat dengan proses peradilan44 Sudarto memberikan arti politik hukum
sebagai berikut :
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu waktu
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan45 .
42
Hoefnagels,G. Peter. 1986. The Other Side of Criminology, Holland : Kluwer-Deventer Holland,
halaman 57.
43
Nawawi Arief, Barda, 1992,Politik Hukum Pidana, Pasca Sarjana Universitas Indonesia,
Jakarta, hal. 1
44
Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi ( P3DI) Sekretarriat Jendral Dewan
Perwakilan Rakyat Repub lik Indonesia, 2012, Op.Cit. hal.82.
45
Sudarto, dan Hamdan,M. 1997, Hukum dan Hukum Pidana, sebagaimana dikutip dalam
Politik Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 161.
30
Hukum bukanlah suatu institusi yang statis, ia mengalami perkembangan,
bahwa hukum itu berubah dari waktu ke waktu46(dinamis). Dengan pesatnya
perkembangan peradaban hidup manusia
diikuti dengan perkembangan dunia
politik, ilmu pengetahuan dan teknogi, maka sifat
dinamis yang dimiliki hukum
mengharuskan ia senantiasa mengikuti perubahan dan perkembangan tersebut. Ada
adigium yang menyatakan bahwa perkembangan hukum
selalu terbelakang
dibanding dengan perkembangan pemikiran manusia terutama yang mengarah
kepada kejahatan, baik dalam bidang hukum pidana, perdata, hukum tata negara
dan lain sebagainya .
Barda Nawawi Arief, menyatakan politik hukum pidana mengandung arti
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundangundangan pidana yang baik47. Sementara itu menurut beliau pembaharuan hukum
pidana tidak hanya menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu
berkaitan dengan nilai nilai yang ada, beliau menyatakan bahwa :
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu
upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat
Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan
penegakan hukum di Indonesia. 48.
Barda Nawawi Arief dalam sebuah seminar di Semarang, menyatakan
kebijakan pengembangan/ peningkatan kualitas peradilan tentunya terkait dengan
berbagai aspek yang mempengaruhi kualitas peradilan / penegakan hukum,
berbagai aspek itu dapat mencakup kualitas individual (SDM), kualitas institusional
/ kelembagaan, kualitas mekanisme tata kerja/menajemen, kualitas sarana dan
prasarana, kualitas substansi hukum/ perundang-undangan, dan kualitas lingkungan
(kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, termasuk budaya hukum masyarakat) 49,
46
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 213
47
Ali Zaidan.,M. Op.Cit. hal 63
48
Nawawi Arief, Barda, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal .28
49
Susanto,Antonius F. 2004, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial tentang
Penyimpangan, Mekanisme Kontrol Dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, PT. Refika Aditama,
Bandung, hal. 5
31
penomena hukum yang terjadi dewasa ini adalah penanganan perkara pidana
berlangsung lama, berbelit-belit, dan tidak sederhana. Keadaan semacam ini yang
menimbulkan krisis kepercayaan terhadap hukum, masyarakat menjadi skeptis dan
pesimis untuk memperoleh rasa keadilan dan kepastian hukum .
Berbagai permasalah yang terjadi dalam proses penegakan/penerapan hukum
tidak terlepas dari permasalah substansi hukum yang sudah usang, baik ketentuan
hukum materiil maupun ketentuan hukum formilnya. Kurangnya pembinaan
mental, integritas dan profesionalisme aparat pelaksana hukum, rendahnya sumber
daya manusia serta kurangnya dukungan sarana dan prasarana di bidang masingmasing juga merupakan faktor yang utama penyebab kemerosotan kepercayaan
masyarakat terhadap penegakan hukum .
Kebijakan pemerintah dalam rangka mengatasi permasalahan substansi
hukum adalah dengan membuat agenda perubahan hukum
baik materiil maupun
formil. Perubahan dalam arti luas yaitu melakukan revisi/penyempurnaan undangundang yang sudah ada maupum membuat ketentuan perundang-undangan yang
baru. Mengingat bahwa hukum acara pidana yang berlaku saat ini usianya sudah
cukup tua serta dalam rumusan undang-undang terdapat banyak kelemahankelemahan, maka pemerintah berniat melakukan perubahan terhadap hukum acara
pidana (formil) yang berlaku saat ini, hal tersebut diwujudkan dengan pengajuan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kepada
lembaga legislatif untuk dilakukan pembahasan,
RUU KUHAP pembahasanya
sudah berlangsung sejak beberapa tahun, namun sampai saat ini belum berhasil
ditetapkan menjadi undang-undang. Pada intinya pembaharuan hukum pidana
(formil mapun materiil) harus mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga memiliki ciri tersendiri
diantara hukum pidana negara-negara lain.
1.7.7. Teori Kepastian Hukum .
Tujuan dari pada hukum adalah menciptakan kepastian hukum dan keadilan,
yaitu ketegasan penerapan hukum itu sendiri dimana hukum tersebut berlaku
32
terhadap semua orang tanpa pandang bulu. Kepastian hukum merupakan syarat
mutlak untuk terlaksananya supremasi hukum di dalam suatu negara hukum50,
Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak
menurut
hukum
dapat
memperoleh
haknya
dan
bahwa
putusan
dapat
51
dilaksanakan . Yang dimaksud kepastian hukum disini adalah pelaksanaan
peraturan sesuai dengan apa yang tersurat dalam peraturan perundang-undangan/
putusan pengadilan, tidak disimpangi .
Mewujudkan kehidupan masyarakat yang tertib dan teratur dibutuhkan
ketertiban dan kepastian pelaksanaan penegakan hukum, prinsip persamaan
kedudukan dalam hukum (equality befor the law) harus benar-benar diterapkan.
Teori
hukum
positif
hukum yang berlaku
mengajarkan
bahwa
hukum
positif
adalah
pada suatu negara pada saat itu, teori hukum positif
mengedepankan hukum sebagai peraturan perundang-undangan yang tertulis.
Peraturan perundang-undangan sebagai ketentuan hukum tertulis senantiasa
mengandung perintah, larangan serta sanksi yang pasti, karena bentuknya yang
sedemikian itu maka ketentuan hukum positif dianggap memiliki nilai kepastian
yang jauh lebih permanen dari pada
ketentuan hukum kebiasaan yang tidak
tertulis, karena ketentuan hukum yang tidak tertulis sewaktu-waktu dapat berubah
mengikuti perkembangan situasi dan kondisi setempat .
Bagir Manan menyatakan pengertian kepastian hukum tidak hanya terbatas
pada keberadaan kaidah hukum atau peraturan perundang-undangan. Kepastian
hukum mencakup juga kepastian proses dan kepastian penerapan atau pelaksanaan,
atau eksekusi52,
Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan oleh Jan M. Otto, yaitu
bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan:
1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah
diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
50
Fachmi, Op.Cit. hal 33
51
52
Sudikno, Mertokusumo, Op.Cit hal. 160.
Manan, Bagir, 2000, Bundel makalah II Tertib Peraturan Perundang-Undangan Menurut
Ketetapan MPR RI. Nomor III/MPR/2000, tanpa penerbit, Jakarta, hal 3.
33
2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan
hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena
itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka
menyelesaikan sengketa hukum; dan
5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan. 53
Kepastian hukum sebagai doktrin dalam sistem hukum (legal system)
mengajarkan
kepada
setiap
aparat
penegak/pelaksana
mendayagunakan hukum yang sama untuk kasus yang sama.
hukum
untuk
Doktrin kaum
positivis yang dikenal pula sebagai doktrin the supreme state of (national) law
yang mengajarkan dan meyakini adanya status hukum yang mengatasi kekuasaan
dan otoritas lain, semisal otoritas politik
54
. Ajaran kaum positivis inilah yang
menerapkan asas equality befor the law yaitu yang mengedepankan persamaan
perlakuan hukum, hukum diterapkan baik terhadap masyarakat maupun aparatur
pemerintah termasuk didalamnya aparat penegak hukum, sehingga tidak terjadi
kesewenang-wenangan dalam penerapan peraturan perundang-undangan .
Hukum yang ditegakkan oleh instansi penegak hukum yang diserahi tugas
untuk itu harus menjamin “kepastian hukum” demi tegaknya ketertiban dan
keadilan dalam kehidupan masyarakat
55
. Ketidak pastian penegakan hukum akan
menimbulkan kekacauan dan ketidak harmonisan dalam kehidupan masyarakat,
pelaku kejahatan akan sesuka hati melakukan tindakan yang merugikan orang lain
sementara masyarakat sebagai korban terus merasakan ketidak adilan .
Kepastian hukum menghendaki adanya konsistensi dalam perumusan
peraturan perundang-undangan, baik antara peraturan satu dengan yang lain
maupun antara pasal satu dengan yang lain, tidak terjadi tumpang tindih yang dapat
menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya (konflik norma), tidak mudah
53
Sidharta, 2006, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, hal. 85
54
Wignyosoebroto, Soetandyo, 2006, Sebuah Risalah Ringkas, rujukan untuk ceramah dan
diskusi “ Kreteria dan Pengertian Hakim Dalam Perspektif Filosofis, Sosiologis dan Yuridis “
dalam Seminas Nasional bertema “ Problema Pengawasan Penegakan Hukum di Indonesia “
diselenggarakan oleh Komisi Yudisial dan PBNU-LPBHNU, Jakarta, hal .1
55
Yahya Harahap, Op Cit. hal 76
34
menimbulkan pemahanan yang gamang sehingga mudah ditafsirkan berbeda sesuai
kebutuhan pihak tertentu (norma kabur) serta tidak ada tindakan atau peristiwa
hukum yang tidak diatur dalam suatu perundang-undangan (kekosongan norma ) .
Hakekat Kepastian hukum nenurut Daniel S. Lev dalam Soerjono Soekanto
adalah :
suatu kepastian tentang bagaimana setiap warga negara atau golongangolongan masyarakat menyelesaikan masalah masalah hukum, kemudian
bagaimana peranan dan kegunaan lembaga-lembaga hukum bagi masyarakat,
apakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para warga masyarakat dan
seterusnya. Jadi kepastian hukum buklanlah berarti bahwa wujudnya sematamata didalam peraturan tertulis belaka56.
Demi kepastian hukum setiap perubahan hukum dimungkinkan untuk
memenuhi harapan masyarakat untuk menghadapi apa yang dinamakan ketidak
berdayaan hukum dalam penerapannya dalam penyerasian nilai-nilai yang ada .
Terhadap ketidak sempurnaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) Roeslan Saleh menyatakan bahwa “tidak dapat undang-undang
merevolusi dirinya sendiri57 “, namun kewajiban mewujudkan kepastian hukum dan
keadilan tetap menjadi tanggung jawab penegak hukum
56
S.Lev. Daniel dalam Soekanto Soerjono, 1970, Judicial Sistem and Culture in Indonesia,
CV.Rajawali, Jakarta, hal. 32-33
57
Saleh Roeslan, Op.Cit. hal. 24
35
1.7.8. Kerangka Berpikir :
KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA UMUM
DALAM
PERSPEKTIF IUS CONSTITUTUM TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN HAK ASASI
TERSANGKA
DALAM
PEMBAHARUAN
HUKUM
ACARA
PIDANA
(IUS
CONSTITUENDUM)
Latar Belakang Masalah:
Kepercayaan
masyarakat
terhadap kinerja aparat penegak
hukum
akhir-akhir
ini
mengalami kemerosotan .
Hal tersebut disebab banyak
terjadi penanganan perkara yang
tidak memberi kepastian hukum,
rasa keadilan serta penghormatan
terhadap hak asasi tersangka.
Bantyak
terjadi
laporan
/pengaduan disampaikan oleh
masyarakat
bahwa
telah
terjadinya suatu tindak pidana
yang diterima oleh penyidik
dalam waktu yang lama tidak ada
ujung penyelesaiannya
Masyarakat / pelapor berpra
sangka ada pihak-pihak yang
telah bermain dengan aparat
sehingga perkara tidak kunjung
selesai, perkara di peties-kan,
ada mapia peradilan dan lain
sebagainya. Penyelesaian perkara
yang
demikian
telah
menimbulkan terabaikan banyak
hak asasi tersangka. Keadaan
tersebut disebabkan adanya
kekosongan norma hukum dalam
KUHAP yang tidak mengatur
mengenai batas waktu tindakan
penyidikan suatu perkara pidana
(umum), serta tiak ada sanksi
bagi penyidik atas ketidak
jelasan
penyelesaian
suatu
perkara .
Rumusan Masalah :
1. Bagaimana pengaturan batas waktu penyidikan
tindak pidana umum terkait dengan perlindungan
hak asasi tersangka dalam Kitab Undang-Undang
hukum Acara Pidana ?
2. Bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu
penyidikan tindak pidana umum
dalam hukum
acara pidana yang akan datang ?
Metode Penelitian
1. Jenis penelitian yuridis normatif
2. Sumber Bahan hukum Primer ,
Sekunder dan
tersier (peraturan perundang-undangan, buku-buku,
jurnal, laporan, internet )
Landasan Teoritis :
1. Asas-asas hukum, konsep hukum
2.Teori yang digunakan :, Teori Sistem Peradilan
Pidana,Teori Pembentukan hukum, Teori
Penemuan Hukum, Teori Kebijakan Hukum
Pidana, Teori HAM, Teori Kepastian Hukun, .
Tujuan umum
dari tulisan ini adalah untuk
mengetahui dan menganalisis urgensi batas waktu
penyidikan tindak pidana umum dengan
perlindungan hak asasi tersangka.
Tujuan khususnya
adalah untuk meneliti dan
menganalisa ketentuan waktu penyidikan perkara
tindak pidana umum dalam KUHAP serta kaitannya
dengan perlindungan dan penegakan hak asasi
tersangka, serta bagaimana sebaiknya pengaturan
batas waktu penyidikan perkaa tindak pidana umum
dalam hukum acara pidana yang akan datang
Jenis Pendekatan adalah : Pendekatan PerundangUndangan, Pendekatan Konsep, dan Pendekatan
Sejarah
Hasil yang ingin dicapai adalah segera dilakukan perubahan
terhadap KUHAP, dan dalam hukum acara pidana yang baru
memuat ketentuan batas waktu penyidikan secara tegas.
36
1.8. Metode Penelitian
Untuk memperoleh, mengumpulkan, serta menganalisa setiap data maupun
informasi yang sifatnya ilmiah, diperlukan metode agar karya tulis ilmiah
mempunyai susunan yang sistematis dan konsisten. Penelitian hukum dapat
dibedakan
menjadi dua jenis yaitu penelitian hukum normatif atau penelitian
hukum doktrinal dan penelitian hukum sosiologis atau non doktrinal bersifat
kuantitatif (bentuk angka)58.
Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif
59
, bahan dasar penelitian adalah dokumen meliputi surat-surat pribadi, buku-buku
harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
pemerintah
60
.
Metode penelitian empiris/sosiologis atau non doktrinal adalah suatu prosedur
penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
materiil berdasarkan penelitian
lapangan atas suatu permasalahan pada lembaga atau masyarakat.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian normatif atau
doktrinal.
1.8.1. Jenis Penelitian
Dalam Penelitian ini penulis melakukan penelitian secara yuridis normatif,
dimana permasalahan yang ditemukan yaitu adanya kekosongan hukum dalam
perundang-undangan hukum acara pidana, kemudian dikaji dengan melakukan
penenelitian dampak yuridis
terhadap
peraturan perundang-undangan yang
58
Supranoto J.,2003, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Cetakan Pertama, PT. Rineka
Cipta, Jakarta,hal.2.
59
Ibrahim Johny, 2006, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi,
Bayumedia Publishing, Surabaya, hal.57.
60
Soekanto, Suryono & Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 24
37
berlaku saat ini terkait dengan tindakan aparat penegak hukum khususnya dalam
rangka penyidikan tindak pidana
. Penelitian hukum normatif adalah jenis
penelitian yang lazim dilakukan dalam kegiatan pengembangan ilmu hukum yang
di negara-negara barat biasa disebut dogmatik hukum (Rechtsdogmatiek) 61.
1.8.2. Jenis Pendekatan (Approach)
Penggunaan pendekatan (approach) dalam suatu penelitian hukun yuridis
normatif akan sangat menentukan hasil dari penelitian yang dilakukan,
penelitian
hukum
dalam
yuridis normatif dikenal beberapa cara pendekatan yang lazim
digunakan antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
Pendekatan konsep (conceptual approach)
Pendekaan analitis (analitical approach)
Pendekatan perbandingan (comparative approach)
Pendekatan Historis ( histirical approach)
Pendekatan Filsafat (philosophical approach)
Pendekaan Kasus (case approach) 62.
Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian dengan mengggunakan
pendekatan :
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach); cara ini digunakan karena
dalam penelitian yuridis normatif sudah dipastikan yang dijadikan bahan hukum
utama adalah peraturan perundang-undangan, terutama yang berkaitan dengan
obyek penelitian .
b. Pendekatan Konsep (conceptual approach); Pendekatan ini beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu
hukum.
c. Pendekatan Sejarah (historical approach) ; dengan pendekatan sejarah hukum
diharapkan peneliti dapat memahami hukum (perundang-undangan) secara lebih
61
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta, 2001, Editor Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan
Refleksi, Yayasa Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hal. 142
62
Ibrahim Johnny, 2005,Op.Cit., hal . 300
38
mendalam tentang suatu sistem hukum, sejarah sistem penyidikan sejak awal
hingga berlakunya saat ini.
d. Sedangkan pendekatan Perbandingan (comparative approach) yaitu untuk
melakukan studi perbandingan mengenai sistem penyidikan yang ada di dalam
KUHAP dengan yang ada di dalam Konsep KUHAP (Baru) dan juga
perbandingan Sistem penyidikan negara lain.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Dalam metode penelitian hukum dikenal ada beberapa jenis sumber data,
yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Dalam tulisan ini penulis
melakukan penelitian secara normatif, sehingga bahan yang dibutuhkan adalah data
sekunder, yaitu penelitian perpustakaan (Library Research). Data hukum sekunder
berdasarkan kekuatan pengikatnya, dapat dibedakan:
1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat berupa
peraturan perundang-undangan antara lain UUD NRI 1945, UU No. 8 tahun
1981 tenang KUHAP, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
UU. No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian R.I. UU No. 14 tahun 1970, jo UU
No. 4 tahun 2004 jo UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat; UU No. 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan R I.; UU No. 16 tahun 2011 tenang bantuan Hukum; UU No, 12
tahun 2005 tentang Ratifikasi IICPR; PP No. 27 tahun 1983 jo pp No. 58
tahun 2010 tentang Pelaksanaan KUHAP, dan lain-lain .
2. Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku tentang ilmu hukum yang
berkaitan dengan penulisan tesis ini, karya-karya ilmiah, Rancangan UndangUndang, dan juga hasil dari suatu penelitian.
3. Bahan hukum tersier, misalnya artikel-artikel, majalah-majalah, surat kabar,
internet, kamus, dan ensiklopedia 63.
63
Supranoto J., Op. Cit hal 2.
39
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan Teknik Studi Dokumentasi (teknik kartu). Teknik
Studi Dokumentasi dilakukan atas bahan-bahan hukum, laporan-laporan yang
relevan dengan permasalahan penelitian.
1.8.5. Tehnik Analisis
Pengolahan dan Analisis bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan
Analisis Kualitatif dimana bahan hukum yang diperoleh tersebut diolah menjadi
rangkaian kata-kata yang bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus tidak
disusun kedalam struktur klasifikasi sehingga sampel lebih kepada non probabilitas.
Bahan hukum primer dan skunder disusun secara sistematis, bahan-bahan tersebut
selanjutnya dianalisis dengan tehnik-tehnik :
a. Deskriptif, yaitu uraian-uaian ditulis dengan apa adanya terhadap suatu kondisi
atau posisi dari proposisi hukum atau non hukum.
b. Interpretatif, yaitu dengan cara menjelaskan penggunaan penafsiran dalam ilmu
hukum yang ada baik sekarang maupun diberlakukan dimasa yang akan datang.
c. Evaluatif, melakukan penilaian terhadap sesuatu pandangan, pernyataan
rumusan norma dalam bahan hukum primair maupun sekunder.
d. Argumentatif, yaitu penilaian yang didasari pada alasan-alasan yang bersifat
penalaran hukum.
Sehingga menghasilkan sebuah penelitian yang akurat sesuai kebutusan untuk
mendukung karya tulis/tulisan ilmiah .
BAB II
BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM
DAN PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA
DALAM PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA
2.1. Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum
Setiap tindak pidana yang terjadi memiliki tenggang waktu kadaluwarsa
penuntutan sesuai dengan ancaman hukuman yang dirumuskan dalam undangundang, oleh karena itu proses penyidikan
memegang peranan penting bagi
suksesnya penuntutan dan harus memperhitungkan waktu jangan sampai
keterlambatan penyelesaian penyidikan mengakibatkan perkara kadaluwarsa masa
penuntutannya. Disamping itu adanya batas waktu proses penanganan perkara pada
tahap penyidikan akan memberi kepastian hukum terhadap perkara yang sedang
ditangani baik dipandang dari sudut aparat penegak hukum tidak mempunyai
tunggakan penanganan perkara yang bertumpuk, maupun dari sudut masyarakat
pencari keadilan dengan cepat mengetahui arah penanganan kasusnya .
2.1.1. Pengertian Waktu Dikaitkan Dengan Hukum Pidana
Setiap peristiwa yang terjadi dimuka bumi memiliki tenggang werjadi waktu
tertentu, perlunya ditentukan tenggang waktu adalah untuk memastikan suatu
peristiwa terjadi, setelah terjadi peristiwa, langkah apa selanjutnya akan dilakukan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 3, tenggang (waktu) berarti
“batas
waktu”, batas waktu yang dibutuhkan oleh suatu peristiwa ada singkat, ada juga
yang lama.
Sedangkan yang dimaksud dengan “Waktu” menurut Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia adalah : “Seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan
40
41
berada atau berlangsung. Dalam hal ini, skala waktu merupakan interval antara dua
buah keadaan/kejadian, atau bisa merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian;
lamanya (saat yang tertentu); saat yang tertentu untuk melakukan sesuatu” 64.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana tidak ada memberi batasan apa yang disebut dengan
waktu, namun demikian dalam KUHP terdapat rumusan pengertian “sehari” dan “
sebulan” serta “ malam”, yaitu :
Ketentuan Pasal 97 KUHP : Yang dikatakan sehari yaitu masa yang lamanya dua
puluh empat jam.
Ketentuan Pasal 97 KUHP : Sebulan yaitu masa yang lamanya tiga puluh hari.
Pasal 98 KUHP : yang dikatakan malam yaitu masa diantara matahari terbenam dan
matahari terbit 65
Batas waktu dikaitkan dengan penyidikan perkara tindak pidana umum adalah
tenggang waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penyidikan suatu perkara
tindak pidana umum, misalnya selama sebulan, berarti penyidikan suatu perkara
pidana umum harus selesai dalam waktu selama tiga puluh hari
2.1.2. Pengertian Tindak Pidana atau Peristiwa Pidana
Sebelum membicarakan mengenai peristiwa pidana terlebih dahulu perlu
diketahui mengenai difinisi dari pada peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah
suatu kejadian dalam masyarakat yang dapat menimbulkan akibat hukum atau yang
dapat menggerakan peraturan tertentu sehingga peraturan yang tercantum
didalamnya dapat berlaku konkret66.
Dari peristiwa hukum tersebut dapat
dibedakan atas peristiwa hukum publik (pidana) dan peristiwa hukum privat
(perdata).
64
Agustin, Risa, tanpa tahun,
Surabaya, hal 634.
Kamus Lengkap Besar Bahasa Indonesia, Serba Jaya,
65
Soesilo, R. 1994, Kitab Unang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Cetakan Ulang, Politeia, Bogor, hal 103-104
66
Arrasjid, Chainur, 2000, Op.Cit. hal. 134 .
42
Peristiwa hukum pidana atau tindak pidana berasal dari bahasa belanda
strafbaar feit yang secara harfiah artinya “ peristiwa yang dapat dipidana” . Simon
merumuskan delik atau strafbaar feit
ialah : kelakuan yang diancam dengan
pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab
67
. Suatu peristiwa yang
mempunyai akibat hukum terhadap publik dan peristiwa-peristiwa tersebut diatur
dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang kemudian disebut dengan
hukum, tentu peraturan perundang-undangan tersebut mengandung perintah,
larangan serta sanksi yang harus dibebankan kepada orang yang melanggarnya
secara umum disebur sebagai peristiwa atau tindak pidana.
E.Utrech memberikan difinisi dari perbuatan pidana atau peristiwa pidana
adalah:
a. Suatu kelakuan yang bertentangan dengan
(melawan) hukum
(onrechhtmatig atau wederechtelijk);
b. Suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah (aan schuld van
de overtreder te wijten);
c. Suatu kelakuan yang dapat dihukum (strafbaar)68
Ahli hukum pidana Hazewinkel Suringha merumuskan strafbaar feit adalah : Suatu
perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam suatu
pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh
hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang
terdapat didalamnya69.
Administrasi penanganan perkara pidana umum dalam praktek sehari-hari
aparat penegak hukum maupun
masyarakat mengkwalifikasi tindak pidana
kedalam tiga katagori yaitu:
pertama adalah tindak pidana umum, yaitu suatu peristiwa pidana yang konstruksi
hukum materiilnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dan hukum pidana formil atau hukum acara pidananya diatur dalam Undang
67
Hamzah,Andi 2007, Terminologi Hukum Pidana, Edisi 1 Cetakan pertama, Sinar Grafika
Offset, Jakarta, hal. 48
68
Siahaan, Monang, 2013, Korupsi Penyakit Sosial Yang Mematikan, PT. Elex Media
Komputerindo- Kompas Gramedia, Jakarta, hal. 4
69
Ibid. hal . 4
43
Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
kedua adalah tindak pidana khusus, yaitu suatu peristiwa pidana yang mempunyai
spesifikasi /kekhususan tertentu (extra ordinarry) baik pengaturan hukum pidana
materiil maupun hukum pidana formilnya yang diatur secara tersendiri dalam
undang-undang tersebut disamping secara umum tetap juga berpedoman kepada
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) misalnya tindak pidana
pelanggaran HAM berat, tindak pidana korupsi dan lain-lain. Sudarto mengatakan
hukum pidana khusus diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur
mengenai kekhususan subjeknya dan perbuatannya yang khusus (bijzonderlijk
feiten)70 , dari segi sanksi tindak pidana korupsi sebagai bagian tindak pidana
khusus juga memiliki cirri tersendiri yaitu sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku
dapat bersifat kombinasi (badan, denda serta tambahan uang pengganti kerugian) ;
dan
ketiga adalah tindak pidana umum lain, yaitu peristiwa pidana yang ketentuan
hukum materiilnya diatur dalam undang-undang tertentu diluar KUHP sedangkan
hukum pidana formilnya mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
Tindak pidana atau delik adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana oleh undang-undang
71
. Tindak pidana
sebagaimana tersebut dalam
katagori pertama dan ketiga diatas secara umum disebut sebagai tindak pidana
umum, hal ini terjadi karena dibentuknya berbagai perundang-undangan yang
mengatur pidana materiil tersendiri merupakan perluasan dari ketentuan pidana
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , ruang lingkupnya
diperluas dan ancaman pidana (sanksi) diperberat.
70
71
Ibid, hal. 5
Hamzah,Andi, Op.Cit hal .164
44
2.1.3. Pengertian Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak ada memberi
difinisi dari pada hukum acara pidana, oleh karena itu saya mengambil pendapat
ahli hukum pidana yang memberi pengertian dari hukum acara pidana tersebut,
diantaranya:
Moelyatno memberikan difinisi dari Hukum Pidana, adalah bagian dari pada
keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan
atauran-aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana
yang telah diancamkan
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut 72
Pengertian hukum pidana menurut Moelyatno tersebut cukup langkap karena
didalamnya mencakup pengertian hukum pidana materiil sekaligus juga hukum
pidana formil.
Pengertian dari Hukum Acara Pidana menurut E.Y. Kanter, adalah sebagai
berikut :
Seluruh garis hukum yang menjadi dasar/pedoman bagi penegak hukum dan
keadilan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum pidana materiil,
dengan kata lain hukum acara pidana yaitu mengatur tentang bagaimana
caranya negara dengan peraturan badan-badanya (Polisi, Jaksa, Hakim) dapat
menjalankan kewajibannya untuk menyidik, menuntut, menjatuhkan dan
melaksanakan pidana73
72
73
Ali Zaidan, M. Op.Cit. hal 2
Kanter,E.Y. 1982, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni
AHM-PTHM, Jakarta, hal. 20
45
2.1.4. Pengertian penyidik dan Penyidikan Tindak Pidana Umum
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merupakan pedoman
umum dalam melaksanakan hukum acara pidana di Indonesia secara tegas telah
mengatur mengenai tata cara penegakkan hukum pidana (materiil), bagaimana
aparat penegak hukum harus bertindak, bagaimana seseorang yang diduga
melakukan kejahatan harus diperlakukan, bagaimana cara membuktikan bahwa
tersangka/terdakwa benar melakukan kejahatan, bagaimana cara mereka menjalani
pemidanaan. Dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia saat ini
seseorang tersangka/terdakwa ditempatkan sebagai subyek hukum, hak-hak mereka
dilindungi
dan
dihormati,
aparat
penegak
hukum
yang
memperlakukan
tersangka/terdakwa, saksi-saksi dengan sewenang-wenang diancam dengan sanksi
sanksi.
Ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 memberi
pengertian penyidikan sebagai berikut “Penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Tindakan
penyidikan merupakan tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan, pada tahap ini
penyidik melakukan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti yang diperoleh pada tahap
penyelidikan, tindakan penyidik selain melakukan pemeriksaan terhadap alat bukti
yang sudah ada juga berusaha memperkuat alat bukti yang sudah diperoleh
penyelidik dengan mengumpulkan bukti-bukti lain yang ada kaitannya dengan
tindak pidana yang sedang disidik, apabila pada tahap penyelidikan belum
ditemukan tersangka maka pada tahap penyidikan inilah penyidik diwajibkan
menemukan tersangkanya.
Ketentuan Pasal 110 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 tahun
1981
menentukan selain tindakan penyidikan, ada juga tindakan penyidikan tambahan
namun dalam ketentuan tersebut tidak memberi pengertian apa yang dimaksud
dengan penyidikan tambahan. Bambang Waluyo memberi pengertian dari
penyidikan tambahan yaitu
“Tindakan penyidik untuk melengkapi hasil
penyidikannya, yang harus diselesaikan dalam jangka waktu empat belas hari sesuai
46
dengan petunjuk penuntut umum74”, penyidikan tambahan dilakukan berdasarkan
petunjuk yang diberikan oleh penuntut umum setelah meneliti berkas hasil
penyidikan.
Menurut De Pinto, penyidikan adalah pemeriksaan permulaan oleh pejabat
yang untuk itu ditunjuk oleh U.U. segera setelah dengan jalan apapun mendengar
kabar yang sekedar beralasan bahwa terjadi suatu pelanggaran75
Pasal 1 angka 1 memberi pengertian dari pada penyidik, yaitu : “Penyidik
adalah pejabat polisi Negara Republik Indoensia atau pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan” .
Penyidik sebagaimana di maksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 1, dipertegas
oleh ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, yang menentukan
siapa saja yang ditetapkan sebagai penyidik, yaitu :
Penyidik adalah :
a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia
b. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 27 tahun 1983 tentang
Pelaksanaan KUHAP mengatur mengenai persyaratan kepangkatan bagi seseorang
bisa diangkat menjadi penyidik baik Polri maupun Pagawai Negeri Sipil, Pasal 2
menyebutkan : Penyidik adalah:
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurangkurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya
berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau yang
disamakan dengan itu.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 thun 2010 tentang
Perubahan Atas
Peraturan pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, yang salah satu pasalnya
74
merupakan
Ibid. hal. 45,
75
Hamzah, Andi, 1984, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik dan Sarana
Hukum, Galia Indonesia, Jakarta, hal 5.
47
penyempurnaan dari Pasal 2 huruf b Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 27 tahun
1983, dengan memperluas dan memperjalas pengertian Pejabat Pegawai Negeri
Sipil Tertentu, sehingga dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah
Nomor 58 tahun 2010 menentukan : “Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang
Selanjutnya disebut Pejabat PPNS adalah pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana
dimaksud dalam KUHAP, baik yang berada di pusat maupun daerah yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang”. Perubahan peraturan pemerintah tersebut
memberi peluang kepada Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang dapat diangkat sebagai
Pejabat Penyidik adalah baik pegawai negeri sipil di tingkat pusat maupun yang
bertugas di daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) asalkan memenuhi persyaratan yang
ditentukan dalam undang-undang.
Penyidik dalam peraturan perundang-undangan secara umum terdiri
dari
Penyidik Keplosian R.I. dan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu,
dalam tulisan ini penulis hanya membahas mengenai tugas dan wewenang Penyidik
Polri. karena pokok bahasan tulisan ini adalah ketentuan batas waktu penyidikan
tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Ius
Constitutum.
Penyidik baru akan melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangan bidang
penegakan hukum (penyidikan) apabila menerima laporan atau pengaduan dari
masyarakat khususya bagi mereka yang mengalami, melihat atau mengetahui
terjadinya suatu peristiwa pidana, disamping itu ada juga peristiwa pidana yang
ditemukan sendiri oleh aparat penyidik (Polri). Untuk peristiwa pidana yang
ditemukan sendiri oleh aparat penyidik pada umumnya peristiwa pidana yang tidak
menimbulkan korban secara langsung seperti misalnya peristiwa perjudian,
narkotika dan lain sebagaimnya.
Pasal 1 angka 24 KUHAP menjelaskan yang dimaksud dengan laporan
adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban
berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau
sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
Sedangkan Pasal 1 angka 25 KUHAP. Pengaduan adalah
pemberitahuan
disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang
48
berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak
pidana aduan yang merugikannya.
Difinsi antara laporan dan pengaduan tersebut memiliki perbedaan yang
mendasar, sebagai dasar penindakan bagi orang yang diduga sebagai pelaku tindak
pidana, untuk laporan sebagai dasar penindakan suatu peristiwa pidana aparat
penegak hukum khususnya penyidik sudah dapat bertindak melakukan penyelidikan
atau penyidikan jika mengetahui atau ada dugaan telah terjadi peristiwa pidana, dan
yang menjadi pelapor bukan hanya mereka yang menjadi korban peristiwa pidana
tersebut melainkan setiap orang yang mengetahui, melihat atau mendengarnya.
Sedangkan untuk pengaduan sebagai dasar penindakan, aparat penegak hukum
tidak akan mengambil tindakan hukum terhadap peristiwa yang diduga tindak
pidana jika pihak yang bersangkutan dengan masalah tersebut tidak membuat
pengaduan dan pengaduan yang sudah disampaikan kepada aparat penegak hukum
sewaktu-waktu dapat dicabut oleh pengadu.
Laporan atau pengaduan masyarakat yang diterima oleh aparat penyidik tidak
serta merta dapat
dilakukan tindakan penyidikan melainkan terlebih dahulu
dilakukan tindakan penyelidikan. Tindakan penyelidikan dipandang sangat perlu
dilakukan
karena laporan yang disampaikan oleh masyarakat
belum tentu
memenuhi syarat untuk dilakukan tindakan penyidikan, sehingga laporan-laporan
tersebut terlebih dahulu dilakukan identipikasi, diselidiki apakah peristiwa yang
dilaporkan tersebut benar merupakan peristiwa pidana, ada alat bukti pendukung
yang sah, ditemukan pelakunya.
Mengenai betapa pentingnya tugas polisi sebagai penyidik dalam perkara
tindak pidana umum Andi Hamzah menyatakan :
Pekerjaan polisi sebagai penyidik dapat dikatakan berlaku di seantero dunia.
Kekuasaan dan kewenangan (power and outhority) polisi sebagai penyidik
luar biasa penting dan sangat sulit, lebih-lebih yang di Indonesia. Di Indonesia
Polisi memonopoli penyidikan hukum pidana umum (KUHP) berbeda dengan
negeri lain. Lagi pula masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang
mempunyai adat istiadat yang berbeda76.
76
Pangaribuan, Luhut M.P. 2013, Hukum Acara Pidana Surat Resmi Advokat di Pengadilan,
Praperadilan, Eksepsi,Pledoi, Duplik, Memori Banding, Kasaski dan Peninjauan Kembali Cetakan
Pertama, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, hal 44
49
Posisi sentral kepolisian sebagai penyidik tindak pidana diatur baik dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981) maupun dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara R.I. dengan posisi sentral seperti itu, masyarakat masih bertanya-tanya
apakah Polri sudah siap memikul tanggung jawab sebagai penyidik untuk semua
tindak pidana baik mengenai sumber daya manusia (SDM) maupun mengenai
sarana dan prasarana pendukung dari tingkat pusat sampai ke daerah terpencil /
pelosok.
Penyidikan perkara tindak pidana
secara materiil harus diarahkan untuk
mendukung pembuktian unsur-unsur dari pasal (tindak pidana) yang disangkakan
terhadap tersangka/terdakwa. Kesuksesan kegiatan penuntutan/ pembuktian
dipersidangan sangat ditentukan oleh hasil penyidikan, karena hasil penyidikan
merupakan bahan dasar untuk pembuatan surat dakwaan dan surat dakwaan
merupakan dasar dari pemeriksaan perkara di persidangan.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) menentukan
disamping ada aparat penyidik juga dikenal adanya Penyidik Pembantu,
sebagaimana diberikan difinisi dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) “Penyidik
Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan “.
Mengenai syarat kepangkatan yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) tersebut
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor
58 tahun 2010 peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983, Pasal 3 ayat (1) menyatakan:
i. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya
berpangkat sersan dua polisi
ii. Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu dalam lingkup Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda
(golongan II/a) atau yang disamakan dengan itu .
Yang disempurnakan dalam Pasal 2A Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2010,
salah satu adalah persyaratan untuk dapat diangkat sebagai penyidik anggota
kepolisian berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling
rendah sarjana strata satu atau yang setara;
50
Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil telah
disempurnakan lagi sebagaimana diatur dalam Pasal 3A ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 58 tahun 2010, antara lain menyebukan “Untuk dapat diangkat
sebagai pejabat PPNS, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (antara
lain) :
b. berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a;
c. berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara;
dalam ketentuan ini mengenai kepangkatan Pegawai Negeri Sipil menjadi paling
rendah III/a dan berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang
setara, mengenai persyaratan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan tingkat
kemajuan pengetahuan, keterampilan serta penguasaan teknis dari pejabat penyidik
baik penyidik kepolisian maupun pegawai negeri sipil tertentu
Berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2), masih dimungkinkan adanya
penyidik selain kepolisian dan penyidik pegawai negeri sipil, walaupun terbatas
pada penyidikan perkara-perkara pidana dengan ketentuan acara secara khusus,
seperti jaksa selaku penyidik dalam perkara pidana korupsi dan pelanggaran hak
asasi manusia ( HAM berat), penyidik TNI Angkatan Laut untuk perkara
pelanggaran zone ekonomi ekslusif / perikanan, Penyidik Bea dan Cukai dan juga
Komisi Pemberantasan Korupsi selaku penyidik perkara korupsi 77.
Istilah penyidikan sebelum berlakunya undang-undang Nomor 8 tahun 1981
penulis dapat temukan
dalam beberapa ketentuan seperti Penetapan Presiden
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, sedangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan
lainnya digunakan istilah “penggusutan”, sebagaimana disebutkan antara lain dalam
:
1. Dalam Reglemen Indonesia yang diperbaharui
(RIB) dan HIR sebagai
ketentuan umum dalam penanganan perkara-perkara pidana maupun perdata,
dalam penanganan perkara pidana menggunakan istiah “pengusutan”
77
Sunaryo, Sidik, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Edisi pertama, Cetakan
pertama, Universitas Muhamadyah Malang, Malang, hal. 227.
51
2. Dalam undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
3. Perpu 24/1960, Pengusutan, Penuntutan Dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi, Pasal 2 (1) Aturan-aturan mengenai pengusutan dan penuntutan
menurut peraturan biasa, berlaku bagi perkara korupsi, sekedar tidak ditentukan
lain dalam peraturan ini.
Namun dari peraturan tersebut tidak ada yang memberi pengertian mengenai apa
yang dimaksud dengan tindakan pengusutan, akan tetapi secara harfiah pengertian
pengusutan tersebut dapat disamakan dengan pengertian penyidikan .
Berbagai istilah yang digunakan dalam rangka mengungkap suatu tindak
pidana pada tahap permulaan (pengusutan atau penyidikan), maka dari tindakan
tersebut akan menghasilkan berkas perkara (dossier). Andi Hamzah memberi
pengertian dari
berkas perkara, yaitu “kumpulan catatan atau tulisan secara
lengkap yang bersifat autentik mengenai perkara pidana yang dibuat oleh penyidik
dalam bentuk yang ditentukan undang-undang. Berisi pemeriksaan saksi, tersangka,
daftar barang bukti, perintah penahan” 78.
Berkaitan dengan tindakan penyidikan Pasal 7 ayat (1) huruf j jo pasal 109
ayat (2) KUHAP dan Pasal 16 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negera Repbulik Indonesia adalah ketentuan perundangundangan yang memberi wewenang kepada penyidik untuk melakukan tindakan
hukum berupa “mengadakan penghentian penyidikan”, kewenangan tersebut
diperoleh secara atribusi oleh penyidik.
Ketentuan Pasal : 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 dengan
tegas merumuskan: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak
pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan
hal tersebut
kepada penuntut umum, tersangka dan keluarganya”. Ketentuan-
ketentuan tersebut dimaksudkan dalam rangka mewujudkan kepastian hukum,
karena jika tidak ada kewenangan “penghentian penyidikan” maka terlalu banyak
perkara pada tahap penyidikan yang tidak ada ujung penyelesaianya . namun dalam
78
Hamzah,Andi Op. Cit hal .24
52
ketentuan tersebut tidak ditentukan tenggang waktu berapa lama penyidik harus
sudah mengambil tindakan penghentian penyidikan sejak mengetahui bahwa
perkara yang sedang ditangai memenuhi syarat untuk dihentikan penyidikannya.
2.2.
Hak Asasi Manusia Dan Hak Asasi Tersangka
Asas Equality be for the law serta pemahaman bahwa setiap manusia dimuka
bumi mempunyai hak-hak yang hakiki yang tidak boleh dikurangi oleh siapapun
dalam keadaan apapun, pembatasan hak-hak asasi manusia hanya bisa dilakukan
atas dasar undang-undang, demi menjamin hak-hak asasi orang lain.
Perlindungan mengandung makna bahwa setiap hak yang dimiliki oleh
manusia harus dijaga, ditegakan dan dipenuhi jangan sampai dirampas oleh pihak
lain termasuk didalamnya aparat pemerintah dengan alasan apapun.
2.2.1. Pengertian Hak Asasi Manusia
Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia yang dikumandangkan oleh Perserikatan
Bangsa Bangsa tahun 1948 yang lebih dikenal dengan Declaration of Human Rihts
yang merupakan pengakuan hak asasi manusia secara internasional, memberi
pengertian dari pada hak asasi manusia sebagai berikut : “Hak Azasi Manusia
adalah semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang
sama”.
Difinisi tersebut memberi pandangan bahwa setiap manusia dilahirkan ke
muka bumi dalam keadaan bebas dan merdeka serta memiliki derajat serta hak-hak
yang sama, seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hari nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi terhadap hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut, dan hak-hak ini dikenal dengan hak asasi yang non derogable
yaitu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun.
53
Perkembangan pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia secara
internasional semakin berkembang dan pada tahun 1966 telah dideklarasikan dua
jenis hak asasi manusia yang lebih spesifik dari deklarasi hak asasi manusia tahun
1948, yaitu hak asasi manusia bidang sipil dan politik (International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) beserta Protokol Opsional (Optional Protocol),
dan hak asasi manusia dibidang ekonomi, sosial dan budaya (Internasional
Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESR) beserta Protokol
Opsional (Optional Protocol).
Deklarasi hak asasi manusia yang mengatur hak-hak dibidang hukum adalah
kovenan hak sipil dan politik (International Convenant on Civil and Political
Rights), beserta protokol tambahanya yang dikenal dengan perkembangan Hak
Asasi Manusia generasi pertama (I) tahun 1966 . Pasal-pasal yang mengatur
mengenai perlindungan hak asasi manusia dibidang hukum, diantaranya Pasal 10
dan 14 ICCPR : Pasal 10 mengatur mengenai “hak sebagai tersangka dan terdakwa
diperlakukan secara manusiawi”, dan dalam Pasal 14 “ hak atas kedudukan yang
sama dimuka hukum”
Perwujudan bagi Bangsa Indonesia dalam rangka pengakuan, penghormatan
dan pemenuhan hak-hak asasi manusia pada tahun 1999 Pemerintah R.I. telah
mengesahkan dan mengundangkan undang-undang tentang hak asasi manusia,
sebagaimana diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Azasi Manusia, Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut
memberikan difinis atau pengertian mengenai hak asasi manusia sebagai berikut :
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, memberikan pengertian hak asasi manusia
sebagai berikut :
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia
54
Kamus Dental dictionary, memberi difinisi Human Right is The legal and
moral rights of humans recognized by national and international laws 79 . Hak asasi
manusia merupakan hak moral yang secara legal ada pada setiap manusia, diakui
oleh hukum nasional maupun internasional .
Indonesia sebagai bagian dari Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, secara
konstitusi telah turut meratifikasi
Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR)
sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang
Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik ( ICCPR), dalam penjelasan
umum point 3. Pokok-pokok Isi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik, Pasal 9,10, 11 dan 14 mengatur mengenai perlindungan hak asasi manusia
dibidang hukum.
Landasan prinsip/dasar secara filofis bagi Bangsa Indonesia turut melakukan
ratifikasi terhadap kovenan hak sipil dan politik tersebut adalah:
Instrumen Internasional ICCPR tersebut pada dasarnya tidak bertentangan
dengan Pancasila dan UUD. Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sesuai
dengan sifat Negara R.I. sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia yang menjamin persamaan kedudukan semua
warga negara di dalam hukum, dan keinginan Bangsa Indonesia untuk secara
terus menerus memajukan dan melindungi hak-hak asasi manusia dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara80.
Kovenan Hak Sipil dan Politik ( International Covenan Civil and Political
Rights/ ICCPR ) tanggal 16 Desember 1966 yang telah diratifikasi berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 secara tegas dan terrinci mengatur
mengenai hak-hak asasi manusia dibidang hukum dan peradilan, sebagaimana
tertuang pada Bagian III Pasal 9, 10, 11, serta Pasal 14 dan 15,
Article 9 ( Pasal 9)
1. Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be
subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his
liberty except on such grounds and in accordance with such procedure as
are established by law.
1. Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak
seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang.
Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan
79
http://www.answers.com/topic/human-rights
80
Sunarso Siswanto H., Op.Cit, hal.99
55
alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh
hukum.
2. Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of the
reasons for his arrest and shall be promptly informed of any charges
against him.
2. Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya
dan harus sesegera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang
dikenakan terhadapnya.
3. Anyone arrested or detained on a criminal charge shall be brought promptly
before a judge or other officer authorized by law to exercise judicial power
and shall be entitled to trial within a reasonable time or to release. It shall
not be the general rule that persons awaiting trial shall be detained in
custody, but release may be subject to guarantees to appear for trial, at any
other stage of the judicial proceedings, and, should occasion arise, for
execution of the judgement.
3. Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana,
wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang
diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan,
dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau
dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang
yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan
atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap
pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian.
4. Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall be entitled
to take proceedings before a court, in order that that court may decide
without delay on the lawfulness of his detention and order his release if the
detention is not lawful.
4. Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau
penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan, yang
bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan
keabsahan penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila
penahanan tidak sah menurut hukum.
5. Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall have
an enforceable right to compensation.
5. Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan
yang tidak sah, berhak untuk mendapat ganti kerugian yang harus
dilaksanakan.
Article 10 (Pasal 10)
1. All persons deprived of their liberty shall be treated with humanity and with
respect for the inherent dignity of the human person.
1. Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara
manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri
manusia.
2. (a) Accused persons shall, save in exceptional circumstances, be segregated from
convicted persons and shall be subject to separate treatment appropriate to
their status as unconvicted persons;
56
(b) Accused juvenile persons shall be separated from adults and brought as
speedily as possible for adjudication.
2. (a.) Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus,
harus dipisahkan dari orang yang telah dipidana, dan diperlakukan
secara berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum
dipidana;
(b) Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan
secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan.
3. The penitentiary system shall comprise treatment of prisoners the essential
aim of which shall be their reformation and social rehabilitation. Juvenile
offenders shall be segregated from adults and be accorded treatment
appropriate to their age and legal status.
3. Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan
melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana. Terpidana di
bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai
dengan usia dan status hukum mereka.
Article 11 (Pasal 11)
No one shall be imprisoned merely on the ground of inability to fulfil a
contractual obligation.
Tidak seorang pun dapat dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuannya
untuk memenuhi suatu kewajiban yang muncul dari perjanjian.
Article 14 (Pasal 14)
1. All persons shall be equal before the courts and tribunals. In the
determination of any criminal charge against him, or of his rights and
obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public
hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by
law. The press and the public may be excluded from all or part of a trial for
reasons of morals, public order (ordre public) or national security in a
democratic society, or when the interest of the private lives of the parties so
requires, or to the extent strictly necessary in the opinion of the court in
special circumstances where publicity would prejudice the interests of
justice; but any judgement rendered in a criminal case or in a suit at law
shall be made public except where the interest of juvenile persons otherwise
requires or the proceedings concern matrimonial disputes or the
guardianship of children.
1. Semua orang mempunyai kedudukan
yang sama di hadapan
pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana
terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam
suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil da terbuka
untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan
tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat
dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena
alasan moral , ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu
masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut
pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan
merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang
57
diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam
sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-anak
menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan
dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.
2. Everyone charged with a criminal offence shall have the right to be
presumed innocent until proved guilty according to law.
2. Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak
bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum.
3. In the determination of any criminal charge against him, everyone shall be
entitled to the following minimum guarantees, in full equality:
3. Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang
berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang
penuh:
(a) To be informed promptly and in detail in a language which he
understands of the nature and cause of the charge against him;
a) Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa
yang dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang
dikenakan terhadapnya;
(b) To have adequate time and facilities for the preparation of his
defence and to communicate with counsel of his own choosing;
b) Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk
mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara
yang dipilihnya sendiri;
(c) To be tried without undue delay;
c) Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya;
(d) To be tried in his presence, and to defend himself in person or
through legal assistance of his own choosing; to be informed, if he
does not have legal assistance, of this right; and to have legal
assistance assigned to him, in any case where the interests of justice
so require, and without payment by him in any such case if he does
not have sufficient means to pay for it;
d) Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri
secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri,
untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai
pembela; dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi
kepentigan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki
dana yang cukup untuk membayarnya;
(e) To examine, or have examined, the witnesses against him and to
obtain the attendance and examination of witnesses on his behalf
under the same conditions as witnesses against him;
e) Untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang
memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya
saksi-saksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang
sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya;
(f) To have the free assistance of an interpreter if he cannot understand
or speak the language used in court;
58
f) Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila
ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang
digunakan di pengadilan;
(g) Not to be compelled to testify against himself or to confess guilt.
g) Untuk
tidak
dipaksa memberikan
kesaksian
yang
memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah.
4. In the case of juvenile persons, the procedure shall be such as will take
account of their age and the desirability of promoting their rehabilitation.
4. Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus
mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan
rehabilitasi bagi mereka.
5. Everyone convicted of a crime shall have the right to his conviction and
sentence being reviewed by a higher tribunal according to law.
5. Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali
terhadap keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih
tinggi, sesuai dengan hukum.
6. When a person has by a final decision been convicted of a criminal offence
and when subsequently his conviction has been reversed or he has been
pardoned on the ground that a new or newly discovered fact shows
conclusively that there has been a miscarriage of justice, the person who
has suffered punishment as a result of such conviction shall be compensated
according to law, unless it is proved that the non-disclosure of the unknown
fact in time is wholly or partly attributable to him.
6. Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian
ternyata diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta
baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan secara
meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan.
Maka orang yang telah menderita hukuman sebagai akibat dari
keputusan tersebut harus diberi ganti rugi menurut hukum, kecuali jika
dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu,
sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri.
7. No one shall be liable to be tried or punished again for an offence for
which he has already been finally convicted or acquitted in accordance
with the law and penal procedure of each country.
7. Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak
pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau
dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masingmasing negara.
Article 15 (Pasal 15)
1 . No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or
omission which did not constitute a criminal offence, under national or
international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier
penalty be imposed than the one that was applicable at the time when the
criminal offence was committed. If, subsequent to the commission of the
offence, provision is made by law for the imposition of the lighter penalty,
the offender shall benefit thereby.
59
1. Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana
karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bukan
merupakan tindak pidana pada saat dilakukannya, baik berdasarkan
hukum nasional maupun internasional. Tidak pula diperbolehkan untuk
menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukuman yang berlaku
pada saat tindak pidana tersebut dilakukan. Apabila setelah
dilakukannya suatu tindak pidana muncul ketentuan yang lebih ringan
hukumannya, maka pelaku harus mendapatkan keuntungan dari
ketentuan tersebut.
2. Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person
for any act or omission which, at the time when it was committed, was
criminal according to the general principles of law recognized by the
community of nations.
2. Tidak ada satu hal pun dalam pasal ini yang dapat merugikan
persidangan dan penghukuman terhadap seseorang atas tindakan yang
dilakukan atau yang tidak dilakukan, yang pada saat hal itu terjadi
masih merupakan suatu kejahatan menurut asas-asas hukum yang diakui
oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Pengaturan hak asasi manusia dalam hukum Indonesia hendaknya mencakup
aspek-aspek, antara lain :
a. Menjadikan HAM bagian dari hukum indonesia.
b. Terdapat prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM
tersebut
c. Terdapat pengadilan yang bebas
d. Terdapat pula profesi hukum yang bebas81
Mardjono Reksodiputro
menyatakan pendapatnya bahwa cara pelaksanaan
pengaturan hukum hak asasi manusia dalam peraturan hukum harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1. Menjadikan HAM sebagai bagian dari hukum indonesia.
2. Terdapat prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM
3. Terdapat pengadilan yang bebas ( an independent judiciary)
4. Adanya profesi hukum yang bebas (an independent legal profession) 82
Ketentuan Pasal 28 J ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan : “Perlindungan,pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah
81
Sujata, Antonius, Op.Cit. hal. 31-32
82
Nuraeny Henny, Op.Cit.. hal 120
60
“. maka sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk memberi
perlindungan, memenuhi serta menegakan hak-hak asasi manusia
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Pemerintah
Republik Indonesia telah mengeluaran berbagai peraturan perundang-undangan,
yang mengatur mengenai perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak
asasi manusia, diantara :
1. Keputusan Presiden
Nomor 50 tahun 1993 tentang Pembentukan Komisi
Nasional Hak Asisi Manuasia
2. Ketetapan MPR R.I. Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
3. Jauh sebelumnya pengaturan hak asasi Warga Negara R.I. juga telah diatur
dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, kemudian dilakukan amandemen
/ perubahan terhadap Undang-undang Dasar 1945 sebanyak empat kali, dengan
agenda utama adalah pengaturan mengenai hak asasi manusia secara lebih detail
terutama pada saat dilakukan amandemen ke dua tanggal 7 – 18 Agustus 2000,
dengan menambahkan satu bab sesudah Bab X yaitu Bab XA tentang Hak Asasi
Manusia yaitu dalam Pasal 28 A sampai J 83
4. Berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan hak
asasi manusia.
Apabila kita simak kebelakang, bahwa pengaturan hak asasi manusia dibidang
hukum secara pundamental telah diatur oleh pemerintah sejak berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 27
s/d 33; Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Segala
warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dari
pernyataan Pasal 27 ayat (1) tersebut terkandung makna perlakuan yang sama
terhadap semua warga Negara tanpa terkecuali dihadapan hukum (equality befor
the law), perlakuan yang sama penulis maksudkan terhadap semua warga Negara
termasuk mereka yang terlibat dalam permasalahan hukum (tersangka) mendapat
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasinya.
83
. Ibid, hal. 126
61
2.2.2. Hak Asasi Tersangka
Selain berbagai ketentuan internasional yang mengatur mengenai hak-hak
asasi manusia khususnya dibidang hukum,
juga yang menjadi cikal bakal
pengakuan hak-hak asasi tersangka / terdakwa dibidang hukum yang diikuti oleh
negara-negara didunia adalah Hukum Acara Pidana Amerika Serikat yang dikenal
dengan Miranda Rule.
Miranda Rule adalah Suatu aturan yang mengatur tentang hak-hak
seseorang secara konstitusional yang dituduh atau disangka melakukan tindak
pidana/kriminal, sebelum diperiksa oleh penyidik/instansi yang berwenang84.
Hak-hak tersangka/ terdakwa yang diatur dalam ketentuan Miranda Rule
adalah suatu aturan yang mengatur tentang hak-hak seseorang yang dituduh atau
disangka
melakukan tindak pidana /
kriminal, sebelum
diperiksa oleh
penyidik/instansi yang berwenang85, pada pokoknya meliputi hak untuk diam, hak
untuk didampingi atau mendapatkan /menghubungi penasehat hukum sejak awal
suatu proses perkara pidana sampai tahap akhir. Dalam perlindungan dan
penegakan hak-hak tersangka / terdakwa juga dikenal adanya Miranda Right dan
Miranda Warning.
Miranda Rights adalah ketentuan yang mewajibkan aparatur penegak hukum
khususnya penyidik untuk memberitahukan kepada tersangka atas hak-hak yang
dimilikinya sebelum dilakukan penangkapan, penahanan86. penyidik sebelum
melakukan tindakan upaya paksa terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku
tindak pidana maka terlebih dahulu harus diberitahu mengenai hak-hak hukum
orang tersebut seperti hak menghubungi penasehat hukum, hak didampingi
penasehat hukum dan sebaginya.
84
Sofyan Lubis, Op.Cit, hal. 15
85
Sofyan Lubis, Loc.Cit
86
Sofyan Lubis, Op.Cit, hal. 17
62
Sedangkan Miranda warning adalah peringatan yang harus diberikan oleh
penyidik kepada tersangka87
misalnya hak bagi tersangka untuk diam/tidak
menjawab, hak untuk mendapat pendampingan hukum pada saat pemeriksaan dan
lain sebagainya.
Hak asasi tersangka/terdakwa adalah sejumlah hak-hak bagi seseorang yang
didudukan sebagai tersangka /terdakwa
yang telah ditentukan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana diatur dalam Pasal
50 sampai dengan 74 KUHAP .
Dibandingkan dengan ketentuan perlindungan terhadap hak-hak tersangka /
terdakwa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), dengan hak-hak tersangka / terdakwa yang diatur dalam Miranda Rule,
Miranda Rights, maupun dalam Miranda Princip hampir sama. Dalam Kitab
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP)
diatur
mengenai
hak
tersangka/terdakwa “memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik, tidak
boleh dipaksa, ditekan “, dalam pasal ini secara implisif diatur mengenai kebebasan
tersangka untuk memberi keterangan atau tidak memberi keterangan (diam) ,
tersangka / terdakwa tidak bisa dipaksa/ditekan untuk memberi keterangan sesuai
kemauan penyidik.
2.2.3. Pembaharuan Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang ditetapkan
mulai berlaku sejak 31 Desember 1981 telah berusia lebih dari tiga puluhan tahun,
secara teori ketentuan tersebut sudah harus dilakukan pembaharuan, dalam kurun
waktu tersebut telah terjadi banyak perubahan dan perkembangan peraturan
perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek kehidupan warga negara dan
apabila terjadi pelanggaran terhadapat peraturan perundang-undangan tersebut
banyak masalah hukum yang tidak mampu dijangkau oleh ketentuan-ketentuan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP), oleh karena itu
63
dibentuklah berbagai hukum acara pidana yang disatukan dalam perundangundangan
organik untuk menjangkau perkembangan
ilmu pengetahuan dan
teknologi yang semakin canggih, sehingga terlihat selain hukum acara pidana yang
diatur dalam KUHAP juga terdapat hukum acara pidana yang tersebut dalam
peraturana perundang-undangan secara khusus.
Pendapat mengenai pembaharuan hukum pidana
diungkapkan oleh Andi
Hamzah yang menyatakan, disamping penciptaan peraturan yang lebih baik
mengenai peradilan pidana, juga orang yang harus menegakkan peraturan itu perlu
ditingkatkan pengetahuan, moral dan akhirnya wibawanya88, proses peningkatan
moralitas, integritas, profesionalitas dan proforsionalitas aparat penegak hukum
dilakukan dengan cara memberi pendidikan dan pelatihan teknis administratif
maupun teknis penanganan perkara, pendidikan budi pakerti yang dimulai sejak
pembentukan awal penyidik, jaksa maupun hakim.
Pembaharuan hukum acara pidana mengandung pengertian dilaksanakanya
pembaharuan / perubahan baik secara menyeluruh (general) maupun bagian-bagian
tertentu (parcial) dari hukum acara pidana yang sedang berlaku (ius constitutum).
Pembaharuan hukum acara pidana ( Ius Constituendum) diharapkan selain
membawa perubahan secara mendasar bagi hukum acara pidana dalam hal ini
menyangkut tenggang waktu penyelesaian setiap tahap pemeriksaan perkara juga
mampu menyatukan hukum acara pidana yang berlaku (kodifikasi) serta bersifat
dinamis.
Pembaharuan hukum acara pidana dapat dilakukan dengan cara pembentukan
hukum baru, perubahan hukum acara yang sudah ada, melalui penemuan hukum
atau yang dalam pengertian luas disebut sebagai kebijakan hukum pidana (Penal
Polyce).
88
Hamzah Andi, 1993. Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori Dan Praktek,
Penahanan-Dakwaan-Requisitoir, Reneka Cipta , Jakarta, hal. 11
BAB III
KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM
DALAM PERSEPEKTIF IUS CONSTITUTUM TERKAIT DENGAN
PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA
3.1. Ketentuan Batas Waktu Penyidikan Perkara Tindak Pidana Umum
Dalam Persepektif Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana (Criminal justice system) secara garis besar dalam
penerapannya menggunakan dua model yaitu Crime Control Model dan Due
Process Model. Model pemeriksaan perkara dengan Crime Control Model tujuan
utamanya adalah ketertiban umum (public order) dan efiseiensi, penyelesaian suatu
perkara dilaksanakan dengan cepat demi efisiensi, dalam pelaksanaan model ini
perlindungan terhadap hak asasi manusia kurang mendapat perhatian
agar
perkaranya cepat selesai dan berlaku asas “presumption of guilt” yaitu asas pra duga
bersalah
(setiap orang yang didudukkan sebagai tersangka/terdakwa dianggap
sudah bersalah), proses peradilan hanyalah formalitas belaka, terperiksa dijadikan
obyek pemeriksaan ( in quisatoir), seiring dengan perkembangan zaman terutama
pengakuan, penegakan dan perlindungan hak asasi manusia secara internasional
maka model Crim Control Model mulai ditinggalkan. Sebagai pengganti Crime
Control Model timbul Sistem Peradilan Pidana dengan model Due Process Model
Sistem penyelesaian perkara dengan model
Due Process Model dalam
pelaksanaan penegakan hukum mengutamakan penanganan perkara harus
mengukuti prosedur formal sebagaimana yang ditentukan dalam perundangundangan (hukum formil),
sistem ini
menentang terjadinya tindakan yang
sewenang-wenang dari aparat penegak hukum, mengutamakan perlindungan dan
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan menerapkan asas presumtion of
innocent (praduga tidak bersalah) dimana tersangka/ terdakwa dianggap sebagai
orang yang tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan
64
65
terdakwa bersalah dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap, kedudukan
tersangka diperlakukan sederajat dengan pemeriksa (aqusatoir). Kedua model
system peradilan pidana tersebut dikembangkan oleh Helbert L Packer .
Penegakan hukum
pidana materiil khususnya yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
menggunakan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai ketentuan hukum formilnya, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mensyaratkan bahwa proses pelaksanaan
penegakan hukum harus dilakukan dengan cara-cara yang benar sesuai ketentuan
hukum acara pidana yang telah ditetapkan ( due process model). Sistem Peradilan
Pidana yang berdasarkan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang mengedepankan nilai-nalai kemanusiaan dan keadilan yang juga
dikenal dengan due process of law ( penegakan hukum yang procedural formal,
adil, logis dan layak). Sistem peradilan pidana Indonesia menganut asas deferensi
fungsional yaitu adanya koordinasi fingsional diantara aparat penegak hukum dalam
melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing, pembagian
tugas dan fungsi
masing-masing aparat seperti tahap penyidikan dilaksanakan oleh penyidik (Polri
& PPNS), penuntutan dilaksanakan oleh penuntut umum, pemeriksaan persidangan
dilaksankan oleh hakim termasuk upaya hukum serta tahap pelaksanaan putusan
pengadilan lembaga pemasyarakatan, termasuk pemberian bantuan hukum
dilaksanakan oleh advokat/penasehat hukum, tidak dimaksudkan untuk mengkotakotakkan aparat penegak hukum, melainkan untuk member keleluasaan dalam
mengatur rumah tangga sendiri, namun dalam pelaksanaan tugas dan fungsiu
mereka harua saling berkoordinasi satu dengan yang lain secara integral .
Sistem Peradilan Pidana
yang didasarkan
pada Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) menggunakan pendekatan normatif, pendekatan
administratif dan pendekatan sosial, yaitu :
Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pemasyarakatan) sebagai institusi
pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat
aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penegak
hukum semata-mata
Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum
sebagai suatu organisasi menajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik
hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal, sesuai
dengan struktur yang berlaku dalam organisasi tersebut
66
Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari satu sistem sosial sehingga masyarakat
secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan dari keempat
aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya89
Melalui pendekatan seperti tersebut diharapkan pelaksanaan penegakan hukum
dapat memperoleh hasil yang maksimal khususnya dalam pencegahan dan
penanggulangan kejahatan.
Pendekatan sistem peradilan pidana Indonesia telah mengatur cara kerja
masing-masing lembaga penegak hukum yang harus dilaksanakan secara simultan
dan terkoordinasi (Integreted criminal Justice System), keterpaduan diantara
komponen penegak hukum tersebut dilakukan sejak proses penyidikan berlanjut
sampai pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan.
Penerapan proses penanganan perkara yang benar sesuai prosedur hukum
yang berlaku baik dalam rangka mendapatkan alat bukti, untuk menentukan
tersangka serta proses upaya paksa, maka Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) telah merumuskan ketentuan untuk itu secara jelas dan tegas.
Dalam Sistem Peradilan Pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) disamping menerapkan model doe proses model, maka dalam
pelaksanaan penegakan hukum juga menerapkan konsep doe process of law yaitu
proses pemeriksaan perkara secara benar dan adil dengan mengedepankan nilainilai kemanusiaan.
Proses pembuktian suatu peristiwa pidana/kejahatan harus didukung dengan
alat bukti / barang bukti yang diperoleh dengan cara-cara yang benar, demikian
juga proses untuk menetapkan orang sebagai tersangka juga harus melalui proses
yang benar tanpa mengabaikan hak-hak asasinya. Ketika penyidik telah menetapkan
orang sebagai tersangka maka asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocent) harus dipegang teguh. Sejak awal tersangka harus diberitahu mengenai
hak-haknya termasuk didampingi penasehat hukum, mendapat bantuan hukum dan
sebagainya. Selanjutnya asas penanganan perkara secara cepat sederhana dan biaya
ringan harus benar-benar diterapkan. Apabila proses peroleh alat maupun barang
bukti dapat dibuktikan diperoleh dengan cara-cara yang melawan hukum maka
89
Fachmi, Op. Cit. hal. 124
67
proses penyidikan yang telah dilakukan dapat dibatalkan atau menjadi batal demi
hukum, demikian juga apabilan proses upaya paksa seperti penangkapan,
penahanan yang dilakukan secara melawan hukum maka tindakan tersebut menjadi
tidak sah secara hukum.
Tujuan utama dari proses penyidikan adalah mengumpulkan alat bukti yang
sebanyak-banaknya sehingga membuat terang atas dugaan terjadinya kejahatan
/pelanggaran tindak pidana umum
serta mencari dan menemukan pelakunya
(tersangka).
Esensi dari sistem peradilan pidana yang menggunakan pendekatan due
process model yang artinya penerapan hukum harus sesuai dengan “persyaratan
undang-undang” serta harus “mentaati hukum”, dimana dalam proses penegakan
hukum tidak boleh terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum tertentu dengan
dalih untuk menegakan bagian hukum yang lain. Untuk mendukung pelaksanaan
model tersdebut
dalam sistem peradilan pidana diperlukan setidaknya dua
komponen utama
yaitu aparatur penegak hukum dan peraturan perundang-
undangan yang baik dan benar, dimana antara komponen satu dengan yang lain
saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan.
Komponen aparatur penegak hukum sangat dibutuhkan dalam rangka
melaksanakan komponen peraturan perundang-undangan, dalam pelaksanaan due
process of law
aparatur penegak hukum harus berpedoman” dan “mengakui”
(recognized), “menghormati” (to respect for), dan melindungi (to protect) serta
“menjamin” dengan baik “doktrin inkorporasi” (incorporation doctrin), peraturan
perundang-undangan yang memuat berbagai hak warga negara khususnya bagi yang
diduga melakukan tindak pidana.
Antonius Sujata menyebut komponen struktur hukum, merupakan sub sistem
dari sistem peradilan pidana dimana dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum
mereka harus bekerja sama secara
terintegrasi sehingga melahirkan sistem
peradilan pidana yang terpadu (Integrated Criminal Justice System ) 90.
Berkaitan dengan betapa pentingnya aparatur penegak hukum, seorang ahli
hukum bernama Lundsted menegaskan bahwa :
90
Ibid..hal. 8
hukum baru memiliki makna
68
setelah ditegakkan, tanpa penegakan, hukum bukan apa-apa dan yang memberi
makna dari hukum adalah aparat, khususnya aparat penegak hukum serta
masyarakat”91.
Lundsted berpandangan bahwa “sebaik apapun peraturan
perundang-undangan (hukum) dibuat, tanpa adanya aparat penegak hukum yang
melaksanakan perundang-undangan tersebut maka ia tidak akan mempunyai makna
apa-apa”.
Ahli hukum yang lebih mempertegas bahwa hukum akan mempunyai makna
yang baik apabila ditegakan oleh aparat penegak hukum yang baik, adalah
Taverne yang mengatakan : “Berilah aku hakim yang baik, jaksa yang baik serta
polisi yang baik, maka dengan hukum yang buruk sekalipun akan memperoleh hasil
yang lebih baik “92. Jadi hukum dalam bentuknya yang tertulis hanya merupakan
komponen pelengkap bagi aparat penegak hukum,
inti dari pendapat Taverne
adalah untuk memperoleh hasil yang baik dari sistem hukum suatu negara
dibutuhkan
aparat penegak hukum yang memiliki integritas, moralitas dan
profesionalisme serta intelektual yang baik .
Pernyataan mengenai betapa penting adanya kerjasama diantara aparat
penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum melalui sistem peradilan
pidana terpadu secara konstitusi dapat ditemukan rumusan dalam Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1991 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indoneisa, Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5
tahun 1991 yang berbunyi
“dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan-badan penegak hukum dan
keadilan serta badan negara atau instansi lainnya” .Dalam proses penanganan
perkara pidana umum lembaga Kejaksaan memegang peranan titik sentral, hal ini
disebabkan proses penanganan perkara yang bermula dari penyidik dibuatkan
berkas perkara setelah itu berkas perkara dikirim ke Kejaksaan, apabila berkas
perkara memenuhi persyaratan untuk ditingkatkan ke penuntutan maka Kejaksaan
melimpahkan perkara ke Pengadilan untuk dilakukan proses pembuktian, setelah
91
Ibid..hal. 7
92
Loc.Cit.
69
perkara diputus oleh pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap
kembali ke Kejaksaan untuk dilakukan eksekusi .
Penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1991 secara jelas dan
lengkap menguraikan menganai sistem kerjasama diantara aparat penegak hukum
(Integreted Criminal Justice System) antara lain :
Adalah menjadi kewajiban setiap badan negara terutama dalam bidang
penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerjasama
yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan dan keterpaduan dalam
suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu.
Hubungan kerjasama ini dilakukan melalui koordinasi horizontal dan vertikal,
secara berkala dan berkesinambungan dengan tetap menghormati fungsi, tugas
dan wewenang masing-masing. Kerjasama kejaksaan dengan instansi penegak
hukum lain dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum sesuai
dengan asas cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak
memihak dalam penyelesaian perkara .
Pembentuk undang-undang menyadari sepenuhnya bahwa untuk memperoleh
hasil penegakan hukum yang baik, maka kerjasama secara terpadu diantara aparat
penegak hukum memegang peranan yang sangat penting. Kerjasama antara
penyidik dengan Penuntut Umum secara fungsional dapat dilihat dalam hal
pemberitahuan bahwa penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu perkara,
kemudian adanya permintaan perpanjangan penahanan (jika perlu), pengiriman
berkas perkara hasil penyidikan untuk dilakukan penelitian (pra penuntutan),
pengiriman/pelimpahan tersangka dan barang bukti untuk dilakukan penuntutan,
demikian sebaliknya Jaksa/Penuntut Umum dapat mengembalikan berkas perkara
hasil penyidikan disertai dengan petunjuk agar penyidik melakukan perbaikanperbaikan tehadap kekurang sempurnaan hasil penyidikan, kemudian hubungan
penyidik dengan Hakim/pengadilan seperti permintaan penetapan penggeledahan,
penyitaan, perpanjangan penahanan (jika perlu), sedangkan hubungan informal
seperti koordinasi penyidik dengan penuntut umum untuk mengurangi terjadinya
petunjuk yang berulang-ulang (berkas perkara bolak-balik), dan lain sebagainya.
Hal tersebut member cirri pokok bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana menganut sistem pembagian tugas dan wewenang diantara jajaran aparat
70
penegak hukum (asas deferensiasasi fungsional), asas penjernihan (Clarification)
dan modifikasi (modification) 93.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga menganut asas
spesialisasi, deferensiasai dan kompartemensasi. Tidak saja membedakan dan
membagi tugas dan kewenangan, tetapi juga memberi sekat pertanggung jawaban
lingkup tugas suatu proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, yang terintegrasi karena antara institusi penegak hukum yang satu
dengan yang lainnya secara fungsional ada hubungan sedemikian rupa didalam
proses penyelesaian perkara pidana94. Namun demikian kerjasama fungsional
tersebut tidak boleh mengganggu fungsi-fungsi (spesialisasi) dari masing-masing
aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Menurut Muladi
ada beberapa hal yang patut diperhatikan apabila
menginginkan sebuah Sistem Peradilan Pidana (SPP)
yang baik dan otomatis
berwibawa dimata masyarakat, antara lain:
1. Asas-asas dasar prosedural
a. Kewenangan untuk menangani tindak pidana merupakan kewenangan
negara.
b. Perlunya pemantapan apa yang dinamakan mechanism for judical control.
c. Perlunya kriteria-kriteria yang jelas terhadap discretionary powers.
d. Kebebasan peradilan harus ditegakkan.
2. Asas-asas prosesuai
a. Setiap perorangan dan lembaga baik publik maupun privat harus
bekerjasama dengan pengadilan apabila diminta.
b. Penundaan yang tidak beralasan (undue delay) harus dihindarkan.
3. Hak-hak tersangka / terdakwa
a. Harus didampingi penasehat hukum sejak pemeriksaan pendahuluan
kecuali yang bersangkutan menolak.
b. Hak untuk didampingi penterjemah apabila diperlukan.
c. Larangan penggunaan kekerasan, ancaman, iming-iming dan sebagainya
untuk memperoleh pengakuan .
d. Perlu sanksi kriminal atau disiplin yang tegas bagi para penegak hukum
yang melanggar asas-asas peradilan.
e. Bukti-bukti yang diperoleh secara tidak sah harus ditolak
oleh
pengadilan .
93
94
Harahap, Yahya Op.Cit, hal. 47
Efendy, Marwan 2010, Kejaksaan dan Penegakan Hukum, Timpani Publising, Jakarta,hal
71
f. Bantuan hukum yang dipilih secara bebas harus pula dimungkinkan pada
setiap tahap peradilan pidana, termasuk pada saat yang bersangkutan
harus menjalani pidana .
g. Kerahasiaan komunikasi antara terdakwa dan penasehat hukumnya
harus dijamin.
h. Kebebasan praktek profesional pengacara harus dijamin oleh negara .
i. Asas proposionalitas dalam penggunaan upaya hukum paksa hendaknya
selalu digunakan dengan mempertimbangkan secara khusus gravitas
tindak pidananya dengan segala konsekwensinya
j. Peradilan yang cepat harus selalu diperhatikan .
k. Penahanan hendaknya selalu
rnemperhatikan keabsahan penahanan
dan kebutuhan penahanan (ultima ratio principles).
l Tindakan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia
harus dihindarkan dalam penahanan.
m. Proses peradilan harus terbuka untuk umum, keculi hal tertentu dan
harus diadili leh berbagai unsure yan akan menenttukan penilaian tehadap
pelaku
n. Saksi ahli sedapat mungkin diajukan .
o. Asas praduga tak bersalah dan asas in dupic pro reo harus dijamin.
p. Negara harus rnengatur kemungkinan untuk perbaikan apabila terjadi
judicial error atau malfunctioning of the’ administration or justice95
Berdasarkan teori Sistem Peradilan Pidana dengan due process of law yang
diatur dalam Hukum Acara Pidana Indonesia masih dipertanyakan, apakah dalam
penegakan hukum pidana khususnya pada tahap penyidikan acara peradilanya
sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku ?, Sofyan Lubis berpendapat bahwa
sampai saat ini pelaksanaan penegakan hukum yang berpedoman pada UndangUndang Nomor 8 tahun 1981 masih banyak terjadi penyimpangan bahkan
pelanggaran terhadap hak-hak tersangka.
Penyimpangan (penyalahgunaan wewenang) terhadap ketentuan dalam hukum
acara pidana pada tahap penyidikan
berakibat tidak sahnya hasil penyidikan,
penyimpangan ketentuan KUHAP serta pelanggaran terhadap hak-hak tersangka
yang sangat sering terjadi adalah “pemeriksaan tersangka yang tidak didampingi
penasehat hukum/advokat” padahal tindak pidana yang disangkakan terhadap
tersangka ancaman hukumanya lebih dari 5 (lima) tahun. Keengganan penyidik
untuk
menyediakan penasehat hukum bagi tersangka selalu dikelabui dengan
dibuat dan dilampirkan Surat Pernyataan Penolakan di dampingi Penasehat Hukum
95
Akub, M. Syukri dan Baharuddin Baharu, 2012,Wawasan Due Proses Of Law Dalam
Sistem Peradilan Pidana, cetakan pertama, Rengkang Education, Yogakarta, hal. 146-147
72
. Hal lain yang lebih banyak terjadi adalah ketika seseorang telah ditetapkan sebagai
tersangka ia/mereka tidak dengan segera mendapat pemeriksaan / penyidikan
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
Upaya untuk mendapatkan hasil penanganan perkara
yang baik pada setiap
tahap proses, memerlukan waktu tertentu dan waktu tersebut
harus ditentukan
batasnya ( time limit), agar proses tersebut tidak liar tanpa batas, tidak berlarut-larut
tanpa ujung penyelesaian khususnya dalam proses penyidikan perkara tindak pidana
umum yang ditangani oleh penyidik kepolisian. Kami memfokuskan penyidikan
perkara yang ditangani oleh penyidik kepolisian karena sesuai ketentuan Pasal 107
KUHAP hasil penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
penyampaian kepada penuntut umum harus melalui penyidik kepolisian, penyidik
kepolisian berkewajiban memberi petunjuk kepada Pernyidik Pegawai Negeri Sipil,
ketentuan ini mengarahkan kepolisian sebagai penyidik tunggal sehingga wajarlah
bahwa tanggung jawab hasil penyidikan berada pada pihak penyidik kepolisian.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pedoman dalam
pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana juga telah mengatur hak-hak dari tersangka
pada saat proses penyidikan,
dimana hak-hak tersebut harus dihormati dan
ditegakkan tanpa membeda-bedakan orang karena status sosial, ras maupun suku,
agama.
Proses penyidikan suatu perkara pidana jika dibiarkan dalam waktu yang lama
(tanpa batas waktu) dapat menimbulkan permasalahan baru seperti hilang
atau
rusaknya alat dan atau barang bukti, dapat menyebabkan kadaluwarsa masa
penuntutan, terjadi perampasan hak-hak tersangka, tidak memberi kepastian hukum
serta kemerosotan wibawa penegakan hukum.
3.1.1. Kepastian Hukum Penyidikan Perkara Tindak Pidana Umum Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pedoman
dalam penanganan perkara tindak pidana umum menganut sistem akusatur
(aqusatoir) dalam penyidikan perkara tindak pidana umum, dalam sistem ini
undang-undang menempatkan tersangka sebagai subyek hukum, tersangka
73
mempunyai kedudukan yang setara dengan
aparat penyidik. Dalam sistem
akusatoir ini tujuan dari pemeriksaan (process verbal) terhadap tersangka adalah
untuk mendapatkan alat bukti berupa keterangan yang diberikan oleh tersangka atas
tindak pidana yang disangkakan terhadapnya, tersangka dalam memberi keterangan
dihadapan penyidik dijamin kebebasanya, sehingga bisa melakukan penyangkalan
atas tindak pidana yang disangkakan, tersangka juga boleh tidak menjawab atas
pertanyaan yang diajukan oleh penyidik (Miranda Rule).
Penyidik dalam menjalankan tugas penyidikan harus benar-benar mentaati
hukum serta menghormati prinsip-prinsip : tidak boleh memaksa saksi untuk
memberikan keterangan yang dapat memberatkan dirinya, memberi perlindungan
kemerdekaan atas diri, harta benda, memberi hak pemeriksaan silang /konfrontasi
antara pelapor dengan tersangka, hak memperoleh pemeriksaan yang cepat.
Tujuan dari pada penegakan hukum salah satunya adalah untuk mewujudkan
kepastian hukum, sedangkan hakekat dari kepastian hukum itu sendiri adalah setiap
permasalahan hukum (kasus) dapat diselesaikan
sesuai ketentuan hukum yang
berlaku dan aparat penegak hukum dapat menjalankan tugas, wewenangnya sesuai
ketentuan hukum yang berlaku, tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan (abuse
of power) oleh aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas. Kepastian hukum
mencakup juga kepastian proses dan kepastian penerapan (Bagir Manan), kepastian
proses dalam hal ini adalah adanya kejelasan penyelesaian suatu proses penanganan
perkara (penyidikan).
Tujuan utama dari proses penyidikan adalah mengumpulkan alat bukti,
membuat terang suatu perkara dan menemukan tersangka . Alat bukti merupakan
kunci pokok dalam pengungkapan suatu perkara tindak pidana umum, alat bukti
yang dimaksud adalah alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 (1) KUHAP
yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti surat, alat bukti
keterangan tersangka dan alat bukti petunjuk. Selain alat bukti dalam perkara tindak
pidana umu
juga dikenal adanya barang bukti yaitu barang yang digunakan
melakukan suatu kejahatan atau barang yang dioperoleh (hasil) dari suatu kejahatan.
Barang bukti bisa diperoleh dari pelaku (tersangka) bisa ditemukan pada korban
ataupun bisa ditemukan/dikuasai pihak lain.
74
Membuat terang suatu perkara maksudnya adalah dengan dilakukan
pemeriksaan terhadap alat bukti (saksi, ahli, surat, pertunjuk maupun tersangka),
maka
alat
bukti
tersebut
dapat
dipastikan
memiliki
korelasi
dengan
kejadian/peristiwa pidana, seperti saksi-saksi adalah orang yang mengalami, atau
melihat atau mendengar langsung teradinya tindak pidana tersebut; ahli adalah
orang yang benar-benar memiliki pengetahuan terkait dengan peristiwa pidana yang
terjadi; surat adalah dokumen yang dibuat dan ditanda tangani dibawah sumpah
oleh pejabat yang berwenang serta berkitan dengan tindak pidana yang terjadi ;
petunjuk adalah adanya keterkaitan antara keterangan alat bukti satu dengan yang
lain yang menerangkana bahwa benar telah tejadi tindak pidana dan terangka
sebagai pelakunya ; keterangan tersangka adalah keterangan yang diperoleh dari
tersangka dengan cara-cara yang sah, tanpa tekanan, tanpa paksaan serta
menjunjung hak-hak tersangka. Dari hasil pemeriksaan terhadap alat bukti tersebut
perkara/kasusnya menjadi mudah dibuktikan karena diantara alat bukti saling
mendukung untuk pembuktian.
Menemukan tersangka maksudnya adalah ketika penyidik menemukan suatu
peristiwa yang diduga tindak pidana atau baru menerima laporan atau pengaduan
maka belumlah tentu ada pelaku tindak pidana tersebut, selanjutnya dengan
melakukan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti serta barang bukti yang diperoleh
maka diketahuilah siapa pelaku dari kejahatan/tindak pidana umum tersebut dan
pelaku tersebut yang disebut tersangka.
Tata cara pemeriksaan penyidikan seperti tersebut diatas adalah proses
penanganan
perkara yang sesuai dengan konsep due process of law dan
memberikan kepastian hukum serta perlakuan yang adil baik terhadap saksi korban
maupun tersangka, karena penyidikan dilakukan sesuai prosedur hukum yang telah
ditetapkan dalam undang-undang hukum acara pidana.
Fachmi menyatakan “tata cara pemeriksaan penyidikan difokuskan pada
pemeriksaan tersangka, saksi dan saksi korban dihadapan penyidik guna
memperoleh keterangan tentang peristiwa pidana yang sedang diperiksa96 “,
maksudnya selama proses penyidikan berlangsung penyidik harus tetap memegang
96
Fachmi, Op.Cit. hal. 126
75
asas praduga tidak bersalah (presumtion of innocence) terhadap tersangka sampai
akhirnya perkara tersebut diproses dipersidangan dan hakim menjatuhkan putusan
menyatakan terdakwa bersalah serta putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, maka sejak saat itu barulah seseorang (tersangka/terdakwa) yang diduga
sebagai pelaku kejahatan resmi dinyatakan sebagai orang yang bersalah sebagai
pelaku kejahatan/ tindak pidana yang didakwakan.
Sistem peradilan pidana yang berdasarkan pada KUHAP menuntut agar
proses pelaksanaan hukum harus sesuai dengan apa yang tersurat dalam peraturan
perundang-undangan, demikian halnya dalam melakukan tindakan penyidikan
perkara tindak pidana umum penyidik harus benar-benar mempedomani ketentuan
hukum acara yang telah diatur dalam KUHAP maupun ketentuan hukum acara
khusus diluar KUHAP. Ketentuan pasal-pasal yang mengatur mengenai proses
penyidikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dapat
ditemukan dalam beberapa pasal, antara lain:
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP mengatur mengenai kewenangan penyidik
Polri, ayat (2) mengatur mengenai kewenangan penyidik PPNS, sedangkan ayat (3)
menyatakan “Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Dari
pernyataan ketentuan ini secara tegas undang-undang telah menetapkan bahwa
petugas penyidik dalam menjalankan tugas dan kewenangan penyidikan
harus/wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku, artinya penyidik dalam
melakukan tugas-tugas penyidikan tidak boleh menyimpang dari ketentuan hukum
yang berlaku. Ketentuan pasal 7 ayat (3) ini jelas mengedepankan asas legalitas dan
kepastian hukum “ bahwa instansi-instansi penguasa ( penegak hukum) menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya
“, jika ketentuan ini dapat dijalankan secara konsisten dan konsekuen yakin bahwa
penegakan hukum dapat berjalan dengan baik. Ketentuan Pasal 7 tersebut menjadi
landasan pijak bagi penyidik dalam menjalankan tugas dan kewenangan karena ia
harus menjunjung dan taat dengan hukum/peraturan perundang-undangan, jika
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya penyidik menyimpang dari ketentuan
hukum maka dapat dikenakan sanksi berupa sanksi administrasi .
76
Pasal 8 KUHAP mengatur mengenai tugas-tugas penyidik, yaitu membuat
berita acara tentang pelaksanaan tugas-tugas penyidikan, kemudian dijilid menjadi
sebuah berkas perkara lalu dikirimkan kepada penuntut umum untuk dilakukan
penelitian, Pasal 8 KUHAP menyatakan :
(1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak mengurangi
ketentuan lain dalam undang-undang ini.
(2) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum
(3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan :
a. Pada tahap perta penyidik hanya menyerahkan berkas perkara
b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik
menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti
kepada penuntut umum
Tugas-tugas penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tersebut adalah
dalam rangka membuat terang suatu tindak pidana umum, diantara tugas-tugas
tersebut adalah melakukan pemeriksaan terhadap alat bukti (saksi, ahli, surat,
tersangka), materi pokok yang dibutuhkan dalam pemeriksaan alat bukti tersebut
adalah diperolehnya keterangan yang mengarah kepada terpenuhinya unsur-unsur
dari tindak pidana yang disangkakan, meliputi fakta apa yang terjadi, bagaimana
cara melakukan, siapa yang melakukan, kapan terjadinya serta dimana terjadinya
tindak pidana umum tersebut. Sistem pembuktian yang dianut KUHAP adalah
untuk dapat membuktikan kesalahan tersangka harus didukung oleh minimal 2
(dua) alat bukti, memeriksa sepuluh orang saksi nilai pembuktianya hanyalah
sebagai satu alat bukti, demikian juga ahli serta surat . Hasil pemeriksaan terhadap
alat bukti tersebut harus dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP),
sebuah berita acara pemeriksaan baru dianggap sah apabila dibuat oleh aparat yang
berwenang, berdasarkan sumpah jabatan kemudian ditutup dan ditanda tangani oleh
terperiksa maupun pemeriksa (penyidik).
Upaya melengkapi berkas perkara penyidik
berwenang untuk melakukan
tindakan hukum berupa, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, serta
tindakan hukum lain jika dianggap perlu sebagaimana diatur mulai Pasal 16 sampai
Pasal 45 KUHAP. Kewenangan yang dimiliki oleh penyidik bersifat atributif, yaitu
kewenangan yang diberikan langsung oleh undang-undang (KUHAP).
77
Tugas dan kewenangan penyidik dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 106
KUHAP “penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang
terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera
melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan”, dalam ketentuan ini ditemukan
frase “wajib segera” melakukan tindakan penyidikan. Frase wajib segera tersebut
sebenarnya sudah mengarahkan agar penyidik dalam waktu yang secepatnya
mengambil tindakan hukum berupa penyidikan, namun dalam realitanya
pernyataan wajib segera tersebut masih ditafsirkan beraneka ragam, seperti bisa
sesaat setelah mengetahui, menerima laporan atau pengaduan, bisa besok bisa juga
seminggu dan seterusnya tergantung kepentingan petugas, tindakan aparat yang
demikian
itu
dapat
dikatagori
sebagai
tindakan
sewenang-wenang
atau
penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dan jika ini dibiarkan dapat brakibat
buruk dalam dunia penegakan hukum.
Pasal 107 KUHAP, pada pokoknya menjelaskan bahwa untuk penanganan
perkara tindak pidana umum dikenal ada dua lembaga penyidik yaitu Penyidik
kepolisian dan penyidik pegawai negeri sipil,
dalam melaksanakan tugas
penegakan hukum (penyidikan) penyidik kepolisian diberi tugas untuk memberikan
petunjuk dan memberikan bantuan kepada penyidik pegawai negeri sipil, kemudian
administrasi perkara yang akan disampaikan oleh penyidik pegawai negeri sipil
kepada penuntut umum harus melalui penyidik kepolisian. Tujuan dari ketentuan
Pasal 107 tersebut adalah menunjukkan bahwa penyidik kepolisian merupakan
penyidik semua tindak pidana, kemudian untuk menyatukan persepsi tentang
penyidikan serta memudahkan mencari data kwantitatif maupun kwalitatif
penanganan perkara tindak pidana pada tahap penyidikan .
Ketentuan Pasal 109 KUHAP memberi kewajiban kepada penyidik untuk
memberitahukan kepada penuntut umum atas tindakan penyidikan yang telah
dilakukannya, tujuan pemberitahuan penyidikan kepada penutut umum adalah
merupakan sarana kontrol eksternal atas kinerja penyidik dalam penanganan
perkara. Dengan adanya pemberitahuan penyidikan suatu perkara kepada penuntut
umum maka penuntut umum punya kewajiban untuk memantau tindak lanjut dari
pemberitahuan penyidikan
tersebut, apakah penyidik sudah mengirim berkas
perkara tahap pertama. Selain ada kewajiban penyidik memberitahuan dimulainya
78
penyidikan, juga ada kewajiban penyidik
memberitahukan kepada penuntut
umum, tersangka atas tindakan penghentian penyidikan yang dilakukannya. Tujuan
dari pada tindakan penghentian penyidikan adalah untuk memberikan kepastian
hukum baik kepada pelapor/pengadu maupun kepada tersangka. Dengan adanya
tindakan penghentian penyidikan pihak pelapor/pengadu
tidak lagi menunggu-
nunggu proses berikutnya, demikian pula bagi tersangka dengan adanya tindakan
penghentian maka secara otomatis statusnya tidak lagi sebagai tersangka melainkan
kembali seperti semula. Tindakan penghentian penyidikan merupakan kewenangan
diskresi yang dimiliki oleh penyidik dan diberikan oleh undang-undang, tindakan
penghentian penyidikan adalah sah menurut hukum apabila memenuhi persyaratan
seperti, tidak ditemukan cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana atau karena
tersangkanya meninggal. Pasal 109 KUHAP menyatakan :
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa
yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum.
(2) Dalam hal penyidik menghentiklan penyidikan karena tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak
pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya.
(3) Dalam hal penghentian penyidikan tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b,
pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan
penuntut umum .
H.R. Abdussalam, menyampaikan tanggapan terhadap kewajiban penyidik
segera
mengirimkan
pemberitahuan
penyidikan
kepada
Penuntut
Umum
(Kejaksaan) sebagai berikut :
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dikirim bersamaan
dengan penyerahan berkas perkara tahap pertama kepada Jaksa Penuntut
Umum, ada juga SPDP tidak dikirimkan kepada Jaksa Penuntut Umum,
dalam waktu lama oleh Penyidik Polri dikeluarkan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan(SPPP) tanpa mengirim kepada Jaksa Penuntut
umum97 .
97
Abdusalam, H.R. 2006, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa
Keadilan Masyarakat 2 (Hukum Pidana Formal) Restu Agung, Jakarta, hal. 111
79
Menurut Abdussalam adanya tindakan penyidik yang tidak memberitahukan
kepada penuntut umum bahwa ia sudah melakukan proses penyidikan suatu perkara
tindak pidana umum, tujuanya adalah agar tidak ada pihak/lembaga lain yang
melakukan kontrol terhadap kinerja penyidik tersebut, sehingga dengan
kewenangan yang dimilikinya dapat langsung melakukan tindakan penghentian
penyidikan atau membiarkan perkara tersebut tanpa ada ujung penyelesaianya.
Karena ketika mulai melakukan penyidikan tidak diberitahuan kepada penuntut
umum, maka ketika penyidik menggunakan kewenangannya untuk menghentikan
penyidikan juga merasa tidak perlu memberitahukannya kepada penuntut umum,
pihak terkait padahal tindakan tersebut telah menyimpang dari ketentuan hukum
acara pidana serta nilai-nilai kepastian hukum.
Hasil proses penyidikan selalu dituangkan dalam bentuk berita acara,
kemudian disatukan menjadi berkas perkara. Berkas perkara merupakan kumpulan
dari hasil tindakan penyidikan atau himpunan dari hasil pemeriksaan terhadap alat
bukti ( saksi, ahli, surat, tersangka serta barang bukti) dilengkapi
dengan
administrasi penyidikan seperti surat perintah penyidikan, surat perintah
penangkapan, surat perintah penahanan,
surat perintah penggeledahan, surat
perintah penyitaan dan lain-lain dilengkapi dengan berita acaranya masing-masing.
Setelah berkas perkara tersebut dianggap sempurna oleh penyidik lalu dikirimkan
kepada penuntut umum guna dilakukan penelitian atas kelengkapan berkas perkara
tersebut . Terhadap berkas perkara hasil penyidikan M. Yahya Harahap
berpendapat:
“ sedapat mungkin hasil pemeriksaan penyidikan, dilakukan penyidik dengan
sempurna, ditinjau dari segala segi. Baik kesempurnaan dari segi
kelengkapan berkas, maupun dari segi yuridis teknis seperti pembuatan berita
acara yang ditentukan undang-undang maupun dari segi perlengkapan
persyaratan pembuktian. Maupun ditinjau dari segi penerapan pemeriksaan
yang berhubungan dengan isi hukum materiil yang disangkakan kepada
tersangka 98.
Ketentuan Pasal 121 KUHAP mengatur mengenai perwujudan hasil kinerja
penyidik dalam menangani suatu perkara tindak pidana umum selalu ditangkan
dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Pembuatan berita acara dilakukan baik
98
Harahap, M. Yahya. Op.Cit. hal. 357
80
terhadap pemeriksaan alat bukti maupun barang bukti serta atas tindakan hukum
lainnya, secara lengkap ketentuan Pasal 121 KUHAP :
Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara
yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan
menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan,
nama dan tempat tinggal dari tersangka dan atau saksi, keterangan mereka,
catatan mengenai akta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap
perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara
Berita acara pemeriksaan yang lengkap dan sah adalah berita acara yang dibuat
sesuai ketentuan hukum, kemudian ditanda tangani oleh terperiksa (saksi, ahli,
tersangka) dan penyidik /penyidik pembantu. Apabila tersangka menolak menanda
tangani berita acara pemeriksaan, maka terhadap hal itu dibuatkan berita acara
penolakan penanda tanganan berita acara pemeriksaan oleh tersangka dilengkapi
dengan alasanya, berita acara tersebut ditanda tangani oleh tersangka dan
penyidik/penyidik pembantu .
Berkas perkara yang telah selesai
dibuat oleh penyidik selanjutnya
dikirim/disampaikan kepada penuntut umum guna dilakukan tindakan penelitian,
tindakan yang dilakukan penuntut umum meliputi kelengkapan syarat formil dan
kelengkapan syarat materiil. Kelengkapan syarat formil meliputi administrasi
penyidikan, sedangkan kelengkapan materiil meliputi isi berita acara pemeriksaan
alat bukti, setidak-tidaknya berisikan jawaban atas pertanyaan : apa yang terjadi,
siapa pelakunya, kapan terjadi, dimana terjadi, bagaimana cara terjadinya kejahatan
/ tindak pidana umum tersebut, hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 110
KUHAP, antara lain :
(1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan penyidik wajib
segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum”.
(2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut
ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan
berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi;
(3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk
dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan
sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum;
(4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari
penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila
sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang
hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
81
Ketentuan Pasal 110 KUHAP tersebut bertalian erat dengan ketentuan Pasal
138 KUHAP, untuk kegiatan penelitian berkas perkara penuntut umum dibatasi
ketentuan waktu, yaitu selama 14 (empat belas) hari. Waktu 14 (empat belas) hari
terdiri dari 7 (tujuh) hari melakukan penelitian kemudian menyatakan sikap hasil
penyidikan sudah lengkap atau belum lengkap, kemudian waktu 7 (tujuh) hari
berikutnya adalah kesempatan penuntut umum untuk membuat petunjuk apabila
ternyata hasil penyidikannya belum lengkap, selengkapnya Pasal 138 berbunyi :
(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera
mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib
memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah
lengkap atau belum;
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk
tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu
empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.
Tindakan pra penuntutan menurut Fachmi
adalah “wewenang penuntut
umum untuk melengkapi berkas perkara hasil penyidikan dengan cara memberikan
petunjuk kepada penyidik untuk melakukan penyidikan tambahan 99”. Penuntut
Umum melengkapi berkas perkara maksudnya adalah apabila berkas perkara belum
memenuhi syarat untuk ditingkatkan ke tahap penuntutan maka perlu diberi
petunjuk agar hasil penyidikannya menjadi sempurna unuk ditingkatkan ke tahap
penuntutan . Selanjutnya
Leden Merpaung berpendapat “Selama penyidik belum
dapat meyakinkan penuntut umum, maka berkas perkara akan dikembalikan tanpa
perhitungan berapa kali berkas perkara tersebut telah mengalami keadaan bolakbalik, kerena penuntut umum tidak ingin mengalami kegagalan dalam penuntutan
dan ketidak adilan bagi pihak berperkara100 “.
Pasal 138 ayat (2) KUHAP memberi waktu selama 14 (empat belas) hari
kepada penyidik untuk melakukan penyidikan tambahan dan setelah itu harus
dikembalikan kepada penuntut umum “…dalam waktu empat belas hari sejak
99
Fachmi, Op.Cit hal. 160.
100
Merpaung, Leden, 2010,Proses Penanganan Perkara Pidana ( Di kejaksaan &
Pengadilan Negeri Upaya Hukum & Eksekusi), Bagian kedua, Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
hal.2.
82
tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas
perkara itu kepada penuntut umum”. Dalam kenyataan ketentuan waktu tersebut
sebagian besar tidak dipenuhi oleh penyidik, kecuali bagi perkara-perkara yang
tersangkanya dilakukan upaya penahanan, maka ketentuan waktu tersebut sungguhsungguh diperhatikan oleh penyidik.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yang merupakan pedoman bagi aparat penyidik dalam menangani
perkara tindak pidana umum pada tahap awal ternyata tidak ditemukan adanya
ketentuan yang memberi batas waktu (time limit) bagi penyidik untuk
menyelesaikan penyidikan suatu tindak pidana umum, dan lebih parah lagi tidak
ada satu pasalpun yang mengatur mengenai sanksi yang dapat dikenakan kepada
aparat penyidik apabila penanganan perkaranya berlarut-larut bahkan tidak ada
ujung penyelesaiannya.
Ketentuan- ketentuan dalam KUHAP yang mengatur mengenai tindakan
penyidikan seperti tersebut diatas , hanya ada satu ayat dari ketentuan Pasal 138,
yang memberi batas waktu kepada penyidik dalam melakukan tindakan penyidik,
dan itupun hanya ketika penyidik melakukan penyidikan tambahan atas petunjuk
dari penuntut umum, ketika berkas perkara dinyatakn tidak lengkap oleh penuntut
umum.
Setelah dilakukan analisa terhadap keadaan tidak adanya batas waktu
penyidikan tindak pidana umum yang merupakan kekosongan norma tersebut,
penulis berpendapat bahwa tidak adanya batas waktu penyidikan sangat
berpengaruh terhadap kinerja penyidik dalam menyelesaikan penyidikan perkara
tindak pidana umum. Karena tidak adanya batas waktu yang pasti, maka penyidik
dapat melakukan tindakan yang sewenang-wenang dengan membiarkan begitu saja
penanganan perkara dalam waktu yang cukup lama tidak ada penyelesaiannya/
berlarut-larut. Padahal proses penanganan perkara pada tahap penyidikan
merupakan ujung tombak atau garda terdepan dalam tahapan penyelesaian perkara
pidana umum. Apabila dalam proses penyidikan perkara pidana umum
penangananya sudah mengalami kendala / hambatan, maka dapat dipastikan bahwa
pada tahap/proses berikutnya juga mengalami kendala bahkan tidak sampai pada
83
tahap berikutnya, keadaan-keadaan seperti itulah yang mencederai kepastian
hukum, keadilan serta kemanfaatan dari hukum tersebut.
Sebagai pendukung analisa penulis terhadap banyaknya perkara pidana
umum pada tingkat penyidikan yang berlarut-larut
tidak ada penyelesaiannya,
dapat disajikan sebagai berikut :
Pendalaman bahan pustaka berupa Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP), Berkas Hasil Penyidikan yang dikirim tahap pertama oleh
penyidik , diperoleh fakta yang cukup mengagetkan yaitu penyidik telah mulai
melakukan penyidikan suatu perkara sekitar bulan Pebruari 2013 ( dibuktikan
dengan terbitnya Surat Perintah Penyidikan), padahal ketentuan pasal 109 ayat (1)
menentukan “Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu
peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum”, menurut penulis makna dari pasal tersebut adalah tidak lama
setelah
penyidik
mulai
melakukan
penyidikan
maka
penyidik
segera
memberitahukan kepada penuntut umum dengan mengirim SPDP, tanpa alasan
yang jelas penyidik baru mengirim SPDP ke penuntut umum (Kejaksaan) pada
akhir tahun 2013, apabila dihitung jarak waktu antara dimulainya penyidikan
dengan
pengiriman SPDP dan pengiriman berkas perkara tahap pertama oleh
penyidik memakan waktu kurang lebih 10 (sepuluh) bulan, padahal pasal yang
disangkakan terhadap tersangka tergolong tidak sulit yaitu Pasal 372 KUHP atau
378 KUHP, tindak lanjut dari SPDP berupa pengiriman berkas perkara tahap
pertama baru dilakukan bulan Pebruari 2014 dan hasil penyidikan yang dikirimkan
oleh penyidik tersebut setelah dilakukan penelitian oleh penuntut umum masih
dinyatakan belum lengkap karena kekurangan syarat materiil (pemenuhan unsur
pasal).
Hasil penelitian kepustakaan terhadap proses penanganan perkara tindak
pidana umum pada tahap penyidikan yang dilakukan oleh penyidik kepolisian,
diperoleh hasil sebagai berikut :
a. Wakil Jaksa Agung Republik Indonesia pada akhir tahun 1993 ( data bulan
Desember 1993) telah melakukan evaluasi penanganan perkara pada tahap
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik kepolisian yang diterima di kejaksaan
seluruh Indonesia, hal ini dilakukan mengingat bahwa KUHAP sudah berlaku
84
kurang lebih sepuluh tahun pada saat itu sehingga dilakukan evaluasi terhadap
kemampuan penyidik Polri dalam penanganan perkara pidana (umum)
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUHAP, data penanganan perkara
tersebut dapat disajikan sebagai berikut :
1. Terdapat tunggakan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
yang diterima di Kejaksaan tetapi belum ditindak lanjuti dengan
pengirriman Berkas Perkara Tahap Pertama (I) sebanyak 37.879. ( tiga
puluh tujuh ribu delapan ratus tujuh puluh Sembilan) SPDP.
2. Terdapat tunggakan perkara yang dikirimkan oleh penyidik kepada
penuntut umum (kejaksaan) tahap pertama (I) kemudian dikembalikan
kepada penyidik dengan petunjuk untuk dilengkapi tetapi belum
dikirimkan kembali kepada penuntut umum seluruhnya sebanyak 25.651
(dua puluh lima ribu enam ratus lima puluh satu) perkara101
ternyata tunggakan penanganan perkara pada tahap penyidikan cukup tinggi,
keadaan ini
sangat berpengaruh terhadap citra /wibara penegakan hukum.
Tujuan penyajian data tersebut adalah dalam rangka mencari jalan keluar
penyelesaian tunggakan perkara, yang salah satunya adalah dengan cara
meningkat koordinasi antara penyidik dengan penuntut umum ( kejaksaan).
Evaluasi dilakukan selama kurun waktu 1990 s/d 1993.
b. Berkaitan dengan kondisi penanganan perkara tindak pidana umum oleh
penyidik Kepolisian maupun oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu
tersebut
Marwan Effendi
mengemukanan bahwa
KUHAP berlaku seharusnya penyidik kepolisian
“ Sesudah 23 tahun
lebih siap mengemban
kewengan tersebut (penyidikan). Namun kenyataannya adalah Kepolisian R.I.
belum sepenuhnya mampu mengemban tugas dibidang penyidikan”102.
pernyataan tersebut terungkap karena bliau memandang dari data penanganan
perkara khususnya pada tahap penyidikan ternyata pihak Penyidik ( Polri,
PPNS) belum mampu menyelesaikan perkara dengan baik sesuai harapan
pencari keadilan, masih banyaknya tersebut dibuktikan masih banyaknya
101
Suwandha,I.N. ,1994, Himpunan Tata Naskah Dan Petunjuk Teknis Penyelesaian
Perkara Pidana Umum Kejaskaan Agung R.I., Jaksa Agugn Muda Tinak Pidana Umum Kejaksaan
Agung R.I., Jakarta, hal.94-96
102
Effendy Marwan, 2005, Kejaksaan RI Posisi Dan Fungsinya Dari Persepektif Hukum, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 173
85
terdapat tunggakan perkara pada tahap penyidikan bahkan tunggakan tersebut
memakan waktu yang cukup lama .
Marwan Effendi menyajikan data penanganan perkara selama 3 (tiga) tahun
(2001 s/d 2003) yaitu penanganan perkara tahap penyidikan yang dilakukan
oleh penyidik Kepolisian R.I. sebagai berikut :
Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP) dari penyidik yang
dikirim ke penuntut umum sebanyak 344.296 SPDP, setelah melalui proses
penyidikan ternyata yang bisa diwujudkan menjadi berkas perkara tahap
pertama sebanyak 259.376 berkas, itu berarti ada sebanyak
259.376 sisa
sebanyak 84.920 tidak menjadia berkas perkara tahap pertama. Dari 259.376
berkas perkara tahap pertama ditindak lanjuti oleh penyidik untuk penyerahan
tanggung jawab tersangka dna barang bukti sebanyak 216.525 perkara, yang
tidak teruraikan dalam table tersebut sisa berkas sebanyak 42,851 berkas
kemana apakah masih di tangan penyidik untuk dilakukan pemeriksaan
tambahan atau ada di penyidik yang sudah dinyatakan lengkap namun tidak
ditindak lanjuti dengan penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti
( tahap II).
Dicatat juga oleh beliau bahwa jumlah tunggakan perkara tahap penyidikan
sampai dengan tahun 2000 sebanyak 69.092 , data tersebut diambil secara
nasional.
c. Hasil penelitian bahan pustaka Majalah Adhyaksa 2014, menyajikan sekilas
mengenai banyaknya perkara tindak pidana umum yang ditangani di wilayah
Kepolisian Daerah (Polda) Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan Kejaksaan
Tinggi Daerah Khusus Ibu (DKI) Kota Jakarta, dengan uraian sebagai berikut :
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikana (SPDP) diterima sebanyak :
697 buah, Berkas Perkara Tahap pertama (I) yang diterima di kejaksaan
sebanyak : 608 berkas
Hasil penelitian :
Dinyatakan belum lengkap sebanyak
: 99 berkas
Dinyatakan lengkap sebanyak
: 482 berkas
Masih tahap penelitian sebanyak
: 27 berkas103
103
Adhyaksa Indonesia, 2014, Qou Vadis Kejaksaan R.I. Eksekutif atau Yudikatif, Edisi
Khusus, PT. Haidar Indo Telenet, hal. 81
86
Perbandingan antara SPDP yang diterima sebanyak 697 perkara sedangkan yang
menjadi berkas perkara tahap pertama sebanyak 608 perkara, itu berarti ada
sebanyak 89 perkara yang tidak ditindak lanjuti 0leh penyidik dengan
pengiriman berkas perkara tahap pertama. Kemudian dari 608 berkas perkara
yang dikirimkan kepada penuntut umum sebanyak 99 perkara sudah dipastikan
tidak lengkap sedangkan ada 27 berkas perkara yang masih penelitian oleh
penuntut umum dan hasilnya bisa jadi 60% masih dinyatakan tidak lengkap.
d. Dokumen Laporan Tahunan Kejaksaan Republik Indonesia tahun 2011
menyajikan data penyelesaian perkara tindak pidana umum tahun 2011 yang
terhimpun di Kejaksaan Agung R.I yang bersumber dari seluruh Indonesia
sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
SPDP yang diterima periode Januari s/d September 2011
Diserahkan berkas perkara tahap pertama (I) sebanyak
SPDP yang tidak ditindak lanjuti berkas tahap pertama (I)
Berkas perkara yang dinyatakan lengkap (P-21)
Dikembalikan kepada Penyidik
Tidak dikembalikan oleh penyidik setelah tidak lengkap
Masih dalam tahap penelitian penuntut umum
Perkara yang sudah dinyatakan lengkap
8. Ditindak lanjuti dengan penyerahan tahap kedua (II)
9. Tidak dilakukan penyerahan tahap kedua (II)
:157.902
:123.991
: 19.195
: 89.552
: 11.737
: 3.507
: 19.195
: 28.160
: 5.392
Kurun waktu 2011 diperoleh data bahwa dikejaksaan seluruh Indonesia
menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari penyidik
untuk perkara tindak pidana umum sebanyak 157.902 (seratus lima puluh tujuh
ribu Sembilan ratus dua), kemudian yang ditindak lanjuti dengan pengiriman
berkas perkara tahap pertama sebanyak 123.991 perkara, terlihat ada selisih
SPDP yang tidak ditindak lanjuti dengan pengiriman SPDP sebanyak 19.195.
Dari 123.991 berkas perkara tahap pertama, sebanyak 11.737 dinyatakan tidak
lengkap.
e. Data yang diperoleh dari Laporan Bulanan penangana perkara tindak pidana
umum di Kejaksaan Tinggi Bali
periode tahun 2011 sampai dengan tahunm
2014 sampai dengan bulan Juni diperoleh data sebagai berikut :
87
Dari 1062 buah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) diterima
di Kejaksaan, yang sudah ditindak lanjuti menjadi berkas perkara tahap pertama
sebanyak 901 buah berkas, artinya ada 161 SPDP yang tidak/belum ditindak
lanjuti dengan penyerahan berkas tahap pertama; dari 901 berkas perkara yang
dinyatakan sudah lengkap oleh penuntut umum sebanyak 874 buah berkas
terdapat 27 berkas perkara lengkap yang tidak ditindak lanjuti dengan
penyerahan perkara tahap kedua,
dan dari 871 berkas perkara dinyatakan
lengkap yang ditindak lanjuti dengan penyerahan perkara tahap kedua
(tanggung jawab tersangka dan barang bukti sebanyak 747 perkara. Sehingga
terlihat bahwa terdapat sebanyak 124 (seratus dua puluh empat) perkara yang
belum ditindak lanjuti dengan penyerahan perkara tahap kedua.
Hasil evaluasi penanganan perkara dalam kurun waktu beberapa tahun
tersebut menunjukkan bahwa terdapat banyak penanganan perkara pada tahap
penyidikan yang memakan waktu cukup lama dan berlarut-larut. Penanganan
perkara yang barlarut-larut tersebut dapat dipastikan tidak memberikan kepastian
hukum baik bagi tersangka, korban maupun saksi-saksi pada umumnya. Dapat
dipastikan pula bahwa telah terjadi perampasan kemerdekaan bagi tersangka bahkan
juga terhadap saksi-saksi karena selama proses penanganan perkara belum ada
ujung penyelesaianya pihak-pihak terkait (tersangka – saksi) tidak bisa melakukan
aktivitas sebagaimana mestinya karena mereka khawatir jika bepergian jauh dalam
waktu lama tiba-tiba dibutuhkan oleh penyidik , seseorang selama masih berstatus
sebagai tersangka bisa kehilangan hak politik seperti mencalonkan diri sebagai
pejabat publik, mencari pekerjaan/ penghidupan tersangka maupun korban juga
tidak bisa merasakan keadilan karena atas peristiwa pidana yang menimpanya
mereka belum melihat sanksi yang dijatuhkan. Masyarakat juga tidak bisa
merasakan manfaat dari hukum dalam menciptakan kedamaian dan ketertiban,
karena tersangka tidak bisa dikenai sanksi dan tidak merasa jera sehingga peluang
mereka berbuat jahat sangat besar.
Berhubung tidak adanya ketentuan batas waktu penyidikan maka penyidik
merasa tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan penyidikan secepatnya, keadaan
seperti itu sangat rentang disalahgunakan oleh penyidik apalagi ada pihak-pihak
terkait yang melakukan upaya-upaya mafia peradilan.
88
Keadaan yang demikian tersebut jelas tidak mencerminkan pelaksanaan
penanganan perkara dengan asas cepat, sederhana dan biaya yang ringan.
3.1.2. Selesainya proses penyidikan perkara tindak pidana umum
Kerja sama /koordinasi sebagaimana dimaksud dalam teori Sistem Peradilan
Pidana antara lembaga penegak hukum pada proses penyidikan sudah terjadi
antara penyidik dengan penasehat hukum/advokat dalam hal bantuan hukum atau
pendampingan serta pembelaan hak-hak tersangka, kerja sama dengan penuntut
umum dalam hal penelitian berkas perkara serta pemberian petunjuk (pra
penuntutan), permintaan perpanjangan penahanan kepada penuntut umum,
koordinasi dengan lembaga pengadilan / hakim berupa permintaan penetapan
penggeledahan, penyitaan, permintaan perpanjangan kenahanan, sedangkan dengan
aparat Lembaga Pemasyarakatan /Rumah Tahanan Negara adalah dalam rangka
penitipan tahanan kepada Rutan, kegiatan-kegiatan tersebut merupakan penjelmaan
dari sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system)
Kepolisian sebagai penyidik dalam melaksanakan tugas dan kewenangan
penegakan hukum disamping berpedoman kepada KUHAP sebagai ketentuan
umum secara organik tugas-tugas penegakan hukum oleh kepolisian juga diatur
dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, sebagaimana dapat ditemukan dalam Pasal 14 Ayat (1) huruf g, antara
lain menyatakan “melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya;”
pernyataan melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana
mengandung makna bahwa kepolisian adalah penyidik tunggal, seolah-olah tidak
memberi kesempatan adanya penyidik-penyidik lain seperti Penyidik Pegawai
Negeri Sipil tertentu, padahal dalah KUHAP diakui keberadaan penyidik selain
kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 6 KUHAP.
Ketentuan selain Pasal 14 UU No. 2 tahun 2002 juga ada dalam Pasal 16
ayat (1) UU No. 2 tahun 2002 antara lain :
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
89
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan;
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka
melakukan tindak pidana;
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai
negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri
sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Ayat (2) menyebutkan “ Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi
syarat sebagai berikut :
a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan;
c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e. menghormati hak asasi manusia.
Mengenai tugas-tugas kepolisan dalam penegakan hukum tersebut dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tidak diberikan penegasan batas
waktu (time limit) untuk menyelesaikan proses penyelidikan dan penyidikan
perkara tindak pidana umum.
Terhadap permasalahan seperti tersebut
H.R. Abdusallam menyatakan
“proses penyidikan tidak ada kepastian, proses penyelesaian dengan memakan
waktu lama dengan tidak memberitahukan baik kepada pelapor atau saksi-saksi
yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri tentang perkembangan penyidikan
90
yang dilakukan oleh penyidik 104”. Ternyata pernyataan bahwa penanganan perkara
pada tahap penyidikan mengalami permasalahan seperti tidak adanya kepastian
hukum karena penanganan penyidikan yang berlarut-larut, bertele-tele juga
menjadi sorotan bagi kalangan kepolisian sendiri.
Penyidik tidak pernah
memberitahukan perkembangan penyidikan kepada pihak-pihak terkait termasuk
pelapor / korban kecuali ada permintaan dari pihak yang berkepentingan barulah
penyidik membuat Laporan Perkembangan Hasil Penyidikan ( LPHP).
Berbagai tindakan penyidik yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara
pidana berdampak terhadap kepastian hukum baik bagi terangka maupun korban
dari tindak pidana yang terjadi . Katidak pastian yang dimaksud adalah tersangka
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun menyandang status tersangka, tidak bisa
membuktikan bahwa benar ia menjadi pelaku tindak pidana atau tidak. Korban
selalu menunggu kapan pelaku tindak pidana akan mendapat sanki atas perbuatan
yang dilakukannya, ketidak pastian hukum tersebut berkitan erat dengan rasa
keadilan yang tidak pernah terwujud . Para pelaku tindak pidana akan semakin
berani melakukan tidak pidana karena dilihat hukum tidak mampu menjangkau dan
membuktikan kesalahannya .
Penulis melihat salah satu faktor penyebab terjadinya penyelesaian perkara
yang berlarut-larut adalah karena dalam hukum acara pidana yang berlaku saat ini
tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai batas waktu berapa lama penyidikan
tindak pidana harus selesai disidik. Adanya ketentuan Pasal 138 ayat (2) berbunyi :
Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal
yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari
sejak tanggal penerimaan berkas perkara, penyidik harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum .
Ketentuan Pasal 138 ayat (2) tersebut tidak diikuti dengan ketentuan sanksi kepada
penyidik apabila dalam waktu empat belas hari tidak mampu memenuhi petunjuk
dari penuntut umum dan tidak mengembalikan berkas perkara dalam waktu
tersebut, sehingga ketentuan ini dianggap macan kertas yang tidak memiliki taring,
dari hasil pengamatan dilapangan hampir 90% berkas perkara yang dikembalikan
oleh penuntut umum kepada penyidik untuk diperbaiki tidak memenuhi ketentuan
104
Abdusalam,H.R.Op.Cit. hal. 111
91
waktu 14 (empat belas) hari bisa dikirimkan kembali kepada penuntut umum.
Ketentuan yang kontraproduktif
dengan Pasal 138 ayat (2), terjadi dalam
perumusan Pasal 110 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
berbunyi : “Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari
penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas
waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut
umum kepada penyidik”.
Kinerja penyidik yang tidak memberi kepastian hukum juga diungkapkan
oleh Menteri Kehakiman melalui Keputusan Menteri Kehakiman Nomor :
M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Pebruari 1982, dalam lampirannya, antara
lain menyebutkan :
Dengan tidak ditentukan batas berapa kali penyerahan atau penyampaian
kembali berkas perkara secara timbal balik dari penyidik kepada penuntut
umum atau sebaliknya, maka kemungkinan bisa selalu terjadi, bahwa atas
dasar pendapat penuntut umum hasil penyidikan tambahan penyidik
dinyatakan belum lengkap, berkas perkara bisa berlarut-larut, mondar-mandir
dari penyidik kepada penuntut umum atau sebaliknya 105
Keadaan seperti itu yang menyebabkan citra penegakan hukum semakin terpuruk
dimata masyarakat khususnya bagi pencari keadilan, karena mereka merasa bahwa
masalah hukum yang menimpanya tidak bisa diselesaikan oleh aparat penegak
hukum dan hal ini memberi peluang bagi masyarakat untuk menyelesaikan sendiri
permasalahan hukum dengan cara main hakim sendiri.
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUHAP dapat diketahui bahwa
selesainya penyidikan perkara tindak pidana umum ada dua bentuk, yaitu:
1. Penyelesaian penyidikana berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf i jo
Pasal 109 ayat (2) KUHAP jo Pasal 16 huruf h UU Nomor 2 tahun 2002 yaitu
kewenangan penyidik untuk melakukan “penghentian penyidikan”, sedangkan
bagaimana persyaratan sahnya penghentian penyidikan telah dalam Pasal 109
ayat (2) KUHAP “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak
pidana
105
atau
penyidikan
dihentikan
demi
hukum,
maka
penyidik
Merpaung, Leden,2010, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan & Pengadilan
Negeri Upaya Hukum & Eksekusi) Bagian Kedua, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal.2.
92
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya”,
tindakan penghentian penyidikan harus memenuhi 3 persyatan utama yaitu :
a.
Tidak terdapat cukup bukti
Dalam
ketentuan
Pasal
183
KUHAP
ditentukan
bahwa
untuk
membuktikan kesalahan terdakwa harus didukung dengan minimal dua
alat bukti sah dan seterusnya. Jadi perolehan alat bukti sudah dilakukan
pada saat penyidikan, jika selama proses penyidikan ternyata penyidik
tidak memperoleh minimal dua alat bukti, maka penyidikan perkara
tersebut sudah dapat dihentikan.
b. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana
Langkah penyidikan adalah proses awal suatu perkara, ketika penyidik
menerima laporan dari masyarakat maka yang dilaporkan tersebut belum
tentu suatu peristiwa pidana, namun penyidik wajib menggali dan
mengumpulkan bukti-bukti serta menganalisa, jika dari hasil penyidikan
ternyata peristiwa yang dilaporkan oleh masyarakat bukan merupakan
tindak pidana, maka penyidikan perkara tersebut harus dihentikan .
c. Penyidikan dihentikan demi hukum
Penghentian penyidikan demi hukum dapat terjadi disebabkan tersangka
menginggal dunia / mati selama masa penyidikan, atau tersangka
menderita sakit yang permanen yang didukung dengan keterangan dokter
ahli, atau jika penyidikan dilanjutkan menimbulkan dampak negattif lebih
besar dari pada tidak dilakukan penyidikan maka penyidikan perkara
tersebut dapat dihentikan .
Penghentian penyidikan demi hukum juga sangat berkitan dengan
ketentuan kadaluwarsa, nebis in idem.
Apabila kreteria tersebut dipenuhi maka secara yuridis penyidikan perkara
tersebut sah dihentikan. Langkah penghentian penyidikan terhadap suatu
perkara apabila memenuhi persyaratan seperti tersebut diatas akan
memberikan kepastian hukum, keadilan kepada pihak-pihak yang terkait, dari
pada penyidikan dibiarkan begitu saja tanpa ada penyelesainya.
Apabila persyaratan “ demi hukum” perkara yang sudah dinyatakan lengkap
hasil penyidikannya (P-21) masih dapat dilakukan penghentian penyidikan.
93
2. Dalam ketentuan pasal 110 ayat (4) KUHAP “ penyidikan dianggap telah
selesai apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari penuntut umum tidak
mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut
berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada
penyidik “, dari pernyataan pasal 110 ayat (4) menegaskan bahwa setelah
penyidik mengirimkan berkas perkara kepada penuntut umum, maka pernyataan
hasil penyidikan sudah lengkap juga ada dua katagori, yaitu :
a. Apabila penuntut umum telah menerima berkas perkara dari penyidik lalu
dalam waktu 14 (empat belas) hari penuntut umum tidak mengembalikan
berkas perkara
atau memberitahukan apakah hasil penyidikan sudah
lengkap atau belum lengkap, maka menurut ketentuan pasal ini hasil
penyidikan dapat dinyatakan lengkap.
Suatu kelemahan yang fatal dalam ketentuan ini adalah apabila penuntut
umum karena ketidak sengajaan lalai atau lupa setelah waktu 14 (empat
belas) hari menerima berkas perkara lalu belum menyatakan sikap atau
belum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, sementara berkas
perkara tersebut sebenarnya belum memenuhi syarat untuk ditingkatkan ke
tahap penuntutan, maka apabila dipaksa perkara tersebut ditingkatkan ke
penuntutan (pelimpahan perkara ke pengadilan), besar kemungkinan perkara
tersebut tidak dapat dibuktikan kesalahan terdakwanya .
b. Hasil penyidikan setelah dilakukan penelitian oleh penuntut umum memang
benar telah memenuhi persyaratan formil maupun materiil untuk
ditingkatkan ke tahap penuntutan.
Pengertian lengkap dalam ketentuan Pasal 110 ayat (4) tersebut adalah hasil
penyidikan sudah sempurna sehingga tidak perlu lagi diberikan petunjuk
oleh penuntut umum, artinya penyidik sudah mampu meyakinkan penuntut
umum bahwa alat bukti yang dibutuhkan dalam pembuktian kesalahan
tersangka/terdakwa telah termuat dalam berkas perkara. Apabila berkas
perkara hasil penyidikan sudah sempurna, maka penyidik dapat mengambil
langkah berikutnya yaitu menyerahkan tanggung jawab tersangka dan
barang bukti. Dengan adanya penyerahan tanggung jawab tersangka dan
barang bukti dari penyidik berarti sepenuhnya tanggung jawab atas perkara
94
tersebut sudah ada pada penuntut umum, dan setelah perkara ada pada
penuntut umum maka menjadi kewajiban bagi penuntut umum untuk
melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan, walaupun undang-undang
memberi kewenangan bagi penuntut umum untuk melakukan penghentian
penuntutan namun hal tersebut baru dilakukan apabila perkara tersebut
memang
benar-benar
tidak
memungkinkan
untuk
dilimpahkan
ke
pengadilan
Berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap atau dianggap lengkap hasil
penyidikannya tidaklah berarti tanggung jawab penyidikan telah selesai sampai
disitu, berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (3) hurup
b KUHAP “ dalam hal
penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas
tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum “, jadi sebelum penyidik
menyerahkan tanggung jawab tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum,
maka tanggung jawab penanganan perkara tersebut masih tetap berada di tangan
penyidik. Keadaan riil dilapangan justru perkara pada tahap ini ditemukan banyak
terdapat tunggakan, seperti telah disajikan dalam hasil penelitian diatas.
M. Yahya Harahap menyatakan bahwa hukum yang ditegakan oleh instansi
penegak hukum yang diserahi tugas untuk itu harus “menjamin kepastian hukum”,
hal inilah yang belum dapat diwujudkan secara maksimal karena tidak adanya
ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana (umum) dalam KUHAP maupun
Peraturan Pelaksanaan KUHAP serta Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002.
Berkenaan dengan upaya perwujudan kepastian hukum dalam penyidikan
perkara tindak pidana umum, sebagai lembaga penegak hukum yang terkait dengan
proses penyidikan Penuntut Umumpun
melakukan tindakan
kontrol secara
eksternal atau koordinasi dengan pihak penyidik bagi perkara-perkara yang sudah
diberitahukan penyidikannya (SPDP), berdasarkan Standar Operasional Prosedur
(SOP)
yang
dituangkan
dalam
Peraturan
Jaksa
Agung
R.I.
Nomor
036/A/JA/09/2011 tanggal 9 September 2011, dirumuskan langkah-langkah bagi
penuntut umum, antara lain :
1. Untuk Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikirim oleh
penyidik dalam waktu 30 (tiga puluh) hari belum ditindak lanjuti dengan
pengiriman berkas perkara tahap pertama, maka penuntut umum (Kejaksaan)
95
menanyakan perkembangan penyidikan dengan model Surat P-17, peringatan
ini disampaikan sebanyak 2 (dua) kali ( 30 hari dan 60 hari), apabila sampai
waktu 90 (sembilan puluh) hari belum juga ditindak lanjuti dengan pengiriman
berkas perkara tahap pertama, maka SPDP dikembalikan kepada penyidik,
dengan catatan sewaktu-waktu apabila ada perkembangan maka SPDP dikirim
kembali kepada penuntut umum diserta berkas perkara tahap pertama.
2. Berkas perkara yang dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi, disertai
petunjuk dari penuntut umum, apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari belum
ditindak lanjuti dengan pengiriman berkas perkara tahap pertama, maka
penuntut
umum
(Kejaksaan)
menanyakan
perkembangan
penyidikan/pemeriksaan tambahan dengan model Surat P-20, peringatan ini
disampaikan sebanyak 2 (dua) kali ( 30 hari dan 60 hari), apabila sampai waktu
90 (sembilan puluh) hari belum juga ditindak lanjuti dengan pengiriman
kembali berkas perkara tahap pertama, maka SPDP
penyidik, dengan catatan sewaktu-waktu
dikembalikan kepada
apabila ada perkembangan maka
SPDP dikirim kembali kepada penuntut umum diserta pengiriman kembali
berkas perkara tahap pertama.
3. Terhadap berkas perkara yang hasil penyidikanya sudah dinyatakan lengkap
oleh penuntut umum, namun dalam waktu 30 (tiga puluh) hari belum ditindak
lanjuti dengan pengiriman berkas perkara tahap kedua ( peyerahan tanggung
jawab tersangka dan barang bukti), maka penuntut umum (Kejaksaan)
menanyakan perkembangan penyidikan dengan model Surat P-21A, peringatan
ini disampaikan sebanyak 2 (dua) kali ( 30 hari dan 60 hari), apabila sampai
waktu 90 (sembilan puluh) hari belum juga ditindak lanjuti dengan pengiriman
kembali berkas perkara tahap kedua, maka berkas perkara dikembalikan kepada
penyidik, dengan catatan sewaktu-waktu
apabila ada perkembangan maka
berkas perkara dikirim kembali kepada penuntut umum diserta pengiriman
tersangka dan barang buktinya.
96
3.2.
Teori Penegakan dan penghormatan Hak Asasi Tersangka Menurut
Hukum Acara Pidana Indonesia
Merupakan kewajiban pemerintah melalui aparat penegak hukumnya untuk
melaksanakan penegakan serta perlindungan hak-hak asasi manusia, khususnya
bagi mereka yang tersangkut masalah hukum, secara konstitusi kewajiban
pemerintah tersebut telah dirumuskan dalam ketentuan Pasal 28 huruf D ayat (1)
UUDNRI Tahun 1945, yang menyatakan “ setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum “,
dikaitkan dengan ketentuan dalah Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana kita temui rumusan dalam pertimbangan hukum huruf (a)
KUHAP menyebutkan “ Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia
serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”. Dari rumusan ketentuan tersebut secara jelas kita
dapat tangkap makna bahwa dalam penegakan hukum maka asas utama yang harus
diperhatikan adalah “ persamaan kedudukan warga negara dihadapan hukum “
(equality before the law), dari persamaan kedudukan tersebut diharapkan dapat
menciptakan perlindungi hak asasi tersangka.
Prinsip perlindunggan hak tersangka/terdakwa (Miranda prinsip) yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana diatur dalam Pasal
56 ayat (1),
Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas
tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan
pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri,
pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka
Untuk jenis-jenis tindak pidana tertentu terutama yang ancaman hukumannya lebih
dari lima tahun, sudah menjadi kewajiban bagi aparat penyidik untuk menyediakan
penasehat hukum (bagi yang tidak mampu/ tidak menunjuk penasehat hukum
sendiri), pada tahap penyidikan apabila prinsip perlindungan hak (miranda rule)
tersebut dilanggar, maka hasil penyidikan tersebut menjadi tidak sah, hasil
97
penyidikan yang tidak sah akan berakibat kepada tindakan-tindakan hukum
berikutnya yaitu
proses penuntutan, pemeriksaan sidang bahkan putusan
pengadilan .
Mengenai perlindungan hak sipil dan politik khususnya menyangkut bidang
hukum bagi rakyat Indoneisa selain telah diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 39 tahun
1999
khusus yang mengatur mengenai hak asasi
bidang hukum (pidana)
dirumuskan dalam Pasal 17, dan 18.
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 menyatakan :
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, dalam perkara pidana,
perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas
dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan
yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang
adil dan benar.
Demikian juga dalam Pasal 18 menyatakan :
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka
melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai
dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan
diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali
berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum
tindak pidana itu dilakukannya.
(3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku
ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.
(4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat
penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang
sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.
Ini merupakan bukti keseriusan pemerintah untuk pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia terhadap warga negara terutama dalam bidang
hukum.
98
Hukum Acara Pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981, telah mengatur mengenai asas-asas perlindungan hak asasi manusia
khususnya bagi warga negara yang terlibat tindak pidana, pada intinya dibagi
menjadi 10 asas, yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Perlakuan yang sama dimuka hukum tanpa diskriminasi apapun;
Praduga tidak bersalah ;
Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi ;
Hak untuk mendapat bantuan hukum
Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan ;
Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana ;
Peradilan yang terbuka untuk umum ;
Pelanggaran atas hak-hak individu (penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan) ;
9. Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan
pendakwaan terhadapnya; dan
10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusanputusannya106.
Kesepuluh asas perlindungan dan penegakan hak asasi manusia tersebut harus
dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh aparat penegak hukum pada
setiap tahap penanganan perkara ( penyidikan, penuntutan, persidangan termasuk
pelaksanaan putusan pengadilan) .
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisin Negara Republik
Indonesia sebagai salah satu pedoman bagi penyidik polri dalam melaksanakan
tugas penegakan hukum, pada ketentuan Pasal 14 huruf j yang merumuskan
“melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup
dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan
pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia “; namun demikian bagi
penyidik dalam melaksanakan tugas-tugas penegakan hukum jika ada melakukan
penyimpangan/pelanggaran terhadap hak-hak asasi tersangka baik dalam KUHAP
maupun dalam Undang Kepolisian tidak ada mengatur pemberian sanksi bagi aparat
yang melakukan pelanggaran tersebut.
Persamaan
kedudukan
antara
aparat
penegak
hukum
dengan
tersangka/terdakwa telah diterapkan dalam KUHAP dengan menerapkan sistem
akusatuir ( aqusatoir) artinya seorang tersangka
106
Sujata, Antonius, Op.Cit . hal 32
ditempatkan sebagai subyek
99
hukum, dimana ketika dilakukan pemeriksaan penyidikan kedudukan tersangka
dengan penyidik adalah sederajat, mereka harus diperlakukan secara manusiawi,
segala hak yang melekat padanya dilindungi dan dihormati, tujuan utama dari
pemeriksaan
penyidikan adalah untuk memperoleh keterangan dari tersangka
bukan pengakuan atas kesalahan yang disangkakan.
Asas Praduga tak bersalah yang pada awalnya dirumuskan dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 14 tahun
1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman, kemudian diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, prinsip dari asas ini adalah
memberi perlindungan hak warga negara melalui proses hukum yang benar dan
adil dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan ( due process of law), yang
mencakup sekurang-kurangnya :
a.
b.
c.
d.
Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara;
Bahwa pengadilanlah yang berhak menentukan salah tidaknya terdakwa;
Bahwa sidang pengadilan harus terbuka ( tidak boleh bersifat rahasia)
Bahwa tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk
dapat membela diri sepenuh-penuhnya ;
e. Penuntut umum wajib membuktikan kesalahan terdakwa .107
Setidaknya seseorang yang diduga telah melakukan kejahatan tidak serta merta
divonis atau dilabeling sebagai penjahat (orang yang bersalah), dia/mereka punya
hak untuk membuktikan bahwa dirinya bukan pelaku kejahatan, punya hak untuk
membela diri, punya hak untuk mengajukan bukti-bukti yang dapat memperingan
atau membebaskan diri dari jeratan hukum .
Mengingat betapa pentingnya asas praduga tidak bersalah tersebut selain
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga dapat
kita temui dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman asas “praduga tidak bersalah” tersebut tetap dicantumkan,
karena asas ini menghilangkan stigma/labelisasi negatip terhadap seseorang yang
disangka/ didakwa melakukan suatu kejahatan/tindak pidana.
Seseorang yang
didakwa melakukan suatu tindak pidana setelah melalui proses pemeriksaan
pengadilan apabila hakim tidak memperoleh cukup bukti dan keyakinan bahwa
107
Sujata, Antonius, Op.Cit. hal. 34
100
terdakwa yang
melakukan tindak pidana yang didakwakan maka terdakwa
dibebaskan dari dakwaan, atau tindakan yang dilakukan terdakwa bukan tindak
pidana .
Ketentuan perlindungan hak-hak sipil dan politik yang bertaraf internasional
telah diakui dan diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui UndangUndang Nomor 12 tahun 2005, kovenan tersebut mensyaratkan bahwa setiap negara
wajib untuk memberi perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi
manuisa dalam keadaan apapun, dalam keadaan apapun termasuk didalamnya
apabila warga negara sedang menghadapi permasalahan hukum maka hak-haknya
sebagai tersangka/terdakwa juga harus tetap dihormati dan ditegakan.
Dari
konsideren yang dibuat dalam pertimbangan pembentukan KUHAP seperti tersebut
diatas, selanjutnya direalisasikan dengan membuat rumusan pasal-pasal yang
mengatur tentang hak-hak tersangka / terdakwa sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 50 sampai dengan 74 KUHAP.
Ketentuan Pasal 16 ayat (2) huruf e
UU No. 2 tahun 2002 yang juga
merupakan dasar hukum bagi kepolisian dalam menjalankan tugas-tugas penegakan
hukum (penyidikan) diatur mengenai perlindugan dan penghormatan hak asasi
manusia “menghormati hak asasi manusia”, demi kepastian hukum sudah menjadi
kewajiban bagi aparat penyidik untuk menegakan peraturan perundang-undangan,
tanpa ada pengecualian. Tidak seorangpun dapat dibenarkan
melakukan
pelanggaran terhadap hak-hak asasi seseorang (tersangka) dengan dalih apapun
termasuk demi menegakan undang-undang.
3.2.1.
Hak Asasi Tersangka Dalam Persepektif
Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (Ius Constitutum)
Sistem Peradilan Pidana Indonesia dengan berlandaskan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pedoman umumnya dalam proses
peradilan pidana, menentukan bahwa aparat penegak hukum dalam menjalankan
tugas penegakan hukum harus tetap menghormati hak-hak asasi manusia dalam hal
ini bagi mereka yang didudukkan sebagai tersangka / terdakwa. Dalam rangka
101
penghormatan dan penegakan hak-hak asasi tersangka tersebut maka pembuat
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 telah merumuskan beberapa pasal yang
mengatur tentang hak-hak yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa selama dalam
proses peradilan, bahkan sampai seseorang telah ditetapkan sebagai terpidanapun
masih tetap diberikan penghormatan terhadap hak-hak asasinya. Namun demikian
tidak dapat dipungkiri sampai saat ini dalam pelaksanaan proses penanganan
perkara khususnya pada tahap penyidikan masih banyak ditemukan terjadinya
pelanggaran atas hak-hak tersangka yang dapat mengakibatkan tidak sahnya hasil
penyidikan.
Sebab-sebab terjadinya pelanggaran hak asasi tersangka antara lain adanya
arogansi kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki seorang pejabat yang berkuasa
yang mengakibatkan sulit mengendalikan dirinya sendiri, sehingga terjadi
pelanggaran terhadap hak-hak orang lain108, dalam undang-undang hukum acara
pidana telah diatur dengan tegas bagaimana syarat seseorang dapat ditetapkan
sebagai tersangka, proses penangkapan, proses penahanan, proses penyitaan, dan
lain-lain yang berkaitan dengan penanganan sebuah perkara pidana, dalam tulisan
ini akan dianalisis hak-hak tersangka pada tahap penyidikan yang diatur dalam
KUHAP antara lain , Pasal 50 menentukan :
(1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan
selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum;
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh
penuntut umum;
(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.
Pernyataan Pasal 50 KUHAP menentukan agar dalam penanganan perkara
tindak pidana umum begitu seseorang ditetapkan sebagai tersangka, maka tidak
lama setelah itu tersangka sudah harus dimintai keterangan atas tindak pidana yang
dipersangkakan kepadanya, dan secepatnya penyidikan dapat diselesaikan sehingga
berkas perkaranya dengan segera dapat diajukan kepada penuntut umum guna
ditentukan apakah berkas perkara sudah memenuhi syarat atau belum untuk
ditingkatkan ke tahap penuntutan, dan jika memang sudah memenuhi syarat untuk
diajukan ke tingkat penuntutan maka penyidik dengan segera pula mengajukan
108
Sutiyoso, Bambang, Op. Cit. hal. 114-115.
102
tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum, untuk selanjutnya oleh penuntut
umum dapat dilimpahkan/diajukan ke sidang pengadilan untuk segera diadili.
Hasil penelitian menemukan bahwa sangat banyak terdapat penanganan
perkara pada tahap penyidikan yang penyelesaianya tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal 50 KUHAP tersebut, mulai dari tahap pemberitahuan dimulainya penyidikan
(SPDP) yang sudah dikirimkan kepada penuntut umum (Kejaksaan) berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun belum/tidak diikuti dengan pengiriman berkas perkara tahap
pertama sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 8 ayat (3) huruf a KUHAP.
Kemudian terhadap berkas perkara yang sudah dikirimkan kepada penuntut umum
(Kejaksaan) yang ternyata hasil penyidikannya tidak/belum lengkap setelah
dikembalikan kepada penyidik banyak yang berbulan-bulan tidak/belum dikirimkan
kembali kepada penuntut umum (Kejaksaan) demikian juga ditemukan banyak
berkas perkara yang hasil penelitianya sudah dinyatakan lengkap oleh penuntut
umum penyidik tidak segera melimpahkan tanggung jawab tersangka dan barang
buktinya ( Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP). Ini menandakan bahwa aparat
penyidik belum konsisten dalam menegakan hak-hak tersangka, yang berakibat
tidak memberikan kepastian hukum serta keadilan baik bagi tersangka maupun
masyarakat (korban) kejahatan .
Ketentuan Pasal 51 KUHAP, untuk mempersiapkan pembelaan:
a. Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu
pemeriksaan dimulai;
b. Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya.
Pelaksanaan Pasal 51 KUHAP dilapangan ternyata masih banyak ditemukan
bahwa pada saat dilakukan penyidikan tersangka tidak mengetahui dengan jelas
tindak pidana apa yang dipersangkakan terhadap dirinya, seperti seseorang yang
melakukan pencurian oleh penyidik tersangka tidak hanya disangka melakukan
tindak pidana pencurian biasa tetapi juga disangka melakukan tindak pidana dengan
pemberatan hal tersebut tidak diberitahu dengan jalas oleh penyidik atas pasal-pasal
yang dipersangkakan tersebut, tindakan tersebut jelas merupakan pelangggaran hakhak tersangka.
103
Pasal 52 KUHAP menyatakan “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan
dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara
bebas kepada penyidik atau hakim”. Dalam praktek penerapan pasal ini masih
banyak disimpangi, dalam pemeriksaan tersangka penyidik masih banyak mengejar
pengakuan dari tersangka atas tindak pidana yang dipersangkakan terhadapnya.
Karena penyidik mengejar pengakuan maka penyidik masih menggunakan caracara lama seperti pemaksaan, penekanan baik fisik maupun fisikis. Penyidik masih
merasa ketakutan jika tersangka tidak mengakui perbuatannya dikawatirkan
perkara tersebut tidak akan bisa dibuktikan dipersidangan. Barang kali ditingkat
perkotaan peristiwa tersebut tidak banyak ditemui tetapi ditingkat pedesaan atau
daerah-daerah pedalaman peristiwa tersebut tidak sulit ditemukan.
Ketentuan Pasal 53 KUHAP mengatur, bahwa
(1)
(2)
Dalam pemeriksaan pada
tingkat
penyidikan dan pengadilan,
tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan
juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177;
Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli diberlakukan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178.
Sebagaimana diuraikan diatas bahwa ditingkat pedesaan masih banyak
masyarakat kita yang tidak/belum mengetahui Bahasa Indonesia dengan baik dan
benar, ketika mereka melakukan suatu kejahatan dan diperiksa dipenyidik ternyata
banyak mereka tidak disediakan juru bahasa dan tidak diberitahu dengan bahasa
yang dapat dimengerti oleh tersangka, keadaan ini sangat merugikan pihak
tersangka karena penyidik membuat berita acara pemeriksaan tersangka hanya
sesuai pengetahuan penyidik bukan sepengetahuan tersangka.
Ketentuan Pasal 54 KUHAP menyatakan “Guna kepentingan pembelaan,
tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih
penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan,
menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”. Dalam praktek
ditemukan bahwa hampir 80 % (delapan puluh persen) perkara pada tahap
penyidikan tersangka tidak memperoleh bantuan hukum berupa pendampingan oleh
penasehat hukum, apalagi bari perkara tindak pidana umum yang ancaman
hukumannya dibawah lima tahun dan tidak diatur dalam pasal 21 ayat (4) b
KUHAP, memang untuk perkara yang seperti tersebut penyidik tidak berkewajiban
104
menyediakan penasehat hukumnya melainkan semata-mata hak tersangka untuk
menggunakan atau tidak haknya tersebut, sementara bagi tersangka yang diancam
hukuman lebih dari lima tahunpun sangat banyak tidak didampingi penasehat
hukum pada tahap penyidikan dan dalam berkas perkara dilampirkan Surat
Pernyataan Penolakan Penasehat Hukum oleh tersangka pada tahap penyidikan.
Ketentuan Pasal 56 KUHAP, secara jelas dan tegas mengatur :
(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana
lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang
diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai
penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum
bagi mereka;
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
Pasal ini mewajibkan bagi penyidik untuk menyiapkan penasehat hukum bagi
tersangka yang diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman mati
atau pidana penjara lima belas tahun atau lebih. Bagi tersangka yang tidak mampu
atau tidak punya penasehat hukum sendiri jika disangka melakukan tindak pidana
dengan ancaman hukuman lima tahun atau lebih maka penyidik juga wajib
menunjuk penasehat hukum untuk tersangka, namun dalam kenyataan masih
banyak perkara-perkara yang tersangka diancam hukuman pidana penjara lebih dari
lima tahun pada tahap pemeriksaan penyidikan tidak mendapat bentuan hukum
berupa pendampingan penasehat hukum, akan tetapi dalam berkas perkara secara
formil terlampir surat pemberitahuan hak-hak tersangka, surat penunjukan
penasehat hukum kemudian ada surat pernyataan penolakan didampingi penasehat
hukum. keadaan ini sebenarnya masih menyisakan pertanyaan apakah benar
penyidik telah menunjuk penasehat hukum yang akan mendampingi tersangka
secara cuma-cuma ataukah surat-surat tersebut hanya bersifat formalitas belaka .
Perkara-perkara tindak pidana umum yang tersangkanya dilakukan upaya
penahanan oleh penyidik maka hak-haknya lebih terjamin untuk dipenuhi oleh
aparat penyidik, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 57 sampai dengan Pasal
63 KUHAP, seperti hak untuk mengbungi penasehat hukum, bagi tersangka orang
asing berhak menghubungan perwakilan negaranya, hak menerima kunjungan
105
dokter, hak untuk memberitahu keluarga tersangka atas penahanan yang dikenakan
bagi tersangka, hak untuk mendapat penangguhan penahanan, hak untuk mendapat
kunjungan keluarga, hak tersangka untuk bersurat menyurat dengan penasehat
hukumnya, hak tersangka untuk menerima kunjungan rohaniwan .
Seseorang yang ditangkap lalu ditahan tidak didahului dengan pemberitahuan
atas hak-haknya (Miranda Prinsip/warning). Apabila bentuk-bentuk pelanggaan
tersebut terus-menerus terjadi dapat disimpulkan sebagai bentuk kegagalan negara
dalam mewujudkan negara hukum109
Pasal 65 mengatur
tentang “ Tersangka atau terdakwa berhak untuk
mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian
khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya” .
Ketentuan ini mengatur hak tersangka untuk mengajukan saksi/ahli yang
menguntungkan bagi dirinya atas tindak pidana yang disangkakan oleh penyidik.
Hak-hak ini sangat penting dan wajib dipenuhi oleh penyidik, karena menerapkan
asas keseimbangan pembuktian. Penyidik mempunyai kewajiban membuktikan
kesalahana tersangka melalui alat bukti yang berhasil dikumpulkan pada saat
penyidikan, sebagai penyeimbang tersangkapun diberi hak untuk mengajukan alat
bukti berupa saksi-saksi maupun ahli yang dapat meringankan bahkan
membebaskan dirinya dari jeratan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya .
namun kenyataannya sebagian besar tersangka ketika dalam penyidikan tidak
diberitahu haknya untuk mengajukan saksi maupun ahli, namun secara formil sudah
tercantum pertanyaan –penyidik yang mengarah kepada hal tersebut. Yang sangat
ironis sebagian besar penyidik mengarahkan agar tersangka mengajukan saksi atau
ahli yang menguntungkan baginya nanti pada saat pemeriksaan dipersidangan.
Ketentuan Pasal 68 KUHAP “Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti
kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 dan selanjutnya”.
Apabila tindakan hukum yang dilakukan oleh penyidik merugikan diri tersangka
maka tersangka berhak menunut ganti kerugian dan rehabilitasi nama baik .
Pasal 69 s/d 71 KUHAP mengatur mengenai hak penasihat hukum untuk
menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat
109
Libis, Sofyan, Op.Cit. Hal. 65.
106
pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam KUHAP, namun tindakan
pengacara pada tahap penyidikan sangat terbatas.
Ketentuan Pasal 72 KUHAP “ Atas permintaan tersangka atau penasihat
hukumnya pejabat
yang bersangkutan memberikan turunan berita acara
pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya”. Dalam kenyataan hak tersangka ini
juga paling sering dilanggar oleh penyidik, aparat penyidik berdalih bahwa tahap
penyidikan adalah bersifat rahasia sehingga tidak mau memberikan tersangka
turunan berita acara pemeriksaan, padahal yang dimaksud dalam ketentuan tersebut
adalah turunan berita acara pemeriksaan tersangka sendiri. Menurut penyidik berita
acara pemeriksaan baru bisa diberikan setelah perkara mulai digelar dipersidangan
karena sifatnya sudah terbuka untuk umum .
3.2.2. Kewajiban Pemerintah Untuk Penegakan, Penghormatan Dan
Pemenuhan Hak Hak Tersangka Pada
Tahap Penyidikan Tindak
Pidana Umum
Teori hak asasi manusia
menegaskan bahwa manusia
sebagai pribadi
terhadap hukum, berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut,
dan hak-hak ini dikenal dengan hak asasi yang non derogable yaitu hak yang tidak
dapat dikurangai dalam keadaan apapun oleh siapapun. Dijelaskan pula bahwa
pembatasan hak asasi manusia hanya dapat dilakukan atas dasar undang-undang.
Tugas pemerintah melalui aparat penegak
hukum untuk
menegakan,
menghormati dan memenuhi hak-hak asasi manusia dalam hal ini bagi mereka yang
terlibat masalah hukum adalah wajib hukumnya, penegakan, penghormatan dan
pemenuhan hak tersebut dilakukan dengan cara melaksanakan aturan yang sudah
ada dalam peraturan perundang-undangan termasuk KUHAP dan membuat aturanaturan baru yang lebih baik lagi dalam hal pengaturan hak-hak asasi manusia.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana
diuraikan diatas telah banyak mengatur mengenai hak-hak tersangka dalam proses
penyidikan, namun dari aturan yang sudah ada tersebut masih banyak yang tidak
dipenuhi oleh penyidik , oleh karena itu diperlukan tekad dan niat yang serius dari
107
aparat penyidik untuk benar-benar menegakkan, menghormati dan memenuhi hakhak tersangka dengan tanpa membedakan status sosial, suku, ras, maupun agama.
Melaksanakan penegakan hukum sesuai dengan apa yang telah ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan merupakan salah satu ciri dari pelaksanaan
penegakan hukum dengan mengutamakan kepastian hukum, bahwa ketentuan
hukum harus diberlakukan sama kepada setiap orang yang mengalami kasus yang
sama sehingga asas persamaam kedudukan dimuka hukum benar-benar diterapkan.
Pelaksanaan perlindungan, penghormatan dan penegakan hak tersangka pada
saat penyidikan yang paling banyak mendapat sorotan masyarakat adalah dalam
rangka pemberian bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu, terhadap
perkara-perkara tindak pidana umum yang ancaman hukumannya dibawah lima
tahun, hampir sembilan puluh sembilan persen tersangkanya tidak mendapat
bantuan hukum berupa pendampingan oleh penasehat hukum sejak tersangka mulai
dilakukan penangkapan, penahanan. Karena ketentuan seperti tersebut bukan
merupakan kewajiban bagi penyidik untuk menyediakan bantuan hukum berupa
advokat/penasehat hukum, maka penyidik menanyakanpun tidak kepada tersangka
apakah dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan sudah menyiapkan penasehat
hukum atau mau diberikan bantuan hukum berupa pendampingan oleh penasehat
hukum, sehingga kebanyakan tersangka tidak mengetahui bahwa sebenarnya
mereka mempunyai hak untuk didampingi penasehat hukum pada saat proses
penyidikan perkara tindak pidana umum, padahal pemerintah telah menyediakan
bantuan hukum gratis / cuma-cuma kepada setiap warga negara yang menghadapi
masalah hukum.
Berkenaan dengan kewajiban pemenuhan hak asasi tersangka pada proses
penyidikan, maka sudah selayaknya ketentuan dalam KUHAP yang mengatur
mengenai hak-hak tersangka dilakukan perubahan dari frase “ berhak” diubah
menjadi frase “wajib” didampingi penasehat hukum dalam semua tingkat
pemeriksaan perkara dan untuk semua jenis tindak pidana tanpa membedakan
lamanya ancaman hukuman yang dipersangkakan terhadap diri tersangka, rumusan
ini juga dimaksudkan untuk mewujudkan persamaan hak bagi semua warga negara
tanpa kecuali.
108
Perwujudan sistem peradilan pidana terpadu yang bisa direalisasikan secara
nyata pada tahap penyidikan sebenarnya adalah keterpaduan antara tugas penasehat
hukum dalam rangka mendampingi tersangka dengan penyidik ketika melakukan
pemeriksaan, karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
telah diatur mengenai koordinasi antara penyidik dengan tersangka dan penasehat
hukum walau masih terbatas dengan tersangka yang diancam dengan pidana
tertentu dan jika dalam pemeriksaan perkara-perkara yang tersangkanya diancam
dengan pidana mati atau seumur hidup pada saat pemeriksaan penyidikan tersangka
tidak didampingi penasehat hukum maka hasil penyidikan menjadi tidak sah.
Selama ini dalam penyidikan suatu perkara pidana yang sudah menetapkan
tersangka, maka status hukum tersangka dalam penyidikan ada dua yaitu :
Pertama
status tersangka dalam penyidikan yang dilakukan upaya paksa berupa
penahanan. Terhadap tindakan penyidikan perkara bagi terangka yang dilakukan
penahanan pada umumnya penanganan perkara berjalan dengan lancar, bahkan
dalam waktu 2 (dua) bulan penyidikan dapat diselesaikan, keadaan ini dipicu oleh
masa penahanan terhadap tersangka ada batas waktunya dan jika penyidikan belum
selesai sementara batas waktu penahanan telah habis maka tersangka harus
dikeluarkan dari tahanan demi hukum .
Kedua, dalam tahap penyidikan terhadap tersangka tidak dilakukan upaya
penahanan. Terhadap
perkara-perkara
yang tersangkanya tidak
dilakukan
penahanan, banyak mengalami kendala penyelesaian dan penyidikanya berlarutlarut tanpa ada ujung penyelesaian.
Sebelum melakukan pemeriksaan terhadap tersangka penyidik wajib
hukumnya
terlebih dahulu memberitahukan hak-hak tersangka (Miranda Rule,
Miranda Princip maupun Miranda warning), karena apabila penyidik melalaikan
ketentuan tersebut maka hasil penyidikanya menjadi tidak sah, hal tersebut
ditegaskan dalam Pasal 114 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), antara lain : “Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak
pidana sebelum
dimulainya
pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib
memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum
atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 KUHAP”.
109
Beberapa pendapat ahli berkaitan dengan pemenuhan hak-hak tersangka
dalam penanganan perkara pidana, seperti :
Menurut M . Sofyan Lubis yang pada pokoknya menyatakan :
pelanggaran terhadap hak tersangka untuk mendapat bantuan hukum
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP pada tahap
penyidikan akan mengakibatkan hasil penyidikan menjadi tidak sah dan
apabila berkas hasil penyidikan yang demikian itu dijadikan dasar untuk
melakukan penuntutan maka penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum
menjadi tidak dapat diterima110 atau surat dakwaan penuntut umum menjadi
batal demi hukum karena didasarkan atas berita acara yang tidak sah .
Demikian juga Gilbert Geis menyatakan : “ to much attention has been paid
to offenders and their rights, to neglect of the victims111”. Perlindungan atas hakhak asasi manusia dalam proses peradilan pidana tidak hanya ditujukan
tersangka, melainkan juga pihak-pihak terkait lainnya, namun
terhadap
dalam praktek
penegakan hukum hak-hak mereka kurang mendapat perhatian dari aparat penegak
hukum.
M. Sofyan Lubis mengatakan, ada tiga pendapat mengenai konsekuensi
hukum yang terjadi apabila pada tahap penyidikan terjadi pelanggaran terhadap hak
tersangka didampingi penasehat hukum (Miranda Rule) antara lain :
Pendapat pertama:
Pelanggaran Miranda Rule mengakibatkan tindakan penuntutan yang
dilakukan oleh jaksa penuntut umum tidak dapat diterima
Pendapat kedua:
Pelanggaran Miranda Rule bisa mengakibatkan tuntutan tidak dapat
diterima, bisa juga tidak, tergantung dari jenis Miranda Rule yang dilanggar
Pendapat ketiga:
Pelanggaran Mirranda Rule tidak mempengaruhi proses peradilan
Atas tiga pendapat tersebut
beliau lebih condong kepada pendapat pertama
walaupun pada prinsipnya tidak mengakui pendapat kedua dan kettiga112
110
. Lubis M.Sofyan, Op. Cit. hal 48
111
Geis,Gilbert, 1983, ”Victims and Witness Assistance Program”, dalam : Sanford H. Kadish
(ed.), Encyclopedia of Crime and Justice, Volume 4, The Free Press : A Division of Macmillan Inc.,
New York, hal. 1600.
]
112
Lubis, M. Sofyan, Op. Cit. hal 47
110
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hukum acara pidana
sampai saat ini belum ada yang mengatur mengenai sanksi yang dapat diberikan
kepada aparat penegak hukum
(penyidik), apabila dalam melakukan tindakan
penyidikan aparat melakukan pelanggaran terhadap hak-hak tersangka.
Kebutuhan mewujudkan kepastian hukum dalam penanganan perkara pada
tahap penyidikan merupakan kebutuhan semua pihak, baik pihak pelapor/ korban,
masyarakat pada umumnya yang menginginkan adanya kedamaian dan ketentraman
dalam kehidupan, maupun pihak tersangka yang menginginkan masalah hukum
yang menimpa dirinya cepat selesai.
Setiap orang menginginkan penyidikan perkara pidana umum dilaksanakan
oleh aparat penyidik secara konsisten dan konsekuen sesuai ketentuan hukum yang
digariskan dalam KUHAP, dengan mengedepankan asas penyelesaian perkara
secara cepat, sederhana dan biaya ringan dan tidak mengesampingkan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusai termasuk didalamnya tersangka, korban serta saksisaksi pada umumnya.
Undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik untuk melakukan
tindakan-tindakan hukum dalam rangka memperlancar tugas-tugas penyelesaian
perkara, namun dengan tidak adanya batas waktu penyidikan tindak pidana umum
banyak kewenangan yang diberikan undang-undang disalahgunakan oleh penyidik
sehingga
penanganan
perkara
menjadi
tidak
optimal.
H.R.Abdussalam
menyatakan:
Kewenangan yang sangat besar yang didapat dari undang-undang merupakan
kepastian hukum bagi aparat penegak hukum dalam melakukan tugas
pokoknya. Dengan berkedok pada kepastian hukum yang didapat tersebut
maka aparat penegak hukum dapat melakukan tindakan-tindakan sesuai
kehendak atau keinginannya dengan membuat rekayasa hukum walaupun
kontroversi dengan kebenaran dan alasan masuk akal berdasarkan hukum 113.
Penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum (penyidik) dalam melaksanakan tugas-tugas penanganan perkara,
menurut H.R.Abdussalam :
kepastian hukum yang dirumuskan materi dalam semua produk peraturan
perundang-undangan baik pada hukum pidana materiil maupun hukum
113
Abdussalam, H.R. Op.Cit. hal 684.
111
pidana formil hanya untuk memberi kepastian hukum kepada aparat
penegak hukum dengan memberikan kewenangan yang luas tanpa adanya
sanksi apapun baik sanksi administrasi, sanksi perdata maupun sanksi
pidana kepada aparat yang menyalahgunakan kewenangan114
Menurut beliau kepastian hukum seolah-oleh tidak diperuntukan bagi masyarakat
luas,
melainkan
untuk
aparat
pelaksana
undang-undang.
Penyalahgunaan
kewenangan oleh aparat penegak hukum (penyidik) dalam penanganan perkara
pidana dipastikan menimbulkan pelanggaran terhadap sejumlah hak-hak tersangka
serta semakin terpuruknya wibawa penegakan hukum.
Pemerintah dalam hal ini selaku aparat penegak hukum (penyidik) telah
mengabaikan kewajibanya sebagaimana digariskan dalam ketentuan Pasal 28J ayat
(4) UUNRI tahun 1945, yaitu menegakkan., melindungi serta memenuhi hak-hak
asasi warga negara dan juga memberi perlakuan yang sama dihadapan hukum bagi
semua warga negara ( Vide Pasal 27 ayat (1) UUD NRI tahun 1945), hal ini terjadi
karena sebagian perkara yang ditangani oleh penyidik dapat diselesaikan dalam
waktu yang tidak lama dan disisi lain ada banyak perkara-perkara yang pada tahap
penyidikan tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang lama.
Sudikno Mertokusumo, menyatakan kepastian hukum
adalah “ jaminan
bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh
haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan
115
.
Penanganan perkara tindak
pidana umum yang tidak optimal pada tahap penyidikan selain membawa akibat
negatif terhadap kepastian hukum, juga akan menunjukan semakin merosotnya
wibawa
penegakan hukum di mata masyarakat. Karena ketidak percayaan
masyarakat terhadap penegakan hukum (penyidikan) maka tidak segan-segan
masyarakat baik korban maupun mereka yang menyaksikan suatu peristiwa yang
diduga tindak pidana melakukan penghakiman sendiri terhadap pelakunya. Jadi
jelas bahwa kekosongan hukum mengenai pengaturan batas waktu penyidikan
membawa akibat ketidak pastian hukum, tidak memberikan rasa keadilan serta
ketentraman bagi masyarakat pada umumnya serta terjadi pelanggaran terhadap
114
Ibid. hal.701
115
Mertokusumo, Sudikno , Op.Cit. hal. 160
112
sejumlah-hak-hak tersangka yang telah ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Kepastian hukum tidaklah semata-mata apa yang tertulis dalam undangundang, melainkan kepastian hukum juga ditunjukkan dengan komitmen proses
pelaksanaan undang-undang, sebagaimana diungkapkan oleh Bagir Manan bahwa
”pengertian kepastian hukum tidak hanya terbatas pada keberadaan kaidah hukum
atau peraturan perundang-undangan. Kepastian hukum mencakup juga kepastian
proses dan kepastian penerapan atau pelaksanaan, atau eksekusi 116 “, jadi proses
hukum yang konsisten dan konsekuen dalam hal ini proses penyidikan yang
konsisten antara perkara satu dengan yang lain juga menunjukkan kepastian hukum,
namun jika pelaksanaan proses penyidikan antara perkara satu dengan yang lain
memiliki disparitas waktu yang sangat mencolok justru menunjukkan ketidak
pastian hukum
Doktrin kepastian hukum
hukum agar
mengajarkan kepada setiap aparat penegak
mendayagunakan hukum yang sama untuk kasus yang sama,
banyaknya terjadi tunggakan penyelesaian penanganan
perkara pada tahap
penyidikan jelas menunjukan bahwa apara penyidik tidak bisa memberlakukan /
mendayagunakan hukum yang sama terhadap orang yang sama-sama melakukan
tindak pidana, karena diantara orang-orang yang melakukan tindak pidana ada yang
kasusnya bisa diselesaikan dalam waktu yang cepat dan ada sebagian lagi tidak
terselesaikan dalam waktu yang berlarut-larut.
Herbert L. Packer mengemukakan pendapat tentang Sistem Peradilan Pidana
dengan Model Doe Process Model pada intinya adalah suatu mekanisme
penanganan perkara dengan mengedepankan perlindungan hak-hak asasi manusia
serta menghindarkan terjadinya penyalahgunaan kewenanan (abuse of power) oleh
pelaksana peradilan. Pelaksanaan system peradilan pidana dengan model due
process model mengutamakan asas pra duga tidak bersalah (presumption of
innocent), ketaatan penegak hukum terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku menjadi kunci utama.
116
Fachmi, Op.Cit. hal 278
113
Sitem Peradilan Pidana Terpadu mengutamakan penyelesaian perkara dengan
cara yang adil (due process of law)
dengan mengedepankan nilai-nilai
kemanusiaan, apabila pihak penyidik konsisten melaksanakan aturan yang ada
maka jaminan kepastian hukum dalam proses penyidikan perkara pidana (umum)
akan dapat terwujud, walaupun secara eksplisip ketentuan batas waktu penyidikan
tidak diatur dalam KUHAP namun secara implisif ketentuan tersebut tersirat dalam
beberapa pasal KUHAP, seperti adanya ketentuan
penyidik segera melakukan
pemeriksaan terhadap tersangka, segera mengajukan tersangka kepada penuntut
umum, tersangka segera diajukan kepersidangan oleh penuntut umum, dan lain
sebagainya maka tidak akan ada perkara yang penyidikannya berlarut-larut.
Sistem Peradilan Pidana terintegrasi (integrated justice criminal system)
merupakan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan atau kendala-kendala
yang dihadapi aparat penegak hukum dalam menjalan proses penanganan perkara,
namun karena sistem peradilan pidana terpadu/terintegrasi kurang diperhatikan
oleh aparat (penyidik), maka banyak terjadi penyelesaian perkara yang berlarutlarut dan tidak memberikan kepastian hukum yangn berakibat terjadinya
pelanggaran terhadap hak-hak tersangka.
3.2.3. Proses Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 diberlakukan
HIR sebagai ketentuan hukum pidana formil (hukum acara pidana), Pemerintah
menyadari bahwa HIR sebagai ketentuan hukum pidana formil sudah tidak sesuai
lagi dengan nilai-nilai budaya Bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanuisaan (hak
asasi manusia), dimana dalam HIR terdapat perbedaan kedudukan yang tajam
antara aparat pemeriksa(penyidik) dengan seseorang yang dijadikan pesakitan
(tersangka), HIR menerapkan sistem in qusatoir dimana tersangka dijadikan obyek
pemeriksaan, dalam pemeriksaan penyidik mengejar pengakuan dari tersangka
sehingga menggunakan cara-cara kekerasan, tekanan dan paksaan untuk mendapat
114
pengakuan atas kesalahan yang dituduhkan terhadap tersangka . sejak tahun 1967
dengan dibentuknya panitia intern departemen kehakiman, mulai dibuat rancangan
Hukum Acara Pidana sebagai pengganti HIR.
Seminar-seminarpun dilaksanakan yang diprakarsai oleh Badan Pembina
Hukum Nasional ( BPHN), akhirnya berhasil disusun rancangan Hukum Acara
Pidana yang juga mengalami beberapa kali perubahan/penyempurnaan, setelah
melalui pembahasan Rapat Gabungan DPR dan Pemerintah akhirnya rancangan
Hukum Acara Pidana tersebut pada tanggal 31 Dsember 1981 disahkan menjadi
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Unang-Undang Hukum Acara
Pidana .
Dari hasil penelusuran melalui media internet bahwa sejak dibuat rancangan
KUHAP, pembuat Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana memang tidak memasukan batas waktu penyidikan
tindak pidana secara tegas kecuali ketentuan Pasal 110 dan 138
117
. Sedangkan
mengenai hak asasi dinyatakan sebagai yang menjiwai pembentukan KUHAP
termasuk hak-hak dan kedudukan tersangka / terdakwa
yang dilatarbelakangi
semakin gencarnya pengakuan hak-hak asasi baik nasional maupun internasional.
117
Simbolon Agnes, 2013 http://kitingpundan.
com/2013/04/proses-pembentukan
kuhap.html?m=1, posting Jumat tanggal 12 April 2013
BAB IV
PENGATURAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM
DALAM HUKUM ACARA PIDANA DARI PERSPEKTIF
IUS CONSTITUENDUM
4.1. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Pollicy)
Dalam Upaya Mengatasi
Kekosongan Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum
Hasil penelitian sebagaimana diuraikan dalam Bab III ternyata dengan tidak
adanya batas waktu penyidikan tindak pidana umum yang diatur dalam KUHAP
membawa akibat banyak terjadi penyelesaian perkara yang berlarut-latur, terjadi
pelanggaran terhadap sejumlah hak-hak tersangka serta tidak bisa diterapkannya
asas penyelesaian perkara secara cepat sederhana dan biaya ringan dan keadaan
tersebut dipastikan tidak akan dapat memberi kepastian hukum, rasa keadilan serta
kemanfaat hukum itu sendiri .
Berkenaan dengan keadaan tersebut diperlukan langkah-langkah konkrit untuk
mengatasinya agar tidak semakin hilang kepercayaan masyarakat terhadap upaya
penegakan hukum, perlindungan hak-hak asasi manusia (tersangka) bahkan hak-hak
asasi masyarakat khususnya bagi mereka yang menjadi saksi (koban) maupun saksi
pada umumnya. Karena atas keberadaan mereka menjadi saksi tidak jarang
mendapat acaman dari pihak-pihak tertentu.
Dilihat dari sisi Politik Hukum Pidana (Penal Policy) pembentukan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang disahkan dan diundangkan sejak tahun
1981 sampai saat ini sudah berusia tiga puluhan tahun. Selain karena masa
berlakunya sudah cukup lama dalam
KUHAP sendiri ditemukan banyak
kelemahan-kelemahan yang sangat berpengaruh terhadap proses penegakan hukum
pidana itu sendiri. Tidak adanya batas waktu penyidikan tindak pidana umum jelas
berpengaruh terhadap kinerja penyidik dalam penyelesaian perkara dan kondisi
115
116
tersebut memberi peluang untuk disalahgunakan oleh aparat penyidik sehingga
berakibat banyak perkara pada tahap penyidikan yang tidak terselesaikan dalam
waktu yang cepat bahkan berlarut-larut, menyebabkan terkekang kemerdekaan baik
tersangka, korban maupun saksi pada umumnya yang pada ujungnya tidak
tercapainya proses penanganan perkara secara adil.
Teori kebijakan hukum pidana
mengajarkan bahwa untuk memperbaiki
sistem peradilan yang sedang carut marut tidaklah cukup dengan hanya melakukan
perubahan terhadap sumber daya aparatur penegak hukum (struktur hukum), serta
sarana dan prasarana pendukung melainkan juga dilakukan secara menyeluruh
termasuk, dan yang paling penting adalah melakukan perubahan terhadap peraturan
perundang-undangan (substansi hukum) dibidang pidana baik materiil maupun
formilnya.
Pembaharuan hukum pidana menurut Barda Nawawi Arief pada hakekatnya
mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi
hukum pidana, dengan kata lain pembaharuan hukum pidana saat ini merupakan
evaluasi terhadap aturan itu sendiri apakah masih relevan dengan nilai-nilai sosio
politik, sosio filosofis dan sosio kultural yang berkembang pada saat ini dan masa
yang akan datang, sehingga peraturan yang dibuat tidak lekas usang. Pemerintah
dalam menjalankan politik hukum acara pidana senantiasa berkeinginan melakukan
kodifikasi terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum acara
pidana tersendiri, namun kenyataan tidak lama setelah ditetapkan dan
diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada
tahun 1981, kembali tumbuh berbagai peraturan perundang-undangan yang
didalamnya mengatur hukum acara tersendiri walaupun secara umum tetap
berpedoman kepada KUHAP. hal tersebut terjadi karena dalam KUHAP yang telah
ditetapkan tidak mengakomudir masalah-masalah hukum yang sangat urgen
dilapangan.
Perkembangan politik hukum acara pidana yang akan datang tetap memiliki
visi dan misi untuk menyatukan hukum acara pidana yang tersebar dalam berbagai
peratuan perundang-undangan, dan dalam beberapa peraturan perundang-undangan
yang terbit setelah berlakunya KUHAP sudah banyak yang berisi hukum acara
pidana secara khusus mengatur mengenai batas waktu proses penanganan perkara
117
mulai tahap penyidikan sampai dengan putusan memperoleh kekuatan hukum yang
tetap .
Khusus ketentuan hukum acara yang mengatur tenggang waktu penyidikan
dalam pelaksanaanya ternyata sangat memberikan dampak kecepatan dan kepastian
penyelesaian perkara ( penyidikan) dan juga mengenai hak-hak tersangka
sebagaimana diatur dalam KUHAP dapat terpenuhi.
Pelaksanaan politik hukum pidana khususnya dalam kerangka mengadakan
pembaharuan peraturan perundang-undangan baik dengan cara merubah ketentuan
yang sudah ada, maupun menciptakan ketentuan perundang-undangan yang baru
tujuan utamanya adalah untuk mengharmoniskan atas terjadinya perbedaan antara
ketentuan hukum yang berlaku (ius constitutum) dengan hukum yang dicita-citakan
(ius constituendum) dan juga pengharmonisasian atas adanya kekurangan atau
kelemahan dalam suatu peraturan perundang-undangan baik berupa konflik norma,
kekaburan norma maupun adanya kekosongan norma, dengan tujuan peningkatan
kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan (justice, gerechtigheid) dan
kesebandingan (equit, billijkeid), kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa
mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum.
4.2.
Pembentukan Perundang-Undangan Hukum Acara Pidana Terkait
Dengan Kebijakan Penghormatan dan Pemenuhan Hak Asasi
Tersangka Dalam Penyidikan Perkara Tindak Pidana Umum
Rencana Pemerintah bersama pihak-pihak terkait untuk melakukan perubahan
secara menyeluruh terhadap Hukum Acara Pidana yang berlaku saat ini termasuk
didalamnya pengisian kekosongan hukum pada proses penyidikan telah lama
dimulai, kegiatan tersebut diawali dengan mengadakan seminar-seminar hukum.
Ahli hukum Barda Nawawi Arif, dalam suatu seminar di Semarang menyatakan :
Kebijakan pengembangan/peningakatan kualitas peradilan tentunya terkait
dengan berbagai aspek yang mempengaruhi kualitas peradilan/ penegakan
hukum, berbagai aspek itu dapat mencakup kualitas individu (SDM),
kualitas Institusional/kelembagaan, kualitas mekanisme tata kerja/
menajemen, kualitas sarana dan pra sarana, kualitas substansi
118
hukum/perundang-undangan, dan kualitas lingkungan (kondisi sosial,
ekonomi, politik, budaya, termasuk budaya hukum masyarakat)118
Peningkatan kualitas peradilan yang dimaksud tentu peradilan secara
keseluruhan yaitu sejak tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dipersidangan
termasuk juga upaya hukum serta pelaksanaan dari putusan hakim/pengadilan.
Dalam bidang penyidikan salah satu aspek yang sangat mendesak untuk dilakukan
peningkatan kualitas adalah mengenai substansi hukum atau perundang-undangan
hukum acara pidana, disamping aspek hukum materiil yang juga sangat mendesak
untuk dilakukan perubahan menuju hukum pidana materiil yang mencerminkan
jiwa Bangsa Indonesia seutuhnya serta aspek lainnya.
Tugas pemerintah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 hurut J angka 4
yaitu penegakan, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia dapat dilakukan
dengan penyempurnaan undang-undang, penyempurnaan undang-undang (hukum)
dapat dilakukan dengan pembentukan undang-undang baru atau merevisi undangundang yang sudah ada dan melengkapi atas kekurangan sempurnaan undangundang
khususnya mengenai pengaturan hak-hak tersangka/terdakwa. Dalam
undang-undang hukum acara pidana yang baru agar ditentukan secara pasti dan
tegas mengenai batas-batasa waktu tahap penanganan perkara mulai sejak proses
penyidikan, proses penuntutan, proses persidangan, proses upaya hukum dan proses
eksekusi. Selanjutnya kata “berhak” untuk mendapat bantuan hukum dalam hukum
acara pidana yang akan datang agar diganti dengan kata “ wajib”, dan jika perlu
pemberian bantuan hukum kepada masyarakt tidak mampu tidak hanya bagi
tersangka / terdakwa diancam dengan hukuman lima tahun keatas melainkan
terhadap semua tindak pidana, karena bagi penulis setiap tindakan penghukuman
adalah perampasan kemerdekaan, perampasan kebebasan, perampasan hak-hak
asasi manusia sehingga perlu dibela. Bagi seseorang yang tidak tahu/buta hukum
sangat memerlukan bantuan hukum dari advokat penasehat hukum untuk
melakukan pembelaan diri atas dakwaan serta tuntutan hukum yang diancamkan
baginya .
118
Nawawi Arif, Barda, Op.Cit, hal. 1.
119
Teori-teori tentang pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan,
antara lain dikemukakan oleh Mhd. Shiddiq Tgk.Armia menyatakan bahwa
pemerintah pada pokoknya merupakan produsen hukum terbesar disepanjang
sejarah, dengan alasan :
Pertama : pemerintah menguasai informasi yang paling banyak dan
memiliki akses paling luas dan paling besar untuk memperoleh informasi
yang dibutuhkan dalam rangka proses pembuatan hukum
Kedua : pemerintah jugalah yang paling tahu mengapa, untuk siapa, berapa,
kapan, dimana dan bagaimana hukum itu akan dibuat.
Ketiga : dalam organisasi pemerintah pulalah keahlian dan tenaga ahli
paling banyak terkumpul yang memungkinkan proses pembuatan hukum itu
dapat dengan mudah dikerjakan.119
Pemerintah yang dimaksud disini adalah Lembaga Legislatif (DPR) maupun
Lembaga Eksekutif (Presiden)
Fungsi legislatif pada parlemen sebenarnya hanyalah menyangkut kegiatan
pembuatan hukum dalam salah satu bentuk saja (UUD dan UU), sedangkan untuk
pembuatan hukum / peraturan tingkat yang lebih rendah tidak dibuat oleh lembaga
Parlemen, melainkan oleh pemerintah120 (eksekutif).
Lembaga legislatif dalam menjalankan kewenangan untuk membuat hukum
(undang-undang) harus mempedomani prinsip-prinsip lagalitas, yang oleh
Lon.L.Fuller disebutkan ada delapan nilai-nilai yang harus diwujudkan oleh hukum
yang kemudian dikenal dengan “ delapan prinsip legalitas”, yaitu :
1. Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu; hal ini berarti bahwa tidak
ada tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau tindakantindakan yang bersifat arbiter.
2. Peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak.
3. Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut.
4. Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci; ia harus
dapat dimengerti oleh rakyat.
5. Hukum tidak boleh meminta dijalankanya hal-hal yang tidak mungkin.
6. Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama
lain
7. Peraturan-peraturan harus tetap,tidak boleh sering diubah-ubah.
119
Armia, Mhd. Shiddiq Tgk. Op.Cit, hal 78-79
120
Loc. Cit
120
8. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum
dan peraturana perundang-undangan yang telah dibuat121.
Apabila salah satu dari delapan nilai/prinsip tersebut tidak dipenuhi oleh suatu
undang-undang, maka undang-undang itu tidak dapat disebut sebagai hukum.
Untuk dapat menghasilkan hukum (undang-undang) yang baik sesuai dengan
budaya dan kepribadian bangsa, maka dalam pembentukan undang-undang harus
berpedoman pada asas-asas sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UndangUndang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan ditambah dengan asas-asas sesuai kebutuhan perundangundangan yang dibentuk dalam hal ini Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
4.2.1. Penemuan Hukum Dalam Rangka Pembaharuan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana Khususnya Mengenai Penyidikan
Tindak Pidana Umum
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah melalui aparat penegak
hukum dalam mengatasi kekosongan hukum khususnya mengenai pengaturan bats
waktu penyidikan tindak pidana, kebijakan tersebut diambil
karena dalam
kenyataannya terjadi banyak penanganan perkara pada ahap penyidikan yang tidak
bisa diselesaikan dalam waktu yang cepat, banyak terjadi tunggakan penyelesaikan
perkara pada tahap penyidikan yang memakan waktu lebih dari 6 (enam) bulan
bahkan bertahun-tahun. Oleh karena itu aparat penegak hukum mencoba duduk
bersama untuk memecahkan kebuntuan tersebut sehingga terjadi pertemuan
diantara
Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, Kepala
Kepolisian RI yang melahirkan Keputusan Bersama yang kemudian dikenal dengan
MAKEHJAPOL I dan MAKEHJAPOL II sebagaimana telah diuraikan dalam Bab
sebelumnya, namun isi dari kesepatan tersebut hanyalah berupa himbauan untuk
peningkatan koordinasi diantara aparat penegak hukum
121
sesuai tingkat
Rahardo,Satjipto, 1980, Hukum Dan Masyarakat, Cetakan ke 4,Angkasa, Bandung, hal.78
dan
121
kewenangan masing-masing ( pada tahap penyidikan tingkatkan koordinasi antara
penyidik dengan penuntut umum untuk memperlancar penyelesaian perkara) dan
seterusnya. Ternyata hasil keputusan bersama tersebut tidak banyak membawa
perubahan penyelesaian penanganan perkara pada tahap penyidikan, karena dari
evaluasi setiap akhir tahun ternyata tunggakan penanganan perkara pada tahap
penyidikan tetap masih tinggi.
Kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat
menuntut agar ketentuan hukum pidana formil segera disesuaikan dengan
perkembangan tersebut, apalagi KUHAP sebagai ketentuan hukum pidana formil
sudah berusia cukup tua, serta ditemukan berbagai kelemahan dan kekuarangan
dalam KUHAP tersebut. Terhadap ketidak sempurnaan KUHAP tersebut Roeslan
Saleh menyatakan “bahwa tidak dapat undang-undang merevolusi dirinya
sendiri”122, sehingga negara melalui lembaga-lembaga yang berwenang harus
mengambil kebijakan hukum (pidana) (penal Policy) untuk mengatasi keadaan
tersebut.
Andi Sofyan dan H. Abd. Asis menyatakan pendapat tentang perlunya segera
dilakukan perubahan/penyempurnaan dari KUHAP antara lain “tidak ada lagi
undang-undang (hukum positip) yang bisa bertahan abadi, daya jangkaunya paling
jauh 20-25 tahun. Tidak salah jika KUHAP sudah memerlukan peninjauan atas
sebagian nilai.
123
Sehingga sudah selayaknya dilakukan penyempurnaan baik
secara total ataupun secara parsial sesuai kebutuan yang dirasa paling mendesak.
Terjadi peristiwa-peristiwa konkret dilapangan yang ternyata belum / tidak
diatur dalam ketentuan hukum pidana formil (KUHAP) yang dikenal dengan
kekosongan hukum ( leemten in het recht ), maka secara teori masalah tersebut
dapat diselesaikan dengan cara penemuan hukum. Penemuan hukum
oleh hakim
maupun hakim konstitusi diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 tahun
2009 tentang Kekuasaan kehakiman, yang menyatakan “ Hakim dan Hakim
Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nili-nilai hukum dan rasa
122
123
Fachmi, Op.Cit. hal.141
Sofyan, Andi dan. Abd. Asis, H., 2014, Hukum Acara Pidana Suatu pengantar, Edisi
pertama, Cetakan Kesatu, Kencana, Jakarta hal.51.
122
keadilan yang hidup dalam masyarakat” , bahwa rasa adil bagi masyarakat dinilai
apabila setiap peristiwa hukum yang terjadi dapat diselesaikan secara hukum.
Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 menyatakan “Ketentuan ini
dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan
rasa keadilan masyarakat“. Dalam keadaan seperti itu hakim berpegang kepada
asas ius curia novit yang artinya bahwa hakim dianggap tahu akan hukumnya dari
peristiwa konkret yang terjadi.
Hakim terutama hakim konstitusi telah banyak membuat terobosan hukum
dengan menciptakan hukum baru melalui putusan mahkamah konstitusi, salah satu
contoh adalah Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014 tanggal 28
April 2015 , yang memutuskan bahwa “penetapan tersangka …, adalah termasuk
obyek gugatan pra peradilan “, dan putusan tersebut telah diikuti oleh hakim-hakim
di pengadilan negeri .
Peristiwa kekosongan hukum tentang tidak adanya batas waktu penyidikan
tindak pidana (umum) apabila ada pihak yang keberatan dan mengajukan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk diputuskan agar dalam penyidikan ditentukan batas
waktunya, agar penyidikan perkara tindak pidana (umum) memenuhi asas cepat,
sederhana dan biaya ringan/murah bisa jadi menjadi sebuah penemuan hukum oleh
hakim konstitusi.
Sistem ketetaneragaan Indonesia menetapkan bahwa selain hakim dan hakim
konstitusi sebagai penemu dan atau pembentuk hukum (undang-undang) juga
ditetapkan lembaga lain yaitu lembaga legislatif (DPR) bersama lembaga eksekutif
(presiden) atau lembaga eksekutif (presiden) sendiri dapat membentuk hukum
(peraturan perundang-undangan) sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 20, Pasal
21 dan Pasal 22 UUDNRI tahun 1945.
Kebijakan pemerintah dalam rangka Pembaharuan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara tegas dituangkan dalam konsideran
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) , antara
lain :
… perlu mengadakan pembangunan hukum nasional dalam rangka
menciptakan supremasi hukum dengan mengadakan pembaharuan hukum
acara pidana menuju sistem peradilan pidana terpadu dengan menempatkan
penegak hukum pada fungsi, profesionalitas, dan proporsionalitas dalam
123
tugas dan wewenangnya; huruf (c). bahwa pembaharuan hukum acara pidana
dimaksudkan untuk lebih memberikan kepastian hukum, tegaknya hukum,
keadilan masyarakat dan perlindungan hukum baik bagi tersangka, terdakwa,
saksi maupun korban serta ketertiban hukum demi terselenggaranya negara
hukum 124 .
Tujuan utama pemerintah melakukan pembaharuan/penyempurnaan terhadap
hukum acara pidana yang berlaku saat ini adalah untuk mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa yang akan datang 125. Penyempurnaan KUHAP dimaksudkan
dalam rangka supremasi hukum, agar KUHAP yang akan datang dapat memenuhi
syarat keadilan dan daya guna.
Pembentuk undang-undang harus membuat
rumusan yang fleksibel sehingga undang-undang dapat bertahan dalam waktu yang
lebih
lama
dan
tidak
lekas
usang.
Disamping
itu
tujuan
diadakanya
perubahan/penyempurnaan hukum acara pidana adalah dalam rangka mewujudkan
kepastian hukum, mengingat dalam KUHAP yang berlaku saat ini masih ditemui
adanya kekosongan hukum, kekaburan norma maupun konplik norma yang
membawa akibat ketidak pastian, ketidak adilan dan kedayagunaan bagi masyarakat
pencari keadilan.
Menurut Jan M. Otto untuk mewujudkan kepastian hukum dalam situasi
tertentu diisyaratkan “Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih,
konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan
negara” teori tersebut memang sangat cocok diterapkan di Indonesia karena
Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem hukum tertulis, sistem hukum
tertulis yang masih tetap memberi kesempatan berkembang dan berlakunya hukum
tidak tertulis pada situasi dan kondisi tertentu.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan datang
diharapkan dapat dirumuskan secara jelas mengenai tenggang waktu penanganan
perkara sejak tahap
penyidikan dan jika waktu-waktu yang telah ditentukan
tersebut dilanggar atau disimpangi oleh aparatur penegak hukum tanpa alasan yang
124
125
Abdussalam, H.R., Op.Cit., hal. 522-523
Barda Nawawi Arief, Op.Cit.hal. 28
124
berdasarkan hukum, maka terhadap aparat tersebut patut dikenakan sanksi baik
administratif maupun sanksi pidana. Aparatur penegak hukum dalam
hukum
pada masing-masing tahap penanganan
menegakan
perkara harus dapat
mengesampingkan ego sektoral dan mengedepankan kerjasama dan koordinasi
(deferesiasi fungsional) antara sesama penegak hukum dengan tujuan keberhasilan
penanganan perkara pada semua tahap / proses hukum, karena dengan keberhasilan
penegakan hukum maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dapat
segera dipulihkan kembali, masyarakat percaya bahwa saluran hukum terhadap
permasalahan yang mereka hadapi benar-benar dapat memberikan kepastian
hukum, rasa keadilan dan ketentraman serta perlindungan hak-hak asasi tersangka /
terdakwa dalam menghadapi masalah hukum.
4.2.2. Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hujkum Acara Pidana Dalam
Bidang Penyidikan Perkara Tindak Pidana Umum
Terhadap Cita-cita penyempurnaan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Romli
Atmasasmita menyampaikan pendapat, sebagai berikut “ Pembangunan hukum
nasional masa reformasi saat ini merupakan konsekwensi sistem demokrasi yang
menuntut transparansi, akuntabilitas, mengedepankan hak asasi manusia serta
membuka akses informasi publik ke dalam birokrasi.126 “, pengejawantahan
pembangunan bidang hukum tersebut direalisasikan dengan melakukan perubahan
atau revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
rancangan perubahannya sudah dibuat sampai pada tahap pembahasan di Badan
Legislatif DPR. Adapun tujuan utama dari perubahan atau penyempurnaan adalah
untuk menghasilkan hukum acara pidana yang lebih rasional, lebih aktual dan lebih
praktis dari sebelumnya.
Kebijakan hukum pidana khususnya bagi ketentuan hukum pidana formil
(KUHAP) harus berpedoman kepada ketentuan perundang-undangan yang
126
Harahap, M. Yahya, Op.Cit. hal 18
125
mengatur tentang tata cara atau mekanisme pembentukan perundang-undangan
yang ditetapkan oleh pemerintah dan terakhir sebagimana ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (L.N tahun 2011 Nomor 82), dimana dalam undang-undang
tersebut telah diatur mekanisme pembentukan perundang-undangan agar undangundang yang dihasilkan memiliki daya ikat, legalitas serta mampu mengatasi
permasalahan dalam jangka waktu yang lama. Pembaharuan hukum acara pidana
selain berpedoman kepada asas-asas umum pembentukan perundang-undangan juga
mengedepankan prinsip atau asas-asas umum dalam hukum pidana formil, seperti:
a. Prinsip /Asas legalitas .
b. Prinsip /Asas keseimbangan .
c. Prinsip /Asas praduga tidak bersalah, .
d. Prinsip /Asas Akusator, .
e. Prinsip / defferensiasi fungsional.
f. Prinsip /Asas peradilan dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan
serta bebas, jujur dan tidak memihak.
g. Prinsip /Asas perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa.
h. Prinsip /Asas pemeriksan dipersidangan pengadilan dilakukan secara terbuka
untuk umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang .
Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab I diatas.
Arah pembangunan hukum acara pidana harus ditujukan untuk mengakhiri
tatanan sosial yang tidak adil dan menindas hak-hak asasi manusia, oleh karena itu
politik hukum harus beroreantasi pada cita-cita negara hukum yang berdasarkan
prinsip-prinsip demokrasi dan berkeadilan sosial dalam satu masyarakat bangsa
Indonesia yang bersatu127, berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara R.I. Tahun 1945.
Realisasi atau wujud nyata dari langkah-langkah pemerintah dalam
melaksanakan pembaharuan hukum acara pidana (KUHAP) telah berjalan sampai
pada bentuk
127
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-
Garuda Nusantara,Abdul Hakim, 1988, Politik Hukum Indonesia, Yayasan LBH Indonesia,
Jakarta, hal. 20.
126
KUHAP) yang dibuat sejak tahun 2002, dan telah mengalami beberpa kali
perbaikan yang terakhir adalah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (RUU-KUHAP) tahun 2012. Saat ini RUU-KUHAP tersebut sedang dalam
tahap sosio politis yaitu masa pembahasan di lembaga legislattif yang ditangani
oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk dibahas dan
disosialisasi dalam rangka mencari masukan maupun kritisi terhadap Rancangan
Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang sudah dibuat, bahkan sudah berjalan
beberapa tahun dan jika melihat tahapan seperti tersebut diatas maka saat ini
rancangan hukum acara pidana (RUU-KUHAP) tinggal menunggu tahap yuridis
yaitu dari penyelesaian pembahasan di Lembaga Legislatif untuk mendapat
persetujuan bersama kemudian disahkan oleh Lembaga Eksekutif (Presiden)
diundangkan dalam Lembaran Negara
Tahapan proses pembentukan atau penyempurnaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut juga seiring dengan pendapat Satjipto
Rahardjo yang menyatakan proses perubahan hukum pada dasarnya dapat dibagi
dalam dua proses besar yang meliputi tahap sosio-politis dan tahap yuridis.
Tahap sosio politis dimana gagasan pembuatan hukum diolah oleh masyarakat
dalam bentuk pembahasan, kritikan serta dipertahankan melalui pertukaran
pendapat antara berbagai golongan dan kekuatan dalam masyarakat
Tahap yuridis adalah tahap pemberian sanksi hukum terhadap bahan/rancangan
denggan melibatkan kaum intelektual yang murni bersifat yuridis, yang
ditangani oleh tenaga-tenaga khusus berpendidikan hukum 128.
RUU- KUHAP yang pada saat ini masih dalam tahap pembahasan setelah
mendapat masukan dan kritik dari berbagai kalangan (akademisi maupun praktisi)
termasuk pakar-pakar hukum asing, tim perumus-pun telah melakukan studi
banding ke berbagai negara dalam rangka mencari perbandingan hukum acara
pidana (formil) seperti Amerika, Prancis, Belanda, Rusia, Norwegia dan lain
sebagainya,129 dengan harapan hukum acara pidana yang dihasilkan sebagai
128
Rahardjo Satjipto, 2006, , Ilmu Hukum, Cetakan Keenam ,
Bandung. hal 178
129
Pt Citra Aditya Bakti,
------- Naskah Akademis Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
tetanggal 28 April 2008
127
pengganti KUHAP yang berlaku saat ini dapat bertahan dalam waktu yang lebih
lama dalam menghadapi perkembangan era globalisasi baik nasional, regional
maupun internasional .
Berbagai perubahan telah dirumuskan dalam Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana yang sedang dalam pembahasan di Komisi III DPR.
R.I. saat ini, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, upaya hukum, eksekusi serta
perhatian terhadap hak-hak asasi manusia dan dari RUU-KUHAP yang penulis
fokuskan adalah ketentuan penanganan perkara pada tahap penyidikan. Dalam
rancangan Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) pada tahap penyidikan, terlihat
telah mengalami kemajuan yang pesat dengan telah dirumuskan adanya ketentuan
batas waktu penyidikan tindak pidana umum. Adapun tujuan diadakannya
pembatasan waktu proses penyidikan adalah untuk mengurangi celah bagi aparat
untuk menyalahgunakan wewenang sehingga kepastian hukum yang menjadi tujuan
hukum dapat segera terwujud serta mewujudkan tugas pemerintah dalam rangka
pemenuhan terhadap hak-hak asasi manusia (Pasal 28 huruf J ayat (4)) baik bagi
mereka yang
berkedudukan sebagai tersangka maupun sebagai saksi. Selain
dirancang adanya batas waktu penyidikan yang tegas juga di rancang pembentukan
Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang diberi wewenang menilai jalannya
penanganan perkara mulai dari tahap penyidikan sampai dengan tahap penuntutan
perkara tindak pidana umum. Bahwa Hakim Pemeriksa Pendahuluan diberikan
kewenangan melakukan kontrol proses penanganan perkara sejak tahap penyidikan
suatu perkara tindak pidana (umum), seperti memberikan ijin untuk keperluan
penggeledahan, penyitaan, penyidik meminta perpanjangan penahanan kepada
Hakim Pemeriksan Pendahuluan melalui Penuntut Umum.
Secara detail Rancangan Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (RUU-
KUHAP) juga telah dirumuskan mengenai tugas aparat penyidik sejak menemukan
atau menerima laporan, menindak lanjuti laporan,
pemberitahuan penyidikan,
termasuk didalamnya adanya pengakuan, penghormatan dan penegakan hak-hak
asasi manusia. Adapun penyempurnaan ketentuan yang dirumuskan dalam RUUKUHAP tahun 2002-2012 khususnya pada tahap penyidikan, antara lain :
Pasal 11 RUU-KUHAP :
128
(1) Penyidik yang mengetahui, menerima laporan, atau pengaduan tentang
terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana
dalam waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak mengetahui,
menerima laporan, atau pengaduan tersebut wajib melakukan tindakan
penyidikan yang diperlukan.
Dalam rancangan ketentuan ini pemerintah telah mempertegas batas waktu bagi
aparat penyidik dalam melakukan penyidikan yang diberi waktu paling lama 2(dua)
hari sudah harus dapat menentukan apakah diperoleh bukti minimal (dua alat bukti)
atas temuan, laporan atau pengaduan yang diterima, yaitu belum dimuat sanksi yang
dikenakan apabila dalam waktu 2(dua) hari belum dilakukan tindakan penyidikan.
Pasal 11 ayat (1) ini jelas mengedepankan asas cepat dalam penanganan perkara
serta kepastian hukum atas laporan atau pengaduan yang disampaikan oleh
masyarakat (korban).
Bersesuaian dengan pendapat Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan
Politik Hukum Pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan
dan daya guna130. Pasal 12 RUU-KUHAP
(8) Dalam hal penyidik tidak menanggapi laporan atau pengaduan dalam jangka
waktu 14 (empat belas) hari, maka pelapor atau pengadu dapat mengajukan
laporan atau pengaduan itu kepada penuntut umum setempat.
(9) Penuntut umum wajib mempelajari laporan atau pengaduan sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) dan jika cukup alasan dan bukti permulaan adanya
tindak pidana, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari Penuntut Umum
wajib meminta kepada penyidik untuk melakukan penyidikan dan
menunjukkan tindak pidana apa yang dapat disangkakan dan pasal tertentu
dalam undang-undang.
(10) ….
(11) Jika penyidik dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah menerima
permintaan untuk mulai melakukan penyidikan dari penuntut umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak melakukan penyidikan, maka
pelapor atau pengadu dapat memohon kepada penuntut umum untuk
melakukan pemeriksaan dan penuntutan.
Ketentuan Pasal 12 rancangan KUHAP tersebut justru terlihat memberikan
sanksi kepada pihak penyidik apabila dalam waktu 14 (empat belas hari) penyidik
tidak memberi tanggapan terhadap laporan atau pengaduan yang disampaikan oleh
130
Sudarto, 1983 Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, hal. 93
129
masyarakat, maka pelapor/pengadu dapat menyampaikan laporan/pengaduan
kepada penuntut umum, kemudian beban berpindah ke penuntut umum yaitu untuk
menentukan apakah laporan/pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat
merupakan peristiwa pidana dan apakah diperoleh bukti dan alasan yang sah untuk
dilakukan penyidikan, jika ditemukan bukti dan alasan yang cukup maka penuntut
umum
meminta
kepada
penyidik
untuk
melakukan
penyidikan
serta
memberitahukan kepada penyidik tindak pidana apa yang disangkakan kepada
tersangka. Lebih dipertegas lagi jika dalam waktu 14 (empat belas) hari penyidik
belum melakukan penyidikan maka pelapor/pengadu meminta kepada penuntut
umum untuk melakukan pemeriksaan dan penuntutan terhadap perkara tersebut.
Pasal 12 RUU-KUHAP tersebut menunjukan hubungan kerjasama antara
penyidik dengan penuntut umum sejak penerimaan laporan /pengaduan terlihat
cukup intensip ( prinsip deferensiasi fungsional), bahkan peranan penuntut umum
terlihat cukup dominan karena tanpa adanya proses penyidikan dapat melakukan
pemeriksaan dan penuntutan atas permintaan pelapor/pengadu.
Rancangan KUHAP tersebut tidak mengatur secara eksplisif tahapan
penyelidikan tetapi langsung ke tahap penyidikan, padahal menurut Yahya Harahap,
tindakan Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari fungsi
penyidikan131.
Apakah ketentuan Pasal 12 ayat (11) RUU-KUHAP “…maka
pelapor atau pengadu dapat memohon kepada penuntut umum untuk melakukan
pemeriksaan dan penuntutan “, memberi kewenangan kepada penuntut umum untuk
melakukan tindakan pemeriksaan dalam arti penyidikan sebelum melakukan
penuntutan.
Rumusan Pasal 12 tersebut disamping mengedepankan kepastian hukum juga
penegakan hak-hak tersangka, saksi korban, karena dengan batas waktu yang
demikian ketat maka hak tersangka untuk segera mendapat pemeriksaan,
mengatahui pasal atau tindak pidana yang disangkakan, melakukan pembelaan diri
sudah dipastikan dapat terwujud . Ketentuan ini juga bersifat imperatif karena
menggunakan frase “wajib” kepada penuntut umum untuk mempelajari laporan /
131
Fachmi, Op.Cit. hal 126.
130
pengaduan, selain itu juga “wajib” meminta kepada penyidik untuk melakukan
penyidikan .
Pasal 13 ayat (1) RUU-HAP mengatur mengenai batas waktu untuk
menyampaikan “Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan” kepada penuntut umum :
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga keras merupakan tindak pidana berdasarkan
bukti permulaan yang cukup, penyidik memberitahukan tentang
dimulainya penyidikan tersebut kepada penuntut umum dalam waktu
paling lambat 2 (dua) hari.
Sementara dalam KUHAP kewajiban penyidik untuk memberitahukan dimulainya
penyidikan kepada penuntut umum hanya diatur dengan frase “segera”, sehingga
penyidik bisa menafsirkan kepan saja. Sedangkan dalam RUU-KUHAP
pemberitahuan penyidikan kepada penuntut umum dirumuskan paling lambat 2
(dua) hari, dengan demikian penyidik benar-benar terpacu dengan waktu untuk
melakukan tindakan penyidikan. dengan pembatasan waktu selama 2 hari sejak
penyidik mulai melakukan tindakan penyidikan sudah harus memberitahukan
kepada penuntut umum, maka tidak ada kesempatan bagi penyidik untuk mengulurulur waktu menyelesaikan perkara pada tahap penyidikan .
Penyidik setelah memberitahukan dimulainya penyidikan suatu perkara
pidana, selanjutnya hasil penyidikannya dikonsultasikan kepada penuntut umum
sebelum dilakukan pemberkasan, sebagaimana dirumuskan dalam RUU-KUHAP,
Pasal 15, yang menyatakan :
(1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan
oleh penyidik dikonsultasikan kepada penuntut umum kemudian dilakukan
pemberkasan perkara.
Ketentuan pasal 15 ayat (1) ini lebih mengedepankan koordinasi antara
penyidik dengan penuntut umum (deferensiasi fungsional), dimana begitu penyidik
selesai melakukan penyidikan sebelum berkas perkara dijilid, maka hasil
penyidikannya dikonsultasikan kepada penuntut umum. Ketentuan ini bertujuan
meniadakan terjadinya bolak-baliknya berkas perkara karena dinyatakan tidak
lengkap oleh penuntut umum. Pada saat konsultasi tersebut penuntut umum harus
sudah memberikan petunjuk kepada penyidik mengenai hasil penyidikan, apakah
131
masih perlu dilakukan pemeriksaan terhadap alat bukti atau sudah cukup (materi
penyidikan sudah mengarah terpenuhinya unsur pasal yang dipersangkakan), akan
tetapi penyidik tetap masih memiliki kelonggaran kapan menyatakan selesai
melakukan penyidikan disini belum diatur waktunya .
Rumusan pasal 15 ayat (2) RUU-KUHAP mengatur mengenai kewajiban
penyidik untuk menyerahkan
perkara tahap kedua : “ Setelah berkas perkara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan lengkap oleh penuntut umum,
penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan rangkap 2 (dua) beserta
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum “.
Ketegasan rumusan Pasal 15 ayat (2) ini tidak jauh berbeda dengan rumusan dalam
KUHAP yang mewajibkan penyidik untuk menyerahkan tanggung jawab perkara
tahap kedua (tersangka dan barang bukti) setelah berkas perkara tahap pertama
dinyatakan lengkap. Penulis menyatakan tidak jauh berbeda dengan ketentuan
KUHAP karena dalam rumusan RUU-KUHAP Pasal 15 ayat (2) ini tidak memberi
“limit waktu”, berapa lama penyidik wajib sudah menyerahkan perkara tahap kedua
(tanggung jawab tersangka dan barang bukti) sehingga masih ada peluang untuk
mengulur-ulur waktu bagi penyidik dalam menyelesaikan tugas penyidikan.
keadaan ini member ruang ketidak pastian hukum serta pelanggaran terhadap hak
asasi manusia.
Pemeriksaan terhadap tersangka dalam RUU-KUHAP dirancang sedemikian
tegas dengan maksud untuk “menjauhkan terkatung-katungnya nasib seseorang
yang telah ditetapkan sebagai tersangka melakukan suatu tindak pidana, jangan
sampai hak tersangka atau terdakwa diabaikan dengan mengulur-ulur waktu
pemeriksaan sehingga dirasakan tidak adanya kepastian hukum, perlakuan
sewenang-wenang dan tidak wajar 132“ oleh penyidik, pemeriksaan terhadap diri
tersangka untuk mendapat keterangan (alat bukti) diatur dalam waktu 7 hari,
sebagaimana diatur dalam Pasal 26 RUU-KUHAP:
Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya dalam waktu paling lama 7 (tujuh)
hari membuat berita acara pemeriksaan yang diberi tanggal dan memuat
132
.
Abdussalam, H.R. Op.Cit. hal 551;
132
tindak pidana dengan menyebut waktu, tempat, dan keadaan pada waktu
tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal tersangka dan/atau saksi,
keterangan, catatan mengenai akta atau benda, serta segala sesuatu yang
dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.
Pembatasan waktu penyidikan yang secara tegas diatur dalam rumusan RUUKUHAP dapat ditemui dalam
ketentuan Pasal 88 ayat (1) s/d ayat (4),RUU-
KUHAP antara lain :
(1) Tersangka yang ditangkap atau ditahan berhak mendapat pemeriksaan
oleh penyidik dalam waktu paling lama 1 (satu) hari terhitung sejak
ditangkap atau ditahan.
(2) Berkas perkara tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diserahkan kepada penuntut umum dalam waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak penyidikan dimulai.
(3) Dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditahan,
berkas perkara tersangka harus diserahkan kepada penuntut umum dalam
waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak penyidikan
dimulai.
(4) Apabila terjadi suatu hal yang sangat memaksa sehingga dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) penyidikan belum dapat
diselesaikan, penyidik dapat meminta perpanjangan waktu penyidikan
kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan melalui penuntut umum untuk
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penyidikan dimulai dan
dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(5) …..
Disadari bahwa tidak semua laporan/pengaduan yang diterima oleh penyidik
setelah dilakukan pemeriksaan terhadap alat bukti yang diperoleh penyidik dapat
memenuhi persyaratan untuk dilanjutkan penyidikannya, walaupun ketika mulai
dilakukan penyidikan sudah diperoleh alat bukti minimal, namun tidak menutup
kemungkinan setelah dilakukan penyidikan secara mendalam ternyata diperoleh
fakta bahwa kasus tersebut bukan tindak pidana atau ketika penyidikan berlangsung
tersangka meninggal dunia atau bisa juga tidak diperoleh bukti yang cukup untuk
melanjutkan penyidikan, sehingga dalam rumusan
Pasal 14 ayat (1) RUU-
KUHAP, mengatur:
(1) Penyidik berwenang menghentikan penyidikan karena:
a. ne bis in idem;
b. apabila tersangka meninggal dunia;
c. sudah lewat waktu;
d. tidak ada pengaduan pada tindak pidana aduan;
133
e. undang-undang atau pasal yang menjadi dasar tuntutan sudah dicabut
atau dinyatakan tidak mempunyai daya laku berdasarkan putusan
pengadilan; atau
f. bukan tindak pidana, atau terdakwa masih di bawah umur 8 (delapan)
tahun pada waktu melakukan tindak pidana.
sedangkan
dalam
ayat
(2)
diatur
mengenai
kewajiban
penyidik
untuk
memberitahukan tindakan penghentian penyidikan tersebut kepada penuntut umum,
tersangka atau keluarga dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari. Walaupun tidak
dicantumkan mengenai berapa lama waktu setelah penyidik mengetahui keadaan
yang memungkinkan untuk melakukan penghentian penyidikan, namun paling tidak
sudah diatur mengenai waktu untuk memberitahukan kepada pihak-pihak yang
terkait .
Teori kewenangan menyatakan bahwa undang-undang memberi kewenangan
kepada penyidilk untuk melakukan tindakan diskresi berupa penghentian
penyidikan apabila syarat-syarat yang dditentukan dalam undang-undang terpenuhi.
Tindakan penghentian penyidikan yang berdasarkan alasan hukum merupakan
tindakan penyidik dalam rangka mewujudkan kepastian hukum terhadap
penanganan suatu perkara, karena dengan tindakan pengghentian penyidikan
tersebut baik penuntut umum, tersangka maupun korban mengetahui secara pasti
ujung penyelesaian suatu laporan / pengaduan.
Memperhatikan kemajuan perkembangan bidang teknologi, dimana teknologi
yang semakin canggih selain ditujukan untuk memperbaiki peradaban kehidupan
manusia, tidak jarang perkembangan teknologi tersebut juga digunakan untuk
melakukan kejahatan seperti kejahatan dibidang siber (ciber crime), kejahatan
bidang teknologi informasi, kejahatan kartu kredit dan lain sebagainya.
Perkembangan teknologi tersebut menuntut agar alat bukti yang digunakan dalam
melakukan kejahatan dapat diadopsi sebagai alat bukti dalam pembuktian suatu
tindak pidana, dan
dalam KUHAP belum menjangkau jenis-jenis alat bukti
terebut.
Mengatasi permasalahan yang terjadi dalam penanganan perkara-perkara
akibat perkembangan teknologi tersebut telah dirancang perubahan mengenai jenis
alat bukti yang akan diterapkan dalam proses penyidikan, penuntutan /pemeriksaan
134
dipersidangan, yang dituangkan dalam Pasal 175 ayat (1) Rancangan KUHAP yang
digolongkan sebagai bukti yang sah ,meliputi :
(1) Alat bukti yang sah mencakup:
a. barang bukti;
b. surat-surat;
c. bukti elektronik;
d. keterangan seorang ahli;
e. keterangan seorang saksi;
f. keterangan terdakwa; dan.
g. pengamatan hakim.
Dalam ayat (2) disebutkan bahwa peroleh bukti-bukti tersebut tidak boleh dilakukan
dengan cara-cara yang melawan hukum.
Adapun arah dan tujuan pembentukan hukum acara pidana dimasa depan
adalah untuk menemukan kebenaran materiil dari tindak pidana yang disangkakan
terhadap seseorang, melindungi hak-hak dan kemerdekaan orang dan warganegara,
menyeimbangkan hak-hak para pihak, orang yang dalam keadaan yang sama dan
dituntut untuk kejahaan yang sama harus diadili sesuai dengan ketentuan yang
sama, mempertahankan sisten konstitusional Republik Indonesia terhadap
pelanggaran criminal, mempertahankan perdamaian dan keamanan kemanusiaan,
keadilan dan mencegah teradinya tindak kejahatan.
4.3.
Pengaturan Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Pembaharuan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pada Bidang Penyidikan
Tindak Pidana Umum
Semangat masyarakat intenasional untuk semakin meningkatkan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia termasuk bagi mereka yang tersangkut masalah
hukum,
mendorong
Pemerintah
Republik
Indonesia
untuk
semakin
mewujudnyatakan upaya pemenuhan perlindungan dan penegakan terhadap hak-hak
asasi manusia. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan yang diciptakan
senantiasa mengedepankan perlindungan dan penegakan terhadap hak-hak asasi
manusia.
135
Ketentuan-ketentuan yang mengatur hak-hak asasi manusia yang bersifat
internasional telah banyak diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia,
pengakuan terhadap konvensi, kovenan hak asasi manusia membawa konsekuensi
bagi Pemerintah Republik Indonesia untuk melaksanakan pemenuhan atas hak-hak
asasi tersebut bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali, karena jika tidak
diterapkan sesuai ketentuan internasional yang sudah diakui maka pemerintah akan
dinyatakan melakukan pelanggaran hak asasi secara internasional.
Lahirnya perundang-undangan yang didalamnya berisikan pengaturan bidang
hukum acara pidana merupakan sublimasi dari ketentuan-ketentuan dalam KUHAP
yang belum mengatur hal-hal tersebut. Salah satu ketentuan yang merupakan
amanat dari Undang-Undang Dasar 1945 sekaligus juga amanat undang-undang
Nomor 8 tahun 1981 adalah Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang
Advokat. Karena selama ini yang paling serius mendapat sorotan dalam penerapan
KUHAP adalah jaminan perlindungan hak-hak asasi tersangka khususnya dalam
pemberian bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu. Selanjutnya lahirlah
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (L.N. Tahun 2011
Nomor 104) , dalam undang-undang tersebut antara lain diatur mengenai tujuan
pemberian bantuan hukum, ruang lingkup serta sasaran bantuan hukum.
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3, Penyelenggaraan Bantuan Hukum
bertujuan untuk:
a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk
mendapatkan akses keadilan;
b. mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan
prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum;
c. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara
merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan
d. mewujudkan
peradilan
yang
efektif,
efisien,
dan
dapat
dipertanggungjawabkan.
Seseorang tersangka jika dalam pemeriksaannya didampingi oleh advokat/
penasehat hukum
dapat dijamin bahwa hak-hak tersangka dapat dipenuhi.
Pemberian bantuan hukum oleh aparat penegak hukum sering diabaikan dengan
alasan tersangka menolak didampingi penasehat hukum yang sudah disediakan ,
atau didaerah hukumnya kesulitan mencari advokat/ penasehat hukum, atau di
kantornya tidak tersedia anggaran untuk itu, terhadap keadaan ini Uli Parulian
136
Sihombing berpendapat “Hak atas bantuan hukum sering diabaikan, baik pada saat
penyidikan maupun pada saat proses pemeriksaan di pengadilan
133
“. Dengan
kewenangan yang dimiliki penyidik untuk mengatasi keadaan tersebut penyidik
menyuruh tersangka membuat surat pernyataan penolakan didampingi penasehat
hukum atau surat pernyataan tidak menggunakan penasehat hukum. Padahal jika
tersangka tidak mampu mencari penasihat hukum maka demi hukum pemerintah
(aparat penegak hukum / Penyidik)
harus mencarikannya. Intinya hak-hak
tersangka yang menjadi kewajiban bagi penyidik harus dipenuhi. 134, .
Terjadinya pelanggaran hak-hak asasi tersangka pada tahap penyidikan tidak
diikuti dengan tersedianya aturan yang dapat memberikan sanksi bagi aparat
sebagaimana diungkapkan oleh Sofyan Lubis “ … dan setiap pelanggaran terhadap
KUHAP ternyata tidak ada aturan yang dengan jelas memberikan sanksi bagi
mereka yang telah melakukan pelanggaran tersebut” .
Teori hak asasi manusia menyatakan bahwa negara - pemerintah mempunyai
kewajiban untuk pemenuhan atas hak asasi warga negaranya, dilandasi oleh
keinginan pemerintah untuk
mewujudkan pemenuhan, perlindungan dan
penghormatan terhadap hak-hak asasi warga negaranya dalam hukum acara pidana
yang akan datang maka dilakukanlah perubahan terhadap Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), namun cita-cita tersebut baru terwujud dalam
bentuk Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP)
2002-2012 dengan merumuskan Hak-hak Asasi Tersangka, Korban dan Saksi
dalam Bab tersendiri. Dalam rancangan RUU-KUHAP yang sedang menjalani
pembahasan saat ini tidak ada lagi diskriminasi proses penanganan perkara antara
penyidikan perkara-perkara yang tersangka dilakukan penahanan maupun bagi
perkara-perkara yang tersangkanya tidak dilakukan upaya penahanan.
Penghormatan dan perlindungan akan hak asasi manusia dalam penegakan
hukum pidana berdasarkan atas konsep :
a. Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyi martabat dan hak-hak yang
sama
133
134
Fachmi, Op.Cit. hal. 95
Yitno Ramli – Warta Unair, 01 April 2014, RUU KUHAP dikritisi di UNAIR, Kunjungan
Kerja Komisi III DPR R.I.ke Universitas Airlangga tanggal 14 Maret 2014
137
b. Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam
instrument Hak Asasi Manusia internasional maupun nasional dengan tidak ada
pengecualian apapun.
c. Pembatasana terhadap hak asasi manusia yang lain hanya dapat dibatasi
berdasarkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis
d. Perlindungan (to protect), pemajuan (to promote), penghormatan (to respect)
dan pemenuhan (to fulfil) Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab negara
terutama pemerintah
e. Setiap orang berhak untuk mendapat pengakuan, perlindungan, penghormatan
dan pemenuhan Hak Asasi manusia yang dimiliknya
f. Hak Asasi Manusia merupakan landasan prinsip keadilan sebagai sebagai
jembatan menuju prilaku beradab yang diciptakan dan diakui oleh masyarakat
dunia
g. Hak Asasi Manusia telah dikodifikasi dalam hukum internasional dan diakui
oleh Pengadilan Internasional dan menjadi bagian dari undang-undang dan
kebijakan negara di dunia
h. Hak
Asasi
Manusia
tidak
membedakan
ras
etnik,
ideologi,
budaya/agaman/keyakinan, falsafah, sosial dan jenis kelamin/oreantasi seksual,
melainkan mengutamakan komitmen untuk saling menghormati untuk
menciptakan dunia yang beradab.
Hak asasi manusia untuk semua orang “ diseluruh dunia” baik yang lemah
maupun yang kuat, memberi pembenaran terhadap kebutuhan dan aspirasi manusia
dan oleh karenanya berada diatas kepentingan semua golongan135
Ketentuan mengenai batas waktu penyidikan memiliki kaitan yang sangat
urgen dengan penegakan
hak-hak asasi manusia khususnya bagi mereka yang
terlibat dalam suatu perkara pidana. Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa
135
Sujono, A.R. dan Daniel,Bony .2013. Komentas dan Pembahasan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentant Narkotika. Cetaksan kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal 143-144
138
pemerintah mempunyai tugas untuk pemenuhan, penghormatan serta perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia termasuk didalamnya bagi warga negara yang
sendang mengalami permasalahan hukum pidana dan mengingat pula bahwa dalam
KUHAP perlindungan terhadap hak-hak tersangka, saksi dirasa masih sangat
kurang, maka untuk mewujudkan kewajiban pemerintah dalam pemenuhan hakhak asasi tersebut dalam Rancangan KUHAP ( RUU-KUHAP) telah dirumuskan
lebih detail mengenai perlindungan terhadap hak-hak tersangka, korban dan saksi,
sebagaimana dituangkan dalam “Bab VI mulai Pasal 88 sampai dengan Pasal 108”.
Rumusan Pasal 88 seperti tersebut di atas yang memberi ketentuan batas
waktu tindakan penyidik secara tegas sudah pasti akan memberi kepastian hukum
serta perlindungan terhadap hak-hak tersangka, seperti hak segera mendapat
pemeriksaan ditingkat penyidikan, hak segera perkaranya dilimpahkan ke penuntut
umum, dan lain sebaginya. Selanjutnya dalam rumusan Pasal 89 RUU-KUHAP
disebutkan :
(1)
(2)
Dalam rangka pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak :
a. menunjuk penasihat hukumnya dan memberikan identitas mengenai
dirinya;
b. diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang disangkakan atau didakwakan kepadanya; dan
c. diberitahu tentang haknya.
Pemberitahuan tentang hak tersangka atau terdakwa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Berita Acara.
Rumusan ketentuan Pasal 93 RUU-KUHAP yang mengatur mengenai hak
tersangka untuk mendapat bantuan hukum mengalami perubahan yang signifikan
jika dibanding dengan KUHAP. Rumusan Pasal 93 menyatakan bantuan hukum
wajib diberikan kepada tersangka yang melakukan tindak pidana diancam dengan
pidana 5 (lima) tahun atau lebih dan dalam keadaan tidak mampu serta tidak punya
penasehat hukum sendiri. Namun dalam ketentuan ayat (3) menyatakan
“Penunjukan Penasehat Hukum tidak berlaku lagi jika tersangka menyatakan
menolak untuk didampingi penasehat hukum” . Rumusan Pasal 93 RUU-KUHAP
(1) Pejabat yang berwenang pada setiap tingkat pemeriksaan wajib menunjuk
seseorang sebagai penasihat hukum untuk memberi bantuan hukum
kepada tersangka atau terdakwa yang tidak mampu yang diancam
139
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dan tidak mempunyai
penasihat hukum sendiri.
(2) Penasehat hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika
tersangka atau terdakwa menyatakan menolak didampingi penasihat
hukum yang dibuktikan dengan berita acara yang dibuat oleh penyidik
atau penuntut umum dan ditandatangani oleh penyidik atau penuntut
umum, tersangka atau terdakwa.
Terdapat sejumlah kelebihan dan kelemahan dalam rumusan Pasal 93 RUUKUHAP antara lain: kelebihannya dalam rumusan tersebut sudah menggunakan
kata “wajib” untuk menyediakan penasehat hukum bagi tersangka yang diancam
hukuman lima tahun atau lebih . sementara itu kelemahan yang penuliis lihat adalah
penyediaan bantuan hukum berupa penasehat hukum dibatasi mulai dari perkara
yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih, timbul pertanyaan apakah bagi
orang-orang yang melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman dibawah
lima tahun dalam keadaan tidak mampu atau tidak mempunyai penasehat hukum
sendiri, tidak memiliki hak didampingi penasehat hukum secara cuma-cuma yang
bersifat wajib disediakan oleh aparat (penyidik)?. Selanjutnya rumusan ayat (3)
kata “wajib” tidak berlaku jika tersangka menyatakan menolak didampingi
penasehat hukum, keadaan ini merupakan peluang bagi penyidik untuk tidak
menyediakan penasehat hukum bagi mereka yang disangka melakukan tindak
pidana dengan ancaman hukuman lima tahun atau lebih, selanjutnya tersangka
diminta membuat surat pernyataan penolakan didampingi penasehat hukum,
padahal mereka belum tentu benar-benar diberitahu mengenai hak-haknya
mendapat bantuan hukum cuma-cuma atau penyidik belum tentu menyediakan
penasehat hukum bagi tersangka.
Penulis berharap agar RUU-KUHAP yang dirancang dengan mengedepankan
asas kepastian hukum, keadilan,
serta mengutamakan penegakan, perlindunga
terhadap hak-hak asasi tersangka/terdakwa sebagaimana telah diuraikan diatas
dapat segera diputuskan dan disahkan menjadi undang-undang pengganti Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku saat ini. Dengan
penambahan ketentuan pelanggaran terhadap hak-hak tersangka / terdakwa yang
140
dilakukann oleh aparat dapat disediakan sanksi baik administratif maupun sanksi
pidana apabila dilakukan dengan sengaja oleh aparatur penegak hukum .
Mr. Roeslan Saleh menyatakan, suatu masalah yang penting pula bagi kita
adalah mengenai seberapa jauhkah asas ini (kebebasan hak manusia dipandang
sebagai nilai tertinggi) terlepas dari keterikatannya pada waktu, dan telepas pula
dari sifat asal kelahiranya,136. Asas kebebasan hak disini yang dimaksudkan adalah
setiap manusia yang lahir dibumi diberi kebebasan dalam mengimplementasikan
hak-hak asasinya tanpa ada tekanan baik dari aparatur negara/ hukum mapun
sesama manusia, pemerintah mengimplementasikan kebebasan hak-hak asasi
manusia (tersangka-terdakwa) dalam undang-undang / hukum pidana baik formil
maupun materiil .
4.4.
Upaya Mengisi Kekosongan Hukum Dalam KUHAP Khususnya Pada
Tahap Penyidikan Perkara Pidana Umum
Diakui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
merupakan hasil karya besar Bangsa Indonesia dalam membuat ketentuan hukum
pidana formil setelah berpuluh-puluh tahun di alam kemerdekaan Bangsa Indonesia
masih menerapkan hukum acara pidana warisan pemerintah colonial berupa HIR.
Setelah KUHAP diundangkan sejak tahun 1981 ternyata masih banyak terdapat
kekurangan dan kelemahannya yang dapat memberi ketidak pastian serta ketidak
adilan baik bagi tersangka maupun saksi korban. Untuk menjamin tegaknya Sistem
Peradilan Pidana dan mengatasi permalahan yang ada dalam KUHAP pemerintah
melalui aparat pengak hukum membangun sistem peradilan pidana terpadu yang
dikenal dengan integrated criminal justice system, dimana dalam menjalankan
fungsi tugas masing-masing diantara aparat penegak hukum harus senantiasa
berkoordinasi (deferensiasi fungsional). Dengan tingkat koordinasi yang tinggi bagi
aparat penegak hukum diharapkan berbagai permasalah dalam proses penanganan
136
hal 146.
Saleh, Roeslan. 1988. Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
141
perkara dpat dicarikan solusi/jalan keluarnya, ego sektoral agar dikesampingkan .
Pertemuan Pimpinan aparat penegak hukum tingkat pusat telah dilaksanakan yang
menghasilkan :
1. Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Jaksa
Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia sebagai wujud
koordinasi
antara aparat penegak hukum tingkat pimpinan pusat yang melahirkan peraturan
berupa Keputusan Bersama (MAKEHJAPOL)
Nomor : Kma/003/Skb/ii/1998 ;
Nomor : M.02.Pw.07.03.Th.1993 ;
Nomor : Kep/007/JA/2/1996 ;
Nomor.Pol : Kep/02/B/1998 :
Tanggal 5 Pebruari 1998
Tentang
Pemantapan Keterpaduan Dalam
Penanganan dan Penyelesaian Perkara Perkara Pidana; poin penting dalam
mengatasi permasalahan penanganan perkara pada tahap penyidikan antara lain:
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
a. … dst
e. Perlu ditentukan waktu secara limitatif dalam pengiriman SPDP oleh
penyidik yaitu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak diterbitkan Surat
Perintah Penyidikan dan untuk daerah terpencil selambat-lambatnya
7(tuju) hari.
Penyerahan Berkas Perkara Tahap II (dua)
a. ….. dst.
b. Jika terjadi penyerahan berkas perkara tidak diikuti dengan
penyerahan tersangka dan barang bukti maka hal tersebut belum dianggap
sebagai penyerahan secara lengkap, dan bila penyidik dalam waktu
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak P 21 diterima, belum
dapat menyerahkan tersangka dan barang bukti maka berkas perkara
dapat dikembalikan kepada penyidik, namun demikian koordinasi dan
konsultasi antara penuntut umum dan penyidik harus tetap dilakukan agar
berkas perkara secara lengkap dapat diterima.
Pertemuan pimpinan aparatur penegak hukum tingkat pusat tersebut juga
ditindak lanjuti di daerah-daerah dan hasilnya cukup signifikan dalam menekan
jumlah tunggakan penyelesaian perkara pidana .
2. Kepolisian Negara R.I. dalam menjalan tugas dan fungsinya diatur dengan
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
142
Indonesia, untuk tugas-tugas penegakan hukum Kepala Kepolisian R.I. telah
mengeluarkan Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis khususnya untuk
penanganan perkara pada tahap penyidikan berupa Peraturan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia (Perkap) Nomor 12 tahu 2009 tentang Pengawasan dan
Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Polri, salah satu pasal
dari peraturan Kapolri tersebut
mengklasifikasi tindak pidana menjadi 4
kreteria berdasarkana tingkat kesulitan dalam penanganan penyidikan yang
disertai dengan ketentuan batas waktu penyelesaian penyidikan tiap tingkat
kesulitan tindak pidana tersebut, antara lain :
a. 120 hari untuk penyidikan perkara sangat sulit;
b. 90 hari untuk penyidikan perkara sulit;
c. 60 hari untuk penyidikan perkara sedang;
d. 30 hari untuk penyidikan perkara mudah.
Apabila dalam hal batas waktu penyidikan di atas penyidikan belum dapat
diselesaikan oleh penyidik, maka dapat mengajukan permohonan perpanjangan
waktu penyidikan kepada pejabat yang memberi perintah melalui pengawas
penyidik. Dilihat dari klasifikasi dan pembatasan waktu proses penyidikan
tersebut terlihat pihak penyidik Kepolisian R.I. ingin menunjukkan bahwa
setiap perkara yang ditangani/disidik dapat diselesaikan dalam jangka waktu
tertentu sehingga memberi jaminan kepastian hukum baik kepada tersangka
maupun saksi (korban) serta keadilan, memberi perlindungan terhadap nilainilai kemanusiaan khususnya hak asasi tersangka dan juga mewujudkan asas
penanganan perkara secara cepat, sederhana dan biaya ringan.
3. Fakta dilapangan menunjukan bahwa Penyidik Kepolisian R.I. tidak sanggup
melaksanakan penyidikan tindak pidana umum dengan ditentukan batas waktu
sebagaimana ditentukan oleh (Perkap) Nomor
12 tahun 2009, sehingga
Perkap tersebut mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Peraturan
Kepala Kepolisian R.I. (Perkap) Nomor 14 tahun 2012 tentang Menejemen
Penyidikan Tindak Pidana, dalam Perkap Nomor 14 tahun 2012 masih tetap
dilakukan klasifikasi tindak pidana menjadi 4 kreteria, namun batas waktu
penanganan penyidikannya dihilangkan, sehingga rumusannya menjadi :
Pasal 17
143
(4) Tingkat kesulitan penyidikan perkara ditentukan berdasarkan kriteria:
a. perkara mudah;
b. perkara sedang;
c. perkara sulit; dan
d. perkara sangat sulit.
Pasal 18
(1) Kriteria perkara mudah antara lain:
a. saksi cukup;
b. alat bukti cukup;
c. tersangka sudah diketahui atau ditangkap; dan
d. proses penanganan relatif cepat.
(2) Kriteria perkara sedang antara lain:
a. saksi cukup;
b. terdapat barang bukti petunjuk yang mengarah
keterlibatan
tersangka;
c. identitas dan keberadaan tersangka sudah diketahui dan mudah
ditangkap;
d. tersangka tidak merupakan bagian dari pelaku kejahatan terorganisir;
e. tersangka tidak terganggu kondisi kesehatannya; dan
f. tidak diperlukan keterangan ahli, namun apabila diperlukan ahli mudah
didapatkan.
(3) Kriteria perkara sulit antara lain:
a. saksi tidak mengetahui secara langsung tentang tindak pidana yang
terjadi;
b. tersangka belum
diketahui identitasnya atau
terganggu
kesehatannya atau memiliki jabatan tertentu;
c. tersangka dilindungi kelompok tertentu
atau bagian dari pelaku
kejahatan terorganisir;
d. barang bukti yang berhubungan langsung dengan perkara sulit
didapat;
e. diperlukan keterangan ahli yang dapat mendukung pengungkapan
perkara;
f. diperlukan peralatan khusus dalam penanganan perkaranya;
g. tindak pidana yang dilakukan terjadi di beberapa tempat; dan
h. memerlukan waktu penyidikan yang cukup.
(4) Kriteria perkara sangat sulit antara lain:
a. belum ditemukan saksi yang berhubungan langsung dengan tindak
pidana;
b. saksi belum diketahui keberadaannya;
c. saksi atau tersangka berada di luar negeri;
d. TKP di beberapa negara/lintas negara;
e. tersangka berada di luar negeri dan belum ada perjanjian ekstradisi;
f. barang Bukti berada di luar negeri dan tidak bisa disita;
g. tersangka belum diketahui
identitasnya
atau terganggu
kesehatannya atau memiliki jabatan tertentu; dan
h. memerlukan waktu penyidikan yang relatif panjang.
144
Pasal 19
Penanganan perkara sesuai kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(4), ditentukan sebagai berikut:
a. tingkat Mabes Polri dan Polda menangani perkara sulit dan sangat sulit;
b. tingkat Polres menangani perkara mudah, sedang dan sulit; dan
c. tingkat Polsek menangani perkara mudah dan
sedang.
Upaya-upaya tersebut dilakukan oleh pemerintah melalui aparat penegak
hukum dalam rangka mengatasi permasalahan kekosongan hukum khususnya
mengenai tenggang waktu proses penanganan perkara
(penyidikan),
sehingga
penyelesaian perkara dapat lebih memberikan jaminan kepastian hukum, memberi
perlindungan terhadap hak-hak tersangka maupun saksi.
4.5.
Beberapa Ketentuan Perundang-Undangan Republik Indonesia, Yang
Menerapkan Batas Waktu Proses Penyidikan.
Teori kepastian hukum mensyaratkan untuk dapat terjaminnya kepastian
hukum, harus tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah
diperoleh, peraturan tersebut diterbitkan oleh penguasa negara yang berwenang,
aturan-aturan tersebut harus dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh
aparat pelaksana, aparat pelaksana hukum harus tunduk dan taat kepada peraturan
tersebut. Kepastian dan keadilan merupakan tujuan utama dari hukum itu sendiri,
untuk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan,
pemerintah telah banyak
menerbitkan peraturan perundang-undangan dan dari berbagai perundang-undangan
yang diterbitkan sebagian telah memberi jaminan kepastian hukum serta banyak
pula yang masih membutuhkan penafsiran dalam rangka mewujudkan kepastian dan
keadilan hukum.
Kepastian hukum yang penulis analisis adalah dari sudut hukum acara pidana,
karena setelah berlakunya KUHAP yang berfungsi sebagai hukum acara pidana
untuk semua jenis tindak pidana ternyata dalam perkembanganya dipandang banyak
peristiwa pidana formil ( hukum acara) yang belum/tidak diatur dalam KUHAP
sehingga diterbitkanlah perundang-undangan yang didalamnya juga berisikan
145
hukum acara pidana secara khusus. Sehingga disini berlaku asas undang-undang
yang berlaku khusus mengesampingkan undang-undang yang berlaku umum (lex
specialis derogat lex generalis) namun ketentuan hukum acara pidana yang bersifat
umum sepanjang tidak diatur dalam undang-undang tertentu tetap diberlakukan
KUHAP. Disamping itu dengan adanya undang-undang baru yang berisi hukum
acara pidana tersendiri juga berlaku asas undang-undang yang terbit kemudian
mengesampingkan undang-undang yang terbit lebih dahulu ( lex superiori derogat
lex postereori).
Wujud kepastian hukum dalam perundang-undangan yang terbit setelah
berlakunya KUHAP dapat dilihat dengan adanya pengaturan batas waktu proses
penyidikan, hal ini dimaksudkan dalam rangka menghindari terjadinya penanganan
proses penyidikan perkara yang berlarut-larut dan tidak ada ujung penyelesaianya,
dengan adanya batas waktu proses penyidikan tersebut dipastikan perkara akan
selesai penyidikannya sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Penyelesaian proses penyidikan ada dua macam yaitu selesai karena memang
sudah dilimpahkan ke tahap penuntutan atau selesai karena tindakan penghentian
penyidikan sebagaimana telah diuraikan dalam Bab III . Pemberian batas waktu
proses penanganan perkara tersebut sebagai perwujudan dari asas penyelesaian
perkara secara cepat, sederhana dan biaya ringan.
Beberapa perundang-undangan yang mengatur batas waktu penanganan
perkara pada tahap /penyidikan, yang dapat dijadikan bahan perbandingan dalam
penyusunan KUHAP yang baru, diantaranya adalah :
146
No.
Undang-Undang Dengan
Hukum Acara Pidana Khusus
Ketentuan Batas waktu Proses
Penyidikan
1
2
3
1
Undang-Undang Nomor : 26
tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia
Pasal 22
(1) Penyidikan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
dan (3) wajib diselesaikan paling
lambat 90 (sembilan puluh) hari
terhitung sejak tanggal hasil
penyelidikan
diterima
dan
dinyatakan lengkap oleh penyidik.
(2) Jangka
waktu
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperpanjang untuk waktu paling
lama 90 (sembilan puluh) hari
oleh Ketua Pengadilan HAM
sesuai dengan daerah hukumnya.
(3) Dalam
hal
jangka
waktu
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) habis dan penyidikan
belum
dapat
diselesaikan,
penyidikan dapat diperpanjang
paling lama 60 (enam puluh) hari
oleh Ketua Pengadilan HAM
sesuai dengan daerah hukumnya.
(4) Apabila dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dari
hasil penyidikan tidak diperoleh
bukti yang cukup, maka wajib
dikeluarkan
surat
perintah
penghentian penyidikan oleh
Jaksa Agung.
2
Pasal 44
(6) Penyelidikan suatu kasus diberi
waktu selama 7 hari sejak
ditemukan bukti permulaan
yang cukup harus melapor
kepda KPK
Psl 50
147
UU No. 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi
(2) Dalam hal suatu perkara dugaan
tindak pidana korupsi
KPK
belum melakukan penyidikan
sedangkan pihak Kepolisian atau
Kejaksaan
telah
melakukan
penyidikan
maka
penyidik
kepolisian maupun penyidik
kejaksaan dalam waktu 14 hari
wajib melaporkan kepada KPK
Psl 52
(1) Penuntut
Umum
menerima
berkas perkara dari penyidik,
maka dalamwaktu 14 hari kerja
harus melimpahkan perkara ke
pengadilan
3.
UU No. 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Anak.
Pasal 29
(1) Penyidik wajib mengupayakan
Diversi dalam waku paling lama
7 (tujuh) hari setelah penyidikan
dimulai
(2) Proses Diversi sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dilaksanakan paling lama 30 (tiga
puluh ) hari setelah dimulainya
Diversi.
Pasal 31
(1) Dalam melaksanakan penyidikan,
penyidik berkoordinasi dengan
Penuntut Umum
(2) Koordinasi
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dilakukan dalam waktu paling
lama 1x24 (satu kali dua pul7uh
empat ) jam sejak dimulainya
penyidikan .
4.
Undang-Undang Nomor : 8
tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum
Anggota DPR,DPD,
Pasal 261
(1) Penyidik Kepolisian Negara
Republik
Indonesia
menyampaikan
hasil
148
penyidikannya disertai berkas
perkara kepada penuntut umum
paling lama 14 (empat belas) hari
sejak diterimanya laporan.
DPRD
(2) Dalam hal hasil penyidikan
belum lengkap, dalam waktu
paling lama 3 (tiga) hari penuntut
umum mengembalikan berkas
perkara
kepada
Penyidik
Kepolisian
NegaraRepublik
Indonesia
disertai
petunjuk
tentang hal yang harus dilakukan
untuk dilengkapi.
(3) Penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam waktu
paling lama 3 (tiga) hari sejak
tanggal
penerimaan
berkas
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus sudah menyampaikan
kembali berkas perkara tersebut
kepada penuntut umum
(4) Penuntut umum melimpahkan
berkas perkara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(3) kepada pengadilan negeri
paling lama 5 (lima) hari sejak
menerima berkas perkara.
5.
Undang-Undang Nomor : 23
tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak
6.
Undang-Undang Nomor : 18
2.
tahun 2013 tentang Pencegahan
Pasal 44
(4) Dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh)
hari
penyidik
sebagaimana dimaksud dalam
ayat
(1)
sudah
harus
menyerahkan berkas perkara
yang
bersangkutan
kepada
penuntut umum
(5) Apabila
jangka
waktu
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) dilampaui dan berkas
perkara belum diserahkan, maka
tersangka harus dikeluarkan dari
tahanan demi hukum.
Pasal 39:
e. Untuk memperecepat penyelesaian
perkara perusakan hutan:
149
dan Pemberantasan Perusakan
Hutan ;
Dengan adanya ketentuan-ketentuan
f. Penyidik wajib menyelesaikan
dan
menyampaikan
berkas
perkara kepada penuntut umum
paling lama 60 (enam puluh) hari
sejak dimulainya penyidikan dan
dapat diperpanjang paling lama
30 (tiga puluh) hari
g. Dalam hal hasil penyidikan
belum lengkap, penuntut umum
wajib melakukan penyidikan
paling lama 20 (dua puluh) hari
dan dapat diperpanjang paling
lama 30 (tiga puluh ) hari.
h. Penuntut
umum
wajib
melimpahkan
perkara
ke
pengadilan paling lama 25 (dua
puluh lima) hari terhitung sejak
selesainya penyidikan .
hukum acara pidana khusus dalam
undang-undang tersebut, maka penyidik sejak awal menangani penyidikan sudah
dapat membuat perencanaan penyidikan sehingga
penyidikan perkara tersebut
dalam kurun waktu yang telah ditentukan harus diselesaikan, karena apabila tidak
terselesaikan dalam kurun waktu tersebut hasil penyidikannya menjadi tidak sah.
Dengan adanya ketentuan batas waktu penyidikan perkara-perkara tertentu tersebut
dipastikan tidak ada tunggakan perkara sehingga jelas memberi kepastian hukum,
apabila sampai pada akhir masa waktu yang ditentukan penyidikan belum selesai
maka penyidik harus mengambil langkah hukum antara lain menghentian
penyidikan.
Dibandingkan dengan proses penyidikan perkara tindak pidana umum yang
ditangani oleh Polri sebagaimana diatur dalam KUHAP, maka hukum acara pidana
khusus dalam perundang-undangan lainnya jauh memberi kepastian hukum dan
perlindungan atas hak-hak asasi tersangka, saksi dalam proses penyelesaian
perkaranya, oleh karena itu sudah seharusnya dalam pembaharuan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana yang akan datang mengatur batas atau tenggang
waktu penyidikan termasuk tenggang waktu proses penanganan perkara pada semua
tahap, dengan mengambil acuan hukum acara pidana dalam peraturan perundangundangan seperti Undang-Undang Nomor : 26 tahun 2000 tengang Pengadilan
150
HAM atau Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Perusakan Hutan atau peraturan lain seperti Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 12
tahun 2009 yang secara tegas memberi ketentuan batas waktu penyidikan
berdasarkan kwalifikasi tingkat kesulitan penanganan perkara.
Mengingat kemajuan teknologi
dan ilmu pengetahuan
yang semakin
canggih, maka menurut penulis ketentuan batas waktu penyidikan perkara tindak
pidana umum dalam Hukum Acara Pidana yang akan datang mengatur secara tegas
dan pasti ketentuan batas waktu dengan klasifikasi : perkara ringan diberi waktu
selama 60 (enam puluh) hari kerja, perkara sedang waktu selama 90 (sembilan
puluh) hari kerja; Perkara berat waktu selama 120 (seratus dua puluh) hari kerja dan
perkara sulit waktu selama 150 (seratus lima puluh) hari kerja.
Bagir Manan menyatakan “ suatu pemerintahan dan pengemban hukum
berhak dan wajib menjaga kepastian hukum demi supremasi hukum, karena
supremasi hukum adalah hukum sebagai penentu dan akhir untuk mewujudkan dan
mengukur pelaksanaan dan penegakan kebenaran dan keadilan yang berlaku bagi
semua orang137, dengan adanya kepastian dalam rumusan undang-undang maka
aparat penegak hukum wajib melaksanakan ketentuan tersebut sehingga terwujud
kepastian hukum dan bagi aparat yang menyimpang dari rumusan ketentuan
tersebut dapat dikenakan sanksi baik administrasi maupun pidana atau perdata.
Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang mengedepankan proses penanganan
perkara dilakukan secara benar /sesuai prosedur yang telah ditentukan ( Due
Process Model) menghendaki bahwa dalam peraturan perundang-undangan itu
sendiri harus dibuatkan rumusan ketentuan yang pasti
mekanisme penanganan perkara (penyidikan) sehingga
dan tegas mengenai
mudah diterapkan oleh
aparat penegak hukum.
Kebijakan pembentukan hukum acara pidana yang baru merupakan salah satu
bentuk dari politik hukum nasional, yang menurut Padmo Wahjono menyatakan
“politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi
137
Manan, Bagir, 2000, Bundel Makalah II Tertib Peraturan perunang-Undangan Menurut
Ketetapan MPR RI. Nomor III/MPR/2000, tanpa penerbit, Jakarta, hal 2.
151
hukum yang akan dibentuk138”, dalam kaitan ini kebijakan pembentukan hukum
acara pidana salah satunya diarahkan agar dalam hukum acara pidana yang akan
datang merumuskan ketentuan yang mengatur mengenai ketentuan batas waktu
penyidikan tindak pidana (umum) serta memuat ketentuan pengaturan hak-hak asasi
tersangka secara lebih terinci termasuk didalamnya hak-hak asasi bagi korban dan
saksi pada umumnya, sehingga benar-benar dapat memberikan kepastian hukum,
rasa keadilan dan kemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat .
Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam konsep/rancangan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana ( RUU-KUHAP) 2012 telah dirumuskan secara tegas
mengenai ketentuan batas waktu proses penyidikan. Demikian juga mengenai tugas
pemerintah untuk pemenuhan, penghormatan dan pengakan hak asasi manusia
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28 huruf J ayat (4) UUD NRI Tahun 1945
telah secara tegas dirumuskan dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (RUU-KUHAP), bahkan mengalami perluasan dibanding dengan
KUHAP, karena dalam RUU-KUHAP kepentingan hak korban maupun saksi pada
umumnya juga mendapat perlindungan, namun satu hal yang belum dirumuskan
dalam RUU-KUHAP adalah pemberian sanksi kepada aparat penegak hukum yang
dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap hak-hak tersangka, korban
maupun saksi dengan alasan apapun termasuk untuk penegakan hukum .
Kebijakan pemerintah baik melalui aparat penegak hukum seperti adanya
Peraturan Kapolri Nomor 12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian
Penanganan Perkara Pidana di lingkungan Kepolisian R.I. yang menetapkan batas
waktu penyidikan tindak pidana, serta kebijakan pemerintah yang khusus memberi
ketentuan batas waktu penyidikan
dalam perundang-undangan tersentu
sebagaiamantelah diuraikan diatas, memberi
sependapat
dengan
sistem
pengaturan
batas
dorongan bagi penulis untuk
waktu
penanganan
perkara
sebagaimana dirancang dalam RUU–KUHAP terutama pada tahap penyidikan,
karena dengan demikian asas penanganan perkara secara cepat, sederhana dan
138
Novianto M. Hantoro, 2010, Sudut Pandang Hukum Tata Negara/Hukum Konstitusi,
dalam Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang, Pusat Pengkajian Pengolahan data dan
Informasi (P3DI), Sekretarian Jendral DPR Republik Indonesia, jakarta, hal 5.
152
biaya ringan semakin cepat dapat diwujudkan, demikian juga perlindungan dan
penegakan hak-hak tersangka termasuk saksi (korban) dapat direalisasikan .
YLBHI dan PSHK
dalam buku Panduan Bantuan Hukum di Indonesia
menyatakan “hak asasi manusia perlu dijamin dalam konstitusi negara (undangundang) persis untuk melindungi manusia dari potensi penyalahgunaan kekuasaan
pemerintah dan membatasi kekuasaan negara, sehingga tidak menjadi negara
kekuasaan 139”, jadi perumusan mengenai hak-hak asasi tersangka termasuk korban
dan saksi-saksi dalam hukum acara pidana Indonesia yang akan datang menjadi
suatu keharusan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan serta
penegakan hak asasi manusia .
Ketentuan batas waktu penanganan perkara ( tahap penyidikan) yang jelas dan
tegas akan mengurangi kesempatan bagi aparat penegak hukum (penyidik) untuk
melakukan tindakan yang sewenang-wenang ( abuse of pawer) serta penyelesaian
perkara yang berlarut-larut, apabila dalam batas waktu yang ditentukan dalam
undang-undang ternyata penyidik tidak mampu menyelesaikan penyidikan, maka
dengan sendirinya penanganan perkara menjadi gugur karena kadaluwarsa waktu
penyidikan, untuk menghindari hal tersebut penyidik pasti berusaha menyelesaikan
proses penyidikan sesuai batas waktu yang ditentukan..
KUHAP yang akan datang diharapkan mampu menyatukan hukum acara
pidana yang tersebar dalam perundang-undangan khusus (kodifikasi), sehingga di
Indonesia hanya
berlaku satu undang-undang hukum acara pidana yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan undang-undang yang
dibentuk tersebut mampu bertahan dalam kurun waktu yang lama dan mengikuti
perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang tidak kalah penting
KUHAP yang akan datang mampu dan dapat diakui oleh negara-negara lain .
139
YLBHI, PSHK, 2006, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia, Pedoman Anda
memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Cetakan Pertama, Editor A.Patra M.Zen, Jakarta,
hal. 314.
BAB V
PENUTUP
5.1.
Simpulan .
Berdasarkan hasil pembahasan serta analisa secara mendalam terhadap
permasahan yang diangkat dalam tulisan ilmiah ini dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Sebagai dasar pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana ( KUHAP) belum mengatur mengenai batas waktu
penyidikan tindak pidana (umum), keadaan ini membawa akibat terjadinya
ketidak pastian hukum serta memberi kesempatan bagi aparat penegak hukum
(penyidik) untuk bertindak sewenang-wenang serta terjadi pelanggaran terhadap
hak-hak tersangka / terdakwa termasuk juga saksi .
2. Pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum dalam hukum acara
pidana yang akan datang (Ius Constituendum) dirumuskan secara tegas dan
pasti berdasarkan kwalifikasi berat atau ringan perkara yang ditangani demi
terwujudnya kepastian hukum.
5.2. Saran
Berikut penulis dapat sampaikan saran-saran sebagai berikut :
1. Untuk mewujudkan proses peradilan yang benar sesuai ketentuan hukum yang
berlaku (due process model), maka Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) sebagai dasar pelaksanaan sistem peradilan pidana perlu
segera diperbaharui / disempurnakan baik secara total atau parsial, agar
proses
penanganan perkara (penyidikan) ditentukan batas waktunya secara tegas dan
pasti, demi terwujudnya kepastian hukum serta menghindari terjadinya
penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (penyidik) dan sebagai
153
154
wujud kewajiban pemerintah untuk pemenuhan, perlindungan hak-hak asasi
manusia (tersangka/ terdakwa maupun saksi).
2. Agar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP)
yang sedang dibahas
DPR RI bersama Pemerintah, yang telah merumuskan
ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum secara tegas dan pasti
serta lebih memberi perlindungan, pemenuhan hak asasi tersangka/terdakwa,
saksi segera dapat disahkan menjadi undang-undang sebagai pengganti UndangUndang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abdusalam H.R, 1997, Evaluasi Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Di
Indonesia, Dinas Hukum Polri, Cetakan kedua, Jakarta.
Abdusalam,H.R. 2006, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan
Rasa Keadilan Masyarakat 2 (Hukum Pidana Formal) Restu Agung, Jakarta.
Ali Achmad, 2002, Keterpurukan Hukum Di Indonesia Penyebab Dan Solusinya,
Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Ali Zaidan.M. 2015 Menuju Pembaharan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Sinar
Grafika, Jakarta.
Akub M. Syukuri dan Baharuddin Baharu, 2012,Wawasan Due Proses Of Law
Dalam Sistem Peradilan Pidana, cetakan pertama, Rengkang Education,
Yogakarta
Arief, Basrief, 2013, Menata Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Kumpulan
Makalah Jaksa Agung Republik Indonesia Tahun 2012, Gaung Persada
Press, Jakarta.
Armia, Mhd. Sidiq Tgk., 2003,Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum,
Cetakan Pertama,Pradnya Paramita, Jakarta
Arrasjid, Chainur, 2000, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Medan
Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem peradilan Pidana Persefektif Eksistensialisme
dan Abolisionisme, Cetakan 2, Putra Abardin, Bandung
Budiardjo, Miriam, 1977, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta.
Dimyati,Khudzaifah, 2004, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan
Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhamadyah University Press,
cetakan pertama. Surakarta,
Effendy, Marwan, 2005, Kejaksaan RI Posisi Dan Fungsinya Dari Persepektif
Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Fachmi, 2011, Kepastian hukum mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam
Sistem Perddilan Pidana Indonesia, PT. Ghalia Indonesia Publishing,
Jakarta.
Geis,Gilbert, 1983, ”Victims and Witness Assistance Program”, dalam : Sanford H.
Kadish (ed.), Encyclopedia of Crime and Justice, Volume 4, The Free Press
: A Division of Macmillan Inc., New York.
Garuda Nusantara, Abdul Hakim, 1988, Politik Hukum Indonesia, Yayasan LBH
Indonesia, Jakarta
Hasan, M. Iqbal, 2002 , Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya,
Ghalia Indonesia, Jakarta, Cetakan I.
Hamzah, Andi, 1993. Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori Dan
Praktek, Penahanan-Dakwaan-Requisitoir, Reneka Cipta , Jakarta
Hamzah, Andi 2007, Terminologi Hukum Pidana, Edisi 1 Cetakan pertama, Sinar
Grafika Offset, Jakarta
Harahap, M. Yahya 2000, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Edisi kedua. Sinar Grafika, Jakarta
Harahap, M. Yahya, 2004, Pembahasaan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,
Penyidikan dan Penuntutan, Edisi kedua, Cetakan ke-6, Sinar Grafika,
Jakarta
Hoefnagels,G. Peter. 1986. The Other Side of Criminology, Holland : KluwerDeventer Holland,
Ibrahim Johny, 2006, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi
Revisi, Bayumedia Publishing, Surabaya .
Inosentius Samsul (Penyunting), 2010 Politik Hukum Pembentukan UndangUndang, Analisis Terhadap Beberapa Undang-Undang Tahun 2004-209,
Buku I, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi ( P3DI)
Sekretarriat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,Jakarta
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta, 2001, Editor Metode Penelitian Hukum
Konstelasi dan Refleksi, Yayasa Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.
Koch,Ida Elisabeth, 2009, Human Rights as Indivisible Rights, The Protection of
Socio-Economic Demands under the European Convention on Human
Rights, Matinus Nijhoff Publishers, Leiden.Boston,
KUHAP Lengkap, 2006, Pelaksanaan KUHAP, Pedoman Pelaksanaan KUHAP,
Tambahan Pedoman Pelaknaan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta.
Lamintang, P.A.F. 1984, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan
pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi Dan Ilmu Pengetahuan
Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung.
Lubis, Sofyan 2010, Prinsip “Miranda Rule” Hak Tersangka Sebelum
Pemeriksaan, Jangan Sampai Anda Menjadi Korban Peradilan, Cetakan I,
Pustaka Yustisia, Sleman Yogyakarta.
Manan, Bagir, 2000, Bundel Makalah II Tertib Peraturan perunang-Undangan
Menurut Ketetapan MPR RI. Nomor III/MPR/2000, tanpa penerbit, Jakarta.
Merpaung, Leden, 2010,Proses Penanganan Perkara Pidana ( Di kejaksaan &
Pengadilan Negeri Upaya Hukum & Eksekusi), Bagian kedua, Edisi kedua,
Sinar Grafika, Jakarta
Merryman, John Henry, 1977, Comparative Law and Social Change: On the
Origins Style, Decline & Revival of the Law and Development Movement’,
The American Journal of Comparative Law, Vol.25
Mulyo, M, Djoko, 1997, Catatan Peristiwa Manarik Mengulas Kasus-Kasus
Subversi, Korupsi, Ectasy dll, Sumber Ilmu Jaya, Jakarta
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang
Nawawi Arief, Barda, 1992,Politik Hukum Pidana, Pasca Sarjana Universitas
Indonesia,
Nawawi Arief, Barda, 1992,Politik Hukum Pidana, Pasca Sarjana Universitas
Indonesia.
Nawawi Arief, Barda, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung
Nuraeny, Henny 2011, Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijaksan Hukum
Pidana dan Pencegahannya, Sinar Grafika, Jakarta TimurNawawi Arief,
Barda, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Novianto M. Hantoro, 2010, Sudut Pandang Hukum Tata Negara/Hukum
Konstitusi, dalam Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang, Pusat
Pengkajian Pengolahan data dan Informasi (P3DI), Sekretarian Jendral DPR
Republik Indonesia, Jakarta
Rahardo, Satjipto, 1980, Hukum Dan Masyarakat, Cetakan ke 4,Angkasa, Bandung
Redaksi Sinar Grafika, 2012, KUHAP Lengkap, Pelaksanaan KUHAP, Pedoman
Pelaksanaan KUHAP, Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Sinar
Grafika, Cetakan ke enam.
Saleh, Roeslan. 1988. Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika,
Jakarta.
Sidharta, 2006, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran Kerangka Berpikir,
Siahaan, Monang, 2013, Korupsi Penyakit Sosial Yang Mematikan, PT. Elex Media
Komputerindo- Kompas Gramedia
Sudarto, dan Hamdan,M. 1997, Hukum dan Hukum Pidana, sebagaimana dikutip
dalam Politik Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
Sudarto, 1983 Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru,
Bandung.
Sukriono, Didik, 2009, Politik Hukum Pemerintahan Desa Indonesia ( disertasi),
Program Doktor Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Tata Negara, Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang,
Sutiyoso, Bambang, 2004, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi, paparan actual
berbagai permasalahan hukum dan solusinya selama proses reformasi di
Indonesia, Cetakan Pertama, PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta
Sujata, Antonoius, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta
Sujono, A.R. dan Daniel,Bony .2013. Komentas dan Pembahasan UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentant Narkotika. Cetaksan kedua, Sinar
Grafika, Jakarta
Suwandha,I.N. ,1994, Himpunan Tata Naskah Dan Petunjuk Teknis Penyelesaian
Perkara Pidana Umum Kejaskaan Agung R.I., Jaksa Agugn Muda Tinak
Pidana Umum Kejaksaan Agung R.I., Jakarta
Sofyan, Andi, & Asis, H. Abd. 2014, Hukum Acara Pidana Suatu pengantar, Edisi
pertama, Cetakan Kesatu, Kencana, Jakarta
Susanto, Anton F. 2004, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial Tentang
penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana,PT.
Refika Aditama, Bandung
Soekanto, Soerjono, Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,Cetakan ke enam.
Sri Soemantri M, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Almuni,
Bandung.
Soekanto, Soerjono, 1986, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Cet. II, CV. Rajawali, Jakarta,.
Supranto J., 2003, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik,Jakarta, PT. Rineka
Cipta, Cetakan Pertama.
Soekanto,Suryono & Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soesilo R. 1994, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Cetak Ulang, Politeia, Bogor.
Susanto, Anton F. 2004, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial Tentang
penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana,
PT. Refika Aditama, Bandung.
Sunaryo,Sidik, 2004,
Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas
Muhamadyah Malang, Cetakan pertama,.
Sunarso, Siswanto H., 2012, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar
Grafika, Jakarta
Sutiyoso, Bambang 2004,Aktualita Hukum Dalam Era Reformasi, Raja Grafindo
Persada, Cetakan pertama, Jakarta.
Tahir Azahary, Muhammad, 1991, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsipprinsipnya Dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode
Negara Hukum Madinah dan Masa kini, Prenada Media, Jakarta.
Ten Berge dan De Waard, dikutip L.M Gandhi, 1995, Harmonisasi hukum menuju
hukum responsif, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada
Fakultas Hukum Universitas Indonesi, (Jakarta 14 Oktober 1995)
Wargakusumah, Moh. Hasan dkk., 1996, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang
metodologi harmonisasi hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta
Wignjosoebroto, Soetandyo, 2006, Sebuah Risalah Ringkas, rujukan untuk
ceramah dan diskusi “ Kreteria dan Pengertian Hakim Dalam Perspektif
Filosofis, Sosiologis dan Yuridis “ dalam Seminas Nasional bertema “
Problema Pengawasan Penegakan Hukum di Indonesia “ diselenggarakan
oleh Komisi Yudisial dan PBNU-LPBHNU, Jakarta.
Yitno Ramli – Warta Unair, 01 April 2014, RUU KUHAP dikritisi di UNAIR,
Kunjungan Kerja Komisi III DPR R.I.ke Universitas Airlangga tanggal 14
Maret 2014
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 73 tahun 1958 tanggal 20 September 1958 tentang “
Menyatakan berlakunya Undang-Undang Republik Indoensia No. 1 tahun
1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik
Indonesia
Undang-Undang Nomor 14 thun 1970 tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman
jo Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor : 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tenang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Repubik Indonesia
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Asasi
Bidang Sipil dan Politik
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, DPRD
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Penyusunan Perundang-undangan
R.I.
Undang-Undang Nomor : 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan
Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Peraturan pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
PP No. 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 27 tahun 1983 tentang Peraturan Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.01.PW.07.03 tahun 1982 tentang
Pedoman Pelaksanaan KUHAP.
Keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung, Mentri Kehakiman, Jaksa Agung dan
Kepala Kpolisian Republik Indonesia Nomor : KMA/007/SKB/III/ 1992,
Nomor : M.01.PW.07.03/1992, Nomor : KEP-017/JA/3/1992 dan Nomor :
POL/KEP/01/III/1992, tentang Pemantapan Keterpaduan Sesama Aparat pen
egak Hukum Dalam penanganan dan penyelesaian Perkara-perkara Pidana
(MAKEHJAPOL), Jakarta.
Rancangan Undang-Undang
Penjelasannya
Hukum
Acara
Pidana
RUU-HAP
beserta
------- Naskah Akademis Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
tetanggal 28 April 2008
--------http://www.legalitas.org/?q=node/216
-------- (http//organisasi.org/taxonomy_menu/2/11)
------- http://www.answers.com/topic/human-rights
-----https://reinhardjambi.wordpress.com/.../perbedaan-polisi-indonesia-dengan
Malaysia / diunduh 16 Sep 2014
Adhyaksa Indonesia, 2014, Qou Vadis Kejaksaan R.I. Eksekutif atau Yudikatif,
Edisi Khusus, PT. Haidar Indo Telenet,
Jurnal Ilmiah Hukum, Negara Hukum, 2012, Membangun Hukum untuk Keadilan
dan kesejahteraan, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi ( P3DI)
Sekretarriat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Vol. 3 No.
1. Juni 2012.
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, Kebijakan Reformasi Hukum
(suatu Rekomendasi), Partnership Government Reform in Indoensia, Jakarta.
YLBHI dan PSHK, 2006, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia, Pedoman Anda
Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Edisi 2006, Cetakan
Pertama, Sentralisme Production, Jakarta
Rais Rozali, 2013 Teori Pembenttukan perundang-Undangan, birohukum.pu.go.id/
component/ content/ article/101.html diunggah tanggal 23 September 2013
DAFTAR SINGKATAN
HAM
: Hak Asasi Manusia
HIR
: Herzein Inlandsch Reglement
KUHAP
: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
LN
: Lembaran Negara
Makehjapol
: Makah Agung, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung,
Kepolisian Republik Indonesia
No.
: Nomor
RUU-KUHAP
: Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
TLN
: Tambahan Lembaran Negara
UUDNRI
: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
UU
: Undang-Undang
PP
: Peraturan Pemerintah
Perkap
: Peraturak Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Polri
: Kepolisian Negara Republik Indonesia
Download