14 BAB II KAJIAN TEORI A. Otonomi Desa 1. Desa Secara etimologi

advertisement
14
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Otonomi Desa
1. Desa
Secara etimologi kata desa berasal dari bahasa Sansekerta, deca yang
berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari perspektif geografis,
desa atau village diartikan sebagai “a groups of hauses or shops in a country
area, smaller than a town”. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan
hak asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam Pemerintahan Nasional dan
berada di Daerah Kabupaten.
Desa menurut H.A.W. Widjaja dalam bukunya yang berjudul “Otonomi
Desa” menyatakan bahwa
“Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan
pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman,
partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”
(Widjaja, 2003: 3).
Desa menurut UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
mengartikan Desa sebagai berikut :
“Desa atau yang disebut nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat 12).
14
15
Dalam pengertian Desa menurut Widjaja dan UU nomor 32 tahun 2004
di atas sangat jelas sekali bahwa Desa merupakan Self Community yaitu
komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Dengan pemahaman bahwa Desa
memiliki
kewenangan
untuk
mengurus
dan
mengatur
kepentingan
masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat, maka
posisi Desa yang memiliki otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan
perhatian yang seimbang terhadap penyelenggaraan Otonomi Daerah. Karena
dengan Otonomi
Desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikan
perwujudan Otonomi Daerah.
Desa memiliki wewenang sesuai yang tertuang dalam Peraturan
Pemerintah No 72 Tahun 2005 tentang Desa yakni:
a. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan
hak asal-usul desa
b. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/ kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, yakni
urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan
pelayanan masyarakat.
c. Tugas pembantuan dari pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota.
d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangundangan diserahkan kepada desa.
Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan kemampuan
penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna dan
peningkatan
perkembangan
pelayanan
dan
terhadap
kemajuan
masyarakat
pembangunan.
sesuai
dengan
Dalam
tingkat
menciptakan
pembangunan hingga di tingkat akar rumput, maka terdapat beberapa syarat
yang harus dipenuhi untuk pembentukan desa yakni: Pertama, faktor
penduduk, minimal 2500 jiwa atau 500 kepala keluarga, kedua, faktor luas
16
yang terjangkau dalam pelayanan dan pembinaan masyarakat, ketiga, faktor
letak yang memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun,
keempat,
faktor
sarana
prasarana,
tersedianya
sarana
perhubungan,
pemasaran, sosial, produksi, dan sarana pemerintahan desa, kelima, faktor
sosial
budaya,
adanya
kerukunan
hidup
beragama
dan
kehidupan
bermasyarakat dalam hubungan adat istiadat, keenam, faktor kehidupan
masyarakat, yaitu tempat untuk keperluan mata pencaharian masyarakat.
2. Otonomi Luas, Nyata dan Bertanggungjawab
Lahirnya reformasi kebijakan desentralisasi pertama kali melalui UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian dilanjutkan dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah dimaksudkan agar daerah mampu mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsanya sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian kewenangan
otonomi harus berdasarkan asas desentralisasi dan dilaksanakan dengan
prinsip luas, nyata, dan bertanggungjawab (Hari Sabarno, 2007: 30).
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Pasal 7 huruf b juga
memberikan gambaran dalam pelaksaan otonomi desa secara luas, nyata,
bertanggungjawab,
dimana
di
dalamnya
disebutkan
bahwa
urusan
17
pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan
pengaturannya
kepada
desa.
Pemerintah
Kabupaten/Kota
melakukan
identifikasi, pembahasan, dan penetapan jenis-jenis kewenangan yang
diserahkan pengaturannya kepada desa, seperti kewenangan dibidang
pertanian, pertambangan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian
dan perdagangan, perkoperasian, ketenagakerjaan.
Kewenangan
otonomi
luas
adalah
keleluasaan
daerah
untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenagan bidang
lainnya (yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000).
Disamping itu keluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan
bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Menurut Hari Sabarno (2007: 31),
pengertian luas dalam penyelenggaraan otonomi daerah merupakan
keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup
seluruh bidang pemerintahan yang dikecualikan pada bidang politik luar
negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama,
serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi
kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan
nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi
negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan
18
sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi
tinggi yang strategis, konversi, dan standarisasi nasional.
Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang secara nyata ada dan
diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang didaerah. Pemerintah daerah
selain berperan melindungi masyarakat dan menyerap aspirasi masyarakat
juga harus mampu mengelola berbagai kewenangan yang diberikan oleh
pemerintah pusat kepadanya. Dalam pengelolan kewenangan yang luas
tersebut tetap dibatasi rambu penting dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dalam hal ini, otonomi bukanlah semata-mata
menggunakan pendekatan administratif atau sekedar meningkatkan efisiensi
dan efektivitas kerja saja, akan tetapi sekaligus pendekatan dalam dimensi
politik. Dengan demikian, makna kewenangan dibidang pemerintahan yang
berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat sejauh mungkin harus
dapat dilayani secara dekat dan cepat.
Otonomi
yang
bertanggung
jawab
adalah
berupa
perwujudan
pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan
kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh
daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan
kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan
yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
19
3. Konsep Otonomi Desa
Widjaja (2003: 165) menyatakan bahwa otonomi desa merupakan
otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari
pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli
yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan
perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki
kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan.
Dengan dimulai dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
yang kemudian disempurnakan dengan dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan landasan
kuat bagi desa dalam mewujudkan “Development Community” dimana desa
tidak lagi sebagai level administrasi atau bawahan daerah tetapi sebaliknya
sebagai “Independent Community” yaitu desa dan masyarakatnya berhak
berbicara atas kepentingan masyarakat sendiri. Desa diberi kewenangan untuk
mengatur desanya secara mandiri termasuk bidang sosial, politik dan
ekonomi.
Dengan
adanya
kemandirian
ini
diharapkan
akan
dapat
meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan sosial dan
politik.
Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki
oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi
yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya,
bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Desa atau nama
20
lainnya, yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang
diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
Landasan
pemikiran
yang
perlu
dikembangkan
saat
ini
adalah
keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan
masyarakat.
Pengakuan otonomi di desa, Taliziduhu Ndraha (1997:12) menjelaskan
sebagai berikut :
a. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan
dilindungi oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat desa
kepada “kemurahan hati” pemerintah dapat semakin berkurang.
b. Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan seperti
sediakala atau dikembangkan sehingga mampu mengantisipasi masa
depan.
Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada
masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa
tersebut. Urusan pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang
menjadi
wewenang
pemerintahan
Kabupaten
atau
Kota
diserahkan
pengaturannya kepada desa.
Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada
21
kewenangan tanpa tanggungjawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh
karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam
penyelenggaraan
otonomi
desa
harus
tetap
menjunjung
nilai-nilai
tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
menekankan bahwa desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa
dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi
desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dan
kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan
dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku (Widjaja, 2003:
166).
B. Akuntabilitas
1. Konsep dan Pengertian Akuntabilitas
Miriam Budiarjo (1998: 78) mendefinisikan akuntabilitas sebagai
pertanggungjawaban pihak yang diberi kuasa mandat untuk memerintah
kepada
yang
memberi
mereka
mandat.
Akuntabilitas
bermakna
pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi
kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi
penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi.
Sedangkan Lembaga Administrasi Negara menyimpulkan akuntabilitas
sebagai
kewajiban
seseorang
atau
unit
organisasi
untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalaian sumberdaya dan
pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka
22
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui pertanggungjawaban secara
periodik.
Hughes dalam Joko Widodo (2001:147) menegaskan bahwa ”Government
organitation are created by the public and to be accountability to if,”
(organisasi
pemerintah
dibuat
oleh
publik,
karenanya
perlu
mempertanggungjawabkannya kepada publik). Adanya pertanggungjawaban
tersebut, disebabkan karena aparatur pemerintahan dibebani kewajiban untuk
bertindak selaku penanggung gugat atas segala tindakan, dan kebijaksanaan
yang ditetapkannya. Sebagai konsekuensi dari adanya asas Negara hukum,
baik menurut konsep rule of law maupun rechtsstaat, atau democratische
rechtsstaat, yaitu negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional
democracy), maka pemerintah harus memberikan pertanggungjawaban
terhadap apa yang menjadi sikap, perilaku, dan tindakannya kepada rakyat,
dalam kerangka menyelenggarakan, atau menjalankan fungsi pemerintahan.
Bersamaan dengan itu, Indonesia sebagai Negara hukum di dalamnya
terkandung pengertian adanya pengakuan pada prinsip supremacy of law dan
constitutionalism, yang pada hakikatnya bahwa dalam Negara hukum, hukum
harus menjadi penentu segala-galanya sesuai dengan doktrin the rule of law.
Dalam kerangka the rule of law, hukum harus diyakini adanya pengakuan,
bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi (supremacy of law),
adanya persamaan dalam hukum dan pemerintahan (equality before the law)
dan berlakunya asas legalitas dengan segala bentuknya dalam praktek (due
proces law).
23
Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diartikan
sebagai kewajiban Pemerintah Daerah untuk mempertanggungjawabkan
pengelolaan dan pelaksanaan pemerintahan di daerah dalam rangka otonomi
daerah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui media
pertanggungjawaban yang terukur baik dari segi kualitasnya maupun
kuantitasnya. Pemerintah daerah sebagai pelaku pemerintahan harus
bertanggungjawab terhadap apa yang telah dilakukannya terhadap masyarakat
dalam rangka menjalankan tugas, wewenang, dan kewajiban Pemerintah
Daerah (Hari Sabarno, 2007: 129).
Sejalan dengan hal di atas, Hiskia dan Ambar (2011:71) menyatakan
bahwa
akuntabilitas
merupakan
perwujudan
kewajiban
untuk
mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi
organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui
suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik. Di
dalam lingkungan birokrasi, akuntabilitas suatu instansi pemerintah
merupakan suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan
keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi instansi bersangkutan.
Akuntabilitas
sering
disamakan
dengan
responsibilitas,
pertanggungjawaban, tanggung gugat. Akuntabilitas salah satunya dapat
dilihat sebagai faktor pendorong yang menimbulkan tekanan kepada aktoraktor terkait untuk bertanggung jawab atas ,pelayanan publik dan jaminan
adanya kinerja pelayanan publik yang baik (Tri Ratnawati, 2006: 220). Dalam
akuntabilitas terkandung kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala
24
kegiatan, terutama dalam bidang administrasi keuangan kepada pihak yang
lebih tinggi. Media pertanggungjawaban akuntabilitas tidak terbatas pada
laporan pertanggungjawaban, akan tetapi juga mencakup aspek-aspek
kemudahan pemberi mandat untuk mendapatkan informasi, baik langsung
maupun tidak langsung secara lisan maupun tulisan, sehingga akuntabilitas
dapat tumbuh pada lingkungan yang mengutamakan keterbukaan sebagai
landasan pertanggungjawaban (Hiskia dan Ambar, 2011:71).
Dalam
hal
penyelenggaraan
pemerintah
daerah,
teknis
pertanggungjawaban yang dilakukan Pemerintah Daerah kepada DPRD. Hal
ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, pertanggungjawaban yang dilakukan
meliputi: Pertama, pertanggungjawaban akhir tahun anggaran, yakni
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang didasarkan pada penilaian
program strategis yang dilaksanakan. Kedua, pertanggungjawaban akhir masa
jabatan, yakni pertanggungjawaban pada akhir masa jabatan seorang Kepala
Daerah yang menentukan apakah seseorang dapat dapat dicalonkan kembali
atau tidak sebagai Kepala Daerah. Ketiga, pertanggungjawaban hal tertentu,
hal ini berkaitan apabila terjadi dugaan pidana yang dilakukan Kepala Daerah
sehingga menyebabkan terkikisnya kepercayaan publik secara luas.
Hakikat dari bentuk pertanggungjawaban tersebut adalah untuk mengukur
kinerja Pemerintah Daerah dalam suatu periode pemerintahan tertentu. Sistem
akuntabilitas harus dilaksanakan secara jelas dan transparan dengan ukuranukuran tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
25
Dengan demikian, kinerja Pemerintah Daerah beserta output yang dihasilkan
dalam pelaksanaan otonomi senantiasa dapat diukur untuk meningkatkan
kinerja pemerintahan dari waktu ke waktu (Hari Sabarno, 2007:131).
2. Tipe Akuntabilitas
Menurut Jabra dan Dwidevi sebagaimana yang dijelaskan oleh Sadu
Wasistiono (2007: 50) mengemukakan adanya lima perspektif akuntabilitas
yaitu: (1) akuntabilitas administratif, (2) akuntabilitas legal, (3) akuntabilitas
politik, (4) akuntabilitas profesional, (5) akuntabilitas moral. Akuntabilitas
administratif yaitu dimana di dalamnya terdapat pertanggungjawaban antara
pejabat yang berwenang dengan unit bawahanya dalam hubungan hirarki
yang jelas. Akuntabilitas yang ke dua yaitu akuntabilitas legal, akuntabilitas
jenis ini merujuk pada domain publik dikaitkan dengan proses legislatif dan
yudikatif. Bentuknya dapat berupa peninjauan kembali kebijakan yang telah
diambil oleh pejabat publik maupun pembatalan suatu peraturan oleh institusi
yudikatif.
Ukuran akuntabilitas legal adalah peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sedangkan dalam akuntabilitas politik, didalamnya terkait dengan
adanya
kewenangan
pemegang
kekuasaan
politik
untuk
mengatur,
menetapkan prioritas dan pendistribusian sumber-sumber dan menjamain
adanya kepatuhan melaksanakan tanggungjawab administrasi dan legal .
Akuntabilitas ini memusatkan pada tekanan demokratik yang dinyatakan oleh
administrasi publik.
26
Dalam akuntabilitas
profesional,
di
dalamnya
berkaitan dengan
pelaksanaan kinerja dan tindakan berdasarkan tolak ukur yang ditetapkan oleh
orang profesi yang sejenis. Akuntabilitas ini lebih menekankan pada aspek
kualitas kinerja dan tindakan. Sedangkan dalam akuntabilitas moral, berkaitan
dengan tata nilai yang berlaku di kalagan masyarakat . Hal ini lebih banyak
berbicara tentang baik atau buruknya suatu kinerja atau tindakan yang
dilakukan oleh seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif berdasarkan
ukuran tata nilai yang berlaku setempat.
Lebih lanjut, Hari Sabarno (2007: 131) menyatakan bahwa dalam
pelaksanaanya terdapat dua jenis akuntabilitas, yaitu akuntabilitas internal
dan akuntabilitas eksternal. Akuntabilitas internal merupakan akuntabilitas
yang dilaksanakan oleh bawahan terhadap atasan. Akuntabilitas secara
internal sangat berkaitan erat dengan perencanaan program, pelaksanaan
program, dan kontrol birokrasi. Sedangkan akuntabilitas eksternal sangat
berbeda dengan akuntabilitas internal, hal ini disebabkan karena akuntabilitas
eksternal bukan merupakan akuntabilitas dalam lingkup satu organisasi.
Akuntabilitas eksternal merupakan pertanggungjawaban suatu badan atau
lembaga kepada lembaga atau badan yang berada di luar struktur
kelembagaannya.
3. Parameter Akuntabilitas Penyelenggaraan Pemerintahan
Untuk menilai kinerja pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan
harus dengan parameter dan tolak ukur yang pasti. Hal ini dimaksudkan agar
kesinambungan pembangunan dan pelayanan publik dapat dikontrol dengan
27
kriteria yang terukur. Terdapat tiga aspek untuk menilai akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintahan, ketiga aspek tersebut adalah: (1) parameter
kerja, (2) tolak ukur yang obkektif, (3) tata cara yang terukur. Parameter
kenerja pemerintah harus dijadikan acuan untuk menilai apakah suatu
program yang direncanakan berhasil atau tidak dan upaya untuk
mengevaluasi kenerja pemerintahan yang telah dilaksanakan pada periode
tersebut. Selanjutnya tolak ukur yang objektif merupakan syarat penting
dalam menilai keberhasilan suatu program pemerintah. Hal ini terkait erat
dengan penilaian suatu pertanggungjawaban. Oleh karena itu tolak ukur
keberhasilan pemerintahan harus objektif dan jelas. Selain kedua aspek
tersebut, masih diperlukan juga tata cara terukur untuk menilai kinerja
pemerintah. Misalnya dalam penilaian laporan pertanggungjawaban Kepala
Daerah, harus dilakukan dengan metode yang sistematis dan terukur (Hari
Sabarno, 2007: 132).
Selain ketiga aspek di atas, standar pelayanan minimal juga termasuk
dalam salah satu parameter dan tolak ukur penyelenggaraan pemerintahan.
Pelayanan atau service merupakan kata kunci otonomi. Karena otonomi
adalah milik masyarakat,
yang dijalankan oleh pemerintah adalah
akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat, hal ini dapat dilihat dari jenis
dan kualitas pelayanan yang disediakan untuk masyarakat. Masyarakat
memberikan legitimasi politik kepada wakil rakyat yang dipilih dalam pemilu
untuk mengatur rakyat. Pengaturan rakyat diwujudkan dalam bentuk upaya
28
untuk mensejahterakan rakyat. Tingkat kesejahteraan akan terkait erat dengan
tingkat pelayanan yang disediakan oleh pemerintah kepada rakyat.
Menurut David Hulme dan Mark Turner dalam Tri Ratnawati (2006:
221), akuntabilitas
memiliki beberapa instrumen pengukur seperti dalam
tabel di bawah ini:
Tabel 1
Instrumen Pengukur Akuntabilitas
ENDS-To facilitate/enchance
Legitimacy of decision makers
MEANS-Tools
Constitutions, electoral system for
governments and decision-making
bodies,
bureaucratic
system
of
representation, royal prerogative,
legislation, letters of appointment,
formal delegation of authority, standing
orders.
Moral conduct
Societal values, concept of social
justice and public interest; professional
values; training/induction programs.
Responsiveness
Public participation and consultation,
debates; advisory bodies, public
meeting, freedom of speech.
Openness
Parliamentary question times, public
information services, freedom of
information laws; public hearings,
annual reports.
Optimal resource utilization
Budgets,
financial
procedures,
parliamentary
public
accounts
committess, auditing, public enquiries
and participation; formal planning
systems.
Improving
efficiency
and Information systems, value for money
effectiveness
audits,
setting
objectives
and
standards;
program
guidelines;
appraisal, feedback from public.
Berdasarkan tabel di atas akuntabilitas memiliki hubungan dengan
beberapa masalah, antara lain masalah legitimasi, kualitas moral dan tingkah
29
laku elit, responsif dan sensitif atas aspirasi masyarakat luas, masalah
keterbukaan atau transparansi, masalah penggunaan sumber-sumber secara
optimal, dan masalah efisiensi dan efektivitas. Dari tabel di atas juga terlihat
adanya instrumen atau cara untuk meningkatkan akuntabilitas, antara lain
yaitu sistem pemilihan, pendelegasian wewenang, penerapan norma-norma
sosial yang positif, profesionalisme, program-program pelatihan, partisipasi
masyarakat, konsultasi, kebebasan informasi, dengar pendapat (public
hearing), laporan tahunan, anggaran, auditing, sistem informasi, penerapan
standar, petunjuk program, dan umpan balik dari masyarakat (Tri Ratnawati,
2006: 222).
C. Pemerintahan Desa
1. Konsep Pemerintahan Desa
Pemerintahan Desa merupakan bagian dari Pemerintahan Nasional yang
penyelenggaraannya ditujukan pada pedesaan. Pemerintahan Desa adalah
suatu proses dimana usaha-usaha masyarakat desa yang bersangkutan
dipadukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat (Maria Eni Surasih, 2002: 23).
Sebelum lahirnya Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Pemerintah
Daerah berlaku kebijakan Pemerintah Desa dengan Undang-Undang
Pemerintah Desa No. 5 tahun 1979 yang menyatakan bahwa desa adalah
suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan
masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat huklum yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan
30
berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan tersebut memuat konsep hak untuk
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, namun jugs disebutkan bahwa
desa merupakan organisasi pemerintahan terendah di bawah camat.
UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menempatkan desa
sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak
asal-usul desanya. UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
dipandang terlalu liberal dan federalistik, sehingga dikhawatirkan dapat
mengancam keutuhan NKRI. Pembagian kewenangan terlalu mutlak pada
daerah membuat perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah tidak
proporsional, sehingga kontrol pusat dan provinsi terhadap daerah hilang.
Dihawatirkan UU ini rentan melahirkan konflik dan masalah di tengah
masyarakat. Karena berbagi kelemahan tersebut, maka UU No 22 Tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah diganti dengan berlakunya UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dalam konteks otonomi desa terdapat perbedaan mendasar antara UU No
22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dengan UU No 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Terdapat perubahan positif dalam UU No 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan juga peraturan pelaksaannya
yaitu PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang dapat mendorong
peningkatan otonomi lokal dan desa, antara lain:
31
a. Ditentukannya pemilihan langsung bagi kepala daerah dan wakil
kepala daerah sebagaimana diatur dalam pasal 56 sampai 119. Model
pemilihan langsung ini membawa banyak keuntungan terutama dalam
kerangka demokratisasi, dimana aspirasi rakyat tidak mungkin lagi
direduksi oleh kekuatan parpol.
b. Pengaturan tentang kewenangan yang menurut pasal 206 jo. Pasal 7
PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa, rasanya lebih komprehensif,
karena implikasi yuridisnya juga diatur dalam pasal 10 ayat 3 dimana
desa mempunyai hak menolak pelaksanaan tugas pembantuan yang
tidak disertai dengan pembiayaan, prasarana, dan sarana serta sumber
daya manusia.
c. Dalam pengaturan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menegaskan bahwa daerah akan mendapatkan bagian
(alokasi). Hal ini tentu berbeda dengan UU No 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang menggunakan istilah bantuan keuangan.
Bagian keuangan desa secara relativ pasti telah ditentukan dalam
Pasal 68 PP No 72 tahun 2005 tentang Desa, yaitu sebesar minimal
10% dari hasil bagi pajak daerah dan bagian dari dana perimbangan
keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota.
2. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Pemerintah desa terdiri dari pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan
Desa (BPD). Pemerintah Desa yang dimaksud terdiri dari Kepala Desa dan
Perangkat Desa. Sesuai dengan PP Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa Pasal
32
29 dijelaskan bahwa Badan Permusyawaratan Desa adalah “lembaga yang
merupakan perwujudan demokrasi dalam pentelenggaraan pemerintahan desa
sebagai unsur penyelenggara pemerintah”. Anggota Badan Permusyawaratan
Desa
adalah
wakil
dari penduduk desa
bersangkutan berdasarkan
keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat
(PP Nomor 72 Tahun 2005, Pasal 29).
Pemerintahan Desa menurut H.A.W. Widjaja dalam bukunya “Otonomi
Desa” Pemerintahan Desa diartikan sebagai :
“Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem dari sistem
penyelenggaraan Pemerintah, sehingga Desa memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa
bertanggung jawab kepada Badan Permusyawaratan Desa dan menyampaikan
laporan pelaksanaan tersebut kepada Bupati” (Widjaja, 2003: 3).
Berdasar PP No 72 tahun 2005 pasal 30 tentang Desa dijelaskan bahwa
anggota Badan Permusyawaratan Desa terdiri dari Ketua Rukun Warga,
pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama, dan tokoh atau pemuka
masyarakat
lainnya.
Sedangkan
masa
jabatan
anggota
Badan
Permusyawaratan Desa adalah enam tahun dan dapat diangkat atau diusulkan
kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Jumlah anggota BPD
ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit lima orang dan paling banyak
sebelas orang dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan
kemampuan keuangan desa.
33
3. Kewenangan Pemerintah Desa
a. Kepala desa
Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan,
pembangunan, dan kemasyarakatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 PP No
72 Tahun 2005 tentang Desa, Kepala Desa memiliki wewenang sebagai
berikut:
1) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan bersama BPD.
2) Mengajukan rancangan peraturan desa.
3) Menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama
BPD.
4) Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai
APBDesa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD.
5) Membina kehidupan masyarakat desa.
6) Membina perekonomian desa.
7) Mengkoordinasi pembangunan desa secara partisipatif.
8) Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat
menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, dan.
9) Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, Kepala Desa mempunyai
kewajiban berdasar ketentuan Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun
2005 tentang Desa, yaitu:
1) Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan
Undang-Undang Dasar 1945 serta mempertahankan dan memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3) Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.
4) Melaksanakan kehidupan demokrasi.
5) Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas
dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.
6) Menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan
desa.
7) Mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.
8) Menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik.
34
9) Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan
desa.
10) Melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa.
11) Mendamaikan perselisihan masyarakat desa.
12) Mengembangkan pendapatan masyarakat dan desa.
13) Membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan
adat istiadat.
14) Memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa.
15) Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan
lingkungan hidup.
Di atas telah disebutkan bahwa tugas dari kepala desa adalah
menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang dimaksud dari urusan
pemerintahan yaitu antara lain pengaturan kehidupan masyararakat sesuai
kewenangan desa seperti pembuatan peraturan desa dan pembentukan
lembaga kemasyarakatan. Kemudian tugas kepala desa dalam hal
pembangunan yaitu antara lain pemberdayaan masyarakat dalam penyediaan
sarana prasarana fasilitas umum. Sedangkan tugas kemasyarakatan kepala
desa yaitu meliputi pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan kehidupan
sosial budaya masyarakat.
Atas pelaksanaan tugas tersebut, kepala desa berkewajiban memberikan
pertanggungjawaban
berupa
pembuatan
laporan
penyelenggaraan
pemerintahan desa yang ditujukan kepada Bupati/Walikota, dan laporan
pertanggungjawaban kepada BPD serta menginformasikan seluruh laporan
penyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat. Di dalam laporan tersebut
berisi laporan dari semua kegiatan desa berdasarkan kewenangan desa yang
ada, serta tugas-tugas dan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota. Laporan pertanggungjawaban atas tugas kepala
desa ini dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan suatu akuntabiitas dalam
35
suatu pemerintahan desa serta sebagai upaya dalam perwujudan transparansi
pemerintah terhadap masyarakat.
b. Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Dalam ketentuan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005
tentang Desa disebutkan bahwa anggota Badan Permusyawaratan Desa
mempunyai hak sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
Mengajukan rancangan peraturan desa.
Mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat.
Memilih dan dipilih.
Memperoleh tunjangan.
Sedangkan kewajiban Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan
ketentuan Pasal 37 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa adalah sebagai
berikut:
1) Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan
perundang-undangan.
2) Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa.
3) Mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4) Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat, memproses pemilihan kepala desa, mendahulukan
kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, kelompok dan
golongan.
5) Menghormati nilai-nilai sosial dan budaya dan adat istiadat
masyarakat setempat, menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja
dalam lembaga kemasyarakatan.
Wewenang Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan ketentuan Pasal 34
PP No 72 tahun 2005 tentang Desa adalah sebagai berikut:
1) Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa.
2) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan
peraturan kepala desa.
3) Mengusulkan pengankatan dan pemberhentian kepala desa.
36
4) Membentuk panitia pemilihan kepala desa, menggali, menampung,
menghimpun, merumuskan, dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
5) Menyusun tata tertib Badan Permusyawaratan Desa.
6) Hak dari Badan Permusyawaratan Desa adalah : meminta keterangan
kepada Pemerintah Desa, menyatakan pendapat.
Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai penanggungjawab
utama dalam bidang pembangunan Kepala Desa dapat dibantu lembaga
kemasyarakatan yang terdapat di desa. Sedangkan dalam menjalankan tugas
dan fungsinya, sekretaris desa, kepala seksi, dan kepala dusun berada di
bawah serta bertanggungjawab kepada Kepala Desa, sedang kepala urusan
berada di bawah dan bertanggungjawab kepada sekretaris desa.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam
Pasal 209 meyebutkan bahwa urusan pemerintah yang menjadi kewenangan
desa adalah sebagai berikut :
1. Urusan pemerintah yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.
2. Urusan pemerintah yang menjadi kewenangan kabupaten atau kota
yang diserahkan pengaturannya kepada desa.
3. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan atau
pemerintah kabupaten atau kota.
4. Urusan pemerintahan lainnya oleh peraturan perundang-undangan
diserahkan kepada desa.
Kinerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dititikberatkan pada proses
penyelenggaraan Pemerintah Desa yang reponsif. Sehingga diharapkan
terjadinya penyelenggaraan pemerintah yang mengedepankan pemerintah
yang aspiratif dan bertanggungjawab demi kemajuan, kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat. Kinerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
diwujudkan dengan adanya pembentukan tata tertib BPD, pembuatan Perdes
bersama dengan Pemerintah Desa, pengangkatan dan pemberhentian kepala
37
desa. Kinerja BPD dalam pelaksanaan otonomi desa bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan
kepentingan dan aspirasi masyarakat.
D. Pemberdayaan Masyarakat
1. Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan kemampuan dan
potensi yang dimiliki masyarakat, sehingga masyarakat dapat mewujudkan
jati diri, harkat dan martabatnya secara maksimal untuk bertahan dan
mengembangkan diri secara mandiri baik dibidang ekonomi, sosial, agama,
dan budaya. Pemberdayaan masyarakat terutama di pedesaan tidak cukup
hanya dengan upaya meningkatkan produktivitas, memberikan kesempatan
usaha yang sama atau modal saja, tetapi harus diikuti pula dengan perubahan
struktur sosial ekonomi masyarakat, mendukung berkembangnya potensi
masyarakat melalui peningkatan peran, produktivitas dan efisiensi (Widjaja,
2003:169).
Kartasasmita (1996: 45), menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat
adalah sebuah konsep pebangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai
sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang
bersifat “people-centered, participatory, empowering and sustainable”.
Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar
(basic need) atau meyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan
lebih lanjut (safety net), yang pemikiranya belakangan ini banyak
dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep
38
pertumbuhan di masa lalu. Menurut Sumodiningrat (1999:32), pemberdayaan
masyarakat
merupakan
upaya
untuk
mendirikan
masyarakat
lewat
perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan
masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu
masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh
kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan.
Dalam konsep pemberdayaan menurut Prijono dan Pranarka (1996: 55),
manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses kepada masyarakat agar
menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar memmpunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih
lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau
lapisan masyarakat yang tertinggal. Sementara itu Vindyandika (2004: 36)
menjelaskan bahwa konsep pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian
atau sejiwa sedarah dengan aliran yang muncul pada paruh abad ke-20 yang
lebih dikenal sebagai aliran postmodernisme. Aliran ini menitikberatkan pada
sikap dan pendapat yang berorientasi pada jargon antisistem, antistruktur, dan
antideterminisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Pemahaman
konsep pemberdayaan oleh masing-masing individu secara selektif dan kritis
dirasa penting, karena konsep ini mempunyai akar historis dari perkembangan
alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat.
Secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang
berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka
pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan
39
atau kemampuan, dan atau proses pemberian daya, kekuatan atau kemampuan
dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya
(Sulistiyani, 2004: 7). Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan yang
dikemukakan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya
pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau
memberikan daya, kekuatan, atau kemampuan kepada individu masyarakat
lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan
potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif
pemecahnya dengan mengoptimalkan sumber daya dan potensi yang dimiliki
secara mandiri.
Unsur-unsur pemberdayaan masyarakat pada umumnya adalah: (1) inklusi
dan partisipasi; (2) akses pada informasi; (3) kapasitas organisasi lokal; dan
(4) profesionalitas pelaku pemberdaya. Keempat elemen ini terkait satu sama
lain dan saling mendukung. Inklusi berfokus pada bagaimana mereka
diberdayakan, sedangkan partisipasi berfokus pada bagaimana mereka
diberdayakan dan peran apa yang mereka mainkan setelah mereka menjadi
bagian dari kelompok yang yang diberdayakan. Unsur kedua, akses pada
informasi, adalah aliran informasi yang tidak tersumbat antara masyarakat
dengan masyarakat lain dan antara masyarakat dengan pemerintah. Informasi
meliputi ilmu pengetahuan, program dan kinerja pemerintah, hak dan
kewajiban dalam masyarakat, ketentuan tentang pelayanan umum, dan
sebagainya.
40
Unsur ketiga adalah kapasitas organisasi lokal, merupakan kemampuan
masyarakat untuk bekerja bersama, mengorganisasikan perorangan dan
kelompok-kelompok yang ada di dalamnya, memobilisasi sumber-sumber
daya yang ada untuk menyelesaikan masalah bersama. Masyarakat yang
organized lebih mampu membuat suaranya terdengar dan kebutuhannya
terpenuhi. Sedangkan unsur yang terakhir, profesionalitas pelaku pemberdaya
adalah kemampuan pelaku pemberdaya, yaitu aparat pemerintah atau LSM
untuk mendengarkan, memahami, mendampingi dan melakukan tindakan
yang
diperluakan
untuk
melayani
kepentingan
masyarakat.
Pelaku
pemberdaya juga harus mampu mempertanggungjawabkan kebijakan dan
tindakannya
yang
mempengaruhi
kehidupan
masyarakat
(www.unisosdem.com).
Pemberdayaan merujuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan secara
sistematis dan mencerminkan pertahapan kegiatan atau upaya mengubah
masyarakat
yang
kurang
atau
belum
berdaya,
berkekuatan,
dan
berkemampuan menuju keberdayaan. Makna “memperoleh” daya, kekuatan
atau kemampuan merujuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan
atau meningkatkan daya, kekuatan, atau kemampuan sehingga memiliki
keberdayaan. Kata “memperoleh” mengindikasikan bahwa yang menjadi
sumber inisiatif untuk berdaya berasal dari masyarakat itu sendiri. Oleh
karena itu, masyarakat harus menyadari akan perlunya memperoleh daya tau
kemampuan. Makna kata “pemberian” menunjukkan bahwa sumber inisiatif
bukan dari masyarakat. Inisiatif untuk mengalihkan daya, kemampuan atau
41
kekuatan adalah pihak-pihak lain yang memiliki kekuatan dan kemammpuan,
misalnya
pemerintah
atau
agen-agen
pembanguan
lainnya
(http://p3b.bappenas.go.id).
2. Proses Pemberdayaan Masyarakat
Proses pemberdayaan masyarakat mengandung dua kecenderungan.
Pertama proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan
atau mengalihkan sebagai kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada
masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut
dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan.
Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan
pada proses menstimulasi, mendorong atu memotivasi individu agar
mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang
menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog (Pranarka, 1996: 45).
Kartasasmita (1996: 23) menatakan bahwa proses pemberdayaan dapat
dilakukan melalui tiga proses yaitu: pertama: menciptakan suasana atau iklim
yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik
tolaknya adalah bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Artinya tidak ada sumber daya manusia atau masyarakat
tanpa daya. Dalam konteks ini, pemberdayaan adalah membangun daya,
kekuatan
atau
kemampuan,
dengan
mendorong
(encourage)
dan
membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimiliki serta
berupaya mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi daya yang
dimiliki oleh masyarakat (empo-wering), sehingga diperlukan langkah yang
42
lebih positif, selain dari iklim atau suasana. Ketiga, memberdayakan juga
mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah
yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaannya
dalam menghadapi yang kuat.
Proses pemberdayaan warga masyarakat diharapkan dapat menjadikan
masyarakat menjadi lebih berdaya berkekuatan dan berkemampuan.
Kaitannya dengan indikator masyarakat berdaya, Sumardjo, (1999: 16)
menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu: (1) mampu
memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi
kondisi perubahan ke depan, (2) mampu mengarahkan dirinya sendiri, (3)
memiliki kekuatan untuk berunding, (4) memiliki bargaining power yang
memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan (5)
bertanggung jawab atas tindakannya.
Tjokrowinoto
(2001:
32)
menyatakan
bahwa
meskipun
proses
pemberdayaan suatu masyarakat merupakan suatu proses pemberdayaan,
namun dalam implementasinya tidak semua yang direncanakan dapat berjalan
dengan mulus dalam pelaksanaanya. Tak jarang ada kelompok-kelompok
dalam
komunitas
yang
melakukan
penolakan
terhadap
“pembaharuan”ataupun inovasi yang muncul. Tjokrowinoto (2001: 34)
menyatakan beberapa kendala (hambatan) dalam pembangunan masyarakat,
baik yang berasal dari kepribadian individu maupun berasal dari sistem
sosial:
43
a. Berasal dari Kepribadian Individu; kesetabilan (Homeostatis),
kebiasaan (Habit), seleksi ingatan dan persepsi (Selective Perception
and Retention), ketergantungan (Depedence), super-ego, yang terlalu
kuat,
cenderung
membuat
seseorang
tidak
mau
menerima
pembaharuan, dan rasa tak percaya diri (self-Distrust).
b. Berasal dari sistem sosial; kesepakatan terhadap norma tertentu
(Comformity to Norms), yang “mengikat” sebagian anggta masyarakat
pada suatu komunitas tertentu, kesatuan, dan kepaduan sistem dan
budaya (Systemic and Cultural Coherence), kelompok kepentingan
(vested Interest), hal yang bersifat sakral (The Sacrosanct), dan
penolakan terhadap orang luar (Rejection of Outsiders).
3. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah
membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut
meliputi kemandirian berfikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka
lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami
oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan
serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan
masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya atau
kemampuan yang dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah
kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, dan afektif serta sumber daya
lainnya yang bersifat fisik atau material. Pelaku pemberdayaan harus dapat
berperan sebagai motivator, mediator, dan fasilitator yang baik. Pelaku
44
pemberdayaan tidak hanya dituntut untuk memperdaya pengetahuannya,
melainkan mereka dituntut meningkatkan ketrampilannya dalam mendesain
pemberdayaan.
Bentuk-bentuk kemampuan yang relevan dengan kualitas pelaku
pemberdayaan yakni: (1) kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang
ada, (2) kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah-langkah yang
dianggap prioritas dengan mengacu pada visi, misi, dan tujuan yang
mempunyai potensi memberikan input dan sumber bagi proses pembangunan,
(4) kemampuan menjual inovasi dan memperluas wilayah penerimaan
program-program yang diperuntukkan bagi kaum miskin, dan (5) kemampuan
memainkan peranan sebagai fasilitator atau meningkatkan kemampuan
masyarakat
untuk
tumbuh
berkembang
dengan
kekuatan
sendiri
(Tjokrowinoto, 2001: 62).
Proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat berlangsung
secara bertahap, yaitu (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku
menuju perilaku sadar dan peduli, sehingga yang bersangkutan merasa
membutuhkan peningkatan kapasitas diri, (2) tahap transformasi kemampuan
berupa wawasan berfikir atau pengetahuan, kecakapan-ketrampilan agar
dapat mengambil peran dalam pembangunan, dan (3) tahap peningkatan
kemampuan intelektual, kecakapan-ketrampilan sehingga terbentuk inisiatif,
kreatif, dan kemampuan inovativ untuk mengantarkan pada kemandirian
(Sulistiyani, 2004: 25).
45
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam memajukan
masyarakat desa dalam pemberdayaan, diantaranya:
a. Fasilitasi untuk meningkatkan pengetahuan dan informasi bagi
masyarakat desa melalui kegiatan forum rembuk diskusi regular yang
dilakukan secara keliling antar desa (rural rountable discussion)
dengan pemahaman belajar dari pengalaman untuk menjadikan daur
program pemberdayaan.
b. Fasilitasi pemetaan partisipatif oleh masyarakat desa sebagai dasar
penggalian kebutuhan, permasalahan, potensi sumber daya alam, dan
masyarakat desa.
c. Memfasilitasi penggalangan dan penggunaan sumber dana untuk skala
kebutuhan prioritas dan perekonomian desa yang dituangkan dalam
PerDes dan APBDes baik dari pemerintah desa, BPD dan masyarakat
adalah mitra dan sekaligus agen perubahan yang mampu menyusun
dan merencanakan APBDes yang akan dituangkan dalam Alokasi
Dana Desa (ADD).
d. Memfasilitasi dan menumbuhkan fasilitator dari desa itu sendiri
sebagai agen perubahan dari dalam (PRA) yang memotivasi kegatan
belajar dan karakteristik desa untuk menemukan pola ekonominya
sendiri.
e. Memfasilitasi kaum perempuan untuk lebih terlibat dalam berbagai
kegiatan pemberdayaan dan perkembangan pedesaan.
f. Membuat media warga sebagai sarana akuntabilitas dan transparansi
dalam berkegiatan dan penggunaan anggaran desa.
g. Memanfaatkan
sumber
potensi
desa,
mengelola
secara
berkesinambungan, dan ramah lingkungan.
E. Penelitian yang Relevan
Kajian penelitian yang relevan dengan peneliatian ini yaitu terdapat dalam
Penelitian yang dilakukan oleh Amin Rahmanurrasjid tahun 2008 yang
berjudul “Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pertanggungjawaban
Pemerintah Daerah untuk Mewujudkan Pemerintahan yang Baik di Daerah
(Studi di Kabupaten Kebumen)”.
Dalam penelitian tersebut disebutkan
bahwa kebijakan desentralisasi dan implementasi otonomi daerah pada yang
ada di Indonesia pada dasarnya menyangkut pengalihan kewenangan dan
sumber daya dari pusat ke daerah-daerah. Dalam sistem pembagian
46
kekuasaan
berlaku
prinsip
bahwa
setiap
kekuasaan
harus
dipertanggungjawabkan. Karena itu, setiap kekuasaan harus dipikirkan beban
tanggungjawab bagi setiap penerima kekuasaan. Untuk terwujudnya
pelaksanaan otonomi daerah sejalan dengan upaya menciptakan pemerintahan
yang bersih, bertanggungjawab serta mampu menjawab tuntutan perubahan
secara efektif dan efisien sesuai dengan prinsip tata pemerintahan yang baik,
maka Kepala Daerah wajib melaporkan penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Laporan dimaksud dalam bentuk LPPD, LKPJ, dan Informasi LPPD.
Bagi Pemerintah LPPD dapat dijadikan salah satu bahan evaluasi untuk
keperluan pembinaan terhadap pemerintah daerah.
F. Kerangka Berfikir
Dalam pelaksanaan otonomi desa salah satu agenda pokok yang hendak
dilaksanakan adalah suatu reformasi birokrasi. Saat ini setiap desa memiliki
hak untuk memiliki kemandirian dalam memajukan masyarakatnya secara
demokratis, baik dibidang politik, ekonomi, maupun budaya, memerlukan
suatu birokrasi yang reformis, efisien, kreatif, inovatif, dan mampu menjawab
tantangan dalam menghadapi ketidakpastian di masa kini dan akan datang.
Dengan penerapan otonomi desa yang mengedepankan desentralisasi dan
demokrasi, sangat besar harapan digantungkan agar pemerintahan desa dapat
meningkatkan akuntabilitasnya dengan mempertanggungjawabkan hasil kerja
mereka kepada masyarakat.
Dalam salah satu prinsip pelaksanaan otonomi desa yaitu dilaksanakannya
otonomi secara luas, nyata dan bertanggungjawab, tidak terkecuali dalam hal
47
pelimpahan kewenangan urusan pemerintahan, pemerintahan desa memiliki
kewenangan untuk mengatur urusan pemerintahan yang dilimpahkan dari
kabupaten/kota. Dalam pelaksanaan pemerintahan desa tersebut dituntut
adanya suatu aspek tata pemerintahan yang baik (Good Governance), dimana
salah satu karakteristik atau unsur utama dari Good Governance adalah
akuntabilitas. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk tanggungjawab
pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
melalui media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik. Jadi,
akuntabilitas pemerintahan sangat diperlukan sebagai penunjang penerapan
otonomi desa agar dapat berjalan dengan baik.
Desa yang otonom akan memberi ruang gerak yang luas pada
perencanaan pembangunan yang merupakan kebutuhan nyata masyarakat dan
tidak terbebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi dan
pemerintah. Setiap desa memiliki kondisi dan potensi yang khas, berbeda
dengan desa lainnya, demikian pula aspirasi dan karakter masyarakatnya.
Oleh sebab itu, pembangunan di desa memang sepatutnya lebih banyak
ditentukan oleh masyarakat desa sendiri. Kedudukan pemerintah desa telah
diberi kewenangan penuh untuk memberdayakan masyarakatnya dan tentu
harus mempunyai kemampuan untuk mengurus rumah tangganya sendiri
dengan lebih mengedepankan hak-hak masyarakat.
Dengan demikian dapat terlihat jelas bahwa salah satu esensi dari
penerapan otonomi desa diarahkan sebagai wahana untuk mewujudkan peran
serta aktif masyarakat dalam pembangunan menuju masyarkat yang maju,
48
mandiri, sejahtera, dan berkeadilan. Dari esensi tersebut maka timbulah suatu
kewajiban untuk melaksanakan pemberdayaan masyarakat dimana di
dalamnya dicanangkan salah satu tujuan khusus yaitu meningkatkan
partisipasi ,masyarakat dalam merencanakan proses pengambilan keputusan,
implementasi, pemantauan dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan.
Dari uraian kerangka berfikir di atas, dapat digambarkan secara jelas
dalam bagan di bawah ini:
Bagan 1
Kerangka Berfikir Penelitian
Otonomi Desa
Akuntabilitas
Pemerintahan Desa
Pemberdayaan
Masyarakat
Download