Sistem Akuifer Kars Waekabubak, Sumba Barat, Berdasarkan

advertisement
JLBG
JURNAL LINGKUNGAN DAN BENCANA GEOLOGI
Journal of Environment and Geological Hazards
ISSN: 2086-7794, e-ISSN: 2502-8804
Akreditasi LIPI No. 692/AU/P2MI-LIPI/07/2015
e-mail: [email protected] - http://jlbg.geologi.esdm.go.id/index.php/jlbg
Sistem Akuifer Kars Waekabubak, Sumba Barat, Berdasarkan Analisis
Densitas Kelurusan Morfologi dan Variasi Spasial Hidrogeokimia
Waekabubak Karstic Aquifer System, West Sumba, Based on Morphological Lineaments
Density Analysis and Spatial Variation of Hydrogeochemistry
Taat Setiawan
Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi, KESDM
Jl. Diponegoro 57 Bandung, 40122 - Indonesia
Naskah diterima 27 Desember 2015, selesai direvisi. 20 Mei 2016, dan disetujui 28 Juli 2016
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Sistem akuifer kars di daerah Waekabubak dan sekitarnya menarik untuk diteliti mengingat potensi air tanahnya yang
besar. Penelitian ini menggunakan analisis kelurusan morfologi, besaran debit mata air kars, isotop stabil 2H dan 18O,
indeks kejenuhan CaCO3, dan tekanan parsial CO2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saat musim kemarau,
air tanah dominan berasal dari sistem aliran difusi. Daerah imbuhan air tanah utama terletak pada zona densitas
kelurusan sedang hingga tinggi (1,0-2,5/km2) pada elevasi >450 mdpl dengan karakteristik besaran debit mata air
lebih kecil dari 10 l/det, ringannya kandungan isotop stabil 18O, dan air tanah dalam kondisi tidak jenuh, hingga
setimbang terhadap CaCO3. Daerah lepasan air tanah terletak pada elevasi 390 – 450 mdpl.dengan karakter kandungan
isotop 18O relatif sedang hingga berat dan air tanah dalam kondisi jenuh terhadap CaCO3. Pada daerah ini terdapat
mata air permanen dengan debit terbesar ±1.300 l/det. dan dijumpai mata air serta sumur bor artesis.
Kata kunci: kelurusan, kejenuhan CaCO3, isotop stabil, akuifer kars, Waekabubak
ABSTRACT
Karstic aquifer system in Waekabubak and its surrounding area have highgroundwater potential. This study was
conducted using an analysis of lineament density, karstic spring discharge, stable isotopes of 2H and 18O, saturation
index of CaCO3, and partial pressure of CO2. The results show that during dry season, groundwater flow system
dominantly come from diffusion system. The main ground-water recharge area lies on the medium to high lineament
density zone (1.0 to 2.5 / km2) at the elevation of > 450 masl. with the character of spring discharge less than 10 l / sec,
lightness of the stable isotopes 18O content, and in the condition of under- saturated until equilibrium with respect to
CaCO3. The main ground-water discharge area lies at the elevation of 390-450 m asl with moderate to heavy of stable
isotopes 18O content, and in the condition of saturated with respect to CaCO3. This area also has permanent springs
with the largest discharge ± 1,300 l / sec, and artesian spring and well.
Keywords: lineament, saturation of CaCO3, stable isotope, karst aquifer, Waekabubak
89
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 7 No. 2, Agustus 2016: 89 - 102
PENDAHULUAN
Latar belakang
Waekabubak merupakan ibukota Kabupaten
Sumba Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Menurut Meiser drr. (1965) daerah Waekabubak
dan sekitarnya memiliki potensi air tanah rendah
hingga tinggi yang dikelilingi oleh daerah
dengan potensi air tanah sangat rendah di daerah
perbukitan. Soenarto (2004) menyebutkan bahwa
daerah Waekabubak dan sekitarnya mempunyai
penyebaran batugamping yang luas dengan potensi
air tanah besar melalui sistem sungai bawah
tanah, sehingga letaknya sangat sulit diduga dari
permukaan air tanah. Berkembangnya sistem
akuifer kars di daerah Waekabubak terlihat dengan
terdapatnya sistem rekahan dan jaringan rongga
pada batuan yang berasosiasi dengan kemunculan
mata air pada tempat-tempat tertentu (Setiawan
dan Asgaf, 2015). Menurut Parizek (1976) zona
rekahan (kekar, sesar, rongga) merupakan struktur
geologi yang sangat berperan dalam mengontrol
sistem hidrogeologi kars. Zona rekahan tersebut
secara morfologis ditunjukkan oleh adanya
fenomena kelurusan morfologi sebagai lineament
atau fracture traces (Gambar 1). Menurut Parizek
(1967) dalam Fetter (2001), zona rekahan sangat
berperan dalam mengontrol berkembangnya
konduktivitas hidrolika suatu daerah 10 hingga
1.000 kali dari lokasi yang struktur rekahannya
tidak berkembang. Proses peresapan air hujan
menjadi air tanah, dengan demikian juga memiliki
kecenderungan melalui zona rekahan.
White (1988), Ford dan Williams (1992), Smart
dan Hobbes (1986), serta Gillieson (1996)
membagi sifat aliran air tanah kars menjadi
tiga komponen, yaitu saluran konduit (rongga),
rekahan, dan rembesan (difusi). Sementara itu,
menurut Domenico dan Schwartz (1990) serta
Kehew (2001), sifat aliran air tanah di daerah kars
dibagi menjadi aliran difusi (aliran lambat) melalui
media pori atau jaringan rekahan yang rapat dan
aliran cepat melalui jaringan rongga atau konduit.
Adji (2011) menyebutkan bahwa sistem imbuhan
air tanah kars melalui sistem rekahan-rekahan
kecil yang ada (difusi) merupakan satu-satunya
pemasok sistem sungai bawah tanah di musim
kemarau sebagai aliran dasar (baseflow) ketika
saluran lorong sudah tidak ada lagi.
Menurut Matthes (1981), karakter aliran air tanah
tersebut di atas dapat dilihat dari sifat hidrokimia
sebagai interaksi antara air (H2O), batuan (CaCO3),
dan udara (CO2). Dalam proses karsifikasi, air
Gambar 1. Diagram blok zona rekahan dan saluran pelarutan yang berasosiasi
dengan fracture traces(Parizek, 1976).
90
Sistem Akuifer Kars Waekabubak, Sumba Barat, Berdasarkan Analisis
Densitas Kelurusan Morfologi dan Variasi Spasial Hidrogeokimia
berperan sebagai agen pelarutan batuan karbonat
melalui reaksi (Kehew, 2001):
CaCO3(S)+ CO2(g)+ H2O(l)= Ca2+(l)+ HCO3-(l) ......…(1)
Menurut Ford dan Williams (2007) untuk
mengetahui tingkat interaksi antara air dengan
CO2, hal yang penting adalah mengetahui besarnya
tekanan parsial CO2 (Рco2) yang dapat dihitung
dari analisis hidrokimia melalui persamaan:
……………..…..........................………………(2)
Log Pco2 = log (HCO3-) – pH + pKCO2 + pK1…(3)
Reaksi kimia antara air dengan batuan karbonat
(CaCO3) merupakan reaksi kesetimbangan
parsial yang bersifat bolak-balik antara pelarutan
dan pengendapan. Untuk mengetahui tingkat
kemampuan air dalam melarutkan CaCO3
digunakan parameter indeks kejenuhan terhadap
mineral CaCO3 (SI-CaCO3) yang dirumuskan
sebagai berikut:
…......................................…..…………………(4)
Larutan akan berada dalam keadaan setimbang
(equilibrium) terhadap CaCO3 jika harga SI-
CaCO3 ~ 0 memiliki arti bahwa proses pelarutan
terhadap CaCO3 sudah berhenti. Harga SI-CaCO3
negatif menunjukkan bahwa kondisi larutan
dalam keadaan tidak jenuh (undersaturated)
terhadap CaCO3, sehingga air masih mampu
melarutkan CaCO3. Harga SI-CaCO3 positif
berarti kondisi larutan dalam keadaan lewat jenuh
(supersaturated) terhadap CaCO3, sehingga CaCO3
akan terendapkan.
Salah satu metode untuk mengetahui genetik
air tanah, termasuk imbuhan dan lepasan air
tanah, adalah isotop stabil berupa atom hidrogen
dan oksigen. Atom hidrogen terdiri atas 1H, 2H
(deuterium, D), dan 3H (Tritium, T), sedangkan
atom oksigen terdiri atas 16O, 17O, dan18O (IAEA,
1981). Menurut Clark dan Fritz (1997) dan Mazor
(2004) dalam proses evaporasi, isotop yang lebih
ringan (16O dan 1H) lebih mudah terfraksinasi ke
dalam fase uap, sehingga air yang ditinggalkan
lebih kaya akan isotop yang relatif lebih berat (2H
dan 18O).
Lokasi Penelitian
Daerah Waekabubak merupakan ibu kota Kabupaten
Sumba Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur yang
terletak antara 119°12’20” – 119°31’32” BT dan
9°27’43,5” – 9°41’26” LS (Gambar 2). Daerah
tersebut di bagian utara dibatasi oleh Selat Sumba,
bagian selatan oleh Samudera Indonesia, bagian
timur oleh Kabupaten Sumba Tengah, dan bagian
barat oleh Kabupaten Sumba Barat Daya.
Gambar 2. Lokasi penelitian.
91
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 7 No. 2, Agustus 2016: 89 - 102
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada akhir musim kemarau,
yaitu pada akhir bulan Oktober hingga awal
bulan November tahun 2014 dengan tujuan untuk
mengidentifikasi karakter sistem air tanah kars di
daerah Waekabubak dan sekitarnya, berdasarkan
analisis kelurusan morfologi, hidrogeokimia, dan
isotop stabil 2H dan 18O.
Geologi dan Geomorfologi
Daerah penelitian menurut Effendi dan Apandi
(1993) disusun oleh batugamping Formasi
Waikabubak (Tmpw) (Gambar 3). Formasi
Waikabubak
tersusun
atas
batugamping,
batugamping lempungan, sisipan napal, napal
pasiran, napal tufan, dan tuf yang berumur
Miosen Akhir – Pliosen yang diendapkan dalam
lingkungan laut dangkal hingga dalam dengan
ketebalan diperkirakan lebih dari 1.200 m. Batuan
tersebut dialasi oleh Formasi Jawila (Tmj) yang
tersusun atas lava andesit dan breksi gunungapi,
dan berbatasan secara tidak selaras dengan Formasi
Masu yang tersusun atas lava, breksi gunungapi,
dan tuf.
Menurut Effendi dan Apandi (1993) struktur geologi
yang dijumpai di daerah penelitian umumnya
berupa lipatan kecil dan sesar. Kemiringan lapisan
yang berubah arah jurus dan kelandaiannya dalam
jarak yang dekat menunjukkan bahwa batuan di
pulau ini tersesarkan kuat.Sesar yang dijumpai
berupa sesar normal yang umumnya mempunyai
arah barat-timur dan baratlaut-tenggara yang
memotong batuan pra-Tersier dan Tersier. Sesar
normal terlihat dengan jelas dari kelurusan berarah
barat-timur di bagian utara daerah Waekabubak.
Berdasarkan atas karakteristik morfometri dan
morfogenetiknya menurut Van Zuidam (1983)
morfologi kars di daerah penelitian dibagi menjadi
tiga satuan, yaitu Satuan Perbukitan Kars, Satuan
Plato Kars, dan Satuan Perbukitan Struktural
(Gambar 4). Satuan Perbukitan Kars secara luas
menempati bagian tengah daerah penelitian,
terletak pada level elevasi 0 hingga 750 mdpl yang
tersusun atas batugamping Formasi Waikabubak.
Satuan ini membentuk perbukitan bergelombang
lemah hingga kuat dengan kelerengan antara 5o
hingga 45o. Pola pengaliran yang berkembang
berupa subdendritic-subparallel yang menunjukkan
adanya pengaruh kemiringan lereng yang landai
hingga agak curam dengan bentuk perbukitan
relatif memanjang. Fenomena kars yang ada
Gambar 3. Peta geologi daerah penelitian.
92
Sistem Akuifer Kars Waekabubak, Sumba Barat, Berdasarkan Analisis
Densitas Kelurusan Morfologi dan Variasi Spasial Hidrogeokimia
Gambar 4. Peta geomorfologi daerah penelitian.
berupa sungai bawah tanah, dolina, dan gua-gua
kering terletak pada elevasi 350 hingga 450 mdpl
yang tersusun atas batugamping dari Formasi
Waikabubak.
Satuan Plato Karst secara luas menempati daerah
Waekabubak dan sekitarnya, terletak pada level
elevasi 350 hingga 450 mdpl yang tersusun atas
batugamping dari Formasi Waikabubak. Di daerah
ini terdapat fenomena kars seperti dolina, mataair
kars, dan bentuk saluran pelarutan lainnya.
Satuan Perbukitan Struktural secara luas
menempati bagian selatan dan setempat di bagian
timurlaut daerah penyelidikan. Bentuk lahan
perbukitan struktural dikontrol oleh pola struktur
perlipatan, sesar, dan kelurusan yang ditandai
dengan bentuk perbukitan memanjang, pola aliran
paralel dan rektangular, bentuk lereng hampir lurus
dan simetris pada sisi yang berlawanan, dan garis
kontur pada peta topografi relatif renggang hingga
terjal. Satuan Perbukitan Struktural tersusun atas
batuan sedimen berumur Kapur hingga Tersier
(Pliosen) berupa batu pasir grewak, batulempung,
napal, napal pasiran, napal tufan, dan batu pasir
tufan bersisipan batugamping, serta batuan
vulkanik berumur Tersier.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan perpaduan antara analisis
citra SRTM (Shuttle Radar and Topography
Mission) berbasis Sistem Informasi Geografis
(SIG), observasi hidrogeologi lapangan, dan
analisis hidrogeokimia berupa indeks kejenuhan
CaCO3 (SI-CaCO3), tekanan parsial CO2 (Pco2),
serta kelimpahan isotop alam 18O dan 2H. Tahapan
metode penelitian yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
Analisis kelurusan dilakukan dengan digitasi fiturfitur kelurusan morfologi, dalam hal ini lembah
kars pada citra SRTM. Setelah itu dilakukan
analisis karakterisasi kelurusan morfologi dengan
menggunakan diagram roset dan perhitungan
densitas kelurusan secara spasial berbasis Sistem
Informasi Geografis (SIG). Analisis hidrokimia ion
utama dilakukan di Laboratorium Hidrokimia Pusat
Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan
dengan menggunakan acuan Standar Methods for
The Examination of Water and Wastewater 20th
Edition 1998 (SMEWW). Hasil analisis tersebut
digunakan dalam perhitungan indeks kejenuhan
terhadap CaCO3 dan tekanan parsial CO2. Analisis
isotop alam 18O dan 2H dilakukan di BATAN.
93
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 7 No. 2, Agustus 2016: 89 - 102
Pengukuran 2H dilakukan dengan cara mereaksikan
percontoh air dengan Zn pada suhu 450oC selama
30 menit, dan setelah didinginkan dilakukan
pengukuran gas H2 yang terbentuk menggunakan
Spektrometer Massa kolektor ganda merk VGIsogas. Pengukuran 18O dilakukan atas dasar reaksi
pertukaran isotop 18O pada kesetimbangan gas
CO2-H2O dengan mereaksikan 2 ml percontoh air
dengan gas CO2 menggunakan alat Isoprep-18.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mata air kars dan pola kelurusan morfologi
Hasil penelitian di lapangan menemukan lima
belas mata air kars dengan debit berkisar dari 0
hingga ± 1.300 l/det yang tersebar pada Satuan
Plato Kars dan Satuan Perbukitan Kars (Gambar
5). Distribusi secara vertikal besaran debit mata air
kars terhadap elevasi dapat dilihat pada Gambar
6. Mata air permanen dengan debit > 10 l/det
Gambar 5. Lokasi mata air kars di daerah penelitian.
Gambar 6. Grafik hubungan antara debit mata air kars dengan elevasi.
94
Sistem Akuifer Kars Waekabubak, Sumba Barat, Berdasarkan Analisis
Densitas Kelurusan Morfologi dan Variasi Spasial Hidrogeokimia
Gambar 7. Diagram roset kelurusan morfologi daerah penelitian (modifikasi dari Setiawan dan Asgaf, 2015).
terdapat pada Satuan Perbukitan Kars dan Satuan
Plato Kars dengan elevasi 390 hingga 500 mdpl.
Mata air terbesar berdebit 1.300 l/det berada pada
perbatasan antara kedua satuan morfologi tersebut.
Mata air dengan debit > 10 l/det secara umum
merupakan tipe resurgence (Setiawan dan Asgaf,
2015), yaitu munculnya air tanah di permukaan
yang berasal dari drainase bawah permukaan.
Mata air tersebut yaitu mata air Waekelosawa,
Mondomiah, Tanarara, Labareri, dan mata air
Weekasoda.
Menurut Setiawan dan Asgaf (2015) analisis pola
kelurusan morfologi pada citra SRTM di daerah
penelitian menunjukkan arah relatif baratlaut
– tenggara, yaitu N130oE – N150oE. Pola
kelurusan di daerah penelitian memiliki variasi
secara spasial (Gambar 7). Pada bagian timur
terdapat arah rekahan yang lebih variatif, yaitu
selain mengikuti pola baratlaut-tenggara juga
muncul arah utara-selatan dengan arah N10oE atau
N185oE. Pada bagian tengah terdapat orientasi
kelurusan dengan arah relatif barat – timur hingga
baratlaut – tenggara. Berdasarkan peta geologi,
kelurusan dengan arah relatif barat – timur tersebut
mencerminkan sistem patahan (sesar) yang ada di
daerah penyelidikan, terutama pada Satuan Plato
Kars dan Satuan Perbukitan Kars.
Hasil analisis densitas kelurusan morfologi
memperlihatkan bahwa densitas kelurusanyang
memiliki nilai maksimum 2,0 – 2,5/km2 berada
pada Satuan Perbukitan Kars yang tersebar
terutama di bagian utara hingga timur laut, dan
setempat di daerah timur daerah penyelidikan.
Daerah dengan densitas rendah (< 0,5/km2)
terutama terletak pada Satuan Morfologi Plato
Kars (Gambar 8). Kemunculan mata air kars secara
umum memiliki karakter yang hampir sama, yaitu
pada daerah perbatasan antara densitas kelurusan
tinggi dengan densitas kelurusan rendah. Daerah
perbatasan tersebut mencerminkan adanya kontras
porositas sekunder (sistem rekahan), yaitu batas
antara daerah berporositas sekunder tinggi dengan
daerah berporositas rendah. Daerah dengan densitas
kelurusan morfologi relatif tinggi mengindikasikan
daerah resapan air tanah yang utama, kemudian
mengalir dan dikontrol oleh sistem rekahan berarah
barat-laut tenggara, dan muncul karena terhalang
oleh suatu daerah dengan batuan yang memiliki
porositas sekunder relatif rendah.
95
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 7 No. 2, Agustus 2016: 89 - 102
Gambar 8. Distribusi spasial pola kelurusan morfologi daerah penelitian.
Hidrogeokimia dan isotop stabil 18O
dan 2H
Untuk mengetahui genetik dan tingkat
interaksi antara air dengan batuan, telah
dilakukan analisis indeks kejenuhan
terhadap mineral kalsit (SI-CaCO3),
tekanan parsial CO2 (Pco2), dan isotop
stabil 18O dan 2H pada percontoh air tanah
yang berasal dari mata air (Ma), sumur gali
(SG), dan sumur bor (SB). Parameter SICaCO3 dan PCO2 dihitung berdasarkan
atas pH, ion Ca2+, dan ion HCO3-,
sedangkan analisis isotop 18O dan 2H di
lakukan di BATAN. Hasil analisis tersebut
dapat dilihat pada Tabel-1.
Dalam melakukan analisis isotop 18O dan
2
H digunakan persamaan air meteorik
lokal berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh BATAN melalui beberapa
stasiun penadah hujan di beberapa tempat
di Indonesia, dengan persamaan δD = 8
δO-18 + 14 (Dagstan, 1999). Pengeplotan
hasil pengujian isotop 18O dan 2H tersebut
dapat dilihat pada Gambar 9.
Hasil pengujian percontoh air tanah
di daerah penelitian menunjukkan
penyimpangankandungan isotop 18O
96
Gambar 9. Plot kandungan isotop 18O terhadap 2H percontoh
air tanah daerah penelitian.
dan 2H terhadap garis air meteorik di wilayah Indonesia.
Berdasarkan atas hal tersebut, ada kemungkinan bahwa
persamaan garis meteorik lokal di daerah penelitian memang
berbeda atau telah mengalami penyimpangan dengan garis
meteorik lokal di wilayah Indonesia secara umum. Menurut
Mazor (2004) salah satu penyebab bertambah beratnya
Sistem Akuifer Kars Waekabubak, Sumba Barat, Berdasarkan Analisis
Densitas Kelurusan Morfologi dan Variasi Spasial Hidrogeokimia
kandungan isotop stabil adalah adanya proses
evaporasi. Hal tersebut sangat mungkin terjadi di
daerah penelitian, mengingat wilayah Pulau Sumba
beriklim kering dengan bulan basah sekitar empat
bulan dan bulan kering sekitar delapan bulan (BPS
Kabupaten Sumba Barat, 2014), sehingga tingkat
evaporasi relatif lebih besar.
Hasil pengeplotan isotop 18O dan 2H terhadap elevasi
tempat pengambilan percontoh air tanah (Gambar
10) memperlihatkan bahwa semakin tinggi elevasi,
kandungan isotop tersebut lebih ringan dibanding
dengan percontoh dari elevasi yang lebih rendah.
Berdasarkan atas karakter kelimpahan isotop 18O
dan 2H yang bervariasi terhadap elavasi, dapat
dilihat secara umum terdapat tiga kelompok
percontoh air tanah (Gambar 10).
Kelompok pertama adalah kelompok yang
memiliki kandungan isotop 18O dan 2H relatif
ringan, yaitu pada Mata air (Ma.) Karekanduku
(-5,42) dan Ma. Tanarara (-4,38) yang terletak
pada elevasi 470 – 500 mdpl. Mata air ini secara
geomorfologis terletak pada satuan perbukitan
kars.Kelompok kedua adalah kelompok yang
memiliki kandungan isotop 18O dan 2H sedang,
yaitu pada Ma. Weekelosawa (-3,87), Sumur Bor
(SB) Weekarou (-3,56), dan Sumur Gali (SG)
Komerda (-3,66). Percontoh tersebut diambil pada
satuan plato kars dan perbatasan antara satuan
perbukitan karsdengan satuan plato kars, pada
elevasi 395 – 435 mdpl. Mata air Weekelosawa
merupakan mata air terbesar di daerah penelitian
dengan debit sekitar 1.300 l/det. Sumur gali
komerda merupakan sumur gali yang berada pada
zona sesar, dan sumur bor Weekarou merupakan
Tabel1. Hasil analisis SI-CaCO3, PCO2, serta isotop 18O dan 2H percontoh air tanah di daerah penelitian
Elv.
Debit
mdpl
l/det.
DHL
H (0/00
VSMOW)
2
379
7.36
236.44 0.17
-1.31
0.4
313
7.05
241.30 -0.13
-1.04
-5.42
-34.80
769321 8942507 481
21
362
7.42
257.30 0.17
-1.35
-4.38
-32.60
Ma. Beluwawi
774442 8936125 454
8
364
7.09
264.95 -0.01
-1.04
5
Ma. Cewel
754616 8941848 497
10
418
7.06
312.23 0.08
-0.92
6
Ma. Tanggaba
753669 8948762 399
0.1
430
7.60
325.45 0.70
-1.41
7
Ma. Weekasoda
744771 8948389 453
158
316
7.24
236.44 0.00
-1.21
8
Ma. Weetanahrewa 752697 8944280 515
1.73
437
7.11
281.64 -0.08
-1.03
9
Ma. Waelabongga
748846 8947643 459
1.12
270
7.44
204.45 0.16
-1.46
-3.67
-37.60
10
Ma. Waikelosawa
756872 8938454 434
1300
400
7.27
239.91 0.19
-1.17
-3.87
-29.40
11
Ma. Weetobula
765139 8934627 411
0
491
7.40
308.06 0.38
-1.23
12
Ma. Komerda 1
764491 8934734 404
2.1
410
7.39
264.25 0.17
-1.31
-1.35
-24.40
13
Ma. Lokoroda
766963 8933321 446
0
601
7.31
334.49 -0.11
-1.15
14
Ma. Labareri
772442 8934759 391
60
394
7.66
284.42 0.58
-1.54
-2.32
-28.10
15
SG-Sobawawi
761671 8935485 427
495
7.39
287.20 0.33
-1.27
-2.35
-28.00
16
SG-Komerga
764733 8934864 407
456
7.26
282.33 0.14
-1.15
-3.66
-28.80
17
SB-P2AT
768349 8941433 506
506
7.33
303.19 -0.10
0.00
762128 8933032 418
520
7.36
362.30 0.15
-1.15
-3.56
-30.80
X
1
Ma. Mondomiah
754609 8938859 417
36
2
Ma. Karekanduku
765475 8946802 491
3
Ma. Tanarara
4
18
SB-Pasar
Weekarou
Y
(uS/
cm)
Log
PCO2
O (0/00
VSMOW)
HCO3(mg/l)
Nama Percontoh
SI-CaCO3
18
pH
No.
97
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 7 No. 2, Agustus 2016: 89 - 102
tanah yang bersifat lokal.
Interaksi antara air (H2O), udara (CO2),
dan batugamping (CaCO3) di daerah
penelitian dapat dilihat dari grafik
hubungan antara log Pco2 dengan SICaCO3 (Gambar 11). Grafik hubungan
antara log Pco2 dengan SI-CaCO3
menunjukkan bahwa semakin tinggi
Pco2, SI-CaCO3 semakin rendah dengan
tingkat korelasi R2 = 0,54. Hal tersebut
berhubungan dengan proses difusi CO2
ke dalam air yang akan menyebabkan
bertambahnya konsentrasi ion H+ yang
terbentuk akibat disosiasi H2CO3 sebagai
hasil reaksi antara CO2 dengan air (H2O),
sehingga air menjadi tidak jenuh terhadap
CaCO3 atau lebih agresif.
Gambar 10. Grafik hubungan kelimpahan isotop 18O
terhadap elevasi percontoh air.
sumur bor artesis (Setiawan dan Asgaf, 2015).
Kelompok ketiga adalah kelompok yang memiliki
kandungan isotop 18O dan 2H relatif berat, yaitu
pada Ma. Labreri (-2,32), Ma. Komerda (-1,35),
dan SG Sobawawi (-2,35). Percontoh tersebut
diambil pada satuan plato kars dan perbatasan
antara satuan perbukitan kars dengan satuan plato
kars, pada elevasi 390 – 430 mdpl.
Berdasarkan atas hal tersebut terlihat bahwa
kelompok pertama dan ketiga diinterpretasikan
air tanah berasal dari resapan yang
bersifat lokal. Pada kelompok
pertama, hal tersebut terjadi
mengingat daerah ini merupakan
daerah yang relatif tinggi. Menurut
Mazor (2004), ringannya kandungan
isotop stabil mengindikasikan relatif
lebih tingginya elevasi curah hujan
berlangsung. Sebaliknya, kelompok
ketiga dicirikan oleh beratnya
kandungan isotop yang elevasinya
relatif berada pada daerah yang
rendah. Kelompok kedua elevasinya
sama dengan kelompok ketiga,
tetapi memiliki kandungan isotop
yang menengah. Hal ini mungkin
karena adanya pencampuran antara
resapan air tanah dari daerah yang
lebih tinggi dengan resapan air
98
Analisis SI-CaCO3 menunjukkan bahwa
percontoh air memiliki kecenderungan
semakin tidak jenuh (agresif) seiring
dengan bertambahnya elevasi dengan tingkat
korelasi R2 = 0,524 (Gambar 12). Berdasarkan
grafik (Gambar 12) terlihat bahwa secara umum
ada tiga kelompok karakter kejenuhan air tanah
terhadap CaCO3 bila dilihat dari elevasi tempat
pengambilan percontoh air tanah.
Kelompok pertama adalah percontoh air tanah
yang diambil pada elevasi > 450 mdpl. Pada
umumnya bersifat agresif (tidak jenuh) hingga
mendekati setimbang terhadap proses pelarutan
Gambar 11. Grafik hubungan antara log PCO2 dengan SICaCO3 percontoh air tanah di daerah penelitian
Sistem Akuifer Kars Waekabubak, Sumba Barat, Berdasarkan Analisis
Densitas Kelurusan Morfologi dan Variasi Spasial Hidrogeokimia
dengan batugamping relatif lebih lama
yang berkaitan dengan jauhnya daerah
imbuhan air tanah pada daerah tersebut.
Jenuhnya air tanah pada kondisi ini
kemungkinan juga dapat disebabkan
oleh aliran air tanah melalui sistem
difusi dari zona epikars dan minimnya
aliran air tanah melalui jaringan rongga
(Ford and Williams, 1992).
Gambar 12. Grafik SI-CaCO3 terhadap elevasi pengambilan
percontoh air tanah i daerah penelitian.
mineral CaCO3 (SI-CaCO3 ≤ 0). Hal tersebut menunjukkan
bahwa kontak antara air dengan batugamping relatif singkat
yang berkaitan dengan dekatnya daerah imbuhan air tanahatau
daerah tersebut memiliki sistem jaringan rongga yang terbuka
(open system).
Kelompok kedua adalah percontoh air tanah yang diambil pada
elevasi > 450 mdpl., akan tetapi dalam keadaan jenuh hingga
mendekati setimbang terhadap mineral CaCO3 (SI-CaCO3 ≥
0). Hal tersebut berkaitan dengan lamanya tingkat interaksi
air dengan batuan yang kemungkinan disebabkan oleh aliran
lambat atau difusi. Kelompok ketiga yaitu percontoh air
tanah yang diambil pada elevasi 390 hingga 450 mdpl. Pada
umumnya bersifat jenuh terhadap mineral CaCO3 (SI-CaCO3>
0). Hal tersebut menunjukkan bahwa kontak antara air
Gambar 13. Grafik hubungan antara daya hantar listrik
(DHL) terhadap ion HCO3- percontoh air tanah daerah
penelitian.
Scatter plot daya hantar listrik (DHL)
dengan ion HCO3- saat kemarau
menunjukkan hubungan yang positif
dengan nilai korelasi R2= 0,707 (Gambar
13). Hubungan yang kuat tersebut
menunjukkan bahwa air tanah di daerah
penelitian dominan berasal dari aliran
difusi,baik pada akuifer dengan sistem
rekahan yang rapat maupun dari zona
epikars yang kemudian terakumulasi
pada jaringan rongga.
Daerah imbuhan dan lepasan air
tanah
Menurut Ford dan Williams (1992)
sistem akuifer kars secara hidrogeologis
dibatasi oleh daerah tangkapan air
dengan sistem aliran melalui kontrol
imbuhan dan lepasan air tanah. Mataair
kars merupakan bentuk lepasan air tanah
yang menggambarkan sistem pengaliran
bawah tanah yang berkembang pada
daerah kars. Sistem imbuhan dan lepasan
air tanah kars di daerah penelitian
dianalisis berdasarkan atas beberapa
hal, antara lain besaran debit mata air
kars, analisis kelurusan morfologi,
dan karakter hidrogeokimia berupa SICaCO3, Pco2, serta kandungan isotop
stabil 2H dan 18O.
Analisis hidroisotop dan hidrogeokimia
mengindikasikan bahwa imbuhan air
tanah terletak di atas elevasi 450 mdpl
dengan karakter ringannya kandungan
isotop stabil 18O, dan sebagian besar air
tanah dalam kondisi tidak jenuh hingga
setimbang terhadap CaCO3.Berdasarkan
atas karakter besaran debit, mata air
kars di daerah ini umumnya lebih kecil
dari 10 l/det. Daerah imbuhan utama
merupakan gabungan antara daerah
99
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 7 No. 2, Agustus 2016: 89 - 102
yangterletak di atas elevasi 450 mdpl dengan
daerah yang memiliki densitas kelurusan sedang
hingga tinggi (1,0-2,5/km2), yaitu pada satuan
perbukitan kars yang tersebar di sebelah utara,
timur, dan barat Satuan Plato Kars Waekabubak
(Gambar 14).
Daerah lepasan air tanah secara umum terbagi
menjadi dua tipe, yaitu yang bersifat lokal dan
bersifat regional. Daerah lepasan air tanah yang
bersifat lokal ditunjukkan oleh keterdapatan mata
air yang dikontrol oleh sistem imbuhan yang
berada relatif dekat dengan lokasi kemunculan
mata air tersebut. Daerah lepasan air tanah
regional beradasarkan atas karakter hidroisotop
dan hidrogeokimia terletak pada elevasi 390
–450 mdpl, dengan pelamparan hampir sama
dengan Satuan Plato Kars Waekabubak (Gambar
14). Air tanah pada daerah ini memiliki karakter
kandungan isotop 18O relatif sedang hingga berat,
dan memiliki waktu interaksi dengan batuan relatif
lebih lama (SI-CaCO3> 0). Menurut Setiawan
dan Asgaf (2015) daerah ini secara hidrolika juga
menunjukkan sebagai daerah lepasan air tanah,
yaitu terdapatnya permukaan air tanah artesis
(pisometrik) pada sumur bor di Pasar Weekarou dan
mata air artesis di Waekabubak (Ma. Komerda).
Berdasarkan atas karakter besaran debit, daerah ini
memiliki mata air permanen dengan debit terbesar
berada pada mata air Waekelosawa (±1.300 l/det.).
Gambar 14. Daerah imbuhan dan lepasan sistem akuiferkars Waekabubak dan sekitarnya.
100
Sistem Akuifer Kars Waekabubak, Sumba Barat, Berdasarkan Analisis
Densitas Kelurusan Morfologi dan Variasi Spasial Hidrogeokimia
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik
kelurusan morfologi, besaran debit mata air kars,
dan analisis hidrogeokimia berupa isotop stabil 18O
dan 2H, SI-CaCO3, serta Pco2 sangat membantu
dalam menganalisis sistem hidrogeologi kars
daerah penelitian. Analisis hidroisotop dan
hidrogeokimia mengindikasikan bahwa air tanah
di daerah penelitian pada musim kemarau dominan
berasal dari aliran difusi, baik melalui sistem
rekahan yang rapat maupun berasal dari zona
epikars. Pada elevasi di atas 450 mdpl, percontoh
air tanah memiliki karakter ringannya kandungan
isotop stabil 18O dan memiliki waktu interaksi
dengan batuan relatif lebih singkat (SI-CaCO3 ≤ 0).
Daerah ini memiliki mata air dengan besaran debit
umumnya lebih kecil dari 10 l/det. Daerah imbuhan
air tanah utama diinterpretasikan terletak pada
zona densitas kelurusan sedang hingga tinggi (1,02,5/km2). Air tanah pada elevasi 390 – 450 mdpl
memiliki karakter kandungan isotop 18O relatif
sedang hingga berat, dan memiliki waktu interaksi
dengan batuan relatif lebih lama (SI-CaCO3> 0).
Daerah ini memiliki mata air permanen dengan
debit terbesar ±1.300 l/det. dan dijumpai mata air
serta sumur bor artesis. Secara regional, daerah ini
merupakan daerah lepasan air tanah.
UCAPAN TERIMAKASIH
Dengan terbitnya makalah ini penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala
Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan yang
telah menfasilitasi kegiatan ini, serta rekan – rekan
Tim Survei Hidrogeologi Kars Sumba Barat atas
kerjasama selama di lapangan. Ucapan terimakasih
disampaikan pula kepada Dewan Redaksi yang
telah menerbitkan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, T. N., 2011. Pemisahan Aliran Dasar Bagian
Hulu Sungai Bribin pada Aliran Gua Gilap,
di Kars Gunung Sewu, Gunung Kidul,
Yogyakarta. Jurnal Geologi Indonesia, Vol.
6 No. 3, h. 165 – 175.
APHA, AWWA, 1999. Standard Methods for
The examination of Water and Wastewater
20th Edition 1998. Water Environment
Federation, USA.
BPS Kabupaten Sumba Barat, 2014. Sumba Barat
Dalam Angka 2014., Nusa Tenggara Timur.
Clark, I., dan Fritz, P., 1997. Environmental
Isotopes in Hydrogeology. Lewis Publishers,
NewYork.
Dagstan, 1999. Studi Asal Usul Air Rembesan/
Bocoran Waduk Jatiluhur, Wlingi, dan
Ngancar dengan Teknik Isotop Alam.
Laporan Akhir, DAGSTAN, Jakarta
Effendi, A.C. dan Apandi, T., 1993. Peta Geologi
Bersistem, Lembar Waikabubak dan
Waingapu, Pulau Sumba, Nusa Tenggara
Timur, Skala 1 : 250.000. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Domenico, P. A. dan Schwartz, F.W., 1990.
Physical and Chemical Hydrogeologi.John
Wiley & Sons, New York.
Fetter, C. W., 2001. Applied Hydrogeology.Fourth
Edition, Prentice Hall, New Jersey, 598 h.
Ford, D. C., dan Williams, P.W., 1992. Karst
Geomorphology and Hydrology.Chapman
& Hall, London.
Ford,
D. C., dan Williams, P.W., 2007.
KarstHydrogeology and Geomorphology.
John Wiley & Sons, Ltd., England.
Gillieson,
D.,
1996.Caves:
Processes,
Development, and Management. Blackwell,
Oxford.
IAEA, 1981. Stable Isotope Hydrology. Technical
Report Series No. 210, IAEA, Vienna.
Kehew, A. E., 2001. Applied Chemical
Hydrogeology. Prentice Hall, New Jersey.
Matthess, G., 1981. The Properties of Groundwater.
McGraw Hill.
Mazor, E., 2004. Chemical and Isotopic
Groundwater Hydrology. Third Edition,
Marcel Dekker, New York.
Meiser, P., Pfeiffer, D., Purbohadiwidjojo, M.,
dan Sukardi, 1965. Hydrogeological Map
of the Isle of Sumba, 1:250.000, Direktorat
Geologi, Bandung.
Parizek, R.P., 1976. On the nature and significance
of fracture traces and lineaments in carbonate
101
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 7 No. 2, Agustus 2016: 89 - 102
and other rerranes. Karst Hydrology and
Water Resources: Vol. 1 Karst Hydrology,
Water Resources Publications, Colorado,
h.47-108.
Setiawan, T. dan Asgaf, N.M.A., 2015. Kendali
Struktur Geologi Terhadap Keterdapatan Air
Tanah Kars di Pulau Sumba Bagian Barat.
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi,
Vol. 6 No. 2, Agustus 2015, h. 79-89.
Smart, P.L. dan Hobbes, S.L., 1986. Characteristics
of Carbonate Aquifers: A conceptual basis.
Proceedings, Environmental Problem in Kars
Terrains and Their Solution. Bowling Green,
KY: National Well Water Association, 1-4.
102
Soenarto, B., 2004. Identifikasi Keberadaan Air
Tanah dan Keluaran Air Daerah Kars di
Kabupaten Sumba Barat. Jurnal Penelitian
dan Pengembangan Pengairan. Vol. 18.No.
54.
van Zuidam, R. A., 1983. Guide to Geomorphologic
Areal Photographic Interpretation and
Mapping. Section of Geology and
Geomorphology, ITC, Enschede, The
Netherlands.
White, W.B., 1988. Geomorphology and Hydrology
of Karst Terrain. Oxford University Press,
New York.
Download