Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Teori Keagenan
Teori keagenan (agency theory) merupakan basis teori yang mendasari
praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari
sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Oleh karena
itu, teori ini telah digunakan oleh berbagai peneliti di bidang akuntansi, ekonomi,
keuangan, pemasaran, ilmu politik, perilaku organisasi, dan sosiologi. Prinsip
utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi
wewenang yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu
manajer.
Jensen dan Meckling (1976), mendefinisikan hubungan keagenan sebagai
berikut:
“We define an agency relationship as a contract under which one or more
persons (the principal(s)) engage another person (the agent) to perform
some service on their behalf which involves delegating some decision
making authority to the agent.”
Dalam konteks perusahaan dimana terdapat pemisahan antara pemilik
sebagai prinsipal dan manajer sebagai agen yang menjalankan perusahaan maka
akan muncul permasalahan agensi karena masing-masing pihak tersebut akan
selalu berusaha untuk memaksimalisasikan fungsi utilitasnya tersebut. Pada
dasarnya, antara prinsipal dan agen memiliki tujuan yang berbeda. Prinsipal
menginginkan return yang tinggi atas investasinya, sedangkan agen memiliki
kepentingan untuk mendapatkan kompensasi yang besar atas hasil kerjanya.
Perbedaan tujuan itulah yang menyebabkan terjadinya conflict of interest di antara
pihak agen dan prinsipal.
Hal ini juga disebabkan karena adanya asimetri informasi di antara kedua
belah pihak tersebut. Para agen memiliki informasi tentang operasi dan kinerja
perusahaan lebih banyak dibandingkan para prinsipal. Disinilah akuntansi
memegang peranan penting sebagai media penyampaian informasi mengenai
11
12
kinerja perusahaan. Informasi akuntansi disajikan dalam suatu laporan yang
disebut laporan keuangan.
Sesuai PSAK No. 1, tujuan laporan keuangan adalah memberikan
informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang
bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan
keputusan
ekonomi.
pertanggungjawaban
Laporan
manajemen
keuangan
atas
juga
penggunaan
menunjukkan
hasil
sumber
yang
daya
dipercayakan kepada mereka.
Dalam menyajikan laporan keuangan, prinsip akuntansi yang berlaku
umum (Generally Accepted Accounting Principles) memberikan fleksibilitas bagi
manajemen dalam menentukan metode maupun estimasi yang dapat digunakan.
Dengan adanya fleksibilitas tersebut, maka menajemen akan memiliki diskresi.
Perilaku manajemen tersebut dapat bersifat efisien, dimana diskresi tersebut
digunakan untuk meningkatkan nilai perusahaan dan dinilai positif oleh pasar.
Namun, dilain pihak diskresi tersebut dapat mengarahkan perilaku manajemen
menjadi oportunistik, dimana diskresi tersebut digunakan manajemen untuk
kepentingan yang menguntungkannya secara pribadi tetapi merugikan perusahaan
dan pemegang saham secara umum.
Perilaku manajemen yang bersifat oportunistik ini lebih jauh dapat
mendorong kemungkinan dilakukannya kecurangan (fraud) dalam pelaporan
keuangan. Untuk itu diperlukan pihak ketiga yang independen untuk menentukan
apakah informasi yang dicatat dalam laporan keuangan tersebut mencerminkan
dengan tepat peristiwa-peristiwa yang terjadi selama periode akuntansi sesuai
dengan kriteria-kriteria tertentu.
2.2
Statement of Auditing Standards (SAS) No. 99
Statement on Auiditing Standard (SAS) No. 99 – Consideration of Fraud in
a Financial Statement Audit disusun oleh American Certified of Public
Accountants (AICPA) yang diterbitkan pada bulan Desember 2002 oleh Auditing
Standards Board (ASB) menggantikan SAS No. 82 dengan judul yang sama. SAS
No. 99 ini merupakan Pernyataan Standar Audit signifikan yang pertama kali
13
diterbitkan setelah diundangkannya Sarbanes-Oxley Act. Pernyataan ini
menegaskan kembali tanggung jawab auditor yang telah dinyatakan dalam SAS
No. 1 – Codification of Auditing Standards and Procedures dan SAS No. 82,
yaitu:
“The auditor has a responsibility to plan and perform the audit to obtain
reasonable assurance about whether the financial statements are free of
material misstatement, whether caused by error or fraud.”
Pernyataan ini juga diadopsi dalam Standar Auditing (SA) yand
diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam Seksi 110, PSA No.
01 – Tanggung Jawab dan Fungsi Auditor Independen,
“Auditor bertanggung jawab dalam merencanakan dan melaksanakan audit
untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan
bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan
dan kecurangan."
2.2.1
Definisi Kekeliruan dan Kecurangan
SAS No. 99 membedakan antara dua jenis salah saji: kekeliruan (error)
dan kecurangan (fraud). Kedua jenis salah saji ini dapat material maupun tidak
material. Suatu kekeliruan (error) adalah salah saji dalam laporan keuangan yang
tidak disengaja, sementara kecurangan (fraud) adalah salah saji yang disengaja.
Dua contoh kekeliruan antara lain kesalahan perhitungan harga dikalikan dengan
kuantitas pada faktur penjualan dan salah melihat bahan baku yang lama dalam
menentukan nilai persediaan dengan yang terendah antara harga perolehan atau
harga pasar (Arrens et al., 2008:186).
PSA No. 25 tentang Risiko Audit dan Materialitas dalam Pelaksanaan
Audit menyatakan istilah kekeliruan berarti salah saji atau penghilangan yang
tidak disengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan. Kekeliruan
mencakup:
14
a. Kesalahan dalam pengumpulan atau pengolahan data yang menjadi
sumber penyusunan laporan keuangan.
b. Estimasi akuntansi yang tidak masuk akal yang timbul dari kecerobohan
atau salah tafsir fakta.
c. Kekeliruan dalam penerapan prinsip akuntansi yang berkaitan dengan
jumlah, klasifikasi, cara penyajian, atau pengungkapan.
Lebih lanjut dalam SA Seksi 312 tersebut dijelaskan bahwa kekeliruan
tidak mencakup dampak proses akuntansi yang dipakai untuk kenyamanan,
seperti penyelenggaraan catatan akuntansi dengan basis kas atau basis pajak dan
secara periodik dilakukan penyesuaian terhadap catatan tersebut untuk membuat
laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di
Indonesia.
Sedangkan kecurangan menurut Harrison et al., (2012:229) dalam buku
Akuntansi Keuangan,
“Kecurangan (fraud) merupakan misrepresentasi yang disengaja atas
fakta-fakta, yang dilakukan untuk tujuan membujuk pihak lainnya agar
bertindak dengan cara yang merugikan pihak bersangkutan.”
Selain definisi tersebut, banyak pakar dan organisasi profesi memberi
definisi fraud yang sedikit berbeda karena cara melakukan fraud juga berbeda,
sehingga definisi fraud juga berbeda. Meskipun demikian, Karyono (2013:2)
mengatakan, berbagai definisi fraud tersebut secara prinsip tidak berbeda. Definisi
fraud
menurutnya
lebih
ditekankan
pada
konsekuensi
hukum
seperti
penggelapam, pencurian dengan tipu muslihat penyalahgunaan wewenang,
kecurangan laporan keuangan, dan bentuk kecurangan lain yang dapat merugikan
orang lain dan menguntungkan pelakunya.
Berikut beberapa definisi mengenai fraud yang dikutip dalam Karyono
(2013:3-4) adalah sebagai berikut:
15
1. Black Law Dictionary, kamus hukum di Amerika Serikat:
“Fraud embracing all multi various means which human ingenuity can
devie and which are resorted to by one individual to get an advantage over
another by false suggestions or suppression of truth and included all
surprise, trick, cunning or dissembling and any unfair way by which
another is cheated.”
2. Association of Certified Fraud Examiner (ACFE), yang merupakan
asosiasi anti-fraud terbesar di dunia dalam Fraud Examiner Manual 2006:
“Fraud is an intentional untruth or dishonest scheme used to take
deliberate and unfair advantage of another person or group of person it
included any mean, such cheats another.”
3. W. Steve Albrecht dan Chad D. Albrecht dalam Fraud Examination:
“Fraud is a generic term, embracing all multi various means which human
ingenuity can device and which are resorted to by one individual to get an
advantage over another by false representation. No divinize and invariable
rule can be laid down as a general proposition in defining fraud, as it
included surprise trickery, cunning, and unfair ways by which another is
cheated. Theory boundaries defining is are those which limit human
knavery.”
Berdasarkan berbagai definisi tersebut, fraud dapat juga disederhanakan
sebagai kecurangan yang mengandung makna suatu penyimpangan dan perbuatan
melanggar hukum (illegal act), yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan
tertentu misalnya menipu atau memberikan gambaran keliru (mislead) kepada
pihak-pihak lain, yang dilakukan oleh perseorangan maupun kelompok baik dari
dalam maupun dari luar organisasi. Kecurangan dirancang untuk mendapatkan
keuntungan baik pribadi maupun kelompok yang memanfaatkan peluang-peluang
secara tidak jujur, yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan pihak
lain.
Dengan demikian unsur-unsur fraud adalah:
1. Adanya perbuatan melanggar hukum
16
2. Dilakukan oleh orang dalam dan dari luar organisasi
3. Untuk mendapatkan keuntungan, baik pribadi maupun kelompok
4. Langsung dan atau tidak langsung merugikan pihak lain
Oleh karena itu SAS No. 99 bertujuan untuk meningkatkan keefektifan
auditor dalam mendeteksi kecurangan. Secara garis besar komponen dari SAS No.
99 adalah:
1. Deskripsi dan karakteristik-karakteristik dari fraud.
2. Kecurigaan secara profesional (professional scepticism).
3. Diskusi di antara tim audit yang ditugaskan.
4. Mendapatkan informasi dan bukti audit.
5. Mengidentifikasi risiko-risiko.
6. Penilaian risiko-risiko yang telah diidentifikasikan.
7. Tanggapan terhadap penilaian risiko.
8. Mengevaluasi bukti dan informasi audit.
9. Mengkomunikasikan fraud yang mungkin terjadi.
10. Mendokumentasikan hal-hal yang berkaitan dengan fraud.
Dalam SAS No. 99 disebutkan salah satu pertimbangan penting yang
dilakukan auditor dalam mengungkap kecurangan adalah mengidentifikasi faktorfaktor yang meningkatkan kecurangan yang disebut faktor risiko kecurangan
(fraud risk factor). Faktor-faktor risiko ini lebiih jauh diklasifikasikan berdasarkan
tiga kondisi yang biasanya timbul pada saat terjadinya kecurangan. ketiga kondisi
ini disebut sebagai segitiga kecurangan (fraud triangle).
2.2.2
Fraud Triangle
Konsep
fraud
triangle
atau
segitiga
kecurangan
pertama
kali
diperkenalkan oleh Cressey (1953, dalam Tjahjono dkk., 2013:28). Melalu
serangkaian wawancara dengan 113 orang yang telah di hukum karena melakukan
penggelapan uang perusahaan yang disebut "trust violators" atau "pelanggaran
kepercayaan". Ilustrasi faktor resiko kecurangan dari standar kecurangan yang ada
17
(yakni SAS 99, ISA 240, TSAS 43), serta oleh Institut Akuntan Publik Indonesia
(IAPI) dalam Pernyataan Standar Akuntansi No. 70 didasarkan pada teori ini.
Gambar 2.1 Fraud Triangle
Insentif/Tekanan
Kesempatan
Sikap/Rasionalisasi
Sumber: Arrens et al., 2008, Auditing dan Jasa Assurance, hal. 433
Fraud triangle terdiri dari tiga kondisi yang umumnya hadir pada saat
fraud terjadi yaitu:
1.
Insentif/Tekanan (Incentive/pressure)
Tekanan adalah dorongan orang yang melakukan fraud. Tekanan
dapat mencakup hampir semua hal termasuk gaya hidup, tuntutan
ekonomi, dan lain-lain, termasuk hal keuangan dan non keuangan.
Dalam hal keuangan sebagai contoh dorongan untuk memiliki
barang-barang yang bersifat materi. Tekanan dalam hal non
keuangan juga dapat mendorong seseorang untuk melakukan fraud,
misalnya tindakan untuk menutupi kinerja yang buruk karena
tuntutan pekerjaan untuk mendapatkan hasil yang baik.
2.
Peluang (Opportunity)
18
Peluang adalah keadaan yang memungkinkan terjadinya fraud. Para
pelaku fraud percaya bahwa aktivitas mereka tidak akan terdeteksi.
Peluang dapat terjadi karena pengendalian internal yang lemah,
manajemen pengawasan yang kurang baik, dan atau melalui
penggunaan posisi. Kegagalan untuk menetapkan prosedur yang
memadai untuk mendeteksi aktivitas fraud juga meningkatkan
kesempatan terjadinya kecurangan. Dari tiga elemen dalam fraud
triangle, kesempatan memiliki kontrol yang paling atas. Organisasi
perlu untuk membangun sebuah proses, prosedur dan kontrol
membuat karyawan dalam posisi tidak dapat melakukan fraud dan
yang efektif dapat mendeteksi aktivitas kecurangan jika hal itu
terjadi.
3.
Sikap/Rasionalisasi (Attitude/Rationalization)
Rasionalisasi menjadi elemen penting dalam terjadinya fraud, di
mana pelaku mencari pembenaran atas perbuatannya. Bagi mereka
yang
umumnya
tidak
jujur,
mungkin
lebih
mudah
untuk
merasionalisasi penipuan. Bagi mereka dengan standar moral yang
lebih tinggi, itu mungkin tidak begitu mudah. Pelaku fraud selalu
mencari
pembenaran
secara
rasional
untuk
membenarkan
perbuatannya.
Melalui ketiga kondisi tersebut SAS No. 99 menjelaskan tentang faktor-faktor
risiko kecurangan beserta contohnya, yang berhubungan dengan salah saji yang
timbul dari laporan keuangan yang curang.
Tabel 2.1 Kategori, Definisi, dan Contoh Faktor Risiko Kecurangan dalam
SAS No.99 yang Berkaitan dengan Kecurangan Laporan Keuangan
Faktor Risiko
Kecurangan
TEKANAN
Kategori menurut SAS
No.99 beserta Definisinya
Stabilitas Keuangan
Keadaan yang
Contoh Faktor Risiko
Perusahaan mungkin
memanipulasi laba ketika
19
menggambarkan kondisi
keuangan perusahaan dalam
kondisi stabil.
Tekanan Eksternal
Tekanan yang berlebihan
bagi manajemen untuk
memenuhi persyaratan atau
harapan dari pihak ketiga.
Kebutuhan Keuangan
Individu
Suatu keadaan di mana
keuangan perusahaan turut
dipengaruhi oleh kebutuhan
keuangan para eksekutif
perusahaan.
Target Keuangan Tekanan
berlebihan pada manajemen
untuk mencapai target
keuangan yang dipatok oleh
direksi atau manajemen.
PELUANG
Kondisi Industri Berkaitan
dengan munculnya risiko
bagi perusahaan yang
berkecimpung dalam
industri yang melibatkan
estimasi dan pertimbangan
yang signifikan jauh lebih
besar.
Ketidakefektifan
Pengawasan Keadaan di
mana perusahaan tidak
memiliki unit pengawas
yang efektif memantau
kinerja perusahaan.
stabilitas keuangan atau
profitabilitasnya terancam
oleh kondisi ekonomi.
Ketika perusahaan
menghadapi adanya tren
tingkat ekspektasi para
analis investasi, tekanan
untuk
memberikan kinerja terbaik
bagi investor dan kreditor
yang signifikan bagi
perusahaan atau pihak
eksternal lainnya.
Kepentingan keuangan oleh
manajemen yang signifikan
dalam entitas, manajemen
memiliki bagian
kompensasi yang signifikan
yang bergantung pada
pencapaian target agresif
untuk harga saham, hasil
operasi, posisi keuangan,
atau arus kas manajemen,
atau bahkan menjaminkan
harta pribadi untuk utang
entitas.
Perusahaan mungkin
memanipulasi laba untuk
memenuhi prakiraan atau
tolok ukur para analis
seperti laba tahun
sebelumnya.
Penilaian persediaan
mengandung risiko salah
saji yang lebih besar bagi
perusahaan yang
persediaannya tersebar di
banyak lokasi. Risiko salah
saji persediaan ini semakin
meningkat jika persediaan
itu menjadi usang.
Adanya dominasi
manajemen oleh satu orang
atau kelompok kecil, tanpa
kontrol kompensasi, tidak
efektifnya pengawasan
dewan direksi dan komite
audit atas proses pelaporan
20
keuangan dan pengendalian
internal dan sejenisnya.
Struktur Organisasional
Struktur organisasi yang
kompleks dan tidak stabil.
RASIONALISASI
Rasionalisasi
Sikap/rasionalisasi anggota
dewan, manajemen, atau
karyawan yang
memungkinkan mereka
untuk terlibat dalam
dan/atau membenarkan
kecurangan pelaporan
keuangan.
Struktur organisasi yang
terlalu kompleks,
perputaran personil
perusahaan seperti senior
manajer atau direksi yang
tinggi.
Jika CEO atau manajer
puncak lainnya sangat tidak
peduli pada proses
pelaporan keuangan, seperti
terus mengeluarkan
prakiraan yang terlalu
optimistik, pelaporan
keuangan yang curang lebih
mungkin terjadi.
Sumber: Skousen et., al., 2009
2.2.2.1 Financial Stability
Dalam SAS No.99, financial stability atau stabilitas keuangan merupakan
keadaan yang menggambarkan kondisi keuangan perusahaan dari kondisi stabil.
Sedangkan stabilitas dalam perusahaan menurut Munawir (1995:33) adalah:
“Kemampuan perusahaan untuk melakukan usahanya dengan stabil, yang
diukur dengan mempertimbangkan kemampuan perusahaan untuk
membayar beban bunga atas hutang-hutangnya dan akhirnya membayar
kembali hutang-hutang tersebut tepat pada waktunya, serta kemampuan
perusahaan untuk membayar deviden secara teratur kepada para pemegang
saham tanpa mengalami hambatan atau krisis keuangan.”
Gambaran kondisi keuangan perusahaan yang stabil secara sederhana
dapat dilihat dari pertumbuhan finansialnya baik dari tingkat pertumbuhan aset,
penjualan, mapun pertumbuhan laba perusahaan dari tahun ke tahun. Oleh karena
itu stabilitas keuangan juga sering digunakan sebagai ukuran prestasi perusahaan,
sehingga dapat menjadi dasar untuk pengambilan keputusan ekonomi (Skousen et.
al., 2009).
21
2.2.2.2 External Pressure
SAS No. 99 menyebutkan bahwa yang dimaksud tekanan eksternal
(external pressure) adalah tekanan berlebihan yang terjadi pada manajemen untuk
memenuhi persyaratan atau harapan dari pihak ketiga. Selain manajemen sebagai
pihak internal pemakai informasi akuntansi, terdapat pihak luar atau eksternal
yang juga pihak yang berkepentingan terhadap informasi akuntansi, tetapi
kelompok ini tidak mempunyai akses terhadap pengambilan keputusan untuk
memengaruhi aktivitas operasi perusahaan. Termasuk kelompok ini adalah
(Syamrin, 2011:12):
1. Pemegang saham, atau pemilik. Pemilik berkepentingan untuk
mengetahui perkembangan ekuitas mereka dalam perusahaan, atau
estimasi perolehan bagian keuntungan yang akan diterima dalam
bentuk dividen atas tiap lembar saham yang dimilikinya.
2. Pemerintah. Pemerintah juga berkepentingan terhadap laporan
keuangan. Misalnya Direktorat Jendral Pajak berkepentingan untuk
menentukan jumlah pajak terutang.
3. Investor. Investor bisa berupa penyandang dana untuk membiayai
proyek tertentu. Investor mengharapkan keuntungan dari proyek
investasinya.
4. Kreditor. Serupa dengan invetor, kreditor merupakan penyandang dana
perusahaan,
tetapi
didasari
penjanjian
utang-piutang.
Kreditor
berkepentingan untuk mengetahui kemampuan perusahaan untuk
membayar bunga dan melunasi pokok pinjaman.
5. Individu pegawai dan serikat pekerja. Bagai pegawai, informasi
keuangan dapat digunakan untuk mengetahui kewajaran hak-hak yang
diperolehnya dari perusahaan tempat mereka bekerja.
6. Masyarakat luas. Masyarakat luas berkepentingan untuk mengetahui
hak-hak masyarakat terhadap keberadaan perusahaan di mana
perusahaan berdiri. Perusahaan-perusahaan besar biasanya memiliki
departemen pengembangan masyarakat (community department) untuk
22
melayani kepentingan sosial kemasyarakatan berkaitan dengan dampak
keberadaan perusahaan terhadap masyarakat sekitarnya
Ekspektasi atau pengharapan-pengharapan pihak-pihak eksternal terhadap
manajemen perusahaan tentunya memberikan dampak bagi perusahaan. Kreditor
misalnya, mereka memiliki klaim atas sebagian arus laba perusahaan untuk
pembayaran bunga dan pokok utang. Saat akan meminjamkan dana, kreditor akan
memperhitungkan tingkat risiko dan ekspektasi sehubungan dengan penilaian
kemampuan perusahaan untuk membayar bunga dan pokok pinjaman tersebut
(Brigham & Houston, 2006:30). Hal ini tentunya memberikan tekanan bagi
manajemen untuk memenuhi harapan dari kreditor.
2.2.2.3 Personal Financial Need
SAS No. 99 mendefinisikan kebutuhan keuangan individu (personal
fnancial need) adalah suatu keadaan di mana keuangan perusahaan turut
dipengaruhi oleh kebutuhan keuangan para eksekutif perusahaan. Kondisi ini
terjadi apabila terdapat kepentingan keuangan oleh manajemen yang signifikan
dalam entitas, manajemen memiliki bagian kompensasi yang signifikan yang
bergantung pada pencapaian target agresif untuk harga saham, hasil operasi, posisi
keuangan, atau arus kas manajemen, atau bahkan menjaminkan harta pribadi
untuk utang entitas.
Dalam teori keagenan para manajer mungkin memiliki tujuan-tujuan
pribadi yang bersaing dengan tujuan memaksimalkan kekayaan pemegang saham.
Namun, Brigham & Houston (2006:21) mengatakan bahwa, para manajer dapat
didorong untuk bertindak demi kepentingan utama dari pemegang saham melalui
insentif-insentif yang memberikan imbalan atas setiap kinerja yang baik atau
hukuman untuk kinerja yang buruk. Beberapa mekanisme spesifik yang
digunakan untuk memotivasi para manajer untuk bertindak sesuai dengan
kepentingan pemegang saham antara lain:
1. Kompensasi manajerial
2. Intervensi langsung oleh pemegang saham
3. Ancaman pemecatan
23
4. Ancaman pengambil alihan
Dalam kompensasi manajerial, kepemilikan saham oleh orang dalam
dianggap dapat mengatasi permasalahan agensi yang selama ini sering terjadi,
sebab dengan adanya kepemilikan saham oleh orang dalam ini akan
menyejajarkan kepentingan manajemen dan pemegang saham. Kepentingan dari
prinsipal adalah memperoleh dividen setinggi-tingginya yang dapat dilihat dari
perolehan laba yang dihasilkan perusahaan, sedangkan kepentingan dari
manajemen adalah mendapatkan kompensasi yang besar atas hasil kerjanya.
2.2.2.4 Financial Target
Setiap entitas atau perusahaan pasti memiliki target atau sasaran yang
hendak dicapai. Menurut Robbins & Coulter (2004:176),
“Sasaran adalah hasil yang diinginkan untuk individu, kelompok, dan
seluruh organisasikeuangan yang ingin dicapai.”
Pada umumnya ada dua jenis sasaran yang ditetapkan oleh perusahaan
yaitu sasaran keuangan dan sasaran strategis.
Tabel 2.2 Sasaran yang Diterapkan Perusahaan
Sasaran Keuangan
-
-
Sasaran Strategis
Pertumbuhan pendapatan yang
-
Pangsa pasar yang lebih besar
lebih cepat
-
Peringkat dalam industri yang
Pertumbuhan perolehan (laba)
lebih tinggi dan lebih aman
yang lebih cepat
-
Mutu produk yang lebih tinggi
-
Deviden yang lebih tinggi
-
Biaya
-
Margin laba yang lebih luas
dibandingkan
-
Pengembalian atas modal yang
utama
dinvestasikan yang lebih tinggi
-
-
Peringkat obligasi dan kredit
yang lebih tinggi
yang
lebih
rendah
para
pesaing
Lini produk yang lebih luas atau
lebih menarik
-
Reputasi yang lebih kuat dimata
24
-
Arus kas (cash flow) yang lebih
pelanggan
besar
-
Layanan pelanggan yang unggul
-
Harga saham yang meningkat
-
Pengakuan sebagai pemimpin di
-
Pengakuan sebagai perusahaan
bidang
“Blue chip”
inovasi produk
-
-
Basis pendapatan yang lebih
-
teknologi
Kemampuan yang meningkat
beragam
untuk
Laba yang lebih stabil selama
international
periode resesi
-
dan/atau
bersaing
Peluang
di
pertumbuhan
pasar
yang
lebih luas
Sumber: Robbins & Coulter, 2004, Management hal.177
2.2.3 Taksonomi Kecurangan (Fraud Taxonomy/Fraud Tree)
Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) melakukan fraud
taxonomy atau yang lebih dikenal fraud tree untuk mempermudah penggolongan
fraud. Fraud tree ini telah teruji digunakan sebagai acuan organisasi profesi lain
seperti American Institute of Certified Public Accountant (AICPA), Institute of
Internal Auditors (IIA), dan Information Systems Audit and Control Association
(ISACA). Penggolongan dan jenis-jenis fraud dapat dilihat secara jelas pada
gambar berikut ini.
25
Gambar 2.3
Fraud Tree
Sumber: ACFE, 2012, Report To The Nations, page 7
2.2.3.1 Korupsi
ACFE membagi korupsi (corruption) dalam empat bagian pokok, yaitu
benturan kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), pemberian ilegal
26
(illegal gratuities), dan perluasan ekonomi (economic extortion). Skema korupsi
didefinisikan oleh ACFE (2012) sebagai berikut:
“Corruption schemes, in which an employee misuses his or her influence
in a business transaction in a way that violates his or her duty to the
employer in order to gain a direct or indirect benefit.”
Penyuapan didefinisikan sebagai menawarkan, memberi, menerima
sesuatu yang berharga untuk memengaruhi keputusan resmi yang diambil.
Penyuapan tidak hanya berlaku di sektor pemerintahan tetapi juga di sektor
swasta. Pemberian ilegal hampir sama dengan penyuapan, tetapi dalam sekema ini
pemberian dilakukan bukan untuk memengaruhi keputusan melainkan sebagai
hadiah atas keputusan yang diambil. Apabila dalam skema suap dan pemberian
ilegal yang berperan adalah orang lain di luar pelaku fraud, namun dalam skema
perluasan ekonomi berlaku sebaliknya.
2.1.3.2 Penyalahgunaan Aset
Skema penyalahgunaan aset (asset misappropriation) didefinisikan
menurut ACFE (2012) sebagai berikut:
“Asset misappropriation schemes, in which an employee steals or misisues
the organization’s resources.”
Menurut Arens, et al., (2008:186) penyalahgunaan (misappropriation) aset
adalah kecurangan yang melibatkan pencurian aset entitas. Istilah penyalahgunaan
aset biasanya digunakan untuk mengacu pada pencurian yang melibatkan pegawai
dan orang lain dalam organisasi. Penyalahgunaan aset biasanya dilakukan pada
tingkat hierarki organisai yang lebih rendah.
Beberapa fraud yang termasuk dalam penyalahgunaan aset, antara lain:
1. Cash fraud
27
Cash fraud atau kejahatan dengan melibatkan kas (uang) dibedakan
menjadi dua, yaitu skimming dan lancerny. Skimming adalah pemindahan
kas dari organisasi korban sebelum dimasukkan ke dalam sistem akuntansi
organisasi. Karena sifatnya ini, skimming dikenal sebagai skema off-book
frauds. Skema off-book fraud adalah skema fraud yang paling sulit
dibuktikan oleh auditor karena tidak meninggalkan jejak audit. Hal ini
disebabkan pelaku mencuri atau menggelapkan kas sebelum sempat
dicatat dalm pembukuan atau akuntansi organisasi. Skimming biasanya
dibagi lagi menjadi beberapa kategori, antara lain:
a. Penjualan yang tidak tercatat (unrecorded sales)
b. Penjualan dan piutang yang di bawah nilai (understated sales and
receivables)
c. Pencurian cek (theft of checks)
d. Receivable skimming
e. Checks tampering
f. Billing schema
g. Payroll and expenses reimbursement fraud
h. Expenses reimbursement fraud
2. Ghost employee
Ghost employee mengacu pada seseorang yang masuk dalam sistem
penggajian yang sesungguhnya tidak bekerja atau tidak ada di perusahaan
korban fraud. Metode ghost employee sangat jarang dilakukan tanpa ada
kolusi antara bagian penggajian dan bagian lain.
3. Asset requisitions and transfers fraud
Asset requisitions and transfers fraud biasanya dilakukan ketika
perusahaan memiliki beberapa lokasi gudang yang terpisah dimana antara
gudang yang satu dan gudang yang lain terpisah jaraknya. Persediaan atau
aset fisik dapat dicuri dengan alibi pemindahan aset ke gudang lain
4. Purchasing and receiving schema
Purchasing and receiving schema biasanya dilakukan dalam pembelian
barang yang tidak diperlukan hanya untuk mengejar bonus dari supplier
28
5. False shipment
False shipment dibuat untuk menutupi pencurian yang dilakukan dengan
menerbitkan nota pengiriman seakan-akan inventory dan aset lainnya yang
dicuri itu dijual.
2.2.3.3 Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud)
Definisi kecurangan laporan keuangan menurut ACFE (2012) dalam
Report to The Nations on Occapational Fraud and Abuse, adalah:
“Financial statement fraud schemes, in which an employee intentionally
causes a misstatement or omission of material information in the
organization’s financial reports.”
Secara lebih spesifik Rezaee (2005) mendefinisikan kecurangan laporan keuangan
sebagai berikut:
“Financial statement fraud is a deliberate attempt by corporations to
deceive or mislead users of published financial statements, especially
investors and creditors, by preparing and disseminating materially
misstated financial statements”.
Menurut Tjahjono dkk. (2013:103), kecurangan laporan keuangan
didefinisikan sebagai kesalahan yang disengaja, pengaburan fakta-fakta material,
atau akuntansi yang menyesatkan dan dapat memengaruhi atau mengubah
keputusan dan penilaian pembaca setelah mempertimbangkan fakta-fakta salah
yang disajikan. Kecurangan laporan keuangan dilakukan dengan menyajikan
laporan keuangan lebih baik dari sebenarnya (overstatement) dan lebih buruk dari
sebenarnya (understatement).
Laporan keuangan overstated dilakukan dengan melaporkan aset dan
pendapatan lebih besar dari yang sebenarnya. Kecurangan ini bertujuan:
1. Meninggikan nilai kekayaan untuk mendapatkan keuntungan melalui
penjualan saham, karena nilainya naik.
29
2. Untuk mendapatkan sumber pembiayaan atau memperoleh persyaratan
yang lebih menguntungkan, dalam kaitannya untuk kredit perbankan atau
kredit lembaga keuangan lain.
3. Untuk menggambarkan rentabilitas atau perolehan laba yang lebih baik.
4. Untuk menutupi ketidakmampuan dalam menghasilkan uang/kas.
5. Untuk menghilangkan persepsi negatif pasar.
6. Untuk memperoleh penghargaan/bonus karena kinerja perubahan baik.
Cara-cara untuk mewujudkan jenis kecurangan tersebut di atas, antara lain
dengan memasukkan dalam laporan keuangan:
a. Penghasilan/pendapatan fiktif (fictious revenue).
b. Penilaian akhir atas aset tidak tepat.
c. Menyembunyikan kewajiban (concealed liabilities).
d. Mencatat aktiva passiva pendapatan dan biaya pada periode akuntansi
yang tidak tepat (timing deference). Biaya pendapatan tahun berjalan
digeser ke tahun sebelumnya atau sesudahnya. Sebaliknya, pendapatan
tahun lalu digeser je tahun berjalan dan pendapatan tahun yang akan
datang digeser ke tahun berjalan.
e. Menyembunyikan biaya antara lain dengan mengkapitalisasi biaya.
f. Pengungkapan laporan keuangan yang tidak tepat (improper disclosures)
seperti tidak diungkapkannya kewajiban bersyarat (contingence liabilities)
atau kejadian-kejadian penting yang berpengaruh negatuf terhadap pos-pos
laporan keuangan. Kejadian penting yang seharusnya diungkap antara lain:

Perusahaan pada tahun buku yang dilaporkan dalam laporan
keuangan terlibat perkara di pengadilan yang apabila nanti kalah
terkena kewajiban yang sangat material.

Lokasi usaha (misalnya berupa pabrik) terkena ketentuan tata kota
sehingga pabrik harus dipindah/ditutup.

Penilaian aset tidak tepat (inproper aset valuation) yaitu penilaian
yang tidak sesuai prinsip akuntansi yang diterima umum dengan
30
sengaja agar laporan keuangan tampak lebih baik dari yang
sebenarnya.
Pada sisi lain, kecurangan laporan keuangan dilakukan untuk menekan laba
(revenue understatement) dalam rangka menghindari atau memperkecil
pengenaan pajak penghasilan badan.
Menurut Karyono (2013:98) dalam bukunya Forensic Fraud, pendeteksian
atas kecurangan laporan keuangan antara lain dilakukan dengan membandingkan
hasil analisis atas laporan tersebut dengan laporan periode sebelumnya,
Perbandingan tersebut dapat juga berupa perbandingan data keuangan. Deteksi
atas kecurangan laporan keuangan antara lain dengan melakukan:
1. Analisis Vertikal
Merupakan analisis antara item-item laporan Keuangan (neraca, Laporan
Laba-Rugi, dan laporan Arus Kas) dan membandingkan nya dengan tahun
lalu dan digambarkan dalam perentase. Bila hasilnya terjadi perbedaan
yang tidak wajar menunjukkan adanya tanda-tanda fraud.
2. Analisis Horizontal
Merupakan analisis perubahan item-item Laporan Keuangan selama
beberapa periode pelaporan yang digambarkan dalam persentase. Bila
hasil analisisnya terjadi perbedaan mencook, menunjukkan adanya gejala
atau tanda-tanda kecurangan (fraud).
3. Analisis Rasio
Merupakan analisis dengan membandingkan item-item dalam laporan
keuangan.
2.2.4 Pengaruh Financial Stability, External Pressure, Personal Financial
Need, dan Financial Target terhadap Kecurangan Laporan Keuangan.
Financial Stability, Eksternal Pressure, Personal Financial Need, dan
Financial Target merupakan faktor-faktor risiko kecurangan laporan keuangan
yang disebutkan dalam SAS No. 99 yang termasuk dalam faktor risiko tekanan.
Faktor-faktor tersebut dijelaskan oleh SAS No.99 dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya kecurangn laporan keuangan. Lebih lanjut SAS No.99
31
menjelaskan tentang contoh-contoh atau kondisi yang menandakan kemungkinan
terjadinya kecurangan berkaitan dengan faktor-faktor risiko tersebut.
2.2.4.1 Pengaruh Financial Stability terhadap Kecurangan Laporan
Keuangan
Menurut SAS No. 99, ketika stabilitas keuangan (financial stability)
terancam oleh keadaan ekonomi, industri, dan situasi entitas yang beroperasi,
manajer menghadapi tekanan untuk melakukan financial statement fraud. Lebih
lanjut SAS No. 99 menyebutkan beberapa indikasi yang mengidentifikasikan
terancamnya kestabilan keuangan perusahaan adalah:
1. Tingginya kompetisi atau kejenuhan pasar, diikuti oleh penurunan
keuntungan.
2. Tingginya kerentanan terhadap perubahan yang cepat, seperti
perubahan teknologi, keusangan produkm atau tingkat suku bunga.
3. Permintaan
konsumen
yang
menurun
secara
signifikan
dan
meningkatnya kegagalan bisnis dalam industri atau ekonomi secara
keseluruhan.
4. Kerugian operasi yang mengancam kebangkrutan, penyitaan, atau
pengambilalihan.
5. Arus kas dari aktivitas operasi negatif yang berulang-ulang atau
ketidakmampuan untuk menghasilkan kas dari aktivitas operasi ketika
melaporkan pendapatan.
6. Kebijakan akuntansi, undang-undang, atau peraturan yang baru.
Skousen et al., (2009) memproksikan stabilitas keuangan dengan tingkat
perubahan atau pertumbuhan aset perusahaan. Aset adalah sumber daya ekonomi
yang dikendalikan oleh entitas yang diharapkan akan menghasilkan manfaat
ekonomi di masa mendatang bagi entitas. Aset merupakan cerminan kekayaan
perusahaan yang dapat menunjukkan outlook dari suatu perusahaan. Sebuah
perusahaan dikatakan besar atau kecil dapat dilihat dari total asetnya. Semakin
banyak aset yang dimiliki, maka perusahaan itu termasuk perusahaan yang besar
dan memiliki citra yang baik. Hal tersebut tentunya menjadi daya tarik bagi para
32
investor, kreditur, maupun pengambil keputusan lainnya. Sebaliknya, apabila
tingkat perubahan aset perusahaan semakin kecil atau bahkan negatif, maka hal
tersebut menandakan bahwa kondisi keuangan perusahaan tidak stabil dan
dianggap tidak mampu beroperasi dengan baik.
Manajemen seringkali mendapat tekanan untuk menunjukkan bahwa
perusahaan itu telah mampu mengelola aset dengan baik sehingga laba yang
dihasilkannya pun juga banyak dan nanti pada akhirnya akan meningkatkan bonus
yang diterimanya dan akan menghasilkan return yang tinggi pula untuk para
investor. Karena alasan itulah, manajemen memanfaatkan laporan keuangan
sebagai alat untuk menutupi kondisi stabilitas keuangan yang buruk dengan
melakukan fraud.
2.2.4.2
Pengaruh External Pressure terhadap Kecurangan Laporan
Keuangan
SAS No. 99 mengatakan, saat tekanan yang berlebihan dari pihak
eksternal terjadi, terdapat risiko kecurangan terhadap laporan keuangan. Beberapa
contoh kondisi ini dapat dilihat dari:
1. Tingkat profitabilitas atau ekspektasi yang tinggi dari para analisis
investasi, lembaga-lembaga investasi, kreditor yang berpengaruh, atau
pihak eksternal lainnya (khususnya ekspektasi-ekspektasi yang agresif
atau tidak realistik), termasuk ekspektasi yang dibuat oleh manajemen
terlalu optimis dalam siaran pres atau laporan keuangan.
2. Perusahaan sedang membutuhkan tambahan utang atau pendanaan
modal untuk dapat tetap kompetitif, termasuk untuk pendanaan
penelitian dan pengembangan yang besar.
3. Kemampuan untuk memenuhi persyaratan di bursa atau persyaratan
peminjaman atau pembayaran hutang.
Kemampuan
perusahaan
untuk
memenuhi
peryaratan
di
bursa,
mendapatkan pinjaman atau membayar utang telah diakui sebagai sumber terbesar
dari tekanan eksternal. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh beberapa peneliti seperti Vermeer (2003), Press dan Weintrop (1990), De
33
Angelo et al., (1994) (dalam Skousen et al., 2009), bahwa pada perusahaan yang
memiliki tingkat utang yang tinggi sering diikuti oleh kenaikan komponen akrual
yang berasal dari earning management.
Oleh karena itu, proksi leverage digunakan untuk mengukur tekanan
eksternal. Untuk mendapatkan pinjaman dari pihak eksternal, perusahaan harus
diyakini mampu untuk mengembalikan pinjaman yang telah diperolehnya.
Apabila perusahaan memiliki leverage yang tinggi, berarti perusahaan itu
memiliki hutang yang besar dan risiko kredit yang dimiliki juga tinggi. Karena
memiliki risiko kredit yang tinggi, maka terdapat kekhawatiram bahwa pada
nantinya perusahaan tidak mampu untuk mengembalikan pinjaman modal yang
diberikan. Oleh karena itu, perusahaan harus menyelamatkan diri dari kondisi
yang demikian agar tetap dianggap mampu untuk mengembalikan pinjaman.
Pada leverage ratio, Obeus (1990, dalam Hutomo, 2012) menyatakan
bahwa leverage yang lebih besar dapat dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih
besar untuk melakukan pelanggaran pada perjanjian kredit. Pernyataan tersebut
juga diperkuat oleh Lou dan Wang (2009) yang menyatakan bahwa ketika
perusahaan mengalami tekanan eksternal perusahaan, dapat diidentifikasi risiko
salah saji material yang lebih besar akibat kecurangan.
2.2.4.3 Pengaruh Personal Financial Need terhadap Kecurangan Laporan
Keuangan
Salah satu faktor risiko yang berhubungan dengan kecurangan dalam
laporan keuangan menurut SAS No.99 adalah kebutuhan keuangan individu.
Kondisi-kondisi berikut ini dapat memberikan informasi
yang menunjukan
keadaan kebutuhan keuangan pribadi manajemen atau jajaran direksi sangat
dipengaruhi oleh kondisi finansial perusahaan:
1. Kepentingan keuangan oleh manajemen yang signifikan
2. Manajemen memiliki bagian kompensasi yang signifikan yang
bergantung pada pencapaian target agresif untuk harga saham, hasil
operasi, posisi keuangan, atau arus kas manajemen
3. Menjaminkan harta pribadi untung utang entitas.
34
Salah satu cara untuk melihat kondisi-kondisi tersebut adalah dengan
melihat kepemilikan manajerial yang dapat diketahui dari ada tidaknya
kepemilikan saham oleh orang dalam. Dengan adanya sebagian saham yang
dimiliki oleh eksekutif perusahaan akan mempengaruhi kebijakan manajemen
yang dibuat dalam mengungkapkan kinerja keuangan perusahaan. Akibat dari
adanya kepemilikan ini, para manajer akan mendapat tekanan untuk lebih bersikap
hati-hati dalam menyajikan laporan keuangan dan lebih bersemangat dalam
meningkatkan nilai perusahaan serta dapat memotivasi manajer untuk bekerja
sesuai dengan kepentingan prinsipal. (Brigham dan Houston, 2006: 27).
2.2.4.4 Pengaruh Financial Target terhadap Kecurangan Laporan Keuangan
SAS No. 99 mengatakan risiko keberadaan tekanan berlebihan pada
manajemen untuk mencapai target keuangan yang dipatok oleh direksi atau
manajemen, termasuk tujuan-tujuan penerimaan insentif dari penjualan maupun
keuntungan. Skousen et al., (2009) mengatakan bahwa Return on Asset (ROA)
sering digunakan dalam menilai kinerja manajer dan dalam perhitungan bonusbonus, kenaikan gaji, dan sebagainya. Sehingga ROA merupakan proksi untuk
variabel target keuangan. ROA juga menunjukkan seberapa besar tingkat
pengembalian dari aset yang dimiliki perusahaan untuk mengetahui seberapa
efisien aset telah bekerja.
Apabila ROA menunjukkan hasil yang negatif dapat diartikan bahwa laba
perusahaan tersebut juga dalam kondisi negatif, yang berarti kemampuan dari
modal yang diinvestasikan secara keseluruhan aktiva belum mampu menghasilkan
laba. ROA aktual yang telah dicapai tahun sebelumnya akan digunakan
manajemen untuk menetapkan target keuangan tahun-tahun berikutnya. Jadi,
dapat dilihat apakah pada tahun sekarang ini laba yang dihasilkan sudah mencapai
target keuangan yang telah ditetapkan atau belum.
Agar dianggap mampu untuk mencapai target keuangan yang telah
ditetapkan sebelumnya manajemen akan berupaya untuk melakukan manipulasi,
misalnya dengan manipulasi laba. Summers dan Sweeney (1998, dalam Skousen
et al.,, 2009) melaporkan bahwa ROA antara fraud firm dan non-fraud firm secara
35
signifikan berbeda. Sehingga, dapat disimpulkan semakin rendah ROA, maka
perusahaan akan semakin rentan melakukan kecurangan laporan keuangan. Hal ini
juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Hutomo (2012), walaupun dalam
penelitiannya ROA tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kecurangan
laporan keuangan.
2.3 Penelitian Terdahulu
Lou dan Wang (2009) melakukan penelitian untuk menguji faktor risiko
dari fraud triangle pada ratusan perusahaan yang listing di Taiwan Stock
Exchange (TSE) dan Taiwan over-the-counter market (OTC) dari tahun 1996 –
2006. Beberapa proksi yang berpengaruh secara signifikan antara lain; analyst’s
forecast error (AFE), debt ratio (LEV), directors and supervisors’ stock pledged
ratio (PLEDGE), percentage of sales related party transaction (RPT%), historical
restate times (RST), and number of auditor switch (ΔCPA). Peneitiannya juga
membuktikan bahwa sebuah model logistik sederhana berdasarkan contoh faktor
risiko kecurangan ISA 240 dan SAS 99 dapat mengukur kemungkinan kecurangan
pelaporan keuangan dan dapat menguntungkan praktisi.
Skousen et al., (2009) melakukan penelitian secara empiris yang mengkaji
efektivitas teori Cressey (1953) mengenai kerangka faktor resiko kecurangan yang
diterapkan dalam SAS No.99 untuk mendeteksi kecurangan laporan keuangan.
Skousen et al., mengembangkan variabel yang berfungsi sebagai ukuran proksi
untuk tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi dan menguji variabel-variabel ini
menggunakan informasi umum yang tersedia. Skousen et al., (2009)
mengidentifikasi lima proksi tekanan dan dua proksi kesempatan yang secara
signifikan berhubungan dengan kecurangan.
Di Indonesia, Hutomo (2012) mencari faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi, sehingga kecurangan (fraud) dapat terdeteksi, serta seberapa besar
kemampuan rasio-rasio finansial yang terdiri dari likuiditas ratio (Cash ratio dan
quick ratio), leverage ratio (debt to total asset), activity ratio (receivable
turnover, inventory turnover), profitability ratio (gross profit margin, ROA, ROI),
share ratio (earning per share, price earning ratio) mampu mendeteksi
36
kecurangan dalam pelaporan keuangan. Ia juga meneliti apakah ada kemungkinan
perusahaan non-perbankan yang memiliki tren laba yang naik setiap tahunnya
berpotensi melakukan kecurangan dalam pelaporan keuangan. Hasil penelitiannya
menunjukkan hanya cash ratio dan ROI yang berpengaruh secara signifkan
terhadap kecurangan.
Kemudian Martantya (2013) juga mengadopsi penelitian Skousen et al.,
(2009) dengan menggunakan faktor risiko tekanan dan peluang pada perusahaan
di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hasilnya rasio leverage dan pertumbuhan aset
berpengaruh signifikan terhadap kecurangan laporan keuangan yang diproksikan
oleh earning management. Selain itu, banyaknya kasus kecurangan perbankan di
Indonesia juga melatar belakangi penelitian Kusumawardhani (2013) untuk
menggunakan fraud triangle dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan.
Penelitiannya untuk mengetahui apakah financial stability, personal financial
need, dan ineffective monitoring mempunyai pengaruh atau tidak terhadap
financial statement fraud dalam perusahaan perbankan yang terdaftar di bursa
efek Indonesia. Hasilnya adalah bahwa variabel financial stability, personel
financial need, dan ineffective monitoring berpengaruh terhadap earning
management.
Dari penelitian-penelitian di atas ditemukan bahwa fraud triangle sebagian
besar digunakan dalam mendeteksi kecurangan pada laporan keuangan. Beberapa
penelitian di atas juga membahas faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya
fraud. Baik faktor internal maupun eksternal perusahaan nyatanya mempengaruhi
terjadinya kecurangan pada laporan keuangan.
Oleh karena penelitian mengenai fraud triangle di Indonesia masih sedikit
dilakukan. Penelitian ini mencoba menguji pengaruh faktor risiko dari fraud
triangle terhadap kecurangan laporan keuangan yang diproksikan ke dalam rasiorasio keuangan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah objek
penelitian yang digunakan serta menggunakan sampel perusahaan non-fraud
untuk perbandingan sehingga dapat diketahui apakah terdapat perbedaan diantara
kedua kelompok tersebut
37
2.4 Kerangka Pemikiran
Tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi yang bermanfaat
bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan
ekonomi. Agar bermanfaat, informasi harus memiliki karakteristik kualitatif yang
diantaranya adalah keandalan. Keandalan yaitu kualitas informasi yang menjamin
bahwa informasi secara wajar bebas dari kesalahan dan bias dan secara jujur
menyajikan apa yang dimaksdu untuk dinyatakan (Hendriksen et al., 2006:140).
Namun, persaingan bisnis yang tajam dalam lingkungan yang semakin
sulit seperti terjadinya krisis finansial global, diperkirakan telah mempengaruhi
pelaku bisnis dalam berbagai aspek. Kondisi tersebut juga memotivasi para pelaku
bisnis untuk menyamarkan kondisi perusahaan yang mengalami masalah
keuangan. Tindakan yang dilakukan yakni dengan melakukan pendistorsian
terhadap informasi keuangan yang akan disampaikan kepada publik. Hal ini
dibuktikan dalam lebih dari dua dekade ini bahwa kejadian kecurangan laporan
keuangan telah meningkat secara substansial (Rezaee, 2005).
Dengan adanya kecurangan laporan keuangan tersebut, menyebabkan
informasi yang terkandung dalam laporan keuangan sudah tidak relevan lagi
untuk dijadikan acuan pengambilan keputusan. Tindak kecurangan tersebut pada
akhirnya akan merugikan pengguna laporan keuangan karena informasi yang
terkandung di dalamnya sangat menyesatkan. Oleh karena itu, sebagaimana
diungkapkan dalam SA Seksi 110, bahwa auditor bertanggung jawab untuk
merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai
tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan
oleh kekeliruan atau kecurangan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan memperoleh bukti empiris
apakah variabel yang diteliti berpengaruh terhadap kecurangan laporan keuangan
serta bagaimana hubungannya. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan
untuk mendeteksi kemungkinan erjadinya kecurangan laporan keuangan, sehingga
kecenderungan kecurangan laporan keuangan dapat dideteksi dini oleh pengguna.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan empat variabel independen
yang mengacu pada faktor risiko kecurangan yang telah diungkapkan oleh
38
Cressey (1953) yang diadopsi dalam SAS No.99 dan kemudian diproksikan ke
dalam rasio keuangan sebagaimana dipaparkan dalam penelitian Skousen et al.,
(2009).
Empat variabel independen tersebut terdiri dari stabilitas keuangan
(financial stability), kebutuhan keuangan personal (personal financial need),
tekanan eksternal (external pressure), dan target keuangan (financial target).
Menurut Sugiyono (2008:89), kerangka pemikiran merupakan sintesa
tentang hubungan antar variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah
dideskripsikan. Berdasarkan teori-teori yang telah dideskripsikan tersebut
selanjutnya dianalisis secara kritis dan sistematis, sehingga menghasilkan sintesa
tentang hubungan antar variabel yang diteliti. Sintesa tentang hubungan variabel
tersebut, selanjutnya digunakan untuk merumuskan hipotesis. Adapun hubungan
variabel-variabel dalam penelitian ini digambarkan dalam kerangka pemikiran
sebagai berikut:
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran
SAS No.99
Fraud Risk Factors
Proxies
Financial Statement
- Financial Stability
- External Pressure
- Financial Personal
Need
- Financial Target
- ACHA
- LEV
- OSHIP
(BAPEPAM Annual
- ROA
Report 2002-2006)
(AICPA, 2002)
(Skousen et
al., 2009)
Fraud
39
2.5 Hipotesis Penelitian
Menurut Sugiyono (2008:93) hipotesis merupakan jawaban sementara
terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara, karena jawaban yang
diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada faktafakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat
dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian.
Oleh karena itu, maka hipotesis penelitian dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
H1
: Terdapat perbedaan kondisi financial stability, personal financial need,
external pressure,dan financial target pada perusahaan yang melakukan
kecurangan laporan keuangan dengan perusahaan yang tidak melakukan
kecurangan.
H2
: Financial stability dengan proksi persentase perubahan aset (ACHA)
berpengaruh terhadap kecurangan laporan keuangan.
H3
: Personal financial need dengan proksi persentase kepemilikan saham
oleh orang dalam (OSHIP) berpengaruh terhadap kecurangan laporan
keuangan.
H4
: External pressure dengan proksi rasio leverage (LEV) berpengaruh
terhadap kecurangan laporan keuangan.
H5
: Financial target dengan proksi rasio return on asset (ROA)
berpengaruh terhadap kecurangan laporan keuangan.
H6
: Financial stability, personal financial need, external pressure,dan
financial target secara simultan berpengaruh terhadap kecurangan
laporan keuangan.
Download