1 BAB II KAJIAN PUSTAKA

advertisement
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kelas Ibu Hamil
Kelas ibu hamil merupakan suatu kegiatan belajar kelompok bagi ibu hamil
dalam bentuk tatap muka yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan ibu-ibu mengenai kehamilan, perawatan kehamilan, persalinan,
perawatan nifas, perawatan bayi baru lahir, mitos, penyakit, dan akta kelahiran.
Di dalam kelas ibu hamil akan menciptakan interaksi, diskusi dan pertukaran
pengalaman antara ibu hamil dengan ibu hamil dan antara ibu hamil dengan
petugas kesehatan/ bidan mengenai Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) (Kemenkes
RI, 2011).
Pendidikan dalam kelas ibu hamil (prenatal class) di negara asing
menunjukkan hasil positif dan telah berkembang menjadi standar kelas promosi
kesehatan di berbagai fasilitas kesehatan (Berman, 2006). Hasil penelitian
Redshaw & Henderson (2013) kelas ibu hamil mempersiapkan orang tua secara
emosional dan psikologis dalam menghadapi masa kehamilan, persalinan dan
pola asuh, sehingga mereka lebih percaya diri tentang peran mereka sebagai orang
tua nanti.
Hal ini didukung oleh penelitian Fletcher et al. (2004)
yang
mengevaluasi efektivitas kelas ibu hamil di wilayah New South Wales Australia
dan keberhasilan program dengan mengikutsertakan suami.
Program kelas ibu hamil telah dikembangkan di Indonesia dan sangatlah
penting untuk dilakukan oleh ibu hamil secara berkesinambungan (Kemenkes RI,
2011). Program kelas ibu hamil ini sangatlah bermanfaat, sejalan dengan hasil
penelitian Yanti (2013) yang mengevaluasi program kelas ibu hamil. Penelitian
yang dilakukan Purwarini (2012) menunjukkan bahwa pemberian intervensi
berupa kelas ibu hamil mampu meningkatkan sikap persalinan dan kehamilan,
pengetahuan persalinan dan kehamilan pada ibu hamil. Selain itu penelitian
Hastuti et al. (2011) menunjukkan bahwa kelas ibu hamil efektif meningkatkan
pengetahuan, sikap, ketrampilan dan meningkatkan tiga kali kunjungan Antenatal
Care (ANC) dibandingkan sebelum mengikuti kelas ibu hamil. Penelitian yang
dilakukan
Osninelli (2007) bahwa ibu yang mengikuti kelas ibu hamil
mempunyai kemungkinan 22 kali lebih besar bersalin di tenaga kesehatan
dibandingkan dengan ibu yang tidak mengikuti kelas ibu hamil.
Penyampaian materi kelas ibu hamil diberikan oleh fasilitator yaitu bidan
atau petugas kesehatan yang telah mendapat pelatihan fasilitator kelas ibu hamil.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009) telah memberikan pedoman
untuk petugas kesehatan/ fasilitator
mengenai materi-materi
yang diberikan
dalam kelas ibu hamil (lampiran 1). Pada penyampaian materi-materi bidang
tertentu mendatangkan narasumber sehingga mendukung pelaksanaan kelas ibu
hamil.
Pelaksanaan kelas ibu hamil seminggu sekali dengan sasaran sebaiknya
pada ibu hamil Umur Kehamilan (UK) empat s/d 36 minggu untuk mendapatkan
materi-materi kelas ibu hamil. Khusus pelaksanaan senam ibu hamil sebaiknya
peserta UK >20 minggu, karena pada umur kehamilan ini kondisi ibu sudah kuat
dan tidak takut terjadi keguguran serta efektif untuk melakukan senam hamil.
Jumlah peserta kelas ibu hamil maksimal sebanyak sepuluh orang setiap kelas
dan setiap akhir pertemuan dilakukan senam hamil untuk ibu hamil yang usia
kehamilan 20 minggu ke atas. Senam ibu hamil merupakan kegiatan tambahan di
kelas ibu hamil
yang diharapkan dapat mempraktekkan di rumah. Waktu
pertemuan disesuaikan dengan kesiapan ibu-ibu, bisa dilakukan pada pagi atau
sore dengan lama waktu pertemuan 120 menit termasuk senam hamil 15-20 menit
(Kemenkes RI, 2011).
2.2 Partisipasi
Partisipasi merupakan suatu keterlibatan masyarakat secara sukarela untuk
perubahan yang ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Selain itu partisipasi juga
diartikan sebagai keterlibatan masyarakat baik dalam upaya pembangunan
lingkungan, kehidupan, dan diri mereka sendiri (Suyatno, 2003). Partisipasi
merupakan suatu proses sosial masyarakat untuk dapat mengetahui kebutuhannya,
mengambil keputusan yang terbaik dan kemudian dapat memenuhi kebutuhannya
(Notoatmodjo, 2010)
Menurut Notoatmodjo (2007), diperlukan kontribusi atau sumbangan dari
setiap anggota masyarakat dalam partisipasinya. Kontribusi yang dimaksud tidak
hanya berupa dana dan finansial saja tetapi dapat juga berbentuk daya (tenaga)
dan ide (pemikiran) yang diwujudkan dalam 4 M terdiri dari manpower (tenaga),
money (uang), material (benda-benda) dan mind (ide atau gagasan).
Menurut Heller
dalam Notoatmodjo (2010), partisispasi memberikan
banyak manfaat antara lain untuk meningkatkan kualitas teknis dari pengambilan
keputusan, meningkatkan kenyamanan, meningkatkan komunikasi, memberikan
latihan kepada bawahan dan menfasilitasi perubahan. Menurut Cary dalam
Notoatmojo (2010), mengatakan bahwa ada tiga kondisi untuk menumbuhkan
partisipasi yaitu; 1)
Merdeka, untuk berpartisipasi yang berarti suatu keadaan
yang memungkinkan anggota masyarakat untuk berpartisipasi; 2) Mampu
berpartisipasi, dimana mereka memiliki kompetensi serta kapasitas untuk
berpartisipasi sehingga dapat berkontribusi untuk program; 3) Mau berpartisipasi
sesuai keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam program.
Menurut Ross dalam Notoatmodjo (2010), menyatakan ada 3 prakondisi
tumbuhnya partisipasi yaitu memiliki pengetahuan atau wawasan yang luas dan
latar belakang yang memadai sehingga mampu mengidentifikasi masalah,
memprioritaskan masalah dan melihat permasalahan secara komprehensif serta
memiliki kemampuan untuk belajar mengambil keputusan.
Masyarakat tergerak untuk berpartisipasi jika; 1) Memiliki rasa saling
percaya antara anggota di
masyarakat, maupun antara anggota masyarakat
dengan pihak petugas; 2) Memiliki kesempatan dan ajakan untuk berperan serta
dalam kegiatan atau program; 3) Memperoleh manfaat yang dapat dirasakan oleh
masyarakat; 4) Memiliki contoh dan keteladanan dari tokoh dan pemimpin
masyarakat (Notoatmodjo, 2010).
Dalam program pembangunan dibidang kesehatan bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat. Partisipasi merupakan
proses yang harus dikembangkan dalam setiap upaya program kesehatan. Banyak
program pembangunan yang kurang memperoleh antusias dan partisipasi
masyarakat karena kurangnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat
untuk berpartisipasi. Di lain pihak juga sering dirasakan kurangnya informasi
yang disampaikan kepada masyarakat mengenai kapan dan dalam bentuk apa
mereka dapat atau dituntut untuk berpartisipasi. Pemberian kesempatan
berpartisipasi pada masyarakat harus dilandasi oleh pemahaman bahwa
masyarakat setempat layak diberi kesempatan karena mereka juga punya hak
untuk berpartisipasi dan memanfaatkan setiap kesempatan meningkatkan kualitas
hidupnya (Notoatmodjo, 2010).
Bentuk partisipasi masyarakat untuk memecahkan masalah kesehatannya
mereka sendiri dengan ikut aktif memikirkan, merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi program–program kesehatan. Institusi kesehatan hanya sekedar
memotivasi dan membimbing (Notoatmodjo, 2007). Partisipasi
masyarakat
termasuk juga partisipasi ibu hamil. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
partisipasi adalah keikutsertaan atau kehadiran ibu hamil di Puskesmas yang
menyelenggarakan program kelas ibu hamil.
2.3 Karakteristik Ibu
2.3.1 Umur
Umur mempengaruhi proses reproduksi,
dimana
umur 20-35 tahun
merupakan masa yang aman untuk ibu hamil, karena rahim dan organ tubuh
lainnya sudah siap untuk bereproduksi serta siap untuk menjadi seorang ibu.
Apabila umur < 20 tahun rahim dan organ tubuh ibu lainnya belum siap untuk
berreproduksi, sedangkan
pada umur >35 tahun rahim ibu dan organ tubuh
lainnya menurunnya fungsi organ reproduksi sehingga ibu beresiko terjadi
persalinan lama, perdarahan dan cacat bawaan (Depkes RI, 2006).
Umur terlalu muda untuk hamil akan memicu resiko tinggi bagi ibu dan
anak ditinjau dari fisik dan psikis selama masa kehamilan, persalinan, nifas dan
perawatan bayi. Resiko tinggi juga dimiliki ibu hamil yang umurnya terlalu tua
yang ditandai dengan menurunnya fungsi reproduksi. Ibu yang umur terlalu muda
(<20 tahun) dan terlalu tua (>35 tahun) beresiko lebih besar mengalami
perdarahan sebelum lahir (Manuaba,1998).
2.3.2 Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu upaya meningkatkan sumber daya manusia
berkualitas yang dapat mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok dan
masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula tingkat
pengetahuannya. Tingginya tingkat pengetahuan akan mempengaruhi upaya
pencegahan dan kesadaran akan perlunya sikap untuk hidup sehat. Tingkat
pendidikan merupakan faktor predisposisi seseorang untuk berperilaku sehingga
latar belakang pendidikan merupakan faktor yang sangat mendasar untuk
memotivasi berperilaku kesehatan dan menjadi referensi belajar seseorang
(Notoadmodjo, 2007).
Pendidikan akan berpengaruh terhadap cara berfikir dalam pengambilan
keputusan seseorang untuk menggunakan pelayanan kesehatan, maka semakin
tinggi pendidikan ibu akan semakin baik pula pengetahuan kesehatan. Sedangkan
pendidikan rendah walaupun sudah ada sarana yang baik namun belum tentu
dipergunakan, hal ini disebabkan seseorang pendidikan rendah tidak peduli
terhadap program kesehatan sehingga tidak mengenal bahaya yang mungkin
terjadi (Martaadisoebrata, 2005).
Penelitian dari Simanjuntak (2003) bahwa ada hubungan antara kunjungan
antenatal K4 dengan tingkat pendidikan, tingkat pendidikan tinggi cenderung
untuk melakukan kunjungan antenatal 2,75 kali lebih besar dibandingkan yang
berpendidikan rendah. Sejalan dengan penelitian Osninelli (2007) bahwa
pendidikan ibu ada hubungan yang bermakna dengan persalinan tenaga kesehatan.
Ibu yang pendidikan tinggi kemungkinan 4,75 kali lebih besar bersalin di tenaga
kesehatan dibandingkan dengan ibu yang pendidikannya rendah.
Menurut Riskesdas (2013) bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka
semakin tinggi pula memilih penolong persalinan di fasilitas kesehatan, kelompok
ibu yang tidak bersekolah yang penolong persalinan di fasilitas kesehatan (46,7%)
dan kelompok ibu dengan tingkat pendidikan tamat perguruan tinggi memiliki
persentase tertinggi (80,4%) dari kelompok pendidikan yang penolong persalinan
di fasilitas kesehatan.
2.3.3 Status Bekerja
Bekerja merupakan aktivitas pokok yang dilakukan dengan rutin untuk
menunjang kebutuhan rumah tangga. Status pekerjaan akan memudahkan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan, ibu hamil tetap bekerja dan tidak merubah
pola bekerja sehari-hari. Ibu hamil kadang bekerja keras sampai hamil tua dan
setelah masa nifas kembali bekerja pada ibu yang merupakan tumpuan hidup di
keluarga miskin (Depkes RI, 2004). Penelitian Romlah (2009) bahwa terdapat
hubungan yang bermakna pekerjaan dengan perilaku ibu dalam merencanakan
persalinan dan pencegahan komplikasi sembilan kali berpeluang untuk
berperilaku positif dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Penelitian yang
dilakukan Simanjuntak (2003) bahwa kunjungan ANC K4 sesuai standar pada ibu
yang bekerja dan tidak bekerja hampir sama yaitu sekitar 50%.
2.3.4 Paritas
Paritas merupakan jumlah anak yang dilahirkan baik lahir hidup maupun
meninggal. Paritas lebih dari empat kali mempunyai resiko yang lebih besar unruk
terjadi perdarahan, demikian dengan ibu yang terlalu sering hamil menyebabkan
resiko untuk sakit, kematian dan juga anaknya (Depkes RI, 2008). Menurut
Sastrawinata (2004) paritas dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
a. Primipara adalah wanita yang telah melahirkan satu kali, seorang anak
cukup besar untuk hidup didunia luar.
b. Multipara adalah wanita yang telah melahirkan dua kali – empat kali, lebih
dari seorang anak yang cukup besar untuk hidup di dunia luar.
c. Grande multipara adalah wanita yang telah melahirkan lima kali atau lebih,
lebih dari 5 orang anak yang cukup besar untuk hidup di dunia luar.
Paritas merupakan faktor resiko komplikasi obstetric maka ibu hamil
dengan
paritas
tinggi
cenderung
mengalami
placenta
previa
sehingga
pertumbuhan endometrium kurang sempurna (Manuaba, 2008). Ibu yang baru
pertama kali hamil merupakan hal yang sangat baru sehingga termotivasi dalam
peningkatan kesehatan
kehamilannya,
sebaliknya ibu yang sudah pernah
melahirkan lebih dari satu orang mempunyai anggapan bahwa ia sudah
berpengalaman. (Wiknjosastro, 2005).
2.3.5 Penghasilan Keluarga
Penghasilan keluarga merupakan faktor pemungkin untuk seseorang
memanfaatkan pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Penelitian yang
dilakukan Simanjuntak (2003) bahwa responden yang berpenghasilan tinggi lebih
besar tiga kali untuk kunjungan antenatal K4 dibandingkan dengan responden
yang berpenghasilan rendah.
Penelitian Julianto (2009) bahwa ada hubungan signifikan antara
pendapatan keluarga dengan pemilihan penolong persalinan, dimana ibu bersalin
yang pendapatan keluarga rendah kemungkinan memilih dukun bayi empat kali
dibandingkan dengan ibu yang pendapatan keluarga tinggi.
2.3 Dukungan Sosial
Dukungan sosial didefinisikan sebagai pertukaran sumber daya yang terdiri
dari pemberi dan penerima dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan
penerima. Ciri-ciri bentuk dukungan sosial berkaitan dengan komposisi jaringan
sosial atau sumber-sumber dukungan, dimana karakteristik fungsionalnya ditandai
dengan penyediaan sumber daya tertentu atau jenis dari dukungan (Cohen et al.,
2000).
Dukungan sosial memiliki kekuatan sebagai pencegahan atau dapat
mendorong seseorang berperilaku sehat. Cohen dan Wills dalam Cohen et al
(2000) menganalisa beberapa teori yang mendukung hipotesis bahwa dukungan
sosial (social support) berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan. Dukungan
sosial adalah sumber daya yang diberikan orang lain. Dukungan sosial ini perlu
diperhatikan mulai dari masa anak-anak sampai dewasa. Dukungan dapat
memberikan perubahan perilaku dan karekteristik emosional, karena dapat
membuat orang untuk menghentikan sesuatu yang telah mereka lakukan atau
melakukan sesuatu yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya.
2.4.1 Bentuk Dukungan Sosial
Menurut Sarafino & Smith (2014) mengenai bentuk-bentuk dukungan
sosial meliputi;
1. Emosional yang dimaksud adalah rasa empati, cinta dan kepercayaan dari
orang lain terutama suami sebagai motivasi.
2. Informasional adalah dukungan yang bentuknya berupa informasi untuk
menambah pengetahuan seseorang dalam mencari jalan keluar atau
memecahkan masalah seperti nasehat atau pengarahan.
3. Instrumental menunjukkan ketersediaan sarana untuk memudahkan perilaku
menolong bagi orang yang menghadapi masalah dalam bentuk materi dan
berupa pemberian kesempatan dan peluang waktu.
4. Appraisal berupa pemberian penghargaan atau perilaku atas usaha yang
dilakukan, memberikan umpan balik mengenai hasil atau prestasi yang dicapai
serta memperkuat dan meninggikan harga diri dan kepercayaan akan
kemampuan individu tersebut.
2.4.2 Sumber Dukungan Sosial
Sumber dukungan sosial antara lain; pasangan, keluarga dan masyarakat.
Dukungan sosial yang paling dekat dengan ibu hamil adalah dari pasangannya
(suami). Dukungan (motivasi) atau dukungan suami berperan sangat besar dalam
menentukan status kesehatan ibu. Jika suami mengharapkan adanya kehamilan,
maka memperlihatkan dukungannya dalam berbagai hal akan mempengarhui ibu
menjadi lebih percaya diri, lebih bahagia, menunjukkan kesiapan dan lebih kuat
secara mental untuk menghadapi segala hal kehamilan, persalinan dan masa nifas.
Keterlibatan anggota keluarga atau orang terdekat dapat membantu terjadinya
perubahan untuk berperilaku ke arah hidup sehat dan mampu meningkatkan
kesadaran untuk berubah (Sarafino & Smith, 2014).
Dalam penelitian Mullany et al. (2007) dan Fatimah (2009) juga memiliki
pendapat yang serupa bahwa dukungan dari keluarga terutama suami dalam
mengikuti kelas ibu hamil sangat berpengaruh besar pada ibu hamil. Masyarakat
yang kurang pengetahuan tentang kelas ibu hamil cenderung tidak mendukung
kegiatan kelas ibu hamil dan masyarakat masih menganggap kelas ibu hamil itu
merupakan pekerjaan orang kesehatan saja, sehingga hal tersebut akan
mempengaruhi partisipasi ibu dalam kegiatan kelas ibu hamil.
Hasil dari beberapa penelitian tersebut juga sesuai dengan konsep yang
dinyatakan oleh Mullany et al., (2007) bahwa keluarga atau orang terdekat
merupakan perantara yang efektif dan mampu memberikan kemudahan seseorang
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena keluarga terutama suami juga
memiliki peran dalam menentukan keputusan untuk memelihara kesehatan para
anggota keluarganya.
Dukungan
dari suami
dan
hubungan yang baik dapat memberikan
kontribusi penting pada kesehatan ibu. Dukungan sosial yang dibutuhkan adalah
berupa dukungan secara emosional yang mendasari tindakan. Hal tersebut akan
membuat orang merasa diperhatikan, dicintai, dimuliakan dan dihargai. Menurut
Cohen dalam Sayem et al., (2011) bahwa dukungan secara psikologis yang
diterima seseorang meliputi; informasi, nasehat verbal dan non verbal, bantuan
nyata berupa kehadiran mereka sehingga berpengaruh terhadap emosional.
Dukungan sosial dapat berpengaruh terhadap penilaian individu dalam
memandang seberapa berat suatu peristiwa yang terjadi dalam hidupnya,
kemudian dapat mempengaruhi pilihan dalam upaya penanggulangan, serta
dukungan sosial juga dapat berdampak langsung terhadap perilaku kesehatan. Ibu
lebih mudah terpengaruh untuk melakukan perilaku kesehatan yang positip
manakala mereka mendapat dukungan yang memadai dibandingkan suami
(Montigny et al., 2006). Hal ini dibuktikan penelitian Nursito (2007) bahwa
partisipasi suami kemungkinan tiga kali lebih besar terhadap kepatuhan ibu
memeriksakan
kehamilannya
dibandingkan
dengan
suami
yang
tidak
berpartisipasi.
Beberapa penelitian tentang dukungan sosial suami antara lain hasil
penelitian Elsenbruch et al. (2007); Spoozak et al. (2010); Liu et al. (2013)
menyebutkan bahwa dukungan sosial suami sangat berhubungan positif dengan
kesehatan mental dan fisik ibu selama menjalani masa kehamilan dan persalinan.
Hasil penelitian Kungwimba et al. (2013) dan Negron et al. (2014) menunjukkan
bahwa dukungan sosial juga berperan penting selama masa nifas ibu dan
penelitian Feldman et al. (2000) menunjukkan dukungan sosial berpengaruh
terhadap perawatan bayinya. Dukungan sosial suami yang tinggi akan
berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam pemberian ASI eksklusif hal ini
dibuktikan oleh penelitian Rokhanawati (2009). Penelitian serupa mengenai
dukungan sosial suami pada hasil penelitian Rachmadahniar (2005) menunjukkan
bahwa dukungan sosial suami pada wanita dimana secara signifikan dukungan
sosial mempengaruhi emosi wanita dalam program skrining kanker leher rahim.
Terbukti bahwa dukungan sosial sangat tinggi dibutuhkan untuk menurunkan
beratnya beban psikologis seseorang karena dapat mengurangi stress dan dampak
negatif dari kejadian buruk yang dialami seseorang dalam hidupnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah segala bentuk
tindakan dan ucapan yang bersifat membantu dengan melibatkan emosi,
informasi, instrumentasi dan appresiasi (penilaian positip) pada individu dalam
menghadapi masalahnya. Dukungan suami yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah dukungan psikologis yang diberikan suami terhadap isteri baik secara fisik
maupun psikis dimana suami ada pada saat dibutuhkan dan dapat memberikan
bantuan secara psikologis baik berupa motivasi, perhatian, penerimaan atau
dengan cara mencurahkan segenap hati, perasaan dan pikiran dengan jujur sesuai
harapan ibu untuk lebih dicintai, diperhatikan dan dihargai.
Pendekatan baru dalam meningkatkan dukungan suami terhadap ibu
adalah mengikutsertakan mereka dalam setiap program upaya peningkatan
kehadiran ibu. Pada kenyataannya pria/ suami merupakan partner yang potensial
untuk mencapai tingkat kesehatan yang lebih baik. Minimal satu kali pertemuan
ibu hamil di damping suami/keluarga. Hal ini dimaksudkan agar kesehatan ibu
selama hamil, bersalin, nifas, termasuk kesehatan bayi yang baru dilahirkan dan
kebutuhan akan KB pasca persalinan menjadi perhatian dan tanggung jawab
seluruh keluarga (Kemenkes RI, 2011; Kemenkes RI, 2013). Salah satu peran
serta suami dalam kehadiran ibu melakukan
kelas ibu hamil yaitu dengan
memberikan motivasi kepada ibu berupa dukungan secara psikologis dan
dukungan nyata terhadap ibu agar dapat berpartisipasi dalam program kelas ibu
hamil (Mullany et al., 2007; Redshaw & Henderson, 2013).
2.5 Perilaku Kesehatan
Masalah kesehatan sangat erat kaitannya dengan perilaku kesehatannya
dalam pemeliharaan kesehatan yang mencakup mencegah atau menjauhkan diri
dari penyakit, meningkatkan derajat kesehatan dan mencari penyembuhan
(Notoatmodjo, 2010). Bentuk perilaku kesehatan dalam penelitian ini adalah
partisipasi ibu hamil dalam program kelas ibu hamil yang diwujudkan dengan
datang ke puskesmas yang terdapat kelas ibu hamil untuk mendapatkan materimateri penting terkait kehamilan.
Faktor–faktor yang dapat mempengaruhi keterampilan dan perilaku
kesehatan
menurut
teori
Lawrence
Green
dalam
Notoatmodjo
(2010)
mengidentifikasi tiga faktor utama perilaku kesehatan yaitu:
1. Faktor
predisposisi
(Predisposing
factors)
yaitu
faktor-faktor
yang
mempermudah untuk memberikan dasar rasional atau motivasi untuk
mempengaruhi prilaku individu maupun kelompok antara lain terwujud dalam
umur, tingkat pendidikan, mata pencaharian/ pekerjaan dan sebagainya.
2. Faktor pemungkin (Enabling factors) yaitu faktor-faktor yang memungkinkan
atau yang memfasilitasi seseorang untuk bertindak, diantaranya adanya sarana
dan prasarana atau fasilitas yang memungkinkan terjadinya perilaku
kesehatan. Pengetahuan dan sikap saja belum menjamin terjadinya perubahan
perilaku maka masih diperlukan sarana prasana seperti penghasilan/
pendapatan untuk dapat mengakses fasilitas kesehatan.
3. Faktor penguat (Reinforcing factors) yaitu faktor-faktor yang dapat memberi
pengaruh kuat untuk berkelanjutan dan kontribusinya terhadap penyebarluasan
materi kesehatan ibu hamil. Faktor ini juga yang menentukan apakah perilaku
kesehatan tersebut mendapatkan dukungan atau tidak dari orang-orang
terdekatnya atau kelompok referensi dari perilaku ibu, dalam hal ini dukungan
sosial dari suami. Tanpa adanya acuan dari orang terdekatnya seperti
dukungan sosial suami belum tentu ibu dapat berperilaku sehat sesuai
pengetahuan yang dimilikinya.
Menurut teori WHO dalam Notoadmodjo (2010) mengidentifikasikan prilaku
kesehatan seseorang berdasarkan beberapa alasan pokok yaitu:
1.
Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling) yang dapat menimbulkan
pertimbangan-pertimbangan pribadi seseorang terhadap sesuatu objek dan
perasaan yang merupakan langkah awal untuk berperilaku. Misalnya ibu
hamil memikirkan dan mempertimbangkan untung ruginya dan manfaatnya
kelas ibu hamil sebelum mengikuti kegiatan kelas ibu hamil.
2.
Memiliki acuan atau referensi dari seseorang yang dipercayai (personal
references) untuk merubah perilaku, pada umumnya adalah para tokoh
masyarakat setempat.
3.
Sumber daya (resources) yang tersedia merupakan faktor pendukung
terjadinya
perilaku
kesehatan
seseorang
atau
masyarakat.
Apabila
membandingkan teori Lawrence Green maka sumber daya ini sama dengan
faktor pemungkin (enabling factors) yaitu seperti ketersediaan sarana
prasarana atau fasilitas.
4.
Sosial budaya (culture) yang dianut oleh masyarakat setempat juga sangat
mempengaruhi terbentuknya perilaku seseorang. Faktor sosial budaya di
Indonesia yang berbeda-beda di setiap daerah merupakan bagian faktor
eksternal terbentuknya prilaku kesehatan seseorang.
-----
Download