analisis pengaruh equalization grant, sumber kemandirian fiskal

advertisement
ANALISIS PENGARUH EQUALIZATION GRANT, SUMBER
KEMANDIRIAN FISKAL, SUMBER PEMBIAYAAN DEFISIT,
DAN FAKTOR PENYERAP FASILITAS PUBLIK TERHADAP
BELANJA MODAL DAERAH
ABDUL AZIZ
Dr. RIRIN WULANDARI, S.E., M.M.
(Program Studi Akuntansi ABFI Institute PERBANAS)
Abstract
The purposes of this research is to obtain an empirical formulation on the
influence of independent variable that consist of Dana Alokasi Umum (DAU) as
equalization grant, Pendapatan Asli Daerah (PAD) as fiscal autonomy source,
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) as deficit financing source, and
population density as public facility absorbing factor to dependent variable
namely capital expenditure in Province Government of Republic of Indonesia.
Moreover, this research also aims to obtain empirical evidence on influence of
above variable based on previous research. The technique of data collection used
in this research is purposive sampling and the method of analyzing is multivariate
regression with data panel. The object of this research is 33 Province
Government for 2008 until 2012. The significant level of this research is 5%.
From the result of the test shows that DAU statistically doesn't affect
significant to capital expenditure because DAU had been used bit for capital
expenditure and more for operational expenditure. It is indicated that Province
operational budget still depended on Central Government. PAD statistically
doesn't affect significant to capital expenditure because mostly Province
Government allocate it for expanding their officials. It is indicated that Province
Government less productively use their PAD. SiLPA affect significant to capital
expenditure indicated that Province Government had used law facility effectively
to fund their lack of the capital financing. Population density statistically doesn't
affect significant to capital expenditure because inequality of population density
with fiscal capacity that they funded, so Province Government have to prioritize
their program based on their regions' characteristic.
Keywords: Dana Alokasi Umum, equalization grant, Pendapatan Asli Daerah,
fiscal autonomy source, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran, deficit financing
source, population density, public facility absorbing factor, capital expenditure.
1 2 Abstraksi
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh formulasi empiris tentang
pengaruh variabel bebas yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai
equalization grant, Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai sumber kemandirian
fiskal, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) sebagai sumber pembiayaan
defisit, dan kepadatan penduduk sebagai menyerap faktor fasilitas publik terhadap
belanja modal sebagai variabel terikat di Pemerintah Provinsi Republik Indonesia.
Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris
mengenai pengaruh variabel di atas didasarkan pada penelitian sebelumnya.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik sampling bertujuan
tertentu (purposive sampling) dengan menggunakan metode analisis regresi
berganda dengan data panel. Objek dari penelitian adalah 33 Provinsi dalam kurun
waktu 2008 sampai dengan 2012. Tingkat signifikansi dari penelitian ini adalah
5%.
Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa DAU secara statistik tidak
berpengaruh signifikan terhadap belanja modal karena DAU digunakan sedikit
untuk belanja modal dan lebih besar untuk belanja operasional. Hal ini
mengindikasikan bahwa dalam hal pendanaan rutin Pemerintah Provinsi masih
sangat tergantung dengan Pemerintah Pusat. PAD secara statistik tidak
berpengaruh signifikan terhadap belanja modal karena sebagian besar Pemerintah
Provinsi mengalokasikannya untuk menambah pegawai baru. Hal ini
mengindikasikan bahwa Pemerintah Provinsi kurang produktif dalam mengelola
dana PAD-nya. SiLPA berpengaruh signifikan terhadap belanja modal
mengindikasikan bahwa Pemerintah Provinsi telah menggunakan fasilitas
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah secara efektif untuk mendanai
kekurangan pembiayaan modal. Kepadatan penduduk secara statistik tidak
berpengaruh signifikan terhadap belanja modal karena ketidakmerataan kepadatan
penduduk dengan kapasitas fiskal daerahnya, sehingga Pemerintah Provinsi harus
memprioritaskan program mereka berdasarkan karakteristik wilayah mereka.
Kata kunci: Dana Alokasi Umum, equalization grant, Pendapatan Asli Daerah,
sumber kemandirian fiskal, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran, sumber
pembiayaan defisit, Kepadatan Penduduk, faktor penyerap fasilitas publik,
Belanja Modal.
3 I. LATAR BELAKANG
Era reformasi yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
22 tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 yang
direvisi dengan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan kekuatan
baru dalam otonomi Pemerintah Daerah. Otonomi daerah yang berlaku efektif
mulai 1 Januari 2001 mempunyai tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
pelayanan umum dan daya saing daerah.
Otonomi daerah menurut Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 merupakan
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, atau dengan kata lain mengubah bentuk
pemerintahan
dengan
struktur
tersentralisasi
menjadi
struktur
yang
terdesentralisasi.
Pelaksanaan otonomi daerah pada kabupaten dan kota ditandai dengan adanya
penyerahan sejumlah kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah
yang bersangkutan yang sesuai dengan prinsip desentralisasi. Desentralisasi
menurut Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut dipertegas lagi
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006
yang diperbarui menjadi Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 bahwa Pemerintah
Daerah yang menjadi daerah otonom memiliki kewenangan untuk menentukan
alokasi sumberdaya yang dimiliki untuk pos-pos belanja daerah dengan menganut
asas kepatuhan, kebutuhan, dan kemampuan daerah yang tertuang dalam anggaran
daerah.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, kewenangan yang diberikan kepada
Pemerintah Daerah diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kepada publik
melalui instrumen kebijakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
4 (APBD) yang menjadi dasar pengelolaan keuangan daerah. Peningkatan
pelayanan publik ini diharapkan mampu menarik kesempatan investasi suatu
daerah. Salah satu cara untuk mendukung peningkatan investasi suatu daerah
adalah dengan lebih meningkatkan belanja modal daerahnya.
Belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah daerah di antaranya
pembangunan dan perbaikan sektor pendidikan, kesehatan, dan transportasi
sehingga masyarakat juga menikmati manfaat dari pembangunan daerah. Belanja
modal yang dilakukan pemerintah daerah dapat meningkatkan perekonomian
daerah dan membuka kesempatan investasi melalui pembangunan infrastruktur
dan pemberian berbagai fasilitas kemudahan. Strategi alokasi anggaran
pembangunan ini pada gilirannya mampu mendorong dan mempercepat
pembangunan ekonomi nasional, sekaligus menjadi alat untuk mengurangi
disparitas regional. Oleh karena itu, anggaran belanja daerah akan tidak logis jika
proporsi anggarannya lebih banyak untuk belanja rutin (Abimanyu, 2005).
Desentralisasi fiskal di satu sisi memberikan kewenangan yang lebih besar
dalam pengelolaan keuangan daerah, tetapi di sisi lain memunculkan persoalan
baru dikarenakan tingkat kesiapan fiskal daerah yang berbeda-beda. Untuk
mengatasi persoalan ketimpangan ini, pemerintah memberikan transfer dana
dalam bentuk dana perimbangan. Dana Perimbangan menurut Undang-Undang
Nomor 33 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 terdiri dari
Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
(DAK). Komponen dana perimbangan yang paling memberikan kontribusi
terbesar adalah Dana Alokasi Umum (DAU), yaitu sekitar 67% dari total dana
perimbangan (LKPP, 2012). Pemberian transfer dana ini bertujuan untuk
mengurangi disparitas fiskal (equalization grant) serta agar daerah mempunyai
tingkat kesiapan fiskal yang relatif merata dalam mengimplementasikan otonomi
daerah.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah harus mampu
mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat agar daerah menjadi lebih
mandiri yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai sumber penerimaan daerah. PAD
5 merupakan indikator penting untuk mengukur tingkat kemandirian daerah melalui
penerimaan sektor pajak, retribusi, hasil kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain PAD yang sah. Peningkatan PAD dalam jumlah yang besar diharapkan
dapat meningkatkan penerimaan daerah, mengurangi atau bahkan menghilangkan
defisit anggaran yang menyebabkan adanya pembiayaan daerah, dan juga
mengurangi sumber penerimaan yang berasal dari Dana Perimbangan Pusat yang
berarti meningkatkan kemandirian daerah.
Dalam penyusunan APBD, penerimaan daerah tidak selalu sama dengan
belanja daerah yang mengakibatkan terjadinya defisit anggaran. Defisit anggaran
tersebut dapat ditutup dengan menggunakan pembiayaan defisit. Menurut
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sumber pembiayaan defisit berasal dari
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA), Dana Cadangan, Penjualan Kekayaan
Daerah yang Dipisahkan, dan Pinjaman Daerah. SiLPA
menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan
pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Anggaran negara yang
menganggur bisa dialokasikan untuk belanja yang memberikan nilai tambah dan
mampu menstimulasi laju pertumbuhan ekonomi nasional (Prasetyantoko, 2012).
Anggaran belanja modal didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan
prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk
fasilitas publik. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, salah
satu indikator untuk mengukur kebutuhan pendanaan dalam rangka melaksanakan
fungsi layanan dasar umum adalah jumlah penduduk dan luas wilayah. Daerah
dengan kepadatan penduduk yang tinggi akan membutuhkan sarana dan prasarana
yang lebih banyak sebagai konsekuensi logis atas kewajiban pelayanan kepada
publik, dan begitu pula sebaliknya daerah dengan kepadatan penduduk yang lebih
rendah akan membutuhkan sarana dan prasarana yang lebih sedikit.
Studi yang dilakukan oleh Putro (2010), Yovita (2011), dan Sulistyowati
(2011)
menyimpulkan
bahwa
sumber
pendapatan
daerah
berupa
dana
perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak, Dana Bagi Hasil Bukan
Pajak, dan Dana Alokasi Umum berasosiasi positif terhadap belanja modal,
6 sementara Dana Alokasi Khusus dan PAD tidak berasosiasi positif. Menurut
Ardhini (2011) SiLPA dalam hubungannya dengan belanja modal di
kabupaten/kota wilayah Jawa Tengah berasosiasi positif.
Studi pengaruh DAU, PAD, SiLPA dan luas wilayah terhadap belanja modal
secara korelatif telah dilakukan oleh Siswantoro dan Kusnandar (2012) dengan
hasil bahwa dalam tahun 2012 belanja modal tidak dipengaruhi positif oleh DAU,
tetapi dipengaruhi positif oleh PAD, SiLPA dan luas wilayah.
Penelitian ini melanjutkan penelitian sebelumnya dengan menambah unsur
time-series menjadi 5 tahun, menggunakan variabel Sisa Lebih Perhitungan
Anggaran, dan menambahkan variabel Kepadatan Penduduk. Bertolak dari uraian
di atas, penelitian ini bermaksud untuk menganalisis sejauh mana DAU, PAD,
SiLPA dan Kepadatan Penduduk berpengaruh pada Belanja Modal dalam periode
tahun 2008 sampai dengan 2012.
II. LANDASAN TEORI
II.1. Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, perimbangan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan suatu sistem
pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokrasi, transparan, dan efisien
dalam
rangka
pendanaan
penyelenggaraan
desentralisasi,
dengan
mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran
pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Dalam
menyelenggarakan
pemerintahannya,
sumber
pembiayaan
atas
kebijakan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah adalah dari APBD,
sedangkan sumber pembiayaan atas kebijakan yang menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat adalah dari APBN.
II.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu
instrumen yang memegang peranan penting dalam meningkatkan pelayanan
publik dan didalamnya tercermin kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan
potensi dan sumber-sumber kekayaan daerah. Menurut Undang-Undang Nomor
17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, APBD merupakan rencana keuangan
7 tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Menurut Mahmudi (2011) anggaran adalah blue print organisasi yang
dapat memberikan gambaran tentang pengalokasian dan sumberdaya yang
dimiliki suatu organisasi dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
II.3. Belanja Modal
Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang manfaatnya
melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan
selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan
pada kelompok belanja administrasi umum (Halim, 2004). Nordiawan (2006)
mengatakan bahwa belanja modal adalah belanja yang dilakukan pemerintah yang
menghasilkan aktiva tetap tertentu.
Berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 yang direvisi
menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan mengatur mengenai kelompok belanja modal adalah Belanja Modal
Tanah; Belanja Modal Peralatan dan Mesin; Belanja Modal Gedung dan
Bangunan; Belanja Modal Jalan, Irigasi, dan Jaringan; serta Belanja Modal Fisik
Lainnya.
II.4. Dana Alokasi Umum
Berdasarkan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004, DAU adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Berdasarkan pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengalokasian DAU bertujuan agar disparitas kapasitas fiskal
keuangan antardaerah lebih merata, sehingga konsep DAU yang dijalankan adalah
konsep DAU sebagai equalization grant.
Berdasarkan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004, porsi DAU ditetapkan
sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri
Neto yang ditetapkan dalam APBN. DAU bersifat block grant yang berarti
penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah sesuai dengan program dan
8 rencana kerja daerah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka desentralisasi.
II.5. Pendapatan Asli Daerah
PAD merupakan sumber murni penerimaan daerah yang digali dari potensi
sumber daya daerahnya. Pendapatan Asli Daerah bertujuan memberikan
kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi
daerah sesuai dengan karakteristik potensi sumber daya daerahnya. Menurut
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, PAD terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi
Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan Lain-lain PAD
yang sah.
PAD dapat dijadikan sebagai indikator dalam menilai tingkat kemandirian
suatu daerah dalam mengelola keuangan daerahnya. Semakin tinggi nilai
Pendapatan Asli Daerahnya berarti semakin tinggi sumber kemandirian fiskal
suatu daerah. Semakin tinggi sumber kemandirian fiskal suatu daerah, semakin
banyak kesempatan pembangunan sarana dan prasarana publik yang pada
akhirnya dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya pada daerah
tersebut, sehingga akan meningkatkan perekonomian daerah tersebut.
II.6. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, Sisa
Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) merupakan selisih lebih realisasi
penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA
tahun
anggaran
sebelumnya
mencakup
pelampauan
penerimaan
PAD,
pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain
pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan
belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum
terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.
Dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa SiLPA
merupakan salah satu sumber pembiayaan defisit selain dana cadangan, penjualan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pinjaman daerah apabila APBD
diperkirakan defisit.
9 II.7. Kepadatan Penduduk
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kebutuhan fiskal
daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi
layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan tersebut diukur dengan
menggunakan indikator tertentu yang di antaranya adalah jumlah penduduk dan
luas wilayah. Kedua indikator ini saling terkait dan secara bersama-sama
mempengaruhi formulasi kebutuhan pendanaan daerah. Pendanaan daerah akan
digunakan untuk memenuhi belanja langsung daerah yang salah satunya adalah
untuk belanja modal.
Dalam kaitannya dengan belanja modal, luas wilayah mempengaruhi besarnya
kebutuhan belanja modal untuk memenuhi sarana dan prasarana layanan publik.
Akan tetapi, daerah yang memiliki wilayah yang lebih kecil dengan jumlah
penduduk yang lebih banyak seharusnya mengalokasikan belanja modal yang
lebih banyak daripada wilayah yang lebih luas dengan jumlah penduduk yang
lebih sedikit. Untuk mengakomodasi faktor tersebut, diperlukan variabel bebas
lain yang lebih tepat yaitu variabel rasio perbandingan jumlah penduduk dengan
luas wilayah, atau rasio kepadatan penduduk (density).
II.8. Perumusan Hipotesis
a. Pengaruh DAU terhadap Belanja Modal
Pengalokasian DAU sejatinya bertujuan agar disparitas kapasitas fiskal
keuangan antardaerah lebih merata, sehingga konsep DAU yang dijalankan adalah
konsep DAU sebagai equalization grant. Penelitian yang dilakukan oleh Putro
(2010) dan Sulistyowati menunjukkan bahwa DAU sangat berpengaruh terhadap
Belanja Modal. Hal ini disebabkan karena adanya transfer DAU dari Pemerintah
Pusat, sehingga Pemerintah Daerah bisa mengalokasikan pendapatannya untuk
membiayai Belanja Modal (Putro, 2010). Oleh karena itu, hipotesis DAU terhadap
Belanja Modal adalah sebagai berikut.
H10: DAU tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Modal
H1a: DAU berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Modal.
10 b. Pengaruh PAD terhadap Belanja Modal
Sejalan dengan tujuan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, Pemerintah
Daerah sangat diharapkan memiliki sumber kemandirian fiskal yang lebih besar
dalam keuangan daerah. Oleh karena itu, peranan PAD sangat menentukan kinerja
dalam pengelolaan keuangan APBD. Penelitian yang dilakukan oleh Sulistyowati
(2011) dan Kusnandar dan Siswantoro (2012) memberikan bukti empiris bahwa
PAD mempengaruhi Pemerintah Daerah dalam pengalokasian belanja modal
tahun berikutnya. Menurut Mardiasmo (2002) peningkatan investasi modal
(belanja modal) diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik yang
pada gilirannya akan mampu meningkatkan tingkat partisipasi (kontribusi) publik
terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan PAD, sehingga
hipotesisnya adalah:
H20: PAD tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Modal
H2a: PAD berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Modal.
c. Pengaruh SiLPA terhadap Belanja Modal
Dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa SiLPA
merupakan salah satu sumber pembiayaan defisit selain dana cadangan, penjualan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pinjaman daerah apabila APBD
diperkirakan defisit. Penerimaan SiLPA tahun sebelumnya yang merupakan
penerimaan pembiayaan digunakan untuk menutupi defisit anggaran dalam
APBD. Penelitian yang dilakukan Ardhini (2011) menguatkan hal tersebut dengan
hasil penelitian SiLPA berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. Oleh karena
itu, hipotesisnya adalah:
H30: SiLPA tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Modal
H3a: SiLPA berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Modal.
d. Pengaruh Kepadatan Penduduk terhadap Belanja Modal
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa salah satu
indikator penentuan kebutuhan fiskal adalah jumlah penduduk dan luas wilayah.
Daerah dengan wilayah yang lebih padat penduduknya membutuhkan sarana dan
11 prasarana yang lebih banyak sebagai syarat untuk pelayanan kepada publik bila
dibandingkan dengan daerah yang kepadatan penduduknya yang lebih kecil.
Anasmen dalam thesisnya membuktikan bahwa belanja modal memiliki
korelasi positif dengan pertumbuhan Pendapatan Dosmestik Regional Bruto
(PDRB) dan jumlah penduduk secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan
PDRB. Kusnandar dan Siswantoro (2012) membuktikan bahwa belanja modal
dipengaruhi oleh luas wilayah. Oleh karena itu, hipotesis Kepadatan Penduduk
terhadap belanja modal adalah:
H40: Kepadatan Penduduk tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja
Modal
H4a: Kepadatan Penduduk berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja
Modal.
e. Pengaruh DAU, PAD, SiLPA dan Kepadatan Penduduk secara bersama-sama
terhadap Belanja Modal
Dari keseluruhan hasil hipotesis di atas, dapat disimpulkan bahwa DAU, PAD,
SiLPA dan Kepadatan Penduduk secara bersama-sama memiliki pengaruh
terhadap Belanja Modal.
H50: DAU, PAD, SiLPA dan Kepadatan Penduduk secara bersama-sama tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Modal
H5a: DAU, PAD, SiLPA dan Kepadatan Penduduk secara bersama-sama
berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Modal.
III. METODE PENELITIAN
III.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam uji regresi linier berganda adalah data dari 33
provinsi dalam periode 2008 sampai dengan 2012, sehingga data yang digunakan
merupakan gabungan antara data antarseksi (cross-section) dan data runtunwaktu
(time-series). Menurut Winarno (2011), gabungan dari data antarseksi (crosssection) dan data runtunwaktu (time-series) disebut sebagai data panel. Untuk itu,
analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda dengan data
panel.
12 Data Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Perhitungan
Anggaran dan Belanja Modal menggunakan data APBD dan Realisasi Anggaran
tahun 2008 sampai dengan 2012 yang bersumber dari Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan. Data jumlah penduduk
bersumber dari Badan Pusat Statistik dengan menggunakan data jumlah penduduk
Indonesia berdasarkan sensus terakhir tahun 2010, dan data luas wilayah
bersumber dari Kementerian Dalam Negeri sesuai dengan Permendagri nomor 18
tahun 2013.
III.2. Metode Analisis Regresi Linier Berganda
Penelitian ini terdiri dari 4 variabel bebas X1 (DAU), X2 (PAD), X3 (SiLPA),
dan X4 (Kepadatan Penduduk) dan 1 variabel terikat Y (Belanja Modal). Adapun
hubungan antarvariabel dalam penelitian ini dapat diformulakan dengan
persamaan regresi linier berganda sebagai berikut.
Yct = α + β1.X1ct + β2.X2ct + β3.X3ct + β4.X4 + e
Dimana:
α = konstanta;
βi = intersep/slope/koefisiean regresi
Yct = Belanja Modal;
X1ct = Dana Alokasi Umum
X2ct = Pendapatan Asli Daerah;
X3ct = Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
X4 = Kepadatan Penduduk;
t = periode
c = cross-section Provinsi
e = error
Penelitian ini menggunakan data panel, sehingga model regresi yang
digunakan adalah model regresi linier berganda dengan data panel. Terdapat tiga
model regresi linier berganda dengan data panel seperti yang disebutkan oleh
Nachrowi dan Usman (2006), yaitu model Common Effect, model Fixed Effect
dan model Random Effect.
IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
IV.1. Analisis Statistik Inferensial
Sebelum melakukan analisis dan serangkaian uji regresi data dan hipotesis,
langkah yang pertama dilakukan adalah menguji apakah data yang akan diuji
sudah memiliki persyaratan data yang baik untuk mengestimasi model regresi atau
sebagai Best Linear Unbiased Estimator (BLUE).
13 Berdasarkan uji normalitas awal dengan uji Kolmogorov-Smirnov, data tidak
terdistribusi dengan normal, sehingga perlu dilakukan normalisasi. Dengan
menggunakan pendekatan statistik nonparametrik dan observasi data, maka untuk
menormalkan distribusi nilai residual dilakukan transformasi semilog dengan
melogaritmanaturalkan (Ln) variabel terikat. Model log-lin tersebut sangat
berguna dan bermanfaat bila variabel X (variabel bebas) menyatakan tahun atau
unit waktu lain (Amaluddin, 2012). Selain itu, dilakukan juga penyisiran
(trimming) terhadap data yang memiliki nilai terlalu ekstrem (outliers), yakni data
panel untuk Provinsi DKI Jakarta tahun 2010 dan Kalimantan Timur tahun 2010
yang masing-masing memiliki nilai nol dan sebaran jangkauan yang besar.
Setelah data terdistribusi normal, jumlah data observasi menjadi 163 buah data
panel. Selanjutnya dilakukan uji heterokesdastisitas, uji multikolinearitas, dan uji
autokorelasi, dimana data yang normal tersebut telah memenuhi semua uji
tersebut.
Tabel 4.6
Tabel Statistik Deskriptif
X1
X2
X3
X4
Y
Ln Y
Valid N
(listwise)
N
Minimum
163
0
163 61855,62449
163
0
163
7,62927224
163 108996,10611
163
11,599067
Maximum
Mean
Std. Deviation
2093556,40898 652287,247119 312294,936167
22040801,0000 1786501,462345 2981372,23614
6470619,00000 584123,094534 943785,457494
14469,34082
606,5576
2234,489806
8784365,76042 720702,156177 1054931,75149
15,98848
13,037210 ,857189066599
163
Sumber: Hasil pengolahan dengan SPSS20
(Angka dalam jutaan Rupiah, kecuali Kepadatan Penduduk dalam jiwa/Km2)
IV.2. Analisis Regresi dengan Data Panel
Dalam analisis data panel tedapat tiga model yang digunakan yakni model
Common atau Pooled Least Squaress, Fixed Effect, dan Random Effect. Analisis
regresi dengan data panel mengharuskan dilakukan uji Chow, uji Hausman, dan
uji Lagrange Multiplier untuk menentukan model regresi data panel yang paling
sesuai dengan penelitian.
14 Tabel 4.9
Hasil Estimasi Model Regresi Data Panel Dengan Model Random Effect
Random-effects GLS regression
Group variable: pro
Number of obs
Number of groups
=
=
163
33
R-sq:
Obs per group: min =
avg =
max =
4
4.9
5
within = 0.2504
between = 0.4998
overall = 0.4472
Random effects u_i ~ Gaussian
corr(u_i, X)
= 0 (assumed)
ln_BM
Coef.
DAU
pad
silpa
kepadat
_cons
3.12e-07
4.51e-08
2.71e-07
.0000623
12.56433
sigma_u
sigma_e
rho
.54030573
.27495598
.79430096
Std. Err.
1.63e-07
2.74e-08
6.39e-08
.000048
.145073
Wald chi2(4)
Prob > chi2
z
1.91
1.64
4.25
1.30
86.61
P>|z|
0.056
0.100
0.000
0.194
0.000
=
=
74.28
0.0000
[95% Conf. Interval]
-7.82e-09
-8.65e-09
1.46e-07
-.0000318
12.27999
6.31e-07
9.89e-08
3.97e-07
.0001564
12.84866
(fraction of variance due to u_i)
Sumber: Hasil pengolahan dengan Stata 10
Dari hasil uji tersebut, model regresi data panel yang dapat mewakili seluruh
variabel dalam penelitian ini dan yang paling baik modelnya adalah model regresi
data panel dengan model Random Effect dengan persamaan sebagai berikut.
Yct = 12,56433+3,12*10-07*X1ct+4,51*10-08*X2ct+2,71*10-07*X3ct–6,23*10-05*X4+e
Dimana:
LnYct = Log n Belanja Modal;
X1ct = Dana Alokasi Umum
X2ct = Pendapatan Asli Daerah;
X3ct = Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
X4 = Kepadatan Penduduk;
t = periode
c = cross-section Provinsi
e = error
IV.3. Analisis Hasil Pengujian Hipotesis
Berdasarkan hasil uji F (uji Simultan) variabel bebas DAU, PAD, SiLPA dan
Kepadatan Penduduk berpengaruh secara signifikan terhadap variabel Belanja
Modal dengan nilai Wald Chi (F) bernilai sebesar 74,28 dan nilai probabilitasnya
0,0000 yang berarti sangat signifikan dengan alpha sebesar 5%.
Dari hasil output model Random Effect sebelumnya diperoleh nilai probabilitas
parsial z pada variabel DAU adalah 0,056 dengan besar koefisien untuk variabel
DAU adalah 3,12.e-07. Hal tersebut menunjukkan bahwa DAU berpengaruh
positif terhadap Belanja Modal, tetapi karena nilai probabilitas tersebut lebih dari
15 0,05, maka secara statistik disimpulkan bahwa variabel DAU tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel Belanja Modal. Dari hasil output model
Random Effect sebelumnya diperoleh bahwa nilai probabilitas parsial z pada
variabel PAD adalah 0,100 dengan besar koefisien untuk variabel PAD adalah
4,51.e-08. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kepadatan Penduduk berpengaruh
positif terhadap Belanja Modal, tetapi karena nilai probabilitas tersebut lebih dari
0,05, maka secara statistik disimpulkan bahwa variabel PAD tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel Belanja Modal.
Dari hasil output model Random Effect sebelumnya diperoleh bahwa nilai
probabilitas parsial z pada variabel SiLPA adalah 0,000. Nilai probabilitas
tersebut kurang dari 0,05 sehingga disimpulkan bahwa variabel SiLPA
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel Belanja Modal. Besarnya
koefisien untuk variabel SiLPA adalah 2,71.e-07 menunjukkan bahwa setiap
kenaikan SiLPA sebesar Rp1.000.000.000.000 akan menyebabkan kenaikan
pertumbuhan Belanja Modal sebesar 27,1% dengan fungsi semilog. Koefisien
tersebut juga bertanda positif sehingga dapat disimpulkan juga bahwa pengaruh
SiLPA terhadap Belanja Modal adalah positif atau berbanding lurus. Dalam
model
Random
Effect
yang
terbentuk,
variabel
Kepadatan
Penduduk
menghasilkan nilai probabilitas parsial z sebesar 0.194 dengan besarnya koefisien
untuk variabel Kepadatan Penduduk adalah 0,0000623. Hal tersebut menunjukkan
bahwa Kepadatan Penduduk berpengaruh positif terhadap Belanja Modal, tetapi
karena nilai probabilitas tersebut lebih dari 0,05, maka secara statistik
disimpulkan bahwa variabel Kepadatan Penduduk tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap variabel Belanja Modal.
Koefisien determinasi bernilai 44,72% yang menunjukkan bahwa sekitar
44,72% dari keragaman variabel terikat bisa diprediksi oleh variabel bebas, dan
sisanya sebesar 55,28% dijelaskan oleh faktor lain di luar model.
IV.4. Pembahasan
Secara parsial berdasarkan uji t, Dana Alokasi Umum tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap Belanja Modal. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Kusnandar dan Siswantoro (2012) yang menunjukkan bahwa DAU
16 parsial tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal. Namun, hasil tersebut
tidak sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Putro (2010)
bahwa Dana Alokasi Umum berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian
anggaran belanja modal, Yovita (2011) bahwa DAU berpengaruh signifikan
negatif terhadap Alokasi Belanja Modal, dan Sulistyowati (2011) bahwa Dana
Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap alokasi Belanja Modal. Hasil ini
tidak sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu mungkin disebabkan tidak
dimasukkannya variabel Kepadatan Penduduk yang sifatnya hampir statis sebagai
variabel bebas. Akan tetapi, hasil tersebut masih sejalan dengan Kusnandar dan
Siswantoro (2012) karena dalam penelitian yang terakhir memasukkan variabel
Luas Wilayah yang masih berkorelasi dengan Kepadatan Penduduk. Namun,
berdasarkan beberapa macam hasil telaahan, termasuk dari hasil Kusnandar dan
Siswantoro (2012) mengindikasikan bahwa DAU hanya sedikit yang digunakan
untuk Belanja Modal dan sebagian besar digunakan untuk fungsi belanja rutin,
seperti belanja pegawai. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam hal pendanaan
rutin Pemerintah Provinsi masih sangat tergantung dengan Pemerintah Pusat.
Secara parsial berdasarkan uji t, Pendapatan Asli Daerah tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap Belanja Modal. Hal tersebut sejalan dengan hasil
penelitian dari Putro (2010) yang menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah
tidak berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian anggaran belanja modal,
Yovita (2011) bahwa PAD tidak berpengaruh signifikan terhadap Alokasi Belanja
Modal, Ardhini (2011) bahwa tingkat kemandirian keuangan daerah yang dalam
hal ini termasuk komponen PAD tidak berpengaruh signifikan negatif terhadap
belanja modal. Akan tetapi, hasil penelitian tersebut tidak sejalan dengan hasil
penelitian dari Sulistyowati (2011) bahwa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
berpengaruh positif terhadap alokasi Belanja Modal, serta Kusnandar dan
Siswantoro (2012) yang menunjukkan bahwa Belanja Modal dipengaruhi oleh
PAD. Hasil ini berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya dimungkinkan
karena beberapa penelitian sebelumnya menggunakan data hanya untuk satu
tahun, sehingga tidak ada efek dari runtun waktu (time-series), sedangkan data
dalam penelitian ini menggunakan data panel dengan unsur time-series dan cross-
17 section. Selain itu, dimungkinkan juga karena tidak dimasukkan variabel
Kepadatan Penduduk dalam model penelitian sebelumnya. Dari hasil observasi,
banyak Pemerintah Provinsi merencanakan program jangka menengahnya untuk
peningkatan jumlah aparatur sipilnya, dalam hal ini penerimaan CPNS, sehingga
sebagian besar belanja kurang teralokasikan untuk Belanja Modal. Hal ini
mengindikasikan bahwa Pemerintah Provinsi kurang produktif dalam mengelola
dana PAD-nya.
Secara parsial berdasarkan uji t, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran berpengaruh
secara signifikan dengan korelasi positif terhadap Belanja Modal. Besarnya
koefisien untuk variabel SiLPA adalah 2,71.e-07 menunjukkan bahwa setiap
kenaikan SiLPA sebesar Rp1.000.000.000.000 akan menyebabkan kenaikan
pertumbuhan Belanja Modal sebesar 27,1% dengan fungsi semilog. Hal tersebut
sejalan dengan hasil penelitian dari Ardhini (2011) bahwa SiLPA berpengaruh
positif signifikan terhadap belanja modal, dan Kusnandar dan Siswantoro (2012)
yang menunjukkan bahwa Belanja Modal dipengaruhi oleh SiLPA.Hal ini
mengindikasikan bahwa Pemerintah Provinsi sudah menggunakan fasilitas yang
diberikan oleh undang-undang secara baik untuk meningkatkan pertumbuhan
Belanja Modal daerahnya yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan
perekonomian daerah.
Secara parsial berdasarkan uji t,Kepadatan Penduduk tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap Belanja Modal. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam
merealisasikan Belanja Modalnya, Pemerintah Provinsi tidak mempertimbangkan
aspek Kepadatan Penduduk. Padahal aspek Kepadatan Penduduk merupakan salah
satu aspek demografis penting yang harus diperhitungkan dalam mengelola
daerahnya apabila suatu daerah ingin mencapai Indeks Pembangunan Manusia
sebagai human capital yang pada akhirnya akan ikut berdampak meningkatkan
perekonomian daerah. Berdasarkan hasil observasi, Kepadatan Penduduk tidak
berpengaruh terhadap Belanja Modal disebabkan oleh tidak seimbangnya antara
tingkat kemerataan kepadatan penduduk dengan kapasitas fiskal keuangan
daerahnya, sehingga banyak Pemerintah Provinsi harus memprioritaskan program
pembangunannya, dalam hal ini Belanja Modalnya, tidak sesuai dengan
18 Kepadatan Penduduknya. Dampak jangka panjang apabila Kepadatan Penduduk
tidak dipertimbangkan adalah munculnya masalah sosial dalam masyarakat.
V. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN REKOMENDASI
V.1. Kesimpulan
Secara empiris statistik penelitian ini membuktikan bahwa besarnya Belanja
Modal dipengaruhi oleh DAU, PAD, SiLPA dan Kepadatan Penduduk secara
simultan. Secara parsial hanya SiLPA yang secara statistik berpengaruh signifikan
positif terhadap Belanja Modal, sedangkan DAU, PAD dan Kepadatan Penduduk
secara statistik tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.
V.2. Keterbatasan dan Rekomendasi
Penelitian ini hanya menggunakan data 5 tahun dari tahun 2008 sampai dengan
2012, variabel bebas yang digunakan hanya DAU, PAD, SiLPA, dan Kepadatan
Penduduk, serta penggunaan variabel Jumlah Penduduk yang hanya berdasarkan
sensus 2010.
V.3. Rekomendasi
Untuk penelitian selanjutnya dapat mengembangkan rentang waktu periode
secara lebih luas dan variabel bebas secara lebih lengkap. Untuk jangka panjang,
dalam penentuan formulasi kebijakan Dana Alokasi Umum ke daerah perlu
dilakukan perbaikan mekanisme dan perumusan agar DAU dapat efektif sesuai
peruntukkannya, serta perlu dilakukan sosialisasi atau pembinaan dari Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah Daerah yang belum bisa optimal dalam menggunakan
Pendapatan Asli Daerahnya. Dalam rangka menjaga keberlangsungan penggunaan
SiLPA yang baik terhadap Belanja Modal, Pemerintah Pusat dapat memberikan
sistem reward dan punishment kepada Pemerintah Provinsi yang mampu
mengelola SiLPA-nya secara efektif dan efisien dalam pembiayaan Belanja
Modalnya. Selain itu, perlu dilakukan sosialisasi atau pembinaan dari Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah Daerah agar dapat mempertimbangkan aspek Kepadatan
Penduduk dalam merumuskan program-program yang sesuai dengan karakteristik
penduduk dan wilayahnya.
19 DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syukriy dan Halim, Abdul. 2006. Studi atas belanja modal pada
anggaran pemerintah daerah dalam hubungannya dengan belanja
pemeliharaan dan sumber pendapatan, Jurnal Akuntansi Pemerintah, 2,
17-32.
Abimanyu, Anggito. 2005. Format Anggaran Terpadu Menghilangkan Tumpang
Tindih. Jakarta: Bapekki Depkeu.
Badan Pusat Statistik. 2013. Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980,
1990, 1995, 2000 dan 2010. (http://www.bps.go.id/tab_sub/view.
php?tabel=&daftar=1&idsubyek=12,diakses terakhir tanggal 24 Juni
2013).
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2012. Pelengkap buku pegangan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah 2011
(peningkatan kualitas hubungan keuangan pusat dan daerah dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi). Jakarta: Kementerian Keuangan.
Ghozali, Imam. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program
SPSS.Cetakan ke IV. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
Gujarati, Damodar N., dan Porter, Dawn C. 2009. Dasar-dasar ekonometrika.
Edisi ke-5. Terjemahan oleh Eugenia Mardanugraha, Sita Wardhani, dan
Carlos Mangungsong.Jakarta: Salemba Empat.
Halim, Abdul. 2007. Akuntansi dan Pengendalian Pengeluaran Keuangan Daerah.
Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Juanda, Bambang, dkk. 2012. Reformulasi DAU Untuk Memperkuat Peran
Sebagai Equalization Grant. Jakarta: Tim Asistensi Kementerian
Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal.
Kementerian Dalam Negeri. 2013. Kode dan data wilayah provinsi, kab/kota
2013. (http://www.kemendagri.go.id/pages/data-wilayah,diakses terakhir
tanggal 24 Juni 2013).
20 Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2013. Peningkatan kualitas
hubungan keuangan pusat dan daerah dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi. Jakarta.
Mahmudi. 2011. Akuntansi sektor publik. Yogyakarta: UII Press.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi sektor publik. Yogyakarta: Andi.
-------------. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:
Andi.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK Nomor 91 tahun 2007 tentang Bagan
Akun Standar.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan dan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan dan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Download