Bunyi Merdeka - Lagu Indonesia Raya

advertisement
Bunyi Merdeka
Sejarah Sosial dan Tinjauan Musikologi
Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Dirdho Adithyo
dan
I Gusti Agung Anom Astika
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Direktorat Kesenian
2017
Bunyi Merdeka
Edisi Pertama, ebook, Juli 2017, 122 hlm, 14,8 x 21 cm
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Direktorat Kesenian
Komp. Kemdikbud Gedung E Lt. 9 Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta, 10270,
021 5725578 – 021 5725035 - 021 5725572
Penanggung Jawab
Direktur Jenderal Kebudayaan
Hilmar Farid
Pengarah
Direktur Kesenian
Restu Gunawan
Panitia Pelaksana
Edi Irawan
Ibnu Sutowo
Farida Berliana S.
Oktavia Yulliea Susanto
Penulis
Dirdho Adithyo & I Gusti Agung Anom Astika
Editor
M. Fauzi
Penata Letak dan Perancang Sampul
Alit Ambara
Daftar Isi
Sambutan Direktur Jenderal Kebudayaan
vii
I Overture1
1.1. Prelude untuk Sumpah Pemuda
1
1.2. Tala Nada Politik Hukum Indonesia Raya26
1.3. Kemerdekaan Sebagai Bunyi 32
II Musik Sebelum Indonesia Raya39
2.1. Etude Syailendra
41
2.2. Musik Barat di Hindia Belanda 51
2.3. Musik Modern, Nyanyian Perjuangan, dan Indonesia Raya54
III Indonesia Raya dan Kemerdekaan Dalam Bunyi62
3.1. Detik-detik Kelahiran Indonesia Raya62
3.2. Aransemen Musikal Indonesia Raya69
3.3. Mengeja dan Menala Lagu Indonesia Raya87
IV Sesudah Indonesia Raya
98
4.1. Indonesia Raya Sebagai Musik Anti-Kolonial
4.2. Crescendo Lagu-lagu Perjuangan 103
4.3. Decrescendo Lagu-lagu Perjuangan
109
V Coda Kebangsaan
117
5.1. Keaslian dan Kebangsaan
5.2. Titi Nada Kebangsaan120
117
102
vi
BUNYI MERDEKA
Sambutan Direktur Jenderal
Kebudayaan
Seorang perwira intelejen kolonial mencatat dalam laporannya pada bulan Desember 1928 mengenai Kongres Pemuda Kedua: “28 Oktober 1928
diterima dengan antusiasme luar biasa. Setelah penutupan kongres itu,
bahkan sampai sekarang, pada pertemuan para pribumi masih terdengar
siulan melodi lagu ini, khususnya di kalangan pramuka.” Sang perwira tengah berbicara tentang lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan untuk
pertama kali dalam Kongres itu.
Lagu yang diciptakan W.R. Supratman untuk menggambarkan semangat
dan cita-cita kaum pergerakan kebangsaan itu menerbitkan kegelisahan
di mata kolonialisme. Melodinya disiulkan dari bibir ke bibir kaum terjajah
hingga membentuk imajinasi bersama yang menghimpun mereka semua
sebagai suatu bangsa. Di situ nampak bagaimana musik bisa punya andil
dalam kelahiran sebuah bangsa dan merawat jiwanya menghadapi segala
rintangan penjajahan.
Peran lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai pengejawantahan jiwa bangsa pun masih terekam dengan baik dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1958 yang menyatakan bahwa lagu Indonesia Raya dinyanyikan sebagai
“pernyataan perasaan nasional”.
Semangat ini dilandasi oleh visi tentang bangsa sebagai suatu usaha politik bersama, yakni suatu usaha bantu-binantu bersama untuk mewujudkan
kebudayaan nasional sendiri, suatu kebudayaan yang mau mengakhiri segala bentuk penjajahan dan melahirkan manusia baru. Inilah usaha besar
kebangsaan kita: menegaskan kedaulatan politik, mewujudkan kemandirian ekonomi dan mengambil sikap kebudayaan yang berpribadi. Itulah
imajinasi kebangsaan kita.
Kendati begitu, perikehidupan kebangsaan memang tak bisa dipisahkan
vii
dari upacara, prosedur dan protokol. Hal itu dapat saja membiakkan rutinitas yang punya risiko memadamkan semangat pemerdekaan yang semula
mengiringi terbentuknya bangsa Indonesia. Api kebangsaan harus dijaga
nyalanya dengan pemaknaan-pemaknaan baru atas praktik kebangsaan
dan kenegaraan kita.
Untuk merawat api kebangsaan itulah Direktorat Jenderal Kebudayaan
menyelenggarakan kegiatan perekaman ulang lagu kebangsaan Indonesia
Raya dalam versi tiga stanza yang asli. Usaha ini dilandasi oleh keyakinan
bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk terlibat dalam imajinasi
kebangsaan bersama, hak untuk memetik buahnya kebudayaan nasional.
Dengan menghadirkan Indonesia Raya versi tiga stanza yang selama ini
cenderung terlupakan kepada seluruh warga bangsa, Direktorat Jenderal
Kebudayaan mau membuka akses seluas-luasnya pada salah satu sumber
imajinasi kebangsaan kita.
Dalam rangka itulah, buku ini diterbitkan. Buku Bunyi Merdeka ini akan
menjadi panduan yang membantu kita semua mengakses pandangan hidup yang tertuang dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya versi tiga stanza.
Lewat pemaparan sejarah sosial dan tinjauan musikologi, buku ini dapat
mengantarkan kita pada rahasia bunyi yang membawa kita pada kemerdekaan.
Semoga buku ini dapat berperan memperkuat rasa kebangsaan kita dan
memelihara komitmen bersama kita sebagai bangsa merdeka.
Hilmar Farid
Direktur Jenderal Kebudayaan
viii
I
Overture
Indonesia Raya, sebagai sebuah lagu kebangsaan negara Republik Indonesia
sebenarnya memiliki sulur-sulur akar sejarah yang panjang. Indonesia Raya
lahir di tengah bara sekam perlawanan rakyat bumiputera yang tak hangus
ditindas oleh kolonialisme Belanda. Pun ia tumbuh sebagai bentuk perjuangan yang baru, refleksi dari perjuangan-perjuangan di periode abad ke-19.
Karena itu penting kemudian untuk menempatkan lagu Indonesia Raya dalam
konteks sejarah politik dan kebudayaan bangsa Indonesia.
1.1. Prelude untuk Sumpah Pemuda
1.1.1. Suita Tetabuhan Nusantara
Sampai dengan akhir abad ke-19, nama Indonesia belum menjadi. Ia baru serupa kawasan yang sedang dalam proses penaklukan yang sepenuh-penuhnya oleh kolonialisme Belanda. Negeri Hindia Timur sebutan awalnya, lalu
berubah menjadi Hindia Belanda kemudian. Sebuah kawasan seluas 1.905 juta
km2 yang terdiri dari belasan ribu pulau tempat beragam suku, bangsa, dan
bahasa, yang saling berinteraksi, dan bermukim sejak periode awal Masehi.
Narasi sejarah tentangnya merangkum berbagai kisah tentang peradaban
yang bergerak maju, yang berjaya di sepanjang Samudra Hindia dan Laut Cina
Selatan sampai saat pedagang-pedagang besar Eropa tiba di abad ke-17.
Setelah itu, sejarah tentang kawasan yang kemudian dikenal sebagai Nusantara ini lebih banyak bercerita tentang monopoli perdagangan rempah,
penaklukan bandar perdagangan dan kerajaan, peperangan dan kekerasan.
Peradaban bergerak mundur seiring dengan kekalahan raja-raja Nusantara
yang berulang kali diperdaya dan ditundukkan oleh yang kemudian disebut
sebagai kolonialisme. Massa rakyat pun dilanda ketakutan dan pemiskinan,
oleh karena raja-raja mereka tak lagi menjadi pimpinan mereka. Malah sebaliknya, raja-raja itu menjadi boneka kolonial untuk memeras rakyat. Hingga
sepertinya tak ada jalan keluar lain kecuali bangkit melawan kolonialisme.
Karenanya, menjelang abad ke-20 adalah sebuah masa yang penuh dengan
pergolakan melawan panji suci gemilang kolonialisme. Di sepanjang garis
pantai barat dan timur belahan utara Pulau Sumatra, derap juang rakyat
Aceh bertahan dari siram desing mesiu pasukan marsose Belanda. Kendati satu demi satu pimpinan perjuangan rakyat Aceh gugur di medan laga,
gerak berlawan tak henti. Setelah Tjoet Njak Dhien ditangkap pada 1904,
perlawanan rakyat Aceh bergerak ke selatan, sebagian bergabung dengan
pasukan Sisingamangaraja di wilayah Sumatra Utara. Mereka terus berlawan hingga 1907.
Sementara, di sisi selatan Nusantara golak-golak keresahan kaum tani di
Jawa akibat pemberlakuan pajak tanah yang tinggi oleh kolonial membawa kobar-kobar api pemberontakan di lahan-lahan perkebunan. Ciomas,
di tahun 1886 sekelompok rakyat yang dipimpin oleh Muhamad Idris
menyerang sebuah acara pesta tahunan yang dihadiri oleh para pegawai
tuan tanah. Puluhan tahun sebelumnya, di Pekalongan, Jawa Tengah, Haji
Ahmad Rifai menuliskan syair-syair protes baik terhadap pemerintah kolonial, maupun kepada aparat birokrasi feodal yang dianggapnya kaki tangan kolonial. Seperti syair berikut, yang meresahkan penguasa kolonial,
hingga membuang beliau ke Ambon pada 1860:
Bahasa Jawa
Tanbihun, tinemu negara Jawi rajane kufur
Iku amar naha ora gugur
Saben mukalaf ghalib ana kuasa milahur
Uga bisa ghalib derajate luwih luhur
Bahasa Indonesia
Ingatlah! Sekarang didapati penjajah sudah menguasai negara Jawa
Berjuang mencegah selalu diharapkan
Tiap-tiap rakyat dewasa kalau mampu melaksanakan
Kalau memang benar-benar mampu mencegahnya akan memperoleh
kemuliaan
Tiga minggu pemberontakan petani di Cilegon yang dipimpin oleh Haji
Tubagus Ismail pada 1888, berlanjut kemudian pemberontakan Ciomas di
belah barat Pulau Jawa; lalu syair Haji Rifai, dan gerakan tolak bayar pajak a
la Samin di sekitaran Jawa Tengah, semuanya adalah ekspresi perlawanan
2
BUNYI MERDEKA
terhadap kolonialisme.
Lepas pantai utara dan timur dari Pulau Jawa, perlawanan terhadap kolonialisme berkembang di wilayah Pulau Kalimantan dan Bali. Oleh karena
persengketaan hak tawan karang antara pemerintah kolonial dan raja-raja di Bali, Benteng Jagaraga Buleleng sepanjang tahun 1846-1849 berhadap-hadapan dengan pasukan kolonial Belanda. Perselisihan ini kembali
muncul di tahun 1906 yang berujung pada peristiwa Puputan Badung. Demikian juga dengan perlawanan rakyat Kalimantan di sepanjang periode
1859-1906, yang menolak intervensi Belanda dalam suksesi kerajaan. Semuanya merupakan reaksi terhadap upaya kolonialisme di dalam mencengkeram lebih jauh lembaga-lembaga adat masyarakat setempat. Semua
paparan di muka menyimpulkan, kolonialisme Belanda tak pernah seutuhnya menundukkan bangsa-bangsa Nusantara.
1.1.2. Elegi Tanam Paksa
Bagi kolonialisme yang maju dan beradab adalah yang taat pada hukum
kolonial dan gerak industri. Para penguasa tradisional, sebagai akibat dari
perang-perang penaklukkan, kehilangan tanah-tanah luas nan subur miliknya. Tanah-tanah itu diambil alih oleh pemerintah kolonial untuk dijadikan sebagai lahan-lahan perkebunan-perkebunan besar. Ini berkait
dengan kebijakan tanam paksa yang dimulai sejak 1830. Sejak saat itu posisi kebangsawanan para penguasa tradisional itu terus merosot secara
ekonomi, politik dan militer. Mereka bukan lagi penguasa atas rakyatnya,
tetapi berubah menjadi pegawai korps birokrasi kolonial (Binnenland Bestuur). Karenanya kebangsawanan kemudian lebih ditentukan oleh pengabdian dan loyalitas seseorang di dalam korps tersebut, ketimbang berdasar
genealogi keturunan, demi menyukseskan praktik tanam paksa.
Apa sebabnya? Karena praktik tanam paksa sesungguhnya adalah upaya
pengerahan segala sumber daya alam dan makhluk hidup di Hindia Belanda guna memproduksi hasil-hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan pasar
Eropa. Kendati hanya seperlima dari tanah yang dimiliki oleh rakyat, yang
diminta diserahkan untuk kebutuhan tanam paksa, secara perlahan rakyat
dipaksa untuk menyerahkan semua miliknya. Para penguasa tradisional
yang dimandatkan untuk menjalankan proses tanam paksa ini mendapatkan upah dari pemerintah kolonial menurut besar setoran hasil produk
tanam paksa. Karena itu, para penguasa tersebut menindas rakyat sedemikian rupa agar tanah-tanah mereka bisa menghasilkan produk tanam
3
paksa, seperti kopi, kina, tebu, dan sebagainya.
Akibat langsung dari praktik tanam paksa ini adalah kegagalan panen bahan pangan, lantaran tanah sudah telanjur dipakai untuk tanaman ekspor.
Tidak mengherankan jika kemudian jumlah penduduk di Jawa menurun
drastis, oleh karena kelaparan, wabah penyakit, dan kemiskinan, pun kebodohan yang meraja, merayap membentuk kesadaran bangsa kuli. Ini
masih ditambah lagi dengan praktik kerja rodi di sejumlah wilayah, plus
pajak yang tinggi. Tepatnya, tahun 1843 ketika terjadi bencana kelaparan di beberapa wilayah seperti Demak, Grobogan, Cirebon dan beberapa
tempat lain sebagai akibat dari kurang diperhatikannya produksi pangan
untuk para pribumi. Kelaparan antara 1843-1848 mengakibatkan jumlah
penduduk turun dengan cepat, di suatu kabupaten dari 336.000 penduduk
menjadi 120.000; di kabupaten lain ada pula yang jumlah penduduknya
berkurang sekitar 80.500 jiwa.
1.1.3. Fantasia Balas Budi
Kendati tanam paksa membawa banyak keuntungan bagi pemerintah Belanda, tetapi pelaksanaannya tanpa kontrol pemerintah kolonial. Akibatnya terjadi kehancuran sumber daya alam dan manusia, dan ini membuat
peluang realisasi industri modern menjadi susah dibangun di tanah Hindia.
Lebih-lebih karena industri modern menuntut peningkatan kualitas tenaga kerja, dan intensifikasi lahan-lahan perkebunan. Akhirnya, tanam paksa
dihapuskan secara bertahap. Penghapusan diawali dengan dikeluarkannya
undang-undang (Regering Reglement) tahun 1854 tentang penghapusan perbudakan. Namun pada praktiknya, kerja rodi baru dihapuskan pada 1860.
Ini lalu diikuti dengan penghentian wajib tanam lada (1862), cengkeh dan
pala (1864), indigo, teh, dan kayu manis (1865), dan tembakau (1866). Tanam paksa benar-benar dihapuskan pada 1917, terkait penghapusan kewajiban tanam kopi di Priangan, Manado, Tapanuli, dan Sumatra Barat.
Seiring dengan proses penghapusan tersebut kaum liberal Belanda mengajukan banyak kritik terhadap praktik tanam paksa. Douwes Dekker, Van
Hoevel, dan Van Deventer adalah tiga juru bicara yang mengemuka dari
kaum liberal, terkait catatan-catatan mereka tentang kondisi kemiskinan
yang dialami penduduk Jawa. Kritik-kritik ini tidak segera mendapat tanggapan karena pemerintah kolonial masih sibuk dengan sejumlah perang
penaklukkan di luar Jawa, terutama Perang Aceh. Tulisan-tulisan mereka
yang lalu mendorong pemerintah Kerajaan Belanda mengubah arah kebi4
BUNYI MERDEKA
jakannya. Pada 1901, Ratu Belanda, Wilhelmina, dalam pidato tahunannya
menyatakan perihal kewajiban yang luhur serta tanggung jawab sosial Belanda untuk rakyat Hindia Belanda sehubungan dengan keadaan ekonomi
yang buruk di Hindia Belanda pada 1901.
Pidato Ratu Wilhelmina itu kerap dianggap sebagai awal dari Politik Etis.
Sebuah upaya pemerintah kolonial Belanda untuk semacam merevitalisasi
sumber daya alam dan sumber daya manusia yang hancur karena praktik tanam paksa. Upaya ini diperlukan mengingat persaingan ekonomi di
antara negeri-negeri Eropa bergerak ke arah industrialisasi, sehingga dibutuhkan sumber daya manusia yang terdidik dan terawat kesehatannya,
dan membuka ruang investasi yang lebih besar di tanah jajahan dengan
membangun irigasi bagi wilayah perkebunan swasta. Dengan kata lain,
Politik Etis adalah semacam kebijakan pemerintah kolonial untuk bergerak ke arah industri.
1.1.4. Aria Kebangsaan
Di tengah perkembangan menuju industrialisasi Hindia Belanda, di tengah
kehancuran ekonomi dan budaya masyarakat Jawa, roh berlawan terhadap
kolonialisme tetap hidup. Setidaknya itu muncul dari seorang perempuan
yang dengan kemampuannya menulis dan berbahasa Belanda menggambarkan keadaan masyarakat Jawa sekitarnya dan mengajukan gagasan tentang kebangkitan bumiputra.
“Saya malu sekali memikirkan kepentingan pribadi. Saya berpikir-pikir dan mengelamun tentang keadaan saya sendiri dan
di luar, di sekeliling saya demikian banyaknya orang yang
hidup menderita dan sengsara. Seolah-olah udara tiba-tiba
bergetar disebabkan oleh suara orang-orang menderita di
sekeliling saya yang menjerit, mengerang dan mengeluh. Lebih keras lagi dari suara mengerang dan mengeluh, terdengar bunyi mendesing dan menderau dalam telinga saya: Bekerja! Bekerja! Bekerja! Berjuanglah membebaskan diri! Baru
setelah kamu bekerja membebaskan diri, akan dapatlah kamu
menolong orang lain! Bekerja! Suara itu saya dengar terang
sekali.” (Surat Kartini kepada Nyonya R.M. Abendanon-Mandri, 8 April 1902, cetak miring sesuai aslinya)1
1 Kartini. Surat-surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. (Penerjemah Sulastin
5
Kutipan di muka, yang ditulis oleh Kartini dalam salah satu surat-suratnya Kartini kepada sahabatnya di negeri Belanda, menegaskan tentang
keadaan masyarakat Jawa dan tentang kebutuhan untuk melakukan perubahan terhadap keadaan itu. Lebih jauh lagi Kartini mulai membuat analisa
tentang keadaan masyarakat Jawa di hadapan kolonialisme:
“Tetapi perbuatlah sekehendak hati tuan, tuan tidak akan dapat menahan paksaan zaman juga. Saya sayang kepada orang
Belanda. Sayang, amat sayang dan saya berterima kasih atas
banyak hal, yang kami nikmati dengan keikhlasan hati mereka
dan atas usaha mereka. Banyak, amat banyak di antara mereka
boleh kami sebut sahabat karib kami. Tiada lain sebabnya, hanyalah karena kami berani berdaya upaya menjadi cerdas dan
maju, hampir-hampir sama dengan mereka. Dengan cara yang
halus sekali mereka membuat kami merasakan hal itu. “Saya
orang Eropah, kamu orang Jawa” atau dengan perkataan lain
“Saya yang memerintah, kamu saya perintah … Oh, sekarang
saya mengerti, mengapa orang tidak setuju dengan kemajuan
orang Jawa. Kalau orang Jawa berpengetahuan, ia tidak akan
lagi mengiakan dan mengamini saja segala sesuatu yang ingin
dikatakan atau diwajibkan kepadanya oleh atasannya.” (Surat
Kartini kepada Nona E.H. Zeehandelaar, 12 Januari 1900)
Kartini memang belum lagi berpikir tentang Indonesia, tapi ia memahami
adanya bangsa Jawa, yang kemudian ia sebut juga “bangsa boemipoetra”
yang tidak hidup bahagia dan tidak merdeka di bawah kekuasaan feodal
dan kolonial.
“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami
sebagai orang-orang setengah Eropah atau orang-orang Jawa
kebarat-baratan. Dengan pendidikan bebas kami bertujuan
terutama sekali akan menjadikan orang Jawa sebagai orang
Jawa sejati, orang Jawa yang dijiwai dengan cinta dan semangat
untuk tanah air dan bangsanya. Dijiwai dengan mata dan hati
terbuka untuk keindahannya dan kesukarannya! (Surat Kartini
kepada Nyonya R.M. Abendanon-Mandri, 10 Juni 1902, cetak
miring sesuai aslinya)
Sutrisno). Jakarta: Djambatan, 1985. Kutipan surat-surat Kartini pada halaman berikutnya
mengacu ke buku ini.
6
BUNYI MERDEKA
Hingga kemudian Kartini merumuskan bahwa membangun bangsa berarti
juga membangun kaum perempuannya. Ini terkait dengan upaya memperadabkan masyarakat, di mana perempuan yang terdidik dan berbudi akan menjadi teman seiring kaum laki-laki. Saat mereka menjadi ibu,
merekalah yang sejak awal berpengaruh besar dalam memberi pendidikan
budi pekerti bagi anak-anaknya.
“Perempuan sebagai pendukung Peradaban! Bukan, bukan karena perempuan yang dianggap cakap untuk itu, melainkan
karena saya sendiri juga yakin sungguh-sungguh, bahwa dari
perempuan mungkin akan timbul pengaruh besar bahwa dialah yang paling banyak dapat membantu meninggikan kadar
kesusilaan manusia. Dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan. Di pangkuan perempuanlah
seseorang mulai belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata.
Dan makin lama makin jelaslah bagi saya, bahwa pendidikan
yang mula-mula itu bukan tanpa arti bagi seluruh kehidupan.
Dan bagaimanakah ibu-ibu Bumiputera dapat mendidik
anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?”
(Surat Kartini kepada Nyonya R.M. Abendanon, 21 Januari
1901)
Demikianlah Kartini, yang belum mengetahui peristilahan nasionalisme,
ataupun gagasan kebangsaan secara utuh, sudah merumuskan bibit-bibit
pemikiran tentang bangsa dan kebangkitan sebuah bangsa.
1.1.5. Serenade Pergerakan Kebangsaan
Kartini wafat di usia muda pada 1904. Sebuah masa ketika kebijakan Politik
Etis mulai dijalankan di wilayah Hindia Belanda. Dalam hal pendidikan, di
bawah Snouck Hurgronje dan J.H. Abendanon, pemerintah kolonial membuka pendidikan barat berbahasa Belanda di wilayah tanah jajahan Hindia Belanda untuk generasi elite penguasa tradisional dan mempersiapkan
mereka untuk menjadi pegawai negeri. Sebelumnya pada 1893 pemerintah
kolonial juga membagi sekolah-sekolah menjadi dua kelas, agar anak-anak
dari kaum penguasa tradisional mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Ini dengan harapan agar rakyat Hindia Belanda dengan sukarela akan menerima peradaban barat dan menjadi bagian dari Kerajaan Belanda.
Pendidikan barat tersebut, melahirkan generasi kaum terpelajar bumipu7
tra, yang mulai paham tentang sejumlah perlawanan terhadap kolonialisme di dalam maupun di luar Pulau Jawa, dan bagaimana semua perlawanan dengan perang tersebut bertumbangan satu demi satu. Pun sebuah
generasi yang mulai menyadari bahwa untuk melawan kolonialisme mereka harus menggunakan alat-alat penguasa seperti ilmu pengetahuan,
institusi pendidikan, organisasi, pertemuan umum, percetakan dan penerbitan. Sebuah generasi yang melahirkan Tirto Adhi Soerjo yang telah
merintis berbagai penerbitan surat kabar; Tjipto Mangoenkoesoemo sang
dokter penerima bintang Oranje Nassau, dengan pandangan-pandangan
politiknya yang maju dan berani; Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar
Dewantara, seniman dan penganjur pendidikan, serta sejumlah tokoh pergerakan kebangsaan lainnya yang berlibat di dalam berbagai organisasi
perjuangan. Pun sebuah generasi yang nantinya menggunakan kata “Indonesia” sebagai pengganti kata Hindia atau Hindia Belanda.
Khususnya pada dunia musik periode ini merupakan pergaulan yang aktif antara para pemusik lokal dan pemusik Eropa di Jawa. Sekolah-sekolah
guru Belanda pada masa Hollands Indische Kweekschool (HIK) dan Kweekschool menjadi tempat para pemusik pribumi belajar musik barat, salah
satunya Soerjopoetro seorang priayi Puro Pakualaman. Pada masa itu tokoh-tokoh karawitan di Jawa bertemu dengan para pemusik Eropa yang
progresif seperti Walter Spies, Linda Bandara dan Collin Mcphee, serta
ahli-ahli teori karawitan Belanda seperti Jaap Kunst dan Brans Buy. Karenanya tidak mengherankan jika kemudian muncul komponis abad ke-20
yang telah menggunakan pola kehidupan budaya musik barat sebagai sarana guna mengungkapkan ekspresi musikal. Beliau adalah Soerjopoetro
tahun 1916-1917 dengan karyanya Rarjuo Sarojo duet vokal dan biola. Materi komposisi diangkat dari sebuah lagu dolanan anak. Melodi vokal dan
biola pada prinsipnya sama, tetapi gerakan melodi pada biola diberikan
nada-nada hiasan seperti halnya penggarapan unsur rebab dalam karawitan Jawa. Analisis komposisi karya Soerjopoetro dapat dikatakan sebuah
awal upaya untuk menggarap musik tradisional menjadi sebuah garapan
komposisi barat.2
Bersamaan dengan proses industrialisasi dan Politik Etis, berbagai macam
perkembangan teknologi industri produksi massal hadir di tanah Hindia.
2 Wisnu Mintargo. “Musik Nasional dalam Konsep Trikon Ki Hadjar Dewantara: Akulturasi Budaya Timur dan Barat”, dimuat dalam situs web http://wisnumintargo.web.ugm.
ac.id/?p=64
8
BUNYI MERDEKA
Industri kereta api yang mulai dibangun pada 1867 mulai berkembang
sembilan tahun kemudian di tahun 1876. Mesin cetak yang pada periode
sebelum abad ke-19 hanya dimiliki oleh kantor pemerintah kolonial atau
kantor misionaris, di pertengahan dan akhir abad ke-19 mulai menjadi bagian dari industri surat kabar. Ini terlihat dari terbitnya surat kabar pertama berbahasa Jawa di Surakarta, Bromartani, pada 1855. Bahkan perusahaan rekaman sudah mulai masuk Hindia Belanda di awal abad ke-20. Di
masa itu setidaknya ada tiga saudagar Tionghoa yang menggeluti dunia
musik dengan mendirikan perusahaan rekaman, yaitu Tio Tek Hong di Pasar Baru dan Lie A Kon di Pasar Senen, dan satu lagi di Surabaya.
Sebagaimana yang telah dikemukakan, situasi ini di satu sisi membuka
mata kaum terpelajar bumiputra tentang kemajuan ilmu pengetahuan.
Tetapi, di sisi lain kaum terpelajar juga tidak mungkin menutup mata terhadap kemiskinan dan diskriminasi yang dialami kaum bumiputra. Karenanya membangun organisasi dan menerbitkan surat kabar atau berkala lain
menjadi sarana untuk membela kaum bumiputra, membela bangsa.
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (1880-1918), sosok pendiri pers nasional yang
telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI No. 85/
TK/2006. Sejak muda, Tirto Adhi Soerjo merintis berbagai penerbitan surat kabar. Yang paling terkenal adalah surat kabar Medan Prijaji (beredar
sejak Januari 1907 sampai Januari 1912). Inilah surat kabar pertama yang
dikelola sepenuhnya oleh tenaga pribumi dan menggunakan bahasa Melayu. Inilah juga surat kabar pergerakan pertama yang menjadi model bagi
berbagai surat kabar pergerakan sesudahnya (seperti Sarotomo dan Soeloeh
Indonesia).
Sebagai surat kabar pergerakan, Medan Prijaji memuat laporan dan liputan
yang dituliskan dari sudut pandang rakyat Indonesia. Metode jurnalismenya dikenal sebagai jurnalisme advokasi, yakni suatu cara kerja jurnalistik yang menekankan pada pembelaan pada kaum tertindas yang tengah
diliput.
“Sekarang betapakah halnja tentang orang Boemi poetera?
orang berkoeli, jaitoe mentjeri makan dengan dapet opahan
dari angkatken orang laen punja barang… “tjoba lihat, itoe
disana ada koetsier, dan dinaiki seorang bangsa sopan. Dogcart dibawa poeter kota, dari sini kesana, dari sana kemari,
barangkali soedah empat lima djam lamanja
9
„sekarang berhenti disini sir‟,
„saja toean‟,
„ini sewanja een kwartje‟,
„minta tambah, toean!‟,
„apa! Kaoe berani boeka moeloet!‟,
„tida toean, ini terlaloe sedikit sebab dogcart dipake 4 djam
lamanja‟,
„Peng!‟. Apa itu, soeara bedil! Boekan! Itoe soeara tapak tangan jang jatoeh dipipinja koetsir jang brutaal. Kasihan!””
Kutipan di muka adalah salah satu contoh laporan dan liputan Medan Prijaji
yang khas, karena dituliskan dari sudut pandang rakyat Indonesia. Melalui
kerja jurnalistik semacam inilah, Tirto Adhi Soerjo mengobarkan semangat anti-kolonial dan menyulut kesadaran berkebangsaan yang mandiri.
Generasi muda yang tumbuh melalui bacaan atas surat kabar ini kemudian
membawa dalam diri mereka kesadaran tentang ketidakadilan pemerintah
kolonial dan situasi keterjajahan bangsa Indonesia.
Boedi Oetomo, sebagai organisasi pergerakan yang didirikan pada 1908 berangkat dari semangat membantu kaum bumiputra untuk mendapatkan
pendidikan yang layak dan murah. Pandangan mereka tentang keadaan
masyarakat bumiputra, sebagaimana diungkapkan oleh Goenawan Mangoenkoesoemo, salah satu pendiri Boedi Oetomo:
“Kaum bumiputera mempunyai nilai tidak lebih dari sebuah
keset kaki atau seekor anjing yang dilempari batu oleh anakanak. Di dalam kereta api, trem, di sekolah-sekolah, di jalan
raya, di kantor-kantor, di perkebunan-perkebunan, bangsa
bumiputera senantiasa dipandang rendah dengan cara sangat
menghina, dipandang sebagai bangsa tanpa tenaga dan tanpa kekuatan. Bangsa bumiputera selalu menjadi obyek percobaan untuk pertanian, obyek pengamatan, dan sesuatu yang
dianalisis dan dipelajari orang, serta sesuatu yang dapat ditulis untuk bahan-bahan ceramah ilmiah.”
10
BUNYI MERDEKA
Karenanya, organisasi ini bertujuan melawan kolonialisme melalui jalan
pendidikan. Ini ditegaskan di dalam salah satu dokumennya:
“Tujuan Budi Utomo adalah mengusahakan persatuan kaum
Boemipoetera yang sedapat mungkin bersifat umum, sehingga
akan tercapai Persatuan orang Jawa pada umumnya, dengan
Boedi Oetomo hanya sebagai pelopor, yang tugas utamanya
adalah untuk merancang cara-cara yang tepat untuk mencapai terwujudnya suatu pendidikan yang serasi bagi negara dan
rakyat Hindia Belanda.”
Walaupun belum sampai pada tuntutan Indonesia Merdeka, Boedi Oetomo menjadi inspirasi bagi para pejuang kebangsaan selanjutnya. Barulah
dengan berdirinya Indische Partij pada 25 Desember 1912 tuntutan kemerdekaan menjadi eksplisit sebagai tujuan partai. Tiga serangkai pendirinya yakni Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat tak lama kemudian berurusan dengan polisi kolonial karena
mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Kesadaran tentang bertanah
air dan berbangsa satu bangkit dari sana.
1.1.6. Etude Pandu
Variasi gerakan menentang kolonialisme juga muncul melalui modifikasi
organisasi kepanduan yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial. Pada
1916, S.P. Mangkunegara VII membuat organisasi kepanduan kaum bumiputra, yang kemudian diberi nama Javaansche Padvinders Organisatie
dan merupakan organisasi kepanduan pertama di Nusantara. Bagi kaum
pergerakan nasional Indonesia organisasi kepanduan ini bisa menjadi sarana membentuk manusia yang baik dan menjadi kader pergerakan nasional.
Karenanya, muncul kemudian sejumlah organisasi kepanduan seperti organisasi kepanduan milik Muhammadiyah yang diberi nama Padvinder
Muhammadiyah di mana pada 1920 mengganti nama mereka menjadi Hizbul Wathan. Selain Muhammadiyah, ada juga Nationale Padvinderij milik
Boedi Oetomo, Sarekat Islam Afdeling Padvinderij milik Sarekat Islam yang
namanya kemudian diubah menjadi Sarekat Islam Afdeling Pandu (SIAP),
Nationale Islamietische Padvinderij (Natipij) yang berdiri berkat Jong Islamieten Bond, dan terakhir adalah Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO) yang berutang kepada Pemuda Indonesia untuk berdiri.
Pada 23 Mei 1928, rasa persatuan yang timbul dalam organisasi kepanduan
11
di Indonesia mulai mewujudkan dirinya dengan nama “Persaudaraan Antara Pandu Indonesia” (PAPI) yang beranggotakan INPO, SIAP, Natipij, dan
PPS.
Sejarah terus berlanjut. Melihat maraknya organisasi kepramukaan milik
pribumi yang bermunculan, Belanda akhirnya membuat peraturan untuk
melarang organisasi kepramukaan di luar milik Belanda menggunakan istilah Padvinder. Karena itu kemudian Haji Agoes Salim menggunakan istilah
“Pandu” dan “Kepanduan”.
Demi mempererat persaudaraan di antara tiap organisasi, Badan Pusat
Persaudaraan Kepanduan Indonesia berencana untuk mengadakan sebuah
jambore besar. Kegiatan ini mengalami beberapa kali perubahan rencana
dalam waktu dan nama kegiatan, meskipun pada akhirnya nama kegiatan
disetujui sebagai “Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem” atau disingkat Perkino. Tanggal acara yang tadinya juga sempat didebatkan akhirnya diputuskan untuk dilakukan pada 19 hingga 23 Juli 1914 di suatu daerah
di Yogyakarta. Selanjutnya, pada 1930 timbul kesadaran dari tokoh-tokoh
Indonesia untuk mempersatukan organisasi kepramukaan. Maka terbentuklah Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). KBI merupakan gabungan dari
organisasi kepanduan seperti INPO, PK (Pandu Kesultanan), PPS (Pandu
Pemuda Sumatra).
Maka, dimulailah apa yang disebut sebagai “Zaman Bergerak”, yakni era
perlawanan rakyat Indonesia yang terorganisasikan secara modern terhadap pemerintahan kolonial, struktur feodal dan pranata kapitalis di Hindia
Belanda yang terjadi antara 1912 dan 1926. Perlawanan ini dikatakan ‘terorganisasikan secara modern’ karena tak lagi menggunakan pendekatan
feodal seperti pépé (berjemur) di halaman pembesar lokal memohon kesudiannya untuk menjalankan perubahan situasi, melainkan menggunakan
instrumen politik seperti organisasi/perserikatan (vereeniging) dan pemogokan (werkstaking) yang difungsikan secara strategis untuk memaksa pemodal menerima tuntutan gerakan. Berbagai gerakan pekerja dan intelektual muda bergabung dalam aksi-aksi bersama yang menentang tatanan
kolonial yang represif.
Pada masa inilah timbul kesadaran baru bahwa tatanan politik kolonial
bukanlah nasib yang ditimpakan begitu saja ke bumi manusia, melainkan dapat diubah sewaktu-waktu oleh tangan rakyat Indonesia sendiri. Haji
Misbach, seorang aktivis pergerakan masa itu, berbicara tentang “djaman
12
BUNYI MERDEKA
balik boeono” (zaman terjungkir-baliknya dunia). Dalam pidatonya di salah
satu pemogokan ia menyatakan:
“Tjeritanja ja-itoe di negri Oostenrijk (Austria), dhoeloe djoega di kepalai oleh saorang Radja tetapi sekarang soedah boeono baliknja-itoe di kepalai Republiek, mendjadi waktoe itoe
banjak sekali ambtenaar-ambtenaar jang di-boenoeh oleh republiek asal bekas ambtenaar kelihatan djalan, teroes potong
sadja lehernja, begitoelah seteroesnja. Maka soedara, ajo! ingetlah, bila tanah ini boekan poenjanja siapa-siapa, terang bila
poenja kita sendiri. Tida boleh tida, ini tanah temtoe kombali
pada kita lagi.” (Shiraishi 1997: 263-264)
Kesadaran tentang zaman yang telah berganti rupa semacam ini terus
muncul di kalangan pergerakan kebangsaan Indonesia.
Dalam hiruk-pikuk semangat perubahan inilah lahir gerakan para pemuda
yang mengupayakan ikatan komitmen bersama sebagai bangsa.
1.1.7. Rondo Kongres Pemuda (I)
Pada 1925 dilangsungkan rapat-rapat persiapan yang akan mengarah pada
terlaksananya Kongres Pemuda Pertama. Para perintisnya tergabung dalam Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang berasal dari sekolah-sekolah tinggi di Jakarta dan Bandung. Mereka yang aktif di sana
antara lain Soegondo Djojopoespito, Sigit, Abdul Sjukur, Gularso, Sumitro,
Samijono, Hendromartono, Subari, Rochjani, S. Djoened Poesponegoro,
Kuntjoro, Wilopo, Surjadi, Muhammad Yamin, A.K. Gani dan Aboe Hanifah.
Sebagai angkatan muda yang mengenyam pendidikan model Eropa, mereka antusias mempelajari dan memperdebatkan berbagai revolusi besar dunia, seperti Revolusi Amerika 1776, Revolusi Prancis 1789, Revolusi
Cina 1911 dan Revolusi Rusia 1917. Mereka pun mendiskusikan beragam
pemikiran politik dunia, mulai dari Plato, Aristoteles, Niccolo Machiavelli, Thomas Hobbes, Montesquieu, Jean-Jacques Rousseau dan John Stuart
Mill (Rahman 2016: 5). Sekalipun menimba pelajaran dari berbagai belahan
dunia, cita-cita mereka tentang sebuah forum yang mendeklarasikan persatuan bangsa Indonesia terinspirasi dari wacana persatuan yang didengungkan oleh Perhimpunan Indonesia (PI).
13
Sebagai wadah para pelajar Indonesia di Negeri Belanda, PI mengalami radikalisasi berkat bergabungnya Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi
Soerjaningrat pada 1913. Keduanya dibuang ke Belanda akibat aktivitas
mereka dalam Indische Partij. Berkat kehadiran keduanya, PI yang semula
hanya menggelar forum silaturahim dan pesta-pesta kemudian mulai aktif
membicarakan kemungkinan persatuan kebangsaan di dalam panji Indonesia merdeka. Pada 1925, diskusi-diskusi mereka tentang kondisi bangsa
mengantar mereka pada segugus kesimpulan yang kemudian dikenal sebagai Manifesto Politik 1925:
1. Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah
yang dipilih sendiri oleh mereka.
2. Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak
diperlukan bantuan dari pihak manapun.
3. Tanpa persatuan yang kokoh dari berbagai unsur rakyat,
tujuan perjuangan itu akan sulit dicapai.
Semangat merdeka ini tercermin dalam terbitan mereka. Perhimpunan Indonesia mengeluarkan terbitan rutin berjudul Indonesia Merdeka yang melontarkan seruan-seruan nasionalis untuk kemerdekaan Indonesia. Seruan
inilah yang ditangkap oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia dan
mulai digencarkan di dalam negeri serta diwujudkan dalam bentuk kongres persatuan Indonesia.
Kongres Pemuda Pertama diselenggarakan di Jakarta antara 30 April dan 2
Mei 1926. Susunan kepanitiaan kongres ini adalah sebagai berikut:
Ketua: Mohammad Tabrani (Jong Java)
Wakil Ketua: Soemarto (Jong Java)
Sekretaris: Djamaluddin Adinegoro (Jong Soematranen Bond)
Bendahara: Soewarso (Jong Java)
Anggota:
1. Bahder Djohan (Jong Soematranen Bond)
2. Jan Toule Soulehuwij (Jong Ambon)
3. Paul Pinontoan (Jong Celebes)
4. Achmad Hamami (Sekar Roekoen)
5. Sanoesi Pane (Jong Bataks Bond)
6. Sarbaini (Jong Soematranen Bond)
14
BUNYI MERDEKA
Tema utama yang ditekankan dalam kongres ini adalah “penyebaran jiwa
kebangsaan Indonesia di kalangan pemuda Indonesia” (de Nationaal Indonesische geest onder de Indonesische Jeugd). Kongres ini diselenggarakan dengan
cita-cita untuk:
1. Membentuk badan terpusat dari organisasi-organisasi
pemuda yang ada.
2. Memajukan gagasan persatuan nasional.
3. Menjalin kerjasama lebih erat antar-organisasi pemuda
yang bernafaskan persatuan nasional.
Hadir dalam kongres ini adalah perwakilan dari berbagai organisasi pemuda kebangsaan seperti Jong Java, Jong Soematranen Bond, Jong Ambon,
Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Minahasa, dan Jong Bataks
Bond.
Kongres Pemuda Pertama kesulitan menghasilkan keputusan yang tajam
karena perasaan kedaerahan masih sangat mewarnai pandangan dari setiap delegasi pemuda. Meski begitu, sudah ada usaha bersama untuk menggagas cita-cita persatuan Indonesia dan kesadaran bersama tentang perlunya menghilangkan pandangan adat kedaerahan yang kolot dan sempit.
Tetapi, perwujudannya dalam bentuk komitmen bersama yang positif belum berhasil dirumuskan secara tegas.
Apa yang terjadi di sana lebih merupakan pertemuan penjajakan tentang
berbagai ide terkait persatuan kebangsaan. Muhammad Yamin, misalnya,
menyampaikan pidato “Kemungkinan-Kemungkinan Masa Depan Bahasa
dan Sastra Indonesia” yang berargumen bahwa bahasa Melayu adalah bahasa yang paling cocok digunakan sebagai bahasa persatuan. Sementara
yang lain berpendapat bahasa Jawa lebih tepat digunakan sebagai bahasa
persatuan. Sedangkan keseluruhan diskusi itu sendiri dilakukan dalam bahasa Belanda.
Kesulitan menyatukan pandangan amat terasa dalam sidang-sidang Kongres Pemuda Pertama. Bahkan pimpinan kongres, Mohammad Tabrani, berulang kali mesti memediasi berbagai pendapat yang menjurus pada sentimen kedaerahan agar tidak pecah sebagai konflik terbuka antar organisasi
pemuda.
15
1.1.8. Rondo Kongres Pemuda (II)
Pada 3 Mei 1928, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia mulai menggelar
rapat persiapan menuju Kongres Pemuda Kedua. Rapat itu dilanjutkan lagi
pada 12 Agustus 1928 yang dihadiri perwakilan dari berbagai organisasi
pemuda dan berhasil memutuskan akan menggelar kongres pada 27-28 Oktober 1928. Dalam rapat tersebut disepakati susunan kepanitiaan sebagai
berikut:
Ketua: Soegondo Djojopoespito (PPPI)
Wakil Ketua: R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Soematranen Bond)
Bendahara: Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I: Djohan Mohammad Tjaja (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II: R. Katjasoengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III: R.C.L. Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV: Johanes Leimena (Jong Ambon)
Pembantu V: Rochjani Soe’oed (Pemoeda Kaoem Betawi)
Dengan susunan kepanitiaan semacam itu akhirnya terselenggara Kongres
Pemuda Kedua di Jakarta pada 27-28 Oktober 1928. Dari sekitar tujuh ratus
peserta yang hadir, nama-nama peserta yang tercatat adalah sebagai berikut (Rahman 2016: 17-19):
1. Abdoel Halim
2. Abdoel Moethalib Sangadji
3. Abdoel Rachman
4. Abdoellah Sigit (Indonesische Studieclub)
5. Aboe Hanifah
6. Achmad Hamami
7. Adnan Kapau Gani
8. Dr. Mohammad Amir (Dienaren van Indie)
9. Anta Permana
10. Anwari
11. Arnold Mononutu
12. Assaat dt Muda
13. Bahder Djohan
14. Dali
15. Darsa Arsa
16. Dien Pantouw
16
BUNYI MERDEKA
17. Djuanda
18. Dominee (pdt) van Hoorn
19. Dr. Pijper (Adviseur voor Inlandsche Zaken)
20. Dr. Poerbatjaraka (Adviseur voor Inlandsche Zaken)
21. Dr. Van der Plaas (Adviseur voor Inlandsche Zaken)
22. Emma Poeradiredja
23. F. Dahler
24. Hoofdcommissaris van Politie van der Plugt
25. Inoe Martakoesoema
26. J.E. Stokvis
27. Jo Tumbuhan
28. Joesoepadi Danoehadiningrat
29. John Lau Tjoan Hok
30. Jos Masdani
31. Kadir
32. Karto Menggolo
33. Kasman Singodimedjo
34. Koentjoro Poerbopranoto
35. Kwee Thiam Hong
36. Ma’moen Ar Rasjid
37. Moehidin (Pasundan)
38. Moekarno
39. Moewardi
40. Mohammad Ali Hanafiah
41. Mohammad Nazif
42. Mohammad Roem
43. Mohammad Tamzil
44. Mr. Sartono
45. Muhammad Husni Thamrin
46. Nona Tumbel
47. Oey Kay Siang
48. Patih Batavia, Raden Achmad
49. Poernamawoelan
50. R.M. Djoko Marsaid
51. Raden Soeharto
52. Raden Soekamso
53. Ramelan
54. S.M. Kartosoewirjo
55. Saerun (Keng Po)
56. Sahardjo
17
57. Sarbaini
58. Sarmidi Mangoensarkoro
59. Setiawan
60. Siti Soendari
61. Sjahbuddin Latif
62. Sjahrial
63. Soedjono Djoened Poesponegoro
64. Soehara
65. Soejono (Volksraad)
66. Soekamto
67. Soekmono
68. Soelaeman
69. Soemanang
70. Soemarto
71. Soenario (PAPI dan INPO)
72. Soerjadi
73. Soewadji Prawirohardjo
74. Soewarni
75. Soewirjo
76. Soeworo
77. Tjahija
78. Tjio Djien Kwie
79. Tjokorda Gde Raka Sukawati (Volksraad)
80. Wage Rudolf Soepratman
81. Wilopo
82. Koesoemo Oetojo
Rangkaian kongres tersebut terbagi ke dalam tiga rapat yang diselenggarakan di tempat yang berbeda-beda. Rapat pertama diadakan pada pukul
20.00 di gedung Katholieke Jongenlingen Bond yang berlokasi di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam rapat pertama ini, Muhammad Yamin berpidato tentang lima prasyarat persatuan Indonesia yakni
sejarah, bahasa, hukum, pendidikan, dan kemauan.
Pidato ini ditanggapi secara positif oleh Inoe Martakoesoema yang menekankan pentingnya persatuan agar Indonesia bisa sejajar dengan Inggris dan Belanda. Secara tidak langsung, Inoe mau mengatakan bahwa
persatuan berguna buat kemerdekaan Indonesia. Maksud ini ditangkap
oleh Hoofdcommissaris van Politie bernama van der Plugt. Agen polisi itu
memotong tanggapan Inoe dan mengimbaunya untuk meninggalkan kong18
BUNYI MERDEKA
res. Mr. Sartono kemudian memberikan tanggapan yang mempersoalkan
polisi Belanda yang doyan main larang.
Rapat kedua diadakan di gedung bioskop Oost Java yang terletak di Koningsplein Noord (sekarang Jalan Medan Merdeka Utara). Dalam rapat kali ini
Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro berbicara tentang pentingnya pendidikan kebangsaan yang membawa semangat demokratis di
rumah dan sekolah. Selain itu, Siti Soendari mengajukan pandangannya
tentang kondisi perempuan yang tertindas dalam masyarakat.
Rapat terakhir diadakan di gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106, yang merupakan rumah indekos kepunyaan Sie Kong Liang,
tempat aktivis-aktivis pemuda seperti Muhammad Yamin dan Amir Sjarifuddin pernah menyewa. Dalam pertemuan itu, Soenario Sastrowardoyo
menyampaikan pidato yang menekankan perlunya nilai-nilai nasionalisme
dan demokrasi serta mengingatkan pentingnya gerakan pramuka dalam
konteks pembentukan gerakan pemuda yang berorientasi kebangsaan.
Ketika itu, sempat terjadi insiden yang membawa risiko pembubaran kongres oleh aparat keamanan. Pasalnya, terlontar frasa “Indonesia merdeka”
dari peserta kongres. Pejabat kepolisian van der Plugt beserta barisan
aparat intel kolonial (Politieke Inlichtingen Dienst, PID) mengancam akan
membubarkan kongres seketika itu juga. Menghadapi ketegangan itu,
Soegondo Djojopoespito selaku pimpinan kongres segera menengahi dengan menyatakan bahwa pernyataan itu (maksudnya “Indonesia merdeka”) tidak perlu dilontarkan secara eksplisit, cukup tahu sama tahu saja.
Para peserta pun menyambutnya dengan riuh, gembira dan sesekali melontarkan nada mengolok-olok barisan aparat keamanan kolonial.
Dalam rapat terakhir itulah lagu Indonesia Raya dibawakan lewat gesekan
biola Wage Rudolf Soepratman dan sesudah itu dibacakan sebuah maklumat yang dinamai “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia”.
Inilah dokumen yang kemudian kita kenal sebagai Sumpah Pemuda, sebuah dokumen historis pernyataan komitmen bersama tentang persatuan
yang dirumuskan dalam tiga keputusan:
“Pertama
Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah
yang satu, tanah Indonesia.
19
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu,
bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia mengaku menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia.”
Lewat maklumat inilah para pemuda mendeklarasikan prinsip persatuan
Indonesia, persatuan tanah air, bangsa dan bahasa.
1.1.9. Balada si Wage
Wage Rudolf Soepratman dilahirkan pada Senin Wage, 9 Maret 1903 di Desa
Somongari yang terletak sekitar 12 kilometer sebelah tenggara Kota Purworejo, Jawa Tengah. Ayahnya, Jumeno Senen Sastrosuharjo, adalah serdadu KNIL berpangkat sersan, sementara ibunya bernama Siti Senen. Pada
malam kelahirannya, sang ayah memberinya nama Wage Soepratman.
Akan tetapi, pada umur sebelas tahun, nama Rudolf ditambahkan padanya
supaya memudahkan Soepratman masuk ke Europeesche Lagere School,
Sekolah Dasar yang mayoritas diisi anak-anak Belanda.
20
BUNYI MERDEKA
Potret W.R. Soepratman
Pada 1914, Soepratman mengikuti kakak sulungnya, Rukiyem, ke Makassar. Di sana, ia bersekolah sampai ke taraf Normaalschool. Soepratman lantas bekerja di kantor pengacara Belanda, kemudian sebagai guru Sekolah
Angka 2 dan juga di kantor sebuah perusahaan dagang serta firma hukum.
Semasa tinggal di Makassar inilah bakat musiknya dikembangkan oleh kakak iparnya, suami Rukiyem, yang berprofesi sebagai guru musik tentara
kolonial. Sastromiarjo alias Willem Mauritius van Eldik, sang kakak ipar,
mengajarinya bermain biola.
Sepulangnya ke Pulau Jawa pada 1924, Soepratman bekerja sebagai wartawan di Bandung dan Jakarta. Ia menyumbangkan artikel-artikel pelaporan pada surat kabar Kaoem Moeda, Kaoem Kita dan juga Sin Po. Pada masa-masa inilah ketertarikannya pada dunia pergerakan kebangsaan yang
21
sudah muncul semasa ia di Makassar semakin menguat dan ia pun mulai
bergaul dengan para tokohnya. Dalam suasana perjuangan kebangsaan
inilah Soepratman menciptakan sejumlah lagu-lagu perjuangan yang
membangkitkan semangat patriotik. Gubahan pertamanya adalah sebuah
lagu berjudul Dari Barat Sampai Ke Timur:
“Dari Barat sampai ke Timur/ Berjajar pulau-pulau
Sambung menyambung menjadi satu/ Itulah Indonesia
Indonesia Tanah Airku/ Aku berjanji padamu
Menjunjung Tanah Airku/ Tanah Airku Indonesia”
Lagu perjuangan yang diciptakan pada 1926 ini dari segi musik menyerupai
lagu La Marseillaise, sebuah lagu perjuangan Revolusi Prancis yang kemudian diadopsi sebagai lagu kebangsaan Prancis.
Sekitar masa inilah Soepratman membaca sebuah artikel di majalah Timboel terbitan Solo yang menantang para komponis Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan Indonesia. Tantangan ini juga dibarengi dengan
kabar yang tersiar dari Indonesische Clubgebouw yang menghendaki
supaya segera diciptakan lagu kebangsaan Indonesia. Menjawab kebutuhan historis bangsa ini, Soepratman menggubah lagu Indonesia Raya yang
pada subjudulnya dengan terang tertulis “lagu kebangsaan”.
Berikut adalah lirik asli Indonesia Raya yang ditulis W.R. Soepratman pada
pertengahan tahun 1928 (Hutabarat 2001: 19-21):
I
Indonesia Tanah Airku
Tanah Tumpah Darahku
Di sanalah Aku Berdiri
Jadi Pandu Ibuku
Indonesia Kebangsaanku
Kebangsaan Tanah Airku
Marilah Kita Berseru
Indonesia Bersatu
Hiduplah Tanahku
Hiduplah Negeriku
Bangsaku, Jiwaku Semuanya
22
BUNYI MERDEKA
Bangunlah Rakyatnya
Bangunlah Bangsanya
Untuk Indonesia Raya
Indones, Indones, Merdeka Merdeka
Tanahku Negriku Yang Kucinta
Indones, Indones, Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya.
II
Indonesia Tanah Yang Mulia
Tanah Kita Yang Kaya
Di sanalah Aku Hidup
Untuk Slama-lamanya
Indonesia Tanah Pusaka
Pusaka Kita Semuanya
Marilah Kita Berseru
Indonesia Bersatu
Suburlah Tanahnya
Suburlah Jiwanya
Bangsanya Rakyatnya Semuanya
Sadarlah Hatinya
Sadarlah Budinya
Untuk Indonesia Raya
Indones, Indones, Merdeka Merdeka
Tanahku Negriku Yang Kucinta
Indones, Indones, Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
III
Indonesia Tanah Yang Suci
Tanah Kita Yang Sakti
Di sanalah Aku Berdiri
Menjaga Ibu Sejati
Indonesia Tanah Berseri
23
Tanah Yang Aku Sayangi
Marilah Kita Bernyanyi
Indonesia Abadi
Selamatlah Rakyatnya
Selamatlah Puteranya
Pulaunya, Lautnya, Semuanya
Majulah Negerinya
Majulah Pandunya
Untuk Indonesia Raya
Indones, Indones, Merdeka Merdeka
Tanahku Negriku Yang Kucinta
Indones, Indones, Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Itulah lirik asli Indonesia Raya tiga stanza yang digubah W.R. Soepratman.
Pada 8 September 1944, Panitia Lagu Kebangsaan menetapkan sejumlah
perubahan kecil atas lagu tersebut dengan ketentuan umum: apabila dinyanyikan satu stanza saja, maka ulangannya dinyanyikan dua kali, sedangkan jika dinyanyikan tiga stanza, maka ulangannya dinyanyikan satu
kali pada dua stanza pertama dan dua kali pada stanza ketiga. Pada 26 Juni
1958, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 44 yang menetapkan gubahan, irama, nada dan tata tertib dalam membawakan lagu tersebut.
Kisah dikumandangkannya lagu Indonesia Raya dalam Kongres Pemuda
Kedua punya latar yang menarik. Sebagai wartawan koran Sin Po, Soepratman pernah meliput Kongres Pemuda Pertama yang diselenggarakan antara 30 April dan 2 Mei 1926. Ketika akan diselenggarakan Kongres Pemuda
Kedua yang nantinya menghasilkan Sumpah Pemuda, Soepratman pun ditugasi meliputnya kembali.
Mula-mula, demi keperluan liputan, Soepratman bertemu dengan Soegondo Djojopoespito, salah seorang tokoh muda dan kawan satu indekos Sukarno ketika di Surabaya. Dalam pertemuan itu, ia diminta Soegondo membawakan lagu Indonesia Raya dalam suatu acara di gedung Indonesische
Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106. Acara inilah yang kemudian digelar
sebagai Kongres Pemuda Kedua. Pada malam 28 Oktober 1928, tepat sebelum putusan kongres dibacakan, W.R. Soepratman membawakan Indonesia Raya dalam gesekan biola. Atas pertimbangan Soegondo, demi mengh24
BUNYI MERDEKA
indari represi oleh agen-agen kolonial yang terus memantau keseluruhan
acara, lagu itu pun sengaja tidak dinyanyikan.
Pada tahun 1930, lagu Indonesia Raya dilarang dinyanyikan di depan umum.
Pemerintah kolonial menganggap lagu itu subversif dan mengganggu
“ketenangan dan ketertiban” (rust en orde). Lagu tersebut dikhawatirkan dapat memicu semangat kemerdekaan atau pemberontakan terhadap pemerintah yang sah. Seiring dengan pelarangan lagu Indonesia Raya,
Soepratman pun ditangkap polisi dan diinterogasi badan intelijen kolonial
(Politieke Inlichtingen Dients). Pelarangan tersebut memicu protes yang
meluas sampai menjadi perdebatan keras di Volksraad.
Catatan intelejen kolonial tentang Indonesia Raya
Dalam menyuarakan cita-cita kemerdekaan, Soepratman tak hanya berhenti pada gubahan musik. Ia juga menulis novel berjudul Perawan Desa
yang ditulis dan diterbitkan pada 1929. Novel itu berkisah tentang kesengsaraan hidup di bawah kolonialisme yang dipotret melalui cerita para kuli
kontrak di tanah perkebunan Deli, Sumatra Utara. Karena mengandung
kritik atas pemerintah kolonial, novel itu pun disita dan dimusnahkan oleh
aparat Belanda.
Selain menggubah Indonesia Raya, Dari Barat Sampai Ke Timur, Indonesia Ibuku,
Di Timur Matahari, serta sejumlah lagu mars pergerakan, W.R. Soepratman
juga mencipta Ibu Kita Kartini, yang terinspirasi dari liputannya atas Kongres Perempuan Indonesia Pertama di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928,
dan Matahari Terbit. Lagu terakhir itu dianggap subversif oleh pemerintah
25
kolonial dan menggiring Soepratman dijebloskan ke penjara Kalisosok,
Surabaya, pada Agustus 1938. Kelelahan fisik dan psikis membuat Soepratman jatuh sakit dan akhirnya meninggal di Surabaya, Jawa Timur, pada 17
Agustus 1938. Pada detik-detik penghabisannya, ia menulis secarik surat
wasiat (Rahman 2016: 34):
“Selamat tinggal tanah airku
Tanah tumpah darahku
Indonesia tanah berseri
Tanah yang aku sayangi
Selamat tinggal bangsaku!”
1.2. Tala Nada Politik Hukum Indonesia Raya
W.R. Soepratman menggubah lagu Indonesia Raya dengan dua versi. Versi
pertama menggunakan tanda sukat 6/8 yang bisa dilihat dari partitur yang
diterbitkan oleh koran Sin Po. Versi lainnya adalah versi dengan menggunakan tanda sukat 4/4. Keduanya tidak terlalu memiliki perbedaan, kecuali
pada nilai-nilai nada. Lain daripada itu, Soepratman juga memberikan versi
keroncong dan versi waltz. Kemungkinan yang dimaksud dengan Indonesia
Raya versi waltz adalah yang menggunakan sukat 6/8, dan versi keroncong
yang menggunakan sukat 4/4.
Syair yang pertama kali dibuat oleh Soepratman juga sudah diubah beberapa kali, sesuai dengan kebutuhan artistik dan politik. Adapun syair awal
Soepratman berbunyi:
Indonesia, tanah airku,
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Menjaga Pandu ibuku
Indonesia, kebangsaanku
Kebangsaan tanah airku
Marilah kita berseru
“Indonesia bersatu”
Hiduplah tanahku
Hiduplah neg’riku
Bangsaku, jiwaku, semua
26
BUNYI MERDEKA
Bangunlah rakyatnya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Indones’, Indones’
Mulia, mulia
Tanahku, neg’riku yang kucinta
Indones’, Indones’
Mulia, mulia
Hiduplah Indonesia Raya
Indones’, Indones’
Mulia, mulia
Tanahku, neg’riku yang kucinta
Indones’, Indones’
Mulia, mulia
Hiduplah Indonesia Raya
Judul yang pertama kali diberikan Soepratman untuk karangannya adalah
Indonesia.
Setelah melihat kemerdekaan sudah mulai muncul di cakrawala, Sukarno
meminta Kusbini untuk membentuk sebuah panitia guna menyempurnakan lagu dan syair Indonesia Raya agar dapat menjadi lagu kebangsaan.
Pada pertengahan 1944, dibentuklah sebuah Panitia Lagu Kebangsaan yang
dipimpin oleh Kusbini. Adapun panitia tersebut terdiri dari para tokoh nasional, yaitu:
1. Sukarno
2. Ki Hadjar Dewantara
3. Achiar
4. Bintang Sudibyo
5. Darmajaya
6. Kusbini
7. Kyai Haji Mansyur
8. Muhammad Yamin
9. Sastromulyono
10. Sanoesi Pane
11. Cornel Simandjuntak
12. A. Subardjo
27
13. Utoyo
Panitia Lagu Kebangsaan itu selesai merumuskan persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan syair dan sekaligus membuat ketetapan-ketetapan
sebagai berikut:
1. Apabila lagu Indonesia Raya dinyanyikan satu kuplet saja, maka
ulangannya dilagukan dua kali. Apabila dinyanyikan tiga kuplet,
maka ulangannya dilagukan satu kali, kecuali kuplet ketiga yang
ulangannya tetap dilagukan dua kali.
2. Ketika menaikkan bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya harus diperdengarkan dengan ukuran cepat 104. Kalau sedang berbaris, dipakai ukuran cepat 120.
3. Perkataan “semua” diganti dengan perkataan “sem’wanya.” Not
ditambah dengan Do.
4. Perkataan “refrein” diganti dengan perkataan “ulangan.”
Pada kenyataannya, perubahan pada syair Indonesia Raya bukan hanya
pada kata “semua,” tetapi, lebih dari itu. Perubahan itu didasarkan atas
pertimbangan tata bahasa, sastra dan musik. Di bawah ini adalah perbandingan antara syair asli Indonesia Raya buatan Soepratman dan revisi yang
dibuat oleh Panitia Lagu Kebangsaan:
Kuplet I
19281944
Menjaga pandu ibuku
Jadi pandu ibuku
Kebangsaan tanah-airku
Bangsa dan tanah airku
Bangsaku, jiwaku semua
Bangsaku, rakyatku sem’wanya
Bangunlah, rakyatnya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah, bangsanya
Bangunlah badannya
Kuplet II
Disanalah aku hidup
Marilah kita berseru
28
Disanalah aku berada
Marilah kita mendoa
BUNYI MERDEKA
Indonesia bersatuIndonesia bahagia
Kuplet III
Menjaga ibu sejati
Njaga ibu sejati
Selamatlah rakyatnyaS’lamatlah rakyatnya
Selamatlah putranyaS’lamatlah putranya
Pulaunya, lautnya semua
Pulaunya, lautnya sem’wanya
Pada praktiknya, setelah kemerdekaan, meskipun sudah dikodifikasi
oleh Panitia Lagu Kebangsaan, masih banyak ditemukan berbagai variasi cara memainkan lagu Indonesia Raya. Akhirnya, pemerintah pada masa
itu menganggap perlu suatu intervensi untuk menetapkan cara-cara lagu
kebangsaan dimainkan. Oleh sebab itu, pada 16 November 1948, Presiden
Sukarno memutuskan untuk membentuk Panitia Indonesia Raya. Tugas
utama dari panitia tersebut adalah untuk memberikan saran-saran kepada
Pemerintah mengenai:
1. Cara menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam
berbagai upacara resmi dan tidak resmi.
2. Cara mengibarkan dan memakai bendera kebangsaan
Sang Merah Putih.
3. Bentuk, isi dan cara pemakaian lambang negara Republik
Indonesia.
4. Hal-hal lain yang dianggap perlu dan bersangkutan dengan lagu kebangsaan, bendera kebangsaan Sang Merah
Putih dan lambang negara yang belum tersebut dalam
butir 1, 2 dan 3.
Judul Indonesia Raya baru diberikan kemudian, setelah dirasa judul awalnya
kurang mencerminkan kemegahan negeri Indonesia. Kata-kata “mulia”
dalam syair awal buatan Soepratman juga mengalami perubahan pada
1944. Perubahan itu dilakukan oleh Panitia Lagu Kebangsaan yang diminta
Sukarno untuk merumuskan lagu kebangsaan, mengingat kemungkinan
kemerdekaan yang sudah ada di depan mata. Keputusan Sukarno itu lalu
menetapkan bahwa lagu Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan Indonesia.
29
Lebih dari satu dasawarsa kemudian, pada 1958 pemerintah mengeluarkan
penetapan berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 1958 yang
menegaskan perihal Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya. Selanjutnya PP
tersebut juga menegaskan tentang cara menyanyikan, penggunaan dan
tata tertib penggunaan lagu kebangsaan. Berkait dengan cara menyanyikan PP tersebut menyatakan sebagaimana termaktub dalam pasal 2 ayat
(1), (2) dan (3):
(1) Pada kesempatan-kesempatan di mana diperdengarkan Lagu Kebangsaan dengan alat-alat musik, maka lagu itu dibunyikan lengkap satu kali, yaitu satu strofe dengan dua kali ulangan.
(2) Jika pada kesempatan-kesempatan Lagu Kebangsaan dinyanyikan, maka lagu itu dinyanyikan lengkap satu bait, yaitu bait pertama dengan dua kali ulangan.
(3) Jika dalam hal tersebut pada ayat 2 di atas, Lagu Kebangsaan dinyanyikan seluruhnya, yaitu tiga bait, maka sesudah bait yang
pertama dan sesudah bait yang kedua dinyanyikan ulangan satu
kali dan sesudah bait penghabisan dinyanyikan ulangan satu kali
dan sesudah bait penghabisan dinyanyikan ulangan dua kali.
Perkembangan selanjutnya berdasarkan peraturan pemerintah melalui Instruksi Menteri Muda Pendidikan dan Pengajaran dan Kebudayaan Nomor
1 tanggal 17 Agustus 1959, telah ditetapkan tujuh lagu-lagu perjuangan
sebagai lagu wajib yaitu (1) lagu ‘Kebangsaan Indonesia Raya’ ciptaan W.R.
Soepratman. (2) lagu ‘Bagimu Neg’ri’ ciptaan Kusbini. (3) lagu ‘Maju tak
Gentar’ ciptaan Cornel Simandjuntak. (4) lagu ‘Hallo-hallo Bandung’ ciptaan Ismail Marzuki. (5) lagu ‘Rayuan Pulau Kelapa’ ciptaan Ismail Marzuki. (6) lagu ‘Berkibarlah Benderaku’ ciptaan Bintang Sudibyo, dan (7) lagu
‘Satu Nusa Satu Bangsa’ ciptaan L. Manik.
Kodifikasi terakhir terhadap lagu Indonesia Raya adalah melalui UU Nomor
24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, yang sekali
menegaskan perihal Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan berikut aturan
tambahan penggunaannya. Ini tercantum dalam Bab V bagian kedua terkait penggunaan lagu kebangsaan, pasal 59 ayat (1), Lagu Kebangsaan wajib
diperdengarkan dan/atau dinyanyikan:
a. untuk menghormati Presiden dan/atau Wakil Presiden;
30
BUNYI MERDEKA
b. untuk menghormati Bendera Negara pada waktu pengibaran atau
penurunan Bendera Negara yang diadakan dalam upacara;
c. dalam acara resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah;
d. dalam acara pembukaan sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah;
e. untuk menghormati kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat dalam kunjungan resmi;
f. dalam acara atau kegiatan olahraga internasional; dan
g. dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni internasional yang diselenggarakan di Indonesia.
Selain itu lagu kebangsaan Indonesia Raya juga boleh digunakan untuk
momen tertentu. Pada pasal 59 ayat (2) disebutkan bahwa lagu kebangsaan
dapat diperdengarkan dan/atau dinyanyikan:
a. sebagai pernyataan rasa kebangsaan;
b. dalam rangkaian program pendidikan dan pengajaran;
c. dalam acara resmi lainnya yang diselenggarakan oleh organisasi,
partai politik, dan kelompok masyarakat lain; dan/atau
d. dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni internasional.
Menurut pasal 60 pada bagian ketiga undang-undang, tata cara penggunaan lagu kebangsaan adalah sebagaimana berikut:
1. Lagu Kebangsaan dapat dinyanyikan dengan diiringi alat
musik, tanpa diiringi alat musik, ataupun diperdengarkan
secara instrumental.
2. Lagu Kebangsaan yang diiringi alat musik, dinyanyikan
lengkap satu strofe, dengan satu kali ulangan pada refrein.
3. Lagu Kebangsaan yang tidak diiringi alat musik, dinyanyikan lengkap satu stanza pertama, dengan satu kali ulangan pada bait ketiga stanza pertama.
Sebagai tambahan dari pasal 61, apabila Lagu Kebangsaan dinyanyikan
lengkap tiga stanza, bait ketiga pada stanza kedua dan stanza ketiga dinyanyikan ulang satu kali. Sementara sikap hadirin tertulis pada pasal 62 yang
berisi bahwa setiap orang yang hadir pada saat lagu kebangsaan diperdengarkan dan/atau dinyanyikan, wajib berdiri tegak dengan sikap hormat.
31
1.3. Kemerdekaan Sebagai Bunyi
Sebelum ini sudah dibahas mengenai gambaran umum situasi pra-kemerdekaan, lebih tepatnya, Kebangkitan Nasional sampai Sumpah Pemuda, terutama kisah tragis pahlawan bangsa, W.R. Soepratman dan karya
gubahannya yang kita kenal sebagai lagu kebangsaan.
Bagian ini akan menguraikan kemerdekaan sebagai bunyi atau kemungkinan-kemungkinan bunyi kemerdekaan. Apa maksudnya kemerdekaan
sebagai bunyi? Dapatkah bunyi menjadi merdeka atau, setidaknya, melambangkan kemerdekaan? Apakah mungkin musik menyampaikan makna kemerdekaan sebagai sebuah karya abstrak?3 Bagaimana sebuah bunyi-bunyian yang tersistematisasi membakar semangat perjuangan kemerdekaan? Apakah memang mungkin? Pertanyaan-pertanyaan semacam
ini akan coba dilukiskan secara umum sebagai pengantar kajian yang lebih
mendalam pada bab selanjutnya.
Sudah dijelaskan bahwa
lagu kebangsaan Indonesia Raya digubah oleh W.R.
Soepratman menggunakan
biola. Kemudian, agar menjadi lagu kebangsaan yang
sekarang kita kenal, gubahan Soepratman itu diorkestrasi oleh seorang
komponis Belanda bernama
Josef Cleber. Tidak semua
komponis menggubah lagunya memang untuk orkes
besar, Soepratman salah satunya. Mengingat kondisi
bangsa tatkala Soepratman
menggubah Indonesia Raya,
wajar saja ia tidak memper-
Josef Cleber
3 Karya abstrak berarti karya yang disarikan dari nilai-nilai kunci sebuah satuan wujud.
Sebagai misal, sila-sila dari Pancasila merupakan abstraksi dari nilai-nilai filosofis bangsa
Indonesia yang terperikan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
32
BUNYI MERDEKA
siapkan orkestrasi penuh. Soepratman menggubah Indonesia Raya di bawah
bayang-bayang kuasa kolonial di mana kehidupan serba sementara dan tidak ada kepastian masa depan. Benar saja, Soepratman meninggal di usia
muda sebelum sempat mendengar kebangkitan bangsa yang ia impikan.
Baik Indonesia Raya bentuk asli Soepratman dan Cleber memiliki napas yang
sama, napas perjuangan dan kebangkitan bangsa. Namun, nuansa kedua
bentuk tersebut amat berbeda. Hal ini dikarenakan perbedaan karakter
alat musik, di mana versi asli menggunakan biola dan versi di kemudian
hari, versi yang kita kenal sekarang, menggunakan orkestra penuh. Jika
dalam seni lukis kita mengenal warna, maka seni musik juga mengenal
warna. Warna dalam seni musik digunakan untuk memberikan kesan yang
berbeda, sama halnya dengan seni lukis. Oleh sebab itu, setiap alat musik
memiliki warnanya masing-masing, sesuai dengan karakter yang dimiliki
oleh alat musik itu sendiri.
Sebelum kita masuk lebih jauh ke dalam pemahaman musik Indonesia Raya,
terutama dalam kaitan dengan bunyi kemerdekaan, kita perlu memastikan
apa itu musik. Ini perlu agar kita tidak keliru antara bunyi kemerdekaan
dan bunyi-bunyi yang tersistematisasi lainnya. Juga karena lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya, bukan Bendera gubahan kelompok musik
Coklat, bukan juga Padamu Neg’RI ciptaan Kusbini dan lagu-lagu nasional
lainnya.4
1.3.1. Apa Itu Musik?
Perlunya mencari definisi musik yang tidak hanya niscaya, tetapi juga memadai menjadi penting dalam pembahasan mengenai musik kebangsaan,
4 Ternyata, ketika Kusbini menggubah lagu Padamu Neg’RI, kata terakhir, yaitu Neg’RI bukan dimaksudnya sebagai negeri dalam artian tanah tumpah darah. Kata Neg’RI, dan ini
adalah alasan saya menggunakan huruf besar untuk sukukata “RI,” rupanya adalah singkatan dari Negara Republik Indonesia. Ketika itu, Kusbini dipanggil oleh Sukarno ke ibukota
Indonesia yang waktu itu bertempat di Yogyakarta. Konon katanya, Sukarno beberapa kali
memanggil Kusbini untuk melihat lagu apa yang sudah dikarang olehnya. Pada hari itu,
Kusbini datang dengan sepeda dan membawa sebuah map berisikan naskah lagu Padamu
Neg’RI. Pada awalnya, kalimat terakhir dari syair lagu tersebut adalah “Indonesia Raya.”
Menyadari hal itu, Sukarno menegur Kusbini agar ia mengubahnya karena ketika itu belum
ada yang namanya Republik Indonesia. Oleh sebab itu, sekarang kita mengenal lagu tersebut dengan syair penutup “Jiwa raga kami.” Sedangkan singkatan pada judul lagu tersebut
menunjukkan bentuk-bentuk perlawanan kepada pemerintahan kolonial dalam bentuk pesan-pesan tersembunyi.
33
terutama Indonesia Raya sebagai perwujudan saripati pergerakan kebangsaan. Definisi memadai secara logis lebih kuat daripada definisi niscaya.
Artinya begini, bunyi-bunyian merupakan salah satu elemen musik paling
dasar, tetapi tidak semua bunyi-bunyian bisa dikatakan sebagai musik.
Sedangkan definisi memadai tetap berlaku, meskipun definisinya dibalik.
Misalnya, contoh yang cukup populer, manusia adalah binatang rasional.
Ketika dibalik, semua binatang rasional adalah manusia dan berlaku juga
sebaliknya, semua manusia adalah binatang rasional.
Mengingat unsur di atas, maka dari itu, musik biasanya dijelaskan sebagai
bunyi atau suara. Definisi ini terlalu luas, meskipun secara umum bisa menerangkan apa itu musik, sehingga suara-suara yang dihasilkan oleh apa
pun, selama memiliki frekuensi, baik yang bisa didengar oleh manusia atau
tidak, akan jatuh ke dalam kategori musik. Menurut definisi ini, maka anak
kecil yang memukul panci atau menangis bisa disebut musik. Bukan itu.
Terutama untuk keperluan kita sekarang, tidak mungkin kita menyamakan
antara Indonesia Raya dan tangisan anak kecil karena kehilangan mainannya. Indonesia Raya digubah dengan pertumpahan darah W.R. Soepratman
justru agar anak kecil itu bisa bebas menangis sekarang.
Pengembangan dari definisi awal itu biasanya menentukan musik sebagai
suara yang tersistematisasi. Artinya, suara yang disusun, dibentuk atau
dirangkai dengan atau tidak saksama sehingga menjadi sebuah kesatuan
baru. Sekali lagi, definisi ini masih sedikit luas, meski sudah mulai menyempit. Dapat kita lihat, definisi ini juga menyertakan suara-suara yang tersistematisasi seperti misalnya seruan para pekerja yang sedang demonstrasi, erangan (keluh kesah) kucing meminta makan (minta kawin), keluh
kesah kucing kelaparan yang minta makan dan kawin, dan seterusnya.
Suara-suara seperti itu merupakan bunyi yang terorganisir dan memiliki
tujuan tertentu, bukan hanya keusilan untuk membuang waktu. Tetapi,
apakah suara semacam itu adalah musik? Untuk itu, kita harus menyempitkan lagi definisi kerja kita agar lebih menyesuaikan dengan Indonesia
Raya sebagai sebuah karya seni musik. Dengan mempertimbangkan pelaku
yang memproduksi suara, kita sebetulnya sudah mengarah kepada definisi
yang lebih baik dan tegas. Kesulitannya adalah tidak semua produksi suara
manusia, sebagai pelaku, bisa dikategorikan sebagai musik. Contohnya,
tangisan anak kecil yang menuntut mainan kegemarannya tadi.
Musik juga tidak bisa dibilang selalu dibuat untuk menyampaikan ide yang
34
BUNYI MERDEKA
dimiliki oleh penggubahnya. Lagi pula, tidak semua musik memiliki ide
atau gagasan yang ingin disampaikan. Sandi suara, kalau begitu, bisa disebut musik karena menyampaikan pesan tertentu dengan menggunakan
frekuensi yang terorganisir. Diperlukan sebuah kategori lagi untuk lebih
memperjelas definisinya sehingga bisa menjadi memadai, yaitu, kategori
tujuan. Oleh sebab itu, mungkin musik dapat dijelaskan sebagai:
“Bebunyian yang disusun secara temporal oleh seseorang dengan maksud memperkaya atau menegaskan pengalaman melalui kesertaan aktif (misalnya, mendengar, menari, mempertunjukkan) dengan menggunakan medium suara, setidaknya
hampir seluruhnya, sebagai suara.”
Dengan memberikan landasan definisi musik, maka kita bisa memulai kajian tentang musik Indonesia Raya dengan lebih terang. Jelas dari definisi
tersebut kita bisa melihat bahwa Indonesia Raya masuk ke kategori musik.
Pertama-tama karena lagu tersebut digubah oleh seseorang yaitu W.R.
Soepratman. Kemudian, jelas pula maksud dari Soepratman menggubah
lagu Indonesia Raya, yaitu untuk memperkaya atau menegaskan pengalaman masyarakat Indonesia. Semua ini dimungkinkan melalui kesertaan
aktif para pendengarnya yaitu masyarakat Indonesia itu sendiri.
Berbicara mengenai maksud atau tujuan sebuah karya musik, kita harus
bicara mengenai kemampuan ekspresinya. Pada umumnya, ada dua arus
besar dalam teori kajian musik. Arus pertama adalah formalisme, yang
menghasilkan musik absolut, yaitu arus yang menolak makna terselubung
di balik tatanan musikal yang sudah rapi tersusun oleh seorang komponis dan/atau merasa bahwa musik tidak mungkin merujuk pada sesuatu di
luar dirinya sendiri.5 Sedangkan arus kedua adalah paham musik program,
artinya, musik yang memang sengaja digubah dengan tujuan membangkitkan perasaan tertentu dan/atau berupaya menggambarkan tema-tema
tertentu. Paham pertama biasanya menolak kemampuan ekspresif dari
musik sama sekali, tetapi keduanya biasanya sepakat bahwa musik tidak
memiliki rujukan semantik.
5 Selain menolak makna terselubung, para penganut formalisme juga menolak makna eksplisit. Intinya, segala bentuk makna betul-betul ditolak. Meskipun begitu, formalisme juga
memiliki posisi moderat yang masih memberi ruang bagi ekspresi musikal untuk aneka
rupa musik program atau musik dengan lirik atau teks seperti opera dan tentu saja Indonesia
Raya.
35
Lagu Indonesia Raya masuk ke kategori nomor dua, yaitu musik yang sengaja digubah dengan tujuan membangkitkan perasaan tertentu dan, khususnya untuk kasus Indonesia Raya, berupaya menggambarkan tema-tema
tertentu. Tentunya yang digambarkan oleh Indonesia Raya bukan kenyataan itu sendiri, tetapi kesan yang ditimbulkan dari rangkaian nada-nada
tertentu. Komponis Hungaria Franz Liszt masuk ke kategori musik program ini dan memang menurut Liszt, musik program menuntut kemampuan lebih tinggi dari penggubahnya karena sang penggubah tidak hanya
melakukan manipulasi atas relasi formal musikal semata.6
Jadi, seperti apa itu musik absolut atau musik formal? Musik yang tidak
dipengaruhi atau berhubungan dengan peristiwa atau wujud di luar musik.
Musik absolut tidak menggambarkan gugusan awan, sinar rembulan, sungai yang memercik, gemuruh samudra, palung tak berdasar dan seterusnya. Musik program, dengan sendirinya, mampu menggambarkan pantulan matahari di tebing gunung kuarsa, kicauan burung, keindahan alam
semesta, sangkakala maut, arak-arakan kematian, sampai pengalaman
mencapai langit ke tujuh.7 Dalam musik program, nada-nada dirangkai sedemikian rupa sehingga kesan yang diinginkan dapat tercapai.
1.3.2. Pergerakan Nasional dan Musik
Berbicara tentang musik sebagai bagian dari Pergerakan Nasional, pada
dasarnya memiliki dua kandungan yang berbeda namun tidak mudah dipisahkan. Pertama, ini terkait dengan gagasan nasionalisme dalam musik,
dan kedua, terkait dengan peran musik di dalam menumbuhkan identitas nasional. Gagasan nasionalisme dalam musik ini sebenarnya merupakan refleksi dari munculnya semangat identitas nasional sebagai kekuatan politik di abad ke-19, termasuk di dalamnya gelombang gerakan
kemerdekaan. Kelahirannya berkaitan erat dengan pemujaan terhadap
“rasa” dan “identitas”, plus tuntutan liberal akan negara yang lebih berbasis pada kedaulatan rakyat ketimbang kedaulatan raja maupun Tuhan.
6 Yang dimaksud dengan relasi formal adalah betapapun kita ingin membayangkan keadaan
atau peristiwa tertentu ketika mendengarkan musik absolut, kita akan kesulitan mendapatnya. Hal ini dikarenakan ketika digubah, musik macam ini tidak ditujukan untuk menggugah khayalan korespondensi.
7 Penekanan ada dalam kata “mampu”. Artinya, musik program berupaya untuk menggambarkan berbagai kondisi nyata di luar musik. Soal keberhasilannya menggambarkan kondisi-kondisi itu, ternyata adalah masalah lain.
36
BUNYI MERDEKA
Karena itu, gagasan musik dalam nasionalisme di sini merujuk pada negeri,
wilayah, bahkan etnisitas sebagaimana yang ditampilkan melalui nada-nada, ritmis, dan harmoni musik rakyat/daerah, maupun adopsi subjek-subjek nasional untuk opera, simfoni maupun bentuk-bentuk musik lainnya.
Fenomena nasionalisme dalam musik ini, dari sisi musik klasik terwakili
oleh figur Frederic Chopin yang mencipta Etude ke-12, yang biasa disebut
sebagai Etude Revolusioner ataupun Etude Bombardemen Warsawa, yang
muncul bersamaan dengan serangan kekaisaran Rusia terhadap Polandia
pada 1831. Begitu juga ketika Chopin pindah ke Prancis dan berhubungan
erat dengan sastrawan aktivis Georges Sand, pada 1848 saat pecah gelombang yang kesekian dari Revolusi Prancis, Chopin membuat lagu Polonaise
in A-flat major, Op. 53, atau biasa disebut Polonaise Kepahlawanan (Heroic).
Komponis lain yang juga tersangkut gelombang nasionalisme dalam musik
adalah Bela Bartok. Antipatinya terhadap dominasi ruang-ruang pertunjukan musik Eropa yang mengharuskan penampilan repertoar bergaya
Beethoven pada abad ke-19, membuatnya memilih untuk menggali musikmusik dari kaum tani Hungaria dan Romania. Ini ditujukan untuk menunjukkan kepada masyarakat musik Eropa bahwa musik itu tidak berasal dari
kantong uang para maesenas, tetapi dari rakyat yang ada di pegunungan
Moravia misalnya.
Kandungan yang kedua, beranjak pada fungsi sosial musik sebagai sarana masyarakat untuk menghadapi kesukaran, menyuarakan keresahan,
ataupun menyerukan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Dalam
hal ini musik menjadi bagian dari identitas politik yang membuat pembedaan-pembedaan antara “kita” dan “yang lain”. Walaupun demikian,
patut diperhatikan juga bahwa musik adalah juga instrumen yang memiliki kemampuan untuk merangsang konflik ataupun perang, sebagaimana
juga kemampuannya untuk memulihkan perdamaian. Musik-musik pergerakan yang dibuat oleh para musisi Afrika Selatan seperti Miriam Makeba,
Hugh Masekela, Abdullah Ibrahim, di dalam perjuangan menentang politik
diskriminasi ras apartheid Afrika Selatan adalah bagian dari upaya membangun identitas politik.
Paling tidak sejak abad ke-17 musik sudah dihubung-hubungkan dengan
bahasa tutur. Tentu saja, teori ini berkembang di belahan dunia barat. Ketika itu, seorang komponis dari Italia, Jacopo Peri, dengan karyanya yang
berjudul Euridice, menggunakan teknik bernyanyi yang mirip dengan gaya
tutur. Dalam tatanan musik barat, gaya bernyanyi tutur seperti ini disebut
37
recitativo. Opera Euridice sendiri berulang kali dianggap sebagai salah satu
karya opera pertama yang pernah digubah. Sebagai penggabungan antara
teater dan musik, opera mesti memiliki dialog antara pemain-pemainnya.
Debat mengenai musik dan bahasa tutur ini berlanjut dan menemui puncaknya ketika Charles Darwin menolak pandangan Herbert Spencer yang
menyatakan bahwa musik berasal dari tuturan manusia. Menurut Darwin, bukan musik yang berasal dari bahasa tutur, melainkan bahasa tutur
yang berasal dari musik. Tetapi, terlepas dari kedua perbedaan pendapat
itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya musik mengemban
nilai-nilai emosional.
Tidaklah berlebihan apabila kita mengatakan bahwa W.R. Soepratman dalam kandungan musik identitas politik berada di atas puncak gunung komponis nasionalisme musik bersama Smetana, Dvorak, Liszt, Bartok, Enescu,
Sibelius, Elgar, Shostakovich. Karena apa yang dituturkannya, dan yang dibunyikannya seolah-olah menyuarakan hal yang sama dengan para komponis besar tersebut: “Aku sudah hidup dan mati untuk negaraku.”
38
II
Musik Sebelum Indonesia Raya
Tidak bisa dipungkiri, terdapat pengaruh kebudayaan barat dalam komposisi
Indonesia Raya bahkan sebelum Josef Cleber ditugasi untuk mengorkestrasinya. W.R. Soepratman menggubahnya pertama kali menggunakan biola, sebuah instrumen yang tidak ditemukan di tanah air. Kemudian, kita bisa mendengar sekilas pengaruh musik keroncong dalam gubahan awal Soepratman,
lagi-lagi dipengaruhi oleh musik Portugis yang waktu itu datang membawa
alat musik semacam ukulele bernama cavaquinho atau braguinha. Tergantung
dari sukat (time signature) yang digunakan, kita juga dapat merasakan pengaruh musik waltz dalam gubahan Soepratman, sekali lagi membuktikan bahwa dalam Indonesia Raya pengaruh musik barat begitu mencolok.8
Bab ini akan memaparkan perjumpaan budaya antara Indonesia dan negara
lain, karena pengaruh budaya tidak hanya berlaku satu arah saja. Di Belanda,
misalnya, terdapat komunitas yang aktif melestarikan musik-musik daerah
jajahan, terutama Indonesia.9 Tujuan dari bab ini adalah memberikan gambaran umum mengenai kondisi budaya tanah air, termasuk di dalamnya pengaruh tekanan kolonial terhadap alam pikir masyarakat pada masa pemerintahan kolonial. Diharapkan pembaca dapat memahami peristiwa pertukaran
budaya yang terjadi dengan lebih jernih dan terbuka.
Penjelasan yang diberikan di sini sifatnya hanya penjelasan umum, bukan
penjelasan menyeluruh tentang tradisi musik Nusantara. Pemaparan budaya
musik tanah air membutuhkan riset etnomusikologi yang lebih meluas, sementara ruang yang ada terbatas untuk membahas musik Indonesia Raya.
Perlu diketahui bahwa budaya tradisional masyarakat tanah air sudah banyak
yang punah. Kepunahan ini sudah terjadi bahkan sebelum ada arus mod8 Tanda sukat yang digunakan oleh Indonesia Raya yang kita kenal sekarang adalah 4/4, sedangkan, sebelumnya tanda sukat yang digunakan adalah 6/8 sehingga kita bisa mendengar
pengaruh musik waltz yang kentara dalam versi itu.
9 Contoh yang paling terkenal adalah Wieteke van Dort. Ia bahkan memiliki sebuah acara televisi yang menjangkitkan kebudayaan Nusantara, terutama Jawa.
ernisasi sekarang ini. Kepunahan ini ada yang dipaksakan dan ada yang
memang terjadi secara sukarela, seperti misalnya perubahan yang terjadi
akibat pertukaran budaya antar pedagang yang berjumpa di pelabuhan.
Tetapi, perubahan yang terjadi akibat pemaksaan juga tidak sedikit jumlahnya. Misalnya saja, agama-agama samawi yang masuk ke tanah air memaksa penduduk asli untuk meninggalkan budaya yang berkaitan dengan
ritus-ritus yang dianggap kafir atau memuja berhala di mana di dalam ritus-ritus pemujaan itu banyak kebudayaan yang mengandung, tidak hanya
musik, tetapi juga tari-tarian dan kearifan lokal lain.
Bagian ini hanya dimaksudkan sebagai pengantar ke dalam tradisi musik
Nusantara sehingga bukan sama sekali bermaksud untuk menjadi lengkap.
Pemilihan tradisi yang diangkat juga tidak berdasarkan sistematika tertentu, melainkan hanya sebuah pilihan praktis di tengah sedikitnya informasi yang tersedia. Oleh sebab itu, bisa saja tradisi musik masyarakat adat
lain di Indonesia tidak termasuk ke pembahasan singkat ini. Catatan lain,
musik tradisional Jawa dan Bali, sebagai musik tradisional paling populer, baik di Nusantara maupun di dunia internasional, tidak akan dibahas.
Alasannya, karena sudah cukup banyak kajian mengenai musik tradisional
Jawa dan Bali dan sumber-sumber yang ada membahasnya dengan amat
terinci.10 Gamelan menjadi begitu populer dan koleksi gubahannya masih
berkembang terus sampai sekarang dibandingkan dengan musik tradisional masyarakat Indonesia lainnya. Orkes gamelan juga tidak lagi terbatas
pada tanah air Indonesia saja karena di Amerika Serikat, misalnya, terdapat puluhan orkes gamelan yang melakukan pementasan rutin sekaligus
mengkaji aspek musikalnya.11
10 Lihat misalnya, Sumarsam, Jaap Kunst, Philip Yampolsky dan seterusnya, yang pernah
menulis musik tradisional Jawa, gamelan.
11 Tidak hanya itu, hampir semua institusi pembelajaran etnomusikologi di Amerika Utara
memiliki jurusan khusus musik gamelan, baik Jawa ataupun Bali. Pak Tjokro atau K.P.H.
Notoprojo, misalnya, pernah mengajar di California Institute of the Arts selama beberapa
waktu. Salah seorang murid beliau adalah komponis Amerika terkenal bernama Lou Harrison yang berulang kali menggunakan gamelan dalam komposisi modernisnya. Selain itu, I
Wayan Suweca mendirikan gamelan Sekar Jaya bersama beberapa muridnya, juga di Amerika Serikat, selain mengajar di berbagai institusi pendidikan formal di sana. Peran musik
gamelan Jawa dan Bali begitu kuat, sehingga Rahayu Supanggah pernah menggubah musik
untuk pementasan I La Galigo, sebuah lakon yang diangkat dari kebudayaan Bugis kuno,
yang diciptakan oleh sutradara lakon kenamaan, Robert Wilson, menggunakan beberapa
instrumen gamelan dari Jawa dan Bali untuk komposisi musik yang seharusnya murni berasal dari kebudayaan musik Bugis. (Ini bukan berarti komposisi Rahayu Supanggah jelek
40
BUNYI MERDEKA
Musik dalam tradisi masyarakat adat Indonesia tidak bisa dipisahkan dari
berbagai ritual upacara yang mengikutinya. Musik tradisional Nusantara
pada umumnya juga tidak pernah berdiri sendiri, seperti pada musik tradisional barat, karena musik tradisional Indonesia biasanya dimainkan untuk mengiringi, misalnya tarian-tarian dan berbagai upacara adat. Oleh sebab itu, tidak banyak bisa disaksikan musik tradisional dipentaskan tanpa
ritual-ritual yang mengikutinya. Memang, berbagai upaya dilakukan untuk
terus melestarikan tradisi musik Nusantara yang semakin lama semakin
menghilang.
2.1. Etude Syailendra
Jejak-jejak awal kehidupan musik di Indonesia dapat ditemukan dalam
relief-relief Candi Borobudur dan Prambanan. Pada Candi Borobudur terdapat 105 relief yang menggambarkan adegan musik dalam segala lingkungan masyarakat dan dunia supernatural. Relief-relief tersebut ditemukan
pada cerita Karmawibangga, Lalitawistara, Jatakamala Jataka, Awadhana,
Gandawyuha dan Bhadracari. Relief-relief itu juga menggambarkan adanya
empat kelompok jenis alat musik yaitu Tata Vadya/Kordofon yang terdiri
dari alat musik petik; Ghana Vadya/Ideofon yang terdiri dari alat musik
pukul, dengan sumber bunyi pada alat musik itu sendiri seperti simbal,
genta, gambang, saron, dan sebagainya; Sushira Vadya/Aerofon yang terdiri dari alat-alat musik tiup; serta Avanaddha Vadya/Membranofon seperti gendang.12
atau bahkan salah. Komposisi Rahayu Supanggah boleh dikatakan tidak setia kepada tradisi
Bugis, akan tetapi, dalam proses penggubahan sebuah karya seni, hal semacam itu sah-sah
saja).
12 Peter Ferdinandus. “Perkembangan Musik Pada Dinasti Sailendra abad VIII-IX,” Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi XI, Solo 13-16 Juni 2008.
41
Gambar alat musik pada relief Candi Borobudur
Sementara pada kompleks Candi Prambanan terutama Candi Siwa terlihat
relief alat-alat musik dengan bentuk tarian yang dipahatkan pada pagar
langkan candi tersebut. Apabila seseorang mengelilingi candi tersebut dan
melihat ke atas akan terlihat adegan penari-penari dengan pemain musik
dan alat musik.
Selanjutnya bila diperhatikan perjalanan sejarah musik juga tampak pada
Candi Jalatunda, Jago, Jawi dan Penataran, terkait fungsi musik yang memiliki peran yang besar dalam masyarakat. Ini diperkuat lagi dengan data-data yang terdapat dalam prasasti-prasasti abad ke-8-15 Masehi.
Dari data arkeologi tersebut tampak gambaran bahwa musik tetap dikontrol oleh tokoh masyarakat seperti raja atau golongan istana. Dalam prasasti berbahasa Jawa kuno maupun Bali kuno sepanjang abad ke-9-15 Masehi
tercatat peran penting musik dalam pendirian sima yang dilakukan oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Naskah-naskah Jawa kuno serupa kakawin, kidung dan sejenisnya menempatkan musik sebagai bagian
dari upacara, komunikasi, pemberi semangat dan taktik perang.
2.1.1. Syair Gendang dan Gong Nias
Fo’ere merupakan salah satu alat musik perkusi yang memiliki bentuk se42
BUNYI MERDEKA
rupa dengan moko dan nekara lokal, memiliki bentuk berpinggang sebagai
batas antara bagian tubuh. Pada salah satu bagian lubangnya digunakan
sebagai bidang pukul (timpanum). Pola hias fo’ere dan keletakan pola hias
menunjukkan kesamaan dengan pola hias nekara ataupun moko yaitu
pada pola hias kedok muka manusia, bulu burung dan segitiga berjajar. Sebagian fungsi fo’ere sama dengan fungsi nekara yaitu digunakan sebagai
alat musik untuk keperluan religi semata. Persamaan bentuk dan fungsi
serta pola hias dan peletakan pola hias yang diacu pada masa pembabakan
prasejarah (megalitik) yang dikaitkan dengan budaya Dong Son menguatkan hipotesis bahwa fo’ere bentuk alat musik perkusi dari budaya prasejarah.
Aramba (gong) merupakan alat musik jenis perkusi yang digunakan pada
upacara yang bersifat sakral maupun profan pada masyarakat Nias. Bentuk
aramba (gong) yang serupa dengan bentuk batu kenong dan batu gong,
yang merupakan hasil budaya megalitik memiliki kesamaan dengan aramba (gong) yang digunakan masyarakat Nias pada khususnya. Mengingat bahan baku aramba (gong) yang digunakan adalah perunggu serta temuan
batu kenong dan batu gong berkaitan dengan budaya megalitik, maka sangat memungkinkan aramba (gong) merupakan salah satu bentuk budaya
materi yang berkaitan dengan budaya Dong Son masa prasejarah. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa fo’ere dan aramba (gong) merupakan
bentuk alat musik perkusi yang berasal dari budaya Dong Son pada masa
prasejarah.
2.1.2. Ansambel Krinok
Krinok merupakan salah satu seni vokal tradisi yang dimiliki masyarakat
Melayu di Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Muara Bungo, Jambi.
Seniman krinok mengatakan krinok adalah kesenian tertua yang telah ada
sejak prasejarah dan masih dapat dijumpai hingga saat ini.
Cikal bakal krinok sebagai sebuah seni suara telah ada jauh sebelum masuknya agama Budha ke wilayah Jambi. Pada masa itu seni vokal digunakan untuk pembacaan mantra atau doa tertentu, inilah yang kemudian
berkembang menjadi kesenian krinok.
Sebagai sebuah bentuk kesenian, krinok pada awalnya merupakan seni
vokal yang sangat sederhana. Krinok hanya berupa puisi lama yang dinyanyikan sedemikian rupa dengan nada-nada tinggi dan tanpa alat musik.
43
Krinok belumlah menjadi suatu seni pertunjukan seperti sekarang, melainkan sebuah seni suara yang bersifat sangat personal dan dipenuhi emosi.
M. Hasan mengatakan, pada awal keberadaannya krinok hanya dilantunkan oleh kaum laki-laki saat mereka bekerja di ladang atau mencari kayu di
hutan. Krinok dapat dilantunkan sendiri atau juga berbalasan dengan pelantun lain yang berjarak ratusan meter. Kesenian krinok generasi awal ini
sempat mendapat pertentangan dari kalangan ulama. Krinok dinilai kurang
sesuai dengan ajaran Islam karena lirik krinok pada umumnya berisi ratapan. Namun, kesenian ini tetap bertahan karena dianggap memiliki fungsi
tersendiri bagi masyarakat. Krinok pada masa ini memiliki tiga fungsi yaitu
sebagai penghibur diri, untuk mengusir binatang buas dan untuk menarik
hati perempuan yang ingin dinikahi. Karena fungsinya sebagai penghibur
diri, maka tidak ada lirik krinok yang baku. Setiap pelantun bebas menyuarakan isi hati mereka, entah senang ataupun duka.
Berbeda dengan kaum laki-laki, kaum perempuan menghibur diri dengan memainkan alat musik kelintang kayu disela-sela waktu istirahat
saat bekerja di sawah. Kelintang kayu ini adalah alat musik tunggal yang
mampu menghasilkan nada yang harmonis. Kelintang kayu dibuat sendiri
oleh kaum perempuan di Rantau Pandan dengan menggunakan beberapa
potong kayu dari pohon ngkring beluka yang sudah dikeringkan. Setelah
kering, kayu dibelah dua dan dipotong menurut nada yang ingin dihasilkan. Potongan kayu tersebut disusun di atas kotak kayu persegi panjang
dengan diberi alas dari ban bekas. Uniknya, kelintang kayu hanya memiliki
enam potongan kayu sehingga hanya memiliki enam nada. Pada masa dahulu masyarakat Rantau Pandan belum mengenal notasi balok kelintang
kayu sehingga lebih mengandalkan naluri si pemain. Agar menghasilkan
nada-nada yang indah, kelintang kayu dimainkan oleh dua pemain.
Awalnya kelintang kayu dimainkan tanpa lagu, hanya alunan nada saja.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya seniman krinok di Rantau Pandan memadukan vokal krinok dengan alunan nada kelintang kayu sehingga menghasilkan seni musik yang lebih menarik. Pada fase ini krinok mulai
dimainkan saat bekerja di sawah, baik vokal solo maupun duet. Bahkan krinok dengan iringan kelintang kayu menjadi hiburan wajib bagi muda-mudi
yang ikut serta dalam kegiatan beselang (gotong-royong) di sawah maupun
ladang.
Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian krinok tidak hanya diiringi
dengan alat musik kelintang kayu. Beberapa alat musik mulai dipadukan
44
BUNYI MERDEKA
dengan krinok seperti gong, gendang panjang serta biola. Keempat alat
musik tersebut kemudian menjadi pakem bagi musik pengiring krinok.
Dengan alat musik yang lebih lengkap, kesenian krinok semakin memikat
para penggemarnya. Fase ini dapat dikatakan sebagai fase penting dalam
perkembangan krinok, karena dengan bertambahnya musik pengiring krinok menjadi suatu kesenian yang lebih dinamis. Sedikitnya ada lima poin
perkembangan yang terjadi pada fase ini selain penambahan alat musik,
yaitu: Pertama, ruang pementasan krinok semakin luas. Krinok tidak hanya dimainkan saat kegiatan beselang, tetapi juga menjadi hiburan pada pesta perkawinan. Kedua, seniman krinok mulai membentuk sebuah kelompok seniman dengan anggota relatif tetap dan mulai menjadikan krinok
sebagai sumber penghasilan sampingan. Ketiga, krinok mulai mengenal lirik baku yang dikenal umum dan terpola dalam setiap pertunjukannya. Keempat, seniman krinok mulai menggunakan kostum dan tata rias. Kostum
pemain laki-laki terdiri dari peci hitam, baju teluk belango beserta celana
dan kain sarung sebagai kain pinggang. Sedangkan kostum untuk pemain
krinok perempuan adalah kerudung, baju kurung panjang yang dipadukan dengan kain sarung. Warna kostum disesuaikan dengan selera pemain
musik. Kelima, hilangnya bentuk awal krinok sebagai seni vokal yang bersifat ekspresif dan personal.
2.1.3. Aceh dan Budaya Musik Syariah
Kebudayaan tradisional Aceh, terutama yang terwujud dalam tari-tariannya, seperti misalnya tari Saman, adalah salah satu budaya yang cukup
populer di kalangan masyarakat kontemporer. Budaya kesenian tari dan
musik Aceh dapat dibagi menjadi dua periode utama, yaitu periode pra-Islam dan periode setelah Islam masuk. Kebudayaan yang berasal dari periode sebelum Islam menyebar di provinsi itu kini sudah banyak mengalami
Islamisasi karena dianggap kafir atau tidak sesuai dengan ajaran syariah.
Oleh sebab itu, kebudayaan Aceh, sebagai provinsi yang dikenal sebagai
Serambi Mekah, sangat kental tradisi Islamnya.
2.1.4. Musik Upacara Masyarakat Pekantan
Masyarakat Pekantan adalah masyarakat yang sekarang terletak di Kecamatan Pekantan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara. Masyarakat Pekantan adalah salah satu komunitas yang cukup terisolir dari dunia
luar. Hal ini membuat kebudayaan Pekantan cukup terjaga dari pengaruh
dunia luar, meskipun, beberapa perubahan juga sudah terjadi, terutama
45
sejak agama Islam masuk. Sistem pemerintahan masyarakat Pekantan, seperti halnya masyarakat adat lainnya di Indonesia, adalah kerajaan. Jika
disebut bahwa masyarakat Pekantan mengenal sistem kerajaan, jangan
dibayangkan yang dimaksud dengan kerajaan adalah kerajaan modern
dengan wilayah dan kuasa yang luas. Budaya Pekantan mengenal banyak
raja, yang artinya raja mengatasi berbagai aspek kehidupan masyarakat
adat atau suku. Jadi, lebih tepatnya, raja adalah semacam kepala suku yang
mengepalai suatu komunitas atau pemukiman.
Biasanya raja dalam masyarakat Pekantan tinggal di dataran yang lebih tinggi dari masyarakat biasa. Dalam sistem kekastaan ini berarti raja
mendapatkan air yang paling dekat dengan sumber mata air, artinya air
tersebut belum tercemar.13 Ini sekaligus menandakan pentingnya air dalam kehidupan masyarakat Pekantan. Rumah tempat raja tinggal bernama
bagas na godang atau bagas borlang. Raja dalam masyarakat adat Pekantan
memiliki fungsi administratif dan yudikatif sekaligus bertugas memimpin
upacara adat. Raja menjalankan tugas eksekutifnya dari sebuah pendopo
bernama sopo godang atau sopo gordang, di mana dalam pendopo tersebut
raja memimpin upacara ritual atau mengadakan pertemuan dengan pemimpin suku lain. Sopo godang terletak di dataran yang lebih tinggi dari
pemukiman rakyat biasa. Di dalam sopo gordang inilah tersimpan alat musik
orkes gordang sembilan, alat musik yang dianggap paling suci berdasarkan
sistem kelas masyarakat Pekantan.14
Masyarakat adat Pekantan, seperti layaknya masyarakat adat di Nusantara
lainnya, memiliki berbagai upacara ritual keagamaan.15 Musik menempati
peran yang teramat penting dalam ritual upacara keagamaan masyarakat
Pekantan Mandailing sehingga tidak bisa dipisahkan dari ritual-ritual keagamaan tersebut. Hanya dalam ritual upacara tertentu saja orkes gordang
sembilan boleh dimainkan, misalnya dalam upacara kematian raja. Lebih tepatnya, hanya raja dan keturunannya yang dapat menggelar acara di mana
13 Sistem kasta masyarakat Pekantan terbagi menjadi tiga kelas, yaitu bangsawan, masyarakat biasa dan budak.
14 Gordang sembilan tersusun dari sembilan gendang, perkusi berbahan metal atau metalofon dan alat musik tiup dengan reed ganda.
15 Upacara keagamaan di sini berarti upacara menghormati leluhur atau upacara persembahan untuk leluhur untuk berterima kasih atas keberhasilan panen, misalnya. Bukan ritual
keagamaan seperti yang kita kenal sekarang, tetapi ide dasarnya kurang lebih sama.
46
BUNYI MERDEKA
orkes gordang sembilan dimainkan. Upacara besar dikenal dengan nama
Horja na godang sedangkan upacara kecil atau biasa-biasa saja dikenal dengan nama Horja na menek. Jika kematian raja dikategorikan sebagai upacara besar, maka upacara kelahiran anak penduduk biasa, misalnya, diklasifikasikan sebagai upacara kecil dan hanya bisa dirayakan dengan alat musik
orkes biasa saja.
Seperti kebanyakan masyarakat adat di Nusantara, masyarakat Pekantan
mengenal paham dualisme. Musik, terutama musik ansambel, diakui sebagai bentuk ekspresi paling luhur karena dianggap mampu mendamaikan
pertentangan antara dua kutub bertentangan, yaitu sintaksis musik (bentuk) dan ekspresi emosional (isi) yang dikiaskan.16 Apabila bunyi gendang
dan metalofon terkesan kaku dan terkekang oleh irama yang tidak berubah-ubah, itu karena memang dimaksudkan demikian. Di sini, peran alat
musik tiup dan vokal menjadi penting sebab kedua instrumen itulah yang
memberikan improvisasi bebas atas fondasi yang diberikan oleh gendang
dan metalofon.
Ada sebelas komposisi yang digubah untuk tujuan upacara besar; lima di
antaranya untuk dimainkan dalam upacara-upacara utama, sedangkan
enam lainnya hanya dimainkan untuk upacara kematian, pernikahan dan
upacara untuk membangkitkan semangat. Orkes ansambel yang boleh dimainkan oleh anggota masyarakat Pekantan berbeda-beda tergantung
pada posisi kasta pemilik hajat. Apabila ada tiga kelas kasta dalam sistem
masyarakat Pekantan, maka ada tiga pula kelas orkes ansambel mengikuti
kelas kasta di mana gordang sembilan menempati posisi puncak. Jenis instrumen dalam setiap kelas orkes cenderung sama, yang berbeda adalah
jumlah gendang yang boleh dimainkan sehingga akhirnya dinamika dari
komposisi musik berbeda pula.17 Sudah jelas dari namanya, gordang sembi16 Dalam hal ini, kebudayaan musik masyarakat Pekantan tidak sendirian. Kebudayaan
musik barat juga mengenal pertentangan yang sama antara isi dan bentuk. Keseimbangan
terjadi bila bentuk dapat menyampaikan isi yang tepat. Musik yang hanya menekankan
bentuk tidak akan memiliki isi atau pesan, tetapi di sisi lain mustahil ada isi tanpa memiliki
bentuk. Oleh sebab itu, tegangan antara isi dan bentuk adalah dua jenis aspek yang harus
diperhatikan dalam menggubah sebuah karya seni, tidak hanya musik.
17 Dinamika dalam musik adalah tingkat kuatnya sebuah bagian dimainkan. Dinamika sebuah komposisi bisa berubah-ubah tergantung dari orkestrasi atau komposisi. Sebuah komposisi yang baik biasanya memiliki aneka rupa penanda dinamika yang akhirnya bisa diterjemahkan ketika karya tersebut ditampilkan. Sekalipun komponis memberikan petunjuk
dinamika dalam sebuah komposisi, adalah pengaba yang bebas menerjemahkan sejauh apa
47
lan memiliki sembilan jenis gendang maka dari itu, komposisi yang dimainkan dengan gordang sembilan cenderung lebih membahana.
Gordang sembilan dimainkan oleh lima orang yang bertugas menabuh dengan sekuat tenaga sehingga menghasilkan suara menggelegar. Jumlah
gendang yang boleh dimainkan dalam musik adat Pekantan selalu berjumlah ganjil. Sama halnya dengan upacara pengorbanan kerbau yang juga harus berjumlah ganjil. Diperkirakan sembilan gendang yang sekarang dikenal pertama-tama hanya berjumlah tujuh saja. Hal ini diperkuat dengan
temuan di beberapa daerah yang masih menggunakan tujuh gendang.
Konon katanya, jumlah gendang dalam susunan instrumen gordang sembilan pada awalnya hanya berjumlah lima sehingga dikenal dengan nama
gordang lima.18
Penambahan jumlah gendang ke dalam susunan instrumen gordang merupakan perlambangan dari penyerapan marga ke dalam pemerintahan Raja
Pekantan. Dari kacamata ini, gordang lima dianggap sebagai awal mula dari
masyarakat Pekantan di mana kemudian sedikit demi sedikit jumlah marga
yang terserap bertambah. Hal inilah yang dilambangkan dengan penambahan juga jumlah gendang menjadi tujuh dan kemudian sembilan. Sejumlah
lima gendang dalam susunan gordang sembilan melambangkan marga Nasution, Lintang, Hasibuan, Kotalanca dan Hutagambir. Tiga gendang dianggap
sebagai perwakilan dari marga Lubis yang terdiri dari Lubis Hutanopan,
Lubis Singasora dan satu marga turunan lain. Susunan ini menyisakan satu
gendang sebagai lambang Raja Pekantan yang mengepalai seluruh marga
tersebut. Raja Pekantan sendiri harus berasal dari marga Lubis.
Jika dulu gondang sembilan hanya boleh dimainkan atas persetujuan atau
permintaan raja, maka sekarang ini saudagar kaya boleh mengadakan pengorbanan kerbau dengan diiringi oleh orkes gondang sembilan.19 Prosesi
seharusnya amanat sang komponis dijalankan. Itulah sebabnya, kita sering kali mendengar
banyak variasi, terutama dalam dinamika dan tempo, meskipun lagu yang dimainkan sama.
18 Gordang lima sampai sekarang masih digunakan dalam upacara-upacara yang berkaitan
dengan sihir atau ilmu gaib.
19 Hanya rajalah pada waktu itu yang boleh dan mampu mengorbankan kerbau dengan
diiringi orkes gondang sembilan. Tentu saja ini wajar karena harga kerbau tidak murah.
Pengadaan upacara di zaman dahulu biasanya akan dimusyawarahkan dalam sebuah forum
masyarakat bertempat di sopo godang, di mana jenis dan kelas upacara itu akan ditentukan
48
BUNYI MERDEKA
upacara yang paling panjang adalah ketika raja atau keturunan bangsawan
meninggal dunia. Upacara kematian ini bisa memakan waktu beberapa
bulan dan selama itu pula jenazahnya tidak akan dikubur sampai semua
kerabatnya datang. Penundaan penguburan itu terutama dilakukan untuk
menunggu orang-orang yang berutang bisa hadir dan membawa persembahan sesuai dengan kemampuan masing-masing.20
Upacara penguburan raja akan berlangsung selama kurang lebih sembilan
hari dan sembilan malam, atau dalam kasus tertentu, sampai persediaan
makanan dari hewan kurban habis.21 Adapun gunanya upacara kematian
itu adalah untuk mengantar arwah yang meninggalkan dunia ini ke alam
selanjutnya. Selain raja dan keturunannya, yang mendapat kehormatan
untuk diberikan upacara begitu megah adalah harimau. Jika raja dianggap
sebagai penguasa manusia, harimau dianggap sebagai penguasa alam. Apabila seekor harimau kedapatan bersalah dalam membunuh manusia maka
ia akan dibunuh kemudian dipotong-potong menjadi beberapa bagian lalu
dikubur.22 Bagian tubuh harimau yang sudah terbagi menjadi beberapa potongan akan dikuburkan di bawah lumbung, di mana ia akan menjadi lambang kesuburan.
2.1.5. Spiritualisme Masyarakat Parmalim Batak Toba
Masyarakat Parmalim Batak Toba adalah salah satu kelompok etnis yang
bersama-sama.
20 Aturan adat ini sedikit banyak mirip dengan yang terdapat di Toraja, di mana seseorang
baru akan dimakamkan bila jumlah pengorbanan sudah cukup.
21 Pada kala itu, para kerabat atau anggota masyarakat Pekantan akan datang dari penjuru negeri dengan membawa persembahan. Tidak jarang di antara mereka membawa hewan-hewan yang sekarang ini, terutama setelah Islam masuk, dilarang oleh agama seperti
babi dan anjing. Tidak diketahui pasti apakah semua hewan kurban itu, termasuk babi dan/
atau anjing, juga dimakan atau tidak.
22 Kasus harimau menyerang manusia biasanya disebabkan oleh pembakaran hutan demi
perluasan lahan pertanian. Harimau yang terganggu akan marah dan menyerang para
petani. Harimau akan ditangkap melalui upaya perburuan kolektif atau dengan bantuan
dukun. Dulu, setelah tertangkap, harimau tersebut akan diadili oleh sibaso (semacam medium yang akan dirasuki arwah). Peran “hakim” ini kemudian berpindah kepada raja dan
lama kelamaan diputuskan bersama oleh seluruh warga. Soal bagaimana menentukan seekor harimau bersalah telah menyerang atau membunuh manusia belum diketahui dan tidak
dijelaskan dalam teks.
49
tersebar di Sumatra Utara. Meskipun terdapat kemiripan budaya antara
suku Batak Toba dan Mandailing, kedua kelompok etnis tersebut cenderung menolak kategorisasi tersebut dan menekankan bahwa kedua kelompok tersebut berbeda. Kelompok etnis Batak Toba pada awalnya berasal
dari apa yang sekarang bernama Kabupaten Toba Samosir, meskipun populasinya tersebar di penjuru Sumatra Utara dan wilayah Nusantara lainnya. Dalam masyarakat Batak Toba terdapat sebuah kelompok kecil yang
dikenal dengan nama Parmalim yang merupakan sebuah komunitas religius atau lebih tepatnya spiritual.23 Masyarakat Parmalim masih menerapkan kepercayaan leluhur yang sudah ada sebelum budaya Kristen masuk melalui para misionaris. Oleh sebab itu, sampai sekarang masih bisa
ditemukan ritual-ritual yang belum terjamah oleh agama-agama samawi.
Parmalim sendiri bukan merupakan nama dari kepercayaan, melainkan nama kelompok yang mempraktikkan kepercayaan leluhur itu. Nama
kepercayaan itu sendiri adalah Malim. Meskipun banyak anggapan bahwa kepercayaan Malim adalah bentuk dari animisme, pada kenyataannya
mereka mengimani satu pencipta Yang Esa, yaitu Mulajadi Na Bolon (Pencipta Batak Toba). Sayangnya, masyarakat Parmalim sudah berulang kali
harus kehilangan jati diri budayanya. Pertama-tama oleh kuasa kolonial,
kemudian oleh masuknya agama Kristen di tanah Batak, lalu yang terakhir
oleh ideologi negara yang hanya mengakui lima agama. Sebagaimana yang
sudah diketahui, musik dalam tradisi budaya Nusantara hampir tidak pernah berdiri sendiri, artinya selalu berada dalam satu sistem ritual upacara
tertentu. Dampaknya jelas: tradisi musik Parmalim semakin terkikis oleh
zaman. Sebagai suatu bentuk masyarakat kuno pra-kolonial, masyarakat
Parmalim bisa dibilang satu-satunya kelompok masyarakat yang masih
memahami praktik budaya Batak Toba asli.24
23 Biasanya antara religi dan spiritual dibedakan, dimana religi pada umumnya menunjuk
kepada sebuah sistem agama formal tertentu dengan kepercayaan kepada wahyu. Sedangkan kepercayaan spiritual tidak mengandung sebuah sistem formal sehingga cenderung
lebih dinamis.
24 Larangan agama merupakan salah satu hambatan besar bagi praktik-praktik kebudayaan masyarakat Batak Toba. Kebanyakan anggota masyarakat Batak Toba modern lebih
mengimani musik liturgi yang dibawa oleh gereja ke tanah Batak. Sedangkan tradisi Batak
Toba asli, yang masih dipegang oleh masyarakat Parmalim, dianggap praktik kafir oleh agama Kristen. Wajar saja, karena dalam praktiknya tidak jarang terjadi peristiwa kesurupan
yang mengikuti upacara-upacara kepercayaan asli masyarakat Batak Toba.
50
BUNYI MERDEKA
2.2. Musik Barat di Hindia Belanda
Musik-musik Indonesia yang direkam pada awal era 1900-an pada umumnya menggunakan bahasa Melayu terutama yang ditemui dalam irama
keroncong serta stambul. Genre dan subgenre musik yang berkembang
sejak 1903 adalah musik-musik Indonesia yang merupakan serapan dari
budaya Arab dan Cina serta yang tercerabut dari pola musik etnis mulai
dari Jawa, Bali, Cirebon, Sunda dan kemudian memasuki dasawarsa 1930an
mulai terdengar ragam etnis Tapanuli dan Minangkabau.25
Lalu siapa sajakah pemusik atau penyanyi Indonesia yang dikenal di era
ini? Di awal abad ke-20 ini ada beberapa pemusik yang tercatat menyita
perhatian antara lain Tio Tek Tjoe seorang penggesek biola andal hingga
Hasan Muna. Lalu penyanyi-penyanyi yang merekam suaranya pada label
Gramophone Company atau His Master Voices (HMV) saat itu adalah Miss
Jacoba Siregar dari Sumatra Utara tapi bermukim di Pulau Jawa, ada juga
Nji Raden Hadji Djoelaeha penyanyi Sunda dari Jawa Barat, serta Miss Norlia.
Antara tahun 1926-1927 Beka Record menampilkan rekaman dari Miss Riboet, penyanyi dan juga aktris layar lebar. Miss Riboet merekam sekitar
188 lagu pada label Beka Record ini. Selain Miss Riboet, penyanyi-penyanyi
yang berada di bawah naungan Beka Record antara lain adalah Aer Laoet
atau Herlaut, Toemina, juga ada Nji Moersih yang khusus menyanyikan
lagu-lagu Sunda serta penyanyi pria bernama Amat. Lalu pada label Odeon
bernaung sederet penyanyi yang dikategorikan sebagai second-rank stars
antara lain adalah Miss Alang, Siti Amsah, Miss Lee, Nji Resna dan Nji Iti Narem, dua nama terakhir khusus menyanyikan lagu-lagu bernuansa Sunda.
Di label Odeon ada Mr. Jahri atau yang kerap dipanggil Jaar sebagai pemimpin ansambel yang mengiringi para artis Odeon. Di tahun 1928 muncul label Columbia Gramophone Company yang mengetengahkan para penyanyi
seperti Siti Aminah yang dikenal sebagai pelantun irama Melayu, Miss Julie
serta dua pemusik yang tampil sebagai pemimpin orkes yaitu Fred Beloni,
lelaki blasteran Eropa dan Asia serta pemimpin ansambel Abdul Rachman.
Di era 1920-an, genre musik populer pun mulai bisa disimak melalui gelombang radio. Siaran pertama yang ada di negeri ini berasal dari siaran radio
25 Penjelasan tentang musik di masa kolonial ini diambil dari situs web https://dennysakrie63.wordpress.com/2013/10/22/industri-rekaman-di-zaman-hindia-belanda/
51
Bataviase Radio Vereeniging (BRV) di Batavia yang resminya mengudara
pada 16 Juni 1925 berstatus swasta. Lalu, berdirilah radio di daerah dengan
bantuan dari pemerintah Hindia Belanda. Dalam waktu singkat muncullah perkumpulan-perkumpulan siaran radio bahasa Indonesia, yang tujuan
utamanya menyiarkan kesenian dan kebudayaan Indonesia. Tampaknya
Belanda berhasil dalam upaya mengalihkan titik perhatian masyarakat
dari masalah-masalah politik lewat budaya dan kesenian.
Di era 1920-an ini musik barat yang tengah populer adalah musik jazz yang
berasal dari Amerika Serikat. Musik jazz saat itu hanya dinikmati oleh kalangan tertentu saja mulai dari kalangan orang Belanda dan Eropa lainnya
serta segelintir kaum intelektual dan menengah ke atas Indonesia.
Di Surabaya mulai dikenal nama Jose Marpaung, seorang pemain piano
yang juga terampil melantunkan suara emasnya. Bersama Martin Kreutz
dan Karel Lind, Jose Marpaung membentuk kelompok jazz bernama White
Dove. Kelak hingga ke era 1960an dan 1970an, Surabaya tercatat banyak
menetaskan pemusik-pemusik jazz berbakat mulai dari Jack Lesmana hingga Bubi Chen dan Maryono.
Di era 1920-an pula di Makassar juga terdengar kiprah musik jazz dengan
munculnya kelompok musik bernama Black and White Jazz Band yang anggotanya terdiri dari orang-orang Belanda dan pribumi, satu di antaranya
adalah W.R. Soepratman yang kelak dikenal sebagai komposer lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Sebelum meletusnya Perang Dunia II, dikenal pula penyanyi bernama Broer Nadus yang memiliki nama asli Bernardus Sapulette, putra Maluku yang
dikenal sebagai penyanyi Hawaiian di Makassar. Ada juga seorang remaja
bernama Tan Tjeng Bok yang dalam usia 14 tahun pada 1912 telah meniti
karier sebagai biduan atau penyanyi yang memiliki daya pikat.
Di era 1920an terdengar pula sosok lelaki Maluku bernama Bram Tutuheru
yang berkarier sebagai penyanyi dan pemimpin orkes di Batavia. Di tahun
1927 perempuan penyanyi tunanetra Annie Landauw berhasil menjuarai
kontes menyanyi di Surakarta, Jawa Tengah. Landouw kemudian diajak
ke dapur rekaman oleh perusahaan rekaman Beka Record dan menetap di
Batavia.
Di era 1930an kawasan Sumatra, Malaysia dan permukiman selat merupa52
BUNYI MERDEKA
kan monopoli untuk rekaman piringan hitam 78 RPM (Rotation Per Minute)
yaitu Gramophone Company Limited yang merilis sederet lagu Melayu dengan label His Master’s Voice (HMV), di mana katalog berbahasa Inggris
diperuntukkan buat Malaysia serta yang menggunakan bahasa Belanda dirilis hanya untuk wilayah Hindia Belanda.
Ada tiga jenis orkes yang mencuat pada era 1930an yaitu orkes harmonium, orkes gambus dan orkes Melayu. Sjech Albar, ayah kandung penyanyi
rock Achmad Albar, adalah pemusik gambus yang sangat kesohor dari
Surabaya. Sjech Albar ternyata sangat produktif merilis album-album baru,
salah satu di antaranya adalah Zakhratoel Hoesoen pada 1937. Juga terdengar
berkibar nama S. Abdullah, penyanyi dan pemusik yang merekam suara
emasnya pada Gramophone Company serta Canary Record. Nama lainnya
adalah penyanyi Menir Moeda yang kerap menyanyikan lagu-lagu Sunda
serta dikenal pula sebagai pelawak. Miss Eulis, Miss Soepija, Gadjali, Miss
Brintik, Mr. Hanapi, Leo Sapulitu dan Bram Titaley atau lebih dikenal dengan nama panggung Bram Atjeh.
Di tahun 1936 muncul pemain biola berbakat bernama Mas Sardi yang tergabung dalam Faroka Opera. Kelompok opera ini menggelar pertunjukan
hingga ke Singapura. Setahun kemudian, tepatnya pada 1937, Mas Sardi,
yang juga ayah Idris Sardi, bergabung dalam Sweet Java Opera. Sejak 1939,
Mas Sardi mulai terjun sebagai pembuat music score untuk film-film layar
lebar seperti Rentjong Atjeh, Alang-alang, Srigala Item maupun Sorga Palsoe. Di
samping itu juga dikenal penggesek biola sekaligus peniup klarinet Sastrodihardjo, ayah kandung dari peniup saksofon jazz Maryono. Lalu dikenal
juga pianis dan komposer ternama Ismail Marzuki serta beberapa pemusik
yang berjaya pada era tersebut, misalnya Kartolo, Abdullah, Jahja, Zahiruddin, Atungan serta Hugo Dumas. Salah satu orkes keroncong yang disegani
saat itu adalah Lief Java yang dibentuk Hugo Dumas dan Abdullah.
Pada 1937 muncul perempuan penyanyi Roekiah yang juga meniti karier
dalam dunia teater dan perfilman. Penampilan penyanyi Roekiah kerap
diiringi orkes keroncong Lief Java pimpinan pemusik S. Abdullah dan Hugo
Dumas. Roekiah memopulerkan lagu-lagu seperti Terang Boelan hingga
Kerontjong Moritsko. Di tahun 1938 penyanyi populer Annie Landouw akhirnya bergabung juga dengan Lief Java ini. Selain itu, pada 1937 juga berdiri
sebuah kelompok musik jazz bernama Melody Makers yang didukung gitaris Jacob Sigarlaki hingga penabuh drum Boetje Pesolima. Mereka memainkan musik dixie dan ragtime secara mengagumkan.
53
Jangan lupa pula sederet penyanyi lain yang tak kalah sohornya antara lain
Miss Netty, Jan Bon, Van Der Mul, Miss Lie, Moenah, Paulus Itam, Miss J.
van Salk, Harry King, John Iseger, Miss Ninja, Miss J. Luntungan, Mohammad Jasin Al Djawi, Miss C. Luardie, Miss Dewe serta Leo Spel. Gaya bernyanyi mereka terinspirasi dengan gaya crooner Amerika Serikat. Di masa
ini musik keroncong, langgam, gamelan, gambus dan jazz merupakan genre
musik yang mendapat sambutan baik di kalangan masyarakat luas. Untuk
musik gamelan dikenal tiga pesinden langgam Jawa yaitu Njai Demang
Mardoelaras, Bok Bekel Mardoelaras dan M.A. Worolaksmi. Untuk gambus
maupun kasidah dikenal nama-nama seperti Sjech Albar, S.H. Alaidroes
dan Mohammad Jasin Al Djawi. Sementara untuk jenis keroncong dikenal
tiga penyanyi yang sangat terkenal yaitu Parmin, Sukarno dan Soeparto.
Para pemusik yang dianggap andal di era ini antara lain Hugo Dumas yang
memimpin dua kelompok musik sekaligus yaitu Lief Java yang cenderung
memainkan musik keroncong dan The Sweet Java Islanders yang memainkan musik Hawaii atau irama Lautan Teduh; F.H Belloni, komposer dan pemimpin ansambel musik; S. Mohammad bin Jitrip yang memimpin orkes
gambus; dan S. Mohammad Alajdroes yang memimpin orkes harmonium;
H.E.L.W.E DeSizo yang memimpin De Siso’s Strings Orchestra.
Pada saat pendudukan Jepang di Indonesia dalam kurun waktu 1942 hingga 1945, musik jazz nyaris tak terdengar gaungnya sama sekali. Tak satu
pun kelompok musik Indonesia yang memainkan repertoar jazz, termasuk
memutar rekaman musik jazz melalui siaran radio. Penyebabnya adalah
situasi politik yang tidak memperkenankan budaya Amerika berkembang
di Indonesia. Ruang gerak musik jazz terbendung dan musik yang diperkenankan bergaung waktu itu adalah musik bernuansa propaganda Jepang
serta lagu-lagu daerah termasuk di antaranya musik keroncong. Sebagian
besar orang Jepang yang menduduki Indonesia malah terpukau dengan
lagu Bengawan Solo karya Gesang.
2.3. Musik Modern, Nyanyian Perjuangan, dan Indonesia Raya
Seperti sudah dikemukakan di bagian overture, Indonesia Raya hadir di tengah maraknya perkembangan dunia industri. Dalam hal musik, ini tidak
bisa dilepaskan dari perkembangan industri rekaman pada masa awal abad
ke-20. Mengapa, karena industri rekaman melalui fonograf waktu itu adalah yang memperkenalkan perkembangan musik dunia kepada masyarakat Hindia Belanda. Musik-musik yang berasal dari rekaman fonograf itu
54
BUNYI MERDEKA
lalu dimainkan oleh para pemusik Belanda, Tionghoa, Ambon dan Manado
melalui berbagai pertunjukan panggung. Lagu-lagu Amerika yang populer
dimainkan saat itu antara lain adalah Lazy Moon yang dinyanyikan Oliver
Hardy dalam film Pardon Us (1901), atau Mother O’Mine lagu yang diangkat
dari puisi karya Rudyard Kipling. Saat itu patut diakui kiblat bermusik
adalah ke Amerika Serikat. Para perempuan penyanyi yang ada di zaman
Hindia Belanda disebut crooner bukan singer, bahkan di depan nama para
perempuan penyanyi diberi embel-embel seperti Miss Tjitjih, Miss Riboet,
Miss Roekiah, Miss Dja dan seterusnya. Hal ini berlangsung hingga akhir
era 1940an. Mungkin ini hampir mirip dengan keadaan sekarang di mana
hampir semua perempuan penyanyi bersematkan predikat diva.
Namun, para pengusaha rekaman Tionghoa di Hindia Belanda waktu itu
berinisiatif merekam musik dari tanah Hindia. Penyanyi dan kelompok
musik yang direkam Tio Tek Hong Record cukup beragam. Untuk musik
keroncong ada Orkest Krontjong Park, Orkest Moeridskoe, Krontjong
Sanggoeriang, Kerontjong Aer Laoet, Krontjong Deca Park. Untuk musik
kasidah ada Kasida Sika Mas, Orkese Gamboes Metsir, Kasida Rakbie Mas,
Gamboes Boea Kana serta Gamboes Turkey. Lagu-lagu yang populer saat itu
antara lain Tjente Manis, Boeroeng Nori, Djali-djali, Tjerai Kasih, Paioeng Patah,
Dajoeng Sampan, Kopi Soesoe, Sang Bango, Inang Sargie, Gelang Pakoe Gelang dan
masih banyak lagi. Lagu-lagu ini direkam dalam bentuk vinil berukuran
10 inci. Di samping itu Tio Tek Hong Record juga merekam sandiwara Njai
Dasima yang dikemas dalam format bokset berisikan sebanyak lima keping
piringan hitam.
Lalu, bagaimana dengan kaum pergerakan pada masa itu? Pada 1913 saat
Tjipto Mangoenkoesoemo memprotes Komite Perayaan Belanda, dan
kemudian diberangkatkan ke pengasingan, ia berseru “Ayo kita nyanyikan lagu kebangsaan Republik Transvaal”. Republik Transvaal, di wilayah
Afrika Selatan berhasil merdeka dari pemerintahan Belanda, dan cerita
tentang Transvaal ini menginspirasi perjuangan kaum pergerakan di awal
abad ke-20. Lirik lagu kebangsaan tersebut jika diterjemahkan secara bebas
adalah sebagai berikut:
Tahukah kamu tentang bangsa yang penuh heroisme
Namun begitu lama ditindas?
Ia telah mengorbankan banyak harta benda dan darah
Ayolah warga negara, kibar-kibarkan bendera
Penderitaan kita telah usai
55
Pujikan kemenangan dari para pahlawan kita
Kita adalah bangsa merdeka
Kita yang merdeka untuk bangsa yang merdeka!
Sangat mungkin sekali, Tjipto Mangoenkoesoemo hafal lagu tersebut oleh
karena interaksinya dengan dunia di luar Hindia Belanda. Tetapi itu juga
berarti bahwa sebagian dari kalangan pimpinan pergerakan di masa itu
memperhatikan betul perkembangan-perkembangan di dunia internasional.
Dengan cara yang lain, Ki Hadjar Dewantara meyakini bahwa seni musik
adalah bentuk tertinggi dari ekspresi seni Eropa. Karenanya, demi menunjukkan kepada bangsa-bangsa Eropa bahwa kultur bumiputra, dalam hal
ini kultur Jawa sebagai bagian dari kultur yang setara dengan kultur Eropa,
Ki Hadjar menciptakan Kinanthie Sandoong. Tepatnya sebuah upaya mentransformasikan gending tradisional Jawa ke dalam bentuk seni modern,
ke dalam olahan piano dan sopran. Karya itu pertama kali dicipta untuk
Kongres Pendidikan Kolonial Pertama dan ditampilkan oleh para siswa
Koninklijk Conservatorium Den Haag pada 28-30 Agustus 1916. Partitur
musik Kinanthie Sandoong lalu dimuat dalam berkala ilmiah prestisius Hindia Belanda Nederlandsch Indie Oud en Nieuw (NION 1916: 378–379).
Sampul Partitur
Kinanthie Sandoong
56
BUNYI MERDEKA
Halaman Pertama Partitur
Kinanthie Sandoong
57
Halaman Kedua Partitur
Kinanthie Sandoong
58
BUNYI MERDEKA
Ini sebenarnya tahun yang berdekatan ketika Ki Hadjar juga menerjemahkan syair lagu Internationale ke dalam bahasa Melayu, yang kemudian
dimuat di harian Sinar Hindia pada 1915.
Syair lagu
Internasionale
terjemahan
Ki Hadjar
Dewantara
Kehadiran W.R. Soepratman sebenarnya sangat fenomenal mengingat
latar belakangnya sebagai pemusik klub jazz di Makassar, lalu bertransformasi menjadi komponis lagu-lagu perjuangan. Seperti sudah dikemukakan
bahwa Soepratman menciptakan sejumlah lagu perjuangan setelah Indonesia Raya.
W.R. Soepratman juga menciptakan dan menggubah lagu alat pemersatu
59
lainnya yaitu Bendera Kita. Lagu ini adalah lagu yang digubah untuk mempertebal kesadaran bangsa, juga sebagai lagu tandingan buatan Belanda
yang dikenal dengan Vlaggelied atau Strijdled. Peran Soepratman dengan
lagu Bendera Kita yaitu menyadarkan bangsanya, sadar batinnya untuk Indonesia yang besar, Indonesia Raya.
Selain itu Soepratman juga menggubah sebuah lagu dalam tema “pengantar tidur anak” atau tema Barcarolle dalam tradisi musik klasik yang berjudul Bangunlah Hai Kawan. Ia ingin agar pada saat tidur kaum ibu bisa memberikan nyanyian yang dapat menggugah semangat jiwa anak-anak.
Pada 13 September 1930 pengurus besar Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI)
menyelenggarakan jambore atau perkemahan umum pertama. Perkemahan ini diadakan di tempat peristirahatan Sri Sultan Hamengkubuwono IX
di Yogyakarta. Pada acara tersebut Soepratman menciptakan lagu kepanduan untuk KBI. Berikut tampilan lirik dari mars tersebut:
Kuplet I
Kita Kepanduan Indonesia/ Suka berkumpul dan bekerja/ Dengan hati yang amat gembira
Ulangan 2x
KBI lekaslah sedia/ Berbuat yang baik, bekerja yang mulia/
KBI tinggallah setia/ Pada Tanah Air dan Bangsa
Kuplet II
Putra dan putri dari KBI/ Hidup damai bagi saudara/ Bekerja
dengan hati yang suci/ Menolong sesama manusia
Ulangan 2x
KBI ingatlah wajibmu/ Besarkan hatimu, untuklah jasamu/
KBI peganglah namamu/ Kibarkan tinggi benderamu
60
BUNYI MERDEKA
Kuplet III
Merah dan Putih bendera kita/ Bendera kepanduan KBI/
Mempunyai cita-cita yang mulia/ Menjunjung persatuan yang
tinggi
Ulangan 2x
KBI lihatlah bendera/ Berseri berkibar, berpanji sedia/ KBI
hormatlah segera/ Sebagai pandu yang setia
61
III
Indonesia Raya dan Kemerdekaan Dalam
Bunyi
3.1. Detik-detik Kelahiran Indonesia Raya
Indonesia tahun 1928. Sepuluh tahun setelah Perang Dunia I, dunia sedang
dilanda banyak huru-hara. Salah satunya adalah permulaan dari krisis
ekonomi panjang yang melanda negara-negara Eropa dan Amerika, salah satu
dampak besar dari Perang Dunia I. Belanda, meskipun tidak ikut serta dalam
perang tersebut terkena imbasnya karena perdagangan mereka terhenti akibat rekan dagangnya hampir semuanya terseret ke dalam perang tersebut,
terutama Jerman. Akibat peristiwa itu, Belanda mulai takut akan kehilangan
kuasanya di negara jajahan. Beberapa inisiatif pun mereka lancarkan, terutama dalam kaitan untuk mempertahankan jajahannya.
Pergerakan badan bukan satu-satunya yang mengalami perubahan dalam
periode pasca pergantian abad. Perubahan alam pikir juga menjadi salah satu
hal yang perlu mendapat pertimbangan khusus, dan apabila ingin dibicarakan, dipastikan itu akan menjadi sebuah topik yang bisa menghasilkan ribuan
halaman analisis. Sebut saja perubahan yang terjadi di ranah kebudayaan, seperti sastra, seni rupa, seni musik, filsafat, ilmu alam dan matematika, dan
beberapa perubahan substansial lainnya. Boleh dikata, semua fondasi yang
melatari perkembangan pemikiran tersebut mulai dipertanyakan dan pada
akhirnya goyah. Dari dunia sastra saja tercatat kelahiran seorang detektif
kenamaan yang hadir sebagai pahlawan masyarakat di hadapan situasi yang
tidak menentu, ia bernama Sherlock Holmes.
Kemudian, kita tahu bahwa ada Joseph Conrad, pengarang novel yang bakatnya mendunia. Ia disebut-sebut sebagai salah satu pengarang modernis pada
masanya dan sekarang dianggap sebagai salah satu pengarang terbaik dunia.
Dalam novelnya yang berjudul Heart of Darkness ia merenungkan bagaimana
sebenarnya penjajah dan yang terjajah pada dasarnya tidak terlalu berbeda.
Novel itu menjadi salah satu novel politis yang cukup mengganggu dunia
pada saat pertama kali diterbitkan. Sampai sekarang, masih ada perdebatan
BUNYI MERDEKA
yang berlangsung, terutama dari kacamata studi pascakolonial yang menganggap bahwa Conrad menggambarkan masyarakat terjajah sebagai kutub
yang sangat berbeda dari para penjajah Eropa.
Dari dalam negeri, kebijakan Politik Etis yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial mulai membuahkan hasil untuk anak bangsa. Dengan masuknya
pengetahuan dari negeri barat, para pejuang rakyat mulai menyadari bahwa perjuangan yang selama ini mereka lakukan ternyata kurang terpusat
dan berdampak. Apalah artinya satu atau dua gigitan nyamuk bagi seekor
Singa Oranye yang sedang kelabakan akibat beberapa runutan peristiwa
yang menimpanya? Oleh sebab itu, sang Singa akhirnya merelakan kebijakan Politik Etisnya untuk kemudian mulai memerintah dengan teror di
daerah jajahan, terutama Hindia Belanda. Teror ini mewujud dalam bentuk
polisi rahasia Politieke Inlichtingen Dienst (PID) dan Zona Hadal bagi para
pembangkang dan penggerak revolusi, Boven Digul.
Pergerakan kebangsaan atau kerakyatan pada masa itu, seperti kita tahu
dari beberapa kajian sejarah, memang terserak di mana-mana. Salah
satu pergerakan yang mempersatukan masyarakat adalah perkumpulan
jawatan kereta api yang berulang kali mengadakan demonstrasi untuk
menuntut hak-hak mereka. Itu pun bukan benar-benar pergerakan kebangsaan, karena mereka masih menuntut hak kelompok mereka sendiri
dengan ideologi sosialisme yang dibawa oleh Henk Sneevliet ke tanah air.
Tapi, pergerakan pegawai jawatan kereta api itu bisa dibilang merupakan
salah satu tonggak sejarah menuju masa depan pergerakan yang lebih cerah. Karena, tidak lama setelah itu, berbagai kelompok pemuda mulai berkumpul dan memutuskan untuk mengadakan kongres pemuda; sebuah wadah bagi penyatuan dan pemusatan perjuangan pergerakan kebangsaan.
Dari dua kongres pemuda yang pernah dilaksanakan, Kongres Pemuda
Kedua memegang peranan paling penting. Dari kongres itu kita dapatkan
Sumpah Pemuda yang nantinya akan meletakkan dasar-dasar perjuangan
bangsa untuk bertahun-tahun setelah itu. Kongres pemuda ini merupakan
salah satu konsekuensi nyata langsung kebijakan Politik Etis pemerintah
kolonial pada masa itu. Meskipun Politik Etis hanya berlangsung sebentar pada praktiknya, dampaknya masih terus terasa, terutama melalui
perkumpulan pelajar yang berkumpul dalam satu atap. Hal itu hanya bisa
dimungkinkan karena adanya kebijakan untuk memberikan pendidikan
kepada masyarakat negara jajahan. Kurang lebih, plot yang terjadi adalah,
karena adanya kebijakan pendidikan, maka akan ada pelajar. Pelajar-pela63
jar itu tidak hanya datang dari ibukota saja, melainkan dari seluruh penjuru Indonesia. Ketika mereka datang ke ibukota untuk belajar, mereka akan
membutuhkan rumah tinggal sementara selama belajar. Di rumah tinggal
itulah mereka berkumpul dan mulai berdiskusi tentang masa depan bangsa.
Para pemuda pelajar itu berkumpul di sebuah rumah yang bernama Gedung
Kramat Nomor 106, sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda. Sebelumnya, mereka memondok di sebuah bangunan gedung di Jalan Kwitang
Nomor 3. Akan tetapi, karena anggota mereka semakin bertambah, kebutuhan akan ruang yang lebih besar kian terasa oleh mereka. Oleh sebab itu
mereka memutuskan untuk memindahkan kegiatan diskusi bawah tanah
mereka ke Gedung Kramat No. 106 itu. Gedung Kramat No. 106 disebut oleh
para pelajar dari Jawa yang tergabung dalam Jong Java dengan nama langen siswo, yang jika diterjemahkan secara bebas berarti kesenangan pelajar atau siswa. Nama itu sekiranya memang cocok, karena pada awalnya
mereka hanya melakukan kegiatan yang mereka gemari, seperti kesenian.
Lama kelamaan, diskusinya semakin menajam sehingga nantinya melahirkan Sumpah Pemuda.
Nama-nama besar dalam sejarah pergerakan Indonesia seperti Amir Sjarifuddin, Muhammad Yamin, Asaat Datuk Mudo, dan banyak lagi yang lain,
hampir semua pemuda yang dulu tinggal di Gedung Kramat No. 106 tersebut memegang peranan dan jabatan penting dalam pemerintahan Indonesia nanti. Kegiatan pemuda pada masa itu sangat hebat. Contohnya saja
Muhammad Yamin yang pada usia muda pernah menerjemahkan karya
sastra dari Belanda yang berjudul Huis en Wereld. Ia juga pernah menerjemahkan salah satu karya William Shakespeare, The Merchant of Venice, ke
dalam bahasa Indonesia. Buku-buku karangannya juga pernah diterbitkan
oleh penerbit Kantoor voor de Volkslectuur atau yang sekarang menjadi
Balai Pustaka.
Sebenarnya, persatuan bukan merupakan kecemasan mereka ketika mereka berkumpul dan berdiskusi di Gedung Kramat No. 106 itu. Seiring dengan bertambahnya anggota yang tidak hanya berasal dari Pulau Jawa, mulailah para pemuda itu merasakan sensibilitas yang teramat berbeda dari
yang biasa mereka temui selama ini. Oleh sebab itu, persatuan merupakan konsekuensi dari pertemuan itu dan bukan sebaliknya. Karena diskusi
bawah tanah yang mereka lakukan hampir setiap hari semakin menajam
dan bernuansa persatuan, mulailah mereka berpikir untuk mendirikan se64
BUNYI MERDEKA
buah persatuan pelajar. Pada September 1926 akhirnya mereka mendirikan Persatuan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) sekaligus meresmikan pula
gedung tempat tinggal mereka sebagai markas utama perkumpulan ini.
Tema-tema diskusi para pelajar itu semakin meruncing dan terarah kepada tema-tema kemanusiaan, keadilan, berbagai revolusi dunia, seperti
Revolusi Amerika, Revolusi Prancis, Revolusi Rusia dan Revolusi Cina. Sudah dapat dipastikan, diskusi dan perdebatan mereka membawa kepada
benih-benih pergerakan kebebasan dari penjajahan. Berulang kali mereka
juga mengkaji pemikiran-pemikiran filsuf besar, seperti Plato, Aristoteles,
Machiavelli, Thomas Hobbes, Jean Jacques Rousseau dan John Stuart Mill.
Bukan pencapaian yang rendah, terutama mengingat nama-nama tersebut
sekarang sudah jarang terlintas dari mulut para pelajar.
Salah satu diskusi yang mereka lakukan pada waktu itu pernah dihadiri
oleh Sukarno. Sukarno merasa gemas dan konon pernah berkomentar kepada para pemuda yang hadir, “Sudahlah, tidak perlu banyak teori. Mari
kita pikirkan apa yang akan kita perbuat, bagaimana mempersiapkan
rakyat kita. Itu lebih baik kita pikirkan sekarang.” Indonesische Clubgebouw atau Gedung Kramat No. 106 itulah yang akhirnya menjadi tempat
persemaian ide-ide pergerakan kemerdekaan Indonesia. Salah satu bentuk
perlawanan mereka pada waktu itu adalah dengan memasang papan nama
bertuliskan Indonesische Clubgebouw di halaman depan Gedung Kramat
No. 106 itu. Sekarang mungkin kita akan berpikir itu biasa saja, tetapi pada
waktu itu, di mana Indonesia belum ada, memasang papan nama bertulisan
Gedung Pertemuan Indonesia merupakan perlawanan yang tegas.
Di saat yang bersamaan, Perhimpunan Indonesia di Belanda juga tidak
ketinggalan melakukan pertemuan-pertemuan yang membahas beraneka
rupa wacana kebangsaan dan kemerdekaan. Dari pertemuan mereka lahir
analisa dan kritik terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Ada tiga butir
yang diberi nama Manifesto Politik 1925, setahun sebelum PPPI dibentuk.
Adapun ketiga butir itu adalah:
1. Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah
yang dipilih sendiri oleh mereka;
2. Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak
diperlukan bantuan dari pihak mana pun;
65
3. Tanpa persatuan yang kokoh dari berbagai unsur rakyat,
tujuan perjuangan itu sulit dapat dicapai.
Kita dapat mencerap adanya ide-ide besar di balik butir-butir manifesto
itu, yaitu prinsip kebebasan, persatuan dan kesetaraan yang kemudian
akan diterjemahkan ke dalam berbagai landasan politik perjuangan bangsa. Manifesto Politik 1925 ini berdampak sangat besar bagi pergerakan
pemuda di tanah air. Tidak lama setelah itu, pada 15 November 1925 diadakanlah pertemuan yang menjadi cikal bakal Kongres Pemuda Pertama.
Mereka yang hadir antara lain adalah, Soemarto Soewarso dan Mohammad
Tabrani (Jong Java); Bahder Djohan, Djamaluddin dan Sarbaini (Jong Sumatranen Bond); Jan Toule Soulehuwij (Jong Ambon); dan Sanoesi Pane (Jong
Bataks Bond). Mereka semua kedapatan tugas membentuk sebuah panitia
dengan tujuan utama menyelenggarakan Kongres Pemuda Pertama.
Hasil dari pertemuan tersebut mewujud pada 30 April 1926 sampai 2 Mei
1926. Untuk melancarkan jalannya kongres, maka ditunjuklah sejumlah
nama sebagai panitia dengan susunan sebagai berikut:
Ketua
Wakil Ketua
Sekretaris
Bendahara
Anggota
: Mohammad Tabrani
: Soemarto
: Djamaluddin Adinegoro
: Soewarso
: 1. Bahder Djohan
2. Jan Toule Soulehuwij
3. Paul Pinontoan
4. Achmad Hamami
5. Sanoesi Pane
6. Sarbaini
Demi kelancaran diskusi, maka dibagilah kongres tersebut menjadi tiga
kelompok. Mohammad Tabrani, Soemarto dan Muhammad Yamin ada di
kelompok pertama. Tugas mereka adalah untuk membahas dan mempertajam cita-cita satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa untuk mencapai
kemerdekaan Indonesia. Dalam kelompok kedua terdapat Bahder Djohan,
Djaksodipoero dan Stien Adam. Kelompok ini ditugasi untuk membahas
kedudukan perempuan dalam tatanan masyarakat Indonesia yang dicita-citakan. Sedangkan, kelompok terakhir kedapatan tugas untuk membahas masalah agama dan peranannya dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan. Kelompok ini beranggotakan Paul Pinontoan.
66
BUNYI MERDEKA
Kongres Pemuda Pertama diselenggarakan utamanya untuk sosialisasi atau perluasan jiwa nasionalisme Indonesia di kalangan para pemuda
bangsa. Agaknya upaya mereka berhasil, karena setelah itu mulai sering
terjadi pertemuan rutin antar pemuda. Pertemuan pertama setelah Kongres Pemuda Pertama adalah pada 15 Agustus 1926, kemudian dilanjutkan
dengan pertemuan pada 20 Februari 1927 dan 23 April 1927, semuanya di
Jakarta. Meskipun upaya mereka untuk membentuk sebuah persatuan belum bisa dikatakan berhasil, dari pertemuan itu lahirlah sebuah inisiatif
untuk membentuk sebuah kesatuan. Dari pertemuan tersebut, tersebutlah
dua butir utama yang menjadi pokok pikiran para pemuda, yaitu:
1. Indonesia merdeka harus menjadi cita-cita seluruh pemuda Indonesia.
2. Segala perserikatan pemuda harus berdaya upaya menuju
fusi dalam suatu perkumpulan.
Setelah itu, masih ada dua pertemuan lagi yang diadakan pada 3 Mei dan 12
Agustus 1928 yang diadakan di Indonesische Clubhuis atau Gedung Kramat
No. 106. Dari kedua pertemuan susulan itulah muncul gagasan untuk mengadakan Kongres Pemuda Kedua. Diputuskanlah pada pertemuan tersebut bahwa kongres kedua akan diadakan pada bulan Oktober di tahun yang
sama dan biaya kongres akan ditanggung oleh seluruh perserikatan yang
ikut serta dalam pertemuan. Tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 akhirnya ditentukan sebagai hari penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua. Kongres
Pemuda Kedua terdiri dari susunan kepanitiaan sebagai berikut:
Ketua
Wakil Ketua
Sekretaris
Bendahara
Pembantu I
Pembantu II
Pembantu III
Pembantu IV
Pembantu V
: Soegondo Djojopoespito
: R. M. Djoko Marsaid
: Muhammad Yamin
: Amir Sjarifuddin
: Djohan Mohammad Tjaja
: R. Katjasoengkana
: R.C.L. Senduk
: Johannes Leimena
: Rochjani Soe’oed
Lain dengan Kongres Pemuda Pertama yang hanya bertempat di satu lokasi,
Kongres Pemuda Kedua mengambil tempat di tiga lokasi berbeda dan dibagi menjadi tiga sesi rapat. Selain itu, Kongres Pemuda Kedua juga dihadiri
67
oleh Patih Batavia dan elemen dari PID. Patih Batavia sendiri sempat menegur para anggota kongres untuk melarang penggunaan kata kemerdekaan
dalam pidato. Anehnya, kata-kata seperti persatuan dan kesatuan sama
sekali tidak dilarang. Ini terbukti dari pidato Muhammad Yamin yang berjudul Persatuan dan Kesatuan. Dalam rapat ketiga inilah W.R. Soepratman
memainkan untuk pertama kali gubahannya yang berjudul Indonesia Raya.
Dilaporkan bahwa suasana pagi itu, menjelang rapat kedua pada 28 Oktober 1928, sedikit tegang. Semua peserta kongres tampak tertegun dalam
pikirannya masing-masing. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang biasanya
bercengkerama pagi itu diam dan membisu. Semua sedang memikirkan
masa depan bangsa Indonesia. Semua sedang khusyuk membayangkan
bagaimana jalannya kongres pemuda ini dan apa yang akan disumbangkan
kepada perjuangan kemerdekaan. Kemungkinan juga para peserta kongres
pesimis akan kesuksesan diskusi kemerdekaan karena persis satu hari sebelumnya Patih Batavia melarang penggunaan kata kemerdekaan.
Di sela-sela istirahat antara rapat kedua dan ketiga, W.R. Soepratman
datang menghampiri ketua rapat, Soegondo Djojopoespito. Ia menceritakan perihal gubahannya dan meminta izin dari ketua rapat untuk diperbolehkan memainkan ciptaannya tersebut. Setelah isi lagu Indonesia Raya
tersebut diteliti oleh pihak panitia, akhirnya mereka menyetujui bahwa
Kongres Pemuda Kedua akan ditutup oleh lagu ciptaan Soepratman. Untuk keperluan ini Soepratman memainkan biola pemberian kakak iparnya
yang ternyata dibuat oleh Nicolo Amati. Biola itu adalah salah satu biola
termahal, dan Amati sendiri merupakan guru dari Antonio Stradivari yang
kemudian akan menjadi pembuat biola paling diincar oleh para pemain
biola profesional ataupun kolektor barang antik. Soepratman sendiri waktu itu baru berusia 25 tahun.
Pada pukul 23.00, persis sebelum rapat ketiga Kongres Pemuda Kedua ditutup, Soepratman mengambil tempat ke depan. Dengan khusyuk jari jemarinya bergerak di atas leher biolanya. Dari gesekannya terdengar nada-nada lagu yang pada waktu itu hanya dikenal dengan nama Indonesia.
Penonton terdiam, seakan-akan tenggelam dalam perasaan kolektif yang
sudah selama ini dipendam sejak dari nenek moyang mereka. Dengan
suara serak terbatuk-batuk, Soepratman juga berusaha menyanyikan lirik yang ia ciptakan seiring dengan permainan biolanya. Perlahan-lahan,
sebagai seorang komponis yang sepatutnya tahu bagaimana musiknya
seharusnya dimainkan, ditambah dengan penguasaan total terhadap in68
BUNYI MERDEKA
strumennya, ia membangun momentum demi momentum untuk akhirnya mencapai puncak dari gubahannya. Indonesia belum merdeka pada
1928, tetapi para hadirin yang ada dalam Kongres Pemuda Kedua itu sudah
merasakan, meskipun hanya sepintas, indahnya kemerdekaan melalui nada-nada melodi Soepratman.
Biola W.R.
Soepratman
untuk membawakan Indonesia
Raya
Begitu ia usai memainkan magnum opus-nya, ruang yang sebelumnya sunyi
dipecahkan oleh suara gemuruh dari para hadirin yang menempati ruang
yang penuh sesak itu. Persis seperti lagu Indonesia Raya yang hanya memiliki kesunyian di permulaan komposisi yang hanya kemudian langsung digetarkan oleh suara dawai, kesunyian para hadirin pun sirna dan tergantikan
oleh gejolak kegembiraan. Kepada rakyat Indonesia dan kepada dunia yang
saat itu tidak hadir dalam peristiwa tunggal yang tidak mungkin terulang,
Soepratman hanya meninggalkan jejak seperti kaki yang menapak menyusuri pantai. Tidak lama setelah itu, ia wafat karena kesehatannya memburuk. Para perwira PID yang hadir dalam kesempatan tersebut konon
katanya sampai tertegun begitu Soepratman mengakhiri permainan lagunya. Entah karena mereka begitu menghayati keindahan lagu tersebut
atau mungkin, kata saksi mata yang hadir waktu itu, mereka belum paham
makna dari lagu tersebut.
3.2. Aransemen Musikal Indonesia Raya
Sebagai lagu kebangsaan yang digubah untuk mengekspresikan semangat
perjuangan anti penjajahan, lagu Indonesia Raya adalah salah satu lagu kebangsaan terbaik, kalau bukan yang terbaik. W.R. Soepratman adalah salah
satu komponis modern Indonesia, mungkin setelah Ki Hadjar Dewantara
yang menggubah Kinanthie Sandoong pada 1917, yang sadar betul akan i69
diom-idiom musik modern Romantik. Hal ini dibuktikan melalui lagu Indonesia Raya yang dari segi musikal sarat dengan pakem-pakem yang bisa
ditemukan dalam musik-musik komponis barat seperti Richard Wagner,
Anton Bruckner, dan Gustav Mahler. Soepratman bukan seorang komponis yang kemarin sore belajar main musik, karena jelas musik gubahannya
sangat memerhatikan beraneka rupa aspek intrinsik maupun ekstrinsik.
Mereka yang menganggap musik Indonesia Raya remeh-temeh dan tidak
pantas untuk disejajarkan dengan karya besar seperti Beethoven dan komponis lain telah melakukan kesalahan besar karena membandingkan apel
dengan sepatu. Indonesia Raya memang musik populis, bukan musik absolut
dengan makna bebas. Sebaliknya, apabila seorang komponis berniat untuk
menggubah musik populis tetapi masih sarat dengan nuansa tafsir, maka ia
sudah gagal dalam mengartikulasikan maksudnya. Sebagai musik populis
dengan program tertentu, ia sudah sangat berhasil ketika pemerintah kolonial menyaksikan dengan ketakutan bagaimana ia terus-menerus bergema dalam keseharian masyarakat Indonesia. Karena itulah memang tujuan
Indonesia Raya, menggerakkan bangsa dalam penindasan, bukan kontemplasi tanpa pamrih seperti ketika kita mendengar musik-musik absolut.
Apabila di zaman romantik tinggi kita sering kali mendengar kiasan manusia yang memandang ke dalam palung, maka Indonesia Raya merupakan
perwujudan kehendak manusia yang menantang palung tersebut, meskipun palung tersebut kembali menatap dengan dingin. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang dengan berani menatap palung dan menyatakan bahwa dirinya dengan palung itu setara. Soepratman tidak merasakan
akhir dari sebuah periode, melainkan berusaha membidani periode baru
di mana tatanan dunia Indonesia baru akan muncul. Dalam benaknya, perjuangan politis harus terus ada. Musik hanya salah satu cara berjuang, sebuah bahasa baru yang dapat dimaknai tanpa selubung tafsir.
Palung yang ditatap oleh masyarakat Indonesia adalah kehampaan dan kegagalan retorika dan perjuangan gerilya melawan penjajahan. Dalam arti
itu, Soepratman menyadari kehampaan perjuangan tersebut dan berusaha
merumuskan idiom-idiom perjuangan baru melalui musik yang sepenuhnya merupakan perwujudan dari perjuangan bangsa. Lirik musik Indonesia
Raya mendambakan masyarakat ideal yang bagi Soepratman sangat mungkin diwujudkan dalam kenyataan. Semua ini terjadi dalam bayang-bayang
pesimisme sebuah bangsa di bawah penindasan kolonial.
70
BUNYI MERDEKA
Musik romantik tinggi di barat kemungkinan menjadi inspirasi kosakata musik Soepratman, selain tentu saja sensibilitas keroncong yang tidak
pernah pudar dari gubahan awal Indonesia Raya. Permainan emosi terlihat
jelas dari pemilihan nada-nada atas sedari awal lagu tersebut dimulai. Sentakan-sentakan baris-berbaris yang diwujudkan dengan ketukan bawah
(down beat) semakin memberikan nuansa perlawanan terhadap penindasan.
Segala bentuk teknik musik diperhatikan dengan saksama oleh Soepratman untuk memberikan musik Indonesia Raya napas perjuangannya.
Orkestrasi Josef Cleber mungkin terinspirasi oleh kosakata musik romantik tinggi gaya barat, tetapi Soepratman jelas-jelas menginginkan warna
keroncong dalam lagu Indonesia Raya agar masyarakat dapat dengan mudah mengingat lagu itu. Ini tercermin dalam gubahan asli Soepratman
yang pertama kali dimainkan olehnya di Kongres Pemuda Kedua. Musik
romantik tinggi pada umumnya mendambakan sebuah tataran dunia ideal,
atau bisa dikatakan sebuah mimpi surgawi, tetapi lain halnya dengan Indonesia Raya. Meskipun diorkestrasi oleh Cleber, nada penyusun lagu tersebut
tidak ada yang diubah, kecuali perubahan langgam keroncong yang kental
pada gubahan awal Soepratman. Itulah mengapa kita tidak bisa merasakan
tujuan paripurna ke arah akhirat seperti layaknya musik romantik tinggi
lainnya.
Soepratman menggubah Indonesia Raya tanpa tujuan akhir menuju dunia
surgawi atau penyelesaian hal-hal duniawi untuk pada akhirnya melesat menuju alam setelah kehidupan. Soepratman mengidamkan sebuah
tatanan ideal yang berdasar pada mimpi duniawi yang bahkan tidak sama
sekali mengambil inspirasi dari alam seperti layaknya komposisi musik romantik. Kenyataan pahit penjajahan membuat Indonesia Raya sangat kuat
berpijak pada hal-hal duniawi, seperti kebebasan, kedaulatan, pencerahan rakyat, dan lain sebagainya. Penyelesaian musik tersebut tidak terletak
pada kemampuannya membawa imajinasi pendengarnya ke sebuah mimpi
surgawi, melainkan digubah dengan tujuan membangkitkan mimpi-mimpi
universal kebebasan dunia dari cengkeraman penjajahan. Maka dari itu,
Soepratman adalah seorang komponis sekuler sejati.
Apabila kita membandingkan orkestrasi Cleber dengan musik-musik romantik tinggi seperti Bruckner Simfoni No. 8, misalnya, di mana kesan akhir
dunia begitu terasa di babak akhir, maka kita dapat juga merasakan bahwa kesamaan antara kedua gubahan tersebut hanya terletak pada penanda
suasana (mood marking). Selepas itu, pendengar Simfoni No. 8 Bruckner akan
71
terbawa pada suasana khusyuk akhir zaman dengan berbagai perasaan
yang mengiringinya. Sedangkan pada Indonesia Raya, bisa dipastikan pendengar akan terbawa oleh suasana yang diawali dengan perasaan persatuan tanah dan darah, sebuah tema yang sering kali diulang dalam berbagai karya bersifat nasionalis, dan diakhiri dengan perasaan khusyuk tentang masa depan bangsa Indonesia. Tidak ada tema-tema yang mengawang
seperti akhirat, surga dan alam ideal.
Jika dunia dengan penjajahan adalah dunia yang kejam dan penuh kengerian, maka, dalam benak Soepratman, penyelesaian mengenai mimpi buruk
manusia itu bukan terletak dari baik buruknya dosa dan pahala duniawi
agar bisa selamat di akhirat. Soepratman hanya peduli pada keselamatan
dunia dan dunia yang ia maksudkan bukan dunia universal melainkan dunia Indonesia, bangsa yang pada waktu itu belum juga ada. Bahwa pada
kenyataannya pesan-pesan Soepratman dapat juga dirasakan oleh bangsa
lain, itu hanya sebuah efek samping dari musik, sebuah cabang kesenian
yang konon katanya lebih universal dibandingkan dengan karya seni lain.
Bagaimana Soepratman dapat dengan sangat baik mencapai tujuan untuk
membangkitkan semangat dan perasaan tanah air yang merdeka, terutama setelah kita tahu bahwa musik tidak bisa dijejalkan dengan berbagai
pesan-pesan emosional? Kemampuan Soepratman memainkan dinamika
dan penggunaan nada-nada atas (upper register) seharusnya tidak boleh lagi
dipertanyakan, karena ia menggubah dengan saksama sembari memerhatikan kedua aspek tersebut. Meskipun secara keseluruhan sebuah karya
musik tidak bisa memiliki isi emosional tertentu, dinamika musik bisa sinonim dengan isian emosional tertentu. Ambil contoh opera, ketika sebuah
adegan memuncak dan penyanyi menuangkan segala bentuk emosinya
untuk menyampaikan ceritanya, biasanya dinamika bagian tersebut akan
juga ikut memuncak. Artinya, keras-pelannya sebuah bagian dari musiklah
yang memberikan kesan emosional kepada musik tersebut.
Sebuah musik akan terasa aneh apabila bagian puncaknya, seperti yang
kita bisa pahami dari liriknya, diiringi dengan dinamika nada yang berbisik
pelan. Begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, kita bisa dan sering kali
mengiaskan rangkaian nada-nada tertentu dengan teriakan dan bisikan sebagai konsekuensi dari dinamika musik.
Kekuatan utama Indonesia Raya terletak pada musiknya, bukan pada liriknya. Lirik musik itu bisa saja diganti, dan memang liriknya sudah berulang
72
BUNYI MERDEKA
kali disesuaikan. Akan tetapi, ini bukan berarti kita bisa mengganti lirik
Indonesia Raya, karena Soepratman memang dengan sengaja memilih lirik
tersebut untuk menjadi bagian dari lagu tersebut. Maka dari itu, kita tidak bisa menalar dan menggambarkannya, kita hanya bisa merasakannya.
Indonesia Raya adalah sebuah perwujudan artistik di mana pilihan perjuangan lain dirasa sudah tidak lagi memadai. Inilah yang dimaksud dengan
menatap palung kehampaan. Ketika bahasa, kata-kata dan perjuangan tubuh sudah sekian lama tidak membuahkan hasil, musiklah yang kemudian
merasuki sanubari manusia dan memberi semangat perjuangan baru.
Tentu saja kemerdekaan bangsa ini bukan merupakan akibat langsung dari
lagu Indonesia Raya. Banyak faktor lain yang menjadi penyebab utama kemerdekaan kita. Akan tetapi, itu bukan berarti kita bisa serta-merta menganggapnya remeh. Pemerintah kolonial sempat dibuat kalang kabut dan
melarang Indonesia Raya dimainkan dalam setiap perkumpulan. Bahkan,
dalam penyangkalannya, pemerintah kolonial sampai menyebut Indonesia
Raya tidak lebih dari sebuah lagu perkumpulan saja, bukan lagu kebangsaan. Inilah bukti dari kemampuan musik untuk merasuki sanubari manusia dan dalam kasus pemerintah kolonial, yang mereka rasakan adalah
ketakutan. Bagaimana tidak, Indonesia Raya bukan suara personal seseorang. Indonesia Raya adalah suara seluruh rakyat Indonesia yang bersatu
melawan kekuatan kolonial.
Seperti diketahui, lagu Indonesia Raya digubah W.R. Soepratman menggunakan keroncong sebagai model dasarnya. Alasan di baliknya sederhana. Ia
ingin agar masyarakat Indonesia bisa mudah mengenalinya dan menyanyikannya, karena keroncong adalah salah satu musik yang sangat dekat dengan penduduk negara kepulauan ini. Boleh dikata, keroncong adalah salah
satu bahasa musikal pemersatu bangsa pada waktu itu. Meskipun Soepratman mengenal budaya musik barat melalui kakak iparnya, kemungkinan
besar ia memilih musik keroncong agar Indonesia Raya betul-betul menjadi
milik orang Indonesia. Artinya, ia bisa saja menggubah Indonesia Raya dengan gaya musik jazz, sebuah aliran yang sangat dekat dengannya karena
ia tergabung dalam sebuah kelompok musik jazz.
Tidak terlalu banyak instruksi kepengarangan dalam gubahan awal Indonesia Raya. Ini juga kemungkinan disebabkan oleh keinginan Soepratman
agar seluruh rakyat Indonesia dapat dengan mudah membaca notasi yang
ia ciptakan. Bahkan, tanda dinamika juga tidak disebutkan dalam partitur asli yang diterbitkan di surat kabar Sin Po. Ini membuktikan bahwa
73
Soepratman memang meniatkan lagu Indonesia Raya sebagai lagu populis,
lagu rakyat. Untuk apa mempunyai lagu kebangsaan apabila rakyatnya
sendiri tidak bisa menyanyikannya?
Hanya ada satu instruksi kepengarangan yang ia berikan dalam komposisi awal Indonesia Raya, yaitu tanda suasana (mood marking) Marcia, yang
artinya baris-berbaris. Dari tanda suasana itu dapat disimpulkan bahwa
Soepratman ingin memberikan kesan pergerakan pada lagu gubahannya.
Tanda suasana itu mengisyaratkan kita untuk memberikan sentakan pada
setiap ketukan bawah (down beat) agar kesan baris-berbaris untuk bergerak
ke depan dapat kita rasakan. Kemegahan lagu tersebut tidak seperti yang
kita kenal sekarang, karena warna instrumennya kala itu terbatas pada
biola dan yang ada hanya melodi semata. Pemilihan untuk terus menggunakan sentakan pada setiap ketukan bawah digunakan untuk menegaskan
tanda suasana baris-berbaris tersebut.
Pilihan Soepratman untuk menyederhanakan komposisinya selain memudahkan orang untuk memainkannya juga merupakan pedang bermata dua.
Sudah pasti banyak pemain instrumen akan merasa kesulitan dengan kebebasan interpretasi yang diberikan. Mungkin itulah sebabnya sering kali
kita mendengar banyak variasi lagu Indonesia Raya versi asli. Seperti misalnya, ketika seorang pemain biola memainkan biola asli Soepratman dalam rangka peringatan Sumpah Pemuda tahun 2016 lalu, ia memilih untuk
menghayati musiknya dengan sendu, sehingga menghilangkan suasana
baris-berbaris yang diminta oleh Soepratman. Pada praktiknya, ini adalah
hal yang lumrah dan biasa terjadi dalam interpretasi musik yang tertulis,
terutama apabila notasi yang diberikan tidak terlalu mengikat.
Yang menarik dari gubahan Soepratman ini adalah pembagian suku kata
dalam lirik seturut dengan ketukan dua bait terakhir dari komposisi awal
Indonesia Raya. Apabila kita asumsikan Indonesia Raya dimainkan dengan
birama 4/4 dari awal, maka ketika kita masuk ke bagian puncaknya, yaitu, bagian di mana liriknya berbunyi “Indonesia Raya Merdeka merdeka
” ketukannya seakan-akan berubah menjadi 3/4. Perubahan ketukan itu
dapat kita lihat secara sederhana dari pencacahan suku kata “In-do-ne-sia
Ra-ya Mer-de-ka Mer-de-ka ” menjadi tiga. Efek dari perubahan ketukan
itu luar biasa. Dua bait terakhir itu menegaskan kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara yang mandiri dan merdeka. Dalam sastra efek itu bisa
dicapai dengan kalimat-kalimat pendek yang dibubuhi dengan tanda seru.
Jika awal musik Indonesia Raya dimainkan dengan penekanan di setiap per74
BUNYI MERDEKA
mulaan kata sesuai dengan awal ketukan, maka di bagian puncaknya, setiap suku kata diberikan tekanan mengikuti tiga ketukan tersebut.
Pemilihan ketukan ditambah dengan nada-nada atas memberikan efek
yang kuat dan dramatis. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa Soepratman sangat memerhatikan drama dalam gubahannya. Dari awal
mula lagu Indonesia Raya kita bisa menemukan nada-nada atas yang gunanya tidak lain adalah untuk menciptakan tegangan. Kemudian, memasuki
bagian akhir, tegangan tersebut semakin diperkuat dengan perubahan ketukan dan nilai nada. Dalam kata lain, seluruh musik Indonesia Raya diciptakan dengan pemahaman akan naik-turunnya tegangan untuk akhirnya
sampai kepada penyelesaian akhir yang paripurna.
Bagian puncak Indonesia Raya adalah pengembangan tema dari bait sebelumnya yang berbunyi “Marilah kita berseru Indonesia bersatu” Jika kita
menggunakan tangga nada C sebagai dasar, maka rangkaian nada dari bagian tersebut adalah A-A-A-E-E-E, sedangkan apabila kita menggunakan
tangga nada G, maka rangkaian nadanya akan menjadi E-E-E-C-C-C. Sekalipun lagu Indonesia Raya sudah diorkestrasi oleh Josef Cleber, semua bagian tersebut, termasuk variasinya, tidak berubah sampai sekarang. Tugas
Cleber hanya orkestrasi, artinya hanya menambahkan beberapa rincian,
seperti tanda sukat, dinamik, harmonisasi instrumen, dan seterusnya.
Kerangka awal Indonesia Raya masih terjaga seperti yang diimpikan oleh
Soepratman, selain tentu saja, sekarang ketika kita mendengar lagu tersebut, tidak lagi tersisa alunan keroncong. Di bawah ini kita akan menelusuri
dan mempelajari secara singkat tuntutan teknis yang ada dalam lagu Indonesia Raya melalui analisa tempo, nada dan maknanya.
Josef Cleber mengaba
Indonesia Raya, 1950
75
Sepertinya W.R. Soepratman menulis dua buah partitur untuk Indonesia
Raya karena ditemukan dua buah partitur dengan spesifikasi teknis yang
berbeda. Partitur pertama disebarkan ke masyarakat melalui bantuan koran Sin Po pada 10 November 1928. Tentu saja ini wajar. Ketika itu, Soepratman tengah bekerja di majalah itu. Kemudian, ada satu lagi partitur yang
masih ada sampai sekarang, yang masih tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia. Partitur kedua ini mensyaratkan tanda sukat 4/4, sedangkan partitur pertama yang diterbitkan oleh majalah Sin Po menggunakan
tanda sukat 6/8. Agaknya Soepratman memang sengaja membuat dua buah
partitur supaya memudahkan pemain dalam menyanyikannya. Tentu, sekarang, kedua partitur dapat dengan mudah dimainkan oleh orang dengan
pengetahuan musik sederhana. Tapi, kita bicara di lain waktu. Pada tahun
1928, kenyataannya mungkin berbeda.
Partitur yang diterbitkan oleh Sin Po menggunakan tanda tempo “jangan
terlalu cepat”, sedangkan partitur kedua menggunakan tanda tempo Marcia. Selain tempo dan tanda sukat, sisanya sama. Artinya, kedua partitur
hanya menampilkan melodi, tanpa ritme dan orkestrasi. Jelas saja, dengan
perbedaan tanda sukat, nilai nada yang ada akan berubah, sehingga lagu
yang dihasilkan kurang lebih akan berbeda. Tetapi, perbedaan itu tidak
terlalu signifikan, karena tanda sukat 6/8 dan tanda sukat 4/4, tidak terlalu banyak memiliki perbedaan yang kentara. Alasannya, karena musik
dengan tanda sukat 6/8 biasanya akan memberikan penekanan atau aksen
pada ketukan pertama dan keempat. Kalau birama 6/8 dihitung, maka ia
akan berbunyi “satu dua tiga empat lima enam satu dua tiga empat lima
enam, ” Bandingkan dengan birama 4/4 yang memberikan tekanan pada
ketukan pertama dan keempat, seperti, “satu dua tiga empat satu dua tiga
empat, ”.
Karena partitur yang ada di majalah Sin Po tidak dicetak terlalu jelas, maka
akan sulit bagi kita mempelajarinya. Misalnya, nada bernilai 1/8 dengan
notasi hampir tidak bisa dibedakan dengan nada bernilai 1/16 dengan
notasi . Oleh karena itu, lebih aman bagi kita untuk menggunakan partitur kedua dimana tanda sukat yang digunakan adalah 4/4 dan instruksi
temponya adalah Marcia.
Ä
Å
Partitur Indonesia
Raya di koran Sin Po
(1928)
76
BUNYI MERDEKA
77
Indonesia Raya versi yang diterbitkan oleh Sin Po menggunakan tanda sukat
6/8, dan kita bisa berspekulasi bahwa itulah yang dimainkan oleh Supratman pada Kongres Pemuda II. Sedangkan dalam partitur kedua buatan
Supratman dengan jelas kita bisa melihat tanda pada awal notasinya.
pada awal notasi menandakan bahwa birama yang digunakan
Huruf
itu sendiri berarti common time atau birama jamak,
adalah 4/4. Huruf
karena penggunaannya paling umum dalam komposisi musik. Sedangkan
tanda sukat yang tidak biasa contohnya seperti 2/3 atau bahkan pernah
juga ditemukan tanda sukat 2/32 yang biasanya ditemukan dalam komposisi musik klasik kontemporer.
¡
¡
¡
Tanda sukat dapat kita pelajari dari jumlah nada yang terdapat dalam satu
birama yang tersebar dalam satu bar. Musik Indonesia Raya menggunakan
tanda sukat 4/4 yang artinya terdapat empat nada bernilai 1/4 dalam setiap birama yang menyusun satu buah bar. Meskipun terdapat nada-nada
yang nilainya kurang dari 1/4, seperti misalnya 1/8 dan 1/16 dalam satu
birama, tetapi, jumlah keseluruhan nilai nada tersebut jika ditotal akan
menjadi empat nada bernilai 1/4 sehingga menjadikannya 4/4. Dengan
pengecualian tiga bar terakhir di mana terdapat nada-nada triplet dalam
pembilang empat, keseluruhan Indonesia Raya seharusnya dimainkan dengan tanda sukat 4/4.
78
BUNYI MERDEKA
Meskipun begitu, kecenderungan ketukan waltz memang tidak bisa dipungkiri ada dalam gubahan awal Indonesia Raya. Seperti yang sudah dikatakan
di muka, tiga bar terakhir mengandung matra rangkap tiga (triple metre),
tetapi tetap berada dalam birama 4/4. Apa maksudnya birama dengan matra rangkap tiga? Artinya, setiap nada dalam birama yang dibagi menjadi
gugusan tiga nada dalam hitungan 4/4 akan diberikan tekanan. Dalam lirik, ini akan diterjemahkan menjadi tekanan dalam setiap suku kata. Jadi,
apabila lirik bagian tersebut berbunyi “Hiduplah tanahku” maka, seharusnya lirik tersebut dibunyikan seperti “Hi-dup-lah ta-nah-ku,” dengan
penekanan di setiap suku kata. Dalam puisi, inilah yang namanya kaki.
Sering kali terjadi kekeliruan dalam penghitungan ketukan 3/4 dan 6/8.
Mungkin, itulah sebabnya banyak yang mengira Indonesia Raya berada dalam hitungan 6/8. Ketika matra rangkap tiga itu digabungkan untuk menjadi enam nada dalam satu birama. Sedangkan, ketika didengar, kedua sukat itu sungguh berbeda. Apabila setiap nada dalam sukat 3/4 dibunyikan
dengan penekanan, maka dalam sukat 6/8 penekanan hanya diberikan
pada nada pertama dan keempat. Penekanan inilah yang kita kenal dengan
nama aksen. Penekanan pada sukat 6/8 akan dibagi seperti “satu dua tiga
empat lima enam, satu dua tiga empat lima enam, ” sedangkan dalam sukat 3/4 semua nada akan ditekan, seperti “satu dua tiga, satu dua tiga, ”
Contoh lagu nasional dengan sukat 6/8 adalah Desaku yang Kucinta karya L.
Manik dan contoh lagu dengan sukat 3/4 adalah Teguh Kukuh Berlapis Baja
karangan Cornel Simandjuntak.
Untuk mempermudah, sebaiknya kita berikan ilustrasi analisa ketukan dalam lagu Indonesia Raya. Mungkin, itulah sebabnya musik sering kali disamakan dengan matematika secara formal, karena ia bisa diteliti berdasarkan angka-angka penyusunnya. Pecahan di bawah ini melambangkan nilai
nada dalam partitur awal Indonesia Raya yang digubah oleh Soepratman
dan angka di atasnya sebagai rujukan untuk keperluan pembahasan selanjutnya, supaya lebih mudah:
79
Notasi pecahan di atas terlihat rumit, tapi, sebenarnya sederhana sekali.
Tanda adalah tanda pemisah birama. Angka 0 digunakan untuk menandakan istirahat atau diam. Oleh sebab itu, 0 0 berarti diam yang nilainya
dua ketukan. Dari situ kita bisa melihat bahwa lagu Indonesia Raya memiliki awal yang tidak biasa, yaitu karena ia dimulai bukan di hitungan atau
ketukan pertama, tetapi di hitungan keempat, atau setelah hitungan ketiga. Di dalam setiap birama, karena Indonesia Raya menggunakan tanda sukat 4/4, maka jumlah total nada adalah satu nada penuh atau empat nada
1/4 sehingga menjadi 4/4 atau satu nada penuh. Titik yang ditempatkan
setelah sebuah nada berfungsi menambahkan nada yang bersangkutan dengan nada yang bernilai setengah dari nada tersebut. Sebagai misal, bira-
|
80
BUNYI MERDEKA
ma dengan angka 2 seandainya dijabarkan dengan sebagai notasi pecahan
akan terlihat seperti ini:
atau dalam notasi balok akan terlihat seperti:
¬
= Nada bernilai penuh atau satu (tidak pernah digunakan dalam
Indonesia Raya)
°
±
Ä
Å
.
= Nada bernilai setengah
= Nada bernilai 1/4
= Nada bernilai 1/8
= Nada bernilai 1/16
= Menambah nilai setengah dari nada yang bersangkutan
Jika kita bandingkan not balok dan notasi pecahan yang diberikan, maka
dapat diperhatikan bahwa notasi pecahan tujuannya memberikan nilai
setiap nada yang tertulis dalam partitur. Seperti yang sudah disebutkan,
tanda titik yang ada di setelah nada menambah nilai nada tersebut dengan
nada yang bernilai setengah dari nada awal. Sehingga, nada pertama dalam birama kedua disebutkan memiliki penambahan nilai setengah dari
nilai awalnya. Oleh sebab itu, dari tabel informasi yang ada di atas, kita bisa
menyimpulkan itu artinya nada awal yang dimaksud bernilai 1/8. Karena
nada tersebut diberi penambahan titik, maka nada tersebut ditambah dengan sebuah nada yang nilainya setengah dari nada awal, yaitu 1/8 menjadi 1/16.
81
Setelah kita bisa menghitung nilai satuan setiap nada, barulah kita bisa
menentukan total nilai nada yang ada dalam satu birama, dengan mengambil contoh penggalan nomor 2 dari lagu Indonesia Raya. Meskipun pecahan yang menyusun birama nomor 2 itu hanya memiliki satu nada bernilai
1/4, kita bisa menjumlahkan nilai pecahan lainnya. Dan, apabila kita menghitungnya, dengan mengambil contoh dua nada pertama, maka kita akan
. Ketika kita menjumlahkan dua nada pertamendapatkan pecahan
ma itu, bisa kita lihat bahwa jumlah totalnya adalah 2/8 atau jika disederhanakan, 1/4. Lanjutkan penghitungan tersebut sampai seluruh nilai nada
tidak dapat disederhanakan lagi, maka kita akan mendapat rangkaian 1/4,
1/4, 1/4, 1/4, sehingga jika keseluruhannya dijumlahkan, maka kita akan
mendapat 4/4. Itulah mengapa, birama yang digunakan oleh Indonesia Raya
adalah 4/4, bukan 3/4 dan bukan juga 6/8.
Selanjutnya, mari kita ambil contoh dari penggalan nomor 3, persis setelah
penggalan nomor 2. Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa ada
nada yang sebelumnya tidak ada, yaitu nada dengan nilai 1/2, lambangnya,
Kalau kita jabarkan, maka rangkaian nada itu akan terlihat seperti ini;
°.
atau dalam notasi balok akan terlihat seperti:
Pengoperasian yang dilakukan juga sama dengan sebelumnya, yaitu menjumlahkan semuanya menjadi 4/4 atau satu nada penuh. Nada dengan
nilai 1/2 apabila dibagi menjadi dua, akan menjadi dua nada bernilai 1/4.
,
Sedangkan kelompok nada yang ketiga dapat dijabarkan menjadi
yang seperti sebelumnya, apabila dijumlahkan akan kembali bernilai 1/4.
Sekali lagi ini menandakan bahwa dalam penggalan ketiga, jumlah nilai
nada yang ada juga bernilai 4/4 atau satu nada penuh.
Begitu juga dengan bagian di mana terdapat rangkaian nada matra rangkap tiga di dalam sukat 4/4, di mana bila kita membaca dari notasi pecahan
di atas akan terletak di penggalan nomor 17. Penggalan nomor 17 itu tertulis begini:
82
BUNYI MERDEKA
Bagian yang sama dalam notasi balok akan terlihat seperti ini:
Pengelompokan nada dalam penggalan tersebut adalah:
Dengan mengamati bagan di atas, kita bisa melihat pengelompokan nada
menjadi tiga di dalam empat ketukan, karena setiap birama nilainya 4/4.
Pencapaian yang dihasilkan dari pengelompokan nada ini cukup kuat,
yaitu memberikan kesan sentakan kaki ke bumi sembari berseru dengan
keras. Seruan itu, tetapi, tidak boleh terlalu keras karena kita harus memperhatikan juga bahwa bagian ini bukan bagian puncak, melainkan bagian
yang menghantarkan kita ke puncak lagu Indonesia Raya. Apabila kita perhatikan lirik dari bagian tersebut, maka kita akan mendapatkan:
Hiduplah tanahku,
Hiduplah negriku,
Bangsaku, jiwaku,
Semuanya.
Bangunlah ra’yatnya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya
Sentakan kaki tersebut begitu padu-padan dengan lirik, layaknya burung
yang akan lepas landas meninggalkan bumi dan terbang tanpa jejak. Hal
ini juga diekspresikan dengan baik oleh musiknya yang mempersiapkan
diri untuk melesat di bagian puncak. Burung yang ingin terbang lepas
harus memiliki pijakan kaki yang kuat untuk melentingkan tubuhnya ke
udara. Perlambangan ini diwakilkan oleh nada-nada dengan sentakan yang
mengisyaratkan kuatnya kaki berpijak di atas tanah bumi pertiwi. Seluruh
bagian Indonesia Raya memang dibuat untuk mempersiapkan diri untuk
mencapai bagian puncak ini. Bagian yang menggambarkan dengan baik
kemerdekaannya melalui lirik dan nada yang digunakannya, meskipun
nada tersebut hanya merupakan pengulangan tema yang sudah ada sebe83
lumnya.
Penggunaan matra rangkap tiga di dalam birama 1/4 sepertinya sulit. Akan
tetapi, hanya diperlukan proses matematis sederhana yang sudah diajarkan sejak Sekolah Dasar untuk memahami. Kedua ketukan akan bertemu
kembali di ketukan pertama di nada ke-12. Cara penghitungannya adalah
dengan mengalikan angka 3 yang merupakan satuan matra rangkap tiga
dan angka 4 yang merupakan penyebut dari birama 4/4. Tetapi, kesulitan
itu hanya terjadi apabila yang terlibat dalam permainan musik ada lebih
dari satu instrumen. Apabila instrumennya hanya satu, penghitungan dalam kepala tidak diperlukan, karena tidak ada rekan yang dikhawatirkan
akan melewatkan ketukan pertama yang akan dilakukan bersama-sama.
Berikut ini adalah notasi balok asli Indonesia Raya yang sudah disesuaikan
agar mengikuti faedah yang ada karena partitur aslinya sudah agak sulit
terbaca. Koreksi yang dilakukan sebenarnya hanya agar notasinya mengikuti faedah-faedah penghitungan nilai nada yang ada.
84
BUNYI MERDEKA
Nada dasar Indonesia Raya adalah G Mayor, sebuah nada dasar yang paling
sering dipakai dalam komposisi lagu, baik lagu klasik atau lagu populer.
Mengapa demikian? Karena tentu saja sebuah lagu nasional harus bisa
dinyanyikan atau dimainkan oleh orang banyak. Rentang suara normal
manusia juga bisa dengan mudah menyanyikan lagu dengan nada dasar G
Mayor. Kemungkinan ini jelas dipertimbangkan oleh Soepratman ketika
menggubah Indonesia Raya. Nada-nada yang dikelompokkan dalam tangga
nada G Mayor adalah G, A, B, C, D, E dan F#. Dalam komposisi musik Barok,
tangga nada G Mayor merupakan tangga nada yang kudus. Komponis Johann Sebastian Bach sering menggunakan tangga nada ini dalam berbagai
komposisinya. Eine kleine Nachtmusik karya Wolfgang Amadeus Mozart juga
merupakan salah satu karya kenamaan yang menggunakan nada dasar G
Mayor.
Tangga nada yang digunakan oleh Indonesia Raya terbitan Sin Po adalah
tangga nada C mayor. C mayor adalah tangga nada paling umum dipakai dalam musik-musik kebanyakan. Deret nada yang tergabung dalam C
Mayor adalah C, D, E, F, G, A dan B. Kita bisa mengetahui nada dasar yang
digunakan oleh Soepratman dalam partitur terbitan Sin Po dengan melihat ketiadaan tanda kres. Bandingkan dengan tangga nada G Mayor yang
memiliki satu kres (#), yaitu F#. Dalam piano, tangga nada C Mayor sama
sekali tidak menekan tuts berwarna hitam. Nama Jean Sibelius dibuat harum oleh tangga nada C Mayor, karena ia berhasil memberikan warna baru
bagi tangga nada yang sudah sering kali dipakai dalam komposisi musik
barat, seperti yang bisa kita dengar melalui karya puncaknya, Simfoni No. 7.
Berhubungan dengan tanda tempo, setidaknya ada dua mahzab dalam
mendekati sebuah karya musik. Mahzab pertama adalah anggapan yang
menerima bahwa satu ukuran tempo bisa dipakai untuk seluruh bagian
musik itu. Artinya, apabila tanda tempo yang diberikan adalah Allegro, yang
sekiranya memiliki 120 – 168 bpm (beat per minute) atau ketukan dalam setiap menit, maka pendekatan tempo yang pertama akan menerapkan itu
ke seluruh bagian dari musik. Sedangkan pendekatan kedua lebih tekstual, dalam arti pendekatan ini melihat hubungan tempo dan tegangan dalam musik sebagai sesuatu yang dinamis. Hasilnya jelas berbeda. Misalnya
sebuah lagu dengan spesifik menggunakan tempo Adagio, seperti banyak
lagu-lagu pemakaman, khususnya lagu-lagu yang ingin mengekspresikan
kesenduan atau situasi khusyuk, di mana terdapat 66 – 76 ketukan setiap
menit, maka seorang pengaba boleh saja memakai tempo lain bila terdapat
bagian yang dirasa akan lebih baik dengan tempo yang baru. Artinya, ba85
gian pembukaan dan puncak bisa saja memiliki tempo yang berbeda jika
dilihat dari sudut pandang ini.
Kegunaan tempo yang berbeda dalam setiap bagian musik secara langsung
dapat dilihat sebagai cara menafsir. Salah satu hal penting yang bisa
diperhatikan dalam perubahan tempo ini adalah tegangan dalam musik.
Bayangkanlah, dalam hal ini, sebuah pesawat yang ingin lepas landas. Atau
lebih baik lagi, sebuah musik yang berusaha menggambarkan terbangnya Ikarus. Awal mula musik itu, dalam bayangan kami, idealnya dilakukan
perlahan dan akan menambah kecepatan seiring dengan bertambahnya
momentum. Momentum itulah yang berusaha ditangkap oleh perubahan
tempo. Oleh sebab itu, penggunaan tempo yang berbeda-beda dalam satu
komposisi musik boleh dilakukan oleh penafsir agar mendapat momentum, di mana akhirnya efek drama yang ingin ditampilkan dengan jelas
akan terekspresikan.
Ada komponis-komponis yang begitu saksama membubuhkan sampai ke
paparan terkecil bagaimana mereka ingin lagu mereka dimainkan. George
Enescu adalah salah satunya. Ibarat sebuah karya sastra, ada sastrawan
yang menggambarkan dengan teliti sebuah peristiwa atau karakter dengan harapan pembacanya bisa mendapat gambaran kasatmata mengenai
cerita yang dikisahkannya. Ada juga, seperti contohnya para penulis lakon
Yunani kuno yang tidak banyak mensyaratkan uraian tertentu dalam karyanya. Dalam hal ini, pembaca atau penafsir dipersilakan untuk melakukan
pembebasan artistik untuk menangkap keseluruhan karya tersebut. Pada
akhirnya, semua ada di tangan penafsir, seperti halnya dalam musik, kuasa
ada di tangan pengaba agar karya tersebut bisa bermakna. Tidak jarang
bahkan, tafsiran seorang pengaba, dalam musik, bisa memberikan nuansa
atau warna baru dalam karya yang sudah akrab di telinga kita.
Indonesia Raya tidak diperbolehkan untuk diubah dalam bentuk apa pun,
termasuk temponya. Oleh sebab itu, tempo yang seharusnya digunakan dalam setiap kali lagu Indonesia Raya disajikan harus selalu tetap, yaitu Marcia,
apabila kita mengikuti partitur Soepratman dan Festoso e con bravura jika
kita mengacu kepada orkestrasi Cleber dengan revisi Soedjasmin. Ini disebabkan bahwa Indonesia Raya sudah selalu memiliki makna tertentu dan
makna itu dianggap universal. Hal ini juga tercermin dari liriknya yang
mengusung semangat kebebasan universal manusia yang seharusnya tidak
surut dimakan waktu.
86
BUNYI MERDEKA
Sewaktu kita memperhatikan lagu Indonesia Raya, terutama setelah mempelajari partitur yang sudah diterjemahkan di muka, maka kita akan melihat bahwa Soepratman hanya menggunakan tanda diam atau istirahat di
awal lagu. Tidak ada dalam rangkaian nada selanjutnya tanda diam ditemukan. Kalau kita ingin bicara tafsir, mungkin Soepratman memang menggunakan setiap nada sebagai pesan pergerakan, di mana saatnya diam sudah
selesai. Sebelum musik itu dimulai, memang ada kesunyian, tetapi setelah
itu, yang ada hanya gerak maju ke depan menuju semangat kebebasan
yang tampak jelas dari liriknya.
3.3. Mengeja dan Menala Lagu Indonesia Raya
Syair Lagu Indonesia Raya hampir tidak pernah dibahas secara serius, dan
atau diupayakan pemaknaan setiap kata, frasa, dan kalimat dari syairnya
secara utuh dan terinci. Karenanya di dalam bagian ini akan dituliskan
dua hal: pertama tentang makna sosio-historis dari kata-kata dalam syair.
Kedua adalah analisa umum dari syair lagu Indonesia Raya.
87
3.3.1. Glosarium Indonesia Raya
Indonesia
Kata Indonesia pertama kali dirumuskan oleh sejumlah ahli etnologi di
Eropa, sebagai pengganti kata Hindia ataupun Kepulauan Hindia, pada
pertengahan dan akhir abad ke-19. James Richardson Logan dalam artikelnya di majalah JIAEA volume 4 hal 252-347 dengan judul “The Ethnology of
Indian Archipelago” menyatakan bahwa istilah geografis yang lebih tepat
untuk Hindia atau Kepulauan Hindia adalah Indonesia. Ahli lain dari Universitas Berlin, Jerman, Adolf Bastian memopulerkan nama “Indonesia”
dengan menerbitkan sebuah buku berjudul Indonesia Ordeer Die Inseln Des
Malaysichien Archipel sebanyak lima volume sepanjang tahun 1864-1880.
Orang Indonesia yang pertama kali menggunakan nama “Indonesia” adalah Ki Hadjar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat) pada waktu beliau dibuang di Negeri Belanda tahun 1913. Ketika di Belanda beliau mendirikan
sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers Bureau. Karena itu, di
Rotterdam (Belanda) nama Indonesia semakin populer digunakan oleh kalangan mahasiswa dan ilmuwan.
Di dalam negeri berbagai organisasi pun muncul dengan sebutan Indonesia. Tercatat tiga organisasi yang pertama kali menamakan organisasinya
dengan memakai sebutan “Indonesia”.
1. Organisasi Jong Indonesische Padvinderij Organisatie
(JIPO) yang berdiri pada 1923.
2. Organisasi Indonesische Studieclub tahun 1924 yang didirikan oleh dokter Soetomo.
3. Organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1924.
Sebutan Indonesia semakin populer di dalam negeri dalam berbagai gerakan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh nasional setelah nama “Indonesia”
dinobatkan sebagai nama Tanah Air, Bangsa dan Bahasa pada kerapatan
Pemoeda-Pemoeda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 yang kemudian
disebut “Soempah Pemoeda”.
Pada Agustus 1939 tiga anggota Volksraad (Parlemen Hindia Belanda) Mo88
BUNYI MERDEKA
hammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjodjo, dan Soetardjo Kartohadikoesoemo mengajukan mosi kepada pemerintah Hindia Belanda agar
nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie” (Hindia Belanda), tetapi Belanda menolak mosi ini. Segala usaha terus
dilakukan untuk mengganti di dalam perundang-undangan sebutan “Nederlandsch-Indie” dengan Indonesia; dan Inboorling, Inlander, Inheeimsche
dengan Indonesier tetapi selalu mengalami kegagalan, di mana pihak kolonial Belanda selalu mendasarkan keberatannya atas dasar pertimbangan
“yuridis”. Nama Indonesiers hanya boleh dipakai secara resmi dalam surat-menyurat saja (Surat Edaran 10 Oktober 1940).
Sebutan “Hindia Belanda” lenyap ketika balatentara Jepang menduduki
Tanah Air kita pada 8 Maret 1942 dan berganti sebutan “To-Indo” (India
Timur). Tidak lama balatentara Jepang menduduki Tanah Air kita, tentara sekutu menghancurkan kekuasaan Jepang. Lalu, pada 17 Agustus 1945
muncul lebih kuat dengan dicantumkan dalam proklamasi bangsa Indonesia, dan pada 18 Agustus 1945 berdirilah Negara Republik Indonesia.
Tanah Air
Muhammad Yamin, sastrawan, budayawan, dan politisi kelahiran Minangkabau dari beberapa puisi karyanya, terbaca bahwa istilah Tanah Air memang mengacu pada kaitan yang erat antara tanah dan air. Dalam puisinya
“Tanah Air”, bertarikh Bogor, Juli 1920, Yamin antara lain menulis sebagai
berikut: /Pada batasan Bukit Barisan/ Memandang ke pantai, teluk permai/ tampaklah air, air segala,/ Dalam puisinya yang juga berjudul “Tanah
Air” bertanggal Tanah Pasundan, 9 Desember 1922, Yamin mengulangi ungkapannya dengan: /Memandang beta ke bawah memandang/ Tampaklah
hutan rimba dan ngarai/ Lagipula sawah, telaga nan permai/ Hubungan
tanah dan air diperkuat lagi dalam puisinya “Indonesia, Tanah Tumpah Darahku”, bertarikh Pasundan, 26 Oktober 1928. Yamin menulis: /Duduk di
pantai tanah permai/ Tempat gelombang pecah berderai/ Berbuih putih di
pasir terderai/ Tampaklah pulau di lautan hijau/ Gunung-gemunung bagus rupanya/ Dilingkari air mulia tampaknya: Tumpah darahku Indonesia
namanya/.
Namun, jika ditilik lebih dalam lagi, hal tanah air ini adalah refleksi dari
konsepsi Hindu tentang lingga dan yoni yang mewujud dalam gunung dan
lautan. Gunung, sumber penghidupan dari makhluk tumbuh-tumbuhan,
binatang dan manusia menjulang tinggi ke angkasa. Sedangkan lautan
89
mengelilingi daratan memenuhi hampir seluruh permukaan bumi. Di dalam filosofi pendakian menuju puncak pencerahan rohani, di mana usaha
manusia untuk menjadi semakin dekat dengan-Nya sering diistilahkan dengan memutar gunung sampai ke puncak-nya. Setelah sampai di puncak
turun lagi untuk menyelami kedalaman lautan samudra sampai ke dasarnya. Gunung sebagai perwujudan “Lingga” adalah tempat bersemayam
“Dewa Siwa”. Sedangkan lautan sebagai perwujudan “Yoni” adalah tempat
bersemayam saktinya Siwa. Pertemuan di antara keduanya adalah yang
menciptakan manusia dengan segala kekuatan supranatural yang melingkupinya.
Pada masa berkembangnya Islam di wilayah Nusantara, salah seorang Walisongo, Sunan Kalijaga, membuat Kidung Kawedar yang bait ke-21 berbunyi:
Bahasa Jawa
Gunung Agung segara Serandil,
langit ingkang amengku buwana,
kawruhana ing artine,
gunung segara umung,
guntur sirna amangku bumi,
duk kang langit buwana,
dadya weruh iku,
mudya madyaning ngawiyat,
mangrasama ing gunung Agung sabumi,
candi-candi segara.
Bahasa Indonesia
Gunung Agung laut Serandil,
langit yang menyelimuti bumi,
pahamilah artinya,
gunung lautan gaduh,
guntur lenyap memenuhi bumi,
tatkala langit dan bumi,
jadi ketahuilah itu,
memuja tengahnya (pusat) langit,
membangun pondok satu negeri di gunung Agung,
candi-candi lautan.
Secara umum bait ini ditafsirkan sebagai bagian dari pencarian seorang
hamba pada keyakinan terhadap Yang Maha Kuasa dari waktu ke waktu.
90
BUNYI MERDEKA
Untuk itu ia bisa meninggalkan kehidupan yang penuh pesona dunia. Tak
ada yang tahu di mana istana Tuhan. Karenanya, Tuhan tidak mudah diketemukan, apabila sang manusia tidak bisa menaklukkan hawa nafsunya
yang setinggi gunung, bergelora bak laut pasang dan menggelegar bagaikan
guntur, meskipun ia berada di dalam rumah peribadatan yang disucikan.
Kini tanah air secara umum bermakna istilah yang digunakan bangsa Indonesia untuk menyebut seluruh bumi Indonesia yang terdiri dari darat
dan lautan. Istilah ini didasarkan pada konsep Wawasan Nusantara yang
terbentuk dari kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Istilah ini membedakan Indonesia dari bangsa lain yang sering memanggil wilayahnya dengan sebutan motherland atau fatherland. Di samping
itu, bumi Indonesia juga sering disebut dengan panggilan ‘Ibu Pertiwi’ dan
‘Nusantara’.
Tanah Tumpah Darah
Makna dari tanah tumpah darah sebenarnya merujuk pada salah satu tembang mocopat Jawa yang berbunyi: “Lamun sira dumadi prajurit, nganggo wewaton. Kang sepisan, labuh negarane. Kaping pindho sira kudu eling. Duk nalika
lahir. Wutah getihupun”. (Jika engkau menjadi prajurit, pakailah dasar-dasar
etikanya. Yang pertama, membela negaramu. Yang kedua, engkau harus
ingat. Ketika engkau lahir. Darahnya tumpah). Ini semacam pengingat
kepada setiap orang Indonesia untuk selalu ingat kepada ibu yang telah
menumpahkan darahnya bagi kelahiran anak-anak Indonesia, dan tempat
tinggal ibu. Disederhanakan kemudian oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia
menjadi tanah tempat kelahiran, atau kampung halaman.
Merdeka
Kata merdeka berasal dari bahasa Sansekerta mardika yang artinya pandai,
terhormat, bijaksana dan tidak tunduk kepada seseorang selain raja dan
Tuhan. Dalam bahasa Melayu merdika berarti bebas, baik dalam pengertian fisik, kejiwaan, maupun dalam arti politik. Dalam kitab Nitisastra IV.19,
berbunyi: Lwirning mangdadi madaning jana, surupa dhana kalakulina yowana.
Lawan tan sura len kasuran, agawe wereh i manahikang sarat kabeh. Yan wwanten
sira sang dhaneswara, surupa guna dhanakulina yowana. Yan tan mada, maharddhikeka pangaranya sira putusi sang pinandita, artinya hal-hal yang menjadikan manusia itu mabuk ialah paras yang bagus, kekayaan, kebangsawanan
dan keremajaan. Juga minuman keras dan keberanian itu dapat membuat
91
hati menjadi mabuk. Jika ada orang kaya, tampan wajahnya, pandai, banyak mempunyai harta benda, bangsawan dan muda, tetapi tak mabuk karenanya, ia adalah orang bijaksana yang berbudi maharddhika (bebas dari
soal keduniawian).
3.3.2. Sonata Stanza Indonesia Raya
Pada bagian ini akan coba dijelaskan bagaimana paduan antara kata dan
nada dalam lagu Indonesia Raya melahirkan pengertian yang dalam dan
meluas.
3.3.2.1. Sonata Stanza Pertama
Sejak not-not pertama dinyanyikan dengan kata “In-done-sia” (nada
meninggi), lalu “tanah a-irku” (nada menurun), lalu “tanah tumpah darahku” (nada menurun berderap), seluruhnya adalah pernyataan politik.
Kata Indonesia yang mulai dipakai Ki Hadjar Dewantoro tahun 1913 adalah
lawan kata dari Hindia Belanda. Kata Tanah Air adalah ruang kosmik kebangsaan tentang hakekat dialektika alam Tanah dan Air yang dirumuskan
dalam puisi puisi Muhammad Yamin. Istilah Tanah Tumpah Darah adalah
konsep tentang Ibu yang menumpahkan darah (wutah getih) saat melahirkan anak-anak Indonesia. Seperti bahasa lain dari “Inilah aku Indonesia
dengan segala ke alamanku, yang lahir dan dibesarkan oleh perjuangan
ibu-ibu bangsa”.
Variasi melodi dari titi nada di baris pertama disuarakan “Di-sana-lah
aku berdi-ri” (nada meninggi), lalu “jadi pandu i-bu-ku” (nada merendah
berderap). Istilah “Di sanalah”, kerap menjadi pertanyaan publik: “Mengapa bukan “di sinilah””? Tetapi penggunaan istilah “Di sana” lebih serupa kerangka objektif W.R. Soepratman meletakkan Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat dunia yang sanggup “berdiri”, tidak tunduk kepada bangsa asing. Ini seperti imbangan dari baris pertama yang sifatnya
lebih subjektif, dan karenanya ada semacam pernyataan politik kedua di
hadapan kolonialisme, “jadi pandu ibuku”. Pandu adalah gerakan pemuda yang tersisa, yang paling mungkin dimanfaatkan sebagai organ politik
anti kolonialisme menyusul represi aparat kolonial yang melarang berbagai pertemuan dan aktivitas politik setelah pemberontakan 1926/27. “Jadi
pandu Ibuku” karenanya bermakna, “Aku akan memimpin, menjaga, dan
merawat bangsaku”. Jika dihubungkan dengan baris pertama, maka baris
92
BUNYI MERDEKA
kedua semacam pernyataan kepada kaum kolonial: “Di Indonesia aku berdiri sama tegak dengan bangsa-bangsa lain, oleh karena aku memimpin,
menjaga, dan merawat bangsaku”.
Baris ketiga berbunyi “Indonesia, kebangsaanku, bangsa dan tanah airku”.
Apa kemudian perbedaan antara kebangsaan dan bangsa? Kebangsaan
adalah peng-Indonesiaan dari kata nationalism, yang berarti cara pandang
tentang kewilayahan dan politik dengan berbasis pada pemahaman dan
kesadaran akan bangsa. Sementara bangsa adalah suatu komunitas manusia yang memiliki nama, yang mempunyai kesamaan wilayah bersejarah serta memiliki memori sejarah dan mitos publik yang sama, budaya
publik bersama, perekonomian tunggal dan hak serta kewajiban bersama
bagi semua anggotanya. Tetapi dalam konteks sejarah Indonesia, bangsa
tidak mengandaikan satu golongan atau ras tertentu, sebagai konsekuensi
dari kewilayahan yang menyatakan keragaman etnis dan golongan. Tjipto
Mangoenkoesoemo dalam hal ini menyatakan bahwa “kata bangsa Hindia
ini termasuk juga peranakan Eropa dan juga peranakan Tionghoa. Mereka
ini sesudah dilahirkan di bawah lambaian nyiur lebih banyak dibesarkan
oleh babu Sarinah daripada oleh ibunya sendiri, belum lagi disebutkan
hal-hal yang acapkali terjadi, yaitu mereka yang dikandung dan dilahirkan
oleh babu Sarinah yang itu juga”. Karenanya, jika dikembalikan pada lirik lagu Indonesia Raya, maka baris ketiga adalah sebuah abstraksi dari dua
baris lirik sebelumnya. Dengan kata lain, W.R. Soepratman ingin berkata,
“Karena aku telah menyatakan luar-dalamnya diriku sebagai bangsa Indonesia, maka cara pandangku adalah demi kewilayahan dan keragaman
yang ada di dalamnya, yang membentuk kebangsaanku, itulah bangsa dan
tanah airku”.
Baris keempat yang berbunyi: “Marilah kita berseru, Indonesia Bersatu”,
lebih serupa seruan yang indah dari W.R. Soepratman agar semua komponen bangsa bersatu di hadapan kolonialisme dan saat menghadapi kolonialisme. Letak keindahannya adalah pada lompatan nada kwint (interval
lima nada) yang biasanya di awal kalimat lagu, ini berada di tengah dengan
puncak nada panjang pada kata “See ru”. Baris ini juga menyatakan kepada
kolonialisme bahwa “kebangsaanku menyatu di hadapan penindasanmu”.
Baris kelima yang berbunyi: “Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku semuanya”, sebenarnya adalah pernyataan tentang harapan. Apabila dihubungkan dengan baris sebelumnya, maka makna dari
baris kelima bisa menjadi “kebersatuan bangsa akan menghidupi tanah,
93
negeri, bangsa, dan rakyat”. Tetapi penting dipahami makna kata “tanah”
dalam baris ini berbeda dengan tanah pada baris-baris awal stanza ini. Ia
bukan tanah air, dan bukan juga tanah tumpah darah, melainkan tanah
yang dapat dihidupkan, yang dapat melahirkan sesuatu, yang bisa menghidupi negeri, bangsa, dan rakyat. Artinya lagi-lagi ini sebuah pernyataan
politik kepada kolonialisme yang merampas tanah-tanah rakyat Indonesia
melalui sistem tanam paksa. Dengan kata lain, W.R. Soepratman mencoba
menegaskan kepada kolonialisme bahwa “aku akan mengambil kembali
tanah yang kau rampas, agar tanah itu dapat hidup dan menghidupi negeri, bangsa, dan rakyatku semuanya”.
Baris keenam yang berbunyi: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
untuk Indonesia Raya”, lebih merupakan konsekuensi dari baris yang kelima. Artinya, ketika tanah sudah dapat menghidupi bangsa dan rakyat,
maka tindakan selanjutnya adalah membangun rasa cinta tanah air, dan
berkembang sesuai dengan kebutuhan hidup sebuah bangsa. Dengan kata
lain, W.R. Soepratman ingin berkata kepada kita semua bahwa segala upaya membangun bangsa diasalkan dari diri kita sendiri untuk dapat berguna
bagi bangsa. Ini serupa dengan seruan Kartini, puluhan tahun sebelumnya,
“Bekerja! Bekerja! Bekerja! Berjuanglah membebaskan diri! Baru setelah
kamu bekerja membebaskan diri, akan dapatlah kamu menolong orang
lain!”.
Baris ketujuh dan kedelapan yang berbunyi: “Indonesia raya, merdeka, merdeka, tanahku negeriku yang ku cinta/ Indonesia raya, merdeka,
merdeka, hiduplah Indonesia raya”. Kalimat-kalimat ini bukan sekadar seruan tentang kebebasan dari kolonialisme, tetapi juga upaya membangun
jati diri dengan keberanian melawan segala rintangan yang menghambat
kebebasan.
3.3.2.2. Sonata Stanza Kedua
Dalam stanza ini, syair baris pertama berbunyi : “Indonesia tanah yang
mulia, tanah kita yang kaya”. Sekilas pengertiannya bisa serupa, “Indonesia mulia karena Indonesia kaya”. Tetapi “mulia” di sini lebih dari sekadar
soal kekayaan. Pengertian tentang tanah yang mulia perlu disandingkan
baik dengan “tanah air, tanah tumpah darah” maupun sebagai kelanjutan
dari “tanah yang hidup”. Karenanya ke-mulia-annya adalah abstraksi dari
tanah air dan tanah tumpah darah, sedang ke-kaya-annya adalah simpulan
94
BUNYI MERDEKA
dari kemampuan tanah itu menghidupi negeri, bangsa, dan rakyat.
Baris kedua yang berbunyi “ Di sanalah aku berdiri untuk slama-lamanya”,
sekali lagi menegaskan posisi politik tentang Indonesia yang tidak dapat
diganggu gugat oleh kolonialisme. Makna kata “slama-slamanya” di sini
lebih berdekatan dengan pengertian W.R. Soepratman yang seolah hendak berkata kepada kolonialisme, “Apa pun yang terjadi aku tetap menjaga
kemuliaan Indonesia”.
Baris ketiga yang berbunyi “Indonesia tanah pusaka, pusaka kita semuanya” adalah sebuah penegasan ulang yang lebih fundamental. Setelah ia
adalah Tanah Air, Tanah Tumpah Darah, Tanah yang Hidup, Tanah Mulia,
maka Indonesia adalah pusaka. Pengertiannya di sini Indonesia adalah
warisan leluhur bangsa Indonesia yang oleh karena berbagai sebab menjadi satu ikatan persaudaraan Indonesia. Karenanya, ke-pusaka-an Indonesia
mengandaikan sifat-sifat hubungan-hubungan sosial yang erat di antara
keragaman suku, bangsa, dan bahasa.
Baris keempat, yang berbunyi “Marilah kita mendoa, Indonesia bahagia”,
lebih serupa lompatan dari pernyataan politik ke pernyataan ideologis.
Jika diperhatikan ‘alur cerita’ dari stanza pertama sampai sebelum baris
ini, semuanya berbicara tentang hal-hal yang sifatnya duniawi. Tepatnya
keduniawian dari perjuangan melawan kolonialisme. Nah, pada baris ini
hal-hal terkait perjuangan di muka dikembalikan pada spiritualitas agama
yang menjadi bagian dari kehidupan rakyat Indonesia. Tepatnya perjuangan itu diberikan landasan moral ideologis, dengan membuat doa sebagai dasar dari perjuangan. Sepertinya W.R. Soepratman ingin berucap,
“Terangnya perjuangan itu tidak mungkin tanpa doa rakyat Indonesia”,
yang mana semua ditujukan demi Indonesia bahagia.
Baris kelima berbunyi, “Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya, bangsanya,
rakyatnya, semuanya”. Lirik dalam baris ini semacam menegaskan ulang
makna dan tujuan dari doa perjuangan rakyat Indonesia. Ia merupakan
harapan agar perjuangan melawan kolonialisme dapat dimenangkan dan
harapan itu mengandaikan kebenaran tentang tanah yang subur, dan jiwa-jiwa pemberani dari bangsa dan rakyat Indonesia.
Karenanya dalam baris akhir dari stanza kedua yang berbunyi: “Sadarlah
hatinya, sadarlah budinya, untuk Indonesia Raya”, ini lebih serupa raungan
pengingat kepada rakyat Indonesia untuk kembali menyadari hakekatnya
95
sebagai manusia yang merdeka.
3.3.2.3. Sonata Stanza Ketiga
Baris pertama dari stanza ketiga berbunyi “Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti”. Pengertiannya hampir sama dengan Indonesia
tanah yang mulia dalam stanza kedua. Hanya saja tambahan unsur ‘sakti’
di sini lebih serupa simpulan dari ke-mulia-an dan ke-pusaka-an Indonesia.
Ke-sakti-an di sini juga tidak sama arti dengan tingkat keahlian seseorang,
melainkan sebuah cita-cita akan Indonesia yang kokoh dan berjaya.
Baris kedua yang berbunyi, “Di sanalah aku berdiri, N’jaga ibu sejati”, adalah
sebuah penegasan dari baris sebelumnya, bahwa oleh karena ke-sakti-annya maka adalah “tugasku sebagai rakyat Indonesia untuk menjaganya”.
Karenanya, dalam baris ketiga yang berbunyi “Indonesia, tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi,” ini semacam konsekuensi dan juga syarat untuk menjaga ibu sejati. Apa itu ibu sejati? Itulah simbol abstrak dari tanah
air, tanah tumpah darah, tanah yang hidup, tanah pusaka, tanah suci dan
mulia. Kesejatian ibu di sini juga bisa dirujuk pada apa yang dikatakan Kartini tentang ibu/perempuan sebagai soko guru peradaban bangsa.
“Marilah kita berjanji, Indonesia abadi”, demikian bunyi baris keempat
yang menunjukkan perlunya itikad yang besar dari setiap rakyat Indonesia untuk mempertahankan Indonesia dan ke-Indonesiaan. Hal itikad atau
sumpah ini adalah semacam simbolisasi dari gerakan Sumpah Pemuda,
yang perhelatannya di tahun 1928 menjadi tempat Indonesia Raya dibunyikan untuk pertama kali.
Baris kelima yang berbunyi, “S’lamatlah rakyatnya, S’lamatlah putranya,
pulaunya, lautnya, semuanya,” sebenarnya sebuah rencana realisasi dari
janji menjaga Indonesia. Siapa yang harus berjanji? Rakyat Indonesia lah
yang harus berjanji menyelamatkan manusia dan alam Indonesia.
Karenanya sebagaimana bunyi baris penutup “Majulah Neg’rinya, Majulah
Pandunya, Untuk Indonesia Raya”, ini serupa penegasan dan penajaman
bahwa negeri ini harus dipimpin, dibimbing, dirawat agar Indonesia abadi.
Tepatnya semacam kewajiban bagi rakyat Indonesia untuk merealisasikan
janji atau itikad di muka.
96
BUNYI MERDEKA
Dari seluruh gambaran pemaknaan tentang syair lagu Indonesia Raya tampak jelas bahwa lagu Indonesia Raya memiliki semangat anti kolonialisme
yang tinggi. Ini tentunya bukan sesuatu yang luar biasa mengingat W.R.
Soepratman lahir dan dibesarkan di dalam alam kolonialisme. Akan tetapi
hal yang paling mengemuka dari lagu Indonesia Raya adalah bahwa banyak
dari kata-kata dalam lirik tersebut adalah pernyataan politik yang tegas,
walau dibahasakan secara simbolik. Hal kedua yang juga mengemuka adalah bahwa lirik lagu Indonesia Raya juga membawa nuansa arahan politik
kepada rakyat Indonesia tentang apa yang harus dilakukan secara praktis
di dalam menghadapi kolonialisme. Bahkan, lirik lagu tersebut meminta
rakyat Indonesia menyadari keberadaannya sebagai bagian dari wilayah
yang bersejarah dan pengalaman sejarah yang sama, pengalaman kolonialisme. Karenanya menjadi penting kemudian untuk mengeja dan menala
Indonesia Raya dalam cahaya kebangkitan dari kehancuran akibat kolonialisme.
Semangat dan nuansa yang demikianlah, yang sedikit banyak mewarna
dalam Pembukaan UUD 1945. Mulai dari kalimat pertama pembukaan,
bahwa “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa” sampai dengan kalimat
akhir “mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, lirik
lagu Indonesia Raya seperti menjadi pandunya. Dengan kata lain, lirik lagu
Indonesia Raya tiga stanza menggelora dalam kalimat-kalimat Pembukaan
UUD 1945.
Relevansinya kemudian pada hari ini adalah semangat untuk kembali
membangun Indonesia. Indonesia yang terdiri dari beragam suku, bangsa,
dan bahasa, yang berada di wilayah seluas 1,905 km2, membutuhkan kesadaran yang super untuk bisa memahami, dan menerimanya sebagai bagian dari kenyataan sosial politik dan budaya. Kesenjangan sosial ekonomi
dan budaya yang menyebar di berbagai pulau, ketidaklancaran komunikasi
dan transportasi antar pulau, dan segala kompleksitas permasalahan lainnya, itulah bagian dari kemuliaan Indonesia. Karenanya sudah tepat apabila pemerintah Presiden Jokowi memprioritaskan hal-hal penyelesaian
sumbatan-sumbatan komunikasi dan keadilan sosial sebagai agenda utama
pembangunan. Begitu juga dengan upaya membangun dari pinggiran sebagai amanat Nawacita, di dalam banyak hal justru mempertegas stanza
ketiga Indonesia Raya “slamatlah rakyatnya, slamatlah putranya, pulaunya,
lautnya, semuanya”. Karena itu menjadi penting kemudian untuk melihat
Indonesia Raya sebagai sebuah pernyataan, doa perjuangan, dan janji rakyat
Indonesia kepada tanah air dan tanah tumpah darahnya.
97
IV
Sesudah Indonesia Raya
Para penyair mendambakan ketiadaan jejak seperti layaknya burung yang
terbang di udara. Sebagai manusia kita seperti dikutuk untuk selalu dihantui oleh berbagai jenis perasaan yang tertinggal oleh jejak-jejak waktu. Begitu pula lagu Indonesia Raya yang sangat meninggalkan jejak mendalam bagi
rakyat Indonesia dan juga pemerintah kolonial. Selain meninggalkan jejak
dalam bentuk Sumpah Pemuda, Kongres Pemuda Kedua juga mewariskan sebuah komposisi musik yang begitu populer pada masa itu di benak rakyat
Indonesia. Rosihan Anwar pernah bercerita bahwa suatu hari ia pernah
menumpang sebuah truk dalam perjalanan menuju ke suatu tempat. Tujuan
yang ingin ia capai harus melalui sebuah jalan sempit, terutama untuk sebuah
kendaraan sebesar truk. Di jalan sempit itu, kendaraannya berpapasan dengan truk lain yang berisikan banyak pemuda.
Rosihan Anwar mengaku pada waktu itu ia masih buta politik. Karena jalan
yang sempit itu, kedua truk tersebut terpaksa melaju sangat pelan. Dari kejauhan ia sudah bisa mendengar sekelompok pemuda yang menumpang
truk tersebut bernyanyi sambil menyerukan slogan-slogan kemerdekaan.
Ketika kedua truk itu berjalan berdampingan secara perlahan karena jalan
yang sempit, ia bisa mendengar dengan jelas bahwa yang mereka nyanyikan
adalah lagu Indonesia Raya. Rosihan Anwar lahir pada 1922. Andaikan ketika
peristiwa itu terjadi, ia masih berusia sepuluh tahun, sebuah kemungkinan
yang amat kecil, berarti ia mengalami kejadian itu pada 1932. Artinya, paling
tidak empat tahun setelah pertama kali dimainkan oleh Soepratman, Indonesia Raya masih menggema dalam sanubari para pejuang kemerdekaan.
Bahkan jauh setelah itu, sekitar tahun 1955, seorang eksekutif perusahaan
rekaman yang berkantor di Cikini menulis surat kepada Presiden Sukarno.
Isinya adalah permohonan merekam lagu Indonesia Raya untuk dijual kepada
rakyat yang menginginkannya. Ia menyatakan bahwa pembeli hanya perlu
membayar ongkos produksinya tanpa perlu mengeluarkan biaya tambahan
untuk kutipan keuntungan perusahaan rekaman itu. Ternyata, banyak orang
datang ke perusahaan rekaman itu yang menanyakan perihal ketersediaan
rekaman Indonesia Raya. Kongres Pemuda Kedua sudah berselang 27 tahun
BUNYI MERDEKA
dan proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah lewat sepuluh tahun, sedangkan orang masih saja berusaha memiliki salinan musik Indonesia Raya
agar tidak buru-buru dijerat oleh lupa.
Tentu saja, permohonan itu ditolak oleh Sukarno. Menurutnya, lagu Indonesia Raya adalah milik bangsa Indonesia, bukan untuk diperjual-belikan.
Sukarno pun sudah mengurus perihal royalti kepada keluarga Soepratman
dan Yo Kim Can yang diberikan hak cipta lagu tersebut untuk diperbanyak
oleh Soepratman sendiri. Sukarno menerangkan perihal Jos Cleber yang
pada waktu itu merekam Indonesia Raya atas perintahnya bahwa Cleber
berlaku sebagai pegawai pemerintah, maka dari itu ia diperbolehkan merekam Indonesia Raya.
Dua bulan setelah peristiwa Kongres Pemuda Kedua, di jalanan Jakarta
para anggota pramuka kedapatan menyanyikan melodi Indonesia Raya. Kejadian ini diketahui oleh anggota PID yang kemudian membuat laporan kepada atasannya. Atasan tersebut berkirim surat kepada Gubernur Jendral
di Jakarta melaporkan kejadian ini. Tidak lama kemudian, turun surat dari
Menteri Daerah Jajahan di Negeri Belanda yang berisi larangan menyanyikan Indonesia Raya. Tatkala itu, Indonesia Raya dilarang disebut sebagai lagu
kebangsaan, karena bangsa yang disebut-sebut dalam lagu tersebut tidak
ada.
Pada 1928, Soepratman pernah merekam lagu Indonesia Raya dengan menggunakan biola dan suaranya. Yo Kim Can pada waktu itu bertindak sebagai
produser. Perekaman dilakukan di Indonesia dan rencananya piringan hitam itu akan dicetak di luar negeri untuk mendapat hasil yang maksimal.
Ketika pencetakan sudah selesai dan saatnya membawa kembali piringan
hitam untuk disebarluaskan di Indonesia, kapal yang memuat rekaman
tersebut ditahan oleh pemerintah kolonial. Seluruh piringan hitam yang
memuat lagu Indonesia Raya dihancurkan oleh pemerintah kolonial. Kendati demikian, Yo Kim Can berhasil menyimpan satu-satunya piringan hitam
yang ia produksi bersama Soepratman.
Betapa mengerikan suara persatuan yang terekspresikan oleh sebuah komposisi musik. Ini menandakan bahwa musik bukanlah perkara sederhana,
melainkan sebuah pengalaman tunggal yang memang harus dirasakan.
Betapa tidak, nyanyian anak-anak anggota pandu di jalanan Jakarta saja
mendapat tanggapan keras dari Menteri Daerah Jajahan di Belanda. Hal ini
jelas menunjukkan ketakutan pemerintah kolonial akan kekuatan musik
99
sebagai pemersatu bangsa, terutama bila kekuatan liriknya juga dipertimbangkan. Ketika menghadiri pemakaman salah seorang temannya, Gustav
Mahler mendapat ilham untuk menggubah sebuah simfoni yang mengisahkan kehidupan setelah kematian. Setelah simfoni itu rampung, ia pun
memimpin sebuah orkes di Eropa untuk memainkannya. Begitu simfoni itu
selesai dimainkan, seorang perempuan menghampiri Mahler dan bertanya, “Jadi, Tuan Mahler, ada apa setelah kita mati?”
Kisah Mahler ini mirip dengan cerita kekuatan musik Indonesia Raya. Apabila perempuan itu menganggap Mahler yang sudah berhasil menggubah karya begitu agung paling tidak pernah merasakan keberadaan yang
melampaui kehidupan, maka pemerintah kolonial merasa bahwa Soepratman tahu bahwa tidak lama lagi negara yang ia impikan akan menjadi kenyataan. Ketakutan akan ramalan Soepratman itulah yang menghantui
pemerintah kolonial. Ramalan Soepratman menjadi benar-benar menjadi
kenyataan dan pemerintah kolonial sudah menyadari bahwa akhir cengkeramannya sudah bisa terlihat di cakrawala. Kemungkinan itulah yang
menakutkan bagi pemerintah kolonial. Terutama tatkala kondisi ekonomi
Belanda pada waktu itu sedang berada pada titik yang rendah. Mereka harus menanggapi persoalan lagu ini dengan serius.
Kekuatan Indonesia Raya bukan terletak pada kemampuannya membawa pendengarnya sendirian hanyut ke dalam permenungan yang dalam,
meskipun pesan-pesan di baliknya menggali falsafah hidup pencerahan
khas Indonesia. Lagu ini harus dinyanyikan bersama-sama dengan banyak
suara untuk dapat merasakan kegentingannya. Lagu ini adalah lagu rakyat.
Seperti kebanyakan karya seni mutakhir, lagu Indonesia Raya memiliki banyak lapisan untuk didekati. Lagu itu bisa saja digumamkan ketika kita sedang santai sembari minum kopi sendiri, misalnya, menandakan interaksi
dengan lapisan pertama. Tapi, lagu itu juga bisa membuat kita duduk tafakur memikirkan pesan-pesan intinya. Misalnya, apa itu kemanusiaan? Apa
itu keadilan? Bagaimana mewujudkan cita-cita bangsa? Dalam arti ini, kesederhanaan musik Indonesia Raya mampu menjadi kiasan untuk mengundang kontemplasi lebih jauh mengenai tatanan ideal. Semua itu sudah dipikirkan oleh Soepratman.
Peran lagu Indonesia Raya pada masa sebelum kemerdekaan sudah jelas.
Pada masa penjajahan Belanda, lagu Indonesia Raya terbukti menjadi mimpi buruk kolonial. Ketika Belanda diusir oleh pemerintahan Jepang, hubungan lagu tersebut dengan rakyat Indonesia juga berubah. Radio NHK
100
BUNYI MERDEKA
dari Jepang, ketika perang Pasifik pecah, selalu mengawali dan mengakhiri
siarannya dengan lagu Indonesia Raya, meskipun tidak jelas rekaman siapa
yang digunakan. Pada 1942 ketika tentara Jepang berhasil merebut kekuasaan dari Belanda, sikap itu perlahan-lahan berubah. Lagu tersebut yang
tadinya diputar setiap hari oleh Radio NHK akhirnya dilarang. Baru setelah
Jepang mulai merasakan kekalahan demi kekalahan dalam teater Perang
Pasifik, lagu Indonesia Raya mulai boleh dimainkan kembali.
Setelah kemerdekaan, tepatnya 16 November 1948, Presiden Sukarno
memutuskan untuk membentuk Panitia Indonesia Raya untuk mengkodifikasi lagu Indonesia Raya. Namun, kenyataan berbicara lain. Sebelum panitia
tersebut menjalankan tugasnya, Belanda, yang sebelumnya menunggu di
daratan Australia untuk kembali ke Indonesia, melajukan agresi militernya dengan menduduki ibukota Republik Indonesia yang waktu itu berada
di Yogyakarta. Kepindahan ibukota negara ke Yogyakarta dilakukan untuk menghindari tentara Belanda yang diperkirakan akan merapat di Pelabuhan Tanjung Priok. Kemungkinan besar, dalam periode inilah cerita
Rosihan Anwar di muka berlatar. Segala upaya Belanda untuk menghentikan penyebaran lagu Indonesia Raya sia-sia, karena semua orang sudah
mengetahui dan mengingat lagu tersebut dalam benaknya.
Untuk menandai kelahiran lagu kebangsaan Indonesia Raya, maka pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 28 Oktober 1928 sebagai hari lahir lagu
kebangsaan. Selain itu, untuk memperingati seperempat abad lagu Indonesia Raya, maka pada 28 Oktober 1953 diadakan sebuah upacara besar di
Lapangan Gambir. Pada kesempatan itu, bumi Nusantara digetarkan oleh
paduan suara yang beranggotakan 1.000 orang, semuanya menyanyikan
Indonesia Raya. Selain paduan suara tersebut, lagu Indonesia Raya juga dimainkan dengan orkes angklung Parahyangan, lalu kemudian dilanjutkan
dengan orkes seruling putra-putri Maluku yang diiringi orkes Kepolisian
Negara.
Jauh setelah itu, pada 1998, mahasiswa yang berhasil menduduki gedung
MPR/DPR menyanyikan lagu tersebut dalam rangka merayakan kemenangan rakyat atas tumbangnya Rezim Suharto. Dalam setiap demonstrasi
lagu tersebut sering diulang untuk meresapi makna yang tertuang dalam
liriknya. Menurut para mahasiswa, Rezim Orde Baru telah menyeleweng
dari amanat yang ada di balik lagu Indonesia Raya. Belakangan, lagu Indonesia Raya juga kembali dinyanyikan oleh orang banyak di Gedung Balai Kota
Jakarta dipimpin oleh Addie M.S.. Masyarakat menyanyikan lagu Indonesia
101
Raya sebagai protes keputusan hakim kepada Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang menjatuhkan hukuman dua tahun penjara atas tuduhan menistakan agama.
4.1. Indonesia Raya Sebagai Musik Anti-Kolonial
Sebagai lagu pergerakan, lagu Indonesia Raya memuat banyak nilai yang
mencerminkan falsafah kehidupan masyarakat Indonesia. Tetapi, lebih
dari itu, Indonesia Raya adalah musik universal yang mengekspresikan semangat anti kolonial. Kita sudah membahas bahwa sebagai musik, Indonesia
Raya tidak bisa memiliki semangat apa pun, tetapi dengan jelas mengekspresikan penolakan terhadap segala bentuk penjajahan. Hal ini bisa ditarik
dari liriknya yang secara eksplisit menjelaskan hal tersebut. Pertama-tama, pesan tentang kebebasan dapat kita temukan dari kata pertama yang
membuka lagu tersebut: Indonesia. Ketika pertama kali dimainkan pada
tahun 1928, Indonesia belum menjadi sebuah negara. Bagaimana mungkin,
merdeka saja belum, apalagi menjadi negara? Indonesia masih menjadi bagian dari Belanda yang bernama Hindia Belanda.
Dengan menggunakan kata “Indonesia” di awal mula lagu, Indonesia Raya
sudah menetapkan posisinya sebagai lagu kebebasan dan kemerdekaan
dari pemerintahan Hindia Belanda. Artinya, ada Hindia Belanda dan ada
Indonesia. Prinsip yang berlaku dalam penggunaan kata “Indonesia” ini
adalah prinsip identitas. Ada aku dan ada engkau. Aku Indonesia dan kau
Belanda. Aku adalah negara independen dan begitu juga engkau. Jelas-jelas
ini adalah upaya untuk memisahkan diri dari pemerintahan kolonial. Kebebasan itu juga meniscayakan kedaulatan utuh yang terlepas dari campur
tangan pemerintah kolonial. Terang saja para penjajah Belanda pada waktu itu kerepotan.
Kata-kata kedua dalam lagu Indonesia Raya adalah “tanah airku.” Pada dirinya sendiri, kata-kata tersebut berarti ikrar kepada ibu pertiwi. Jika digabung dengan kata pertama, maka kalimat tersebut akan berarti ikrar
kepada Ibu Pertiwi Indonesia. Di balik itu ada makna perjuangan sampai
habis. Bahwa rakyat Indonesia sudah berjanji kepada Ibu Pertiwi untuk
mempertahankan kebebasannya, identitasnya. Terutama apabila kita menilik kepada kata-kata dari bait kedua yang berbunyi “tanah tumpah darahku.” Makna dari kedua kalimat tersebut, “Indonesia tanah airku” dan
“tanah tumpah darahku” berarti penekanan kepada pemisahan identitas
102
BUNYI MERDEKA
dan kehendak untuk mempertahankannya sampai mati. Bagi pemerintah
kolonial, ini sama saja dengan pernyataan bahwa “sudah sekian lama kami
melawan untuk identitas kami, dan kami akan terus melakukannya sampai
habis.”
Tentu saja makna fatalistik di balik dua bait lirik pertama itu sudah menakutkan bagi pemerintah kolonial. Betapa pun banyaknya keuntungan yang
diraup oleh pemerintah kolonial, kemungkinan perjuangan sampai akhir zaman tidak akan pernah bisa dipikirkan oleh mereka sebagai investasi
yang menguntungkan. Itulah yang siap diberikan oleh rakyat Indonesia
pada waktu itu. Pernyataan itu semacam pertaruhan yang dijalankan oleh
orang yang tidak rugi apa pun ketika kalah, tetapi menang banyak sewaktu-waktu mereka berjaya. Pertempuran macam itulah yang dihadapi oleh
pemerintah kolonial. Mungkin pada waktu itu mereka juga belum menyadari hal itu, tapi mungkin juga sudah.
Bait kedua dari kuplet pertama semakin menekankan hal identitas tersebut. Bait tersebut berbunyi, “Indonesia kebangsaanku” dan konsekuensinya sekali lagi pemisahan kewarganegaraan dari negara yang belum ada.
Kata-kata terakhir dari bait ketiga adalah “untuk Indonesia Raya”, yang
bisa berarti bahwa segala sesuatu yang dilakukan rakyatnya, seperti membangun jiwanya, membangun badannya adalah untuk kedaulatan Indonesia, untuk Indonesia Raya. Intinya, setiap bait dalam kuplet pertama adalah
perumusan mengenai kebebasan dan perjuangan untuk mencapai kebebasan dari jerat kuasa penjajahan. Penjajahan dalam hal ini bisa berarti
banyak hal.
Yang pertama kali dipikirkan oleh Soepratman, jelas, adalah kebebasan
dari penjajahan kolonial. Rakyat Indonesia waktu itu sudah geram selalu
disamakan dengan bangsa kafir terbelakang. Tidak jarang bahkan disamakan dengan anjing. Terbukti dari banyak tempat-tempat umum yang
menuliskan tanda “Inlander dan anjing dilarang masuk.” Dari situ saja kita
bisa menyimpulkan kekuatan universal dari Indonesia Raya, karena penjajahan tidak hanya terjadi di bumi Nusantara.
4.2. Crescendo Lagu-lagu Perjuangan
Sepeninggal W.R. Soepratman di tahun 1938, hampir tidak muncul lagu
perjuangan yang baru. Tetapi pada masa pendudukan Jepang mulai hadir
103
generasi pemusik baru. Di Jawa generasi berikutnya ialah Ismail Marzuki,
Kusbini, Bintang Sudibyo, R. Soenarjo, H. Mutahar, R.A.J. Soedjasmin dan
lain-lain. Beberapa waktu kemudian muncul pula para pemusik asal Tapanuli dengan latar belakang pengetahuan dan praktisi musik klasik barat
yang cukup andal. Para pemusiknya ialah Cornel Simandjuntak, Amir Pasaribu, J.A. Dungga, Liberty Manik, Binsar Sitompul dan W. Lumban Tobing.
Awalnya mereka, bersama sejumlah seniman bidang lainnya bergabung
dalam Badan Pusat Kesenian Indonesia (BPKI) yang diresmikan pada 6 Oktober 1942. Organisasi ini terdiri atas anggota pengurus, antara lain Sanoesi Pane (Ketua), Mr. Soemanang (Sekretaris), Winarno, Armijn Pane, Sutan
Takdir Alisjahbana, Kusbini, Bintang Sudibyo, Kamajaya, S. Sudjono, Basuki
Abdullah, Dr. Poerbatjaraka, Mr. Djoko Sutomo (Ketua Perhimpunan Kesenian Jawa “Anggono Raras”), Ki Hadjar Dewantara, Mr. Achmad Subardjo, Soetardjo Kartohadikoesoemo, K.H. Mas Mansur, dan seorang bangsa
Jepang Ichiki, yang masing-masing sebagai anggota dan badan pengawas.
Tetapi kemudian badan ini dilebur menjadi Pusat Kebudayaan (Keimin
Bunka Shidosho) milik pemerintah Jepang. Maksudnya, lembaga itu dapat
mengawasi dan menguasai organisasi itu dengan fasilitas subsidi dari pemerintah Jepang. Melalui organisasi inilah, para seniman Indonesia terlibat langsung membuat lagu-lagu propaganda Asia Timur Raya. Para seniman ditugasi mengadakan konser keliling di seluruh tanah air menghibur
penduduk sambil menyebarluaskan propaganda Jepang-Indonesia demi
suksesnya Negara Kesatuan Asia Timur Raya.26
Karenanya tidak mengherankan jika, Cornel Simandjuntak, salah seorang
komponis pejuang, mencipta lagu atas dasar pesanan Jepang. Ketika Jepang membentuk pasukan kuli yang dinamakan romusha – “remuk rusak,”
kata orang-orang desa ketika itu – yang dikirim ke belakang garis depan
perang di Pasifik dan Asia Tenggara, sejalan dengan itu Cornel menggubah
Bekerja, Ke Pabrik dan Ayunkan Palu Bikin Kapal. Sementara, untuk pasukan
cadangan, Jepang membentuk pasukan Peta (Pembela Tanah Air), dan oleh
Cornel digubahnya lagu Mars Pasukan Sukarela.27 Tetapi di tengah situasi seperti itu seniman Cornel Simandjuntak dan Kusbini berhasil menyusupkan
lagu-lagu patriotisme dan nasionalisme yang lembut seperti Citra dan Padi
26 Wisnu Mintargo. “Lagu Propaganda dalam Revolusi Indonesia: 1945-49” dimuat dalam
situs web https://media.neliti.com/media/publications/11749-ID-lagu-propaganda-dalam-revolusi-indonesia-1945-1949.pdf
27 Hersri Setiawan. “Cornel Simanjuntak Cahaya, Datanglah!”, dimuat dalam situs web
https://indoprogress.com/2014/06/cornel-simandjuntak-cahaya-datanglah/
104
BUNYI MERDEKA
Menguning.28 Sementara seniman Alfred Simanjuntak oleh karena menulis
lagu Bangun Pemudi Pemuda sempat masuk dalam daftar hitam untuk dibunuh oleh tentara Jepang.
Sesudah kemerdekaan ada banyak lagu perjuangan yang tercipta. Setelah
Indonesia Raya, terdapat Bagimu Neg’ri ciptaan Kusbini, Maju Tak Gentar,
dan Sorak-sorak Bergembira ciptaan Cornel Simandjuntak, Bangun Pemudi
Pemuda ciptaan Alfred Simanjuntak dan sebagainya. Salah satu lagu perjuangan yang cukup kontroversial adalah lagu berjudul Darah Rakyat yang
konon diciptakan oleh seorang pejuang bernama Legiman Harjono pada
bulan September 1945. Seperti dicatat Soe Hoek Gie dalam bukunya, OrangOrang di Persimpangan Kiri Jalan. Pada 19 September 1945, saat rapat raksasa
di Lapangan Ikada, Jakarta, lagu Darah Rakyat dituliskan di selebaran dan
dibagi-bagikan ke ratusan ribu massa.
Lagu Darah Rakyat dinyanyikan oleh ratusan ribu massa yang mengikuti
rapat raksasa di Lapangan Ikada, di samping lagu Indonesia Raya, Maju Tak
Gentar, dan Bagimu Negeri. Liriknya adalah sebagai berikut:
Darah Rakyat masih berjalan/ Menderita sakit dan miskin
Pada datangnya pembalasan/ Rakyat yang menjadi hakim (2x)
Hayo, hayo bergerak sekarang / Kemerdekaan ‘tlah datang
Merah warna panji kita / Merah warna darah rakyat (2x)
Kami bersumpah pada rakyat/ Kemiskinan pasti hilang
Kaum kerja akan memerintah / Dunia Baru Pasti Datang (2x)
Hayo, hayo bergerak sekarang / Kemerdekaan ‘tlah datang
Merah warna panji Kita / Merah warna darah rakyat (2x)
Lagu ini populer hingga keluar Jawa. Seperti diceritakan oleh Amiruddin
Noer dalam bukunya, Putri Melayu: Kisah Cinta dan Perjuangan Seorang Gadis Melayu di Tengah Kecamuk Pembantaian, lagu Darah Rakyat juga populer
di Sumatra, tepatnya di daerah Sumatra Utara. Lagu ini dinyanyikan oleh
pemuda revolusioner, laskar rakyat, dan gerakan buruh. Hampir di semua
truk yang mengangkut pejuang menuju medan perang bergema lagu ini.
28 Hersri Setiawan. Memoar Pulau Buru hal 218.
105
Rakyat memobilisasi diri untuk rapat raksasa di Lapangan Ikada
Namun, seiring dengan meletusnya banyak revolusi sosial di daerah, termasuk peristiwa tiga daerah (revolusi sosial yang bergolak di tiga daerah,
yaitu Brebes, Pemalang, dan Tegal), revolusi sosial di Solo, revolusi sosial
di Sumatra Timur, lagu Darah Rakyat yang menimbulkan akibat kekerasan
dan anarki, pelan-pelan mulai dilarang.29
Pada periode 1950-1960an generasi komponis baru muncul. Salah satu
yang mengemuka adalah Subronto Atmodjo. Dibesarkan dari lingkungan
yang dekat dengan musik gamelan, Subronto menimba teori musik awalnya bukan dari sekolah musik, melainkan dari membaca artikel teori musik
Amir Pasaribu di majalah-majalah Zenith, Horison, dan sebagainya. Selain
itu Subronto bergaul akrab dengan tokoh-tokoh musik pada waktu itu,
tanpa melewatkan kesempatan untuk berguru dan menimba ilmu pengetahuan musik dari beliau-beliau. Tokoh-tokoh musik tahun 1952-54 antara
lain Amir Pasaribu, Sutisna, R.A.J. Sudjasmin, Sudharnoto, Mochtar Embut.
Salah seorang dari mereka itu serta-merta memberinya nama ”Subakat”,
karena dalam pandangannya Subronto memang berbakat musik sangat
tinggi. Dalam menggubah lagu ia berprinsip, bertauladan kepada Cornel
Simandjuntak, bahwa musik atau nada-nada mengabdi pada lirik atau
29 “Sekilas Sejarah Lagu Darah Rakyat”, diambil dari situs web http://www.berdikarionline.com/sekilas-sejarah-lagu-darah-rakyat/
106
BUNYI MERDEKA
kata-katanya, maka tekanan kata harus dinyatakan juga dalam tekanan
musik. Kalau menjumpai suatu sajak/syair/puisi yang dinilainya kuat
untuk dibikin musik, dia mengatakannya dengan ”puisi ini menyanyi”.
Menurut komponis Alfred Simanjuntak, Subronto adalah komponis yang
tak bisa diajak kompromi terhadap ciptaannya. Misalnya, pada 1962 sebuah grup paduan suara dalam membawakan ciptaan Subronto mengubah
sebuah kata. Langsung ia, yang mendengar dari seorang temannya, menyambar sepeda menuju tempat latihan. Entah bagaimana, akhirnya grup
tersebut bersedia membawakan ciptaan Subronto sesuai dengan aslinya.
Salah satu lagunya yang cukup mengemuka adalah yang berjudul Suburlah
Tanah Airku. Karyanya ini dianggap oleh beberapa musikus sebagai ciptaan
berkualitas dan tahan zaman. Beberapa hari sebelum ia meninggal, sebuah
grup paduan suara membawakan lagu itu di TVRI Jakarta dengan penjelasan bahwa pada dasawarsa 1950-an namanya dikenal luas sebagai pencipta
lagu, pemimpin paduan suara, dan komponis.
Suburlah subur tanah airku/ Tanah pusaka kelahiranku
Sawah ladangmu hijau selalu/ Sungai lautmu luas membiru
Oh indah alangkah indah berseri/ Bermandi cahya sang surya
pagi
Bumi persada luas meraya/ Tempat bersujud patuh setia
Pertiwi curahan bela/ Indonesia subur bahagia
Hijau nyiurmu melambai-lambai/ Ditiup angin sepanjang
pantai
Kuning padimu masak mengurai/ Dipeluk alam sejuk dan damai
Oh Ibu Pertiwi kandungan sukma/ Pengisi jiwa haus dahaga
Tumpah darah tempatku terpuja/ Selama hidup tetap kubela
Abadi subur sentosa/ Indonesia kamu sejahtera
Lagu-lagu perjuangan yang sejaman pada 1950-60an juga diwarnai dengan
perkembangan situasi politik nasional dan internasional. Semisal terkait
Konferensi Asia-Afrika muncul lagu Asia Afrika Bersatu yang digubah oleh
komponis Sudharnoto, yang juga menggubah lagu mars Garuda Pancasila
yang kita kenal sekarang. Lalu, terkait pelaksanaan Undang-Undang Bagi
Hasil dan Undang-Undang Pokok Agraria muncul lagu Di Kaki-kaki Gunung
Tangkuban Perahu. Begitu juga dengan lagu Mars Radio Republik Indonesia
yang liriknya berbunyi:
107
Semboyan kami angkasawan RRI/ Sekali di udara tetap di
udara
Semenjak Empat Lima tak pernah berhenti
Patuh dan setia berjiwa Pancasila
Tri Prasetya landasan kerjanya/ Ampera tujuan utama
Penuh pengabdian pada revolusi/ Demi Tuhan demi pertiwi
Sekali di udara tetap di udara
Kendati demikian terdapat juga lagu-lagu memorial perjuangan seperti Di
Sela-sela Rumput Hijau yang digubah oleh Maladi, ataupun Pantang Mundur
yang digubah oleh Ismail Marzuki.
Secara umum lagu-lagu perjuangan adalah lagu-lagu yang dapat membangkitkan semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air, memiliki arti
nilai-nilai penegakan demokrasi yang berkeadilan. Substansi yang digambarkan pada lagu-lagu perjuangan bahwa pesan moral dan keterlibatan
hati yang disampaikan ternyata semakin relevan sepanjang waktu, bukan
kian pudar dan jauh dari tuntutan zaman. Persoalannya kemudian sering
kali lagu-lagu perjuangan itu dinyanyikan tanpa dijelaskan asal-usulnya
dan bagaimana sejarahnya. Karenanya, sesering apa pun lagu itu diperdengarkan belum selalu dapat menumbuhkan nilai-nilai yang terdapat dalam
lagu tersebut.
Poster Revolusi 45
(gambar Affandi
dan teks Chairil
Anwar)
108
BUNYI MERDEKA
Sekalipun demikian, penting untuk kemudian memahami bahwa lagu-lagu
perjuangan di periode revolusi dan pascarevolusi kemerdekaan, secara
umum menekankan perihal cinta tanah air, cinta pada upaya membela
tanah air, dan cinta pada persaudaraan antar bangsa-bangsa. Ini satu hal
yang cukup menarik, karena dengan demikian apa yang ditulis oleh W.R.
Soepratman terkait “Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya” seperti
memberikan pencerahan pada lagu-lagu perjuangan selanjutnya. Bahkan,
jika kita perhatikan sebagian lirik dari lagu memorial perjuangan seperti
Sepasang Mata Bola yang ditulis Ismail Marzuki pada 1946: “Lindungi aku
pahlawan dari pada si angkara murka” seperti berdialog dengan sebagian
lirik lagu Indonesia Raya “Jadi Pandu Ibuku”. Begitu juga dengan lirik “Hampir malam di Jogja ketika keretaku tiba” seolah meminta Pandu untuk
“Menjaga Ibu Sejati”.
Itulah sebabnya Indonesia Raya sebenarnya bukan sekadar lagu kebangsaan,
tetapi juga inspirasi berbangsa dan bernegara.
4.3. Decrescendo Lagu-lagu Perjuangan
Memasuki periode Orde Baru, nyaris tidak ada lagu-lagu perjuangan yang
baru. Lagu Puing yang ditulis oleh Nortier Simanungkalit, komponis seangkatan Subronto Atmodjo, pada tahun 1966 tidak cukup kuat menggambarkan kehendak cinta tanah air, baik dari segi melodi maupun lirik sebagaimana berikut ini:
Di Puing Peninggalan Kebesaran Negeriku/ Pemandangan
memancarkan cinta pada tanahku
Di sana kami bisikkan kasih cinta nan syahdu/ Meninggalkan
puing hati membina sukma baru
Hai puing yang teduh menyejukkan hati risau/ Tak slalu aku
dapat bersimpuh di bawah naungmu
Tugas kami slalu memanggil untuk tanah airku
O Gusti pencipta cinta
Bajakan smangat ku/ Tempa aku abdi tanah air
Biar perih luka mengoyak dada/ Aku berjuang terus hingga
bahagia, abadi.
Bahkan, jika ingin ditelisik lebih jauh, tema perjuangan bangsa dan cinta
tanah air pada masa Orde Baru lebih mengarah pada tema pembangunan
109
dan seruan berbakti pada negara. Ini tampak pada misalnya Mars Pemilu
yang ditulis oleh komponis angkatan ‘45 Mochtar Embut pada 1971:
Pemilihan umum telah memanggil kita/ Sluruh rakyat menyambut gembira/ Hak demokrasi Pancasila/ Hikmah Indonesia merdeka/ Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya/
Pengemban ampera yang setia/ Di bawah Undang-Undang
Dasar ’45/ Kita menuju ke pemilihan umum
Begitu juga dengan lagu Mars Keluarga Berencana, yang ditulis pula oleh
Mochtar Embut:
Keluarga berencana sudah waktunya/ Janganlah diragukan
lagi
Keluarga berencana besar maknanya/ Untuk hari depan nan
jaya
Putra putri yang sehat/ Cerdas dan kuat/ Kan menjadi harapan bangsa
Ayah ibu bahagia rukun raharja/ Rumah tangga tentram sentosa
Warna yang sama ditunjukkan pula oleh lagu Mars Angkatan Bersenjata Republik Indonesia:
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Setiap saat, siap sedia
Mempertahankan, menyelamatkan/ Negara Republik Indonesia!
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Setiap saat, siap sedia
Mempertahankan, menyelamatkan/ Negara Republik Indonesia!
Tanah air kita indah cemerlang/ Bila kita olah rakyatpun
senang.
Bersatu dengan rakyat, bekerja/ Membangun serentak!
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Setiap saat, siap sedia
Mempertahankan, menyelamatkan/ Negara Republik Indonesia!
110
BUNYI MERDEKA
Keadaan yang demikian ini melahirkan semacam reaksi dari banyak musisi
maupun pecinta musik, yang tidak melihat adanya keindahan dalam lagulagu mars tersebut. Orientasi kepada alam sebagai representasi dari cinta
tanah air yang hilang pada lagu lagu mars Orde Baru, dihidupkan melalui
lagu-lagu populer kritik sosial dengan cita rasa musikalitas progressive rock
atau art rock. Guruh Sukarnoputra dengan Guruh Gypsy hadir di periode
awal Orde Baru dengan mengajukan komposisi paduan musik-musik tradisional dan orkestrasi barat. Seolah-olah Guruh menggugat orientasi individual Orde Baru dengan orientasi kealaman musik.
Namun musik Guruh Gypsy tidaklah mudah dipahami, dan kelewat canggih
bagi rakyat Indonesia kebanyakan. Gugatan kritik sosial yang mengemuka
sebenarnya muncul di tahun 1979 dalam sebuah lagu Bahana Jelata yang
dibawakan oleh Rudi Damhudi. Sebagian dari lagu tersebut menyatakan:
dunia semakin kelam tiada belas memandang, hai ningrat lihat
sini hidup yang penuh noda duri/ tiada banding kaya dengan
jelata/ hari hari santap jelaga sampai mati menjadi bangkai/
mana sejahtera mana sentosa ibu pertiwi
Ini menarik karena kosakata “ibu pertiwi” kembali dipergunakan walau
dalam lagu populer. Seolah lirik lagu ini berdialog dengan lirik lagu “Ibu
Pertiwi”, yang ditulis oleh Ismail Marzuki dua dasawarsa sebelumnya:
Kulihat Ibu Pertiwi/ Sedang bersusah hati/ Air matanya berlinang/ Mas intannya terkenang
Pertanyaan yang senada dengan Rudi Damhudi lalu diajukan lagi oleh God
Bless pada 1982 dalam lagu Balada Sejuta Wajah: “Adakah hari esok makmur sentosa bagi wajah wajah yang menghiba”. Pertanyaan-pertanyaan
dari lagu-lagu kritik sosial ini menjadi penting oleh karena situasi sosial-ekonomi yang berlangsung pada masa Orde Baru berseberangan dengan semangat lagu-lagu mars yang diperdengarkan oleh pemerintah.
Semangat keutamaan individual yang digaungkan oleh pemerintah Orde
Baru seperti ditertawakan oleh Iwan Fals dalam lirik lagu Sore Tugu Pancoran. Lagu ini bercerita tentang si Budi, anak kecil yang bersusah payah
berjualan koran di dekat Tugu Pancoran. Refrein dari lagu itu berbunyi:
“Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu/ Demi satu impian
yang kerap ganggu tidurmu
111
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu/ Dipaksa pecahkan
karang lemah jarimu terkepal”
Dalam hal ini, Iwan Fals seperti melakukan pembalikan tentang konsep
alam yang pada masa Sukarno dipuja sebagai sumber ke-mulia-an Indonesia, lalu pada masa Orde Baru diabaikan, maka konsekuensinya alam itu
sesuatu yang menindas anak-anak.
Nada kritik sosial yang lebih tajam muncul dari lagu-lagu aktivis mahasiswa di era akhir 1980an. Salah satunya adalah lagu Aku Anak Indonesia
yang digubah oleh seniman aktivis Yayak “Kencrit” Yatmaka. Lirik lagu itu
berbunyi demikian:
Aku anak Indonesia/ Aku punya cita-cita/ Punya sawah, punya mobil/ Jadi menteri atau bupati
Aku anak Indonesia/ Aku cinta Pancasila/ Apa daya uang tak
punya/ sekolah pun aku binasa
Indonesia kaya raya/ mengapa aku menderita/ tapi aku tetap
gembira/ karna Indonesia merdeka
Konsep tentang alam di sini menjadi sesuatu yang mengambang, sesuatu
yang dipertanyakan oleh karena situasi sosial ekonomi seperti meniadakan alam. Ini memang satu kondisi yang di satu sisi membingungkan dan
di sisi yang lain menyedihkan. Ia membingungkan karena hampir seluruh
pemasukan pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru berasal dari industri ekstraktif sumber daya alam, kayu dan minyak. Tetapi, lagu-lagu
yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru cenderung mengabaikan
keberadaan Alam. Pun ia menyedihkan karena Alam dan Ibu Pertiwi lalu
seperti tidak memiliki ke-Mulia-an seperti yang tercantum dalam stanza
kedua Indonesia Raya.
Keadaan di muka di dalam banyak hal lalu disuarakan oleh puisi-puisi Rendra, seperti misalnya yang berjudul Sajak Pertemuan Mahasiswa yang salah
satu baitnya berbunyi:
Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
112
BUNYI MERDEKA
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
Tentu kita bertanya: “Lantas maksud baik saudara untuk siapa?”
Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya:
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan?
Di awal tahun 1990an sebuah lagu ‘kebangsaan’ tandingan muncul dari
kalangan gerakan mahasiswa. Lagu tersebut merupakan karangan beberapa mahasiswa Universitas Gadjah Mada, saat menggencarkan aksi mogok
makan menuntut demokratisasi lembaga pemerintahan mahasiswa di
kampus tersebut. Aksi tersebut dilaksanakan di suatu malam November
1991. Lagu itu berjudul Darah Juang, yang digubah oleh John Tobing, sedang
liriknya dibuat oleh Budiman Sudjatmiko dan Dadang Juliantara:
Di sini negeri kami, tempat padi terhampar/ samudranya kaya
raya, negeri kami subur Tuhan
Di negeri permai ini, berjuta rakyat bersimbah luka/ anak kurus tak sekolah, pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar/ Bunda relakan
darah juang kami, padamu kami berjanji
Menariknya lagu ini berkumandang di setiap demonstrasi mahasiswa pada
periode 1990-an dengan disertai Sumpah Mahasiswa yang berbunyi:
Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah:
Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan
Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah:
Berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan
Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah:
Berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan
Kemunculan lagu dan Sumpah Mahasiswa di muka, kontan menggegerkan
iklim politik pemerintahan Orde Baru. Ini karena lagu Darah Juang walaupun tidak berirama mars sebagaimana Indonesia Raya, tetapi mengambil
113
kembali ruang cinta tanah air, ruang ke-alam-an yang terkubur, ditimbun
oleh lagu-lagu mars pemerintah Orde Baru yang mengabaikan alam. Sementara Sumpah Mahasiswa menegaskan kembali hakikat kepemudaan
yang pernah tumbuh di awal masa pergerakan di awal abad ke-20. Kontan, tuduhan dan stigma ‘pemberontak’ atau ‘komunis’ dilekatkan kepada
semua aktivitas mahasiswa yang menyuarakan kedua ‘nyanyian’ perjuangan itu, kendati para aktivis tersebut juga menyanyikan Indonesia Raya
dan mengibarkan bendera Merah-Putih. Bahkan, di dalam banyak aktivitas
demonstrasi yang dilakukan oleh aktivis mahasiswa pada periode 1990-an,
berbagai penangkapan dan pemenjaraan dilakukan oleh aparat kepolisian
ataupun aparat militer pemerintah Orde Baru. Singkatnya, semangat cinta
tanah air, semangat perjuangan direbut oleh aktivis tahun 1990an, dan semangat ini semakin diperkuat dengan munculnya puisi Wiji Thukul yang
berjudul Peringatan:
Peringatan
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat bersembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
Ruang merebut kembali ini bisa tercipta sebenarnya oleh karena keberadaan pemerintah Orde Baru yang cenderung melemahkan demokrasi
114
BUNYI MERDEKA
dan partisipasi rakyat, dan mencipta kesenjangan sosial yang tajam. Di permukaan kondisi sosial perkotaan terlihat tidak ada masalah, dan semuanya
seperti berjalan aman-aman saja. Tetapi di balik itu semua, berlangsung sejumlah pengekangan kebebasan dan pengawasan terhadap siapa pun yang
berani melancarkan kritik terhadap keberadaan pemerintah Orde Baru.
Kekerasan yang dijalankan sebagai cara untuk melancarkan pembangunan
banyak berpengaruh pada munculnya ketidakpuasan dari kalangan masyarakat bawah. Politik kekerasan dan intimidasi terhadap kritisisme berkembang sebagai sebuah kultur politik resmi negara Orde Baru.
Keadaan di muka yang kemudian melahirkan ruang-ruang diskusi kecil,
ruang-ruang berbagi pengetahuan terkait berbagai macam kritik terhadap
pemerintahan Orde Baru, maupun pengetahuan tentang kesejarahan Indonesia. Tidak bisa dipungkiri kehadiran novel-novel tetralogi Pramoedya
Ananta Toer, dan Di Bawah Bendera Revolusi karya Sukarno berikut wacana
sejarah Indonesia yang ditulis oleh berbagai intelektual kritis dari dalam
dan luar negeri seperti misalnya Arief Budiman dan Ben Anderson, sangat
berpengaruh terhadap pembentukan kesadaran kritis. Ruang-ruang tersebut, yang kerap diselenggarakan secara sembunyi-sembunyi juga yang
melahirkan berbagai macam bentuk organisasi perlawanan, dan penerbitan alternatif, mengingat pemerintah Orde Baru sangat ketat menyensor
semua bentuk publikasi media massa.
Awalnya munculnya perlawanan-perlawanan dari kalangan mahasiswa dalam bentuk demonstrasi dengan sumpah dan lagu di muka kerap dianggap
oleh aparat pemerintah Orde Baru sebagai bentuk kenakalan remaja. Tetapi begitu perlawanan-perlawanan tersebut mulai bersentuhan dengan macam-macam problem kesenjangan sosial yang dialami oleh masyarakat, sebagaimana yang terjadi pada kaum tani Kedung Ombo di akhir 1980an dan
kaum buruh di Medan, Bogor, Solo, Surabaya sekitar 1992-1995, maka operasi intelijen pemerintah Orde Baru diberlakukan untuk menumpas perlawanan-perlawanan tersebut. Gerak perlawanan ini semakin mendapatkan dukungan ketika kalangan jurnalis bereaksi menolak pemberedelan
terhadap majalah Tempo, Editor dan tabloid Detik, setelah sebelumnya terjadi pemberedelan terhadap tabloid Monitor. Bahkan, gelombang perlawanan ini semakin membesar dan menguat ketika terjadi huru-hara 27 Juli
1996, saat massa rakyat pendukung Partai Demokrasi Indonesia menolak
kepemimpinan PDI Soerjadi dan lebih memilih Megawati Sukarnoputri
sebagai pimpinan mereka. Ini masih ditambah lagi dengan sejumlah keresahan dari pimpinan partai politik non Golkar di daerah yang waswas
115
dengan operasi pemerintah untuk memenangkan pemilu 1997.
Karenanya ketika terjadi gelombang gerakan mahasiswa pada 1998 di berbagai kota di seluruh Indonesia, sebenarnya itu merupakan konsekuensi
dari proses ‘pengambilalihan’ wacana kebangsaan dari tangan pemerintah
Orde Baru ke tangan rakyat. Indonesia Raya seperti kembali menemukan
rohnya, ketika disandingkan dengan nyanyian lagu Darah Juang dan pengucapan Sumpah Mahasiswa.
116
V
Coda Kebangsaan
Cerita tentang Indonesia Raya di dalam banyak hal telah melahirkan beragam
pengetahuan baru. Kerap tumpuan pengetahuan masyarakat tentang lagu
Indonesia Raya berhenti pada kejelasan identitas nama pencipta lagu. Tetapi siapakah W.R. Soepratman, dan atas dasar apa dirinya tetiba bersemangat
mencipta lagu Indonesia Raya tidak banyak yang mengetahuinya. Sekalipun
terdapat banyak literatur cetak, maupun informasi ringkas dari berbagai situs web tentang Indonesia Raya dan W.R. Soepratman, tetapi belum kelihatan jelas bagaimana dampaknya terhadap masyarakat. Apalagi terkait telisik
terhadap gerak nada, irama serta syair lagu Indonesia Raya, nyaris senyap.
Pendeknya, dengan tanpa mengurangi rasa hormat terhadap banyak pihak
yang berupaya memberikan penjelasan tentang Indonesia Raya semuanya belum mampu menegaskan logika dan signifikansi lagu Indonesia Raya.
5.1. Keaslian dan Kebangsaan
Di lain sisi, tidak bisa dipungkiri juga jika lagu Indonesia Raya menjadi hafalan
sambil lalu bagi kebanyakan orang Indonesia. Ia tak lebih sebuah syarat untuk membuka acara-acara resmi di instansi pemerintah, upacara rutin maupun upacara peringatan hari besar. Pun banyak kali di berbagai ruang media
sosial sempat muncul polemik apakah benar Indonesia Raya itu karya asli W.R.
Soepratman. Karenanya memang diperlukan puluhan atau bahkan mungkin
ratusan halaman untuk menjelaskan apa, mengapa, dan bagaimana Indonesia Raya dari berbagai macam sudut pandang. Ini demi menetapkan Indonesia Raya sebagai bagian dari kehidupan bangsa Indonesia dan bukan sekadar
tinta di atas segel bermeterai pemerintah, ataupun tinta paten keaslian lagu
Indonesia Raya.
Kerangka dasar untuk mengerti Indonesia Raya, untuk adanya kejelasan tentang Indonesia Raya, adalah pemahaman bahwa lagu Indonesia Raya adalah hasil
karya perjuangan rakyat Indonesia di dalam mewujudkan kemerdekaannya.
Tentunya pertanyaan kemudian muncul, “Bukannya W.R. Soepratman yang
bikin lagu itu?”. Benar, tidak ada yang salah dengan W.R. Soepratman. Teta-
pi bagaimana lagu tersebut menjadi bagian dari gerak perjuangan rakyat
Indonesia, itu bukan hasil karya W.R. Soepratman seorang. Mulai dari ide
menciptakan lagu Indonesia Raya, sampai dengan bagaimana Indonesia Raya
itu lalu menjadi masalah bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan
penetapannya kemudian sebagai lagu kebangsaan Republik Indonesia, semuanya adalah kerja banyak orang, kerja rakyat Indonesia. W.R. Soepratman tidak mungkin iseng-iseng membuat lagu tersebut, karena fakta sejarah menunjukkan bahwa dirinya terpikat dengan semacam ‘sayembara’
menulis lagu di sebuah surat kabar di masa itu. Pada saat ingin menampilkan lagu itu di Kongres Pemuda Kedua pada 1928, W.R. Soepratman perlu
berbicara dengan Soegondo Djojopoespito, salah satu tokoh pergerakan
nasional di masa itu. Ini mengingat syair lagu tersebut banyak menggunakan kata ‘Indonesia’ dan ‘merdeka’, sehingga timbul kekhawatiran akan
membuat masalah terhadap jalannya kongres (penghentian) maupun peserta kongres (penangkapan). Begitu juga ketika lagu tersebut mulai beredar di pasaran melalui perusahaan rekaman piringan hitam Yo Kim Tjan,
dan kemudian para pandu menyiul-nyiulkannya untuk mengolok-olok
aparat keamanan kolonial, semuanya adalah bagian dari kehendak rakyat
untuk Merdeka.
Akan tetapi, kritik ataupun keraguan terhadap Indonesia Raya sebagai sebuah karya musik bukannya tidak pernah muncul. Tidak lama setelah lagu
Indonesia Raya diperdengarkan di tahun 1928, muncul kritik dari para musisi Jawa yang sudah lama berinteraksi dengan sejumlah seniman Eropa.
Salah satu kritiknya mengatakan bahwa lagu Indonesia Raya terlalu bernuansa Eropa, kurang membawa nilai-nilai ketimuran. Kritik tersebut bisa dimengerti, karena situasi musik klasik dunia pada masa itu sedang bergerak
ke arah nasionalisme musik. Keterpikatan Debussy pada suara gamelan
Jawa saat tampil di Paris, hingga komponis Leopold Godowsky berkunjung
ke tanah Jawa dan membuat komposisi The Java Suite yang semacam ‘menerjemahkan’ gamelan ke dalam piano, semuanya membesarkan hati para
seniman musik Jawa. Tetapi perlu juga dipahami bahwa W.R. Soepratman
bermusik dengan disiplin musik Eropa melalui karya-karya Chopin, Beethoven, Liszt, Tchaikovsky dan sebagainya, yang dipelajarinya saat berlatih biola. Karenanya tidak mungkin juga menuntut W.R. Soepratman membuat lagu kebangsaan yang bernada Jawa, sementara para musisi Jawa itu
tidak turut dalam sayembara membuat lagu kebangsaan.
Keraguan yang selanjutnya muncul dari komponis Amir Pasaribu di tahun
1950-an. Beliau menduga lagu kebangsaan Indonesia Raya mengambil ba118
BUNYI MERDEKA
nyak nada dari lagu Pinda Pinda Lekka Lekka, sehingga kurang elok jika lagu
tersebut dipertahankan sebagai lagu kebangsaan. Komponis Kusbini yang
kemudian menyampaikan kritik Amir Pasaribu kepada Presiden Sukarno,
dan Sukarno menjawab, “Sebaiknya yang sudah diputuskan secara politis
jangan dianulir karena hal yang estetis.”
Dua bentuk keraguan di muka adalah representasi dari semacam polemik
tentang makna sosial dari musik. Aras pertama adalah yang menghendaki
esensi musik harus mencerminkan suara-suara yang khas dari nasion atau
bahkan etnis tertentu (nasionalisme musik), sementara yang kedua adalah
yang menegaskan pada fungsi sosial dari musik. Setiap pilihan dari kedua
aras itu membawa konsekuensi yang tidak sederhana. Berpihak pada aras
pertama memiliki konsekuensi musik menjadi tidak mudah dipahami oleh
massa rakyat. Dalam sejarah politik musik klasik Rusia, ada sukses Aram
Katchaturian yang berhasil memadukan nada-nada Armenia ke dalam
komposisi musik klasik Eropa. Tetapi itu menjadi sulit bagi komponis Dmitri Shostakovich yang berpikir bahwa musik adalah capaian seni manusia
yang harus dikembangkan ke titik optimalnya, karena berhadapan dengan
rezim Stalin yang menuntutnya membuat lagu-lagu berirama mars sebanyak mungkin. Demikian marahnya Shostakovich sehingga dirinya membuat sebuah komposisi yang menggambarkan suara dentuman bom dan
penderitaan akibat perang sebagaimana yang tampak dalam Simfoni Leningrad. Sebuah komposisi yang tidak mudah dinikmati kendati memiliki nilai
estetika yang luar biasa.
Sementara pilihan pada aras kedua, ada konsekuensi nilai estetis dari musik
menjadi runduk, dengan pilihan-pilihan nada yang sederhana, ritmis yang
sederhana, pun harmoni yang begitu-begitu saja. “Harmoni tiga jurus,”
kata salah seorang veteran pengajar musik Institut Kesenian Jakarta. Yang
dimaksud beliau adalah harmoni akor C, F, G, dan variasi minornya yaitu
akor Am, Dm, Em yang digunakan secara silih berganti dalam sebuah lagu.
Tetapi itu bukan masalah bagi para komponis lagu-lagu perjuangan rakyat,
karena yang lebih penting adalah apakah lagu tersebut membangkitkan
semangat rakyat untuk berjuang atau tidak.
W.R. Soepratman yang terdidik oleh disiplin musik klasik Eropa, dan bermain musik untuk sebuah klub jazz, pasti paham dengan pilihan-pilihan
dari kedua aras di muka. Beliau mencoba membuat komposisi dengan variasi permainan melodi yang menggambarkan semacam panorama seseorang yang hendak meloncat terbang bebas. Itulah sebabnya lagu Indonesia
119
Raya, jika diperhatikan, didengarkan lamat-lamat adalah yang serupa gradasi dari nada-nada tengah ke nada-nada tinggi.
Barangkali W.R. Soepratman mengambil nada-nada Indonesia Raya dari lagu
Pinda Pinda Lekka Lekka, pun barangkali dari segi ritmis beliau mengambil
contoh dari Simfoni 40 Mozart. Bahkan mungkin refrein lagu Indonesia Raya
adalah gambaran kemarahan seorang ibu terhadap anaknya, sebagaimana
“Der Holle Rache” dalam komposisi opera Die Zauberflote (The Magic Flute).
Tetapi, apa pun pilihan W.R. Soepratman semuanya ditujukan untuk membangun semangat berjuang rakyat Indonesia. Semua komposisi yang dicipta oleh W.R. Soepratman adalah lagu-lagu perjuangan untuk rakyat Indonesia hingga akhir hayatnya di tahun 1938.
Sayang sesudah kritik Amir Pasaribu terhadap Indonesia Raya, tidak ada
komponis ataupun peneliti musik lain yang mencoba mengajukan keraguan yang lebih tajam, ataupun memeriksa karya-karya W.R. Soepratman
yang lain. Setidaknya dari sana bisa dilihat secara lebih mendalam bagaimana Indonesia Raya dan karya-karya W.R. Soepratman yang lain berperan di
dalam membentuk kesadaran politik anti kolonialisme, sekalian menguji
pengetahuan musik yang terdapat dalam karya-karya W.R. Soepratman.
Ini agar terdapat garis batas yang cukup tegas antara W.R. Soepratman
dengan Chrisye yang diduga menjiplak lagu Footlose karya Kenny Logins,
melalui lagu Hip Hip Hura; ataupun dengan Fahmi Shahab diduga mencontek lagu Coffee Rumba untuk lagu Kopi Dangdut.
5.2. Titi Nada Kebangsaan
Seandainya lagu ini hendak dipadankan dengan kerangka berpikir politik
perjuangan kebangsaan, maka ia adalah konsep tentang bangsa Indonesia
dan juga keyakinan akan kemutlakan perjuangan. Ini terlihat dalam dua
baris pertama lagu tersebut, yang sudah dikemukakan dalam bagian sebelumnya dari buku ini. Tepatnya sebuah dialektika antara Indonesia yang
subjektif dan Indonesia yang objektif. Indonesia yang bebas merdeka dan
Indonesia yang berdaulat sejajar dengan bangsa-bangsa lain, dan oleh karenanya perjuangan menjadi Indonesia harus tetap melekat pada ke-alaman Indonesia, yang sarat dengan keanekaragaman suku, bangsa dan bahasa, pun keanekaragaman flora dan fauna. Semuanya yang menjadi dasar
dari pembentukan karakter keindonesiaan.
120
BUNYI MERDEKA
Hal kedua, sebagai konsekuensi dari keanekaragaman adalah kebutuhan
untuk meramu berbagai keberbedaan dalam satu ruang bersama dari Sabang sampai Merauke. Kebersatuan ini mensyaratkan adanya upaya untuk
memperhatikan, menghormati sumber-sumber penghidupan rakyat sebagai tanah yang hidup, dari frasa “hiduplah tanahku” pada lagu Indonesia Raya. Kebersatuan ini bukan sekadar pengertian dan penerimaan akan
keberagaman, tetapi juga pengakuan bahwa semua yang beragam adalah
bagian dari Indonesia. Sumber penghidupan mereka yang berada di Pulau
Sulawesi adalah bagian dari kehidupan di Pulau Jawa. Rumput laut yang
dibudidayakan di perairan Indonesia Timur harus berguna bagi kesehatan
mereka yang tinggal di Kepulauan Mentawai. Demikian juga sebaliknya,
dan sudah tentu segala sumber penghidupan itu harus bisa memakmurkan
masyarakat pengolahnya.
Hal ketiga yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk mengupayakan
perjuangan menjadi Indonesia dibutuhkan kekuatan spiritual, kekuatan
yang melampaui batas-batas keduniawian. Kekuatan yang menjadi dasar
keyakinan untuk berperilaku saling menghormati satu dengan yang lain,
kekuatan yang menempatkan manusia sebagai makhluk hidup tertinggi,
dan juga kekuatan yang selalu memberi harapan akan perubahan dan kemajuan. Pun kekuatan yang melahirkan cita rasa kebudayaan dan kepribadian bangsa. Itulah kekuatan Yang Maha Kuasa, sebagaimana terbunyi
dalam seruan “marilah kita mendoa Indonesia bahagia” pada stanza 2 Indonesia Raya.
Karenanya menjadi jelas kemudian bahwa Indonesia Raya merupakan pandu bagi segenap warga negara Republik Indonesia untuk mulai belajar memahami Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara. Bahkan
lebih praktis lagi, Indonesia Raya adalah pandu bagi Trisakti yang menegaskan perihal Kedaulatan Politik, Kemandirian Ekonomi dan Kebudayaan
yang Berkepribadian. Karenanya Indonesia Raya adalah pandu bagi bunyi
merdeka, pandu Ibu Pertiwi.
Dalam kondisi yang berlangsung saat ini, di tengah ancaman krisis sosial-ekonomi, maupun terorisme internasional, lagu Indonesia Raya menjadi semakin penting untuk diajarkan secara lengkap tiga stanza. Bukan
hanya berlatih untuk menyanyikannya pada setiap kesempatan pembukaan acara-acara resmi atau saat kelas-kelas sekolah dimulai, tetapi juga
mempelajari makna di balik lirik-lirik yang tertulis di sana. Hampir semua
frasa dalam lagu Indonesia Raya merupakan refleksi dari pengalaman seja121
rah pembentukan bangsa Indonesia.
Kedua, nilai-nilai yang terkandung dalam Indonesia Raya perlu selalu dipertemukan dengan realitas sosial. Dalam hal ini pengertiannya adalah mengupayakan agar nilai-nilai seperti kesadaran akan kebangsaan, kesadaran
akan kebebasan dan kesetaraan, keadilan sosial, dan ke-Tuhanan Yang
Maha Esa mewujud dalam keseharian. Ini bukan hal yang mudah, mengingat perkembangan situasi sosial-budaya saat ini cenderung mengarah
pada munculnya kesadaran yang menolak keberagaman, dan atau yang
biasa disebut politik identitas. Arahan W.R. Soepratman agar setiap warga
negara menyelamatkan putra-putri Indonesia sama sekali tidak mengandaikan identitas suku, bangsa, bahasa, maupun agama tertentu. Sebaliknya
arahan itu mensyaratkan penerimaan dan pengakuan bahwa semua yang
berada di wilayah Indonesia adalah yang bebas, yang sama dan sederajat.
Karenanya sekali lagi Indonesia Raya adalah Pandu Bunyi Merdeka.
122
Hampir semua frasa dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya merupakan refleksi dari pengalaman
sejarah pembentukan bangsa Indonesia. Indonesia
Raya merupakan pandu bagi segenap warga negara Republik Indonesia untuk mulai belajar memahami Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sebagai
dasar negara. Bahkan lebih praktis lagi, Indonesia
Raya adalah pandu bagi Trisakti yang menegaskan
perihal Kedaulatan Politik, Kemandirian Ekonomi
dan Kebudayaan yang Berkepribadian. Karenanya
Indonesia Raya adalah pandu bagi bunyi merdeka,
pandu Ibu Pertiwi.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Direktorat Kesenian
Download