1 HUBUNGAN KONSEP DIRI ORANG TUA

advertisement
HUBUNGAN KONSEP DIRI ORANG TUA DENGAN MOTIVASI DALAM
MERAWAT ANAK RETARDASI MENTAL
Putri Ana Sari1, Jumaini2, Oswati Hasanah3
Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Riau
Kampus Binawidya Pekanbaru, 28293, Indonesia
[email protected]
Abstract
The aim of this research is to determine the relationship between self-concept with the
motivation of parents in caring for children with mental retardation. The design of this
research is descriptive correlative with using cross sectional approach. The Samples of 62
parents of SDLB students in SLB Negeri Pembina Pekanbaru were taken by proportionate
stratified random sampling. Measuring instrument are questionnaire that had been modified
by Govender and Aisyah questionnaire. Analysis is used univariate and bivariate analysis
using Spearman correlation test. The results showed that most respondents have self-concept
score over 75 (74.2 %) and motivation score over 44 (80.6 %) in caring for children with
mental retardation, and there is a significant relationship between self-concept and
motivation of parents in care of mentally retarded child with p value = 0.00 < 0,05. Parents
of student are expected to improve or maintain their self-concept that influence motivation in
caring for children with mental retardation.
Keywords: Self-concept, motivation, mental retardation.
PENDAHULUAN
Setiap manusia pada dasarnya
memiliki
hak
yang sama untuk
memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya,
terutama untuk tumbuh dan berkembang
dalam lingkungan yang kondusif dan
suportif, termasuk bagi mereka yang
mengalami retardasi mental (Hastuti &
Zamralita, 2004). Pada kenyataannya di
berbagai tempat, baik secara langsung
maupun
tidak
langsung,
individu
berkebutuhan khusus ini cenderung
disisihkan
dari
lingkungannya.
Penyebabnya karena individu ini memiliki
keterbatasan baik secara fisik maupun
psikis, yang telah dialami sejak awal masa
perkembangan.
Retardasi
mental
sebenarnya
bukanlah suatu penyakit walaupun
retardasi mental merupakan hasil dari
proses patologik di dalam otak yang
memberikan
gambaran
keterbatasan
terhadap intelektualitas dan fungsi adaptif.
Menurut
Pedoman
Penggolongan
Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III,
retardasi mental ialah suatu keadaan
perkembangan jiwa yang terhenti atau
tidak lengkap, ditandai oleh terjadinya
kendala keterampilan selama masa
perkembangan, sehingga berpengaruh pada
tingkat kecerdasan secara menyeluruh,
misalnya kemampuan kognitif, bahasa,
motorik, dan sosial (Maslim, 2002).
Individu yang mengalami retardasi
mental biasanya memiliki kepercayaan diri
yang kurang, minder, menolak untuk
meningkatkan kemampuan diri, menarik
diri
dari
lingkungan,
mempunyai
hubungan interpersonal yang kacau,
1
komunikasi yang kurang selaras dan
terkadang tidak terkontrol emosinya
sehingga membutuhkan pertolongan dan
bimbingan dari orang tua (Poerwanti &
Widianingsih, 2010). Prevalensi retardasi
mental pada usia 24-59 bulan di Indonesia
merupakan persentase tertinggi ketiga
yaitu 0.14 % menurut angka kecacatannya
(Riskesdas, 2010). Berdasarkan data ini,
retardasi mental ini perlu mendapatkan
perhatian serta dukungan keluarga
terutama orang tua dalam merawat anak
retardasi mental.
Keluarga adalah lingkungan terdekat
dan utama dalam kehidupan anak yang
mengalami retardasi mental. Konsep
pemikiran keluarga terutama orangtua
tentang anak idaman yaitu keturunan yang
sehat
fisik
maupun
mental,
ini
mempengaruhi reaksi orangtua terhadap
anak retardasi mental. Reaksi umum yang
terjadi pada orang tua pertama kali adalah
merasa kaget, mengalami goncangan batin,
takut, sedih, kecewa, merasa bersalah,
malu, dan menolak karena sulit
mempercayai
keadaan
anaknya.
Permasalahan lain yang dihadapi orang tua
adalah tingkat stres yang tinggi dan trauma
terhadap kehadiran anaknya. Hal seperti
ini tentunya tidak mudah diterima oleh
para orang tua, dimana anaknya
mengalami gangguan dan keterlambatan
dalam
perkembangannya
(Somantri,
2007).
Orang tua akan banyak mencari tau
keadaan
anaknya
dan
mencoba
memperoleh berbagai diagnosa dari
dokter, berbagai terapis, bahkan sampai
kedukun untuk menyembuhkan anaknya
agar menjadi normal (Pramudiarja, 2012).
Anak yang mengalami retardasi mental
tetap memiliki kemampuan yang dapat
dikembangkan dan dioptimalkan untuk
membantunya beraktivitas seperti orang
normal meskipun terbatas (Hendriani,
Handariyati & Sakti, 2006). Mereka dapat
mempelajari berbagai keterampilan hidup
apabila
orang-orang
di
sekitarnya
memberikan kesempatan dan dukungan
yang dibutuhkan karena peran orang tua
sangat efektif dalam penanganan dini dan
perawatan intensif untuk membantu
kesembuhan anak retardasi mental (
Heward, 2003).
Dukungan dan penerimaan dari
orang tua akan memberikan energi dan
kepercayaan dalam diri anak yang
mengalami retardasi mental untuk lebih
berusaha meningkatkan setiap kemampuan
yang dimiliki sehingga anak tersebut dapat
hidup mandiri, lepas dari ketergantungan
kepada orang lain. Sebaliknya penolakan
yang diterima dari orang-orang terdekat
akan membuat mereka semakin rendah diri
dan menarik diri dari lingkungan seperti
selalu diliputi oleh rasa ketakutan ketika
berhadapan dengan orang lain ataupun
dalam melakukan sesuatu (Hastuti &
Zamralita, 2004).
Pemberian dukungan sepenuhnya
akan diberikan oleh orang tua terhadap
perkembangan anaknya yang mengalami
retardasi mental jika orang tua tersebut
memahami dan menyadari konsep diri
yang mereka miliki, baik itu konsep diri
positif maupun konsep diri negatif.
Konsep diri secara umum dapat
didefinisikan
sebagai
keyakinan,
pandangan atau penilaian seseorang
terhadap dirinya atau gambaran seseorang
terhadap dirinya yang meliputi perasaan
terhadap diri seseorang dan pandangan
terhadap
sikap
yang
mendorong
berperilaku (Nevid, 2003).
Konsep diri orang tua didefinisikan
sebagai semua pemikiran, keyakinan, dan
kepercayaan yang merupakan pengetahuan
orang
tua
tentang
dirinya
dan
mempengaruhi hubungannya dengan orang
lain. Orang tua yang memiliki konsep diri
positif menunjukkan adanya penerimaan
diri dimana ia mengenal dirinya dengan
baik, mampu mengatasi masalah dan
memperbaiki diri, serta memiliki motivasi
yang tinggi dalam merawat anaknya.
Orang tua yang memiliki konsep diri
negatif akan peka terhadap kritikan,
bersikap responsif terhadap pujian, dan
mengalami hambatan dalam interaksi
dengan lingkungan sosialnya terutama
2
dalam merawat anak retardasi mental
(Salbiah, 2003). Konsep diri terdiri atas
komponen-komponen, yaitu gambaran
diri, ideal diri, harga diri, perfoma peran,
dan identitas diri (Stuart & Sundeen,
2006). Orang tua yang mempunyai anak
retardasi mental, memiliki gambaran diri
rendah. Terbukti saat reaksi pertama orang
tua adalah kekecewaan dan kesedihan
yang mendalam, yang kemudian disusul
dengan rasa malu. Perasaan malu ini
membuat para orang tua memilih untuk
bersembunyi dan menutup-nutupi keadaan
buah hatinya dari lingkungan sekitar
(Mangunsong, 2001).
Studi pendahuluan dilakukan tanggal
24 Oktober 2012 di SLB Negeri Pembina
Pekanbaru, didapatkan hasil wawancara
pada orang tua siswa di SLB Negeri
Pembina bahwa 5 dari 5 orang tua siswa
yang anaknya mengalami retardasi mental
masih belum bisa menerima sepenuhnya
keadaan yang dialami oleh anaknya. Hal
ini ditandai masih adanya orang tua yang
menitipkan anaknya kepada orang lain dan
respon orang tua saat ditemui ada yang
menangis saat menceritakan anaknya,
memarahi
anaknya
tanpa
sebab,
overprotective, masih ada rasa malu jika
membawa anaknya ditempat keramaian,
orang tua menjadi pasif, dan perasaan
sedih yang di alami oleh orang tua terkait
perkembangan
anaknya
kelak.
Berdasarkan fenomena tersebut peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai ”Hubungan konsep diri orang
tua dengan motivasi dalam merawat anak
retardasi mental”.
TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui hubungan antara
konsep diri orang tua dengan motivasi
dalam merawat anak retardasi mental.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian: Deskriptif korelatif
untuk mengetahui hubungan antara konsep
diri orang tua dengan motivasi dalam
merawat anak retardasi mental.
Sampel: 62 responden dengan kriteria
inklusi orang tua siswa retardasi mental
SLB Negeri Pembina di tingkat SDLB
yang bersedia menjadi responden dalam
penelitian. Pengambilan sampel secara
stratified random sampling.
Istrumen:
Kuesioner
konsep
diri
merupakan modifikasi dari kuesioner
Govender (2002) yang sebelumnya juga
dimodifikasi dari Parekh (1998) mengenai
kebiasan, persepsi, reaksi dan perasaan
orang tua yang memiliki anak retardasi
mental;
dan
kuesioner
motivasi
dimodifikasi dari kuesioner Aisyah (2009).
Prosedur: Tahapan awal dimulai dengan
meminta izin pada pihak PSIK Universitas
Riau
sebagai
tempat
penelitian.
Selanjutnya melakukan penelitian dengan
mencari responden yang memenuhi
kriteria inklusi.
Analisa Data: Analisa data secara
univariat dan bivariat menggunakan uji
Spearman.
HASIL
A. Karekteristik jenis kelamin dan
umur responden
Karakteristik
responden
berdasarkan jenis kelamin dan umur
dijelaskan pada tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1.
Distribusi responden menurut jenis
kelamin dan umur (n=62)
Karakteristik
responden
Jenis kelamin
Perempuan
Laki-laki
Total
Kelompok umur
18-40 tahun
(dewasa awal)
41-60 tahun
(dewasa madya)
Total
Jumlah
(%)
39
23
62
62.9
37.1
100
30
48.4
32
51.6
62
100
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa dari
62
orang
responden
3
sebagian besar berjenis kelamin
perempuan sebanyak 62.9 %, dan
sisanya sebanyak 37.1 % adalah lakilaki. Berdasarkan kelompok umur
responden, sebagian besar berada pada
usia dewasa madya sebanyak 51.6 %,
sedangkan sisanya 48.4 % adalah usia
dewasa awal.
B. Karakteristik pendidikan terakhir
responden
Pendidikan terakhir responden
dapat dilihat pada diagram 1 berikut.
Diagram 1.
Distribusi responden berdasarkan
pendidikan terakhir (n=62)
Pendidikan terakhir
17.7 %
14.5 %
8.1 %
SD
SMP
SMA
PT
59.7 %
Berdasarkan diagram 1 diketahui
bahwa dari 62 orang responden, lebih dari
separuh memiliki pendidikan terakhir
SMA yaitu sebanyak 59.7 % (37
responden), sedangkan sisanya SD
sebanyak 14.5 % (9 responden), SMP
sebanyak 8.1 % (5 responden), dan
Perguruan Tinggi sebanyak 17.7 % (11
responden).
C. Karakteristik pekerjaan responden
Pekerjaan responden dijelaskan pada
diagram 2 berikut ini.
Diagram 2.
Distribusi responden berdasarkan
pekerjaan (n=62)
Pekerjaan
3.2 %
14.5 %
48.8 %
33.9 %
IRT
SWASTA
PNS
Berdasarkan diagram 2 diketahui
bahwa dari 62 orang responden yang
diteliti, distribusi responden menurut
pekerjaannya yang paling sedikit yaitu
petani sebanyak 3.2 % (2 responden),
sedangkan mayoritas adalah IRT sebanyak
48.4 % (30 responden), sisanya swasta
sebanyak 33.9 % (21 responden), PNS
sebanyak 14.5 % (9 responden).
D. Karakteristik kelas anak responden
Berdasarkan kelas yang ditempati
anak pada diagram 3 berikut ini.
Diagram 3.
Distribusi responden berdasarkan kelas
anak (n=62)
KELAS 6
10%
KELAS 4
13%
Kelas Anak
KELAS 5
10%
KELAS 1
30%
KELAS 3
19%
KELAS 2
18%
Berdasarkan diagram 3 diketahui
bahwa dari total keseluruhan responden
sebagian besar adalah anak berada di kelas
1 SDLB sebanyak 30 % (19 responden),
sedangkan sisanya kelas 5 dan 6 SDLB
sebanyak 10 % (6 responden). Sisanya
kelas 2 SDLB sebanyak 18 % (11
responden), kelas 3 SDLB sebanyak 19 %
(12 responden), kelas 4 SDLB sebanyak
13 % (8 responden).
E. Konsep diri orang tua
Berdasarkan skor konsep diri orang
tua dapat dilihat pada tabel 9 berikut
ini.
Tabel 2.
Distribusi
(n=62)
Variabel
konsep
Median
diri
SD
responden
MinimumMaksimum
95%
CI
PETANI
4
Konsep
diri
orang
tua
83.50
9.742
43 – 93
78.57
–
83.52
Hasil analisis didapatkan bahwa
penyebaran data pada skor konsep diri
orang tua berdistribusi tidak normal karena
PV hasil Kolmogorov Smirnov lebih kecil
dari alpha/PV < α (0.004 < 0.05), dengan
nilai tengah skor konsep diri orang tua
adalah 83.50 (95 % CI: 78.57 – 83.52), dan
standar deviasi 9.742. Skor konsep diri
yang paling rendah (minimum) adalah 43
dan skor yang paling tinggi (maksimum)
adalah 93. Dari hasil estimasi interval
dapat disimpulkan bahwa 95 % confidence
interval skor konsep diri adalah 78.57 –
83.52. Jadi dapat diyakini 95 % bahwa
skor konsep diri orang tua berada pada
selang 78.57 sampai 83.52.
F. Motivasi merawat anak
Berdasarkan hasil analisa skor
motivasi dapat dilihat pada tabel 3
berikut ini.
Tabel 3.
Distribusi motivasi responden (n=62)
Variabel
Mean
SD
MinimumMaksimum
95%
CI
Motivasi
orang
tua
46.52
4.555
32 – 56
45.36
–
47.67
Hasil analisis didapatkan bahwa
penyebaran data pada skor motivasi
berdistribusi normal karena PV hasil
Kolmogorov Smirnov lebih besar dari
alpha/PV > α (0.2 > 0.05), dengan ratarata skor motivasi orang tua adalah 46.52
(95 % CI: 45.36 – 47.67), dan standar
deviasinya adalah 4.555. Skor motivasi
yang paling rendah (minimum) adalah 32
dan skor yang paling tinggi (maksimum)
adalah 56, Dari hasil estimasi interval
dapat disimpulkan bahwa 95 % confidence
interval skor motivasi adalah 45.36 –
47.67. Jadi dapat diyakini 95 % bahwa
skor motivasi orang tua dalam merawat
anak yang mengalami retardasi mental
berada pada selang 45.36 sampai 47.67.
G. Hubungan konsep diri orang tua
dengan motivasi dalam merawat
anak retardasi mental
Tabel 4.
Hubungan konsep diri orang tua
dengan motivasi dalam merawat anak
retardasi mental
Variabel
konsep
diri
Motivasi
Spearman Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Spearman Correlation
Sig. (2-tailed)
N
konsep
diri
1000
62
0.677
0.000
62
motivasi
0.677
0.000
62
1000
62
Dari hasil di atas, diperoleh nilai sig. 0.000
yang menunjukkan bahwa korelasi antara
skor konsep diri orang tua dan motivasi
dalam merawat anak retardasi mental
adalah terdapat korelasi yang bermakna
antara dua variabel yang diuji karena P
value < 0,05. Nilai korelasi Spearman
sebesar 0.677 menunjukkan bahwa arah
korelasi positif (searah), yaitu semakin
tinggi konsep diri orang tua maka semakin
tinggi pula motivasi orang tua dalam
merawat anaknya yang mengalami
retardasi mental, dengan tingkat hubungan
korelasi yang kuat. Kategori korelasi kuat
menurut Dahlan (2011) berada pada
rentang (0.60 – 0.799). Pada penelitian ini
Ho ditolak atau terdapat hubungan antara
konsep diri orang tua dengan motivasi
dalam merawat anak retardasi mental.
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden
1. Jenis Kelamin
Mayoritas responden berjenis
kelamin
perempuan
yaitu
5
berjumlah
62.9% (39 orang
responden). Orang tua yang
berjenis kelamin perempuan lebih
banyak
menunggui
anaknya
disekolah karena mereka memiliki
banyak waktu untuk mengurus
anaknya dibandingkan dengan
orang tua yang berjenis kelamin
laki-laki.
2. Umur
Sebagian besar responden
berada pada usia dewasa madya
(41-60 tahun) dengan jumlah 51.6
% (32 orang responden). Umur
orang tua siswa SDLB rata-rata
empat puluhan karena mereka ada
terlambat
mempunyai
anak,
mempunyai anak tetapi jaraknya
terlalu jauh, dan mempunyai anak
banyak.
Hurlock (2007) menyatakan
semakin cukup usia seseorang,
tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam
berfikir.
Tingkat
kematangan
dalam berfikir ini juga dipengaruhi
oleh pengalaman dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian,
dengan adanya kematangan dalam
berfikir
orang
tua
akan
mempermudah proses konsep diri
yang dimilikinya dan melakukan
sesuatu sesuai dengan kematangan
dalam
berfikir
sehingga
memperbesar kemungkinan orang
tua untuk menerima diagnosa
anaknya dengan relatif lebih
tenang, dewasa, serta mencari jalan
keluar yang baik mengenai kondisi
anaknya.
3. Pendidikan
Sebagian besar responden
berpendidikan terakhir
SMA
sebanyak 59.7 % (37 responden).
Orang tua siswa SLB Negeri
Pembina berasal dari ekonomi
menengah ke bawah, sehingga
biaya
untuk
melanjutkan
pendidikan sangat terbatas. Tingkat
pengetahuan selain diperoleh dari
proses pendidikan formal juga
dapat diperoleh dari pengalaman
langsung dan pengalaman tidak
langsung seperti informasi yang
didapatkan dari media elektronik
dan media massa yang dapat
mempengaruhi tingkat pengetahuan
dan rasa keingintahuan orang tua
dan keluarga mengenai anak
retardasi mental (Notoadmodjo,
2007).
Sehingga
orang
tua
termotivasi untuk memberikan
perawatan yang optimal untuk
kesehatan anaknya.
4. Pekerjaan
Sebagian besar responden
bekerja sebagai IRT sebanyak 48.4
% (30 responden). Orang tua siswa
di tingkat SDLB lebih banyak
memilih sebagai IRT karena
mereka memang tidak bekerja dan
kebanyakan berasal dari tamatan
SMA, lebih suka bekerja mengurus
anak dan rumah tangga sehingga
ibu rumah tangga ini memiliki
waktu
yang
lebih
banyak
dibandingkan dengan ibu-ibu yang
bekerja di luar rumah.
5. Tingkatan kelas anak
Sebagian besar responden
berasal dari kelas 1 SDLB
sebanyak 30.6 % (19 responden).
Prosporsi siswa kelas 1 di SLB
Negeri pembina lebih banyak
dibandingkan dengan kelas lainnya
sehingga proporsi terambilnya
untuk dijadikan sampel juga
banyak.
B. Konsep diri orang tua
Sebagian besar responden berada
pada skor konsep diri diatas 75
sebanyak 74.2 % (46 responden)
dengan nilai tengah 83.50, skor
maksimum 93, dan skor minimum 43.
Konsep diri positif menunjukkan
adanya penerimaan diri dimana
individu dengan konsep diri positif
mengenal dirinya dengan baik sekali;
bersifat stabil dan bervariasi; dapat
6
memahami dan menerima sejumlah
fakta yang sangat bermacam-macam
tentang dirinya sendiri sehingga
evaluasi terhadap dirinya sendiri
menjadi positif dan dapat menerima
dirinya
apa
adanya;
mampu
menghadapi kehidupan di depannya
serta menganggap bahwa hidup adalah
suatu proses penemuan (Sobur, 2003).
Seseorang dengan konsep diri yang
positif dapat mengeksplorasikan dunia
secara terbuka dan jujur karena latar
belakang penerimaannya yang sukses
(Suliswati, 2005).
Harga diri memiliki keterkaitan
yang erat dengan kondisi psikis dan
konsep diri orang tua yang memiliki
anak retardasi mental. Penelitian
Dsouza (2001) menyimpulkan bahwa
ada hubungan perasaan malu dengan
harga diri seseorang. Perasaan malu
yang dialami orang tua menyebabkan
orang tua cenderung merasakan harga
diri yang menurun sehingga konsep diri
orang tua pun menjadi negatif karena
harga diri termasuk salah satu dari
komponen konsep diri. Penelitian
Ranudhanta (2011) menyimpulkan
bahwa tidak terdapat hasil yang terlalu
signifikan antara harga diri tinggi dan
harga diri rendah pada orang tua yang
memilki anak penyandang autisme,
sebagian orang tua memiliki perasaan
malu yang membuat para orang tua
memilih untuk bersembunyi dan
menutup-nutupi keadaan buah hatinya
dari lingkungan sekitar walaupun anak
mereka sudah mereka sekolahkan
ditempat terapi khusus penanganan
autisme.
C. Motivasi
Sebagian besar responden berada
pada skor motivasi diatas 44 sebanyak
80.6 % (50 responden) dengan rata-rata
skor 46.52, dan standar deviasi 4.555.
Motivasi merupakan suatu dorongan
yang timbul karena adanya rangsangan
dari dalam maupun dari luar sehingga
seseorang
berkeinginan
untuk
mengadakan perubahan tingkah laku
atau aktivitas. Semua aktivitas ini
didasarkan pada kebutuhan biologis,
insting, dan unsur-unsur kejiwaan
lainnya
yang
dipengaruhi
oleh
perkembangan budaya manusia (Uno,
2007).
Motivasi dikatakan tinggi apabila
di dalam diri seseorang dalam kegiatan
sehari-harinya memiliki harapan yang
positif, harapan yang tinggi, serta
keyakinan
yang
tinggi
dalam
melakukan
aktivitasnya
berkaitan
dengan
persoalan-persoalan
yang
dihadapi (Irwanto, 2008). Orang tua
memiliki keyakinan dan harapan dalam
merawat anaknya yang mengalami
retardasi mental dan anak tersebut dapat
hidup dengan layak seperti anak normal
lainnya. Penelitian Aisyah (2009)
menyimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara tingkat pengetahuan
orang tua terhadap motivasi dalam
merawat anak retardasi mental. Hal ini
disebabkan karena tingkat pengetahuan
orang tua mengenai retardasi mental
dikategorikan sedang dan motivasi
dalam
merawat
anak
tersebut
dikategorikan tinggi. Seharusnya jika
tingkat pengetahuan orang tua tinggi,
maka motivasi dalam merawat anak
yang mengalami retardasi mental juga
tinggi.
Sebaliknya,
jika
tingkat
pengetahuan orang tua rendah, maka
motivasi dalam merawat anak yang
mengalami retardasi mental juga
rendah.
D. Hubungan konsep diri orang tua
dengan motivasi dalam merawat
anak retardasi mental
Hasil analisa bivariat dari
hubungan konsep diri orang tua dengan
motivasi dalam merawat anak retardasi
mental, diperoleh nilai sig. 0.000 yang
menunjukkan bahwa terdapat korelasi
yang bermakna antara dua variabel
yang diuji karena P value < 0,05. Nilai
korelasi Spearman sebesar 0.677
menunjukkan bahwa arah korelasi
7
positif (searah), yaitu semakin tinggi
konsep diri orang tua maka semakin
tinggi pula motivasi orang tua dalam
merawat anaknya yang mengalami
retardasi mental.
Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian terkait yang dilakukan
Hendriyani, Handariyati, dan Sakti
(2006) menyimpulkan bahwa mayoritas
keluarga menunjukkan sikap dan
perilaku yang tidak menerima kondisi
individu
yang
mengalami
keterbelakangan mental, dan minoritas
keluarga menunjukkan sikap dan
perilaku yang menerima kondisi
individu
yang
mengalami
keterbelakangan mental. Hal tersebut
terjadi karena sikap orang tua dan
keluarga yang bervariasi dalam
menghadapi anak yang mengalami
keterbelakangan mental. Mereka belum
siap menerima keadaan anak mereka
sehingga orang tua berusaha untuk
menyembuhkan anaknya walaupun
disertai rasa malu, tetapi hasil yang
didapatkan tidak memuaskan sehingga
membuat orang tua merasa putus asa
dan menolak kehadiran anak yang
mengalami retardasi mental. Penolakan
tersebut akan
mempengaruhi cara
orang tua dalam merawat anaknya.
Orang tua yang menerima keadaan
anaknya yang memiliki keterbatasan
akan merawat anaknya dengan baik dan
mengembangkan kemampuan anaknya
walaupun terbatas.
Penelitian Muchayaroh (2002)
menyatakan bahwa persepsi positif
keluarga terhadap anak dengan retardasi
mental membuat keluarga termotivasi
untuk memberikan perawatan dan
perlakuan secara optimal. Penelitian
lainnya oleh Maulina & Sutatminingsih
(2005) juga menyimpulkan bahwa ada
hubungan negatif antara harga diri dan
stres pada ibu yang memiliki anak
penyandang retardasi mental. Semakin
negatif harga diri individu maka
semakin besar stres yang dialami dan
sebaliknya semakin positif harga diri
individu maka stres yang dialami
individu semakin rendah. Harga diri
merupakan salah satu komponen dari
konsep diri. Stuart & Sundeen (2006)
menyatakan komponen konsep diri
terdiri dari gambaran diri, ideal diri,
harga diri, perfoma peran, dan identitas
personal. Jika konsep diri orang tua
rendah maka motivasi dalam merawat
anak yang mengalami retardasi mental
juga rendah. Sebaliknya jika konsep diri
orang tua tinggi maka motivasi dalam
merawat anak yang mengalami
retardasi mental juga tinggi.
Teori Uno (2007) menyatakan
motivasi
timbul
karena
adanya
dorongan dan rangsangan dari dalam
maupun dari luar sehingga seseorang
berkeinginan
untuk
mengadakan
perubahan tingkah laku atau aktivitas
yang didasarkan pada kebutuhan
biologis, insting, dan unsur-unsur
kejiwaan lainnya. Hanifah (2009)
menyimpulkan bahwa orang tua mampu
mengubah penolakan terhadap keadaan
anaknya yang mengalami retardasi
mental menjadi menerima keadaan
anaknya walaupun harus melewati
beberapa tahap penyesuaian.
Tahap-tahap penyesuaian orang
tua yang diteliti oleh Blacher (1984,
dalam Heward, 2003), yaitu: (1)
Orangtua mengalami berbagai krisis
emosional,
seperti
shock,
ketidakpercayaan, dan pengingkaran
terhadap kondisi yang terjadi pada
anaknya; (2) Rasa tidak percaya dan
pengingkaran diikuti oleh perasaan dan
sikap negatif seperti marah, menyesal,
menyalahkan diri sendiri, malu, depresi,
rendah diri di hadapan orang lain,
menolak kehadiran anak, atau menjadi
overprotective; (3) Orang tua telah
mencapai suatu kesadaran terhadap
situasi yang dihadapi, serta bersedia
untuk menerima kondisi anak yang
berbeda. Jika orang tua telah menerima
keadaan anaknya yang memiliki
kemampuan yang terbatas maka orang
8
tua akan termotivasi untuk merawat dan
mengawasi anaknya dengan baik.
KESIMPULAN
Hasil penelitian yang telah dilakukan
pada 62 orang responden dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar orang
tua berada pada skor konsep diri di atas
skor 75 sebanyak 74.2 % (46 responden)
dan s motivasi diatas 44 sebanyak 80.6 %
(50 responden) dalam merawat anak
retardasi mental. Hasil uji statistik
menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara konsep diri orang tua
dengan motivasi dalam merawat anak yang
mengalami retardasi mental dengan nilai
sig 0,000 sehingga p value <  = 0,05.
Diperoleh tanggal 17 Oktober 2012
dari
http://www.litbang.depkes.go.id/sites
/download/buku_laporan/lapnas_risk
esdas2010/Laporan_riskesdas_2010.
pdf
Dsouza, L. (2001). Shyness and self
esteem, Clinical Psychology, 28, 246
[On-line].
Available
FTP:proquest.com\pqdauto.htm
Hanifah, A.P.U. (2009). Kebermaknaan
hidup pada orang tua dengan anak
retardasi mental di Kota Malang.
Skripsi. Diperoleh tanggal 3 Oktober
2012 dari http://lib.uin-malang.ac.id/
research
/fullchapter/05410066aminah-permata-ummu-h.ps
1
Putri Ana Sari: Mahasiswa Program
Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau,
Indonesia
2
Ns. Jumaini, M.Kep., Sp.Kep.J: Dosen
Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa
Program
Studi
Ilmu
Keperawatan
Universitas Riau, Indonesia
3
Ns.
Oswati
Hasanah,
M.Kep.,
Sp.Kep.An: Dosen Kelompok Keilmuan
Keperawatan Anak Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Riau, Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, F. (2009). Hubungan tingkat
pengetahuan orang tua tentang anak
retardasi mental dengan motivasi
orang tua dalam merawat anak
retardasi mental di sekolah luar
biasa negeri pembina pekanbaru.
Skripsi.
Program
studi
Ilmu
Keperawatan
Universitas Riau.
Tidak dipublikasikan.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan
RI. (2010). Riset kesehatan dasar.
Hastuti, R. & Zamralita. (2004). Jurnal
psikologi: Penyesuaian diri orang
tua yang memiliki anak retardasi
mental ringan. Jakarta: Arkhe.
Hendriani, W., Handariyati, R., & Sakti,
T.M. (2006). Penerimaan keluarga
terhadap individu yang mengalami
keterbelakangan mental. Jurnal.
Diperoleh tanggal 3 Oktober 2012
dari
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/03
%20%20Penerimaan%20Keluarga%20Te
rhadap%20Individu%20yang%20Me
ngalami%20Keterbelakangan%20M
ental.pdf
Heward, W.L. (2003). Exceptional
children, an introduction to special
education. New Jersey: Merrill,
Prentice Hall
Hurlock,
B.E.
(2007).
Psikologi
perkembangan suatu pendekatan
sepanjang
rentang
kehidupan.
Jakarta: Erlangga.
Mangunsong, F. (2001). Psikologi dan
pendidikan anak luar biasa. Jakarta :
9
Lembaga Pengembangan Sarana
Pengukuran
dan
Pendidikan
Psikologi Universitas Indonesia.
Maslim, R. (2002). Buku saku diagnosis
gangguan jiwa. Jakarta: EGC.
Muchayaroh, L. (2002). Persepsi keluarga
terhadap anak dengan retardasi
mental di poli fisioterapi YPAC
cabang malang. Diperoleh tanggal
28
Mei
2013
dari
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=
browse&op=read&id=jiptumm-gdls1-2002-luluk-5533-2002
Nevid, J. S. (2003). Psychology: Concepts
and applications. Boston: Houghton
Mifflin Co
Notoatmodjo,
S.
(2007).
Promosi
kesehatan & ilmu perilaku. Jakarta:
Rineka Cipta
Poerwanti, E. & Widianingsih, K. (2010).
Pendidikan anak berkebutuhan
khusus 2. Jakarta: Direktorat
Jenderal
Pendidikan
Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional
Pramudiarja, A.U. (2013). Dari dukun
sampai lumba-lumba, semua demi
sembuhkan
cacat
Mental.
Detikhealth. Diperoleh tanggal 7
Februari
2013
dari
http://health.detik.com/read/2013/01/
26/105809/2152745/763/dari-dukun-
sampai-lumba-lumba-semua-demisembuhkan-cacat-mental
Ranudhanta, M. (2011). Gambaran harga
diri orang tua yang memiliki anak
penyandang
autisme.
Skripsi.
Program studi Ilmu Keperawatan
Universitas
Riau.
Tidak
dipublikasikan
Salbiah. (2003). Konsep diri. USU
Repository diperolehs tanggal 1
November
2012
dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/
123456789/1937/3/D0300467.pdf.tx.
Sobur, A. (2003). Psikologi
Bandung: Pustaka Setia.
umum.
Soetjiningsih. (2004). Buku ajar tumbuh
kembang Anak. Jakarta: Sagung
Seto.
Somantri, S. (2007). Psikologi anak luar
biasa.
Bandung:
PT.
Refika
Aditama.
Stuart, G.W. & Sundeen, S.J. (2006). Buku
saku keperawatan jiwa edisi 3.
Jakarta: EGC.
Suliswati, Payapo, T.A., Maruhawa, J.,
Sianturi, Y., & Sumijatun. (2005).
Konsep
dasar
keperawatan
kesehatan jiwa. Jakarta: EGC.
Uno, H.B. (2007). Teori motivasi dan
pengukurannya dalam pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara.
10
Download