RATIO LEGAL PEMBENTUKAN BADAN PENYELESAIAN

advertisement
RATIO LEGAL PEMBENTUKAN BADAN
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DI DAERAH
PADIMUN LUMBAN TOBING
ABSTRAK
Perlindungan konsumen merupakan hal yang cukup baru dalam dunia
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Perlindungan konsumen telah
meletakkan konsumen dalam posisi terendah dalam menghadapi para
pelaku usaha. Pada umumnya pelaku usaha berlindung di balik perjanjian
baku yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Tidak adanya alternatif
yang diambil oleh konsumen telah menjadi satu rahasia umum dalam
dunia industri usaha di Indonesia. Ketidak seimbangan posisi antara
pelaku usaha dengan konsumen merupakan faktor yang dapat memicu
adanya sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) yang ada di setiap kabupaten/kota dengan
tugas dan kewenangannya diharapkan dapat menjadi suatu lembaga yang
dapat menyelesaikan sengketa konsumen dan pelaku usaha dengan cepat,
murah dan sederhana. Tulisan ini untuk mengkaji dan menganalisis
pelaksanaan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Di
Tingkat Kabupaten/Kota berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen serta tata cara penyelesaian
sengketa konsumen sehingga mampu mengakomodir kebutuhan konsumen
dalam penyelesaian sengketanya. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini yuridis normatif, untuk meneliti norma-norma hukum yang
mengatur mengenai perlindungan konsumen berkaitan dengan pelaksanaan
dan tugas BPSK.
Kata Kunci
: UUPK, BPSK, Penyelesaian Sengketa Konsumen.
PENDAHULUAN
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah
Indonesia membuat suatu kebijakan untuk daerah. Yaitu daerah tingkat I
dan daerah tingkat II diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan rumah tangganya sendiri, dengan tujuan mensejahterakan
masyarakat. Kebijakan ini dikenal dengan Otonomi Daerah. Terbentuknya
Otonomi Daerah memiliki sejarah yang sangat panjang mulai dari jaman
1
kolonial sampai dengan sekarang. Otonomi daerah di Indonesia adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pada era ini Indonesia juga harus memikirkan hal yang strategis,
terutama pemerintah yang ada di pusat, dimana yang terjadi saat ini
pemerintah pusat yang memiliki urusan yang terlalu banyak sehingga tidak
terselesaikan dengan baik, pusat mengurus sampai pada urusan yang bersifat
teknis yang ada di daerah. Pelaksanaan konsep desentralisasi otonomi
daerah telah berlangsung lama bahkan sejak sebelum kemerdekaan, dan
mencapai puncaknya pada era reformasi dengan dikeluarkannya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan yang
kemudian direvisi masing-masing menjadi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Walaupun
demikian, penerapan konsep desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia
sampai saat ini dianggap masih belum menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Masih ditemukan banyak kelemahan dalam
pelaksanaannya, baik dari kelengkapan regulasi, kesiapan pemerintah
daerah, maupun penerimaan masyarakat sendiri. Salah satunya adalah
permasalahan rendahnya perlindungan terhadap konsumen.
Berbicara tentang konsumen tentunya tidak terlepas dari
perlindungan hukum terhadap konsumen, aspek pertama dari perlindungan
konsumen adalah persoalan tentang tanggung jawab produsen atas kerugian
sebagai akibat yang ditimbulkan oleh produknya. Dengan singkat persoalan
ini lazim disebut dengan tanggung jawab produk (product liability).1 Secara
historis tanggung jawab produsen (product liability) lahir karena adanya
ketidak seimbangan kedudukan dan tanggung jawab antara produsen dan
konsumen. Oleh karena itu, produsen yang pada awalnya menerapkan
strategi yang berorientasi pada produk dalam pemasaran produknya harus
mengubah strategi menjadi pemasaran yang berorientasi pada konsumen,
dimana produsen harus hati-hati dengan produk yang dihasilkan olehnya.
Oleh karena itu masalah tanggung jawab produsen (product liability) telah
mendapat perhatian yang semakin meningkat dari berbagai kalangan, baik
kalangan industri, industri asuransi, konsumen, pedagang, pemerintah dan
para ahli hukum.
Dalam perkembangannya hukum tentang tanggung jawab produsen
(product liability) yang berlaku pada setiap negara berbeda-beda. Dengan
makin berkembangnya perdagangan internasional maka persoalan tanggung
jawab produsen (product liability) menjadi masalah yang melampaui batas-
1
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2006), hlm. 1
2
batas maju di dunia internasional. Sehingga diperlukan penambahanpenambahan terutama dalam rangka mempermudah pemberian kompensasi
bagi konsumen yang menderita kerugian akibat produk cacat yang
diedarkan di masyarakat.2
Kurangnya kesadaran dan tanggung jawab sebagai produsen akan
berakibat fatal dan menghadapi resiko bagi kelangsungan hidup dan
kredibilitas usahanya. Rendahnya kualitas produk atau adanya cacat pada
produk yang dipasarkan akan menyebabkan kerugian bagi konsumen, di
samping produsen itu juga akan menghadapi tuntutan kompensasi yang pada
akhirnya akan bermuara pada kalah bersaingnya produk tersebut dalam
merebut pangsa pasar.
Dalam berbagai kasus, konsumen tidak cukup dilindungi hanya
berdasarkan kebijakan komplementer (memberikan informasi) tetapi juga
harus ditindaklanjuti dengan kebijakan kompensatoris (meminimalkan
resiko yang harus ditanggung konsumen). Misalnya dengan mencegah
produk berbahaya untuk tidak mencapai pasar sebelum lulus pengujian oleh
suatu lembaga perizinan pemerintah atau menarik dari peredaran produk
yang berbahaya yang sudah terlanjur beredar di pasaran.
Terjadinya kasus beredarnya produk cacat di masyarakat
diakibatkan oleh kurang intensifnya pengujian terhadap produk yang
dihasilkan oleh produsen dan juga disebabkan karena lemahnya pengawasan
yang dilakukan oleh instansi maupun lembaga yang berwenang menangani
masalah pengawasan tersebut.3
Berdasarkan ketentuan umum hukum perdata yang berlaku, pihak
konsumen yang menderita kerugian akibat produk atau barang yang cacat
dapat menuntut pihak produsen secara langsung atau menuntut pihak
pedagang di mana barang tersebut dibeli. Tuntutan dapat diajukan
berdasarkan telah terjadinya perbuatan melawan hukum (Pasal 1365
KUHPerdata) oleh pihak produsen atau pihak lain yang berkaitan dengan
proses produksi atau penyebaran produk atau barang cacat tersebut.
Seseorang konsumen yang menderita kerugian tersebut akan menuntut
pihak produsen (termasuk pedagang, grosir, distributor dan agen)
berdasarkan perbuatan melawan, namun dalam prakteknya akan timbul
beberapa kendala yang akan menyulitkan konsumen untuk memperoleh
kompensasi.
2
Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di Beberapa
Negara, (Bandung: Alumni, 1988), hlm. 105
3
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar
Maju, 2000), hlm. 53
3
Hubungan konsumen secara individual dengan produsen
merupakan hubungan perdata. Oleh karenanya perlindungan konsumen
lebih sering dilihat dari segi hukum perdata seperti masalah ganti rugi.
Pemikiran demikian tidaklah benar karena dalam perlindungan konsumen
merupakan kewajiban pemerintah, maka peranan pemerintah dalam
menerapkan sanksi pidana dan administratif sangatlah penting.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) dalam Pasal 23 disebutkan bahwa
apabila pelaku usaha pabrikan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas
tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku
usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen atau dengan cara mengajukan gugatan
kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Lahirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang UndangUndang Perlindungan Konsumen yang telah disahkan pada tanggal 20 April
1999, dan mulai efektif mulai tanggal 20 April 2000. Di antaranya,
mengatur tentang keberadaan lembaga penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan, lebih familiar nya di sebut dengan BPSK (Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen). BPSK sudah tersebar di mana saja,
khususnya di Indonesia. Pembentukan BPSK wajib di bentuk dikarenakan
kehadiran teknologi dan informatika yang semakin lama semakin luas
jangkauannya sehingga menimbulkan keberadaan barang dan jasa semakin
meningkat dan arusnya semakin lancar serta adanya selentingan yang terjadi
di Negara ini tentang perdagangan bebas.
Berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UU No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat di
tempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan
sukarela para pihak yang bersengketa. Maka, para pihak di beri kewenangan
untuk memilih dalam menyelesaikan permasalahannya baik jalur pengadilan
maupun jalur luar pengadilan. Apabila para pihak tersebut memilih jalur
luar pengadilan, maka BPSK-lah yang berwenang dalam menyelesaikan
sengketa tersebut. Maraknya kasus-kasus tentang transaksi jual beli yang
akhirnya merugikan konsumen, atau penipuan bahkan ketidak puasan yang
di alami oleh konsumen atas barang/jasa yang ditawarkan, sehingga
mengharuskan Pemerintah untuk segera membentuk lembaga penyelesaian
sengketa. Adanya BPSK memudahkan masyarakat dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang mereka hadapi.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan
yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha
dan konsumen. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk dan diatur dalam Undangundang Perlindungan Konsumen, yang tugas utamanya adalah
4
menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku
usaha.4
BPSK merupakan sebuah badan yang berada dibawah Departemen
Perindustrian dan Perdagangan yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara pelaku usaha dan konsumen. Terbentuknya Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen ini merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang kemudian dipertegaskan
dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia yaitu Pada Tahap I telah
dibentuk 10 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berdasarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tentang
Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah
Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota
Bandung Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang
dan Kota Makassar.
Pasal 23 Undang–undang Perlindungan Konsumen menjelaskan
bahwa apabila pelaku usaha menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan
dan/atau tidak memenuhi tuntutan ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka
konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha, dan menyelesaikan
perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen,
atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat
kedudukan konsumen.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas maka penulis
membatasi beberapa pokok permasalahan, yaitu :
1.
Bagaimana ratio legal dari kewajiban dibentuknya Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen di Pemerintah Kota Dan Kabupaten
?
2.
Bagaimana prosedur penyelesaian Sengketa Konsumen yang
dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen ?
METODE PENELITIAN
Pada penulisan ini penulis menggunakan bentuk penelitian yuridisnormatif, yaitu penelitian terhadap norma hukum tertulis untuk menjawab
permasalahan mengenai pengaturan dan penerapan hukumnya. Bahan hukum
Primer yang dipakai meliputi :
4
Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK), Teori dan Praktek Penegakan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,
Hlm.39
5
a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
b) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
c) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 Tentang Badan Perlindungan
Konsumen Nasional
d) Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Bahan Hukum Sekunder meliputi buku-buku, artikel-artikel untuk
memberikan penjelasan dan informasi yang terdiri dari penjelasan Undangundang dan literatur-literatur mengenai Badan Perlindungan Konsumen. Bahan
Hukum Tersier seperti kamus dan ensiklopedi sebagai bahan rujukan atau acuan
yang digunakan untuk mencari suatu kata atau istilah teknis bidang-bidang
tertentu.
TINJAUAN LITERATUR
Perlindungan konsumen adalah upaya yang terorganisir yang
didalamnya terdapat unsur-unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha
yang jujur dan bertanggungjawab untuk meningkatkan hak-hak konsumen.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, definisi perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen.
Pemerintah menjamin adanya perlindungan hukum terhadap
konsumen, dengan membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara
pelaku usaha dengan konsumen. Eksistensi BPSK sangat penting bukan saja
sebagai bentuk pengakuan hak konsumen untuk mendapatkan perlindungan
dalam penyelesaian sengketa konsumen secara patut, tetapi juga sebagai
badan pengawas terhadap pencatuman klausula baku oleh pelaku usaha.
Pasal 42 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/2001, menyatakan bahwa
Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat belum dapat
melindungi konsumen karena terjadi ketentuan yang bertentangan mengenai
arti putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat. Putusan arbitrase tidak
mempunyai kekuatan eksekutorial karena tidak memiliki kepala putusan
atau irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5
Asas-asas yang relevan sebagai dasar acuan putusan BPSK yang bersifat
5
http://prasetya.ub.ac.id, Disertasi Kurniawan: Putusan BPSK
Perlindungan Hukum Konsumen, Diakses pada hari Sabtu 19 Juli 2014.
Dalam
Menjamin
6
final dan mengikat ke depan adalah Hak Asasi Manusia (HAM), asas
kepastian hukum, asas tidak melampaui atau mencampuradukkan
kewenangan, asas keadilan, dan asas efektivitas.
Menurut S. Sothi Rachagan (Regional Director of CI-ROAP) ada
beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam pengelolaan lembaga
penyelesaian sengketa konsumen :6
1.
Aksesibilitas yakni bagaimana mengupayakan agar lembaga
penyelesaian sengketa konsumen dapat diakses seluas-luasnya oleh
masyarakat. Prinsip ini meliputi elemen-elemen seperti: biaya murah,
prosedur yang sederhana dan mudah, pembuktian yang fleksibel,
bersifat komprehensif, mudah diakses langsung, dan tersosialisasi
serta tersedia di berbagai tempat.
2.
Fairness dalam arti keadilan lebih diutamakan daripada kepastian
hukum sehingga sebuah lembaga penyelesaian sengketa konsumen
setidaknya harus bersifat mandiri (independent) dan dapat
dipertanggungjawabkan pada masyarakat (public accountability).7
3.
Efektif, sehingga lembaga penyelesaian sengketa harus dibatasi
cakupan perkaranya (kompleksitas dan nilai klaim) dan setiap perkara
yang masuk harus diproses secepat mungkin tanpa mengabaikan
kualitas penanganan perkara.
Untuk dapat dijalankannya prinsip-prinsip tersebut maka cara
penyelesaian sengketa dengan pendekatan hukum yang legal-positivistik
harus diubah dengan pendekatan hukum yang lebih kritis, responsif atau
progresif. Secara singkat paradigma hukum progresif bertumpu pada filosofi
dasarnya yakni hukum untuk manusia, yang dimaknai bahwa sistem
manusia (sikap; perilaku) berada di atas sistem formal (aturan; keputusan
administratif; prosedur; birokrasi). Dengan demikian bila sistem formal
tidak bisa mewujudkan cara penyelesaian konsumen yang utuh, efektif dan
adil atau memuaskan para pihak, maka sistem manusia harus mampu
mewujudkan sendiri.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen maka konsumen di Indonesia mendapat jaminan
hukum yang pasti akan hak-haknya sebagai konsumen, khususnya dari
tindakan-tindakan yang tidak adil dari pelaku usaha.
HASIL KAJIAN
Ratio Legal Dari Kewajiban Dibentuknya Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Di Daerah
6
http://duniathoto.blogspot.com/2010/07/bpsk.html, Diakses pada hari Sabtu 19 Juli 2014.
7
Otje salman Soemadiningrat dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (mengingat,
mengumpulkan dan membuka kembali), Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 156-157.
7
A.
Konsep Pembentukan Dan Kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Di Pemerintahan Daerah
Dasar hukum pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 49 Ayat (1) Jo Pasal 2 Kepmenperindag No.
350 Tahun 2001 mengatur bahwa setiap kota atau kabupaten harus dibentuk
badan penyelesaian sengketa konsumen.8 Perwujudan pasal 49 ayat (1)
Undang-undang Perlindungan Konsumen dapat dilihat dengan terbentuknya
sepuluh BPSK di Indonesia yang diresmikan pada tahun 2001 berdasarkan
keputusan presiden Nomor 90 tahun 2001 tentang pembentukan BPSK pada
pemerintah kabupaten dan kota. Pasal tersebut menjelaskan bahwa
“Pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di
Daerah tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan”.
Berdasarkan penjelesan tersebut BPSK berkedudukan didaerah
Kabupaten/Kota. Khusus untuk ibu kota DKI Jakarta BPSK berkedudukan
di daerah tingkat I/Provinsi. Mengenai pendanaan BPSK, Yusuf Sofie
menjelaskan bahwa berdasarkan keputusan presiden Nomor 90 Tahun 2001
adapun biaya pelaksanaan tugas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di
bebankan kepada Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD).
Keberadaan BPSK dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan,
terutama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha/produsen
karena sengketa diantara konsumen dan pelaku usaha biasanya nominalnya
kecil sehingga tidak mungkin mengajukan sengketanya dipengadilan karena
tidak sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan
dituntut.
Keberadaan BPSK saat ini telah diakui oleh masyarakat luas dan
telah menjadi rujukan masyarakat setempat dalam menyelesaikan sengketa
konsumen. Pada prinsipnya keberadaan BPSK telah telah menjalankan
fungsinya dengan baik dan dapat dijadikan rujukan penyelesaian perkara
oleh masyarakat setempat. Pada tahun 2014 sebanyak 886 pengaduan telah
diterima oleh 28 BPSK tingkat kabupaten/kota, pengaduan-pengaduan
tersebut terdiri dari 168 pengaduan kasus barang dan 718 pengaduan kasus
jasa.
Menurut pasal 49 ayat (5) UUPK, pengangkatan dan
pemberhentian anggota BPSK di tetapkan oleh menteri. Berdasarkan pasal 3
Perendagri Nomor 13 /M-DAG/PER/3/2010 tentang pegangkatan dan
pemberhentian anggota BPSK dan sekretariat BPSK, mengatur bahwa :
1.
8
Angggota BPSK terdiri dari unsur pemerintah, konsumen dan pelaku
usaha.
Laporan tahunan Dirjen SPK pada tahun 2012, Hlm. 75.
8
2.
3.
4.
5.
6.
Unsur pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berasal
dari satuan kinerja perangkat daerah pada pemeritah provinsi atau
kabupaten/kota setempat.
Unsur konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari
wakil LPKSM yang berada diwilayah DKI Jakarta khusus untuk
Provinsi DKI Jakarta atau kabupaten/kota setempat.
Dalam hal LPKSM sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum
terbentuk unsur konsumen dapat berasal dari tokoh masyarakat
setempat.
Unsur pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal
dari wakil organisasi perusahaan dan atau berasal dari organisasi
pengusaha yang berada diwilayah kabupaten/kota setempat.
Setiap unsur sebagaiamana yang dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan
ayat (5) berjumlah paling sedikit 3 orang dan paling banyak 5 orang
disesuaikan dengan beban kerja BPSK setempat.
Dalam ketentuan pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) Kepmenperindang
Nomor. 301 Tahun 2001 Tentang pengangkatan, pemberhentian, anggota
dan sekretariat BPSK mengatur bahwa sebelum melaksanakan tugasnya
anggota BPSK wajib mengucapkan sumpah dihadapan bupati atau walikota
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan
anggota sekretariat wajib mengucapkan sumpah dihadapan ketua BPSK
sesuai dengan peraturannya.
B.
Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Di Daerah
Dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK), yang mengatur tentang perlindungan terhadap
konsumen menegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Dengan kata lain
UUPK secara tegas telah memberikan jaminan perlindungan terhadap
konsumen, jika konsumen dirugikan oleh pelaku usaha maka dapat
diselesaikan melalui jalur litigasi (melalui pengadilan) dan jalur nonlitigasi
(tidak melalui pengadilan). Penyelesaian melalui lembaga litigasi dianggap
kurang efisien baik waktu, biaya, maupun tenaga,sehingga penyelesaian
melalui lembaga non litigasi banyak dipilih oleh masyarakat dalam
menyelesaikan sengketa dimaksud. Meskipun demikian pengadilan juga
tetap akan menjadi muara terakhir bila di tingkat non litigasi tidak menemui
kesepakatan.9
sengketa
Sebagai lembaga yang berwenang menangani dan menyelesaikan
antara pelaku usaha dengan konsumen, BPSK dalam
9
Aries Kurniawan, Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Penyelesaian
Sengketa Konsumen, Kompas 6 Agustus 2008, hlm.3.
9
kewenangannya dapat menempuhnya dengan cara mediasi, konsiliasi atau
arbitrase. UU perlindungan konsumen tidak mendefinisikan apa itu mediasi,
konsiliasi atau arbitrase di bidang perlindungan konsumen. Hal ini
kemudian dijelaskan lebih jauh dalam Keputusan Menperindag No. 350
Tahun 2001 tentang Tugas dan Wewenang BPSK.
Dalam Kepmen tersebut, mediasi diartikan sebagai proses
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan BPSK sebagai
penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Proses
konsiliasi mirip dengan mediasi. Bedanya, dalam proses konsiliasi, BPSK
hanya mempertemukan para pihak yang bersengketa. Sementara arbitrase
adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang
dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya
penyelesaian sengketa kepada BPSK. Adapun kendala yang dimaksud
adalah:10
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Kendala kelembagaan.
Kendala pendanaan.
Kendala Sumber Daya Manusia BPSK.
Kendala Peraturan.
Kendala Pembinaan dan Pengawasan, dan Rendahnya Koordinasi
antara Aparat Penanggung Jawab.
Kendala Kurangnya Sosialisai Terhadap Kebijakan Perlindungan
Konsumen.
Kendala Kurangnya Respon Masyarakat Terhadap UU Perlindungan
Konsumen dan lembaga BPSK.
Susanti juga menyinggung problem yang muncul dalam eksekusi
putusan BPSK. Berdasarkan Pasal 54 Ayat (3) UU Perlindungan Konsumen,
putusan BPSK dari hasil konsilitasi, arbitrase,dan mediasi bersifat final dan
mengikat. Final berarti dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan para
pihak. Prinsip res judicata pro vitatate habetur-suatu putusan yang tidak
mungkin lagi untuk dilakukan upaya hukum-dinyatakan sebagai putusan
yang mempunyai kekuatan hukum pasti.11
Berdasarkan prinsip demikian, putusan BPSK mestinya harus
dipandang sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap
(inkracht van gewijsde). Namun, coba bandingkan prinsip tersebut dengan
Pasal 56 Ayat (2) UU Perlindungan Konsumen.Para pihak ternyata masih
bias mengajukan ‘ keberatan’ ke Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari
setelah pemberitahuan BPSK. Hal ini bertentangan dengan sifat putusan
BPSK yang bersifat final dan mengikat.
10
Susanti Adi Nugroho, Mencari Ujung Tombak Penyelesaian Sengketa Konsumen, Hukum
Online, 9 Agustus 2015, hlm.1.
11
Ibid, hlm 35
10
Masalah juga timbul pada saat eksekusi. Agar mempunyai
kekuatan eksekusi, putusan BPSK harus dimintakan penetapan (fiat
eksekusi) ke pengadilan. Dalam praktek, tidak mungkin memintakan
penetapan eksekusi karena belum ada peraturan atau petunjuk tentang tata
cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK. Perma No. I Tahun 2006
tentang cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK pada hakikatnya
hanya mengatur mengenai pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK.
Pasal 2 Perma ini menegaskan bahwa yang bias diajukan keberatan adalah
terhadap putusan arbitrase BPSK. Sedangkan keberatan mengenai putusan
konsiliasi atau mediasi, serta penetapan eksekusi sama sekali tidak diatur.
BPSK ini sebenarnya diadopsi dari model Small Claims Tribunal,
dalam tatanan konsep memiliki potensi menjadi pilihan penyelesaian
sengketa konsumen yang diminati. Potensi-potensi tersebut antara lain :
BPSK menjembatani antara mekanisme ADR (Alternatif Dispute
Resolution) yang simple dan fleksibel dengan mekanisme pengadilan yang
dimiliki otoritas; perpaduan ketiga unsure yang seimbang (Konsumen,
pelaku Usaha dan pemerintah) dalam BPSK merupakan kekuatan dalam
menyelaraskan konflik kepentingan; BPSK berfungsi sebagai “ Quasi
Pengadilan Plus” (fungsi ajudikasi dan non ajudikasi); dan berdasarkan
konsep yuridisnya BPSK berkedudukan di setiap Kota/Kabupaten. Jadi
setidaknya jika dijalankan dengan baik BPSK telah memenuhi prinsip
pengelolaan lembaga penyelesaian sengketa.12
Dalam konteks sengketa konsumen, kehadiran BPSK yang
dibentuk pemerintah, semestinya bisa menjadi bagian dari upaya
perlindungan konsumen ketika sengketa dengan pelaku usaha. Pemerintah
sebagai institusi pembentuk BPSK rasanya kurang serius dalam
pengembangan BPSK sehingga benar-benar bisa menjadi optimal.Kesan
umum yang nampak baik pemerintah pusat maupun daerah lebih sibuk
mengejar dan melayani investor dari pada memikirkan kepentingan publik
termasuk hak-hak konsumen. Diantara kendala-kendala yang bersifat
multidimensi dalam pengelolaan BPSK, terdapat dua hal yang menjadi
sumber persoalan yakni keberadaan peraturan perundang-undangan dan
sumber daya manusia. Kedua persoalan tersebut saling terkait dan
menyebabkan munculnya persoalan-persoalan lain yang mengakibatkan
kurang berperannya BPSK selama ini.13
Selain hal tersebut diatas persyaratan bagi anggota BPSK yang
diatur dalam Kepmenperindag RI No. 301/MPP/Kep/10/2001 tentang
Pengangkatan, Pemberhentian, Anggota dan Sekretariat BPSK Nampak
lebih mengedepankan aspek formal dari pada kapasitas maupun
kompetensinya. Misalnya saja persyaratan pangkal/ golongan tertentu
12
Al.Wisnubroto, 2009. Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen Butuh Progresivitas,
Hukum Online.Com, 9 Mei 2015.
13
Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999,hlm.17.
11
(minimal Pembina/Iva) bagi anggota BPSK dari unsur pemerintah seringkali
mempersulit dalam pencarian dan perekrutan orang yang tepat. Pada
umumnya pegawai pemerintah di daerah dengan golongan pangkat tersebut
telah menduduki jabatan yang penting. Establish dan tentunya’ amat sibuk’
dengan tugas dinasnya sehingga sulit terlibat aktif dan progresif di BPSK.
Padahal SDM sangat penting dalam menunjang operasional dan
pengembangan BPSK.
Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
diatur dalam UUPK No. 8 Tahun 1999 Bab XI Pasal 49 sampai Pasal 58.
Pada Pasal 49 ayat (1) dinyatakan bahwa pemerintah membentuk badan
penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan. Badan ini merupakan peradilan kecil
(Small Claim Court) yang melakukan persidangan dengan menghasilkan
keputusan secara cepat,sederhana dan dengan biaya murah sesuai dengan
asas peradilan. Disebut cepat karena harus memberikan keputusan dalam
waktu maksimal 21 hari kerja ( Pasal 55), dan tanpa ada penawaran banding
yang dapat memperlama proses pelaksanaan keputusan (Pasal 56 dan Pasal
58). Sederhana karena proses penyelesaiannya dapat dilakukan sendiri oleh
pihak yang bersengketa, dan murah karena biaya yang dikeluarkan untuk
menjalani proses persidangan sangat ringan.
Prosedurnya penyelesaian sengketa cukup sederhana, konsumen
yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa langsung datang ke BPSK
Provinsi dimana mereka berada dengan membawa permohonan
penyelesaian sengketa, mengisi form pengaduan dan juga berkasberkas/dokumen yang mendukung pengaduannya. Pihak-pihak yang
berpekara di BPSK tidak dikenai biaya perkara alias gratis. Sementara biaya
operasional BPSK ditanggung APBD. Selain bebas biaya, prosedur
pengaduan konsumen pun cukup mudah, yaitu hanya membawa barang
bukti atau bukti pembelian/pembayaran, dan kartu identitas (KTP). Formulir
pengaduan disediakan di sekretariat BPSK. Pihak BPSK lalu akan
melakukan pemanggilan pada pihak-pihak yang bersengketa guna
dipertemukan dalam prasidang.
Dari prasidang itu bisa ditentukan langkah selanjutnya apakah
konsumen dan pelaku usaha masih bisa didamaikan atau harus menempuh
langkah-langkah penyelesaian yang telah ditetapkan antara lain dengan
konsiliasi, mediasi, atau arbitrase. Penyelesaian sengketa konsumen
dilakukan dalam bentuk kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian tertulis
yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, yang dikuatkan
dalam bentuk keputusan BPSK (SK No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 6). Putusan yang
dikeluarkan BPSK dapat berupa perdamaian, gugatan ditolak, atau gugatan
dikabulkan.
12
Meski memiliki kewenangan dalam memutuskan sengketa antara
konsumen dengan pelaku usaha, tetapi tidak banyak konsumen yang mau
mempercayakan penyelesaian sengketanya kepada BPSK. Hal ini
disebabkan substansi pengaturan, prosedur dan mekanisme penyelesaian
sengketa banyak mengandung kelemahan dan saling bertentangan sehingga
BPSK tidak dapat berperan banyak dalam penyelesaian sengketa konsumen.
Dalam hubungan tersebut diatas, agar BPSK sebagai lembaga yang
diberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa konsumen dapat berperan
aktif, perlu penguatan peran BPSK dimasa akan datang, yaitu pertama
dengan perubahan terhadap kaedah-kaedah yang mengatur BPSK, kedua
mendesain BPSK dengan memadukan model pengadilan dan model ADR
(Altenative Dispute Resolution) yang “khas” Indonesia. Hal ini Nampak
misalnya dari konsep BPSK yang didasarkan UUPK merupakan salah satu
lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan, namun dalam proses
penyelesaian perkara diatur dengan “ hukum acara” yang amat prosedural
layaknya hukum acara perdata di pengadilan negeri.
Prosedur Penyelesaian Sengketa Konsumen Yang Dilakukan Oleh
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
A.
Prosedur Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan badan baru
yang telah dibentuk oleh pemerintah untuk menyelesaikan sengketa
konsumen di luar pengadilan. Adanya Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara
cepat, mudah, dan murah. Cepat karena undang-undang menentukan dalam
tenggang waktu 21 hari kerja, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
wajib memberikan putusannya hal ini berdasarkan pada Pasal 55 Undangundang Perlindungan Konsumen. Mudah kerena prosedur administratif dan
proses pengambilan putusan yang sangat sederhana, murah terletak pada
biaya perkara yang terjangkau.
Setiap konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat
mengadukan masalahnya kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen,
baik secara langsung, diwakili kuasanya maupun oleh ahli warisnya.
Pengaduan yang disampaikan oleh kuasanya atau ahli warisnya hanya dapat
dilakukan apabila konsumen yang bersangkutan dalam keadaan sakit,
meninggal dunia, lanjut usia, belum dewasa atau warga negara asing.
Pengaduan tersebut dapat disampaikan secara lisan atau tulisan
kepada Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di
Kota/Kabupaten tempat domisili konsumen atau di Kota/Kabupaten terdekat
13
dengan domisili konsumen. Tata cara penyelesaian sengketa konsumen oleh
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diatur dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Kepmenperindag
No. 350/MPP/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen. Proses penyelesaiannya pun diatur
sangat sederhana dan sejauh mungkin dihindari suasana yang formal.14
Undang-undang Perlindungan Konsumen menentukan apabila telah
dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa hal ini
ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (4) Undang-undang Perlindungan
Konsumen. Proses beracara di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
dibagi dalam beberapa tahap yang dimulai dari tahap pengajuan gugatan
sampai pada tahap keputusan dan atau eksekusi putusan.
1.
Tahap Pengajuan Gugatan
Konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa konsumen kepada Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen yang terdekat dengan tempat tinggal konsumen.
Permohonan dapat dilakukan oleh konsumen yang dirugikan sendiri
atau kuasanya atau ahli waris yang bersangkutan jika konsumen telah
meninggal dunia, sakit atau telah berusia lanjut sehingga tidak dapat
mengajukan permohonan sendiri baik secara tertulis maupun lisan,
atau konsumen belum dewasa sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku terhadap orang asing/warga negara asing. Hal
ini berdasarkan pada Pasal 15 ayat (2) dan (3) Kepmenperindag No.
350/MPP/12/2001.
Permohonan yang diajukan secara tertulis, kepada sekretariat
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, selanjutnya sekretariat
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen akan memberikan tanda
terima kepada pemohon. Berdasarkan Pasal 16 Kepmenperindag No.
350/MPP/12/2001 Penyelesaian sengketa konsumen secara tertulis
hendaknya melampirkan dokumen mengenai:
1)
2)
3)
4)
5)
Nama dan alamat lengkap dokumen atau ahli warisnya atau
kuasanya yang disertai dengan bukti diri.
Nama dan alamat lengkap pelaku usaha
Barang dan/atau jasa yang diadukan
Bukti perolehan (bon, faktur, kwitansi, dan dokumen bukti lain)
bila ada.
Keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang
dan/atau jasa tersebut.
14
M Sadar, Moh. Taufik Makarao, Habloel Mawadi. 2012. Hukum Perlindungan Konsumen
di Indonesia. Akademia: Jakarta
14
6)
7)
Saksi yang mengetahui barang dan/atau jasa tersebut diperoleh.
Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa (bila ada).
Permohonan yang diajukan secara lisan, maka sekretariat
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen akan mencatat permohonan
tersebut dalam sebuah formulir yang disediakan secara khusus, dan
dibubuhi tanggal dan nomor registrasi. Apabila permohonan ternyata
tidak lengkap (tidak sesuai dengan Pasal 16 Kepmenperindag No.
350/MPP/12/2001) atau permohonan bukan merupakan wewenang
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, maka Ketua Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen menolak permohonan tersebut. Jika
permohonan memenuhi pensyaratan dan diterima, maka Ketua Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen harus memanggil pelaku usaha
secara tertulis disertai dengan kopi permohonan konsumen, selambatlambatnya 3 hari kerja sejak diterimanya permohonan.
Pemanggilan pelaku usaha terlebih dahulu dibuat surat
panggilan yang memuat hari, tanggal, jam dan tempat persidangan
serta kewajiban pelaku usaha untuk memberikan jawaban terhadap
penyelesaian sengketa konsumen untuk diajukan pada persidangan
pertama (Sesuai Pasal 26 ayat (2) Kepmenperindag No.
350/MPP/12/2001).
Pada tahapan ini, jika pada hari yang telah ditentukan pelaku
usaha tidak hadir memenuhi panggilan, maka sebelum melampaui 3
hari kerja sejak pengaduan, pelaku usaha dapat dipanggil sekali lagi.
Jika pelaku usaha tetap tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka
berdasarkan ketentuan Pasal 52 huruf i Undang-undang Perlindungan
Konsumen jo. Pasal3 huruf i Kepmenperindag N0. 350/MPP/12/2001,
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat meminta bantuan
penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha tersebut. Namun
permohonan bantuan oleh Lembaga Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen kepada penyidik untuk memanggil pelaku usaha secara
paksa ini pada umumnya tidak dipatuhi oleh penyidik, karena
disamping belum adanya sosialisasi kepada penyidik mengenai “tugas
baru” ini juga karena tidak diaturnya secara jelas mengenai bagaimana
proses pemanggilannya dan sanksinya, sedangkan Undang-undang
Perlindungan Konsumen sendiri tidak memberikan penjelasan secara
jelas tentang bagaimana mekanisme penyidik dalam melaksanakan
ketentuan tersebut. Hal inilah yang terkadang menjadi hambatan bagi
para anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam hal
memanggil pelaku usaha untuk menghadiri panggilan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen.15
15
Ahmadi Miru. 2011. Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia.
Rajawali Pers: Jakarta
15
Bagi pelaku usaha yang telah hadir, maka konsumen memilih
cara penyelesaian sengketanya yang harus disetujui oleh pelaku usaha.
Cara yang bisa dipilih dan disepakati para pihak adalah: konsiliasi,
mediasi, atau arbitrase. Jika cara yang dipilih para pihak adalah
konsiliasi atau mediasi, maka Ketua Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen segera menunjuk majelis sesuai dengan ketentuan untuk
ditetapkan sebagai konsiliator atau mediator. Jika cara yang dipilih
oleh para pihak adalah arbitrase, maka prosedurnya adalah para pihak
memilih arbiter dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota
majelis.
Penyelesaian sengketa konsumen oleh Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen dilakukan oleh majelis yang dibentuk
berdasarkan Penetapan Ketua Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen dan dibantu oleh panitra. Majelis tersebut harus berjumlah
ganjil dan paling sedikit terdiri dari 3 anggota Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen yang mewakili unsur pemerintah (sebagai ketua)
dan unsur konsumen dan pelaku usaha masing-masing sebagai
anggota. Sedangkan panitra ditunjuk dari anggota Sekretariat Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen. Persidangan pertama dilaksanakan
selambat-lambatnya hari kerja ke-7 terhitung sejak diterimanya
permohonan.
2.
Tahap Persidangan
Secara keseluruhan ketentuan Pasal26 Kepmenperindag No.
350/MPP/12/2001 tersebut mendorong dan menuntut Ketua Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen berbuat teliti dan cermat tentang
prosedur pemanggilan pada persidangan pertama. Persidangan
pertama harus sudah dilakukan pada hari ke-7 (ketujuh) ini terhitung
sejak permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) telah
dinyatakan dan benar menurut Pasal 16 Kepmenperindag No.
350/MPP/12/2001.16
Maksimal Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
diberi waktu 3 hari kerja untuk memeriksa kelengkapan dan
kebenaran (secara formal) permohonan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (PSK). Pada tahap ini, dituntut sikap aktif Ketua Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen. Jadi maksimal waktu yang dimiliki
Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dari mulai
pemerikasaan kelengkapan dan kebenaran (secara formal)
permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen sampai dengan
dilaksanakannya persidangan pertama, yaitu maksimal 10 hari kerja,
tidak termasuk hari libur nasional.
16
Ibid, hlm. 76
16
Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen mempunyai
kewajiban menjaga ketertiban jalannya persidangan (sesuai Pasal 27
Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001). Terdapat 3 (tiga) tata cara
persidangan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (sesuai Pasal
54 ayat (4) jo. Pasal 26 sampai Pasal 36 Kepmenperindag No.
350/MPP/12/2001), yaitu persidangan dengan cara mediasi, konsiliasi
dan arbitrase.
Ketiga tata cara persidangan tersebut kehadiran kuasa hukum
memang tidak dilarang, baik dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen maupun Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 dalam
Pasal 15 ayat (2) Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 menentukan
sebagai berikut: “Permohonan penyelesaian sengketa konsumen dapat
juga diajukan oleh ahli waris atau kuasanya” bahkan, Pasal5 ayat (5)
surat keputusan tersebut juga menegaskan: “Permohonan penyelesaian
sengketa konsumen yang diajukan secara tidak tertulis harus dicatat
oleh Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan
dibubuhi tanda tangan atau cap jempol dari ahli waris atau kuasanya”.
Ketentuan Pasal 5 ayat (5) surat keputusan ini menyangkut
permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen secara tertulis.
Konsumen yang tidak dapat mengajukan permohonan
Penyelesaian Sengketa dan/atau memenuhi panggilan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, maka tidak ada salahnya kuasa
disitu (bukan kuasa hukum) diperkenankan mengajukan permohonan
Penyelesaian Sengketa Konsumen secara tidak tertulis.
B.
Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Cara Konsiliasi
Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa di antara para
pihak yang melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak.
Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak
yang bersengketa dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. P.C
Rao mendefinisikan konsiliasi sama dengan mediasi. Dalam praktik istilah
mediasi dan konsiliasi mang sering dipertukarkan. Seperti juga mediator,
tugas dari konsiliator hanyalah sebagai pihak fasilitator untuk melakukan
komunikasi diantara pihak sehingga dapat diketemukan solusi oleh para
pihak sendiri. Konsiliator hanya melakukan tindakan, seperti :
1.
2.
3.
Mengatur waktu dan tempat pertemuan oleh para pihak.
Mengarahkan subjek pembicaraan.
Membawa pesan dari satu pihak ke pihak lain jika pesan tersebut tidak
mungkin disampaikan langsung oleh para pihak.
Pada umumnya konsiliator juga dapat mengusulkan solusi
penyelesaian sengketa, tetapi tidak berwenang memutus perkaranya. Pihakpihak yang bersengketa harus menyatakan persetujuan atas usulan pihak
17
ketiga tersebut (konsiliator) dan menjadikannya sebagai kesepakatan
penyelesaian sengketa.17
Konsiliasi bisa bersifat sukarela tetapi juga ada yang bersifat wajib.
Konsiliasi wajib adalah konsiliasi yang wajib dijalankan terlebih dahulu
(diwajibkan oleh undang-undang) sebelum perkaranya diajukan ke
pengadilan. Di banyak negara, konsiliasi wajib ini (kadang-kadang juga
mediasi) misalnya dalam bidang perselisihan perburuhan, perceraian, dan
lain-lain. Berdasarkan Pasal 28 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001
pada penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini, tugas majelis Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah:
1.
Sebagai konsiliator memanggil konsumen dan pelaku usaha yang
bersengketa .
2.
Memanggil saksi-saksi serta saksi akhli, dan bila diperlukan.
3.
Menyediakan forum konsiliasi bagi konsumen dan pelaku usaha yang
bersengketa.
4.
Menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan
perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen.
Berdasarkan Pasal 29 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001,
prinsip tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi ada
2 cara yaitu: pertama, proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut
bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak
sedangkan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bertindak pasif
sebagai konsiliator. Kedua, hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha
dikeluarkan dalam bentuk keputusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.
Penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliasi dilakukan
sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi majelis Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen yang bertidak pasif sebagai konsiliator.
Jadi dalam hal ini, majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak,
baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti kerugian.
Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antar konsumen
dan pelaku usaha yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk
perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa,
dan diserahkan kepada majelis untuk dituangkan dalam keputusan majelis
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang menguatkan perjanjian
tersebut.
17
Adi Nugroho, Susanti. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen ditinjau dari Hukum Acara
serta Kendala Implementasinya, Jakarta: Kencana Group, 2008
18
C.
Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Cara Mediasi
Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian sengketa atau
pemecahan masalah di mana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak
(impartial) bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa membantu
memperoleh kesepatan perjanjian yang memuaskan. Mediasi lebih dikenal
dengan proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan
perantaraan BPSK sebagai penasihat dan penyelesaiannya diserahkan
kepada para pihak.
Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan
sengketa. Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang diserahkan kepadanya. Dalam sengketa di mana
salah satu pihak lebih kuat dan cenderung menunjukkan kekuasaannya,
pihak ketiga memegang peranan penting untuk menyertakannya.
Kesepakatan dapat tercapai dengan mediasi, jika pihak yang bersengketa
berhasil mencapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan
penyelesaian sengketa dengan arahan konkret dari mediator.
Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para
pihak yang bersengketa dengan didampingi mediator. Mediator
menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak,
baik mengenai bentuk maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan
tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali kerugian konsumen.
Dibandingkan dengan proses penyelesaian sengketa melalui
konsiliasi, dalam proses mediasi ini, mediator bertindak lebih aktif dengan
memberikan nasihat, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam
menyelesaikan sengketa. Berdasarkan Pasal 31 Kepmenperindag No.
350/MPP/12/2001, prinsip tata cara penyelesaian sengketa konsumen
dengan cara mediasi ada 2 cara, yaitu:
1.
Proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun
jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak
sedangkan kepada majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
bertindak pasif sebagai mediator.
2.
Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam
bentuk keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian
proses mediasi. Apabila dianggap perlu harus secepatnya, proses ini
merupakan proses penyelesaian sengketa melalui proses mediasi di mana
dalam hal-hal tertentu para pihak baik konsumen atau pelaku usaha masingmasing dimediasikan secara terpisah. Hal ini diperlukan jika para pihak sulit
untuk didamaikan.
Sama halnya dalam konsiliasi pada proses mediasi ini, atas
permintaan para pihak, mediator dapat meminta diperlihatkan alat bukti baik
surat atau dokumen lain yang mendukung dari kedua belah pihak. Atas
persetujuan para pihak atau kuasanya, mediator dapat mengundang
19
seseorang atau lebih saksi atau saksi ahli dalam bidang tertentu untuk
memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang terkait dengan sengketanya.
Jika proses mediasi menghasilkan suatu kesepakatan, para pihak dengan
bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang
dicapai yang ditandatangani oleh para pihak.
Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antara konsumen
dan pelaku usaha yang bersengketa, selanjutnya dibuat dalam bentuk
perjanjian tertulis, yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa
yang diserahkan kepada Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
untuk menguatkan perjanjian tersebut.
D.
Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Cara Arbitrase
Berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, pengertian
arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan,
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa. Dalam proses ini pihak bersengketa
mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga netral dan
memberinya wewenang untuk memberinya keputusan.
Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, para
pihak memilih arbitrator dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku
usaha, unsur pemerintah dan konsumen sebagai anggota majelis. Arbitrator
yang dipilih oleh para pihak, kemudian memilih arbitrator ke-tiga dari
anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah sebagai ketua majelis. Di
dalam persidangan wajib memberikan petunjuk kepada konsumen dan
pelaku usaha yang bersangkutan. Dengan izin ketua majelis, konsumen dan
pelaku usaha yang bersangkutan dapat mempelajari semua berkas yang
berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya.
Pada persidangan dengan cara arbitrase, para pihak menyerahkan
sepenuhnya kepada Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk
memutuskan dan menyelesaikan sengketa yang terjadi. Proses pemilihan
Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen menurut Pasal32
Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 dengan cara arbitrase dapat
ditempuh melalui 2 (dua) tahap, yaitu:
1.
Para pihak memilih arbitor dari anggota Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen yang berasal dari unsur pelaku usaha dan
konsumen sebagai anggota Majelis Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.
2.
Arbitor yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbitor
ketiga dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, jadi
unsur pemerintah selalu dipilih untuk menjadi ketua Majelis.
Pada hari persidangan 1 (pertama), ketua majelis wajib
mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa, dan bilamana tidak
tercapai perdamaian, maka persidangan dimulai dengan membacakan isi
gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usah. Ketua majelis
20
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha yang
bersengketa untuk menjelaskan hal-hal yang persengketakan.
Pada hari persindangan 1 (pertama) sebelum pelaku usaha
memberikan jawabannya, konsumen dapat mencabut gugatannya dengan
membuat surat pernyataan. Dalam hal gugatan dicabut oleh konsumen,
maka dalam persidangan, pertama majelis wajib mengumumkan bahwa
gugatan dicabut. Apabila dalam proses penyelesaian sengketa konsumen
terjadi perdamaian antara konsumen dan pelaku usaha yag bersengketa,
majelis membuat putusan dalam bentuk penetapan perdamaian.
Dalam hal pelaku usaha dan konsumen tidak hadir pada hari
persidangan 1 (pertama) majelis memberikan kesempatan terakhir kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk hadir pada persidangan 2 (kedua) dengan
membawa alat bukti yang diperlukan. Persidangan ke 2 (kedua)
diselenggarakan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja
terhitung sejak hari persidangan 1 (pertama) dan diberitahukan dengan surat
panggilan kepada konsumen dan pelaku usaha oleh sekretariat BPSK.
Bilamana pada persidangan ke 2 (dua), konsumen tidak hadir, maka
gugatannya dinyatakan gugur demi hukum, sebalikmya bila pelaku usaha
yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh majelis tanpa
kehadiran pelaku usaha.
Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan konsiliasi atau
mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditanda tangani oleh
konsumen dan pelaku usaha. Perjanjian tertulis dikuatkan dengan keputusan
majelis yang ditanda-tangani oleh ketua dan anggota majelis. Begitu juga,
hasil penyelesaian konsumen dengan cara arbitrase dibuat dalam bentuk
putusan majelis yang ditanda-tangani oleh ketua dan anggota majelis.
A.
Kesimpulan
1.
Implementasi dan prosedur penyelesaian sengketa konsumen pada
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen telah sesuai dengan
ketentuan yang belaku yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen dan Kepmenperindag No. 350/MPP/
12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang dapat di uraikan secara
sederhana.
Sebagai lembaga yang berwenang menangani dan
menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen, BPSK
dalam kewenangannya dapat menempuhnya dengan cara mediasi,
konsiliasi atau arbitrase. Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) diatur dalam UUPK No. 8 Tahun 1999 Bab XI
Pasal 49 sampai Pasal 58. Pada Pasal 49 ayat (1) dinyatakan bahwa
pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di
Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan. Badan ini merupakan peradilan kecil (Small Claim Court)
yang melakukan persidangan dengan menghasilkan keputusan secara
21
B.
cepat,sederhana dan dengan biaya murah sesuai dengan asas
peradilan.
2.
Kefektifan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat dilihat dari
2 aspek yaitu efektif dari proses beracaranya karena proses beracara
yang mudah, cepat, dan murah dan tidak efektif dari pelaksanaan
putusannya karena terhadap putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen yang bersifat final masih dimungkinkan adanya upaya
keberatan di peradilan umum.
Saran
1.
Pentingnya sosialisasi secara berkala oleh Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) kepada para pelak usaha, mengingat
bahwa pentingnya kedudukan lembaga tersebut dalam menyesaikan
masalah-masalah perlindungan konsumen. Agar kepentingan dan hakhak konsumen tidak lagi terabaikan.
2.
Diharapakan semua pihak yang terlibat dapat partisipasi aktif baik itu
konsumen, pelaku usaha, ataupun Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen itu sendiri agar putusan tersebut tidak lagi menjadi
terkatung-katung sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi
pihak yang bersengketa.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Buku-buku
Adi Nugroho, Susanti. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen ditinjau
dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya, Jakarta:
Kencana Group, 2008.
Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di
Beberapa Negara, (Bandung: Alumni, 1988), hlm. 105.
Barkatullah, AH. Hak-hak Konsumen, Bandung: Nusamedia, 2010.
Burhannudin. Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen danSertifikasi
Halal, (UIN-Maliki Press: Malang, 2011)
Darus Badrulizaman, Mariam. Perlindungan terhadap Konsumen dilihat dari
sudut Perjanjian Baku (standar), Bandung: Binacipta,1986
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati,Hukum Perlindungan Konsumen,
(Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 53
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 1
Philipus
M.Hadjon,
Desember
1997
Tentang
Wewenang
Yuridika,Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hlm. 11
Otje salman Soemadiningrat dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum
(mengingat, mengumpulkan dan membuka kembali), Refika
Aditama, Bandung, 2004, hlm. 156-157.
Rasjidi, Lili., Ira Thania Rasjidi. Pengantar Filsafat Hukum”.Bandung: Maju
Mundur, tahun 2004.
22
2.
3.
Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Pers,
hlm. 100
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010),
hal. 3.
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986,
hal. 122
Singarimbun, Masri., Sofyan Efendi. Metode Penelitian Survei, Jakarta:
LP3ES, 1989.
Widjaja,
Gunawan
.,
Ahmad
Yani.
Hukum
Tentang
PerlinduganKonsumen,Jakarta: Gramedia, 2000.
Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK), Teori dan Praktek Penegakan
Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Hlm.39.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 Tentang Badan Perlindungan
Konsumen Nasional.
Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas Dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Situs Internet
http://vina-20.blogspot.com/2012/11/kasus-perlindungan-konsumen-danuu.html.
http://zahro.wordpress.com, kasus tentang perlindungan konsumen
23
Download