1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah sebagai subyek
hukum dalam aktifitasnya kadangkala terlibat sengketa perdata dengan mitra
bisnisnya atau dengan pihak lain. Oleh karena itu sering terjadi suatu Badan
Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah digugat di pengadilan oleh
mitra bisnisnya atau pihak lain baik atas dasar wanprestasi atau perbuatan
melawan hukum.
Suatu gugatan perdata pada umumnya berisi tuntutan yang bersifat
materiil, yakni berupa pembayaran sejumlah uang atau penyerahan suatu barang
yang harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh pihak lawan manakala gugatan
tersebut dikabulkan.
Agar suatu gugatan tidak menjadi sia-sia (illusoir), biasanya suatu
gugatan perdata disertai tuntutan/ permintaan agar dilakukan penyitaan ( sita
jaminan ) terhadap barang yang menjadi sengketa dan/ atau harta kekayaan milik
tergugat sebagai jaminan dapat dilaksanakannya putusan pengadilan dalam hal
gugatan dikabulkan dan pihak tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan
pengadilan secara sukarela. Apabila gugatan penggugat dikabulkan dan sita
jaminan dinyatakan sah dan berharga di dalam putusan pengadilan dan putusan
tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka sita jaminan tersebut
demi hukum berubah menjadi sita eksekutorial sehingga barang-barang yang
diletakkan sita jaminan tersebut dapat dieksekusi untuk memenuhi putusan
pengadilan apabila pihak tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan
1
pengadilan secara sukarela.
Dalam hal suatu
gugatan
perdata
yang
memenangkan penggugat tidak disertai permintaan sita jaminan atau
permohonan sita jaminan ditolak oleh hakim, dan tergugat tidak bersedia
melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela, maka atas permohonan
penggugat akan dilakukan sita eksekutorial oleh pengadilan terhadap barang
yang menjadi obyek sengketa dan/ atau harta kekayaan milik tergugat guna
memenuhi tuntutan penggugat .
Di dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara ditentukan sebagai berikut:
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 1, meliputi :
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. Kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/ perusahaan daerah;
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/ atau layanan umum;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
Selanjutnya di dalam Pasal 50 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharan Negara ditentukan sebagai berikut:
Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap :
a. Uang atau surat berharga milik negara/ daerah baik yang berada pada
instansi pemerintah maupun pada pihak ketiga;
b. Uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/ daerah;
c. Barang bergerak milik negara/ daerah baik yang berada pada instansi
pemerintah maupun pada pihak ketiga;
2
d. Barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/ daerah;
e. Barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/ daerah yang
diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan;
Dalam praktek peradilan seolah sudah menjadi yurisprudensi tetap bahwa
terhadap harta kekayaan
Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik
Daerah tidak dapat dilakukan penyitaan. Hal tersebut didasari oleh suatu
persepsi bahwa harta kekayaan Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik
Daerah termasuk dalam lingkup keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
sehingga karenanya tidak dapat dilakukan penyitaan, sesuai dengan ketentuan
Pasal 50 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Demikian
pengertian Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1
angka 1 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara.
Di dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara ditentukan bahwa terhadap Persero berlaku segala ketentuan
dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur
dalam Undang- undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Sedangkan di dalam Pasal 34 ditentukan bahwa terhadap Persero Terbuka berlaku
ketentuan Undang- undang Nomor 19 Tahun 2003 dan Undang- undang Nomor 1
Tahun 1995 sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal.
3
Dari ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 11 dan Pasal 34 Undang- undang
Nomor 19 Tahun 2003 tersebut dapat disimpulkan bahwa Badan Usaha Milik
Negara khususnya yang berbentuk Persero dan Persero Terbuka pada hakekatnya
adalah suatu badan hukum privat yang sifat dan kegiatannya tidak berbeda dengan
perseroan terbatas pada umumnya. Dalam konteks ini, dengan melakukan
penyertaan secara langsung, negara berkedudukan sebagai pemegang saham. Oleh
karena itu Badan Usaha Milik Negara khususnya yang berbentuk Persero dan
Persero Terbuka kedudukannya sebagai pihak di dalam suatu sengketa perdata
adalah sama dengan subyek hukum perdata yang lain, sehingga terhadap harta
kekayaannya seharusnya dapat dilakukan penyitaan.
Dari pengalaman penulis sebagai aparat pengawasan pada Badan
Pengawasan Mahkamah Agung RI selama lebih dari lima tahun, cukup banyak
pengaduan dari pencari keadilan sehubungan dengan tidak dilaksanakannya
eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
dikarenakan pihak termohon eksekusi adalah Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah.
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana terurai di atas, penulis
terdorong untuk mengadakan sebuah penelitian secara normatif mengenai
permasalahan tersebut untuk selanjutnya dituangkan di dalam sebuah tesis
dengan judul “Tinjauan Yuridis Penyitaan Harta Kekayaan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Dalam Sengketa
Perdata”.
4
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
1. Bagaimanakah status harta kekayaan (asset) Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dilihat dari perspektif
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara dan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas ?
2. Apakah penyitaan terhadap harta kekayaan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di dalam sengketa perdata
merupakan sesuatu yang dilarang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 50
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ?
C. Keaslian Penelitian
Penulis tidak memiliki data apakah telah ada penelitian sebelumnya
mengenai permasalahan penyitaan harta kekayaan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam sengketa perdata.
Pendapat mengenai hal terkait status harta kekayaan BUMN/ BUMD dalam
konteks keuangan negara telah banyak disampaikan oleh para ahli hukum dalam
berbagai forum dan melalui berbagai media, tetapi pada umumnya hal tersebut
disampaikan terkait dengan tindak pidana korupsi yang terjadi di BUMN/
BUMD. Jadi pendapat-pendapat tersebut pada umumnya disampaikan terkait
dengan parmasalahan apakah perbuatan melawan hukum
oleh Direksi atau
Komisaris yang merugikan BUMN/ BUMD dapat dikualifisir sebagai “dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” sehingga harus
5
dipandang sebagai tindak pidana korupsi, mengingat kekayaan BUMN/ BUMD
berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Pembahasan secara spesifik mengenai penyitaan uang milik BUMN
dipaparkan secara singkat oleh Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara
Perdata. Selain itu terdapat satu makalah berjudul “Sita Atas Harta Kekayaan
BUMN/BUMD Persero” yang disampaikan oleh Tim F dalam Rapat Kerja
Nasional Mahkamah Agung RI tahun 2010 di Balikpapan.
Berdasarkan penelusuran penulis hanya menemukan satu penelitian yang
membahas mengenai kedudukan BUMN Persero dalam kaitannya dengan
pemisahan kekayaan negara pada permodalan BUMN pernah dilakukan oleh
Inda Rahadiyan dalam tesisnya yang berjudul “KEDUDUKAN BUMN
PERSERO SEBAGAI SEPARATE LEGAL ENTITY DALAM KAITANNYA
DENGAN PEMISAHAN KEUANGAN NEGARA PADA PERMODALAN
BUMN” (2013).
Pendapat-pendapat dari para ahli yang telah ada tersebut menjadi salah
satu rujukan bagi penulis dalam penelitian ini, tetapi penulis pastikan bahwa
dalam penulisan tesis ini penulis tidak ingin sekedar mengamini terhadap
pendapat-pendapat yang telah ada tersebut. Ketertarikan penulis untuk
mengangkat permasalahan ini karena terinspirasi oleh pengalaman penulis pada
waktu bertugas sebagai di Asisten Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung
RI. Pada suatu hari sekitar tahun 2006-2007 telah datang seorang ketua
pengadilan negeri yang ingin menghadap Ketua Muda Pengawasan Mahkamah
Agung untuk berkonsultasi mengenai permasalahan yang dihadapinya, yakni
sehubungan ia telah diperintahkan oleh ketua pengadilan tinggi untuk
menerbitkan penetapan non eksekutabel terhadap suatu putusan Mahkamah
6
Agung yang dimohonkan eksekusi, padahal sebagian tahapan dari proses
eksekusi telah ia laksanakan. Perintah ketua pengadilan tinggi tersebut
mendasarkan pada ketentuan mengenai larangan menyita barang milik negara
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, hal mana
disebabkan karena pihak termohon eksekusi dalam perkara terasebut adalah PT.
Pertamina Persero.
Untuk lebih mempertajam pembahasan permasalahan dalam penelitian
ini penulis melakukan pendekatan kasus dengan melakukan telaah terhadap
kasus konkrit sebagaimana penulis ilustrasikan di atas.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengethui tentang status harta kekayaan (asset) Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dilihat dari
perspektif Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara dan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
1. Untuk mengetahui apakah penyitaan terhadap harta kekayaan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di dalam
sengketa perdata merupakan sesuatu yang dilarang sebagaimana ditentukan
dalam
Pasal
50
Undang-undang
Nomor
1
Tahun
2004
tentang
Perbendaharaan Negara.
7
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi yang
lebih mendalam bagi para praktisi hukum khususnya para hakim dalam
menangani kasus konkrit yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara/ Badan
Usaha Milik Daerah, sehingga tidak akan mengalami kegamangan dalam
menghadapi permasalahan mengenai dapat atau tidaknya dilakukan penyitaan
terhadap harta kekayaan Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik
Daerah.
2. Manfaat Teoritis
Hasil
penelitian
ini
diharapkan
akan
memiliki
manfaat
pada
pengembangan ilmu hukum, khususnya bidang hukum acara perdata dan
hukum korporasi.
8
Download