Prot. N. 0046/2013 Roma, 1 Maret 2013 Surat untuk tanggal 14

advertisement
SUPERIOR JENERAL
KONGREGASI IMAM IMAM HATI KUDUS YESUS
Dehoniani
____________________________________________________________________________
Prot. N. 0046/2013
Roma, 1 Maret 2013
Surat untuk tanggal 14 Maret: Hari Peringatan Kelahiran P. Dehon
Hari Panggilan Dehonian
Para Konfrater yang terkasih,
Satu dari antara teks-teks yang banyak dikutip dari Pedoman Hidup kita, adalah paragraf 7,
yang mengungkapkan harapan P. Dehon bahwa para dehonian menjadi “nabi cinta kasih dan
pelayan perdamaian”. Tahun ini, dengan menulis surat kepada kongregasi dalam kesempatan
peringatan kelahiran P. Dehon, kami hendak mengingatkan panggilan besar dalam kongregasi
ini. Tanggal 14 Maret adalah hari panggilan dehonian. Adalah hari di mana kita
mengenangkan panggilan kita, tetapi juga merupakan dorongan untuk mengundang yang lain
menyatukan dirinya dengan kita sebagai komunitas. Mari kita mengundang yang lain karena
kita yakin akan pentingnya meneruskan pelayanan kasih dan pemulihan dalam Gereja dan
dalam dunia.
Surat pengantar tentang panggilan kita ini dilampiri dengan sebuah surat imajitatif dari P.
Dehon kepada Kongregasi mengenai tema tahun ini. Penulis yang menempatkan diri sebagai
P. Dehon tidak menggunakan istilah “pemulihan-rekonsiliasi”. Dalam tulisan-tulisannya ada
sebuah tema, yang disebutnya sebagai redamatio, yaitu pertukaran kasih dengan kasih: Kami
mempercayakan diri kami dalam kasihNya dan kami balas dengan kasih kami (NQT 1, 99).
Kata-kata ini mengundang kita untuk melihat pemulihan berpijak pada kasih yang telah kita
terima.
Salah satu bagian dari perutusan kita adalah mengundang yang lain untuk bersatu dengan kita
dalam doa dan dalam tindakan pemulihan. Kita lakukan dengan kesadaran bahwa kita ingin
menjadi bagian dari sebuah karya yang bukan dari usaha kita melainkan dari belas kasih
Allah. Ini adalah anugrah paling besar dari Injil bagi kita di masa sekarang ini. Berapa banyak
dari antara kita yang tinggal di Negara-negara belahan bumi utara yang menemukan betapa
sulitnya mendengarkan warta injil ini. Ada keraguan besar dan ketidakpastian, terutama di
kalangan kaum muda, untuk menerimanya sebagai suatu anugrah bagi mereka. Dalam
beberapa decade terakhir, karena pengaruh sekularitas dalam kesadaran religius, tetapi juga
karena skandal dalam berbagai bentuk, hidup religius dan komitmen untuk menegakkan
kerajaan Allah menjadi kurang begitu menarik. Situasi ini memberikan kesulitan khususnya
dalam pastoral panggilan. Kita bersyukur ketika mendengar bahwa para konfrater di beberapa
negara menemukan cara-cara yang inovatif untuk berkomunikasi dengan kaum muda dan
Via Casale di San Pio V, 20
00165 – Roma
ITALIA
Tel.: (39) 06.660.560 * Fax: (39) 06.660.56.317
E-Mail: [email protected]
www.dehon.it
remaja. Berapa di antara kita yang hidup di belahan bumi selatan, yang digembirakan dengan
banyak kaum muda yang berminat terhadap hidup membiara, sangat menyadari adanya
banyak tantangan, juga dalam kesadaran bahwa kondisi dari hidup yang modern, global, dan
sekuler telah menjadi awal dari perjalanan mereka.
Pada saat ini kita juga mengakui hidup dan vitalitas spiritual dari para awam dehonian yang
menemukan dalam diri p. Dehon sebuah inspirasi bagi hidup mereka. Di tahun terakhir ini,
Pimpinan Jendral telah mengambil inisiatif untuk memberi kemungkinan agar lebih banyak
kaum awam dehonian yang masuk dan terlibat dalam spiritualitas P. Dehon. Sebuah
kelompok kecil dehonian telah mulai membangun sebuah perjalanan spiritual yang akan
membantu siapapun yang berkeinginan mengenal P. Dehon dan spiritualitas kita untuk
menemukan sebuah jalan untuk memasukinya. Kita berharap agar tahun depan bisa
menyelesaikan versi pertama dari karya ini.
Tahun ini, tanggal 14 Maret jatuh di tengah masa pra Paskah. Bagi orang-orang kristiani,
pemulihan terkait dengan kisah wafat dan kebangkitan Kristus. Kesulitan untuk merobohkan
tembok-tembok yang dibangun oleh umat manusia di sekeliling diri mereka untuk melindungi
diri dari yang lain menjadi sangat jelas bagi kita dalam pengucilan, hukuman dan kematian
Yesus. Pada dasar pemulihan dan pertobatan ditemukan penderitaan dan kematian Yesus.
Kebebasan dan kehidupan yang ditebus oleh Yesus melalui kematianNya, menyatakan
kekutan Roh Kudus atas dunia dengan yang kita sebut sebagai kebangkitan Yesus. Itulah
mengapa kisah kebangkitan penuh dengan keinginan akan perdamaian dan akan kekuatan
pengampunan. Dan Tubuh Kristus yang dibagikan dan dibangkitkan, dilambangkan dengan
luka-luka di lambungNya, yang telah menyatukan para murid yang putus asa, ketakutan dan
kecil hati, dalam sebuah komunitas yang baru. Ingatan akan kekerasan – luka-luka di tangan,
kaki, dan lambung Yesus, menetap sebagai tanda tertulis pada tubuh dari Dia yang telah
bangkit. Adalah Kristus tersalib yang ada bersama dan dalam Allah. Kekerasan dunia
dilakukan di hadapan kehadiran Allah yang memulihkan. Salib menjadi simbol dari
kemungkinan transformasi manusia ke dalam sebuah komunitas yang terpulihkan.
Dan inilah panggilan yang kita miliki untuk dihidupi dan untuk mengundang yang lain untuk
berbagi. Semoga kita mendapatkan saat yang indah dalam mengenang P. Dehon dan karya
pemulihannya, serta melakksanakan dalam keluarga dehonian-nya.
Dalam Hati Kristus
_____________________
José Ornelas Carvalho
Superior Jendral
2/10
14 Maret 2013
Anak-anaku yang terkasih,
Saya sangat senang menerima permintaan untuk menyapa kalian pada kesempatan
tahunan ini, tetapi saya harus mengakui bahwa kegembiraanku tercampur dengan
keterkejutan. Hal ini bukan karena seolah-olah saya telah gagal meninggalkan kalian tanpa
kesaksian yang lebih dari cukup tentang visi saya dan cita-cita saya untuk kehidupan
bersama kita. Memang, salah satu dari penulis biografi saya telah dengan tepat mengatakan
bahwa tulisan-tulisan saya yang telah diterbitkan itu seperti sebuah hutan yang luas di mana
orang akan ragu-ragu untuk memasukinya karena akut akan tersesat.i Namun demikian saya
tidak ragu-ragu menanggapi kalian. Sejak hari-hari saya sebagai seorang seminaris di Roma
saya telah yakin akan kebijaksanaan dari ajaran St. Agustinus bahwa kiranya tidak ada orang
yang harus begitu kontemplatif sehingga dalam kontemlasinya ia tidak memikirkan kebutuhan
sesamanya; atau ia harus sangat aktif sehingga ia tidak mencari Allah dalam kontemplesasi
(NHV VI, 54).ii Bahkan di surga, kita memenuhi perintah ganda yaitu kasih kepada Allah dan
kasih kepada sesama. Tentu saja, tak usah dikatakan, bahwa saya tidak perlu menyingkapkan
tabir bahwa saya telah berbagung dengan Yesus, pendahulu kita, yang telah menjadi Imam
besar kita untuk selama-lamanya menurut peraturan Melkisedek (Ibr 6:19-20).
Tetapi kemudian saya lebih terkejut lagi ketika saya mengetahui bahwa kalian ingin
supaya saya menulis tentang tema Rekonsiliasi (Pendamaian). Seperti kalian ketahui dengan
baik, “rekonsiliasi” bukanlah bahan bahasan yang menerima banyak perhatian selama hidup
saya. Dalam Dictionnaire de Théologie-nya (Kamus Teologi) Abbé Bergier, yang merupakan
buku referensi standar pada waktu itu, di bawah judul Réconciliation (Pendamaian) dikatakan:
lihat Rédemption (Penebusan). Dan sejauh saya ingat dengan baik, bahkan Pater Franzelin,
profesor teologi saya yang paling terpelajar – dan suci - , hanya sekilas saja menyinggung
tentang “rekonsiliasi”. Bahkan dalam “hutan luas” tulisan-tulisan saya, tentu saja saya
mengutip perikop-perikop penting dalam surat-surat St. Paulus di mana ia mengacu padanya,
tetapi saya tidak pernah secara khusus mengembangkan ajaran-ajarannya dengan sangat rinci.
Sebaliknya, dalam tulisan-tulisan saya, kususnya dalam meditasi-meditasi saya, saya berfokus
pada apa yang oleh para penulis rohani klasik disebut sebagai “misteri hidup Kristus”:
penjelmaan dan kelahiran-Nya, ajaran-ajaran dan mukjizat-mukjizat-Nya, sengsara, kematian
dan kebangkitan-Nya, terutama ketika Ia melanjutkan hidupnya sebagai yang bangkit di
antara kita dalam Ekaristi.
Di sisi lain, Paulus tidak mengenal Yesus dari Galilea, dan surat-suratnya sendiri
mendahului Injil-injil tertulis. Jadi, tidak mengherankan, dia menunjukkan sedikit minat akan
Yesus duniawi sebelum penderitaan, wafat dan kebangkitanNya. Daripada berfokus pada
detail-detail hidup Yesus, Paulus lebih memperhatikan apa yang Ia capai: efek abadi dari
“karya-Nya”. Paulus menggunakan serangkaian sekitar belasan kata-kata untuk menunjukkan
3/10
pelbagai aspek dari “karya” ini. Di antaranya, yang paling penting adalah: pembenaran,
penebusan, keselamatan, dan rekonsiliasi (pendamaian).
Dengan perjalanan waktu,
penebusan dan keselamatan telah berfunsi sebagai istilah umum untuk seluruh karya Kristus.
Namun masing-masing dari banyak gambaran atau metafora ini mengungkapkan sebuah
aspek khas dari misteri Kristus dan karya-Nya; tidak ada satu pun dari mereka itu – atau
bahkan semuanya bersama-sama – kiranya akan memadai untuk mengungkapkan makna
penuh dari “karya” Kristus.iii Karena seperti sang penginjil meyakinkan kita, jika semua yang
Yesus katakan dan lakukan dituliskan, “agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab
yang harus ditulis itu” (Yoh 21: 25). Deus semper maior (Allah selalu lebih besar).
Ajaran St. Paulus tentang penebusan/keselamatan jelas tidak sepenuhnya tertampung
dalam gagasan tentang rekonsiliasi. Tetapi konsekuensi dari dosa tidak hanya memerosotkan
manusia kepada sebuah keadaan yang menyedihkan, tetapi juga mengakibatkan pemisahan
dari Allah.iv Jadi dari antara semua istilah yang ia gunakan, hanya “rekonsiliasi” yang
menaruh perhatian pada aspek interpersonal dari karya Kristus demi kita. Inilah bagaimana
kata itu sudah dipahami dalam budaya Yahudi dan Yunani. Misalnya, seseorang yang
membawa persembahan ke altar harus “pergi dahulu dan berdamai dengan saudaranya”
sebelum ia layak mempersembahkan persembahannya kepada Allah (Mat 5: 23-24). Dan
seorang wanita yang bercerai dengan suaminya “harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai
dengan suaminya” (1 Kor 7:11).
Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus tampaknya menjadikan rekonsiliasi
tujuan terakhir dari pembenaran: “Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup
dalam damai-sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus” (Rom 5:1). Di
sini ia menegaskan bahwa pembenaran, yaitu, tidak memegang pelangaran-pelanggaran kita
untuk melawan kita (2 Kor 5:19), adalah sarana yang memungkinkan kita untuk mencapai
sesuatu yang lain: itu memberi kepada kita akses kepada damai dan persahabatan dengan
Allah. (Seperti dikatakan oleh St. Thomas: “Rekonsiliasi tak lain dari perbaikan
persahabatan” v). Kemudian Paulus melanjutkan dengan menambahkan: “jikalau kita, ketika
masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang
sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!” (Rom 5:10). Dalam
hal ini, rekonsiliasi adalah langkah yang menentukan dalam perjalanan menuju keselamatan.
Dengan kata lain, sekarang kita bukan lagi musuh, melainkan didamaikan berkat wafat
Kristus, kita yakin diselamatkan oleh Yang Bangkit yang menghidupi hidup baru.vi
Persahabatan dengan Dia berarti berbagi dalam kehidupan baru kebangkitanNya. Jadi
rekonsiliasi merupakan hal yang sentral dan memainkan peran penting dalam “karya” Kristus
demi kita. Ini adalah hasil dari dibenarkannya kita dalam Kristus, dan itu adalah undangan
yang menentukan (2 Kor 5:20) – pemberian, rahmat – yang memberi kita akses pada jalan
keselamatan.vii
Seperti kebanyakan dari orang-orang sejaman saya, saya tidak menjadikan ajaran Paulus
tentang rekonsiliasi fokus eksplisit dari studi saya atau kehidupan rohani saya. Sebagai
seorang seminaris di Roma saya menyimpan sebuah “buku harian rohani” di mana saya
4/10
hampir tidak menyebutkan Hati Kudus dan tidak pernah menggunakan ungkapan
konvensional “cinta dan pemulihan”. Sebaliknya, saya sering menggunakan istilah
redamare/redamatio: membalas cinta dengan cinta. “Ketika kita masih seteru, Allah
mengutus Putera-Tunggal-Nya” (Rom 5:10)... Marilah kita membalas cinta dengan cinta”
(NQT I,6-7). “Marilah kita menaruh seluruh keyakinan kita dalam kasih-Nya dan marilah kita
memberikan kepadaNya cinta kita sebagai balasan” (NQT I, 99). Makna teologis dari
“pemulihan” secara etimologis tidak berasal dari akar bahasa Latinnya reparare,
“memperbaiki”, tetapi secara semantis, dalam arti maknanya, berasal dari kata redamare,
yang berarti “membalas cinta dengan cinta.” Seperti halnya Kitab Suci tidak pernah
mengatakan bahwa Allah berdamai dengan manusia berdosa, sama halnya Allah tidak pernah
menjadi subyek pasif dari pemulihan: manusia berdosa tidak memulihkan relasinya dengan
Allah. viii Tanpa menyadarinya pada waktu itu, istilah yang saya pakai –redamatio – secara
serentak mencakup baik spiritualitas Hati Kudus dan pemahaman Paulus tentang pendamaian
dengan Allah. “Bahkan dalam kemuliaan-Mu, ya Tuhan, Engkau menaruh perhatian pada
keselamatan kami. ... Bagaimana mungkin hati kami tidak menanggapi Hati-Mu? Dengan
begitu besar mencintai kami , siapa gerangan yang tidak akan membalas cinta dengan cinta
[redamaret]?” (NQT II, 40). Awalnya, saya tidak berasil melihat hubungan ini karena asumsi
lain yang saya buat tanpa sepenuhnya menyadari konsekuensinya.
Rekonsiliasi tidak persis sama dengan pengampunan. Saya dapat mengampuni
seseorang yang tidak memintanya kepada saya, tetapi untuk berdamai butuh dua pihak.
Rekonsiliasi antara pribadi-pribadi bersifat timbal-balik, lepas apakah keluhannya bersifat
timbal-balik atau tidak. Tetapi, ada satu bentuk rekonsiliasi yang tidak persis bersifat bilateral:
yaitu, ketika pihak yang tidak menjadi penyebab pemisahan selalu tetap setia dalam cintanya
dan kebaikannya kepada pihak lain, dan tidak berhenti menginginkan kembalinya dan
persatuan kembali (ini benar mengenai ayah dalam perumpamaan tentang Anak Yang
Hilang).ix Rekonsiliasi dari seseorang dengan Allah adalah hal yang unik, sehingga istilah
yang dipinjam dari pengalaman umum manusia selalu tidak memadai untuk
mengungkapkannya. Memang benar bahwa kasih Allah yang mendamaikan selalu secara
obyektif ditawarkan, dan setiap individu harus secara bebas, secara subyektif, menerimanya
dan menjadikan miliknya. Tetapi ketika dipahami menurut istilah ini selalu ada bahaya bahwa
itu akan mengarahkan pada spiritualitas intimistis, yaitu “Yesus dan aku”, yang mengabaikan
dimensi sosial, interpersonal dari persekutuan dengan Kristus.
Meskipun saya percaya bahwa saya tidak pernah sepenuhnya jatuh pada perangkap ini,
ia selalu mengintai dalam bayang-bayang lingkungan serupa rumah-kaca, yaitu sekolah dan
seminari. Sebelum saya ditugaskan ke paroki di St. Quantin, di mana saya sehari-hari
berkontak dengan kaum pekerja miskin dan keluarga mereka, ancaman terkurung pada diri
sendiri dengan cepat dan secara permanen hilang. Gambaran obyektif-subyektif dari
rekonsiliasi digantikan oleh sebuah pemahaman vertikal-horisontal yang lebih dinamis dari
rekonsiliasi x sebagai pewujudan – penjelmaan – dari perintah ganda di mana cinta kepada
Allah menghantar saya kepada sesama saya, yang, pada gilirannya, membuatku melihat
kembali wajah menderita Sang Ecce homo [Lihatlah manusia itu] (Yoh 19: 5).
5/10
Saya yakin bahwa kalian sudah akrab dengan pelayanan saya sebagai seorang imam
paroki di Saint Quentin, sebuah kota dengan 30.000 penduduk, kebanyakan dari mereka
adalah Katolik (KTP). Mereka yang tidak menghadiri Misa secara teratur (mayoritas!) jarang
melihat seorang imam. Jauh sebelum Paus Leo XIII mengelurkan seruannya “Pergilah
kepada umat” saya telah mendengar ini sebagai panggilan pribadi saya. Saya memulai
beberapa pelayanan baru – sebuah perkumpulan kaum muda, satu lagi untuk kaum pekerja
muda, yang ketiga untuk sebuah komite para patron. Melalui pelayanan-pelayanan ini dan
karya-karya sosial lain saya mencoba membawa “Karya” Kristus ke dalam hidup mereka.
Dua puluh tahun kemudian saya aktif pada tingkat keuskupan dan regional, dengan
menyelenggarakan konperensi-konperensi tentang pelbagai isu sosial. Saya yakin bahwa
sebagai imam dan biarawan kita perlu tahu tentang ekonomi, bisnis, hukum, tetapi pertamatama dan terutama kita menjadi pewarta Injil, membawa keadilan dan rekonsiliasi ke tempat
kerja. Pada halaman pembukaan dari buku pertama saya tentang masalah sosial, saya
menetapkan nilai-nilai yaitu pandangan tentang masyarakat yang berpusat-pada Kristus ini:
“Setiap pribadi memiliki martabat, tugas kewajiban, dan hak-hak yang tak dapat
dicabut. Apapun kelas sosial seseorang, setiap pribadi dikaruniai tidak hanya dengan
sebuah tubuh yang hidup, tetapi dengan jiwa yang cerdas, bebas dan abadi yang
diciptakan Allah. Lantaran telah datang dari Allah, jiwa ini harus melayani Allah dan
kembali kepada Allah. Apakah jiwa ini hidup dalam tubuh seorang pekerja di dasar
sebuah tambang batubara yang gelap, atau dalam tubuh seorang pemodal yang makan
enak dan hidup dalam pangkuan kemewahan, tidak peduli: dalam kenyataannya,
keduanya memiliki nilai yang sama. Mereka memiliki martabat pribadi yang sama,
tanggung jawab moral yang sama, nasib abadi yang sama, dan keduanya telah diberi
eksistensi duniawi sehingga melalui kebenaran, moralitas, dan agama mereka
mungkin berjuang untuk kehidupan kekal” (OSC II.3).
Saya menyadari, tentu saja, bahwa kesenjangan sosial dan ketidakadilan adalah
masalah yang sulit sekali. “Orang-orang miskin selalu ada padamu” (Mat 26:11). Tetapi
seperti para tukang yang menghabiskan seumur hidup untuk membangun sebuah katedral
abad pertengahan dan tidak pernah melihat selesainya, kita juga harus bekerja untuk
menyumbangkan apa yang kita bisa untuk membuat semuanya sedikit lebih baik.xi
Akhirnya, saya harus mengatakan secara singkat sepatah kata tentang konflik-konflik
pribadi saya dan akibatnya. Tuhan yang baik memberkati saya dengan sebuah disposisi, yaitu
sifat tenang dan menerima yang ditumbuh-kembangkan oleh ibu saya dan kasih sayang ayah
saya. Tetapi Yesus juga mengingatkan kita (atau apakah itu sebuah janji?) bahwa Ia telah
datang tidak untuk membawa damai melainkan pedang, “dan musuh orang ialah orang-orang
seisi rumahnya” (Mat 10:35-36). Berkah ini juga tidak lepas dari hidup saya.
Ketika Pater Germaine Blancal berbagung dengan komunitas kita, ia adalah seorang
6/10
imam tua yang berusia 61 tahun, yang telah menjadi anggota sebuah kongregasi religius yang
didedikasikan kepada Hati Kudus. Dia adalah seorang pengkhotbah terkenal yang banyak
diminati, tetapi pemahamannya tentang devosi kepada Hati Kudus sangat berbeda dari
pemahaman kami. Beberapa orang yang setuju dengan pandangannya, dan menginginkannya
untuk memimpin keluarga religius kita, menyebar-luas-kan surat-surat yang tak kenal belas
kasihan (yang kemudian mereka dengan tulus minta maaf atasnya). Awan badai ini berlalu,
tetapi sejauh saya mampu berusaha, saya tidak dapat menembus dinding di antara kami.
Ketika saya melakukan kunjungan kebapaan ke rumah di mana dia adalah superiornya, saya
menjumpai “intrik, perpecahan, dan sebuah suasana yang jelek” (NQT XII, 62). Ketika
sebuah perselisihan muncul atas utang sebesar 700 franc, saya menyarankan kepada
bendaraha untuk menghapusnya sehingga kami bisa memiliki kedamaian. Kemudian, ketika
kongregasi-kongregasi religius diusir dari Perancis, Pater Blancal terlalu sakit untuk
mengadakan perjalanan. Saya merawatnya sampai ia meninggal secara damai tanpa
penderitaan. Selanjutnya saya memuji dia atas semua keutamaan imamatnya, yaitu kesalehan,
kasih dan kesederhanaan: “Mari kita meneladan dia sambil berdoa untuknya” (LC I, 378).
Sekitar waktu yang sama ketika muncul kesulitan-kesulitan dengan Pater Blancal ,
Uskup Thibaudier, yang selalu menunjukkan perhatian kebapaannya kepada kita dan karyakarya kita, dipindahkan ke Keuskupan Cambrai, dan ia diganti oleh Uskup Jean-Baptiste
Duval. Segera setelah itu saya menulis dalam buku harian saya: “Monsignor [Duval] sangat
curiga. Dia mengorek-ngorek pedang dalam hati terluka saya. Fiat, fiat!” (NQT IV, 104v).
Hal ini berlanjut sampai musim panas: “Hari-hari penuh cobaan.... Penghinaan muncul dalam
ribuan bentuk tersamar” (NQT V, 11v). Mgr. Duval menyuruh saya untuk tinggal di luar
keuskupan selama tiga bulan pada tahun itu (Saya habiskan waktu itu di Roma untuk
membaca secara luas tentang masalah-masalah dan teori-teori sosial). “Saya tidak memiliki
temperamen seorang pejuang. Sifat saya membawa saya untuk bersikap baik terhadap setiap
orang dan saya ingin mereka bersikap sama terhadap saya” (NHV XIII, 23). Sikapnya itu
sering tidak konsisten: meskipun ia mendorong kerasulan sosial saya dan menyarankan imamimam bermaslah untuk berkonsultasi dengan saya, dalam hal-hal yang berkaitan dengan
Kongregasi dan St. Yohanes ia kasar dan keras kepala. xii Pada akhirnya, awal tahun akademik
1893, ia menyuruh saya untuk mengundurkan diri dari sekolah. “Sebuah hari pengorbanan.
Saya meninggalkan St. Yohanes di mana saya telah tinggal selama 16 tahun.... Saya merasa
berat hati dan berlinang air mata. ... Godaan keputusasaan menyerang saya” (NQT VI, 40r).
Dengan menengok ke belakang, saya dapat merayakan rentetan peristiwa-peristiwa
sebagai satu dari berkat providensial terbesar dalam sejarah Kongregasi. Dengan dibebaskan
dari beban untuk sehari-hari mengawasi sekolah itu, saya dapat menjadikan pengembangan
dan perluasan Kongregasi sebagai prioritas utama saya. Selama tiga dekade berikutnya,
Kongregasi yang tidak lagi secara eksklusif menjadi Kongregasi perancis itu membuahkan
kehadiran di seluruh dunia dan dengan mantap didirikan di lima benua. Keanggotaan
meningkat dari 39 imam pada bulan Juli 1893 menjadi hampir empat ratus imam di antara
delapan ratus anggoga yang berkaul pada saat kematian saya pada bulan Agustus 1925.
7/10
Saya tidak pernah memahami apa yang menyebabkan kebencian Mgr. Duval terhadap
saya. Saya merasa tidak mungkin membangun sedikit saja sebuah relasi personal dengan dia.
Bertahun-tahun kemudian saya menjumpai sebuah bagian dari Surat-surat St. Agustus yang
memberikan kepada saya beberapa wawasan: “ Seorang pangeran melayani dengan satu cara
karena ia adalah seorang manusia dan ia melayani dengan cara lain karena ia adalah seorang
penguasa” (bdk. NQT XXXVIII, 64). Uskup Duval mengenakan mantol seorang penguasa
ketika ia berelasi dengan saya, sehingga saya tidak pernah bisa mengembangkan hubungan
pribadi dengan dia. “Sebab saya sendiri seorang bawahan..” (Mat 8:9).
Dalam dunia saat ini ada kesadaran lebih besar akan pentingnya dan perlunya untuk
rekonsiliasi, khususnya di kalangan kelompok-kelompok etnis, tradisi agama, kelas sosial.
Hal ini merupakan sebuah perkembangan positif yang harus kalian sambut dan kembangkan.
Tetapi kalian tidak boleh lupa bahwa sumbernya dan dayanya berasal dari Allah yang ada di
dalam Kristus yang mendammaikan dunia dengan diriNya, tidak memegang (“nyekethem”)
dosa-dosa kita melawan kita, tetapi mempercayakan kepada kita dengan pelayanan
pendamaian (bdk. 2 Kor 5:19). Sebagaimana St. Francis de Sales mengajarkan, “Cinta kita
kepada Allah” (saya akan menambahkan dan kepada sesama kita) “adalah efek khas dan
khusus dari kasihNya kepada kita” (Love of God, buku III, Bab 2). Sejak awal Kongregasi ini
telah diungkapkan dalam Doa Pemulihan harian kita. Ketika Tuhan kita mengundang kita
untuk “Lihatlah Hati ini yang telah begitu banyak mengasihi kalian,” kita menjawab bahwa
“selanjutnya kita akan berusaha untuk membalas cinta dengan cinta” [redamare]” (OSP VII,
271).
Rekonsiliasi adalah membalas cinta dengan cinta. xiii
Yohanes dari Hati Yesus
8/10
i
Manzoni, S.C.J., Giuseppe. Leo Dehon and his Mission. (Tr. Edward Hagman). Hales Corners, WI: Priests of the
Sacred Heart, 1995, hlm. 517.
ii
City of God, XIX, 19.
iii
Meskipun banyak komentaror modern mengacu pada apa yang Kristus kerjakan bagi kita dan demi
keselamatan kita sebagai “peristiwa Kristus” atau “karya” Kristus, Paulus tidak pernah menggunakan salah satu
dari istilah-istilah ini. “Peristiwa Kristus: sebuah ungkapan singkat untuk tindakan penebusanYesus dalam
sejarah. Seperti digunakan oleh para ahli, istilah itu merangkum seluruh peristiwa yaitu penjelmaan, pelayanan
public, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya.” Joseph Ratzinger. Jesus of Nazareth. Part Two. San Francisco,
CA: Ignatius Press, 2011, hlm. 312. Untuk pembahasan yang lebih lengkap tentang “karya-karya” Kristus, bdk.,
Fitzmyer, Joseph A., S.J., “Pauline Theology,” The New Jerome Biblical Commentary. Ed., Raymond E. Brown,
S.S., Joseph Fitzmyer, S.J., Roland E. Murphy, O. Carm. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1990, 1397-1401.
Bdk. juga, Fitzmyer, Joseph A., S.J., “Reconciliation in Pauline Theology.” dalam No Famine in the Land. Studies
in honor of John L. McKenzie. Ed., James W. Flanagan and Anita Weisbrod Robinson. Missoula: MT: Scholars
Press, 1975, hlm. 155-157.
iv
Bdk., Dupont, Jacques. La Réconciliation dans la Théologie de Saint Paul. Bruges-Paris: Desclée de Brouwer,
1953, hlm.5.
v
Dalam 4 Sent., d. 15, q. 1, a. 5, sol. 2, dikutip dalam Dictionnaire de Spiritualité 13, kol. 236.
vi
Bdk., Dupont, Réconciliation, hlm. 29-33,
vii
“Paulus melihat pembenaran sebagai langkah menuju rekonsiliasi… Efek ketiga dari pembenaran adalah
ambil-bagian dalam hidup Kristus yang bangkit, yang adalah keselamatan. Meskipun pembenaran dan
rekonsiliasi adalah hal-hal yang terjadi sekarang, keselamatan dalam arti penuh masih harus dicapai..”.
Fitzmyer, Joseph A., Romans. Anchor Bible. New York: Doubleday, 1992, hlm. 401; bdk. Juga hlm. 394
viii
Bdk., Glotin, Edouard. “Réparation,” Dictionnaire de Spiritualité. 13. Paris: Beauchesne, 1987, kol. 370
ix
Bdk., Adnès, Pierre, “Réconciliation,” Dictionnaire de Spiritualité. 13. Paris: Beauchesne, 1987, kol. 236
x
“Sebuah dimensi ganda – horisontal dan vertikal – berlaku dalam rekonsiliasi manusia. Adalah rekonsiliasi
« horisontal » jika itu meliputi penyatuan kembali dan rekonsiliasi itu membuahkan ‘kesatuan anak-anak
Alah ‘ dan hubungan timbal-balik yang kesatuan kembali semacam itu menyiratkan dan mengandaikannya.
Adalah sebuah rekonsiliasi ‘vertikal’ kalau ia menghimpun kembali semua manusia di bawah kaki salib dan,
oleh dan dalam Yesus, membuahkan pendamaian dengan Bapa. Inilah dimensi ganda dari rekonsiliasi yang
kepadanya Yohanes Paulus II mengarahkan perhatian kita dalam Anjuran Apostoliknya, Reconciliatio et
Paenitentia (n. 7).
« Hal ini harus diakui sebagai sebagai dialektika sejati dari rekonsiliasi. Dialektika yang sama yang dapat
kita kenali antara cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama. ... Melalui dan dalam cinta timbal balik kita lah
cinta kita kepada Allah dibuat nyata.
“Dengan cara ini lah dimensi ganda rekonsiliasi dicapai oleh dan dalam Kristus: (horisontal) rekonsiliasi
orang-orang di antara mereka sendiri melalui rekonsilasi (vertikal) mereka dengan Allah; tetapi karena dalam
dia dan melalui Dia lah, Kristus menghimpun mereka bersama/sama dan (secara horisontal) mendamaikan
mereka di antara mereka sendiri dalam kesatuan Tubuh-Nya bahwa mereka, dalam dan melalui Dia, (secara
vertikal) didamaikan dengan Allah.” Bourgeois, Albert: Notre Règle de Vie: Un Itinéraire.. Studia Dehoniana
15.3. Roma: Centre Général d’Études (1989), hlm. 709.
9/10
xi
Bdk., Haughton, Rosemary. The Catholic Thing. Springfield, IL: Templegate Publishers, 1979, hlm. 17.
xii
Bdk., Manzoni, Leo Dehon and his Mission, hlm. 322-23
xiii
“... karya pendamaian, seperti karya penebusan, tampak paling jelas sebagai karya pemulihan. … itu lah
seluruh teks Konstitusi bahwa gagasan ‘rekonsiliasi’ diidentifikasikan dan dijelaskan sebagai apa yang kita
pahami dan hidupi sebagai ‘pemulihan’.
Karena 2 Kor 5:18-21 meringkaskan seluruh karya penebusan Kristus sebagai karya pendamaian, maka
dalam pelayanan pendamaian itu lah bahwa ‘pemulihan’ kita dipahami dan dihidupi ‘sebagai jawaban kepada
cinta Kristus untuk kita dan persekutuan dalam cintaNya bagi Bapa,’ dalam dan melalui ‘kerjasama dalam
karya penebusan di tengah-tengah dunia [bdk. Konst. No. 23]”, Bourgeois, STD 15.3, hlm. 772, 774.
Bdk. Juga Lyonnet, Stanislas, “A Conference on Reparation,” Studia Dehonianna 7. Rome: Centro
Generale Degli Studi, Sacerdoti del S. Cuore, 1973, hlm. 28: “‘pemulihan’ kurang lebih searti dengan
penebusan, rekonsiliasi dan memulihkan keteraturan.”
10/10
Download