pilihan hukum masyarakat tionghoa dalam

advertisement
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
PILIHAN HUKUM MASYARAKAT TIONGHOA DALAM
PENYELESAIAN PEMBAGIAN WARIS DI PEKALONGAN
Oleh : Isti Sulistyorini, SH
Abstrak :
Proses pewarisan sewaktu pewaris masih hidup bagi masyarakat Tionghoa
adalah termasuk pemberian orang tuanya berupa sejumlah uang, emas murni,
rumah atau tempat usaha sebagai modal usaha putranya dan bagi anak
perempuan yaitu waktu ia menikah orang tua kandungnya memberikan sejumlah
hadiah yang iasanya berupa emas sebagai bekal hidup atau cidera mata sehingga
ketika ia masuk kekerabatan suaminya diharapkan tidak diremehkan. Proses
pewarisan setelah pewaris meninggal dunia seluruh harta peninggalan
dilimpahkan kepada anak tertua yang biasanya adalah anak laki-laki sulung.
Sebenarnya pewarisan setelah pewaris meninggal dunia merupakan
kesinambungan dari proses pewarisan ketika orang tuanya masih hidup. Dimana
seluruh harta peninggalan dilimpahkan kepada anak tertua atau yang dituakan
dan dianggap paling mampu untuk mengendalikan kekayaan serta mengurus dan
membesarkan adik-adiknya hingga dewasa.
Kata Kunci : Pewaris, Warisan, Pembagian Waris
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana
diketahui
bahwa negara kita merupakan
suatu negara yang sedang
berkembang, dimana terdapat
banyak masalah yang ada dalam
tatanan kehidupan masyarakat,
dalam
hal
ini
masyarakat
Indonesia. Sehubungan dengan
timbulnya masalah dalam tatanan
kehidupan masyarakat, maka
harus
ada
usaha
untuk
memecahkannya karena masalah
tersebut membutuhkan pemikiran
yang sangat mendalam dan
relative cukup lama.
Diantara masalah yang ada
dalam
tatanan
kehidupan
masyarakat khususnya di negara
Republik
Indonesia
adalah
mengenai “Hukum Waris” yang
mana kita sering mendengarnya.
Dalam rangka membangun
masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan
Pancasila
dan
Undang-Undang Dasar 1945,
maka untuk menyusun hukum
nasional
diperlukan
adanya
konsepsi-konsepsi dan asas-asas
hukum yang berasal dari hukum
adat.
35
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
Hukum adat merupakan
salah satu sumber hukum yang
penting untuk memperoleh bahanbahan bagi pembangunan Hukum
Nasional yang menuju kearah
unifikasi hukum terutama akan
dilaksanakan
melalui
pembentukan
perundangundangan.
Bagi bangsa Indonesia
yang terdiri dari berbagai suku
dengan adat dan istiadat yang
berbeda-beda, mempunyai corak
yang berbeda-beda pula. Oleh
karena itu negara Indonesia
sebagai
negara
kesatuan
mempunyai wilayah hukum adat
yang berbeda sesuai dengan alam
pikirannya masing-masing.
Dalam
rangka
pembentukan Hukum Nasional,
hukum adat memegang peranan
penting yang harus dikaji dan
diperhatikan
agar
didalam
pembentukan hukum yang baru
senantiasa sesuai dengan rasa
keadilan dan kesadaran hukum
masyarakat bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, selama
kita belum mempunyai undangundang
tentang
waris
sebagaimana halnya telah ada
undang-undang
Pokok
Perkawinan No. 1/1974, maka
36
sebagai tindak lanjut berikutnya
dipandang perlu segera dibentuk
undang-undang tentangwaris yang
bersifat nasional.
Salah satu unsur hukum
adat guna pembinaan hukum
waris nasional adalah Hukum
Waris Adat. Bahan-bahan hukum
waris adat perlu diketengahkan
dengan
jalan
melakukan
penelitian kepustakaan maupun
penelitian
dilapangan
untuk
mengetahui apakah dari berbagai
ragam sistem dan asas-asas
hukum waris adat yang terdapat di
seluruh Nusantara dapat dicari
titik temu dan sesuaiannya dengan
kesadaran hukum nasional.
Hukum
waris
adat
mencakup bidang materi hukum
yang luas dan perlu mendapat
perhatian guna memungkinkan
pengakomodasiannya
dalam
hukum waris nasional nantinya.
Untuk itu perlu adanya usahausaha yang kontinyu dan terpadu
untuk meletakkan dasar-dasar
bagi pengembangan tata hukum
nasional.
Negara
Republik
Indonesia terdiri dari pulau-pulau
yang penduduknya terdiri dari
beraneka ragam suku bangsa dan
masing-masing
mempunyai
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
kebiasaan dan kebudayaan. Halhal tersebut berkembang selaras
dengan
perkembangan
masyarakatnya.
Guna
memperoleh bahan-bahan yang
otentik
dan
dapat
dipertanggungjawabkan
kebenarannya, perlu diadakan
penelitian yang seksama dan
mendasar.
Kalau kita membicarakan
hukum adat di Jawa Tengah,
khususnya Kota Pekalongan maka
tidak akan
terlepas faktor
penduduknya yang beraneka
ragam suku bangsa diantaranya
warga Tionghoa atau warga
negara Indonesia keturunan. Di
Jawa Tengah pada umumnya dan
Kota Pekalongan pada khususnya,
warga Tionghoa memiliki suatu
adat kebiasaan yang cukup unik
dalam pelaksanaan pewarisan.
Seharusnya
didalam
hal
pewarisan orang-orang Tionghoa
tunduk pada hukum perdata barat,
namun dalam pelaksanaannya
kebanyakan
mereka
tidak
mempergunakan hak yang berlaku
sebagaimana mestinya. Hal inilah
yang mendorong peneliti untuk
meneliti
factor-faktor
yang
mempengaruhi warga negara
Indonesia keturunan Tionghoa di
Pekalongan
tidak
semuanya
tunduk pada hukum perdata barat
didalam
hal
pewarisan.
Sehubungan dengan hal tersebut
di atas, maka peneliti akan
menguraikan permasalahan dan
persoalan
kedalam
suatu
penelitian yang berjudul ” Pilihan
Hukum Masyarakat Tionghoa
Dalam Penyelesaian Pembagian
Waris di Pekalongan ”.
B. Perumusan Masalah
Warga negara Indonesia
keturuna
Tionghoa
sering
melakukan kebiasaan yang unik
dalam hal pewarisan dan sangat
erat
hubungannya
dengan
kehidupan
berbangsa
dan
bermasyarakat di Jawa Tengah
khususnya Pekalongan.
Maka secara garis besar
dapat dirumuskan permasalahan
pokok yang penting yaitu sebagai
berikut :
1. Bagaimana penerapan hukum
di dalam pewarisan bagi
warga
negara
Indonesia
keturunan Tionghoa ?
2. Apakah proses pembagian
harta warisan dilaksanakan
sebelum atau sesudah pewaris
meninggal dunia ?
37
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
3. Siapa
saja
digolongkan
waris ?
yang dapat
sebagai ahli
C. Metodologi Penelitian
Penelitian
merupakan
suatu sarana pokok dalam
pengembangan ilmu pengetahuan
maupun tehnologi. Hal ini
disebabkan karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan
kebenaran
secara
sistematis,
metodis dan konsisten. Melalui
proses
penelitian
tersebut
diadakan analisis dan konstruksi
terhadap
data
yang
telah
dikumpulkan dan diolah. Oleh
karena penelitian merupakan
sarana ilmiah bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi,
maka metode penelitian menjadi
sangat
penting
untuk
mengarahkan bagaimana suatu
penelitian yang akan dilaksanakan
harus
sesuai
dengan
ilmu
pengetahuan
yang
menjadi
induknya. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka metode penelitian
yang dipergunakan peneliti dalam
penelitian ini ialah :
38
1. Metode Pendekatan
Penelitian
ini
memakai
metode pendekatan yuridis
sosiologis. Yang mana dalam
penelitian ini penulis telah
mengadakan
penelitian
dengan berdasarkan peraturan
undang-undang dan interview
dengan praktisi hukum dan
tokoh-tokoh
non
formal
masyarakat,
khususnya
mengenai
pewarisan
dikalangan
masyarakat
Tionghoa Pekalongan.
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang
dipergunakan penulis dalam
penelitian ini adalah secara
deskriptif analitis, yaitu suatu
penelitian
yang
menggambarkan
kenyataan
yang akan terjadi dalam
praktek sehari-hari dalam hal
pewarisan bagi masyarakat
Tionghoa.
2. Metode Sampel
Bahwa
penelitian
menggunakan
metode
purposive
non
random
sampling. Dalam purposive
sampling
pemilihan
sekelompok subjek didasarkan
atas ciri-ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
sebelumnya.
Sebutan
purposive
menunjukkan
bahwa teknik ini digunakan
untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu.1
3. Metode Pengumpulan Data
Penelitian
ini
disusun
berdasarkan
data
yang
diperoleh
selama
dalam
penelitian, adapun data yang
diperlukan untuk menyusun
penelitian ini adalah dengan
mengunakan
metode
kepustakaan
dan
metode
wawancara (Interview)
4. Metode Analisa Data
Metode
analisa
data
dilaksanakan setelah semua
data terkumpul, baik data
primer maupun data sekunder
atau data yang diperoleh dari
kepustakaan
selanjutnya
dianalisa dengan berdasarkan
pada
peraturan-peraturan
hukum, maupun teori-teori
hukum yang ada kaitannya
dalam
rangka
menjawab
pokok-pokok masalah serta
tujuan penelitian.
D. Hasil
Penelitian
dan
Pembahasan
1. Sekilas Tentang Masyarakat
Tionghoa
Menurut sejarah yang
diketahui,
masyarakat
Tionghoa telah berada di Jawa
Tengah pada tahun 1704 yaitu
dengan
dibangunnya
kelenteng Sam Poo Kong di
daerah Simongan (kawasan
Gedung Batu) Semarang dan
dipugar pada tahun 1724
karena bencana alam.2 Fakta
sejarah Indonesia, ketika bala
tentara Jepang mendarat di
Tuban
dan
mendekati
Surabaya
kelompok
pertahanan yang dibentuk oleh
rakyat Indonesia dan Etnis
Tionghoa sampai melakukan
perlawanan, tetapi mundur
karena
kalah
kekuatan.
Setelah
tentara
Jepang
menduduki Pulau Jawa, segera
melakukan penangkapan atas
Etnis Tionghoa yang anti
Jepang dan cinta negeri,
mereka pada umumnya adalah
tokoh Etnis, guru, dokter,
jurnalis,
redaktur
dan
2
1
Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach, Jilid 1,
Andi Offset, Yogyakarta, 1993, Halaman 83.
Hembing Widyakusuma, Nilai dan bukti
sejarah Misis Perjalanan Sam Poo Kong,
Penerbit SM, Semarang 2 Maret 2000,
Halaman VII
39
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
menggalang dana anti Jepang,
aliansi besar itu mendirikan
pabrik kueh, sabun, kopi,
kwaci
dan
teh
untuk
menyumbang
dana
bagi
3
gerakan anti Jepang.
sebagainya.
Pada
bulan
Februari 1943, tentara Jepang
di Serang mendirikan kamp
konsentrasi untuk menampung
tawanan
perang
Etnis
Tionghoa sekitar 521 orang.
Dan pada tanggal 15 Februari
1944 mereka dipindahkan ke
kamp
konsentrasi
internasional Cimahi. Di kamp
tawanan perang ini, berisi
tawanan perang dari 30 negara
sejumlah 9.436 orang dan
diantaranya
adalah
Etnis
Tionghoa sejumlah 519 orang.
Untuk
mendukung
perang anti Jepang, Etnis
Tionghoa Surabaya pada
tahun
1943
mendirikan
Barisan Pelopor Bangsa, di
Batavia
berdiri
Barisan
Pelopor Budaya, Etnis di
Semarang, Bandung dan lainlain. Organisasi ini saling
berhubungan tetapi tidak ada
badan pimpinan bersama.
Untuk
memperkokoh
persatuan, pada tahun 1943 di
Garut
dibuka
konggres
berbagai
organisasi
anti
Jepang
di
Jawa
dan
mengeluarkan seruan ”Bersatu
dengan
rakyat
Indonesia
melawan Jepang”. Untuk
Fakta – fakta tersebut
di atas perlu di ketahui oleh
semua yang peduli pada fakta
sejarah berdirinya Negara
Indonesia, khususnya peran
Etnis Tionghoa Indonesia
dalam
perjuangan
kemerdekaan
Indonesia.
Seperti kita maklumi, sejak
era orba peran etnis Tionghoa
digelapkan
dari
sejarah
perjuangan bangsa Indonesia
maka dari itu tidak heran jika
ada yang mengejek Tionghoa
Cuma ”numpang” di sini.
Tetapi
setelah
membaca
tulisan di atas, ”anda” tidak
perlu minder lagi menjadi
Tionghoa Indonesia.
a). Sejarah
Masyarakat
Tionghoa Pekalongan
Pada
umumnya
orang Tionghoa yang ada
di Pekalongan bersal dari
daerah-daerah
propinsi
lain Indonesia dan boleh
disebut sebagai Tionghoa
3
40
Sinergi, Edisi 23, tahun 2000, halaman 21
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
perantauan yang berasal
dari berbagai suku di
negera
China,
keberadaannya
tidak
seperti
halnya
etnis
Tionghoa di kepulauan
Kalimantan dan Sumatera
yang biasa mengklaim
nenek moyangnya berasal
dari
Kwantung
dan
Fukian. Karena komunitas
Tionghoa
Pekalongan
tidak begitu banyak atau
relatif kecil maka hanya
dapat digolongkan ke
dalam dua golongan besar
masyarakat, yaitu :
1) Masyarakat Tionghoa
Totok (Khek) atau
dalam
sehari-hari
disebut Singkek.
2) Masyarakat Tionghoa
Peranakan (Keturunan)
atau lazimnya disebut
babah.4
Masyarakat
Tionghoa
Pekalongan
cukup kuat dengan segala
tradisinya, ikatan-ikatan
suku dan keturunannya
dirasa
masih
perlu
khususnya dalam situasi
4
Young Fu Swee, Nara Sumber, Sultan
Agung 208, Pekalongan
menghadap
tantangan
pergaulan di masyarakat.
Kedatangan
masyarakat Tionghoa di
Pekalongan
membawa
serta tradisi kehidupan dan
norma-norma
yang
berlaku dalam masyarakat
asal mereka dan sikap
fanatisme terhadap tradisi
leluhurnya.
Dimanapun
masyarakat
Tionghoa
berada, pedoman dan
landasan kehidupan sosio
kulturnya
selalu
berpatokan pada sejarah
tokoh-tokoh ahli pikir di
negeri leluhurnya. Idiologi
yang berkiblat pada negeri
leluhurnya
sangat
berpengaruh
terhadap
masyarakat
Tionghoa
perantauan. Ajaran-ajaran
yang banyak memberikan
pengaruh
pada
perkembangan
dasar
berpikir, pandangan hidup
dan falsafah masyarakat.
Tioonghoa
adalah
:
Tooisme, Bhudhisme dan
Kong Hu cu. Menurut
Tooisme, tempat individu
tidak begitu penting jika
dibandingkan
dengan
41
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
kepentingan keluarga dan
keluarga besar merupakan
struktur
dasar
sosial.
Kewajiban
seseorang
bukan langsung untuk
dirinya sendiri atau bangsa
dan negara, melainkan
hanya diperuntukkan bagi
kelaurga
besarnya.
Keluarga
merupakan
tempat berlindungan dari
segala pengaruh luar,
hubungan keluarga terjalin
sangat
erat
sehingga
pengaruh dari luar sangat
sulit sekali mempengaruhi
tata kehidupan masyarakat
Tionghoa. Oleh karenanya
masyarakat
Tionghoa
terkenal
sebagai
masyarakat yang paling
realis, dalam pengertian
mereka selalu menutup
diri dari pengaruh ras lain
dan
selalu
menjaga
kemurnian rasnya.
Di
dalam
mempersatukan
masyarakat
Tionghoa
dimana saja dan agar
merek atetap ingat negara
leluhur
serta
nenek
moyangnya, Kong Hu Cu
mengajarkan tentang asas
42
Familisme. Rasa kesatuan
keluarga ini tidak hanya
terbatas pada dari satu
negara dimana mereka
menetap
tetapi
juga
meliputi
masyarakat
Tionghoa di seluruh dunia
dimana mereka merantau
dan menetap. Banyak yang
menarik dari kehidupan
masyarakat
Tionghoa
dalam
hubungannya
dengan
agama
dan
kepercayaan,
karena
kepercayaan masyarakat
Tionghoa
erat
sekali
dengan sistem kebudayaan
dan sosial mereka. Agama
dan kepercayaan di negara
leluhur dahulu sangat
mempengaruhi
sistem
sosial masa itu. Tiga unsur
yang menonjol dalam
kepercayaan masyarakat
Tionghoa adalah : Too,
Kong Hucu dan Budha
China.
Pada Too banyak
dihubungkan
dengan
kewajiban manusia, yaitu
manusia sebagai individu
dalam
hubungannya
dengan alam semesta.
Pahak Kong Hu Cu
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
dikaitkan
dengan
perhatiannya
terhadap
masyarakat
secara
keseluruhan. Sedangkan
dalam Budha dikaitkan
antara hubungan manusia
sebagai individu dengan
keadaan masa depan yaitu
Nirwana
serta
alam
semesta. Ketiga paham
tersebut diartikan Tri
Dharma (Saw Kaw). Pada
saat ini nampaknya orang
Tionghoa
yang
berorientasi ke negara
leluhur semakin berkurang
dan
sudah
banyak
membaur dengan putra
daerah dan banyak pula
yang beragama Kristen
dan Islam.
b). Adat Istiadat Masyarakat
Tionghoa Pekalongan
Masyarakat
Tionghoa yang ada di
Pekalongan
bertempat
tinggal di kota maupun di
desa
atau
di
perkampungan,
di
lingkungan
masyarakat
selalu ada kuil. Kuil ini
biasanya memiliki bentuk
yang khas dan unik karena
kaya dengan ornamen-
ornamen dan ukiran khas
Tionghoa.
Kuil
ini
bukanlah
merupakan
tempat ibadah tetapi hanya
merupakan tempat untuk
meminta
berkah
dan
tempat bersyukur. Untuk
itu mereka membakar
dupa (hio) kepada dewa
yang
diyakini
melindunginya dan besar
kecilnya kuil tergantung
kepada
kemampuan
umatnya
untuk
membangun
dan
pemeliharaannya
yaitu
Kuil (Klenteng) Po An
Thian yang terletak di
jalan Blimbing No. 3
Pekalongan.
Adat
istiadat
masyarakat
Tionghoa
Pekalongan
mayoritas
masih mengikuti adat
istiadat
leluhurnya,
terutama adat istiadat yang
setiap tahun dirayakan
misalnya tahun baru Imlek
merupakan tahun baru
tradisional orang Tionghoa
berdasarkan
sistem
penanggalan bulan-bulan,
kini di RRC disebut Pesta
Musim Semi. Tahun baru
43
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
Imlek
bagi
orang
Tionghoa
di
seluruh
Indonesia tetap dirayakan
dan tahun 2007 ini sangat
terasa
sekali
di
Pekalongan. Pada hari itu
dilakukan
sembahyang
tahun baru di kuil atau di
depan
meja
abu.
Sembahyang ini harus
dilakukan
sebersihbersihnya, bukan hanya
bersih secara lahir namun
juga secara batinnya.
Dimeja abu disediakan
kue keranjang. Pada tahun
baru Imlek orang tidak
boleh mengucapkan katakata kotor dan kasar.
Dalam bulan ketiga tarikh
Imlek jatuh hari raya yang
disebut
Cheng
Beng
(Bersih Terang). Pada hari
itu masyarakat Tionghoa
berziarah
ke
makam
leluhurnya
untuk
dibersihkan dan dirawat
seperlunya.
Masyarakat
Tionghoa di Pekalongan
dapat dibedakan menjadi
dua golongan, yakni :
1. Masyarakat Tionghoa
Totok (Khek)
Masyarakat Tionghoa
Totok adalah orangorang Tionghoa yang
lahir di negara China
dan masih berbahasa
China.
Kebanyakan
mereka adalah imigran
dalam
abad
20.
Keturunan
mereka
yang lahir sebelum
perang dunia ke dua
masih berkebudayaan
totok tetapi yang lahir
setelah
ditutupnya
sekolah China sudah
lebih
mirip
5
peranakan.
2. Masyarakat Tionghoa
Peranakan (Babah)
Masyarakat Tionghoa
Peranakan
adalah
orang-orang Tionghoa
yang dilahirkan dan
dibesarkan
di
Indonesia
yang
kebudayaannya telah
dipengaruhi
oleh
Indonesia.
Orangorang
peranakan
memakai
bahasa
Indonesia
sebagai
bahasa sehari-hari dan
5
Leo Suryadinata, Dilema Minoritas
Tionghoa, PT. Grafiti Pers, Juni 1984,
Halaman 170
44
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
umumnya telah hilang
kepandaiannya
menggunakan bahasa
China.6
2. Penerapan Hukum di Dalam
Pewarisan
Masyarakat Tionghoa
Totok tergolong menganut
sistem pewarisan individual
patrilineal atau sistem mayorat
patrilineal.
Mereka
yang
menganut sistem pewaris
individual patrilineal dalam
hal pembagian warisan dibagibagikan diantara para ahli
warisnya, tetapi hanya ahli
waris laki-laki saja yang
berhak mendapatkan warisan.
Sedangkan
yang
menganut sistem pewarisan
mayorat patrilineal, harta
warisan tidak dibagi-bagikan
tetapi dilimpahkan kepada
seorang ahli waris saja dan
biasanya adalah anak laki-laki
tertua. Karena menurut adat
Totok, anak perempuan tidak
dihargai, bahkan ada pepatah
dari
pada
punya
anak
perempuan lebih baik pelihara
ayam.
Masyarakat Tionghoa
peranakan
seharusnya
6
memakai siostem pewarisan
individual parental. Dimana
dalam
hal
pembagian
warisnya dibagi-bagi diantara
para ahli waris laki-laki dan
perempuan. Mereka mendapat
bagian yang sama dari harta
warisan orang tuanya. Dalam
hal tidak ada perbedaan antara
anak laki-laki dan perempuan.
Tetapi pada kenyataannya ada
pula yang menganut sistem
pewarisan seperti golongan
Khek (Totok) yaitu sistem
pewarisan
yang
mayorat
patrilineal. Dalam hal ini agar
dimaklumi karena sebenarnya
posisi
golongan
Babah
(peranakan) agak sulit, sebab
untuk dikatakan China sudah
tidak bisa lagi berbahasa
China, akan tetapi dalam
pergaulan di masyarakat,
umumnya juga disebut China.
Pada
sebagian
masyarakat Tionghoa generasi
tua, struktur kekerabatannya
berdasarkan garis keturunan
patrilineal
dan
sistem
pewarisan yang mereka anut
adalah
sistem
pewarisan
mayorat laki-laki. Di dalam
sistem ini harta tidak ada
pembagian harta warisan
Ibid, Halaman 226.
45
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
tetapi
kekayaan
pewaris
dilimpahkan kepada anak lakilaki tertua yang bertugas
sebagai kepala rumah tangga
atau kepala keluarga yang
menggantikan
kedudukan
orang tuanya. Sebagai anak
laki-laki
tertua
juga
berkewajiban untuk menjaga
dan
mempertahankan
keutuhan
dan
kerukunan
seluruh
keluarga
sampai
semua ahli waris menjadi
dewasa, mempunyai keluarga
(menikah) dan berdiri sendiri
(mandiri).
Dalam
perkembangannya, sekarang
pada umumnya masyarakat
Tionghoa tidak lagi menganut
sistem pewarisan mayorat
laki-laki melainkan sistem
pewarisan individual. Akan
tetapi ada juga masyarakat
Tionghoa, Totok khususnya
yang masih menganut sistem
pewarisan mayorat laki-laki
tetapi itu hanya sebagian kecil
saja. Karena di dalam sistem
individual pembagian harta
warisan dirasa yang paling
adil karena setiap ahli waris
berhak
mendapatkan
pembagian harta warisan
46
menurut bagiannya masingmasing sehingga tidak ada
yang merasa dianaktirikan.
3. Proses Pewarisan
Proses
pewarisan
adalah berpindahnya harta
kekayaan dari pewaris kepada
keturunannya baik pada waktu
pewaris masih hidup maupun
setelah pewaris meninggal
dunia. Proses pewarisan pada
waktu pewaris masih hidup
bagi masyarakat Tionghoa
kebanyakan masih meniru
adat
istiadat
leluhurnya,
dimana
seluruh
harta
peninggalan diwariskan atau
dilimpahkan kepada anak lakilakinya saja. Sedangkan anak
perempuan tidak mendapatkan
bagian harta warisan. Bagi
orang Tionghoa yang sudah
menyesuaikan diri dengan
adat istiadat setempat, harta
peninggalan bisa dibagi rata
sesuai dengan bakat masingmasing ahli waris tanpa
membedakan antara anak lakilaki dan anak perempuan.
Proses
pewarisan
setelah pewaris meninggal
dunia
seluruh
harta
peninggalan
dilimpahkan
kepada anak tertua yang
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
biasanya
anak
laki-laki
sulung. Selanjutnya anak lakilaki
inilah
yang
akan
mengurus harta peninggalan
termasuk
mengurus
dan
membesarkan
adik-adiknya
hingga dewasa.
Dalam proses ini dapat
dilaksanakan dengan dua cara,
yaitu :
1. Proses pewarisan sebelum
pewaris meninggal dunia.
a. Dengan cara hibah
hibah adalah suatu
bentuk pemberian dari
pewaris semasa hidup
kepada ahli warisnya
dan pemberian ini
termasuk
dalam
pembagian
harta
warisan.
Pembagian
harta warisan pada
waktu pewaris masih
hidup pada umumnya
dilakukan
karena
pewaris merasa tidak
cakap
lagi
untuk
menjalankan usahanya
dan ini dimaksudkan
untuk
menghindari
terjadinya percekcokan
diantara
para
ahliwarisnya, apabila
harta
kekayaan
tersebut
diserahkan
kepada mereka sendiri
setelah
pewaris
meninggal dunia.
Dalam hal ini Soerojo
Wigjodipuro
mengatakan :
”Termasuk
dalam
arti penerusan atau
pengalihan
harta
kekayaan
dikala
pewaris masih hidup
ialah diberikannya
harta
kekayaan
tertentu
sebagai
dasar
kebendaan
untuk
kelanjutan
hidup kepada anakanak yang akan
kawin
mendirikan
rumah tangga baru,
misalnya pemberian
atau dibuatkannya
bangunan
rumah
dan
pekarangan
tertentu,
bidangbidang kebun atau
sawah, untuk lakilaki dan perempuan
yang akan berumah
tangga”.7
7
Soerojo, Pengantar dan Azas Hukum Adat,
PT. Gunung Agung, Jakarta, 2002, Halaman
106.
47
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
Dalam
penghibahan, barangbarang yang sudah
diberikan kepada ahli
waris dapat langsung
dikuasai oleh ahli
waris
tersebut
sepenuhnya menjadi
hak milik atas barang
itu. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa
hibah
menurut
masyarakat Tionghoa
Pekalongan
sama
dengan hibah yang
berlaku
pada
masyarakat
adat
setempat, yaitu bahwa
hibah termasuk dalam
pembagian
warisan
yang
dilaksanakan
sebelum orangtua atau
pewaris
meninggal
dunia.
Sedangkan
menurut
Kitab
Undang-Undang
Hukum Perdata hibah
tidak termasuk dalam
pembagian
warisan
tetapi
hanya
merupakan pemberian
Cuma-Cuma selama
hidupnya
pewaris,
48
seperti
disebutkan
dalam pasal 922 Kitab
Undang-Undang
Hukum Perdata, yaitu :
Memindahkan
tangankan
sesuatu
kebendaan
kepada
salah seorang waris
keluarga
sedarah
dalam garis lurus, baik
dengan pembebanan
bunga cagak hidup,
maupun
dengan
menjanjikan hak pakai
hasil, harus dianggap
sebagai
pemberian
atau penghibahan.
b. Dengan cara wasiat
Surat
wasiat
adalah
semacam
dokumen
yang
berisikan pesan dari
pewaris yang ditujukan
kepada ahli warisnya,
tentang
apa
yang
dikehendaki terhadap
harta warisan yang
akan ditinggalkannya
setelah ia meninggal
dunia.
Mengenai
proses pewarisannya
juga
harus
sesuai
dengan apa yang diatur
dalam surat wasiat.
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
Surat wasiat ini
dibuat dan disimpan
oleh pewaris sendiri
dengan sepengetahuan
istrinya,
ini
dimaksudkan
agar
kelak apabila jand
atersebut sudah tua
dan merasa saatnya
sudah tiba maka ia
dapat memberitahukan
kepada anak-anaknya
tentang adanya surat
wasiat tersebut dan
menjelaskannya.
Pada umumnya
pembuatan
surat
wasiat
ini
tanpa
sepengetahuan anakanaknya.
Didalam
pembagian
warisan
dengan wasiat selama
pewaris masih hidup,
surat wasiat ini dapat
dirubah atau dicabut
kembali dan surat
wasiat ini baru berlaku
setelah
pewaris
meninggal
dunia.
Biasanya surat wasiat
ini dibuat agar dalam
pembagian
harta
warisan nantinya tidak
menimbulkan
perselisihan diantara
ahli warisnya.
2. Proses Pewarisan Setelah
Pewaris Meninggal Dunia
Bila
seseorang
meninggal dunia dan
meninggalkan
harta
kekayaan, harta tersebut
akandiwariskan
kepada
ahli
warisnya
dan
persoalannya kapan harta
peninggalan
itu
dibicarakan dan dibagikan.
Pada umumnya yang
terjadi
di
kalangan
masyarakat
Tionghoa
Pekalongan,
pewarisan
terbuka setelah selesai
diadakannya penguburan
jenazah dan selamatan.
Selamatan
bagi
masyarakat Tionghoa yang
meninggal dunia biasanya
diadakan pada waktuwaktu
tertentu,
yaitu
selamatan tiga hari, tujuh
hari, seratus hari, satu
tahun dan dua tahun
setelah
meninggalnya
pewaris.
Menurut
adat
kebiasaan yang berlaku
pada masyarakat Tionghoa
di
Pekalongan,
49
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
pembicaraan
dan
pembagian
harta
peninggalan
biasanya
dilakukan
setelah
selesainya selamatan tujuh
hari sejak meninggalnya
pewaris.
Pada hakekatnya
didalam pembagian harta
warisan
adalah
berdasarkan
atas
kerukunan di antara ahli
waris, maksudnya dalam
pembagian
waris
itu
mereka tidak semata-mata
memperhitungkan secara
ilmu pasti berdasarkan
harga dari harta kekayaan
yang dibagikan kepada
mereka
masing-masing,
yang penting mereka
menerima bagian yang
layak.
Dan
apabila
keluarga
yang
ditinggalkan oleh pewaris
masih tetap berkumpul
dan mengelola bersamasama harta peninggalan
tersebut, misalnya; janda
dan anak-anak masih
membutuhkan
harta
tersebut
maka
harta
warisan tidak dibagi-bagi.
50
Di
dalam
pembagian harta warisan,
masyarakat
Tionghoa
Pekalongan
juga
memperhitungkan
harta
kekayaan pewaris yang
telah diberikan kepada
anak-anaknya
sewaktu
pewaris masih hidup.
Sehingga
ada
kemungkinan
yang
diterima
oleh
salah
seorang ahli waris pada
waktu itu dianggap sudah
cukup, maka ahli waris
tersebut
tidak
mendapatkan bagian dari
harta warisan tersebut.
Namun bila dirasa masih
ada kekurangan karena
dianggap harta pewaris
cukup banyak maka ahli
waris
tersebut
masih
mendapatkan bagian lagi.
Dari uraian tentang
proses pewarisan tersebut
di atas dapat dikatakan
bahwa
masyarakat
Tionghoa di Pekalongan
condong menganut adat
istiadat
pewarisan
masyarakat
setempat.
Tetapi secara yuridis tidak
tunduk
kepada
Kitab
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
Undang-Undang Hukum
Perdata.
Pada
dasarnya
menurut sistem hukum
waris Kitab UndangUndang Hukum Perdata,
atas suatu pewarisan harus
memperlakukan apa yang
telah
diatur
dalam
Undang-Undang,
terkecuali pewaris telah
mengambil keputusan lain
yang dituangkan dalam
bentuk
surat
wasiat.
Ketentuan
tersebut
disimpulkan dari pasal 874
Kitab
Undang-Undang
Hukum Perdata. Jadi pada
dasarnya untuk kalangan
Tionghoa
seharusnya
dalam
hal
pewarisan
berdasarkan
Undangundang (Hukum Waris)
kecuali pewaris dengan
tegas
melakukan
penyimpangan dari hal itu,
tetapi tetap dalam batasbatas yang diperbolehkan
oleh Undang-Undang dan
pembagian
warisan
berdasarkan testamentair
(surat wasiat) didahulukan
dari pada pewarisan ab-
intestato (karena kematian
atau tanpa wasiat).
Kenyataan
yang
ada di masyarakat, pada
umumnya di kalangan
Tionghoa lebih senang
memakai sistem waris adat
dalam hal pewarisan.
Karena sudut pandang
hukum
waris
adat
mengenai harta warisan
dan
cara-cara
pembagiannya dipandang
lebih cocok dengan pola
pikir
dan
prinsip
kehidupannya,
seperti
dalam hal harta warisan
adat terdiri dari harta yang
tidak dapat dibagi-bagikan
pengeuasaan
dan
pemilikannya kepada para
ahli waris tetapi ada pula
yang bisa dibagikan. Jadi
harta yang tidak terbagi
adalah milik bersama para
waris dan tidak boleh
dimiliki
secara
perseorangan, tetapi masih
dapat
dipakai
dan
dinikmati bersama-sama,
tentu
saja
hal
ini
bertentangan dengan pasal
1066
Kitab
UndangUndang Hukum Perdata
51
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
pada alinea pertama, yaitu
:
”Tiada
seorangpun
yang
mempunyai
bagian dalam harta
waris
peninggalan
diwajibkan menrima
berlangsungnya harta
peninggalan itu dalam
keadaan tak terbagi”
Sudah barang tentu
jika pasal tersebut benarbenar dipraktekkan maka
akan merepotkan keluarga
pewaris
itu
sendiri
sedangkan
kalangan
Tionghoa
sedapat
mungkin menghindarkan
diri dari hal-hal yang
merepotkan dan hal-hal
yang terlalu birokratis. Hal
ini
tercermin
dari
semboyan
berbahasa
mandarin : ”Quan chia he
wan shi xing” yang artinya
kerukunan
kerukunan
semua anggota keluarga
akan memperlancar segala
urusan.8 Maka hal ini
sangat
cocok
dengan
corak-corak hukum adat,
yaitu mengutamakan sifat8
Budi Santoso, Garuda NCWS, Edisi VII,
Januari 2004, Halaman 16.
52
sifat keterbukaan, sikap
jujur dan bisa saling
menerima dan memberi,
saling menghargai satu
sama lain dan dengan
ketulusan
hati
dapat
memahami posisi masingmasing.
3. Ahli Waris
a. Anak Kandung
Pada
umumnya
suatu perkawinan akan
menghasilkan anak yang
nantinya akan menjadi
generasi penerus dari
orang tuanya. Anak – anak
dari pewaris merupakan
golongan ahli waris utama,
baik itu anak laki-laki
maupun anak perempuan.
Dalam
hubungannya
dengan sistem kewarisan
mayorat laki-laki ini,
Sayuti Thalib mengatakan:
”Orang China yang masih
mengenal sistem waris asli
mereka adalah pewaris
dalam bentuk semacam
kewarisan mayorat lakilaki atau anak tertua
membulati semua harta
dengan
kewajiban
memelihara dan mendidik
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
adik-adiknya
sampai
9
dewasa atau kawin.
Pada
masyarakat
Tionghoa
Pekalongan
khususnya,
golongan
Tionghoa Totok masih
menganut adat istiadat
leluhurnya.
Mereka
menganut
sistem
kekrabatan
patrilineal,
yaitu sistem yang lebih
mengutamakan anak lakilaki dari pada anak
perempuan. Anak laki-laki
dianggap sebagai penerus
marga
(Fam)
atau
keturunan orang tuanya
yang mana dalam istilah
Tionghoa di sebut She
(marganya).
Sedangkan
anak perempuan dianggap
sebagai anak yang hilang
atau anak orang lain
setelah menikah karena
mengikuti suami. Setelah ,
menikah ia akan melepas
marga (Fam) ayahnya dan
mengikuti
marga
suaminya dan menjadi
anggota
kerabat
atau
9
Sayuti, Lima Serangkai Tentang Hukum
(Hubungan antara hukum Islam dengan
hukum Tanah, hukum Kewarisan dan hukuym
Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, 2002,
Halaman 18.
keluarga pihak suami. Jika
orang tuanya meninggal
dunia, anak laki-laki tertua
bertindak sebagai ahli
waris dan berkewajiban
mengurus
adik-adiknya
sampai dewasa atau sudah
dapat
mandiri.
Jadi
disamping ia mewarisi
harta orang tuanya, ia juga
mewarisi wewenang dan
tanggungjawab
orang
tuanya.
Bagi
masyarakat
Tionghoa
peranakan
kebanyakan
sistem
kekerabatannya
sudah
mengikuti
sistem
kekerabatan masyarakat
adat setempat yaitu sistem
kekerabatan
parental.
Dalam hal pewarisan
mereka sudah tidak lagi
membedakan
jenis
kelamin
dalam
hal
pembagian harta warisan,
kecuali
bagi
anak
perempuan yang sudah
berkeluarga.
Anak
perempuan
tersebut
biasanya
tidak
dapat
bertindak sebagai ahli
waris dari orang tuanya,
oleh karena kehidupannya
53
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
telah ditopang suaminya.
Pewarisan antara para ahli
waris akan mendapat
bagian masing-masing dan
ini tidak harus sama ratasama
besar
karena
pembagian
tersebut
berdasarkan
atas
kerukunan diantara para
ahli waris dan juga
tergantung dari kebutuhan
maupun kerja masingmasing ahli waris.
b. Anak Angkat
Apabila
ternyata
didalam suatu perkawinan
tidak mendapat keturunan,
kebanyakan dari pasangan
suami –istri akan mencari
jalan keluar siapakah yang
akan meneruskan atau
mewarisi semua harta
kekayaannya kelak apabila
sudah tua maupun setelah
meninggal
dunia.
Berdasarkan
pemikiran
yang demikian apabila
selama
didalam
perkawinan
tidak
mendapat keturunan, maka
mereka berusaha untuk
mendapatkan anak dengan
cara yang umum yaitu
54
mengangkat anak dari
keluarga lain atau kerabat
dekatnya.
Pada umumnya di
dalam pengangkatan anak
masyarakat
Tionghoa
cenderung
mengangkat
anak laki-laki dari pada
perempuan,
meskipun
kadang kala ada juga yang
mengangkat
anak
perempuan walaupun hal
ini
jarang
terjadi.
Anggapan
masyarakat
Tionghoa anak laki-laki
adalah penerus dari marga
(Fam) orang tua angkatnya
sehingga ada generasi
penerus marganya. Jika
anak perempuan yang
diangkat sebagai anak
maka nantinya ia akan
mengikuti marga sang
suami stelah menikah.
Kedudukan
anak
angkat dan anak kandung
di daerah Pekalongan agak
berbeda di dalam hal
pewarisan. Dimana anak
angkat
tidak
mutlak
mendapatkan
harta
warisan
orang
tua
angkatnya kecuali dengan
surat
wasiat
atau
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
testament. Karena apabila
pewaris atau orang tua
angkatnya
meninggal
dunia tanpa meninggalkan
surat
wasiat
atau
testament, maka secara
yuridis anak angkat tidak
dapat bertindak sebagai
ahli waris yang sah.
Namun demikian biasanya
anak angkat juga akan
memperoleh harta warisan
dari orang tua angkatnya
berupa suatu pemberian
atau modal usaha.Dalam
hal pewarisan, putuslah
hubungan hukum antara
anak angkat dengan orang
tua kandungnya, karena
anak
tersebut
hanya
mempunyai
hubungan
hukum dengan orang tua
angkatnya saja. Bahkan
pada
umumnya
anak
angkat
tersebut
tidak
mengetahui siapa orang
tua
kandung
yang
sebenarnya, karena ia
diangkat sebagai anak
sejak kecil atau masih
bayi. Jika pada suatu saat
orang
tua
angkatny
ameninggal dunia mak ia
dapat bertindak sebagai
ahli
waris
dengan
testament, sebab apabila
tanpa testament maka ia
tidak dapat bertindak
sebagai ahli waris. Setelah
adanya testament yang
ditunjukkan kepada anak
angkat yang bersangkutan
maka bagian warisan
antara anak angkat dengan
anak kandung adalah
sama.
Karena
pada
dasarnya anak tersebut
sudah diangkat secara sah
(adopsi) menurut hukum
yang berlaku.
c. Anak Luar Kawin
Anak luar kawin
adalah
anak
yang
dilahirkan diluar ikatan
perkawinan yang sah oleh
ibu yang melahirkannya
dengan laki-laki yang
membenihinya
secara
biologis. Keberadaan anak
tidak sah, jarang ada di
Pekalongan,
karena
apabila ada seorang wanita
yang hamil di luar nikah
maka
akan
segera
dikawinkan dengan lakilaki yang meghamilinya
ataupun laki-laki lain yang
mau menggantikan status
55
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
suami bagi perempuan
tersebut.
Hal
ini
dimaksudkan agar kelak
anak itu lahir mempunyai
ayah dan aibnya tertutup.
Jika sampai terjadi, ada
anak lahir tanpa ayah yang
sah maka anak tersebut
hanya
mempunyai
hubungan hukum dengan
ibunya dan anak tersebut
tidak berhak mewarisi dari
ayah kandungnya. Anak
luar kawin tersebut dapat
mewarisi
dari
ayah
kandungnya
dengan
catatan
apabila
ada
pengakuan
dari
ayah
kandungnya.
Untuk lebih jelasnya,
syarat agar anak luar
kawin dapat mewarisi,
maka anak luar kawin
tersebut
harus
diakui
dengan
sah,
karena
menurut sistem Kitab
Undang-Undang Hukum
Perdata
yait
asasnya
adalah hanya bagi mereka
yang
mempunyai
hubungan hukum dengan
si pewaris sajalah yang
berhak mewarisi menurut
Undang-Undang
dan
56
hubungan tersebut justru
lahir karena pengakuan
dan asas tersebut dapat
disimpulkan dari pasal
280, 285 dan 286 Kitab
Undang-Undang Hukum
Perdata.
Sedangkan
besarnya hak bagian anak
luar
kawin
biasanya
berdasarkan pasal 863
Kitab Undang - Undang
Hukum Perdata, dapat
dirumuskan
sebagai
berikut :
1. Jika anak luar kawin
diakui
mewarisi
bersama golongan I
(anak, janda atau duda)
maka
bagiannya
adalah
=1/3
kali
bagian, seandainya ia
anak sah.
2. Jika anak luar kawin
diakui
mewarisi
bersama golongan II
(orang tua bapak/ibu
dan
keturunannya)
maka
bagiannya
adalah
=1/2
kali
bagian, seandaianya ia
anak sah.
3. Jika anak luar kawin
diakui
mewarisi
bersama golongan III
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
(nenek, kakek atau
leluhur lainnya dalam
garis ke atas) maka
bagiannya adalah = ½
x bagian, seandainya ia
anak sah.
4. Jika anak luar kawin
diakui
mewarisi
bersama golongan IV
(sanak keluarga di
dalam
garis
ke
samping
sampai
tingkat ke 6) maka
bagiannya adalah = ¾
kali
bagian,
senadainya ia anak
sah.
5. Jika anak luar kawin
diakui
mewarisi
bersama golongan II
dan IV (golongan III
dan IV yang berbeda
pancer)
maka
bagiannya adalah = ½
kali bagian-bagiannya,
seandainya ia anak sah
(diambil derajat yang
terdekat).
Jadi cara menghitung
hak bagian anak luar
kawin
adalah,
mengumpamakan mereka
anak sah lebih dulu, baru
kemudian dihitung haknya
sebagai anak luar kawin.
d. Janda
Janda
adalah
seseorang yang ditinggal
mati
oleh
suaminya.
Tetapi masih tetap tinggal
di dalam kerabat suaminya
selama ia tidak kawin lagi,
karena sudah dianggap
sebagai anggota keluarga
kerabat suaminya. Seorang
janda pada umumnya di
Pekalongan,
setelah
kematian suaminya akan
tetap
berkewajiban
mengurus, merawat dan
mendidik anak-anaknya.
Menurut
adat
masyarakat Tionghoa di
Pekalongan, seorang janda
bukanlah
berkedudukan
sebagai ahli waris dari
suaminya
yang
telah
meninggal dunia. Janda
tersebut hanya menguasai
atau
mengelola
harta
kekayaan
yang
ditinggalkan
almarhum
suaminya
untuk
mencukupi
kebutuhan
hidupnya serta keperluan
anak-anaknya sampai anak
tersebut bisa mandiri.
57
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
Biasanya janda karena
kematian
tidak
mau
menikah lagi demi anakanaknya. Apabila janda
tersebutsudah tua dan
dirasa sudah tidak mampu
mengeloa harta atau usaha
peninggalan
suaminya
maka
harta
warisan
tersebut
dibagi-bagikan
kepada
semua
anakanaknya sesuai dengan
bagian masing-masing.
e. Ahli Waris Lainnya
Ahli waris utama
dalam
masyarakat
Tionghoa di Pekalongan
adalah anak kandung dan
anak
angkat
dengan
testament,
sedangkan
seorang janda bukanlah
ahli waris dari suaminya
yang meninggal dunia
tetapi ia berhak menguasai
dan menikmati hasil dari
harta
peninggalan
suaminya itu. Apabila ahli
waris tersebut diatas tidak
ada maka harta warisan
akan
beralih
kepada
keponakan atau saudara
dekat
yang
berjasa
memelihara dan merawat
pewaris sampai dengan
58
pewaris meninggal dunia
serta mengatur melakukan
penguburan
jenazah
berikut
selamatannya.
Padahal
kemungkinan
keponakan atau saudara
dekat bukan saudara asli
yang mana sebenarnya
bukan sebagai ahli waris
yang semestinya dari
pewaris, tetapi karena rasa
sayang dan sebagai balas
budi terhadap keponakan
atau
saudara
dekat
tersebut. Dan seandainya
keponakan atau saudara
sekat tidak ada, maka
harta warisan akan dibagi
antara saudara-saudaranya
berdasarkan
kerukunan
diantara mereka.
E. Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian
tentang pewarisan masyarakat
Tionghoa maka penulis menarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Masyarakat
Tionghoa
di
Pekalongan dapat dibedakan
menjadi dua golongan yaitu
Tionghoa Totok dan Tionghoa
peranakan. Di dalam hal
pewarisan,
masyarakat
Tionghoa
Totok
masih
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
menganut
adat
istiadat
leluhurnya.
Sedangkan
masyarakat
Tionghoa
peranakan kebanyakan sudah
meleburkan
diri
atau
mengikuti sistem kekerabatan
adat masyarakat setempat.
2. Pewarisan dapat dilakukan
sebelum dan sesudah pewaris
meninggal dunia, sedangkan
pelaksanaannya dengan jalan
hibah dan wasiat. Sehingga
apabila
pewaris
telah
meninggal dunia, maka harta
warisan akan dibagi-bagikan
berdasarkan
musyawarah
diantara para ahli waris.
3. Dalam
hal
pelaksanaan
pewarisan tidak ada hak
berpikir
yang
diberikan
kepada ahli waris pada saat
warisan terbuka. Maka hal ini
sangat bertentangan dengan
pasal 1023 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yaitu
mengenai hak memikir dan
hak
istimewa
untuk
mengadakan pendaftaran harta
peninggalan.
4. Secara umum masyarakat
Tionghoa di Pekalongan tidak
mau tunduk kepada Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata dalam hal pelaksanaan
pewarisan karena banyak yang
tidak mengerti dan juga tidak
ingin mempersulit jalannya
pewarisan tersebut.
5. Hibah menurut masyarakat
Tionghoa, termasuk juga
dalam pembagian warisan.
Berarti sama pula dengan
hibah yang berlaku pada
masyarakat setempat.
DAFTAR PUSATAKA
Afandi Ali, 1986, Hukum Waris,
Hukum Keluarga, Hukum
Pembuktian menurut Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata (BW), Jakarta, Bina
Aksara.
Salim Oemar, 2004, Dasar-Dasar
Hukum Waris di Indonesia,
Jakarta, Rineka Cipta.
Soemitro Hanityo Rony, 1988,
Metode Penelitian Hukum dan
Jurumetri, Jakarta, Ghalia
Indonesia.
Saleh Abdurahman, 1992, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta, Akademika Pressindo.
Sofwan Masychoen Soedewi Sri,
1981, Hukum Perdata, Hukum
Benda, Yogyakarta; Liberti
Subekti r dan Tjitrosidibio, 1983,
Kitab
Undang-Undang
Hukum Perdata (BW), Jakarta;
Pradnya Paramita.
59
Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008
Sudarsono, 1994, Hukum Waris dan
Sistem Bilateral, Jakarta;
Rineka Cipta.
Wignjodiputro
Surojo,
1983,
Pengantar dan Asas-Asas
Hukum Adat, Jakarta; Gunung
Agung.
S.
Tamakirin, 2000, Asas-Asas
Hukum Waris menurut Tiga
Sistem Hukum, Bandung;
Pionir Jaya.
Hartono Sumaryadi, 1991, Dari
Hukum Antar Golongan ke
Hukum Antar Adat, Bandung;
Citra Aditya Bhakti.
Suryadinata Leo, 1984, Dilema
Minoritas Tionghoa, Jakarta;
Grafiti Pers.
60
Widjayakusuma Hembing, 2000,
Nilai dan Bukti Sejarah Misi
Perjalanan Sam Poo Kong,
Semarang; Suara Merdeka.
Hadi Kusumo Hilman, 2001, Hukum
Waris
Adat,
Bandung;
Alumni.
Kunzhang Huang, 2000, Etnis
Tionghoa
adalah
Teman
Handal
Perjuangan
Kemerdekaan
Indonesia,
Jakarta; Sinergi.
Prodjodikoro Wirjono, 2000, Hukum
Waris Indonesia, Bandung;
Sumur.
Download