Kajian histopatologi paru-paru ayam broiler yang diuji tanang virus

advertisement
18
TINJAUAN PUSTAKA
Avian Influenza
Virus Avian Influenza
Virus influenza merupakan virus RNA dari famili Orthomyxoviridae.
Virus ini memiliki asam nukleat beruntai tunggal, terdiri dari 8 segmen gen yang
mengkode sekitar 11 jenis protein. Virus influenza juga mempunyai selubung
atau simpai yang terdiri dari kompleks protein dan karbohidrat. Terdapat tonjolan
(spikes) yang digunakan untuk menempel pada reseptor yang spesifik pada sel
inang saat menginfeksi.
Ada dua jenis spikes pada virus ini yaitu yang
mengandung hemaglutinin (H) dan yang mengandung neuraminidase (N),
keduanya terletak dibagian terluar virion (Gambar 1).
Gambar 1
Morfologi virus Avian Influenza (Davidson 1995)
Horimoto dan Kawaoka (2001), menyatakan bahwa virus influenza
mempunyai 4 jenis antigen yang terdiri dari hemaglutinin, neuraminidase, protein
nukleokapsid, dan protein matriks.
Menurut Murphy dan Webster (1996),
berdasarkan perbedaan antigenik pada nukleoprotein dan protein matriks, virus
influenza diklasifikasikan sebagai tipe A, B, dan C, sedangkan virus AI sendiri
termasuk dalam virus influenza tipe A.
Virus Influenza tipe A sangat patogen bagi manusia dan hewan, sehingga
mempunyai peran penting dalam bidang kesehatan karena menyebabkan angka
kesakitan dan kematian yang tinggi di seluruh dunia. Virus influenza tipe A ini
19
dapat menyebabkan pandemi karena mudah bermutasi, baik berupa antigenic drift
ataupun antigenic shift sehingga membentuk varian-varian baru yang lebih
patogen. Virus influenza B adalah jenis virus yang hanya menyerang manusia,
sedangkan virus influenza C jarang ditemukan walaupun dapat menyebabkan
infeksi pada manusia dan hewan. Jenis virus influenza B dan C jarang sekali
menyebabkan wabah pandemi atau bahkan tidak sama sekali. Pengelompokan
virus influenza berdasarkan sifatnya dijelaskan pada Tabel 1.
Tabel 1
Pengelompokan virus influenza berdasarkan jenisnya
Spesies influenza
A
B
C
Ya
Tidak
Tidak
Pan atau epidemic
epidemi
Epidemic
Shift dan Drift
Drift
Drift
Jumlah segmen RNA
8
8
7
Jumlah protein permukaan
2
2
1
Reservoir Hewan
Transmisi Manusia
Mutasi
Keterangan :
o Pandemi (kejadian penyakit yang dalam waktu singkat menyebar ke beberapa Negara),
o Epidemi (kejadian penyakit yang mengalami peningkatan)
o Shift (istilah mutasi virus AI = bentuk determinan antigen berubah secara perlahan dan
lambat menjadi bentuk yang berbeda pada setiap generasi virus),
o Drift (istilah mutasi virus AI = mudah mengkombinasikan HA dan NA untuk
menghasilkan variasi antigenik baru)
Sumber : maksum 2010
Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) dikelompokkan menjadi
dua, yakni flu burung yang sangat patogenik (Highly Pathogenic Avian Influenza
atau HPAI) yang dahulu lebih dikenal dengan fowl plaque dan flu burung yang
kurang patogenik (Low Pathogenic Avian Influenza atau LPAI). Kedua jenis flu
burung tersebut disebabkan oleh virus famili Orthomyxoviridae tipe A (Easterday
and Hinshaw 1991). Menurut Office International des Epizooties (OIE) pada
tahun 2000, subtipe yang menimbulkan HPAI hanya H5 dan H7, namun infeksi
virus HPAI pada ayam sangat fatal dan menular. Umumnya unggas yang hidup di
air merupakan reservoir utama dari penyakit ini.
Perubahan Patologis
Perubahan makroskopik pada kasus flu burung atau Avian Influenza (AI)
ditemukan sangat bervariasi pada unggas. Hal tersebut sesuai dengan lokasi lesio
20
yang terjadi, derajat keparahan, spesies unggas dan patogenisitas virus influenza
itu sendiri. Bentuk ringan ditemukan dengan adanya salah satu atau campuran
dari eksudat kataralis, fibrinus, serofibrinus, mukopurulen atau kaseus pada sinus.
Bentuk akut terlihat jika unggas mati dalam waktu yang singkat namun biasanya
tidak ditemukan adanya perubahan makroskopik tertentu karena lesio pada
jaringan belum berkembang (Davison et al. 1999).
Berbagai subtipe virus influenza tersebut dapat menimbulkan lesio pada
stadium awal, yang meliputi edema pada kepala yang disertai oleh pembengkakan
sinus, sianosis, kongesti dan hemoragi pada pial dan balung.
Kongesti dan
hemoragi mungkin ditemukan juga pada kaki bahkan ditemukan adanya fokal
nekrotik pada hati, limpa, ginjal dan paru jika penyakit berlanjut. Perubahan
mikroskopik pada lesio yang ditimbulkan oleh fowl plaque (HPAI) ditandai oleh
adanya gambaran histopatologi berupa edema, hiperemi, hemoragi dan
perivascular cuffing sel limfoid, terutama pada miokardium, limpa, paru, otak,
balung dan dengan frekuensi yang lebih rendah pada hati dan ginjal (Hooper
1989).
Pemeriksaan serologis dapat dilakukan untuk mengetahui adanya
pembentukan antibodi terhadap AI yang dapat diamati 7-10 hari pasca-infeksi.
Adapun uji serologis yang sering digunakan adalah uji hemaglutinasi inhibisi (HI)
untuk mengetahui adanya antibodi terhadap hemaglutinin (H) dan agar gel
presipitasi (AGP) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap neuraminidase (N).
Uji serologis lainnya adalah uji netralisasi virus (VN), neuraminidase-inhibition
(NI), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), antibodi monoclonal,
hibridisasi in situ, dan imunofluorescence. Penyakit yang mirip gejala klinisnya
dan dapat dijadikan sebagai diagnosa banding dengan Avian Influenza (AI) adalah
Newcastle Disease (ND), Pigeon paramyxovirus, Infectious Bronchitis (IB),
Swollen Head Syndrome (SHS), dan avian mikoplasmosis (Tabbu 2000).
Epidemiologi
Menurut Office International des Epizooties (OIE) 2004, terdapat 16 jenis
subtipe H dan 9 jenis subtipe N dari virus AI. Berdasarkan data kasus seroprevalensi secara epidemiologi menunjukkan bahwa beberapa subtipe virus
21
influenza A telah menyebabkan wabah pandemi selama beberapa tahun antara lain
H7N7 (1977), H3N2 (1968), H2N2 (1957), H1N1 (1918), H3N8 (1900), dan
H2N2 (1889). Kasus AI dalam perkembangan, tidak hanya menyerang unggas,
tetapi juga menyerang mamalia lainnya bahkan manusia, seperti yang terlihat
pada Gambar 2.
Gambar 2 Siklus penyebaran virus Avian Influenza (Nanocid 2008)
Kamps dan Reyes (2006) menyatakan bahwa virus Avian Influenza (AI)
dikenal cerdik dan susah diberantas karena sifatnya yang mudah merubah asam
intinya. Selain itu, karena sifatnya dapat melakukan penyebaran melalui udara
menyebabkan virus ini cepat berpindah ke hewan lainnya. Penyakit AI yang
sangat patogen (HPAI) telah terdaftar sebagai penyakit list A (OIE 2000). Di
Indonesia terjadi wabah penyakit unggas yang fatal pada bulan September hingga
Oktober 2003 dan wabah tersebut telah menimbulkan kerugian ekonomi cukup
besar bahkan menimbulkan kematian yang sangat tinggi (hampir 90%) pada
unggas di beberapa peternakan.
Penggunaan Hewan Coba
Ayam, kalkun, bebek dan unggas lainnya merupakan hewan yang biasa
digunakan sebagai hewan coba laboratorium karena menurut Tabbu (2000), virus
AI menimbulkan mortalitas yang tinggi pada hewan tersebut dalam kondisi alami.
22
Ayam broiler adalah galur ayam hasil rekayasa teknologi yang memiliki
karakteristik ekonomis dengan ciri khas pertumbuhan cepat sebagai penghasil
daging, masa panen pendek dan menghasilkan daging berserat lunak, timbunan
daging baik, dada lebih besar dan kulit licin (North and Bell 1990). Gambaran
performa ayam broiler secara umum terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Ayam broiler (Jackie Deems 2010)
Klasifikasi ayam broiler menurut Sarwono (2003), adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Divisi
: Chordata
Kelas
: Aves
Sub kelas
: Neonithes
Ordo
: Galiformis
Genus
: Gallus
Spesies
: Gallus domesticus.
Menurut Rasyaf (1999) ayam broiler merupakan ayam pedaging yang
mengalami pertumbuhan pesat pada umur 1–5 minggu, bahkan ayam yang
berumur 6 minggu sudah sama besarnya dengan ayam kampung dewasa yang
dipelihara selama 8 bulan. Keunggulan ayam broiler tersebut didukung oleh sifat
genetik dan keadaan lingkungan seperti makanan, temperatur dan pemeliharaan.
23
Umumnya di Indonesia ayam broiler sudah dipasarkan pada umur 5-6 minggu
dengan berat 1,3–1,6 kg walaupun laju pertumbuhannya belum maksimum,
karena ayam broiler yang sudah berat sulit dijual (Cahyono 1995). Menurut
Mountney (1983) ayam broiler yang baik adalah ayam yang cepat tumbuh dengan
warna bulu putih, tidak terdapat warna-warna gelap pada karkasnya, memiliki
konfirmasi dan ukuran tubuh yang seragam. Ayam broiler akan tumbuh optimal
pada temperatur lingkungan 19–21oC (Soeharsono 1976).
Gejala klinis yang
ditimbulkan akibat AI lebih cepat terlihat pada ayam broiler dibandingkan ayam
layer.
Paru–Paru Unggas
Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak
di dalam rongga dada dan toraks.
Kedua paru-paru saling terpisah oleh
mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar.
Tiap paru-paru mempunyai apeks (bagian atas paru-paru), basis (bagian bawah
paru–paru), pembuluh darah paru-paru, bronkhial, saraf dan pembuluh limfe yang
memasuki tiap paru-paru, terutama pada bagian hilus dan akan membentuk akar
paru-paru (Johnson 2008).
Paru–paru ayam bentuknya berlobus, secara utuh menempel pada pleura,
dan memiliki berat normal sekitar 40-60 gram. Jika paru–paru berukuran terlalu
besar maka bisa saja merupakan patologi, seperti bengkak karena berbagai
penyakit atau terjadi akumulasi peradangan yang menimbulkan eksudat berlebih.
Paru–paru yang baik berwarna merah jingga dan seperti spons, dapat terisi udara
dengan baik. Secara umum, paru–paru dibagi menjadi system penyalur udara intra
pulmonari, parenkim ataupun sistem respirasi dan pleura.
Paru–paru ayam yang baik umumnya berwarna merah, berukuran kecil,
dan menempel di kiri-kanan collumna vertebralis pada septum dorsalis di dalam
ruangan cavum pulmonale.
Di bagian ventral facies septalis terdapat hillus
pulmonalis, yaitu tempat masuknya pembuluh darah dan bronkhi primer (Ritchson
2009).
24
Histologi dan Fisiologi Paru–paru
Paru-paru
ayam
parabronkhus, dan alveoli.
normal
terdiri
dari
bronkhus
intrapulmonum,
Bronkhus intrapulmonum memiliki mukosa dan
adventisia. Tulang rawan jarang sekali tampak, karena sejak di vestibulum tulang
rawan sudah tidak ada. Epitel mukosa berbentuk silinder banyak baris bersilia,
dengan propria submukosa banyak mengandung pembuluh darah (Brown 1992).
Kapiler pembuluh darah berfungsi untuk tempat pertukaran gas yang kaya O2 dan
miskin O2, sistem tersebut dikenal dengan blood air barrier. Parabronkhus pada
paru–paru ayam merupakan saluran yang berfungsi menyalurkan udara dari dan
atau ke paru–paru. Epitel parabronkhus berbentuk kubus, di bawahnya terdapat
jaringan ikat dan otot polos. Alveoli merupakan bagian terpenting dari paru–paru,
karena di jaringan ini dapat mengembang bila terisi udara (fleksibel). Alveolus
juga berperan atas terjadinya pertukaran gas yang kaya O2 dan miskin O2 bersama
dengan kapiler sekitarnya. Histologi normal paru-paru terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Histologi umum paru-paru (Caceci 2006)
Pada dinding paru-paru yakni di sekitar alveolus terdapat sel pneumosit,
yang terdiri dari pneumosit type I (memranous pneumocytes) dan pneumosit type
II (Granular Pneumocytes) seperti yang terlihat pada Gambar 5. Secara normal,
sel pneumosit type I ini melapisi 95% dinding alveoli dan menjalankan fungsi
utama paru-paru sebagai tempat pertukaran udara. Sel ini sangat rentan terhadap
kekurangan oksigen (Codd et al. 2005). Sel pneumosit type II yang terdapat di
epitel alveoli merupakan sel penghasil surfaktan. Surfaktan berfungsi untuk
25
mengurangi tekanan permukaan cairan yang menyelimuti alveol, menurunkan
tekanan yang diperlukan oleh alveol-alveol kecil sehingga mencegah kerobekan
alveol-alveol kecil menjadi alveol besar (Daniels et al. 1998).
Gambar 5 Histologi alveolus (Slomianka 2009)
Unggas tidak mempunyai alveoli paru–paru seperti yang terdapat pada
paru–paru mamalia, namun unggas mempunyai jutaan faveolar paru–paru yang
biasa disebut dengan parabronkhi dan akan berhubungan dengan saluran terakhir
melalui dorsobronchi (Romers dan Parsons 1977).
Parabronkhi berasal dari
bronchi medioventrales di satu sisi dan bronkhi mediodorsales serta bronkhi
lateroventrales di sisi lainnya. Tiap parabronkhus merupakan pipa-pipa panjang
yang berdiameter 0.2-0.5mm tergantung ukuran unggas. Selanjutnya parabronkhi
dari kedua sisi akan bertemu di suatu tempat dasar yang disebut planum
anastomicum. Parenkim atau daerah pertukaran gas kira–kira 85% dari paru–
paru, terdiri dari duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli (Frandson 1992).
Sistem penyalur udara intrapulmonar (bronchus dan bronchiolus),
mencapai 6% paru–paru. Gambar 6, menunjukkan mesobronkhus yang secara
struktural sangat mirip dengan bronkhus mamalia (Gambar 4). Mesobronkhus
memiliki tulang rawan dan otot polos di dinding, tidak memiliki fungsi langsung
dalam pertukaran gas, seperti bronkhus pada mamalia (Caceci 2006).
26
Gambar 6 Histologi paru-paru unggas (Caceci 2006)
Ketika udara kotor yang dibawa aliran darah dari jantung, kemudian
masuk dalam paru–paru akan ditukar dengan udara kaya oksigen yang diperoleh
paru-paru dari lingkungan luar, melalui proses yang disebut bernafas (Guyton
2008). Sistem respirasi merupakan tempat terjadinya pertukaran gas antara darah
dan udara.
Sistem respirasi dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu: bagian
konduksi dan bagian respirasi.
Bagian konduksi berperan sebagai pencuci,
memanasi atau mendinginkan dan membuat udara lebih lembab, sedangkan
bagian konduksi merupakan tabung yang menghubungkan dunia luar dan paruparu, terdiri atas: hidung, faring, laring, trakea, bronkhi dan bronkhioli
(Cunningham 1994).
Patogenesa
Penyebaran virus Avian Influenza terjadi melalui udara.
Virus yang
tertanam pada membran mukosa akan terikat dengan mukoprotein yang
mengandung asam sialat yang dapat mengikat virus.
Tetapi virus yang
mengandung neuraminidase (N) pada permukaannya dapat memecah ikatan
tersebut. Virus selanjutnya akan melekat pada epitel permukaan saluran nafas
untuk kemudian bereplikasi di dalam sel tersebut. Replikasi virus terjadi selama
4-6 jam sehingga dalam waktu singkat virus dapat menyebar ke sel-sel
didekatnya. Masa inkubasi virus 18 jam hingga 4 hari, lokasi utama dari infeksi
yaitu pada sel-sel kolumnar yang bersilia.
Sel-sel yang terinfeksi akan
membengkak dan intinya mengkerut dan kemudian mengalami piknosis.
27
Bersamaan dengan terjadinya disintegrasi dan hilangnya silia selanjutnya akan
terbentuk badan inklusi (Nainggolan 2007).
Sirih Merah (Piper crocatum)
Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai jenis tumbuhan.
Tumbuhan tersebut dapat memberikan manfaat pada berbagai bidang antara lain
bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, bahan dasar obat-obatan dan
sebagainya. Tumbuhan yang digunakan sebagai obat dikenal dengan nama obat
tradisional dan sampai saat ini masih banyak digunakan oleh masyarakat. Hal itu
perlu dilestarikan, karena obat tradisional harganya relatif lebih murah
dibandingkan dengan obat sintesis, serta bahan-bahannya pun mudah didapat
(Wijayakusuma 2000).
Ciri khas tanaman tropis ini, berbatang bulat hijau keunguan dan tidak
berbunga. Seperti sirih hijau, tanaman sirih merah juga tumbuh merambat di
pagar atau pohon yang tumbuh berselang-seling dari batangnya. Penampakan
Daunnya bertangkai membentuk jantung hati dan bagian atasnya meruncing.
Permukaan daun mengkilap dan tidak merata yang berwarna merah keperakan
(Gambar 7). Daunnya berasa pahit getar, namun beraroma lebih wangi dibanding
sirih hijau. Bila dirobek, daun sirih merah akan berlendir (Duryatmo 2006).
Gambar 7 Tanaman sirih merah (Dokumen pribadi 2010)
28
Adapun kedudukan tanaman sirih merah yang termasuk dalam famili
Piperaceae. Menurut Backer (1963) dalam sistematik (taksonomi) sirih merah
(Piper crocatum) diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae (tumbuhan)
Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (dikotil/berkeping dua)
Sub kelas
: Magnoliidae
Ordo
: Piperales
Famili
: Piperaceae (suku sirih-sirihan)
Genus
: Piper
Spesies
: Piper crocatum
Zat-Zat yang Terkandung dalam Sirih Merah (Piper crocatum)
Daun sirih (Piper crocatum) mengandung ragam senyawa kimia seperti
minyak atsiri yang terdiri dari senyawa kavikol, karvakol, sineol, metal kavikol,
eugenol, dan kavibetol. Selain itu, daun sirih juga mengandung tanin, gula, dan
amilum. Menurut Rahmadi (2009), dalam daun sirih merah terkandung senyawa
fitokimia yakni alkaloid, saponin, tanin dan flavonoid. Menurut Sudewo (2007),
dari hasil kromotogram dapat dilihat bahwa daun sirih merah mengandung
flavonoid, polifenolad, tanin dan minyak atsiri.
Diketahui bahwa senyawa
tersebut mempunyai sifat antibakteri.
Flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara membentuk senyawa
kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu integritas membran sel
bakteri (Cowan 1999). Menurut Dwidjoseputro (1994), flavonoid merupakan
senyawa fenol dan dapat bersifat koagulator protein. Flavonoid adalah kelompok
senyawa fenol yang terbesar ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan zat
warna merah, ungu, biru dan sebagian kuning yang ditemukan dalam tumbuhan
(Harborne 1987). Flavonoid dapat dikasifikasikan menjadi 3 yaitu flavoniod,
isoflavonoid, dan neoflavonoid. Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang
memiliki gugus –OH.
29
Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri dan diduga mekanisme
kerjanya dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel
bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan
menyebabkan kematian sel tersebut (Robinson 1991).
Alkaloid merupakan
metabolit sekunder yang paling banyak diproduksi tanaman. Alkaloid adalah
bahan organik yang mengandung nitrogen sebagai bagian dari sistim heterosiklik.
Sampai saat ini semakin banyak alkaloid yang ditemukan dan diisolasi untuk obat
modern. Alkaloid bersifat basa, di alam berada sebagai garam dengan asam-asam
organik. Adanya sifat basa ini mempermudah memisahkan ekstrak total alkaloid
dari komponen lainnya (Harborne 1987). Alkaloid di dalam sirih merah berfungsi
sebagai antikanker, antiinflamasi dan antimikroba.
Alkaloid memiliki
kemampuan sebagai antibakteri dan diduga dengan cara mengganggu komponen
penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak
terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut.
Tanin, salah satu fitokimia yang terdapat dalam sirih merah (Piper
crocatum), merupakan astringen, polifenol dalam tumbuhan yang mengikat dan
menciutkan protein (McGee 2004). Tanin merupakan senyawa fenol dan terdapat
luas dalam tumbuhan berpembuluh (angiospermae) dan terdapat khusus dalam
jaringan kayu. Tanin dapat juga ditemukan dalam jaringan daun, tunas, biji, akar,
dan batang (Hemingway dan Karchesy 1989). Tanin dapat digunakan dalam
bidang medis sebagai obat yang berfungsi sebagai penyembuh sakit perut
khususnya antidiare, hemostatik, antihemoroid dan juga dapat digunakan sebagai
obat antiseptik pada luka.
Di samping itu, tanin memiliki efek moluskisida,
antiviral, antiinflamasi dan mempercepat penyembuhan luka. Tanin juga dapat
menyebabkan regresi tumor yang sudah terdapat di jaringan (Bajaj 1999).
Menurut batasannya, tannin dapat bereaksi dengan protein membentuk kapolismer
kuat yang tidak larut dalam air.
Tanin memiliki aktivitas antibakteri, secara garis besar mekanisme yang
diperkirakan menurut Akiyama et al. (2001) adalah sebagai berikut : toksisitas
tanin dapat merusak membran sel bakteri, senyawa astringen tanin dapat
menginduksi pembentukan kompleks senyawa ikatan terhadap enzim atau substrat
mikroba dan pembentukan suatu kompleks ikatan tanin terhadap ion logam yang
30
dapat menambah daya toksisitas tanin itu sendiri. Menurut Ajizah (2004) tanin
diduga dapat mengkerutkan dinding sel atau membran sel sehingga mengganggu
permeabilitas sel itu sendiri. Akibat terganggunya permeabilitas sel, maka sel
tersebut tidak dapat melakukan aktivitas hidup dan pertumbuhannya terhambat
atau bahkan mati. Masduki (1996) menyatakan bahwa tanin juga mempunyai
daya antibakteri dengan cara mempresipitasi protein, karena diduga tanin
mempunyai efek yang sama dengan senyawa fenolik.
Efek antibakteri tanin
antara lain melalui : reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan destruksi
atau inaktivasi fungsi materi genetik.
Saponin, yang merupakan glikosida yang membentuk basa dalam air.
Apabila dihidrolisis dengan asam akan menghasilkan gula dan spogenin yang
sesuai, saponin merupakan senyawa kimia aktif permukaan yang dapat dideteksi
berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah
(Harborne 1987). Berdasarkan Sholikhah (2006), saponin dapat dipakai sebagai
antimikroba.
Zat lainnya yang terkandung pada tanaman sirih merah yakni minyak atsiri
pada sirih merah ini berfungsi sebagai antiradang dan antiseptik. Menurut Fitriani
(1999), sejak dahulu orang mengetahui bahwa bunga, daun dan akar dari berbagai
tumbuhan mengandung bahan yang mudah menguap dan berbau wangi yang
disebut minyak atsiri. Minyak atsiri berperan sebagai antibakteri dengan cara
mengganggu proses terbentuknya membran atau dinding sel sehingga tidak
terbentuk atau terbentuk tidak sempurna (Ajizah 2004).
Minyak atsiri yang aktif sebagai antibakteri pada umumnya mengandung
gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil. Turunan fenol berinteraksi dengan sel
bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar
rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera
mengalami penguraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan
presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol menyebabkan
koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis (Parwata dan Dewi 2008).
Tanaman sirih merah (Piper crocatum) juga memproduksi berbagai
macam bahan kimia lainnya untuk tujuan tertentu, yang disebut dengan metabolit
sekunder. Metabolit sekunder tanaman tersebut merupakan bahan yang tidak
31
esensial untuk kepentingan hidup tanaman tersebut, tetapi mempunyai fungsi
untuk berkompetisi dengan makhluk hidup lainnya. Metabolit sekunder yang
diproduksi tanaman bermacam-macam seperti alkaloid, terpenoid, isoprenoid,
flavonoid, cyanogenik, glukosida, glukosinolat, dan protein non asam amino.
Menurut Hariana Arief (2008) kandungan kimia lain yang juga terdapat
pada daun sirih merah (Piper crocatum), seperti : hidroksikavicol, kavikol,
kavibetol, allylprokatekol, karvakrol, eugenol, p-cymene, cineole, caryofelen,
kadimen estragol, ter-penena, dan fenil propada. Karena banyaknya kandungan
zat atau senyawa kimia bermanfaat inilah, daun sirih merah memiliki manfaat
yang sangat luas sebagai bahan obat. Karvakol bersifat desinfektan, anti jamur,
sehingga bisa digunakan untuk obat antiseptik pada bau mulut dan keputihan.
Eugenol dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri (analgesik).
Download