BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

advertisement
 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar
dalam berbagai lingkup kehidupan. Banyak perempuan mengalami bentuk
penyiksaan fisik maupun mental yang berdampak trauma sepanjang hidup
maupun berujung pada kematian. Kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk
ketidakadilan yang disebabkan oleh tidak setaranya sharing of power diantara
antara perempuan dan laki-laki. Adanya relasi kuasa yang tidak setara muncul
karena bergeraknya sistem budaya patriarkis. Masyarakat yang patriarkis telah
mengaburkan perbedaan sex dan gender yang ada didalam diri perempuan dan
laki-laki.
Secara umum, sex merupakan pemberian dari Tuhan yang bersifat kodrat.
Apakah kita dilahirkan sebagai seorang perempuan atau laki-laki, sepenuhnya hak
Tuhan. Perbedaan sex antara laki-laki dan perempuan terletak pada bentuk organ
reproduksi dan fungsi alat reproduksinya. Gender adalah seperangkat peran yang,
seperti halnya kostum dan topeng teater, menyampaikan pada orang lain kepada
orang lain bahwa kita adalah feminim atau maskulin (Mosse, 1996). Feminim dan
maskulin merupakan pertentangan dari blok-blok biologis yang merupakan
15 interpretasi atas kultur dimana kita berada. Perangkat maskulin dan feminim
adalah perangkat perilaku yang menginterpretasikan bagaimana; penampilan,
pakaian, kepribadian, sikap, pekerjaan dan sekualitas.
Sejak lahir, manusia baik laki-laki maupun perempuan telah dilekatkan
pada peran-peran gender yang dikonstruksi oleh kultur. Peran-peran gender yang
dimainkan akan mempengaruhi bagaimana cara bersikap, berperilaku sampai
bentuk pencitraan yang sesuai dengan peran gender yang tengah dimainkan.
Proses pelekatan gender selama ratusan tahun berakibat pada konstruksi sosial
dalam masyarakat . Konstruksi ini melihat peran gender sebagai peran diterima
secara saklek hingga dianggap sebagai takdir. Konstruksi peran gender yang
dibentuk melalui sosialisasi, bukan hanya dipengaruhi oleh jenis kelamin, tetapi
juga melalui kelas sosial, latar belakang hingga etnis (Mosse, 1996). Gender
bersifat fleksibel, ia berbeda sifatnya dari satu tempat dengan tempat yang lain.
Proses pelekatan gender tentunya berpengaruh sepanjang kehidupan lakilaki dan perempuan. Gender berpengaruh akses terhadap sumber daya dan
otonomi diri dalam mengambil keputusan. Gender selalu berhubungan dengan
kekuasaan. Menurut Foucault, kekuasaan bukan merupakan institusi, dan bukan
struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki; tetapi nama yang diberikan pada
suatu situasi strategi kompleks dalam suatu masyarakat, hubungan kekuasaan
tidak bisa dipisahkan dari hubungan-hubungan dalam proses ekonomi, penyebaran
pengetahuan, hubungan seksual; kekuasan adalah akibat langsung dari pemisahan,
ketidaksamaan, dan ketidakseimbangan (diskriminasi); artinya kekuasaan
merupakan situasi intern adanya perbedaan dan perbedaan ini berjalan di tempat
16 kerja, keluarga, institusi, berbagai pengelompokan (Haryatmoko, 2002). Foucalt
memandang bahwa proses berjalannya kekuasaan bahkan masuk dalam kehidupan
paling intim yakni hubungan antara suami dan istri.
Akses sumber daya yang timpang antara dua jenis kelamin berimbas pada
ketidakadilan pada satu jenis kelamin atau biasa disebut ketidakadilan gender.
Ketidakadilan gender adalah kondisi yang diakibatkan oleh kekeliruan memahami
identitas gender antara laki-laki dan perempuan. Kebanyakan masyarakat masih
melibat laki-laki memiliki identitas gender yang unggul Cara pandang yang keliru
tersebut,
berdampak
pada
bentuk-bentuk
ketidakadilan gender
terhadap
perempuan. Ketidakadilan tersebut mencakup diskirminasi, marginalisasi,
subordinasi, stereotipe dan mitos, serta beban ganda (Fakhih, 2008).
Ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan akibat relasi yang tidak setara
dengan laki-laki memunculkan konflik diantara laki-laki dan perempuan, yang
berdampak pada kekerasan berbasis gender, merupakan bentuk dari ketimpangan
kekuasaan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan disepanjang sejarah,
mengakibatkan adanya penguasaan (dominasi) dan diskiminasi yang dilakukan
oleh laki-laki terhadap perempuan yang dapat merintangi tercapainya kemajuan
sepenuhnya kaum perempuan (Farid&Adib, 2001)
Kekerasan berbasis gender bersumber pada akar budaya patriarkhi.
Menurut Hibbah Rauf ‘Izzat dalam al Mar’ah wa al-‘A’mal as-Siyasi: Ru’Yah
Islamiyah
patriarkhisme (hukum alabi) secara historis merupakan konsep
Romawi, yang memberikan hak kepada kepala keluarga yang memliki kekuasan
mutlak atas seluruh anggota keluarga (Hasyim, 2001). Apabila peran keluarga
17 secara mutlak diberikan kepada laki-laki maka bentuk standar dan aturan yang
muncul akan didominasi oleh kepentingan laki-laki. Implikasi budaya patriarki
juga terjadi dalam ranah struktur masyarakat dan institusi karena sebagian besar
masyarakat menganggap bahwa laki-laki adalah sosok pemimpin yang
mempengaruhi setiap keputusan penting. Laki-laki masih dianggap sebagai jenis
kelamin yang idamkan dalam masyarakat.
Berbagai studi tentang kekerasan domestik yang dialami oleh perempuan
dari 48 negara yang disurvei oleh Population Report, menunjukan bahwa secara
keseluruhan antara 10% sampai 69% perempuan pernah mengalami kekerasan
dari pasanganya dari satu waktu (Ellsberg&Gottemoler, 1999). Sementara
berdasarkan data dari WHO pada tahun 2005 ketika melakukan riset di 10 negara
dengan menggunakan metode yang yang sama dengan Population Report (Multi
Country Study on Domestic Violence Againts Women dan Women’s Health)
menyebutkan bahwa 13%-16% dari 10 perempuan negara tersebut
pernah
mengalami kekerasan fisik dan antara 6%-59% pernah mengalami kekerasan
seksual dari pasanganya.
Sedangkan studi SEHATI di Purworejo, Jawa Tengah,menyebutkan
sebanyak 1 dari 4 perempuan pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual
dari suaminya dalam satu waktu dalam hidupnya. Lebih banyak perempuan yang
melaporkan mengalami kekerasan seksual (20%) dibandingkan dengan kekerasan
fisik 11%, sedangkan 34% atau 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan psikis
dari suaminya (Hakimi dkk, 2001). Artinya hampir seluruh kekerasan dalam
rumah tangga dilakukan oleh laki-laki. Data Rifka Annisa sejak tahun 2005-2012
18 memperlihatkan dominasi kasus kekerasan terhadap istri (KTI) dalam lingkup
rumah tangga sebagai berikut
Tabel 1.1 Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Rifka Annisa
Kategori Kasus
2005 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
KDRT
226
208
242
213
201
216
219
226
Kekerasan Dalam
Pacaran
35
31
37
20
28
44
41
28
Perkosaan
27
12
18
21
28
27
39
29
Pelecehan Seksual
18
8
19
24
17
10
39
9
Kekerasan Dalam
Keluarga
6
9
11
5
6
7
8
11
Trafficking
-
-
2
1
1
6
1
-
Total
312
268
329
284
281
310
347
303
Sumber : Data Base Kasus Rifka Annisa
Kasus yang datang dari Rifka Annisa memang didominasi oleh kasus
kekerasan dalam rumah tangga, dimana kasus yang paling banyak adalah jenis
kasus kekerasan psikologis. Angka kasus kekerasan dalam rumah tangga memiliki
porsi pelaporan yang besar sejak tahun 2005-2012. Banyaknya perempuan korban
yang mencari pertolongan dikarenakan akses dan pengetahuan yang semakin baik
dari publik akan kasus kekerasan terhadap perempuan. KDRT banyak dilaporkan
setiap tahunnya karena adanya jaminan hukum yang didapatkan perempuan
korban dengan adanya UUP KDRT.
19 Namun, lebih dari 200 kasus KDRT yang datang setiap tahunya ke Rifka
Annisa, hanya sekitar 10% perempuan korban yang melaporkan kasus kekerasan
yang dialaminya ke meja hukum, baik secara pidana maupun perdata.
Kebanyakan perempuan korban memutuskan kembali kepasangan dengan alasan
bahwa mereka melaporkan persoalan kekerasannya ke Rifka Annisa karena ingin
memberi efek jera kepada suami dan memberi peringatan bahwa istri berani untuk
membela dirinya. Minimnya keinginan perempuan korban KDRT untuk
melaporkan kasusnya ke jalur hukum karena didasarkan beberapa hal, yakni
KDRT masih tabu untuk diungkap ke publik, beban yang dialami oleh perempuan
sangatlah berat apabila ia berpisah dari pasangannya karena perempuan korban
masih bergantung secara ekonomi. Fakta ini memperlihatkan bahwa keinginan
perempuan yang berada dalam siklus kekerasan dan memutus siklus kekerasan
yang ia alami sangat minim. Perempuan memilih bertahan dalam pernikahan
meski dirasa itu membahayakan dirinya. Dari hal inilah, maka diperlukan strategi
lain untuk memastikan bahwa kekerasan tetap bisa diminimalisir meski
perempuan masih dalam ikatan pernikahan dengan laki-laki yang melakukan
kekerasan terhadapnya.
Salah satu strategi yang
potensial yang kini berkembang di gerakan
perempuan adalah upaya pelibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan
terhadap perempuan. Di negara berkembang seperti Indonesia, munculnya
kekerasan berbasis gender dapat dipicu oleh langgengnya maskulinitas negatif
yang dimiliki laki-laki. Framing isu kekerasan berbasis gender perlu dilihat
dengan membongkar konstruksi maskulinitas yang ada selama ini. Setidaknya
20 upaya tersebut dapat menghasilkan dua hal : Pertama, untuk melihat bagaimana
kekerasan muncul dari konstruksi maskulinitas. Kedua, untuk menelusuri
bagaimana seharusnya konsep maskulinitas dikonstruksikan agar tidak berpotensi
menjadi kekerasan.
Di
negara-negara Eropa, seperti Swedia telah memiliki konsep dan
pengalaman yang cukup menarik perihal maskulinitas. Mens Centrum (sebuah
lembaga pelayanan konseling untuk laki-laki) di Swedia, menggambarkan
maskulinitas terdapat dalam sosok laki-laki yang penyayang dan berempati, bukan
laki-laki superior maupun dominan. Dengan menganut nilai dan prinsip demikian,
laki-laki Swedia sangat minim untuk melakukan kekerasan. Dalam konteks rumah
tangga misalnya, laki-laki dan perempuan sudah cukup baik dalam berbagi peran
dan pemahaman akan posisi masing-masing.
Dengan konstruksi maskulinitas yang disebutkan di awal, laki-laki Swedia
justru sangat menerima untuk berbagi peran domestik dengan istri mereka. Dalam
kehidupan sehari-hari, laki-laki dan perempuan pun saling berbagi peran misalnya
perihal mengurus anak. Mereka juga saling bekerja sama dalam mengerjakan
pekerjaan rumah tangga dengan kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi.
Persoalan komunikasi dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan sehari-hari ini sangat penting untuk meminimalisir kekerasan dalam
rumah tangga, karenanya kekerasan dalam rumah tangga sudah tidak menjadi
permasalahan prioritas di Swedia. Kekerasan dalam rumah tangga masih ada
tetapi tidak begitu tinggi. Selain itu, kekerasan yang terjadi bukan lagi karena
permasalahan gender melainkan akibat konflik psiko sosial antar individu.
21 Kekerasan dalam konteks Swedia dapat dilihat sebagai keburukan
individual yang muncul atas tiga sebab: pertama, adanya gen buruk manusia yang
membuatnya begitu agresif; kedua, adanya perkembangan yang tidak baik dalam
fase kehidupannya; dan ketiga, kekerasan dapat muncul akibat penggunaan
kualitas dan sikap laki-laki dalam interaksi sosial. Jika ekologi kekerasan lebih
dipandang sebagai faktor individual maka solusi yang dilakukan juga lebih
menyasar kepada perbaikan sikap individu masing-masing.
Menilik dari pengalaman Mens Centrum, konseling yang dilakukan
kepada laki-laki pelaku kekerasan lebih efektif jika pendekatannya individual.
Tidak ada kerangka ekologis yang cukup kompleks dalam kekerasan di Swedia,
penyebabnya cenderung individual, maka solusinya lebih sederhana dan langsung
menekan individu pelaku kekerasan. Bahkan, dalam kasus kekerasan dalam rumah
tangga misalnya, tekanan (pressure) yang paling efektif datang dari pasangan.
Maka, dalam hal ini laki-laki dituntut untuk mau mendengarkan serta
berkomunikasi secara lebih baik dengan pasangannya
Konsep konseling inilah yang kemudian banyak ditiru oleh negara-negara
berkembang, seperti yang dilakukan di Indonesia. Rifka Annisa, dengan membuka
konseling bagi laki-laki pelaku kekerasan agar menghentikan siklus kekerasan
terhadap pasanganya. Rifka memiliki pengalaman panjang dalam mendampingi
perempuan korban. Refleksi Rifka Annisa memperlihatkan bahwa salah satu cara
efektif untuk memutus siklus kekerasan terhadap perempuan adalah melibatkan
laki-laki pelaku kekerasan untuk ikut dalam sesi konseling perubahan perilaku
bersama pasangan.
22 Dari tahun 1993 hingga tahun 2006, Rifka Annisa melihat semakin banyak
kebutuhan untuk melibatkan laki-laki pasangan ke konseling. KDRT biasanya
tidak terjadi hanya satu kali saja di dalam rumah tangga dan masyarakat masih
menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab keharmonisan rumah
tangga. Di tahun 2007, Rifka Annisa melakukan studi maskulinitas di Purworejo
yang melibatkan 30 laki-laki. Para laki-laki tersebut mengatakan bahwa menjadi
laki-laki itu berat dan sekaligus menyenangkan, karena memiliki banyak
previlege. Namun, ketika laki-laki tidak bekerja, mereka akan menjadi sensitif.
Mereka mengatakan bahwa mereka menjadi seperti ini karena masyarakat
menginginkan mereka seperti ini. Jadi memang berat menjadi laki-laki, karena
ketika mereka bercerita, mereka akan kehilangan maskulinitasnya. Laki-laki
pelaku KDRT ini patut diperhatikan karena secara tidak langsung sebagaian besar
dari anggota masyarakat juga membentuk laki-laki menjadi seperti itu.
Di tahun 2007, Rifka Annisa memberanikan diri untuk terjun melakukan
konseling terhadap laki-laki, karena semakin banyak perempuan korban yang
tidak ingin berakhir dengan perceraian. Rifka Annisa membentuk Men’s Program
atau layanan konseling laki-laki yang membincang tentang konseling yang baik
untuk pelaku itu seperti apa. Refleksi 20 tahun bekerja dalam isu penghapusan
kekerasan terhadap perempuan, ternyata tidak cukup hanya mendampingi
perempuan korban saja, laki-laki juga harus didampingi.
Keseluruhan kasus
konseling laki-laki yang sudah sudah dilakukan adalah tahun 2007 ada 8 klien,
tahun 2008 ada 10 klien, tahun 2009 ada 17 klien, tahun 2010 ada 15 klien, dan
tahun 2011 dan 22 klien. Mayoritas dari mereka masih suami dari penyintas yang
23 kita dampingi, masih sedikit yang sukarela karena keinginan sendiri. Menarik
kemudian bagi peneliti, untuk melihat bagaimana pemaknaan diri laki-laki yang
telah melakukan sesi konseling di Rifka Annisa sebagai upaya untuk memahami
dinamika klien laki-laki yang sudah diintervensi oleh Rifka Annisa.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana pemaknaan diri laki-laki mengenai tindak kekerasan dalam rumah
tangga pasca melakukan konseling di Rifka Annisa?
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui pemaknaan diri laki-laki mengenai tindak kekerasan dalam
rumah tangga setelah konseling di Rifka Annisa.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Memberikan pengetahuan dan wacana pelibatan laki-laki pelaku kekerasan
dalam penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan.
b. Memberikan alternatif perspektif studi gender yang juga memberikan
fokus kepada laki-laki sebagai pengetahuan dalam memahami isu
kekerasan terhadap perempuan.
24 1.5 Kerangka Teori
Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckman
Teori konstruksi sosial Peter L Berger dan Thomas Luckman tercermin
dalam sosiologi pengetahuan. Fokus yang dianalisis oleh Berger dan Luckman
terletak pada kenyataan kehidupan sehari-hari, terutama tentang pengetahuan
yang menjadi acuan manusia berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan
kehidupan sehari-hari atau par excellence merupakan kenyataan yang utama
(paramount) (Berger, 1990; 30). Kenyataan sehari-hari mempengaruhi kesadaran
manusia yang paling utama. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia melihat bahwa
kenyataan hidup sehari-hari dianggap sebagai sebuah hal yang tersusun secara
rapi dan teratur atau terjadi obyektifikasi.
Kenyataan kehidupan sehari-hari menghadirkan suatu dunia intersubyektif.
Sebuah dunia bersama yang dihuni oleh individu-individu yang saling
berhubungan satu sama lain. Individu-individu ini saling berinteraksi dan
berkomunikasi. Satu sama lain saling memahami sikap ilmiah yang muncul. Sikap
alamiah adalah sikap kesadaran akal sehat yang justru karena ia mengacu kepada
suatu dunia yang dialami oleh banyak inidividu (Berger, 1990: 32). Berbagai
individu ini pun memahami objektivikasi yang ada didalam dunia bersama.
Mereka saling memahami bahwa keberadaan mereka saling bersesuaian makna
satu dengan lainnya dan memiliki kesadaran besama tentang kenyataan yang ada.
Sehingga kemudian muncul pengetahuan akal sehat (common sense of
knowledge), yaitu pengetahuan yang dimiliki secara bersama-sama dengan orang
25 lain dalam kegiatan rutin yang normal dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam
kehidupan sehari-hari. (Berger, 1990: 33)
Sebuah kenyataan (reality) merupakan elemen subyektifitas sekaligus
obyektivitas. Hal ini diungkapkan oleh Berger :
“Dunia-dunia itu dikonstruksi secara sosial dan dipelihara secara sosial”.
Realitas mereka yang berkelanjutan, baik obyektif (secara kefaktaan
umum, sehari-hari) maupun subyektif (sebagai
kefaktaan yang
menerapkan diri pada kesadaran individual), tergantung pada prosesproses sosial spesifik, yaitu proses-proses yang secara terus menerus
membangun kembali dan
memelihara dunua-dunia tertentu itu.
Sebaliknya, penghentian proses-proses sosial ini akan mengancam realitas
(obyektif dan subyektif) dari dunia-dunia tersebut. Maka tiap dunia
memerlukan suatu “basis” sosial bagi kelanjutan eksistensi sebagai suatu
dunia yang nyata bagi kedirian-kedirian manusia. “Basis” ini bisa disebut
struktur penalaran (Berger, 1990 :56)
Berger mengatakan bahwa kenyataan sosial bersifar prural, dinamis dan
dialektis. Kenyataan sosial bersifat prural karena ada relativitas sosial yang
disebut “pengetahuan” dan kenyataan”. Selain itu kenyataan sosial bersifat
dinamis karena selalu berada dalam proses dialektika sosial. Dialektika
berlangsung antara fakta obyektif, makna subyektif pada tingkatan individu.
Sedangkan pada tingkatan sosial, pruralitas konstruksi juga mengalami proses
dialektika.
Kerangka dialektik yang dibangun oleh Berger berangkat pada hubungan
dialektis antara individu dan masyarakat. Berger menjelaskan ketika momen
dialektik tersebut berlangsung melalui tiga momentum : eksternalisasi,
obyektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia
sosio-kultural sebagai produk manusia. “Society is a human product”. Objektivasi
ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau
26 mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”. Internalisasi ialah
individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi
sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social product”
(Basrowi, 2002).
Berger dan Luckman memperlihatkan bahwa dunia sosial yang berisi
pranata-pranata sosial, merupakan produk kegiatan manusia tetapi menghadapkan
manusia sendiri sebagai sesuatu yang eksternal, sebagi sesuatu kegiatan obyektif
(Berger, 1990 : 86). Mereka melihat bahwa terjadi kencenderungan bahwa dunia
sosial dilihat sesuatu yang berada diluar individu, tetapi juga merupakan sesuatu
yang berada diluar pengendaliannya, dan mempunyai sifat memaksa (Berry,
1982). Proses ini digambarkan oleh Berger dengan mengikuti konsep Marx
tentang pembendaan (reification) dan merupakan bentuk lain dari keterasingan
(alienation) dimana peran-peran dan hubungan sosial menjadi “reifed”, atau
menjadi tidak murni (Berger, 1990 : 128-130). Manusia menjalankan pekerjaan
atau tugas-tugas dari luar (eksternal), hanya untuk memperolah materi dapat
dikatan direifikasi
Terminologi Kekerasan di Rifka Annisa
Untuk melihat bagaimana pemaknaan diri laki-laki tentang KDRT, maka
harus dipahami terlebih dahulu apa definisi dari kekerasan dalam rumah tangga
yang mendasari adanya konseling laki-laki di Rifka Annisa. Layanan konseling
laki-laki di Rifka Annisa dilakukan berdasarkan proses pelaporan yang dilakukan
oleh klien perempuan ke Rifka Annisa, mengingat belum adanya jejaring integrasi
27 dengan lembaga lain untuk perujukan layanan konseling bagi laki-laki yang
sifatnya memaksa (mandatory). Maka yang menjadi dasar untuk melihat
kekerasan yang dilakukan oleh klien laki-laki didasarkan pada UU Perlindungan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga No 23 Tahun 2004.
Menurut UU PKDRT, kekerasan dalam rumah tangga merupakan pola
perilaku yang diarahkan untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan dan
kontrol terhadap pasangan intim, berupa : Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang
dapat mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau atau luka berat, seperti;
menampar, memukul, menjambak, menendang dan dan segala tindakan yang
mengakibatkan luka fisik; Kekerasan psikologis, yaitu perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang. Misalnya umpatan, ejekan, cemoohan, bentakan, hinaan dan segala
tindakan yang mengakibatkan tekanan psikologis termasuk ancaman, pembatasan
gerak dan pengekangan, mengisolasi anda dari keluarga dan teman, mengancam
untuk menyakiti anda dan anak anda, meninggalkan pasangan untuk selingkuh
ataupun poligami; Kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam Iingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Termasuk kekerasan seksual dalam rumah tangga adalah pemaksaan hubungan
seksual dengan pasangan ketika tidak ingin atau dengan cara yang tidak disukai,
maupun pemaksaahn hubungan seksual dengan orang lain; Kekerasan ekonomi /
penelantaran adalah perbuatan yang mengakibatkan penelantaran, kerugian
28 maupun ketergantuangan ekonomi yang terjadi dalam lingkup rumah tangga.
Temasuk dalam kekerasan ekonomi atau penelantara ini adalah;
a. Menelantarkan orang yang menurut hukum atau karena persetujuan atau
perjanjian
ia
wajib
memberikan
kehidupan,
perawatan,
atau
pemeliharaan kepada orang tersebut, seperti tidak memberi nafkah pada
anak dan istri yang bekerja sebagai ibu rumah tangga
b. Memaksa untuk bekerja atau mengeksploitasi secara ekonomi
c. Membatasi dan atau melarang bekerja sehingga korban memiliki
ketergantungan ekonomi dan berada di bawah kendali orang tersebut
Selain menggunakan UU PKDRT sebagai rujukan terminologi kekerasan,
klien laki-laki dan perempuan juga harus melakukan proses assessment awal
dengan konselor untuk memastikan apakah ia benar-benar melakukan kekerasan
terhadap perempuan berbasis gender. Yakni, kekerasan yang disebabkan oleh
adanya relasi kekuasaan yang tidak setara akibat adanya pelabelan-pelabelan
gender pada perempuan korban yang membuat laki-laki yang memiliki kekuasaan
yang lebih besar melakukan pengontrolan dan kekerasan. Proses ini penting untuk
membedakan kekerasan terhadap perempuan dalam konteks kriminal murni, misal
pada pencurian atau pembunuhan dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga
yang muncul karena faktor tidak setaranya relasi.
Pemahaman kekerasan berbasis gender menjadi penting, karena dalam
proses penanganan kasus, terutama dalam penyelesaian secara hukum, laki-laki
kerap menggunakan UU PKDRT sebagai acuan untuk melaporkan balik atas
29 kekerasan yang dilakukan oleh istrinya. Sehingga, semangat yang digunakan
dalam UU PKDRT untuk memberikan perlindungan bagi perempuan korban
kekerasan, sering disalah gunakan oleh laki-laki untuk mengkriminalkan
perempuan korban. Padahal kebanyakan perempuan yang melawan dan
dilaporkan sudah bertahun-tahun mengalami kekerasan. Identifikasi kekerasan
terhadap perempuan berbasis gender menjadi acuan untuk menangani kasus-kasus
yang masuk di Rifka Annisa guna memastikan apakah pelaporan kekerasan itu
dapat dilanjutkan pada tahap konseling lanjutan atau masuk ke dalam kasus
kriminal murni, dengan mempertimbangkan penyebab terjadinya
kekerasan
karena konstruksi gender atau bukan, jenis kekerasan, dan dampak kekerasan.
1.6 Tinjauan Pustaka
Gerakan anti kekerasan terhadap perempuan dimulai sekitar tiga dekade
yang lalu dimulai di Eropa, dengan menggunakan pendekatan perempuan murni
(Women’s
Approach).
Ketika
itu,
gerakan
anti
pemukulan
terhadap
isteri/pasangan berinisiatif membentuk refuge house sebagai sarana berlindung
bagi para isteri yang terpaksa lari dari rumahnya karena tindak kekerasan
suaminya (Nicharty, 1984). Women’s approach dalam upaya pendampingan
perempuan korban kekerasan ini selanjutnya berkembang menyeberangi ke benua
lainnya seperti Asia dan Amerika. Pendekatan kedua lahir (Family Approach)
ketika mulai ada dukungan dari negara untuk mengakomodasi masalah
penganiayaan terhadap perempuan dalam rumah tangga melalui produk hukum
30 dan kebijakan negara, dimana lelaki jelas-jelas akan mendapatkan sanksi hukum
akibat perbuatannya itu.
Kedua pendekatan ini popular dalam dunia pendampingan perempuan
korban kekerasan, dan masing-masing memiliki kelebihan serta kekurangan yang
bersifat lokal. Pendekatan perempuan misalnya, hanya menguntungkan diterapkan
di
negara-negara
yang
sistem
dan
struktur
masyarakatnya
telah
mengakomodasikan masalah kekerasan terhadap perempuan, karena, produk
perundangan dan sistem hukumnya telah menetapkan sanksi bagi pelaku dan hak
perlindungan bagi perempuan koran. Sementara itu, family approach lebih
memberikan ruang bagi penjangkauan terhadap kaum lelaki sebagai pelaku,
karena asumsi bahwa mereka perlu memperoleh treatment terutama berkaitan
dengan penyadaran akan kesetaraan hubungan lelaki perempuan serta
pengembangan keterampilan berkomunikasi yang nir kekerasan. Pendekatan ini
memang memandang bahwa lelaki, sebagai pihak yang lebih berpeluang menjadi
pelaku kekerasan, perlu juga mengupayakan perubahan diri melalui sesi-sesi reedukasi perubahan perilaku.
Menurut teori tentang kekerasan terhadap perempuan, ”The Ecological
Framework” menunjukkan bahwa risk factor terjadinya kekerasan terhadap
perempuan adalah karena persoalan yang berasal dari berbagai level, sejak dari
level individual hingga level struktural negara. Bila masalah kekerasan ditinjau
menggunakan teori ini, maka pengembangan intervensi di tingkat individual
hingga struktural juga diperlukan terhadap kelompok laki-laki ini (Heise, 1998:
262-290). Dengan cara pandang dan kerangka pikir yang mencakup semua level
31 untuk dilibatkan dalam penanganan masalah kekerasan terhadap perempuan ini,
maka sesungguhnya pendekatan yang digunakan sudah tidak lagi pendekatan
perempuan ataupun pendekatan keluarga, melainkan pendekatan komunitas.
Prinsip feminis tentang kekerasan terhadap perempuan adalah ’lelaki
pelaku kekerasan harus bertanggung jawab atas perbuatannya’, maka titik tolak
berikutnya adalah berinisiatif untuk mengembangkan intervensi bagi kaum lelaki.
Bila hanya aspek hukum negara atau sanksi moral saja yang menjadi imbalan bagi
lelaki pelaku kekerasan, maka sangat mungkin bahwa si lelaki pelaku kekerasan
akan mengulang kembali perbuatannya kepada pasangan perempuannya yang
berikut. Pola berulang ini dikenal sebagai ”siklus kekerasan” dan harus diakhiri
dengan cara memutus atau memotong siklus tersebut (Dutton, 1997;169-191).
Salah satu cara memotong siklus tersebut adalah dengan mengupayakan kesadaran
& perubahan perilaku dari lelaki pelaku kekerasan itu.
Selama ini ada anggapan bahwa kekerasan terhadap isteri atau pasangan
perempuan terjadi karena memang ada konflik diantara keduanya. Namun,
faktanya memukul atau menganiaya yang menjadi pilihan dalam menyelesaikan
konflik tersebut. Berdasarkan penelitian dari berbagai negara tentang sisi
individual lelaki pelaku kekerasan terungkap bahwa ternyata memang ada latar
belakang psikologis yang memungkinkan seorang lelaki melakukan kekerasan
terhadap pasangannya. Tindakan menguasai dan menganiaya pasangan seringkali
merupakan ekspresi dari perasaan-perasaan ketidakberdayaan (Eliasson, 2001) . Sementara itu penelitian di Canada, Alberta Social Service and
Community Health pada tahun 1985 juga mengindikasikan bahwa lelaki pelaku
32 kekerasan sesungguhnya memiliki self-esteem yang rendah, dan berlaku
menguasai atau bertindak kasar kepada pasangan merupakan manifestasi
kompensasi dari self esteem yang rendah itu. Artinya, suatu bentuk pendekatan
khusus sangatlah diperlukan bagi kaum lelaki, dalam konteks konseling untuk
merubah konsep diri & perilaku mereka. Penjangkauan bagi kelompok lelaki ini,
diharapkan dapat menjadi cara untuk memutuskan siklus kekerasan terhadap
pasangan. Di negara-negara yang telah mengakui persoalan kekerasan terhadap
perempuan sebagai persoalan serius, seperti di Midwest oleh Domestic Violence
Resource Cente tahun 1989, penangan masalah kekerasan domestik dirancang
sedemikian rupa sehingga baik korban (perempuan/isteri) maupun pelaku
(lelaki/suami) sama-sama mendapatkan penanganan oleh pihak yang berkompeten
Data sosial kesehatan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan,
angka kesakitan dan kematian laki-laki dalam rentang umur 15 sampai 24 tahun
jauh lebih tinggi daripada perempuan, juga jauh lebih tinggi daripada laki-laki
yang rentang umurnya lebih tua.
Tingginya angka itu sangat terkait dengan
tingginya perilaku berisiko pada laki-laki berumur 15-24 tahun. Perilaku berisiko
itu seperti keterlibatan dalam tindak kekerasan (perkelahian menggunakan
senjata), penggunaan alkohol, narkotika dan psikotropika, perilaku seks tidak
aman (berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom), atau penggunaan
kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi yang banyak berakhir dengan
kematian prematur.
Hasil penelitian Barker pada laki-laki berumur 15-24 tahun di Amerika
Serikat, Brasil, negara-negara Karibia, Nigeria, dan Afrika Selatan menunjukkan
33 pentingnya peran maskulinitas dalam memicu perilaku berisiko di atas dan jauh
lebih jamak ditemukan di kalangan anak muda laki-laki dari kelas sosial-ekonomi
bawah.
Penelitian Barker ini sebenarnya banyak bertumpu pada konsep
hegemonic masculinity yang diajukan sosiolog asal Australia, Bob Cornell,
(Connell, 1994) maskulinitas tidak bersifat tunggal, tetapi beragam dan terkait erat
dengan status sosial-ekonomi. Dalam studi lain di AS dan Canada oleh Alberta
Social Service and Community Health pada tahun 1985, menunjukkan bahwa
ancaman sanksi hukum dan atau pressure terhadap pelaku kekerasan meredakan
40%-70% kemungkinan si lelaki (pelaku kekerasan) untuk mengulangi
perbuatannya.
Studi yang dilakukan oleh WHO melaporkan 10 - 51 % perempuan di
seluruh dunia khususnya wilayah Asia, telah mengalami kekerasan dari pasangan
laki-lakinya. Sedangkan di Indonesia sendiri, diperkirakan 10-25 % perempuan
mengalami kekerasan dari pasangan laki-lakinya dan hampir 90% korban
kekerasan memilih untuk rujuk pada pasangannya. Pendekatan satu arah yang
berorientasi pada perempuan/korban
ternyata diketahui justru mengundang
resistensi dari laki-laki sebagai pelaku dan tidak menghentikan tindak kekerasan
yang dilakukan. Seringkali laki-laki merasa disalahkan dan terancam statusnya
sebagai figur kepala rumah tangga sehingga justru semakin gencar tindak
kekerasan yang dilakukan. Hasil evaluasi tersebut melemparkan sebuah wacana
baru dalam penanganan KDRT berupa pendekatan dari sisi pelaku.
Jika mengkaji lebih mendalam terhadap permasalahan yang terjadi, pelaku
kekerasan sendiri merupakan korban dari konstruksi sosial, doktrin budaya
34 patriarkhi yang menganggap bahwa laki-laki adalah tulang punggung utama dari
rumah tangga. Studi awal yang dilakukan oleh Rifka Annisa pada awal tahun
2007 tentang konsep maskulinitas dengan menggunakan metode diskusi
kelompok terarah yang diikuti oleh beberapa laki-laki di Yogyakarta dan
Purworejo Jawa Tengah terungkap, bahwa menjadi laki-laki dalam rumah tangga
adalah hal yang sangat berat sekalipun membanggakan. Segala tindak tanduk lakilaki di masyarakat akan membawa pengaruh terhadap nama baik dan
kelangsungan hidup keluarga.
Dalam konteks memutuskan siklus kekerasan sebagaimana dimaksudkan
di atas, suatu intervensi yang menjangkau kelompok lelaki yang dilakukan oleh
lelaki, menjadi suatu kebutuhan yang mendesak. Apalagi saat ini Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) telah berlaku,
sehingga lelaki yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya dapat terjerat
hukum. Berkait dengan UUPKDRT tersebut, menjalani program re-edukasi bagi
lelaki pelaku kekerasan masih bersifat pilihan (voluntarily), dan bukan kewajiban
(mandatory). Untuk itulah, penjangkauan terhadap kaum lelaki untuk tujuan
penyadaran kesetaraan gender dan anti terhadap kekerasan tidak cukup bila hanya
dilakukan melalui konteks pendekatan individual saja (misalnya konseling) tetapi
juga harus melalui berbagai cara lain seperti kampanye melalui publikasi, program
radio, diskusi publik.
35 1.7 Metodelogi Penelitian
Dalam peneltian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan
pendekatan
fenomenologis.
Pendekatan
fenomenologis
berusaha
memahami makna dari suatu peristiwa dan saling berpengaruh dengan manusia
dalam situasi tertentu. Pendekatan fenomenologis berfokus pada aktor.
Subyektivitas dipandang sebagai hal utama untuk membuat obyek memiliki
makna.
Fenomenologi mengandalkan interpretatif practice untuk memahami
hubungan antara manusia dengan masyarakatnya (Agus, 2006).
Pendekatan
fenomenologis memiliki karakteristik, tidak berasumsi dengan para aktor yang
akan diteliti, memulai penelitiannya dengan keheningan atau diam untuk
menangkap fenomena yang diteliti, menekankan subyektifitas perilaku yang
diteliti dan masuk dalam dunia konseptual subyek agar dapat memahami makna
apa yang mereka konstruksikan di sekitar peristiwa dalam kehidupannya seharihari, percaya bahwa dalam kehidupan manusia banyak cara yang dapat dipakai
untuk menafsirkan pengalaman-pengalaman dari masing-masing melalui interaksi
dengan orang lain, dan bahwa hal ini merupakan makna dari pengalaman kita
yang merupakan realitas dan hasil realitas kemudian di konstruksi secara sosial
dengan berangkat dari pandangan subyektivitas aktor (Asla, 2003)
1.7.1 Tekhnik Pengumpulan Data
a. Wawancara Mendalam
Pengumpulan
data
dengan
menggunakan
wawancara
mendalam
merupakan salah satu komponen yang penting dalam metode penelitian
36 kualitatif untuk mendapatkan data primer. Wawacara dilakukan dengan
klien laki-laki mengingat lembaga yang memberikan layanan konseling
laki-laki untuk upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan untuk
pertama kalinya di Indonesia dilakukan Rifka Annisa.
b. Observasi
Observasi dilakukan di kantor Rifka Annisa untuk mencatat berbagai
perilaku, kejadian, obyek yang dilihat saat peneliti berada di sana. Hal ini
diperlukan peneliti untuk mendukung data-data penelitian. Selama bekerja
sebagai staff di Rifka Annisa, peneliti telah mendapatkan gambaran awal
tentang program konseling di Rifka Annisa.
c. Studi Literatur.
Studi ini sangat penting dilakukan mengingat bahwa wacana pelibatan
laki-laki dalam penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan
merupakan pendekataan yang baru di Indonesia. Sehingga data kajian
tentang pelibatan laki-laki dalam penghapusan tindak kekerasan terhadap
perempuan sangat membantu peneliti
1.7.2 Sasaran Penelitian
Penelitian akan dilakukan kepada kepada klien laki-laki yang melakukan
konseling di Rifka Annisa. Hal ini karena lembaga layanan yang memberikan
layanan konseling bagi laki-laki yang mengalami persoalan rumah tangga di
Yogyakarta dan Indonesia, khusus bagi pelaku baru dilakukan oleh Rifka Annisa.
Penelitian ini melihat bagaimana dinamika didalam ruang konseling memberi
37 pemaknaan pada klien laki-laki tentang kekerasan dalam rumah tangga pasca
konseling.
1.7.3 Analisis Data
Setelah data terkumpul dari lapangan, maka dilakukan tahapan analisis
data. Tahapan analisis data dilakukan dalam tiga tahap yakni reduksi data,
penyajian data penelitian dan terakhir adalah penarikan kesimpulan. Reduksi data
merupakan proses pemilihan data, melakukan pemusatan dan penyederhanaan
data dan melakukan transformasi terhadap data yang kasar yang muncul dari
temuan data di lapangan. Setelah seluruh data terkumpul, maka dilakukan
penyajian data. Penyajian data ini berisi serangkaian informasi yang ditemukan
dilapangan hingga bisa menarik kesimpulan. Penyajian data yang dilakukan oleh
peneliti merupakan perpaduan dari teks narasi dan deskriptif. Tahap ketiga adalah
penarikan kesimpulan dan verifikasi. Ketiga alur analisis data tesebut besifat
berkesinambungan dan berlangsung secara terus menerus
38 
Download