Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Belajar

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Televisi
2.1.1 Sejarah dan Perkembangan Televisi
Istanto (1995) menyatakan sejarah perkembangan televisi diawali pada tahun
1884, seorang mahasiswa di Berlin menciptakan sebuah alat yang merupakan cikalbakal pesawat televisi. Namun prinsip-prinsip televisi ini tidak dapat dilepaskan dari
penemuan teknologi radio. Pada tahun itu pula penemuan Paul Nipkow itu
dipatenkan. Istanto (1995) juga menyatakan bahwa Nipkow bercita-cita menciptakan
prinsip-prinsip pembentukan gambar yang kemudian dikenal sebagai jantra Nipkow.
Gagasan awal televisi adalah transmisi elektrik dari elemen gambar dan suara secara
simultan. Dane pada tahun 1802 menemukan teknologi radio yang berprinsip bahwa
pesan dapat dikirim melalui kawat beraliran listrik dalam jarak pendek. Kemudian
James
Maxwell
menemukan
prinsip
baru
untuk
mewujudkan
gelombang
elektromagnetis yaitu gelombang yang digunakan televisi tahun 1965. Gerakan
magnetis dapat mengarungi ruang angkasa dengan kecepatan yang sama dengan
kecepatan cahaya. Penemuan Maxwell ini kemudian dikembangkan oleh Guglemo
Marconi. Pada tahun 1875 George Carey di Boston mengembangkan gambar televisi.
Namun penayangan elemen-elemen gambar dengan cepat garis demi garis, frame
demi frame ditampilkan oleh WE Sawyer dari Amerika dan Maurice Leblanc dari
Perancis pada tahun 1880.
Istanto (1995) menyebutkan bahwa gelar Bapak pertelevisian dunia jatuh pada
Paul Nipkow yang mempatenkan ciptaannya pada tahun 1884. Sedangkan John Lugie
Baird menemukan dasar-dasar bagi televisi berwarna yang kemudian berhasil pula
menciptakan prinsip-prinsip bagi pengembangan teknik gambar hidup atau bioskop.
Menyusul kemudian Ernst FW Alexander dari General Electric New York yang pada
tanggal 11 September 1928 berhasil menayangkan drama televisi untuk pertama
kalinya di Amerika Serikat. Seorang ahli berkebangsaan Rusia yang hijrah ke
Amerika Serikat, Vladimir K.Zworykin pada tahun 1923 merancang tabung kamera
ikonoskop yang mendasari perkembangan sistim televisi elektris. Kemudian
penemuan ini dilanjutkan dengan mempatenkan televisi elektronis berwarna pada
tahun 1925. Ciptaannya ini didemonstrasikan di New York World’s Fair pada tahun
1939.
Siaran televisi pertama di Indonesia ditayangkan pada tanggal 17 Agustus 1962
bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke XVII.
Siaran tersebut berlangsung mulai pukul 07.30 sampai pukul 11.02 waktu Indonesia
bagian barat untuk meliput upacara peringatan hari Proklamasi di Istana Negara.
Inilah momentum dimana Indonesia mengukuhkan diri sebagai Negara Asia ke empat
yang memiliki media penyiaran televisi setelah Jepang, Philipina dan Thailand.
(Subidyo,2004)
Subidyo (2004) menyatakan pula liputan perdana TVRI adalah upacara
pembukaan Asian Games ke IV di Stadion Utama Senayan Jakarta. Liputan pertama
TVRI ini dikoordinir oleh Organizing Comitte Asian Games IV yang dibentuk khusus
untuk event olahraga itu, di bawah naungan Biro Radio dan Televisi Departemen
Penerangan. Pada tanggal 12 November 1962, TVRI mengudara secara regular setiap
hari. TVRI pertama kali menayangkan iklan 1 Maret 1963, seiring ditetapkannya
TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui keputusan Presiden RI
Nomor 215 tahun 1963. Saat ini siaran telah dapat menjangkau hampir semua
provinsi di seluruh Indonesia berkat pemanfaatan satelit Palapa bahkan mampu pula
menjangkau wilayah Asean. Munculnya TVRI kemudian disusul pula dengan
munculnya stasiun-stasiun televisi swasta lainnya.
2.1.2 Isi dan Fungsi Televisi
Menurut Siregar (2001) dalam Testiandini (2006), isi siaran televisi dibagi
menjadi dua yaitu:
1. Faktual, berasal dari empiris/sosiologis dan bersifat objektif. Materi dari faktual
ada yang bersifat keras yang terikat dengan aktualitas, serta bersifat lunak yang
lebih menekankan nilai human interest. Fungsi primer dari materi faktual adalah
sosial (informasional). Walaupun terdapat juga fungsi hiburannya namun hanya
bersifat sekunder.
2. Fiksional berasal dari dunia humanities psychology dan bersifat subjektif. Fungsi
primer dari materi fiksional adalah psikologi (menghibur). Materi fiksional juga
memiliki fungsi informasional namun hanya bersifat sekunder.
Menurut Hoffman (1999) dalam Testiandini (2006), fungsi televisi dalam
masyarakat tidak dilihat lagi sebagai sarana pendidikan dan juga tidak seharusnya
menjadi sarana promosi perdagangan. Adapun fungsi televisi adalah:
1. Pengawasan situasi
masyarakat dan dunia, bisa juga disebut sebagai fungsi
informasi, namun istilah ini tidak digunakan karena dikhawatirkan menimbulkan
salah paham seakan-akan televisi adalah sarana penerangan bagi penguasa kepada
masyarakat. Fungsi televisi sebenarnya adalah mengamati kejadian yang terjadi
dalam masyarakat kemudian melaporkan sesuai dengan kenyataan yang
ditemukan.
2. Menghubungkan satu dengan yang lain, televisi dapat saja menghubungkan hasil
pengawasan satu dengan hasil pengawasan lain secara lebih gamplang daripada
sebuah dokumen tertulis. Dengan demikian televisi dapat berfungsi sesuai dengan
kepentingan masyarakat dan dapat membuka mata pemirsa.
3. Menyalurkan kebudayaan, sebenarnya fungsi ini dapat disebutkan sebagai fungsi
pendidikan. Namun istilah “pendidikan” tidak digunakan karena di dalam
kebudayaan audiovisual tidak ada kurikulum.
4. Hiburan, fungsi ini memang dibutuhkan oleh masyarakat, karena kalau tidak
menghibur umumnya sebuah tayangan tidak akan ditonton. Namun hiburan bukan
berarti hiburan semata tanpa ada sesuatu yang dapat diambil pelajaran dari suatu
program.
5. Pengarahan masyarakat untuk bertindak dalam keadaan darurat , televisi harus
proaktif dalam memberi motivasi.
2.2 Terpaan Media Televisi
Menurut Sari (1993) dalam Testiandini (2006), terpaan media (media exposure)
adalah upaya untuk mencari data khalayak mengenai penggunaan media baik jenis
media, frekuensi penggunaan maupun durasi penggunaan (longevity). Sari (1993)
dalam Testiandini (2006) juga menambahkan bahwa frekuensi penggunaan media
merupakan pengumpulan data khalayak tentang berapa kali (hari) seseorang
menggunakan televisi dalam satu minggu. (untuk meneliti program harian), berapa
kali (minggu) seseorang menggunakan media dalam satu bulan (untuk program
mingguan dan tengah bulan) serta berapa kali (bulan) seseorang menggunakan media
dalam satu tahun.
Sebagian besar anak-anak merasa lebih nyaman duduk di depan televisi
ketimbang bermain di luar rumah. Seorang anak dapat menghabiskan tiga sampai
empat jam perharinya untuk duduk menonton televisi, tapi tak sedikit anak yang
menonton televisi lima sampai enam jam perhari bahkan lebih pada hari-hari tertentu,
seperti Sabtu dan Mingg (Hidup, 2008).
Hasil survei ini bak dering jam weker yang pantas membuat orangtua awas.
Data Perserikatan Bangsa Bangsa (Thamrin, 2008) menyatakan bahwa para bocah di
Indonesia terpekur rata-rata lima jam sehari di depan layar kaca atau total jenderal
1.560 hingga 1.820 jam setahun. Angka ini, menurut UNICEF, jauh lebih gemuk
ketimbang jumlah belajar mereka yang 1.000 jam setahun di sekolah. Maka jadilah
kotak televisi sekolah tandingan bagi anak-anak ini. Padahal Thamrin (2008)
menyatakan bahwa seharusnya anak usia lima tahun hanya menonton televisi selama
1,5 jam per hari atau paling lama dua jam per hari. Itu juga tidak terus-menerus,
dibagi-bagi, misalnya satu jam setelah pulang sekolah, dan satu jam lagi setelah
mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) di malam hari.
Survei lain yang dilakukan menyebutkan bahwa lebih dari setengah anak-anak
di Amerika Serikat mempunyai televisi di kamar mereka. Usia remaja paling banyak
menonton televisi di kamar dan hampir sepertiga anak-anak pra sekolah memiliki
televisi di kamar mereka dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menonton
televisi. Disebutkan juga adanya beberapa orang siswa sebuah sekolah yang
bergantian bolos dari sekolah demi menonton sebuah tayangan opera sabun di
televisi. Di Indonesia mungkin tidak sampai menjangkau persentase sebesar ini
namun pengaruh televisi juga telah banyak membentuk pola pikir dari anak-anak
Indonesia (Thamrin 2008).
Isnaini (2006) menyebutkan
menyatakan penelitiannya
bahwa Yayasan Pengembangan Media Anak
pada 2002 yang menunjukkan bahwa jam menonton
televisi pada anak Indonesia mencapai 30-35 jam/ minggu atau 1560-1820/ tahun.
Hal ini jauh lebih besar dibanding jam belajar di Sekolah Dasar yang tidak sampai
1000 jam/ tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa televisi telah menjadi guru yang
menawan di luar kelas, menjadi saingan guru sesungguhnya di dalam kelas atau
pendidikan dalam keluarga.
Hal ini diperkuat oleh Vera (2007) yang menyatakan bahwa:
“Tidak dapat dipungkiri peran televisi saat ini semakin besar saja. Peranannya
sebagai media komunikasi visual sangat luar biasa dibandingkan media-masa
yang lain. Temuan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia tahun 1996 yang
dilansir majalah [aikon!] media alternatif menyebutkan bahwa anak-anak
Indonesia (usia 6-15 tahun) harus menyisihkan waktu 22-26 jam per minggu
untuk menonton televisi. Bahkan anak Amerika sejak usia delapan belas bulan
sudah secara mendalam dikonfrontasikan pada medium televisi. Pada akhir
humaniora-nya jumlah jam menonton televisi dari anak-anak muda Amerika
mencapai 16.000 jam. Ketika usia mencapai 20 tahun secara total hampir
mencapai juta reclamesport atau mencapai rata-rata 1000 per pekan)”
Padahal, Thamrin (2008) mengungkapkan penilaian terhadap kualitas program
acara televisi secara umum dan diperoleh hasil 0,5 persen menyatakan sangat baik,
27,2 persen menyatakan baik, 41,9 persen menyatakan biasa saja, 24,6 persen
menyatakan buruk, 4,2 persen menyatakan sangat buruk, dan 1,6 persen menyatakan
tidak tahu. Selain itu dikatakan pula bahwa 80,1 persen responden menyatakan bahwa
tayangan hiburan di televisi justru tidak ramah anak alias berbahaya jika ditonton
oleh anak-anak, 68,6 persen responden menyatakan tayangan hiburan di televisi
buruk dan sangat buruk dalam memberi model perilaku yang baik kepada
pemirsanya, 50,8 persen responden menyatakan bahwa program hiburan di televisi
amat buruk dalam meningkatkan empati sosial, yakni memberi kesadaran untuk
peduli terhadap orang lain dan 70,7 persen responden menyebut program hiburan di
televisi menunjukkan kualitas buruk dalam mengangkat tema yang relevan dalam
kehidupan masyarakat.
2.3. Belajar pada Anak
Biggs (1991) dalam Syah (2003) mendefinisikan belajar dalam tiga macam
rumusan yaitu: rumusan kuantitatif, rumusan institusional, dan rumusan kualitatif.
Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatan pengisian atau
pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi belajar
dalam hal ini dipandang dari sudut berapa banyak materi yang dikuasai siswa.
Syah (2003) menyebutkan secara kuantitatif (tinjauan kelembagaan), belajar
dipandang sebagai proses validitas (pengabsahan) terhadap penguasaan siswa atas
materi-materi yang telah ia pelajari. Ukurannya ialah semakin baik mutu mengajar
yang dilakukan guru maka akan semakin baik pula mutu perolehan siswa yang
kemudian dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai.
Adapun pengertian belajar secara kualitatif (tinjauan mutu) adalah proses
memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia
di sekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya
pikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini
dan nanti dihadapi siswa (Syah, 2003)
2.4 Belajar Kognitif pada Anak
Istilah cognitive berasal dari kata cognition berarti mengetahui. Dalam arti yang
luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan
(Neisser dalam Syah, 2003). Dalam perkembangan selajutnya, istilah kognitif
menjadi popular sebagai salah satu domain atau wilayah ranah psikologi manusia
yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman,
pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan dan
keyakinan.
Menurut Syah (2003) ada dua macam kecakapan kognitif siswa yang perlu
dikembangkan segera, khususnya oleh guru yaitu:
1. Strategi belajar memahami isi materi pelajaran.
2. Strategi meyakinkan arti penting isi materi pelajaran dan aplikasi serta menyerap
pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut.
Menurut Syah (2003), belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan
tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi
kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh
interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru
hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau
berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal
dari lingkungan.
Syah (2003) menyatakan implikasi teori perkembangan kognitif
dalam
pembelajaran adalah:
a. Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak.
b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan
baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan
sebaik-baiknya.
c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan
diskusi dengan teman-temannya.
2.5 Hubungan Karakteristik Individu, Faktor Psikologi dan Lingkungan Sosial
dengan Terpaan Media Televisi dan Belajar Kognitif Anak
2.5.1 Hubungan Karakteristik Individu dengan Terpaan Media Televisi
Testiandini (2006) menyatakan perbedaan pola dan pengaruh menonton televisi
berdasarkan perbedaan karakteristrik individu.
Perbedaan pola dan pengaruh
menonton televisi berdasarkan karakteristik individu adalah sebagai berikut.
1. Jenis kelamin
Kuswanto (1993) dalam Testiandini (2006), responden laki-laki menunjukkan
motivasi yang rendah untuk memenuhi kebutuhan kognitifnya dari menonton
televisi. Sebaliknya responden wanita menunjukkan motivasi yang sangat tinggi
untuk memenuhi kebutuhan kognitif dari menonton televisi. Riana (1995) dan
Purwanto (1998) dalam Testiandini (2006) menyatakan bahwa laki-laki lebih
menyukai menonton televisi seperti kuis, acara olahraga dan film aksi, sedangkan
perempuan lebih menyukai menonton sinetron, telenovela, infortainment.
2. Usia
Hasil penelitian Kuswanto (1993) dalam Testiandini (2006), menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang cukup berarti antara karakteristik individu responden
dengan motivasi menonton televisi untuk memenuhi kebutuhan kognitif. Semakin
rendah usia responden maka semakin semakin rendah pula motivasi menonton
televisi untuk memenuhi kebutuhan kognitif. Sejalan dengan Kuswanto, hasil
penelitian Bajari (1995)
dalam Testiandini (2006), juga menunjukkan bahwa
semakin tua usia ternyata responden semakin lebih banyak mencurahkan waktu
untuk melakukan kontak dengan media massa.
3. Uang saku
Hasil penelitian Kuswanto (1993) dalam Testiandini (2006) menunjukkan bahwa
semakin rendah tingkat ekonomi
ternyata tingkat motivasi untuk memenuhi
kebutuhan kognitif dari belajar akan berkurang. Namun hal berbeda disampaikan
oleh Bajari (1995) dalam Testiandini (2006). Bajjari menunjukkan bahwa semakin
tinggi penghasilan ternyata semakin menyisihkan televisi karena kesenangan non
media yang lebih luas.
4. Tipe kepribadian.
Tipe kepribadian mempengaruhi selera dalam memilih suatu jenis acara. Selain itu
tipe kepribadian diperkirakan juga akan mempengaruhi respons dan efek yang
akan dirasakan setelah mengakses media massa (Testiandini 2006)
5. Pendidikan
Hasil penelitian Bajari (1995) dalam Testiandini (2006), menunjukkan bahwa
pendidikan dan tanggung jawab pekerja professional
yang lebih tinggi dapat
mengakibatkan pilihan acara yang berbeda. Selain itu disebutkan pula bahwa
semakin tinggi pendididkan responden maka kebutuhan untuk memperoleh
informasi dari televisi juga semakin besar.
6. Waktu luang
Waktu luang orang yang pekerjaannya banyak bisa diduga cenderung akan
menggunakan waktu kosongnya untuk beristirahat daripada menonton televisi.
Sedangkan orang yang waktu kerjanya lebih sedikit mungkin lebih banyak
meluangkan waktunya untuk menonton televisi (Testiandini 2006)
2.5.2 Hubungan Lingkungan Sosial dengan Terpaan Media Televisi pada Anak
Lingkungan sosial seperti lingkungan keluarga dan teman-teman memiliki
hubungan nyata dengan terpaan media televisi pada anak. Ketika menonton televisi,
biasanya anak didampingi oleh orang tua atau keluarga. Maka dapat dikatakan bahwa
semakin sering suatu keluarga menonton televisi maka semakin sering pula anak
menonton televisi dan sebaliknya semakin jarang suatu keluarga menonton televisi,
maka semakin jarang pula seorang anak menonton televisi. Selain itu orang tua juga
berperan dalam mengawasi anaknya dalam menonton televisi (Testiandini 2006).
Tasmin (2002) menyatakan bahwa perilaku orang tua dalam mengawasi pola
menonton televisi pada anaknya antara lain, yaitu:
1. Mendampingi anak ketika menonton televisi dan memberi penjelasan.
Hal pertama yang sebaiknya dilakukan adalah memberi pengertian dan
mendampingi anak ketika menonton televisi. Jika anak bertanya jawablah
pertanyaan tersebut dengan rinci dan sesuai dengan perkembangan anak. Banyak
hal yang belum diketahui oleh seorang anak, oleh karena itu kalau tidak ada yang
memberi tahu ia akan mencari sendiri dengan mencoba-coba dan meniru dari
orang dewasa. Apakah hasil percobaan maupun peniruannya salah atau benar,
anak mungkin tidak tahu. Di sini tugas orang tua untuk selalu memberi pengertian
kepada anak, secara konsisten. Kebingungan anak karena standar ganda yang
diterapkan orang tua juga bisa teratasi kalau orang tua memberi penjelasan kepada
anak.
2. Bersama dengan anak membuat jadwal kegiatan.
Anak juga perlu diajarkan bahwa ada waktu tersendiri untuk setiap kegiatan. Atur
waktu yang jelas kapan menonton televisi, kapan belajar dan kapan bermain.
Walaupun anak sudah relaks dengan menonton televisi, anak tetap butuh waktu
untuk bermain. Televisi mengkondisikan anak menjadi pasif, hanya menerima dan
menyerap informasi dengan posisi tubuh yang juga pasif. Oleh karenanya anak
tetap butuh waktu untuk bermain (terutama bermain dengan anak lain) supaya
mereka tetap aktif dan mampu bersosialisasi.
3. Menyeleksi program tayangan televisi yang cocok untuk anak.
Jika tidak sempat mendampingi anak. Orang tua sebaiknya menyeleksi tayangan
televisi mana yang cocok untuk anak. Sebelum anak diizinkan untuk menonton
program tersebut, orang tua telah mengetahui apakah program tersebut cocok atau
tidak untuk anak.
4. Membangun kerjasama dengan seluruh anggota keluarga.
Bangunlah kerjasama dengan seluruh anggota keluarga, karena kerjasama dari
seluruh anggota keluarga (termasuk pengasuh) sangat diperlukan. Pastikan bahwa
seluruh keluarga memiliki pengertian yang sama mengenai anak dan masalah
televisi tersebut.
5. Konsistensi dalam bertindak.
Orang tua atau pengasuh selalu bertindak secara konsisten dan tidak bosan-bosan
dalam memberikan pengertian kepada anak, sehingga anak tahu dengan jelas mana
yang boleh mana yang tidak, mana yang baik mana yang buruk.
Kurniasih (2006) menyatakan bahwa lingkungan sosial yang juga berhubungan
nyata dengan perilaku menonton televisi adalah lingkungan teman. Lingkungan
teman dapat menyebabkan seseorang untuk tertarik menonton tayangan tertentu,
dimana teman sering menonton, mengajak dan menceritakan kembali jalan cerita
tayangan tersebut.
2.5.3 Hubungan Faktor Psikologi dengan Belajar Kognitif pada Anak
Syah (2003) menyatakan bahwa karakteristik individu yang mempengaruhi
perilaku belajar anak meliputi dua aspek yaitu:
1. Aspek Fisiologi
Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat
kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat
dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ yang lemah,
apalagi jika disertai pusing kepala berat misalnya dapat menurunkan kualitas ranah
cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak
berbekas.
2. Aspek Psikologi
Banyak faktor yang termasuk aspek psikologi yang dianggap mempengaruhi
perilaku belajar, namun faktor –faktor yang dianggap lebih esensial adalah:
a. Intelegensi siswa
Intelegensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik
untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan
cara yang tepat. Tingkat kecerdasan atau intelegensi siswa tidak dapat
diragukan lagi sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini
bermakna, semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin
besar peluangnya untuk meraih sukses.
b. Sikap siswa
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afeksi berupa kecenderungan
untuk mereaksi atau merespons dengan cara yang relatif tetap terhadap objek
orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sikap
positif, terutama terhadap mata pelajaran merupakan awal yang baik bagi
proses belajar siswa tersebut.
c. Bakat siswa
Dalam perkembangannya, bakat diartikan sebagai kemampuan individu untuk
melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan
latihan. Sehingga dapat dikatakan bahwa, bakat dapat mempengaruhi tinggirendahnya prestasi belajar bidang-bidang tertentu. Pemaksaan kehendak
terhadap siswa dan ketidaksadaran siswa terhadap bakatnya sendiri sehingga
memilih jurusan keahlian tertentu yang sebenarnya tidak sesuai dengan
bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik.
d. Minat siswa
Secara sederhana, minat berarti kecenderungan dan gairah yang tinggi atau
keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat dapat mempengaruhi kualitas
pencapaian hasil belajar dalam bidang-bidang studi tertentu. Seorang siswa
yang berminat terhadap bidang studi tertentu, akan memusatkan perhatiannya
lebih banyak daripada siswa lainnya. Kemudian pemusatan perhatian yang
insentif inilah yang memungkinkan siswa untuk belajar lebih giat dan akhirnya
mencapai prestasi yang diinginkan.
e. Motivasi siswa
Dalam perkembangannya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
(1) motivasi intrinsik dan (2) motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal
dan keadaan yang berasal dari diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya
melakukan tindakan belajar. Contohnya perasaan menyenangi pelajaran dan
kebutuhannya terhadap materi tersebut. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah
hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga dapat
mendorong untuk melakukan tindakan belajar.
Perspektif psikologi kognitif menyatakan bahwa motivasi yang lebih signifikan
bagi siswa adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak
bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain. Selanjutnya, dorongan mencapai
prestasi dan dorongan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan
juga memberi pengaruh kuat dan relatif lebih langgeng dibanding dengan dorongan
hadiah atau dorongan keharusan dari orangtua dan guru.
2.5.4 Hubungan Lingkungan Sosial dengan Belajar Kognitif pada Anak
Lingkungan yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar adalah orang
tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktek pengolahan keluarga,
ketegangan keluarga dan demografi keluarga (letak rumah) semuanya dapat
mempengaruhi kegiatan belajar dan hasil belajar siswa.
Syah (2003) menyatakan bahwa lingkungan sosial sekolah seperti para guru,
para staf administrasi dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat
belajar siswa. Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik
dan memperlihatkan suri-teladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar,
misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi
kegiatan belajar siswa.
Lingkungan sosial siswa yang mempengaruhi belajar kognitif meliputi
masyarakat dan tetangga serta teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan
siswa tersebut. Kondisi masyarakat kumuh yang serba kekurangan dan sebagian besar
adalah anak pengangguran misalnya, akan sangat mempengaruhi aktivitas belajar
siswa. Paling tidak, siswa tersebut akan menemukan kesulitan ketika memerlukan
teman belajar dan berdiskusi atau meminjam alat-alat belajar tertentu yang kebetulan
belum dimilikinya.
2.6 Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Perilaku Belajar Kognitif Anak
Efek kognitif komunikasi masa menurut Robert (2003) dalam Kurniasih (2006)
yaitu komunikasi masa secara tidak langsung menimbulkan perilaku tertentu tetapi
cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan
dan citra. Inilah yang mempengaruhi cara kita berperilaku. Media massa bekerja
untuk
menyampaikan
informasi
dan
informasi
itu
dapat
membentuk,
mempertahankan atau meredefinisikan citra. Media menampilkan realitas yang sudah
diseleksi (realitas tangan kedua), misalnya televisi memilih tokoh-tokoh tertentu
untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh lain dan karena seseorang tidak
dapat dan tidak sempat mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media sehingga
cenderung menerima informasi itu hanya berdasarkan pada apa yang dilaporkan
media. Akhirnya seseorang membentuk citra tentang lingkungan sosial seseorang
berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.
Isnaini (2006) menyatakan bahwa selama ini, usaha untuk menjadikan televisi
sebagai media pembelajar, masih berporos pada bagaimana cara program televisi
sebagai media penyampai pesan belajar melalui program-program pendidikan di
televisi, seperti ide awal munculnya Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dan
beberapa program Aku Cinta Indonesia (ACI), Cerdas-cermat dan Televisi-edukasi
yang yang diluncurkan Pusat Teknologi dan Komunikasi (Pustekkom) tahun 2004
dan direlai di seluruh kabupaten di Indonesia tahun 2006. Lebih lanjut Isnaini (2006)
menyatakan bahwa semua program televisi sebenarnya memiliki nilai edukasi yang
dapat digali dan diintegrasikan dalam rangka membangun karakter siswa ataupun
individu. Dengan menggunakan teori belajar “penguatan positif” dan “penguatan
negatif” dapat digunakan untuk membuat stategi pembelajaran yang diminati oleh
siswa.
Isnaini (2006) menyatakan bahwa televisi dapat membawa dampak buruk pada
anak-anak, salah satunya televisi dapat mengurangi semangat belajar. Bahasa televisi
yang simpel, memikat dan membuat ketagihan sangat mungkin membuat anak
menjadi malas belajar. Hal ini berikutnya akan membentuk pola pikir yang sederhana
pada anak. Terlalu sering menonton televisi dan malas membaca menyebabkan anak
memiliki pola pikir sederhana, tidak kritis, linier atau searah yang pada akhirnya akan
mempengaruhi imajinasi intelektual, kreativitas dan perkembangan kognitifnya.
Televisi juga dapat mengurangi konsentrasi anak, rentang waktu konsentrasi anak
hanya sekitar tujuh menit, persis seperti acara dari iklan ke iklan. Hal ini dapat
membatasi daya konsentrasi anak.
Melihat realita di atas, maka guru dan orang tua harus berinisiatif untuk
membangun karakter anak dengan memanfaatkan, dan menjadikan televisi sebagai
mitra dalam pembelajaran. Guru dan orang tua harus secara aktif mendesain sistem
dan strategi untuk menjadikan tayangan televisi sebagai pembelajaran bahkan
mendesak untuk memasukan program ini dalam mata pelajaran yang berlaku secara
nasional.
Sadiman (1984) menyatakan salah satu strategi yang dapat digunakan untuk
mengajak pembelajar untuk mengemukakan pengalamannya menonton televisi
misalnya: 1) Apa program/ tayangan yang ditonton? 2) Kesimpulan apa yang dapat
diambil? 3) Hikmah apa yang dapat disarikan? 4) Apakah pernah mengalami hal yang
sama/ mirip dengan yang ditayangkan? dan 5) Pendapat pembelajar terhadap
tayangan. Selanjutnya guru/ orang tua dapat mengajak pembelajar untuk berdiskusi
mengenai tayangan yang ditontonnya dengan harapan diskusi dapat meningkatkan
daya apresiasinya. Hal ini sangat efektif dilakukan jika dikaitkan dengan mata
pelajaran tertentu yang kental dengan nuansa nilai seperti PPKN dan Pendidikan
Agama.
Menurut
Sadiman
(1984)
kelebihan-kelebihan
televisi
sebagai
media
pendidikan antara lain adalah sebagai berikut.
1.
Televisi dapat menerima, menggunakan dan mengubah atau membatasi semua
bentuk media lain, menyesuaikan dengan tujuan.
2.
Televisi merupakan medium yang menarik, modern dan selalu siap diterima oleh
anak-anak karena mereka mengenalkannya sebagai bagian dari kehidupan luar
sekolah mereka.
3.
Televisi dapat memikat perhatian sepenuhnya dari penonton. Seperti halnya film,
televisi menyajikan informasi visual dan lisan secara simultan.
4.
Televisi memiliki realitas dari film, tapi juga memiliki kelebihan yang lain yaitu
immediancy
(objek
yang
baru
saja
ditangkap
kamera
dapat
segera
dipertontonkan).
5.
Sifatnya langsung dan nyata. Dengan televisi anak dapat tahu kejadian-kejadian
mutakhir, mereka dapat mengadakan kontak dengan orang-orang besar / tertentu
dalam bidangnya, melihat dan mendengarkan mereka berbicara.
Kelebihan-kelebihan
televisi
tersebut
akan
membuat
program
yang
menyampaikan hal-hal mengenai pendidikan akan mudah diterima oleh anak-anak
sehingga pada akhirnya akan menambah pengetahuan anak tersebut. Guru dan orang
tua harus secara aktif mendesain sistem dan strategi untuk menjadikan tayangan
televisi sebagai pembelajaran bahkan mendesak untuk memasukan program ini dalam
mata pelajaran yang berlaku secara nasional. Salah satunya dengan
mengajak
pembelajar untuk mengemukakan pengalamannya menonton televisi
Televisi dapat pula membawa dampak buruk pada kegiatan belajar kognitif
anak-anak, salah satunya televisi dapat mengurangi semangat belajar. Bahasa televisi
yang simpel, memikat dan membuat ketagihan selain dapat mendukung perilaku
belajar kognitif anak ternyata juga sangat mungkin membuat anak menjadi malas
belajar. Anak-anak menjadi malas membaca sehingga menyebabkan anak memiliki
pola pikir sederhana, tidak kritis, linier atau searah yang pada akhirnya akan
mempengaruhi imajinasi intelektual, kreativitas dan perkembangan kognitifnya.
Selain itu banyaknya program yang tidak cocok dengan usia anak-anak
menyebabkan tambahan pengetahuan yang diperoleh anak dapat dikatakan tidak baik/
tidak cocok untuk anak tersebut sehingga nanti akan berpengaruh pada
kepercayaan/keyakinan anak tersebut yang pada akhirnya akan mempengaruhi sikap
anak.
Adapun keterkaitan antara variabel-variabel tersebut, tersaji dalam kerangka
pemikiran di bawah ini.
Karakteristik
individu:
• Usia
• Uang saku
• Waktu luang
Lingkungan Sosial:
• Sekolah
(guru,
teman sekolah)
• Tetangga
dan
teman
sepermainan
• Keluarga
Faktor
Psikologi:
• Sikap
• Bakat
• Minat
• Motivasi
Terpaan
Media
Televisi:
• frekuensi
penggunaan
• durasi
penggunaan
• pilihan pesan
Belajar
Kognitif:
• penguasan
materi
• tambahan
pengetahuan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Gambar 1 di atas menjelaskan bahwa karakteristik individu seperti usia, uang
saku dan waktu luang mempengaruhi terpaan media televisi pada anak SD. Selain
karakteristik individu, lingkungan sosial seperti sekolah (guru dan teman sekolah),
tetangga dan teman sepermainan serta keluarga juga tidak dapat dilepaskan
hubungannya dengan terpaan media televisi pada anak SD.
Faktor psikologi dan lingkungan sosial juga ikut serta mempengaruhi perilaku
belajar kognitif. Faktor psikologi yang mempengaruhi belajar kognitif adalah aspek
yang meliputi sikap, bakat, minat dan motivasi. Dilihat dari lingkungan sosial, yang
dapat digolongkan menjadi hal yang mempengaruhi perilaku belajar kognitif adalah
lingkungan sekolah (guru dan teman sekolah), tetangga dan teman sepermainan, serta
keluarga.
Terpaan media sendiri akan mempengaruhi perilaku belajar kognitif pada anak.
Terpaan media pada anak dapat dilihat dari frekuensi dan durasi anak menggunakan
televisi dalam sehari sedangkan pengaruh dengan perilaku belajar dapat dilihat dari
aspek banyaknya materi yang didapat dan tambahan pengetahuan yang diperoleh.
Berdasarkan kerangka pemikiran dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H1= Terdapat hubungan signifikan antara karakteristik individu dan terpaan media
pada anak.
H2= Terdapat hubungan signifikan antara lingkungan sosial dan terpaan media pada
anak.
H3= Terdapat hubungan signifikan antara faktor psikologi dan perilaku belajar
kognitif pada anak.
H4= Terdapat hubungan signifikan antara lingkungan sosial dan perilaku belajar
kognitif pada anak.
H5= Terdapat hubungan signifikan antara terpaan media televisi dan perilaku belajar
kognitif pada anak.
Download