2. Muanif Ridwan - universitas islam | as

advertisement
PENISTAAN AGAMA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN ISLAM
(Studi Kasus Dugaan Penistaan Agama oleh Basuki Tjahaya
Purnama(Ahok))
Oleh: Muannif Ridwan1
Abstract
This study discusses the defamation of religion which became a hot topic among
Indonesian society today. As a lot of news about it in the print and electronic
media. This issue drew public attention back, one of which stems from the release
of video footage Tjahaja Basuki Purnama (Ahok) quoting Surah Al Maidah verse
51. In the concept of the crime of blasphemy carries the consequences of an act of
tarnishing religion. Policy formulation of the crime of defamation of religion shows
that the legal interest protected is religion itself. Defamation of religion have been
decided by the Constitutional Court as a criminal offense that is not contrary to the
1945 Constitution, and therefore still workable and ensnare anyone suspected of
doing so. In Islam, the Quran has a way to resolve cases of defamation of religion
as in Surat an-Nisa verse 140 and surah Al-An'am verse 68.
Keywords: Defamation of Religion, Positive Law, Islamic Law
I.
LATAR BELAKANG MASALAH
Penistaan agama kembali menjadi topik pembicaraan di masyarakat
Indonesia. Sebagaimana banyak pemberitaan di media cetak dan elektronik. Isu
penistaan agama kembali menjadi perhatian masyarakat di Indonesia salah
satunya bermula dari beredarnya potongan video Basuki Tjahaja Purnama (BTP)
alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta, yang mengutip Surat Al Maidah Ayat 51 pada
saat melakukan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016
yang lalu. Video tersebut menjadi viral di media sosial dan pada akhirnya
mengundang respon publik yang besar, khususnya umat Islam di Indonesia.
Konsep penistaan Agama digunakan untuk menyebut tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 156 a KUHP. Dalam pasal tersebut tidak
menjelaskan pengertian dari penistaan agama itu sendiri. Penodaan agama
berasal dari 2 (dua) kata yaitu penodaan dan agama. Penodaan i t u sendiri
terbentuk dari kata dasar noda kemudian mendapat imbuhan pe-an yang berfungsi
menyatakan suatu perbuatan. Berdasarka uraian tersebut dapat diartikan perbuatan
yang menimbulkan noda, dengan kata lain menodai.
Konsep tindak pidana penistaan agama membawa konsekuensi apabila suatu
perbuatan menodai Agama, namun tidak mengganggu ketentraman orang
beragama perbuatan tersebut tidak dapat dipidana, karena tidak mengganggu
1
Muannif Ridwan adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Islam As-syafi’iyah, Jakarta. 18
ketertiban umum. Kebijakan formulasi tindak pidana penistaan agama
menunjukan bahwa kepentingan hokum yang dilindungi adalah Agama itu
sendiri. Konsep demikian membawa
konsekuensi, tanpa mengganggu
ketertiban umum apabila seseorang melakukan perbuatan yang menista Agama
maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Di Indonesia, UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama yang selama ini dijadikan dasar hukum, selain pasal
156 a KUHP, upaya penindakan aliran-aliran sesat hanya memuat rumusan
sanksi pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Dan adanya SKB 3 menteri
sebagai salah satu bentuk penanggulangan tindak pidana penistaan agama.
Agama merupakan sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem
budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan
tatanan/perintah dari kehidupan. Bagi para penganutnya agama berisikan ajaranajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan
petunjuk hidup di dunia maupun di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi
bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari
masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi
tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai
dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran Agamanya.2
Agama tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya,
tetapi juga hubungannya dengan sesama manusia. Oleh karena itu, agama juga
memiliki pengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pengingkaran terhadap pengaruh agama dalam kehidupan bermasyarakat dapat
mendorong terjadinya penodaan terhadap agama. Maraknya tindak pidana
penistaan agama dalam berbagai bentuk, seperti munculnya penyimpanganpenyimpangan dalam kehidupan beragama dalam masyarakat yang bertentangan
dengan ajaran-ajaran dan hukum agama yang telah ada tersebut dapat
merongrong sendi-sendi kehidupan beragama masyarakat.
Indonesia bukanlah negara agama, sebab negara Indonesia tidak didasarkan
pada suatu agama tertentu, tetapi Indonesia mengakui eksistensi enam (6) agama,
yaitu: agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghuchu.
Sebenarnya, masalah keyakinan terhadap suatu ajaran agama adalah urusan
hati setiap manusia dan tidak bisa diintervensi siapapun. Tapi mengubah,
menambah, atau menghilangkan ajaran agama yang sudah ada dianut di Indonesia,
bukanlah suatu hak asasi manusia yang harus dihormati dan dilindungi, karena itu
adalah perbuatan menista suatu agama atau penodaan agama. Penodaan ajaran
agama ialah suatu hal/kegiatan yang mengusik ajaran sakral dalam satu agama.
2Parsudi
Suparlan Dalam Rebertson, Roland (ed). 1988. “Agama: Dalam Analisis dan
Interpretasi Sosiologi”, pp.v-xvi. Jakarta CV. Rajawali, hlm. 26.
19
Menurut Wirjono Prodjodikoro yang dimaksud tindak pidana terhadap
kepentingan agama sering disebut dengan penodaan agama. Aspek mengenai
tindak pidana terhadap kepentingan agama tersebut diatur dalam KUHP dengan
tujuan melindungi kepentingan agama. Di dalam KUHP ada tiga kepentingan yang
dilindungi yaitu kepentingan individu, kepentingan masyarakat dan kepentingan
negara yang masing-masing diperinci ke dalam sub jenis kepentingan lagi.3
Kelemahan delik terhadap agama didukung dengan tidak adanya
penyebutan objek yang dihina dari agama secara jelas. Selain itu, rumusan
deliknya juga tidak mencantumkan unsur “kesalahan” yang berupa
penyebaran kebencian, ejekan, hujatan, atau penghinaan terhadap objek dari
keyakinan agama yang dihujat atau dihina. Maka negara bukan hanya melindungi
agama, tetapi juga perlindungan terhadap perasaan keagamaan masyarakat dan
perlindungan terhadap ketentraman umat beragama, karena menyerang menghina
kesucian agama lain atau menyerang konsep Tuhan, Rasul, Nabi, dan Kitab Suci,
tentu akan menodai perasaan keagamaan penganutnya. Jadi, yang ditekankan di
sini ketika seseorang mengekspresikan keyakinannya di “ranah publik” yang
mengakibatkan terhinanya perasaan keagamaan pihak lain. Hal inilah yang
melahirkan pelecehan atau penodaan agama.
Ketidakjelasan rumusan delik terhadap agama yang ada dalam setiap
peraturan di Indonesia, berimbas tidak seimbangnya hukuman terhadap pelaku
pelanggaran delik agama. Hukuman yang sepantasnya dijatuhkan harusnya
bertujuan agar tidak adanya balasan dari apa yang telah dilakukan, menjadikan
hukuman sebagai bahan perbaikan dan pengajaran, serta bertujuan agar
pelaku tidak mengulangi perbuataan pidananya untuk kedua kalinya. Disamping
itu juga merupakan tindakan preventif bagi orang lain untuk tidak melakukan
tindakan yang sama.4
II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan penjelasan dan uraian di atas, untuk lebih detailnya maka
penulis akan mengemukakan beberapa pertanyaan sebagai rumusan masalah
yang diharapkan mampu mengantarkan pada pemahaman yang sistematis dan
mendalam, yaitu:
1. Bagaimana penistaan Agama dilihat dari perspektif hukum di Indonesia?
2. Apa Sanksi Pidana Terhadap Penistaan Agama Menurut Hukum Positif?
3. Bagaimana pandangan Islam terhadap perilaku atau tindakan penistaan agama?
III. KERANGKA KONSEP POLITIK HUKUM
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Eresco,
1986), hlm. 6.
4 Majalah Hidayatullah, Sekte Penyembah Kucing, (Edisi November 2008), hlm. 1.
3
20
Penistaan agama telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai delik
pidana yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya masih bisa
diterapkan dan menjerat siapapun yang diduga melakukannya. Minimal ada dua
putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 dan Nomor 84/PUU-X/2012 terkait
pengujian Pasal 156a KUHP jo Undang-Undang Nomor 1 /PNPS tahun 1965
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Dalam dua kasus pengujian itu, MK memutuskan menolak argumentasi
pemohon bahwa Pasal 156a KUHP jo Undang-Undang Nomor 1 /PNPS tahun
1965 bertentangan dengan UUD 1945. Para pemohon dalam perkara tahun 2009
adalah beberapa LSM yang bergerak di bidang bantuan hukum dan HAM, seperti
LBH, Imparsial, ELSAM, PBHI, DEMOS, Setara Institute dan Desantara
Foundation. Selain itu, terdapat juga para Pemohon perorangan, di antaranya M.
Dawam Rahardjo dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid.5
Inti dari putusan MK adalah menolak argumen bahwa delik penistaan
agama adalah bentuk intervensi negara ke wilayah kebebasan beragama. MK tetap
berpandangan bahwa kebebasan beragama perlu ada pembatasan, agar tidak
menimbulkan penistaan. Yang pasti sejak reformasi, ketika kebebasan berbicara
makin terbuka, kasus penodaan agama makin banyak terjadi. Di era Orde Baru
sampai awal reformasi dari tahun 1965 hingga tahun 2000, pasal 165A hanya
dipakai 10 kali. Namun dalam 15 tahun terakhir (2000 -2015) telah digunakan
pada lebih dari 50 kasus. Dengan pelaku terbanyaknya mengaku beragama
Kristen 61 orang dan Islam 49 orang (aliran kepercayaan 4 orang dan tidak
diketahui 6 orang).
Soal politik hukum penistaan agama ini menarik untuk membaca tulisan
Zainal Abidin Bagir berjudul, "Supremasi Hukum untuk Penista Agama" pada
situs www.islamindonesia.id.6 Banyak isu yang berpilin dengan kasus dugaan
penistaan agama terhadap Terlapor Basuki Tjahaya Purnama (BTP) alias Ahok
ini. Salah satunya yang ingin penulis berikan komentar adalah keterkaitannya
dengan posisi Ahok sebagai Calon Gubernur dalam Pilgub Jakarta 2017
mendatang. Penulis membaca ada pandangan bahwa jika yang bersangkutan
menjadi tersangka atau terdakwa, maka statusnya sebagai calon gubernur menjadi
hilang. Pandangan demikian keliru dan harus diluruskan.
Kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok ini bisa
dikatakan sebagai persoalan agama yang menjadi persoalan politik. Kalau agama
ada cara Al-Quran untuk menyelesaikan seperti dalam surat An-Nisa ayat 140 dan
surat Al-An’am ayat 68.
Catatan Kamisan Denny Indrayana, Ahok, Penistaan Agama dan Supremasi Hukum,
DetikNews, Kamis 10 Nov 2016, 12:10 WIB
6 https://islamindonesia.id/kolom/kolom-supremasi-hukum-untuk-penistaagama.htm
5
21
Artinya: Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di
dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari
dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu
duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain.
Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu
serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua
orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. (QS. AnNisa ayat 140)
Artinya: Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayatayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan
pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan
larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang
zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (Al-An’am ayat 68)
Kalau orang yang terbukti memperolok-olok agama, penyelesaiannya
dengan cara diboikot dan hindari sampai bicara dengan benar, bukan berarti harus
didemo ramai-ramai. Jika murni persoalan agama, seharusnya sudah selesai
dengan mengikuti solusi yang tertuang dalam Alquran tersebut. Apalagi Ahok
sudah minta maaf. Kalau memang sesuai agama, agama itu ajarannya santun,
cinta damai dan menganjurkan untuk memaafkan. Kalau ternyata ada kebencian
atau jengkel, itu murni politik. Sementara penggunaan Pasal 156a KUHP jo Pasal
28 (1) UU 11 tahun 2008 tentang ITE, di tengah kontestasi politik Pilkada DKI,
menegaskan bahwa Ahok terjebak pada praktik politisasi identitas yang didesain
oleh kelompok-kelompok tertentu.
Dalam Pasal 163 UU 10 Tahun 2016 terkait pemilihan gubernur ditegaskan
bahwa status tersangka dan terdakwa tidak menghilangkan status seorang calon
gubernur. Bahkan di dalam Pasal 163 ayat (6) dalam status tersangka, seorang
gubernur terpilih tetap harus dilantik. Dalam pasal 163 ayat (7) diatur, dalam
status terdakwa, gubernur terpilih tetap dilantik meskipun kemudian pada saat
pelantikan itu juga diberhentikan sementara. Baru jika keputusan pengadilan
menetapkan gubernur terpilih menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum, menurut Pasal 163 ayat (8) yang
bersangkutan tetap dilantik agar dapat langsung diberhentikan. Mengingat
sekarang masih jauh dari putusan berkekuatan hukum tetap, sedangkan proses
Pilgub Jakarta akan berakhir pertengahan tahun depan, maka jelaslah bahwa
22
jikapun Ahok menjadi tersangka ataupun terdakwa, dia tetap bisa terus mengikuti
proses pemilihan gubernur di Jakarta.7
Terkait soal independensi penegakan hukum. Saat ini atas kasus dugaan
penistaan agama oleh Terlapor Ahok ini, masyarakat minimal terbelah menjadi
pendukung dan pembela Ahok. Masing-masing pada dua kutub ekstrem tuntutan;
mewajibkan Ahok menjadi tersangka atau megharuskan Ahok bebas. Perlu
ditegaskan berulang kali, bahwa pendapat demikian adalah hak dan dijamin
sebagai kebebasan berpendapat dalam UUD 1945. Namun, UUD 1945 juga
menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dalam arti tidak boleh ada bentuk
intervensi ataupun paksaan dalam bentuk apapun oleh siapapun atas suatu proses
hukum. Karenanya, semua pihak harus sama-sama menghormati proses hukum
yang sekarang berlangsung, tanpa memaksanakan kehendaknya sendiri-sendiri
yang sangat berbahaya bagi prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan
pondasi dasar negara hukum Indonesia.
IV. PEMBAHASAN
1. Penistaan Agama dalam Perspektif Hukum di Indonesia
Isu penistaan agama kembali menjadi perhatian publik di Indonesia. Hal itu
dipicu oleh potongan video Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur DKI
Jakarta, yang mengutip Surat Al Maidah Ayat 51 pada saat melakukan kunjungan
kerja di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Video tersebut viral di media
sosial dan pada akhirnya mengundang respon publik yang besar, khususnya umat
Islam di Indonesia.
Sebagian pihak menilai ucapan Ahok dalam potongan video tersebut telah
menistakan ajaran Agama Islam. Namun di sisi lain, Ahok menganggap
ucapannya tersebut merupakan respon terhadap sejumlah pihak yang
menggunakan ayat suci untuk kepentingan politiknya dengan tujuan menolak
Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 mendatang.
Terhadap tuduhan melecehkan Agama Islam, Ahok kemudian meminta
maaf kepada umat Islam atas ucapannya. Hal itu disampaikan Ahok di Balai Kota
DKI Jakarta, Senin 10 Oktober 2016. Namun sejumlah pihak tidak memaafkan
Ahok dan tetap ingin membawa kasus tersebut ke dalam ranah hukum.8
Selama ini ada beberapa kasus penistaan agama yang berujung di ranah
hukum, beberapa diantaranya: (1) Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar)9; (2)
Analisis Hukum Tentang Kasus Ahok Penistaan Agama Islam, Oleh: DR. M. Khoirul
Huda SH MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya bisa diakses
melalui situs: www.sriwijayaaktual.com
8 http://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/10/09245441/ahok.minta.maaf.
kepada.umat.islam
9 Terkait organisasi ini, selengkapnya bisa dibaca di: https://beritagar.id/artikel/
berita/fakta-seputar-gafatar-gerakan-fajar-nusantara
7
23
penistaan agama oleh Arswendo Atmowiloto melalui Tabloid Monitor; (3)
penistaan agama oleh Nando Irwansyah M’ali terhadap Agama Hindu (4)
penistaan Agama Hindu oleh Rusgiani; (5) penistaan agama terhadap Agama
Kristen oleh Heidi Euginie; (6) penistaan Agama Islam oleh Ki Panji Kusmin
pada 1968.10
Secara yuridis penodaan agama merupakan bagian dari delik agama yang
memang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di
Indonesia. Pengaturan tersebut ditujukan untuk menjamin agar negara Indonesia
yang majemuk; multi agama, multi etnik, dan multi ras dapat terhindar dari halhal memecah belah, salah satunya konflik-konflik antar umat beragama.
Di dalam KUHP sebetulnya tidak ada bab khusus yang mengatur delik
agama. Namun ada beberapa delik yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai
delik agama. Istilah delik agama sendiri mengandung beberapa pengertian
meliputi: (a) Delik menurut agama; (b) Delik terhadap agama; (c) Delik yang
berhubungan dengan agama.11
Adami Chazawi, seorang pakar hukum pidana, mengemukakan mengenai
kejahatan penghinaan yang berhubungan dengan agama ini dapat dibedakan
menjadi 4 (empat) macam, yaitu: (1) penghinaan terhadap agama tertentu yang
ada di Indonesia (Pasal 156a); (2) penghinaan terhadap petugas agama yang
menjalankan tugasnya (Pasal 177 angka 1); (3) penghinaan mengenai bendabenda untuk keperluan ibadah (Pasal 177 angka 2); (4) menimbulkan gaduh di
dekat tempat ibadah yang sedang digunakan beribadah (Pasal 503).12
Pasal yang selama ini sering disebut sebagai pasal penodaan agama adalah
Pasal 156a KUHP. Perlu diketahui bahwa sebenarnya Pasal 156a KUHP ini tidak
berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, melainkan bersumber dari
Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama (Penpres No.1/1965).
Penpres No.1/1965 dalam Pasal 4 menyatakan “dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja dimuka umum
mengeluarkan
perasaan
aau
melakukan
perbuatan:
(a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar
supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendi ke–
Tuhanan Yang Maha Esa.”
10http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/10/18/of81e3330-ini-
kasus-penistaan-agama-di-indonesia-yang-diproses-hukum
11 Delik Penodaan Agama Di Tinjau Dari Sudut Pandang Hukum Pidana Di Indonesia,
Oleh: Randy A. Adare, Lex et Societatis, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013
12 Adami Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
24
Salah satu fungsi penting hukum pidana adalah untuk memberikan
legitimasi bagi tindakan represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang
yang melakukan perbuatan yang mengancam dan membahayakan, serta
merugikan kepentingan umum. Namun dalam pelaksanaannya, kebijakan
pemerintah dalam masalah agama senantiasa menimbulkan pro kontra. Hal ini
dikarenakan kelompok-kelompok agama di Indonesia sendiri mempunyai aspirasi
yang bukan saja berbeda, tapi saling bertentangan, bahkan di dalam internal
kelompok agama sendiri.
Menurut Rusli Muhammad, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, dengan ‘mengamankan’ agenda keagamaan melalui pasal dalam
undang-undang dan regulasi lainnya, maka tindakan yang diskriminatif sekalipun
bisa menjadi ‘kebenaran’ karena disahkan oleh undang-undang. Kondisi ini jelas
berbahaya, karena undang-undang bisa menjadi sandera untuk membenarkan
tindakan yang melanggar konstitusi sekalipun.13
Dalam hubungannya dengan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan
oleh Ahok, harapannya hukum dapat bekerja secara profesional dan proporsional.
Meskipun semestinya perkara menyangkut Ahok ini bisa saja selesai apabila
permintaan maaf Ahok diterima dengan catatan tidak diulangi lagi. Namun yang
terjadi adalah sebagian pihak memaafkan, sementara pihak lain tidak. Sehingga
mau tidak mau kasus dugaan penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok ini bisa
saja dibawa ke ranah hukum oleh pihak-pihak yang tidak mau memaafkan.
Persoalannya sekarang, dalam praktek peradilan terkait dengan delik
penodaan terhadap agama yang sering menjadi kesulitan adalah istilah penodaan
terhadap agama sesungguhnya sangat abstrak. Dalam praktiknya pasal tentang
penodaan agama menjadi pasal yang sangat lentur yang bisa dipahami secara
sepihak. Oleh karena itu dalam pembuktian kasus penodaan agama harus
dilakukan dengan hati-hati dan memperhatikan aspek kepastian hukum bagi
masyarakat.
2. Sanksi Pidana Terhadap Penistaan Agama Menurut Hukum Positif
Sanksi pidana dalam KUHP sesungguhnya bersifat reaktif dalam
suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap
pelaku perbuatan tersebut. Menurut Alf Ross Sanksi pidana adalah suatu sanksi
yang harus memenuhi dua syarat/tujuan. Pertama: pidana dikenakan kepada
pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan. Kedua: pidana itu
harus merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.14
Penodaan Agama dalam Perspektif Hukum Di Indonesia, oleh: Zihan
Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy
Research, hlm. 3.
14 Sudut Hukum, Portal Hukum Indonesia (http://www.suduthukum.com/)
13
25
Perumusan sanksi pidana dalam KUHP pada umumnya memakai dua
pilihan, misalnya pidana penjara atau denda (system alternative). Jika dipandang
dari sudut sifatnya, sanksi merupakan akibat hukum dari pada pelanggaran suatu
kaidah, hukuman dijatuhkan berhubung dilanggarnya suatu norma oleh
seseorang. Mengenai aturan penodaan agama, sanksi yang dikenakan adalah
sanksi penjara sebagai bagian dari sanksi pidana dengan membuat pelaku tersebut
menderita, sanksi penodaan agama ini diatur dalam pasal 2 UU PNPS No 1/1965
(jo Undang-Undang No 5/1965) dan pasal 156a KUHP. Pasal 2 UU PNPS No
1/1965 menyebutkan: Ayat (1)
Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah
dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam
suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri”. Ayat (2) “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1)
dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden
Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan
organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi atau aliran terlarang, satu dan
lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama,
Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-orang
ataupun penganut-penganut suatu aliran kepercayaan maupun anggota maupun
anggota pengurus organisasi yang melanggar larangan tersebut dalam pasal 1,
untuk permulaannya dirasa cukup diberi nasehat seperlunya. Apabila
penyelewengan itu dilakukan oleh organisasi atau penganut-penganut kepercayaan
dan mempunyai efek yang cukup serius bagi masyarakat yang beragama, maka
Presiden berwenang untu membubarkan organisasi itu dan untuk menyatakan
sebagai organisasi atau aliran terlarang dengan akibat-akibatnya.
Dalam pasal 3 disebutkan:
Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersamasama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden
Republik Indonesia menurut ketentuan pasal 2 terhadap orang, organisasi atau
aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1,
maka orang, penganut, anggota dan atau anggota Pengurus Organisasi
yang bersangkutan dari aliran itu dipidanna dengan pidana penjara selamalamanya lima tahun”.
Pemberian ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini adalah tindakan
lanjutan terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan tersebut, dalam
pasal 2. Oleh karena aliran kepercayaan biasanya tidak mempunyai bentuk
seperti organisasi/perhimpunan, di mana mudah dibedakan siapa pengurus dan
siapa anggotanya, maka mengenai aliran kepercayaan, hanya penganutnaya yang
masih melakukan pelanggaran yang dapat dikenakan pidana, sedang pemuka
26
aliran sendiri yang menghentikan kegiatannya tidak dapat dituntut. Mengingat
sifat dari tindak pidana dalam pasal ini, maka ancaman pidana 5 tahun dirasa
sudah wajar.
Dalam pasal 4 disebutkan: Pada KUHP diadakan pasal baru yaitu pasal
156a yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan: a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. b. Dengan maksud
agar orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Sanksi penjara tersebut diberlakukan jika tersangka telah terbukti secara
sah dan meyakinkan dan diputuskan oleh pengadilan dengan ancaman
hukuman maksimal lima tahuk penjara, dikatakan maksimal, artinya jumlah
pidana tersebut pelaku penistaan agama dalam KUHP adalah lima tahun penjara
atau bahkan dapat diberikan hukuman minimum.
3. Pandangan
Islam
Terhadap
Perilaku
Atau
Tindakan
Penistaan Agama
Selain video viral Ahok yang mengutip Surat Al Maidah Ayat 51 pada saat
melakukan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu pada 27 September yang lalu.
Sebelumnya juga telah beredar beberapa foto remaja yang disinyalir berasal dari
Metro Lampung berpose tengah melaksanakan shalat. Yang jadi permasalahan,
mereka melaksanakan shalat tersebut dengan aurat terbuka.
Imam Asyrofi, pengurus MUI Lampung, dan seluruh umat Islam sangat
menyayangkan beredarnya foto tersebut. Apapun alasannya itu merupakan
pelecehan dan penistaan agama Islam.15
Dalam Islam, perbuatan tersebut masuk dalam kategori Istihza’ bid din
yakni memperolok atau menistakan agama. Sementara menistakan agama
termasuk salah satu pembatal keislaman seseorang.
Dalam ta’liq (syarah) kitab Aqidah Ath Thahawiyah, Syaikh, Shalih Al
Fauzan mengatakan: “Pembatal-pembatal keislaman sangat banyak. Diantaranya
adalah juhud (pengingkaran hukum Allah), syirik dan memperolokolok/menistakan agama atau sebagian dari syi’ar agama –meskpin ia tidak
mengingkarinya. Para ulama dan ahli fiqh telah menyebutkannya dalam bab-bab
riddah (kemurtadan). Diantaranya juga adalah menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal.”
Allah SWT. berfirman dalam kitab-Nya:
Informasi lengkapnya bisa diakses melalui:
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/07/25/oatun9318beredar-di-medsos-remaja-lampung-shalat-buka-aurat
15
27
Artinya: Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka
sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati
mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu
(terhadap Allah dan RasulNya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan
apa yang kamu takuti. (At Taubah:64).
Artinya: Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka
lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya
bersenda-gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan
Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya, kamu selalu berolok-olok?” (At
Taubah:65).
Artinya: Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.
Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat),
niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka
adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (At Taubah:66).
Ayat ini menjelaskan sikap orang-orang munafik terhadap Allah, Rasul-Nya
dan kaum mukminin. Kebencian yang selama ini mereka pendam, terlahir dalam
bentuk ejekan dan olok-olokan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman
dalam kitab-Nya:
Artinya: Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al
Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk
beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain.
Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu
serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orangorang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam. (An Nisa’:140).
Berkaitan dengan ayat ini, Syaikh Abdurrahman As Sa’di mengatakan
dalam tafsirnya: “Yakni Allah telah menjelaskan kepada kamu–dari apa yang
telah Allah turunkan kepadamu– hukum syar’i berkaitan dengan menghadiri
majelis-majelis kufur dan maksiat. Allah mengatakan “bahwa apabila kamu
mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan” yaitu dilecehkan,
maka sesungguhnya kewajiban atas setiap mukallaf (orang yang sudah baligh
dan berakal sehat) apabila mendengar ayat-ayat Allah adalah mengimaninya,
mengagungkan dan memuliakannya. Itulah maksud diturunkannya ayat-ayat
Allah. Dialah Allah yang karenanya telah menciptakan makhluk. Lawan dari
iman adalah mengkufurinya, dan lawan dari pengagungan adalah melecehkan
dan merendahkannya. Termasuk di dalamnya adalah perdebatan orang-orang
kafir dan munafik untuk membatalkan ayat-ayat Allah dan mendukung kekafiran
mereka.16
Tafsir Al-Quran Al-Karim, fi Tafsiril Mannan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir asSa’di, 1-7 jilid; 696 hlmn.
16
28
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penistaan agama telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai
delik pidana yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya
masih bisa diterapkan dan menjerat siapapun yang diduga
melakukannya. Minimal ada dua putusan MK Nomor 140/PUUVII/2009 dan Nomor 84/PUU-X/2012 terkait pengujian Pasal 156a
KUHP jo Undang-Undang Nomor 1 /PNPS tahun 1965 Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
2. Jika mengacu pada keputusan Mahkamah Agung, perkara yang
dianggap mengandung unsur penistaan agama Islam rujukannya
adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI)
3. Dalam perspektif agama Islam ada cara Al-Quran untuk menyelesaikan
kasus penistaan agama seperti dalam surat An-Nisa ayat 140 dan surat
Al-An’am ayat 68. Kalau orang yang terbukti memperolok-olok agama,
penyelesaiannya dengan cara diboikot dan hindari sampai bicara dengan
benar. Sementara menistakan agama (Istihza’ bid din) termasuk salah
satu pembatal keislaman seseorang.
4. Penegakan hukum memang bukanlah jalan terbaik untuk kasus-kasus
yang disebut “penodaan agama”. Alternatifnya adalah jalan
penyelesaian lain, non-hukum, yang diharapkan dapat menyelesaikan
masalah dan lebih berkeadilan bagi semua pihak. Yaitu ishlah atau
rekonsiliasi.
5. Dalam upaya mengatasi konflik, biasa dikenal tiga pendekatan.
Pertama, pendekatan kuasa (yang populer di masa Orde Baru). Kedua,
pendekatan berbasis hak (yang menggunakan instrumen-instrumen
hukum untuk melihat pihak mana yang bersalah dan pihak mana yang
benar). Ketiga, pendekatan berbasis kepentingan bersama, dimana
pihak-pihak yang bertikai mencari cara agar kepentingan mereka dapat
terpenuhi dan konflik selesai. Ishlah adalah salah satu bentuk jalan
ketiga itu. Ada dua alasan mengapa pendekatan ini perlu dilakukan: (1)
kemungkinan besar bahwa hasil proses hukum ternyata tidak bisa
diterima sebagian orang; dan (2) bahwa masalah tuduhan penistaan
agama ini kini telah mencapai tingkat yang cukup mengkhawatirkan.
B. Saran
1. Semua umat beragama harus menghindarkan diri dari upaya penistaan
agama. Namun yang jauh lebih penting adalah umat beragama harus
menyadari bahwa semua perilaku atau tindakan individu dan sosial
yang bertentangan dengan nilai ajaran agama, semua itu merupakan
tindakan penistaan terhadap ajaran agama itu sendiri.
29
2. Semua umat beragama perlu memahami bahwa soal isu agama itu tidak
hanya menyangkut aspek rasional dan empiris keagamaan semata,
tetapi juga terkait dengan dimensi kebatinan (feeling of the people) atau
spiritualitas masing-masing umat beragama yang sangat subyektif, yang
hanya dapat dipahami atau dihayati oleh individu masing-masing
penganut agama.
3. Media massa maupun media sosial lainnya harus tetap mengedepankan
analisis dan kajian kegamaan secara rasional, akademis dan
proporsional. Fokus pada ide dan sedapat mungkin menghindarkan diri
dari sikap menghakimi (Judgement) atau stigmasi pribadi, kelompok
maupun lembaga keagamaan dan lembaga sosial lainnya.
4. Kasus yang menimpa Ahok ini hendaknya dapat dijadikan pelajaran
bagi semua umat beragama agar dimasa depan lebih berhati-hati lagi
bila berbicara soal agama. Dalam soal agama, biarkan ilmuan agama
masing-masing yang paling berhak (kompeten) dalam menafsirkan
ajaran agamanya. Orang atau penganut agama yang diluar agamanya
sendiri (Outsider), wajib menjaga diri untuk memberikan komentar
kecuali terkait dengan kajian akademis perbandingan agama
5. Semua kelompok sosial maupun politik harus menghindarkan diri dari
upaya sengaja untuk menjadikan isu agama sebagai alat legitimasi
tindakan politik yang sifatnya pragmatis, namun jauh dari nilai-nilai
hakiki dari ajaran agama itu sendiri. Bila ditemukan adanya upaya
politisasi agama maka harus dibawa ke ranah hukum. Dan jika telah
dibawa ke jalur hukum, apapun hasilnya harus diterima secara sportif
dan lapang dada dari dua belah pihak yang berseteru. Bila ada pihak
yang kurang puas dengan hasil yang ada, maka penyelesaian juga harus
dilakukan melalui upaya hukum lanjut sesuai mekanisme dan ketetapan
yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Cetakan 2009.
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2008.
Fadlan Asif, Muhammad, Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 156a (KUHP)
Tentang Tindak Pidana Penodaan Agama, Skripsi, Jurusan Siyasah Jinayah,
30
Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Walisongo,
Semarang, 2015.
Majalah Hidayatullah, Sekte Penyembah Kucing, Edisi November 2008.
Parsudi Suparlan Dalam Rebertson, Roland (ed).“Agama: Dalam Analisis dan
Interpretasi Sosiologi”, pp.v-xvi, Jakarta: CV. Rajawali, 1988.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas hukum Pidana Indonesia, Bandung: Eresco,
1986.
Abdurrahman As Sa’di, Syaikh, Tafsir Al-Quran Al-Karim, fi Tafsiril Mannan,
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, 1-7 jilid; 696 hlmn, tanpa tahun.
Makalah/Artikel
Analisis Hukum Tentang Kasus Ahok Penistaan Agama Islam, Oleh: Khoirul
Huda, Dekan Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya. Bisa
diakses melalui situs: www.sriwijayaaktual.com
Catatan Kamisan Denny Indrayana, Ahok, Penistaan Agama dan Supremasi Hukum,
DetikNews, Kamis 10 Nov 2016, 12:10 WIB
Delik Penodaan Agama Di Tinjau Dari Sudut Pandang Hukum Pidana Di
Indonesia, Oleh: Randy A. Adare, Lex et Societatis, Vol.I/No.1/JanMrt/2013.
Penodaan Agama dalam Perspektif Hukum Di Indonesia, oleh: Zihan
Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for
Public Policy Research.
Supremasi Hukum untuk “Penista Agama”?, Oleh: Zainal Abidin Bagir, Dosen
Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gadjah Mada,
Wednesday, 02 November 2016.
Perundang-undangan
Pasal 156 a KUHP tentang Penodaan Agama
Pasal 156 a KUHP jo Pasal 28 (1) UU 11 tahun 2008 tentang ITE
Pasal 163 UU 10 Tahun 2016 terkait Pemilihan Gubernur
Pasal 177 angka 1 terkait Hak dari Saksi
31
Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama (Penpres No.1/1965).
Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 dan Nomor 84/PUU-X/2012 terkait
pengujian Pasal 156a KUHP jo Undang-Undang Nomor 1 /PNPS tahun 1965
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
Internet
https://beritagar.id/artikel/berita/fakta-seputar-gafatar-gerakan-fajar-nusantara
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/10/18/of81e3330-ini-kasuspenistaan-agama-di-indonesia-yang-diproses-hukum
Sudut Hukum, Portal Hukum Indonesia (http://www.suduthukum.com/)
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/07/25/oatun9318beredar-di-medsos-remaja-lampung-shalat-buka-aurat
https://islamindonesia.id/kolom/kolom-supremasi-hukum-untuk-penistaagama.htm
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/10/09245441/ahok.minta.maaf.kepa
da.umat.islam
http://pascasarjana.umy.ac.id/kasus-penistaan-agama-momentum-transparansipenegakan-hukum-indonesia/
http://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2016/11/07/104559/pancasiladan-penistaan-agama.html
http://www.theindonesianinstitute.com/penodaan-agama-dalam-perspektifhukum-di-indonesia/
https://www.islampos.com/pandangan-islam-tentang-penistaan-agama-291752/
32
Download