22 BAB II LANDASAN TEORI A. KONSEP DIRI 1. Pengertian

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KONSEP DIRI
1. Pengertian Konsep Diri
Cara pandang individu terhadap dirinya akan membentuk suatu konsep
tentang diri sendiri. Konsep tentang diri merupakan hal yang penting bagi
kehidupan individu karena konsep diri menentukan bagaimana individu bertindak
dalam berbagai situasi (Calhoun & Acoccela, 1990).
Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Dacey & Kenny, 1997), konsep diri
adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu
tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang
lain (Keliat, 1992). Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan
kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang
berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya.
Penghargaan mengenai diri akan menentukan bagaimana individu akan
bertindak dalam hidup. Apabila seorang individu berpikir bahwa dirinya bisa,
maka individu tersebut cenderung sukses, dan bila individu tersebut berpikir
bahwa dirinya gagal, maka dirinya telah menyiapkan diri untuk gagal. Jadi bisa
dikatakan bahwa konsep diri merupakan bagian diri yang mempengaruhi setiap
aspek pengalaman, baik itu pikiran, perasaan, persepsi dan tingkah laku individu
(Calhoun & Acoccela, 1990). Singkatnya, Calhoun & Acoccela mengartikan
konsep diri sebagai gambaran mental individu yang terdiri dari pengetahuan
22
Universitas Sumatera Utara
tentang diri sendiri, pengharapan bagi diri sendiri dan penilaian terhadap diri
sendiri.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa konsep diri merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
pengintegrasian kepribadian, memotivasi tingkah laku sehingga pada akhirnya
akan tercapai kesehatan mental. Konsep diri dapat didefinisikan sebagai gambaran
yang ada pada diri individu yang berisikan tentang bagaimana individu melihat
dirinya sendiri sebagai pribadi yang disebut dengan pengetahuan diri, bagaimana
individu merasa atas dirinya yang merupakan penilaian diri sendiri serta
bagaimana individu menginginkan diri sendiri sebagai manusia yang diharapkan.
2. Jenis-Jenis Konsep Diri
Menurut Calhoun & Acoccela (1990), dalam perkembangannya konsep diri
terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.
a. Konsep diri positif
Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu
kebanggan yang besar tentang diri. Konsep diri positif bersifat stabil dan
bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang
tahu betul tentang dirinya, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta
yang bermacam-macam tentang dirinya sendiri, evaluasi terhadap dirinya
sendiri menjadi positif dan dapat menerima keberadaan orang lain. Individu
yang memiliki konsep diri yang positif akan merancang tujuan-tujuan yang
sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang mempunyai kemungkinan besar
23
Universitas Sumatera Utara
untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan didepannya serta
menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan.
Singkatnya, individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang
tahu betul siapa dirinya sehingga dirinya menerima segala kelebihan dan
kekurangan, evaluasi terhadap dirinya menjadi lebih positif serta mampu
merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas.
b. Konsep diri negatif
Calhoun & Acoccela membagi konsep diri negatif menjadi dua tipe, yaitu:
1) Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak
memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benarbenar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau yang
dihargai dalam kehidupannya.
2) Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini bisa
terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras, sehingga
menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari
seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang
tepat.
3. Aspek-Aspek Konsep Diri
Konsep diri merupakan gambaran mental yang dimiliki oleh seorang individu.
Gambaran mental yang dimiliki oleh individu memiliki tiga aspek, yaitu
pengetahuan yang dimiliki individu mengenai dirinya sendiri, pengharapan yang
24
Universitas Sumatera Utara
dimiliki individu untuk dirinya sendiri, serta penilaian mengenai dirinya sendiri
(Calhoun & Acoccela, 1990).
a. Pengetahuan
Dimensi pertama konsep diri adalah pengetahuan. Pengetahuan mengenai
individu adalah apa yang diketahui individu mengenai dirinya sendiri. Hal ini
mengacu pada istilah-istilah kuantitas, seperti usia, jenis kelamin, kebangsaan,
pekerjaan, dan lain-lain dan sesuatu yang merujuk pada istilah kualitas, seperti
individu yang baik hati, egois, tenang, dan bertemperamen tinggi.
Pengetahuan bisa diperoleh dengan membandingkan diri individu dengan
kelompok pembandingnya. Pengetahuan yang dimiliki individu tidaklah
menetap sepanjang hidupnya, pengetahuan bisa berubah dengan cara merubah
tingkah laku individu tersebut atau dengan cara merubah kelompok
pembanding.
b. Harapan
Dimensi kedua dari konsep diri adalah harapan. Selain individu mempunyai
satu set pandangan tentang siapa dirinya, individu juga mempunyai satu set
pandangan lain, yaitu tentang kemungkinan menjadi apa dimasa mendatang
(Rogers dalam Calhoun & Acoccela, 1990). Singkatnya, individu mempunyai
pengharapan bagi dirinya sendiri dan pengharapan tersebut berbeda-beda pada
setiap individu.
c. Penilaian
Dimensi terakhir dari konsep diri adalah penilaian terhadap diri sendiri.
Individu berkedudukan sebagai penilai terhadap dirinya sendiri setiap hari.
25
Universitas Sumatera Utara
Penilaian terhadap diri sendiri adalah pengukuran individu tentang
keadaannya saat ini dengan apa yang menurutnya dapat dan terjadi pada
dirinya. Ditambahkan pula menurut Centi (1993) bahwa penilaian yang
dilakukan individu adalah bagaimana individu merasa tentang dirinya sebagai
pribadi yang dipikirkannya.
B. PENYESUAIAN DIRI
1. Pengertian Penyesuaian Diri
Menurut Schneider (dalam Partosuwido, 1993) penyesuaian diri
merupakan kemampuan untuk mengatasi
tekanan kebutuhan, frustrasi dan
kemampuan untuk mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat. Menurut
Callhoun dan Acocella (dalam Sobur, 2003), penyesuaian dapat didefenisikan
sebagai interaksi individu yang kontinu dengan diri individu sendiri, dengan orang
lain, dan dengan dunia individu. Menurut pandangan para ahli diatas, ketiga faktor
tersebut secara konstan mempengaruhi individu dan hubungan tersebut bersifat
timbal balik mengingat individu secara konstan juga mempengaruhi kedua faktor
lain.
Menurut Schneiders (1964), pengertian penyesuaian diri dapat ditiinjau
dari tiga sudut pandang, yaitu :
a. Penyesuaian sebagai adaptasi
Menurut pandangan ini, penyesuaian diri cenderung diartikan sebagai usaha
mempertahankan diri secara fisik, bukan penyesuaian dalam arti psikologis,
26
Universitas Sumatera Utara
sehingga ada kompleksitas kepribadian individu dengan lingkungan yang
terabaikan.
b. Penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas
Penyesuaian diri diartikan sama dengan penyesuaian yang mencakup
konformitas terhadap suatu norma. Pengertian ini menyiratkan bahwa individu
seakan-akan
mendapat
tekanan
kuat
untuk
harus
selalu
mampu
menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial
maupun emosional. Menurut sudut pandang ini, individu selalu diarahkan
kepada tuntutan konformitas dan diri individu akan terancam tertolak jika
perilaku individu tidak sesuai dengan norma yang berlaku.
c. Penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan
Penyesuaian diri dipandang sebagai kemampuan untuk merencakan dan
mengorganisasikan respons dalam cara-cara tertentu sehingga konflik-konflik,
kesulitan dan frustasi tidak terjadi, dengan kata lain penyesuaian diri diartikan
sebagai kemampuan penguasaan dalam mengembangkan diri sehingga
dorongan emosi dan kebiasaan menjadi terkendali dan terarah.
Berdasarkan tiga sudut pandang tentang penyesuaian diri yang disebut
diatas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri dapat diartikan sebagai suatu
proses yang mencakup suatu respon-respon mental dan perilaku yang
diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan
internal, ketegangan, frustasi, konflik serta untuk menghasilkan kualitas
keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dari dunia
luar atau lingkungan tempat individu berada (Ali & Asrori, 2004).
27
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri
adalah proses dinamik dalam interaksi individu dengan diri sendiri, orang lain dan
lingkungan yang mencakup respon-respon mental dan perilaku untuk menghadapi
kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik dan mencapai
keselarasan antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan dari luar diri individu.
2. Karakteristik Penyesuaian Diri
Tidak selamanya individu berhasil melakukan penyesuaian diri, karena
terkadang ada rintangan-rintangan tertentu yang menyebabkan tidak berhasil
melakukan penyesuaian diri. Ada individu-individu yang mampu melakukan
penyesuaian diri secara positif, namun ada pula individu-individu yang melakukan
penyesuaian diri yang salah (Sunarto & Hartono, 2006).
a. Penyesuaian Diri Secara Positif
Individu yang mampu melakukan penyesuaian diri secara positif ditandai halhal sebagai berikut (Sunarto & Hartono, 2006):
1) Tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional
2) Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis
3) Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi
4) Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri
5) Mampu dalam belajar
6) Menghargai pengalaman
7) Bersikap realistik dan objektif.
28
Universitas Sumatera Utara
Individu akan melakukan penyesuaian diri secara positif dalam berbagai
bentuk, antara lain (Sunarto & Hartono, 2006):
1) Penyesuaian dengan menghadapi masalah secara langsung, yaitu secara
langsung menghadapi masalah dengan segala akibatnya dan melakukan
segala tindakan sesuai dengan masalah yang dihadapi individu.
2) Penyesuaian dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan), yaitu mencari
berbagai bahan pengalaman untuk dapat menghadapi dan memecahkan
masalah individu.
3) Penyesuaian dengan trial and error (coba-coba), yaitu melakukan
tindakan coba-coba, dalam arti kalau menguntungkan diteruskan dan
kalau gagal tidak diteruskan.
4) Penyesuaian dengan substitusi (mencari pengganti)
5) Penyesuaian dengan menggali kemampuan diri, yaitu individu menggali
kemampuan-kemampuan
khusus
dalam
diri,
dan
kemudian
dikembangkan sehingga dapat membantu penyesuaian diri.
6) Penyesuaian dengan belajar, yaitu menggunakan pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh dari belajar untuk membantu penyesuaian
diri.
7) Penyesuaian dengan inhibisi dan pengendalian diri, yaitu memilih
tindakan yang tepat dan mengendalikan diri secara tepat dalam
melakukan tindakannya.
8) Penyesuaian dengan perencanaan yang cermat, yaitu mengambil
keputusan setelah dipertimbangkan segi untung dan ruginya.
29
Universitas Sumatera Utara
b. Penyesuaian Diri yang Salah
Kegagalan dalam melakukan penyesuaian diri secara positif, dapat
mengakibatkan individu melakukan penyesuaian yang salah, yang ditandai
dengan berbagai bentuk tingkah laku yang serba salah, tidak terarah,
emosional, sikap yang tidak realistik, agresif, dan sebagainya. ada tiga bentuk
reaksi dalam penyesuaian yang salah, yaitu (Sunarto & Hartono, 2006):
1) Reaksi Bertahan (Defence reaction), yaitu individu berusaha untuk
memperthankan dirinya, seolah-olah tidak mengahadapi kegagalan dan
selalu berusaha untuk menunjukkan dirinya tidak mengalami kegagalan
dengan melakukan rasionalisasi, represi, proyeksi, dan sebagainya.
2) Reaksi menyerang (Aggressive Reaction), yaitu menyerang untuk
menutupi kesalahan dan tidak mau menyadari kegagalan, yang tampak
dalam perilaku selalu membenarkan diri sendiri, mau berkuasa dalam
setiap situasi, kera kepala dalam perbuatan, menggertak baik dengan
ucapan dan perbuatan, menunjukkan sikap permusuhan secra terbuka, dan
sebagainya.
3) Reaksi Melarikan Diri, yaitu melarikan diri dari situasi yang menimbulkan
kegagalannya, yang tampak dalam perilaku berfantasi, banyak tidur,
minum-minuman keras, bunuh diri, regresi, dan sebagainya.
3. Proses Penyesuaian Diri
Menurut
Schneiders
(1964),
proses
penyesuaian
diri
setidaknya
melibatkan tiga unsur, yaitu:
30
Universitas Sumatera Utara
a. Motivasi
Faktor motivasi dapat dikatakan sebagai kunci untuk memahami proses
penyesuaian diri. Motivasi, sama halnya dengan kebutuhan, perasaan, dan
emosi merupakan kekuatan internal yang menyebabkan ketegangan dan
ketidakseimbangan dalam organisme. Ketegangan dan ketidakseimbangan
memberikan pengaruh kepada kekacauan perasaan patologis dan emosi yang
berlebihan dan kegagalan mengenal pemuasan kebutuhan secara sehat karena
mengalami frustasi dan konflik.
Respon penyesuaian diri, baik atau buruk, secara sederhana dapat dipandang
sebagai suatu upaya organisme untuk mereduksi atau menjauhi ketegangan
dan memelihara keseimbangan yang lebih wajar. Kualitas respon baik itu
sehat, efisien, merusak, atau patologis ditentukan oleh kualitas motivasi,
disamping hubungan individu dengan lingkungan.
b. Sikap terhadap realitas
Berbagai aspek penyesuaian diri ditentukan oleh sikap dan cara individu
bereaksi terhadap manusia disekitarnya, benda-benda, dan hubunganhubungan yang membentuk realitas. Beberapa perilaku seperti sikap
antisosial, kurang berminat terhadap hiburan, sikap bermusuhan, kenakalan
dan semaunya sendiri, emua itu dianggap sangat mengganggu hubungan
antara penyesuaian diri dengan realitas.
Berbagai tuntutan realitas, adanya pembatasan, aturan dan norma-norma
menuntut individu untuk terus belajar menghadapi dan mengatur suatu proses
ke
arah
hubungan
yang
harmonis
antara
tuntutan
unternal
yang
31
Universitas Sumatera Utara
dimanifestasikan ke dalam bentuk sikap dengan tuntutan eksternal dari
realitas. Situasi konflik, tekanan dan frustasi akan muncul jika individu tidak
tahan terhadap tuntutan-tuntutan tersebut.
c. Pola dasar penyesuaian diri
Terdapat suatu pola dasar penyesuaian diri dalam penyesuaian diri individu
sehari-hari. Individu berusahan mencari kegiatan yang dapat mengurangi
ketegangan
yang
ditimbulkan
sebagai
akibat
tidak
terpenuhi
atau
terhambatnya kebuthan individu.
4. Aspek-Aspek penyesuaian Diri
Menurut Schneiders (1964), penyesuaian diri yang baik adalah individu
yang dapat memberi respon yang matang, bermanfaat, efisien dan memuaskan.
Penyesuaian diri yang normal dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
1. Mampu mengontrol emosionalitas yang berlebihan
Penyesuaian diri yang normal dapat ditandai dengan tidak adanya emosi yang
relatif berlebihan atau tidak terdapat gangguan emosi yang merusak.individu
yang mampu menanggapi situasi atau masalah yang dihadapinya dengan cara
yang normal akan merasa tenang dan tidak panik sehingga dapat menentukan
penyelesaian masalah yang dibebankan kepadanya.
2. Mampu mengatasi mekanisme psikologis
Kejujuran dan keterusterangan terhadap adanya masalah atau konflik yang
dihadapi individu akan lebih terlihat sebagai reaksi yang normal dari pada
suatu reaksi yang diikuti dengan mekanisme-mekanisme pertahanan diri
32
Universitas Sumatera Utara
seperti rasionalisasi, proyeksi, atau kompensasi. Individu mampu menghadapi
masalah dengan pertimbangan yang rasional dan mengarah langsung kepada
masalah.
3. Mampu mengatasi perasaan frustrasi pribadi
Adanya perasaan frustrasi akan membuat individu sulit atau bahkan tidak
mungkin bereaksi secara normal terhadap situasi atau masalah yang
dihadapinya. Individu harus mampu menghadapi masalah secara wajar, tidak
menjadi cemas dan frustrasi.
4. Kemampuan untuk belajar
Mampu untuk mempelajari pengetahuan yang mendukung apa yang dihadapi
sehingga pengetahuan yang diperoleh dapat dipergunakan untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi.
5. Kemampuan memanfaatkan pengalaman
Adanya kemampuan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman
merupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri yang normal. Dalam
menghadapi masalah, individu harus mampu membandingkan pengalaman diri
sendiri dengan pengalaman orang lain sehingga pengalaman-pengalaman yang
diperoleh dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi.
6. Memiliki sikap yang realistis dan obyektif
Karakteristik ini berhubungan erat dengan orientasi seseorang terhadap
realitas yang dihadapinya. Individu mampu mengatasi masalah dengan segera,
apa adanya dan tidak ditunda-tunda.
33
Universitas Sumatera Utara
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri
Menurut
Schneiders
(dalam
Sobur,
2003),
faktor-faktor
yang
mempengaruhi proses penyesuaian diri adalah :
a. Kondisi Fisik
Aspek-aspek berkaitan dengan kondisi fisik yang dapat mempengaruhi
penyesuaian diri adalah:
1) Hereditas dan Konstitusi fisik
Temperamen merupakan komponen utama karena temperamen itu muncul
karakteristik yang paling dasar dari kepribadian, khususnya dalam
memandang hubungan emosi dengan penyesuaian diri.
2) Sistem utama tubuh
System syaraf, kelenjar dan otot termasuk ke dalam sistem utama tubuh
yang memiliki pengaruh terhadap penyesuaian diri.
3) Kesehatan fisik
Penyesuaian diri individu akan lebih mudah dilakukan dan dipelihara
dalam kondisi fisik yang sehat daripada yang tidak sehat. Kondisi fisik
yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri, harga diri,
dan sejenisnya yang akan menjadi kondisi yang sangat menguntungkan
bagi proses penyesuaian diri.
b. Kepribadian
Unsur-unsur kepribadian yang penting pengauhnya terhadap penyesuaian diri
adalah:
1) Kemauan dan kemampuan untuk berubah
34
Universitas Sumatera Utara
2) Pengaturan diri
3) Realisasi diri
4) Kecerdasan
c. Edukasi/Pendidikan
Unsur-unsur penting dalam edukasi/pendidikan yang dapat mempengaruhi
penyesuaian diri individu adalah:
1) Belajar
2) Pengalaman
3) Latihan
4) Determinasi diri
d. Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi:
1) Lingkungan keluaga
2) Lngkungan masyarakat
e. Agama dan budaya
Agama berkaitan erat dengan faktor budaya. Agama memberikan sumbangan
nilai-nilai, keyakinan, praktik-praktik yang memberikan makna sangat
mendalam, tujuan serta kestabilan dan keseimbangan hidup individu. Budaya
juga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan indiidu.
35
Universitas Sumatera Utara
C. REMAJA
1. Defenisi Remaja
Menurut Hurlock (1999) istilah adolescence atau remaja berasal dari kata
Latin adolescere yang berarti ”tumbuh” atau ”tumbuh menjadi dewasa”.
Sedangkan Chaplin (1997) mengatakan bahwa adolescence merupakan masa
remaja, yaitu periode antara pubertas dengan masa dewasa.
Piaget (dalam Hurlock, 1999) mengemukakan bahwa secara psikologis,
masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dalam masyarakat dewasa.
Sedangkan, Hall (dalam Dacey & Kenny, 2004) mengatakan bahwa masa remaja
merupakan suatu tahap perkembangan yang dikarakteristikkan sebagai “storm and
stress’, tahap dimana remaja sangat dipengaruhi oleh mood dan remaja tidak dapat
dipercaya.
Menurut Calon (dalam Monks, 2001), masa remaja menunjukkan dengan jelas
sifat-sifat masa transisi atau peralihan, karena remaja belum memperoleh status
orang dewasa, tetapi tidak lagi memiliki status anak-anak. Menurut Monks (2001),
batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai 21 tahun. Monks membagi
batasan usia remaja terbagi atas tiga fase, yaitu remaja awal (12-15 tahun), remaja
madya (15-18 tahun) dan remaja akhir (18-21 tahun). Lebih lanjut, Hurlock
(1999) mengatakan bahwa awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13/14
tahun sampai 16/17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16/17 tahun
sampai 18, yaitu usia matang secara hukum.
Berdasarkan pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa masa
remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimana
36
Universitas Sumatera Utara
remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status
anak-anak. Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak
menuju masa dewasa. Masa remaja dimulai dari usia 12 tahun sampai dengan 21
tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi pria. Pada masa ini, individu
mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak
jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai
bentuk tubuh orang dewasa yang disertai juga dengan berkembangnya kapasitas
reproduktif.
2. Tugas Perkembangan Masa Remaja
Havighurst (dalam Hurlock, 1999) mengatakan bahwa terdapat beberapa
tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada masa remaja, yaitu:
a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik
pria maupun wanita
b. Mencapai peran sosial pria dan wanita
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab
e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa
lainnya
f. Mempersiapkan karir ekonomi
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis
37
Universitas Sumatera Utara
3. Ciri-Ciri Masa Remaja
Semua periode selama rentang kehidupan adalah sama pentingnya. Namun
kadar kepentingannya berbeda-beda dan mempunyai ciri-ciri tertentu yang
membedakannya dengan periode sebelum atau sesudahnya. Adapun ciri-ciri
remaja menurut Hurlock (1999), antara lain:
a. Masa remaja sebagai periode yang penting
Pada masa remaja terjadi perkembangan fisik disertai perkembangan mental
yang cepat dan penting. Semua perkembangan ini menimbulkan perlunya
penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan
Masa remaja merupakan periode dimana seorang anak-anak beralih menjadi
dewasa. Remaja harus meninggalkan segala sesuatu yang berbau kekanakkanakan dan mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan
yang sudah ditinggalkan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan
namun bukan juga orang dewasa.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan
Perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan
tingkat perubahan fisik. Ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat,
perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung dengan pesat. Ketika
perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perialku juga menurun.
Selain itu, terdapat juga beberapa perubahan lain, seperti meningginya emosi,
perubahan minat dan peran, nilai-nilai, dan bersikap ambivalen terhadap setiap
perubahan.
38
Universitas Sumatera Utara
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah pada
masa remaja menjadi masalah yang sulit untuk diatasi dikarenakan dua alasan.
Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak diselesaikan oleh
orang dewasa, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam
mengatasi masalah. Kedua, karena remaja merasa mandiri, sehingga mereka
ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang dewasa.
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Erikson
mengatakan
bahwa
bagaimana
individu
mencari
identitas
mempengaruhi tingkah lakunya. Salah satu cara untuk mengangkat diri sendiri
sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam bentuk
pemilikan barang yang mudah terlihat. Dengan cara ini, remaja menarik
perhatian pada diri sendiri agar dipandang sebagai individu, sementara pada
saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok
sebaya.
f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Stereotipe yang ada dalam masyarakat cenderung akan menjadi cermin bagi
citra diri remaja yang lambat laun remaja akan mengarah kepada stereotipe
tersebut sehingga nantinya akan berpengaruh terhadap konsep diri dan sikap
remaja. Menerima stereotip ini dan adanya keyakinan bahwa orang dewasa
mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke
masa dewasa menjadi sulit.
39
Universitas Sumatera Utara
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
Remaja cenderung melihat kehidupan melalui kacamata berwarna merah
jambu. Ia melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan
bukan sebagaimana adanya. Hal ini tampak dari cita-cita yang diciptakan oleh
remaja yang tidak realistik dan memandang diri dan orang lain tidak
sebagaimana adanya.
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Dengan semakin meningkatnya usia kematangan, remaja menjadi gelisah
untuk meninggalkan stereotipe belasan tahun dan untuk memberikan kesan
bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada
perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, meminum
minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks.
Mereka menganggap perilaku ini memberikan citra yang mereka inginkan.
4. Perkembangan Sosial Remaja
Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang
berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan
lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus
menyesuaiakan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah.
Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat
banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri
dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku
40
Universitas Sumatera Utara
sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi
persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilainilai baru dalam seleksi pemimpin (Hurlock 1999).
Dalam hidup bermasyarakat, remaja dituntut bersosialisasi. Sejak anakanak, seseorang telah memasuki kelompok teman sebaya. Pada masa remaja,
kelompok teman sebaya cenderung terdiri atas satu jenis kelamin yang sama
karena secara fisik mempunyai ciri yang berbeda, dan pada masa remaja sudah
mulai timbul kesadaran terhadap dirinya (Rumini, 2004).
Dalam proses perkembangan sosial, remaja juga dengan sendirinya
mempelajari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, baik di lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, maupun lingkungan masyarakat. Perkembangan
sosial individu sangat tergantung pada kemampuan individu untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungannya serta keterampilan mengatasi masalah yang
dihadapinya (Ali, 2004).
Remaja yang sudah mencapai tahapan berpikir operasional formal, sudah
menyadari akan pentingnya nilai-nilai dan norma yang dapat dijadikan pegangan
hidupnya, sudah mulai berkembang ketertarikan dengan lawan jenis, memiliki
kohesivitas kelompok yang kuat, serta cenderung membangun budaya
kelompoknya sendiri, akan sangat memberikan warna tersendiri terhadap
dinamika penyesuaian diri remaja. Lingkungan sekolah dapat memungkinkan
berkembangnya atau terhambatnya proses perkembangan penyesuaian diri (Ali &
Asrori, 2004).
41
Universitas Sumatera Utara
5. Perkembangan Konsep Diri Remaja
Sejak kecil individu telah dipengaruhi dan dibentuk oleh pengalaman yang
dijumpai dalam hubungannya dengan individu lain, terutama dengan orang-orang
terdekat, maupun yang didapatkan dalam peristiwa-peristiwa kehidupan. Sejarah
hidup individu dari masa lalu dapat membuat dirinya memandang diri lebih baik
atau lebih buruk dari kenyataan sebenarnya (Centi, 1993).
Hurlock (1999) mengatakan bahwa konsep diri bertambah stabil pada
periode masa remaja. Konsep diri yang stabil sangat penting bagi remaja karena
hal tersebut merupakan salah satu bukti keberhasilan pada remaja dalam usaha
untuk memperbaiki kepribadiannya. Banyak kondisi dalam kehidupan remaja
yang turut membentuk pola kepribadian melalui pengaruhnya pada konsep diri.
Menurut Hurlock (1999), terdapat delapan kondisi-kondisi yang
mempengaruhi konsep diri remaja, yaitu:
a. Usia kematangan
Remaja yang matang lebih awal, yang diperlakukan seperti orang yang hampir
dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat
menyesuaikan diri dengan baik. Remaja yang terlambat matang, yang
diperlakukan seperti anak-anak, merasa salah dimengerti dan bernasib kurang
baik sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri.
b. Penampilan diri
Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri meskipun
perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Setiap cacat fisik merupakan
sumber yang memalukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri.
42
Universitas Sumatera Utara
Sebaliknya, daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang menyenangkan
tentang ciri kepribadian dan menambah dukungan sosial.
c. Kepatutan seks
Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat, dan perilaku membantu remaja
mencapai konsep diri yang baik. Ketidakpatutan seks membuat remaja sadar
diri dan hal ini memberi akibat buruk pada perilakunya.
d. Nama dan julukan
Remaja peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai
namanya buruk atau mereka memberi nama julukan yang bernada cemooh.
e. Hubungan keluarga
Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang anggota
keluarga akan mengidentifikasi diri dengan orang tersebut dan ingin
mengembangkan pola kepribadian yang sama.
f. Teman-teman sebaya
Teman-teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara.
Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang
konsep teman-teman tentang dirinya. Kedua, ia berada dalam tekanan untuk
mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui kelompok.
g. Kreativitas
Remaja yang semasa kanak-kanak didorong agar kreatif dalam bermain dan
dalam tugas-tugas akademis, mengembangkan perasaan individualitas dari
identitas yang memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya.
43
Universitas Sumatera Utara
h. Cita-cita
Bagi remaja yang mempunyai cita-cita yang tidak relistik, akan mengalami
kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi
bertahan dimana ia akan menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Remaja
yang realistik tentang kemampuannya akan lebih banyak mengalami
keberhasilan dari pada kegagalan.
D. PANTI ASUHAN
Panti asuhan merupakan salah satu lembaga perlindungan anak yang
berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak. Perlindungan
terhadap hak-hak anak termasuk didalamnya adalah serangkaian kegiatan yang
bertujuan untuk mewujudkan hak anak sehingga terjamin kelangsungan hidup dan
tumbuh kembangnya secara optimal baik jasmaniah, rohaniah, maupun sosial
terutama melindungi anak dari pengaruh yang tidak kondusif terhadap
kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya (Pedoman Perlindungan Anak,
1999).
Menurut Panduan Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak
melalui Panti Asuhan Anak, disebutkan bahwa panti asuhan adalah suatu lembaga
usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan
penyantunan dan pengentasan anak terlantar, memberikan pelayanan pengganti
orang tua / wali anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial pada
anak asuh sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi
perkembangan kepribadian sesuai dengan yang diharapkan sebagai bagian dari
44
Universitas Sumatera Utara
generasi penerus cita-cita bangsa dan sebagai insan yang akan turut aktif dalam
bidang pembangunan nasional (Departemen Sosial RI, Dirjen Bina Kesejahteraan
Sosial, 1997).
Menurut pedoman pembinaan kesejahteraan sosial anak usia dini (1999),
yang termasuk sasaran pelayanan panti asuhan adalah:
a. Anak yatim, anak piatu, dan anak yatim piatu
b. Anak terlantar dan keluarganya yang mengalami perpecahan
Anak yang salah satu atau kedua orang tuanya sakit kronis, terpidana, korban
bencana, dan lain-lain.
Menurut Badan Pembinaan Koordinasi dan Pengawasan Kegiatan Sosial
(BPKPKS), panti asuhan adalah suatu lembaga untuk mengasuh anak-anak,
menjaga dan memberikan bimbingan pada anak dengan tujuan agar menjadi
manusia dewasa yang cakap dan berguna serta bertanggung jawab atas diri sendiri
dan terhadap masyarakat kelak di kemudian hari (Dinas Sosial RI, Dirjen Bina
Kesejahteraan Sosial, 1997).
Menurut Pedoman Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak Usia Dini
(1999), jenis-jenis pelayanan yang diberikan di panti asuhan:
1. Perawatan (care)
2. Makanan (food)
3. Tempat tinggal (shelter)
4. Pakaian (clothing)
5. Kesehatan (health)
6. Pendidikan (schooling)
45
Universitas Sumatera Utara
7. Pelayanan perlindungan (protection), meliputi upaya-upaya perlindungan
hukum dab advokasi atas:
a. Identitas anak secara jelas
b. Kerahasiaan (privasi)
c. Kebebasan dari diskriminasi (freedom for discrimination)
d. Penelantaran dan perlakuan salah (abuse and neglect)
e. Eksploitasi dalam segala hal (exploitation of all types)
f. Media yang berbahaya (harmful media)
g. Perlindungan
dari
kondisi-kondisi
khusus,
seperti
pengangkatan
(adoption), kecacatan (disability), dan lingkungan keluarga yang tidak
mendukung (deprivation of family environment)
8. Kebebasan untuk menyatakan diri (affermative freedom), yang meliputi:
a. Kebebasan mengemukakn pendapat (free expression of opinion)
b. Kebebasan untuk mendapatkan informasi (freedom of information)
c. Hak atas waktu bermain dan waktu luang (leisure and recreation)
d. Hak atas kerahasiaan (privacy)
e. Hak untuk berkumpul (freedom of association)
f. Kebebasan untuk memeluk agama (freedom of conscience / religion)
E. PENGARUH KONSEP DIRI TERHADAP PENYESUAIAN DIRI PADA
REMAJA PENGHUNI PANTI ASUHAN
Hendroyuwono (dalam Partosuwido, 1993) mengatakan bahwa
peran
kontrol dan pertahanan ego merupakan unsur penting dalam penyesuaian diri pada
46
Universitas Sumatera Utara
remaja, apabila unsur-unsur tersebut mendapat pelatihan akan dapat meningkatkan
kepribadiannya sehingga mereka lebih mampu menyesuaikan diri. Demikian juga
diungkapkan Ali & Asrori (2004) yang mengatakan bahwa remaja yang
mempunyai penyesuaian diri yang baik adalah remaja yang telah belajar bereaksi
terhadap dirinya dan lingkungannya dengan cara-cara yang matang, efisien,
memuaskan, dan sehat serta dapat mengatasi konflik mental, frustrasi, kesulitan
pribadi dan sosial. Sedangkan remaja memiliki reaksi yang tidak memuaskan,
tidak efektif, dan tidak efisisen sering diartikan sebagai penyesuaian yang kurang
baik, buruk atau dikenal dengan istilah malasuai (maladjustment).
Partosuwido (1993) mengatakan bahwa individu yang memiliki konsep
diri tinggi lebih mampu untuk menyesuaikan diri, dimana individu dapat
menempatkan dirinya di masyarakat maka individu itu akan diterima dengan baik
oleh masyarakat, begitu juga sebaliknya. Penyesuaian diri merupakan suatu proses
dinamis yang bertujuan mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang
lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya.
Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi
terciptanya kesehatan jiwa individu. Banyak individu tidak merasa bahagia dan
menderita dalam hidupnya karena tidak mampu menyesuaiakan diri, baik dengan
kehidupan keluarga dan sekolah, maupun lingkungan masyarakat pada umumnya.
Tidak jarang pula ditemui orang-orang mengalami stress dan depresi disebabkan
oleh kegagalan mereka untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya
(Mu’tadin, 2002)
47
Universitas Sumatera Utara
F. HIPOTESA
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian
ini adalah “konsep diri memiliki pengaruh positif terhadap penyesuaian diri
remaja”. Hipotesis ini mengandung pengertian bahwa apabila konsep diri yang
dimiliki remaja penghuni panti asuhan semakin tinggi, maka penyesuaian diri
remaja semakin positif, dan begitu sebaliknya.
48
Universitas Sumatera Utara
Download