pengawasan lembaga keuangan mikro oleh

advertisement
PENGAWASAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO OLEH
OTORITAS JASA KEUANGAN
(Analisis Terhadap Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Naomi Nasaria
NIM: 109048000054
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H / 2014 M
ABSTRAK
NAOMI NASARIA. NIM 109048000054. Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Oleh
Otoritas Jasa Keuangan (Analisis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013). Program Studi
Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/2014 M. ix + 67 halaman + 4 halaman daftar
pustaka + lampiran.
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana mekanisme pengawasan
Lembaga Keuangan Mikro Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui tentang pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa
Keuangan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Thaun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah hukum normatif dengan
pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konsep. Informasi
didapatkan dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum.
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan
non hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam
penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Simpulan dari penelitian ini bahwa mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 adalah diawasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan yang mendelegasikan kewenangannya dalam hal pengawasan tersebut kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang telah ditunjuk langsung oleh Otoritas Jasa
Keuangan, agar dapat membantu proses pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Mikro
tersebut.
Kata Kunci
: Lembaga Keuangan Mikro, Otoritas Jasa Keuangan, Kredit,
Pemerintah Daerah.
Pembimbing
: Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA
Daftar Pustaka
: Tahun 1981 s.d. Tahun 2012
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang senantiasa
memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat
serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw.
Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
(S.H.) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik material dan immaterial,
oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1.
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.M. beserta seluruh jajaran
dekanat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta;
2.
Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum.
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum;
3.
Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. selaku pembimbing skripsi penulis. Terima
kasih atas semua kritik dan saran yang membangun untuk penulis;
4.
Mama saya yang telah menemani saya saat begadang, Ayah, dan Adik terima
kasih telah memberi bantuan dalam bentuk materiil, doa, dukungan, dan
semuanya terus menerus tanpa lelah;
5.
Sahabat-sahabat saya Mustika Nurul Fadhilah, S.Pd yang telah membantu saya
menyelesaikan skripsi ini di detik-detik terakhir saat saya sedang kerepotan
mengumpulkan data, Azlika Meutia Anggraini yang selalu mendukung saya,
Novelita Evelyn yang setia mendukung saya juga, penulis sangat berterima kasih
atas doa-doa kalian.
v
6.
Teman-teman dekat yang jadi menjadi pendengar keluh kesah penulis, temanteman seperjuangan kloter 4 proposal skripsi, teman-teman Hukum Bisnis,
teman-teman Ilmu Hukum B, teman-teman UIN Jakarta, semuanya. Terima
kasih sekali sudah mau diajak diskusi, diajak pusing, memberi semangat,
direpotkan juga, membantu bermacam-macam. Maaf tidak bisa disebutkan satu
persatu karena banyak teman-teman yang telah membantu dan direpotkan oleh
penulis;
7.
Pihak perpustakaan UI dan UIN Jakarta, terima kasih karena telah menyediakan
buku-buku yang lumayan lengkap sehingga penulis tidak kebingungan mencari
referensi;
8.
Penulis artikel, skripsi, opini dan lain-lainnya yang membantu penulis dalam
proses penulisan;
9.
Seluruh pihak yang secara langsung dan tidak langsung sudah membantu,
menyemangati, dan mendokan penulis.
Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik material maupun immaterial, penulis berdoa
semoga Allah memberi balasan yang berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Jakarta, Januari 2014
Naomi Nasaria
vi
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN................................................................................... iii
ABSTRAK .............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah............................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 5
D. Kerangka Konseptual .................................................................... 6
E. Kajian (Review) Studi Terdahulu .................................................. 9
F. Metode Penelitian .......................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan .................................................................... 14
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. Pengertian Pengawasan dan Pendelegasian ................................... 16
B. Bentuk-bentuk Pengawasan ........................................................... 24
C. Pengertian Lembaga Keuangan Mikro .......................................... 30
D. Asas dan Tujuan Lembaga Keuangan Mikro ................................ 33
BAB III
FUNGSI DAN TUGAS OTORITAS JASA KEUANGAN
DALAM LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
A. Sejarah Otoritas Jasa Keuangan .................................................... 38
B. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan ............................................... 40
C. Tujuan dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan .................................. 41
D. Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan ............................. 43
vii
E. Dewan Komisoner Otoritas Jasa Keuangan .................................. 48
BAB IV
PENGAWASAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO OLEH
OTORITAS JASA KEUANGAN
A. Mekanisme Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh
Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-undang Nomor 1
tahun 2013 .................................................................................... 51
B. Sinergi Antara Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ........................................... 54
C. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Pengawasan Lembaga
Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan ............................. 57
D. Analisa ........................................................................................... 62
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan .................................................................................... 65
B. Saran .............................................................................................. 66
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 68
LAMPIRAN
viii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ix
PENGAWASAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO OLEH OTORITAS JASA
KEUANGAN
(Analisis Undang-Undang No 1 Tahun 2013)
A. Latar Belakang Masalah
Perekonomian adalah suatu hal yang sangat penting dalam suatu
Negara karena perekonomian menjadi tolak ukur kesuksesan suatu Negara dalam
mensejahterakan rakyatnya. Dalam kegiatan perekonomian tersebut sangat
dibutuhkan peran aktif yang baik tidak hanya dari Negara melainkan juga oleh
masyarakat.Peran Negara dalam hal perekonomian untuk mensejahterakan
masyarakat dapat dilakukan baik secara makro ekonomi maupun mikro ekonomi,
seperti menjaga kelancaran sistem keuangan, menjaga sistem moneter,
menyalurkan kredit kepada rakyat seperti KUR, KPR, dan lain sebagainya.
Selain Negara, masyarakat pada umumnya memiliki andil yang
cukup besar pula dalam perekonomian suatu Negara. Tidak jauh berbeda dengan
Negara, andil masyarakat dalam bidang perekonomian dapat mencakup aspek
makro dan mikro ekonomi, seperti mendirikan perusahaan-perusahaan swasta,
membuat lapangan pekerjaan sendiri atau wiraswasta, memberikan pinjaman
bagi masyarakat lain sebagai modal untuk melakukan usaha, dan lain-lain.
Pembahasan mengenai ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan
uang sebagai salah satu bentuk modal. Salah satu cara bagi masyarakat luas
dalam memperoleh dana adalah melalui pembiayaan atau kredit. Kredit menurut
1
2
pasal 1 angka 11 Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang Perbankan adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga;
Selama ini kita mengenal beberapa lembaga-lembaga baik
Internasional maupun Nasional untuk memberikan kemudahan bagi Negara
maupun masyarakat dalam memperoleh dana-dana segar demi kelancaran
kegiatan suatu perekonmian. Dalam lingkup Internasional, lembaga tersebut
dapat berupa World Bank, International Monetary Fund (IMF), dan lain-lain
yang secara aktif memberikan pinjaman-pinjaman bagi negara untuk melakukan
pembangunan agar terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat.
Di dalam negeri, lembaga-lembaga yang juga aktif untuk
memberikan suntikan dana-dana tersebut salah satunya adalah bank dimana
masyarakat yang melakukan peminjaman atas dana-dana tersebut didominasi
oleh para pengusaha dan masyarakat menegah keatas yang telah berorientasi
pada bisnis yang cakupannya skala nasional dan internasional.
Masyarakat dengan perekonomian menegah kebawah acap kali
kurang merasakan manfaat dari keberadaan bank yang memiliki fungsi
intermediasi untuk menyalurkan dana dalam bentuk kredit, mengingat dalam
penyaluran kredit tersebut cukup memiliki persyaratan yang rumit, harus adanya
agunan, dan bunga pertahun yang cukup tinggi.hal tersebut secara alami
3
melahirkan lembaga-lembaga yang dapat menyusur masyarakat dengan
perekonomian menengah kebawah. Lembaga tersebut dikenal sebagai Lembaga
Keuangan Mikro (LKM).
Keberadaan LKM terus berjalan tanpa adanya regulasi yang
mengatur lembaga-lembaga tersebut. Hal tersebut menyebabkan terjadinya
penipuan-penipuan maupun tindakan kejahatan lain yang dilakukan oleh LKM
sehingga menurut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu dibuat aturan yang
secara khusus mengenai LKM agar dapat memberikan perlindungan baik itu
LKM itu sendiri maupun bagi masyarakat sebagai pihak yang menggunakan jasa
LKM tersebut. Proses legislasi di DPR untuk menggodok Rancangan UndangUndang mengenai LKM hingga akhirnya DPR bersama dengan pemerintah
sepakat untuk mensyahkan RUU tersebut menjadi Undang-Undang No 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro pada hari selasa tanggal 11 Desember
20121.
Dalam pasal 28 Undang-Undang No 1 Tahun 2013 dinyatakan
bahwa LKM akan diatur dan diawasi oleh OJK. Namun dalam ayat (3) pasal 28
tersebut dinyatakan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK didelegasikan
kepada Pemerintah Daerah.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian mengenai Pengawasan pada Lembaga Keuangan Mikro
1
UU LKM Disahkan, OJK Jadi pengatur dan Pengawas. Dikases pada 26 Februari 2013 dari
http://bisnismanajemen.co.id/2012/12/uu-lkm-disahkan-ojk-jadi-pengatur-dan-pengawas/
4
dan menuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “PENGAWASAN
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO OLEH OJK (Analisis Undang-Undang No 1
Tahun 2013)”
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan lembaga keuangan yang diatur dalam
Undang-Undang LKM ini, maka penelitian ini difokuskan hanya pada
masalah mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas
Jasa Keuangan dan kesesuaian pengawasan Lembaga Keuangan Mikro
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2012 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang
telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh
Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013?
b. Apakah terjadi sinergi antara ketentuan pengawasan dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011?
5
c. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengawasan Lembaga
Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tentang
pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut
ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan:
a. Untuk mengetahui mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro
oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang No 1 tahun 2013.
b. Untuk mengetahui adanya sinergi antara ketentuan pengawasan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011.
c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengawasan Lembaga
Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan dibidang hukum lembaga keuangan mikro khususnya di bidang
pengawasan terhadap lembaga keuangan mikro tersebut.
b. Manfaat Praktis
6
1. Masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan
yang mendukung berjalannya pengawasan pada lembaga keuangan
mikro.
2. Dapat dimanfaatkan oleh para pelaku lembaga keuangan mikro agar
dapat menjalankan lembaga keuangan tersebut dengan baik.
3. Adanya pengawasan yang baik dalam lembaga keuiangan mikro maka
masyarakat yang menggunakan jasa lembaga keuangan mikro dapat
merasakan manfaatnya.
D. KERANGKA KONSEPTUAL
Dalam pembahasan kerangka konseptual, akan diuraikan beberapa
konsep-konsep terkait terhadap beberapa istilah yang akan sering digunakan
dalam penelitian ini, yaitu:
1.
Kredit
Kredit merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang antara bank sebagai
kreditur dengan nasabah sebagai debitur.2
2.
Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 adalah lembaga yang independen yang bebas dari campur
tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang
2
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta:
Djambatan, 1996), h. 44.
7
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini.
3.
IMF
International Monetary Fund (IMF) lahir bersamaan dengan kelahiran Bank
Dunia. IMF atau dana keuangan internasional lahir setelah konferensi di
Bretton Woods Amerika Serikat3. Kegiatan IMF diutamakan untuk
membantu negara-negara anggotanya melalui Bank Sentral masing-masing
anggota IMF.4
4.
Pemerintah Daerah
Dalam Pasal 18 UUD 1945 dikatakan bahwa “Pembagian daerah Indonesia
atas daerah besar dan kecil, dengan undang-undang , dengan memandang
dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara,
dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. 5
Untuk membentuk susunan pemerintahan daerah-daerah
itu, pemerintah
bersama-sama DPR telah menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, yang dilaksanakan
dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 1974. Undangundang itu mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintah daerah
3
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cet-VI, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002), h. 331
4
Ibid, h. 333
5
C.S.T.Kansil, Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia Hukum Administrasi
Daerah,Cet-III (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 2
8
otonom dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi
tugas pemerintahan pusat di daerah. Selain itu, diatur juga pokok-pokok
penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas deswentralisasi,
dekonsentrasi, dan asas tugas perbantuan.6
5.
Lembaga Keuangan
Lembaga keuangan adalah badan usaha yang kekayaannya terutama dalam
bentuk aset keuangan atau tagihan (claims) dibandingkan aset nonfinansial
atau set riil.7
6.
Pembiayaan
Pembiayaan dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan
uang, misalnya bank membiayai kredit untuk pembelian rumah atau mobil.8
7.
Lembaga Keuangan Mikro
Lembaga keuangan mikro atau Micro Finance Institution merupakan
lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan kepada
pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang
tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan formal dan yang telah berorientasi
pasar untuk tujuan bisnis.9
6
Ibid, h. 3
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), h. 5
8
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, h. 92
9
Rudjito, “Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Otonomi Daerah Guna menggerakkan
Ekonomi Rakyat dan Mennaggulangi Kemiskinan: Studi Kasus: Bank Rakyat Indonesia (BRI)”, artikel
ini diakses dari www.indonesiaindonesia.com pada tanggal 02 Februari 2013
7
9
E. Kajian (Review) Studi Terdahulu
Dalam melakukan penelitian ini, penulis telah melakukan penelitian
terhadap studi review terdahulu dimana untuk mendapatkan dan mengetahui
perbedaan penelitian sebelumnya dengan yang penulis lakukan .review studi
pertama yang digunakan adalah skripsi yang berjudul “Pengaruh Pembentukan
Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan Bank Indonesia Di Bidang
Pengawasan Perbankan” yang disusun oleh Afika Yumya Syahmi, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia Tahun 200810. Skripsi ini membahas mengenai
pentingnya pengawasan perbankan di Indonesia oleh lembaga Otoritas jasa
Keuangan (OJK). Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan memang
seputar mengenai lembaga OJK namun peran dan fungsi pengawasan OJK
tersebut pada lembaga keuangan mikro sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang No 1 Tahun 2013.
Penelitian selanjutnya adalah skripsi yang berjudul “Efektifitas Linkage
Program Bank Syariah Mandiri Dalam Penguatan Pembiayaan Lembaga
Keuangan Mikro” yang disusun oleh Siti Maesaroh, Fakultas Syariah dan
10
Afika Yumya Syahmi, Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap
Kewenangan Bank Indonesia Di Bidang Pengawasan Perbankan, (Skripsi S1 Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia, Depok, 2008).
10
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta11. Skripsi ini membahas mengenai
penerapan program linpage untuk meningkatkan laba, asset, modal, dan jumlah
nasabah pada lembaga keuangan mikro selain itu membahas mengenai kinerja
lembaga keuangan mikro baik sebelum dan sesudah menggunakan program
linkage dengan menggunakan perhitungan CAMEL. Yang membedakan
penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan penulis adalah pada skripsi
tersebut lebih menekankan pada aspek-aspek ekonomi pada lembaga keuangan
mikro dengan menggunakan program linkpage, sedangkan yang akan dilakukan
penulis melakukan penekanan pada pengawasan lembaga keuangan mikro
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2013.
Adapun buku rujukan yang menjadi salah satu bahan studi terdahulu
yaitu Mendirikan Lembaga Keuangan Mikro oleh Mohammad Iqbal yang
diterbitkan oleh Elex Media dengan tanggal terbit 6 Juni 2006.
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;
11
Siti Maesaroh, Efektifitas Linkage Program Bank Syariah Mandiri Dalam Penguatan
Pembiayaan Lembaga Keuangan Mikro, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok,
2008).
11
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak
adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.12
Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.13
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode penelitian normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada
norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan
keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau
juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.14
2. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu normatif,
maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan
pendekatan historis (historical approach).Pendekatan perundang-undangan
dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya justru kondusif
bagi
12
terselenggaranya
pengawasan
bagi
lembaga
keuangan
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta : Universitas Indonesia
Press, 1986), h. 42.
13
Ibid
14
Soerdjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam
Penelitian Hukum, (Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18.
12
mikro.Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep tentang
pengawasan lembaga keuangan mikro sehingga diharapkan penormaan
dalam aturan hukum tidak lagi memungkinkan ada pemahaman yang
bermakna ganda.Pendekatan historis dilakukan untuk mengetahui sejarah
pembentukan Undang-undang Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia.
3. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi
perundangan-undangan,
catatan-catatan
resmi
atau
risalah
dalam
pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim15. Dalam
penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah UndangUndang No 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, UndangUndang No 21 Tahun 2011 tentang OJK, Naskah Akademik Pembentukan
Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro, dan Naskah Akademik
Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan.
b. Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentarkomentar atas putusan pengadilan.16
15
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. cet.VI (Jakarta : kencana, 2010), h. 141.
Ibid
16
13
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum dapat berupa
buku-buku
mengenai
Ilmu
Politik,
Ekonomi,
Sosiologi,
Filsafat,
Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang
mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-hukum
tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan
peneliti.17
4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Dari ketiga bahan hukum tersebut, baik bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis
untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan.“Cara pengolahan bahan
hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi”18.Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis
terhadap bahan hukum agar dapat menghasilkan suatu kesimpulan mengenai
pengawasalan lembaga keuangan mikro oleh OJK.
17
Ibid. h. 143
Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet-II,(Malang :
Bayumedia Publishing. 2006), h. 393
18
14
G. SISTEMATIKA PENELITIAN
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”
dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas
beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun
perinciannya sebagai berikut:
BAB I
Pendahuluan, memuat: Latar Belakang Masalah, dilanjutkan dengan
Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Kajian (Review) Studi Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode
Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II
Kerangka Teoritis, pada bab ini akan diuraikan mengenai
Pengertian
Pengawasan
dan
Pendelegasian,
Bentuk-bentuk
Pengawasan, Pengertian Lembaga Keuangan Mikro, Asas dan
Tujuan Lembaga Keuangan Mikro.
BAB III
Fungsi dan Tugas Otoritas Jasa Keuangan dalam Lembaga
Keuangan Mikro. Dalam bab ini akan dibahas mengenai sejarah
OJK, Pengertian OJK, Tujuan dan Fungsi OJK, Tugas dan
Wewenang OJK, Dewan Komisioner OJK.
BAB IV
Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Oleh OJK. Dalam bab ini
akan dibahas mengenai Mekanisme pengawasan LKM oleh OJK
menurut UU No 1 Tahun 2013, Kesinergian antara ketentuan
pengawasan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
15
dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dan Faktor-faktor
yang mempengaruhi pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
BAB V
Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran. Bab ini merupakan bab
terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik
beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis
menengahkan beberapa saran yang dianggap perlu.
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. Pengertian Pengawasan dan Pendelegasian
Dalam Kamus Bahasa Indonesia istilah pengawasan berasal dari kata
awas yang artinya memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat sesuatu dengan
cermat dan seksama, tidak ada lagi kegiatan kecuali memberi laporan
berdasarkan kenyataan yang sebenarnya dari apa yang diawasi 1. Dari definisi
tersebut dapat diartikan bahwa hasil dari suatu pengawasan harus sesuai
berdasarkan kenyataan yang terjadi dari apa yang telah diawasi.
Sebagai bahan perbandingan, penulis mengambil beberapa pendapat
menurut para sarjana di bawah ini diantaranya menurut Prayudi, pengawasan
adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang dijalankan,
dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki,
direncanakan atau diperhatikan2. Dilain pihak Sarwoto mengatakan, pengawasan
adalah kegiatan manager yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan
terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang dikehendaki3.
Menurut Saiful Anwar, pengawasan atau kontrol terhadap tindakan aparatur
pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat
1
Sarwoto. Dasar-dasar Organisasi Dan Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1981) h.93
Prayudi, Hukum Administrasi Negara, (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1981) h.80
3
Sujanto, Beberapa Pengertian Di Bidang Pengawasan, (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1986)
2
h.13
16
17
mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan4. M.
Manullang pun mengatakan bahwa pengawasan adalah suatu proses untuk
menetapkan suatu pekerjaan yang sudah dilaksanakan, menilainya dan
mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai
dengan rencana semula5. Menurut Harold Koonz, dkk, yang dikutip oleh John
Salindeho juga mengatakan bahwa pengawasan adalah pengukuran dan
pembetulan terhadap kegiatan para bawahan untuk menjamin bahwa apa yang
terlaksana itu cocok dengan rencana. Jadi pengawasan itu mengukur pelaksanaan
dibandingkan dengan cita-cita dan rencana, memperlihatkan dimana ada
penyimpangan yang negatif dan dengan menggerakkan tindakan-tindakan untuk
memperbaiki penyimpangan-penyimpangan, membantu menjamin tercapainya
rencana-rencana.6
Pengawasan menurut Sondang P. Siagian yaitu proses pengamatan dari
pada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua
pekerjaan yang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan7.
Menurut Terry dalam buku Sujanto menyatakan pengawasan adalah untuk
menentukan apa yang telah dicapai, mengadakan evaluasi atasannya, dan
mengambil tindakan-tidakan korektif bila diperlukan untuk menjamin agar
4
Saiful Anwar. (Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press :
Jakarta,2004) , h.127
5
M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1995), h.18
6
John Salindeho, Tata Laksana Dalam Manajemen. (Sinar Grafika : Jakarta, 1998), h.39
7
Ulbert, Silalahi. (Studi Tentang Ilmu Administrasi Konsep, Teori, dan Dimensi. Bandung :
Sinar Baru, 2002), h.175
18
hasilnya sesuai dengan rencana8. Menurut Dale dalam buku Winardi mengatakan
bahwa pengawasan tidak hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan
hasil kegiatan mengawasi, tetapi juga mengandung arti memperbaiki dan
meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang
direncanakan9. Sedangkan menurut Winardi sendiri, pengawasan adalah semua
aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa
hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan.10 Sedangkan menurut Basu
Swastha, pengawasan merupakan fungsi yang menjamin bahwa kegiatankegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan.11
Menurut
Komaruddin,
pengawasan
adalah
berhubungan
dengan
perbandingan antara pelaksana aktual rencana, dan awal untuk langkah perbaikan
terhadap penyimpangan dan rencana yang berarti.12
Lebih lanjut menurut Kadarman, pengawasan adalah suatu upaya yang
sistematik untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang
sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan
standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu
penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang
8
Sujanto, Op.Cit, h.17
Winardi, Kepemimpinan Dalam Manajemen. (Rineka Cipta, Jakarta : 2000), h.224
10
Ibid, h.585
11
Kadarman, A.M dan Udaya, Jusuf. Pengantar Ilmu Manajemen. ( PT. Prenhallindo :
Jakarta, 2001), h.159
12
Komaruddin. 1994. Ensiklopedia Manajemen. (Edisi Kesatu, Bumi Aksara : Jakarta, 1994),
h.104
9
19
diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan telah
digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan.13
Menurut Semito, pengawasan (controlling) adalah usaha untuk dapat
mencegah kemungkinan-kemungkinan penyimpangan daripada rencana-rencana,
instruksi-instruksi, saran-saran dan sebagainya yang telah ditetapkan14. Di lain
pihak menurut Fayol dalam buku Sofyan Harahap mengemukakan bahwa
pengawasan adalah upaya memeriksa apakah semua terjadi sesuai dengan
rencana yang ditetapkan, perintah yang dikeluarkan, dan prinsip yang dianut.
Juga dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan dan kesalahan agar dihindari
kejadiannya di kemudian hari15. Lebih luas lagi pengertian pengawasan
dikemukakan Situmorang dan Jusuf yang mengemukakan bahwa dikalangan ahli
atau sarjana telah disamakan pengertian controlling ini dengan pengawasan. Jadi
pengawasan adalah termasuk pengendalian. Pengendalian berasal dari kata
“kendali”, sehingga pengendalian mengandung arti mengarahkan, memperbaiki
kegiatan yang salah arah dan meluruskannya menuju arah yang benar. Kenyataan
dalam praktek sehari-hari bahwa isitilah controlling itu sama dengan istilah
pengawasan dan istilah pengawasan inipun telah mengandung pengertian luas,
yakni tidak hanya sifat melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan hasil
kegiatan mengawasi tadi tetapi juga mengandung pengendalian dalam arti
13
Bayu Swastha. Azas-Azas Marketing. (Edisi 3, Liberty : Yogyakarta, 1996), h.216
A.N Semito. Manajemen Personalia. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1984), h.17
15
Sofyan Harahap. 2001. Sistem Pengawasan Manajemen. (Quantum : Jakarta, 2001), h.10
14
20
menggerakkan, memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang
sesuai dengan apa yang direncanakan.16
Pengawasan dapat didefinisikan sebagai suatu usaha sistematis dalam
manajemen bisnis untuk membandingkan kinerja standar, rencana, atau tujuan
yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk menentukan apakah kinerja sejalan
dengan standar tersebut dan untuk mengambil tindakan penyembuhan yang
diperlukan untuk melihat bahwa sumber daya manusia digunakan dengan
seefektif dan seefisien mungkin didalam mencapai tujuan.
Dari definisi-definisi para sarjana yang telah disebutkan diatas, dapat
diambil kesimpulan bahwa pengawasan adalah suatu upaya untuk mengawasi,
mengendalikan, dan menjaga suatu proses kinerja agar tetap berjalan sesuai
rencana semula dan mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan adanya
pengawasan maka kemungkinan-kemungkinan yang dapat menghambat suatu
proses kinerja dapat dihindari dan apabila terlanjur terjadi maka dapat diberikan
solusi untuk memperbaikinya agar proses kinerja tersebut dapat kembali berjalan
sesuai dengan rencana semula.
Adapun maksud dari pengawasan yaitu untuk mencegah atau untuk
memperbaiki kesalahan, penyimpangan, ketidaksesuaian, dan lainnya yang tidak
sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah ditentukan. Karena pada dasarnya
16
M. Situmorang, Viktor dan Jusuf Juhir. Aspek Hukum Pengawasan Melekat dalam
Lingkungan Aparatur Pemerintah. (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994) h.19
21
maksud pengawasan bukan untuk mencari kesalahan terhadap orangnya, tetapi
mencari kebenaran terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan dengan tujuan agar hasil
pelaksanaan pekerjaan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif)
sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
Menurut Mc. Farland, pengawasan harus berpedoman terhadap hal-hal
berikut:17
1). Rencana (planning) yang telah ditentukan.
2). Perintah (orders) terhadap pelaksanaan pekerjaan (performance).
3). Tujuan.
4). Kebijakan yang telah ditentukan sebelumnya.
Pengawasan pun memiliki beberapa tugas/fungsi sebagai berikut: 18
a. Mempertebal rasa dan tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi
tugas dan wewenang dalam pelaksanaan pekerjaan.
b. Mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaan sesuai
dengan prosedur yang telah ditentukan.
c. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, kelalaian, dan
kelemahan, agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan.
17
Maringan Masry Simbolon. Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen. (Ghalia Indonesia
: Jakarta, 2004), h.61.
18
Ibid., h.62.
22
d. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan, agar pelaksanaan
pekerjaan tidak mengalami hambatan dan pemborosan-pemborosan.
Disamping itu kita pun harus mengetahui prinsip-prinsip dari pengawasan yaitu:19
1. Pengawasan berorientasi kepada tujuan organisasi.
2. Pengawasan harus objektif, jujur dan mendahulukan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi.
3. Pengawasan harus berorientasi terhadap kebenaran menurut peraturanperaturan yang berlaku (wetmatigheid), berorientasi terhadap kebenaran atas
prosedur yang telah ditetapkan (rechmatigheid), dan berorientasi terhadap
tujuan (manfaat) dalam pelaksanaan pekerjaan (doelmatigheid).
4. Pengawasan harus menjamin daya dan hasil guna pekerjaan.
5. Pengawasan harus berdasarkan atas standar yang objektif, teliti (accurate),
dan tepat.
6. Pengawasan harus bersifat terus-menerus (continue).
7. Hasil pengawasan harus dapat memberikan umpan balik (feed back) terhadap
perbaikan dan penyempurnaan dalam pelaksanaan, perencanaan dan
kebijaksanaan waktu yang akan datang.
Pendelegasian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah pemberian
wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain. Kegiatan seseorang untuk
19
Ibid., h.69.
23
menugaskan stafnya/bawahannya untuk melaksanakan bagian dari tugas manajer
yang bersangkutan dan pada waktu bersamaan memberikan kekuasaan kepada
staf/bawahan tersebut, sehingga bawahan itu dapat melaksanakan tugas-tugas itu
sebaik baiknya serta dapat mempertanggung jawabkan hal hal yang didelegasikan
kepadanya. 20
Adapun menurut Sujak dalam bukunya yaitu Pendelegasian merupakan proses
penugasan, wewenang dan tanggung jawab kepada bawahan21. Robert Heller
mendefinisikan pendelegasian sebagai mempercayakan pekerjaan pada orang lain
akan tetapi tanggung jawab atas pekerjaan atau pekerjaan tersebut masih berada di
tangan pendelegasi. Tony Atherton mendefinisikan pendelegasian pekerjaan
sebagai mempercayakan wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan yang didefinisikan dengan jelas, dan disetujui di
bawah pengawasan pendelegasi sambil tetap memegang seluruh tanggung jawab
atas keberhasilan pekerjaan atau pekerjaan itu. Dari uraian tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa :
Pendelegasian
ialah
proses
terorganisir
dalam
kerangka
hidup
organisasi/keorganisasian untuk secara langsung melibatkan sebanyak mungkin
orang dan pribadi dalam pembuatan keputusan, pengarahan, dan pengerjaan kerja
yang berkaitan dengan pemastian tugas. Pendelegasian ialah tindakan
20
21
M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1995), h.10
shvoong.com/social-sciences/education diakses pada tanggal 25 Januari 2014
24
memercayakan tugas (yang pasti dan jelas), kewenangan, hak, tanggung jawab,
kewajiban, dan pertanggungjawaban kepada bawahan secara individu dalam
setiap posisi tugas. Pendelegasian dilakukan dengan cara membagi tugas,
kewenangan, hak, tanggung jawab, kewajiban, serta pertanggungjawaban, yang
ditetapkan dalam suatu penjabaran/deskripsi tugas formil dalam organisasi.22
B. Bentuk-bentuk Pengawasan
a. Pengawasan dari Dalam Organisasi (Internal Control)
Pengawasan dari dalam, berarti pengawasan yang dilakukan oleh
aparat/unit pengawasan yang dibentuk dalam organisasi itu sendiri.
Aparat/unit pengawasan ini bertindak atas nama pimpinan orgsanisasi.
Aparat/unit pengawasan ini bertugas mengumpulkan segala data dan
informasi yang diperlukan oleh organisasi. 23
Data-data tersebut yang sudah terkumpul akan digunakan oleh
pimpinan untuk menilai kemajuan dan kemunduran dalam pelaksanaan
pekerjaan.
Keputusan-keputusan
dari
hasil
pengawasan
yang
sudah
dikeluarkan oleh pimpinan dapat digunakan dalam nilai kebijaksanaan
pimpinan. Maka itu terkadang pimpinan perlu meninjau kembali keputusankeputusan tersebut yang sudah dikeluarkan. Pimpinan pun dapat melakukan
22
agus-krisdianto.weebly.com diakses pada tanggal 25 Januari 2014
Maringan Masry Simbolon. Dasar-dasar Administrasi dan Manajemen. (Ghalia Indonesia :
Jakarta, 2004), h.62
23
25
tindakan-tindakan perbaikan (korektif) terhadap pelaksanaan pekerjaan yang
dilakukan oleh bawahannya.
b. Pengawasan Dari Luar Organisasi (External Control)
Pengawasan eksternal (external control) berarti pengawasan yang
dilakukan oleh aparat/unit pengawasan dari luar organisasi itu. Aparat/unit
pengawasan dari luar organisasi itu adalah pengawasan yang bertindak atasn
nama atasan pimpinan organisasi itu, atau bertindak atas nama pimpinan
organisasi itu karena permintaannya, misalnya pengawasan yang dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara. Terhadap suatu
departemen, aparat pengawasan ini bertindak atas nama pemerintah/presiden
melalui menteri keuangan. Sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan, ialah pemeriksaan/pengawasan yang bertindak
atas nama negara Republik Indonesia. 24
Pimpinan organisasi pun dapat meminta bantuan dari pihak luar
organisasinya untuk melakukan pengawasan tersebut dengan maksud-maksud
tertentu seperti untuk mengetahui jumlah pajak yang harus dibayar,
mengetahui jumlah keuntungan, mengetahui
efisiensi
kerjanya, dan
sebagainya. Pihak luar organisasi tersebut misalnya, akuntan swasta,
perusahaan konsultan, dan lain sebagainya.
24
Ibid., h.63
26
c. Pengawasan Preventif
Arti dari pengawasan preventif ialah pengawasan yang dilakukan
sebelum rencana itu dilaksanakan. Maksud dari pengawasan preventif ini
ialah untuk mencegah terjadinya kekeliruan/kesalahan dalam pelaksanaan.
Dalam sistem pemeriksaan anggaran pengawasan preventif ini disebut
preaudit. Adapun dalam pengawasan preventif ini dapat dilakukan hal-hal
berikut.25
a. Menentukan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan sistem
prosedur, hubungan, dan tata kerjanya.
b. Membuat pedoman/manual sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan.
c. Menentukan kedudukan, tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya.
d. Mengorganisasikan segala macam kegiatan, penempatan pegawai dan
pembagian pekerjaannya.
e. Menentukan sistem koordinasi, pelaporan, dan pemeriksaan.
f. Menetapkan sanksi-sanksi terhadap pejabat yang menyimpang dari
peraturan yang telah ditetapkan.
25
Ibid., h.63
27
d. Pengawasan Represif
Arti dari pengawasan represif ialah pengawasan yang dilakukan
setelah adanya pelaksanaan pekerjaan. Maksud diadakannya pengawasan
represif ialah untuk menjamin kelangsungan pelaksanaan pekerjaan agar
hasilnya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Dalam sistem
pemeriksaan anggaran, pengawasan represif ini disebut post-audit. Adapun
pengawasan represif ini dapat menggunakan sistem-sistem pengawasan
sebagai berikut.
1) Sistem Komperatif
a) Mempelajari
laporan-laporan
kemajuan
(progress
report)
dari
pelaksanaan pekerjaan, dibandingkan dengan jadwal rencana atau
pelaksanaan.
b) Membandingkan laporan-laporan hasil pelaksanaan pekerjaan dengan
rencana yang telah diputuskan sebelumnya.
c) Mengadakan analisis terhadap perbedaan-perbedaan tersebut, termasuk
faktor lingkungan yang mempengaruhinya.
d) Memberikan penilaian terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan, termasuk
para penanggung jawabnya.
e) Mengambil
keputusan
penyempurnaannya.
tata
usaha
perbaikannya
atau
28
2) Sistem Verivikatif
a) Menentukan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan prosedur
pemeriksaan.
b) Pemeriksaan tersebut harus dibuat laporan secara periodik atau secara
khusus.
c) Mempelajari laporan untuk mengetahui perkembangan dari hasil
pelaksanaannya.
d) Memberikan penilaian terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan, termasuk
para penanggung jawabnya.
e) Mengambil
keputusan
tata
usaha
perbaikannya
atau
penyempurnaannya.
3) Sistem Inspeksi
Inspeksi dimaksudkan untuk mengecek kebenaran dari suatu laporan yang
dibuat oleh para petugas pelaksanaannya. Dalam pemeriksaan di tempat
(on the spot inspection), instruksi-instruksi diberikan dalam rangka
perbaikan dan penyempurnaan pekerjaan. Inspeksi dimaksudkan untuk
memberikan penjelasan-penjelasan terhadap kebijaksanaan pimpinan.
Penjelasan-penjelasan ini merupakan kontak pribadi antara pimpinan/wakil
pimpinan dengan cara petugas pelaksana di tempat, yang dapat
29
menimbulkan rasa kesetiakawanan (jiwa korps), rasa solidaritas, dan
ketinggian moral.
Untuk menjamin hasil yang objektif dalam inspeksi ini, kadang-kadang
diperlukan penggantian jabatan (tour of duty) dalam periode tertentu.
Penggantian jabatan ini dimaksudkan pula untuk lebih menyegarkan tugastugas inspeksi, karena tugas-tugas tersebut kecuali membosankan juga
menjemukan.
4) Sistem Investigatif
Sistem ini lebih menitikberatkan terhadap penyelidikan/penelitian yang
lebih
mendalam
terhadap
suatu
masalah
yang
bersifat
negatif.
Penyelidikan/penelitian ini didasarkan atas suatu laporan yang masih
bersifat hipotesis (anggapan). Laporan tersebut mungkin benar dan mudah
salah. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih mendalam untuk dapat
mengungkapkan hipotesis tersebut.26
Agar dapat memperoleh jawaban tersebut (yang benar) diperlukan
pengumpulan data, menganalisis data atau mengolah data, dan penelitian
atas data tersebut. Berdasarkan atas hasil penelitian/penyelidikan tersebut,
kemudian segera diambil keputusannya. Yang perlu diperhatikan di sini
26
Ibid., h.65
30
adalah validitas data tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Data-data
tersebut pun harus diperoleh dengan penuh ketelitian.
C. Pengertian Lembaga Keuangan Mikro
Pengertian Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 1 angka (1) yakni:
“Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah
lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan
usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan
dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan,
maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata
mencari keuntungan”.
Pengertian Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Menurut Microcredit
Summit (1997) dalam buku Ashari, mengemukakan definisi kredit mikro yaitu
“Programmes extend small loans to very poor for self-employment projects that
generate income, allowing them to care for themselves and their families” atau
“Program pemberian kredit berjumlah kecil kepada warga miskin untuk
membiayai kegiatan produktif yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan
pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan
31
keluarganya27. Sementara menurut Paket Kebijaksanaan (1993) dalam buku Totok
Budisantoso menyatakan bahwa “Kredit untuk usaha kecil adalah kredit yang
diberikan kepada nasabah usaha kecil dengan plafon kredit maksimum 250 juta
untuk membiayai usaha produktif”.28
“Sedangkan pengertian kredit untuk usaha mikro adalah “Kredit yang
diberikan kepada nasabah usaha kecil dengan plafon kredit sampai dengan 25
juta”. Meskipun terdapat perbedaan, tapi kedua pernyataan di atas mempunyai
persamaan bahwa kredit mikro diberikan bagi pengusaha kecil dan mikro dengan
plafon kredit yang berbeda untuk membiayai kegiatan usaha yang produktif.
Usaha dikatakan produktif apabila usaha tersebut dapat memberikan nilai tambah
dalam menghasilkan barang dan jasa serta pendapatan mereka. Kredit mikro ini
disalurkan melalui lembaga keuangan yang umumnya disebut dengan Lembaga
Keuangan Mikro (LKM). Mandala Manurung dan Prathama Rahardja
menyatakan bahwa “Lembaga Keuangan Mikro adalah lembaga keuangan yang
memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin
serta para pengusaha kecil”.29
27
Ashari. 2006. Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Dalam Pembangunan Ekonomi
Pedesaan Dan Kebijakan Pengembangannya. Pusat Analisis Sosial Dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Volume 4 No.2, Juni 2006:h.146
28
Totok Budisantoso dan Triandaru Sigit. 2006. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain.
Jakarta:Salemba Empat, h.121
29
Manurung, Mandala dan Prathama Rahardja. 2004, Uang, Perbankan, dan Ekonomi
Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia), Jakarta : Lembaga Penerbit FE UI, h.124
32
Sementara itu menurut ahli lain, “Lembaga Keuangan Mikro didefinisikan
sebagai penyedia jasa keuangan bagi pengusaha kecil dan mikro serta berfungsi
sebagai alat pembangunan bagi masyarakat pedesaan”.30
Menurut Direktorat Pembiayaan, Deptan (2004) dinyatakan bahwa
“Lembaga Keuangan Mikro dikembangkan berdasarkan semangat untuk
membantu dan memfasilitasi masyarakat miskin baik untuk kegiatan konsumtif
maupun produktif keluarga miskin tersebut”31. Menurut Krishnamurti (2005),
walaupun terdapat banyak definisi keuangan mikro, namun secara umum terdapat
tiga elemen penting dari berbagai definisi tersebut. Pertama, menyediakan
beragam jenis pelayanan keuangan. Keuangan mikro dalam pengalaman
masyarakat tradisional Indonesia seperti lumbung desa, lumbung pitih nagari dan
sebagainya menyediakan pelayanan keuangan yang beragam seperti tabungan,
pinjaman, pembayaran, deposito maupun asuransi. Kedua, melayani rakyat
miskin. Keuangan mikro hidup dan berkembang pada awalnya memang untuk
melayani rakyat yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal yang ada
sehingga memiliki karakteristik konstituen yang khas. Ketiga, menggunakan
prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel. Hal ini merupakan
konsekuensi dari kelompok masyarakat yang dilayani, sehingga prosedur dan
30
Sutanto Hadinoto, Joko Retnadi. Kredit Mikro, Kunci Sukses Kredit Mikro. (PT Gramedia :
Jakarta,2005), h.72
31
Ashari, Op.Cit, h.148
33
mekanisme yang dikembangkan untuk keuangan mikro akan selalu kontekstual
dan fleksibel.32
D. Asas dan Tujuan Lembaga Keuangan Mikro
Asas-asas Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 2 yaitu:
LKM berasaskan:
a. Keadilan;
b. Kebersamaan;
c. Kemandirian;
d. Kemudahan;
e. Keterbukaan;
f. Pemerataan;
g. Keberlanjutan; dan
h. Kedayagunaan dan kehasilgunaan.
32
catarts.wordpress.com diakses pada tanggal 19 Oktober 2013
34
Penjelasan asas-asas tersebut diatas:
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah memberikan
kesempatan yang sama kepada masyarakat, terutama masyarakat
miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk mendapatkan pelayanan
dari LKM.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah suatu
kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama untuk kepentingan
bersama.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah suatu
kegiatan yang dilakukan tanpa banyak bergantung kepada pihak lain,
baik dari aspek sumber daya manusia maupun permodalan.
Huruf d
35
Yang dimaksud dengan “asas kemudahan” adalah bahwa
prosedur pembiayaan dan penyimpanan dana dalam LKM dibuat
seserdahana mungkin.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah suatu
kegiatan usaha yang proses pengelolaannya dapat diketahui oleh
masyarakat.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas pemerataan” adalah pemberian
Pinjaman atau Pembiayaan yang menjangkau seluruh masyarakat
miskin dan/atau berpenghasilan rendah.
Huruf g
Yang
dimaksud
dengan
“asas
kedayagunaan
dan
kehasilgunaan” adalah suatu kegiatan pemberdayaan sekaligus
mendayagunakan
usaha
dan
layanan
keuangan
masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.33
33
www.sjdih.depkeu.go.id diakses pada tanggal 26 Oktober 2013
mikro
untuk
36
Sedangkan tujuan Lembaga Keuangan Mikro menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
Pasal 3 yaitu:
LKM bertujuan untuk:
a. Meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat;
Dengan meningkatkan akses pendanaan bagi masyarakat maka
masyarakat yang menbutuhkan pembiayaan untuk usaha mikronya
diharapkan dapat berjalan dengan baik.
b. Membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas
masyarakat;
Tujuan ini dapat mengurangi banyaknya pengangguran yang
merajalela di masyarakat. Masyarakat dapat membuka usaha
bahkan menciptakan lapangan kerja dari usaha kecil mereka
tersebut.
c. Membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat
terutama masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.
37
Dengan berjalannya usaha mikro yang mereka bangun, maka
pendapatan masyarakat miskin diharapkan lebih meningkat supaya
masyarakat pun hidup sejahtera.
BAB III
FUNGSI DAN TUGAS OTORITAS JASA KEUANGAN
DALAM LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
A. Sejarah Otoritas Jasa Keuangan
Awal mula tercetus pemikiran tentang lahirnya lembaga otoritas jasa
keuangan adalah berkaca dari pengalaman krisis moneter yang terjadi pada
1997, krisis finansial global 2008, dan krisis yang menimpa zona Euro 2010,
industri keuangan diprediksi akan mengalami kondisi sangat buruk. Kebijakan
fiskal
dan
kebijakan
moneter
dibutuhkan
untuk
menyelamatkan
perekonomian. Besar kemungkinan krisis keuangan mengancam Indonesia.1
Pada akhir 2011, sebagai upaya reformasi sektor keuangan,
pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat mendirikan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kemudian pada 22 November 2012, UndangUndang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan disahkan.
Lembaga yang disebut independen ini akan berfungsi mulai 31 Desember
2012 dimana menggantikan fungsi, tugas dan wewenang pengaturan yang
selama ini dilakukan oleh Kementerian Keuangan melalui Badan Pengawas
Pasar Modal serta Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).2
1
2
Hamud M. Balfas. ( Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta: PT.Tatanusa, 2012). h.7
Ibid., h.7
38
39
Kemudian di akhir tahun 2013, giliran fungsi, tugas dan wewenang
pengaturan dan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia (BI) juga akan
dialihkan ke OJK.
Posisinya, OJK akan tergabung dalam Forum Koordinasi Stabilitas
Sektor Keuangan (FKSSK) bersama Kementerian Keuangan, BI dan Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). FKSSK merupakan protokol koordinasi untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan.setelah diundangkannya undang-undang
no.21 tahun 2011 tentang otoritas jasa keuangan (UU-OJK) terdapat
perubahan besar terhadap landskap industri keuangan di Indonesia, hal ini
karena berdasarkan UU-OJK pengaturan serta pengawasan industri jasa
keuangan di Indonesia yang termasuk didalamnya pasar modal, perbankan
dan lembaga keuangan mikro akan diawasi oleh lembaga otoritas jasa
keuangan.3
Berdasarkan peraturan peralihan UU-OJK pasal 55 menyatakan bahwa
sejak tanggal 31 Desember 2012 tugas, fungsi, dan kewenangan pengaturan
dan pengawasan kegiatan keuangan di sektor pasar modal dan jasa keuangan
non bank seperti perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari menteri keuangan dan badan
pengawas pasar modal (BAPEPAM) dan lembaga keuangan (LK) ke otoritas
jasa keuangan (OJK). Ketentuan yang sama juga berlaku bagi kewenangan
3
Ibid., h.7
40
Bank Indonesia dalam pengaturan serta pengawasan jasa keuangan di bidang
perbankan.4
B. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan
Pengertian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menurut Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 1 angka (1) yaitu:
“Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga
yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.5
Dengan berlakunya undang-undang tersebut segala tugas sebagai regulator
dan pengawas di sektor keuangan di ambil alih oleh lembaga otoritas jasa keuangan
yang menggantikan kedudukan BAPEPAM-LK di sektor pasar modal dan bank
Indonesia di sektor perbankan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 undang-undang
ini
“OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan“. Sebagai
lembaga yang mempunyai kewenangan pengaturan di sektor keuangan. Secara
kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai
bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah.
Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah
4
5
Ibid., h.7
Ibid., h.8
41
karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa
keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam
hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan
keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan
Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi
kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. 6
C. Tujuan dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan:
a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,
b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil, dan
c. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
OJK mempunyai tujuan yang sangat strategis dalam memastikan adanya
transparansi, stabilitas serta dapat memberikan perlindungan kepentingan kepada
konsumen dan masyarakat dalam industri jasa keuangan7.
Dengan tujuan
pembentukannya hal yang menjadi harapan dari masyarakat adalah menyangkut
6
7
Ibid., h.8
Hamud M.Balfas. (Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta: PT.Tatanusa, 2012). h 10.
42
perlindungan konsumen dan masyarakat terkait transparansi dan stabilitas di sektor
industri keuangan yang walaupun sebelumnya telah dijalankan dengan baik oleh
BAPEPAM-LK. Karena perlindungan konsumen dalam industri
jasa keuangan
adalah salah satu hal yang sangat penting mengingat jasa keuangan bukan saja
menyangkut hal kekayaan milik investor saja melainkan banyaknya jenis-jenis
transaksi yang sangat rumit dan dalam banyak hal tidak dipahami oleh investor yang
berinvestasi dalam jasa keuangan yang ditawakan. Selain itu di sektor keuangan juga
rawan berpotensi terjadinya kejahatan yang dapat merugikan masyarakat secara luas
dan pelakunya dapat membawa hasil kejahatan dengan cara yang sangat cepat. Selain
itu Otoritas Jasa Keuangan juga dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan
jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,
transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh
secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor
jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain
itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber
daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan,
dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi.
Selain itu sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK melaksanakan tugas pengaturan
dan pengawasan terhadap :
43
a. kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan
b. kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, dan
c. kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Dengan adanya pasal tersebut mengartikan dengan jelas bahwa segala bentuk
pengaturan dan pengawasan di sektor industri keuangan akan dilimpahkan kepada
lembaga otoritas jasa keuangan selaku regulator di sektor industri jasa keuangan.
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
D. Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan
Tugas Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013
tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 6 yaitu:
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Sedangkan dalam Pasal 7 disebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang:
44
a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,
rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia,
merger, konsolidasi, dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank;
dan
2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk
hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal
minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap
simpanan, dan pencadangan bank;
2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3. sistem informasi debitur;
4. pengujian kredit (credit testing); dan
5. standar akuntansi bank;
c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1. manajemen risiko;
2. tata kelola bank;
3. prinsip mengenai nasabah dan anti pencucian uang; dan
4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
45
d. pemeriksaan bank.
Diterangkan pula dalam Pasal 8 bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
b. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
d. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
e. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap
Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
g. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada
Lembaga Jasa Keuangan;
h. menetapkan
struktur
organisasi
dan
infrastruktur,
serta
mengelola,
memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Lalu dalam Pasal 9 disebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengawasan
sebagaimana dimkasud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan;
46
b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala
Eksekutif;
c.
melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan perlindungan konsumen,
dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau
penunjung kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak
tertentu;
e. melakukan penunjukkan pengelola statuter;
f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h. memberikan dan/atau mencabut:
1. izin usaha;
2. izin orang perseorangan
3. efektifnya pernyataan pendaftaran;
4. surat tanda terdaftar;
5. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6. pengesahan;
7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan.
47
Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan
asas-asas sebagai berikut:
1. asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku;8
2. asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;9
3. asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi
kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;10
4. asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan
atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia
sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;11
5. asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan
pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;12
8
Hamud M. Balfas. Op.Cit. h.8
Hamud M. Balfas. Op.Cit. h.8
10
Ibid.,. h.8
11
Ibid., h.8
12
Ibid., h.8
9
48
6. asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral
dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas
Jasa Keuangan; dan
7. asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik.13
E. Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 10 yaitu:
(1) OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner.
(2) Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kolektif
dan kolegial.
(3) Dewan Komisioner beranggotakan 9 (sembilan) orang anggota yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(4) Susunan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri
atas:
a. seorang Ketua merangkap anggota;
b. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
c. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
d. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
13
Ibid., h.8
49
e. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
merangkap anggota;
f. seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
g. seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan
Konsumen;
h. seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan
anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
i. seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang
merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.
(5) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
memiliki hak suara yang sama.
Berikut adalah anggota-anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yaitu:
1. Muliaman D. Hadad, PhD
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan
2. DR. Rahmat Waluyanto, MBA
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Ketua
Komite Etik
3. Nelson Tampubolon, SE, MSM
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Kepala
Eksekutif Pengawas Perbankan
50
4. Ir. Nurhaida, MBA.
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Kepala
Eksekutif Pengawas Pasar Modal
5. DR. Firdaus Djaelani, MA
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Kepala
Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank
6. DR. Kusumaningtuti Sandriharmy Soetiono, S.H., LLM
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang Membidangi
Edukasi dan Perlindungan Konsumen
7. Prof. Dr. Ilya Avianti, S.E., M.Si., Ak. CPA
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Ketua
Dewan Audit
8. Dr. Ir. Anny Ratnawati, M.Sc
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Ex-Officio Kementerian
Keuangan, Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia
9. DR. Halim Alamsyah, SH, SE, MA
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Ex-Officio Bank
Indonesia, Deputi Gubernur Bank Indonesia
BAB IV
PENGAWASAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO OLEH OTORITAS JASA
KEUANGAN
A. Mekanisme Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Oleh Otoritas Jasa
Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro Pasal 28 yaitu:
(1) Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
(2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan melakukan koordinasi dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan Koperasi dan Kementerian Dalam Negeri.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(4) Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum siap, Otoritas Jasa
Keuangan
dapat
mendelegasikan
pembinaan
dan
pengawasan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) kepada pihak lain yang
ditunjuk.
(5) Ketentuan mengenai hal yang berkaitan dengan pembinaan dan
pengawasan
yang
didelegasikan
kepada
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pihak lain yang
51
52
ditunjuk sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 31:
“Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan pemeriksaan
terhadap LKM.”
Dari pasal tersebut diatas maka mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan
Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dilakukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan yang melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan
urusan koperasi dan Kementerian Dalam Negeri. Tetapi dalam hal pembinaan dan
pengawasan tersebut Otoritas Jasa Keuangan tidak bekerja sendiri melainkan
mendelegasikan wewenangnya kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota agar
menjalankan wewenangnya tersebut dan tetap dalam pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan. Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ditunjuk belum siap,
maka OJK akan mendelegasikan pembinaan dan pengawasannya kepada pihak lain
yang ditunjuk.
Mengutip dari pernyataan Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo
dalam rapat kerja RUU LKM di DPR pada hari Senin tanggal 5 Maret 2012, beliau
mengungkapkan bahwa “Praktik LKM berkembang dengan sangat besar, untuk
53
melindungi kepentingan nasabah perlu pengawasan yang bisa didelegasikan oleh BI
atau OJK ke Pemerintah Daerah”.1
Banyaknya LKM yang sudah beroperasi di masyarakat dengan perkiraan
pemerintah sekitar 600.000 unit dengan 12 jenis yang berbeda, maka OJK sebagai
pengawas
mikroprudensial
memerlukan
bantuan
dari
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota. Menurut anggota Dewan Komisioner OJK Ilya Avianti selepas
acara peresmian Kantor OJK Regional 2 Wilayah Jabar di Bandung, Senin lalu pada
tanggal 6 Januari 2014, beliau mengungkapkan bahwa “Pemda paling dekat dengan
micro finance ini, industri kecil dan UKM. Jadi betul-betul oleh pemda itu diawasi
langsung, oleh OJK disupervisi”2.Pendelegasian wewenang atas pembinaan dan
pengawasan LKM oleh OJK kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota akan tetap
dibawah kendali OJK dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap LKM.
Opsi pendelegasian sebagian kewenangan OJK kepada pemda ini merupakan jalan
kompromistis yang ditempuh pemerintah.
Di ranah global, LKM disebut juga sebagai praktik shadow banking,
pasalnya LKM bisa menghimpun dana masyarakat tetapi tidak berbentuk sebagai
perbankan, melainkan lembaga seperti asuransi dan dana pensiun. Pada intinya,
shadow banking adalah lembaga nonbank yang beroperasi layaknya perbankan, yakni
menghimpun dana, memberi kredit dengan bunga yang tinggi namun dengan syarat
1
2
koran-indonesia.com diakses pada tanggal 26 Oktober 2013
www.bisnis-jabar.com diakses pada tanggal 26 Oktober 2013
54
yang lebih mudah untuk dipenuhi dibandingkan dengan syarat yang diwajibkan oleh
perbankan. Praktik shadow banking ini dapat mengganggu stabilitas perekonomian di
Indonesia, karena shadow banking memberikan kredit dengan bunga tinggi namun
persyaratan yang diajukan cenderung lebih mudah, hal ini tentu saja menyebabkan
potensi Non Performing Loan (NPL) dengan kata lain kredit macetnya tinggi. Oleh
karena itu dengan adanya pendelegasian sebagian wewenang OJK kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dalam pembinaan dan pengawasan terhadap LKM dapat
membantu untuk mencegah praktik shadow banking tersebut. Upaya lainnya yang
bersifat preventif adalah dengan adanya sanksi administratif maupun pidana.
Pembinaan dan pengawasan ini diperlukan agar bantuan yang telah diberikan kepada
masyarakat dapat menyempurnakan dan menyejahterakan juga memperbaiki ekonomi
masyarakat.
B. Sinergi Antara Ketentuan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan
Ketentuan pengawasan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro memiliki sinergi dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Untuk mengetahui adanya
sinergi antara pengawasan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
55
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan maka dapat dilihat dari uraian sebagai berikut.
1) Pembinaan, pengaturan dan pengawasan Lembaga Keuangan Mikro dilakukan
oleh Otoritas Jasa Keuangan3. Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan memiliki
fungsi
menyelenggarakan
sistem
pengaturan
dan
pengawasan
yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan
seperti kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal, kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya. 4
2) Pembinaan yang dilakukan sebagaimana menurut ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro bahwa Otoritas Jasa
Keuangan
melakukan
koordinasi
dengan
kementerian
yang
menyelenggarakan urusan Koperasi dan Kementerin Dalam Negeri5. Otoritas
Jasa Keuangan menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas 6. Dari dua
pernyataan tersebut maka LKM dan OJK memiliki sinergi dalam menjalankan
tugas mereka dalam hal pengawasan.
3) Pembinaan dan pengawasan yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan
didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota agar membantu
Otoritas
3
Jasa
Keuangan
dalam
mengawasi
Lembaga
Keuangan
Pasal 28 ayat (1), Undang-Undang nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
Pasal 5, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
5
Pasal 28 ayat (2), Undang-Undang nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
6
Pasal 8 huruf (e), Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
4
56
Mikro.7Sedangkan dalam Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan disebutkan
bahwaOtoritas Jasa Keuangan menetapkan kebijakan operasional pengawasan
terhadap kegiatan jasa keuangan, melakukan penunjukkan pengelola statuter,
dan menetapkan penggunaan pengelola statuter.8
4) Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum siap, Otoritas Jasa
Keuangan dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan kepada pihak
lain yang ditunjuk sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro kepada pihak lain
yang ditunjuk.9 Sedangkan menurut Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan
bahwa OJK menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan
jasa keuangan, melakukan penunjukkan pengelola statuter, menetapkan
penggunaan pengelola statuter.10
5) Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro disebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan yang didelegasikan
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh OJK diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan11. Sedangkan dalam Undang-Undang
7
Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
Pasal 9 huruf (a), (e), dan (f) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan
9
Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
10
Pasal 9 huruf (a), (e), (f) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan
11
Pasal 28 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
8
57
Otoritas Jasa Keuangan disebutkan bahwa OJK menetapkan pertauran
pelaksanaan Undang-Undang ini.12
6) Dalam Undang-Undang LKM disebutkan bahwa dalam rangka pembinaan
dan pengawasan Lembaga Keuangan Mikro tersebut, Otoritas Jasa Keuangan
melakukan pemeriksaan terhadap Lembaga Keuangan Mikro13. Sedangkan
menurut Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangandisebutkan bahwa dalam
melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan perlindungan konsumen,
dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau
penunjung kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.14
Dari uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa adanya sinergi antara
pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Uraian diatas menunjukkan
bahwa pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang LKM berkaitan atau saling
dukung dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang OJK. Dengan
adanya sinergi antara
pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-
Undang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang Ototritas Jasa Keuangan
maka mekanisme pengawasan tersebut diharapkan dapat berjalan sesuai rencana yang
sudah ditetapkan agar tercapainya tujuan dari Lembaga Keuangan Mikro tersebut.
12
Pasal 8 huruf (a) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
14
Pasal 9 huruf (c) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
13
58
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro
oleh Otoritas Jasa Keuangan
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengawasan Lembaga Keuangan Mikro
oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain adalah:
1. Man (Manusia)
Man atau manusia dalam konteks ini mengacu pada pengawas yang bertugas
dalam mengawasi Lembaga Keuangan Mikro tersebut. Peran pengawas dalam
suatu pengawasan sangatlah berpengaruh dalam pencapaian tujuan akhir dari
rencana atau perintah yang sudah ditetapkan. Otoritas Jasa Keuangan dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa
Keuangan untuk membantu mengawasi Lembaga Keuangan tersebut harus
memiliki independensi yang tinggi dalam mengawasi dan memberi laporan
dari hasil pengawasannya kepada Otoritas Jasa Keuangan. Independensi
berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh orang
lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi dapat juga diartikan
adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan
adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak dalam diri auditor dalam
merumuskan dan menyatakan pendapatnya.15
Pengawas dalam suatu pengawasan harus profesional dalam menjalankan
pekerjaannya agar mencapai hasil yang sesuai dengan rencana yang semula
sudah ditetapkan. Profesionalisme dapat diukur dari kejujuran atau
15
Mulyadi. Auditing. (edisi kelima, Salemba Empat : Jakarta, 1998), h.52
59
independensi pengawas tersebut seperti yang sudah dijelaskan diatas. Selain
kejujuran, hal lain yang termasuk dalam profesionalisme adalah kedisiplinan
pengawas tersebut dalam menjalankan pekerjaannya seperti disiplin waktu,
disiplin manajemen, dan lainnya. Disiplin waktu yang dimaksud adalah
pengawas dalam menjalankan pekerjaannya harus tepat waktu sesuai dengan
yang sudah direncanakan. Sedangkan disiplin manajemen ialah pengawas
dalam menjalankan pekerjaannya harus sesuai dengan prosedur-prosedur yang
sudah ditetapkan, harus patuh pada peraturan-peraturan yang sudah
ditetapkan. Apabila dalam proses pengawasan tersebut ada hal sekecil apapun
yang kurang dari prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan, maka pengawas
harus tetap mencari jalan keluar agar semua prosedur-prosedur dapat
terpenuhi.
2. Mean (Alat)
Mean atau alat merupakan faktor yang dapat mempengaruhi berjalannya suatu
pengawasan. Alat yang digunakan dalam pengawasan Lembaga Keuangan
Mikro ini misalnya adalah komputer. Komputer-komputer yang digunakan
harus sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan, seperti software-software
yang digunakannya harus memadai.
Komputer-komputer yang digunakan harus dikontrol misalnya dalam jangka
waktu sekali dalam satu bulan untuk menghindari malfungsi yang
kemungkinan dapat terjadi dalam melakukan proses kinerja pengawasan
60
tersebut. Penggunaan alat tersebut juga harus dengan baik agar komputerkomputer tersebut tidak mudah rusak atau mengalami kendala-kendala
lainnya yang dapat terjadi. Alat dalam menjalankan pengawasan sangat
berguna untuk menyimpan data-data yang yang dibutuhkan dalam
menjalankan pengawasan tersebut.
Selain komputer, alat-alat lain yang digunakan dalam menjalankan
pengawasan misalnya yaitu pena, pensil, buku catatan atau agenda,
penghapus, dan lain sebagainya. Pengawas dalam menjalankan pengawasan
tersebut harus menyediakan alat-alat tersebut untuk mencatat sementara atau
mendata laporan-laporan yang diperlukan dari hasil pengawasan tersebut.
3. Material (Objek)
Material atau objek yang dimaksud disini adalah Lembaga Keuangan Mikro
itu sendiri yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. Lembaga Keuangan Mikro itu sendiri merupakan salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi pengawasan tersebut dapat dilihat dari
bagaimana lembaga ini beroperasi. Dalam beroperasi, Lembaga Keuangan
Mikro ini harus sesuai dengan prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan
dalam Undang-Undangnya. Lembaga Keuangan Mikro dalam menjalankan
organisasi tersebut harus dapat mencapai tujuan yang sudah direncanakan
semula yaitu salah satunya adalah menyejahterakan masyarakat miskin atau
berpenghasilan rendah.
61
Untuk mencapai tujuan tersebut maka Lembaga Keuangan Mikro harus
sungguh-sungguh dalam beroperasi seperti memberikan pinjaman-pinjaman
dengan skala mikro untuk masyarakat yang membutuhkan. Masyarakat yang
ingin meminjam dana dari Lembaga Keuangan Mikro harus melewati
prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan oleh Lembaga Keuangan Mikro
tersebut agar dapat menghindari penyelewengan dana yang kemungkinan
dapat terjadi. Untuk itu dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan dari
Lembaga Keuangan Mikro dalam menjalankan kegiatannya tersebut.
4. Milieu (Lingkungan)
Milieu atau lingkungan juga berpengaruh pada proses kinerja pengawasan.
Pada konteks pengawasan Lembaga Keuangan Mikro ini, lingkungan yang
dimaksud adalah daerah-daerah yang menjadi lahan Lembaga Keuangan
Mikro tersebut beroperasi. Lembaga Keuangan Mikro sudah banyak terdapat
di daerah-daerah seperti Jawa Barat, Jakarta, Jawa Timur, dan lain
sebagainya.
Lingkungan yang ada dalam setiap daerah akan berbeda-beda dengan daerah
lainnya, misalnya lingkungan yang terdapat di Jakarta akan berbeda dengan
lingkungan di Jawa Barat. Contoh dari lingkungan yang dimaksud dapat
mengacu pada kebersihan daerah tersebut dalam menjalankan usaha mikro
mereka. Lingkungan yang bersih akan menjadi lingkungan yang sehat dan
nyaman untuk masyarakat yang sedang menjalankan usahanya maupun untuk
para pengawas yang mengawasi kegiatan Lembaga Keuangan Mikro tersebut.
62
Kegiatan masyarakat yang menjalankan usahanya maupun pengawas yang
melakukan pengawasan pun tidak terganggu sehingga dapat berjalan lancar.
5. Management (Pengelolaan)
Pengelolaan juga merupakan faktor yang berpengaruh pada pengawasan.
Yang dimaksud dari pengelolaan dalam konteks ini adalah pengelolaan yang
dilakukan oleh Lembaga Keuangan Mikro tersebut dalam mengelola dana
yang diberikan kepada masyarakat yang meminjam dana pinjaman tersebut.
Lembaga Keuangan Mikro harus dapat mengelola dana yang diberi kepada
masyarakat yang meminjam agar dana yang dipinja tersebut dapat digunakan
oleh masyarakat untuk mengembangkan usaha mikro yang mereka jalankan.
Pengelolaan yang benar dapat menghindari penyelewengan dana yang
mungkin terjadi diantara masyarakat yang meminjam dana tersebut.
Masyarakat harus dapat menggunakan dana pinjaman tersebut agar mereka
pun dapat hidup sejahtera dan memperbaiki keadaan ekonomi mereka.
D. Analisa
Mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan
yang melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan
urusan koperasi dan Kementerian Dalam Negeri. Tetapi dalam hal pembinaan
dan pengawasan tersebut Otoritas Jasa Keuangan tidak bekerja sendiri
melainkan mendelegasikan wewenangnya kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota agar menjalankan wewenangnya tersebut dan tetap dalam
63
pengawasan
Otoritas
Jasa
Keuangan.
Apabila
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota yang ditunjuk belum siap, maka OJK akan mendelegasikan
pembinaan dan pengawasannya kepada pihak lain yang ditunjuk.
Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan memiliki
sinergi yang dapat dilihat dari pasal-pasal terkait pengawasan tersebut. Uraian
mengenai pasal-pasal pengawsan tersebut yang diuraikan diatas menunjukkan
bahwa pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang LKM berkaitan atau
saling dukung dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang OJK.
Dengan adanya sinergi antara
pengawasan Lembaga Keuangan Mikro
menurut Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang
Ototritas Jasa Keuangan maka mekanisme pengawasan tersebut diharapkan
dapat berjalan sesuai rencana yang sudah ditetapkan agar tercapainya tujuan
dari Lembaga Keuangan Mikro tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengawasan Lembaga Keuangan
Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan ada 5 (lima) faktor yaitu Man(Manusia),
Mean
(alat),
Material
(Objek),
Milieu
(lingkungan),
Management
(pengelolaan). Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi berjalannya
pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Mikro, karena faktor-faktor
tersebut lah yang akan berpengaruh pada tercapainya tujuan dari Lembaga
Keuangan Mikro tersebut.
64
Adapun ayat Al-Quran yang berkaitan dengan pengawasan yaitu surah
Al-Infithar ayat 11-12 bahwa apapun yang kita lakukan di dunia diawasi dan
dicatat oleh malaikat-malaikat yang diutus oleh Allah SWT. Untuk itu dalam
melakukan pengawasan, kita harus bersungguh-sungguh sesuai dengan aturan
yang sudah ditetapkan tanpa adanya penyelewengan yang membawa dampak
negatif pada hasil pekerjaan kita maupun yang merugikan orang lain.
Artinya: Padahal Sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat)
yang mengawasi (pekerjaanmu) (10); Yang mulia (di sisi Allah) dan
mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), (11); Mereka mengetahui apa
yang kamu kerjakan (Q.S. al-Infithar: 10-12)
Beberapa hadits Rasulullah Saw juga menganjurkan perlunya
melaksanakan pengawasan atau evaluasi dalam setiap pekerjaan. Ajaran Islam
sangat memperhatikan adanya bentuk pengawasan terhadap diri terlebih
dahulu sebelum melakukan pengawasan terhadap orang lain. Hal ini antara
lain berdasarkan hadits Rasulullah Saw sebagai berikut:
Artinya: “Periksalah dirimu sebelum memeriksa orang lain. Lihatlah
terlebih dahulu atas kerjamu sebelum melihat kerja orang lain.” (HR. Abi
Syaibah: 34459).
16
Abi Syaibah, al-Kitâb Mushonnaf fi al-Ahâdîts wa al-Atsâr, (Riyad: Maktabah al-Rusyd,
1409 H), Juz7. h.96.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan
yang melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan
urusan koperasi dan Kementerian Dalam Negeri. Tetapi dalam hal pembinaan
dan pengawasan tersebut Otoritas Jasa Keuangan tidak bekerja sendiri
melainkan mendelegasikan wewenangnya kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota agar menjalankan wewenangnya tersebut dan tetap dalam
pengawasan
Otoritas
Jasa
Keuangan.
Apabila
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota yang ditunjuk belum siap, maka OJK akan mendelegasikan
pembinaan dan pengawasannya kepada pihak lain yang ditunjuk.
2. Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan memiliki sinergi yang
dapat dilihat dari pasal-pasal terkait pengawasan tersebut. Uraian mengenai
pasal-pasal pengawsan tersebut yang diuraikan diatas menunjukkan bahwa
pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang LKM berkaitan atau saling
dukung dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang OJK.
Dengan adanya sinergi antara
pengawasan Lembaga Keuangan Mikro
65
66
menurut Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang
Ototritas Jasa Keuangan maka mekanisme pengawasan tersebut diharapkan
dapat berjalan sesuai rencana yang sudah ditetapkan agar tercapainya tujuan
dari Lembaga Keuangan Mikro tersebut.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengawasan Lembaga Keuangan Mikro
oleh Otoritas Jasa Keuangan ada 5 (lima) faktor yaitu Man (Manusia), Mean
(alat), Material (Objek), Milieu (lingkungan), Management (pengelolaan).
Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi berjalannya pengawasan
terhadap Lembaga Keuangan Mikro, karena faktor-faktor tersebut lah yang
akan berpengaruh pada tercapainya tujuan dari Lembaga Keuangan Mikro
tersebut.
B. Saran-saran
1. Otoritas Jasa Keuangan dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai
pengawas dari Lembaga Keuangan Mikro harus profesional dalam
menjalankan pengawasan tersebut.
2. Otoritas Jasa Keuangan dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai
pengawas dari Lembaga Keuangan Mikro harus jujur dalam menjalankan
pengawasan tersebut tanpa ada tekanan dan pengaruh dari pihak lain yang
dapat membawa dampak negatif.
3. Lembaga Keuangan Mikro sebelum memberikan dana pinjaman kepad
masyarakat yang ingin meminjam, harus terjun langsung ke lapangan untuk
67
melihat keberadaan usaha mikro yang sedang dijalankan oleh calon peminjam
dana tersebut.
4. Lembaga Keuangan Mikro dalam memberikan pinjaman kepada masyarakat
yang ingin meminjam dana tersebut haruslah di edukasi terlebih dahulu agar
dana yang dipinjamkan tidak disalahgunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
A.N Semito,Manajemen Personalia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984
Afika Yumya Syahmi, Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap
Kewenangan Bank Indonesia Di Bidang Pengawasan Perbankan, Depok:
Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2008
Ashari,Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Dalam Pembangunan Ekonomi
Pedesaan Dan Kebijakan Pengembangannya,Bogor: Pusat Analisis Sosial Dan
Kebijakan Pertanian,Volume 4 No.2, Juni 2006
Bayu Swastha,Azas-Azas Marketing, Yogyakarta: Liberty, 1996
C.S.T.Kansil, Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia Hukum
Administrasi Daerah, Cet-III,Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 2004
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta:
Djambatan, 1996
Hamud M. Balfas,Hukum Pasar Modal Indonesia,Jakarta: PT.Tatanusa, 2012
Ibrahim, Johnny,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,Cet-II,Malang :
Bayumedia Publishing, 2006
John Salindeho, Tata Laksana Dalam Manajemen,Jakarta: Sinar Grafika, 1998
Kadarman, A.M dan Udaya, Jusuf,Pengantar Ilmu Manajemen,Jakarta: PT
Prenhallindo, 2001
Kansil, C.S.T.danChristine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia Hukum
Administrasi Daerah,Cet-III (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 2
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cet-VI, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002), hal 331
Komaruddin,Ensiklopedia Manajemen, Jakarta: Bumi Aksara, 1994
M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen,Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995
68
69
M. Situmorang, Viktor dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat dalam
Lingkungan Aparatur Pemerintah,Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994
Maesaroh,Siti,Efektifitas
Linkage
Program
Bank
SyariahMandiriDalamPenguatanPembiayaanLembagaKeuanganMikro,Skripsi
S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2008.
Manurung, Mandala dan Prathama Rahardja, Uang, Perbankan, dan Ekonomi
Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia), Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI,
2004
Maringan Masry Simbolon,Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2004
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. cet.VI.Jakarta : kencana, 2010.
Mulyadi,Auditing, Jakarta: Salemba Empat, 1998
Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, cet.VI, Jakarta: kencana, 2010
Prayudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981
Sarwoto,Dasar-dasar Organisasi Dan Manajemen, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981
Saiful Anwar,Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Glora Madani
Press,2004
Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004
SitiMaesaroh,
Efektifitas
Linkage
Program
Bank
SyariahMandiriDalamPenguatanPembiayaanLembagaKeuanganMikro,Skripsi
S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2008
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, Jakarta : Universitas
Indonesia Press, 1986.
Soekanto, Soerdjono dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di
Dalam Penelitian Hukum, Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia,
1979.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1986
70
Soerdjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di
Dalam Penelitian Hukum,Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia,
1979
Sofyan Harahap,Sistem Pengawasan Manajemen, Jakarta: Quantum, 2001
Sujanto, Beberapa Pengertian Di Bidang Pengawasan, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986
Supramono, Gatot, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta:
Djambatan, 1996.
Sutanto Hadinoto, Joko Retnadi,Kredit Mikro, Kunci Sukses Kredit Mikro, Jakarta:
PT Gramedia,2005
Syahmi, Afika Yumya, Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap
Kewenangan Bank Indonesia Di Bidang Pengawasan Perbankan, Skripsi S1
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2008.
Totok Budisantoso dan Triandaru Sigit, Bank Dan Lembaga Keuangan Lain,
Jakarta:Salemba Empat, 2006
Ulbert, Silalahi,Studi Tentang Ilmu Administrasi Konsep, Teori, dan Dimensi,
Bandung : Sinar Baru, 2002
Winardi, Kepemimpinan Dalam Manajemen,Jakarta:Rineka Cipta, 2000
Undang-Undang:
Undang-UndangNomor 21 Tahun 2011tentangOtoritasJasaKeuangan, LN No. 111
Tahun 2011, TLN No.5253
Undang-UndangNomor 1 Tahun 2013 tentangLembagaKeuanganMikro, LN No. 12
Tahun 2013, TLN No. 5394
Undang-UndangNo 10 Tahun 1998 TentangPerubahanAtasUndang-UndangNomor 7
Tahun 1992 tentangPerbankan, LN No. 182 Tahun 1998, TLN No.3790.
Internet:
71
koran-indonesia.com diakses pada tanggal 26 Oktober 2013
Rudjito, “Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Otonomi Daerah Guna
menggerakkan Ekonomi Rakyat dan Mennaggulangi Kemiskinan: Studi Kasus:
Bank
Rakyat
Indonesia
(BRI)”,
artikel
ini
diaksesdariwww.indonesiaindonesia.comdiaksespada tanggal 02 Februari 2013
UU LKM Disahkan, OJK JadipengaturdanPengawas. Dikasespada 26 Februari 2013
darihttp://bisnismanajemen.co.id/2012/12/uu-lkm-disahkan-ojk-jadi-pengaturdan-pengawas/
www.bisnis-jabar.com diakses pada tanggal 26 Oktober 2013
www.sjdih.depkeu.go.id diakses pada tanggal 26 Oktober 2013
agus-krisdianto.weebly.com diakses pada tanggal 25 Januari 2014
shvoong.com/social-sciences/education diakses pada tanggal 25 Januari 2014
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2011
TENTANG
OTORITAS JASA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: a.
bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang
mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil,
diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan
akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan
yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang
memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan
pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel;
Mengingat
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk UndangUndang tentang Otoritas Jasa Keuangan;
: 1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank ...
-2-
Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK,
adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini.
2.
Dewan Komisioner adalah pimpinan tertinggi OJK yang
bersifat kolektif dan kolegial.
3.
Kepala Eksekutif adalah anggota Dewan Komisioner yang
bertugas memimpin pelaksanaan pengawasan kegiatan
jasa keuangan dan melaporkan pelaksanaan tugasnya
kepada Dewan Komisioner.
4. Lembaga ...
-3-
4.
Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang
melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar
Modal,
Perasuransian,
Dana
Pensiun,
Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
5.
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut
tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,
serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya secara konvensional dan syariah sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan
dan undang-undang mengenai perbankan syariah.
6.
Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan
Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan
Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya,
serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai
pasar modal.
7.
Perasuransian adalah usaha perasuransian yang
bergerak di sektor usaha asuransi, yaitu usaha jasa
keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat
melalui pengumpulan premi asuransi memberikan
perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa
asuransi terhadap timbulnya kerugian karena suatu
peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau
meninggalnya seseorang, usaha reasuransi, dan usaha
penunjang usaha asuransi yang menyelenggarakan jasa
keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa
aktuaria, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai usaha perasuransian.
8.
Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan
menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai
dana pensiun.
9.
Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang
melakukan
kegiatan
pembiayaan
dalam
bentuk
penyediaan dana atau barang modal sebagaimana
dimaksud
dalam
peraturan
perundang-undangan
mengenai lembaga pembiayaan.
10. Lembaga ...
-4-
10. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah pergadaian,
lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor
Indonesia,
perusahaan
pembiayaan
sekunder
perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan
pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib,
meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun,
dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan mengenai pergadaian,
penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia,
perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan
pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta
lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh
OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan.
11. Peraturan OJK adalah peraturan tertulis yang ditetapkan
oleh Dewan Komisioner, mengikat secara umum, dan
diundangkan
dalam
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia.
12. Peraturan Dewan Komisioner adalah peraturan tertulis
yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner dan mengikat di
lingkungan internal OJK.
13. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
14. Lembaga Penjamin Simpanan adalah Lembaga Penjamin
Simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai lembaga penjamin simpanan.
15. Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan
dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang
tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah
pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis
pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun,
berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan.
16. Pemerintah adalah pemerintah Republik Indonesia.
17. Gubernur Bank Indonesia adalah pemimpin merangkap
anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia.
18. Menteri ...
-5-
18. Menteri
Keuangan
adalah
menteri
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
keuangan.
yang
bidang
19. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan
adalah pemimpin merangkap anggota Dewan Komisioner
Lembaga Penjamin Simpanan.
20. Ex-officio adalah jabatan seseorang pada lembaga tertentu
karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain.
21. Komite Etik adalah organ pendukung Dewan Komisioner
yang bertugas mengawasi kepatuhan Dewan Komisioner,
pejabat dan pegawai OJK terhadap kode etik.
22. Dewan Audit adalah organ pendukung Dewan Komisioner
yang bertugas melakukan evaluasi atas pelaksanaan
tugas OJK serta menyusun standar audit dan manajemen
risiko OJK.
23. Panitia Seleksi adalah panitia yang dibentuk oleh
Presiden yang bertugas untuk memilih dan menetapkan
calon anggota Dewan Komisioner untuk disampaikan
kepada Presiden.
24. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
25. Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan adalah
forum koordinasi yang dibentuk untuk menjaga stabilitas
sistem keuangan yang anggotanya terdiri atas Menteri
Keuangan selaku koordinator merangkap anggota,
Gubernur Bank Indonesia selaku anggota, Ketua Dewan
Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota,
dan Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota.
BAB II
PEMBENTUKAN, STATUS, DAN TEMPAT KEDUDUKAN
Pasal 2
(1)
Dengan Undang-Undang ini dibentuk OJK.
(2) OJK ...
-6-
(2) OJK
adalah
lembaga
yang
independen
dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari
campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang
secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 3
(1) OJK berkedudukan di ibu kota Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(2) OJK dapat mempunyai kantor di dalam dan di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
dibentuk sesuai dengan kebutuhan.
BAB III
TUJUAN, FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG
Pasal 4
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di
dalam sektor jasa keuangan:
a.
b.
c.
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan
akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh
secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu
melindungi
kepentingan
Konsumen
dan
masyarakat.
Pasal 5
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan
di dalam sektor jasa keuangan.
Pasal 6 ...
-7-
Pasal 6
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan
terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya.
Pasal 7
Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di
sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf a, OJK mempunyai wewenang:
a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan
bank yang meliputi:
1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor
bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan,
kepengurusan dan sumber daya manusia, merger,
konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin
usaha bank; dan
2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana,
penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di
bidang jasa;
b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank
yang meliputi:
1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset,
rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum
pemberian
kredit,
rasio
pinjaman
terhadap
simpanan, dan pencadangan bank;
2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan
kinerja bank;
3. sistem informasi debitur;
4. pengujian kredit (credit testing); dan
5. standar akuntansi bank;
c. pengaturan ...
-8-
c.
d.
pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehatihatian bank, meliputi:
1. manajemen risiko;
2. tata kelola bank;
3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang;
dan
4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan
perbankan; dan
pemeriksaan bank.
Pasal 8
Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan;
menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor
jasa keuangan;
menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas
OJK;
menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan
perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan
pihak tertentu;
menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan
pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta
mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan
dan kewajiban; dan
menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan.
Pasal 9 ...
-9-
Pasal 9
Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a.
menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap
kegiatan jasa keuangan;
b.
mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan
dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
c.
melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan,
perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap
Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang
kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d.
memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa
Keuangan dan/atau pihak tertentu;
e.
melakukan penunjukan pengelola statuter;
f.
menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g.
menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang
melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan; dan
h.
memberikan dan/atau mencabut:
yang
1. izin usaha;
2. izin orang perseorangan;
3. efektifnya pernyataan pendaftaran;
4. surat tanda terdaftar;
5. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6. pengesahan;
7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8. penetapan lain,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan.
BAB IV ...
- 10 -
BAB IV
DEWAN KOMISIONER
Bagian Kesatu
Struktur Dewan Komisioner
Pasal 10
(1) OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner.
(2) Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersifat kolektif dan kolegial.
(3) Dewan Komisioner beranggotakan 9 (sembilan) orang
anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(4) Susunan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) terdiri atas:
a. seorang Ketua merangkap anggota;
b. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik
merangkap anggota;
c. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan
merangkap anggota;
d. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal
merangkap anggota;
e. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian,
Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga
Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;
seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
f.
g. seorang anggota yang membidangi edukasi dan
perlindungan Konsumen;
h. seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang
merupakan
anggota
Dewan
Gubernur
Bank
Indonesia; dan
i.
seorang
anggota
Ex-officio
dari
Kementerian
Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I
Kementerian Keuangan.
(5) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) memiliki hak suara yang sama.
Bagian ...
- 11 -
Bagian Kedua
Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 11
(1) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf g
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan calon
anggota yang diusulkan oleh Presiden.
(2) Pemilihan dan penentuan calon anggota Dewan
Komisioner
untuk
diusulkan
kepada
Presiden
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Panitia Seleksi yang dibentuk dengan Keputusan
Presiden:
a.
paling singkat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya
masa jabatan anggota Dewan Komisioner; atau
b. paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal kekosongan
jabatan atau penetapan pemberhentian anggota
Dewan Komisioner karena alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i,
dan/atau huruf j.
(3) Panitia Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
beranggotakan 9 (sembilan) orang yang terdiri atas unsur
Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat.
(4) Panitia Seleksi mengumumkan penerimaan calon anggota
Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada masyarakat paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
ditetapkannya Panitia Seleksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(5) Pendaftaran calon dilakukan dalam waktu 12 (dua belas)
hari kerja secara terus menerus.
(6) Panitia Seleksi melakukan seleksi administratif terhadap
calon anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud
pada ayat (5).
(7) Panitia ...
- 12 -
(7) Panitia Seleksi mengumumkan nama calon yang telah
lulus seleksi administratif untuk mendapatkan masukan
dari masyarakat paling lama 5 (lima) hari kerja sejak
berakhirnya waktu pendaftaran calon sebagaimana
dimaksud pada ayat (5).
(8) Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
disampaikan kepada Panitia Seleksi dalam waktu 12 (dua
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diumumkan.
(9) Panitia Seleksi melakukan penilaian dan pemilihan serta
menyampaikan calon anggota Dewan Komisioner kepada
Presiden sebanyak 3 (tiga) orang calon untuk setiap
anggota Dewan Komisioner yang dibutuhkan, paling lama
12 (dua belas) hari kerja terhitung sejak berakhirnya
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
Pasal 12
(1) Presiden memilih dan menyampaikan calon anggota
Dewan Komisioner sebanyak 2 (dua) orang calon untuk
setiap anggota Dewan Komisioner yang dibutuhkan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat, paling lama 12 (dua
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
nama calon anggota Dewan Komisioner dari Panitia
Seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (9).
(2) Dari calon anggota Dewan Komisioner sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Presiden mengajukan sebanyak
2 (dua) orang calon anggota Dewan Komisioner untuk
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Ketua
Dewan Komisioner.
(3) Calon anggota Dewan Komisioner yang tidak terpilih
menjadi Ketua Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diikutsertakan untuk dipilih sebagai
anggota Dewan Komisioner oleh Dewan Perwakilan
Rakyat.
(4) Dewan ...
- 13 -
(4) Dewan Perwakilan Rakyat memilih calon anggota Dewan
Komisioner sesuai dengan jumlah anggota Dewan
Komisioner
yang
dibutuhkan,
paling
lama
45
(empat puluh lima) hari kerja sejak diterimanya namanama calon anggota Dewan Komisioner dari Presiden
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Calon anggota Dewan Komisioner terpilih disampaikan
Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden paling lama 5
(lima) hari kerja sejak selesainya proses pemilihan calon
anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada
ayat (4).
(6) Presiden mengangkat dan menetapkan calon terpilih
sebagai anggota Dewan Komisioner paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
nama calon anggota Dewan Komisioner terpilih dari
Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 13
(1) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (4) huruf h diangkat dan ditetapkan
Presiden berdasarkan usulan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (4) huruf i diangkat dan ditetapkan
Presiden berdasarkan usulan Menteri Keuangan.
Pasal 14
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Dewan Komisioner
diangkat dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Pembagian tugas di antara anggota Dewan Komisioner
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf b
sampai dengan huruf g diputuskan berdasarkan rapat
Dewan Komisioner dan ditetapkan dengan Keputusan
Dewan Komisioner.
(3) Anggota ...
- 14 -
(3) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud Pasal
10 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf g diangkat
untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 15
Syarat calon anggota Dewan Komisioner sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf a sampai dengan
huruf g adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
warga negara Indonesia;
memiliki akhlak, moral, dan integritas yang baik;
cakap melakukan perbuatan hukum;
tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi
pengurus perusahaan yang menyebabkan perusahaan
tersebut pailit;
e. sehat jasmani;
f. berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada
saat ditetapkan;
g. mempunyai pengalaman atau keahlian di sektor jasa
keuangan; dan
h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih.
Pasal 16
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Dewan Komisioner
sebelum memangku jabatannya wajib mengucapkan
sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya
di hadapan Mahkamah Agung.
(2) Bunyi ...
- 15 -
(2) Bunyi lafal sumpah atau janji sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk menjadi
Ketua/Wakil Ketua/anggota Dewan Komisioner OJK
langsung atau tidak langsung dengan nama dan dalih
apapun tidak memberikan atau menjanjikan untuk
memberikan sesuatu kepada siapapun”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, dalam melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak
akan menerima langsung atau tidak langsung dari
siapapun sesuatu janji atau pemberian dalam bentuk
apapun”.
“Saya
bersumpah/berjanji
bahwa
saya
akan
melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Ketua/Wakil
Ketua/anggota Dewan Komisioner OJK dengan sebaikbaiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
yang
berkenaan dengan tugas dan kewajiban tersebut”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.
Pasal 17
(1) Anggota Dewan Komisioner tidak dapat diberhentikan
sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali apabila
memenuhi alasan sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
meninggal dunia;
mengundurkan diri;
masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih
kembali;
berhalangan
tetap
sehingga
tidak
dapat
melaksanakan tugas atau diperkirakan secara medis
tidak dapat melaksanakan tugas lebih dari 6 (enam)
bulan berturut-turut;
e. tidak ...
- 16 -
e.
f.
g.
h.
i.
j.
tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota Dewan
Komisioner lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
tidak lagi menjadi anggota Dewan Gubernur Bank
Indonesia bagi anggota Ex-officio Dewan Komisioner
yang berasal dari Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf h;
tidak lagi menjadi pejabat setingkat eselon I pada
Kementerian Keuangan bagi anggota Ex-officio
Dewan Komisioner yang berasal dari Kementerian
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (4) huruf i;
memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua
dan/atau
semenda
dengan
anggota
Dewan
Komisioner lain dan tidak ada satu pun yang
mengundurkan diri dari jabatannya;
melanggar kode etik; atau
tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 dan melanggar larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diusulkan oleh Dewan Komisioner kepada Presiden
untuk mendapatkan penetapan.
Bagian Ketiga
Penggantian Antarwaktu
Pasal 18
(1) Dalam hal anggota Dewan Komisioner sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf a sampai
dengan
huruf
g,
diberhentikan
karena
alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h,
huruf i, dan/atau huruf j, dilaksanakan penggantian
anggota Dewan Komisioner antarwaktu sesuai dengan
tata cara pemilihan anggota Dewan Komisioner
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Anggota ...
- 17 -
(2) Anggota Dewan Komisioner pengganti diangkat untuk
menggantikan jabatan anggota Dewan Komisioner yang
diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
melanjutkan sisa masa jabatan anggota Dewan
Komisioner yang digantikan.
(3) Penggantian anggota Dewan Komisioner sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan apabila sisa
masa jabatan anggota Dewan Komisioner yang
diberhentikan kurang dari 1 (satu) tahun.
Pasal 19
(1) Dalam hal Ketua Dewan Komisioner diberhentikan
karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1), Wakil Ketua Dewan Komisioner bertindak
sebagai pejabat sementara untuk melaksanakan tugas
dan wewenang Ketua Dewan Komisioner sampai dengan
ditetapkannya Ketua Dewan Komisioner yang baru.
(2) Dalam hal Wakil Ketua Dewan Komisioner diberhentikan
karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1), Ketua Dewan Komisioner bertindak sebagai
pejabat sementara untuk melaksanakan tugas dan
wewenang Wakil Ketua Dewan Komisioner sampai
dengan ditetapkannya Wakil Ketua Dewan Komisioner
yang baru.
(3) Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Dewan Komisioner
diberhentikan karena alasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1), berdasarkan kesepakatan
Dewan Komisioner, salah satu anggota Dewan
Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(4) huruf c sampai dengan huruf g bertindak sebagai
pejabat sementara untuk melaksanakan tugas dan
wewenang Ketua dan/atau Wakil Ketua Dewan
Komisioner sampai dengan ditetapkannya Ketua
dan/atau Wakil Ketua Dewan Komisioner yang baru.
(4) Dalam ...
- 18 -
(4)
Dalam hal anggota Dewan Komisioner sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf c sampai
dengan
huruf
g
diberhentikan
karena
alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1),
berdasarkan kesepakatan Dewan Komisioner, salah satu
anggota Dewan Komisioner, kecuali anggota Dewan
Komisioner Ex-officio sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (4) huruf h dan huruf i, bertindak sebagai
pejabat sementara untuk melaksanakan tugas dan
wewenang anggota Dewan Komisioner tersebut sampai
dengan ditetapkannya anggota Dewan Komisioner yang
baru.
Bagian Keempat
Tugas dan Wewenang
Pasal 20
Tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dilaksanakan oleh Dewan Komisioner.
Pasal 21
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, Dewan Komisioner menetapkan Peraturan
OJK, Peraturan Dewan Komisioner, dan/atau Keputusan
Dewan Komisioner.
Bagian Kelima
Larangan
Pasal 22
Anggota Dewan Komisioner dilarang:
a.
memiliki benturan kepentingan
Keuangan yang diawasi oleh OJK;
di
Lembaga
Jasa
b. menjadi ...
- 19 -
b.
c.
d.
menjadi pengurus dari organisasi pelaku atau profesi di
Lembaga Jasa Keuangan;
menjadi pengurus partai politik; dan
menduduki jabatan pada lembaga lain, kecuali dalam
rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK
dan/atau penugasan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 23
(1)
Antaranggota Dewan Komisioner dilarang mempunyai
hubungan keluarga sampai derajat kedua dan semenda.
(2)
Jika antaranggota Dewan Komisioner terbukti memiliki
hubungan keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
salah
seorang
di
antara
mereka
wajib
mengundurkan diri dari jabatannya dalam waktu 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak terbukti mempunyai
hubungan keluarga.
(3)
Dalam hal tidak ada satu pun anggota Dewan
Komisioner yang mengundurkan diri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), semua anggota Dewan
Komisioner yang mempunyai hubungan keluarga
tersebut diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden.
Bagian Keenam
Rapat dan Pengambilan Keputusan
Pasal 24
(1)
Dewan
Komisioner
melaksanakan
rapat
Dewan
Komisioner secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 2 (dua) minggu atau sewaktu-waktu berdasarkan
permintaan salah satu anggota Dewan Komisioner.
(2)
Ketua Dewan
Komisioner.
Komisioner
memimpin
rapat
Dewan
(3) Dalam ...
- 20 -
(3)
Dalam hal Ketua Dewan Komisioner berhalangan, Wakil
Ketua Dewan Komisioner memimpin rapat Dewan
Komisioner.
(4)
Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Dewan Komisioner
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
berhalangan, berdasarkan kesepakatan anggota Dewan
Komisioner, salah satu anggota Dewan Komisioner
ditunjuk untuk memimpin rapat Dewan Komisioner.
(5)
Rapat Dewan Komisioner dinyatakan sah apabila
dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) dari jumlah anggota
Dewan Komisioner.
(6)
Pengambilan keputusan Dewan Komisioner dilakukan
berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
(7)
Dalam hal musyawarah untuk mencapai mufakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak tercapai,
keputusan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak.
(8)
Setiap rapat Dewan Komisioner dibuat risalah rapat
yang ditandatangani oleh semua anggota Dewan
Komisioner yang hadir.
(9)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
penyelenggaraan rapat Dewan Komisioner diatur dengan
Peraturan Dewan Komisioner.
Bagian Ketujuh
Lain-lain
Pasal 25
(1)
Dewan Komisioner mewakili OJK di dalam dan di luar
pengadilan.
(2)
Dewan Komisioner dapat menyerahkan kewenangan
mewakili sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
satu atau lebih anggota Dewan Komisioner, dan/atau
kepada pejabat OJK atau pihak lain untuk mewakili
OJK yang khusus dikuasakan untuk itu.
(3) Ketentuan ...
- 21 -
(3)
Ketentuan mengenai tata cara penugasan dan
pemberian kuasa kepada pihak lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Dewan
Komisioner.
BAB V
ORGANISASI DAN KEPEGAWAIAN
Pasal 26
(1)
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan fungsi,
tugas dan wewenang OJK, Dewan Komisioner
membentuk organisasi.
(2)
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan fungsi,
tugas dan wewenang OJK, Dewan Komisioner
membentuk
organ
pendukung
yang
mencakup
sekretariat, Dewan Audit, Komite Etik, dan organ
lainnya sesuai dengan kebutuhan.
(3)
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan fungsi,
tugas dan wewenang OJK, Dewan Komisioner dapat
mengangkat staf ahli.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata
kerja OJK diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner.
Pasal 27
(1)
Dewan Komisioner mengangkat dan memberhentikan
pejabat dan pegawai OJK.
(2)
OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kepegawaian diatur
dengan Peraturan Dewan Komisioner.
BAB VI ...
- 22 -
BAB VI
PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN MASYARAKAT
Pasal 28
Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK
berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian
Konsumen dan masyarakat, yang meliputi:
a.
memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat
atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan
produknya;
b.
meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan
kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi
merugikan masyarakat; dan
c.
tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan.
Pasal 29
OJK melakukan pelayanan pengaduan Konsumen yang
meliputi:
a.
menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan
pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di
Lembaga Jasa Keuangan;
b.
membuat mekanisme pengaduan Konsumen yang
dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan; dan
c.
memfasilitasi penyelesaian pengaduan Konsumen yang
dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan.
Pasal 30 ...
- 23 -
Pasal 30
(1)
(2)
Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK
berwenang melakukan pembelaan hukum, yang
meliputi:
a.
memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu
kepada
Lembaga
Jasa
Keuangan
untuk
menyelesaikan
pengaduan
Konsumen
yang
dirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud;
b.
mengajukan gugatan:
1.
untuk memperoleh kembali harta kekayaan
milik pihak yang dirugikan dari pihak yang
menyebabkan kerugian, baik yang berada di
bawah penguasaan pihak yang menyebabkan
kerugian dimaksud maupun di bawah
penguasaan pihak lain dengan itikad tidak
baik; dan/atau
2.
untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak
yang menyebabkan kerugian pada Konsumen
dan/atau Lembaga Jasa Keuangan sebagai
akibat dari pelanggaran atas peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Ganti kerugian sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b
angka 2 hanya digunakan untuk pembayaran ganti
kerugian kepada pihak yang dirugikan.
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan Konsumen
dan masyarakat diatur dengan Peraturan OJK.
BAB VII ...
- 24 -
BAB VII
KODE ETIK DAN KERAHASIAAN INFORMASI
Bagian Kesatu
Kode Etik
Pasal 32
(1)
Dewan Komisioner menetapkan dan menegakkan kode
etik OJK.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik sebagaimana
dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan
Komisioner.
Bagian Kedua
Kerahasiaan Informasi
Pasal 33
(1) Setiap orang perseorangan yang menjabat atau pernah
menjabat sebagai anggota Dewan Komisioner, pejabat
atau pegawai OJK dilarang menggunakan atau
mengungkapkan informasi apa pun yang bersifat
rahasia kepada pihak lain, kecuali dalam rangka
pelaksanaan
fungsi,
tugas,
dan
wewenangnya
berdasarkan keputusan OJK atau diwajibkan oleh
Undang-Undang.
(2) Setiap Orang yang bertindak untuk dan atas nama OJK,
yang dipekerjakan di OJK, atau sebagai staf ahli di OJK,
dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi
apa pun yang bersifat rahasia kepada pihak lain,
kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan
wewenangnya berdasarkan keputusan OJK atau
diwajibkan oleh Undang-Undang.
(3) Setiap ...
- 25 -
(3) Setiap Orang yang mengetahui informasi yang bersifat
rahasia, baik karena kedudukannya, profesinya, sebagai
pihak yang diawasi, maupun hubungan apa pun
dengan
OJK,
dilarang
menggunakan
atau
mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak lain,
kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan
wewenangnya berdasarkan keputusan OJK atau
diwajibkan oleh Undang-Undang.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) dapat dikenai sanksi administratif dan/atau
sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
kerahasiaan,
penggunaan, dan pengungkapan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur
dengan Peraturan Dewan Komisioner.
BAB VIII
RENCANA KERJA DAN ANGGARAN
Pasal 34
(1) Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana
kerja dan anggaran OJK.
(2) Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang
melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan
anggaran OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner.
Pasal 35
(1) Anggaran OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (2) digunakan untuk membiayai kegiatan
operasional, administratif, pengadaan aset serta
kegiatan pendukung lainnya.
(2) Anggaran ...
- 26 -
(2) Anggaran dan penggunaan anggaran untuk membiayai
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan berdasarkan standar yang wajar di sektor
jasa keuangan dan dikecualikan dari standar biaya
umum, proses pengadaan barang dan jasa, dan sistem
remunerasi sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, pengadaan barang dan
jasa Pemerintah, dan sistem remunerasi.
(3) Untuk
mendukung
kegiatan
operasional
OJK,
Pemerintah dapat melakukan penempatan dana awal ke
OJK.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar biaya, proses
pengadaan barang dan jasa, dan sistem remunerasi
diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner.
Pasal 36
Untuk penetapan anggaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), OJK terlebih dahulu meminta
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 37
(1)
OJK mengenakan pungutan kepada pihak
melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
yang
(2)
Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa
keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan
OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
penerimaan OJK.
(4)
OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan
pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara
akuntabel dan mandiri.
(5) Dalam ...
- 27 -
(5)
Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan
melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran
berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas
Negara.
(6) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pungutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PELAPORAN DAN AKUNTABILITAS
Pasal 38
(1) OJK wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri
atas laporan keuangan semesteran dan tahunan.
(2) OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas
laporan kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan.
(3) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan
penjelasan, OJK wajib menyampaikan laporan.
(4) Periode laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah tanggal 1 Januari sampai dengan 31
Desember.
(5) OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban
kepada masyarakat.
(6) Laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(7) Untuk penyusunan laporan keuangan sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1),
Dewan
Komisioner
menetapkan standar dan kebijakan akuntansi OJK.
(8) Laporan ...
- 28 -
(8) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan
atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan
Pemeriksa Keuangan.
(9) OJK wajib mengumumkan laporan tahunan OJK
kepada publik melalui media cetak dan media
elektronik.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan
laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan laporan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), serta tata cara, bentuk, dan susunan laporan yang
diumumkan kepada publik diatur dengan Peraturan
Dewan Komisioner.
BAB X
HUBUNGAN KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Koordinasi dan Kerja Sama
Pasal 39
Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan
Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di
bidang Perbankan antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
kewajiban pemenuhan modal minimum bank;
sistem informasi perbankan yang terpadu;
kebijakan penerimaan dana dari luar negeri,
penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial
luar negeri;
produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha
bank lainnya;
penentuan institusi bank yang masuk kategori
systemically important bank; dan
f. data ...
- 29 -
f.
data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang
kerahasiaan informasi.
Pasal 40
(1) Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi,
tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan
khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat
melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank
tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis terlebih dahulu kepada OJK.
(2) Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia tidak dapat
memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan
bank.
(3)
Laporan hasil pemeriksaan bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada OJK
paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya laporan
hasil pemeriksaan.
Pasal 41
(1) OJK menginformasikan kepada Lembaga Penjamin
Simpanan mengenai bank bermasalah yang sedang
dalam upaya penyehatan oleh OJK sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu
mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi
kesehatan
semakin
memburuk,
OJK
segera
menginformasikan
ke
Bank
Indonesia
untuk
melakukan
langkah-langkah
sesuai
dengan
kewenangan Bank Indonesia.
Pasal 42 ...
- 30 -
Pasal 42
Lembaga
Penjamin
Simpanan
dapat
melakukan
pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi,
tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih
dahulu dengan OJK.
Pasal 43
OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan
wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran
informasi secara terintegrasi.
Bagian Kedua
Protokol Koordinasi
Pasal 44
(1) Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dibentuk
Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dengan
anggota terdiri atas:
a.
b.
c.
d.
Menteri Keuangan selaku anggota merangkap
koordinator;
Gubernur Bank Indonesia selaku anggota;
Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota; dan
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin
Simpanan selaku anggota.
(2) Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dibantu
kesekretariatan yang dipimpin salah seorang pejabat
eselon I di Kementerian Keuangan.
(3) Pengambilan keputusan dalam rapat Forum Koordinasi
Stabilitas Sistem Keuangan berdasarkan musyawarah
untuk mufakat.
(4) Dalam ...
- 31 -
(4) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak tercapai maka
pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara
terbanyak.
Pasal 45
(1) Dalam kondisi normal, Forum Koordinasi Stabilitas
Sistem Keuangan:
a.
b.
c.
d.
wajib melakukan pemantauan dan evaluasi
stabilitas sistem keuangan;
melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam
3 (tiga) bulan;
membuat rekomendasi kepada setiap anggota
untuk melakukan tindakan dan/atau membuat
kebijakan dalam rangka memelihara stabilitas
sistem keuangan; dan
melakukan pertukaran informasi.
(2) Dalam kondisi tidak normal untuk pencegahan dan
penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur Bank
Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan/atau
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan
yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah
terjadi krisis pada sistem keuangan, masing-masing
dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas
Sistem Keuangan untuk segera dilakukan rapat guna
memutuskan
langkah-langkah
pencegahan
atau
penanganan krisis.
(3) Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua
Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner
Lembaga Penjamin Simpanan berwenang mengambil
dan melaksanakan keputusan untuk dan atas nama
institusi yang diwakilinya dalam rangka pengambilan
keputusan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem
Keuangan, dalam kondisi tidak normal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Forum ...
- 32 -
(4) Forum
Koordinasi
Stabilitas
Sistem
Keuangan
menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang
diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan
krisis
pada
sistem
keuangan
sesuai
dengan
kewenangan masing-masing.
(5)
Keputusan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem
Keuangan yang terkait dengan penyelesaian dan
penanganan suatu bank gagal yang ditengarai
berdampak sistemik mengikat Lembaga Penjamin
Simpanan.
Pasal 46
(1)
Kebijakan
Forum
Koordinasi
Stabilitas
Sistem
Keuangan yang terkait dengan keuangan negara wajib
diajukan untuk mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(2)
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat wajib ditetapkan
dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam
sejak pengajuan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Bagian Ketiga
Hubungan Internasional
Pasal 47
(1)
OJK dapat melakukan kerja sama dengan otoritas
pengawas Lembaga Jasa Keuangan di negara lain serta
organisasi internasional dan lembaga internasional
lainnya, antara lain pada bidang dan/atau kegiatan
sebagai berikut:
a. pengembangan kapasitas kelembagaan, antara lain
pelatihan sumber daya manusia di bidang
pengaturan dan pengawasan Lembaga Jasa
Keuangan;
b. pertukaran...
- 33 -
b. pertukaran informasi; dan
c. kerja sama dalam rangka pemeriksaan dan
penyidikan serta pencegahan kejahatan di sektor
keuangan.
(2)
OJK dapat menjadi anggota organisasi pengawas jasa
keuangan internasional.
(3)
Dalam hal persetujuan perjanjian internasional di
sektor jasa keuangan menyangkut masalah hukum
dan berdampak pada sistem keuangan nasional, OJK
wajib mendapatkan konfirmasi dari Dewan Perwakilan
Rakyat.
(4)
OJK dapat melakukan kerja sama dan memberikan
bantuan dalam rangka pemeriksaan dan penyidikan
yang dilakukan oleh otoritas pengawas Lembaga Jasa
Keuangan negara lain berdasarkan permintaan
tertulis.
(5)
Kerja sama dan pemberian bantuan dalam rangka
pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dapat dilakukan apabila:
a. otoritas pengawas Lembaga Jasa Keuangan negara
lain tersebut telah memiliki perjanjian kerja sama
timbal balik dengan OJK; dan
b. pelaksanaan kerja sama dan pemberian bantuan
tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan
umum.
(6)
Kerja sama dan pemberian bantuan dalam rangka
penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
dilakukan apabila:
a. otoritas pengawas Lembaga Jasa Keuangan negara
lain tersebut telah memiliki perjanjian kerja sama
timbal balik dengan OJK; dan
b. pelaksanaan kerja sama dan pemberian bantuan
tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang kerja
sama timbal balik dalam masalah pidana.
Pasal 48 ...
- 34 -
Pasal 48
Semua bentuk kerja sama internasional, termasuk di
bidang pengaturan, pengawasan, dan penyidikan, wajib
didasarkan pada prinsip timbal balik yang seimbang.
BAB XI
PENYIDIKAN
Pasal 49
(1)
Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi
pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK,
diberi
wewenang
khusus
sebagai
penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
(2)
Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (2) dapat diangkat menjadi Penyidik Pegawai
Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berwenang:
a.
b.
c.
menerima
laporan,
pemberitahuan,
atau
pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana di sektor jasa keuangan;
melakukan penelitian atas kebenaran laporan
atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana
di sektor jasa keuangan;
melakukan penelitian terhadap Setiap Orang yang
diduga melakukan atau terlibat dalam tindak
pidana di sektor jasa keuangan;
d. memanggil ...
- 35 -
d.
memanggil, memeriksa, serta meminta keterangan
dan barang bukti dari Setiap Orang yang disangka
melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak
pidana di sektor jasa keuangan;
e. melakukan
pemeriksaan
atas
pembukuan,
catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan
tindak pidana di sektor jasa keuangan;
f.
melakukan penggeledahan di setiap tempat
tertentu yang diduga terdapat setiap barang bukti
pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta
melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat
dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak
pidana di sektor jasa keuangan;
g. meminta data, dokumen, atau alat bukti lain, baik
cetak maupun elektronik kepada penyelenggara
jasa telekomunikasi;
h. dalam keadaan tertentu meminta kepada pejabat
yang berwenang untuk melakukan pencegahan
terhadap orang yang diduga telah melakukan
tindak pidana di sektor jasa keuangan sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundangundangan;
i.
meminta bantuan aparat penegak hukum lain;
j.
meminta keterangan dari bank tentang keadaan
keuangan pihak yang diduga melakukan atau
terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
k. memblokir rekening pada bank atau lembaga
keuangan lain dari pihak yang diduga melakukan
atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa
keuangan;
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan
l.
tugas penyidikan tindak pidana di sektor jasa
keuangan; dan
m. menyatakan saat dimulai dan dihentikannya
penyidikan.
Pasal 50 ...
- 36 -
Pasal 50
(1)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 menyampaikan hasil penyidikan
kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan.
(2)
Jaksa wajib menindaklanjuti dan memutuskan tindak
lanjut hasil penyidikan sesuai kewenangannya paling
lama 90 (sembilan puluh) hari sejak diterimanya hasil
penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 51
(1)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di
OJK hanya dapat ditarik dengan pemberitahuan
paling singkat 6 (enam) bulan sebelum penarikan dan
tidak sedang menangani perkara.
(2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil diharuskan bekerja sama
dengan instansi terkait.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 52
(1) Setiap orang perseorangan yang melanggar ketentuan
Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah).
(2) Apabila pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 33 ayat
(2) dan/atau ayat (3) dilakukan oleh korporasi,
dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp45.000.000.000,00 (empat puluh lima miliar rupiah)
dan/atau sebesar jumlah kerugian yang ditimbulkan
akibat pelanggaran tersebut.
Pasal 53 ...
- 37 -
Pasal 53
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak
memenuhi,
atau
menghambat
pelaksanaan
kewenangan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan/atau
Pasal 30 ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
atau pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah).
(2) Apabila pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh korporasi, dipidana dengan pidana
denda paling sedikit Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar
rupiah)
atau
paling
banyak
Rp45.000.000.000,00 (empat puluh lima miliar
rupiah).
Pasal 54
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja mengabaikan
dan/atau tidak melaksanakan perintah tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d atau
tugas untuk menggunakan pengelola statuter
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun
dan
pidana
denda
paling
sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
rupiah).
(2) Apabila pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh korporasi, korporasi dipidana
dengan
pidana
denda
paling
sedikit
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) atau
paling banyak Rp45.000.000.000,00 (empat puluh
lima miliar rupiah).
BAB XIII ...
- 38 -
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 55
(1) Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa
keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
ke OJK.
(2) Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa
keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank
Indonesia ke OJK.
Pasal 56
(1) Paling lama 8 (delapan) bulan sejak Undang-Undang
ini
diundangkan,
Presiden
mengangkat
dan
menetapkan anggota Dewan Komisioner untuk
pertama kali dengan susunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (4) sesuai dengan tata cara
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (3)
sampai dengan ayat (9), Pasal 12 ayat (1) sampai
dengan ayat (3) dan ayat (6), Pasal 13, dan Pasal 14.
(2) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diangkat untuk masa jabatan 5 (lima)
tahun.
(3) Paling lama 60 (enam puluh) hari sejak UndangUndang ini diundangkan, Presiden membentuk Panitia
Seleksi calon anggota Dewan Komisioner untuk
pertama kali dengan keanggotaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3).
(4) Dewan ...
- 39 -
(4) Dewan Perwakilan Rakyat memilih calon anggota
Dewan Komisioner sesuai dengan jumlah anggota
Dewan Komisioner yang dibutuhkan, paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak diterimanya nama-nama calon
anggota Dewan Komisioner dari Presiden.
(5) Calon anggota Dewan Komisioner terpilih disampaikan
Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden paling lama
7 (tujuh) hari sejak selesainya proses pemilihan calon
anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud
pada ayat (4).
Pasal 57
(1) Sejak Undang-Undang ini diundangkan sampai
dengan ditetapkannya anggota Dewan Komisioner
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1),
Kementerian Keuangan dibantu oleh Bank Indonesia
menyiapkan:
a.
b.
c.
d.
e.
struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi,
rancang bangun infrastruktur dan teknologi
informasi, sistem sumber daya manusia, dan
standar prosedur operasional;
rencana kerja dan anggaran untuk tahun
anggaran 2013;
pejabat dan pegawai OJK;
pejabat dan pegawai organ pendukung Dewan
Komisioner; dan
hal lain yang diperlukan dalam rangka pengalihan
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan
pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
jasa keuangan dari Bank Indonesia, Menteri
Keuangan, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan ke OJK.
(2) Kementerian
Keuangan
menyampaikan
hasil
persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Dewan Komisioner OJK untuk ditetapkan.
Pasal 58 ...
- 40 -
Pasal 58
Paling lama 7 (tujuh) bulan sejak Undang-undang ini
diundangkan, Gubernur Bank Indonesia dan Menteri
Keuangan masing-masing mengusulkan calon anggota
Dewan Komisioner Ex-officio Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud Pasal 10 ayat (4) huruf h dan Ex-officio
Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud Pasal 10
ayat (4) huruf i kepada Presiden untuk diangkat dan
ditetapkan sebagai anggota Dewan Komisioner.
Pasal 59
Sejak
diangkatnya
anggota
Dewan
Komisioner
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) sampai
dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Dewan
Komisioner bertugas:
a.
menetapkan struktur organisasi, tugas pokok dan
fungsi, rancang bangun infrastruktur dan teknologi
informasi, sistem sumber daya manusia, dan standar
prosedur operasional;
b.
menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK tahun
anggaran 2013;
c.
mengangkat pejabat dan pegawai OJK;
d.
mengangkat pejabat dan pegawai organ pendukung
Dewan Komisioner; dan
e.
menetapkan hal lain yang diperlukan dalam rangka
pengalihan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan
dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor jasa
keuangan dari Bank Indonesia, Menteri Keuangan,
dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ke OJK.
Pasal 60 ...
- 41 -
Pasal 60
(1) Paling lama 1 (satu) bulan sejak diangkatnya anggota
Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 ayat (1), Dewan Komisioner membentuk tim
transisi setelah berkoordinasi dengan Menteri
Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia
wajib mengusulkan kepada Dewan Komisioner orangorang yang menjadi anggota tim transisi paling lama
14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat
permintaan anggota tim transisi dari Dewan
Komisioner.
(3) Dewan Komisioner menetapkan anggota tim transisi
berdasarkan usulan Menteri Keuangan dan Gubernur
Bank Indonesia.
Pasal 61
(1) Tim transisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
ayat (1) bertugas membantu kelancaran pelaksanaan
tugas Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59.
(2) Dalam
melaksanakan
tugasnya,
tim
transisi
berwenang untuk mengindentifikasi dan memverifikasi
kekayaan, infrastruktur, informasi, dokumen, dan hal
lain yang terkait dengan pengaturan dan pengawasan
Lembaga Jasa Keuangan dan mempersiapkan
pengalihan penggunaannya ke OJK.
(3) Tim
transisi
wajib
melaporkan
kelancaran
pelaksanaan tugas dan wewenangnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Menteri
Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua
Dewan Komisioner OJK.
(4) Menteri ...
- 42 -
(4) Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, tim
transisi, atau pejabat dan pegawai di Kementerian
Keuangan dan Bank Indonesia yang terkait dengan
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan
pengawasan
Lembaga
Jasa
Keuangan,
wajib
membantu kelancaran pelaksanaan tugas Dewan
Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(5) Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan,
dan/atau Ketua Dewan Komisioner OJK melaporkan
perkembangan proses pengalihan fungsi, tugas, dan
wewenang
dari
Bank
Indonesia,
Kementerian
Keuangan, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan ke OJK paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 3 (tiga) bulan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 62
Paling lama 2 (dua) bulan sejak diangkatnya anggota
Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
ayat (1), Dewan Komisioner menetapkan struktur
organisasi, tugas pokok dan fungsi, standar prosedur
operasional, dan rancang bangun infrastruktur OJK.
Pasal 63
(1) Paling singkat 3 (tiga) bulan sebelum beralihnya
fungsi, tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal
55,
Ketua
Dewan
Komisioner
menyampaikan permintaan secara tertulis usulan
nama pejabat dan pegawai kepada Gubernur Bank
Indonesia dan Menteri Keuangan yang akan dialihkan
atau dipekerjakan ke OJK.
(2) Paling ...
- 43 -
(2) Paling singkat 2 (dua) bulan sebelum beralihnya
fungsi, tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55, Gubernur Bank Indonesia dan
Menteri Keuangan wajib mengusulkan nama pejabat
dan pegawai Bank Indonesia dan Kementerian
Keuangan, sesuai dengan permintaan Ketua Dewan
Komisioner, untuk dialihkan atau dipekerjakan ke
OJK.
(3) Untuk memenuhi kebutuhan OJK, selain pejabat dan
pegawai sebagaimana dimaksud ayat (2), Dewan
Komisioner melakukan rekrutmen pejabat dan
pegawai secara terbuka.
(4) Paling singkat 1 (satu) bulan sebelum beralihnya
fungsi, tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55, Dewan Komisioner menetapkan
pejabat dan pegawai yang diterima OJK.
Pasal 64
(1) Terhitung sejak beralihnya fungsi, tugas, dan
wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55:
a.
pejabat dan/atau pegawai Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan; dan
b.
pejabat dan/atau pegawai Bank Indonesia yang
melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4)
dialihkan untuk dipekerjakan pada OJK.
(2) Pejabat dan/atau pegawai yang dialihkan untuk
dipekerjakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib bekerja di OJK untuk jangka waktu paling
singkat:
a.
1 (satu) tahun bagi pejabat dan/atau pegawai
yang berasal dari Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan; dan
b. 3 (tiga) ...
- 44 -
b.
3 (tiga) tahun bagi pejabat dan/atau pegawai yang
berasal dari Bank Indonesia.
(3) Pejabat dan/atau pegawai sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib menetapkan pilihan status sebagai
pejabat dan/atau pegawai OJK atau:
a. sebagai pejabat dan/atau pegawai Kementerian
Keuangan, paling lama 3 (tiga) bulan sejak
beralihnya
fungsi,
tugas,
dan
wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, bagi
pejabat dan/atau pegawai yang berasal dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;
dan
b. sebagai pejabat dan/atau pegawai Bank Indonesia,
paling lama 2 (dua) tahun sejak beralihnya fungsi,
tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55, bagi pejabat dan/atau pegawai
yang berasal dari Bank Indonesia.
(4) Pejabat dan/atau pegawai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan pejabat dan/atau pegawai OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan hak
sesuai dengan ketentuan OJK dengan tidak
mengurangi hak pejabat dan/atau pegawai yang telah
dimiliki sebelum dan selama pengalihan.
Pasal 65
(1) Terhitung sejak beralihnya fungsi, tugas, dan
wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55:
a.
b.
kekayaan dan dokumen yang dimiliki dan/atau
digunakan
Bank
Indonesia
dalam
rangka
pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan;
dan
kekayaan negara dan dokumen yang dimiliki
dan/atau digunakan Kementerian Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan dalam rangka pelaksanaan fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan
di sektor ...
- 45 -
di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya,
dapat digunakan oleh OJK.
(2) Penggunaan kekayaan, kekayaan negara, dan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan
dengan
keputusan
bersama
atau
keputusan Menteri Keuangan, Gubernur Bank
Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner yang
ditetapkan paling singkat 1 (satu) bulan sebelum
beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55.
Pasal 66
(1) Sejak Undang-Undang ini diundangkan sampai
dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55:
a.
Bank Indonesia tetap melaksanakan fungsi, tugas,
dan wewenang pengaturan dan pengawasan
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; dan
b. Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar
Modal
dan
Lembaga
Keuangan
tetap
melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa
keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian,
Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
(2) Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
menyampaikan laporan atas pelaksanaan fungsi,
tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), kepada OJK.
(3) Pembiayaan yang terkait dengan pelaksanaan fungsi,
tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), bersumber dari:
a. Bank ...
- 46 -
a.
Bank Indonesia untuk pelaksanaan fungsi, tugas,
dan wewenang pengaturan dan pengawasan di
sektor Perbankan; dan
b.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk
pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan di sektor Pasar
Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya.
(4) Pembiayaan rencana kerja dan anggaran OJK sejak
Undang-Undang ini diundangkan sampai dengan
beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan
dan pengawasan sektor jasa keuangan ke OJK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, bersumber
dari anggaran Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Kementerian Keuangan dan/atau
Bank Indonesia.
Pasal 67
(1) Keputusan mengenai pemberian izin usaha, izin orang
perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran,
surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan
kegiatan usaha, pengesahan, dan persetujuan atau
penetapan pembubaran, dan setiap keputusan yang
telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, Kementerian
Keuangan, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga
Keuangan
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan
sebelum beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dinyatakan
tetap berlaku.
(2) Permohonan ...
- 47 -
(2) Permohonan izin usaha, izin orang perseorangan,
pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar,
persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan,
dan persetujuan atau penetapan pembubaran, serta
permohonan penetapan lainnya yang sedang dalam
proses
penyelesaian
pada
Bank
Indonesia,
Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan berdasarkan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan, sejak
beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
55,
penyelesaiannya
dilanjutkan oleh OJK.
Pasal 68
Sejak
beralihnya
fungsi,
tugas,
dan
wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, pemeriksaan
dan/atau penyidikan yang sedang dilakukan oleh Bank
Indonesia, Kementerian Keuangan dan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, penyelesaiannya
dilanjutkan oleh OJK.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 69
(1) Fungsi, tugas, dan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam:
a.
Bank
Indonesia
Pasal 8 huruf c, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26,
Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31,
Pasal 32, dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 23
Tahun
1999
tentang
Bank
Indonesia
sebagaimana ...
- 48 -
b.
c.
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang
Penetapan
Peraturan
Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, Pasal
13, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal
22, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30,
Pasal 31, Pasal 31A, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35,
Pasal 36, Pasal 37, Pasal 37A, Pasal 38, Pasal 41,
Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, Pasal 52, dan Pasal
53 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
Pasal 1 angka 15, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 17, Pasal
20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 26, Pasal 27, Pasal
28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal
33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37, Pasal 38, Pasal
40, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 46, Pasal 50, Pasal
51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 56, Pasal
57, dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21
Tahun
2008
tentang
Perbankan
Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
beralih menjadi fungsi, tugas, dan wewenang OJK
sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2).
(2) Dengan ...
- 49 -
(2) Dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2),
Lembaga Pengawas Perbankan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420)
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4963), adalah OJK.
(3) Sejak Undang-Undang ini diundangkan, fungsi, tugas,
dan wewenang Komite Koordinasi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4420) sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin
Simpanan
Menjadi
Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4963), dilaksanakan oleh Forum
Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini.
(4) Ketentuan ...
- 50 -
(4) Ketentuan mengenai protokol koordinasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46
berlaku sampai dengan diundangkannya undangundang mengenai jaring pengaman sistem keuangan.
Pasal 70
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3467) dan peraturan
pelaksanaannya;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790) dan peraturan pelaksanaannya;
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3477) dan peraturan
pelaksanaannya;
4. Undang-Undang ...
- 51 -
4.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3608) dan peraturan
pelaksanaannya;
5.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962) dan peraturan
pelaksanaannya;
6.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867)
dan peraturan pelaksanaannya; dan
7.
peraturan perundang-undangan lainnya di sektor jasa
keuangan,
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 71
Undang-Undang
diundangkan.
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
Agar ...
- 52 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan
Undang-Undang
ini
dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 111.
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Perekonomian,
SETIO SAPTO NUGROHO
SETIO SAPTO NUGROHO
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2011
TENTANG
OTORITAS JASA KEUANGAN
I.
UMUM
Dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh
dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas
dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan
kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia maka program
pembangunan ekonomi nasional harus dilaksanakan secara komprehensif
dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki
jangkauan yang luas dan menyentuh ke seluruh sektor riil dari
perekonomian masyarakat Indonesia. Program pembangunan ekonomi
nasional juga harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel yang
berpedoman pada prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Untuk mencapai tujuan tersebut, program pembangunan ekonomi
nasional perlu didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik yang
secara terus menerus melakukan reformasi terhadap setiap komponen
dalam sistem perekonomian nasional. Salah satu komponen penting dalam
sistem perekonomian nasional dimaksud adalah sistem keuangan dan
seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi
berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional.
Fungsi intermediasi yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga jasa
keuangan, dalam perkembangannya telah memberikan kontribusi yang
cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan
ekonomi nasional. Oleh karena itu, Negara senantiasa memberikan
perhatian yang serius terhadap perkembangan kegiatan sektor jasa
keuangan tersebut, dengan mengupayakan terbentuknya kerangka
peraturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi dan
komprehensif.
Terjadinya ...
-2Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya
kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah
menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling
terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun
kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang
memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan
(konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi
antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan.
Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang
meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan
konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan
semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di
sektor jasa keuangan yang terintegrasi.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali
struktur
pengorganisasian
dari
lembaga-lembaga
yang
melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan
yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana
pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi
yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam
sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas
sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan
kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi.
Selain pertimbangan-pertimbangan terdahulu, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang, juga
mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan
yang mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal
ventura dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan tersebut di atas pada hakikatnya merupakan
lembaga bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan
kedudukannya berada di luar pemerintah. Lembaga ini berkewajiban
menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Lembaga ...
-3-
Lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dalam Undang-Undang ini
disebut Otoritas Jasa Keuangan. Undang-Undang tentang Otoritas Jasa
Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata
kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan
pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Sedangkan ketentuan
mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas
kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa
keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan
tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang
menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalam undang-undang
sektoral tersendiri, yaitu Undang-Undang tentang Perbankan, Pasar Modal,
Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, dan peraturan perundang-undangan
lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan lainnya.
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan
kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara
secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan
sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan
tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa
keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional.
Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain,
meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan
kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan
aspek positif globalisasi.
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata
kelola
yang
baik,
yang
meliputi
independensi,
akuntabilitas,
pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness).
Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah,
yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari
kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya
unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa
Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi
dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal
dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsurunsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio
ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi
kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan
Ex-officio ...
-4Ex-officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan
nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional,
kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga
dan memelihara stabilitas sistem keuangan.
Untuk mewujudkan koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan
yang baik, Otoritas Jasa Keuangan harus merupakan bagian dari sistem
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik
dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya dalam
mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum
dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Independensi Otoritas Jasa Keuangan tercermin dalam kepemimpinan
Otoritas Jasa Keuangan. Secara orang perseorangan, pimpinan Otoritas
Jasa Keuangan memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat
diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam
Undang-Undang ini. Di samping itu, untuk mendapatkan pimpinan
Otoritas Jasa Keuangan yang tepat, Undang-Undang ini mengatur
mekanisme seleksi yang transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi
publik melalui suatu panitia seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas
Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan
berlandaskan asas-asas sebagai berikut:
tugas
dan
wewenangnya
1. asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan
dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;
3. asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi
kepentingan
konsumen
dan
masyarakat
serta
memajukan
kesejahteraan umum;
4. asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan
tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan
golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
5. asas ...
-55. asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan
tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
6. asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral
dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan
7. asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa
Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola dan asas-asas di atas, Otoritas
Jasa Keuangan harus memiliki struktur dengan prinsip “checks and
balances”. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas
antara fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan. Fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan dilakukan oleh Dewan
Komisioner melalui pembagian tugas yang jelas demi pencapaian tujuan
Otoritas Jasa Keuangan. Tugas anggota Dewan Komisioner meliputi bidang
tugas terkait kode etik, pengawasan internal melalui mekanisme dewan
audit, edukasi dan perlindungan konsumen, serta fungsi, tugas, dan
wewenang pengawasan untuk sektor Perbankan, Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut maka dibentuk
Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4 ...
-6Pasal 4
Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan
sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya
saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan
nasional, antara lain meliputi sumber daya manusia, pengelolaan,
pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap
mempertimbangkan aspek positif globalisasi.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “melindungi kepentingan Konsumen dan
masyarakat” termasuk perlindungan terhadap pelanggaran dan
kejahatan di sektor keuangan seperti manipulasi dan berbagai
bentuk penggelapan dalam kegiatan jasa keuangan.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan,
aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup
pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan
wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan
macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang
diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank
Indonesia.
Dalam
rangka
pengaturan
dan
pengawasan
macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan
himbauan moral (moral suasion) kepada Perbankan.
Pasal 8
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b ...
-7Huruf b
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan” adalah peraturan perundang-undangan
mengenai Lembaga Jasa Keuangan dan pihak yang melakukan
kegiatan di sektor jasa keuangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “perintah tertulis” adalah perintah
secara tertulis untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan
kegiatan tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan dan/atau
mencegah dan mengurangi kerugian Konsumen, masyarakat,
dan sektor jasa keuangan.
Perintah tertulis diberikan antara lain untuk mengganti
pengurus atau pihak tertentu di Lembaga Jasa Keuangan,
menghentikan, membatasi, atau memperbaiki kegiatan usaha
atau transaksi, menghentikan atau mengubah perjanjian antara
Lembaga Jasa Keuangan dengan pihak lain yang diduga
merugikan Konsumen, masyarakat, dan sektor jasa keuangan,
serta menyampaikan informasi, dokumen, dan/atau laporan
tertentu kepada OJK.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “pengelola statuter” adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang ditetapkan OJK untuk
melaksanakan kewenangan OJK.
Pengelola statuter melaksanakan kewenangan OJK, antara lain,
untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan, mencegah dan mengurangi kerugian
Konsumen, masyarakat, dan sektor jasa keuangan, dan/atau
pemberantasan kejahatan keuangan yang dilakukan pihak
tertentu di sektor jasa keuangan.
Langkah ...
-8Langkah yang dilakukan pengelola statuter antara lain melalui
penyelamatan kelangsungan usaha Lembaga Jasa Keuangan
tertentu, pengambilalihan seluruh wewenang dan fungsi
manajemen Lembaga Jasa Keuangan oleh pengelola statuter,
pembatalan atau pengakhiran perjanjian, serta pengalihan
portofolio kekayaan atau usaha dari Lembaga Jasa Keuangan.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengawasan Dewan Komisioner terhadap pelaksanaan tugas
Kepala
Eksekutif
ditujukan
untuk
mengevaluasi
dan
memperbaiki kinerja dari Kepala Eksekutif. Pengawasan tersebut
tidak dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada Dewan
Komisioner untuk mengintervensi atau turut campur terhadap
pelaksanaan tugas dan wewenang setiap Kepala Eksekutif.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 10 ...
-9Pasal 10
Ayat (1)
Dewan Komisioner merupakan pimpinan tertinggi OJK. Dalam
rangka pelaksanaan kerja sama dengan otoritas lembaga
pengawas lembaga jasa keuangan di negara lain serta organisasi
internasional dan lembaga internasional lainnya di sektor jasa
keuangan, anggota Dewan Komisioner bertindak sebagai pejabat
yang mewakili negara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bersifat kolektif” adalah bahwa setiap
pengambilan keputusan Dewan Komisioner diputuskan secara
bersama-sama oleh anggota Dewan Komisioner.
Yang dimaksud dengan “bersifat kolegial” adalah bahwa setiap
pengambilan keputusan Dewan Komisioner berdasarkan
musyawarah untuk mufakat dengan berasaskan kesetaraan dan
kekeluargaan di antara anggota Dewan Komisioner.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan memimpin tugas
pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor
Perbankan.
Huruf d
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal memimpin tugas
pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal.
Huruf e
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
memimpin ...
- 10 memimpin tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (5)
Setiap anggota Dewan Komisioner memiliki hak untuk
memberikan pendapat dalam setiap proses pengambilan
keputusan Dewan Komisioner, dan memiliki hak suara pada saat
keputusan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak.
Pasal 11
Ayat (1)
Dalam penyampaian calon anggota Dewan Komisioner kepada
Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden menyampaikan nama-nama
calon Dewan Komisioner.
Yang dimaksud dengan Dewan Perwakilan Rakyat adalah alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi
keuangan dan perbankan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “unsur masyarakat” adalah akademisi di
sektor jasa keuangan, masyarakat industri Perbankan, industri
Pasar Modal, dan/atau Industri Keuangan Non-Bank yang
meliputi Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan,
dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Ayat (4) ...
- 11 -
Ayat (4)
Di samping mengumumkan penerimaan calon anggota Dewan
Komisioner, Panitia Seleksi secara aktif dapat mencari caloncalon yang memenuhi persyaratan dan keterwakilan sesuai
dengan keahliannya dari sektor jasa keuangan yang diawasi
OJK.
Ayat (5)
Pendaftaran calon anggota Dewan Komisioner dilakukan dengan
memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “seleksi administratif” adalah seleksi
terhadap calon anggota Dewan Komisioner sesuai dengan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Yang dimaksud dengan “3 (tiga) orang calon untuk setiap
anggota Dewan Komisioner” adalah bahwa dalam pengajuan
calon, Panitia Seleksi menyampaikan 3 (tiga) orang calon untuk
setiap anggota Dewan Komisioner dengan kualifikasi keahlian
dan pengalaman yang proporsional dalam industri jasa
keuangan. Untuk 7 (tujuh) orang anggota Dewan Komisioner
yang dibutuhkan, Panitia Seleksi mengajukan kepada Presiden
sebanyak 21 (dua puluh satu) orang calon anggota Dewan
Komisioner.
Pasal 12
Ayat (1)
Untuk 7 (tujuh) orang anggota Dewan Komisioner yang
dibutuhkan, Presiden mengajukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat sebanyak 14 (empat belas) orang calon anggota Dewan
Komisioner.
Ayat (2) ...
- 12 Ayat (2)
Ketentuan ini hanya berlaku apabila terdapat kebutuhan untuk
mengisi jabatan Ketua Dewan Komisioner.
Ayat (3)
Ketentuan ini hanya berlaku apabila terdapat kebutuhan untuk
mengisi jabatan Ketua Dewan Komisioner dan paling sedikit 1
(satu) orang anggota Dewan Komisioner.
Ayat (4)
Dalam rangka memilih calon anggota Dewan Komisioner, Dewan
Perwakilan Rakyat dapat meminta calon anggota Dewan
Komisioner untuk melakukan presentasi dalam sidang Dewan
Perwakilan Rakyat menyangkut visi, pengalaman, keahlian atau
kemampuan, serta hal-hal yang berkaitan dengan moral dan
akhlak anggota Dewan Komisioner.
Yang dimaksud dengan “45 (empat puluh lima) hari kerja” tidak
termasuk masa reses.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “selesainya proses pemilihan calon
anggota Dewan Komisioner” adalah sejak ditetapkannya di rapat
paripurna Dewan Perwakilan Rakyat.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “memiliki akhlak, moral, dan integritas
yang baik”, antara lain tidak pernah masuk dalam daftar orang
tercela.
Huruf c ...
- 13 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Anggota Dewan Komisioner tidak terkendala oleh kondisi jasmani
yang secara permanen menyebabkan yang bersangkutan tidak
dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “mempunyai pengalaman atau keahlian
di sektor jasa keuangan” adalah seseorang yang memiliki
pengalaman, keilmuan, atau keahlian yang memadai di sektor
jasa keuangan.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengunduran diri anggota Dewan Komisioner berlaku
efektif sejak tanggal pengunduran diri tersebut disetujui
oleh Presiden.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” adalah cacat
fisik dan/atau cacat mental yang tidak memungkinkan
yang bersangkutan melaksanakan tugasnya dengan baik.
Pemberhentian ...
- 14 Pemberhentian anggota Dewan Komisioner karena cacat
fisik dan/atau cacat mental ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
Yang dimaksud dengan “diperkirakan secara medis” adalah
perkiraan secara medis yang dibuktikan dengan keterangan
tertulis dari dokter yang menerangkan bahwa anggota
Dewan Komisioner yang bersangkutan tidak dapat
melaksanakan tugas lebih dari 6 (enam) bulan berturutturut.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan" adalah tidak adanya alasan yang
kuat yang menyebabkan anggota Dewan Komisioner
diberhentikan.
Alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, antara lain,
sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang
ditunjuk Dewan Komisioner, penugasan di luar kegiatan
OJK oleh Presiden, atau kegiatan lain demi kepentingan
negara.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “semenda” adalah pertalian
kekeluargaan karena perkawinan, yaitu pertalian antara
salah seorang dari suami isteri dan keluarga sedarah dari
pihak lain.
Huruf i
Pelanggaran kode etik dalam ketentuan ini adalah
pelanggaran yang dikategorikan pelanggaran berat dan
dilaporkan oleh Dewan Komisioner kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18 ...
- 15 Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “sisa masa jabatan anggota Dewan
Komisioner yang diberhentikan kurang dari 1 (satu) tahun”
adalah sisa masa jabatan terhitung sejak tanggal penetapan
pemberhentian anggota Dewan Komisioner.
Pasal 19
Ayat (1)
Wakil Ketua yang bertindak sebagai pejabat sementara Ketua
Dewan Komisioner memiliki kewenangan sebagai Ketua dan
Wakil Ketua Dewan Komisioner, tetapi hanya memiliki 1 (satu)
hak suara.
Ayat (2)
Ketua yang bertindak sebagai pejabat sementara Wakil Ketua
Dewan Komisioner memiliki kewenangan sebagai Ketua dan
Wakil Ketua Dewan Komisioner, tetapi hanya memiliki 1 (satu)
hak suara.
Ayat (3)
Anggota Dewan Komisioner yang bertindak sebagai pejabat
sementara Ketua dan/atau Wakil Ketua Dewan Komisioner
memiliki kewenangan sebagai anggota, Ketua, dan/atau Wakil
Ketua Dewan Komisioner, tetapi hanya memiliki 1 (satu) hak
suara.
Ayat (4)
Anggota Dewan Komisioner yang bertindak sebagai pejabat
sementara dari anggota Dewan Komisioner yang kosong
sebagaimana dimaksud ayat ini, memiliki kewenangan sebagai
anggota Dewan Komisioner dan anggota Dewan Komisioner yang
dijabat sementara, tetapi hanya memiliki 1 (satu) hak suara.
Pasal 20 ...
- 16 Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dilarang memiliki benturan kepentingan
di Lembaga Jasa Keuangan yang diawasi oleh OJK” adalah pada
saat menjabat sebagai anggota Dewan Komisioner:
1)
tidak menjadi pengurus atau yang setara dengan pengurus
di Lembaga Jasa Keuangan, atau tidak lagi menjadi
pengurus dengan cara mengundurkan diri secara tertulis
sebagai pengurus;
2)
tidak menjadi pengendali dan pengelola di Lembaga Jasa
Keuangan; dan
3)
tidak lagi menjadi pengendali di Lembaga Jasa Keuangan
dengan cara melepaskan pengendalian dan pengelolaannya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan.
Huruf b
Apabila seseorang diangkat menjadi anggota Dewan Komisioner
dan yang bersangkutan merupakan pengurus salah satu
organisasi pelaku atau profesi di Lembaga Jasa Keuangan, yang
bersangkutan wajib terlebih dahulu melepaskan jabatan
kepengurusan pada organisasi pelaku atau profesi di Lembaga
Jasa Keuangan tersebut sebelum ditetapkan menjadi anggota
Dewan Komisioner.
Huruf c
Apabila seseorang diangkat menjadi anggota Dewan Komisioner
dan yang bersangkutan merupakan pengurus salah satu partai
politik, yang bersangkutan wajib terlebih dahulu melepaskan
jabatan kepengurusan pada partai politik tersebut sebelum
ditetapkan menjadi anggota Dewan Komisioner.
Huruf d ...
- 17 Huruf d
Mengingat anggota Dewan Komisioner memiliki tugas yang
sangat strategis dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa
keuangan, anggota Dewan Komisioner harus bertindak
profesional dan loyal terhadap pelaksanaan tugasnya.
Namun, berdasarkan keterkaitan tugas dan jabatannya anggota
Dewan Komisioner dapat merangkap jabatan pada lembagalembaga
tertentu,
misalnya
jabatan
pada
organisasi
internasional.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal hubungan keluarga terjadi pada 2 (dua) orang atau
lebih anggota Dewan Komisioner, hanya 1 (satu) orang yang
dapat tetap menjabat sebagai anggota Dewan Komisioner.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7) ...
- 18 Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Risalah rapat paling sedikit memuat hari dan tanggal
pelaksanaan rapat, pimpinan dan peserta rapat, agenda rapat,
dan keputusan rapat. Dalam risalah rapat tersebut, dituangkan
pendapat seluruh peserta rapat, baik yang menyatakan
persetujuan, tidak memberikan persetujuan, atau tidak
berpendapat terhadap materi yang diputuskan dalam rapat,
disertai dengan alasannya.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dewan Komisioner yang ditunjuk mewakili OJK, antara lain
dalam pelaksanaan kerja sama antarinstansi dan hubungan
internasional.
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah badan, lembaga,
institusi, atau orang, baik dari dalam maupun luar OJK.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “membentuk organisasi” termasuk
membentuk lembaga tertentu untuk antara lain mendukung
kegiatan, pengembangan dan pembinaan pegawai dan
pensiunan. Untuk tujuan ini, OJK dapat bekerja sama dengan
lembaga lain.
Ayat (2) ...
- 19 Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sekretariat” adalah organ di bawah
Dewan Komisioner yang antara lain membidangi tugas umum,
keuangan, sumber daya manusia, organisasi, serta hubungan
masyarakat dan kelembagaan.
Organ pendukung yang dibentuk oleh Dewan Komisioner
diketuai atau dikoordinasikan oleh salah seorang anggota Dewan
Komisioner berdasarkan rapat Dewan Komisioner.
Yang dimaksud dengan “organ lain” antara lain komite
remunerasi, komite manajemen risiko, serta komite teknologi
informasi dan komunikasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pejabat dan pegawai OJK” adalah
pejabat dan pegawai baik tetap maupun dipekerjakan. Pejabat
OJK merupakan pejabat struktural ataupun fungsional di
lingkungan OJK antara lain deputi komisioner, direktur, dan
pejabat di bawahnya.
Ayat (2)
Untuk mengefektifkan tugas dan wewenangnya, OJK dapat
mempekerjakan pegawai negeri dari instansi lain atau dengan
status lainnya.
Pegawai negeri yang bekerja pada OJK dapat berstatus
dipekerjakan atau status lainnya dalam rangka menunjang
kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau
tugas-tugas yang bersifat khusus. Pegawai negeri tersebut antara
lain berasal dari pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau
Pejabat Penyidik Kepolisian. Hak dan kewajiban pegawai negeri
tersebut disetarakan dengan hak dan kewajiban pegawai OJK.
Ayat (3) ...
- 20 Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kepegawaian” mencakup antara lain
pengangkatan, kepangkatan, jenjang karier, sistem remunerasi,
pemberhentian, usia pensiun, tata cara mempekerjakan pegawai
negeri, serta hak dan kewajiban lain pejabat dan pegawai OJK.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Dalam rangka penyelesaian pengaduan Konsumen, OJK dapat
melakukan antara lain verifikasi dan pemeriksaan khusus atas
pengaduan dimaksud.
Pasal 30
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “itikad tidak baik” adalah
itikad tidak baik berdasarkan penilaian OJK.
Angka 2
Pengajuan gugatan dilakukan berdasarkan penilaian
OJK bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh suatu
pihak terhadap peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan mengakibatkan kerugian
materi bagi Konsumen, masyarakat, atau sektor jasa
keuangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pihak yang dirugikan” adalah pihak
Konsumen dan/atau industri jasa keuangan karena pelanggaran
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Ganti
kerugian diberikan sesuai dengan nilai yang ditetapkan pihak
yang berwenang.
Pasal 31 ...
- 21 Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Sejalan dengan praktik tata kelola yang baik, OJK merumuskan
dan menerapkan kode etik. Kode etik antara lain memuat
ketentuan mengenai larangan untuk melakukan tindakan yang
tidak terpuji dan ketentuan umum mengenai perilaku yang
diharapkan dari anggota Dewan Komisioner, pejabat, dan
pegawai OJK. Kode etik ini dievaluasi secara berkala.
Pemberlakuan kode etik disesuaikan dengan tingkatan jabatan
dan kewenangan dari setiap anggota Dewan Komisioner, pejabat,
dan pegawai OJK.
Pelanggaran kode etik terdiri atas 3 (tiga) kategori pelanggaran,
yaitu pelanggaran ringan, pelanggaran sedang, dan pelanggaran
berat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “rahasia” adalah sesuatu yang menurut
peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Setiap Orang yang mengetahui informasi yang bersifat rahasia
karena kedudukannya misalnya, pejabat dari lembaga yang
berkoordinasi atau bekerja sama dengan OJK.
Setiap Orang yang mengetahui informasi yang bersifat rahasia
karena profesinya misalnya, auditor, penilai, notaris, atau
aktuaris di industri jasa keuangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) ...
- 22 Ayat (5)
Peraturan
Dewan
Komisioner
mengenai
kerahasiaan,
penggunaan, dan pengungkapan informasi ditetapkan dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pihak yang melakukan kegiatan di
sektor jasa keuangan” adalah Lembaga Jasa Keuangan dan/atau
orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan
kegiatan di sektor jasa keuangan.
Pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri
yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak
yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan
besaran
pungutan
tersebut
dilakukan
dengan
tetap
memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di
sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK.
Namun, pembiayaan OJK yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tetap diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan OJK pada saat pungutan dari pihak yang
melakukan kegiatan di industri jasa keuangan belum dapat
mendanai seluruh kegiatan operasional secara mandiri, antara
lain pada masa awal pembentukan OJK.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kegiatan operasional” adalah kegiatan
penyelenggaraan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK,
antara lain pengaturan, pengawasan, penegakan hukum,
edukasi dan perlindungan konsumen.
Yang ...
- 23 Yang dimaksud dengan “kegiatan administratif” antara lain
meliputi kegiatan perkantoran, remunerasi, pendidikan dan
pelatihan, pengembangan organisasi dan sumber daya manusia.
Yang dimaksud dengan “aset” adalah aset lancar dan aset
nonlancar, antara lain persediaan, gedung, peralatan dan mesin,
kendaraan, perlengkapan kantor, serta infrastruktur teknologi
informasi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “standar yang wajar pada sektor jasa
keuangan” adalah standar biaya yang lazim digunakan oleh
sektor jasa keuangan atau regulator sektor jasa keuangan
sejenis, baik domestik maupun internasional. Hal ini dilakukan
agar OJK dapat mengimbangi tuntutan dan dinamika sektor jasa
keuangan, baik secara domestik maupun internasional.
Yang dimaksud dengan “standar biaya umum” adalah standar
biaya umum yang diberlakukan terhadap Kementerian dan
Lembaga sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan yang terkait dengan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
Yang dimaksud dengan “sistem remunerasi” antara lain sistem
mengenai penghasilan, asuransi dan dana pensiun, tunjangan,
pesangon, dan imbalan prestasi.
Ayat (3)
Dana awal berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara yang jumlah dan peruntukannya berdasarkan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal ini adalah alat kelengkapan
Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan dan
perbankan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 36
Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat” adalah alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan
dan perbankan.
Pasal 37 ...
- 24 Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pungutan” antara lain pungutan untuk
biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan,
biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, serta penelitian
dan transaksi perdagangan efek.
Pungutan digunakan untuk membiayai anggaran OJK yang tidak
dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pungutan
OJK digunakan untuk membiayai kegiatan operasional,
administrasi dan pengadaan aset serta kegiatan pendukung
lainnya untuk penyesuaian biaya-biaya dimaksud terhadap
standar yang wajar di industri jasa keuangan.
Yang dimaksud dengan “pihak yang melakukan kegiatan di
sektor jasa keuangan” adalah Lembaga Jasa Keuangan dan/atau
orang perseorangan atau badan yang melakukan kegiatan di
sektor jasa keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
OJK menyiapkan rancangan Peraturan Pemerintah yang memuat
antara lain tata cara penetapan, jenis, besaran, waktu penagihan
dan pembayaran pungutan, dan sanksi denda.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan kegiatan yang disusun OJK antara lain memuat:
a. pelaksanaan ...
- 25 -
a.
pelaksanaan
sebelumnya.
tugas
dan
wewenangnya
pada
periode
b.
rencana kebijakan, penetapan sasaran dan langkah-langkah
pelaksanaan tugas dan wewenang OJK untuk periode yang
akan datang.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penjelasan” adalah penjelasan terkait
pelaksanaan tugas dan wewenang OJK.
Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat” adalah alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi
keuangan dan perbankan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Penyampaian laporan OJK kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan
Rakyat
dimaksudkan
untuk
menjelaskan
pelaksanaan kegiatan dan kinerja OJK selama tahun berjalan.
Ayat (7)
Penyusunan standar dan kebijakan akuntansi oleh OJK
dilakukan dengan memperhatikan prinsip akuntansi yang
berlaku umum.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Dalam rangka menyusun laporan keuangan yang terkait dengan
pembiayaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, Dewan Komisioner harus memperhatikan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 39 ...
- 26 -
Pasal 39
Tata cara koordinasi OJK dengan Bank Indonesia diatur bersama
antara OJK dan Bank Indonesia.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha bank lainnya” antara
lain adalah kartu kredit, kartu debit, dan internet banking.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “systemically important bank” adalah
suatu bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban,
luas jaringan, atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan
serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat
mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank-bank
lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional
maupun finansial, apabila bank tersebut mengalami gangguan
atau gagal.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah
wewenang OJK. Namun, dalam hal Bank Indonesia
melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya membutuhkan
informasi melalui kegiatan pemeriksaan bank, Bank Indonesia
dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap bank
tertentu yang masuk systemically important bank dan/atau bank
lainnya sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia di bidang
macroprudential.
Untuk ...
- 27 -
Untuk kelancaran kegiatan pemeriksaan oleh Bank Indonesia,
pemberitahuan secara tertulis dimaksud paling sedikit memuat
tujuan, ruang lingkup, jangka waktu, dan mekanisme
pemeriksaan.
Ayat (2)
Penilaian terhadap
kewenangan OJK.
tingkat
kesehatan
bank
merupakan
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “langkah-langkah sesuai kewenangan
Bank Indonesia” adalah pemberian fasilitas pembiayaan jangka
pendek dalam menjalankan fungsi Bank Indonesia sebagai lender
of last resort. Dalam menjalankan fungsi dimaksud, Bank
Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank dengan
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada OJK.
Pasal 42
Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah
wewenang OJK. Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan
melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya membutuhkan
kegiatan pemeriksaan bank, Lembaga Penjamin Simpanan dapat
melakukan pemeriksaan bank dan tetap berkoordinasi dengan OJK
terlebih dahulu.
Lingkup pemeriksaan meliputi pemeriksaan premi, posisi simpanan
bank, tingkat bunga, kredit macet dan tercatat, bank bermasalah,
kualitas aset, dan kejahatan di sektor perbankan.
Pasal 43 ...
- 28 Pasal 43
Pada prinsipnya OJK membangun, memelihara dan mengembangkan
sistem informasi sesuai dengan tugas dan kewenangnya.
Yang dimaksud dengan “terintegrasi” adalah bahwa sistem yang
dibangun oleh OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin
Simpanan saling terhubung satu sama lain, sehingga setiap institusi
dapat saling bertukar informasi dan mengakses informasi perbankan
yang dibutuhkan setiap saat (timely basis). Informasi tersebut meliputi
informasi umum dan khusus tentang bank, laporan keuangan bank,
laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia,
Lembaga Penjamin Simpanan atau oleh OJK, dan informasi lain
dengan tetap menjaga dan mempertimbangkan kerahasiaan informasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 44
Ayat (1)
Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan
Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga
Penjamin Simpanan masing-masing mewakili Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan Lembaga Penjamin
Simpanan.
Ayat (2)
Cakupan kerja, sumber daya, dan anggaran kesekretariatan
disepakati oleh setiap anggota Forum Koordinasi Stabilitas
Sistem Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Keputusan yang diambil Forum Koordinasi Stabilitas Sistem
Keuangan mengikat seluruh anggota forum.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
- 29 Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “krisis pada sistem keuangan” adalah
kondisi sistem keuangan yang sudah gagal menjalankan fungsi
dan perannya secara efektif dalam perekonomian nasional yang
ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi
dan keuangan antara lain berupa kesulitan likuiditas, masalah
solvabilitas, dan/atau penurunan kepercayaan publik terhadap
sistem keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “bank gagal” adalah bank yang
mengalami
kesulitan
keuangan
dan
membahayakan
kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi
disehatkan oleh OJK sesuai dengan kewenangan yang
dimilikinya.
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keuangan negara” adalah Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara pada saat kebijakan Forum
Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan ditetapkan dan/atau
dilaksanakan.
Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat” adalah alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi
keuangan dan perbankan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat” adalah alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi
keuangan dan perbankan.
Pengajuan persetujuan disampaikan oleh Menteri Keuangan
selaku koordinator Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat ditujukan langsung kepada
Pimpinan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang
membidangi ...
- 30 membidangi keuangan dan perbankan dengan tembusan kepada
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Surat dinyatakan diterima
setelah dibacakan dalam rapat pleno alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat dimaksud.
Pasal 47
Ayat (1)
OJK dapat bekerja sama antara lain dengan:
organisasi internasional seperti International Organization of
Securities Commissions (IOSCO), International Organization
of Pension Supervisors (IOPS), International Association of
Insurance Supervisors (IAIS), organisasi pengawas dan
pengatur perbankan internasional; dan
lembaga internasional seperti Asian Development Bank (ADB),
World Bank, Islamic Development Bank (IDB), dan Financial
Action Task Force on Money Laundering (FATF).
Ayat (2)
Pembiayaan terkait keanggotaan organisasi dibebankan dalam
anggaran OJK.
Ayat (3)
Perjanjian internasional yang berdampak pada sistem keuangan
nasional termasuk perjanjian internasional yang berdampak
pada kepentingan nasional di bidang sumber daya manusia,
pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan.
Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat” adalah alat
kelengkapan
Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi
keuangan dan perbankan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 48 ...
- 31 Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “penegak hukum lain” antara lain
kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l ...
- 32 Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “instansi terkait” antara lain kejaksaan,
kepolisian dan pengadilan.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Anggota Dewan
Presiden.
Komisioner
ditetapkan
dengan
Keputusan
Ayat (2) ...
- 33 Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “masa jabatan 5 (lima) tahun” adalah
masa jabatan anggota Dewan Komisioner selain anggota Dewan
Komisioner Ex-officio Kementerian Keuangan dan Bank
Indonesia.
Ayat (3)
Pembentukan Panitia Seleksi ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
Ayat (4)
Dalam rangka memilih calon anggota Dewan Komisioner, Dewan
Perwakilan Rakyat dapat meminta calon anggota Dewan
Komisioner untuk melakukan presentasi dalam sidang Dewan
Perwakilan Rakyat menyangkut visi, pengalaman, keahlian atau
kemampuan, serta hal-hal yang berkaitan dengan moral dan
akhlak anggota Dewan Komisioner.
Yang dimaksud dengan “30 (tiga puluh) hari” tidak termasuk
masa reses.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “selesainya proses pemilihan calon
anggota Dewan Komisioner” adalah sejak ditetapkannya di rapat
paripurna Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 57
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pejabat dan pegawai OJK” adalah
pejabat dan pegawai OJK yang dialihkan dari Bank
Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan, Kementerian Keuangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e ...
- 34 Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyampaian hasil persiapan dimaksud dilakukan segera setelah
Dewan Komisioner ditetapkan. Dewan Komisioner dapat
melakukan kajian dan penyempurnaan terhadap hasil persiapan
dimaksud.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pembiayaan rencana kerja dan anggaran OJK bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pejabat dan pegawai OJK” adalah
pejabat dan pegawai OJK yang dialihkan dari Bank Indonesia
dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan,
Kementerian Keuangan, dan dari rekrutmen secara terbuka.
Pengangkatan jabatan pegawai OJK dilakukan dengan Surat
Keputusan Dewan Komisioner.
Huruf d
Pengangkatan jabatan
Komisioner dilakukan
Komisioner.
pegawai
dengan
organ
Surat
pendukung
Keputusan
Dewan
Dewan
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
- 35 -
Ayat (2)
Keanggotaan tim transisi berasal dari Bank Indonesia dan
Kementerian Keuangan dalam proporsi yang seimbang
berdasarkan usulan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri
Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan tugasnya,
tim transisi dapat menggunakan pihak lain yang relevan atas
biaya tim transisi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat” adalah alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi
keuangan dan perbankan.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pejabat dan pegawai” adalah pejabat
dan pegawai Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan di Kementerian Keuangan yang saat ini
atau berpengalaman menangani pengaturan dan pengawasan
perbankan ...
- 36 perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan serta pejabat
dan pegawai yang memiliki kualifikasi dan pengalaman yang
memadai di bidang pengaturan dan pengawasan sektor jasa
keuangan.
Ayat (2)
Usulan nama pejabat dan pegawai yang dialihkan atau
dipekerjakan dari Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan, Kementerian Keuangan
dilengkapi dengan keterangan tertulis yang memadai mengenai
pangkat, golongan, jabatan, bidang tugas, gaji dan tunjangan,
pendidikan, pengalaman, keahlian, sasaran jabatan yang
direkomendasikan, dan keterangan lain yang terkait.
Yang dimaksud dengan “sesuai dengan permintaan Ketua Dewan
Komisioner” adalah kesesuaian jumlah, kualifikasi, pengalaman,
dan sasaran jabatan yang dibutuhkan dan diminta Ketua Dewan
Komisioner.
Ayat (3)
Rekrutmen pejabat dan pegawai secara terbuka dimulai sejak
ditetapkannya struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi, dan
rancang bangun infrastruktur OJK oleh Dewan Komisioner.
Ayat (4)
Penetapan pejabat dan pegawai yang diterima OJK tidak
diartikan bahwa pejabat dan pegawai yang bersangkutan sudah
dialihkan atau dipekerjakan menjadi pejabat dan pegawai OJK.
Pejabat dan pegawai tersebut dinyatakan sebagai pejabat dan
pegawai OJK sejak pengangkatan yang bersangkutan oleh Dewan
Komisioner. Pejabat dan pegawai yang dipekerjakan tersebut
berhak memilih menjadi pegawai tetap OJK.
Pasal 64
Ayat (1)
Penetapan pejabat dan pegawai OJK dilakukan dengan Surat
Keputusan Dewan Komisioner.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) ...
- 37 Ayat (3)
Huruf a
Penetapan jangka waktu 3 (tiga) bulan dimaksudkan untuk
memberi kesempatan bagi OJK untuk melakukan proses
rekrutmen untuk mengisi kekosongan dari pejabat dan
pegawai yang tetap memilih status sebagai pegawai
Kementerian Keuangan.
Pejabat dan pegawai yang berasal dari Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang tetap memilih
sebagai pejabat dan pegawai Kementerian Keuangan
dikembalikan ke Kementerian Keuangan pada akhir tahun
pertama.
Huruf b
Penetapan jangka waktu 2 (dua) tahun dimaksudkan untuk
memberi kesempatan bagi OJK untuk melakukan proses
rekrutmen untuk mengisi kekosongan dari pejabat dan
pegawai yang tetap memilih status sebagai pegawai Bank
Indonesia.
Pejabat dan pegawai yang berasal dari Bank Indonesia yang
tetap memilih sebagai pejabat dan pegawai Bank Indonesia
dikembalikan ke Bank Indonesia pada akhir tahun ketiga.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “hak pejabat dan pegawai” antara lain
hak atas pengakuan masa kerja, kepangkatan, pensiun,
asuransi, penghasilan, tunjangan dan hak lain sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan, yang telah menjadi hak
pegawai yang bersangkutan.
Sejak pejabat dan pegawai dari Bank Indonesia dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dipekerjakan di
OJK, pejabat dan pegawai dimaksud memiliki hak yang
distandardisasi berdasarkan Peraturan Dewan Komisioner.
Hak pejabat dan pegawai setelah menjadi pejabat dan pegawai
OJK selanjutnya mengikuti ketentuan mengenai hak pejabat dan
pegawai dengan ketentuan:
a. Bank ...
- 38 a. Bank Indonesia tetap bertanggung jawab atas biaya yang
timbul untuk memenuhi hak pejabat dan pegawai yang
berasal dari Bank Indonesia, misalnya: pensiun, asuransi
dan/atau tabungan hari tua, sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di Bank Indonesia.
b. Kementerian Keuangan tetap bertanggung jawab atas biaya
yang timbul untuk memenuhi hak pejabat dan pegawai yang
berasal dari Kementerian Keuangan, misalnya: pensiun,
asuransi dan/atau tabungan hari tua, sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Kementrian Keuangan.
c. OJK bertanggung jawab atas biaya yang timbul untuk
memenuhi kesetaraan hak pejabat dan pegawai yang berasal
dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, dalam
rangka mengikuti standardisasi hak pejabat dan pegawai di
OJK.
Pasal 65
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kekayaan” dan “kekayaan negara”
meliputi gedung, kendaraan, peralatan dan perlengkapan kantor,
dan infrastruktur lainnya yang merupakan penunjang
terselenggaranya kegiatan pengaturan dan pengawasan sektor
jasa keuangan.
Yang dimaksud dengan “dokumen” adalah data dan informasi
baik dalam bentuk tertulis maupun elektronik yang dimiliki
dan/atau
digunakan
dalam
kegiatan
pengaturan
dan
pengawasan sektor jasa keuangan.
Kekayaan dan dokumen Bank Indonesia, Kementerian
Keuangan, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan yang digunakan OJK adalah kekayaan dan dokumen
yang digunakan untuk pengaturan dan pengawasan sektor jasa
keuangan. Sedangkan kekayaan dan dokumen yang digunakan
untuk pengaturan dan pengawasan perbankan tetapi juga
diperlukan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan
tugasnya, digunakan secara bersama-sama.
Yang dimaksud dengan “digunakan” adalah dapat dimanfaatkan,
dikelola, dan dipelihara oleh OJK.
Ayat (2) ...
- 39 -
Ayat (2)
Keputusan bersama atau keputusan Menteri Keuangan,
Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner antara
lain keputusan mengenai jenis kekayaan, kekayaan negara, dan
dokumen yang dapat digunakan, mekanisme penggunaan, status
kepemilikan, dan tata cara penggunaan secara bersama-sama.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar Dewan Komisioner dapat
menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara efektif pada
saat fungsi, tugas, dan wewenang tersebut beralih ke OJK dari
Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan.
Hal yang diinformasikan antara lain meliputi:
a. pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor
Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya;
b. kondisi terkini dan kecenderungan yang akan terjadi di
Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya;
c. kejadian penting yang terkait dengan Perbankan, Pasar
Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang
patut diketahui Dewan Komisioner; dan
d. kebijakan strategis yang telah dan akan diambil oleh Bank
Indonesia, Kementerian Keuangan, dan/atau Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pembagian pembiayaan diatur bersama antara Pemerintah dan
Bank Indonesia.
Pasal 67 ...
- 40 Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Huruf a
Tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi
bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c yang
dialihkan ke OJK adalah tugas pengaturan dan
pengawasan yang berkaitan dengan microprudential
sebagaimana dimaksud Undang-Undang ini.
Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan
perbankan terkait macroprudential.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5253.
-1-
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR: 5/POJK.05/2013
TENTANG
PENGAWASAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
:
bahwa
dalam
terhadap
rangka
Badan
melaksanakan
Penyelenggara
pengawasan
Jaminan
Sosial
sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, perlu menetapkan Peraturan Otoritas
Jasa
Keuangan
Penyelenggara
tentang
Jaminan
Pengawasan
Sosial
Oleh
Badan
Otoritas
Jasa
Keuangan;
Mengingat
:
1. Undang-Undang
Nomor
40
Tahun
2004
tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara
Republik
Tambahan
Indonesia
Lembaran
Tahun
2004
Negara
Nomor
Republik
150,
Indonesia
Nomor 4456);
2. Undang-Undang
Nomor
21
Tahun
2011
tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun
2011
Nomor
111,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Undang-Undang …
-2-
3. Undang-Undang
Badan
Nomor
Penyelenggara
24
Tahun
Jaminan
2011
Sosial
tentang
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor 5256);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENGAWASAN
BADAN
PENYELENGGARA
JAMINAN
SOSIAL OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah Otoritas
Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
2. Dewan Jaminan Sosial Nasional yang selanjutnya disingkat DJSN, adalah
Dewan Jaminan Sosial Nasional sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial.
3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang selanjutnya disingkat BPJS,
adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan
Sosial,
yang
terdiri
atas
BPJS
Kesehatan
dan
BPJS
Ketenagakerjaan.
4. BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam
Undang-Undang
Nomor
24
Tahun
2011
tentang
Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
5. BPJS …
-3-
5. BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua,
jaminan pensiun, dan jaminan kematian sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial.
6. Pemeriksaan
adalah
rangkaian
kegiatan
mencari,
mengumpulkan,
mengolah, dan mengevaluasi data dan/atau keterangan serta untuk
menilai dan memberikan kesimpulan mengenai penyelenggaraan program
jaminan sosial oleh BPJS.
7. Pengawasan adalah proses kegiatan penilaian terhadap BPJS dengan
tujuan agar BPJS melaksanakan fungsinya dengan baik dan berhasil
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
8. Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan adalah dana amanat milik seluruh
peserta jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan
jaminan
kematian
pengembangannya
pembayaran
yang
yang
manfaat
merupakan
dikelola
kepada
oleh
peserta
himpunan
BPJS
dan
iuran
beserta
Ketenagakerjaan
pembiayaan
hasil
untuk
operasional
penyelenggaraan program jaminan sosial.
9. Dana Jaminan Sosial Kesehatan adalah dana amanat milik seluruh peserta
jaminan kesehatan yang merupakan himpunan iuran beserta hasil
pengembangannya yang dikelola oleh BPJS Kesehatan untuk pembayaran
manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan
program jaminan sosial.
10. Pemeriksa adalah pegawai OJK atau pihak yang ditunjuk oleh OJK untuk
melakukan Pemeriksaan.
11. Peserta adalah setiap orang termasuk orang asing yang bekerja paling
singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
BAB II
RUANG LINGKUP PENGAWASAN BPJS OLEH OJK
Pasal 2
(1) OJK melakukan pengawasan terhadap BPJS.
(2) Ruang …
-4-
(2) Ruang lingkup pengawasan OJK terhadap BPJS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. kesehatan keuangan;
b. penerapan tata kelola yang baik termasuk proses bisnis;
c. pengelolaan dan kinerja investasi;
d. penerapan manajemen risiko dan kontrol yang baik;
e. pendeteksian dan penyelesaian kejahatan keuangan (fraud);
f. valuasi aset dan liabilitas;
g. kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan;
h. keterbukaan informasi kepada masyarakat (public disclosure);
i. perlindungan konsumen;
j. rasio kolektibilitas iuran;
k. monitoring dampak sistemik; dan
l. aspek lain yang
merupakan fungsi, tugas, dan wewenang OJK
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengawasan terhadap aspek-aspek sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) belum mengatur aspek-aspek sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), pengawasan dilakukan dengan mengacu kepada standar, prinsip, dan
praktek penyelenggaraan jaminan sosial yang sehat.
Pasal 3
(1) Pengawasan OJK terhadap BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) terdiri atas:
a. pengawasan langsung; dan
b. pengawasan tidak langsung.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh satuan
kerja di lingkungan pengawasan Industri Keuangan Non Bank, OJK.
BAB III
PENGAWASAN LANGSUNG
Pasal 4
Pengawasan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a
dilakukan melalui Pemeriksaan.
Pasal 5 …
-5-
Pasal 5
(1) Pemeriksaan terhadap BPJS dilakukan oleh Pemeriksa.
(2) Dalam rangka Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemeriksa dapat melakukan Pemeriksaan terhadap perusahaan lain yang
dimiliki oleh BPJS dan/atau pihak terkait lainnya.
(3) Pemeriksaan bertujuan untuk:
a. memperoleh gambaran mengenai kondisi BPJS yang sebenarnya;
b. memastikan
bahwa
BPJS
telah
mematuhi
peraturan
perundang-
undangan;
c. memastikan bahwa BPJS telah menerapkan tata kelola, manajemen
risiko, dan kontrol yang baik; dan/atau
d. memastikan bahwa BPJS telah melakukan upaya untuk memenuhi
kewajiban kepada Peserta.
Pasal 6
Pemeriksaan yang dilakukan OJK terhadap BPJS dapat mencakup seluruh
aspek atau sebagian aspek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal 7
Pemeriksaan terhadap BPJS dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun.
Pasal 8
(1) Pemeriksa harus melaksanakan Pemeriksaan sesuai dengan Peraturan
OJK ini dan pedoman Pemeriksaan BPJS.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman Pemeriksaan BPJS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner OJK.
Pasal 9
(1) BPJS dan pihak lain yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) dan ayat (2) dilarang menolak dan/atau menghambat proses
Pemeriksaan.
(2) BPJS dan pihak lain yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) dan ayat (2) wajib:
a. memenuhi …..
-6-
a. memenuhi permintaan untuk memberikan atau meminjamkan buku,
berkas, catatan, disposisi, memorandum, dokumen, data elektronik,
termasuk salinan-salinannya;
b. memberikan keterangan dan penjelasan yang berkaitan dengan aspek
yang diperiksa baik lisan maupun tertulis;
c. memberi
kesempatan
kepada
Pemeriksa
untuk
memasuki
dan
memeriksa tempat atau ruangan yang dipandang perlu;
d. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk meneliti keberadaan dan
penggunaan sarana fisik yang berkaitan dengan aspek yang diperiksa;
dan/atau
e. menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor independen dan aktuaris
independen untuk memberikan data, dokumen, dan/atau keterangan
kepada Pemeriksa terkait dengan Pemeriksaan.
(3) Pihak
yang
pemeriksaan
diperiksa
apabila
dinyatakan
tidak
menghambat
melaksanakan
kelancaran
kewajiban
proses
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau meminjamkan buku, memberikan catatan,
dokumen, atau keterangan yang tidak benar.
Pasal 10
(1) Pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa berdasarkan surat perintah
Pemeriksaan yang diterbitkan oleh OJK.
(2) Pemeriksa wajib menyampaikan surat perintah Pemeriksaan kepada BPJS
dan pihak lain yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2).
(3) Sebelum dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
OJK menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan kepada BPJS dan
pihak lain yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
dan ayat (2).
(4) Surat pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
memuat informasi sebagai berikut:
a. nomor dan tanggal surat perintah Pemeriksaan;
b. nama Pemeriksa;
c. ruang lingkup Pemeriksaan;
d. tujuan Pemeriksaan;
e. jangka waktu Pemeriksaan; dan
f. dokumen-dokumen awal yang diperlukan untuk Pemeriksaan.
(5) OJK …
-7-
(5) OJK dapat melakukan Pemeriksaan tanpa didahului dengan penyampaian
surat pemberitahuan Pemeriksaan apabila:
a. pemberitahuan tersebut diduga akan mempersulit atau menghambat
proses Pemeriksaan;
b. terdapat dugaan adanya tindakan untuk mengaburkan keadaan yang
sebenarnya; atau
c. terdapat dugaan adanya tindakan menyembunyikan, menghilangkan
data,
keterangan,
atau
laporan
yang
diperlukan
dalam
rangka
Pemeriksaan.
Pasal 11
(1) Sebelum Pemeriksaan berakhir, Pemeriksa wajib melakukan konfirmasi
dengan Direksi BPJS atas hasil Pemeriksaan.
(2) Apabila setelah proses konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
masih terdapat perbedaan pendapat, Direksi BPJS dapat mengajukan
penjelasan secara tertulis kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari
kalender setelah berakhirnya proses Pemeriksaan.
Pasal 12
(1) Setelah proses Pemeriksaan berakhir, Pemeriksa menyusun laporan hasil
Pemeriksaan.
(2) OJK menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada BPJS paling lambat 20 (dua puluh) hari kalender
setelah batas akhir penyampaian penjelasan secara tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
(3) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
rahasia.
(4) Status rahasia atas laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(3)
dapat
dibuka
setelah
terlebih
dahulu
memperoleh
persetujuan tertulis dari OJK atau berdasarkan peraturan perundangundangan.
Pasal 13
(1) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
dapat memuat langkah-langkah tindak lanjut yang harus dilakukan oleh
BPJS atau pemangku kepentingan lainnya.
(2) Dalam …
-8-
(2) Dalam hal terdapat langkah-langkah tindak lanjut yang harus dilakukan
oleh BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS wajib melaksanakan
langkah-langkah tindak lanjut tersebut.
(3) BPJS wajib melaporkan pelaksanaan langkah-langkah tindak lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada OJK sesuai dengan jangka
waktu yang ditetapkan dalam laporan hasil Pemeriksaan.
(4) Kewajiban
melaporkan
pelaksanaan
langkah-langkah
tindak
lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir apabila OJK menilai bahwa
BPJS telah melaksanakan langkah-langkah tindak lanjut dimaksud.
BAB IV
PENGAWASAN TIDAK LANGSUNG
Pasal 14
Pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf b dilakukan melalui:
a. analisis atas laporan yang disampaikan oleh BPJS kepada OJK; dan/atau
b. analisis atas laporan yang disampaikan oleh pihak lain kepada OJK.
Pasal 15
OJK dapat meminta BPJS untuk menyampaikan informasi dan/atau dokumen
tertentu dalam rangka pengawasan tidak langsung atas BPJS.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 16
(1) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyusun laporan
keuangan sebagai berikut:
a. laporan keuangan tahunan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember;
b. laporan keuangan tahunan Dana Jaminan Sosial Kesehatan dan Dana
Jaminan
Sosial
Ketenagakerjaan
untuk
masing-masing
program
ketenagakerjaan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember;
c. laporan
keuangan
semesteran
BPJS
Kesehatan
dan
BPJS
Ketenagakerjaan yang berakhir pada 30 Juni dan 31 Desember;
d. laporan …
-9-
d. laporan keuangan semesteran Dana Jaminan Sosial Kesehatan dan
Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk masing-masing program
ketenagakerjaan yang berakhir pada 30 Juni dan 31 Desember;
e. laporan keuangan bulanan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
untuk periode yang berakhir pada 31 Januari, 28 atau 29 Februari, 31
Maret, 30 April, 31 Mei, 30 Juni, 31 Juli, 31 Agustus, 30 September, 31
Oktober, 30 November, dan 31 Desember; dan
f. laporan keuangan bulanan Dana Jaminan Sosial Kesehatan dan Dana
Jaminan
Sosial
Ketenagakerjaan
untuk
masing-masing
program
ketenagakerjaan untuk periode yang berakhir pada 31 Januari, 28 atau
29 Februari, 31 Maret, 30 April, 31 Mei, 30 Juni, 31 Juli, 31 Agustus, 30
September, 31 Oktober, 30 November, dan 31 Desember.
(2) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyusun laporan
pengelolaan program sebagai berikut:
a. laporan pengelolaan program jaminan kesehatan dan jaminan untuk
masing-masing program ketenagakerjaan tahunan untuk periode 1
Januari sampai dengan 31 Desember;
b. laporan pengelolaan program jaminan kesehatan dan jaminan untuk
masing-masing program ketenagakerjaan semesteran yang berakhir
pada 30 Juni dan 31 Desember; dan
c. laporan pengelolaan program jaminan kesehatan dan jaminan untuk
masing-masing program ketenagakerjaan bulanan untuk periode yang
berakhir pada 31 Januari, 28 atau 29 Februari, 31 Maret, 30 April, 31
Mei, 30 Juni, 31 Juli, 31 Agustus, 30 September, 31 Oktober, 30
November, dan 31 Desember.
(3) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyusun laporan
aktuaris tahunan untuk program jaminan kesehatan dan untuk masingmasing program ketenagakerjaan untuk periode 1 Januari sampai dengan
31 Desember.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan disajikan
berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan huruf b serta
ayat (2) huruf a wajib diaudit oleh auditor independen.
(6) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan disajikan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(7)
Laporan ...
-10-
(7) Laporan
aktuaris
tahunan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(3)
merupakan laporan yang menggambarkan perkiraan kemampuan Dana
Jaminan Sosial untuk memenuhi kewajibannya di masa depan.
(8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib ditandatangani oleh
aktuaris BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
(9) Laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
ditelaah (direview) dan dinilai kewajaran penyajiannya oleh aktuaris
independen yang tidak terafiliasi dengan manajemen BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun.
(10) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
bentuk
dan
susunan
laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dan huruf f, ayat (2) huruf c
dan ayat (3) diatur dengan Surat Edaran OJK.
Pasal 17
(1) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyampaikan:
a. laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a
dan huruf b, Pasal 16 ayat (2) huruf a, serta Pasal 16 ayat (3) paling
lama tanggal 30 Juni tahun berikutnya;
b. laporan semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf c, huruf d, dan Pasal 16 ayat (2) huruf b paling lama 1 (satu)
bulan setelah berakhirnya semester yang bersangkutan; dan
c. laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e
dan huruf f, serta Pasal 16 ayat (2) huruf c paling lama 15 (lima belas)
hari setelah berakhirnya bulan yang bersangkutan, kepada OJK.
(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari
kerja pertama setelah batas akhir dimaksud.
BAB VI
SANKSI DAN REKOMENDASI
Pasal 18
(1) Dalam
hal
BPJS
terbukti
melakukan
pelanggaran
atas
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal
16 ayat (1) sampai dengan ayat (7), dan Pasal 17 ayat (1) dan/atau atas
temuan hasil Pemeriksaan, OJK dapat memberikan sanksi administratif
berupa surat peringatan dan/atau memberikan rekomendasi kepada DJSN
dan/atau Presiden.
(2) Surat …..
-11-
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling
banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu paling lama
masing-masing 2 (dua) bulan.
(3) Dalam hal OJK menilai bahwa jenis pelanggaran yang dilakukan dan/atau
temuan Pemeriksaan tidak dapat diatasi dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), OJK dapat menetapkan berlakunya jangka waktu
tambahan paling lama 6 (enam) bulan.
(4) OJK dapat memberikan rekomendasi kepada DJSN dan/atau Presiden
dalam hal BPJS tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti surat
peringatan terakhir atau atas temuan Pemeriksaan.
(5) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk tetapi tidak
terbatas pada:
a. peninjauan besar iuran jaminan kesehatan dan untuk masing-masing
program ketenagakerjaan;
b. peninjauan besar manfaat jaminan kesehatan dan untuk masing-masing
program ketenagakerjaan;
c. peninjauan
kebijakan
investasi
BPJS
Kesehatan
dan
BPJS
Ketenagakerjaan;
d. peninjauan kebijakan investasi dana jaminan kesehatan dan dana
jaminan untuk masing-masing program ketenagakerjaan; dan/atau
e. penggantian sebagian atau seluruh manajemen BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku maka Peraturan OJK Nomor:
3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan NonBank,
dinyatakan
tidak
berlaku
bagi
BPJS
Kesehatan
dan
BPJS
Ketenagakerjaan.
Pasal 20
(1) Kewajiban penyampaian laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf c dilakukan oleh BPJS kesehatan dan BPJS
ketenagakerjaan sejak bulan Maret 2014.
(2) Penyampaian …
-12-
(2) Penyampaian laporan bulanan sejak bulan Maret 2014 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) termasuk laporan bulanan untuk periode yang
berakhir pada tanggal 31 Januari 2014 dan 28 Februari 2014.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2013
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 258
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
Download