PERMASALAHAN HUKUM EXPROPRIATION ATAS KEPEMILIKAN

advertisement
PERMASALAHAN HUKUM EXPROPRIATION ATAS KEPEMILIKAN
INVESTOR ASING DALAM HUKUM PENANAMAN MODAL
INDONESIA
Clarissa Frederika
Ranggalawe Suryasaladin
Parulian P. Aritonang
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Jl. Prof. Mr. Djokosoetono
DEPOK
16424
INDONESIA
E-mail: [email protected]
Abstrak
Expropriation merupakan tindakan pengambilalihan aset atau properti milik investor asing oleh pemerintah
untuk alasan kepentingan umum. Namun, pengambilalihan yang dapat dilakukan oleh pemerintah tidak hanya
yang secara fisik atau kasat mata terlihat secara nyata. Berdasarkan perkembangannya, pemerintah dapat
melakukan expropriation secara sembunyi-sembunyi melalui indirect expropriation. Selain itu, perlindungan
terhadap investor asing ini semakin diperluas dengan adanya perlindungan terhadap tindakan setara
expropriation. Kasus-kasus yang ada menunjukkan bahwa tindakan pemerintah harus menimbulkan kerugian
substansial bagi investor asing apabila hendak dikualifikasi sebagai tindakan setara expropriation.
The Legal Issues Concerning Expropriation of Foreign Investors’ Property According to
Indonesian Investment Law
Abstract
Expropriation is the taking of foreign assets or property for the sake of the public interest. Such taking may
involve not only direct or outright taking. Nowadays, we may find governments disguising the taking of foreign
property, thus constituting indirect expropriation. Furthermore, foreign investors are now more protected than
before with the existence of protection towards measures tantamount or equivalent to expropriation. The
established cases demonstrate that governmental measures must constitute substantial deprivation suffered by
foreign investors to be considered as measures tantamount to expropriation.
Keyword: foreign direct investment; expropriation; the taking of foreign property; indirect expropriation;
measures tantamount to expropriation
Pendahuluan
Perlindungan terhadap kepemilikan asing di teritori suatu negara diawali dari tindakan
penguasa atau pemerintahan negara yang mengambilalih kepemilikan asing secara sewenang-
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
2
wenang.1 Pasca terbentuknya Persatuan Bangsa-Bangsa (“PBB”), terbitlah dokumendokumen hasil konvensi maupun kesepakatan-kesepakatan internasional yang mengusung
perlindungan atas hak-hak kepemilikan pribadi. Pasal 17 dari Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (“DUHAM”) mengatur bahwa tiap-tiap individu berhak atas kekayaan yang dapat
dimilikinya. Adapun pengakuan terhadap hak individu ini haruslah dinyatakan secara selaras
dan tidak bertentangan dengan pengakuan terhadap hak negara untuk menguasai kekayaan
alam yang berada dalam teritorinya.
Pada masa kini, perlindungan terhadap kekayaan terhadap pelaku usaha, terutama investor
asing, semakin mendapatkan perhatian. Hingga tahun 2015, terdapat 2.928 (dua ribu sembilan
ratus dua puluh delapan) Bilateral Investement Treaties (“BIT/BITs”) yang telah dibuat, dan
sejumlah 2.276 (dua ribu dua ratus tujuh puluh enam) dari total tersebut merupakan BITs
yang aktif. Selain BIT, terdapat pula bentuk-bentuk perjanjian internasional di bidang
investasi lainnya, baik dalam lingkup regional, interregional maupun multilateral.2 Pada
dasarnya, BIT memiliki sejumlah elemen-elemen dasar. Setidak-tidaknya, setiap BIT
mengatur mengenai ruang lingkup BIT itu sendiri, perlakuan standard terhadap investor,
perlindungan terhadap pengambilalihan, kompensasi dan penyelesaian sengketa.3
Salah satu fitur utama dari BIT ialah perlindungan bagi investor asing terhadap nasionalisasi,
expropriation, atau bentuk tindakan lain yang setara dengan pengambilalihan hak-hak dari
investor asing terkait investasinya.4 Expropriation itu sendiri tidak secara mutlak dilarang
menurut hukum. Expropriation diartikan sebagai pengambilalihan aset atau properti dari
investor asing untuk kepentingan publik. Rudolf Dolzer dan Felix Bloch5 mengungkapkan
bahwa dewasa ini, negara-negara mengedepankan tata kelola/pemerintahan yang baik (good
1
Lihat sejarah mengenai Eminent Domain yang ditulis oleh Bruce L. Benson. Berdasarkan sejarahnya,
pengambilalihan terhadap kepemilikan individu berawal dari tindakan sewenang-wenang oleh para raja-raja di
Inggris sejak masa kekuasaan William the Conqueror hingga King Henry I. Setelah King Henry I turun takhta,
dewan kerajaan yang bernama Curia Regis berhasil memaksa raja yang menggantikan King Henry I, yaitu King
John, untuk menandatangani dokumen bernama Articles of the Barons. Dokumen ini kemudian direvisi dan
diubah namanya menjadi Magna Carta. Bruce L. Benson, “The Evolution of Eminent Domain: A Remedy for
Market Failure or an Effort to Limit Government Power and Government Failure?” The Independent Review,
vol. XII, (2008), hal. 424-425.
2
UNCTAD, “International Investment Agreements Navigator”, http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA,
diakses 21 November 2015.
3
Jeswald W. Salacuse, “BIT by BIT: The Growth of Bilateral Investment Treaties and Their Impact on
Foreign Investment in Developing Countries”, The International Lawyer, vol. 4, no. 3, (1990), hal. 664.
4
Ibid., hal. 670.
5
Rudolf Dolzer ialah Director di Institute of International Law di Bonn University, Jerman. Felix Bloch
adalah Asisten Riset Senior di institutsi yang sama.
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
3
governance), peningkatan kegiatan ekspor dan kompetisi dengan negara lainnya untuk
menarik perhatian investor asing. Sehingga era pengambilalihan secara langsung melalui
expropriation yang frontal telah berlalu. Namun di sisi lain, negara-negara tersebut tetap
harus melindungi kepentingan masyarakatnya. Akibatnya, kepemilikan investor asing pun
tidak luput dari pengaruh yang ditimbulkan dari lahirnya regulasi-regulasi berlatarbelakang
kepentingan masyarakat. Berangkat dari situasi tersebut, banyak investor asing yang
mengajukan klaim akan adanya tindakan expropriation tidak langsung berupa peraturanperaturan yang membatasi kegiatan investasi mereka.6
Perlindungan hukum yang terlalu meluas yang diberikan terhadap investor asing memberikan
kesempatan bagi mereka untuk menuntut negara penerima investasi akan berbagai hal.
Penulis akan mendalami permasalahan expropriation ini dengan membahas lima kasus.
Masing-masing kasus ini akan merepresentasikan bentuk-bentuk expropriation. Kasus
Chorzow Factory akan memberikan ilustrasi mengenai pelaksanaan expropriation secara
langsung. Kasus yang kedua ialah Siemens v Argentina. Penjelasan dan analisa terhadap kasus
ini diharapkan akan menjelaskan perbedaan dari expropriation langsung dengan indirect
expropriation. Selanjutnya, kasus Waste Management II akan merepresentasikan kasus
dimana wanprestasi semata-mata yang dilakukan oleh pemerintah dalam perjanjian dengan
investor asing tidaklah cukup untuk menyatakan bahwa negara telah melakukan
expropriation, indirect expropriation maupun tindakan setara expropriation. Kasus Emmis v
Hungary akan menjelaskan bahwa masalah expropriation baru timbul apabila investor asing
memiliki kekayaan atau hak yang dapat diambilalih. Terakhir, kasus Churchill Mining v
Indonesia akan menunjukkan perdebatan dimana investor asing diberikan perlindungan
hukum yang terlalu luas.
METODE PENELITIAN
Penulis melakukan penelitian berbentuk yuridis normatif, artinya penelitian dilakukan dengan
studi pustaka terhadap dasar hukum dalam penelitian ini yaitu Undang-undang No. 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal (“UU Penanaman Modal”), Undang-undang No. 1 Tahun
1967 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 11 Tahun 1970 tentang Penanaman
Modal Asing (“UU PMA”), Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(“UU PT”), dan peraturan perundang-undangan maupun peraturan institusi lainnya serta
6
Rudolf Dolzer dan Felix Bloch, “Indirect Expropriation: Conceptual Realignments?” International Law
FORUM du droit international 5, isu 3, (Agustus 2003), hal. 155.
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
4
sumber-sumber eksplanatoris lainnya yang memberikan penjelasan mengenai pengaturanpengaturan hukum tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Penulis berbentuk yuridis normatif, oleh sebab itu, data
diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan. Dengan demikian data yang akan didapat
yaitu data sekunder, yang dari sudut kekuatan mengikatnya digolongkan ke dalam bahan
hukum primer dan sekunder.7 Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan alat pengumpulan
data berupa studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan suatu alat pengumpulan data
yang dilakukan melalui data yang tertulis8, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penulisan
penelitian ini. Terkait analisa data, Penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Hal ini
mengingat data-data yang diperoleh bersifat eksplanatoris dan bukan statistik, maka data-data
yang diperoleh dari studi pustaka akan dianalisa.
TINJAUAN TEORITIS
Expropriation, Indirect Expropriation dan Tindakan Setara Expropriation
Blacks’ Law Dictionary mengartikan expropriation sebagai pengambilalihan terhadap
kepemilikan swasta oleh pemerintah. Istilah ini umumnya digunakan untuk merujuk pada
situasi pengambilalihan industri milik Amerika Serikat yang berada di luar negeri.9 Sementara
itu, Oxford English Dictionary mengartikan bentuk kata kerja dari ‘expropriation’ yaitu
melepaskan kepemilikan seseorang atau mengambil kepemilikan dari pemiliknya untuk
manfaat publik. Kata expropriation itu sendiri berasal dari istilah yang muncul pada masa
Latin pertengahan, yaitu ‘expropriat-’. Arti dari expropriat- ialah “telah diambil dari
pemiliknya.” Sementara, kata exproriat- ini sendiri terdiri dari dua unsur, ex- yang berarti
“keluar dari” dan proprium yang dalam bahasa Inggris merupakan property, atau dalam
penelitian ini akan dirujuk sebagai kepemilikan.10
Istilah nasionalisasi seringkali digunakan secara silih berganti dengan expropriation. Namun,
istilah nasionalisasi sebenarnya lebih tepat digunakan untuk menjelaskan pengambilalihan
7
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986),
hal. 52.
8
Ibid., hal. 22-23.
9
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary Sixth Edition, (t.k.: West Publishing Co., 1991), hal. 403.
10
Penulis menerjemahkan proprium sebagai kepemilikan karena bentuk tunggal dari kata tersebut, yaitu
proprius, dalam bahasa Inggris ialah “own” (dalam bahasa Indonesia, “own” sebagai kata sifat berarti
dipunyai/dimiliki). Emmis v Hungary, (Putusan Akhir ICSID, April 2014), para.159.
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
5
kepemilikan asing yang terjadi di masa dekolonialisme. Kebijakan untuk melakukan
nasionalisasi memiliki tujuan khusus yang tidak selalu dimiliki oleh expropriation, yaitu misi
negara untuk membawa perubahan struktur ekonomi. Perubahan struktur ekonomi ini dapat
dilakukan melalui reformasi kepemilikan atas lahan, pengambilalihan industri untuk
kemanfaatan bersama, mengeluarkan pihak swasta dari beberapa cabang ekonomi nasional,
dll. Sementara dalam konteks expropriation, pengambilalihan tidak secara spesifik ditujukan
untuk perubahan struktur yang demikian.11
Pada tanggal 12 Desember 1974, Majelis Umum PBB mengadopsi Charter of Economic
Rights and Duties of States (“Charter”). Salah satu hak dari negara ialah melakukan
expropriation. Hak tersebut diikuti dengan kewajiban negara untuk memberikan kompensasi
dengan memperhatikan peraturan yang berlaku di negaranya sendiri. Hal ini menunjukkan
bahwa expropriation pada dasarnya tidak dilarang. Guidelines on the Protection of Foreign
Direct Investment yang diterbitkan oleh World Bank di tahun 1992 menjelaskan bahwa suatu
negara tidak boleh melakukan expropriation atau mengambilalih seluruh atau sebagian
investasi milik investor asing atau melakukan tindakan yang dampaknya setara dengan
expropriation. Adapun pengecualian terhadap larangan ini ialah apabila tindakan-tindakan
demikian dilakukan menurut prosedur hukum yang berlaku, berdasarkan itikad baik untuk
kepentingan umum, tidak dilakukan dengan diskriminatif dan disertai dengan pembayaran
kompensasi yang pantas.12
Expropriation adalah pengambilalihan terhadap kepemilikan investor asing atau badan hukum
tertentu dimana hak kepemilikan atas aset investor asing atau badan hukum tersebut beralih
pada negara pelaku expropriation atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara tersebut.13
Expropriation melibatkan peralihan hak kepemilikan atau penyitaan fisik atas kepemilikan
asing tersebut. Pada umumnya, expropriation dilakukan untuk menguntungkan negara pelaku
expropriation, atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara pelaku expropriation tersebut.14
Pengambillihan hak kepemilikan investor asing diatur dalam Undang-undang Penanaman
Modal. Pasal 7 dari undang-undang tersebut berbunyi demikian:
11
F.V. Garcia-Amador, Loc. Cit.; UNCTAD (a), Loc. Cit.; M. Sornarajah, Ibid..
12
The World Bank Group, “Guidelines on the Treatment of Foreign Direct Investment”, (Washington D.C.:
The World Bank, 1992), , Bab IV, para.1.
13
UNCTAD, UNCTAD Series on Issues in International Investment Agreements II: Expropriation, (New
York dan Jenewa, 2012: United Nations), hal. 5-6.
14
Ibid., hal. 6.
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
6
“(1) Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan
hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang.
(2) Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak
kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan memberikan
kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar.
(3) Jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi
atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan
melalui arbitrase.”
Sejalan dengan pemahaman dalam UU Penanaman Modal, berbagai literatur dan praktik
hukum internasional menyatakan bahwa objek dari expropriation adalah kepemilikan investor
asing. Namun, terdapat kesulitan untuk mencapai kesepahaman mengenai definisi
kepemilikan investor asing ini. Pada dasarnya, hukum yang mengatur tentang hak
kepemilikan tunduk pada hukum yang berlaku di masing-masing negara. Karena tiap negara
memiliki pengaturannya sendiri terhadap hak kepemilikan, hukum investasi internasional
harus merujuk pada hukum yang berlaku di negara-negara.15
Konsep expropriation menekankan pengambilalihan terhadap property. Blacks’ Law
Dictionary mengartikan property sebagai “that which is peculiar or proper to any person: that
which belongs exclusively to one”.16 Apabila ditafsirkan dalam Bahasa Indonesia, property
berarti sesuatu yang berbeda dari seseorang (yang tidak dimiliki oleh orang lain, yang
membedakannya dengan orang lain) atau sesuatu yang menjadi kepunyaan seseorang; sesuatu
yang secara istimewa hanya dipunyai oleh seseorang
Property dalam konteks hukum berarti sejumlah hak yang dilindungi oleh pemerintah. Istilah
property mencakup segala jenis hak dan kepentingan yang memiliki nilai, khususnya hak
untuk memiliki. Hak untuk memiliki merupakan hak istimewa yang tidak terbatas terhadap
suatu benda. Termasuk dalam hak untuk memiliki ialah hak untuk mengalihkan kepada pihak
lain dengan berbagai cara yang sah, memanfaatkan dan menghindarkan campur tangan orang
lain terhadap benda tersebut. Benda yang dimaksud dapat memiliki bentuk fisik maupun
tidak, berwujud atau tidak berwujud, dapat dilihat atau tidak dapat dilihat, nyata ataupun
tidak. Benda tersebut dapat berada di bawah hak kepemilikan selama memiliki nilai tukar
yang berharga.17. Hukum kebendaan Indonesia mengenal konsep demikian sebagaimana
diatur dalam KUHPerdata. Hak kebendaan memiliki salah satu fungsi yaitu memberi
kenikmatan. Kenikmatan yang diberikan hak kebendaan ini dapat terjadi atas benda milik
15
John H. Herz, “Expropriation of Foreign Property”, The American Journal of International Law 35,
(April 1941), hal. 244.
16
Henry Campbell Black, Op. Cit., hal. 845.
17
Ibid., hal. 845-846.
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
7
sendiri maupun atas benda milik orang lain.18 Apabila seseorang memiliki hak milik
(eigendom) atas suatu aset/benda, maka berlaku ketentuan Pasal 570 KUHPerdata dimana
pemiliknya untuk menguasai dan menggunakan benda tersebut dengan sebebas-bebasnya.19
Maka, untuk mengetahui apakah suatu aset itu termasuk sebagai aset yang bisa diambilalih
atau tidak, harus dilakukan penelahaan secara kasuistis. Hal ini karena, hukum yang mengatur
tentang aset atau kepemilikan, yaitu hukum kebendaan, diatur secara municipal, atau diatur
menurut hukum positif suatu negara. Langkah kedua yang dapat dilakukan ialah melihat pada
BIT terkait. Dalam BIT, biasanya diatur ruang lingkup dari suatu investasi. Berangkat dari
situ, dapatlah ditentukan apakah suatu aset merupakan objek yang dapat diambilalih atau
tidak.
Sementara itu, suatu objek yang dilindungi dari tindakan expropriation harus memenuhi
syarat yaitu keberadaannya ialah sah menurut hukum dari Negara Tuan Rumah. Untuk
mengevaluasi apakah memang terdapat alas hak yang sah atas kepemilikan dari aset yang
diambilalih, maka hal ini harus diserahkan kepada hukum dari negara tempat investasi
dilakukan. Konteks ini terutama berlaku untuk pengambilalihan aset yang berupa hak-hak
(benda tidak berwujud).
Konsep ini dipertegas dalam dua kasus, yaitu EnCana v Ecuador dan Suez v Argentina.
Berdasarkan kasus EnCana v Ecuador, sebelum menentukan apakah tindakan pemerintah
merupakan expropriation atau bukan, investor asing harus terlebih dahulu menunjukkan
kepemilikan terhadap aset yang didasari alas hak yang sah. Selain itu, tindakan pemerintah
yang menjadi klaim investor asing tersebut haruslah ditujukan pada kepemilikan terhadap aset
yang dapat dikategorikan sebagai objek expropriation.20
Permasalahan keabsahan alas hak dari kepemilikan atas aset tersebut kemudian diperjelas
dalam kasus yang kedua, yaitu Suez v Argentina. Dalam putusannya, majelis arbiter
menjelaskan bahwa untuk menentukan sah atau tidaknya alas hak tersebut, maka hukum yang
18
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-hak yang Memberi Kenikmatan, (Jakarta: IndHil-Co, 2005), hal. 60.
19
Ibid., hal. 88.
20
“Unlike many BITs, there is no express reference to the law of the host State. However, for there to have
been an expropriation of an investment or return (in a situation involving legal rights or claims as distinct from
the seizure of physical assets) the rights affected must exist under the law which creates them,…” EnCana v
Ecuador, (Putusan, 3 Februari 2006), para.184.
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
8
harus dijadikan penilaian ialah hukum dari negara tempat aset itu berada, yaitu hukum dari
negara pelaku expropriation.21
Suatu studi yang dikembangkan dalam UN Conference on Trade and Development tentang
Bilateral Investment Treaties di tahun 1998 menyebutkan bahwa indirect expropriation terjadi
ketika suatu negara melakukan tindakan yang pada esensinya melemahkan nilai dari suatu
investasi asing tanpa perlu adanya penguasaan atas investasi asing tersebut. Dengan demikian,
indirect expropriation dapat terjadi meskipun negara tersebut menyangkal adanya niatan
untuk mengambilalih suatu investasi asing.22
Berdasarkan praktik yang dilakukan oleh negara-negara, doktrin dan putusan arbitrase,
indirect expropriation memiliki sejumlah karakter berikut yang bersifat kumulatif:23
a) Tindakan yang berasal dari negara (terjemahan bebas dari: “an act attributable to the
State);
b) Campur tangan terhadap hak kepemilikan asing atau kepentingan hukum lainnya
yang dilindungi;
c) Dilakukan dalam suatu tingkatan sehingga mengakibatkan investor asing kehilangan
hak-hak atau kepentingannya, atau kehilangan hak penguasaan terhadap investasinya;
d) Meskipun kepemilikan tetap berada pada investor asing.
Apabila dikaitkan dengan expropriation, maka turut campur pemerintah terhadap hak milik
dapat mengurangi nilai untuk menikmati benda atau aset milik investor.24 Bentuk-bentuk dari
intervensi pemerintah dapat berupa wanprestasi terhadap perjanjian (dimana pemerintah
melalui perwakilannya menjadi salah satu pihak perjanjian) maupun perubahan terhadap
kewajiban-kewajiban pemerintah dalam perjanjian.25 Terkait hak-hak yang timbul dari
21
“To asses the nature of these rights in a case of alleged expropriation of contractual rights, one must look
to the domestic law under which the rights were created.” Suez et al. v Argentina, (Putusan terhadap Tanggung
Jawab, 30 Juli 2010), para. 140.
22
“Indirect expropriation occurs when the country takes an action that substantially impairs the value of an
investment without necessarily assuming ownership of the investment. Accordingly, indirect expropriation may
occur even though the host country disavows any intent to expropriate the investment.” W. Michael Resiman dan
Robert D. Sloane, “Indirect Expropriation and its Valuation in the BIT Generation”, Yale Law School Faculty
Scholarship Series, (1 Januari 2014), hal. 121.
23
UNCTAD, Op. Cit., hal. 12.
24
M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, (New York: Cambridge University Press,
2010), hal. 370.
25
John H. Herz, Loc Cit.
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
9
perjanjian, Zachary Douglas26 menambahkan dan menekankan bahwa yang dapat diambilalih
ialah hak-haknya, bukan perjanjiannya. Selain itu, tidak semua hak yang dituangkan dalam
suatu perjanjian dapat menjadi objek expropriation.27 Pemahaman inilah yang kemudian
memperluas ruang lingkup expropriation menjadi konsep tindakan pemerintah yang
mengakibatkan pengambilalihan (governmental measures tantamount to a taking).28
Salah satu bentuk indirect expropriation ialah creeping expropriation. Istilah creeping
expropriation merujuk pada bentuk indirect expropriation dimana terdapat serangkaian
tindakan yang diambil oleh Negara dalam jangka waktu tertentu. Apabila rangkaian tindakan
ini dilihat secara kumulatif maka akan menimbulkan efek yang setara dengan expropriation.29
Keith Highet, seorang pengacara asal Amerika yang telah berpengalaman beracara di hadapan
International Court of Justice, menjelaskan creeping expropriation terdiri atas sejumlah
elemen yang tidak dapat dilihat secara terpisah apabila hendak melihat ada atau tidaknya
creeping expropriation.30
Creeping expropriation dilakukan dengan adanya serangkaian tindakan pemerintah secara
kumulatif dalam suatu periode waktu. Masing-masing tindakan tersebut, apabila dilihat secara
berdiri sendiri, tidak secara langsung mengarah pada expropriation. Lebih lanjut lagi,
rangkaian tindakan tersebut dapat saja diselingi dengan tindakan pemerintah yang memang
sah menurut hukum.31
Bentuk lain dari indirect expropriation ialah “Pengambilalihan melalui Pengendalian Proyek”.
Contoh kasus yang memberikan ilustrasi untuk bentuk indirect expropriation ini ialah kasus
Starrett Housing Corp. v Iran. Dalam kasus tersebut, penggugat yaitu investor dari Amerika
Serikat, memiliki kepemilikan saham mayoritas dalam suatu perusahaan Iran. Pemerintah Iran
kemudian menempatkan orang pemerintahan untuk menjadi “manajer sementara” di
perusahaan Iran tersebut. Penguggat mendalilkan bahwa manajer sementara yang ditunjuk
26
Prof. Zachary Douglas merupakan seorang konsultan hukum yang menangani sengketa investasi
internasional, ia juga telah berpengalaman menjadi arbiter dalam sengketa investasi internasional maupun
menjadi saksi ahli terkait investasi asing.
27
Zachary Douglas, “Property Rights as the Object of an Expropriation” dalam Building International
Investment Law: The First 50 Years of ICSID, (Kluwer Law International, 2015), hal. 334-335.
28
M. Sornarajah, Loc. Cit.
29
Andrew Newcombe dan Lluis Paradell, Law and Practice of Investment Treaties: Standards of Treatment,
(The Netherlands: Kluwer Law International, 2009), hal. 342.
30
Waste Mgmt., Inc. v United Mexican States, (Dissenting Opinion Keith Highet, 2 Juni 2000), [Dissenting
Opinion Keith Highet], para.17.
31
W. Michael Resiman dan Robert D. Sloane, Op. Cit., hal. 128.
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
10
oleh pemerintah Iran telah melakukan intervensi terhadap hak-hak atas aset penggugat.
Tindakan tersebut, menurut penggugat, harus dipandang sedemikian rupa sehingga
menimbulkan akibat yang sama sebagai pengambilalihan aset (expropriation). Majelis arbiter
memutus bahwa telah terjadi pengambilalihan terhadap kepemilikan investor asing. Menurut
majelis arbiter, dalam kasus ini, terdapat pengambilalihan fisik terhadap kepemilikan investor
asing dan pengambilalihan terhadap hak investor asing mengendalikan proyek dalam
perusahannya.32
Sementara itu, bentuk indirect expropriation lainnya ialah expropriation terhadap hak-hak
yang timbul dari perjanjian. Guidelines on the Protection of Foreign Direct Investment
menyebutkan bahwa negara yang secara sepihak mengakhiri perjanjian, mengubah atau
menolak melakukan kewajiban menurut perjanjian dengan investor asing selain dari alasan
komersil, harus menanggung kewajiban-kewajiban layaknya negara tersebut melakukan
expropriation. Maksud dari ketentuan ini ialah ketika negara tersebut bertindak dalam
kapasitasnya sebagai pemerintah dan bukannya sebagai pihak perjanjian pada umumnya.
Apabila negara tersebut melakukan wanprestasi dalam kapasitasnya sebagai pihak perjanjian
biasa, maka ganti kerugian akan ditentukan berdasarkan hukum yang berlaku pada perjanjian
yang dilanggar.33
Perluasan dari expropriation dan indirect expropriation ialah perlindungan bagi investor asing
terhadap perbuatan pemerintah yang setara, atau akibatnya setara, dengan expropriation.
Perdebatan yang timbul ialah apakah hanya dengan membuktikan adanya kerugian efektif
yang diderita oleh investor asing cukup untuk menyatakan bahwa suatu negara telah
melakukan indirect expropriation. Pendekatan sole effect mendukung bahwa suatu kerugian
efektif yang diderita oleh investor asing adalah cukup untuk membuktikan tindakan setara
dengan expropriation. Berdasarkan doktrin ini, yang menjadi pertimbangan utama ialah akibat
yang ditimbulkan dari perbuatan negara. Doktrin sole effect mengabaikan persoalan apakah
negara tersebut memang berniat untuk menimbulkan kerugian kepada investor asing tertentu
atau tidak. Selama investor asing menderita kerugian secara konkrit, negara tersebut sudah
dapat dikatakan melakukan tindakan yang akibatnya setara dengan expropriation.34
32
Putusan Starrett Housing Corp. v Governement of the Islamic Republic of Iran sebagaimana dikutip oleh
George H. Aldrich, "What Constitutes A Compensable Taking of Property? The Decisions of the Iran-United
States Claims Tribunal", The American Journal of International Law 88, no. 4, (Oktober 1994), hal. 589.
33
The World Bank Group, Op. Cit., Bab IV, para.11.
34
Allen S. Weiner, "Indirect Expropriations: The Need for a Taxonomy of "Legitimate" Regulatory
Purposes", International Law FORUM du droit international 5, no. 3 (Agustus 2003), hal. 170.
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
11
Namun, praktik yang berlaku justru tidak menerapkan pendekatan sole effect ini. Suatu
kerugian yang secara efektif diderita oleh investor asing memang harus ada (necessary) dan
menjadi syarat utama (important condition) dalam persoalan indirect expropriation. Namun
kerugian efektif tidak cukup (insufficient) untuk menyatakan suatu negara telah melakukan
tindakan yang akibatnya setara dengan expropriation.35 Pendekatan yang melawan doktrin
sole effect ini dikenal sebagai perspektif sovereign regulatory power. Menurut perspektif ini,
kekuasaan negara untuk membuat peraturan harus dihargai dan dihormati. Perspektif ini
menekankan akan pentingnya menelaah maksud dan tujuan dari suatu peraturan atau
keputusan yang dibuat oleh negara. Apabila maksud dari peraturan atau keputusan tersebut
memang bona fide ditujukan untuk kepentingan umum dan bukannya untuk sengaja
merugikan pihak tertentu, maka peraturan atau keputusan dengan kriteria ini tidak serta-merta
dinyatakan sebagai tindakan setara expropriation. Perspektif ini merupakan pandangan yang
sekarang lebih banyak diterima dalam praktik.36
Pada bulan September tahun 2004, OECD menerbitkan working paper sehubungan dengan
investasi internasional. Publikasi ini membahas mengenai kontradiksi antara expropriation
dan hak negara untuk membuat peraturan menurut hukum investasi internasional. Mengutip
Ian Brownlie dalam tulisannya yang berjudul “Public International Law”, working paper ini
menyebutkan bahwa tidak semua tindakan pemerintah yang mempengaruhi kepemilikan
investor asing dapat semerta-merta dikatakan sebagai tindakan expropriation, ataupun yang
setingkat dengan expropriation. Sangat dimungkinkan suatu pelaksanaan kewajiban
pemerintahan akan menimbulkan dampak bagi hak-hak kepemilikan investor asing.37
Salah satu permasalahan utama yang dibahas dalam working paper ini ialah tidak adanya
batasan yang jelas mengenai tindakan pemerintah yang dikecualikan dari tindakan setara
expropriation. Hal ini terjadi karena instrumen hukum sehubungan dengan perlindungan hakhak investor asing sendiri tidak menjelaskan batasan tersebut. Contoh instrumen hukum yang
tidak menyertakan ruang lingkup tindakan pemerintah yang tidak berakibat pada
expropriation atau tidak bersifat expropriatory ialah BIT dimana negara Inggris menjadi salah
satu pihak perjanjiannya. Pasal 5 BIT Indonesia-Inggris hanya melarang Indonesia untuk
melakukan nasionalisasi, expropriaton atau tindakan yang akibatnya setara dengan
35
UNCTAD, Loc. Cit.,
36
Allen S. Weiner, Loc. Cit.
37
OECD (2004), “"Indirect Expropriation" and the "Right to Regulate" in International Investment Law”,
OECD Working Papers on International Investment, 2004/04, OECD Publishing, hal. 5-6.
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
12
expropriation terhadap investasi yang dilakukan oleh Inggris.38 Pasal ini tidak mengandung
penjelasan lebih lanjut mengenai ruang lingkup dari “tindakan yang akibatnya setara dengan
expropriation”.
Tindakan yang menimbulkan akibat setara expropriation berarti perbuatan tersebut
mengakibatkan kerugian substansial. Kerugian substansial merupakan persyaratan yang harus
ada untuk menentukan pertanggungjawaban dalam hal expropriation. Kerugian yang
dimaksud merupakan kerugian yang sedemikian parahnya sehingga tidak berlangsung dalam
waktu singkat atau untuk sementara saja.39
Sementara itu, yurisprudensi yang berkembang dari praktik penyelesaian sengketa antara
investor asing dengan negara cukup berkontribusi untuk menyusun kriteria yang dapat
digunakan dalam menentukan tindakan pemerintah sebagai tindakan yang akibatnya setara
expropriation. Tiga kriteria yang ditentukan berdasarkan yurisprudensi ini ialah tingkat
intervensi terhadap hak kepemilikan, karakter tindakan pemerintah dan intervensi terhadap
ekspektasi wajar dan ekspektasi berdasarkan investasi (the interference with reasonable and
investment-backed expectations).40
Kasus-kasus terkait Expropriation, Indirect Expropriation dan Tindakan Setara Expropriation
Isu seputar expropriation selalu dikaji secara komprehensif oleh akademisi maupun para
yuris. Pemahaman yang lebih mendalam mengenai konsep expropriation dan jenis-jenisnya
dapat diperoleh dengan mempelajari kasus-kasus seputar expropriation. Terdapat lima kasus
yang akan dibahas secara singkat.
Kasus pertama yang menunjukkan skema expropriation ialah kasus Chorzow Factory. Kasus
ini terjadi di tahun 1922 dan putusannya terbit di tahun 1929. Putusan dalam kasus ini
menunjukkan bahwa tindakan pemerintah suatu negara yang melakukan pengambilalihan aset
kekayaan secara fisik dan terang-terangan jelas dikualifikasi sebagai tindakan expropriation
langsung. Negara yang bertanggungjawab atas perbuatan tersebut ialah Polandia. Permanent
38
BIT ini tidak bersifat reciprocal atau timbal-balik layaknya BITs lain pada umumnya. Ps. 2 (1) dari BIT
Indonesia-Inggris secara tegas menyebutkan bahwa peraturan dalam BIT ini berlaku bagi investasi yang
dilakukan oleh penanam modal asal Inggris yang melakukan investasi di wilayah Indonesia.
39
Andrew Newcombe dan Lluis Paradell, Op. Cit., hal. 343-344.
40
Terjemahan bebas dari: “It is recognized by international law that measures taken by a State can interfere
with property rights to such an extent that these rights are rendered so useless that they must be deemed to have
been expropriated, even though the State does not purport to have expropriated them and the legal title to the
property formally remains with the original owner.” Starret Housing Corp. v Iran, sebagaimana dikutip dalam
OECD (2004), Op. Cit., hal. 11.
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
13
Court of International Justice yang memutus kasus tersebut membebankan kewajiban ganti
kerugian dan kompensasi terhadap Polandia.
Kasus yang kedua merupakan kasus yang menjelaskan mengenai indirect expropriation, yaitu
Siemens v Argentina. Kasus ini menunjukkan bagaimana wanprestasi yang dilakukan oleh
pemerintah Argentina dapat berujung pada tindakan indirect expropriation karena pemerintah
Argentina dianggap telah mengambilalih hak-hak yang timbul dari perjanjian proyek. Dalam
melakukan intervensi terhadap hak-hak kontraktual perwakilan Siemens sebagai investor
asing, pemerintah Argentina bertindak dalam kapasitas sebagai pemerintah (jure imperii).
Pemerintah Argentina mengakhiri perjanjian dengan perwakilan Siemens dengan menerbitkan
Decree 669/01. Hal demikian tidak dapat dilakukan oleh pihak perjanjian biasa.
Kasus yang ketiga ialah Waste Management II. Kasus ini memisahkan antara konsep
expropriation, indirect expropriation dan tindakan setara expropriation. Kasus ini juga
menegaskan bahwa wanprestasi oleh pemerintah bukan berarti selalu berujung pada tindakan
indirect expropriation. Investor asing tidak seharusnya melempar kesalahan kepada
pemerintah dengan langsung mengklaim pemerintah telah melakukan indirect expropriation.
Pandangan majelis arbiter dalam kasus tersebut dikuatkan dalam kasus yang diputus oleh
arbiter ICSID di tahun 2014, yaitu Emmis v Hungary. Pada tahun 2009, perusahaan
penanaman modal asing gagal mendapatkan izin siaran nasional melalui suatu proses tender.
Investor asing dalam kasus ini mengajukan gugatan expropriation. Namun, majelis arbiter
dalam kasus ini memutus bahwa tidak terdapat kejadian expropriation dalam kasus Emmis v
Hungary. Hal ini karena pada saat gugatan diajukan, investor asing tidak memegang izin yang
sah atas siaran radio nasional, dan suatu izin yang diberikan dari pemerintah pada dasarnya
bukan merupakan bentuk kepemilikan yang dapat diambilalih.
Kasus terakhir ialah kasus yang melibatkan Indoensia, yaitu Churchill Mining v Indonesia.
Pencabutan izin pertambangan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Kutai Timur
dikualifikasikan sebagai tindakan expropriation oleh Churchill Mining Plc. Dalam
gugatannya, Churchill Mining Plc. mendalilkan bahwa Indonesia telah melakukan
pelanggaran terhadap klausul Expropriation yang diatur dalam BIT Indonesia-Inggris.
Gugatan yang diajukan oleh Churchill Mining Plc. Pemerintah Indonesia sendiri mendalilkan
bahwa pencabutan izin dilakukan secara sah dan sesuai dengan hukum Indonesia. Pemerintah
Indonesia juga memohon kepada majelis arbiter untuk menentukan terlebih dahulu apakah
Churchill Mining Plc. telah mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Berdasarkan Pasal 2 BIT Indonesia-Inggris, perlindungan dalam BIT diberikan
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
14
kepada investor asing yang memenuhi ketentuan dalam perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia.
PEMBAHASAN
Kasus Chorzow Factory memberikan ilustrasi kasus expropriation secara langsung. Bentuk
pengambilalihan yang ditemui dalam kasus ini ialah pengambilalihan secara fisik terhadap
aset milik warga negara asing berupa tanah dan bangunan pabrik. Pengambilalihan yang
dilakukan oleh pemerintah Polandia dilakukan secara langsung dan terang-terangan. Kasus ini
terjadi di awal tahun 1900-an. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 1900-an awal, masih
dapat dijumpai kasus expropriation secara langsung. Namun, tindakan yang serupa dengan
tindakan pemerintah Polandia dalam kasus ini semakin sulit ditemui di masa kini.41 Adapun
apabila investor asing di masa kini hendak mengajukan klaim expropriation, maka investor
asing tersebut harus memahami, bahwa bentuk dari pengambilalihan tersebut melibatkan
pengambilalihan secara langsung terhadap aset atau benda yang berwujud, atau setidaktidaknya kondisi yang mereka alami harus menyerupai kondisi yang digambarkan dalam
kasus Chorzow Factory.
Dalam kasus yang kedua, yaitu Siemens v Argentina, majelis arbiter memutus bahwa
pemerintah Argentina telah melakukan tindakan indirect expropriation.42 Sesuai dengan
pendapat yang disampaikan oleh Zachary Douglas, dalam hal indirect expropriation
melibatkan perjanjian yang dibuat antara negara dengan investor asing, maka yang menjadi
objek pengambilalihan adalah hak-hak yang timbul dari perjanjian tersebut.43 Sebagaimana
halnya dengan hak dari SITS untuk memperoleh pembayaran dari pemerintah Argentina atas
41
Keempat kasus lainnya (Siemens v Argentina, Waste Management II, Emmis v Hungary dan Churchill
Mining v Indonesia) terjadi dari tahun 1990-an. Lihat juga pendapat August Reinisch dalam tulisannya yang
menyebutkan bahwa fokus dari hukum yang mengatur mengenai expropriation telah beralih pada indirect
expropriation. August Reinisch, Op. Cit., hal. 171. Lihat juga pendapat dari Rudolf Dolzer dan Felix Bloch: “At
a time when national policies concerning international economic relations are increasingly characterized by
concepts aiming at structural adjustment, good governance and export-led growth, and when many counries find
themselves in fierce competition for foreign direct investment, the era of straightforward formal expropriation of
alien property seems to have come to an end.” Rudolf Dolzer dan Felix Bloch, Op. Cit., hal. 155. Lihat juga
kasus Andrew Newcombe dan Lluis Paradell yang mengutip kasus De Sabla v Panama (1934). Bahkan kasus
yang terjadi di tahun 1934 ini tidak melibatkan peralihan kepemilikan tanah dari penggugat terhadap pemerintah
Panama. Melainkan dalam kasus ini, pemerintah Panama memberikan izin pertanahan atas tanah milik
penggugat kepada pihak ketiga.
42
Siemens v Argentina, Op. Cit., para.271.
43
Zachary Douglas, Op. Cit., hal. 334-335.
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
15
jasanya dalam Perjanjian Proyek, hak ini dapat dikategorikan sebagai hak kepemilikan yang
dapat menjadi objek expropriation.44
John H. Herz juga mengutarakan pendapat yang serupa dengan Zachary Douglas.45 Sementara
itu, sejalan dengan klausul yang dimuat dalam Guidelines on the Protection of Foreign Direct
Investment oleh World Bank, suatu negara tidak boleh mengakhiri, mengubah atau
menghilangkan kewajibannya dalam suatu perjanjian dengan investor asing, hal mana
dilakukan bukan dalam kapasitasnya sebagai pihak perjanjian biasa, melainkan sebagai
pemerintahan. Dalam penjelasan terhadap panduan tersebut, dinyatakan bahwa klausul ini
diperlakukan
sebagai
klausul
expropriation,
sebagaimana
sepuluh
klausul
yang
mendahuluinya dalam bab yang sama.46
Perbuatan pemerintah Argentina yang dilakukan dalam kapasitasnya sebagai pemerintah ialah
mengakhiri Perjanjian Proyek melalui Decree 669/01 tanpa memberikan kesempatan bagi
SITS untuk mengajukan upaya keberatan terhadap surat keputusan tersebut. Tindakan
tersebut, sebagaimana ditekankan pula oleh majelis arbiter dalam kasus ini, adalah tindakan
yang tidak didasari dari Perjanjian Proyek, melainkan didasari pada Emergency Law 2000.
Dalam kasus Waste Management II, Majelis Arbiter memutus bahwa tidak terdapat isu
pengambilalihan aset (baik expropriation maupun indirect expropriation) maupun isu
tindakan yang setara dengan expropriation (measures tantamount to expropriation). Namun,
majelis arbiter menekankan bahwa, kasus seperti Waste Management II ini dapat digolongkan
dalam tindakan setara expropriation apabila pihak tergugat menimbulkan kerugian substansial
dan melakukan tindakan yang menyimpang terhadap investasi dari penggugat. Wanprestasi
yang dilakukan oleh Kota Acapulco menimbulkan kerugian bagi Acaverde. Namun, tindakan
wanprestasi ini tidak cukup untuk menyatakan bahwa Mexico, melalui Kota Acapulco telah
melakukan tindakan setara expropriation. Kota Acapulco tidak mengakhiri perjanjian secara
44
Selain karena hak untuk menerima pembayaran ini secara umum dapat dialihkan, dapat dipertahankan
kepada setiap orang dan dapat dinilai dengan uang, hukum perdata Argentina mengakui hak-hak yang timbul
dari perjanjian sebagai hak yang dapat diambilalih. Berdasarkan Pasal 14 dan 17 dari Konstitusi Federal
Argentina dan peraturan pelaksananya, property mencakup segala kepentingan yang bernilai yang dapat dimiliki
oleh tiap subjek hukum selain hak untuk hidup dan hak kebebasannya. Dalam putusannya atas kasus Bourdieu
(1925), Mahkamah Agung Argentina menyebutkan bahwa setiap hak-hak yang timbul dari hubungan hukum
perdata termasuk dalam konsep property menurut konstitusi Argentina, sebagai konsekuensinya, setiap
pemegang hak dapat menjalankan hak-haknya dan mempertahankannya kepada tiap-tiap orang, termasuk
pemerintah. Wenhua Shan, The Legal Protection of Foreign Investment: A Comparative Study”, (t.k.:
Bloomsbury Publishing, 2014), hal. 104.
45
John H. Herz, Op. Cit., hal. 245.
46
“Section 11 of Guideline IV recommends that such practice be subject to the same conditions as
expropriation and that in such cases foreign investors should be compensated according to principles similar to
those set out in the guidelines for expropriation of specific investments.” The World Bank Group, "Legal
Framework for the Treatment of Foreign Investment, Volume II: Guidelines." (1992), hal. 29, para.49.
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
16
sepihak sehingga Acaverde sebagai pihak Perjanjian Konsesi yang dirugikan tetap dapat
mengklaim ganti kerugian berdasarkan hukum yang berlaku bagi Perjanjian Konsesi.
Majelis arbiter dalam kasus Emmis v Hungary memutus pada tingkat Yurisdiksi, bahwa kasus
Emmis v Hungary tidak melibatkan permasalahan expropriation sebagaimana didalikan oleh
penggugat. Hal ini disebabkan karena pada saat mengajukan gugatan expropriation,
penggugat tidak memiliki kekayaan atau hak-hak yang dapat diambilalih oleh pemerintah
Hungaria. Dalam kasus Emmis v Hungary, investor asing kehilangan izin siaran karena waktu
Kontrak Siaran telah habis. Menurut majelis arbiter, hak-hak yang dimiliki oleh Emmis et al
bukanlah hak kebendaan yang memberikan pemiliknya hak kepemilikan yang dapat
dipertahankan kepada siapapun. Sehingga, dalam kasus Emmis v Hungary, tidak terdapat
permasalahan expropriation, indirect expropriation maupun tindakan setara expropriation
sebagaimana yang diajukan oleh penggugat.
Tindakan pemerintah Indonesia yang menjadi permasalahan utama dalam dalil expropriation
yang diajukan oleh Churchill ialah pencabutan izin atas nama Perusahaan-perusahaan
Ridlatama. Namun, Churchill menyatakan bahwa Churchill memiliki kepentingan terhadap
izin-izin yang terdaftar atas nama Perusahaan-perusahaan Ridlatama tersebut. Sehingga,
tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tersebut membawa kerugian bagi
Churchill. ICD, sebagai bentuk investasi Churchill, memiliki hak untuk beroperasi di bidang
Jasa Pendukung Pertambangan Umum. Maka, Churchill pada dasarnya tidak dapat melakukan
kegiatan eksploitasi di daerah EKCP, karena kegiatan tersebut tidak sesuai dengan izin yang
diperoleh dari BKPM. Untuk mengatasi hal tersebut, Churchill melakukan praktik nominee
arrangement yang dilarang oleh Pasal 33 UU PM 2007. Konstruksi ini dapat dilihat dari
pembuatan Deed of Beneficial Control and Ownership antara ICD dan TCUP dengan
Perusahaan-perusahaan Ridlatama yang memegang kuasa pertambangan di wilayah EKCP.
Akta ini menunjukkan adanya perikatan antara Perusahaan-perusahaan Ridlatama dengan ICD
dan TCUP, dimana perikatan ini memberikan hak bagi ICD dan TCUP untuk melakukan
kegiatan eksploitasi, yaitu kegiatan yang sejatinya tidak dapat dilakukan oleh ICD dan TCUP
karena mereka tidak memiliki izin untuk itu.
Perbuatan-perbuatan dari Churchill ini menunjukkan bahwa klaimnya atas izin yang dicabut
tidaklah sah dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum penanaman modal Indonesia. Dengan
demikian, apabila ketentuan Pasal 15 huruf (e) dari UU PM 2007 yang mewajibkan para
penanam modal (termasuk investor asing) untuk mematuhi semua ketentuan peraturan
perundang-undangan dan putusan dari kasus EnCana v Ecuador dan Suez v Argentina
diaplikasikan dalam kasus Churchill Mining v Indonesia, didapati bahwa alas hak Churchill
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
17
atas izin yang dicabut oleh pemerintah Indonesia pada dasarnya tidaklah sah dan tidak sesuai
dengan ketentuan hukum penanaman modal Indonesia.
Kegiatan Penanaman Modal Indonesia diatur oleh UU PM 2007 berikut peraturan
pelaksananya dan peraturan-peraturan kepala BKPM. Sementara itu, relasi Indonesia dengan
negara-negara asal investasi asing diatur menurut perjanjian-perjanjian internasional bilateral
ataupun multilateral. Konvensi ICSID juga mengikat Indonesia dalam bidang penyelesaian
sengketa antara investor asing dengan Indonesia berdasarkan UU No. 5 Tahun 1968. Sebagai
negara anggota World Bank, Guidelines on the Protection of Foreign Direct Investment
berfungsi sebagai panduan hukum apabila terdapat hal-hal yang belum diatur. Perlu diingat
bahwa panduan ini tidak wajib mengikat terhadap Indonesia.
Perlindungan terhadap investor asing dari perbuatan expropriation mengacu pada Pasal 7 UU
Penanaman Modal. Investor asing juga memperoleh perlindungan serupa apabila negara
asalnya mengikatkan diri dengan Indonesia dalam suatu perjanjian internasional (BIT).
Sementara BIT memberikan perlindungan terhadap investor asing yang lebih luas, hukum
penanaman modal Indonesia tidak memberikan batasan yang jelas mengenai siapakah dan
dalam situasi bagaimanakah Indonesia harus bertanggungjawab terhadap perbuatan
pengambilaliahan kepemilikan asing.
Pertama-tama, UU Penanaman Modal tidak menjelaskan pengertian dari expropriation,
indiriect expropriation dan tindakan setara expropriation. Ketiga hal ini disebutkan dalam
hampir semua BIT yang dibuat oleh Indonesia dengan negara-negara lain. Namun, Indonesia
sendiri tidak secara aktif mengadakan pembatasan mengenai istilah-istilah tersebut, tentunya
dengan berkaca pada praktik hukum internasional. Kedua, UU Penanaman Modal tidak
mencantumkan syarat bagaimana investor asing yang mendalilkan expropriation berhak untuk
memperoleh perlindungan hukum menurut UU Penanaman Modal dan menurut BIT.
Sebagaimana ditemui dalam kasus Churchill Mining v Indonesia, pihak penggugat tidak
sepatutnya memperoleh perlindungan hukum menurut UU Penanaman Modal dan BIT.
Menurut Penulis, Pasal 7 UU PM 2007 seharusnya memuat pengaturan bahwa pemerintah
Indonesia dibebaskan dari tanggung jawab pemberian kompensasi yang adequate, efficient
dan prompt apabila menurut hukum yang berlaku di Indonesia, investor asing yang
bersangkutan telah terbukti melakukan kegiatan investasi secara tidak patuh terhadap hukum
penanaman modal Indonesia. Adapun ketentuan demikian juga perlu disertakan dalam BITs
yang dibuat oleh Indonesia. Pasal ini dapat mengikuti bentuk dari Parargraf 11, Bab IV,
Guidelines on the Protection of Foreign Direct Investment.
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
18
KESIMPULAN
Expropriation adalah pengambilalihan kepemilikan asing. Expropriation dilakukan dengan
pengambilalihan aset investor asing secara nyata dan fisik. Indirect expropriation pada
dasarnya merupakan pengambilalihan kepemilikan asing pula. Namun, pelaksanaannya lebih
sembunyi-sembunyi. Sehingga, tindakan indirect expropriation lebih tepat diasosiasikan
dengan tindakan pemerintah yang mengambilalih hak-hak kepemilikan yang tidak berwujud.
Sementara itu, tindakan yang setara dengan expropriation merupakan perluasan dari
expropriation maupun indirect expropriation. Dalam konteks tindakan setara expropriation,
tidak ada property atau kepemilikan asing yang diambilalih. Pemerintah melakukan kegiatan
regulasi atau melakukan suatu tindakan yang menimbulkan dampak negatif bagi investor
asing.
Pengaturan mengenai expropriation terdapat pada Pasal 7 UU Penanaman Modal. Indonesia
juga terikat dengan BITs. Dalam BITs ini terdapat klausul yang melindungi hak-hak
kepemilikan investor asing untuk tidak diambilalih. Sehingga, pemerintah Indonesia juga
wajib memperhatikan ketentuan-ketentuan mengenai expropriation dalam BITs. Permasalah
hukum expropriation dalam hukum penanaman modal Indonesia ialah tidak adanya
pengaturan mengenai definisi expropriation, indirect expropriation dan tindakan setara
expropriation. Selain itu, UU Penanaman Modal juga tidak mengatur mengenai syarat-syarat
expropriation yang sah sebagaimana diatur secara lebih spesifik dalam hukum internasional.
Implikasi yang dapat timbul dari kekosongan ini dapat dilihat melalui ilustrasi kasus Chuchill
Mining v Indonesia. Indonesia dapat digugat telah melakukan tindakan setara expropriation
dengan mencabut izin-izin pertambangan Perusahaan-perusahaan Ridlatama. Padahal, izinizin ini tidak dimiliki oleh Churchill sebagai penggugat secara sah dan sesuai dengan
ketentuan hukum penanaman modal Indonesia.
SARAN
Menurut Penulis, hukum penanaman modal Indonesia perlu mengatur batasan-batasan suatu
tindakan pemerintah disebut sebagai expropriation, indirect expropriation, tindakan setara
expropriation atau tindakan yang tidak termasuk sebagai pengambilalihan sama sekali.
Hukum penanaman modal Indonesia juga perlu melengkapi syarat-syarat pengambilalihan
yang sah agar sesuai dengan prinsip yang diterima dalam hukum internasional. Ketiadaan
pengaturan ini dapat berakibat pada ketidakpastian mengenai apakah suatu tindakan
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
19
pemerintah Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai expropriation. Hal ini dapat
menimbulkan kerugian bagi Indonesia karena investor asing yang merasa dirugikan dapat
mengajukan klaim bahwa Indonesia telah melakukan tindakan expropriation, indirect
expropriation atau tindakan setara expropriation.
KEPUSTAKAAN
Buku
Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary Sixth Edition. (t.k.: West Publishing Co., 1991).
Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata: Hak-hak yang Memberi Kenikmatan. (Jakarta:
Ind-Hil-Co, 2005).
Newcombe, Andrew dan Lluis Paradell. Law and Practice of Investment Treaties: Standards of
Treatment. The Netherlands: Kluwer Law International, 2009.
Shan, Wenhua. The Legal Protection of Foreign Investment: A Comparative Study”. (t.k.: Bloomsbury
Publishing, 2014).
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1986).
Sornarajah, M. The International Law on Foreign Investment. 3. New York: Cambridge University
Press, 2010.
Jurnal/Artikel
Aldrich, George H. "What Constitutes A Compensable Taking of Property? The Decisions of the IranUnited States Claims Tribunal." The American Journal of International Law 88, no. 4 (Oktober
1994): 585-610.
Benson, Bruce L.“The Evolution of Eminent Domain: A Remedy for Market Failure or an Effort to
Limit Government Power and Government Failure?” The Independent Review. Vol. XII. (2008):
423-432.
Dolzer, Rudolf dan Felix Bloch. “Indirect Expropriation: Conceptual Realignments?” International
Law FORUM du droit international 5. Isu 3. (Agustus 2003): 155-165.
Douglas, Zachary. “Property Rights as the Object of an Expropriation”. Building International
Investment Law: The First 50 Years of ICSID. (Kluwer Law International, 2015): 330-348.
Herz, John H. “Expropriation of Foreign Property”. The American Journal of International Law 35.
(April 1941): 243-262.
Reisman, W. Michael dan Robert D. Sloane. “Indirect Expropriation and its Valuation in the BIT
Generation”. Yale Law School Faculty Scholarship Series. (1 Januari 2014): 115-150.
Salacuse, Jeswald W. “BIT by BIT: The Growth of Bilateral Investment Treaties and Their Impact on
Foreign Investment in Developing Countries”. The International Lawyer. Vol. 4. No. 3. (1990):
655-675.
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
20
Weiner, Allen S. "Indirect Expropriations: The Need for a Taxonomy of "Legitimate" Regulatory
Purposes." International Law FORUM du droit international 5, no. 3 (Agustus 2003): 166-175.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. "Undang-undang Penanaman Modal." UU No. 25 Tahun 2007. 2007.
Tjitrosudibio, R. Subekti dan R., trans. "Kitab Undang-undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]."
Jakarta: Pradnya Paramita, 2007.
Kasus
Emmis International Holding, B.V., Emmis Radio Operating, B.V., MEM Magyar Electronic Media
Kereskedelmi es Szolgaltato KFT v Hungary. [Emmis v Hungary]. (Putusan Akhir ICSID, April
2014).
EnCana Corporation v. Republic of Ecuador. [EnCana v Ecuador]. (Putusan Akhir ICSID, 3 Februari
2006).
Suez, Sociedad General de Aguas de Barcelona S.A., and Vivendi Universal S.A. v The Argentine
Republic. [Suez et al. v Argentina]. (Putusan terhadap Tanggung Jawab, 30 Juli 2010).
Waste Mgmt., Inc. v United Mexican States. (Dissenting Opinion Keith Highet, 2 Juni 2000).
[Dissenting Opinion Keith Highet].
Publikasi, Laporan dan Dokumen Internasional
International Law Commission. "Fourth Report on State Responsibility." In Yearbook of the
International Law Commission, by F.V. Garcia Amador, 2-35. United Nations, 1959.
OECD (2004). “"Indirect Expropriation" and the "Right to Regulate" in International Investment
Law”. OECD Working Papers on International Investment. 2004/04. OECD Publishing.
UNCTAD. UNCTAD Series on Issues in International Investment Agreements II: Expropriation.
(New York dan Jenewa, 2012: United Nations).
The World Bank Group. “Guidelines on the Treatment of Foreign Direct Investment”. (Washington
D.C.: The World Bank, 1992).
------------- "Legal Framework for the Treatment of Foreign Investment, Volume II: Guidelines." 1992.
Internet
UNCTAD. “International Investment Agreements Navigator”.
http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA. Diakses 21 November 2015.
Analisis Hubungan..., Karina Khairunisa, FE UI, 2014
Download