Distribusi Vertikal Meiofauna Interstisiil pada

advertisement
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Meiofauna adalah istilah yang digunakan
untuk kelompok hewan yang berukuran antara
0.063-1 mm (Bouwman 1987, diacu dalam
Susetiono 1999). Anggota meiofauna dapat
digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu
meiofauna tetap dan meiofauna sementara.
Meiofauna tetap adalah hewan yang sepanjang
siklus hidup ukuran tubuhnya selalu berada di
dalam kisaran ukuran meiofauna (Coull
1988). Taksa meiofauna tetap adalah
Gastrotricha, Gnathosmulida, Kinorhyncha,
Loricifera, Tardigrada, Mystacocarida, dan
beberapa wakil dari Rotifera, Nematoda, Polychaeta, Copepoda, Ostracoda, Turbellaria, Acari, Hydrozoa, Nemertina, Entroprocta, Gastropoda, Aplacophora, Branchiopoda, Holothuroidea, Tunicata, Priapulida, Oligochaeta,
dan Sipuncula (Coull 1988). Meiofauna
sementara adalah hewan yang ketika juvenil,
berdasarkan ukuran tubuhnya, dikelompokkan
ke dalam meiofauna, tetapi ketika dewasa
dikelompok ke dalam makrofauna. Juvenil
dari makrofauna umumnya adalah meiofauna
sementara (Coull 1988). Kata meiofauna
berasal dari bahasa Yunani, yaitu meio yang
berarti lebih kecil (Higgins & Thiel 1988).
Ukuran meiofauna lebih kecil dari makrofauna, yaitu hewan yang tersaring di saringan
1 mm (Higgins & Thiel 1988), tetapi lebih
besar dari mikrofauna (Giere 1993).
Meiofauna dapat ditemukan hampir di
semua habitat air, mulai dari air tawar, payau
sampai dengan laut. Di wilayah laut,
meiofauna dapat ditemukan mulai dari daerah
intertidal sampai dengan laut dalam. Meiofauna juga dapat ditemukan diberbagai sedimen (interstisiil) mulai dari lumpur sampai
dengan kerikil kasar. Meiofauna yang hidup di
sedimen dapat melakukan distribusi vertikal.
Organisme yang hidup di sedimen laut disebut
sebagai organisme bentik atau bentos (Brusca
& Brusca 1990). Beberapa meiofauna ditemukan di atas sedimen, seperti pada daun
makroalga, bagian tubuh hewan (celah koral,
cacing tabung, duri Echinodermata), dan
lamun (Coull 1988).
Lamun tumbuh di sedimen laut. Lamun
termasuk kedalam divisi Spermatophyta; subdivisi Angiosperma, dan mempunyai dua
famili, yaitu Potamogetonaceae dan Hydrocharitaceae. Indonesia mempunyai 12 spesies
lamun (Fortes 1990). Sebagian besar sedimen
laut di dunia ditumbuhi lamun, kecuali di
Antartika (Hemminga & Duarte 2000).
Tanaman ini dapat ditemukan di daerah iklim
sedang dan tropis (Den hartog 1970). Delapan
spesies tumbuh di Teluk Banten (Kiswara &
Djamali 1995). Enhalus acoroides dan
Thalassia hemprichii adalah dua spesies yang
paling dominan di P. Kambing (Kiswara
2004).
Zona sebaran lamun di Teluk Banten mulai
dari pantai sampai dengan tubir. Perbedaan
zona sebaran lamun dijumpai dalam komposisi jenis lamun (vegetasi tunggal atau
campuran) dan luasan tutupannya (jarang,
sedang, tinggi atau sangat tinggi) (Kiswara
1992). Luasan tutupan lamun mempengaruhi
kepadatan meiofauna.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan meneliti distribusi
vertikal meiofauna interstisiil pada padang
lamun dengan luasan tutupan berbeda di Pulau
Kambing, Teluk Banten.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Februari sampai dengan September 2007.
Pengambilan contoh dilaksanakan pada bulan
Mei 2007 di P. Kambing, Teluk Banten.
Identifikasi dilakukan di Pusat Penelitian
Oseangrafi (P20), LIPI, Jakarta.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Objek penelitian ini adalah meiofauna
yang hidup di rongga antar butir sedimen
(interstisiil). Bahan-bahan yang digunakan
adalah contoh sedimen laut, formalin 4%, rose
bengal, dan gliserol. Alat yang digunakan
untuk penentuan stasiun adalah bingkai 50 x
50 cm2. Alat-alat yang digunakan untuk pengambilan contoh sedimen adalah core (p = 10
cm, d = 3 cm) dan (p = 30 cm, d = 5 cm) serta
botol plastik. Alat-alat yang digunakan untuk
menghitung parameter lingkungan adalah
termometer, refraktometer, penguji tanah (soil
tester), dan kertas tahan air (under water
paper). Alat yang digunakan untuk identifikasi meiofauna adalah loop Irwin dan mikroskop Leica ATC 2000 dan mikroskop stereo
Carton. Dokumentasi meiofauna menggunakan kamera Casio Exilim.
Deskripsi Tempat Pengambilan Contoh
Teluk Banten (5o55’- 6o5’ S, 106o5’- 106o
15’ E) terletak di utara Pulau Jawa, sekitar
2
175 km ke arah barat dari Jakarta. Teluk
Banten dibatasi oleh Tanjung Potang di
sebelah timur dan Tanjung Piatu di bagian
barat. Teluk Banten terdiri dari beberapa
Pulau, salah satunya adalah Pulau Kambing.
Penduduk setempat menyebutnya Pulau
Gedang.
Kedalaman laut di Teluk Banten kurang
dari 10 m. Komposisi sedimen didominasi
oleh pasir dan lumpur. Lamun di Teluk Banten tersusun tunggal atau campuran (Kiswara
1992). Posisi P. Kambing dapat dilihat di
Lampiran 1.
Penentuan Stasiun
Penentuan stasiun di P. Kambing berdasarkan luasan tutupan padang lamun. Empat
stasiun tersebut berdasarkan kepadatan luasan
tutupan padang lamun yaitu padat, sedang,
rendah, dan tidak ditumbuhi lamun, berturutturut untuk stasiun 1, 2, 3, dan 4. Kepadatan
luasan tutupan padang lamun ditentukan
menggunakan bingkai berukuran 50 x 50 cm2
(Kiswara & Djamali 1995).
Identifikasi Lamun
Identifikasi lamun dilakukan in situ.
Idenitfikasi mengacu pada Seagrass of the
World (Den hartog 1970). Ciri yang diperhatikan adalah struktur anatomi rizoma,
bentuk percabangan akar, pertulangan dan
dentikulasi daun, bentuk ujung daun, dan
ligula.
Pengambilan Contoh Sedimen
Contoh sedimen diambil dari empat
stasiun. Pada tiap stasiun, pengambilan
dilakukan sebanyak tiga kali. Sedimen
diambil menggunakan core (p = 10 cm, d = 3
cm). Ketika core ditekan ke dalam sedimen
diusahakan piston core sedekat mungkin
dengan permukaan sedimen untuk mencegah
pengadukan akibat tekanan dan tarikan core.
Sedimen di dalam core dipotong menjadi lima
bagian dengan ketebalan 2 cm (D1 = 1-2 cm,
D2 = 3-4 cm, D3 = 5-6 cm, D4 = 7-8 cm, D5
= 9-10 cm). Selanjutnya, tiap bagian sedimen
dimasukkan ke dalam botol plastik dan
diawetkan dengan larutan formalin 4% dan diwarnai menggunakan rose bengal (Susetiono
1995).
Pengukuran Parameter Lingkungan
Pengukuran suhu air, pH sedimen, dan
salinitas dengan refraktometer dilakukan in
situ pada tiap stasiun. Hasil pengukuran di
tulis di atas kertas anti air.
Ekstraksi Meiofauna
Tiap bagian sedimen dengan kedalaman
tertentu dituang ke dalam gelas ukur berisi air
tawar, lalu sedimen disaring dengan saringan
berukuran 1 mm (Susetiono 1995), dengan
tujuan memisahkan makrofauna. Sedimen
yang lolos dari saringan 1 mm ditampung di
dalam gelas ukur berisi air tawar. Air tawar
yang digunakan sebelumnya disaring dengan
saringan 0.032 mm untuk menghindari
kontaminasi organisme air tawar. Sedimen di
dalam gelas ukur, lalu didiamkan kira-kira 30
detik sampai pasir kasar tenggelam.
Meiofauna dan pasir halus yang melayanglayang diatas per-mukaan air disaring dengan
saringan 0.032 mm. Tahap ini diulang
sebanyak tiga kali. Setelah itu, sedimen yang
tertahan di saringan 0.032 mm di pindahkan
ke cawan Petri (Pfannkuche & Thiel 1988).
Analisis Total Berat Organik (TBO)
Contoh sedimen diambil dari tiap stasiun
menggunakan core (p = 30 cm, d = 5 cm).
Setelah itu sedimen disimpan di dalam
kantung plastik dan diberi label. Sedimen
dianalisis menggunakan metode pengabuan
yang dimulai dengan pemanasan selama 24
jam pada suhu 70o C. Setelah 24 jam, sedimen
didinginkan lalu ditimbang dan didapat berat
hasil pengeringan 70 oC (berat kering). Setelah
ditimbang, sedimen dimasukkan ke dalam
tanur untuk memasuki proses pengabuan
selama 4 jam pada suhu 600o C. Setelah 4 jam,
sedimen ditimbang. Selisih berat kering dengan berat sedimen setelah pengabuan merupakan jumlah TBO. TBO dinyatakan dalam
persen.
Analisis Butiran Sedimen
Contoh sedimen diambil dari tiap stasiun
menggunakan core (p = 30 cm, d = 5 cm).
Contoh sedimen disimpan di dalam kantung
plastik dan diberi label. Sedimen dianalisis
dengan menggunakan metode penyaringan
basah. Contoh sedimen di pindahkan ke dalam
mangkuk dan dipanaskan selama 24-48 jam
pada suhu 70 oC. Lalu, mangkuk berisi sedimen didinginkan dan ditimbang. Setelah itu
sedimen di dalam mangkuk disaring menggunakan saring bertingkat yaitu 8, 4, 2, 1, 0.5,
0.25, 0.125, dan 0.063 mm dengan sambil
dialiri air. Kuas digunakan untuk membantu
pengayakan bertujuan agar sedimen halus
tidak pecah. Hasil saringan tiap tingkat
diletakkan ke dalam mangkuk yang berbeda.
Mangkuk yang berisi sedimen hasil saringan
dipanaskan selama 24 jam pada suhu 80 oC.
3
Setelah itu ditimbang dan didapat berat
kering. Berdasarkan ukurannya ada tiga kelompok sedimen, yaitu kerikil yang berukuran
lebih besar dari 1 mm, pasir yang berukuran
0.063 sampai dengan 1 mm, dan lumpur yang
berukuran lebih kecil dari 0.063 mm (Giere et.
al 1988).
Identifikasi Meiofauna
Identifikasi meiofauna dilakukan sampai
dengan tingkat taksa utama meiofauna.
Identifikasi menggunakan mikroskop stereo,
mikroskop cahaya, dan loop Irwin, dengan
tujuan mengambil meiofauna dari dalam
cawan Petri. Identifikasi menggunakan Introduction to the Study of Meiofauna (Higgins &
Thiel 1988) dan Invertebrates (Brusca &
Brusca 1990). Taksa dengan kepadatan tertinggi diidentifikasi sampai tingkat famili.
Analisis Data
Data biologi dianalisis menggunakan
metode mulivariate, software PRIMER 5
(Plymouth Routines in Multivariate Ecological Research) (Deudero & Vincx 2000).
Kepadatan meiofauna ditulis dalam individu tiap 10 cm2. Jumlah meiofauna yang
didapat dikonversikan ke luas permukaan 10
cm2 dengan cara mengkalikan individu
dengan angka 1.4. Angka 1.4 didapat dengan
membagi nilai 10 cm2 dengan luas core (Ø = 3
cm).
HASIL
Kepadatan Meiofauna Tiap Stasiun dengan
Perbedaan Luasan Tutupan Vegetasi
Hasil penelitian ini didapatkan sebelas
taksa meiofauna di P. Kambing, yaitu
Nematoda, Copepoda, Polychaeta, Oligochaeta, Foraminifera, Ostracoda, Nauplii, Isopoda,
Acari, Kinorhyncha, dan Tardigrada (Lampiran 2 & 3). Tujuh taksa pertama selalu
ditemukan pada tiap stasiun (Tabel 1). Empat
taksa lain, Isopoda, Acari, Kinorhyncha, dan
Tardigrada, berturut-turut hanya ditemukan
pada stasiun 1, 2, 3, dan 4 (Tabel 1).
Nematoda adalah taksa yang mempunyai
kepadatan tertinggi pada tiap stasiun (Tabel
1).
Kepadatan meiofauna umumnya menurun
dari stasiun 1 ke 4 (Gambar 1). Kepadatan
tertinggi didapat pada stasiun 1 (2205.71 tiap
10 cm2), yaitu stasiun dengan luasan tutupan
lamun terpadat dan kepadatan terendah pada
stasiun 4 (1210.52 tiap 10 cm2), yaitu stasiun
tanpa ditumbuhi lamun (Gambar 1).
Distribusi Vertikal Meiofauna
Hasil dari perhitungan nilai persamaan
menggunakan persamaan Bray-Curtis ditampilkan dalam bentuk dendrogram (Gambar 2).
Angka pertama pada ujung dendrogram menunjukkan jenis stasiun (1, 2, 3, dan 4). Empat
stasiun tersebut berdasarkan kepadatan tutupan lamun yaitu padat, sedang, rendah, dan
tidak ditumbuhi lamun, berturut-turut untuk
stasiun 1, 2, 3, dan 4. Angka kedua menunjukan kedalaman sedimen, yaitu D1 = 1-2 cm,
D2 = 3-4 cm, D3 = 5-6 cm, D4 = 7-8 cm,
D5 = 9-10 cm (1, 2, 3, 4, dan 5).
Kelompok 1 terdiri dari 4.4, 3.4, 3.5, dan
4.5 .(Gambar 2). Kepadatan meiofauna dalam
kelompok ini berkisar antara 20-50 individu
tiap 10 cm2 (Gambar 2). Kelompok 2 terdiri
dari 2.1, 3.2, 3.1, 1.2, 1.1, 2.2, 1.3, dan 4.1.
Kepadatan meiofauna dalam kelompok ini
berkisar antara 300-700 individu tiap 10 cm2
(Gambar 2). Kelompok 3 terdiri dari 1.5, 2.5,
2.4, 2.3, 3.3, 4.2, 1.4, dan 4.3. Kepadatan
meiofauna dalam kelompok ini berkisar antara
60-200 individu tiap 10 cm2 (Gambar 2).
Meiofauna ditemukan sampai dengan kedalaman 10 cm (distribusi vertikal) (Gambar
3). Kepadatan meiofauna mengalami penurunan seiring dengan menurunnya kedalaman (Gambar 3). Kepadatan meiofauna tertinggi terdapat pada kedalaman 1-2 cm (D1)
(Gambar 3).
Parameter Lingkungan
Meskipun luasan tutupan lamun pada
setiap stasiun beragam tetapi memiliki nilai
pH dan salinitas yang sama, yaitu 7 dan 30 ‰.
Sedangkan nilai persentase TBO dan suhu air
berbeda. Suhu air berkisar antara 32-33 oC.
Persentase TBO tertinggi didapat pada stasiun
1 (28.27 %), yaitu stasiun dengan luasan
tutupan lamun terpadat dan terendah pada
stasiun 3 (21.64 %), yaitu stasiun dengan luasan tutupan lamun rendah (Tabel 2). Pasir
mendominasi komposisi sedimen di tiap stasiun (Tabel 3). Kandungan pasir tertinggi
didapat pada stasiun 2 (76.37 %) dan terendah
pada stasiun 4 (56 %). Kandungan kerikil
pada stasiun 4 tertinggi (24.46 %) dan terendah pada stasiun 2 (7.91 %). Sedangkan
kandungan lumpur tertinggi pada stasiun 1
(20.29 %) dan terendah pada stasiun 3 (10.52
%) (Tabel 3).
Download