sanksi pidana terhadap pelaku pencemaran dan

advertisement
`SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENCEMARAN DAN
PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Ahmad Faqih Syarafaddin
NIM: 107043200127
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1433 H / 2011 M
SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENCEMARAN DAN
PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh:
Ahmad Faqih Syarafaddin
NIM: 107043200127
Di Bawah Bimbingan
Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA
NIP: 196912011999031003
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENCEMARAN
DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT HUKUM ISLAM
DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009, telah diujikan dalam
Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Desember 2011. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada
Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.
Jakarta,14 Desember 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag
NIP. 196511191998031002
(............................... ..)
Sekretaris
: Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si
NIP. 197412132003121002
(............................... ..)
Pembimbing I : Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA
NIP. 196912011999031003
(............................... ..)
Penguji I
: Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA
NIP. 195703121985031003
(............................... ..)
Penguji II
: Dr. Djawahir Jejazziey, SH., MA
NIP. 195510151979031002
(... ............................ ..)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain,
maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 22 Desember 2011
Ahmad Faqih Syarafaddin
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Sang kreator Alam Semesta, yang telah
memperlihatkan kepada kita rambu-rambu Dien al-Haq dan menurunkan kitab alQur’an
yang menjelaskan dan mensyariatkan hukum-hukum kepada kita. Karena atas rahmat
serta ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat pada
waktunya.
Shalawat serta salam senantiasa tercurah ke haribaan junjungan alam Baginda
Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Mudah-mudahan kita termasuk golongan pengikutnya yang mendapatkan syafaat di
yaumil mahsyar kelak. Amiin.
Penulis pun merasa berhutang sekali kepada semua pihak yang selama
ini telah
membantu baik secara langsung maupun dorongan moral yang tak ternilai harganya
dengan sesuatu apapun dan sampai kapan pun. Semoga suatu saat nanti penulis dapat
membalasnya dengan sesuatu yang pantas. Sehingga rasa terima kasih penulis
sampaikan pada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta;
i
2. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag., sebagai Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum, dan Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi,
M. Si., sebagai Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum; 3.
Bapak Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA., selaku Dosen Pembimbing yang
telah meluangkan waktunya selama penulis menyelesaikan skrispsi. Terima
kasih atas bimbingan, kesabaran, keramahan hati, dan nasihat-nasihat
berharga yang telah bapak berikan;
4. Bapak Dr. Fachruddin Majeri Mangunjaya, M.Si, selaku Tokoh Lingkungan
Hidup dan Religion and Conservation Initiative Conservation International
Indonesia yang telah mentransfer ilmunya kepada penulis melalui proses
wawancara;
5. Pimpinan beserta seluruh staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, dan Perpustakaan Umum Jakarta Selatan, yang telah
memberikan fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk mengadakan
studi perpustakaan;
6. Keluargaku tercinta, Bapak H. Abdul Ghofur dan Ibu Hj. Laila Anisah yang
tak pernah berhenti mendo’akanku. Kakak-kakakku, A kasyfi, Mbak Clara, A
Dharief, Mbak Barir, dan keponakanku Ibanez Ajda Abdurrahman. Terima
kasih yang tak terhingga atas do’a, kasih sayang, dan dukungan dari kalian
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah senantiasa
memberikan keberkahan kepada kalian semua;
ii
7. Guru-guruku, Abah KH. E. Fachruddin Masthuro, Drs. KH. Abdul Aziz
Masthuro, KH. Iyan Tibyani (Alm), Drs. KH. Oman Komaruddin, M. Ag, H.
Sholahuddin, M. Ag, Drs. R. Dedi Supriatna, M. Ag. Serta seluruh dewan
guru di SDN Setia Darma 03, MI El-Nur El-Kasysyaf, MTs dan MA AlMasthuriyah Sukabumi yang tak bisa penulis sebutkan satu per satu namun
tak mengurangi rasa ta’zim penulis. Terima kasih atas ilmu yang kalian
berikan, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dalam mengukir masa depan;
8. Sahabat-sahabatku di Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum angkatan 2007,
khususnya Keluarga Besar PH Ceria 07. I feel like the luckiest person in the
world, because i can through the incredible four years lifetime with the
gorgeous people like you all;
9. Keluarga Bapak Muhammad Nuh dan teman-teman KKN Crew21 2010.
Terima kasih karena telah membawaku ke dalam satu bulan yang indah.
Semoga tali silaturrahim di antara kita takkan pernah putus sampai kapanpun;
10. Sohib-sohibku di kost JW Marriott, Ahmad Fudhoily, S. Psi., Fadil, Bos
Dendi, Hajir, Dagol “Hasbi”, Ignazio Nurhalim. Juga teman-teman di
Keluarga Alumni Al-Masthuriyah kom. UIN Jakarta, Ardi, Zikril, Adze,
Rumpin, Ribop, kita harus selalu
Serta seorang wanita
menjaga arti dari sebuah persahabatan ini.
bernama Sinta Hamidatus Saidah,
yang telah
memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, saya
tidak akan melupakan jasamu. Semoga Allah senantiasa melindungimu.
iii
Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi
ini, penulis haturkan beribu-ribu terima kasih dan semoga Allah SWT membalas
segala kebaikan yang telah kalian berikan.
Robbanaa laa tuzigh quluubana ba’da idzhadaitanaa wahablanaa minladunka
rahmatan innaka antaal-wahhaab. Amiin.
Jakarta,
13 Shafar 1433 H
7 Januari 2012 M
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... ..................................................................................................i
DAFTAR ISI ..................................................................................................................iv
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ... ..................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... ................................................ 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... ......................................................... 9
D. Review Studi Terdahulu ....................................................................... 10
E. Metode Penelitian ................................................................................. 12
F. Sistematika Penulisan ........................................................................... 14
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG LINGKUNGAN
HIDUP ... ................................................................................................... 16
A. Pengertian Lingkungan Hidup ............................................................ 16
B. Lingkungan Hidup Menurut Konsepsi Islam ... .................................. 20
C. Unsur-Unsur Lingkungan Hidup ... ..................................................... 26
D. Fungsi Lingkungan Hidup ... ................................................................ 27
E. Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup .................................. 29
1. Pengertian Tentang Pencemaran dan Perusakan
Lingkungan Hidup ...................................................................... 29
2. Macam-Macam Pencemaran Lingkungan Hidup ........................ 32
v
BAB III
SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF ...................................................................... 35
A. Klasifikasi Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam ... ............. 35
1. Pengertian Tindak Pidana ............................................................. 35
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ......................................................... 37
3. Pengertian Sanksi Pidana ... ......................................................... 38
4. Macam-Macam Sanksi Pidana .................................................... 38
B. Klasifikasi Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Positif ... .............. 55
1. Pengertian Tindak Pidana.............................................................. 55
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ......................................................... 56
3. Pengertian Sanksi Pidana ... ......................................................... 58
4. Macam-Macam Sanksi Pidana .................................................... 60
BAB IV
TINDAK PIDANA PENCEMARAN DAN PERUSAKAN
LINGKUNGAN HIDUP DALAM HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 ................................66
A. Tindak Pidana Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup
Menurut Hukum Islam .........................................................................66
B. Tindak Pidana Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 .............................69
C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pencemaran dan
Perusakan Lingkungan Hidup ...............................................................78
vi
D. Analisis Hukum Islam Terhadap Pencemaran dan Perusakan
Lingkungan Hidup ... ......................................................................... 83
BAB V
PENUTUP ... ............................................................................................... 94
A. Kesimpulan ... ....................................................................................... 94
B. Saran ... .................................................................................................. 95
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….
LAMPIRAN
vii
98
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508
pulau. Indonesia terbentang antara 6 derajat garis lintang utara sampai 11 derajat garis
lintang selatan, dan dari 97 derajat sampai 141 derajat garis bujur timur serta terletak
antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia/Oceania. Posisi strategis ini
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kebudayaan, sosial, politik, dan
ekonomi.
Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik. Apabila perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka luas
Indonesia menjadi 1,9 juta mil persegi.1 Sebagai sebuah negara yang dihuni oleh
penduduk yang multi-etnik dan multi-kultural, Indonesia telah menjadi negara yang
kaya dengan berbagai nilai sejarah dan sosial budaya yang dapat dijadikan modal bagi
pembangunan bangsa.2
Namun, di samping itu semua Indonesia termasuk negara yang rawan bencana
bila ditinjau dari letak geografi, kondisi topografi, keadaan iklim, dinamika bumi,
1
Tentang
Indonesia,
artikel
diakses
http://www.indonesia.bg/indonesian/indonesia/index.htm
2
pada
13
April
2011
dari
Rusli Wahid, dkk, Untukmu Kami Hadir, (Jakarta: Sekretariat Ditjen Bantuan dan Jaminan
Sosial, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Departemen Sosial, 2006), h. 75
1
2
faktor demografi dan kondisi sosial ekonomi. Indonesia telah menjelma menjadi
negeri bencana. Betapa tidak. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, negeri ini
dihajar oleh bencana bertubi-tubi dengan korban ratusan ribu jiwa dan harta benda
yang tidak terkira.
Sebagaimana diketahui, secara geologis wilayah Indonesia terletak di dalam jalur
lingkaran bencana gempa (ring of fire). Jalur sepanjang 1.200 km dari barat sampai ke
timur Indonesia yang merupakan batas-batas tiga lempengan besar dunia, yaitu
lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, akan berpotensi memicu berbagai
kejadian alam yang besar. Berada pada pertemuan tiga sistem pegunungan (Alpine
Sunda, Circum Pacific, dan Circum Australia), lebih 500 gunung api (128 aktif),
negara kepulauan, 2/3 liter air, 5000 sungai besar dan kecil (30% melintasi wilayah
padat penduduk), jumlah penduduk yang besar dan tidak merata, keanekaragaman suku,
agama, adat, budaya, golongan. Kondisi demikian menyebabkan Indonesia menjadi
sangat rawan akan bencana.3
Di dalam Islam, bencana adalah sesuatu yang menimpa atau membinasakan,
kemalangan dan kejadian yang tidak diinginkan. Bencana juga lazim disebut dengan
musibah. Dua kata itu memiliki makna yang sama.4
3
Hadi Purnomo dan Ronny Sugiantoro, Manajemen Bencana: Respons dan Tindakan Terhadap
Bencana, (Yogyakarta: Medpress, 2010), h. 31
4
Hasan Muafif Ambary, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), jld.
3, h. 308
3
Namun, sebelum bencana itu terjadi sudah selayaknya manusia sebagai salah satu
penghuni muka bumi ini untuk senantiasa merawat, melestarikan serta menjaga bumi ini
dari hal-hal yang negatif yang dapat merusak alam semesta. Paling tidak dapat
mengurangi terjadinya bencana yang disebabkan oleh ulah tangan-tangan manusia
dan kelalaiannya yang berakibat fatal.5
Berbagai macam bencana alam dapat menyerang kapan saja, menyebabkan
kehilangan harta dan nyawa. Gempa bumi, angin puting beliung, banjir, kebakaran
hutan, hujan asam, dan gelombang pasang yang umum disebut bencana alam,
semuanya akan menyebabkan kerusakan. Namun ada yang perlu direnungkan apakah
memang bencana itu datang dari kehendak-Nya? Sebab berbagai bencana itu tidak bisa
dilepaskan dari campur tangan manusia yang terus mengeksploitasi alam tanpa pernah
mempertimbangkan keseimbangan alam itu sendiri.6
Akhir-akhir ini kerusakan lingkungan merupakan suatu isu global di samping isu
demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Di antara isu tersebut kerusakan lingkungan
merupakan isu yang paling terkristalisasi. Di Indonesia, tata kehidupan yang
berwawasan lingkungan sebenarnya telah diamanatkan dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, (selanjutnya penulis akan singkat menjadi UU RI No. 32 Tahun
2009), BAB I Ayat 3 yang berbunyi: Pembangunan yang berkelanjutan yang
5
Agus Mustofa, Menuai Bencana, (Surabaya: PADMA Press, 2005), h. 236. 6 Purnomo, Manajemen Bencana, h. 21
4
berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memajukan
lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk
menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan masa
depan.7
Lingkungan sebagai sumber daya merupakan
aset yang dapat diperlukan untuk
mensejahterakan masyarakat. Hal ini sesuai dengan perintah Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945, yang selanjutnya disebut dengan UUD 1945 yang
menyatakan bahwa , “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Dengan demikian
menurut Otto Soemarwoto sebagaimana dikutip oleh Supriyadi, sumber daya
mempunyai daya regenerasi dan asimilasi yang terbatas. Selama eksploitasi alam atau
permintaan layanan ada di bawah batas daya regenerasi dan asimilasi, sumber daya
terbaharui itu dapat digunakan secara lestari. Tetapi apabila batas itu dilampaui,
sumber daya itu akan mengalami kerusakan dan fungsi sumber daya itu sebagai
faktor produksi dan konsumsi atau sarana pelayanan akan mengalami gangguan.8
Berdasarkan penjelasan di atas dapat terlihat bahwa alam atau lingkungan sangat
berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia, karena manusia berinteraksi dengan
lingkungannya. Manusia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya,
membentuk dan terbentuk juga oleh lingkungan hidupnya.
7
Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan Tentang Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2010), h. 130
8
Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 4.
5
Melihat betapa pentingnya pengaruh lingkungan bagi manusia, maka yang harus
dilakukan adalah menjaga dan melestarikan lingkungan untuk kelangsungan hidup
manusia itu sendiri. Dalam UU RI No. 32 Tahun 2009 Pasal 65 ayat 1 menyebutkan
bahwa: “ Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai
bagian dari hak asasi manusia.”
Namun, begitu besarnya kekayaan alam Indonesia terutama sub-sektor kehutanan
sudah seharusnya menjadi perhatian kita guna memanfaatkan dan melestarikannya.
Terlebih ini harus diperhatikan dengan serius oleh para pemegang kebijakan negeri
ini. Berbagai kerusakan lingkungan akibat eksploitasi, penebangan kayu ilegal, dan
penjarahan kekayaan alam lainnya yang terjadi telah mengakibat berbagai kerusakan
dan bencana. Bahkan membawa kerugian yang besar bagi Indonesia, di mana
diperkirakan kerugian mencapai ratusan juta bahkan milyaran rupiah.
Penjarahan kekayaan alam terutama di sub-sektor kehutanan dengan maraknya
penebangan kayu ilegal memang tidak terlepas dari aktivitas produksi perusahaanperusahaan besar swasta. Dan bahkan diperkirakan 70-75% dari kayu ditebang secara
illegal. Menurut WWF, penebangan kayu ilegal di Indonesia dimotori oleh beberapa
faktor: Kapasitas perusahaan pemotongan kayu di Indonesia dan Malaysia yang
berlebihan. Keduanya memiliki fasilitas untuk mengolah kayu dalam jumlah besar
walau produksi kayu sendiri telah menurun sejak masa-masa tenang di tahun 1990an.
WWF melaporkan bahwa kedua negara tersebut memiliki kemampuan untuk
mengolah 58,2 juta meter kubik kayu setiap tahunnya, sedangkan produksi hutan
6
secara legal hanya mampu mensuplai sekitar 25,4 juta meter kubik. Sisa kapasitasnya
digunakan oleh kayu yang ditebang secara illegal.9
Persoalan lingkungan di masa yang akan datang akan semakin berat dan bersifat
kompleks, sehingga semakin terbuka demi sistem pendidikan formal maupun
informal yang telah mencoba memperkenalkan segi-segi perlindungan lingkungan.
Banyak bidang ilmu yang mengkaji tentang lingkungan, tetapi meihat dari sudut
pandang tertentu. Lingkungan dan permasalahannya pada akhirnya telah mempunyai
spesialisasi ilmu sendiri.
Sayangnya manusia tidak pernah jera dan mau mengambil pelajaran di balik
bencana alam yang terjadi. Mereka bebal dan buta tuli terhadap tanda-tanda yang
dihadirkan oleh alam sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap perilaku manusia
yang rakus dan serakah dalam mengesploitasi alam. Sepertinya syair Ebiet G.Ade
“mungkin alam sudah enggan bersahabat dengan kita” semakin menunjukkan
kebenaran faktualnya. Bahkan bukan lagi sekedar ’mungkin‘ tapi sudah benar-benar
benci dan marah terhadap prilaku dekonstruktif manusia terhadap alam sekitarnya.
Buktinya hampir tiap hari bencana alam akrab mengancam hidup manusia.10
Melihat kepada fakta tersebut di mana perusakan lingkungan hidup sudah
merajalela sehingga bencana datang silih berganti, jelas-jelas itu sangat bertentangan
9
Harwiyaddin Kama, Eksploitasi Atas Kekayaan Alam Indonesia, artikel diakses pada
20 Juni
2011 dari http://bumianoa.wordpress.com/2010/06/07/eksploitasi-atas-kekayaan-alam-indonesia/
10
Gunawan Adnan, Fiqih Lingkungan, artikel diakses pada
20 Juni
http://bebasbanjir2025.wordpress.com/04-konsep-konsep-dasar/fiqih-lingkungan/
2011 dari
7
dengan kewajiban kita sebagai khalifah di muka bumi untuk menjaga dan merawat
lingkungan di sekitar kita. Di sinilah pemerintah sangat berperan dalam menciptakan
sebuah lingkungan yang jauh dari permasalahan dan dampak yang sangat
mengkhawatirkan.
Indonesia sebagai negara yang di dalamnya marak akan perbuatan eksploitasi
alam secara illegal, masih banyak terdapat masyarakatnya yang belum mengetahui
bagaimana sanksi pidana yang diterapkan Pemerintah di dalam UU RI No. 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan dalam hukum
Islam kepada para pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup tersebut.
Meski pada kenyataannya mayoritas warga negara Indonesia adalah beragama Islam.
Oleh karena itu ada baiknya perspektif hukum Islam mengenai pemberian sanksi
pidana kepada pelaku perusakan ligkungan hidup
dimasukkan dalam pembahasan ini
sebagai perbandingan.
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, maka penulis merasa
perlu melakukan penelitian dan mengangkatnya menjadi sebuah skripsi yang
berjudul: “SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENCEMARAN DAN
PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009”
8
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Permasalah pencemaran dan perusakan lingkungan hidup merupakan hal yang
perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius, karena masalah ini hampir setiap hari
menjadi topik pembicaraan masyarakat. Berita mengenai masalah pencemaran atau
perusakan lingkungan hidup pun hampir setiap harinya menghiasi media, baik media
massa maupun media elektronik.
Guna memudahkan pembatasan masalah dan fokus masalah dalam kajian skripsi
ini, penulis akan membatasi masalah dan merumuskan permasalahan. Pembatasan
permasalahan merupakan poin yang penting untuk menghindari dari meluasnya
obyek kajian, sedangkan perumusan masalah bertujuan untuk mengarahkan alur
bahasan dan menjawab berbagai permaslahan sebagai suatu substansi dari skripsi.
Berdasarkan atas pemaparan latar belakang skripsi ini, penulis membatasi
permasalahan pada sanksi pidana yang diterapakan kepada pelaku pencemaran
atau
perusakan lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dan
kemudian ditelaah secara komparatif menurut hukum Islam.
Dari pembatasan masalah di atas, secara lebih terperinci perumusan masalah
dalam skripsi ini lebih memfokuskan pada beberapa pembahasan sebagai berikut:
1.
Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup dalam hukum Islam dan Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009?
2.
Apa faktor-faktor penyebab terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berkut:
1. Untuk mengetahui sanksi pidana terhadap pelaku pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup dalam hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009;
2.
Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup.
Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai aspirasi penulis
kepada Pemerintah dan Lembaga yang berwenang untuk
semakin baik dan adil
dalam melaksanakannya. Manfaat praktis bagi penulis, pembaca, serta masyarakat pada
umumnya adalah untuk mengetahui sanksi pidana terhadap pelaku pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup dalam sistem hukum pidana Islam dan UndangUndang
nomor 32 Tahun 2009.
Secara akademis, skripsi ini dapat bermanfaat bagi para akademisi Fakultas
Syariah dan Hukum pada umumnya dan bagi Program Studi Perbandingan Mazhab
dan Hukum pada khususnya, sebagai tambahan referensi tentang studi komparatif
mengenai sanksi pidana terhadap pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup dalam hukum Islam maupun dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
10
D. Review Studi Terdahulu
Sejauh penelitian mengenai topik yang membahas masalah lingkungan hidup baik
mengenai konsep, ketentuan-ketentuan, status maupun masalah lain yang berkaitan
dengan perusakan lingkungan hidup, baik yang mengkaji secara spesifik masalah
tersebut maupun yang menyinggung secara umum.
Penulispun melakukan studi
pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan judul skripsi, di antaranya sebagai
berikut:
Penulis
: Dana Supriana
Fakultas
: Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Tahun
: 2008
Judul
: ISLAM TENTANG LINGKUNGAN SEBUAH KONSEP
PENDIDIKAN
AGAMA
ISLAM
YANG
BERWAWASAN
LINGKUNGAN
Dalam skripsi ini dipaparkan bagaimana peranan Pendidikan agama Islam dalam
menyikapi lingkungan yang ada di sekitar kita. Pada skripsi ini pula diuraikan
mengenai masalah sikap tanggungjawab dan kewajiban kaum muslimin dalam
menangani permasalahan lingkungan. Perbedaan dengan skripsi penulis adalah,
skripsi yang ditulis oleh Dana Supriana fokus kepada pendidikan agama Islam yang
berbasis lingkungan di mana dalam skripsi itu hanya terpaku di dalam dunia
pendidikan. Di dalam skripsi yang ditulis oleh Dana Supriana tidak menitikberatkan
kepada eksistensi Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 dalam menerapkan sanksi
kepada pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, di dalam skripsi ini pula
11
tidak dicantumkan sksistensi hukum Islam dalam pemberian sanksi terhadap pelaku
perusakan lingkungan hidup. Selanjutnya:
Penulis
: Helmi Maulana
Fakultas
: Syariah dan Hukum
Tahun
: 2008
Judul
: PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 2 TAHUN 2008 DALAM
PERSPEKTIF
HUKUM
KEHUTANAN
DAN
KONSEPSI
PERLINDUNGAN ALAM DALAM ISLAM.
Persamaan dalam skripsi yang ditulis Helmi Maulana adalah sama-sama
membahas tentang perlindungan terhadap alam atau lingkungan hidup. Di antaranya
adalah membahas tentang konsepsi perlindungan alam dalam Islam. Namun yang
menjadi perbedaan dari skripsi penulis adalah di mana dalam skripsi yang ditulis oleh
Helmi Maulana dicantumkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari
Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan
Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan. Sedangkan di dalam skripsi
penulis lebih berkutat pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yang lebih jauh akan membahas
mengenai sanksi yang diterapkan kepada pelaku perusakan lingkungan hidup dalam
Undang-Undang tersebut dan dalam hukum Islam.
Dari beberapa kajian yang disebutkan di atas, terlihat bahwa masing-masing
hanya membahas mengenai lingkungan menjadi suatu objek tertentu. Akan tetapi,
12
belum terdapat suatu kajian perbandingan yang spesifik mengenai pemberian sanksi
kepada pelaku perusakan lingkungan hidup dalam sistem hukum Islam dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang merupakan perbedaan spesifik
dibanding karya tulis yang telah ada.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis
penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian dengan cara
mengumpulkan data-data yang berasal dari berbagai macam literatur buku, artikel,
makalah, majalah, koran serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan masalah
yang diangkat.
2. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
kepustakaan, yaitu dengan membaca berbagai macam literatur yang relevan dengan
topik masalah dalam penelitian ini yang meliputi semua referensi yang terdapat dalam
bentuk buku dan sejenisnya yaitu karangan, laporan penelitian, mata pelajaran,
majalah, brosur, surat kabar dll.11 Selain itu penulis juga mengumpulkan data melalui
teknik wawancara dengan tokoh/aktivis lingkungan hidup guna
menggali
prinsipprinsip mendasar yang terbaru dan telah berkembang untuk diteliti.
11
Jaenal Aripin, Metode Dan Teknik Pengumpulan Data, Makalah disampaikan pada Pelatihan
Metodologi Penelitian Mahasiswa FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 30 Oktober 2009, h. 1
13
3. Sumber Data
a. Sumber data primer, sumber data primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data.12 Dan yang menjadi sumber data
primer dalam penulisan skripsi ini yaitu buku-buku yang berkaitan dengan
bahan penelitian antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
dan
buku-buku lain yang berkaitan dengan bahasan penulisan.
b. Sumber data sekunder, sumber data sekunder merupakan sumber data yang
tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data.13 Dan sumber data
sekunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu artikelartikel dan makalah-makalah yang berkaitan dengan permasalahan yang
dibahas dalam skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai
berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab
persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut dianalisis
dengan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode dengan menganalisis dan
menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu gambaran secara jelas
hingga menemukan jawaban yang diharapkan. Maka hasil kajian kepustakaan dan
wawancara akan dianalisis secara deskriptif setelah melalui proses editing
12
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), Cet. Ke2, h. 225
13
Ibid., h. 225
14
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dah Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Agar lebih mendapatkan gambaran yang menyeluruh, skripsi ini ditulis dengan
menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab I Berisikan pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah, Pembatasan
dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi
Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Alasan-alasan subsub bab tersebut diletakkan pada bab 1 adalah untuk lebih mengetahui alasan
pokok mengapa penulisan ini dilakukan dan untuk lebih mengetahui batasan
dan metode yang dilakukan sehingga maksud dari penulisan ini dapat
dipahami.
Bab II Tinjauan umum atau landasan teori mengenai lingkungan hidup, yang dibagi
dalam beberapa sub, yakni: Pengertian Lingkungan Hidup, Lingkungan
Hidup Menurut Konsepsi Islam, Unsur-Unsur Lingkungan Hidup, Fungsi
Lingkungan Hidup, serta Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup.
Bab III Membahas mengenai sanksi pidana dalam perspektif hukum Islam dan
hukum positif yang dibagi dalam dua sub bab, yaitu: Klasifikasi tindak
pidana dalam hukum Islam dan Klasifikasi tindak pidana dalam hukum
15
positif. Yang masing-masing terdiri dari pembahasan Pengertian Tindak
Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana, Pengertian Sanksi Pidana, dan
Macammacam Sanksi Pidana.
Bab IVMembahas mengenai tindak pidana pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup dalam hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang
dibagi ke dalam empat sub bab, yaitu Tindak Pidana Pencemaran dan
Perusakan Lingkungan Hidup Menurut Hukum Islam, Tindak Pidana
Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009, Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pencemaran dan
Perusakan Lingkungan Hidup, Analisis Hukum Islam Terhadap Pencemaran
dan perusakan Lingkungan Hidup.
Bab V Merupakan bab terakhir yang menjadi penutup dengan berisikan kesimpulan
dan saran-saran. Bab ini bertujuan untuk memberikan kesimpulan dari babbab sebelumnya mengenai apa dan bagaimana isi pokok bahasan tersebut
dan selanjutnya memberikan saran mengenai isi dari penulisan ini.
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG LINGKUNGAN HIDUP
A. Pengertian Lingkungan Hidup
Pengertian lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang
mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak
langsung. Lingkungan bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan abiotik. Jika
kita berada di sekolah, lingkungan biotiknya berupa teman-teman sekolah, bapak ibu
guru serta karyawan, dan semua orang yang ada di sekolah, juga berbagai jenis
tumbuhan yang ada di kebun sekolah serta hewan-hewan yang ada di sekitarnya.
Adapun lingkungan abiotik berupa udara, meja kursi, papan tulis, gedung sekolah,
dan berbagai macam benda mati yang ada di sekitar.1
Lingkungan hidup terdiri dari dua kata, yakni: Lingkungan dan Hidup. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia lingkungan berarti daerah, golongan; kalangan, dan
semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia dan hewan.2 Sedangkan hidup
berarti masih terus ada, bergerak dan bekerja sebagaimana mestinya.3 Jika kedua kata
1
Afandi Kusuma, Pengeritan, Kerusakan Lingkungan, Dan Pelestarian, artikel diakses pada
Selasa 12 Juli 2011 dari http://afand.abatasa.com/post/detail/2405/linkungan-hidup-kerusakanlingkungan-pengertian-kerusakan-lingkungan-dan-pelestarian2
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2007), Cet. Ke-4, h. 675
3
Ibid., h. 400
16
17
tersebut digabungkan, maka lingkungan hidup berarti daerah atau tempat di mana
makhluk hidup untuk bertahan dan bergerak sebagaimana mestinya.
Beberapa pakar lingkungan tidak membedakan secara tegas antara pengertian
lingkungan dengan “lingkungan hidup”, baik dalam pengertian sehari-hari maupun
dalam forum ilmiah. Namun yang secara umum digunakan adalah bahwa istilah
“lingkungan” lebih luas daripada ‘lingkungan hidup.” Istilah lingkungan hidup dalam
bahasa Inggris disebut dengan environment, dalam bahasa Belanda disebut dengan
millieu, atau dalam bahasa Perancis disebut dengan i environment.
Secara umum lingkungan hidup diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhuk hidup termasuk di dalamya manusia dan
perilakunya yang mempegaruhi kelangsungan perkehidupan dan kesejahteran
manusia serta makhluk hidup lainnya.4
Lingkungan hidup ialah jumlah semua benda yang hidup dan tidak hidup serta
kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati. Manusia di sekitar kita adalah pula
bagian dari lingkungan hidup kita masing-masing. Oleh karena itu kelakuan manusia,
dan dengan demikian kondisi sosial, merupakan pula unsur lingkungan hidup kita.5
Lebih lanjut beberapa pendapat dari para ahli dan pakar lingkungan dalam
mengemukakan tentang definisi lingkungan hidup antara lain:
6
4
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), cet. Ke- 2, h. 1
5
A. Tresna Sastrawijaya, Pencemaran Lingkungan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. Ke-2, h.
18
Otto Soemarwoto, seorang ahli ilmu lingkungan
(ekologi) tekemuka
mendefinisikannya sebagai berikut: Lingkungan adalah jumlah semua benda dan
kondisi
yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita.
Secara teoritis ruang itu tidak terbatas jumlahnya, namun secara praktis ruang itu
selalu diberi batas menurut kebutuhan yang dapat ditentukan.
Munadjat Danusaputro, ahli hukum lingkungan terkemuka dan Guru Besar
Hukum Lingkungan
Universitas Padjajaran mengartikan lingkungan hidup sebagai
semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya,
yang terdapat dalam ruang tempat masnusia berada dan mempengaruhi hidup serta
kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya.6
Menurut Emil Salim lingkungan hidup diartikan sebagai segala
benda,
kondisikeadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tepati dan
mempengaruhi hal-hal yang hidup, termasuk kehidupan manusia.7
Soedjono mengartikan “lingkungan hidup” sebagai lingkungan hidup fisik atau
jasmani yang mencakup dan meliputi semua unsur dan faktor fisik jasmaniah yang
terdapat dalam alam. Dalam pengertian ini, maka hewan, dan tumbuh-tumbuhan
tersebut dilihat dan dianggap sebagai perwujudan fisik jasmani belaka. Dalam hal ini
6
7
N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 4
Emil Salim, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1985), cet.
Ke-5, h. 16
19
lingkungan
diartikan,
mencakup
lingkungan
hidup
manusia,
hewan
dan
tumbuhtumbuhan yang ada di dalamnya.8
Sedangkan menurut pengertian yuridis, seperti diberikan di dalam Pasal 1 Ayat 1
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang
Perlindungan Dan Pengelolan
Lingkungan Hidup (selanjutnya penulis singkat menjadi UU RI No. 32 tahun 2009),
lingkungan hidup diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi
alam itu sendiri, kelangsungan perkehidupan, dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain.9
Dan dari definisi-definisi tersebut dapat penulis simpulkan bahwa lingkungan
hidup adalah suatu rangkaian atau suatu sistem yang saling mempengaruhi
kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan, baik terhadap manusia, hewan, tumbuhan
maupun terhadap benda mati lainnya.
Istilah lingkungan hidup itu sendiri merupakan hal yang baru di Indonesia. Di
mana istilah lingkungan hidup baru muncul sekitar tahu 1970-an seiring dengan
adanya konferensi stockholm mengenai lingkungan hidup dan pembangunan
berkelanjutan di tahun 1972.10
8
R. M. Gatot P. Soemartono, Mengenal Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
1991), h. 14
9
Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan Tentang Lingkungan Hidup, (Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, 2010), cet. Ke-1, h. 130
10
Wawancara Pribadi dengan Fachruddin Majeri Mangunjaya. Jakarta, 6 Januari 2012
20
B. Lingkungan Hidup Menurut Konsepsi Islam
Di dalam Islam, masalah lingkungan
hidup tidak hanya terbatas pada masalah
sampah, pencemaran, penghutanan kembali maupun sekedar pelestarian alam. tetapi
lebih dari itu semua, masalah lingkungan
hidup merupakan bagian dari suatu
pandangan hidup, sebab ia merupakan kritik terhadap kesenjangan yang diakibatkan
oleh pengurasan energi dan keterbelakangan yang diakibatkan oleh pengejaran
pertumbuhan ekonomi yang optimal dan konsumsi yang maksimal.
Dengan kata lain lingkugan hidup berkaitan dengan pandangan dan sikap hidup
manusia untuk melihat dirinya sendiri maupun pada titik pengertian yang demikian
inilah norma-norma fiqih yang merupakan penjabaran dari nilai-nilai dasar Al-Qur’an
dan Sunnah.11
Alam semesta (lingkungan hidup) adalah karunia yang diberikan oleh Allah
SWT kepada manusia, di mana alam semesta beserta segala isinya diciptakan oleh
sang Khaliq untuk kelangsungan hidup manusia di muka bumi. Allah SWT
memberikan langit, bumi, air, tumbuh-tumbuhan, laut, sungai dan segala keperluan
hidup manusia dengan tujuan agar manusia dapat hidup dan menikmati segala
fasilitas yang Allah SWT berikan.
11
Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi, Hingga Ukhuwah,
(Bandung: Mizan, 1995), cet. Ke- 5, h. 133
21
Seperti firman-Nya dalam Q.S. Ibrahim (14) ayat 32-34 yang berbunyi:
⎯Β ⎯μ/ l z'ù ™$Β
™$ϑ¡9# ∅Β Α“Ρ&ρ Ú‘{#ρ N≡θ≈ϑ¡9# ,={
Ν39 ‚™ρ ⎯ν Β'/ s79# ’û
∩⊂⊂∪ ‘$κ]9#ρ ≅‹9# Ν39
“ fG9
=9# Ν39
‚™ρ Ν39 $%—‘ N≡ ϑV9#
‚™ρ ⎦⎫7←#Š ϑ)9#ρ §ϑ±9# Ν39
⎯≈¡Σ}# χ) $δθÁtB ω !#
“%!# !
‚™ρ ∩⊂⊄∪
≈γΡ{#
MϑèΡ #ρ‰è? β)ρ νθϑG9'™ $Β ≅2 ⎯Β Ν39?#™ρ
(٣٢ -٣٤ : ١٤ / ‫‘ ∪⊆⊂∩ ) ﻢﻴهﺎﺮﺑإ‬$2 Πθ=à9
Artinya: ‘‘Allah-lah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan
air hujan dari langit, Kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai
buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan dia Telah menundukkan bahtera bagimu
supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan dia Telah
menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan dia Telah menundukkan (pula)
bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah
menundukkan bagimu malam dan siang. Dan dia Telah memberikan kepadamu
(keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu
menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya
manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).’’
Dalam ayat di atas sangat jelas bahwa alam semesta dan segala isinya merupakan
fasilitas yang diberikan oleh Allah SWT kepada makhluknya di bumi khususnya umat
manusia. Nikmat yang tidak ternilai dan sangat besar. Dengan karunia-Nya Allah
SWT memerintahkan kepada manusia untuk memanfaatkan segala faslitas yang
sudah tersedia, karena Allah menganggap bahwa manusia sudah diberi kelebihan
yang tidak diberikan kepada makhluk lain. Allah juga memberikan wewenang kepada
manusia agar mengelola bumi ini dengan sebaik-baiknya, karena kedudukan manusia
22
adalah sebagai khalifah di muka bumi. Dengan mengelola dan menjaga bumi dari
kerusakan berarti manusia sudah dapat mewujudkan tugasnya sebagai khalifah.
Kendatipun manusia diberi kewenangan untuk mengolah isi alam semesta ini,
namun tidak berarti manusia memiliki kekuasaan tak terbatas terhadap alam semesta
dan segala isinya. Bahkan sebaliknya, justru manusia harus menjaga kelestarian alam
agar tidak dirusak, dieksploitasi dan dicemari secara liar, karena pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup dapat mangakibatkan hilangnya manfaat lingkungan
hidup itu sendiri bagi manusia.
Allah SWT telah memerintahkan kepada manusia untuk memperlakukan bumi
dengan ramah, memperbaikinya, dan tidak membuat kerusakan di atasnya. Semua itu
merupakan bentuk pemenuhan amanah kekhilafahan yang diemban, dengan
mensyukuri nikmat-Nya, serta melaksanakan di atasnya. Dalam hal ini juga manusia
berbuat baik terhadap bumi, maka bumi akan bebuat baik pula terhadap kita. Karena
sesuatu yang baik untuk yang baik pula. hal tersebut dijelaskan dalam Q.S. Al-A’raf
(7):58
79≡‹2 #‰3Ρ ω) l ƒ† ω ]7z “%!#ρ ⎯μ/‘ βŒ*/ …μ?$6Ρ l ƒ† =‹Ü9# $#79#ρ
(٧:٥٨/ ‫)ﻓﺎﺮﻋﻷا‬
∩∈∇∪ βρ 3±„ Θθ)9 M≈ƒψ# ∃ÇΡ
Artinya: ‘‘Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan
seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh
merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orangorang yang bersyukur.’’
23
Dari ayat di atas, dapat kita lihat bahwa bentuk perlakuan yang baik yang
teragung adalah pencegahan terhadap segala bentuk pencemaran dan perusakan yang
dapat mematikan segala potensi baik dan berkah dalam tanah yang teah diciptakan
Allah SWT sesuai dengan fitrahnya. Dan manusia tidak dibenarkan mengubah fitrah
tanah yang telah digariskan oleh Allah SWT. Karena segala penyimpangan dari fitrah
dalam bidang apapun merupakan bentuk pengerusakan yang dilarang.
Dalam peranannya sebagai khalifah, manusia yang harus
memanfaatkan, dan memelihara, baik langsung
mengurus,
maupun tidak langsung amanah dari
Allah SWT berupa bumi dan segala isinya, seperti gunung-gunung, laut, air, awan,
dan angin, tumbuh-tumbuhan, sungai, binatang-binatang justru banyak tingkah
lakunya yang tidak diimbangi dengan pemikiran akan masa depan kehidupan generasi
berikutnya. Banyak kemajuan yang diraih oleh manusia membawa dampak buruk
terhadap kelangsungan lingkungan hidup.
Jika kita membuka kitab suci Al-Qur’an dan mengkajinya, sebenarnya di dalam AlQur’an tersebut sebuah ayat yang menerangkan bahwa bencana alam dan krisis
lingkungan adalah ulah dari manusia itu sendiri.
Hal demikian diterangkan dalam Q.S. Ar-Rum (30):41
#θ=Ηå “%!# Ùè/ Νγ)ƒ‹‹9 ¨$Ζ9# “‰ƒ& M6¡. $ϑ/ s79#ρ 99# ’û Š$¡9# γß
( ٣٠:٤١ / ‫ ∪⊇⊆∩ ﻣ ّﻮﺮﻟ ا‬βθè_ ƒ Νγ=è9
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
24
Ayat di atas menerangkan bahwa, terjadinya kerusakan di muka bumi ini adalah
disebabkan oleh ulah tangan manusia, dan pada akhirnya akan memberikan dampak
buruk bagi manusia itu sendiri. Bencana yang datang silih berganti mengringi
kerusakan alam yang semakin hari semakin parah ini bukan salah siapapun.
Melainkan salah dari manusia itu sendiri. Sebagai contoh, perilaku manusia yang
merusak hutan berakibat pada banjir yang merenggut nyawa dan meleyapkan harta
benda manusia. Ketika
bencana alam itu datang, manusia seharusnya menyadari
kesalahannya dalam mengeksploitasi alam secara semena-mena.12 Oleh sebab itu,
yang mengemban tugas untuk menjadikan agar alam ini kembali bersahabat dan
menjadi tempat yang nyaman bagi kelangsungan hidup manusia adalah manusia itu
sendiri.
Di bawah ini ada beberapa ayat Al-Qur’an yang menerangkan agar manusia
senantiasa memelihara dan selalu menjaga karunia Allah SWT yang terbesar yaitu alam
semesta beserta isinya.
Di antaranya dalam Q.S. An-Nahl (16):30
$‹Ρ‰9# ν‹≈δ ’û #θΖ¡m& ⎥⎪%#9 # z #θ9$% Ν3/‘ Α“Ρ& #Œ$Β #θ)?# ⎦⎪%#9 ≅Š%ρ
(١٦:٣٠/ ‫)⎫⎦ ∪⊃⊂∩ ﻞﺤّﻨﻟا‬Gϑ9# ‘#Š ΝèΖ9ρ  z ο zψ# ‘#$!ρ πΖ¡m
Artinya: “Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang
Telah diturunkan oleh Tuhanmu?" mereka menjawab: "(Allah Telah menurunkan)
kebaikan". orang-orang yang berbuat baik di dunia Ini mendapat (pembalasan) yang
12
Nadjamudddin Ramly, Membangun Lingkungan Hidup yang Harmoni dan Berkepribadian,
(Jakarta: Grfindo Khazanah Ilmu, 2005), cet. Ke-1, h. 5
25
baik. dan Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan Itulah sebaik-baik
tempat bagi orang yang bertakwa.”
Ayat di atas menerangkan bahwa orang-orang yang berbuat baik di dunia akan
mendapat pembalasan yang baik dari Allah SWT. Arti dari berbuat baik di sini
dikatakan juga berbuat baik dalam menjaga lingkungan, dalam ayat ini Allah SWT
menjanjikan kepada manusia yang berbuat baik dalam arti luas, baik terhadap
terhadap diri sendiri, kepada sesama
Tuhan,
manusia dan terhadap alam semesta
(lingkungan), akan mendapat balasan yang baik dari-Nya.13
Kemudian dalam Q.S. Al-A’raf (7):56
=ƒ % !# MΗq‘ β) $èϑÛρ $ùθz νθãŠ#ρ $γs≈=¹) ‰è/ Ú‘{# †û #ρ‰¡? ωρ
( ٧:٥٦ / ‫⎫⎦ ∪∉∈∩ ) ﻓﺎﺮﻋﻷا‬Ζ¡sϑ9# ∅Β
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Ayat di atas menujukan larangan untuk berbuat kerusakan atau tidak bermanfaat
dalam bentuk apa pun, baik menyangkut perilaku, seperti merusak, membunuh,
mencemari sungai, dan lain-lain, maupun menyangkut akidah, seperti kemusyrikan,
kekufuran, dan segala bentuk kemaksitan.14 Apabila kita sebagai manusia tidak dapat
13
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), vol. 7, cet. Ke-8, h. 221
14
Tim Penyusun Lajnah Pentashilan Mushaf Al-Qur’an, Pelestarian Lingkungan Hidup (Tafsir
Al-Qur’an Tematik), (Jakarta: Lajnah Pentashilan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang Dan Diktat
Departmen Agama RI, 2009), h. 273
26
menjaga dan melestarikan lingkungan kita sendiri, maka akan mengakibatkan
kerusakan dan gangguan serta hilangnya keseimbangan lingkungan hidup.
Jadi, pemeliharaan dan perawatan adalah hal yang sangat penting dalam
pengembangan dan pelestarian lingkkungan hidup dan segala hasil cipta pekerjaan
manusia itu. Juga terhadap segala sumber daya yang memungkinkan ia mencipta dan
bekerja. Selain itu, manusia senantiasa ingin hidup dalam keadaan tenteram lalu ia
menjaga terpeliharanya tata tertib kehidupan dalam lingkungan rumah tangganya dan
pergaulan ramai di masyarakatnya. Hal yang demikian inilah yang diisyaratkan dalam
ajaran sunnah yang menegaskan bahwa kalian (manusia) adalah pemelihara (ra’in).
Dan pemelihara itu haruslah memikul tanggung jawab (mas’ul).15
Untuk itu, sebagai khalifah di muka bumi tugas manusia adalah menjaga,
memelihara, dan melestarikan alam ini dengan pengetahuan yang dimilikinya. Jangan
justru menyalahgunakan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk merusak dan
menjadikan alam ini menjadi tidak nyaman sebagai tempat tinggal makhluk hidup.
C. Unsur-Unsur Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup disebut juga dengan lingkungan hidup manusia
(human
environment). Istilah ini biasa dipakai dengan lingkungan hidup. Bahkan seringkali
dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai lingkungan saja. Dari definisi-definisi di
15
Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, h. 140
27
atas, maka pengertian lingkungan hidup itu dapat dirangkum dalam suatu rangkaian
unsur-unsur sebagai berikut:
1. Semua benda, berupa manusia, hewan, tumbuhan, organisme, tanah, air,
udara, rumah, sampah, mobil, angin, dan lain-lain. Keseluruhan yang
disebutkan ini digolongkan sebagai materi. Sedangkan satuan-stuannya
disebutkan sebagai komponen;
2. Daya, disebut juga dengan energi;
3. Keadaan, disebut juga dengan kondisi atau situasi;
4. Perilaku atau tabiat;
5. Ruang, yaitu wadah berbagai komponen itu berada;
6. Proses interaksi, disebut juga saling mempengaruhi, atau biasa pula disebut
dengan jaringan kehidupan. 16
D. Fungsi Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup merupakan bagian yang mutlak dari kehidupan manusia.
Dengan kata lain, lingkungan hidup tidak terlepas dari kehidupan manusia. Manusia
mencari makan dan minum serta memenuhi kebutuhan lainnya dari
ketersediaan
atau sumber-sumber yang diberikan oleh lingkungan dan kekayaan alam sebagai
sumber pertama dan terpenting bagi pemenuhan berbagai kebutuhannya. Manusia
makan dari tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan biji-bijian atau buah-buahan
16
Harun M. Husein, Lingkungan Hidup: Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 8
28
seperti beras, jagung, tomat. Manusia makan daging hewan, yang juga merupakan
bagian dari lingkungan.
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumberdaya alam,
yang berupa tanah, air dan udara dan sumberdaya alam yang lain yang termasuk ke
dalam sumberdaya alam yang terbarukan maupun yang tak terbarukan. Namun
demikian harus disadari bahwa sumberdaya alam yang kita perlukan mempunyai
keterbatasan di dalam banyak hal, yaitu keterbatasan tentang ketersediaan menurut
kuantitas dan kualitasnya. Sumberdaya alam tertentu juga mempunyai keterbatasan
menurut ruang dan waktu.
Keberadaan sumberdaya alam, air, tanah dan sumberdaya yang lain menentukan
aktivitas manusia sehari-hari. Kita tidak dapat hidup tanpa udara dan air. Sebaliknya
ada pula aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya dan
lingkungan di sekitarnya. Kerusakan sumberdaya alam banyak ditentukan oleh
aktivitas manusia. Banyak contoh kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan
yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran udara, pencemaran air,
pencemaran tanah serta kerusakan hutan yang kesemuanya tidak terlepas dari
aktivitas manusia, yang pada akhirnya akan merugikan manusia itu sendiri.17
Dari lingkungan hidup, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan bisa memperoleh
daya atau tenaga. Manusia memperoleh kebutuhan pokok atau primer, kebutuhan
sekunder atau bahkan memenuhi lebih dari kebutuhannya sendiri berupa hasrat atau
17
Sudarmadji, Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup dan Otonomi Daerah, artikel
diakses pada 12 Juli 2011 dari http://geo.ugm.ac.id/archives/125
29
keinginan. Atas dasar lingkungan hidupnya pulalah manusia dapat berkreasi
mengembangkan bakat atau seni. Adanya sepeda, mobil, rumah, gedung dan
sebagainya adalah hasil-hasil kreasi dan seni umat manusia yang dipengaruhi oleh
faktor lingkungan.
Dengan demikian, dapat dipahami, bahwa manusia dan makhluk hidup lainnya
tidak bisa hidup dalam kesendirian. Bagian-bagian atau komponen lain, mutlak harus
ada untuk mendampingi dan meneruskan kehidupan dan eksistensinya.18
E. Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup
1. Pengertian Tentang Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup
Bahaya yang senantiasa mengancam kelestarian lingkungan dari waktu ke
waktu ialah “pencemaran” dan perusakan lingkungan hidup. Ekosistem dari
suatu lingkungan dapat terganggu kelestariannya oleh karena pencemaran dan
perusakan lingkungan. Orang sering mencampur adukkan antara pengertian
pencemaran dan perusakan lingkungan padahal antara keduanya terdapat
perbedaan. UU RI No. 32 Tahun 2009 juga membedakan keduanya:
1) Pencemaran Lingkungan Hidup: adalah masuk atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia sehingga melampaui baku kerusakan lingkungan hidup.
(Pasal 1 Ayat 14).
18
Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pemangunan, h. 4
30
2) Perusakan Lingkungan Hidup: adalah tindakan orang yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau
hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.19 (Pasal 1 Ayat 16).
Secara mendasar dalam pencemaran terkandung pengertian pengotoran
(Costamination) dan perburukan (Deterioration). Pengotoran dan pemburukan
terhadap sesuatu semakin lama akan kian menghancurkan apa yang dikotori atau
diburukkan sehingga akhirnya dapat
memusnahkan setiap sasaran yang
dikotorinya.
Sebagaimana dilangsir dalam buku Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia
karya Abdurrahman, para pakar lingkungan pun memberikan definisi yang
berbeda-beda mengenai masalah pencemaran lingkungan:
R.T.M
Sutamihardja,
merumuskan
pencemaran
adalah
penambahan
bermacam-macam bahan sebagai hasil dari aktivitas manusia ke lingkungan dan
biasanya memberikan pengaruh yang berbahaya terhadap lingkungan itu.
Sedangkan Munadjat Danusaputra merumuskan pencemaran lingkungan
sebagai suatu keadaan dalam mana suatu materi, energi dan atau informasi
masuk atau dimasukkan di dalam lingkungan oleh kegiatan manusia dan/atau
secara alami dalam batas-batas dasar atau kadar tertentu, hingga mengakibatkan
terjadinya gangguan keruskan dan atau penurunan mutu lingkungan, sampai
19
Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan Tentang Lingkungan Hidup, (Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, 2010), cet. Ke-1, h. 131 31
lingkungan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, dilihat dari segi
kesehatan, kesejahteraan dan keselamatan hayati.20
Pencemaran erat kaitannya dengan kegiatan manusia, antara lain berupa:
1) Kegiatan-kegiatan industri, dalam bentuk limbah, zat-zat buangan
berbahaya seperti logam-logam berat, zat radioaktif, air buangan
panas, juga dalam bentuk kepulan asap;
2) Kegiatan pertambangan, berupa terjadinya kerusakan instalasi,
kebocoran, pencemaran buangan-buangan penambangan, pencemaran
udara dan rusaknya lahan-lahan bahan pertambangan;
3) Kegiatan transportal, berupa kepulan asap, naiknya suhu udara kota,
kebisingan dari kendaraan bermotor, tumpahan-tumpahan bahan bakar
terutama minyak bumi dari kapal-kapal tanker dan lain-lain;
4) Kegiatan pertanian, terutama akibat dari residu pemakaian zat-zat
kimia yang memberantas binatang-binatang penggangu seperti
insektisida, pestisida, herbisida, dan fungisida. Demikian pula
pemakaian pupuk dan arorganis dan lain-lain.21
Pencemaran itu terjadi karena ada intervensi atau ada masukan eksternal dari
luar. Apabila terjadi pencemaran,
maka otomatis terjadi juga sebuah kerusakan.
Tetapi apabila terjadi kerusakan belum tentu terjadi sebuah pencemaran. Hal ini
20
Abdurahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1986), Cet. Ke-2,
h. 98
21
Husein, Lingkungan Hidup, h. 25
32
terjadi apabila kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh bencana alam
seperti terganggunya keseimbangan pohon di dalam area perhutanan apabila
terjadi tanah longsor.22
2. Macam-Macam Pencemaran Lingkungan Hidup
Pada dasarnya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup tidak
mengandung perbedaan, karena unsur-unsur esensial keduanya adalah sama.
Baik
pencemaran
lingkungan
atau
perusakan
lingkungan
adalah
tindakantindakan yang menimbulkan perubahan baik langsung ataupun tidak
langsung, pada intinya pencemaran dan perusakan menyebabkan lingkungan
kurang atau tidak berfungsi lagi.
Permasalahan pencemaran lingkungan yang harus kita atasi bersama di
antaranya pencemaran air, tanah, dan sungai, pencemaran udara perkotaan,
kontaminasi sampah, hujan asam, perubahan iklim global, penipisan lapisan
ozon, kontaminasi zat radioaktif, dan sebagainya. Untuk menyelesaikan masalah
pencemaran lingkungan ini, tentunya kita harus mengetahui sumber pencemar,
bagaimana proses pencemaran itu terjadi, dan bagaimana langkah penyelesaian
pencemaran itu sendiri.
Proses pencemaran itu dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung.
Secara langsung yaitu bahan pencemar tersebut langsung berdampak meracuni
sehingga menggangggu kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan atau
22
Wawancara Pribadi dengan Fachruddin Majeri Mangunjaya. Jakarta, 6 Januari 2012
33
mengganggu keseimbangan ekologi baik air, udara, maupun tanah. Proses tidak
langsung, yaitu beberapa zat kimia bereaksi di udara, air, maupun tanah,
sehingga menyebabkan pencemaran.23
Berikut akan dipaparkan beberapa macam pencemaran lingkungan hidup yang
ada di sekitar, antara lain:
1)
Pencemaran Udara
Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat
asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi)
udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara
dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama,
akan dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Bila
keadaan tersebut terjadi, maka udara dikatakan telah tercemar dan
kenyamanan hidup terganggu.24
2) Pencemaran Air
Polusi air dapat berasal dari sumber terpusat yang membawa pencemar
dari lokasi-lokasi khusus seperti pabrik-pabrik, instalasi pengolah limbah dan
tanker minyak, dan sumber tak terpusat, yang ditimbulkan jika hujan dan salju
cair melewati lahan dan menghanyutkan pencemar-pencemar di atasnya
23
Pencemaran Lingkungan, artikel
http://daniey.wordpress.com/pencemaran-lingkungan/
24
diakses
pada
21
Juli
2011
Wisnu Arya Wardhana, Dampak Pencemaran Lingkungan, (Yogyakarta: Andi, 2004), h. 27
dari
34
seperti pestisida dan pupuk dan mengendapkannya di dalam danau, telaga,
rawa perairan pantai dan air yang terdapat dalam bawah tanah.
3) Pencemaran Tanah
Pencemaran tanah dapat terjadi karena hal-hal di bawah ini. Pertama ialah
pencemaran secara langsung. Misalnya karena menggunakan pupuk secara
berlebihan, pemberian pestisida atau insektisida, dan pembuangan limbah
yang tidak dapat dicernakan seperti plastik.
Pencemaran dapat juga melalui air. Air yang mengandung bahan
pencemar (polutan) akan mengubah susunan kimia sehingga mengganggu
jasad yang hidup dalam atau di permukaan tanah. Pencemaran dapat juga
karena melalui udara. Udara yang tercemar akan menurunkan hujan yang
mengandung bahan pencemar ini. Akibatnya tanah akan tercemar juga.25
Apabila bahan-bahan asing tersebut berada di daratan dalam waktu yang
lama dan menimbulkan gangguan terhadap kehidupan manusia, hewan
maupun tanaman, maka dapat dikatakan bahwa daratan telah mengalami
pencemaran. Kalau hal ini terjadi, maka kenyamanan hidup yang merupakan
sasaran peningkatan kualitas hidup tidak dapat dicapai.
25
Sastrawijaya, Pencemaran Lingkungan, h. 67
BAB III
SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF
A. Klasifikasi Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam
1.
Pengertian Tindak Pidana
Dalam hukum Islam istilah tindak pidana sering disebut jarimah.
atau jinayah
(
).
(
)
Secara etimologi jarimah adalah:


Artinya: “Jarimah yaitu melukai, berbuat dosa dan kesalahan.”
Menurut Ahmad Warson Munawir, jarimah secara etimologis berarti
perbuatan yang diancam hukuman (delik).1 Sedangkan secara terminologis istilah
jarimah menurut Abdul Qadir Audah adalah sebagai berikut:2


Artinya: “Jarimah adalah larangan-larangan syara’ yang (yang apabila
dikerjakan) diancam oleh Allah dengan hukuman had atau
ta’zir.”
1
Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), cet. Ke14, h. 187
2
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, (Beirut: Muassasah, al-Risalah, 1994), cet. Ke-II,
Juz. 1, h. 66
35
36
Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang
dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dengan perkara
syara’ pada pengertian tersebut di atas, yang dimaksud bahwa sesuatu perbuatan
baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh syara’. Juga perbuatan atau tidak
berbuat
dianggap
sebagai
jarimah,
kecuali
apabila
diancam
hukuman
terhadapnya.3
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kata jarimah identik
dengan pengertian yang dalam hukum positif disebut sebagai tindak pidana
pelanggaran. Maksudnya adalah satuan atau sifat dari suatu pelanggaran hukum.
Dapat dikatakan bahwa jarimah diistilahkan dengan delik atau tindak pidana.
Para fuqaha sering memakai
kata jinayah
untuk maksud jarimah. Menurut
Abdul Qadir Audah jinayah adalah: ٤




Artinya: “Jinayah menurut terminologi adalah sebuah nama untuk sesuatu
perbuatan yang dilarang (haram) secara syar’i baik perbuatan
tersebut menyangkut jiwa, harta, atau selainnya.”
Dengan memperhatikan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata-kata
jinayah dalam istilah para fuqaha dianggap sama dengan kata-kata jarimah.
Sehingga definisi tindak pidana dalam Islam adalah setiap perbuatan yang
3
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, Menuju Pelaksanaan
Hukum Potong Tangan di Naggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: Indhill, 2008), h. 5
4
4
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992), juz II, h.
37
diharamkan atau dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, yang membahayakan
agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta, serta diancam oleh Allah SWT dengan
hukuman had atau ta’zir.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Dalam setiap perbuatan tindak pidana haruslah mengandung unsur-unsur,
sehingga
suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (jarimah).
Unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah:
1) Ada nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu dan ada ancaman
hukuman bagi pelakunya. Unsur ini dikenal dengan “unsur formal” (alRukn al-Syar’i);
2) Adanya perbuatan yang berbentuk jarimah, baik berupa melakukan
perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan.
Unsur ini dikenal dengan “unsur materiil” (al-Rukn al-Madi);
3) Adanya pelaku tindak pidana tersebut adalah orang yang mukallaf
(cakap hukum), yaitu orang yang dimintai pertanggungan jawabnya.
Sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan.
Unsur ini disebut dengan “unsur moril” (al-Rukn al-Adabi).5
Dari keterangan di atas setidaknya dapat dikatakan bahwa larangan atas
perbuatan yang termasuk kategori jarimah berasal dari ketentuan-ketentuan
syara’ (nash). Artinya perbuatan manusia dapat dikategorikan jarimah apabila
5
Mardani, Kejahatan Pencurian, h. 9
38
perbuatan tersebut diancam hukuman. Larangan tersebut hanya ditujukan kepada
orang yang dianggap melakukan pidana dan dikenai hukuman. Apabila tidak
memenuhi unsur-unsur di atas, maka orang yang melakukan tindak pidana tidak
dapat dihukum.
3. Pengertian Sanksi Pidana
Kata sanksi dalam hukum pidana Islam disebut dengan istilah al-Uqubah
yang berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah pembalasan dengan
keburukan. Sedangkan
Abdul Qadir Audah mendefinisikan sanksi (hukuman)
adalah balasan yang telah ditentukan untuk kepentingan orang banyak atas
perbuatan melanggar perintah Allah SWT.6
Dari definisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa sanksi
(hukuman)
merupakan balasan yang setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang
menyebabkan orang lain menjadi korban atau menderita kerugian atas
perbuatannya. Atau penimpaan derita dan kesengsaraan bagi pelaku tindak
pidana sebagai balasan dari apa yang telah diperbuat kepada orang lain atau
balasan yang diterima si pelaku akibat pelanggaran perintah syara’.
4.
Macam-Macam Sanksi Pidana (Uqubah)
Tujuan pokok dari penjatuhan hukuman ialah pencegahan (ar-rad’u waz-
zarju), pengajaran serta pendidikan (al-islah wat-tahzib). Adapun yang dimaksud
pencegahan ialah mencegah diri si pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya
6
Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i, juz I, h. 812
39
dan mencegah diri orang lain dari perbuatan yang demikian.7 Dalam hukum
Islam, penjatuhan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik
yang dikuasai rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya
dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya.
Hukuman dapat dibagi menjadi beberapa golongan menurut segi tinjauannya:
1) Berdasarkan Pertalian Satu Hukuman dengan Lainnya, maka hukuman
dapat dibagi menjadi empat:
a. Hukuman pokok (al-uqubah al-Asliyyah), hukuman pokok yaitu
hukuman yang telah ditetapkan pada satu tindak pidana, seperti
hukuman qisas bagi tindak pidana pembunuhan, hukuman rajam
bagi pelaku tindak pidana zina, dan hukuman potong tangan bagi
tindak pidana pencurian;8
b. Hukuman pengganti
(al-Uqubah al-Badaliyah), yaitu hukuman
yang menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak
dapat dilaksanakan karena adanya alasan yang syar’i;
c. Hukuman tambahan (al-‘Uqubah al-Tabaiyyah), yaitu hukuman
yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan
sendiri;
7
Ahmad. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), cet. Ke-6, h.
191
8
Ahsin Sakho Muhammad, Ensikopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Karisma Ilmu, 2007), jld III,
cet. Ke-1, h. 39
40
d. Hukuman pelengkap (al-‘Uqubah al-Taklimiyyah), yaitu hukuman
yang mengikuti hukuman pokok dengan adanya putusan tersendiri
dan hakim.
2) Berdasarkan Kekuasaan Hakim dalam Menentukan Bentuk dan Jumlah
Hukuman, maka hukuman dapat dibagi dua;
a. Hukuman yang hanya memiliki satu batas, artinya tidak memiliki
batas tertinggi atau batas terendah. Hukuman ini tidak dapat
dikurangi atau ditambah meskipun pada dasarnya bisa ditambah
atau dikurangi;
b. Hukuman yang memiliki dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas
terendah. Dalam hal ini hakim diberi kekuasaan untuk memilih
hukuman sesuai antara kedua batas tersebut.
3) Berdasarkan Kewajiban Menjatuhkan Suatu Hukuman, dalam hal ini
ada dua macam hukuman, yaitu:
a. Hukuman yang telah ditentukan bentuk dan jumlahnya, yaitu
hukuman yang telah ditetapkan jenisnya dan telah dibatasi oleh
syar’i (Allah dan Rasul-Nya);
b. Hukuman yang tidak ditentukan bentuk jumlahnya, yaitu hukuman
yang diserahkan kepada hakim untuk memilihnya dari sekumpulan
hukuman yang dianggap sesuai dengan keadaan tindak pidana serta
pelaku.
41
4) Berdasarkan Tempat Dilakukannya Hukuman, hukuman ini dibagi
menjadi tiga, yaitu:
a. Hukuman badan
(Uqubah Badaniyah), yaitu hukuman yang
dijatuhkan atas badan si pelaku, seperti hukuman mati, dera, dan
penjara;
b. Hukuman Jiwa
(Uqubah Nafsiyyah), yaitu hukuman yang
dijatuhkan atas jiwa si pelaku. Contohnya hukuman nasihat, celaan,
dan ancaman;
c. Hukuan Harta (Uqubah Maliyyah), yaitu hukuman yang ditimpakan
pada harta pelaku, seperti hukuman diyat, denda, dan biaya
administrasi.9
5) Berdasarkan Macamnya Tindak Pidana yang Diancamkan Hukuman,
adapun rincian hukuman tersebut adalah sebagai berikut:
a. Hukuman yang telah ditetapkan terhadap tindak pidana hudud.
Hukuman hudud terbagi menjadi tujuh macam, sesuai dengan
bilangan tindak pidana hudud, yaitu:
a) Zina;
b) Qazaf;
c) Meminum minuman keras;
d) Mencuri;
9
Ibid., h. 40
42
e) Melakukan hirabah (gangguan keamanan);
f)
Murtad;
g) Memberontak.
Hukuman yang ditetapkan terhadap segala tindak pidana tersebut
adalah had (hudud). Huhud adalah hukuman yang telah ditetapkan
sebagai hak Allah SWT atau hukuman yang telah ditetapkan untuk
kemaslahatan
masyarakat.
Dikatakan
sebagai
hak
Allah
karena
hukuman ini tidak dapat digugurkan, baik oleh individu maupun
masyarakat. Para fuqaha menjadikan suatu hukuman sebagai hak Allah
SWT ketika kemaslahatan masyarakat menuntut demikian, yakni
menghilangkan kerusakan dari manusia dan mewujudkan pemeliharaan
dan ketentraman untuk mereka.10
a) Hukuman Zina
Dalam hukum Islam hukuman atas tindak pidana zina ada tiga: −
Jilid (cambuk atau dera);
− Taghrib (diasingkan) −
Rajam.
Hukuman dera dan pengasingan ditetapkan bagi pelaku zina
ghairu muhsan (belum pernah menikah), sedangkan rajam
ditetapkan bagi pelaku zina muhsan (pelaku yang sudah melakukan
10
Ibid., h. 41
43
hubungan seksual melalui pernikahan yang
sah). Apabila keduanya
ghairu muhsan, hukumannya adalah dibuang, tetapi jika keduanya
muhsan hukumannya adalah rajam. Apabila salah satunya muhsan
sedangkan yang lain ghairu muhsan, pelaku pertama dijatuhi
hukuman rajam, sedangkan yang ghairu muhsan dijatuhi hukuman
cambuk.
b) Hukuman Qazaf (menuduh orang baik-baik melakukan zina
tanpa
bukti yang jelas/fitnah)
Dalam hukum Islam tindak pidana qazaf dikenai hukuman: −
Hukuman Pokok Berupa Hukuman Dera;
− Hukuman Tambahan Berupa Tidak Diterima Persaksian.
Dasar hukum qazaf adalah firman Allah SWT dalam Q.S AnNur
(24):4.
Οδρ‰=_$ù ™#‰κ− πè/‘'/ #θ?'ƒ Ο9 ΝO M≈ΨÁsϑ9# βθΒ ƒ ⎦⎪%!#ρ
βθ)¡≈9# Νδ 7×≈9ρ&ρ #‰/& ο‰≈κ− Νλ; #θ=7)? ωρ ο$#_ ⎦⎫Ζ≈ΚO
(٢٤:٤/ ‫∪⊆∩ رﻮّﻨﻟا‬
Artinya: ‘‘Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang
fasik.’’
44
c) Hukuman Meminum Minuman Keras
− Hukuman Dera
Hukum Islam menjatuhkan delapan puluh kali dera bagi pelaku
tindak pidana meminum minuman keras. Ini merupakan hukuman
yang memiliki satu batas karena hakim tidak dapat mengurangi,
manambah, atau menggantinya dengan hukuman yang lain.
d) Hukuman Pencurian
− Hukuman Potong Tangan (dan Kaki)
Hukum Islam mengancam hukuman potong tangan (dan kaki)
bagi pelaku tindak pidana pencurian.11
e) Hukuman Gangguan Keamanan (Hirabah) −
Hukuman Mati
Hukuman ini wajib dijatuhkan kepada pengganggu keamanan
yang melakukan pembunuhan. Hukuman ini adalah hukuman
hudud, bukan qisas, sehingga tidak bisa dimaafkan oleh wali
korban.
− Hukuman Mati Disalib
Hukuman ini wajib dijatuhkan terhadap pengganggu keamanan
yang melakukan pembunuhan dan perampasan harta. Jadi hukuman
ini dijatuhkan atas pembunuhan dan pencurian harta sekaligus.12
11
Ibid., h. 57
45
− Pemotongan Anggota Badan (al-Qat’u)
Hukuman
ini
harus
dijatuhkakn
kepada
pelaku
hirabah
(gangguan keamanan) jika ia mengambil harta, tetapi tidak
melakukan pembunuhan.
− Hukuman Pengasingan (pembuangan)
Hukuman ini ditetapkan bagi pelaku hirabah apabia ia hanya
menakut-nakuti orang, tetapi tidak mengambil harta dan tidak
membunuh.
f) Hukuman Tindak Pidana Murtad −
Hukuman Mati
Hukum Islam menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku murtad
karena perubahan itu ditujukan terhadap agama Islam sebagai
sistem
sosial
ketidaktegasan
masyarakat.
dalam
Sikap
menghukum
menggampangkan
tindak
pidana
dan
murtad
mengakibatkan terguncangnya sistem masyarakat tersebut. Karena
itu, tindak pidana ini dijatuhi hukuman terberat untuk menumpas
para pelakunya untuk melindungi masyarakat dan sistem sosial
mereka dari satu sisi sebagai peringatan dan pencegahan umum dari
sisi lainnya.13
12
Ibid., h. 61
13
Ibid., h. 65
46
− Perampasan Harta (musadarah)
Hukuman tambahan bagi pelaku tindak pidana murtad adalah
perampasan harta pelakunya.
g) Hukuman pemberontakan
Tindak pidana pemberontakan ditujukan kepada sistem hukum
dan pelaksanaannya. Dalam hal ini hukum Islam bersikap keras
karena apabila bersikap memudahkan, akan timbul fitnah,
kekacauan,
dan
ketidakstabilan
yang
pada
akhirnya
akan
menyebabkan kemunduran dan kehancuran masyarakat umum.
b.
Hukuman Tindak Pidana-Tindak Pidana Qishas-Diat
Tindak pidana qishash-diat itu ada lima macam, yaitu:
1) Pembunuhan disengaja;
2) Pembunuhan menyerupai disengaja;
3) Pembunuhan karena kesalahan (tidak disengaja);
4) Penganiayaan disengaja; dan
5) Penganiayaan karena tidak disengaja.
Adapun hukuman yang telah ditetapkan untuk pelaku tindak
pidana ini adalah:
a) Qishash;
b) Diat;
c) Kifarat;
47
d) Hilangnya hak waris dan hak wasiat.14
Adapun hukuman-hukuman yang diancamkan terhadap tindak
pidana tersebut adalah qishash, diat, kafarat, hilangnya hak
mewaris, dan hilangnya hak menerima wasiat.
a) Hukuman qishash
Pengertian qishash adalah menghukum pelaku seperti apa yang
telah diakukannya terhadap korban, pelaku dibunuh apabila ia
membunuh dan dilukai apabila ia melukai.
b) Hukuman diat
Diat adalah hukuman pokok untuk tindak pidana pembunuhan
dan penganiayaan menyerupai sengaja dan tidak sengaja
(khata’).
Sumber hukuman ini di antaranya adalah: Q.S An-Nisa (4):92.
$ΨΒσΒ ≅F% ⎯Βρ $↔Üz ω) $ΖΒσΒ ≅F)ƒ β& ⎯Βσϑ9 χ%. $Βρ
#θ%‰Áƒ β& ω) ⎯&#δ& ’<) πϑ=¡Β πƒŠρ πΨΒσΒ π7%‘ ƒ sGù $↔Üz
( ٤:٩٢ / ‫∪⊄®∩ ءﺎﺴّﻨﻟ ا‬
Artinya: ‘‘Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang
mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak
sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin
Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
14
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinyah, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), cet. Ke-1, h. 154
48
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah...
‘‘
Meskipun bersifat hukuman, namun diat merupakan harta yang
diberikan
kepada
korban
atau
keluarganya,
bukan
kepada
perbendaharaan negara.
c) Hukuman kifarat
Kifarat adalah hukuman pokok berupa memerdekakan seorang
hamba mukmin. Apabila tidak bisa mendapatkan hamba tersebut
atau tidak bisa memperoleh uang seharganya, ia harus berpuasa
selama dua bulan berturut-turut.15 Hukuman kifarat dijatuhkan atas
pembunuhan karena kekeliruan (tidak sengaja) dan menyerupai
sengaja. Hal ini didasarkan firman Allah SWT dalam Q.S An-Nisa
(4):92
χ%.ρ !# ⎯Β π/θ? ⎦⎫è/$FFΒ ⎦⎪ γ© Π$‹Áù ‰fƒ Ν9 ⎯ϑù
(٤:٩٢/ ‫ ∪⊄®∩ ءﺎﺴّﻨﻟا‬$ϑŠ6m $ϑŠ=ã !#
Artinya: ‘‘barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah
ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut
untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.’’
15
Sakho Muhammad, Ensikopedi Hukum Pidana Islam, h. 80
49
d) Pencabutan hak waris dan wasiat
Pencabutan hak waris dan hak wasiat adalah hukuman tambahan, di
samping hukuman pokok untuk tindak pidana pembunuhan.
c. Hukuman yang Telah Ditetapkan Terhadap Tindak Pidana Takzir
Hukuman takzir adalah hukuman pendidikan atas dosa-dosa atau
memberi pengajaran (
hukuman untuk
‫ ) ﺐﻳدﺄﺘﻟا‬at-Ta’dib.16
Hukuman takzir adalah
jarimah-jarimah takzir. Jarimah takzir jumlahnya
sangat banyak, karena mencakup semua perbuatan maksiat yang
hukumannya belum ditentukan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulil amri
untuk mengaturnya.
Jenis-jenis hukuman takzir ini adalah sebagai berikut:
a) Hukuman mati
Meskipun tujuan diadakannya hukuman takzir adalah untuk
memberi pengajaran dan tidak boleh sampai membinasakan, namun
kebanyakan para fuqaha membuat suatu pengecualian, yaitu
dibolehkannya hukuman mati, apabila hukuman itu dikehendaki
oleh kepentingan umum. Dalam hal ini penguasa (ulil amri) harus
menentukan jenis-jenis jarimah yang dapat dijatuhi hukuman mati.
16
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 8
50
b) Hukuman dera (jilid)
Hukuman dera merupakan salah satu hukuman pokok dalam
hukum Islam dan juga merupakan hukuman yang ditetapkan untuk
tindak pidana takzir. Hukuman ini bahkan merupakan hukuman
yang diutamakan bagi tindak pidana takzir berbahaya. Sebab-sebab
pegutamaan hukuman tersebut adalah beberapa hal berikut:
− Hukuman jilid lebih banyak berhasil dalam memberantas para
penjahat yang biasa melakukan tindak pidana;
− Hukuman jilid mempunyai batas, yaitu batas tertinggi dan batas
terendah, sehingga hakim bisa memilih jumlah dera yang terletak
antara keduanya yang sesuai dengan tindak pidana dan keadaan
diri pelaku sekaligus;
− Biaya pelaksanaan tidak merepotkan keuangan negara. Di
samping itu hukuman tersebut tidak mengganggu kegiatan usaha
terhukum, sehingga keluarga tidak terlantar, karena hukuman
jilid bisa dilaksanakan seketika dan setelah itu terhukum bisa
bebas;
− Dengan hukuman jilid, pelaku dapat terhindar dari akibat-akibat
buruk hukuman penjara, seperti rusaknya akhlak dan kesehatan.
51
c) Hukuman kawalan (penjara kurungan)
Dalam syariat Islam ada dua macam hukuman kawalan, yaitu
hukuman kawalan terbatas dan hukuman kawalan tidak terbatas.
Pengertian terbatas dan tidak terbatas dalam konteks ini adalah dari
segi waktu.
− Hukuman kawalan terbatas
Hukuman kawalan terbatas ini paling sedikit adalah satu hari,
sedangkan batas tertingginya tidak ada kesepakatan para fuqaha.
Hukuman kawalan tidak terbatas
Orang yang dikena hukuman kawalan tidak terbatas ini adalah
orang yang berbahaya, orang yang terbiasa melakukan tindak
pidana. Hukuman kawalan tidak terbatas tidak ditentukan masanya
terlebih
dahulu,
melainkan
dapat
berlangsung
terus
sampai
terhukum mati atau melakukan taubat dan pribadinya menjadi baik.
d) Hukuman pengasingan
Masa pengasingan dalam jarimah takzir menurut Syafi’iyah dan
Hanabilah, tidak boleh lebih dari satu tahun, agar tidak
melebihi
masa pengasingan dalam jarimah zina yang merupakan hukuman
had. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, masa pengasingan
bisa lebih dari satu tahun, sebab pengasingan di sini merupakan
hukuman takzir, bukan hukuman had. Pendapat ini juga
52
dikemukakan oleh Imam Malik, akan tetapi tidak mengemukakan
batas waktunya dan menyerahkan hal itu kepada pertimbangan
penguasa (hakim).17
e) Hukuman salib
Untuk hukuman takzir, hukuman salib sudah pasti tidak
dibarengi atau didahului oleh hukuman mati. Si terhukum disalib
hidup-hidup dan tidak dilarang makan dan minum, tidak dilarang
wudhu untuk mengerjakan shalat, tetapi terhukum shalat dengan
cara isyarat.
f) Hukuman peringatan (al-Waz’u) dan hukuman yang lebih ringan
darinya
Dalam hukum Islam, hukuman peringatan termasuk kategori
hukuman takzir. Hakim hanya boleh menghukum pelaku dengan
hukuman perigatan bila hukuman ini cukup membawa hasil, yakni
memperbaiki diri pelaku dan mencagahnya untuk mengulangi
perbuatannya (berefek jera).
g) Hukuman pengucilan (al-hajr)
Di antara hukuman takzir adalah hukuman pengucilan sebagai
hukuman yang dijatuhkan kepada istri, sebagaimana termaktub
dalam Q.S An-Nisa (4):34.
17
Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 160
53
’û ⎯δρ fδ#ρ
∅δθàèù ∅δ—θ±Σ βθù$ƒB ©L≈9#ρ
(٤:٣٤/ ‫∪⊆⊂∩ ءﺎﺴّﻨﻟا‬
⎯δθ/Ñ#ρ ì_$Òϑ9#
Artinya: ‘‘wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. ‘‘
h) Hukuman teguran (Taubikh)
Hukuman takzir dalam hukum Islam antara lain adalah hukuman
teguran/pencelaan (taubikh). Apabila hakim memandang bahwa
hukuman teguran dapat memperbaiki dan mendidik terpidana,
cukup baginya untuk menjatuhkan hukuman taubikh kepadanya.
i) Hukuman ancaman (Tahdid)
Hukuman ancaman (Tahdid) juga termasuk di antara hukuman
takzir, dengan syarat bukan ancaman kosong dan hukumam ini akan
membawa hasil serta dapat memperbaiki keadaan terpidana dan
mendidiknya. Hukuman tahdid antara lain dengan ancaman apabila
terpidana mengulangi perbuatannya, ia akan didera, dipenjara, atau
dijatuhi hukuman yang lebih berat.
j) Hukuman penyiaran nama pelaku (Tasyhir)
Tasyhir adalah mengumumkan tindak
pidana pelaku kepada
publik. Hukuman tasyhir dijatuhkan atas tindak pidana yang terkait
dengan kepercayaan, seperti kesaksian palsu dan penipuan.
54
k) Hukuman-hukuman lainnya
Hukuman yang telah disebutkan di atas adalah hukuman takzir
terpenting yang bersifat umum dan dapat diterapkan pada setiap
tindak pidana. Selain hukuman tersebut, ada beberapa bentuk
hukuman yang tidak bersifat umum dan tidak dapat diterapkan pada
semua jenis tindak pidana, antara lain:
− Dicabut dari hak kepegawaian
(pemecatan/al-azlu minal
wazifah)
− Pencabutan hak-hak tertentu (al-Hirman)
Artinya, sebagian hak terpidana yang ditetapkan
oleh hukum
Islam dicabut, seperti hak menduduki suatu jabatan, memberikan
kesaksian, tercabutnya hak mendapat rampasan perang, gugurnya
hak mendapatkan nafkah bagi isteri yang nusyuz, dan sebagainya. −
Perampasan harta/materiil (al-musadarah)
Perampasan yang dilakukan meliputi penyitaan barang bukti
tindak pidana dan barang terlarang.
− Pemusnahan (izalah)
Dalam hal ini termasuk memusnahkan bekas/pengaruh tindak
pidana atau perbuatan yang diharamkan, seperti melenyapkan
55
bangunan yang
berada di jalanan umum dan melenyapkan
botolbotol minuman keras.
l) Hukuman denda (al-Gharamah)
Suatu hal
yang disepakati oleh fuqaha bahwa hukum Islam
menghukum sebagian tindak pidana takzir dengan denda. Para
fuqaha masih berbeda pendapat tentang digunakannya hukuman
denda bsebagai hukuman untuk setiap jarimah. Sebagian ada yang
membolehkan dan sebgian lagi tidak membolehkannya. Di antara
ulama yang membolehkannya adalah Imam Abu Yusuf, Imam
Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad. Sedangkan yang tidak
membolehkannya adalah Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad
bin Hasan.18
B. Klasifikasi Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Positif
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana, adalah sebagai terjemahan dari
istilah bahasa Belanda
“strafbaar feit” atau “delict”.19 Kata ini terdiri dari tiga kata, yakni straf yang
18
Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 162
19
Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986), cet. Ke-2, h. 25
56
berarti pidana, baar yang berarti boleh, dan feit yang biasa diartikan dengan
perbuatan atau peristiwa.20
Di samping itu, dalam bahasa Indonesia sebagai terjemahannya telah dipakai
beberapa istilah yang lain, baik di dalam buku-buku maupun di dalam
peraturanperaturan tertulis, umpamanya:
1) Peristiwa pidana;
2) Perbuatan pidana;
3) Pelanggaran pidana;
4) Perbuatan yang dapat dihukum; dan
5) Perbuatan yang boleh dihukum
Jadi, di dalam bahasa Indonesia untuk terjemahan strafbaar feit atau delict itu
ada enam istilah, termasuk istilah tindak pidana.21
Jika melihat pengertian-pengertian ini, maka pada pokoknya tindak pidana
ternyata:
1) Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tindakan;
2) Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang
yang menagadakan kelakuan tadi.22
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
20
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), cet.
Ke-1, h. 67
21
M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, (Bandung, Remadja Karya, 1986), ct. Ke-2, h. 1
22
Moeljianto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), cet. Ke-5, h. 56
57
Unsur-unsur tindak pidana
dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari
sudut teoritis dan dari sudut undang-undang. Maksud teoritis di sini ialah
berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya.
Sedangkan dari sudut undang-undang adalah sebagaimana kenyataan tindak
pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal peraturan
perundang-undangan yang ada. Adapun sudut pandang yang pertama antara lain:
1) Kelakuan dan akibat (perbuatan);
2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
4) Unsur melawan hukum yang obyektif;
5) Unsur melawan hukum yang subyektif
Sedangkan menurut Moeljianto, sebagaimana dikutip dalam buku Pelajaran
hukum pidana karangan Adami Chazawi, unsur-unsur tindak pidana adalah:
1) Perbuatan;
2) Yang dilarang (oleh aturan hukum);
3) Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).23
Setidaknya perbuatan yang sudah memuat rumusan-rumusan di atas, secara
teoritis sudah dapat dikatakan sebagai tindak pidana. Dan sudut pandang yang
kedua yakni dari sudut pandang udang-undang. Dan rumusan tindak pidana
23
Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, h. 79
58
tetentu yang tercantum dalam KUHP dapat diketahui adanya 11 unsur tindak
pidana, yaitu:
1) Unsur tingkah laku;
2) Unsur melawan hukum;
3) Unsur kesalahan;
4) Unsur akibat konstitutif;
5) Unsur keadaan yang menyertai;
6) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;
7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
8) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;
9) Unsur objek hukum tindak pidana;
10) Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;
11) Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana. 24
Pada praktiknya, untuk memidanakan seseorang yang dihadapkan ke ruang
sidang pengadilan dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana tetentu, maka
diharuskan terpenuhinya semua unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana
tersebut. Apabila yang didakwakan adalah tindak pidana yang dalam rumusannya
terdapat unsur-unsur kesalahan dan atau melawan hukum, maka unsur tersebut
juga terdapat dalam diri pelaku, dan harus dapat dibuktikan.
3. Pengertian Sanksi Pidana
24
Ibid., h. 82
59
Sanksi pidana terdiri dari dua kata yakni kata sanksi dan pidana. Kata sanksi
berasal dari Bahasa Belanda yaitu “Sanc’tie” yang artinya alat pemaksa sebagai
hukuman jika tidak taat pada perjanjian.25 Dalam kamus Bahasa Indonesia,
sanksi berarti tanggungan (tindakan-tindakan, hukuman) untuk memaksa
seseorang
menepati
perjanjian
atau
mentaati
ketentuan
undang-undang.
Sedangkan kata pidana berasal dari berasal dari bahasa sanksekerta dalam bahasa
Belanda disebut “straf” dan dalam bahasa Inggris disebut “penalty” artinya
hukuman.26
Dari beberapa definisi yang dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa sanksi pidana adalah tindakan atau hukuman yang dijatukan
karena
adanya pelanggaran atau perbuatan kejahatan sebagai akibat hukum untuk
menjamin ditaatinya suatu norma yang terdapat di dalam masyarakat.
Sanksi pidana dari segi tujuan penerapannya dapat dibenarkan dengan alasan
yang dikemukakan sebagai berikut:
1) Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau tindakan yang tidak
dikehendaki atau tindakan yang salah;
2) Untuk memberikan balasan yang setimpal dan layak sesuai tindakan
pelaku tindak pidana
25
S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda- Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h.
26
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2007), cet. Ke- 5, h. 361
560
60
Karena itu, hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang pelaku sebagai
akibat tindak pidana yang dilakukannya membuat sadar dari kesalahan dan tidak
mengulang tindakan yang bertentangan dengan hukum.27
4. Macam-Macam Sanksi Pidana
Menurut hukum positif, ketentuan pidana tercantun dalam pasal 10 kitab
undang-undang hukum pidana (KUHP), di
mana dibedakan pidana pokok dan
pidana tambahan. Yaitu:
1) Hukuman Pokok
Yaitu hukuman yang dijatuhkan bersama-sama pidana tambahan, dan
dapat juga dijatuhkan sendiri.
Macam-macam hukuman pokok adalah:
a. Hukuman Mati
Hukuman mati masih tetap dipertahankan di Indonesia, walaupun
sejak tahun 1870
hukuman mati telah dihapuskan dari KUHP
Nederland. Tujuan menjatuhkan dan menjalankan hukuman mati selalu
diarahkan kepada khalayak ramai agar mereka dengan
ancaman
hukuman mati, akan takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang
27
Alam Setia Zain, Hukum Llingkungan Konservasi Hutan dan Segi -Segi Pidana, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1997), h. 17
61
akan mengakibatkan mereka dihukum mati. Karena inilah pada zaman
dahulu hukuman mati diberlakukan.28
b. Hukuman Penjara
Hukuman penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan
kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam
bentuk pidana penjara saja, tetapi juga berupa pengasingan. Jadi, dapat
dikatakan bahwa pidana penjara merupakan bentuk utama dan umum
dari pidana kehilangan kemerdekaan.29
c. Hukuman Kurungan
Jenis hukuman kurungan sifatnya mirip dengan hukuman penjara,
yakni sama-sama menghilangkan kemedekaan seseorang, namun dengan
perbedaan yang di antaranya sebagai berikut:30
Pertama, hukuman penjara diancamkan terhadap kejahatan berat,
sedangkan hukuman kurungan diancamkan sebagai hukuman alternatif.
Kedua, hukuman penjara dapat dijalankan dalam penjara di mana
saja, sedangkan hukuman kurungan dengan semuanya terpidana tidak
28
Wirdjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2009), cet. Ke-3, h. 175
29
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pradnya paramita, 1993),
h. 37
30
Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta:
Akademika Pressindo, 1983), cet. Ke-1, h. 35
62
dapat dijalankan di luar daerah, di mana ia bertempat tinggal atau
berdiam waktu pidana itu dijatuhkan.
Ketiga, orang yang dihukum dengan pidana penjara pekerjaannya
lebih berat daripada orang yang dihukum dengan pidana kurungan;
tempo bekerja tiap-tiap hari bagi pidana penjara selama 9 jam dan
kurungan hanya 8 jam.
Keempat, orang yang dihukum pidana kurungan mempunyai hak
“pistole”, yaitu hak untuk memperbaiki keadaannya dalam rumah
penjara atau ongkos sendiri, sedang yang dihukum penjara tidak.
d. Hukuman Denda
Hukuman denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua daripada
penjara. Hukuman denda adalah hukuman yang tertuju kepada harta
seseorang.31
2) Hukuman Tambahan
Melihat namanya, sudah nyata bahwa pidana tambahan ini hanya
bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Pidana tambahan disebut
dalam Pasal 10 KUHP pada bagian b, yang terdiri dari:
a. Pencabutan Hak-Hak tertentu
Yang dapat dicabut itu hanya hak-hak tetentu saja, artinya orang
tidak mungkin akan dijatuhi pencabutan semua haknya, karena dengan
31
Ibid., h. 36
63
demikian itu ia tidak akan dapat hidup. Pasal 35 KUHP menentukan hak si
bersalah yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam
hal yang
ditentukan dalam undang-undang adalah:
a)
Hak untuk menjabat segala jabatan atau jabatan yang tertentu.
Yang dimaksud dari jabatan adalah tugas pada negara atau
bagian dari negara;
b) Hak untuk masuk kekuasaan angkatan bersenjata. Yang masuk
kekuasaan angkatan bersenjata adalah tentara dan pewajib
tentara baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, Udara, Maupun
Kepolisian Negara;
c)
Hak dipilih dan memilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum atau berdasarkan undangundang;
d) Hak menjadi penasehat, wali, pengampu, atau pengampu
pengawas atas orang yang bukan anakya;
e)
Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian
atau pengampuan atas anak sendiri;
f)
Hak untuk melakukan pekerjaan yang tertentu, artinya segala
pekerjaan yang bukan pegawai negeri, jadi pekerjaan partikulir,
seperti dagang, sopir, dan lain-lain.32
32
Ibid., h. 38
64
Adapun jangka waktu pencabutan hak tersebut di atas terikat oleh
jangka waktu tertentu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 KUHP,
yaitu:
a) Dalam
hal orang dihukum mati atau penjara semur
hidup,
maka jangka waktu pencabutan hak-hak tersebut adalah selama
hidupnya;
b) Sekurang-kurangnya dua tahun atau setinggi-tingginya lima
tahun lebih. Jika hukuman yang dijatuhkan itu adalah hukuman
penjara atau hukuman kurungan;
c) Dalam hal denda, selama sedikit-dikitnya dua tahun dan
selama-lamanya lima tahun.33
b. Perampasan barang-barang tertentu
Pidana ini dapat dijatuhkan apabila ancaman pidana penjara tidak
lebih dari tujuh tahun
atau jika terpidana hanya dikenakan tindakan.
Adapun barang-barang yang dapat dirampas adalah:
a) Barang milik terpidana atau orang lain yang seluruhnya atau
sebagian besar diperoleh dari tindak pidana;
b) Barang yang ada hubungannya dengan terwujudnya tindak
pidana;
33
Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana, h. 188
65
c) Barang
yang
dipergunakan untuk
mewujudkan
atau
mempersiapkan tindak pidana;
d) Barang
yang dipergunakan untuk
menghalang-halangi
penyidikan tindak pidana; atau
e) Barang yang dibuat atau diperuntukkan bagi terwujudnya
tindak pidana.34
c. Pengumuman putusan hakim
Pada hakikatnya semua putusan hakim itu senantiasa telah
diucapkan di muka umum, akan tetapi bila dianggap perlu, di samping
itu sebagai pidana
tambahan, putusan tersebut akan disiarkan sejelas-
jelasnya melalui cara yang akan ditentukan oleh hakim. Seperti melalui
siaran televisi, radio, surat kabar dan sebagainya. Pengumuman ini
dilakukan penuntut umum, dan biaya pengumuman menjadi
tanggungan terhukum.
34
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet. Ke-2, h.22
BAB IV
TINDAK PIDANA PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN
HIDUP DALAM HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 32 TAHUN 2009
A. Tindak Pidana Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Menurut
Hukum Islam
Sebelum membahas lebih jauh mengenai sanksi terhadap pelaku pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup menurut hukum Islam, terlebih dahulu akan dipaparkan
mengapa pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai
perbuatan pidana.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-A’raf (7):56
=ƒ % !# MΗq‘ β) $èϑÛρ $ùθz νθãŠ#ρ $γs≈=¹) ‰è/ Ú‘{# †û #ρ‰¡? ωρ
(٧:٥٦ / ‫⎫⎦ ∪∉∈∩ ) ﻓﺎﺮﻋﻷا‬Ζ¡sϑ9# ∅Β
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik.”
⎯Βρ $è‹ϑ_ ¨$Ζ9# ≅F% $ϑΡ'6ù Ú‘{# ’û Š$¡ù ρ& §Ρ  ó/ $¡Ρ ≅F% ⎯Β
(٥:٣٢/ ‫)ةﺪﺋﺎﻤﻟا‬
$è‹ϑ_ ¨$Ψ9# $Šm& $ΚΡ'6ù $δ$Šm&
Artinya: ‘‘Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
Maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang
66
67
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya.
Dalam ayat di atas terlihat jelas bahwa Allah SWT melarang hambanya
melakukan kerusakan di muka bumi. Tindakan pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (jinayah) apabila
perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Sebagaimana telah dibahas di
atas, dalam hukum Islam terdapat 3 unsur yang harus dipenuhi apabila perbuatan
seseorang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.
Yang pertama adalah adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu dan ada
ancaman hukuman bagi pelakunya. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa banyak
nash yang terdapat di dalam al-Qur’an maupun Hadits yang melarang manusia
untuk merusak lingkungan hidup.
Yang kedua adanya perbuatan yang berbentuk jarimah, yang dalam hal ini adalah
perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Ketiga adalah adanya pelaku tindak pidana tersebut, yakni orang yang mukallaf
(cakap hukum), yaitu orang yang dimintai pertanggungan jawabnya. Dalam
hal ini,
apabila pelaku perusakan lingkungan hidup adalah orang yang memiliki status
mukallaf, maka orang tersebut dapat dituntut atas kejahatan yang telah diperbuatnya.
Perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana (jinayah) karena telah mengandung ketiga unsur yang
disebutkan di atas. Tanpa ketiga unsur tersebut, maka perbuatan pencemaran dan
perusakan lingkunan hidup tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (jinayah).
68
Mengenai sanksi, ketentuan sanksi atau hukuman bagi pelaku perusakan
lingkungan hidup dalam syari’at Islam tidak disebutkan secara jelas atau tidak
terdapat ketentuan hadnya.
Dengan demikian penulis melihat bahwa tindak pidana
perusakan lingkungan hidup termasuk dalam kategori tindak pidana (jarimah) takzir,
karena perbuatan tersebut
sangat jelas dilarang oleh syara’, akan tetapi tidak
ditentukan sanksinya dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Syara’ tidak menentukan macam-macamnya hukuman utuk tiap-tiap jarimah
takzir, akan tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringanringannya seperti nasihat,
ancaman sampai yang
seberat-beratnya.1
Adapun
selanjutnya, penerapan dan penentuan sanksi untuk tindak pidana perusakan
lingkungan hidup diserahkan sepenuhnya kepada penguasa (ulil amri), dalam
hal ini
adalah hakim dengan ijtihadnya diberi kebebasan untuk menentukan hukuman yang
sesuai dengan macam jarimah takzir serta keadaan si pelakunya juga.
Namun, pelimpahan wewenang kepada penguasa tersebut tidaklah mutlak,
melainkan dibatasi oleh kewajiban penguasa untuk memperhatikan ketentuanketentuan dalam menetapkan hukuman tersebut, ketentuan-ketentuan tersebut adalah:
1. Tujuan penetapan hukum itu adalah menjaga dan memelihara kepentingan
umat Islam, bukan menurut kehendak hawa nafsunya;
2. Hukuman yang ditetapkan itu benar-benar efektif dalam menghadapi tindakan
maksiat serta merendahkan martabat manusia;
1
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 8
69
3. Hukuman tersebut sesuai dengan jarimahnya sehingga hukuman tersebut
dirasakan adil;
4. Hukuman tersebut berlaku umum tanpa mebeda-bedakan orang, sesuai dengan
prinsip persamaan antara sesama manusia.2
Dari beberapa
hal yang telah dijelaskan di atas, penulis melihat bahwa sanksi
takzir terhadap tindak pidana perusakan lingkungan hidup diserahkan kepada
hakim.
Dan hakim harus jeli dalam menentukan hukuman yang akan diberikan sesuai dengan
akibat yang telah ditimbulkan oleh pelaku perusakan lingkungan tersebut. Apabila
perbuatan tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, maka kiranya
hukuman yang pantas diberikan adalah hukuman mati, jika perbuatan tersebut
mengakibatkan seseorang luka, maka hukumannya adalah jarimah pelukaan.
B. Tindak Pidana Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Menurut
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Hukum pidana di Indonesia secara pokok dan umum bersumber dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya penulis singkat
menjadi KUHP) yang
sudah diberlakukan ratusan tahun sejak zaman kolonial hingga kini. Beberapa pasal
KUHP mengatur mengenai
hal-hal yang dikaitkan dengan lingkungan hidup. Tetapi,
dengan perkembangan zaman, jika hanya mengandalkan KUHP sebagai instrument
penegakan hukum pidana bagi lingkungan tentu tidak akan memadai dan efektif.
2
Wahab Afif, Hukum Pidana Islam, (Banten: Yayasan Ulumul Qur’an, t. th), h. 214
70
Salah satu bidang pengaturan yang harus dikembangkan dari KUHP dan berbagai
pengaturan pidana tersebar adalah pengaturan mengenai pidana di bidang lingkungan
hidup (environmenal criminal regulation). Pengaturan pidana mengenai aspek
lingkungan ditandai dengan lahirnya undang-undang yang dinilai sebagai sifat
komprehensif dan terpada atas lingkungan, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1982 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pola hukum pidana lingkungan
kemudian berkembang setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengakomodasikan berbagai
perkembangan sistem pidana di dalam lingkungan hidup. Akan tetapi, sebagaimana
sudah dijelaskan di atas, UU RI No. 23 Tahun 1997 diganti dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sistem pemidanaan dalam lingkungan pada dasarnya bertujuan untuk
mempertahankan eksistensi lingkungan kepada fungsi keberlanjutannya. Pada
esensinya hukum pidana merupaka sarana represif, yakni serangkaian pengaturan
yang ditujukan untuk mengendalikan peristiwa-peristiwa negatif supaya pada
berikutnya kembali kepada keadaan semula.3
Fungsi hukum pidana dinilai oleh para pakar sebagai perangkat pamungkas
(ultitum remendium), karena instrumen-instrumen yang lain dinilai dapat sebagai
sarana yang melindungi lingkungan. Penyelesaian sengketa lingkungan selain dapat
didekati dari sudut pandang instrumen hukum adiministrasi dan instrumen hukum
3
N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan, (Jakarta: Pancuran Alam, 2009), cet. Ke-2, h. 354
71
perdata, juga dapat didekati dari instrumen hukum pidana. Penerapan hukum pidana
lingkungan ini tetap dikaitkan dengan dengan perbuatan pidana seseorang atau badan
hukum.4
Di Amerika Serikat, tuntutan pidana merupakan
mata rantai terakhir mata rantai
panjang, yaitu bertujuan untuk menghapuskan atau mengurangi akibat-akibat yang
merugikan terhadap lingkungan hidup. Mata rantai dimaksud dikelompokkan sebagai
berikut:
1. Penetapan kebijaksanaan, desain, dan perencanaan, pernyataan dapak
lingkungan
2. Peraturan tentang standar atau pedoman minimum prosedur perizinan;
3. Keputusan administrasi terhadap pelanggaran, penentuan tenggang waktu dan
hari terakhir agar peraturan ditaati;
4. Gugatan perdata untuk mencegah atau menghambat pelanggaran, penilalian
denda atau ganti rugi;
5. Gugatan masyarakat untum memaksa atau mendesak pemerintah mengambil
tindakan, gugatan ganti rugi;
6. Tuntutan pidana.5
4
Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), cet.
Ke-2, h. 300
5
Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan Tindak Pidanan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Sumber
Ilmu Jaya, t. th), h. 29
72
Hal demikian didasari pula oleh UU RI No. 32 Tahun 2009 dengan perlu
menerapkan
asas
Subsidairitas
sebagaimana
dalam
Penjelasan
Umum
UndangUndang ini mengatakan bahwa “sebagai penunjang hukum administrasi,
berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan atas subsidairitas, yaitu bahwa
hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain seperti
sanksi administrasi
dan
sanksi
perdata,
dan
alternatif
penyelesaian
sengketa
lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau
akibat perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat.”
Dengan demikian pada prinsipnya status fungsi pidana dalam hukum pidana
lingkungan tidak lebih sebagai sarana lapis terakhir (alternatif) di mana berbagai
perangkat dan sarana-sarana perlindungan lingkungan yang lain lebih didahulukan
secara fungsional sementara bila sarana-sarana tersebut dirasakan belum mencapai hasil
efektif, maka hukum pidana kemudian difungsikan.6
Prinsip-prinsip hukum pidana yang terkandung dalam hukum lingkungan,
sebagaimana menurut UU RI No. 32 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:
1. Prinsip pemidanaan secara delik formal dan delik materil;
2. Prinsip pemidanaan terhadap individu;
3. Prinsip pemidanaan terhadap korporasi (delik korporasi);
4. Prinsip pembedaan atas perbuatan kesengajaan dan kelalaian;
5. Prinsip penyidikan dengan tenaga khusus di bidang lingkungan;
6
Siahaan, Hukum Lingkungan, h. 355
73
6. Prinsip pengenaan sanksi pidana secara khusus.
Pola penegakan hukum pidana lingkungan meliputi beberapa proses dan setiap
proses akan tetap mengacu kepada ketentuan-ketentuan hukum, baik yang diatur
dengan hukum pidana formil (hukum acara pidana) maupun
hukum pidana meterial.
Seperti diketahui penegakan hukum lingkungan dapat dibagi ke dalam 3 tahapan
pokok, yakni:7
Tindakan pre-emtive, yakni tindakan antisipasi yang bersifat mendeteksi secara
lebih awal berbagai faktor korelasi, kriminogen, yakni faktor-faktor yang
memungkinkan terjadinya kerusakan atau pencemaran lingkungan.
Tindakan preventif, adalah serangkaian tindakan nyata yang bertujuan mencegah
perusakan atau pencemaran lingkungan, misalnya pengawasan berkelanjutan terhadap
pabrik-pabrik, para polisi kehutanan mengawasi pencurian kayu dan penebangan liar.
Tindakan represif, adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh petugas
hukum melalui proses hukum pidana, karena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
telah merusak atau mencemari lingkungan.
Dalam UU RI No. 23 Tahun 2009 terdapat pasal yang mengatur tentang delik
materil (generic crime), delik Formil (specific crime) dan kejahatan perusahaan
(corporate crime). Berikut akan dipaparkan pengertian dan sanksi yang diberikan
terhadap delik tersebut.
7
Ibid., h. 358
74
1. Delik Materil
Delik materil merupakan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan
pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.8 Artinya untuk dapat disebut
delik, harus lebih dahulu dibuktikan akibat-akibat sebagai
dari suatu perbuatan
berupa kerusakan, pencemaran atau penyakit sebagai dampak dari perbuatan
yang dituduhkan kepada si tersangka.
Di bawah ini akan dikutipkan beberapa Pasal dalam UU RI No. 32 Tahun
2009 yang termasuk ke dalam ketentuan delik materil:
Pasal 98
1)
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku
mutu laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan
paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
2)
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan
paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
3)
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mangakibatkan
orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan dendan paling sedikit
Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
8
122
Sukanda Husin, Penegakan Hukum Llingkungan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.
75
Pasal 99
1) Setiap orang karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling
banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mangakibatkan
orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan dendan paling sedikit
Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp
9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).
Unsur-unsur yang membuat pasal-pasal di atas sebagai delik materil adalah:
1) Adanya perbuatan atau serangkaian perbuatan, misalnya membuang limbah
ke badan air, melepaskan emisi pencemar ke udara;
2) Ada suatu akibat atau dampak tertentu, yakni result atau hasil dari perbuatan
itu;
3) Hasil (result) dari perbuatan itu adalah negatif terhadap lingkungan, yakni
pencemaran atau perusakan.9
2.
Delik Formil
Delik formil (specific crimes) diartikan sebagai perbuatan melanggar aturan-
aturan hukum administrasi. Oleh karena itu, delik formil dikenal juga sebagai
9
Siahaan, Hukum Lingkungan, 309
76
Administrative Dependent Crimes.10 Atau dengan kata lain delik formal adalah
rumusan ketentuan pidana di mana bila seorang telah melanggar ketentuan secara
formal telah dapat dinyatakan sebagai pelaku delik.
Berbeda dengan delik materil, delik formal tidak mendasarkan kepada suatu
akibat perbuatan (result), tetapi hanya melihat dari sudut formal dari perbuatan
yang dilakukan. Seorang terdakwa dapat dinyatakan bersalah jika sudah
memenuhi salah satu unsur delik formal yang didakwakan sekalipun akibat dari
perbuatannya sama sekali tidak ada atau terbukti.
Berikut akan dipaparkan beberapa contoh delik formal dalam UU RI no. 32
Tahun 2009:
Pasal 113
Setiap orang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan
informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar
yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum
yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah
Pasal 115
Setiap orang yang sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan
pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik
pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
10
Husin, Penegakan Hukum Llingkungan, h. 123
77
3. Delik Korporasi
Dalam kamus hukum, korporasi adalah suatu perkumpulan atau organisasi
yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (personal) ialah sebagai
pengemban hak dan kewajiban; memiliki hak menggugat atau digugat di muka
Pengadilan.11 Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun 1982 Tentang
Wajib daftar Perusahaan, di dalam Pasal 1 butir b mengartikan perusahaan
sebagai setiap bentuk usaha yang
menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat
tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam
wilayah Negara Republik Indonesia, dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan dan atau laba.
Korporasi dikualifikasikan sebagai subjek
tindak
pidana
dan dapat
dipertanggungjawabkan di samping orang (pengurus). Dengan demikian, crimial
lability dapat dibebankan baik kepada direksi, pengurus atau pimpinan suatu
perusahaan, maupun juga terhadap person pemberi perintah dari perusahaan itu.12
Pertanggungjawaban pidana oleh korporasi diatur dalam Pasal 116, 117,
118, 119 UU RI No. 32 Tahun 2009:
Pasal 116
1)
11
Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas
nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. Badan usaha; dan atau
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), cet. Ke-5, h. 231
Siahaan, Hukum Lingkungan, h. 379
12
78
b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana tersebut.
2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau bedasarkan
hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi
pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak
pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan
secara sendiri atau bersama-sama.
Pasal 117
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana
yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana diperberat dengan sepertiga.
Pasal 118
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a,
sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha atau yang diwakili oleh pengurus
yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Pasal 119
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, terhadap badan
usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usana dan/atau kegiatan;
c. Perbaikan akibat tindak pidana;
d. Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
C. Faktor-Faktor
Penyebab
Terjadinya
Pencemaran
dan
Perusakan
Lingkungan Hidup
Mengingat bahwa lingkungan hidup sangat menentukan bagi kelangsungan hidup
manusia, maka kemampuan daya dukung alam harus dijaga agar tidak rusak dan
79
berakibat buruk bagi manusia. Bila terjadi kerusakan pada lingkungan hidup yang
terbentuk melalui proses yang sangat panjang, tidak mugkin untuk ditunggu
pemulihannya secara alami. Secara umum pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup disebabkan oleh dua faktor, yaitu:
1. Kerusakan karena faktor internal
Kerusakan karena faktor internal adalah kerusakan yang berasal dari dalam
bumi/alam itu sendiri atau bisa juga disebut karena peristiwa alam. kerusakan
akibat faktor internal pada lingkungan hidup sulit untuk dicegah karena
merupakan proses alami yang terjadi pada bumi/alam yang sedang mencari
keseimbangan dirinya.13 Kerusakan lingkungan hidup akibat faktor internal
antara lain dapat terjadi karena:
1) Letusan gunung berapi, Letusan gunung berapi terjadi karena aktivitas
magma di perut bumi yang menimbulkan tekanan kuat keluar melalui
puncak gunung berapi. Bahaya yang ditimbulkan letusan gunung berapi
di antaranya: terjadi hujan abu vulkanik, turunnya lava dan awan panas
yang dapat mematikan makhluk hidup yang dilalui.
2) Gempa bumi, Gempa bumi adalah getaran kulit bumi yang bisa
disebabkan karena beberapa hal, di antaranya kegiatan magma (aktivitas
gunung berapi), terjadinya tanah turun, maupun karena gerakan lempeng
di dasar samudra. Pada saat gempa berlangsung terjadi beberapa
13
Wardhana, Dampak Pencemaran, h. 16
80
peristiwa sebagai akibat langsung maupun tidak langsung, di antaranya:
berbagai bangunan roboh, tanah di permukaan bumi merekah, jalan
menjadi putus, tanah longsor akibat guncangan, bahkan bisa terjadi
tsunami apabila gempa terjadi di dasar laut.
3) Angin topan, angin topan terjadi akibat aliran udara dari kawasan yang
bertekanan tinggi menuju ke kawasan bertekanan rendah. Perbedaan
tekanan udara ini terjadi karena perbedaan suhu udara yang mencolok.
Serangan angin topan (puting beliung) dapat menimbulkan kerusakan
lingkungan hidup dalam bentuk: Merobohkan bangunan, rusaknya areal
pertanian dan perkebunan, membahayakan penerbangan.14
2. Kerusakan karena faktor eksternal
Kerusakan karena faktor eksternal ialah kerusakan yang diakibatkan oleh
ulah
manusia dalam rangka meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidupnya.15
Kerusakan lingkungan hidup karena faktor eksternal antara lain disebabkan oleh:
1) Faktor industrialisasi, negara-negara maju menciptakan berbagai ilmu
pengetahuan dan teknologi yang demikian hebat sehingga mampu
mengagumkan seluruh umat di bumi. Akan tetapi salah satu kelemahan
Afandi Kusuma, Lingkungan Hidup, Kerusakan Lingkungan, Pengertian, Kerusakan
Lingkungan Dan Pelestarian, Artikel diakses pada
20 Desember 2011 dari
http://afand.cybermq.com/post/detail/2405/linkungan-hidup-kerusakan-lingkungan-pengertiankerusakan-lingkungan-dan-pelestarian14
15
Wardhana, Dampak Pencemaran, h. 16
81
yang belum bisa diusik, ialah ekses-ekses negatif teknologi itu sendiri.16
Kerusakan yang terjadi karena faktor industrialisasi di antaranya adalah:
pencemaran udara yang berasal dari cerobong pabrik, pencemaran air
yang berasal dari limbah buangan industri, pencemaran daratan oleh
kagiatan industri maupun limbah padat/barang bekas.17
2) Faktor urbanisasi, perpindahan masyarakat dari desa ke kota
menyebabkan jumlah tenaga kerja di desa berkurang. Sebelum mereka
pindah, mereka menggarap lahan pertanian dan menghasilkan panen
yang baik. Namun karena berkurangnya jumlah tenaga kerja di desa,
maka tidak tertutup kemungkinan adanya sawah atau lahan pertanian
yang terbengkalai. Keadaan ini mengakibatkan menurunnya hasil panen.
Faktor urbanisasi mengakibatkan kerusakan lingkungan berupa:
pembukaan hutan untuk perkampungan, industri dan sistem
transportasi, penimbunan atau menumpuknya sisa-sisa buangan/sampah
dari hasil proses-proses di atas.18
3) Faktor kepadatan penduduk, Jumlah penduduk yang makin meningkat
menyebabkan kebutuhannya makin meningkat pula. Hal ini berdampak
negatif pada lingkungan, yaitu: Makin berkurangnya lahan produktif,
16
17
18
Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pemangunan, h. 73
Wardhana, Dampak Pencemaran, h. 17
Achmad Luthfi, Sumber-Sumber Terjadinya Penemaran, artikel diakses pada 20 Desember
2011
dari
http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/kimialingkungan/pencemaran_lingkungan/sumber-sumber-terjadinya-pencemaran/2
82
seperti sawah dan perkebunan karena lahan tersebut dipakai untuk
pemukiman. Makin berkurangnya ketersediaan air bersih, manusia
membutuhkan air bersih untuk keperluan hidupnya. Pertambahan
penduduk akan menyebabkan bertambahnya kebutuhan air bersih, hal ini
menyebabkan persediaan air bersih menurun. Pertambahan penduduk
juga menyebabkan arus mobilitas meningkat. Akibatnya, kebutuhan alat
transportasi meningkat dan kebutuhan energi seperti minyak bumi
meningkat pula. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran udara dan
membuat
persediaan
minyak
bumi makin
menipis.
Pertambahan
penduduk juga menyebabkan makin meningkatnya limbah rumah tangga,
seperti sampah dan lain-lain. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran
lingkungan.19
Pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup itu bisa terjadi karena
disebabkan banyak faktor, seperti misalnya bencana alam dan ulah
tangan
manusia. Namun kebanyakan kerusakan terjadi karena faktor bencana alam.
Begitu juga halnya dengan pencemaran, tidak selamanya faktor ulah tangan
manusia yang menjadi penyebabnya. Faktor bencana alampun bisa menjadi
penyebab utama. Contoh yang paling
teraktual adalah terjadinya gempa
berkekuatan 8,9 Skala Richter di Jepang pada tanggal 11 Maret 2011 hingga
terjadi tsunami yang mengakibatkan bocornya reaktor nuklir sehingga
19
Kepadatan Penduduk dan Pencemaran Lingkungan, artikel diakses pada 20 Desember 2011 dari
http://zaifbio.wordpress.com/2010/02/11/kepadatan-penduduk-dan-pencemaran-lingkungan/
83
menimbulkan bahaya radiasi nuklir melalui udara. Itu adalah salah satu bentuk
pencemaran lingkungan yang berada di luar kekuasaan manusia.20
D. Analisis Hukum Islam Terhadap Pencemaran Dan Perusakan Lingkungan
Hidup
Berbicara mengenai hukum Islam, kita tidak akan terlepas dari dua cabang ilmu
yaitu ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih. Berikut penulis mencoba menganalisis
mengenai permasalahan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dengan ke dua
cabang ilmu tersebut.
1.
Analisis Ilmu Fiqih tentang Pencemaran dan Perusakan Lingkungan
Hidup
Ilmu fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah
yang digali dan ditentukan dari dalil-dalil tafsili.21 Hubungan antara ilmu fiqih
dengan pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup dari segala macam hal
yang bisa membahayakan dan merusak adalah hubungan yang mempunyai
aturan-aturan yang jelas.
Selain definisi di atas, sebagaimana umum diketahui, ilmu fiqih adalah ilmu
yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
20
Wawancara Pribadi dengan Fachruddin Majeri Mangunjaya. Jakarta, 6 Januari 2012
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2008), jld.1, cet. Ke-3, h. 3
21
84
sunnah Nabi Muhammad SAW untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang
telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan
hukum
Islam.22 Ilmu fiqih juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan masyarakat, dan dengan alam di
sekitarnya sesuai dengan lima hukum Islam (taklifi): wajib, sunnah, haram,
makruh, dan mubah.
Hubungan ilmu fiqih dengan lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada
wilayah hukum-hukumnya semata, akan tetapi juga berhubungan dengan
kapasitanya sebagai dasar pembentukan hukum secara universal. Kenyataan ini
tidak dapat dipungkiri oleh para ahli fiqih, bahwa metode-metode fiqih yang
terkenal telah melahirkan bahasan dalam berbagai literatur yang amat banyak
yang dalam bahasan-bahasan itu menyinggung pentingnya memberikan perhatian
terhadap lingkungan hidup, serta bagaimana Islam mengatur dan memeliharanya.
Karena di dalamnya dipaparkan prinsip-prinsip pemeliharaan lingkungan dengan
amat terpuji.
Di antara prinsip-prinsip yang sangat terkenal dalam ilmu fiqih dan yang
lebih khususnya lagi termaktub dalam ilmu qawaid fiqhiyyah mengenai masalah
22
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
(Jakata: Raja Grafindo Persada, 1998), cet. Ke-6, h. 49
85
pemeliharaan
lingkungan hidup
‫ﻻﺰﻳراﺮّﻀﻟا‬
adalah prinsip/kaidah
(kemadharatan, kesulitan atau bahaya harus dihilangkan).23
Qa’idah tersebut kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid alsyari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan
kemudharatan atau setidaknya meringankannya.24
Di mana qa’idah tersebut dibangun berdasrkan Q.S Al-Baqarah (2):195.
=t† !# β) #θΖ¡m&ρ π3=κJ9# ’<) /3ƒ‰ƒ'/ #θ)=? ωρ !# ≅‹6™ ’û #θ)Ρ&ρ
( ٢:١٩٥ / ‫) ةﺮﻘﺒﻟا‬
∩⊇®∈∪ ⎦⎫Ζ¡sϑ9#
Artinya:‘‘Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.’’
Selain itu kaidah tersebut didasarkan kepada hadis Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Abi Sa’id Al-Hudri:



‘‘Tidak boleh berbuat dloror (bahaya) dan membalas perbuatan bahaya
kepada orang lain, bagi siapa yang berbuat bahaya kepada orang lain maka
23
Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-Asas dan Pngentar Studi Hukum Islam Dalam Tata
Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), cet. Ke-2, h. 70
24
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan MasalahMasalah Yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. Ke-2, h. 67
 
86
Allah akan berbuat bahaya
kepada orang tersebut, dan bagi siapa mempersulit
kepada orang lain, maka Allah akan mempersulit dia.’’
Pengertian
‫راﺮّﻀﻟا‬
menurut al-Nadawi sebagaimana dikutip dalam buku
Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqih karangan Ahmad Sudirman Abbas
adalah‘‘berbuat kerusakan kepada orang lain secara mutlak, mendatangkan
kerusakan terhadap orang lain dengan cara yang tidak diijinkan oleh agama.
Sedangkan tindakan perusakan terhadap orang lain yang diijinkan oleh agama
seperti qiyas, diyat, had, dan lain-lain tidak dikategorikan berbuat kerusakan
tetapi untuk mewujudkan kemaslahatan.25
Dari kaidah universal ini kemudian dibagi kembali ke dalam kaidah-kaidah
parsial sbagai kumpulan metode yang telah disepakati oleh para ahli fiqih. Di
antara kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:

“Menghindari kesulitan harus didahulukan atas menarik kemaslahatan.”
Yang dimaksud
‫ﺪﺳﺎﻔﻤﻟاءرد‬
adalah menghilangkan atau melenyapkan
sesuatu yang merusak. Jika terjadi tarik menarik antara sesuatu yang merusak
dan sesuatu yang maslahah, maka menolak sesuatu yang merusak harus lebih
didahulukan, walaupun untuk itu harus kehilangan peluang mendapatkan sesuatu
25
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqih, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
2004), h. 128
87
yang maslahah. Sebab kepedulian syariat Islam terhadap hilangnya kerusakan
jauh lebih besar bila dibandingkan dengan menciptakan sesuatu yang maslahah.
Kesungguhan syariat Islam dalam menghimbau untuk meninggalkan larangan,
lebih diotoritaskan dari pada himbauan untuk melaksanakan perintah.26
Qa’idah ini didasarkan hadis Nabi:
 
  

 
 
        
    
 

“Apabila aku perintahkan kamu sekalian melakukan sesuatu, maka
lakukanlah sesuai kemampuan kamu, dan apabila uku larang kamu sekalian dari
suatu hal, maka jauhilah.”
2.
Analisis Ilmu Ushul Fiqih tentang Pencemaran dan Perusakan
Lingkungan Hidup
Secara umum, tujuan penciptaan hukum (syar’i) dalam menetapkan dan
menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta
kebahagiaan manusia seluruhnya, baik kebahagiaan di dunia yang fana ini,
maupun kebahagiaan akhirat yang baqa (kekal) kelak. Tujuan hukum Islam yang
demikian itu dapat kita tangkap antara lain dari firman Allah SWT dalam Q.S
AlAnbiya (21):107.
( ٢١:١٠٧/ ‫⎫⎥ ∪∠⊃⊇∩ )ءﺎﻴﺒﻥﻷا‬ϑ=≈è=9 πΗq‘ ω)
≈Ψ=™‘& .$Βρ
Artinya: ‘‘Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.’’
26
Ibid., h. 149
88
Perlindungan
terhadap lingkungan hidup tidak hanya dibahas dalam ilmu
fiqih saja, tetapi juga dibahas dalam ilmu ushul fiqih. Terutama dalam bahasan
tujuan hukum Islam (maqashid syari’ah). Abu ishaq al-Shatibi dalam buku
Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia karangan
Muhammad Daud Ali merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, yang kemudian disepakati oleh ilmuwan
Islam lainnya.27
Menjaga lima maslahat pokok sebagaimana disebut sebelumnya merupakan
keharusan untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia, di
mana jika paham tersebut ditinggalkan, maka kemaslahatan dunia tidak akan
dapat berdiri dengan tegak, sehingga akan berakibat terjadinya kerusakan dan
hilangnya kenikmatan, dan berujung pada penyesalan abadi.
Jika kita telaah secara lebih mandalam, maka tidak diragukan lagi bahwa
pemeliharaan, pelestarian, dan perlindungan lingkungan hidup tercakup pada
kategori lima maslahat pokok tersebut. Yaitu:
a. Memelihara Lingkungan Dalam Konteks Menjaga Agama
( ‫) ﻦﻳّﺪﻟا ﻆﻔﺣ‬
Pemeliharaan agama merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya
adalah karena agama merupakan pedoman hidup manusia. Lalu, segala
pemeliharaan lingkungan sama halnya dengan manjaga agama. Karena
perbuatan dosa yang mencemari dan merusak lingkungan hidup dapat
27
Ali, Hukum Islam, h. 61
89
menodai ajaran agama. Di samping itu, hal tersebut juga merupakan
perbuatan yang menyimpang dari perintah Allah SWT dalam konteks
hubungan baik dengan sesama makhluk ciptaan-Nya.
Selain itu pencemaran dan perusakan lingkungan hidup scara implisit
juga telah menodai perintah Allah SWT untuk memakmurkan bumi,
memperbaikinya serta melarang segala bentuk perbuatan yang dapat
merusak dan membinasakannya.
Dalam hal ini Allah berfirman:
MΗq‘ β) $èϑÛρ $ùθz νθãŠ#ρ $γs≈=¹) ‰è/ Ú‘{# †û #ρ‰¡? ωρ
(٧:٥٦ / ‫⎫⎦ ∪∉∈∩ ) ﻓﺎﺮﻋﻷا‬Ζ¡sϑ9# ∅Β =ƒ % !#
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,
sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa
takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya
rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
b. Memelihara Lingkungan Dalam Konteks Menjaga Jiwa
( ‫) ﺲﻔّﻨﻟا ﻆﻔﺣ‬
Menjaga jiwa merupakan tujuan ke dua hukum Islam. Karena itu hukum
Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan
hidupnya. Menjaga lingkungan dari segala kerusakan juga termasuk
maslahat pokok yang ke dua, yaitu menjaga jiwa. Maksud dari menjaga jiwa
adalah perlindungan terhadap kehidupan psikis
mereka.
manusia dan keselamatan
90
Terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup tentu akan
mengakibatkan timbulnya bahaya dalam kehidupan manusia. Sehingga tidak
jarang banyak korban jiwa yang berjatuhan karena disebabkan oleh hal
tersebut. Semakin luas hal ini dikembangkan, maka semakin tampaklah
bahaya yang akan diterima umat manusia. Betapa pentingnya harga sebuah
jiwa, sehingga Allah SWT befirman dalam Q.S Al-Maidah (5):32.
¨$Ζ9# ≅F% $ϑΡ'6ù Ú‘{# ’û Š$¡ù ρ& §Ρ  ó/ $¡Ρ ≅F% ⎯Β
(٥:٣٢ / ‫)ةﺪﺋﺎﻤﻟا‬
$è‹ϑ_ ¨$Ψ9# $Šm& $ΚΡ'6ù $δ$Šm& ⎯Βρ $è‹ϑ_
Artinya: ‘‘Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan
di muka bumi, Maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.’’
c. Memelihara Lingkungan Dalam Konteks Menjaga Akal
( ‫) ﻞﻘﻌﻟا ﻆﻔﺣ‬
Akal merupakan sumber hikmah (pengetahuan), sinar, hidayah, cahaya,
mata hati, dan media kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
Dengan
akal, surat perintah dar Allah SWT disampaikan, dengannya pula manusia
menjadi pemimpin di muka bumi, dan dengannya pula manusia menjadi
sempurna, mulia, dan berbeda dengan makhluk lainnya.28
28
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah. Penerjemah Khikmwati, (Jakarta: Amzah,
2009), h. 91
91
Menjaga lingkungan hidup dapat juga dihubungkan dengan maslahat
pokok yang ke tiga, yakni menjaga akal. Maslahat ini merupakan jembatan
yang mengantarkan ke arah pemberlakuan taklif dalam hukum Islam.
Karena yang tidak mempunyai akal, tidak ada beban yang wajib
ditanggungnya.
Menjaga lingkungan hidup dalam pengertian luas, mengandung arti
menjaga manusia dengan seluruh unsur penciptaannya, yaitu jasmani, akal,
jiwa. Maka
upaya keberlangsungan hidup manusia tidak akan berjalan,
kecuali apabila akalnya tidak dijaga, yang oleh karenannya manusia menjadi
berbeda dengan hewan. Sebagian bentuk perusakan lingkungan hidup
dewasa ini, selain berakibat bahaya pada dirinya sendiri juga dapat dikatakan
perbuatan gila. Karena si pelaku tidak memikirkan dampak negatif yang
akan menimpa apabila kerusakan lingkungan itu terjadi.
d. Memelihara Lingkungan Dalam Konteks Menjaga Keturunan
‫) ﻆﻔﺣ‬
( ‫ﻞﺴّﻨﻟا‬
Pemeliharaan keturunan bertujuan agar kemurnian darah dapat dijaga
dan kelanjutan umat manusia dapat dilanjutkan. Menjaga lingkungan hidup
juga termasuk dalam hal menjaga keturunan. Keturunan yang dimaksud
adalah keturunan umat manusuia yang ada di muka bumi. Dengan menjaga
keturunan, maka sama saja kita menjaga kelangsungan hidup untuk generasi
masa depan.
92
Perilaku menyimpang yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup
dengan cara megambil sumber-sumber kekayaan alam yang merupakan hak
orang lain akan mengancam keberlangsungan hidup generasi di masa depan.
Walaupun kita dapat sadari di satu sisi perbuatan tersebut juga menyebabkan
perkembangan dan kemajuan pada masa sekarang. Namun, di sisi lain
bahaya dari perbuatan tersebut akan dirasakan oleh generasi-generasi di
masa akan datang.
Seperti pembalakan liar yang telah menggundulkan hutan-hutan di
Indonesia, di satu sisi tersebut memang membuahkan hasil yang positif
seperti misalnya pembuatan kertas, tidak dipungkiri kita pun
menikmatnya.
Akan tetapi apabila hal tersebut terus dilakukan, maka di masa depan anak
cucu kita tidak dapat meghirup udara yang segar karena pohon sebagai
paruparu bumi sudah semakin sedikit keberadaannya.
e. Memelihara Lingkungan Dalam Konteks Menjaga Harta
( ‫) لﺎﻤﻟا ﻆﻔﺣ‬
Harta adalah semua perantara yang Allah berikan kepada kita unuk
menjalani rutinitas kehidupan di dunia yang bertujuan untuk beribadah
kepada Allah SWT. Harta juga merupakan salah satu kebutuhan inti dalam
kehidupan, di mana manusia tidak bisa berpisah dengannya.29 Sebagaimana
Allah berfirman dalam Q.S Al-Kahfi (18):46.
29
Ibid., h. 167
93
(١٨:٤٦/ ‫)ﻒﻬﻜﻟا‬
$‹Ρ‰9# οθŠs9# πΖƒ— βθΖ69#ρ Α$ϑ9#
Artinya: ‘‘Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.’’
Menjaga lingkungan dapat pula dikatakan menjaga maslahat pokok
yang ke lima, yaitu menjaga harta. Harta yang dimaksud di sini bukan hanya
sebatas uang, rumah, dan permata saja, melainkan semua benda yang
menjadi milik dan dapat dinikmati oleh manusia.
Oleh sebab itu, keharusan menjaga lingkungan juga merupakan
kewajiban kita dalam menjaga harta dalam bentuk dan jenisnya tersebut.
Dalam bentuk pelaksanaannya adalah dengan cara menjaga sumber dayanya
dengan cara tidak mengeksploitasi alam, karena dengan pengeksploitasian
tersebut, maka segala sumber kekayaan alam akan hilang sebelum waktunya
dapat dimanfaatkan.
Dengan demikian jelaslah bahwa Islam mensyariatkan beberapa hukum
dalam berbagai bab ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana), dengan tujuan
menjamin keperluan pokok manusia dengan cara mewujudkan, memelihara, dan
menjaganya.30
Disadari atau tidak, menjaga lingkungan hidup dari pencemaran dan
kerusakan menjadi sesuatu hal yang sangat urgent, bahkan wajib. Menjaga
keselamatan agama (hifdzu al-din), jiwa (hifdzu al-nafs), akal (hifdzu al30
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh, Penerjemah Noer
Iskandar dkk. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), cet. Ke- 8, h. 325
94
‘aql), keturunan (hifdzu al-nasl), dan harta (hifdzu al-maal) yang merupakan
konsep paling sederhana dari tujuan pokok syariat Islam (maqashid alsyari’ah) tidak akan dapat terwujud apabila kita tidak bisa menjaga,
merawat, dan memelihara lingkungan hidup.31
31
Wawancara Pribadi dengan Fachruddin Majeri Mangunjaya. Jakarta, 6 Januari 2012
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah penulis lakukan mengenai sanksi pidana terhadap
pelaku perusakan lingkungan hidup, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan:
1.
Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana yang memiliki sanksi hukum bagi pelakunya yakni hukuman
takzir, karena perbuatan tersebut sangat jelas dilarang oleh syara’, akan
tetapi tidak ditentukan sanksinya dalam al-Qur’an dan al-hadits. Mengenai
bentuk hukumannya itu sepenuhnya diserahkan kepada penguasa/ulil amri
yang dalam
hal ini adalah hakim yang diberi kuasa untuk menjatuhkan
vonis mengenai bentuk maupun jenis hukuannya.
Sedangkan di dalam UU RI No. 32 Tahun 2009 terdapat tiga macam delik
dalam masalah pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, yakni delik
materil, delik formil, dan delik korporasi. Sanksi yang diterapkan terhadap
pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dalam delik materil
dan delik formil adalah berupa hukuman penjara dan hukuman denda.
Sedangkan dalam delik korporasi,
bagi korpoasi yang melakukan kejahatan
dapat dikenai sanksi tata tertib sesuai dengan undang-undang tersebut.
94
95
2.
Secara umum, faktor penyebab terjadinya pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup ada dua dua macam. Pertama adalah faktor internal, dan
yang ke dua faktor eksternal. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
karena faktor internal adalah kerusakan lingkungan yang berasal dari dalam
bumi/alam itu sendiri, atau penyebabnya adalah karena peristiwa alam.
seperti: letusan gunung berapi, gempa bumi, dan angin topan. Pencemaran
dan perusakan lingkungan hidup karena faktor eksternal adalah kerusakan
yang diakibatkan oleh ulah manusia dalam rangka meningkatkan kualitas
dan kenyamanan hidupnya. Seperti faktor industrialisasi, faktor urbanisasi,
dan faktor kepadatan penduduk.
B. Saran
Mengikuti arus perkembangan informasi dan bertumbuhkembangnya era
kemajuan
pembangunan industri yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup
pada saat ini, berbagai dampak dan pengaruh lingkungan telah hadir di permukaan.
Sehubungan dengan munculnya kekhawatiran itu, fungsi dan peranan hukum
patut dijadikan sarana ujung tombak yang tajam secara efektif di tengah kehidupan
sosial dan pembangunan. Untuk ketajaman dan efektivitas hukum perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, disarankan:
1.
Kepada Kementerian Lingkungan Hidup, agar diadakannya pembinaan dan
peningkatan keterampilan aparat penegak hukum yang bertugas menangani
kasus-kasus tindak pidana lingkungan disertai dengan upaya-upaya untuk
96
menigkatkan koordinasi dan sinkronisasi dalam rangka menciptakan
persamaan persepsi aparat yang terkait, serta melengkapi sarana dan
prasarana termasuk dana yang berfungsi sebagai penunjang penegakan
hukum lingkungan. Juga perlu diadakannya pembinaan dan peningkatan
kesadaran hukum masyarakat melalui penyuluhan dan bimbingan secara
PEKA (Persuasif, Edukatif, Komunikatif, dan Akomodatif).
2. Kepada aparat pemerintah pembuat Undang-Undang, dimohon agar memuat
aspek-aspek dalam khazanah ke-Islaman khususnya di bidang lingkungan
hidup untuk dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
3.
Untuk menjaga eksistensi lingkungan hidup di masa depan, dimohon kepada
para pendidik khususnya di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah
Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), agar lebih menekankan
para peserta didik pada study pendidikan mengenai lingkungan hidup dalam
menjaga dan melestarikan lingkungan. Karena apabila tidak dididik dari usia
dini dikhawatirkan mereka akan menjadi oknum-oknum perusak lingkungan
hidup
di masa depan yang hanya memikirkan keuntungan sesaat
tanpa
memperdulikan nasib bumi yang dipijaknya.
4.
Kepada para pihak pengelola industri agar lebih memperhatikan
keseimbangan lingkungan agar limbah-limbah buangan dari industri yang
dikelolanya tidak menimbulkan berbagai dampak yang merugikan manusia.
97
5.
Kepada para pejabat daerah dimohon untuk lebih gencar dan selektif dalam
mengadakan operasi kependudukan/yustisi guna mengurangi terjadinya
kepadatan penduduk yang berakibat buruk bagi kelestarian lingkungan
hidup.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Al-Qur’an Al-Karim
Abbas, Ahmad Sudirman, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqih, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 2004.
Abdullah, Mustafa dan Ahmad, Ruben, Intisari Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986.
Abdurahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Bandung: Alumni, 1986
Afif, Wahab, Hukum Pidana Islam, Banten: Yayasan Ulumul Qur’an, t. th
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Jakata: Raja Grafindo Persada, 1998.
Ambary, Hasan Muafif, dkk,
1999.
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
Aripin, Jaenal, Metode dan Teknik Pengumpulan Data, Makalah disampaikan pada
Pelatihan Metodologi Penelitian Mahasiswa FSH UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 30 Oktober 2009.
Audah, Abdul Qadir, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, Juz. I, Beirut: Muassasah alRisalah, 1994.
--------------, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, Juz. II, Beirut: Muassasah, al-Risalah,
1992.
Bassar, M. Sudrajat, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Bandung, Remadja Karya, 1986.
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002.
Djazuli, A., Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah Yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007
Hamzah, Andi, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
98
99
--------------, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya paramita,
1993.
Hamzah, Andi dan Rahayu, Siti, Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia,
Jakarta: Akademika Pressindo, 1983.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Yogyaersity Press, 2006.
Husein, Harun M., Lingkungan Hidup: Masalah Pengelolaan dan Penegakan
Hukumnya, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Husin, Sukanda, Penegakan Hukum Llingkungan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2009.
Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain, Maqashid Syariah. Penerjemah Khikmwati,
Jakarta: Amzah, 2009.
Khallaf, Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh, Penerjemah
Noer Iskandar dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
KUHP dan KUHAP, Jakarta: Asa Mandiri, 2009.
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, Menuju
Pelaksanaan Hukum Potong Tangan di Naggroe Aceh Darussalam, Jakarta:
Indhill, 2008.
Moeljianto, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Muhammad, Ahsin Sakho, Ensikopedi Hukum Pidana Islam, Jakarta: Karisma Ilmu,
2007.
Munawir, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1997.
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinyah,
Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Mustofa, Agus, Menuai Bencana, Surabaya: PADMA Press, 2005.
Prodjodikoro, Wirdjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika
Aditama, 2009.
100
Purnomo, Hadi dan Sugiantoro, Ronny, Manajemen Bencana: Respons dan Tindakan
Terhadap Bencana, Yogyakarta: Medpress, 2010.
Ramly, Nadjamudddin, Membangun Lingkungan Hidup yang Harmoni dan
Berkepribadian, Jjakarta: Grfindo Khazanah Ilmu, 2005.
Salim, Emil, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Mutiara Sumber Widya,
1985.
Sastrawijaya, A. Tresna, Pencemaran Lingkungan, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Siahaan, N.H.T, Hukum Lingkungan, Jakarta: Pancuran Alam, 2009.
--------------, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Jakarta: Erlangga, 2004.
Simanjuntak, Osman, Teknik Penuntutan Tindak Pidanan Lingkungan Hidup, Jakarta:
Sumber Ilmu Jaya, t. th
Soemartono, R. M. Gatot P., Mengenal Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 1991.
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Asdi Mahasatya, 2007
--------------, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Bandung: Alfabeta,
2008.
Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta: Sinar
Grafika, 2008.
--------------, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2007.
Tim Penyusun Lajnah Pentashilan Mushaf Al-Qur’an, Pelestarian Lingkungan Hidup
(Tafsir Al-Qur’an Tematik), Jakarta: Lajnah Pentashilan Mushaf Al-Qur’an
Badan Litbang Dan Diktat Departmen Agama RI, 2009.
101
Tim Redaksi Eska Media, UUD 1945 dan Penjelasannya, Jakarta: Eska Media, t.th.
Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan Tentang Lingkungan Hidup,
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010.
Usman, Suparman, Hukum Islam, Asas-Asas dan Pngentar Studi Hukum Islam Dalam
Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Wahid, Rusli, dkk, Untukmu Kami Hadir, Jakarta: Sekretariat Ditjen Bantuan dan
Jaminan Sosial, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Departemen
Sosial, 2006.
Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Wardhana, Wisnu Arya, Dampak Pencemaran Lingkungan, Yogyakarta: Andi, 2004.
Wawancara Pribadi dengan Fachruddin Majeri Mangunjaya. Jakarta, 6 Januari 2012
Wojowasito, S., Kamus Umum Belanda- Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
2001.
Yafie, Ali, Menggagas Fiqih Sosial Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi, Hingga
Ukhuwah, Bandung: Mizan, 1995.
Zain, Alam Setia, Hukum Llingkungan Konservasi Hutan dan Segi -Segi Pidana,
Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
102
B. Sumber Internet
http://www.indonesia.bg/indonesian/indonesia/index.htm
http://bumianoa.wordpress.com/2010/06/07/eksploitasi-atas-kekayaan-alamindonesia/
http://bebasbanjir2025.wordpress.com/04-konsep-konsep-dasar/fiqih-lingkungan/
http://afand.abatasa.com/post/detail/2405/linkungan-hidup-kerusakan-lingkunganpengertian-kerusakan-lingkungan-dan-pelestarianhttp://geo.ugm.ac.id/archives/125
http://daniey.wordpress.com/pencemaran-lingkungan/
http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/kimialingkungan/pencemaran_lingkungan/sumber-sumber-terjadinya-pencemaran/2
http://zaifbio.wordpress.com/2010/02/11/kepadatan-penduduk-dan-pencemaranlingkungan/
PEDOMAN WAWANCARA
1. Apa yang dimaksud dengan lingkungan hidup?
2. Apa pengertian lingkungan hidup jika dilihat dari kacamata Islam?
3.
Secara definitif, adakah perbedaan sudut pandang antara lingkungan hidup di
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan di dalam Islam?
4.
Apa yang dimaksud dengan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup? Dan
adakah perbedaan di antara keduanya?
5. Apa faktor penyebab terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup?
6.
Di dalam hukum Islam, apakah perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup termasuk tindak pidana? Mengapa?
7.
Jika iya, sanksi apa yang diberikan kepada pelaku pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup tersebut?
8. Bagaimana tanggapan bapak mengenai pengguna kendaraan bermotor seperti
mobil/motor? Apakah mereka termasuk pelaku pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup? Dan bagaimana solusinya?
IDENTITAS RESPONDEN
Nama
: ...
Tempat, Tanggal Lahir
: ...
Alamat
: ...
Pekerjaan
: ...
SURAT PERNYATAAN OBSERVASI/WAWANCARA
DENGAN Drs. FACHRUDDIN M. MANGUNJAYA, M.Sc
SEBAGAI AKTIVIS CONSERVATION INTERNATIONAL INDONESIA
Hari/Tanggal
: Jum’at, 6 Januari 2012
Waktu
: Pukul 10:00 WIB
Tempat
: Kantor Conservation International Indonesia
Jl. Pejaten Barat No. 16A Kemang-Jakarta Selatan
Nama Responden
: Drs. Fachruddin M. Mangunjaya, M.Sc
Pekerjaan
: Aktivis Conservation International Indonesia
Jakarta, 6 Januari 2011
Drs. Fachruddin M. Mangunjaya, M.Sc
HASIL OBSERVASI/WAWANCARA DENGAN
Dr. Fachruddin Majeri Mangunjaya, M.Si
(Religion and Conservation Initiative, Conservation International Indonesia)
Jl. Pejaten barat No. 16A Kemang-Jakarta Selatan
1. Apa yang dimaksud dengan lingkungan hidup?
Jawab: Lingkungan hidup itu istilah dalam
diterjemahkan dari environment dalam
bahasa Indonesia yang
bahasa Inggris. Tetapi dalam
bahasa ilmiah juga bisa disebut sebagai ekologi, yaitu ilmu yang
mempelajari tentang makhluk hidup dan interaksi dengan komunitas
di sekelilingnya. Sedangkan di dalam buku-buku, ekologi itu diambil
dari dua kata, yaitu aikos dan logos. Aikos itu dikaitkan dengan rumah
tangga sedangkan logos ilmu. Jadi ekologi juga bisa disebut sebagai
ilmu yang terkait dalam hidup dan kehidupan dalam suatu ruang
lingkup tertentu (rumah tangga) atau sistem atau komunitas tertentu.
Di Indonesia sendiri istilah lingkungan hidup baru muncul di tahun
1970-an. Dan istilah pembangunan lingkungan secara berkelanjutan
muncuk melalui deklarasi Stockholm tentang lingkungan hidup dan
pembangunan berkelanjutan pada tahun 1972.
2. Apa pengertian lingkungan hidup jika dilihat dari kacamata Islam?
Jawab: Yang saya pelajari Islam itu tidak membicarakan secara spesifik
tentang lingkungan hidup, namun aspek ajaran praktis lingkungan,
dapat dijumpai
itu ada di mana-mana dalam Islam secara integratif.
Misalnya kitab fiqih, sudah berbicara dalam berbagai aspek praktek
ibadah, juga berbicara mengenai lingkungan. Seperti dalam bab
pertama dalam fiqih kita langsung membahas bab Thaharah. Jadi
sebenarnya Islam itu sudah ada di dalam sistemnya mengenai
lingkungan hidup. Atau dikatakan “Islam is inherently environment”
Hanya saja sekarang kita mencari-cari yang mana saja aspek ajaran
Islam yang dapat menjawab dengan masalah-masalah yang actual
karena
persoalan
modern.
lingkungan
banyak
ditemui
dalam
kehidupan
Secara makro Islam mengajarkan bahwa alam semesta ini
juga termasuk lingkungan hidup, semua makhluk yang ada di Langit
dan bumi bertasbih kepada Allah. Kita hidup dan beribadah di bumi
Allah, apabila bumi ini rusak, maka kita tidak bisa beribadah dengan
tenang. Jadi tujuan disyariatkannya hukum Islam pun sesungguhnya
mempunyai
pesan,
bagaimana
kita
menjaga
lingkungan
sebagai
tujuan yang paling tinggi. Sebab target umum maqasid al syariah
seperti: hifdzu al-din, hifdzu al-nafs, hifdzu al-‘aql, hifdzu al-nasl,
hifdzu al-mal, tidak akan tercapai kalau lingkungan hidup rusak.
Seperti
contohnya
apabila
air
tercemar
bagaimana
kita
bisa
beribadah, kita mau shalat, air yang digunakan tercemar, terjadi
banjir, maka kita tidak bisa beribadah dengan tenang. Untuk itu
maksud syari’ah semuanya harus berada dalam suatu yang holistik.
Jadi hukum Islam kapanpun dan di manapun harus menjawab sebuah
tantangan
zaman,
jangan
sampai
Islam
tidak
bisa
menjawab
tantangan dari lingkungan hidup ini.
3. Secara definitif, adakah perbedaan sudut pandang antara lingkungan hidup
di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan di dalam Islam?
Jawab:
Secara umum lingkungan hidup itu netral saja, tetapi kalau kita
berbicara Islam berarti ada kemasan dan ada unsur keimanan di
dalamnya. Seperti kita membuang sampah kemudian kita mendaur
ulangnya, maka itu sebagian dari ibadah.
4.
Apa yang dimaksud dengan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup?
Dan adakah perbedaan di antara keduanya?
Jawab: Kalau sudah tercemar itu sudah pasti rusak dan tidak ballance, tetapi
kalau rusak belum tentu tercemar. Seperti tanah
longsor, itu
menyebabkan kerusakan tetapi tidak terjadi pencemaran. Pencemaran itu
terjadi karena ada intervensi atau ada masukan eksternal dari luar.
Udara tercemar karena ada minyak atau gas buangan, air kalau
digelontorkan limbah, maka akan tercemar. Tetapi kalau pohon
disebuah kawasan itu tidak tercemar hanya saja keseimbangannya
terganggu apabila terjadi longsor itu. Dampak dari pencemaran itu
macam-macam dan pencemaran akan mengakibatkan kerusakan, dan
kerusakan itu belum tentu yang tercemar.
5.
Apa faktor penyebab terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup?
Jawab:
Kerusakan itu penyebabnya macam-macam, seperti bencana alam.
Sedangkan pencemaran itu terjadi karena faktor manusia tetapi bisa
juga terjadi karena faktor alam, contohnya tsunami di jepang yang
menyebabkan radiasi nuklir. Jadi itu lah contoh pencemaran yang
berada di luar kekuasaan manusia. Tetapi dalam beberapa puluh
tahun terakhir bencana alam itu setelah dihitung dari bencanabencana yang terjadi tidak seberat yang diakibatkan oleh manusia.
Contohnya gunung meletus yang mengeluarkan karbon dalam jumlah
banyak, debu di mana-mana namun itu hanya beberapa saat. Tetapi
manusia, ada sekitar 7 milyar orang membuang gas ke mana-mana.
6.
Di
dalam
hukum
Islam,
apakah
perbuatan pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup termasuk tindak pidana? Mengapa?
Jawab: Kalau kita analogikan/qiyaskan sebenarnya pencemaran dan
perusakan
lingkungan
itu
yang
disebut
dengan
kerusakan.
Terjemahan
kita saat ini secara
fasadat
syariat
atau
kerusakan
lingkungan itu akibat dari maksiat dan lain-lain. Kesemuanya itu
memang ada hubungannya dengan kerusakan moral dan moral ini
mengakibatkan suatu kebijakan seperti kalau orang sudah korupsi dia
bisa menghalalkan segala cara. Seperti pertambangan yang tidak
lazim itu sebenarnya melanggar. Tetapi sekarang pelanggaran itu
sejauh mana? Kita harus punya tolak
ukur dan koridor untuk
mengetahui di mana pelanggaran yang terjadi. Sebenarnya kalau
yang
sudah
ditetapkan
oleh
pemerintah
itu
semua
termasuk
pelanggaran karena tidak berjalan pada relnya. Kalau di dalam Islam
pencemaran
tetap
sebuah
pelanggaran,
menurut
saya
juga
itu
termasuk kerusakan dan itulah yang dimaksud dengan fasadat fi albarri wa al-Bahri.
7.
Jika iya, sanksi apa yang diberikan kepada pelaku pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup tersebut?
Jawab:
Kalau sudah menyangkut dialegtika penerapan hukum saya rasa
harus ada hakim,
sanksi
yang
dan harus ada pertimbangan dari pengadilannya. Jadi
diberikan
terhadap
pelaku
pencemaran
dan
perusakan lingkungan hidup adalah berupa hukuman takzir dan
segala urusannya diserahkan kepada hakim.
8. Bagaimana tanggapan bapak mengenai pengguna kendaraan bermotor
seperti mobil/motor? Apakah mereka termasuk pelaku pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup? Dan bagaimana solusinya?
Jawab:
Jika berbicara mengenai solusi, maka
harus ada pilihan. Jika
seorang yang idealis sudah pasti dia tidak akan menggunakan
kendaraan bermotor. Jadi itulah pentingnya nilai, lingkungan ini
sangat terkait sekali dengan nilai karena ini ada sesuatu yang intensif
di dalamnya, kita bisa melakukan sesuatu atau tidak? Kalau kita
melakukan suatu kebijakan kita bisa terhindar dari dampak
lingkungan, kalau tidak akan banyak yang terkena dampaknya karena
kita tidak bijak. Mengenai solusi
banyak sekali opsi-opsinya, jika kita
tidak mau memakai sepeda motor kita bisa menggunakan kendaraan
umum. Kalau di Eropa untuk transportasi masal sudah menggunakan
kendaraan bawah tanah semua. Jadi solusi bisa menggunakan
regulasi bisa juga dengan alternatif, hanya saja
harus dijalankan
secara konsisten.
Jakarta, 12 Januari 2012
Dr (cand) Fachruddin Mangunjaya, MSi
Jakarta, 10 Januari 2012
Kepada yth.
Bapak Dr H. Ahmad Mukri Aji, MA
Pembantu Dekan Akademik, Fak Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Perihal: Keterangan telah melakukan wawancara
Assalamualaikum wr wb.
Pada hari Jum’at
tanggal 6 Januari 2012, telah datang kepada saya mahasiswa
bapak,
Nama: Ahmad Faqih Syarafaddin
No Pokok : 107043200127
Jurusan /Konsentrasi : PMH/PH semester IX
Telah benar melakukan wawancara kepada saya untuk topik penelitiannya yang
berjudul “Sanksi
Pidana
terhadap
Pelaku
Perusak
Lingkungan
menurut Hukum Islam dan UU 32 /2009”, guna melengkapi data yang
berkaitan dengan skripsi yang ditulisnya.
Demikian surat keterangan ini agar digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamualaikum wr wb,
Dr (cand) Fachruddin Mangunjaya, MSi
Religion and Conservation Initiative, Conservation International Indonesia
Hidup
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat
merupakan
hak
asasi
setiap
warga
negara
Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal
28H
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa
pembangunan
ekonomi
nasional
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
diselenggarakan
berdasarkan
prinsip
pembangunan
berkelanjutan
dan
berwawasan
lingkungan;
c. bahwa
semangat
otonomi
daerah
dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia telah membawa perubahan
hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan
pemerintah
daerah,
termasuk
di
bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d. bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin
menurun
telah
mengancam
kelangsungan
perikehidupan manusia dan makhluk hidup
lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguhsungguh dan konsisten oleh semua pemangku
kepentingan;
e. bahwa pemanasan global yang semakin meningkat
mengakibatkan
perubahan
iklim
sehingga
memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup
karena
itu
perlu
dilakukan
perlindungan
dan
pengelolaan lingkungan hidup;
f. bahwa . . .
-2f. bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum
dan memberikan perlindungan terhadap hak
setiap orang untuk mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari
perlindungan terhadap keseluruhan
ekosistem,
perlu dilakukan pembaruan terhadap UndangUndang
Nomor
23
Tahun
1997
tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk
Undang-Undang
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Mengingat
:
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), serta Pasal
33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,
termasuk
manusia
dan
perilakunya,
yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain.
2. perlindungan . . .
-32.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
adalah
upaya
sistematis
dan
terpadu
yang
dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup
dan
mencegah
terjadinya
pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi
perencanaan,
pemanfaatan,
pengendalian,
pemeliharaan,
pengawasan,
dan
penegakan hukum.
3.
Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar
dan terencana yang memadukan aspek lingkungan
hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan
untuk
menjamin
keutuhan
lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan,
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini
dan generasi masa depan.
4.
Rencana
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
yang
selanjutnya
disingkat
RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat
potensi, masalah lingkungan hidup,
serta upaya
perlindungan
dan
pengelolaannya
dalam
kurun
waktu tertentu.
5.
Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan
hidup
yang
merupakan
kesatuan
utuhmenyeluruh
dan
saling
mempengaruhi
dalam membentuk
keseimbangan,
stabilitas,
dan produktivitas lingkungan hidup.
6.
Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah
rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan
daya
dukung
dan
daya
tampung
lingkungan
hidup.
7.
Daya
dukung
lingkungan
hidup
adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan
keseimbangan antarkeduanya.
8.
Daya
tampung
lingkungan
hidup
adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap
zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk
atau dimasukkan ke dalamnya.
9.
Sumber daya alam adalah unsur lingkungan
hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan
nonhayati
yang
secara
keseluruhan
membentuk
kesatuan ekosistem.
10. Kajian . . .
-410. Kajian
lingkungan
hidup
strategis,
yang
selanjutnya
disingkat
KLHS,
adalah
rangkaian
sistematis,
menyeluruh,
dan
analisis yang
partisipatif
untuk
memastikan
bahwa
prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar
dan
terintegrasi
dalam
pembangunan
suatu
wilayah
dan/atau
kebijakan,
rencana,
dan/atau
program.
11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang
adalah
kajian
selanjutnya
disebut
Amdal,
mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau
kegiatan
yang
direncanakan
pada
lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan
tentang
penyelenggaraan
usaha
dan/atau kegiatan.
12. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya
disebut
UKL-UPL,
adalah
pengelolaan
dan
pemantauan
terhadap
usaha
dan/atau
kegiatan
yang
tidak
berdampak
penting
terhadap
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan
keputusan
tentang
penyelenggaraan
usaha dan/atau kegiatan.
13. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran
batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen yang ada atau harus ada dan/atau
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya
dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur
lingkungan hidup.
14. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau
dimasukkannya
makhluk
hidup,
zat,
energi,
dan/atau komponen lain ke
dalam
lingkungan
hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui
baku
mutu
lingkungan
hidup
yang
telah
ditetapkan.
15. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah
ukuran
batas
perubahan
sifat
fisik,
kimia,
dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat
ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat
tetap melestarikan fungsinya.
16. Perusakan . . .
-516. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan
orang
yang
menimbulkan
perubahan
langsung
atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,
dan/atau
hayati
lingkungan
hidup
sehingga
melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup.
17. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan
langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat
fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup
yang
melampaui
kriteria
baku
kerusakan
lingkungan hidup.
18. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan
sumber
daya
alam
untuk
menjamin
pemanfaatannya
secara
bijaksana
serta
kesinambungan
ketersediaannya
dengan
tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta
keanekaragamannya.
19. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang
diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh
aktivitas manusia
sehingga
menyebabkan
perubahan komposisi atmosfir secara global dan
selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim
alamiah yang teramati pada kurun waktu yang
dapat dibandingkan.
20. Limbah adalah
kegiatan.
sisa
suatu
usaha
dan/atau
21. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya
disingkat
B3
adalah
zat,
energi,
dan/atau
komponen lain yang karena sifat, konsentrasi,
dan/atau
jumlahnya,
baik
secara
langsung
maupun
tidak
langsung,
dapat
mencemarkan
dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau
membahayakan
lingkungan
hidup,
kesehatan,
serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk
hidup lain.
22. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang
selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu
usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
23. Pengelolaan . . .
-623. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang
meliputi
pengurangan,
penyimpanan,
pengumpulan,
pengangkutan,
pemanfaatan,
pengolahan, dan/atau penimbunan.
24. Dumping
(pembuangan)
adalah
kegiatan
membuang,
menempatkan,
dan/atau
memasukkan
limbah
dan/atau
bahan
dalam
jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu
dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan
hidup tertentu.
25. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan
antara dua pihak atau lebih yang timbul dari
kegiatan
yang
berpotensi
dan/atau
telah
berdampak pada lingkungan hidup.
26. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh
perubahan
pada
lingkungan
hidup
diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
yang
27. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok
orang
yang
terorganisasi
dan
terbentuk
atas
kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya
berkaitan dengan lingkungan hidup.
28. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang
dilakukan
untuk
menilai
ketaatan
penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan
terhadap
persyaratan
hukum
dan
kebijakan
yang
ditetapkan oleh pemerintah.
29. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki
kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna
asli, serta pola interaksi manusia dengan alam
yang menggambarkan integritas sistem alam dan
lingkungan hidup.
30. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk
antara lain melindungi dan mengelola lingkungan
hidup secara lestari.
31. Masyarakat hukum adat adalah kelompok
masyarakat yang secara turun temurun bermukim di
wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada
asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat
dengan
lingkungan
hidup,
serta
adanya sistem
nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik,
sosial, dan hukum.
32. Setiap . . .
-7-
32. Setiap orang adalah orang perseorangan atau
badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum.
33. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah
seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong
Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke
arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.
34. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak
luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan
keresahan masyarakat.
35. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada
setiap orang yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam
rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin
usaha dan/atau kegiatan.
36. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang
diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan
usaha dan/atau kegiatan.
37. Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut
Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
38. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintah daerah.
39. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
BAB II . . .
-8BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
Perlindungan dan pengelolaan
dilaksanakan berdasarkan asas:
lingkungan
hidup
a. tanggung jawab negara;
b. kelestarian dan keberlanjutan;
c.
keserasian dan keseimbangan;
d. keterpaduan;
e.
manfaat;
f.
kehati-hatian;
g.
keadilan;
h. ekoregion;
i.
keanekaragaman hayati;
j.
pencemar membayar;
k. partisipatif;
l.
kearifan lokal;
m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan
n. otonomi daerah.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
bertujuan:
a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup;
b. menjamin . . .
-9b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan
manusia;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup
dan kelestarian ekosistem;
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
keselarasan,
e. mencapai
keserasian,
keseimbangan lingkungan hidup;
f.
dan
menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa
kini dan generasi masa depan;
g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas
lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi
manusia;
h. mengendalikan pemanfaatan sumber
secara bijaksana;
daya alam
i.
mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j.
mengantisipasi isu lingkungan global.
Bagian
Ketiga
Ruang Lingkup
Pasal 4
Perlindungan
dan
meliputi:
a. perencanaan;
pengelolaan
lingkungan
hidup
b. pemanfaatan;
c. pengendalian;
d. pemeliharaan;
e. pengawasan; dan
f.
penegakan hukum.
BAB III
PERENCANAAN
Pasal 5
Perencanaan
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan:
a.inventarisasi . . .
- 10 a. inventarisasi lingkungan hidup;
b. penetapan wilayah ekoregion; dan
c. penyusunan RPPLH.
Bagian Kesatu
Inventarisasi Lingkungan Hidup
Pasal 6
(1) Inventarisasi
lingkungan
hidup
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terdiri atas
inventarisasi lingkungan hidup:
a. tingkat nasional;
b. tingkat pulau/kepulauan; dan
c. tingkat wilayah ekoregion.
(2) Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk
memperoleh data dan informasi mengenai sumber
daya alam yang meliputi:
a. potensi dan ketersediaan;
b. jenis yang dimanfaatkan;
c. bentuk penguasaan;
d. pengetahuan pengelolaan;
e. bentuk kerusakan; dan
f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat
pengelolaan.
Bagian Kedua
Penetapan Wilayah Ekoregion
Pasal 7
(1) Inventarisasi
lingkungan
hidup
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf
b menjadi dasar dalam penetapan wilayah
ekoregion dan dilaksanakan oleh Menteri setelah
berkoordinasi dengan instansi terkait.
(2) Penetapan . . .
- 11 (2) Penetapan
wilayah
ekoregion
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
mempertimbangkan kesamaan:
a. karakteristik bentang alam;
b. daerah aliran sungai;
c. iklim;
d. flora dan fauna;
e. sosial budaya;
f. ekonomi;
g. kelembagaan masyarakat; dan
h. hasil inventarisasi lingkungan hidup.
Pasal 8
Inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah
ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf c dilakukan untuk menentukan daya dukung
dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam.
Bagian Ketiga
Penyusunan Rencana Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 9
(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf c terdiri atas:
a. RPPLH nasional;
b. RPPLH provinsi; dan
c. RPPLH kabupaten/kota.
(2) RPPLH nasional sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) huruf
a disusun berdasarkan
inventarisasi nasional.
(3) RPPLH provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b disusun berdasarkan:
a. RPPLH nasional;
b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan
c. inventarisasi tingkat ekoregion.
(4) RPPLH . . .
- 12 (4) RPPLH
kabupaten/kota
sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) huruf c disusun
berdasarkan:
a. RPPLH provinsi;
b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan
c. inventarisasi tingkat ekoregion.
Pasal 10
(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
disusun oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya.
(2) Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memperhatikan:
a. keragaman karakter dan fungsi ekologis;
b. sebaran penduduk;
c. sebaran potensi sumber daya alam;
d. kearifan lokal;
e. aspirasi masyarakat; dan
f. perubahan iklim.
(3) RPPLH diatur dengan:
a. peraturan
pemerintah
untuk
RPPLH
nasional;
b. peraturan daerah provinsi untuk RPPLH
provinsi; dan
c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk
RPPLH kabupaten/kota.
(4) RPPLH memuat rencana tentang:
a. pemanfaatan
dan/atau
pencadangan
sumber daya alam;
b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas
dan/atau fungsi lingkungan hidup;
c. pengendalian,
pemantauan,
serta
pendayagunaan dan pelestarian sumber daya
alam; dan
d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan
iklim.
(5) RPPLH . . .
- 13 (5) RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat
dalam rencana pembangunan jangka panjang
dan rencana pembangunan jangka menengah.
Pasal 11
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
inventarisasi
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
6, penetapan
ekoregion
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, serta RPPLH
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PEMANFAATAN
Pasal 12
(1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan
berdasarkan RPPLH.
(2) Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber
daya alam dilaksanakan berdasarkan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup
dengan memperhatikan:
a. keberlanjutan
proses
dan
fungsi
lingkungan hidup;
b. keberlanjutan produktivitas lingkungan
hidup; dan
c.
keselamatan,
mutu
kesejahteraan masyarakat.
hidup,
dan
(3) Daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh:
a. Menteri untuk daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup nasional dan
pulau/kepulauan;
b. gubernur . . .
- 14 b. gubernur untuk daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup provinsi dan
ekoregion lintas kabupaten/kota; atau
c.
bupati/walikota untuk daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup kabupaten/kota
dan ekoregion di wilayah kabupaten/kota.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penetapan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dalam peraturan
pemerintah.
BAB V
PENGENDALIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
(1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a.
b.
c.
pencegahan;
penanggulangan; dan
pemulihan.
(3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)
dilaksanakan
oleh
Pemerintah,
pemerintah daerah,
dan penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan
sesuai
dengan
kewenangan,
peran,
dan
tanggung
jawab
masing-masing.
Bagian Kedua . . .
- 15 Bagian
Kedua
Pencegahan
Pasal 14
Instrumen
pencegahan
pencemaran
kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:
a. KLHS;
b. tata ruang;
c. baku mutu lingkungan hidup;
d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e. amdal;
f. UKL-UPL;
g. perizinan;
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
dan/atau
i. peraturan
perundang-undangan
berbasis
lingkungan hidup;
j. anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. analisis risiko lingkungan hidup;
l. audit lingkungan hidup; dan
m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan
dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
Paragraf 1
Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Pasal 15
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
membuat KLHS untuk memastikan bahwa
prinsip pembangunan berkelanjutan telah
menjadi
dasar
dan
terintegrasi
dalam
pembangunan
suatu
wilayah
dan/atau
kebijakan, rencana, dan/atau program.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
melaksanakan KLHS
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau
evaluasi:
a. rencana . . .
- 16 a. rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta
rencana rincinya, rencana pembangunan
jangka
panjang
(RPJP),
dan
rencana
(RPJM)
pembangunan jangka menengah
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan
b. kebijakan, rencana, dan/atau program yang
berpotensi menimbulkan dampak dan/atau
risiko lingkungan hidup.
(3) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme:
a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana,
dan/atau
program
terhadap
kondisi
lingkungan hidup di suatu wilayah;
b. perumusan
alternatif
penyempurnaan
kebijakan, rencana, dan/atau program; dan
c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan
keputusan kebijakan, rencana, dan/atau
program yang mengintegrasikan prinsip
pembangunan berkelanjutan.
Pasal 16
KLHS memuat kajian antara lain:
a. kapasitas daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup untuk pembangunan;
b. perkiraan mengenai
lingkungan hidup;
c.
dampak
dan
risiko
kinerja layanan/jasa ekosistem;
d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e. tingkat kerentanan dan kapasitas
terhadap perubahan iklim; dan
f.
adaptasi
tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman
hayati.
Pasal 17
(1) Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (3) menjadi dasar bagi kebijakan,
rencana, dan/atau program pembangunan
dalam suatu wilayah.
(2) Apabila . . .
- 17 (2) Apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menyatakan bahwa daya dukung
dan daya tampung sudah terlampaui,
a. kebijakan,
rencana,
dan/atau
program
pembangunan tersebut wajib diperbaiki
sesuai dengan rekomendasi KLHS; dan
b. segala usaha dan/atau kegiatan yang telah
melampaui daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.
Pasal 18
(1) KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (1) dilaksanakan dengan melibatkan
masyarakat dan pemangku kepentingan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelenggaraan KLHS diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Paragraf
2
Tata Ruang
Pasal 19
(1) Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan
hidup dan keselamatan masyarakat, setiap
perencanaan
tata
ruang
wilayah
wajib
didasarkan pada KLHS.
(2) Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
memperhatikan
daya
dukung
dan
tampung lingkungan hidup.
Paragraf 3
Baku Mutu Lingkungan Hidup
Pasal 20
(1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan
hidup diukur melalui baku mutu lingkungan
hidup.
(2) Baku mutu . . .
daya
- 18 (2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi:
a. baku mutu air;
b. baku mutu air limbah;
c.
baku mutu air laut;
d. baku mutu udara ambien;
e.
baku mutu emisi;
f.
baku mutu gangguan; dan
g.
baku mutu
perkembangan
teknologi.
lain
ilmu
sesuai
dengan
pengetahuan
dan
(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang
limbah ke media lingkungan hidup dengan
persyaratan:
a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup;
dan
b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, dan
huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf f
diatur dalam peraturan menteri.
Paragraf 4
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup
Pasal 21
(1) Untuk
menentukan terjadinya
kerusakan
lingkungan hidup, ditetapkan kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
(2) Kriteria . . .
- 19 (2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan
kriteria baku kerusakan akibat perubahan
iklim.
(3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi:
a. kriteria baku kerusakan tanah untuk
produksi biomassa;
b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;
c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan/atau lahan;
d. kriteria baku kerusakan mangrove;
e.
kriteria baku kerusakan padang lamun;
f.
kriteria baku kerusakan gambut;
g.
kriteria baku kerusakan karst; dan/atau
h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya
sesuai dengan
perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan
iklim didasarkan pada paramater antara lain:
a. kenaikan temperatur;
b. kenaikan muka air laut;
c.
badai; dan/atau
d. kekeringan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria
baku
kerusakan
lingkungan
hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan
ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
Paragraf 5 . . .
- 20 Paragraf
5
Amdal
Pasal 22
(1) Setiap usaha
dan/atau
kegiatan
yang
berdampak penting terhadap lingkungan
hidup wajib memiliki amdal.
(2) Dampak
kriteria:
penting
ditentukan
berdasarkan
a. besarnya jumlah penduduk yang akan
terkena dampak rencana usaha dan/atau
kegiatan;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c.
intensitas
dan
berlangsung;
lamanya
dampak
d. banyaknya komponen lingkungan hidup
lain yang akan terkena dampak;
e.
f.
sifat kumulatif dampak;
berbalik atau tidak berbaliknya dampak;
dan/atau
g. kriteria
lain
sesuai
dengan
perkembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi.
Pasal 23
(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang
berdampak penting yang wajib dilengkapi
dengan amdal terdiri atas:
a. pengubahan
bentang alam;
bentuk
lahan
dan
b. eksploitasi sumber daya alam, baik
yang terbarukan maupun yang tidak
terbarukan;
c. proses . . .
- 21 c. proses dan kegiatan yang secara
potensial
dapat
menimbulkan
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan
hidup
serta
pemborosan
kemerosotan
sumber
daya
alam
dan
dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya
dapat mempengaruhi lingkungan alam,
lingkungan buatan, serta lingkungan
sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya
akan
mempengaruhi
pelestarian
kawasan konservasi sumber daya alam
dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan,
hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan
hayati dan nonhayati;
bahan
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi
dan/atau mempengaruhi pertahanan
negara; dan/atau
i.
penerapan teknologi yang diperkirakan
mempunyai
potensi
besar
untuk
mempengaruhi lingkungan hidup.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis
usaha dan/atau kegiatan yang wajib
dilengkapi dengan amdal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan Menteri.
Pasal 24
Dokumen
amdal
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 22 merupakan dasar penetapan
keputusan kelayakan lingkungan hidup.
Pasal 25 . . .
- 22 Pasal 25
Dokumen amdal memuat:
a. pengkajian mengenai dampak
usaha dan/atau kegiatan;
rencana
b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan;
masukan
serta
tanggapan
c. saran
masyarakat
terhadap
rencana
usaha
dan/atau kegiatan;
d. prakiraan terhadap besaran dampak serta
sifat penting dampak yang terjadi jika
rencana
usaha
dan/atau
kegiatan
tersebut dilaksanakan;
e. evaluasi secara holistik terhadap dampak
yang terjadi untuk menentukan kelayakan
atau ketidaklayakan lingkungan hidup;
dan
f. rencana pengelolaan
lingkungan hidup.
dan
pemantauan
Pasal 26
(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa
dengan melibatkan masyarakat.
(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan
berdasarkan prinsip pemberian informasi
yang transparan dan lengkap serta
diberitahukan
sebelum
kegiatan
dilaksanakan.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. yang terkena dampak;
b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau
c. yang terpengaruh atas segala bentuk
keputusan dalam proses amdal.
(4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat mengajukan keberatan
terhadap dokumen amdal.
Pasal 27 . . .
- 23 Pasal 27
Dalam
menyusun
dokumen
amdal,
pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1) dapat meminta bantuan
kepada pihak lain.
Pasal 28
(1) Penyusun amdal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27
wajib
memiliki
sertifikat
kompetensi
penyusun amdal.
(2) Kriteria untuk memperoleh sertifikat
kompetensi
penyusun
amdal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
metodologi
penyusunan
a.
penguasaan
amdal;
b.
kemampuan melakukan pelingkupan,
prakiraan, dan evaluasi dampak serta
pengambilan keputusan; dan
c.
kemampuan menyusun
rencana
pengelolaan
dan
pemantauan
lingkungan hidup.
(3) Sertifikat
kompetensi penyusun
amdal
sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1)
diterbitkan
oleh
lembaga
sertifikasi
kompetensi
penyusun
amdal
yang
ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan
ketentuan
peraturan
perundangundangan.
(4) Ketentuan
sertifikasi
penyusun
Menteri.
lebih
lanjut
mengenai
dan
kriteria
kompetensi
amdal diatur dengan peraturan
Pasal 29
(1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi
Penilai
Amdal
yang
dibentuk
oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Komisi . . .
- 24 (2) Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi
dari
Menteri,
gubernur,
atau
bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya.
(3) Persyaratan
dan
tatacara
sebagaimana dimaksud pada
diatur dengan Peraturan Menteri.
lisensi
ayat (2)
Pasal 30
(1) Keanggotaan
Komisi
Penilai
Amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
terdiri atas wakil dari unsur:
a. instansi lingkungan hidup;
b. instansi teknis terkait;
c. pakar di bidang pengetahuan yang
terkait dengan jenis usaha dan/atau
kegiatan yang sedang dikaji;
d. pakar di bidang pengetahuan yang
terkait dengan dampak yang timbul
dari suatu usaha dan/atau kegiatan
yang sedang dikaji;
e. wakil dari masyarakat yang berpotensi
terkena dampak; dan
f.
organisasi lingkungan hidup.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi
Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis
yang terdiri atas pakar independen yang
melakukan kajian teknis dan sekretariat
yang dibentuk untuk itu.
(3) Pakar
independen
dan
sekretariat
sebagaimana dimaksud pada ayat
(3)
ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya.
Pasal 31
Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai
Amdal,
Menteri,
gubernur,
atau
keputusan
bupati/walikota
menetapkan
kelayakan
atau
ketidaklayakan
lingkungan
hidup sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 32 . . .
- 25 Pasal 32
(1) Pemerintah
dan
pemerintah
daerah
membantu penyusunan amdal bagi usaha
dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah
yang
berdampak
penting
terhadap
lingkungan hidup.
(2) Bantuan penyusunan amdal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi,
biaya, dan/atau penyusunan amdal.
(3) Kriteria mengenai usaha dan/atau kegiatan
golongan ekonomi lemah diatur dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 33
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai
dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Paragraf
6
UKL-UPL
Pasal 34
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang
tidak termasuk dalam kriteria wajib
amdal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1)
wajib memiliki UKLUPL.
(2) Gubernur
atau
menetapkan
jenis
kegiatan
yang
wajib
UKL-UPL.
bupati/walikota
usaha
dan/atau
dilengkapi
dengan
Pasal 35
(1) Usaha dan/atau kegiatan yang tidak
wajib dilengkapi UKL-UPL sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib
membuat surat pernyataan kesanggupan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup.
(2) Penetapan . . .
- 26 (2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan kriteria:
a.
b.
tidak
termasuk
dalam
kategori
berdampak
penting
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
23 ayat (1);
dan
kegiatan usaha mikro dan kecil.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL
dan
surat
pernyataan
kesanggupan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup diatur dengan peraturan Menteri.
Paragraf 7
Perizinan
Pasal 36
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang
wajib memiliki amdal atau UKL-UPL
wajib memiliki izin lingkungan.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan
keputusan kelayakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
atau rekomendasi UKL-UPL.
(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) wajib mencantumkan
persyaratan
yang
dimuat
dalam
keputusan
kelayakan
lingkungan
hidup
atau rekomendasi UKL-UPL.
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
Pasal 37
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya
wajib
menolak
permohonan
izin
lingkungan
apabila permohonan izin tidak dilengkapi
dengan amdal atau UKL-UPL.
(2) Izin . . .
- 27 (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat (4) dapat dibatalkan
apabila:
a. persyaratan
yang
diajukan
dalam
permohonan izin mengandung cacat
hukum, kekeliruan, penyalahgunaan,
serta
ketidakbenaran
dan/atau
pemalsuan
data,
dokumen,
dan/atau
informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat
sebagaimana
tercantum
dalam
keputusan
komisi
tentang
kelayakan
lingkungan
hidup
atau
rekomendasi
UKL-UPL; atau
c. kewajiban
yang
ditetapkan
dalam
dokumen amdal atau UKL-UPL tidak
dilaksanakan oleh penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 38
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan
dapat
dibatalkan
melalui
keputusan
pengadilan tata usaha negara.
Pasal 39
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya wajib
mengumumkan setiap permohonan dan
keputusan izin lingkungan.
(2) Pengumuman
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang
mudah diketahui oleh masyarakat.
Pasal 40
(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan
untuk memperoleh izin usaha dan/atau
kegiatan.
(2) Dalam . . .
- 28 (2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin
usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.
(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan
mengalami
perubahan,
penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan wajib
memperbarui izin lingkungan.
Pasal 41
Ketentuan
lebih
lanjut
sebagaimana dimaksud
sampai dengan Pasal
Peraturan Pemerintah.
mengenai
izin
dalam Pasal
36
40 diatur dalam
Paragraf 8
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup
Pasal 42
(1)
Dalam
rangka
melestarikan
fungsi
lingkungan
hidup,
Pemerintah
dan
pemerintah
daerah
wajib
mengembangkan
dan
menerapkan
instrumen
ekonomi
lingkungan hidup.
(2)
Instrumen ekonomi lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. perencanaan pembangunan dan kegiatan
ekonomi;
b. pendanaan lingkungan hidup; dan
c. insentif dan/atau disinsentif.
Pasal 43
(1)
Instrumen perencanaan pembangunan dan
kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a meliputi:
a. neraca sumber daya alam dan lingkungan
hidup;
b. penyusunan . . .
- 29 b. penyusunan produk domestik bruto dan
produk domestik regional bruto
yang
mencakup penyusutan sumber daya
alam dan kerusakan lingkungan hidup;
c. mekanisme
kompensasi/imbal
lingkungan hidup antardaerah; dan
jasa
d. internalisasi biaya lingkungan hidup.
(2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat
(2) huruf b meliputi:
a.
dana jaminan
hidup;
pemulihan
lingkungan
b.
dana
penanggulangan
pencemaran
dan/atau kerusakan dan pemulihan
lingkungan hidup; dan
c.
dana amanah/bantuan untuk
konservasi.
(3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c
antara lain diterapkan dalam bentuk:
a. pengadaan barang dan jasa yang ramah
lingkungan hidup;
b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi
lingkungan hidup;
c. pengembangan sistem lembaga keuangan
dan pasar modal yang ramah lingkungan
hidup;
d. pengembangan sistem perdagangan izin
pembuangan limbah dan/atau emisi;
e. pengembangan sistem pembayaran jasa
lingkungan hidup;
f. pengembangan
hidup;
asuransi
g. pengembangan
sistem
lingkungan hidup; dan
label
lingkungan
ramah
h. sistem penghargaan kinerja di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
(4) Ketentuan . . .
- 30 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen
ekonomi lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat
(1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Paragraf 9
Peraturan Perundang-undangan Berbasis Lingkungan Hidup
Pasal 44
Setiap
penyusunan
peraturan
perundangundangan pada tingkat nasional dan daerah
wajib
memperhatikan
perlindungan
fungsi
lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
sesuai
dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
ini.
Paragraf 10
Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup
Pasal 45
(1) Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia serta pemerintah daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib
mengalokasikan anggaran yang memadai
untuk membiayai:
a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup; dan
b. program pembangunan yang berwawasan
lingkungan hidup.
(2) Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran
dana alokasi khusus lingkungan hidup yang
memadai untuk diberikan kepada daerah
yang memiliki kinerja perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang baik.
Pasal 46 . . .
- 31 Pasal 46
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45,
dalam
rangka
pemulihan
kondisi
lingkungan
hidup
yang
kualitasnya
telah
mengalami
pencemaran
dan/atau
kerusakan
pada
saat
undang-undang
ini
ditetapkan,
Pemerintah
dan
pemerintah
daerah
wajib
mengalokasikan
anggaran
untuk
pemulihan
lingkungan hidup.
Paragraf 11
Analisis Risiko Lingkungan Hidup
Pasal 47
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang
berpotensi menimbulkan dampak penting
terhadap
lingkungan
hidup,
ancaman
terhadap
ekosistem
dan
kehidupan,
dan/atau
kesehatan
dan
keselamatan
manusia wajib melakukan analisis risiko
lingkungan hidup.
(2) Analisis
risiko
lingkungan
sebagaimana
dimaksud
pada
meliputi:
hidup
ayat
(1)
a. pengkajian risiko;
b. pengelolaan risiko; dan/atau
c. komunikasi risiko.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis
risiko lingkungan hidup diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Paragraf 12
Audit Lingkungan Hidup
Pasal 48
Pemerintah
mendorong
penanggung
jawab
usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan
audit
lingkungan
hidup
dalam
rangka
meningkatkan kinerja lingkungan hidup.
Pasal 49
- 32 Pasal 49
(1) Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup
kepada:
a. usaha dan/atau kegiatan tertentu yang
berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup;
dan/atau
b. penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan
yang
menunjukkan
ketidaktaatan
terhadap
peraturan
perundang-undangan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
wajib melaksanakan audit lingkungan hidup.
(3) Pelaksanaan
audit
lingkungan
hidup
terhadap kegiatan tertentu yang berisiko
tinggi dilakukan secara berkala.
Pasal 50
(1) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat
(1), Menteri
dapat
melaksanakan
atau
menugasi
pihak
ketiga
yang
independen
untuk melaksanakan audit lingkungan hidup
atas beban biaya penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
(2) Menteri
mengumumkan
lingkungan hidup.
hasil
audit
Pasal 51
(1) Audit
lingkungan
hidup
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49
dilaksanakan
oleh
auditor
lingkungan
hidup.
(2) Auditor lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki
sertifikat
kompetensi
auditor
lingkungan
hidup.
(3) Kriteria . . .
- 33 (3) Kriteria
untuk
memperoleh
sertifikat
kompetensi auditor lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi kemampuan:
a. memahami prinsip, metodologi, dan
tata laksana audit lingkungan hidup;
b. melakukan audit lingkungan hidup
yang meliputi tahapan perencanaan,
pelaksanaan,
pengambilan
kesimpulan, dan pelaporan; dan
c. merumuskan
rekomendasi
langkah
perbaikan sebagai tindak lanjut audit
lingkungan hidup.
(4) Sertifikat kompetensi auditor lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diterbitkan
oleh
lembaga
sertifikasi
kompetensi
auditor
lingkungan
hidup
sesuai dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Pasal 52
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
audit
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian
Ketiga
Penanggulangan
Pasal 53
(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib
melakukan
penanggulangan
pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
(2) Penanggulangan
pencemaran
dan/atau
kerusakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. pemberian
informasi
peringatan
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan hidup kepada masyarakat;
b. pengisolasian . . .
- 34 b. pengisolasian
pencemaran
kerusakan lingkungan hidup;
dan/atau
c. penghentian
sumber
pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
dan/atau
d. cara
lain
yang
perkembangan
ilmu
teknologi.
(3)
sesuai
dengan
pengetahuan
dan
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penanggulangan
pencemaran
dan/atau
kerusakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pemulihan
Pasal 54
(1)
Setiap orang yang melakukan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup
wajib
melakukan
pemulihan
fungsi
lingkungan hidup.
(2)
Pemulihan
fungsi
lingkungan
hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dilakukan dengan tahapan:
a. penghentian sumber pencemaran
pembersihan unsur pencemar;
dan
b. remediasi;
c.
rehabilitasi;
d. restorasi; dan/atau
e. cara
lain
yang
sesuai
dengan
perkembangan
ilmu
pengetahuan
teknologi.
(3)
dan
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemulihan
fungsi
lingkungan
hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 55 . . .
- 35 Pasal 55
(1)
Pemegang izin lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) wajib
menyediakan
dana
penjaminan
pemulihan fungsi lingkungan hidup.
(2)
Dana penjaminan disimpan di bank
pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri,
gubernur,
atau
bupati/walikota
sesuai
dengan kewenangannya.
(3)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya
dapat
menetapkan pihak ketiga untuk melakukan
pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan
menggunakan dana penjaminan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai dana
penjaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
untuk
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
sampai dengan Pasal 55 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB VI
PEMELIHARAAN
Pasal 57
(1)
Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan
melalui upaya:
a.
konservasi sumber daya alam;
b.
pencadangan
dan/atau
c.
pelestarian fungsi atmosfer.
sumber
daya
alam;
(2) Konservasi . . .
- 36 (2)
Konservasi sumber daya alam sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) huruf a meliputi
kegiatan:
a.
b.
c.
perlindungan sumber daya alam;
pengawetan sumber daya alam; dan
pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam.
(3)
Pencadangan
sumber
daya
alam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
merupakan sumber daya alam yang tidak
dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu.
(4)
Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
(5)
a.
upaya mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim;
b.
upaya perlindungan lapisan ozon; dan
c.
upaya
asam.
perlindungan
terhadap
hujan
Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi
dan pencadangan sumber daya alam serta
pelestarian
fungsi
atmosfer
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
SERTA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
Bagian Kesatu
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
Pasal 58
(1) Setiap orang yang memasukkan ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
menghasilkan, mengangkut, mengedarkan,
menyimpan,
memanfaatkan,
membuang,
mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib
melakukan pengelolaan B3.
(2) Ketentuan . . .
- 37 (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan
B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Pasal 59
(1)
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3
wajib melakukan pengelolaan limbah B3
yang dihasilkannya.
(2)
Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa,
pengelolaannya
mengikuti
ketentuan
pengelolaan limbah B3.
(3)
Dalam hal setiap orang tidak mampu
melakukan sendiri pengelolaan limbah B3,
pengelolaannya diserahkan
kepada pihak
lain.
(4)
Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin
dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
(5)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
wajib
mencantumkan
persyaratan
lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan
kewajiban
yang
harus
dipatuhi
pengelola
limbah B3 dalam izin.
(6)
Keputusan
diumumkan.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan
Peraturan
limbah
B3
diatur
dalam
Pemerintah.
pemberian
izin
wajib
Bagian Ketiga . . .
- 38 Bagian Ketiga
Dumping
Pasal 60
Setiap
orang
dilarang
limbah dan/atau
bahan
hidup tanpa izin.
melakukan
dumping
ke media
lingkungan
Pasal 61
(1)
Dumping sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan
izin
dari
Menteri,
gubernur,
atau
bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya.
(2)
Dumping sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi
yang telah ditentukan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
dan persyaratan dumping limbah atau
bahan
diatur
dalam
Peraturan
Pemerintah.
BAB VIII
SISTEM INFORMASI
Pasal 62
(1)
dan
pemerintah
daerah
Pemerintah
mengembangkan
sistem
informasi
lingkungan
hidup
untuk
mendukung
pelaksanaan
dan
pengembangan
kebijakan
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup.
(2)
Sistem
informasi
lingkungan
hidup
dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi
dan
wajib
dipublikasikan
kepada
masyarakat.
(3) Sistem . . .
- 39 (3)
Sistem informasi lingkungan hidup paling
sedikit memuat informasi mengenai status
lingkungan hidup, peta rawan lingkungan
hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem
informasi lingkungan hidup diatur dengan
Peraturan Menteri.
BAB IX
TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 63
(1)
Dalam
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan
berwenang:
a. menetapkan kebijakan nasional;
b. menetapkan norma, standar, prosedur,
dan kriteria;
c. menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan mengenai RPPLH nasional;
d. menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan mengenai KLHS;
e. menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
f.
menyelenggarakan inventarisasi sumber
daya alam nasional dan emisi gas rumah
kaca;
g. mengembangkan standar kerja sama;
h. mengoordinasikan dan melaksanakan
pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup;
i.
menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan mengenai sumber daya alam
hayati
dan
nonhayati,
keanekaragaman
hayati,
sumber
daya
genetik,
dan
keamanan
hayati
produk
rekayasa
genetik;
j. menetapkan . . .
- 40 j.
menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan
mengenai
pengendalian
dampak
perubahan
iklim
dan
perlindungan lapisan ozon;
dan
melaksanakan
k. menetapkan
kebijakan mengenai B3, limbah, serta
limbah B3;
l.
menetapkan
dan
kebijakan
mengenai
lingkungan laut;
melaksanakan
perlindungan
m. menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan
mengenai
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan
hidup
lintas batas negara;
n. melakukan
pembinaan
dan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
nasional,
peraturan
daerah,
kebijakan
dan peraturan kepala daerah;
o. melakukan
pembinaan
dan
pengawasan
ketaatan
penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan
terhadap
ketentuan
perizinan
lingkungan dan peraturan perundangundangan;
p. mengembangkan
dan
menerapkan
instrumen lingkungan hidup;
q. mengoordinasikan dan memfasilitasi
kerja
sama
dan
penyelesaian
perselisihan
antardaerah
serta
penyelesaian sengketa;
r. mengembangkan dan melaksanakan
kebijakan
pengelolaan
pengaduan
masyarakat;
s. menetapkan standar pelayanan minimal;
t.
menetapkan kebijakan mengenai tata
cara
pengakuan
keberadaan
masyarakat
hukum
adat,
kearifan
lokal,
dan
hak
masyarakat
hukum
adat yang terkait dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup;
u. mengelola . . .
- 41 u. mengelola informasi lingkungan hidup
nasional;
v.
mengoordinasikan,
mengembangkan,
dan menyosialisasikan pemanfaatan
teknologi ramah lingkungan hidup;
w. memberikan
pendidikan,
pelatihan,
pembinaan, dan penghargaan;
x. mengembangkan sarana dan
laboratorium lingkungan hidup;
standar
y. menerbitkan izin lingkungan;
z.
menetapkan wilayah ekoregion; dan
aa.melakukan
penegakan
lingkungan hidup.
(2)
hukum
Dalam
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup,
pemerintah
provinsi
bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS
tingkat provinsi;
c.
menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan mengenai RPPLH provinsi;
d. menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
e.
menyelenggarakan inventarisasi sumber
daya alam dan emisi gas rumah kaca
pada tingkat provinsi;
f.
mengembangkan dan melaksanakan
kerja sama dan kemitraan;
g.
mengoordinasikan dan melaksanakan
pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup lintas
kabupaten/kota;
pembinaan
dan
h. melakukan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
kebijakan, peraturan daerah, dan
peraturan
kepala
daerah
kabupaten/kota;
i. melakukan . . .
- 42 i.
melakukan pembinaan dan pengawasan
ketaatan penanggung
jawab
usaha
dan/atau kegiatan terhadap ketentuan
perizinan
lingkungan dan peraturan
perundang-undangan
di
bidang
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup;
j.
mengembangkan
dan
menerapkan
instrumen lingkungan hidup;
k.
mengoordinasikan dan memfasilitasi
kerja
sama
dan
penyelesaian
perselisihan
antarkabupaten/antarkota
serta
penyelesaian sengketa;
l.
melakukan pembinaan, bantuan teknis,
dan
pengawasan
kepada
kabupaten/kota di bidang program dan
kegiatan;
m.
melaksanakan
minimal;
n.
menetapkan kebijakan mengenai tata
cara
pengakuan
keberadaan
masyarakat
hukum
adat,
kearifan
lokal, dan hak masyarakat hukum
adat
yang
terkait
dengan
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
pada
tingkat
provinsi;
o.
mengelola informasi lingkungan hidup
tingkat provinsi;
p.
mengembangkan
dan
menyosialisasikan
pemanfaatan
teknologi ramah lingkungan hidup;
q.
pelatihan,
memberikan
pendidikan,
pembinaan, dan penghargaan;
r.
menerbitkan izin
lingkungan
tingkat provinsi; dan
s.
melakukan
lingkungan
provinsi.
standar
pelayanan
pada
penegakan
hukum
hidup
pada
tingkat
(3) Dalam . . .
- 43 (3)
Dalam
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup,
pemerintah
kabupaten/kota bertugas dan berwenang:
a. menetapkan
kabupaten/kota;
kebijakan
tingkat
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS
tingkat kabupaten/kota;
c.
menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan
mengenai
RPPLH
kabupaten/kota;
d. menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
e.
menyelenggarakan inventarisasi sumber
daya alam dan emisi gas rumah kaca
pada tingkat kabupaten/kota;
f.
mengembangkan dan melaksanakan
kerja sama dan kemitraan;
g. mengembangkan
dan
menerapkan
instrumen lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i.
melakukan
pembinaan
dan
pengawasan
ketaatan
penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan
terhadap
ketentuan
perizinan
lingkungan dan peraturan perundangundangan;
j.
melaksanakan
minimal;
standar
pelayanan
k. melaksanakan
kebijakan
mengenai
tata
cara
pengakuan
keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan
lokal, dan hak masyarakat hukum
adat yang terkait dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup
pada tingkat kabupaten/kota;
l.
mengelola informasi lingkungan hidup
tingkat kabupaten/kota;
m. mengembangkan
dan
melaksanakan
kebijakan sistem informasi lingkungan
hidup tingkat kabupaten/kota;
n. memberikan . . .
- 44 n. memberikan
pendidikan,
pembinaan, dan penghargaan;
pelatihan,
o. menerbitkan izin lingkungan
tingkat kabupaten/kota; dan
p. melakukan
penegakan
lingkungan
hidup
pada
kabupaten/kota.
pada
hukum
tingkat
Pasal 64
Tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan
dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri.
BAB X
HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 65
(1)
Setiap orang berhak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak
asasi manusia.
(2)
Setiap
orang
berhak
mendapatkan
pendidikan
lingkungan
hidup,
akses
informasi, akses partisipasi, dan akses
keadilan dalam memenuhi hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(3)
Setiap orang berhak mengajukan usul
dan/atau keberatan terhadap rencana
usaha
dan/atau
kegiatan
yang
diperkirakan dapat menimbulkan dampak
terhadap lingkungan hidup.
(4)
Setiap orang berhak untuk berperan dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan.
(5) Setiap . . .
- 45 (5)
Setiap orang berhak melakukan pengaduan
akibat
dugaan
pencemaran
dan/atau
perusakan lingkungan hidup.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengaduan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 66
Setiap orang yang memperjuangkan hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak
dapat dituntut secara pidana maupun digugat
secara perdata.
Bagian
Kedua
Kewajiban
Pasal 67
Setiap
orang
berkewajiban
memelihara
kelestarian
fungsi
lingkungan
hidup
serta
mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
Pasal 68
Setiap orang yang melakukan
kegiatan berkewajiban:
usaha
dan/atau
a.
memberikan informasi yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup secara benar, akurat, terbuka, dan
tepat waktu;
b.
menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan
hidup; dan
c.
menaati ketentuan tentang baku mutu
lingkungan hidup dan/atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
Bagian Ketiga . . .
- 46 Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 69
(1)
Setiap orang dilarang:
a. melakukan
perbuatan
mengakibatkan pencemaran
perusakan lingkungan hidup;
yang
dan/atau
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut
peraturan
perundang-undangan
ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c.
memasukkan limbah yang berasal dari
luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia ke media lingkungan hidup
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memasukkan limbah B3 ke dalam
wilayah
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia;
e.
membuang limbah ke media lingkungan
hidup;
f.
membuang B3 dan limbah B3 ke media
lingkungan hidup;
g. melepaskan produk rekayasa genetik
ke media lingkungan hidup yang
bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan
atau
izin
lingkungan;
h. melakukan pembukaan
cara membakar;
lahan
dengan
i.
menyusun
amdal
tanpa
memiliki
sertifikat kompetensi penyusun amdal;
dan/atau
j.
memberikan
informasi
menyesatkan,
menghilangkan
merusak
informasi,
atau
keterangan yang tidak benar.
palsu,
informasi,
memberikan
(2) Ketentuan . . .
- 47 (2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
huruf
h
memperhatikan
dengan
sungguhsungguh
kearifan
lokal
di
daerah
masingmasing.
BAB XI
PERAN MASYARAKAT
Pasal 70
(1)
Masyarakat memiliki hak dan kesempatan
yang
sama
dan
seluas-luasnya
untuk
berperan
aktif
dalam
perlindungan
dan
pengelolaan lingkungan hidup.
(2)
Peran masyarakat dapat berupa:
a. pengawasan sosial;
b. pemberian
saran,
pendapat,
keberatan, pengaduan; dan/atau
c.
(3)
penyampaian
laporan.
informasi
usul,
dan/atau
Peran masyarakat dilakukan untuk:
kepedulian
dalam
a. meningkatkan
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup;
b. meningkatkan
keberdayaan
kemitraan;
c.
kemandirian,
masyarakat,
dan
menumbuhkembangkan
kemampuan
dan kepeloporan masyarakat;
d. menumbuhkembangkan
ketanggapsegeraan
masyarakat
melakukan pengawasan sosial; dan
e.
untuk
mengembangkan dan menjaga budaya
dan kearifan lokal dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
BAB XII . . .
- 48 BAB XII
PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian
Kesatu
Pengawasan
Pasal 71
(1)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya
wajib
melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
atas ketentuan yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
(2)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
dapat mendelegasikan
kewenangannya
dalam melakukan pengawasan kepada
pejabat/instansi teknis yang bertanggung
jawab di
bidang
perlindungan
dan
pengelolaan lingkungan hidup.
(3)
Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota menetapkan
pejabat pengawas lingkungan hidup yang
merupakan pejabat fungsional.
Pasal 72
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan
kewenangannya
wajib
melakukan
pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan.
Pasal 73
Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap
ketaatan
penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh
pemerintah daerah jika Pemerintah menganggap
terjadi
pelanggaran
yang
serius
di
bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
PASAL 74 . . .
- 49 -
Pasal 74
(1)
Pejabat
pengawas
lingkungan
hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat
(3) berwenang:
a. melakukan pemantauan;
b. meminta keterangan;
c. membuat salinan dari dokumen dan/atau
membuat catatan yang diperlukan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. memotret;
f. membuat rekaman audio visual;
g. mengambil sampel;
h. memeriksa peralatan;
i. memeriksa instalasi dan/atau alat
transportasi; dan/atau
j. menghentikan pelanggaran tertentu.
(2)
Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat
pengawas
lingkungan
hidup
dapat
melakukan
koordinasi
dengan
pejabat
penyidik pegawai negeri sipil.
(3)
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
dilarang
menghalangi
pelaksanaan
tugas
pejabat pengawas lingkungan hidup.
Pasal 75
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
pengangkatan
pejabat
pengawas
lingkungan
hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3),
Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua . . .
- 50 Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 76
(1)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
menerapkan sanksi administratif kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
jika
dalam
pengawasan
ditemukan
pelanggaran terhadap izin lingkungan.
(2)
Sanksi administratif terdiri atas:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c.
pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.
Pasal 77
Menteri dapat menerapkan sanksi administratif
terhadap
penanggung
jawab
usaha dan/atau
kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah
daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi
administratif terhadap pelanggaran yang serius di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
Pasal 78
Sanksi
administratif
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung
jawab pemulihan dan pidana.
Pasal 79
Pengenaan
sanksi
administratif
berupa
pembekuan
atau
pencabutan
izin
lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat
(2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila
penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan
tidak melaksanakan paksaan pemerintah.
Pasal 80 . . .
- 51 Pasal 80
(1)
Paksaan
pemerintah
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b
berupa:
a. penghentian
produksi;
b.
c.
d.
(2)
sementara
kegiatan
pemindahan sarana produksi;
penutupan saluran
limbah atau emisi;
pembuangan
air
pembongkaran;
e.
penyitaan terhadap barang atau alat
yang
berpotensi
menimbulkan
pelanggaran;
f.
penghentian
kegiatan; atau
g.
tindakan lain yang bertujuan untuk
menghentikan
pelanggaran
dan
tindakan
memulihkan
fungsi
lingkungan hidup.
sementara
seluruh
Pengenaan paksaan pemerintah dapat
dijatuhkan
tanpa
didahului
teguran
apabila
pelanggaran
yang
dilakukan
menimbulkan:
a. ancaman yang sangat serius
manusia dan lingkungan hidup;
bagi
b. dampak yang lebih besar dan lebih
luas jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya;
dan/atau
c.
kerugian
yang
lebih
lingkungan hidup jika
dihentikan pencemaran
perusakannya.
besar
bagi
tidak segera
dan/atau
Pasal 81
Setiap
penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan
yang
tidak
melaksanakan
paksaan
pemerintah dapat dikenai denda atas setiap
keterlambatan
pelaksanaan
sanksi
paksaan
pemerintah.
Pasal 82 . . .
- 52 -
Pasal 82
(1)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
berwenang
untuk memaksa penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan
untuk
melakukan pemulihan lingkungan hidup
akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang dilakukannya.
(2)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
berwenang atau dapat
menunjuk pihak
ketiga untuk
melakukan pemulihan
lingkungan
hidup
akibat
pencemaran
dan/atau
perusakan
lingkungan
hidup
yang
dilakukannya
atas
beban
biaya
penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan.
Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut
administratif
diatur
Pemerintah.
mengenai sanksi
dalam
Peraturan
BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 84
(1)
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup
dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan.
(2)
Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan
hidup dilakukan secara suka rela oleh para
pihak yang bersengketa.
(3)
Gugatan melalui pengadilan hanya dapat
ditempuh
apabila
upaya
penyelesaian
sengketa di luar pengadilan yang dipilih
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau
para pihak yang bersengketa.
Bagian Kedua . . .
- 53 -
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
Pasal 85
(1)
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di
luar pengadilan dilakukan untuk mencapai
kesepakatan mengenai:
a. bentuk dan besarnya ganti rugi;
b. tindakan pemulihan akibat pencemaran
dan/atau perusakan;
c.
tindakan tertentu untuk menjamin tidak
akan terulangnya pencemaran dan/atau
perusakan; dan/atau
d. tindakan
dampak
hidup.
untuk
negatif
mencegah
terhadap
timbulnya
lingkungan
(2)
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak
berlaku terhadap tindak pidana lingkungan
hidup
sebagaimana
diatur
dalam
UndangUndang ini.
(3)
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan
hidup di luar pengadilan dapat digunakan
jasa mediator dan/atau arbiter untuk
membantu
menyelesaikan
sengketa
lingkungan hidup.
Pasal 86
(1)
Masyarakat dapat membentuk lembaga
penyedia
jasa
penyelesaian
sengketa
lingkungan hidup yang bersifat bebas dan
tidak berpihak.
(2)
Pemerintah dan pemerintah daerah
memfasilitasi
pembentukan
penyedia
jasa
penyelesaian
lingkungan hidup yang bersifat
tidak berpihak.
dapat
lembaga
sengketa
bebas dan
(3) Ketentuan . . .
- 54 (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga
penyedia
jasa
penyelesaian
sengketa
lingkungan hidup diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan
Paragraf 1
Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan
Pasal 87
(1)
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan
yang
melakukan
perbuatan
melanggar hukum berupa pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang menimbulkan kerugian pada orang
lain atau
lingkungan
hidup
wajib
membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu.
(2)
orang
yang
melakukan
Setiap
pemindahtanganan, pengubahan sifat dan
bentuk
usaha,
dan/atau
kegiatan
dari
suatu badan usaha yang melanggar
hukum tidak melepaskan tanggung jawab
hukum dan/atau kewajiban badan usaha
tersebut.
(3)
Pengadilan
dapat
menetapkan
pembayaran uang paksa terhadap setiap
hari
keterlambatan
atas
pelaksanaan
putusan pengadilan.
(4)
uang
paksa
Besarnya
berdasarkan
peraturan
undangan.
diputuskan
perundang-
Paragraf 2 . . .
- 55 Paragraf 2
Tanggung Jawab Mutlak
Pasal 88
Setiap
orang
yang tindakannya,
usahanya,
dan/atau
kegiatannya
menggunakan
B3,
menghasilkan
dan/atau
mengelola
limbah
B3,
dan/atau
yang
menimbulkan
ancaman
serius
terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab
mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan.
Paragraf 3
Tenggat Kedaluwarsa untuk Pengajuan Gugatan
Pasal 89
(1)
Tenggat kedaluwarsa untuk mengajukan
gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang
waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
dihitung sejak diketahui adanya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
(2)
Ketentuan mengenai tenggat kedaluwarsa
tidak berlaku
terhadap
pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan
yang menggunakan dan/atau mengelola B3
serta
menghasilkan
dan/atau
mengelola
limbah B3.
Paragraf 4
Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pasal 90
(1)
Instansi pemerintah dan pemerintah daerah
yang
bertanggung
jawab
di
bidang
lingkungan hidup berwenang mengajukan
gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu
terhadap usaha dan/atau kegiatan yang
menyebabkan
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan
hidup
yang
mengakibatkan
kerugian
lingkungan
hidup.
(2) Ketentuan . . .
- 56 (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1)
diatur
dengan
Peraturan
Menteri.
Paragraf 5
Hak Gugat Masyarakat
Pasal 91
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan
perwakilan kelompok untuk kepentingan
dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan
masyarakat apabila mengalami kerugian
akibat pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
(2)
Gugatan dapat diajukan apabila terdapat
kesamaan fakta atau peristiwa, dasar
hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil
kelompok dan anggota kelompoknya.
(3)
Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat
dilaksanakan
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 6
Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup
Pasal 92
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab
perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, organisasi lingkungan hidup berhak
mengajukan gugatan untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2)
Hak mengajukan gugatan terbatas pada
tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu
tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali
biaya atau pengeluaran riil.
(3)
Organisasi
mengajukan
persyaratan:
lingkungan
gugatan
hidup
apabila
dapat
memenuhi
a. berbentuk . . .
- 57 a.
berbentuk badan hukum;
b. menegaskan
di
dalam
anggaran
dasarnya bahwa organisasi tersebut
didirikan untuk kepentingan pelestarian
fungsi lingkungan hidup; dan
c.
telah melaksanakan kegiatan nyata
sesuai dengan anggaran dasarnya paling
singkat 2 (dua) tahun.
Paragraf 7
Gugatan Administratif
Pasal 93
(1)
Setiap orang dapat mengajukan gugatan
terhadap keputusan tata usaha negara
apabila:
a. badan atau pejabat tata usaha negara
menerbitkan izin lingkungan kepada
usaha dan/atau kegiatan yang wajib
amdal tetapi tidak dilengkapi dengan
dokumen amdal;
b. badan atau pejabat tata usaha negara
menerbitkan izin lingkungan kepada
kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi
tidak dilengkapi dengan dokumen UKLUPL; dan/atau
c.
(2)
badan atau pejabat tata usaha negara
yang menerbitkan izin usaha dan/atau
kegiatan yang tidak dilengkapi dengan
izin lingkungan.
Tata cara pengajuan gugatan terhadap
keputusan tata usaha negara mengacu
pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara.
BAB XIV . . .
- 58 BAB XIV
PENYIDIKAN DAN PEMBUKTIAN
Bagian
Kesatu
Penyidikan
Pasal 94
(1)
Selain penyidik pejabat polisi Negara
Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri
sipil tertentu
di
lingkungan
instansi
pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya
di
bidang
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
diberi
wewenang
sebagai
penyidik
sebagaimana
dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk
melakukan
penyidikan
tindak
pidana
lingkungan hidup.
(2)
Penyidik
pejabat
berwenang:
pegawai
negeri
sipil
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran
laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak
pidana
di
bidang
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap
orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
c.
meminta keterangan dan bahan bukti
dari setiap orang berkenaan dengan
peristiwa tindak pidana di bidang
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup;
pemeriksaan
atas
d. melakukan
pembukuan, catatan, dan dokumen lain
dengan
tindak
pidana
di
berkenaan
bidang
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup;
e. melakukan . . .
- 59 e.
melakukan
pemeriksaan
di
tempat
tertentu yang diduga terdapat bahan
bukti, pembukuan,
catatan,
dan
dokumen lain;
f.
melakukan penyitaan terhadap bahan
dan barang hasil pelanggaran yang dapat
dijadikan bukti dalam perkara tindak
pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
g.
meminta bantuan ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
h. menghentikan penyidikan;
i.
memasuki
dan/atau
visual;
tempat tertentu, memotret,
membuat
rekaman
audio
j.
melakukan
penggeledahan
terhadap
badan, pakaian, ruangan, dan/atau
tempat lain yang diduga merupakan
tempat dilakukannya tindak pidana;
dan/atau
k. menangkap dan menahan pelaku tindak
pidana.
(3)
Dalam
melakukan
penangkapan
dan
penahanan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (2) huruf k, penyidik pejabat pegawai
negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik
pejabat polisi Negara Republik Indonesia.
(4)
Dalam hal penyidik pejabat pegawai negeri
sipil melakukan penyidikan, penyidik pejabat
pegawai negeri sipil memberitahukan kepada
penyidik
pejabat
polisi
Negara
Republik
Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara
Republik
Indonesia
memberikan
bantuan
guna kelancaran penyidikan.
(5)
Penyidik pejabat pegawai negeri sipil
memberitahukan
dimulainya
penyidikan
kepada penuntut umum dengan tembusan
kepada
penyidik
pejabat
polisi
Negara
Republik Indonesia.
(6) Hasil . . .
- 60 (6)
Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh
penyidik pegawai negeri sipil disampaikan
kepada penuntut umum.
Pasal 95
(1) Dalam rangka penegakan hukum terhadap
pelaku tindak pidana lingkungan hidup,
dapat dilakukan penegakan hukum terpadu
antara penyidik pegawai negeri sipil,
kepolisian, dan kejaksaan di bawah
koordinasi Menteri.
(2)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
terpadu
pelaksanaan
penegakan
hukum
diatur
dengan
peraturan
perundangundangan.
Bagian Kedua
Pembuktian
Pasal 96
Alat bukti yang
sah dalam
tuntutan
pidana lingkungan hidup terdiri atas:
tindak
a.
keterangan saksi;
b.
keterangan ahli;
c.
surat;
d.
petunjuk;
e.
keterangan terdakwa; dan/atau
f.
alat bukti lain, termasuk alat bukti yang
diatur
dalam
peraturan
perundangundangan.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 97
Tindak
pidana
dalam
merupakan kejahatan.
undang-undang
Pasal 98 . . .
ini
- 61 Pasal 98
(1)
Setiap
orang
yang
dengan
sengaja
melakukan
perbuatan
yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien, baku mutu air, baku mutu
air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan
hidup,
dipidana
dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan
denda
paling
sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan
paling
banyak
Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
(2)
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
dan/atau
bahaya
kesehatan
manusia,
dipidana
dengan
pidana
penjara
paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)
dan paling banyak Rp12.000.000.000,00
(dua belas miliar rupiah).
(3)
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
berat atau mati, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah)
dan paling banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
rupiah).
Pasal 99
(1)
Setiap orang yang karena kelalaiannya
mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien, baku mutu air, baku mutu
air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan
hidup,
dipidana
dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda
paling
sedikit
Rp1.000.000.000,00
(satu
miliar
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Apabila . . .
- 62 (2)
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
dan/atau
bahaya
kesehatan
manusia,
dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
dan
paling
banyak
Rp6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah).
(3)
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
berat atau mati, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda
paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga
miliar
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp9.000.000.000,00
(sembilan
miliar
rupiah).
Pasal 100
(1)
Setiap orang yang melanggar baku mutu
air limbah, baku mutu emisi, atau baku
mutu gangguan dipidana, dengan pidana
penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat dikenakan
apabila sanksi administratif yang telah
dijatuhkan
tidak
dipatuhi
atau
pelanggaran
dilakukan
lebih
dari
satu kali.
Pasal 101
Setiap orang yang
melepaskan dan/atau
mengedarkan
produk
rekayasa
genetik
ke
media lingkungan hidup yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan atau
izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
Pasal 102 . . .
- 63 -
Pasal 102
Setiap
orang
yang
melakukan
pengelolaan
limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana
penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar
rupiah).
Pasal 103
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan
tidak
melakukan
pengelolaan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan
paling
banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
Pasal 104
Setiap orang yang melakukan dumping limbah
dan/atau bahan ke media lingkungan hidup
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60, dipidana dengan pidana
penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 105
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam
wilayah
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
huruf c dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah) dan
paling banyak Rp12.000.000.000,00
(dua belas
miliar rupiah).
Pasal 106 . . .
- 64 Pasal 106
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke
dalam
wilayah
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp5.000.000.000,00
(lima miliar
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp15.000.000.000,00
(lima
belas
miliar
rupiah).
Pasal 107
Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang
menurut
peraturan
perundang-undangan
ke
dalam
wilayah
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling
banyak
Rp15.000.000.000,00
(lima
belas miliar rupiah).
Pasal 108
Setiap
orang
yang
melakukan
pembakaran
lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (1)
huruf h, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh)
tahun
dan
denda
paling
sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
dan
paling
banyak
Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
Pasal 109 . . .
- 65 Pasal 109
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan
tanpa
memiliki
izin
lingkungan
36 ayat (1),
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 110
Setiap
orang
yang
menyusun
amdal
tanpa
memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
huruf i, dipidana dengan
pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 111
(1)
Pejabat pemberi izin lingkungan yang
menerbitkan
izin
lingkungan
tanpa
dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama
3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar
rupiah).
(2)
Pejabat pemberi izin usaha dan/atau
kegiatan yang menerbitkan izin usaha
dan/atau
kegiatan
tanpa
dilengkapi
dengan
izin
lingkungan
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal
40
ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar
rupiah).
Pasal 112 . . .
- 66 Pasal 112
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja
tidak melakukan
pengawasan
terhadap
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan
terhadap
peraturan
perundangundangan dan izin lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang
mengakibatkan
terjadinya
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan
yang
mengakibatkan
hilangnya
nyawa
manusia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu)
tahun
atau
denda
paling
banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 113
Setiap orang yang memberikan informasi
palsu,
menyesatkan,
menghilangkan
informasi,
merusak
informasi,
atau
memberikan keterangan yang tidak benar yang
diperlukan
dalam
kaitannya
dengan
pengawasan dan penegakan hukum yang
berkaitan
dengan
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu)
tahun
dan
denda
paling
banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 114
Setiap
penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan
yang
tidak
melaksanakan
paksaan
pemerintah dipidana
dengan
pidana
penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 115
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah,
menghalang-halangi,
atau
menggagalkan
pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan
hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri
sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama
1 (satu)
tahun
dan
denda
paling
banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 116 . . .
- 67 -
Pasal 116
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup
dilakukan oleh, untuk, atau atas nama
badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi
pidana dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana tersebut atau
orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1)
dilakukan
oleh
orang,
yang
berdasarkan
hubungan kerja atau berdasarkan hubungan
lain yang bertindak dalam lingkup kerja
badan
usaha,
sanksi
pidana
dijatuhkan
terhadap pemberi perintah atau pemimpin
dalam
tindak
pidana
tersebut
tanpa
memperhatikan
tindak
pidana
tersebut
dilakukan
secara
sendiri
atau
bersamasama.
Pasal 117
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi
perintah
atau
pemimpin
tindak
pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1)
huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa
pidana penjara dan denda diperberat dengan
sepertiga.
Pasal 118
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi
pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang
diwakili oleh
pengurus
yang
berwenang
mewakili di dalam dan di luar pengadilan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
selaku pelaku fungsional.
Pasal 119 . . .
- 68 Pasal 119
Selain
pidana
sebagaimana
dimaksud
dalam
Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat
dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata
tertib berupa:
a.
b.
c.
d.
e.
perampasan keuntungan yang diperoleh dari
tindak pidana;
penutupan seluruh atau sebagian tempat
usaha dan/atau kegiatan;
perbaikan akibat tindak pidana;
pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan
tanpa hak; dan/atau
penempatan
perusahaan
di
bawah
pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 120
(1)
Dalam
melaksanakan
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
119
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
jaksa
berkoordinasi
dengan
instansi
yang
bertanggung jawab di bidang perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup
untuk
melaksanakan eksekusi.
(2)
Dalam
melaksanakan
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
119
huruf
e,
Pemerintah
berwenang
untuk
mengelola
badan
usaha
yang
dijatuhi
sanksi penempatan di bawah pengampuan
untuk
melaksanakan
putusan
pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 121
(1)
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini,
dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun,
setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah
memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi
belum
memiliki
dokumen
amdal
wajib
menyelesaikan audit lingkungan hidup.
(2) Pada . . .
- 69 (2)
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini,
dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun,
setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah
memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi
belum
memiliki
UKL-UPL
wajib
membuat
dokumen pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 122
(1)
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini,
dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun,
setiap
penyusun
amdal
wajib
memiliki
sertifikat kompetensi penyusun amdal.
(2)
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini,
dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun,
setiap
auditor
lingkungan
hidup
wajib
memiliki
sertifikat
kompetensi
auditor
lingkungan hidup.
Pasal 123
Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan
hidup
yang
telah
dikeluarkan
oleh
Menteri,
gubernur,
atau
bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam
izin lingkungan paling lama 1
(satu) tahun sejak
Undang-Undang ini ditetapkan.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 124
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
semua
peraturan
perundang-undangan
yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari UndangUndang
Nomor
23
Tahun 1997
tentang
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
68,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum
diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan
Undang-Undang ini.
Pasal 125 . . .
- 70 -
Pasal 125
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun 1997
tentang
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
3699) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 126
Peraturan
pelaksanaan
yang
diamanatkan
dalam Undang-Undang ini ditetapkan paling
lama
1
(satu)
tahun
terhitung
sejak
UndangUndang ini diberlakukan.
Pasal 127
Undang-undang
diundangkan.
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
Agar . . .
- 71 Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan
penempatannya
dalam
Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 140
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,
SETIO SAPTO NUGROHO
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
I. UMUM
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat
merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga
negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan
seluruh
pemangku
kepentingan
berkewajiban
untuk
melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dalam
pelaksanaan
pembangunan
berkelanjutan
agar
lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan
penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup
lain.
2.
Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang
antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan
cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi
nilainya. Di samping itu Indonesia mempunyai garis pantai
terpanjang kedua di dunia dengan jumlah penduduk yang
besar. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati
dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu
dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi
antara
lingkungan
laut,
darat,
dan
udara
berdasarkan
wawasan Nusantara.
Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan terhadap
dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi turunnya
produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya
hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, naiknya
permukaan
laut,
tenggelamnya
pulau-pulau
kecil,
dan
punahnya keanekaragaman hayati.
Ketersedian . . .
-2-
Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun
kualitas
tidak
merata,
sedangkan
kegiatan
pembangunan
membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat.
Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat
mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas
lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban
sosial.
Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi
dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab
negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu,
pengelolaan
lingkungan
hidup
harus
dapat
memberikan
kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan
berdasarkan
prinsip
kehati-hatian,
demokrasi
lingkungan,
desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap
kearifan lokal dan kearifan lingkungan.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut
dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu
perlindungan dan pengelolaan lingkungan
kebijakan nasional
hidup
yang
harus
dilaksanakan
secara
taat
asas
dan
konsekuen dari pusat sampai ke daerah.
3.
Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan
seimbang
dengan
fungsi
lingkungan
hidup.
Sebagai
konsekuensinya,
kebijakan,
rencana,
dan/atau
program
pembangunan
harus
dijiwai
oleh
kewajiban
melakukan
pelestarian
lingkungan
hidup
dan
mewujudkan
tujuan
pembangunan berkelanjutan.
Undang-Undang ini mewajibkan Pemerintah dan pemerintah
daerah untuk membuat kajian lingkungan hidup strategis
(KLHS)
untuk
memastikan
bahwa
prinsip
pembangunan
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,
dan/atau program. Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus
dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program
pembangunan
dalam
suatu
wilayah.
Apabila
hasil
KLHS
menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah
terlampaui,
kebijakan,
rencana,
dan/atau
program
pembangunan
tersebut
wajib
diperbaiki
sesuai
dengan
rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang
telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup tidak diperbolehkan lagi.
4. Ilmu . . .
-34.
Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas
hidup dan mengubah gaya hidup manusia. Pemakaian produk
berbasis kimia telah meningkatkan produksi limbah bahan
berbahaya dan beracun. Hal itu menuntut dikembangkannya
sistem pembuangan yang aman dengan risiko yang kecil bagi
lingkungan
hidup,
kesehatan,
dan
kelangsungan
hidup
manusia serta makhluk hidup lain.
Di
samping
menghasilkan
produk
yang
bermanfaat
bagi
masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan dampak, antara
lain, dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang
apabila dibuang ke dalam media lingkungan hidup dapat
mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan
hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Dengan menyadari hal tersebut, bahan berbahaya dan beracun
beserta limbahnya perlu dilindungi dan dikelola dengan baik.
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari
buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari luar
wilayah Indonesia.
Menyadari potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai
konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan upaya
pengendalian dampak secara dini. Analisis mengenai dampak
lingkungan (amdal) adalah salah satu perangkat preemtif
pengelolaan lingkungan hidup yang terus diperkuat melalui
peningkatkan
akuntabilitas
dalam
pelaksanaan
penyusunan
amdal dengan mempersyaratkan lisensi bagi penilai amdal dan
diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen amdal, serta
dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang
amdal.
Amdal juga menjadi salah satu persyaratan utama dalam
memperoleh izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum
diperoleh izin usaha.
5.
Upaya
preventif
dalam
rangka
pengendalian
dampak
lingkungan
hidup
perlu
dilaksanakan
dengan
mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan
perizinan.
Dalam hal
pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa
penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten
terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang
sudah terjadi.
Sehubungan . . .
-4Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu
sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian
hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan
sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain.
Undang-Undang ini juga mendayagunakan berbagai ketentuan
hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun
hukum
pidana.
Ketentuan
hukum
perdata
meliputi
penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan
hidup
di
dalam
pengadilan
meliputi
gugatan
perwakilan
kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, ataupun hak
gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain
akan
menimbulkan
efek
jera
juga
akan
meningkatkan
kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa
pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.
6.
Penegakan
hukum
pidana
dalam
Undang-Undang
ini
memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping
maksimum,
perluasan
alat
bukti,
pemidanaan
bagi
pelanggaran
baku
mutu,
keterpaduan
penegakan
hukum
pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan
hukum pidana lingkungan
tetap memperhatikan asas ultimum
remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum
pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan
hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas
ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil
tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air
limbah, emisi, dan gangguan.
7.
Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan UndangUndang ini adalah adanya penguatan yang terdapat dalam
Undang-Undang ini
tentang prinsip-prinsip perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata
kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses
perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan
dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek
transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan.
8. Selain . . .
-58.
9.
Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur:
a.
keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
b.
kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
c.
penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
d.
penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen
kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu
lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan
upaya
pemantauan
lingkungan
hidup,
perizinan,
instrumen
ekonomi
lingkungan
hidup,
peraturan
perundang-undangan
berbasis
lingkungan
hidup,
anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko
lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
e.
pendayagunaan
pengendalian;
f.
pendayagunaan pendekatan ekosistem;
g.
kepastian
dalam
merespons
perkembangan lingkungan global;
h.
penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi,
akses partisipasi,
dan akses keadilan serta penguatan
hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
i.
penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana
secara lebih jelas;
j.
penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan
k.
penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan
hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.
perizinan
sebagai
dan
instrumen
mengantisipasi
Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada
Menteri
untuk
melaksanakan
seluruh
kewenangan
pemerintahan
di
bidang
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi
lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi
kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah
dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup di daerah
masing-masing yang tidak diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Oleh . . .
-6-
Oleh
karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja
berdasarkan Undang-Undang ini tidak cukup hanya suatu
organisasi
yang
menetapkan
dan
melakukan
koordinasi
pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi
dengan portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi
kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang
lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk
kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas
pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan
pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang
memadai untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan
belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas tanggung jawab negara”
adalah:
a.
negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam
akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik
generasi masa kini maupun generasi masa depan.
b. negara menjamin hak warga negara atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
c.
negara
mencegah
dilakukannya
kegiatan
pemanfaatan sumber
daya
alam
yang
menimbulkan
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan hidup.
Huruf b
Yang
dimaksud
dengan
“asas kelestarian dan
keberlanjutan” adalah bahwa setiap orang memikul
kewajiban
dan
tanggung
jawab
terhadap
generasi
mendatang
dan
terhadap
sesamanya
dalam
satu
generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya
dukung
ekosistem
dan
memperbaiki
kualitas
lingkungan hidup.
Huruf c . . .
-7-
Huruf c
Yang
dimaksud
dengan
“asas
keserasian
dan
keseimbangan” adalah bahwa pemanfaatan lingkungan
hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti
kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan
serta pelestarian ekosistem.
Huruf d
Yang dimaksud dengan
“asas keterpaduan” adalah
bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau
menyinergikan berbagai komponen terkait.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa
segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang
dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya
alam
dan
lingkungan
hidup
untuk
peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras
dengan lingkungannya.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah
bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha
dan/atau
kegiatan
karena
keterbatasan
penguasaan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
bukan
merupakan
alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi
atau
menghindari
ancaman
terhadap
pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
mencerminkan keadilan secara proporsional
bagi
setiap
warga
negara,
baik
lintas
daerah,
lintas
generasi,
maupun lintas gender.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas ekoregion” adalah bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
memperhatikan
karakteristik
sumber
daya
alam,
ekosistem,
kondisi
geografis,
budaya
masyarakat
setempat, dan kearifan lokal.
Huruf i . . .
-8Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas keanekaragaman hayati”
adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk
mempertahankan
keberadaan,
keragaman,
dan
keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas
sumber daya alam nabati dan sumber daya alam hewani
yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya
secara keseluruhan membentuk ekosistem.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar”
adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha
dan/atau
kegiatannya
menimbulkan
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan
hidup
wajib
menanggung biaya pemulihan lingkungan.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa
setiap anggota masyarakat didorong untuk
berperan
aktif
dalam
proses
pengambilan
keputusan
dan
pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Huruf l
Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah
bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup
harus
memperhatikan
nilai-nilai
luhur
yang
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
Huruf m
Yang dimaksud dengan “asas tata kelola pemerintahan
yang baik” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan
lingkungan
hidup
dijiwai
oleh
prinsip
partisipasi,
transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.
Huruf n
Yang dimaksud dengan “asas otonomi daerah” adalah
bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan
mengurus
sendiri
urusan
pemerintahan
di
bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan
memperhatikan
kekhususan
dan
keragaman
daerah
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 3 . . .
-9Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kearifan lokal dalam ayat ini termasuk hak ulayat
yang diakui oleh DPRD.
Huruf e . . .
- 10 Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Pengendalian
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan hidup yang dimaksud dalam ketentuan ini,
antara lain pengendalian:
a. pencemaran air, udara, dan laut; dan
b. kerusakan ekosistem
dan kerusakan akibat
perubahan iklim.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15 . . .
- 11 Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “wilayah” adalah ruang yang
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
terkait yang
batas
dan
sistemnya
ditentukan
berdasarkan
aspek
administrasi
dan/atau
aspek
fungsional.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dampak dan/atau risiko lingkungan hidup yang
dimaksud meliputi:
a. perubahan iklim;
b. kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan
keanekaragaman hayati;
c. peningkatan intensitas dan cakupan wilayah
bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau
kebakaran hutan dan lahan;
d. penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya
alam;
e. peningkatan alih fungsi kawasan hutan
dan/atau lahan;
f. peningkatan jumlah penduduk miskin atau
terancamnya
keberlanjutan
penghidupan
sekelompok masyarakat; dan/atau
g. peningkatan risiko terhadap kesehatan dan
keselamatan manusia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Pelibatan masyarakat dilakukan melalui dialog, diskusi,
dan konsultasi publik.
Ayat (2) . . .
- 12 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “baku mutu air” adalah
ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus
ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya di dalam air.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “baku mutu air limbah”
adalah ukuran batas atau kadar polutan yang
ditenggang untuk dimasukkan ke media air .
Huruf c
Yang dimaksud dengan “baku mutu air laut”
adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup,
zat, energi, atau komponen yang ada atau harus
ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya di dalam air laut.
Huruf d
Yang dimaksud dengan
“baku mutu udara
ambien” adalah ukuran batas atau kadar zat,
energi,
dan/atau
komponen
yang
seharusnya
ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam udara ambien.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “baku mutu emisi” adalah
ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang
untuk dimasukkan ke media udara.
Huruf f . . .
- 13 Huruf f
Yang dimaksud dengan “baku mutu gangguan”
adalah
ukuran
batas
unsur
pencemar
yang
ditenggang
keberadaannya
yang
meliputi
unsur
getaran, kebisingan, dan kebauan.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan
“produksi
adalah bentuk-bentuk pemanfaatan
tanah untuk menghasilkan biomassa.
biomassa”
sumber daya
Yang dimaksud dengan “kriteria baku kerusakan
tanah untuk produksi biomassa” adalah ukuran
batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat
ditenggang berkaitan dengan kegiatan produksi
biomassa.
Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi
biomassa mencakup lahan pertanian atau lahan
budi daya dan hutan.
Huruf b . . .
- 14 Huruf b
Yang dimaksud dengan “kriteria baku kerusakan
terumbu karang” adalah ukuran batas perubahan
fisik dan/atau hayati terumbu karang yang dapat
ditenggang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kerusakan lingkungan
hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan/atau
lahan”
adalah
pengaruh
perubahan
pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan
dan/atau
pencemaran
lingkungan
hidup
yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau
oleh suatu usaha
lahan yang diakibatkan
dan/atau kegiatan.
Huruf d
Huruf e
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 15 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Jasad renik dalam
rekayasa genetik.
huruf ini
termasuk produk
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e . . .
- 16 -
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup
dimaksudkan
untuk
menghindari,
meminimalkan,
memitigasi,
dan/atau
mengompensasikan
dampak
suatu
usaha
dan/atau
kegiatan.
Pasal 26
Ayat (1)
Pelibatan
masyarakat
dilaksanakan
dalam
pengumuman
dan
konsultasi
publik dalam
menjaring saran dan tanggapan.
proses
rangka
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Yang dimaksud dengan “pihak lain”
penyusun amdal atau konsultan.
antara lain lembaga
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31 . . .
- 17 Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rekomendasi UKL-UPL
lingkungan hidup.
dinilai
oleh
tim
teknis
instansi
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39 . . .
- 18 Pasal 39
Ayat (1)
Pengumuman dalam Pasal ini merupakan pelaksanaan
atas
keterbukaan
informasi.
Pengumuman
tersebut
memungkinkan peran serta masyarakat, khususnya yang
belum
menggunakan
kesempatan
dalam
prosedur
keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses
pengambilan keputusan izin.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan izin usaha
dan/atau kegiatan
dalam ayat ini termasuk izin yang disebut dengan nama
lain seperti izin operasi dan izin konstruksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Perubahan yang dimaksud dalam ayat ini, antara lain,
perubahan
teknologi,
karena
kepemilikan
beralih,
penambahan
atau
pengurangan
kapasitas
produksi,
dan/atau
lokasi
usaha
dan/atau
kegiatan
yang
berpindah tempat.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “instrumen ekonomi dalam
perencanaan pembangunan”
adalah
upaya
internalisasi
aspek
lingkungan
hidup
ke
dalam
perencanaan
dan
penyelenggaraan
pembangunan
dan kegiatan ekonomi.
Huruf b . . .
- 19 Huruf b
Yang dimaksud dengan “pendanaan lingkungan”
adalah suatu sistem dan mekanisme penghimpunan
dan
pengelolaan
dana
yang
digunakan
bagi
pembiayaan
upaya
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup.
Pendanaan
lingkungan
berasal
dari berbagai sumber, misalnya pungutan, hibah,
dan lainnya.
Huruf c
Insentif
merupakan
upaya
memberikan
dorongan
atau
daya
tarik
secara
moneter
dan/atau
nonmoneter
kepada
setiap
orang
ataupun
Pemerintah dan pemerintah daerah agar melakukan
kegiatan yang berdampak positif pada cadangan
sumber daya alam dan kualitas fungsi lingkungan
hidup.
atau
Disinsentif
merupakan
pengenaan
beban
ancaman secara
moneter
dan/atau
nonmoneter
kepada
setiap
orang
ataupun
Pemerintah
dan
pemerintah daerah agar
mengurangi
kegiatan
yang
berdampak negatif pada cadangan sumber daya
alam dan kualitas fungsi lingkungan hidup.
Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “neraca sumber daya alam”
adalah gambaran mengenai cadangan sumber daya
alam dan perubahannya, baik dalam satuan fisik
maupun dalam nilai moneter.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “produk domestik bruto”
adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi
oleh suatu negara pada periode tertentu.
Yang dimaksud dengan “produk domestik regional
bruto” adalah nilai semua barang dan jasa yang
diproduksi oleh suatu daerah pada periode tertentu.
Huruf c . . .
- 20 Huruf c
Yang
dimaksud
dengan
“mekanisme
kompensasi/imbal
jasa
lingkungan
hidup
antardaerah”
adalah
cara-cara
kompensasi/imbal
yang
dilakukan
oleh
orang,
masyarakat,
dan/atau
pemerintah
daerah
sebagai
pemanfaat
jasa
lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan
hidup.
Huruf d
Yang
dimaksud
dengan
“internalisasi
biaya
lingkungan
hidup”
adalah
memasukkan
biaya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
dalam perhitungan biaya produksi atau biaya suatu
usaha dan/atau kegiatan.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana jaminan pemulihan
lingkungan hidup” adalah dana yang disiapkan oleh
suatu usaha dan/atau kegiatan untuk pemulihan
kualitas
lingkungan
hidup
yang
rusak
karena
kegiatannya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“dana penanggulangan”
adalah dana yang
digunakan untuk menanggulangi
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang timbul akibat suatu usaha dan/atau kegiatan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “dana amanah/bantuan”
adalah dana yang berasal dari sumber hibah dan
donasi
untuk
kepentingan
konservasi
lingkungan
hidup.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengadaan barang dan jasa
ramah lingkungan hidup” adalah pengadaaan yang
memprioritaskan barang dan jasa yang berlabel
ramah lingkungan hidup.
Huruf b . . .
- 21 Huruf b
Yang dimaksud dengan “pajak lingkungan hidup”
adalah pungutan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah
terhadap
setiap
orang
yang
memanfaatkan
sumber daya alam, seperti pajak pengambilan air
bawah tanah, pajak bahan bakar minyak, dan pajak
sarang burung walet.
Yang dimaksud dengan “retribusi lingkungan hidup”
adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah
daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan
sarana yang disiapkan pemerintah daerah seperti
retribusi pengolahan air limbah.
Yang dimaksud dengan “subsidi lingkungan hidup”
adalah
kemudahan atau pengurangan beban yang
diberikan kepada setiap orang yang kegiatannya
berdampak memperbaiki fungsi lingkungan hidup.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sistem
lembaga keuangan
ramah lingkungan hidup” adalah sistem lembaga
keuangan
yang
menerapkan
persyaratan
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
dalam kebijakan pembiayaan dan praktik sistem
lembaga keuangan bank dan
lembaga keuangan
nonbank.
Yang dimaksud dengan
“pasar modal ramah
lingkungan hidup”
adalah pasar modal yang
menerapkan
persyaratan
perlindungan
dan
pengelolaan lingkungan hidup bagi perusahaan yang
masuk
pasar
modal
atau
perusahaan
terbuka,
seperti
penerapan
persyaratan
audit
lingkungan
hidup bagi perusahaan yang akan menjual saham di
pasar modal.
Huruf d
Yang
dimaksud
dengan
“perdagangan
izin
pembuangan limbah dan/atau emisi” adalah jual
beli kuota limbah dan/atau emisi
yang diizinkan
untuk
dibuang
ke
media
lingkungan
hidup
antarpenanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Huruf e . . .
- 22 Huruf e
Yang
dimaksud
dengan
“pembayaran
jasa
lingkungan hidup” adalah pembayaran/imbal yang
diberikan oleh pemanfaat jasa lingkungan hidup
kepada penyedia jasa lingkungan hidup.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asuransi lingkungan hidup”
adalah
asuransi
yang
memberikan
perlindungan
terjadi
pencemaran dan/atau kerusakan
pada saat
lingkungan hidup.
Huruf g
Yang dimaksud dengan
“sistem label ramah
lingkungan hidup” adalah
pemberian
tanda atau
label kepada produk-produk yang ramah lingkungan
hidup.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kriteria kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup meliputi, antara lain, kinerja mempertahankan
kawasan koservasi dan penurunan tingkat pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47 . . .
- 23 Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “analisis risiko lingkungan” adalah
prosedur yang antara lain digunakan untuk mengkaji
pelepasan dan peredaran produk rekayasa genetik dan
pembersihan (clean up) limbah B3.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam ketentuan ini “pengkajian risiko” meliputi
seluruh
proses
mulai
dari
identifikasi
bahaya,
penaksiran besarnya konsekuensi atau akibat, dan
penaksiran kemungkinan munculnya dampak yang
tidak
diinginkan,
baik terhadap keamanan dan
kesehatan manusia maupun lingkungan hidup.
Huruf b
Dalam ketentuan ini “pengelolaan risiko” meliputi
evaluasi risiko atau seleksi risiko yang memerlukan
pengelolaan,
identifikasi
pilihan
pengelolaan
risiko,
pemilihan
tindakan
untuk
pengelolaan,
dan
pengimplementasian tindakan yang dipilih.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “komunikasi risiko” adalah
proses
interaktif
dari
pertukaran
informasi
dan
pendapat di antara individu, kelompok, dan institusi
yang berkenaan dengan risiko.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “usaha dan/atau kegiatan
tertentu yang berisiko tinggi” adalah usaha dan/atau
kegiatan yang jika terjadi kecelakaan dan/atau
keadaan darurat menimbulkan dampak yang besar
dan
luas
terhadap
kesehatan
manusia
dan
lingkungan hidup seperti petrokimia, kilang minyak
dan gas bumi, serta pembangkit listrik tenaga
nuklir.
Dokumen . . .
- 24 Dokumen audit lingkungan hidup memuat:
a. informasi yang meliputi tujuan
pelaksanaan audit;
dan
proses
b. temuan audit;
c. kesimpulan audit; dan
d. data dan informasi pendukung.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 25 Huruf b
Yang dimaksud dengan ”remediasi” adalah upaya
pemulihan
pencemaran
lingkungan
hidup
untuk
memperbaiki mutu lingkungan hidup.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”rehabilitasi” adalah upaya
pemulihan untuk mengembalikan nilai, fungsi, dan
manfaat lingkungan hidup termasuk upaya
pencegahan
kerusakan
lahan,
memberikan
perlindungan, dan memperbaiki ekosistem.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”restorasi” adalah upaya
pemulihan untuk menjadikan lingkungan hidup atau
bagian-bagiannya
berfungsi
kembali
sebagaimana
semula.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemeliharaan lingkungan hidup”
adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian
fungsi
lingkungan
hidup
dan
mencegah
terjadinya
penurunan
atau
kerusakan
lingkungan
hidup
yang
disebabkan oleh perbuatan manusia.
Huruf a
Konservasi sumber daya alam meliputi, antara lain,
konservasi
sumber
daya
air,
ekosistem
hutan,
ekosistem pesisir dan laut, energi, ekosistem lahan
gambut, dan ekosistem karst.
Huruf b . . .
- 26 Huruf b
Pencadangan sumber daya alam meliputi sumber
daya alam yang dapat dikelola dalam jangka panjang
dan waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan.
Untuk
melaksanakan
pencadangan
sumber
daya
alam,
Pemerintah,
pemerintah
provinsi,
atau
pemerintah kabupaten/kota dan perseorangan dapat
membangun:
a.
taman keanekaragaman hayati di luar kawasan
hutan;
b. ruang terbuka hijau (RTH) paling sedikit 30%
dari luasan pulau/kepulauan; dan/atau
c. menanam dan memelihara pohon di luar
kawasan hutan, khususnya tanaman langka.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”pengawetan sumber daya
alam” adalah upaya untuk menjaga keutuhan dan
keaslian sumber daya alam beserta ekosistemnya.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”mitigasi perubahan iklim”
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam
upaya menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca
sebagai
bentuk
upaya
penanggulangan
dampak
perubahan iklim.
Yang . . .
- 27 Yang dimaksud dengan ”adaptasi perubahan iklim”
adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan
dalam
menyesuaikan
diri
terhadap
perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan
kejadian
iklim ekstrim
sehingga
potensi
kerusakan
akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang
ditimbulkan
oleh perubahan
iklim
dapat
dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat
perubahan iklim dapat diatasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Kewajiban untuk melakukan pengelolaan B3 merupakan
upaya untuk mengurangi terjadinya kemungkinan risiko
terhadap
lingkungan
hidup
yang
berupa
terjadinya
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan
hidup,
mengingat B3 mempunyai potensi yang cukup besar untuk
menimbulkan dampak negatif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan
yang
mencakup
pengurangan,
penyimpanan,
pengumpulan,
pengangkutan,
pemanfaatan,
dan/atau
pengolahan, termasuk penimbunan limbah B3.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pihak
melakukan
pengelolaan
yang
mendapatkan izin.
lain adalah badan
limbah
B3
dan
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) . . .
usaha
telah
- 28 Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Sistem informasi lingkungan hidup memuat, antara lain,
keragaman
karakter
ekologis,
sebaran
penduduk,
sebaran potensi sumber daya alam, dan kearifan lokal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 29 Ayat (2)
Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu
konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan
lingkungan
hidup
yang
berlandaskan
pada
asas
keterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan
meningkatkan nilai dan efektivitas peran serta dalam
pengelolaan lingkungan hidup, di samping akan membuka
peluang
bagi
masyarakat
untuk
mengaktualisasikan
haknya atas lingkungan hidup
yang
baik dan sehat.
Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat ini dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain
yang berkenaan dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya
memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti
dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup,
laporan, dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup,
baik
pemantauan
penaatan
maupun
pemantauan
perubahan kualitas lingkungan hidup dan rencana tata
ruang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 66
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau
pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Perlindungan
ini
dimaksudkan
untuk
mencegah
tindakan
pembalasan
dari
terlapor
melalui
pemidanaan
dan/atau
gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian
peradilan.
Pasal 67 . . .
- 30 Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
B3 yang dilarang
dalam
DDT, PCBs, dan dieldrin.
ketentuan
ini,
antara
Huruf c
Larangan dalam ketentuan ini dikecualikan
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Yang dilarang dalam huruf ini termasuk impor.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
lain,
bagi
- 31 Ayat (2)
Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah
melakukan
pembakaran
lahan
dengan
luas
lahan
maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami
tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat
bakar
sebagai
pencegah
penjalaran
api
ke
wilayah
sekelilingnya.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemberian saran dan pendapat dalam ketentuan
termasuk dalam penyusunan KLHS dan amdal.
ini
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Yang dimaksud dengan “pelanggaran yang serius” adalah
tindakan melanggar hukum yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang relatif besar dan
menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75 . . .
- 32 -
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “ancaman yang sangat
serius”
adalah
suatu
keadaan
yang
berpotensi
sangat membahayakan keselamatan dan kesehatan
banyak orang
sehingga penanganannya tidak dapat
ditunda.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83 . . .
- 33 Pasal 83
Cukup Jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi
hak keperdataan para pihak yang bersengketa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya putusan yang berbeda mengenai satu sengketa
lingkungan hidup untuk menjamin kepastian hukum.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan realisasi asas yang
ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas
pencemar membayar. Selain diharuskan membayar ganti
rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat
pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan
hukum tertentu, misalnya perintah untuk:
a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah
sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan
hidup yang ditentukan;
b. memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau
c. menghilangkan
atau
memusnahkan
penyebab
timbulnya
pencemaran
dan/atau
perusakan
lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
- 34 Ayat (3)
Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari
keterlambatan
pelaksanaan
perintah
pengadilan
untuk
melaksanakan tindakan tertentu adalah demi pelestarian
fungsi lingkungan hidup.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 88
Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau
strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran
ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam
gugatan
tentang
perbuatan
melanggar
hukum
pada
umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan
terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut
Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu”
adalah
jika
menurut
penetapan
peraturan
perundangundangan
ditentukan
keharusan
asuransi
bagi
usaha dan/atau
kegiatan
yang
bersangkutan
atau
telah
tersedia dana lingkungan hidup.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kerugian lingkungan hidup”
adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak
milik privat.
Tindakan tertentu merupakan tindakan pencegahan dan
penanggulangan
pencemaran
dan/atau
kerusakan
serta
pemulihan fungsi lingkungan hidup guna menjamin tidak
akan terjadi atau terulangnya dampak negatif terhadap
lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 91
- 35 Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud
dengan
koordinasi
adalah
tindakan
berkonsultasi
guna
mendapatkan
bantuan
personil,
sarana,
dan
prasarana
yang
dibutuhkan
dalam
penyidikan.
Ayat (4)
Pemberitahuan
dalam
Pasal
ini
bukan
merupakan
pemberitahuan dimulainya penyidikan, melainkan untuk
mempertegas wujud koordinasi antara pejabat penyidik
pegawai negeri sipil dan penyidik pejabat polisi Negara
Republik Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 36 Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan
alat bukti lain, meliputi,
informasi
yang
diucapkan,
dikirimkan,
diterima,
atau
disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau
yang
serupa dengan itu; dan/atau
alat bukti data,
rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat,
dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau
tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau
yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada
tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi
yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau
dibaca.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Yang dimaksud dengan “melepaskan produk rekayasa genetik”
adalah pernyataan diakuinya suatu hasil pemuliaan produk
rekayasa
genetik
menjadi
varietas
unggul
dan
dapat
disebarluaskan
setelah
memenuhi
persyaratan
berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Yang . . .
- 37 -
Yang dimaksud dengan “mengedarkan produk rekayasa genetik”
adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
penyaluran komoditas produk rekayasa genetik kepada
masyarakat, baik untuk diperdagangkan maupun tidak.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113 . . .
- 38 -
Pasal 113
Informasi palsu yang dimaksud dalam Pasal ini dapat berbentuk
dokumen atau keterangan lisan yang tidak sesuai dengan
faktafakta yang senyatanya atau informasi yang tidak benar.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Yang dimaksud dengan pelaku fungsional
adalah badan usaha dan badan hukum.
dalam
Pasal
ini
Tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha
dan badan hukum karena tindak pidana badan usaha dan
badan hukum adalah tindak pidana fungsional sehingga
pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka
yang
memiliki
kewenangan
terhadap
pelaku
fisik
dan
menerima tindakan pelaku fisik tersebut.
Yang dimaksud dengan menerima tindakan dalam Pasal ini
termasuk
menyetujui,
membiarkan,
atau
tidak
cukup
melakukan
pengawasan
terhadap
tindakan
pelaku
fisik,
dan/atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya
tindak pidana tersebut.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121 . . .
- 39 Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Izin dalam ketentuan ini, misalnya, izin pengelolaan limbah B3,
izin pembuangan air limbah ke laut, dan izin pembuangan air
limbah ke sumber air.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5059
Download